Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam Kuat Ismanto IAIN Pekalongan, Jl. Kusumabangsa No. 9 Pekalongan, Jawa Tengah, Indonesia
[email protected] Abstrak Asuransi telah tumbuh dan kembang di belahan dunia, tidak hanya di Barat tetapi juga di Timur (negara-negara Muslim). Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang hukum asuransi menurut Islam. Asuransi syariah yang ada, sebagai solusi perdebatan tidak serta merta menarik masyarakat Muslim untuk menggunakannya. Secara keilmuan, asuransi dalam operasionalnya didasarkan pada prinsip-prinsip hukum asuransi sebagai ketentuan khusus, disamping harus memenuhi ketentuan perjanjian secara umum. Dengan pendekatan normatif dan filosofis hukum Islam, persoalan asuransi ini dibahas. Prinsip-prinsip hukum asuransi, sebagai dasar operasional asuransi tampaknya telah mampu mengeliminir hal-hal yang dilarang menurut syara‟. Dengan demikian, sesungguhnya asuransi telah sesuai dengan ajaran Islam. Hanya saja, hal-hal teknis seperti bunga, ketidakjelasan, judi bisa dihilangkan dalam tataran operasional. Kata Kunci: asuransi, prinsip hukum asuransi, hukum Islam, etika bisnis Islam ------------------------------------------------------------------------------------------------------------1. Pendahuluan Asuransi telah menjadi bagian penting dalam kegiatan ekonomi. Keberadaannya memiliki sejumlah manfaat bagi pihak yang memilikinya. Asuransi sebagai perjanjian memiliki keuinikan bila dibanding dengan perjanjian bisnis pada umumnya. Redja (1931: 62) menyatakan bahwa asuransi adalah dokumen perjanjian hukum yang merepresentasikan aturan-aturan umum hukum. Pada prakteknya seorang tertanggung mengikatkan diri pada penanggung dengan membayar sejumlah premi atas sebuah risiko yang dialami oleh tertanggung. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum asuransi menurut Islam. Perbedaan itu dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu pendapat haram, halal, syubhat (ragu-ragu), dan mubah. Kelompok pertama yang mengharamkannya, berpendapat bahwa asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa dan kerugian. Pendapat ini salah satunya dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, dengan alasan bahwa asuransi itu mengandung unsur judi, ketidakjelasan, serta riba. Kelompok kedua adalah kelompok ulama yang menghalalkan asuransi, dengan salah satu tokoh adalah Abdul Wahab Khalaf. Diantara alasan yang dikemukakan adalah bahwa tidak ada ayat alQur‟an maupun al-Hadits yang melarang praktik asuransi. Kelompok ketiga, menghalalkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial, yang dipelopori oleh Muhammad Abu Zahrah. Kelompok
1
www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
keempat adalah ulama yang berpendapat bahwa asuransi itu syubhat dengan alasan tidak ada dalil, baik al-Qur‟an maupun al-Hadits, yang tegas mengharamkan maupun menghalalkannya (Zuhdi, 1994). Dalam operasionalnya, disamping mematuhi syarat sah perjanjian, asuransi juga harus mematuhi prinsip-prinsip hukum asuransi, diantaranya principle of insurable interest, principle of indemnity, principle of utmost good faith, dan principle of subrogation (Redja, 1931: 62-74). Mehr & Cammack (1981: 36) menambahkan prinsip jaminan, representasi, penyembunyian, dan keagenan. Namun demikan empat prinsip tambahan tersebut pada dasarnya telah dicakup oleh principle of utmost goodfaith. Menurut Mehr & Cammack (1981: 41) bahwa pencantuman prinsip hukum asuransi diatas tampaknya eras dan kaku. Namun demikian, kegagalan menerapkannya dapat sangat tidak adil terhadap pihak lain yang telah bertindak dengan iktikad baik. Tujuan prinsip-prinsip tersebut memberi kerangka kerja dimana semua pihak dari suatu transaksi akan menerima perlakuan yang adil dan layak. Kajian tentang asuransi dalam perspektif hukum Islam pertama kali dilakukan oleh Ibnu Abidin (1994). Kajian selanjutnya dilakukan oleh Zarqa‟ (1962), Zahrah (1964), ash-Shalih, et.al (1407H) Abduh (tt), az-Zuhaili (1404H), alBanjari (1984), Hasan (tt), Muslehuddin (1967), Billah (2001), Yusof (1976), Mukhtar (1998), Billah (2007). Ali, et.al (2008), Jaffer (2007), Choudhury dan Hoque (2004), Archer et.al (2011), Afzalurrahman (1996), Muthahari (1995), Muslehuddin (1999), ash-Shiddiqie (1987). Kajian asuransi juga hangat di Indonesia dalam berbagai perspektif, diantaranya dilakukan oleh Dewi (2004), Suma (2006), Anshori (2008), Sula (2004), Ali (2008) Perwaatmaja et.al. (2005), Sumitro (1996), Iqbal (2006), Ali (2004). Ada dua poin utama dari kajian-kajian tentang asuransi diatas. Pertama, kajian tersebut dilakukan dengan pendekatan normatif hukum Islam. Normatifitas itu merujuk pada sumber hukum Islam yang diakui, al-Quran, al-Hadits, Ijma‟, dan juga Qiyas. Kedua, kajiannya langsung fokus pada asuransi secara global, padahal pada konsep asuransi itu mengandung prinsip-prinsip hukum, dimana berlaku secara khusus dan tidak berlaku pada perjanjian pada umumnya. Untuk itu, tulisan ini membahas prinsip-prinsip hukum asuransi dengan pendekatan filsafat hukum Islam, dan juga etika bisnis Islam. Pendeketan filsafat hukum akan menampakkan hukum Islam yang lebih luwes dan tidak kaku. Kajian ini diharapkan memberi wacana baru atas polemik hukum asuransi dalam Islam. Sehingga, tidak lagi terjadi kebingungan hukum di tengah masyarakat Muslim. Meskipun, asuransi syariah telah menjadi institusi bisnis baru yang telah dipraktekkan di masyarakat Muslim, kajian ini tidak kehilangan urgensinya. 2. Hukum Islam dalam Tantangan Bisnis Kontemporer Joseph Schacht (1971) menyebut bahwa hukum Islam adalah ikhtisar pemikiran Islam, manifestasi paling tipikal dari cara hidup Muslim, serta merupakan inti dari saripati Islam itu sendiri. Kedepan, Islam akan menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan juga kemajuan praktek bisnis modern. Praktek bisnis modern itu seperti bursa efek, reksadana, asuransi, perbankan, dan lain sebagainya. Persoalannyya adalah apakah Islam bersikap 2 www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
diam ataukah akan menyikapi persoalan tersebut. Untuk itu, diperlukan langkah ijtihad yang mampu menyikapi perkembangan dimaksud sehingga tidak menimbulkan kebingungan hukum bagi umat. Menurut Anwar (2002: 157), model penelitian hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bagian; pertama penelitian hukum deskriptif (wasfi), dan kedua penelitian hukum normatif (mi'yari). Guna menyikapi kemajuan itu, para pakar hukum Islam kontemporer telah mengembangkan metode/pendekatan kajian hukum Islam. Salah satu pendekatan yang dikembangkan adalah filsafat (philosophical approach), terutama filsafat hukum Islam (Fajar dan Yulianto, 2012: 190). Penelitian hukum normatif bertujuan menyelidiki norma-norma hukum Islam untuk menemukan kaidah tingkah laku yang terbaik. Dengan kata lain, penelitian normatif melakukan penyelidikan terhadap norma hukum Islam dalam dataran dunia das sollen. Di zaman lampau para ahli hukum Islam membuat penjenjangan norma-norma hukum itu dengan membaginya menjadi dua jenjang, yaitu asas-asas umum (al-ushul al-kulliyyah) dan peraturan hukum kongkrit, singkatnya biasa disebut al-ushul dan al-furu'. Di zaman modern, telah dikembangkan studi filsafat hukum Islam yang mengkaji nilai-nilai dasar hukum Islam. Penjenjangan norma-norma hukum Islam itu dibuat menjadi tiga lapis (jenjang), yaitu pertama norma-norma dasar atau nilai-nilai filosofis (al-qiyam alasasiyyah), norma-norma abstrak yang merupakan nilai-nilai dasar dalam hukum Islam seperti kemaslahatan, keadilan, kebebasan, persamaan, persaudaraan, akidah, dan ajaran pokok dalam etika Islam (akhlak). Kedua, norma-norma tengah, yang terletak antara dan sekaligus menjembatani nilai-nilai dasar dengan peraturan hukum kongkrit. Norma-norma tengah ini dalam ilmu hukum Islam merupakan doktrin-doktrin (asas-asas) umum hukum Islam, dan secara kongkritnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu an-nadzariyyah al-fiqhiyyah (asas-asas hukum Islam) dan al-qawaid al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah hukum Islam). Ketiga, peraturan-peraturan hukum kongkrit (al-ahkam al-far'iyyah) (Anwar, 2002: 159). Pada tulisan ini digunakan asas-asas hukum Islam digunakan untuk menganalisa asuransi khususnya prinsip-prinsip hukum asuransi. Diantara prinsip hukum Islam itu ialah ke-Esaan Tuhan (tauhid), keadilan (al‟adl), persamaan (al-musawah), kebebasan (al-hurriyah), menegakkan kebenaran mencegah kemungkaran („amal ma‟ruf nahiy mungkar) tolong-menolong (ta‟awun), toleransi (tasamuh), musyawarah (syura) (Ash-Shiddiqiy, 1975: 75). Selain itu, secara khusus dalam bisnis ditambah prinsip kebolehan (halal), kebenaran (shidiq), kejujuran, kerelaan (ridha), kemanfaatan (manfa‟ah), haramnya riba (riba), meniadakan ketidakpastian (ghurur). 3. Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam 3.1. Principle of Insurable Interest (Prinsip Kepentingan Asuransi) Rejda (1931: 65) memberi pengertian principle of insurable interest, sebagai the principle of insurable interest specifies that the insured must lose financially if a loss occurs, or must incur some other kind of harm if the loss takes places. Kerangka kerja dari principle of insurable interest adalah bahwa setiap pihak yang bermaksud
3
www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
mengadakan perjanjian asuransi, harus mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan. Pihak tertanggung mempunyai keterlibatan sedemikian rupa dengan akibat dari suatu peristiwa yang belum pasti terjadi dan yang bersangkutan menjadi menderita kerugian (Hartono, 1997: 100). Jika seseorang tidak menghadapi risiko, dan terjadinya peristiwa tidak menimbulkan kerugian, maka ia tidak memiliki kepentingan (Mehr & Cammack, 1981: 37). Kepentingan ini bisa ditandai dengan hubungan, misalnya hubungan kepemilikan. Pencantuman prinsip ini dalam asuransi dalam rangka, pertama, mencegah perjudian (to prevent gambling). Kedua, mengurangi moral hazard (to reduce moral hazard). Ketiga, mengukur total kerugian (to measure the loss) (Rejda (1931: 66). Pembahasan gambling dalam asuransi ini telah diperluas sedemikian rupa sehingga hal ini bukanlah hal yang baru lagi. Untuk membedakan asuransi dan gambling, para ekonom Barat dan para teoritisi asuransi telah secara tegas membuat principle of insurable interest untuk mencegah terjadinya gambling. Dalam Islam, segala bisnis harus didasarkan pada pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari bahaya (madharat), termasuk dalam bisnis asuransi. Dalam suatu kontrak, obyek dari apa yang diakadkan pada tiap akad yang diadakan haruslah mengandung manfaat bagi kedua pihak. Dalam pengertian manfaat disini dikaitkan dengan ketentuan benda yang nilai manfaatnya sesuai hukum Islam. Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan dalam pespektif asas manfaat ini, berarti seseorang yang ingin mengambil asuransi harus memiliki nilai kemanfaatan atas barang yang dijadikan obyek asuransi. Ia juga harus memiliki keterlibatan sedemikian rupa, sehingga apabila barang itu musnah ia tidak lagi bisa memiliki manfaat atas barang tersebut. Dengan kata lain, ia memiliki kemanfaatan atas keberlangsungan barang tersebut. Sebagai misal rumah yang diasuransikan, apabila terbakar maka ia tidak lagi bisa mengambil manfaat rumah sebagai tempat tinggal karena terbakar. Oleh karenanya, ia dianggap memiliki kemanfatan yang sepadan dengan kepentingan dalam berasuransi. Apabila ia mengikuti asuransi tanpa memperhatikan manfaatnya berarti telah melakukan hal yang sia-sia saja, dan kesiaan (mulghah) dilarang dalam Islam. Dalam perspektif hukum, insurable interest berarti bahwa seseorang terhadap kontrak asuransi, dimana peserta maupun pemegang polis harus memiliki hubungan khusus terhadap subject-matter asuransi, apakah itu berkaitan dengan kehidupan, kekayaan, atau kemampuan dimana hal itu akan ditunjuk. Ketiadaan persyaratan hubungan ini akan menyebabkan tidak sahnya kontrak (illegal contract) (Birds, 1993: 33). Perjanjian yang telah dibuat menjadi akad yang batal. Di dalam transaksi jual beli yang didasarkan pada prinsip syariah, bagi seseorang yang tidak memiliki barang/obyek transaksi dilarang untuk melakukan transaksi. Pelarangannya untuk mengeliminir perbuatan jual beli gharar. Disamping itu, juga menghindari bai‟ al-ma‟dum (jual beli barang yang obyeknya tidak ada). Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW, ”janganlah menjual sesuatu yang tidak engkau miliki”. Dari uraian diatas nampak bahwa tujuan dari pencantuman prinsip ini adalah untuk menunjukkan motif atas penjualan asuransi, dan juga terhadap 4 www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
penyerahan kewajiban kepada ahli waris dalam polis asuransi jiwa. Sebagai contoh, seorang buruh mengambil polis asuransi jiwa, dan menunjuk nama istri dan anaknya sebagai ahli waris. Perusahaan asuransi harus mengetahui hal tersebut, dalam hal kematian yang tidak diharapkan orang yang diasuransikan, dan keluarga akan menderita kerugian ekonomi. Dari hal ini maka dapat dikatakan bahwa istri dan anaknya tersebut memiliki kepentingan terhadap pendapatan ekonomi suaminya. Jika suaminya tidak lagi bekerja karena meninggal, maka istri dan anaknya tetap memiliki pendapatan ekonomi dari perusahaan asuransi. Prinsip ini bertujuan untuk menghindari praktek perjudian dan pertaruhan dan mengurangi moral hazard (Redja, 1931: 31). Dengan demikian, esensi dari keberadaan principle of insurable interest adalah mencegah adanya unsur judi. Dalam Islam, judi termasuk perbuatan yang najis dan termasuk perbuatan syaitan oleh karena itu termasuk praktek yang dilarang dalam Islam. Semua bentuk perjudian atau taruhan itu dilarang dan dianggap sebagai perbuatan dzalim dan sangat dibenci. Judi dapat berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah atau tanpa kerja keras untuk mendapat keuntungan (Qardlawi, tt: 295). Lebih jauh, keberadaan prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan ditempatkan sebagai prinsip yang akan mencegah seseorang yang akan ikut asuransi dengan motif berjudi. Hal ini didasarkan pada kaidah ushul yang mengatakan “mencegah mafsadah dan menarik kemaslahatan” (as-Suyuti, tt: 54). Prinsip ini berfungsi sebagai pencegah (preventif) tertanggung untuk berbuat melanggar hukum. Dalam hal perjanjian asuransi ini, maka perjanjian itu dianggap sebagai jalb al-masalih, namun jika diketahui bahwa dengan adanya perjanjian tersebut ada hal-hal yang bersifat destruktif, maka prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan ini ditempatkan sebagai dar' al-mafasid. Mencegah perjanjian asuransi dari unsur yang dilarang adalah harus dilakukan jika memang motif dan tujuannya (kecuali tujuan syar'i), maka perjanjian tersebut dianggap sah dan tidak perlu dicegah. Apabila sudah terpenuhi syarat dan rukunnya, maka perjanjian diatas sudah sah dan perlu mempertimbangkan motif dibalik adanya perjanjian tersebut. Hal ini didasarkan pada kaidah ushul ad-dharar yuzal yang diambil dari hadits la dharar wa la dhirar. Adanya prinsip ini sebagai usaha pencegahan kemadharatan. Dalam Islam, usaha semacam ini disebut dengan sadz adz-dzari'ah, yaitu mencegah sesorang untuk terjatuh pada perbuatan yang haram. Menurut Qaradlawi (tt: 10) bahwa jalan yang menuju pada terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan. Niat yang baik tidak membuat yang haram bisa diterima, dan yang haram terlarang bagi siapa pun. Atas dasar ini jika peserta yang mengambil asuransi dalam rangka berjudi, maka usahanya untuk mengambil asuransi adalah hal yang terlarang. Termasuk juga adanya unsur kecurangan, penipuan, ketidakadilan, dan juga judi yang ada dalam asuransi. Adanya prinsip ini adalah sebagai pencegah adanya unsur yang dilarang syara‟. Jika dirunut kembali pada rukun perjanjian, maka salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah adanya tujuan akad (maudhu‟ al-„aqd) (Anwar, 2007). Rukun ini mengajarkan agar setiap orang yang melakukan perjanjian memiliki tujuan 5 www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
yang baik. Tujuan orang berasuransi tentu untuk melindungi kepentingan ekonomi terhadap obyek yang diasuransikan. Berkaitan dengan prinsip ini pula, bahwa dalam muamalah Islam hendaknya perdagangan itu dilakukan dengan didasarkan pada tiga dimensi yaitu niat, kemampuan, dan perhitungan. Demikian juga dalam hal niat seseorang mengambil asuransi. Dalam konteks ini, az-Zarqa' (1984: 45-46) berpendapat bahwa asuransi konvensional sekalipun, berbeda sama sekali dengan judi. Perbedaan itu terletak pada asuransi memberikan rasa aman dalam diri seseorang yang sedang menghadapi kemungkinan kerugian. Hal ini telah dilihat khusus berkenaan dengan judi telah ditepis oleh adanya principle of risk. Asuransi termasuk nilai tambah aktivitas ekonomi (value added activity) yang sama sekali berbeda dengan judi yang bersifat tidak adanya nilai tambah (zero-value added) (Salim, 1993: 7-8). Adanya principle of insurable interest berfungsi untuk mencegah praktek perjudian dalam asuransi. Dengan pernyataan ini, maka prinsip insurable interest tidak bertentangan dengan hukum Islam. Bagi Afzalurrahman (1996: 114-15), asuransi tanpa adanya kepentingan hanya akan merupakan taruhan dan yang demikian itu, tidak dapat diperlakukan secara hukum yang benar. 3.2. Principle of Utmost Good Faith (Prinsip Kejujuran Sempurna) Menurut Rejda (1931: 69-79) principle of utmost goodfaith adalah a higher degree of honesty is imposed on both parties to an insurance contract than is imposed on parties to other contracts. Dengan kata lain bahwa tertanggung wajib menginformasikan kepada penanggung mengenai suatu fakta dan hal pokok yang diketahuinya, serta hal-hal yang berkaitan dengan risiko terhadap pertanggungan yang dilakukan. Tertanggung adalah satu-satunya orang yang mengetahui faktafakta risiko tersebut. Dengan demikian, tertanggung bertanggung jawab atas ketelitian mutlak keterangan tersebut. Logika dari prinsip ini adalah jika tetanggung memberikan keterangan-keterangan yang salah tentang suatau “fakta”, maka penanggung dapat bebas dari kontrak itu (Afzalurrahman, 1996: 3839). Menurut Purba (1995: 48), iktikad baik itu tidak hanya ada pada pihak tertanggung, tetapi juga harus ada di pihak penanggung, karena yang lebih mengetahui luas jaminan dan hak-hak tertanggung adalah penanggung. Oleh karena itu, ketika asuransi ditutup, penanggung harus menjelaskan luas jaminan dan hak-hak tertanggung. Jadi, memberikan keterangan/informasi itu kewajiban bagi kedua belah pihak, supaya adil dan seimbang. Bagi Islam, hal terpenting dalam bisnis adalah adalah kejujuran yang dapat dipertanggungkan. Dalam konsep perjanjian syariah, kejujuran dianggap sebagai hal pokok terwujudnya rasa saling rela. Kerelaan (an taradzin) merupakan hal yang paling esensi dalam perjanjian dalam Islam. Keabsahan dan kesempurnaan keberadaan perijinan terwujud manakala didasarkan kepada kehendak murni, atau dengan kata lain, tidak cacat (gebrekkig) sehingga perijinan (persetujuan para pihak) tidak sempurna, maka, meskipun telah lahir secara sah, perjanjian yang dibuat para pihak dapat dibatalkan (vernietigbar) (Anwar, 1999: 94). Dalam hal demikian, maka perjanjian asuransi telah memenuhi asas konsensualisme (ar-ridha‟iyyah). Selain itu juga, harus ada sikap kerelaan atau sikap suka sama suka. Sikap ini didasarkan pada surat an-Nisa‟ ayat 4 yang 6 www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta diantaramu secara batil, kecuali dengan jalan perniagaan suka sama suka”. Selanjutnya, prinsip utmost good faith dibahas dalam kerangka cacat kehendak dalam hukum perjanjian dalam Islam. Dalam istilah hukum Barat, cacat kehendak disebut dengan wilsgebreken dan dalam perjanjian Islam disebut dengan „uyub al-iradah (hal-hal yang mencederai kehendak) atau „uyub ar-rida (hal-hal yang mencederai kerelaan). „Uyub al-iradah dan „uyub ar-rida adalah hal-hal yang menyertai pelaksanaan akad yang dapat menimbulkan rusaknya kehendak atau menghilangkan kerelaan. Sebagai salah satu bentuk cacat kehendak ini adalah tadlis atau taghrir (az-Zuhailiy, IV: 366-384). Tadlis (menyembunyikan cacat) atau taghrir (manipulasi) adalah suatu kebohongan atau penipuan oleh pihak yang berakad dengan cara meyakinkan pihak lawan janji dengan keterangan yang berbeda dengan kenyataan sesungguhnya (Anwar, 1999: 98-101). Oleh karenanya, apabila seseorang yang melakukan perjanjian asuransi tidak memberikan keterangan sebagaimana mestinya berarti ia telah melakukan tadlis dan tagrir. Dalam kaitan kejujuran, perusahaan asuransi, termasuk agen penjual polis, kebenaran dan keakuratan informasi yang ia miliki terhadap peserta adalah satu hal yang wajib. Informasi yang harus diberikan perusahaan kepada peserta tidak hanya berkaitan dengan kualitas jasa, klausul-klausul, macam-macam risiko yang ditangani, tetapi juga efek-efek yang akan diterima peserta, serta hal lain yang sangat terkait. Hal yang sangat berisiko bagi perusahaan adalah melakukan penyembunyian informasi, yang dalam hukum Islam disebut dengan taghrir. Taghrir dalam konteks ini berarti usaha membawa dan menggiring seseorang dengan cara yang tidak benar untuk menerima suatu hal yang tidak memberi keuntungan disertai dengan rayuan bahwa hal itu menguntungkannya, sedangkan sekiranya ia mengetahui hakikat ajakan tersebut, maka ia tidak akan mau menerimanya (Ahmad, 1985: 78). Tindakan ghurur ada yang bersifat perkataan (tagrir al-qaul) dan perbuatan (taghrir al-fi'il). Taghrir al-fi'il adalah suatu penipuan melalui perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak untuk pihak lain dan mendorongnya untuk menutup perjanjian dengan ketiadaan keseimbangan, meskipun ketiadaan keseimbangan itu kecil. Contoh perbuatan ghurur adalah memberi cat suatu benda untuk menyembunyikan cacat atau jenisnya. Disamping itu, hukum Islam mengenal tagrir al-qaul atau penipuan dengan semata bohong tanpa perbuatan tipu muslihat. Dari contoh perkataan ghurur adalah ucapan bohong yang membuat seseorang melakukan sesuatu, seperti promosi atau iklan bohong yang menyatakan keunggulan suatu produk. Segala bentuk perbuatan ghurur yang mengakibatkan kerugian pada seseorang mengahruskan pelaku tersebut mengganti kerugian yang terjadi, dan akan dibahas dalam prinsip indemnity berkaitan dengan teori ganti rugi dalam Islam. Lebih jauh Nabi mengatakan bahwa “bukanlah termasuk umatku, orang yang melakukan penipuan”. Siapa saja yang memperoleh harta dengan cara menipu, baik dengan acara tadlis maupun tagrir, maka dia tidak bisa memiliki harta tersebut. Sebab cara semacam ini tidak termasuk cara-cara pemilikan dalam Islam, melainkan cara-cara yang dilarang. Nabi bersabda tidak masuk surga daging 7 www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
tubuh dari hasil harta haram. Sebab, nerakalah yang lebih layak baginya. Dari semua hadits yang diuraikan diatas, semuanya menunjukkan adanya kebencian akan adanya kebohongan, kecurangan, maupun penipuan dalam hal perjanjian. Dalam perjanjian syariah, apabila didalamnya ada unsur tadlis dan taghrir, maka perjanjian itu disebut dengan perjanjian yang fasid. Akad fasid adalah akad yang pada prinsipnya tidak bertentangan dengan syara‟, namun terdapat sifatsifat tertentu yang dilarang syara‟ yang dapat menyebabkan cacat kehendak („uyub al-iradah) maupun cacat kerelaan („uyub ar-rida), seperti adanya unsur tipuan atau paksaan (Zuhailiy: 234-249). Lebih jauh, perjanjian semacam itu menyebabkan hak (pilih) khiyar bagi para pihak. Khiyar adalah hak yang dimiliki para pihak („aqidain) untuk memilih antara meneruskan akad atau membatalkannya (Zuhailiy: 250). Prinsip utmost good faith dalam asuransi bertujuan mencegah terjadinya penipuan diantara para pihak. Prinsip ini dapat diterima oleh hukum Islam dengan sedikit arahan bahwa kejujuran tidak hanya ditujukan pada peserta sebagai tertanggung saja, akan tetapi juga harus diwujudkan oleh pihak penanggung. 3.3. Principle of Indemnity (Prinsip Ganti Rugi) Menurut George E. Rejda (1931: 63), memberi definisi principle of indemnity sebagai berikut, “a contract of indemnity specifies that the insured should not collect more than the actual cash value of the loss.” Menurut Zarqa‟ (2000: 194), bahwa esensi dari kontrak asuransi adalah indemnitas, yaitu pembayaran kerugian yang dilakukakan oleh perusahaan asuransi. Penanggung akan memberikan ganti rugi apabila tertanggung benar-benar menderita kerugian (Purba, 1995: 46). Tujuan dari pencamtuman prinsip ini ada dua, yaitu menghindarkan tertanggung untuk mendapatkan penggantian yang lebih dan mengeliminir moral hazard (Rejda, 1931: 63). Dalam prinsip ini dinyatakan bahwa pertanggungan bertujuan memberikan penggantian atas kerugian dan bahwa penggantian itu tidak boleh melebihi kerugian riil tertanggung. Asas indemnitas adalah satu asas utama dalam perjanjian asuransi, karena indemnitas merupakan asas yang mendasari mekanisme kerja dan memberi arah tujuan dari perjanjian asuransi. Namun demikian, asas ini hanya khusus ada pada asuransi kerugian, bukan pada asuransi jiwa. Perjanjian asuransi memiliki tujuan utama dan spesifik, yaitu untuk memberikan suatu ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh pihak penanggung (Hartono, 1997: 98). Pencantuman prinsip ini untuk menghindari pertaruhan dan perjudian. Sedangkan batas tertinggi kewajiban penanggung adalah mengembalikan tertanggung kepada posisi ekonomi yang sama dengan posisi sebelum terjadinya kerugian, seandainya terjadi kerugian. Perjanjian asuransi yang memungkinkan tertanggung mendapat untung atas terjadinya peristiwa yang diasuransikan itu, berarti melanggar prinsip indemnitas dan dapat merugikan perusahaan asuransi. Salah satu rukun akad dalam Islam adalah tujuan akad (maudhu‟ al-„aqd). Maksudnya adalah tujuan akad atau maksud pokok mengadakan akad atau dalam istilah hukum perikatan disebut “prestasi”. Tujuan ini sesuai dengan jenis akadnya, seperti tujuan dalam jual beli adalah menyerahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan ganti/bayaran (iwadh), dalam hibah ialah menyerahkan 8 www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
barang kepada penerima hibah tanpa ganti (iwadh), dan pada akad sewa ialah memberikan manfaat dengan ganti rugi (iwadh). Begitu juga halnya dalam akad asuransi ialah mendapatkan ganti rugi apabila peserta mengalami kerugian. Hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam hal rusaknya kontrak asuransi, berkaitan dengan prinsip indemnitas, adalah perbuatan memperkaya diri secara tidak benar. Oleh karenanya, kontrak asuransi tidak bisa dianggap sah menurut hukum Islam, jika tidak terlepas dari sebab-sebab ini. Kaum modernis berpendapat bahwa kontrak asuransi sebenarnya adalah kontrak ganti rugi yang menyediakan jaminan atas „kerugian asli‟ dari peserta asuransi tanpa ada usaha pengkayaan diri secara tidak benar pada salah satu pihak. Sebab, hal demikian melanggar asas keadilan dalam bertransaksi. Keadilan dalam Islam memiliki tempat yang sangat penting. Kata adil dalam al-Qur‟an termasuk kata yang paling banyak disebut. Adil adalah salah satu sifat Tuhan dan al-Qur‟an menekankan agar manusia menjadikannya sebagai ideal moral. Pada pelaksanaannya, asas ini menuntut para pihak yang berkontrak untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya. Ada dua hal penting yang perlu dipahami dari prinsip indemnitas ini berkaitan dengan hukum Islam, pertama, bahwa adanya penggantian kerugian oleh penanggung kepada tertanggung tidak boleh menjadi diuntungkan. Apabila dengan beasuransi seseorang menjadi diuntugkan, maka praktek itu akan membawa seseorang dengan motif judi atau taruhan. Kedua, batas tertinggi ganti rugi tersebut tidak melebihi kerugian riil tertanggung dalam asuransi kerugian, dan ganti rugi yang sesuai kesepakatan dalam asuransi jiwa. Menurut az-Zarqa‟, bahwa adanya unsur gharar menimbulkan al-qimar. Sedangkan al-qimar sama dengan al-maisir, gambling, dan perjudian. Lebih jauh, Hasan (tt.: 117) menyatakan bahwa akad judi adalah akad gharar, karena masingmasing pihak yang berjudi dan bertaruh mengharapkan keuntungan yang pasti. Lebih dari itu, dapat dijelaskan bahwa dengan adanya judi, salah satu pihak diuntungkan sedangkan pihak lain dirugikan. Dari sini, nampak bahwa keberadaan prinsip indemnitas dalam asuransi sebagai penghalang adanya motif orang melakukan judi dalam berasuransi itu benar adanya. Sementara, judi itu sendiri adalah praktek yang dilarang oleh Islam. Oleh karenanya, prinsip indemnitas dalam kerangka ini dapat diterima menurut hukum Islam. Berkaitan dengan asas indemnitas ini, bahwa kebanyakan kontrak asuransi kerugian dan kontrak asuransi jiwa/kesehatan merupakan kontrak indemnity dan kontrak "penggantian kerugian". Perusahaan asuransi menggunakan dua bentuk perjanjian dalam menetapkan jumlah kerugian pada saat jatuh tempo, yaitu kontrak nilai (valued contract) dan kontrak indemnity (contract of indemnity) (Merton, 1995: 4-5). Pada kontrak indemnity bahwa dalam asuransi kerugian pembayaran ganti rugi itu diberikan setelah dihitung oleh perusahaan asuransi. Dalam hal ini kerugian dihitung secara riil berapa jumlah kerugiannya, dan sebesar itu pula lah ganti rugi dibayar. Adanya pembayaran klaim yang lebih besar dari jumlah kerugian riil dapat dikatakan sebagai riba, jika definisi riba merujuk pada pendapat Razi (1872: 531). 9 www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
Menurutnya, riba sebagai pengamapabilan harta orang lain tanpa imbangan apapun. Hal terpenting dalam prinsip indemnitas dalam kerangka perjanjian dalam Islam, baik yang berupa kontrak indemnitas maupun kontrak nilai adalah adanya unsur kerelaan (ar-ridla) dan keadilan (al-„adl). Dalam hukum Islam, pengembangan ekonomi termasuk di dalamnya perjanjian asuransi adalah dikelola dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat dan dijalankan tidak betentangan dengan syara‟ (Manan, 1995: 303). Maksud unsur keadilan dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi (Choudury, 1986). Keadilan dalam hal ini berarti sebagai penempatan hak dan kewajiban antara tertanggung dan penanggung. Pada posisi sebagai tertanggung wajib membayar premi, dan memiliki hak klaim apabila peristiwa kerugian terjadi. Sebaliknya, sebagai pihak penanggung berkewajiban mengelola dana secara amanah (trustworthy/al-amanah) dan juga berkewajiban membayar klaim (dana santunan) kepada tertanggung. Hal ini senada dengan fungsi lembaga keuangan (Kasmir, 200: 5). Kerelaan (ar-rida) dalam berasuransi adalah tertanggung seharusnya memiliki motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana sebagai premi untuk diberikan ke penanggung, dan juga memiliki niat membantu tertanggung lain yang terkena musibah. Unsur membantu pihak lain, dalam Islam disebut tolong menolong (ta‟awun) yang didasarkan surat al-Maidah ayat 3. Menurut Basyir (1996: 17) asuransi syariah berdasar prinsip saling bertanggung jawab dan kerjasama, serta perlindungan dalam kegiatan-kegiatan sosial menuju tercapainya kesejahteraan umat dan persatuan (Basyir, 1996: 17). Baik dalam asuransi kerugian maupun asuransi jiwa, seseorang bebas menentukan perjanjian apa pun, bebas menentukan akibat hukumnya. Hal ini adalah hal yang sah dalam Islam, sebab akad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara‟ yang menimbulkan akibat terhadap obyeknya (Zuhaily, 1989: 81; Zarqa‟, tt: 291). 3.4. Priciple of Subrogation (Prinsip Subrograsi) George E. Rejda (1931: 68) menjelaskan principle of subrogation sebagai subrogation means substitution of the insurer in place of the insured for the purpose of claiming indemnity from a third person for the loss covered by insurance. Penanggung membayar kerugian terhadap suatu barang yang dipertanggungkan, berarti telah menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya. Akan tetapi, sebab pembayaran tersebut dilakukan atas sebab adanya pihak ketiga. Namun demikian, tertanggung tersebut bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung pada pihak ketiga itu (Mehr & Cammack, 1981: 38). Prinsip subrogasi ini melengkapi prinsip indemnitas. Prinsip subrogasi memberi hak pada penanggung yang telah membayarkan ganti rugi, yaitu segala hak tertanggung terhadap pihak ketiga. Hal itu dilakukan berkenaan dengan terjadinya kerugian itu. Jika rumah seseorang terbakar karena kelalaian tetangga yang membakar sampah di pekarangannya, maka pemilik rumah itu tidak bisa menagih keduanya, yaitu perusahaan asuransi dan juga tetangga penyebab kebakaran itu. Perusahaan asuransi akan membayar kerugian tersebut, tetapi kemudian memperoleh hak tertanggung untuk menagih tetangga tersebut. Hak 10 www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
subrogasi ini menempatkan beban pada yang bertanggung jawab memikulnya dan mencegah tertanggung mendapatkan keuntungan dengan menagih dua kali untuk kerugian yang sama (Mehr & Cammack, 1981: 38). Dalam hal pertama, adanya perpindahan hak dan tanggung jawab keuangan dari peserta kepada perusahaan, dalam praktek mu‟amalah (bisnis) Islam dapat dipadankan dengan praktek hiwalah. Sedangkan hal yang kedua, sebagai pencegah diuntungkannya peserta dalam berasuransi dengan cara menagih dua kali ke perusahaan dan juga pihak ketiga. Dengan hal yang kedua ini berarti prinsip ini mencegah adanya unsur mengambil harta sesama dengan cara batil atau melakukan usaha untuk memperkaya diri dengan mengikuti asuransi dengan cara tidak sah, dimana praktek semacam ini, dalam mu‟amalah Islam dilarang. Dari paparan makna operasional prinsip subrogasi ini, dari hal pertama, adanya perpindahan hak dan tanggung jawab, maka dalam Islam dapat dirujuk pada praktek hiwalah. Dimana dalam hal ini terjadi perpindahan tanggung jawab pembayaran ganti rugi yang dianggap sebagai hutang dari pihak ketiga (penyebab musnahmya obyek asuransi) kepada pihak perusahaan asuransi. Namun demikian, bahwa pihak tertanggung tidak diperbolehkan dengan sertamerta melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu pihak perusahaan asuransi yang telah menggantikan segala haknya kepada pihak ketiga. Dalam kejadian ini, segala hak yang dimiliki oleh tertanggung atas pihak ketiga telah beralih ke pihak penanggung. Hiwalah ini didasarkan pada Hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh jama‟ah dengan bunyi: “Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedzaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah” (HR. Bukhari). Hadits diatas, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang menghutang, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang kaya/mampu, hendaklah ia menerima hiwalah itu dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihiwalahkan (muhal alaih), dengan demikian haknya dapat terpenuhi (Zuhaliy, 1989: 418). Dari sini, nampak bahwa hal yang esensi dari praktek hiwalah ini adalah adanya perpindahan hak dan tanggung jawab. Hal ini nampak menyerupai arti prinsip subrogasi. Hal yang terjadi dengan prinsip subrogasi dalam asuransi adalah berpindahnya hak tertanggung untuk meminta ganti rugi kepada pihak ketiga kepada pihak penanggung. Apabila perpindahan hak dalam prinsip subrogasi ini berupak hak untuk menuntut hutang, maka dalam Islam disebut dengan hiwalah al-haq (Zuhaliy, 1989: 418). Hiwalah jenis ini secara istilah berarti perpindahan hak untuk menuntut hutang. Berkaitan dengan akibat hukum, maka dapat dikatakan bahwa adanya akad hiwalah ini menyebabkan lahirnya hak bagi pihak untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga. Begitu juga dalam hal subrogasi, yang mana perusahaan asuransi melakukan penagihan ganti rugi kepada pihak ketiga. Atas dasar uraian ini, maka prinsip subrogasi dalam hal perpindahan hak dari 11 www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
tertanggung kepada penanggung dalam ilmu asuransi adalah hal yang hampir sama dengan praktek hiwalah. Oleh karenanya, prinsip subrogasi dalam asuransi adalah hal yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam uraian ini, prinsip subrogasi dibahas dalam kerangka tertanggung tidak boleh memperkaya diri secara tidak sah dalam mengikuti asuransi. Pengkayaan diri ini berupa menagih dua kali, baik kepada perusahaan maupun kepada pihak ketiga sebagai penyebab musnahnya obyek asuransi. Praktek semacam ini dalam asuransi betentangan dengan prinsip subrogasi. Pada umumnya, seseorang yang menyebabkan suatu kerugian bertanggung jawab atas kerusakan/kerugian itu. Namun, penagihan ganti rugi peserta kepada pihak ketiga dianggap tidak sah, sebab hak peserta untuk meminta ganti rugi telah berpindah kepada perusahaan asuransi. Dari sini, nampak bahwa dengan adanya prinsip subrogasi dalam asuransi tertanggung tidak bisa memperkaya diri dengan jalan yang tidak sah. Abd al-Qadir 'Audah (tt: 432-434), mengatakan bahwa keadaan tersalah dalam suatu kejahatan adalah seperti kejahatan disengaja, tetapi sebab tanggung jawab hukum (legal liability)nya berbeda, yaitu sebab tanggung jawab disengaja adalah kehendak dari diri sendiri untuk melakukan perbuatan mungkar, sedangkan sebab tanggung jawab orang yang tersalah -tidak sengaja- adalah karena kecerobohan dan tidak hati-hati. Kemaslahatan umum menuntut adanya tanggung jawab atas kesalahan tidak disengaja, karena hal itu akan membuat orang lain berhati-hati dalam memakai haknya.Termasuk dalam praktek prinsip subrogasi ini, dimana pihak ketiga sebagai penyebab terjadinya bahaya tetap dituntut membayar ganti rugi, yang mungkin atas kecerobohannya. Apabila perbuatan bahaya atau tindakan merugikan orang lain itu berkaitan dengan perusakan harta, maka untuk ganti ruginya tidak berlaku hukum diyat, tetapi harus dengan ganti harta pula. Meskipun, berdasar pada model pembayaran ganti rugi, praktek subrogasi tidak menyerupai dalam prinsip-prinsip pembayaran ganti rugi yang ada dalam Islam, maka tidak dapat dikatakan begitu saja bahwa itu bertentangan dengan hukum Islam. Karena, dalam asuransi itu lebih nampak sebagai hubungan keuangan, maka dalam prinsip subrogasi ini ganti rugi dibayar dengan menggunakan uang. Praktek ini sudah menjadi kebiasaan di masyarakat, dan telah dipahami oleh para pihak. Oleh karenanya, ia dianggap sah menurut hukum Islam berdasar pada adat kebiasaan (‟urf). 4. Pembahasan Selain mematuhi syarat sah perjanjian, asuransi juga harus mematuhi prinsip-prinsip hukum asuransi, seperti principle of insurable interest, principle of indemnityprinciple of utmost good faith, dan principle of subrogation. Menurut Mehr & Cammack (1981: 41) bahwa pengabaian prinsip hukum asuransi akan berdampak pada ketidakadilan bagi pihak yang telah bertindak dengan iktikad baik. Kedudukan prinsip-prinsip hukum tersebut semakin memperkuat keabsahan asuransi. Dalam perjanjian syariah, jika sebuah akad tidak memenuhi syarat keabsahan akad, maka disebut dengan akad fasid (Anwar, 2009). Lebih lanjut, sebuah akan dianggap sah jika memenuhi lima macam syarat, tidak ada 12 www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
paksaan (ikrah), tidak menimbulkan kerugian (dharar), tidak mengandung riba, dan tidak mengandung syarat fasid (Sanhuri, tt: 137). Perbedaan pendapat ulama tentang hukum asuransi menurut Islam lebih didasarkan pada urusan teknis, bukan persoalan filosofis yang mendasari diselenggarakannya asuransi. Misalnya asuransi mengandung unsur riba (maysir), itu disebabkan karena dana premi yang terkumpul dikelola dengan prinsip bunga. Atau, pendapat yang mengatakan bahwa asuransi mengandung ketidakpastian (gharar). Dengan principle of insurable interest mencegah seseorang untuk memperkaya diri serta menghindari judi. Principle of indemnity mencegah seseorang menjadi lebih kaya setelah terjadinya musibah sehingga mencegah seseorang untuk berjudi. Principle of utmost good faith menuntut seseorang untuk jujur sehingga tidak merugikan orang lain, dan dengan principle of subrogation seseorang untuk mendapatkan kekayaan dengan cara yang tidak benar. Prinsipprinsip hukum asuransi ini pula bisnis asuransi lebih beretika, terutama etika bisnis Islam. Sebab, bisnis menurut Islam tidak hanya sekedar sah tetapi juga harus etis. 5. Simpulan Asuransi adalah institusi baru dan bermanfaat bagi umat Islam. Pada perjanjian asuransi, memiliki keunikan tersendiri bila dibanding dengan perjanjian pada umumnya. Keunikan itu terletak pada prinsip hukum asuransi yang harus dianut. Islam sebagai agama yang terbuka akan kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam urusan ekonomi dan bisnis. Islam menerima secara terbuka terhadap aktifitas manusia yang baru, tidak terkecuali asuransi. Hal demikian, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Keberadaan prinsip-prinsip hukum asuransi dimaksud dapat mengeliminir hal-hal yang dilarang oleh hukum Islam, seperti judi, pengkayaan diri dengan cara tidak benar. Oleh karena itu, secara konseptual asuransi tidak bertentangan dengan hukum Islam. Simpulan ini semakin memperkuat argumen tentang kebolehan umat Islam memanfaatkan asuransi. Referensi Abduh, Isa. (tt.). At-Ta'min Baina al-Hilli wa at-Tahri. ttp: Maktabah al-Iqtishad alIslamiyyah. Afzalurrahman. (1996). Doktrin Ekoomi Islam, alih bahasa Suroyo dan M. Nastangin cet. 1. Jilid III. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf. Ahmad, Sulaiman Muhammad. (1985). Dhaman al-Mutlafat fi al-Fiqih al-Islamiy. Kairo: Maktabah al-Majallad al-'Arabi. Al-Banjari, Muhammad Syauqi. 1984. Al-Islam wa at-Ta'min. Akadz: Riyadz Saudi Arabiyyah. Ali, AM. Hasan. (2004). Asuransi dalam Prspektif Hukum Islam; Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Prenada Media.
13
www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
Ali, Engku Rabiah Adawiah Engku, Hassan Scott P. Odierno, and Azman Ismail. (2008). Essential Guide to Takaful: (Islamic Insurance) (CERT Pubs. Sdn. Bhd. Ali, Zainuddin, (2008). Hukum Asuransi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika. Al-Qaradlawi, Yusuf. (tt). al-Halal wa al-Haram fi al-Islam. Indianapolis, USA: American Trust Publications. Anshori, Abdul Ghofur. (2008). Asuransi Syariah di Indonesia: Regulasi dan Operasionalisasinya di dalam Kerangka Hukum Positif di Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Anwar, Syamsul. (1999). “Hukum Perjanjian dalam Islam: Kajian Cacat Kehendak (Wilsgebreken)", dalam Jurnal Penelitian Agama, No. 21 th. VIII Januari-April 1999. Anwar, Syamsul. (2002). "Metode Pengembangan Penelitian Hukum Islam, dalam Ainurrofiq (ed), Madzhab Jogja. Yogyakarta: Ar-Ruzz Press. Anwar, Syamsul. (2007). Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Ar-Razi, Fakhruddin Muhammad. (1872). Tafsir al-Kabr. Bulaq: t.np. Ash-Shalih, Muhammad bin Ahmad, Latif Abdul Mahmud al-Mahmud dan Yunus Rafiq al-Misri. 1407H. at-Takaful al-Ijtima`i Fii Asy-Syari`ah alIslamiyyah wa Dauruhu fii Himaayah al-Maal al `Aam wal Khaash, (Arab Saudi: Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa`ud, 1407 H). Ash-Shalih, Muhammad bin Ahmad, Latif Abdul Mahmud al-Mahmud dan Yunus Rafiq al-Misri. al-Khathar wat-Ta`min, cet I, (Damaskus: Darul Qalam, 2002). Ash-Shalih, Muhammad bin Ahmad, Latif Abdul Mahmud al-Mahmud dan Yunus Rafiq al-Misri. at-Ta`min al-Ijtima`i fi Dhanu`i asy-Syari`ah al-Islamiyah, (Beirut: Darun Nafais, 1994). Ash-Shiddiqie, M. Nejatullah. (1987). Asuransi di dalam Islam, alih bahasa Ta‟lim Musafir. Bandung: Penerbit Pustaka. Ash-Shidiqiy. (1975). Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. As-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman. (tt). al-Asybah wa an-Nadzair. Beirut: Dar alFikr. 'Audah, Abd al-Qadir. (tt.). al-Tasyri' al-Islam. Kairo: Dar al-Turast. az-Zarqa', M. Anas. (2000). Conference Paper "Outline of comments on Dr. Mohammed Daud Bakar paper on "The Problem of Risk and Insurable Interest in Takaful: Jurisprudental analysis". Disampaikan pada Fourth International Conference on Islamic Economics and Banking Loughborough University, United Kingdom August 13-15 2000; Islamic Finance and Opportunities in the Twenty-First.
14
www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
Az-Zarqa', Mustahafa Ahmad. (tt). al-Madkhal al-fikih al-„Am. Jilid II. Beirut: Dar alFikr. Az-Zuhaili, Wahbah. 1409. al-Fiqh al-Islam wa 'Adilatuhu. Beirut: Dar al-Fikr. Basyir, Ahzar. (1996). “Takaful sebagai Alternatif Asuransi Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur‟an, No. 2, VII/1996. Billah, Ma'shum. (2001). Principles and Practices of Takaful and Insurance Compared. Kuala Lumpur: IIUM Press. Billah, Mohd Maʼsum. (2007). Applied Takaful and Modern Insurance: Law and Practice. Sweet & Maxwell Asia. Birds, John. (1993). Modern Insurance Law. t.tp: Sweet & Maxwell. Choudhury, Masudul Alam and Mohammad Ziaul Hoque. (2004). An Advanced Exposition of Islamic Economics and Finance, vol. 25 (Edwin Mellen Pr). Dewi, Gemala. (2004) Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana. Fajar ND, Mukti. dan Yulianto Achmad. (2012). Dualisme Penelitian Hukum: Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hartono, Sri Redjeki. 2001. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta: Sinar Grafika. Hasan, Husin Hamid. (tt). Hukm as-Syari‟ah al-Islamiyyah fi „Uqud at-Ta‟min. Kairo: Dar al-I‟tisam. Hasan, Husin Hamid. (tt). Hukm asy-Syariah al-Islamiyyah fi al-Uqud at-Ta'min. Arab Saudi: Dar al-I'tisham. Iqbal, Muhaimin. (2006). Asuransi Umum Syariah Panduan Praktik. Jakarta: Gema Insani Press. Jaffer, Sohail. (2007). Islamic Insurance: Trends, Opportunities and the Future of Takaful. Linnius. Kasmir. (2000). Lembaga Keuangan Non Bank. Jakarta: Raja Grafindo. Manan, M. Abd. (1995). Ekonomi Islam; Teori dan Praktek. alih bahasa M. Nastangin. Jakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf. Mehr & Cammack. (1981). Dasar-dasar Asuransi. Penyadur A. Hasyimi. Jakarta: Balai Aksara. Merton, Gene R. (1995). Dasar-dasar Asuransi Jiwa dan Asuransi Kesehatan. Jakarta: Yayasa Dharma Putera. Muhammad Muslehuddin, Muhammad. (1999). Menggugat Asuransi Modern. Penerjemah Burhan Wirasubrata. Jakarta: Penerbit Lentera. Mukhtar, Latif. (1998). Asuransi Takaful Sebagai Alternatif Islami untuk Peningkatan Kesejahteraan Sosial: Dalam Gerakan Kembali Ke Islam. Bandung: Rosda.
15
www.kuatismanto.com
Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam
Muslehuddin, Mohammad. (1967). Insurance in Islam, London: Islamic Research Academy. Mustafa Ahmad Zarqa. 1962. Aqd at-Ta`min wa Mauqifus Syariah al-Islamiyah Minhu, (Damaskus, tnp). Muthahari, Murtadha. (1995). Pandangan Islam terhadap Asuransi dan Riba (terjemah oleh Irwan Kurniawan). Bandung: Pustaka Hidayah. Perwaatmaja, Karnaen dan Wirdyaningsih, Gemala Dewi, and Yeni Salma Barlinti. (2005). Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. Redja, George E. (1931). Principles of Insurance. Illionis: Foresman and Company. Salim, Abbas. (1993). Dasar-Dasar Asuransi. Edisi revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Sanhuri, Abd ar-Razak as. (tt). Nadzariyyah al-„Aqud. Beirut: Dar al-Fikr. Schacht, Joseph. (1971). An Introduction to Islamic Law. Oxford: Oxford University Press. Simon Archer, Rifaat Ahmed Abdel Karim, and Volker Nienhaus (2011) Takaful Islamic Insurance: Concepts and Regulatory Issues, vol. 764 (John Wiley & Sons, 2011), http://books.google.com/books?hl= (5 Desember 2014). Sula, Muhammad Syakir. (2004). Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional. Jakarta: Gema Insani Press. Suma, Muhammad Amin. (2006). Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional: Sistem, Konsep, Aplikasi, dan Pemasaran. Jakarta: Kholam Pub. Sumitro, Warkum. (1996). Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMUI dan Takaful di Indonesia). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Yusof, Fadzli. (1976). Takaful: Sistem Insurans Islam, Malaysia: Tinggi Press. SDN BHD. Zahrah, Abu. 1964. at-Takaful al-Ijtima`i Fil Islam, (Kairo: Darul Qaumiyyah lil Tiba`ah wal Nasyr). Zarqa', Musthafa Ahmad. (1984). Nizam at-Ta'min; Haqiqatuhu wa ar-Ra'y asy-Syar‟i Fihi. Beirut: Muassasah ar-Risalah. Zuhdi, Masjfuk. 1994. Masail Fiqhiyah. Cet. 7. Jakarta: CV. Haji Masagung. Abidin, Ibnu. 1994. Raad al-Mukhtar. Juz 1. Beirut: Daar al-Kitabb al-Ilmiah.
16
www.kuatismanto.com