TEORI INTERPRETASI HUKUM (Upaya Mencari Prinsip Keadilan dan Maksud Hukum) Mohammad Ma’mun Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Faqih Asy’ari Kediri
Abstract The court may not refuse to check and dig a case filed on the grounds that the law does not or less clear, but must examine and hear. This provision shows the function of the judge as an organ considered to understand the law and the court can give judgment fairest. If it does not find any written law, the judge must explore the unwritten law to formulate policy. This provision proved that assignment of judges as the law enforcement and justice not only judge based on existing laws. But more profound search for, and then find and also pour in the decision and in the values that live in the community. Legislation will never be able to complete the entire load with events happening in the community. Therein lies the urgent role of a judge to conform with laws and regulations applicable legal reality, in order to take a legal decision truly fair and in accordance with the objectives of the law. One that can be done by the judges in finding the law is using the interpretation of the law. Keywords: interpretation, the law Pendahuluan Agar terwujud kepatian hukum, maka harus ada kodifikasi hukum. Kodifikasi hukum ialah usaha untuk membukukan peraturan-peraturan tertulis yang masih berserak ke dalam satu buku secara sistematis. Tujuan utamanya ialah untuk meniadakan hukum berada di luar kitab undang-undang agar kepastian hukum dapat terwujud di tengah-tengah masyarakat.1
1
Seperti yang dikatakan E. Utrecht bahwa akibat dari kodifikasi ialah peraturan hukum menjadi tercantum secara resmi dalam suatu sitem tertentu. Setelah kodifikasi, perubahan isi hukum pastilah terjadi meskipun tidak terlalu banyak. Lihat E. Utrecht 1961: 171.
el-Faqih: Jurnal Pemikiran & Hukum Islam, Volume 1, Nomor 2, Desember 2015
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Hal ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah setelah ada kodifikasi tertutuplah kemungkinan timbulnya ketentuan hukum baru yang berada di luar kodifikasi?2 Meskipun kodifikasi telah mengatur dengan lengkap, akan tetapi kurang sempurna dan terdapat beberapa kekurangan karena undangundang senantiasa tertinggal dari perkembangan sosial.3 Karena kodifikasi kurang sempurna, maka tidak jarang hakim melakukan penemuan nilai-nlai hukum yang hidup dan diperjuangkan di kalangan masayarakat. Selain itu, hakim juga melakukan interpretasi (penafsiran) hukum ketika menemui suatu perkara, khususnya pada ketentuan undang-undang yang sudah tidak sesuai dengan nilai kekinian,4 dan ketentuan undang-undang yang memaknai istilah-istilah yang tidak jelas atau dapat menimbulkan perbedaan penafsiran.5 Dengan demikian akan terdapat keluwesan hukum (rechtslenigheid) sehingga hukum kodifikasi dapat menyatu dengan nilai sosial masyarakat dan dapat mengikuti arus perkembangan zaman. Pada akhirnya, ketika hakim memberi putusan seadil-adilnya haruslah mempertimbangkan adat kebiasaan, yurisprudensi, ilmu pengetahuan, dan penafsiran hukum.6 Tugas penting seorang hakim ialah menyesuaian undang-undang dengan kejadian kongkrit dalam masyarakat. Jika undang-undang tidak dapat diterapkan menurut bunyi teksnya, maka hakim harus menafsirkannya. Jika undang-undang tidak jelas, maka hakim harus menafsirkannya agar tercipta putusan hakim yang benar-benar sesuai dengan prinsip keadilan dan maksud hukum, yaitu mencapai kepastian hukum. Bisa dikatakan bahwa interpretasi hukum adalah kewajiban hakim.7 2
Nilai-nilai sosial setiap waktu berubah, perubahan ini dapat menggeser nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat sehingga kodifikasi yang dilakukan pada waktu tertentu, tidaklah dapat meliputi seluruh kehidupan sosial di kemudian hari. Akibatnya timbullah ketentuanketentuan hukum baru yang berada di luar sistem resmi yang menjadi tata hukum nasional. 3 Chainur Arrasid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 86. 4 Pada dasarnya hukum bersifat dinamis, oleh karena itu hakim sebagai penegak hukum memandang kodifikasi sebagai pedoman agar tercipta kepastian hukum, sedangjan dalam memberikan putusan hakim harus mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang tumbuh di masyarakat. 5 Ibid., 87. 6 Sudarsono. Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), 122. 7 Ibid.
52
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Definisi Interpretasi Hukum Interpretasi memiliki arti pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsiran.8 Menurut Soeroso, interpretasi atau penafsiran ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki dan yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. 9 Interpretasi memiliki beberapa sudut pandang, yaitu: 1. Dalam pengertian subyektif dan obyektif. a.
Pengertian subyektif, jika undang-undang tersebut ditafsirkan seperti yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang.
b.
Pengertian obyektif, jika penafsirannya tidak terikat oleh pendapat pembuat undang-undang dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari.
2. Dalam pengertian sempit dan luas a.
Pengertian sempit, jika dalil yang ditafsirkan diberi pengertian yang sangat dibatasi. Seperti definisi benda yang hanya dapat diihat dan diraba saja.
b.
Pengertian luas, jika dalil yang ditasfirkan diberi pengertian yang seluas-luasnya. Seperti kata barang pada pasal 362 KUH Perdata yang diartikan benda yang dapat dilihat dan diraba, sekarang juga termasuk listrik.
Sedangkan jika ditinjau dari sumbernya, interpretasi dapat dikategorikan menjadi: 1. Otentik, adalah penafsiran seperti yang diberikan oleh pembuat undangundang seperti yang dilampirkan dalam undang-undang sebagai penjelasan. Penafsiran otentik mengikat umum. 2. Doktrinair atau ilmiah, adalah penafsiran yang diperoleh dari buku-buku dan hasil karya pakar hukum yang lain. Hakim tidak terikat, karena penafsiran ini hanya bernilai teoritis.
8
Hasan Alwi, et.al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2000), 439. 9 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), 97.
53
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
3. Hakim, penafsiran yang bersumber dari hakim (peradilan) hanya mengikat pihak-pihak yang terkait dan berlaku pada kasus-kasus tertentu.10 Penerapan Metode Interpretasi Tidak ada sebuah ketentuan bagi hakim dalam menggunakan metode interpretasi. Oleh karenanya hakim bebas dalam memilih metode interpretasi tersebut. 1.
Metode Subsumptif Maksud dari metode subsumtif adalah suatu keadaan di mana hakim harus
menerapkan suatu teks undang-undang terhadap kasus inconcreto, dengan belum menggunakan penalaran yang lebih rumit, akan tetapi sekedar menerapan silogisme. Sebagai contoh ialah seorang hakim yang mengadili perkara pidana, di mana penuntun umum memdakwakan bahwa terdakawa melakukan pencurian. Pencurian diatur dalam pasal 362 KUHP.11 Pengertian barang, kriteria pemilikan, dan maksud melawan hukum semuanya tidak ada penjelasannya pada pasal 362 KUHP. Pengertian masing-masing unsur itu diketahui baik dari doktrin (ajaran para pakar hukum) maupun dari yurisprodensi (putusan pengadilan terdahulu yang masih diikuti oleh putusan hakim sesudahnya). Jika hakim masih sependapat dengan doktrin atau yurisprodensi yang telah ada, maka hakim hanya menerapakan dengan mencocokan unsur-unsur yang ada dalam pasal 362 KUHP, terhadap peristiwa kongkrit yang didakwakan pada terdakwa. Proses pencocokan unsur-unsur undang-undang terhadap peristiwa kongkrit itulah yang dinamakan metode subsumtif.12 2.
Interpretasi Tata Bahasa (Gramatikal) Bahasa merupakan sarana penting bagi hukum. Oleh karena itu, hukum
terikat pada bahasa. Penafsiran undang-uandang itu pada dasarnya selalu akan merupakan penjelasan dari segi bahasa. Titik tolak di sini adalah bahasa sehari10 11
Ibid., 98.
Dalam pasal 362 KUHP pasal 362, unsur-unsur pencurian ialah: 1. Mengambil suatu barang; 2. Barang itu sebagian atau seluruh milik orang lain; 3. Dengan maksud untuk memiliki; dan 4. Secara melawan hukum. 12 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), 128.
54
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
hari.13 Corak penafsiran ini mendasarkan pengertiannya pada bunyi ketentuan undang-undang dengan berpatokan pada arti kata-kata, kalimat dan bahasanya dalam hubungannya antara satu dengan lainnya yang dipergunakan dalam undang-undang. Pada penafsiran ini, yang dijadikan sebagai pedoman adalah arti perkataan, kalimat menurut tata bahasa atau kebiasaan semata, yaitu arti dalam penggunaan sehari-hari.14 Interpretasi gramatikal ini ada yang menamakannya dengan interpretasi obyektif.15 Pada
zaman
dahulu,
interpretasi
gramatikal
ini
memang
lebih
diprioritaskan dari pada jenis interpretasi yang lain, akan tetapi sekarang tidak lagi. Sekarang,
setiap jenis interpretasi memiliki kedudukan yang sama,
tergantug kasus dan kebutuhannya. Jadi. Urutan interpretasi mana yang harus diprioritaskan sifatnya kasuistis.16 Sebagai contoh ialah peraturan perundangan melarang orang memarkir kendaraannya pada suatu tempat. Peraturan tersebut tidak menjalaskan apakah yang dimaksud dengan istilah kendaraan. Orang-orang mengira, apakah yang dimaksud dengan kata kendaraan itu hanyalah kendaraan bermotor, seperti mobil atau termasuk juga becak, andong dan sejenisnya. Seringkali keterangan kamus bahasa dan ensiklopedia belum mencukupi untuk menjelaskannya. Hakim harus mencari kata yang bersangkutan dalam susunan kalimat-kalimat atau hubungannya dengan peraturan lain.17 3.
Interpretsi historis atau sejarah Penafsiran cara ini ialah dengan meneliti sejarah daripada undang-undang
yang bersangkutan. Tiap ketentuan undang-undang mempunyai sejarah dan dari sejarah undang-undang ini hakim dapat mengetahui maksud dari pembuatnya. Penafsiran sejarah jni ada dua macam, yaitu:
13
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1996), 151. 14 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), 123. 15 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, 152. 16 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, 129. 17 Sudarsono, Pengantar Ilmu, 123.
55
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
1) Fockema Andre, membagi penafsiran ini dalam dua bentuk: a.
Penafsiran asal-usul, yaitu asal-usul sampai timbulnya undangundang yang baru.
b.
Penafsiran menurut sejarah perbuatan suatu undang-undang
2) Van Bemmelen, membedakan pengertian ini dengan dua macam istilah: a.
Historische interpretatie untuk penafsiran asal-usul
b.
Penafsiran legislatifnuntuk wetshistorische interpretatie.18
Yang lazim, penafsiran sejarah dibagi menjadi: a.
Penafsiran
menurut
sejarah
pembuatan
undang-undang
(wetshistorische interpretatie) b.
Penafsiran
menurut
sejarah
hukum
(rechtshistorische
interpretatie)19 Metode dalam interpretasi historis ialah dengan mempelajari: a. Sejarah hukum, konteks, perkembangan yang telah lalu dari hukum tertentu, seperti KUHP, BW, hukum Rumawi dan sebagainya. b. Sejarah undang-undang, konteks, penjelasan-penjelasan dari pembentuk undang-undang
pada
pembentukan
undang-undang
yang
bersangkutan.20 4.
Interpretasi Sitematis (Dogmatis) Sebuah model penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi
pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undangundang yang lain.21 Sistem dan rumusan undang-undang yang harus dipelajari: 1)
Penalaran analogi dan penalaran a kontrario. Penggunaan a kontrarioyaitu memastikan sesuatu yang tidak disebut oleh pasal undang-undang
secara
kebalikan.
Sedangkan
analogi
berarti
pengluasan berlakunya kaidah undang-undang. 18
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, 100-101. Ibid., 101. 20 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 157. 21 Kansil dan Christine, Pengantar Ilmu Hukum, Jilid I, (Jakarta:Balai Pustaka, 2000), 39. 19
56
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
2)
Penafsiran eksentif dan restriktif (bentuk-bentuk yang lemah yang terdahulu secara logis tidak ada perbedan).
3)
Penghalusan hukum atau rechtsverfijning atau pengkhususan berlakunya undang-undang.22
Sebagai contoh dari penafsiran sistematis ialah peraturan Undang-undang perkawinan yang menganut asas monogami sebagaimana yang diatur dalam pasal 27 KUH Perdata yang berbunyi: Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja. Asas monogami yang terdapat dalam pasal 27 KUH Perdata tersebut menjadi dasar bagi beberapa pasal lainnya yaitu pasal-pasal 34, 60, 64, 86 KUH Perdata, dan 279 KUH Pidana.23 5.
Interpretasi sosiologis atau teteologis Hakim dalam interpretasi jenis ini menafsirkan undang-undang sesuai
dengan tujuan pembentuk undang-undang. Yang lebih diutamakan ialah tujuan undang-undang daripada bunyi teks undang-undang.24 Interpretasi teteologis ini terjadi jika makna undang-undang itu diterapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang sudah old to date digunakan sebagai sarana untuk menyelesaikn permasalahan yang terjadi pada masa sekarang. Metode ini akan dipakai jika kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara.25 6.
Interpretasi Komparatif Metode
interprasi
komparatif
atau
metode
penafsiran
dengan
membandingkan ialah penjelasan hukum beradasarkan perbandingan. Dengan perbandingan, hendak dicari kejelasan mengenai ketentuan sebuah undang-
22
Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 157. Chainur Arrasid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 90. 24 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1996), 60. 25 Ibid. 23
57
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
undang.26 Interpretasi ini membandingkan berbagai sistem hukum. Oleh karena itu, metode inerpretasi ini hanya digunakan dalam bidang hukum perjanjian internasional.27 7.
Interpretasi Futuristis Interpretasi ini menjelaskan undang-undang dengan mengacu pada undang-
undang yang belum mempunyai kekuatan hukum, seperti rancangan undangundang.28 Contohnya ialah putusan mengenai pencurian aliran listrik. Pada waktu HR pada tanggal 23 Mei 1921, memutuskan bahwa listrik termasuk barang yang dapat dicuri. 8.
Interpretasi Otentik Interpretasi otentik atau interpretasi resmi ialah penafsiran yang dilakukan
oleh yang membuat undang-undang atau instansi yang yang ditentukan oleh undang-undang dan tidak diperbolehkan selain pihak yang diberi wewenang.29 Penafsiran ini bersifat subyektif. Tujuan dari interpretasi otentik ini ialah untuk mencegah adanya penafsiran yang berbeda-beda dan tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Tuhuan yang lain ialah agar hukum berlaku untuk umum. Oleh karena itu interpretasi otentik hanya bisa dilakukan oleh pembuat undang-undang itu sendiri.
Menurut interpretasi ini, hakimpun tidak boleh,
karena pada dasarnya interpretasi yang dibuat oleh hakim hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara saja.30 Contohnya
ialah
penafsiran
otentik
pasal512-518
KUH
Perdata.
Dalampasal tersebut, pembuat undang-undang memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan ‘barang yang bergerak’. Barang barang rumah tangga,
26
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, 155. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, 136. 28 Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 256. 29 Mengenai instansi yang berhak mengadakan penafiran terhadap undang-undang seperti yang ditetapkan MPR no. II/MPR/1978 yang menyebutkan bahwa P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) tidak boleh di interpretasikan oleh Judikatif, eksekutif, ataupun legislatif, kecuali MPR. 30 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, 107. 27
58
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
perkakasa rumah, barang-barang yang berfungsi agar rumah dapat didiami orangdan sebuah rumah dengan segala sesuatu yang ada didalamnya.31 9.
Interpretasi Restriktif Interpretasi ini mempersempit pengertin dari suatu istilah. Seperti contoh
kata kerugian dalam undang-undang mengecualikan kerugian yang tidak berwujud, seperti cacat, sakit dan selainnya.32 10. Interpretasi Ekstensif Interpretasi Ekstensif merupakan metode penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkannya seperti ‚aliran listrik‛ termasuk kedalam kategori benda. Perluasan makna ini seperti pada pasal 362 KUH Pidana, yaitu: barang siapa mengambil barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memilki secara melawan hukum, diancam dengan pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.33 11. Interpretasi a Contrario Jenis interpretasi ini merupakan cara penafsiran undang-undang yang berdasarkan perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan permasalahan yang diatur dalal sebuah pasal undang-undang. Dengan bertitik tolak dari perlawanan pengingkaran (pengertian) itu dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa permasalahan yang dihadapi itu tidak termuat dalam pasal yang dimaksud atau dengan kata ain berada diluar pasal tersebut.34 Sebagai contoh ialah pasal 34 KUHS menetapkan bahwa seorang perempuan tidak diperbolehkan menikah lagi sebelum menunggu 300 hari setelah peernikahan yang sebelumnya putus. Muncullah pertanyaan, apakah laki-laki
31
Ibid., 108. Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, 255. 33 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, 136. 34 Kansil dan Christine, Pengantar Ilmu Hukum, Jilid I, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 39. 32
59
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
juga terkena peraturan itu?. Jawabannya ialah tidak. Karena pasal 34 KUHS tidak menyebutkan tentang lak-laki dan khusus ditunjukkan untuk perempuan.35 12. Interpretasi Nasional Interpretasi ini menilik sesui tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku. Seperti hak milik pasal 570 KUHS yang sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia.36 Penutup Terdapat banyak macam interpretasi hukum. Hakim bebas memilih mana saja metode interpretasi hukum diatas. Yang harus diperhatikan adalah bahwa hukum harus ditegakkan dan sesuai dengan tujuan dibentuknya sebuah hukum tersebut. Jangan sampai sebuah peristiwa tidak ada peraturan yang mengikatnya. Undang-undang tidak mungkin untuk dapat memuat seluruh peristiwa, diperlukan penemuan hukum oleh hakim jika tidak ada hukum yang mengatur. Disinilah peran urgent hakim dalam menemukan hukum. Hakim dapat menggunakan metode interpretasi dalam menemukan sebuah hukum. Keputusan hakim yang berdasarkan hukum yang ditemuinya sendiri tidak berlaku sebagai peraturan umum, melainkan hanya untuk yang bersangkutan. Berdasrkan kenyataan ini jelaslah bahwa hakim bukan pencipta undang-undang, akan tetapi hanya menyesuaikan dengan hal-hal yang kongkrit dalam masyarakat.
35
Yang dikehendaki dengan menunggu dalam pasal 34 KUHS ialah untuk mencegah adanya keragu-raguan mengenai kedudukan sang anak, yang masih ada kemungkinan bahwa perempuan tersebut sedang mengandung setelah perkawinannya diputuskan. Jika anak tersebut lahir sebelum 300 hari stelah pernikahan itu putus, maka anak tersebut merupakan anak dari suami terdahulu. Ditetapkannya 300 hari karena wakti itu dianggap sebagai waktu kandungan yang paling lama. Ibid., 40. 36 Kansil dan Christine, Pengantar Ilmu Hukum, 39.
60
Vol. 1, Nomor 2, Desember 2015
Daftar Pustaka Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2008. Alwi, Hasan at All. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2000. Arrasid, Chainur. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Kansil dan Christine. Pengantar Ilmu Hukum, Jilid I. Jakarta:Balai Pustaka, 2000. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum; Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1996. Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1996. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Sudarsono. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995.
61