81
BAB IV ANALISIS HUKUM FORMIL DAN MATERIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM TENTANG NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH BAGI ISTRI DI PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO (Study Putusan Perkara No. 1049/Pdt.G/2011/PA.Bjn) A. Analisis
hukum
formil
terhadap
putusan
perkara
no.
1049/Pdt.G/2011/PA.Bjn tentang nafkah iddah dan mut’ah Pengadilan adalah suatu badan peradilan yang dibentuk oleh Negara sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Oleh karena itu sebagai orang yang mempunyai kekuasaan menentukan nasib seseorang yang mencari keadilan. Sehingga hakim dalam memberikan keputusan tentunya lebih bijak, teliti dan adil dalam memberikan keputusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim dalam memutus suatu perkara, hendaknya harus senantiasa bijaksana dalam menyelesaikan suatu perkara atau permasalahan yang telah diajukan
kepadanya.
Maksudnya
ialah
hakim
haruslah
mempunyai
pertimbangan-pertimbangan hukum yang jelas sebagai dasar dalam memutus suatu perkara khususnya terkait masalah perceraian, guna menjadikan suatu perceraian yang bertanggung jawab dan membawa kemanfaatan serta rasa keadilan bagi kedua belah pihak yang melakukan perceraian. Pembahasan skripsi ini, Terkait permasalahan hukum dalam putusan cerai talak, peneliti terfokus terhadap nafkah iddah dan mut’ah yang
82
82
diberikan kepada istri (penggugat rekonvensi) padahal di dalam gugatan rekonvensinya pihak istri (penggugat rekonvensi) tersebut tidak meminta atau menuntut, tetapi hakim tetap memberikan nafkah tersebut. Dengan dasar bahwa hakim tidak dizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat, seperti yang ditegaskan dalam pasal 178 HIR. Berdasarkan hukum acara tersebut, maka saya rasa putusan tersebut sudah bertentangan dengan hukum formilnya. Tetapi hakim tetap saja memberikan nafkah iddah dan mut’ah tersebut meskipun istri (penggugat rekonvensi) tidak meminta atau menuntutnya. Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah dua kali diubah pertama dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, menyebutkan : Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan Umum (HIR/RBg), kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. 71 Dalam penyelesaian perkara cerai talak diatur secara khusus (lex
specialis) dalam beracara di Peradilan Agama, karena itu teknis pelaksanaan putusannya pun harus mengikuti aturan khusus yakni Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Berdasarkan bunyi pasal 54 Undang-Undang
71
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 54
83
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut di atas, yakni berlaku asas “Lex Specialis derogot Lex Generalis” yang berarti disamping acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama berlaku Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, namun secara khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Sehingga meskipun dalam putusan itu istri tidak meminta atau menuntut, maka hakim harus tetap mencantumkan berapa nafkah iddah dan mut’ah yang harus ditanggung oleh pihak suami tersebut. Dalam perkara perceraian ini, hakim dapat memutus lebih dari yang diminta karena kewenangannya (ex officio), hal ini berdasarkan pasal 41 huruf (c) Undang-Undang Perkawinan. “pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menetukan kewajiaban bagi bekas istri”
Selain dalam pasal tersebut, mengabulkan lebih dari yang dituntut atau memutus hal-hal yang tidak dituntut itu bertentangan dengan pasal 178 ayat 3 HIR. Tetapi dalam hal ini pasal 178 ayat 3 HIR tidak berlaku secara mutlak, sebab hakim dalam menjalankan tugasnya harus bertindak secara aktif dan selalu harus berusaha agar memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Majelis hakim dalam memberikan nafkah iddah dan mut’ah tersebut menggunakan kewenangannya (ex officio). Yang dimaksud ex officio disini
84
adalah hak atau kewenangan yang dimiliki oleh hakim karena jabatannya, dan salah satunya adalah untuk memutus atau memberikan sesuatu yang tidak ada dalam tuntutan. Dan hakim dapat menggunakan hak (ex officio)nya sepanjang tidak bertentangan dengan perundang-undangan. Sehingga dalam kasus ini yakni pemberian nafkah iddah dan mut’ah meskipun istri tidak menuntut atau meminta, maka majelis hakim tetap mencantumkan karena pembayaran nafkah iddah dan mut’ah adalah suatu kewajiban bagi suami yang akan menjatuhkan talak atas isterinya. Kalau merupakan kewajiban berarti suatu kemestian, tidak boleh tidak dan wajib dilaksanakan. Demikian halnya kewajiban bekas suami untuk memberikan nafkah terhadap bekas isterinya selama dalam masa iddah, adalah merupakan kewajiban yang bersifat imperatif dan melekat, kecuali isteri dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Kewajiban yang bersifat imperatif dan melekat yang dimaksud disini adalah kewajiban yang tak terpisahkan dengan rangkaian peristiwa penjatuhan talak oleh suami atas isterinya, dapat dipahami bahwa timbulnya kewajiban nafkah iddah dan
mut’ah adalah karena akibat terjadinya talak. Bilamana tidak ada talak maka kewajiban membayar nafkah iddah dan mut’ah pun tiada.
85
B. Analisis
hukum
materil
terhadap
putusan
perkara
no.
1049/Pdt.G/2011/PA.Bjn tentang nafkah iddah dan mut’ah Ketentuan hukum mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut ketentuan undang-undang, antara lain Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.72 Biaya penghidupan dan sesuatu kewajiban yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah nafkah iddah dan mut’ah, seperti yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149 huruf (a) dan (b) tentang akibat putusnya perkawinan karena talak, antara lain bekas suami wajib, (a) memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri
qabla al-dukhul. (b) Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.73 Kemudian pasal 158 huruf (a) dan (b) KHI yakni mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da al-dukhul dan perceraian atas kehendak suami. 74 Berdasarkan ketentuan di atas bahwa kewajiban memberi mut’ah yang layak oleh bekas suami kepada bekas isterinya adalah bersifat imperatif
72
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 41 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 huruf (a) dan (b) 74 Ibid, Pasal 158 huruf (a) dan (b) 73
86
dan melekat, baik berupa finansial (uang) maupun non finansial (berwujud benda), kecuali bilamana suami isteri ketika hidup berumah tangga, isteri sama sekali belum pernah digauli oleh suaminya (qabla al-dukhul). Demikian halnya kewajiban bekas suami untuk memberikan nafkah terhadap bekas isterinya selama dalam masa iddah, adalah merupakan kewajiban yang bersifat imperatif dan melekat, kecuali isteri dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Kewajiban yang bersifat imperatif dan melekat yang dimaksud disini adalah kewajiban yang tak terpisahkan dengan rangkaian peristiwa penjatuhan talak oleh suami atas isterinya, dapat dipahami bahwa timbulnya kewajiban membayar nafkah
iddah dan mut’ah adalah karena akibat terjadinya talak. Bilamana tidak ada talak maka kewajiban membayar nafkah iddah dan mut’ah pun tiada. Pada dasarnya pemberian nafkah itu diwajibkan sebagai penunjang kehidupan suami istri. Bila kehidupan suami istri berada dalam keadaan yang biasa, dimana suami maupun istri sama-sama melaksanakan kewajiban yang ditetapkan agama, maka tidak ada masalah. Namun bila salah satu pihak tidak
menjalankan
kewajibannya,
seperti
istri
tidak
menjalankan
kewajibannya sebagai istri (nusyuz), maka suami tidak wajib memberi nafkah, karena nafkah yang diterima istri itu merupakan suatu imbalan dari ketaatan yang diberikannya kepada suami selama masih dalam ikatan suami istri.
87
Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 228: ¦TÂoØÈS5Ú4¯ C®M×nQ WÃ s° Ä#Ø:°% CÈNPXT Artinya: Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.
Adapun kewajiban istri terhadap suaminya yaitu taat dan patuh kepada suami. Patuh kepada perintah suami selama perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, jika bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka istri tidak wajib untuk mematuhi perintah suaminya tersebut. Begitu juga dengan suami, Kewajiban seorang suami kepada istrinya yaitu memberikan tempat tinggal bagi istri sesuai dengan kemampuannya. Disamping itu suami juga berkewajiban memberi nafkah lahir dan nafkah batin, mendidik istri (keluarga) serta menyenangkan atau membahagiakan istri. Ulama sepakat bahwa istri yang meninggalkan suami tanpa izin itu merupakan perbuatan nusyuz. Akibat dari perbuatan yang dilakukan istri tersebut, maka ia tidak berhak atas nafkah iddah maupun mut’ah. Kasus yang saya angkat ini, tidak ada indikasi perbuatan istri yang melakukan nusyuz, memang di dalam putusan tersebut dipaparkan kalau si istri meninggal suami, akan tetapi itu disebabkan karena sering terjadinya perselisihan antara mereka (penggugat rekonvensi dan tergugat rekonvensi). Perselisihan itu dikarenakan cemburu yang akhirnya istri (penggugat
88
rekonvensi) pergi meninggalkan suami (tergugat rekonvensi) dan tinggal bersama orang tuanya sendiri (orang tua penggugat rekonvensi). Meninggalkan suami dengan pergi kerumah orang tuanya itu merupakan akibat dari sebuah pertengkaran antara keduanya. Istri meninggalkan suaminya bukan tanpa adanya alasan yang jelas, melainkan kepergiannya itu karena ada perselisihan dengan suami. Hal ini merupakan percekcokan murni, antara suami dan istri dalam sebuah hubungan atau dalam rumah tangga, jadi tidak termasuk dalam wilayah nusyuz. Menurut peneliti, karena kasus dalam putusan tersebut tidak ada tanda-tanda istri berbuat nusyuz sehingga hak istri harus dilindungi agar seorang wanita tidak merasa dirinya diinjak-injak haknya. Jadi suami tetap berkewajiban untuk membayar nafkah iddah dan mut’ah, karena itu merupakan hak istri. Selain itu juga dalam kasus ini si istri dari mulai hamil sampai melahirkan seorang anak tidak didampingi oleh suami. Mengenai putusan hakim yang memutuskan untuk menghukum suami (tergugat rekonvensi) untuk membayar nafkah iddah dan mut’ah kepada bekas istrinya meskipun tidak diminta. Dalam hal ini majelis hakim menghukum pihak suami (tergugat rekonvensi) membayar nafkah iddah kepada suami (penggugat rekonvensi) sebesar 700.000/bulan x 3 bulan = Rp. 2.100.000 dan membayar mut’ah sebesar Rp. 2.500.000, hal ini sejalan
89
dengan ketentuan yang ada dalam hukum islam, sebagaimana terkandung dalam firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 6: °0V TÊ CÅ D¯ XT C®M×nQ Wà SÁ ®Jj²È*° CÉFTvq²É" YXT ×1Å°iØCÄT C°K% 2È*
Sedangkan mengenai mut’ah, sebagaimana yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 241: §«ª¨ |Úܪ *À-Ù rQ"Wà i \O ¦TÃpØÊ\-Ù¯ ÌW)W% °0V V¼À-Ú °XT Artinya: kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah[153] menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.
Putusan perkara no. 1049/Pdt.G/2011/PA.Bjn, bahwasanya hakim tetap memberikan nafkah iddah dan mut’ah kepada istri (penggugat rekonvensi) padahal pihak istri tidak meminta atau menuntut nafkah tersebut, karena walaupun tanpa dituntut hak nafkah tersebut melekat dengan sendirinya karena hak tersebut sudah diatur dalam ketentuan hukum materil yakni pasal 41 ayat (c) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan pasal 149
90
ayat (a) dan (b) KHI. jadi, menurut hakim nafkah iddah dan mut’ah tersebut diminta atau tidak diminta pihak istri tetap harus diberikan, meskipun dalam hukum formilnya hakim tidak dizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat, karena penyelesaian perkara cerai talak diatur secara khusus (lex specialis) dalam beracara di Peradilan Agama, karena itu teknis pelaksanaan putusannya pun harus mengikuti aturan khusus yakni Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Mengenai untuk menentukan besarnya pemberian nafkah iddah dan
mut’ah, hakim melihat kondisi suami (tergugat rekonvensi) sebelum menentukan besarnya jumlah yang mau diberikan kepada pihak istri (penggugat rekonvensi). Hal ini untuk memberikan peluang kepada suami (tergugat rekonvensi) agar tidak terlalu berat dalam pembayaran nafkah
iddah dan mut’ah dan juga untuk mengukur kemampuan tergugat rekonvensi (suami). Dalam hal itu, hakim juga punya hak (ex officio) untuk menentukan jumlah nafkah iddah dan mut’ah istri selama tidak bertentangan dengan undang-undang.