BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Teori Produksi Produksi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan atau proses yang mentransformasi masukan (input) menjadi hasil keluaran (output) yang berupa barang atau jasa. Menurut Nicholson (1991) produksi adalah proses kombinasi dan koordinasi material serta input yaitu faktor produksi, sumberdaya, dan jasa produksi untuk membuat suatu output (barang atau jasa). Proses transformasi (pengubahan) input menjadi suatu output (skema proses produksi) dapat dilihat pada Gambar 1.
Masukan SDM SDModal SDA Mesin Teknologi
Keluaran Proses transformasi atau konversi
Barang Jasa
Umpan balik informasi Gambar 1. Skema Proses Produksi Sumber: Diacu dari Nicholson (1991)
Output berupa produk maupun jasa merupakan hasil pengkombinasian antara faktor-faktor produksi atau input. Hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan yang biasanya berupa output dengan variabel yang menjelaskan yang biasanya berupa input disebut fungsi produksi (Soekartawi, 1990). Masih menurut Soekartawi (1990) dalam fungsi produksi biasanya jumlah output yang dihasilkan dalam proses produksi tergantung pada input yang digunakan berupa jumlah bahan baku, tenaga kerja, mesin, modal, dan manajemen. Nicholson (1991) memformulasikan hubungan antara masukan (input) dengan keluaran (output) berupa barang dan jasa ke dalam fungsi produksi yang berbentuk: q = f (K, L, M,….), dimana q menunjukkan jumlah output yang dihasilkan dalam periode
16
tertentu, sedangkan K, L, M mewakili input yang berturut-turut melambangkan input berupa modal, tenaga kerja, dan bahan baku.
3.1.2. Kombinasi Optimum Pada penelitian ini penentuan kombinasi produksi optimum untuk memperoleh
penerimaan
maksimum
dapat
dijelaskan
melalui
Kurva
Kemungkinan Produksi (KKP) seperti terlihat pada Gambar 2.
Q2 TR1 P2 TR2 P2 A
Q2a TR3 P2
KKP
Е
Q2b
Isorevenue 3 C
Q2c
Isorevenue 2 B
Q2d
Isorevenue 1
0 Q1a
Q1c
Q1b
Q1d
Q1
Gambar 2. Kurva Kemungkinan Produksi Sumber: Diacu dari Lipsey (1995)
KKP merupakan suatu kurva yang menggambarkan semua kombinasi output yang dapat diproduksi dengan menggunakan sumberdaya yang sudah tertentu jumlahnya. KKP disebut juga isoresource curve karena setiap titik-titik pada kurva tersebut menggambarkan kombinasi output yang dapat dihasilkan dengan menggunakan sejumlah input yang sama (Lipsey, 1995). Sedangkan garis isorevenue adalah garis yang menunjukkan kombinasi produk yang dapat dijual perusahaan yang akan memberikan penerimaan yang sama. Garis isorevenue
17
diturunkan dari rumus penerimaan total (TR1 = P1Q1+P2Q2), atau secara matematis dinyatakan sebagai berikut: Q2 = TR - P1 Q1 P2 P2 Dimana P1 melambangkan harga jual dari Q1, dan P2 melambangkan harga jual untuk Q2. Sementara Q1 melambangkan jumlah produk pertama yang dijual perusahaan, dan Q2 melambangkan jumlah produk kedua yang dijual perusahaan. Pada harga P1 dan P2 akan diperoleh kombinasi produk optimum di titik E (titik yang menunjukkan persinggungan antara KKP dengan garis isorevenue 1), dimana diperoleh kombinasi produk sebesar Q1b dan Q2b. Kombinasi produk selain pada titik E akan membuat perusahaan memperoleh penerimaan yang lebih kecil dari pada penerimaan yang seharusnya bisa diterima perusahaan dengan tingkat harga yang sama. Kondisi ini bisa terjadi karena adanya kontrak seperti yang dialami KPBS Pangalengan. Adanya sistem produksi berdasarkan pesanan (job order) membuat KPBS tidak leluasa dalam menentukan pilihan kombinasi produksi. Jumlah dari tiap produk ditentukan oleh distributor melalui sistem job order yang belum tentu sesuai dengan kapasitas sumberdaya yang dimiliki KPBS Pangalengan. Kondisi ini misalkan digambarkan pada titik A, pada titik A perusahaan memproduksi produk Q1 sebesar Q1a (lebih rendah dari produksi pada titik optimum) dan Q2 sebesar Q2a (lebih tinggi dari produksi pada titik optimum). Kombinasi produk pada titik A menyebabkan pada tingkat harga yang sama perusahaan mendapatkan penerimaan yang lebih rendah dari penerimaan pada kondisi kombinasi produk optimum, yaitu sebesar TR2/P2. Penerimaan yang dapat diperoleh perusahaan dapat lebih rendah lagi jika perusahaan berproduksi dengan tidak memaksimalkan sumberdaya yang dimilikinya misalkan di titik C. Titik C sering juga disebut pilihan yang tidak efisien karena pada titik ini perusahaan berproduksi di bawah kapasitas produksinya (under capacity). Penerimaan perusahaan pada kondisi ini sebesar TR3/P2 jauh lebih kecil dari penerimaan optimal di TR1/P2. Adanya sistem produksi berdasarkan pesanan (job order) di KPBS Pangalengan
diduga
membuat
KPBS
Pangalengan
berproduksi
dengan
18
menghasilkan kombinasi produk seperti pada titik A atau bahkan pada titik C. Berdasarkan teori yang ada, penelitian ini akan mencoba melihat seberapa besar kerugian yang dialami KPBS Pangalengan serta pengalokasian sumberdaya ketika KPBS Pangalengan berproduksi dengan menghasilkan kombinasi produk diluar titik optimal karena adanya sistem job order.
3.1.3. Teori Optimalisasi Produksi Optimalisasi merupakan pendekatan normatif dengan mengidentifikasi penyelesaian terbaik dari suatu permasalahan yang diarahkan pada titik maksimum atau minimum suatu fungsi tujuan (Nasendi, 1985). Secara umum pengertian optimalisasi adalah pencapaian suatu keadaan yang terbaik. Apabila dikaitkan dengan produksi, maka pengertian optimalisasi produksi berarti pencapaian suatu keadaan terbaik dalam kegiatan produksi. Menurut Soekartawi (1998), optimalisasi produksi adalah pengunaan faktor-faktor produksi yang terbatas seefisien mungkin. Faktor-faktor produksi tersebut dapat berupa modal, tenaga kerja, sumberdaya alam (bahan baku, dan bahan pembantu), mesin, teknologi dan informasi. Nicholson (1991) mengemukakan bahwa persoalan optimalisasi dibagi menjadi dua yaitu tanpa kendala dan dengan kendala. Pada optimalisasi tanpa kendala, faktor-faktor yang menjadi kendala atau keterbatasan pada fungsi tujuan diabaikan sehingga dalam menentukan nilai maksimum atau minimum tidak terdapat batasan terhadap pilihan alternatif yang tersedia. Sementara pada optimalisasi dengan kendala faktor-faktor yang menjadi kendala pada fungsi tujuan diperhatikan. Kendala tersebut menentukan nilai maksimum dan minimum dari fungsi tujuan. Optimalisasi dengan kendala pada dasarnya merupakan persoalan dalam menentukan nilai variabel suatu fungsi menjadi maksimum atau minimum
dengan
memperhatikan
keterbatasan-keterbatasan
yang
ada.
Keterbatasan itu biasanya meliputi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, seperti bahan baku, modal, tenaga kerja dan mesin yang merupakan input serta ruang dan waktu (Supranto, 1998). Penelitan ini adalah penelitian optimalisasi dengan kendala dimana model disusun sedemikian rupa sehingga dapat mengambarkan kondisi yang mendekati
19
aktual. Penentuan kendala dalam model dilakukan dengan memasukan sumberdaya yang memang ketersediaannya menjadi pembatas bagi KPBS Pangalengan dalam memproduksi susu pasteurisasi. Salah satu teknik optimalisasi yang dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah optimalisasi berkendala adalah dengan mengunakan teknik linear programming (LP). Metode LP merupakan metode yang digunakan untuk memecahkan masalah optimalisasi berkendala di mana semua fungsi baik fungsi tujuan atau kendala merupakan fungsi linear. Pada umumnya
program
linier
yang
dirancang
digunakan
panduan
untuk
mengalokasikan sumberdaya yang terbatas diantara berbagai alternatif penggunaan sumber daya sehingga dapat dicapai tujuan yang telah ditetapkan secara optimal (Siswanto, 2006). Selanjutnya lebih jauh lagi, Supranto (1998) menjelaskan bahwa agar suatu persoalan dapat dipecahkan dengan teknik LP harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Harus dapat dirumuskan secara matematis 2. Harus jelas fungsi objektif yang linear yang harus dibuat optimum 3. Pembatasan-pembatasan harus dinyatakan dalam ketidaksamaan yang tidak linear. Menurut Siswanto (2006) LP adalah salah satu teknik operation research yang paling banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan di dunia. Pada umumnya metoda programasi matematis dirancang untuk mengalokasikan berbagai sumberdaya yang terbatas di antara berbagai alternatif penggunaan sumberdaya - sumberdaya tersebut agar berbagai tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai atau dioptimalkan. Siswanto (2006) menyatakan bahwa ada tiga unsur utama dalam model LP yaitu variabel keputusan, fungsi tujuan, serta fungsi kendala. 1. Variabel Keputusan. Variabel keputusan tergantung pada tujuan dari perusahaan. Umumnya ada dua variabel keputusan yang dapat dipilih perusahaan dalam model LP yaitu maksimisasi atau minimisasi. Namun pada dasarnya dalam merumuskan model, perusahaan hanya dapat mengunakan satu variabel keputusan saja. 2. Fungsi tujuan. Dalam model LP tujuan yang hendak dicapai harus dirumuskan ke dalam
20
fungsi matematika linear. 3. Kendala Kendala dapat diumpamakan sebagai pembatas terhadap keputusan yang mungkin dibuat. Sama halnya dengan fungsi tujuan. Fungsi kendala juga harus dirumuskan ke dalam fungsi matematik linear. Ada tiga macam bentuk kendala dalam pemrograman linear, yaitu: Jumlah maksimum ketersediaan sumberdaya yang dilambangkan dengan tanda lebih kecil sama dengan (≤); jumlah minimum sumberdaya yang harus tersedia (syarat minimum ketersediaan sumberdaya) yang dilambangkan dengan tanda lebih besar sama dengan (≥); serta jumlah yang tepat atau keharusan keberadaan sumberdaya yang dilambangkan dengan notasi sama dengan (=) Secara umum model LP yang memaksimisasi keuntungan adalah sebagai berikut: Maksimisasi
dengan batasan:
. ; ,
Keterangan: Z
= fungsi tujuan
Ci = koefisien peubah pengambil keputusan ke-i dalam fungsi tujuan xi
= tingkat kegiatan ke-i
ai
= koefisien pengambilan keputusan ke-i
bi
= kapasitas sumberdaya i yang tersedia untuk dialokasikan ke setiap unit kegiatan Setelah permasalahan dirumuskan ke dalam model LP, selanjutnya
dilakukan analisis terhadap hasil olahan Model LP yaitu analisis primal untuk melihat pilihan produksi, dan analisis dual untuk melihat pengunaan sumberdaya. Sebelum melakukan analisis terhadap hasil keluaran model LP ada beberapa asumsi yang harus diperhatikan. Asumsi-asumsi tersebut antara lain:
21
1.
Fungsi produksi bersifat linear, tidak ada input yang dapat saling mensubstitusi dan bersifat constant return to scale. (Nasendi, 1985)
2.
Deterministik. Artinya setiap aktivitas atau parameter adalah tetap, dan dapat diketahui secara pasti (Doll dan Orazem, 1984).
3.
Divisibility. Artinya peubah-peubah pengambil keputusan jika diperlukan dapat dibagi kedalam pecahan-pecahan, yaitu bahwa nilai-nilai tidak perlu integer (hanya 0 dan 1 atau bilangan bulat), tetapi boleh non-integer (Doll dan Orazem, 1984; Nasendi dan Anwar, 1985).
4.
Proporsionalitas. Artinya jika peubah pengambil keputusan berubah, maka dampak perubahannya akan menyebar dalam proporsi yang sama terhadap fungsi tujuan dan juga pada kendalanya (Taha, 1993).
5.
Additivity. Artinya nilai parameter suatu kriteria optimalisasi (koefisien peubah pengambilan keputusan dalam fungsi tujuan) merupakan jumlah dari nilai individu dalam model program linear tersebut (Taha, 1993). Konsekuensi dari adanya asumsi dalam model LP adalah adanya batasan
dalam menginterpretasi solusi, sehingga hasil analisis LP tidak selamanya sama dengan kondisi real yang dihadapi pengambil keputusan.
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional KPBS Pangalengan memiliki dua alternatif dalam mengalokasikan susu
segar yang diterima dari para anggotanya. Alternatif pertama adalah menampung kemudian menyalurkannya ke IPS dalam bentuk susu dingin. Alternatif kedua adalah mengolahnya menjadi produk olah akhir berupa susu pasteurisasi. Dalam menjalankan usaha pengembangan pengolahan susu segar menjadi susu pasteurisasi KPBS Pangalengan menerapkan sistem produksi berdasarkan pesanan atau yang mereka sebut dengan istilah job order. Melalui sistem job order jumlah produksi susu pasteurisasi tergantung dari jumlah pesanan (order) yang belum tentu sesuai dengan kapasitas mesin, tenaga kerja, ketersediaan bahan baku utama yaitu susu segar serta ketersediaan bahan baku lainnya. Sistem job order diduga membuat KPBS Pangalengan mengalami kerugian karena penentuan kombinasi produksi ditentukan oleh distributor yang melakukan pemesanan tanpa melihat ketersediaan sumberdaya serta kapasitas
22
yang dimiliki KPBS Pangalengan.
Dengan memformulasikan model untuk
mengambarkan kombinasi produksi dan alokasi sumberdaya pada kondisi aktual dengan mengunakan model LP, dapat diketahui alokasi pemanfaatan sumberdaya (terutama susu segar) untuk memproduksi susu pasteurisasi pada kondisi model aktual, sumberdaya yang menjadi kendala bagi KPBS Pangalengan dalam memproduksi susu pasteurisasi, serta dampak dari penerapan sistem job order terhadap keuntungan KPBS Pangalengan. Di samping itu dapat diketahui juga potensi profit yang bisa diraih KPBS Pangalengan jika mampu menjual produk sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki KPBS Pangalengan. Hasil
optimalisasi dengan
menggunakan
metode LP selanjutnya
dibandingkan dengan kondisi aktual yang terjadi di perusahaan, sehingga dapat dilakukan evaluasi terhadap pengalokasian sumberdaya serta faktor-faktor yang menyebabkan perusahaan belum mencapai hasil optimal. Hasil model LP dapat digunakan
untuk
menjawab
penyelesaian
atas
permasalahan
dalam
mengoptimalkan alokasi sumberdaya untuk meningkatkan keuntungan pada periode waktu tertentu. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran operasional dari penelitian ini dapat dilihat pada alur pemikiran yang terdapat pada Gambar 3.
23
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional.
Tujuan KPBS Pangalengan Maksimisasi Keuntungan
Menjual Susu Segar ke IPS
Diolah Menjadi Susu Pasteurisasi
Ketersediaan Susu Segar
• Kapasitas mesin packaging • Kapasitas TKL • Ketersediaan Sumberdaya (Kemasan Prepack, Kemasan Cup Strawberry, Kemasan Cup Cokelat, dan Penutup Kemasan Cup Strawberry dan Penutup Kemasan Cup Cokelat)
Kontrak Pemesanan (Job order)
Hilangnya Keuntungan Potensial
Optimalisasi Produksi dan Alokasi Sumberdaya
Realokasi Sumberdaya
Peningkatan Profit
Kesimpulan dan Rekomendasi
Gambar 3. Diagram Alur Pemikiran Operasional
24