ASURANSI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Ahmad Ajib Ridlwan Universitas Negeri Surabaya E-mail :
[email protected]
Abstract Insurance is an attempt to anticipate addressing life in a world full of uncertainties and full of risks. Therefore, to address the human life is required to plan for the future in a comprehensive manner. Islam has reminded man so as to plan and prepare to face tomorrow. Insurance has become a vital necessity for humans including Muslims, therefore it is very important to know the decisions about the system and mechanism of implementation of syariah insurance are in line with Islamic values. Given the development of the insurance practice, there is also still a new innovation that can not be separated from maysir, gharar, and usury. Keywords: Insurance, tabaduli, takafuli
Abstrak Asuransi merupakan upaya antisipasi mengatasi kehidupan di dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan penuh resiko. Oleh sebab itu untuk mengatasi permasalahan hidup tersebut manusia dituntut untuk merencanakan masa depan secara komprehensif. Islam telah mengingatkan manusia agar merencanakan dan mempersiapkan diri dalam menghadapi hari esok. Asuransi telah menjadi kebutuhan penting bagi manusia termasuk umat muslim, karenanya sangat penting untuk mengetahui keputusan para ulama mengenai sistem dan mekanisme pelaksanaan asuransi syariah yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Mengingat perkembangan praktik asuransi juga masih terdapat inovasi baru yang tidak bisa lepas dari maysir, gharar, dan Riba. Kata Kunci: Asuransi, tabaduli, takafuli Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
76 Ahmad Ajib Ridlwan
Pendahuluan Kehidupan di dunia penuh dengan ketidakpastian dan resiko, mulai dari resiko sakit, kecelakaan, bahkan berujung pada kematian karena resiko seperti kematian tidak bisa dihindari oleh sebab itu untuk mengatasi permasalahan hidup tersebut manusia dituntut untuk merencanakan masa depan secara komprehensif. Salah satu cara untuk dapat menikmati masa depan yang lebih baik dan berkecukupan dari sisi materi diperlukan tabungan yang mampu meminimalkan resiko tersebut yang pada umumnya disebut dengan tabungan asuransi.1 Al-Qur`an merupakan pedoman hidup yang universal dan komprehensif bagi setiap umat manusia. Karena sifatnya yang universal tersebut al-Qur`an tidak menyatakan secara langsung tentang pengertian asuransi dan bentuknya, namun Dalam alQur`an secara eksplisit terdapat ayat yang menyatakan pentingnya perencanaan dalam pekerjaan dan masa depan. Dalam surat alHasyr Allah berirman : “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang engkau kerjakan”. (QS. 59:18).2 Dalam Islam tidak terdapat aturan yang jelas dan tegas yang mengatur praktik tentang asuransi, oleh karenanya perlu diadakan penggalian hukum oleh ulama’ (Ijtihad) agar sistem asuransi tersebut tidak melanggar norma agama mengingat tujuan asuransi adalah memberikan kemudahan serta kemaslahatan ummat. Salah satu upaya untuk mewujudkan adalah dengan menciptakan produk asuransi yang dijalankan dengan prinsip Islam. Fokus pembahasan dalam paper ini adalah penjelasan tentang beberapa hal yang terkait dengan hukum asuransi dalam Islam dan berbagai pendapat ulama iqh tentang hukum asuransi serta akan dibahas tentang bentuk asuransi yang sesuai dengan prinsip Islam 1 Amrizal Hamsa, “Asuransi Dalam Perspektif Islam” dalam At-Tasyri’, Vol. 01, No. 2. Juni-September 2009, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng, Meulaboh Aceh barat, h. 115. 2 Alquran dan Terjemahan, Departemen Agama RI.
ADZKIYA MARET 2016
Asuransi Perspektif Hukum Islam
77
Pembahasan Asuransi Konvensional Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie. Dalam hukum Belanda sering dipakai kata ini dengan kata verzekering yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “pertanggungan”. Dari kata assurantie ini muncul istilah assuradeur bagi penanggung, dan geassureerde bagi tertanggung, atau dengan istilah lain disebut penjamin dan terjamin. Dari istilah verzekering itu juga timbullah istilah verzekeraar bagi penanggung dan verzekerde bagi tertanggung.3 Sedangkan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian bahwa asuransi (pertanggungan) adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberi pergantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Sedangkan ruang lingkup usaha asuransi yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyrakat melalui pengumpulan premi asuransi, memberi perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang.4 Pihak penanggung atau penjamin adalah perusahaan asuransi, sedangkan tertanggung atau yang dijamin adalah peserta asuransi. Jadi dalam suatu asuransi, terdapat perjanjian antara kedua belah pihak dimana pihak yang dijamin diwajibkan membayar uang premi dalam jumlah tertentu dalam suatu masa Wirjono Projodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1979), h. 1. 4 Dewan Asuransi Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 2 tahun 1992 dan peraturan pelaksanaan tentang usaha perasuransian, Edisi 2003, DAI, h. 2-3. 3
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
78 Ahmad Ajib Ridlwan
tertentu pula, kemudian pihak yang menjamin akan mengganti kerugian jika terjadi sesuatu pada diri si penjamin. Sementara itu Abdul Mannan seorang ahli ekonomi Islam mengatakan, hakikat asuransi terletak pada dihilangkannya resiko kerugian yang tak tentu bagi gabungan sejumlah orang yang menghadapi persoalan serupa dan membayar premi kepada suatu perusahaan. Dana ini cukup untuk mengganti semua kerugian yang disebabkan oleh semua anggota.5 Berdasarkan pengertian di atas suatu perjanjian asuransi minimal terdapat tiga unsur. Pertama, pihak yang sanggup menanggung atau menjamin bahwa pihak lain akan menadapat pergantian dari satu kerugian yang mungkin akan diderita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi. Kedua, pihak yang ditanggung diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang ditanggung, Ketiga, apabila peristiwa yang dimaksud telah terjadi. Sejarah Asuransi Istilah asuransi mulanya dikenal di Eropa Barat pada abad pertengahan berupa asuransi kebakaran. Kemudian, pada abad ke-13 dan ke-14 terjadi peningkatan lalu lintas perhubungan laut antar pulau sehingga berkembang pula asuransi pengangkutan laut yang berasal dari Romawi. Jenis asuransi ini merupakan jenis asuransi kapitalis. Asuransi ini dibentuk untuk mendapatkan laba dan didasarkan atas perhitungan niaga. Asuransi jiwa baru dikenal pada awal abad ke-19. Asal-usul asuransi syariah berbeda dengan kemunculan asuransi konvensional seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Praktik bernuansa asuransi tumbuh dari budaya suku Arab pada zaman Nabi Muhammad saw yang disebut aqilah. Al-Aqilah mengandung pengertian saling memikul dan bertanggung jawab bagi keluarga. Dalam kasus terbunuhnya seorang anggota keluarga, ahli waris korban akan mendapatkan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh angota keluarga terdekat dari si pembunuh yang 5
Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993), h. 301. ADZKIYA MARET 2016
Asuransi Perspektif Hukum Islam
79
disebut aqilah. Aqilah mengumpulkan dana secara bergotong royong untuk membantu keluarga yang terlibat dalam perkara pembunuhan yang tidak sengaja itu. Asuransi Perspektif Islam : Pro Kontra Ulama Fiqh Indonesia merupakan masyarakat muslim mayoritas, oleh sebab itu perlu adalah sebuah alternatif sistem asuransi sesuai dengan syariat Islam mengingat banyak kalangan yang berpendapat bahwa asuransi tidak Islami karena mendahului takdir Allah yang dalam istilah jawa disebutkan ndisik’i kerso. Sebagaimana telah dijelaskan dalam pendahuluan diatas bahwa asuransi tidak dijelaskan dengan jelas dan tegas dalam nash Al-Qur`an maka masalah asuransi ini dipandang sebagai masalah ijtihadi yaitu perbedaan dikalangan ulama’ yang sulit dihindari dan perpedaan tersebut harus dihargai sebagai bentuk rahmat. Adapun pandangan para ulama’ iqh terhadap hukum asuransi sebagai berikut: Ulama’ yang melarang praktik asuransi diantaranya Sayyid Sabiq, ‘Abd Allâh al-Qalqi (mufti Yordania), Yusuf Qaradhâwi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i (mufti Mesir). Beliau mengatakan bahwa Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa. Pendapat Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah: 1). Asuransi sama dengan judi; 2). Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti; 3). Asuransi mengandung unsur riba/renten; 4). Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi; 5). Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktik-praktik riba; 6). Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai. 7). Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah. Sedangkan para ulama’ yang memperbolehkan praktik asuransi dengan alasan bahwa: Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
80 Ahmad Ajib Ridlwan
1). Tidak ada nas (Al-Qur`an dan Sunnah) yang melarang asuransi; 2). Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak; 3). Saling menguntungkan kedua belah pihak; 4). Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan; 5). Asuransi termasuk akad mudhârbah (bagi hasil); 6). Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’âwuniyah); 7). Asuransi dianalogikan (qiyas) dengan sistem pensiun seperti taspen.6 Adapun ulama’ yang memperbolehkan adanya praktik asuransi diantaranya Abd. Wahab Khallaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syariah Universitas Syria), Muhammad Yûsuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan ‘Abd Rahman ‘Isa (pengarang kitab al-Muamalah al-Haditsah wa Ahkâmuha). Sedangkan menurut Zuhdi pandangan ulama tentang hukum asuransi terbagi menjadi empat bagian. Pertama, kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi termasuk segala macam bentuk dan operasionalnya hukumnya haram. Kedua, kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan dalam Islam. Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat diperbolehkan adalah asuransi yang bersifat sosial sedangkan asuransi yang bersifat komersial dilarang dalam Islam dan keempat, kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya termasuk syubhat, karena tidak ada dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan atau menghalalkan asuransi.7 Perkembangan Asuransi Syariah di Indonesia Sistem yang diterapkan pada perusahaan asuransi pada umumnya tidak sesuai dengan kaidah hukum Islam, oleh sebab itu dalam rangka memenuhi kebutuhan dan untuk kemaslahatan 6 7
Zarqa, Musthafa Ahmad, al-Ta’mim i al-Islam, h. 209.
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1996), h. 134.
ADZKIYA MARET 2016
Asuransi Perspektif Hukum Islam
81
ummat ditemukan alternatif sistem tersendiri yang lazim disebut dengan takaful yang dijalankan sesuai dengan prinsip syariah. Landasan dasar yang digunakan dalam takaful adalah konsep tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Lain halnya dengan praktik asuransi konvensional yang menggunakan prinsip jual beli. Sementara bagi umat Islam sendiri secara umum masih terdapat keraguan tentang kedudukan hukum asuransi, karena dikawatirkan mengandung unsur-unsur ketidak pastian (gharar), gambling (maisir), riba dan komersial. Oleh sebab itu perlu diciptakan produk alternatif yang bebas dari unsureunsur tersebut. Keberadaan usaha asuransi syariah tidak lepas dari keberadaan usaha asuransi konvensional yang telah ada sejak lama. Sebelum terwujud usaha erasuransian syariah sudah terdapat berbagai macam perusahaan asuransi konvensional yang telah lama berkembang. Atas dasar keyakinan umat Islam dunia dan manfaat yang diperoleh melalui konsep asuransi syariah, maka lahirlah berbagai perusahaan asuransi yang menjalankan usaha perasuransian berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan ini bukan saja dimiliki orang Islam, namun juga berbagai perusahaan miliki non muslim. Selain itu juga terdapat perusahaan induk dengan konsep konvensional ikut memberikan layanan asuransi syariah dengan membuka kantor cabag atau unit usaha syariah (UUS). Pada 27 Juli 1993 ICMI melalui yayasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BNI) dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri, sepakat memprakarsai pendirian Asuransi Takaful, dengan menyusun Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI). Pada 25 Agustus 1994 dibentuklah Asuransi Takaful Keluarga yang beroperasi di bawah anak perusahaan PT. Syarikat Takaful Indonesia. Berdirinya PT. Syarikat Takaful Indonesia sebagai Holding Company disusul dengan adanya dua anak perusahaannya yaitu PT. Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa) dan PT.. Asuransi Takaful Umum (Asuransi Kerugian). Pembentukan kedua perusahaan asuransi tersebut untuk mengikuti ketentuan UU No 2 Th 1992 tantang Usaha Perasuransian yang mengharuskan perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
82 Ahmad Ajib Ridlwan
asuransi kerugian didirikan secara terpisah. Tugas Holding Company ini selanjutnya adalah mengembangkan keuangan syari’ah lainnya, seperti Leasing, Modal Ventura, Pegadaian dan sebagainya. Dalam hal ini fungsi utama PT. Asuransi Takaful adalah sebagai Investment Company.8 Kontradiksi Asuransi Konvensional dengan Asuransi Syariah Sebagaimana sudah dibahas bahwa dalam Asuransi Islam terdapat prinsip-prinsip yang dijadikan landasan operasionalnya. Prinsip-prinsip itulah yang antara lain membedakan praktik asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Jika melihat prinsip dan sistem operasional asuransi Islam, akan mengantar seseorang kepada pemahaman bahwa jasa perasuransian Islam tidak bekerja semata-mata dari sudut kepentingannya yang bersifat materi. Menurut Syakir Sula, kehadiran asuransi Islam ini membawa misi pemberdayaan umat (ekonomi dan sumber daya manusia) serta pencerahan cultural. Adapun perbedaan asuransi Islam dan asuransi konvensional adalah sebagai berikut 9 1). Dari segi konsep. Dalam konsep konvensional, asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung. Sedangkan dalam konsep Islam, asuransi adalah sekumpulan orang-orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara masingmasing mengeluarkan dana tabarru’. 2). Dari asal-usul. Asuransi Konvensional berasal dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Pada tahun 1668 M di Coffe House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikalbakal asuransi konvensional. Adapun Asuransi Islam berasal dari al aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum 8 Redaksi Ulumul Qur’an, “Syarikat Takaful sebagai suatu Alternatif”. Dalam Jurnal Kebudayaandan Peradaban Ulumul Quran, No. 2/VII/1996, h. 36.
9
Syakir Sula, Asuransi Syariah, h. 326-328.
ADZKIYA MARET 2016
Asuransi Perspektif Hukum Islam
83
Islam datang. Kemudian disahkan oleh Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah dituangkan dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung oleh Rasulullah; 3). Dilihat dari sumber hukumnya. Asuransi konvensional bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Asuransi konvensional berdasarkan pada hukum positif, hukum alam, dan contoh-contoh yang ada sebelumnya. Sedangkan asuransi Islam bersumber dari wahyu Allah, Sunnah Nabi Muhammad saw., Ijma’, qiyas, istihsan, ‘urf, dan maslahah mursalah. 4). Asuransi konvensional tidak selaras dengan syariah Islam karena adanya maisir, gharar, dan riba yang diharamkan dalam mu’amalah. Sedangkan asuransi Islam bersih dari adanya maisir, gharar, dan rib.10 5). Dalam asuransi konvensional tidak ada Dewan Pengawas Syariah, karena prinsip-prinsipnya tidak berdasarkan syariah Islam sehingga dalam praktiknya banyak bertentangan dengan kaidah-kaidah syara’. 6). Asuransi konvensional menggunakan akad jualbeli, sedangkan asuransi Islam menggunakan akad tabarru’, tijarah, mudlarabah, wakalah, wadiah, syirkah, dan sebagainya. 7). Dari segi jaminan/risk, asuransi konvensional menggunakan transfer of risk, di mana terjadi transfer risiko dari tertanggung kepada penanggung, sedangkan asuransi Islam menggunakan sharing of risk, di mana terjadi proses saling menanggung antara satu peserta dengan peserta lainnya; 8. Dari segi pengelolaan, dalam asuransi konvensional tidak ada pemisahan dana, yang berakibat pada terjadinya dana hangus (untuk produk saving-life). Sedangkan dalam asuransi Islam, pada produk-produk saving (life) terjadi pemisahan dana, yaitu dana tabarru’, derma dan dana peserta, sehingga tidak mengenal istilah dana hangus. Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, Upaya menghilangkan Gharar, Maisir, dan Riba, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 151. 10
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
84 Ahmad Ajib Ridlwan
Untuk term insurance (life) dan general insurance semuanya bersifat tabarru’.11 9. Dalam asuransi konvensional bebas melakukan investasi dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan, dan tidak terbatasi pada halal dan haramnya obyek atau sistem investasi yang digunakan. Sedangkan dalam asuransi Islam, investasi dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Di samping itu, dalam melakukan investasi, asuransi bebas dari riba dan tempat-tempat investasi yang terlarang; 10. Dalam asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan. Perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan ke mana saja. Sedangkan dalam asuransi Islam, dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi, merupakan milik peserta, asuransi syariah hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dana tersebut; 11. Dalam asuransi konvensional, unsur premi terdiri dari tabel mortalita (mortality tables), bunga (interest), biayabiaya asuransi (cost of insurance). Dalam asuransi Islam, iuran atau kontribusi terdiri dari unsur tabarru’ dan tabungan (yang tidak mengandung unsur riba). Tabarru’ juga dihitung dari tabel mortalita, tetapi tanpa perhitungan bunga teknik; 12. Loading pada asuransi konvensional cukup besar terutama diperuntukkan bagi komisi agen, bisa menyerap premi tahun pertama dan kedua. Karena itu, nilai tunai pada tahun pertama dan kedua biasanya belum ada (masih hangus), sedangkan pada sebagian asuransi Islam, loading (komisi agen) tidak dibebankan pada peserta tetapi dari dana pemegang saham. Akan tetapi, sebagian yang lainnya mengambilkan dari sekitar 20-30 persen saja dari premi tahun pertama. Dengan demikian, nilai tunai tahun pertama sudah terbentuk; 11
Amin Suma, Asuransi Syariah & Asuransi Konvensional: Teori, Sistem, Aplikasi, & Pemasaran, (Tangerang: Kholam Publishing, 2006), h. 63. ADZKIYA MARET 2016
Asuransi Perspektif Hukum Islam
85
13. Pada asuransi konvensional, sumber biaya klaim adalah dari rekening perusahaan, sebagai konsekuensi penanggung terhadap tertanggung. Dari praktiknya tampak benar bahwa asuransi konvensional merupakan bisnis murni dan tidak ada nuansa spiritualnya; Sedangkan pada asuransi Islam, sumber pembiayaan klaim diperoleh dari rekening tabarru’, di mana peserta saling menanggung. Jika salah satu peserta mendapat musibah, peserta lainnya ikut menanggung bersama risiko tersebut; 14. Sistem akuntansi yang dianut asuransi konvensional adalah konsep akuntansi accrual basis, yaitu proses akuntasi yang mengakui terjadinya peristiwa atau keadaan nonkas. Di samping asuransi konvensional juga mengakui pendapatan, peningkatan aset, expenses, leabilities dalam jumlah tertentu yang baru akan diterima dalam waktu yang akan datang. Adapun asuransi Islam menganut konsep akuntansi cash basis, mengakui apa yang benar-benar telah ada, sedangkan accrual basis dianggap bertentangan dengan syariah karena mengakui adanya pendapatan, harta, beban atau utang yang akan terjadi di masa yang akan datang. Sementara apakah itu benar-benar dapat terjadi hanya Allah yang tahu; 15. Pada asuransi konvensional, keuntungan yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi seluruhnya adalah keuntungan perusahaan. Sedangkan pada asuransi Islam, proit yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi dan hasil investasi, bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan, tetapi dilakukan bagi hasil dengan peserta; 16. Secara garis besar misi utama asuransi konvensional adalah misi ekonomi dan sosial. Adapun misi yang diemban oleh asuransi Islam adalah misi akidah, misi ibadah (ta’awun), misi ekonomi, dan misi pemberdayaan umat. Simpulan Sebagian ulama syariah menyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem aqilah pada zaman Rasulullah Saw. Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
86 Ahmad Ajib Ridlwan
Lembaga tersebut kemudian disahkan oleh Rasulullah menjadi bagian dari hukum Islam yang dituangkan dalam piagam madinah dan dikembangkan lebih lanjut pada masa Khulafa al-Rasyidin khususnya pada masa Umar bin Khattab. Walaupun mengalami pasang surut, namun lembaga ini terus-menerus dikembangkan di dunia Islam, bahkan pada abad 19 seorang ahli hukum Islam, yakni Ibnu Abidin dari Mazhab Hanai berpendapat bahwa asuransi merupakan lembaga resmi, bukan hanya sekedar praktik adat. Pada Abad 20 Muhammad Abduh mengeluarkan fatwa bahwa hubungan antara pihak tertanggung dan pihak perusahaan asuransi merupakan kontrak mudharabah. Dalam Islam Istilah asuransi dikenal dengan nama takaful yang dapat dideiniskan dengan al-takmin, al-ta’awun atau al-takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama-sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan Islam. Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi operasional perusahaan, investasi maupun Sumber Daya Manusia (SDM). Kedudukan DPS dalam Struktur oraganisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris. Itulah beberapa hal yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Apabila dilihat dari sisi perbedaannya, baik dari sisi ekonomi, kemanuasiaan atau syariahnya, maka sistem asuransi syariah adalah yang terbaik dari seluruh sistem.
DAFTAR PUSTAKA Amin Suma, Asuransi Syariah & Asuransi Konvensional: Teori, Sistem, Aplikasi, & Pemasaran (Tangerang: Kholam Publishing, 2006). Amrizal Hamsa, “Asuransi Dalam Perspektif Islam” dalam AtTasyri’, Vol. 01, No. 2. Juni-September 2009, Sekolah Tinggi
ADZKIYA MARET 2016
Asuransi Perspektif Hukum Islam
87
Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng, Meulaboh Aceh barat. Dewan Asuransi Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 dan peraturan pelaksanaan tentang usaha perasuransian, Edisi 2003, DAI. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1996). Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1993). Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, Upaya menghilangkan Gharar, Maisir, dan Riba, (Jakarta: Gema Insani, 2006). Redaksi Ulumul Qur’an, “Syarikat Takaful sebagai suatu Alternatif”. Dalam Jurnal Kebudayaandan Peradaban Ulumul Quran No. 2/VII/1996. Syakir Sula, Asuransi Syariah. Wirjono Projodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1979). Zarqâ, Musthafâ Ahmad, al-Ta’mîm i al-Islâm.
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 04 Nomor 1
88 Ahmad Ajib Ridlwan
ADZKIYA MARET 2016