ASURANSI DI INDONESIA, PERSPEKTIF HUKUM ISLAM H.A.Malthuf Siroj Abstract. Lately, insurance in Indonesia is growing rapidly and dynamically either quantitatively or qualitatively in accordance with the dynamics of a society. It causes the necessities of life are always changing from time to time. At the present, Insurance enterprise not only offers coverage or insurance as usual, but also offers an interesting investment. Even though legal discourse on insurance is not new but it is growing dynamically, so Islamic law as part of the national law needs to respond by explaining its legal status. Insurance, according to Islamic law, can not be generalized as such; it shoud be seen case by case in accordance with the substance of insurance itself. In Islamic law, there are general principles in making transactions in any form. Here it will be tried to decide insurance law according to Islamic based on the general principles of the transaction using deductive thinking. This approach is conducted because insurance is a relatively new form of transaction and its legal status is not stated explicitly by the Al-Quran and Al Sunnah and has not been well addressed in the classical fiqh books
I.
PENDAHULUAN Dalam perspektif sejarah, cikal bakal asuransi sudah dikenal sejak zaman kebesaran Yunani (tahun 350an SM). Begitu juga pada zaman kebesaran kerajaan Romawi dikenal perjanjian yang mirip dengan asuransi ganti kerugian. Pada abad pertengahan mulai dikenal asuransi kebakaran. Dan pada abad ke 13-14 khususnya di Eropa barat seiring dengan meningkatnya lalu lintas perhubungan laut antar pulau berkembanglah asuransi angkutan (transportasi) laut. Di Inggris sendiri asuransi kebakaran baru didirikan pada pertengahan abad 17 dan satu abad kemudian di Perancis dan Belanda. Di Perancis kodifikasi hukum perdata dan hukum dagang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte dan dimuat dalam dua kitab yaitu Code Civil (Kitab Hukum Perdata) dan Code De Commerse (Kitab Hukum Dagang) dan ini terjadi pada permulaan abad 19. Ketika itu dalam Cade De Commerce hanya termuat pasal-pasal tentang asuransi angkutan laut, begitu juga dalam rancangan undang-undang Kitab
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
45
Hukum Dagang Belanda hanya dimuat aturan tentang asuransi angkutan laut. Baru dalam rancangan terakhir yang kemudian menjadi undang-undang yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perniagaan (wet boek van koop handel) termuat aturan-aturan mengenai asuransi kebakaran, asuransi hasil bumi dan asuransi jiwa. Dan ketentuan ini juga dimuat oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perniagaan untuk Hindia Belanda yang sampai sekarang masih berlaku di Indonesia.1 Dalam perkembangan selanjutnya asuransi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang begitu cepat baik secara kuantitatif maupun secara kwalitatif. Hal ini ditandai dengan bermunculannya perusahaan-perusahaan asuransi dalam berbagai bentuk yang bergerak dalam berbagai sektor kehidupan dengan produk-produk yang sangat bervariasi, seperti asuransi kecelakaan, asuransi kerusakan, asuransi kredit, asuransi kesehatan, asuransi pendidikan, asuransi jiwa, asuransi hari tua, asuransi tenaga kerja bahkan asuransi organ tubuh (seperti kaki bagi pemain sepak bola dan suara bagi seorang penyanyi) dan lain sebagainya. Kemunculan asuransi di Indonesia dan perkembangannya yang begitu cepat menuntut kejelasan status hukumnya apakah bentuk perjanjian semacam itu diperbolehkan dan sah atau malah tidak, menurut hukum Islam. Peninjauan asuransi dalam perspektif ini sangtlah penting sebab hukum Islam merupakan salah satu hukum yang berlaku dan hidup (living law) serta eksis di Indonesia2 dan agama.
diyakini kebenarannya karena bersumber dari ajaran
Hukum Islam ini disamping merupakan norma hukum (hukum
positif) juga sekaligus norma agama yang berlaku hanya bagi umat Islam yang secara kwantitatif merupakan mayoritas di Indonesia. Norma tersebut menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan mereka, minimal dengan menetapkan apa yang dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah,
1
Wirjono Prodjodikoro, . Hukum Asuransi Di Indonesia, PT. Intermasa, ttp. 1987, hal. 14-17.
2
Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqih Madzhab Negara, LKIS, Jogjakarta, 2001, hal. 84.
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
46
anjuran, perkenan dan larangan agama.3 Dengan kata lain, hukum Islam sebagai norma agama merupakan pedoman bagaimana seseorang harus bertindak atau bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya itu, termasuk dalam hal membuat perjanjian asuransi. Dalam hal ini hukum Islam akan mejadi acuan dalam melakukan tindakan hukum tersebut, termasuk dalam memahami status hukumnya apakah boleh dan sah secara hukum atau malah tidak. Bahkan bagi sebagian umat Islam Indonesia, hukum Islam menjadi satu-satunya norma acuan dalam bertindak dan bertingkah laku karena kuatnya keyakinan mereka terhadap kebenaran ajaran agama yang justru tidak dimiliki oleh norma-norma lain yang juga berlaku di Indonesia. Dengan demikian pembahasan asuransi perspektif hukum Islam, yang dalam kajian fiqh Islam belum begitu dikenal atau dapat dikatakan relatif baru, mempunyai signifikansi yang sangat penting bagi pembangunan hukum di Indonesia. Selanjutnya masalah yang akan diangkat dan akan dicarikan jawabannya dalam tulisan ini adalah bagaimana stutus hukum asuransi di Indonesia perspektif hukum Islam.
II. KONSEP DASAR.
A. Pengertian Asuransi Secara etimologis asuransi atau dalam bahasa Belanda “verzekering” berarti pertanggungan, dan secara terminologis asuransi berarti suatu perjanjian dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan tejadi (pasal 246 Wet Boek van Koophandel).4
3
Abdurrahman Wahid,. Menjadikan Hukum Islam Sebagai Penunjang Pembangunan; Dalam
“Hukum Islam Di Indonesia”, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung 1991. hal. 4. 4 Wirjono Prodjodikoro, hal. 1.
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
47
Dari definisi ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa dalam asuransi itu terdapat tiga unsur yaitu : 1. Pihak terjamin; berjanji akan membayar premi kepada pihak penjamin. 2. Pihak penjamin; berjanji akan membayar sejumlah uang kepada pihak terjamin apabila
terjadi unsur
ketiga dibawah ini: 3. Suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi. Oleh karena pembayaran sejumlah uang oleh pihak penjamin digantungkan kepada terjadinya suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi maka perjanjian suransi ini termasuk perjanjian yang bersifat untung-untungan (spekulatif) sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1774 BW ketika memberi tiga contoh persetujuan untunguntungan yaitu : asuransi, bunga untuk sepanjang hidup seseorang dan perjudian atau pertaruhan. Sifat untung-untungan itu terletak dalam hal apabila terjadi sesuatu peristiwa maka yang untung adalah pihak terjamin dan yang rugi pihak penjamin, dan apabila tidak terjadi sesuatu peristiwa maka yang untung adalah pihak penjamin dan yang rugi adalah pihak terjamin. Dalam UU. Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, asuransi didefinisikan sebagai suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih; pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
48
Pengertian asuransi sebagaimana tersebut di atas adalah gambaran umum dari praktek asuransi pada masa dulu yang dalam perkembangan masa sekarang telah mengalami dinamika dan perubahan-perubahan format sehingga asuransi pada masa sekarang tidak sepenuhnya seperti yang tergambar dalam definisi asuransi di atas karena semakin variatifnya produk-produk perusahaan asuransi yang ditawarkan kepada masyarakat Indonesia yang memposisikan pihak terjamin dan penjamin dalam posisi yang seimbang dan saling menguntungkan. B. Antara Asuransi dan Resiko Antara asuransi dan resiko terdapat hubungan yang sangat erat sebab
asuransi
merupakan
sebuah
ikhtiar
dalam
rangka
menanggulangi resiko tanpa adanya resiko, asuransi tidak akan ada. Adapun yang dimaksud dengan resiko disini adalah setiap kali orang tidak dapat menguasai dengan sempurna atau mengetahui lebih dahulu mengenai masa yang akan datang.5 Pengertian ini berkaitan dengan kemungkinan kehilangan atau kerugian dan kemungkinan penyimpangan kemungkinan
harapan
yang
penyimpangan
tidak harapan
menguntungkan,
sebab
ini
suatu
merupakan
kehilangan. Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dalam kertas kerjanya pada Simposium Hukum Asuransi mengungkapkan bahwa di dalam asuransi tersirat pengertian adanya suatu resiko yang kejadiannya belum dapat dipastikan dan adanya pelimpahan tanggung jawab memikul beban resiko tersebut kepada pihak lain yang sanggup mengambil alih tanggung jawab. Sebagai kontraprestasi dari pihak lain yang melimpahkan tanggung jawab ia diwajibkan membayar
5
Sri Rejeki Hartono , Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.
hal. 61
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
49
sejumlah uang kepada pihak yang menerima pelimpahan tanggung jawab tersebut.6 C. Macam dan Bentuk Asuransi Asuransi di Indonesia mempunyai bentuk yang bermacammacam diantaranya menurut Wirjono Prodjodikoro ada dua kategori. Pertama yaitu: asuransi ganti kerugian dan asuransi sejumlah uang. Perbedaan pokok diantara dua bentuk asuransi ini adalah bahwa dalam asuransi ganti kerugian pihak penjamin berjanji akan mengganti kerugian tertentu yang diderita oleh yang terjamin. Sedangkan dalam asuransi sejumlah uang, pihak penjamin berjanji akan mebayar uang yang jumlahnya sudah ditentukan sebelumnya tanpa disandarkan kepada suatu kerugian tertentu. Yang termasuk dalam asuransi ganti kerugian diantaranya adalah asuransi kebakaran, asuransi laut, asuransi Angkutan Darat dll. Dan yang temasuk dalam asuransi sejumlah uang antara lain asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan dll. Disamping itu ada beberapa asuransi yang bersifat campuran antara asuransi kerugian dan asuransi sejumlah uang sehingga sulit membedakan diantara kedua bentuk asuransi tersebut. Kategori kedua yaitu : asuransi premi dan asuransi saling menjamin. Dalam asuransi premi terdapat suatu perusahaan asuransi di satu pihak yang mengadakan persetujuan asuransi dengan masingmasing pihak terjamin dan diantara para pihak terjamin tidak ada hubungan hukum sama sekali. Dalam asuransi saling menjamin, terdapat suatu persetujuan perkumpulan yang terdiri dari para pihak terjamin sebagai anggota. Mereka tidak
membayar premi tetapi semacam iuran kepada
pengurus perkumpulan tersebut. Sebagai anggota perkumpulan 6
Ibid, hal. 12.
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
50
seseorang akan menerima pembayaran bila terpenuhi syarat yang berkenaan dengan peristiwa yang sebelumnya tidak dapat dipastikan akan terjadi. Dengan demikian asuransi saling menjamin ini mirip dengan suatu perkumpulan koperasi7. Dalam versi lain asuransi di Indonesia dapat dikelompokkan kedalam beberapa jenis : 1. Dilihat dari segi fungsinya a. Asuransi kerugian; asuransi ini menjalankan usaha memberikan jasa menaggulangi suatu resiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga dari suatu peristiwa yang tidak pasti. Asuransi ini tidak diperkenankan melakukan usaha di luar asuransi kerugian. Yang termasuk dalam asuransi ini adalah
asuransi
kebakaran dan asuransi pengangkutan dll. b. Asuransi jiwa; merupakan perusahaan asuransi yang dikaitkan dengan penaggulangan jiwa atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. Yang termasuk dalam jenis asuransi ini adalah term insurance (berjangka), endowment
insurance
(tabungan), whole life insurance (seumur hidup), anuity contrak insurance (anuitas) c. Reasuransi;
merupakan
perusahaan
yang
memberikan jasa asuransi dalam pertanggungan ulang
terhadap
resiko
yang
dihadapi
oleh
perusahaan asuransi kerugian. 2. Dilihat dari segi kepemilikannya Asuransi dilihat dari siapa pemiliknya meliputi : 7
Wirjono Prodjodikoro, hal. 4-5
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
51
a. Asuransi milik perusahaan pemerintah b. Asuransi milik perusahaan swasta nasional c. Asuransi milik perusahaan asing d. Asuransi milik campuran antara nasional dan asing8 Selain asuransi dalam bentuk di atas di Indonesia juga dikenal asuransi sosial (social insurance) yaitu asuransi yang lazimnya diselenggarakan oleh pemerintah sebagai sarana untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, Ciri-ciri
asuransi sosial antara lain
sebagai berikut : 1. Yang menyeleggarakan pertanggungan ini adalah pemerintah, (tapi tidak
menutup kemungkinan bagi
swasta untuk menyelenggarakan asuransi dalam bentuk ini sepanjang asuransi tersebut mengandung unsur sosial, pen). 2. Sifat hubungan hukum pertanggungan itu adalah wajib bagi seluruh anggota masyarakat atau sebagian anggota tertentu masyarakat (pengertian wajib disini apabila asuransi tersebut diselenggarakan oleh pemerintah yang memang berhak memaksa, pen.). 3. Penentuan
penggantian
kerugian
diatur
oleh
pemerintah dengan peraturan khusus yang dibuat untuk itu. 4. Tujuannya adalah untuk memberikan suatu jaminan sosial
(social
security)
bukan
untuk
mencari
keuntungan9. Yang termasuk adalam jenis asuransi sosial antara lain :
8
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. hal.
253-255. 9 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan Dan Perkembangannya, BPHN, Jakarta, 1990. hal. 106
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
52
-
Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri)
-
Asuransi kesehatan pegawai negeri (Askes)
-
Pertanggungan kecelakaan lalu lintas
-
Asuransi pendidikan
-
Asuransi takaful (saling menjamin) dll.
Selain
asuransi
perkembangan
dalam terakhir
bentuk-bentuk ini
terdapat
diatas,
pada
asuransi
yang
menggabungkan pertanggungan atau penjaminan dengan investasi. Keuntungan investasi ini ditentukan berdasarkan asumsi-asumsi pertumbuhan ekonomi secara makro sehingga dimungkinkan terjadi fluktuasi sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang fluktuatif tersebut.
III. ASURANSI MENURUT PARA AHLI HUKUM ISLAM (ULAMA’) Dikalangan para ahli hukum Islam (ulama’) ada empat pendapat tentang hukum asuransi : Pertama
: mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya.
Kedua
: memperbolehkan semua macam dan bentuk asuransi yang berlaku sekarang ini.
Ketiga
: memperbolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial
Keempat : menganggap syubhat (tidak jelas hukumnya antara haram dan boleh pen.). Pendapat pertama didukung oleh antara lain : Sayid Sabiq, Abdullah Al Qalqili, mufti Yordania, Muhammad Yusuf Al Qardlawi, Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
53
Muhammad Bakhit Al-Mu’thi, mufti Mesir. Pendapat mereka didasarkan kepada alasan-alasan sebagai berikut : 1. Asuransi pada hakekatnya sama atau serupa dengan perjudian. 2. Mengandung unsur ketidak jelasan dan ketidak pastian (uncertainty) 3. Mengandung unsur riba atau rente 4. Mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang
polis
apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran, preminya dimungkinkan hilang atau setidaknya ada pengurangan terhadap nilai premi yang telah dibayarkan itu. 5. Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktek riba (kredit berbunga). 6. Asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar mata uang tidak dengan cara tunai (cash) 7. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Kuasa.10 Pendapat ini juga didukung oleh Taqiy al-Din al Nabhany yang menyatakan bahwa asuransi adalah muamalah yang batil (tidak sah) dengan alasan-alasan : 1. Karena tidak terpenuhinya akad (perjanjian) dalam asuransi sebagai akad yang sah menurut syariat (hukum Islam). 2. Karena akad (perjanjian) dalam asuransi tidak memenuhi syarat bagi sahnya akad jaminan (dlaman)11 Pendapat kedua yang memperbolehkan segala macam dan bentuk asuransi didukung oleh Abd al-Wahhab Khallaf, Musthafa Ahmad Zarqa, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah 10
Masjfuk Zuhdi, Masail- Fiqhiyah, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1988. hal. 164-165
11
Ismail Yusanto, Islam Ideologi, Al Izzah, Bangil 1998, hal. 250.
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
54
Universitas Syria, Muhammad Yusuf Musa, Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir, dan Abdurrahman Isa dan lain-lain. Alasan-alasan mereka antara lain sebagai berikut : 1. Tidak ada nash (teks) Al-Qur’an dan hadits yang melarang asuransi. 2. Ada kesepakatan atau kerelaan di antara kedua belah pihak. 3. Saling menguntungkan kedua belah pihak. 4. Mengandung kepentingan umum sebab premi-premi yang terkumpul bisa diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan. 5. Asuransi termasuk akad “mudlarabah” artinya akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing (PLS). 6. Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awuniyah). 7. Diqiyaskan (analogi) dengan sistem pensiun seperti Taspen. Pendapat ketiga
yang
menyatakan bahwa asuransi yang
bersifat sosial boleh dan asuransi yang bersifat komersial tidak boleh, didukung antara lain oleh Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir. Ia mengajukan alasan-alasan yang sama dengan pendapat kedua bagi kebolehan asuransi sosial dan alasanalasan yang sama dengan pendapat yang pertama bagi ketidak -bolehan asuransi komersial. Sedangakan alasan para ahli hukum Islam yang menganggap hukum asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil-dalil yang secara jelas mengharamkan ataupun memperbolehkan asuransi. Dan apabila hukum asuransi dikategorikan syubhat maka konsekuensinya kita dituntut bersikap hati-hati dalam melakukan perjanjian asuransi. Dan
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
55
kita baru dibenarkan melakukannya apabila kita dalam keadaan darurat (emergency) atau sangat butuh (neccessity)12
IV. ASURANSI PERSEPEKTIF HUKUM ISLAM A. Prinsip-Prinsip Umum Pengambilan Keputusan Hukum dalam Islam. Sebelum kita memutuskan status hukum asuransi menurut hukum Islam terlebih dahulu kita harus memahami prinsip-prinsip umum pengambilan keputusan hukum dalam Islam yang berlaku secara universal dan melandasi setiap pengambilan keputusan hukum, termasuk tentang asuransi. Prinsip-prinsip itu adalah : 1. Menghilangkan kesulitan dan kepicikan 2. Memelihara kemaslahatan manusia secara umum 3. Mewujudkan keadilan secara menyeluruh13 Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip umum diatas maka setiap pengambilan keputusan hukum tidak boleh menimbulkan kesulitan dan kepicikan bagi kehidupan manusia sebab kesulitan dan kepicikan tersebut merupakan beban hukum yang tidak boleh dipikulkan kepada manusia yang secara esensial menghendaki dan membutuhkan kemudahan-kemudahan dan keleluasaan. Selain itu pengambilan
keputusan
hukum
harus
dapat
memelihara
kemaslahatan manusia secara umum. Dengan kata lain, keputusan hukum itu harus memberi keuntungan dan manfaat bagi kehidupan manusia secara umum bukan malah merugikannya. Selanjutnya dengan mengacu kepada prinsip yang ketiga keputusan hukum itu harus dapat mewujudkan keadilan yang menyeluruh. Yang dimaksud
12
Masjfuk Zuhdi, hal. 165-166.
13
Muhammad Yusuf Musa, Al Madkhal-Lidirasat al- Fiqh al- Islamy, Dar al- Fikr al- Araby, tt..
hal. 127.
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
56
dengan keadilan disini adalah keadilan distributif dan persamaan didepan hukum (equality before law).
B. Prinsip-Prinsip Mu’amalah (Transaksi) Menurut Islam. Secara lebih spesifik didalam mu’amalah (transaksi) juga terdapat prinsip-prinsip yang harus dijadikan acuan agar mu’amalah tersebut boleh dan sah secara hukum. Prinsip-prinsip tersebut antara lain : 1. Didalam mu’amalah (transaksi) itu tidak boleh terjadi pemaksaan dan keterpaksaan, atau dengan kata lain, mu’amalah itu harus dilakukan atas dasar kerelaan dari kedua belah pihak.14 2. Didalam mu’amalah itu tidak boleh terjadi penipuan, manipulasi, dan eksploitasi oleh
salah satu pihak
kepada pihak yang lain sehingga merugikannya. 15 3. Didalam mu’amalah itu harus terdapat kepastian berkenaan dengan sesuatu yang ditransaksikan dan halhal lain yang terkait dengannya sehingga didalamnya tidak terdapat unsur-unsur spekulasi (untung-untungan) yang identik dengan ketidakpastian (uncertainty). 4. Didalam mu’amalah itu tidak terdapat unsur-unsur ribawi yang secara tegas dilarang didalam Al-Qur’an dan Hadits. Riba itu dapat berbentuk riba fadl, riba qordli, riba yad dan riba nasa'.16
14 15 16
Jalal al-Din Al-Suyuthy, Al-Jami' al-Shaghir, Dar al-Qalam, ttp. 1966, hal. 91 Ibn Hajar al-Asqalany, Bulugh al-Maram, Maktabah Tijariyah Kubra, Bairut,tt. hal. 178-179 Ibid. hal 176
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
57
5. Didalam mu’amalah itu tidak boleh terdapat syaratsyarat yang dapat merugikan salah satu pihak dan terlarang secara hukum.17 6. Setiap bentuk mu’amalah yang dilakukan harus dapat mewujudkan
kemaslahatan
umum
bukan
malah
sebaliknya.18 Prinsip-prinsip diatas telah menjadi konsensus dikalangan para ahli hukum Islam (ulama’) sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi. Prinsip prinsip tersebut merupakan penjabaran dari prinsipprinsip umum pengambilan keputusan hukum sebagaimana telah dijelaskan secara rinci diatas. Maka untuk menetapkan status hukum asuransi yang merupakan bagian dari mu’amalah, kita harus mengacu disamping kepada prinsip-prinsip umum pengmbilan keputusan hukum dalam Islam diatas juga kepada prinsip-prisip muamalah. Apabila praktek asuransi di Indonesia memenuhi keseluruhan
prinsip-prinsip
diatas
maka
asuransi
itu
dapat
dikategorikan kedalam bentuk mu’amalah yang boleh dan sah menurut hukum Islam. Demikian juga sebaliknya. Mengingat jenis dan bentuk asuransi itu beraneka ragam maka untuk menetapkan status hukumnya kita harus meninjaunya tidak secara umum, tapi dengan melihat substansi masing-masing. C. Hukum Asuransi Di Indonesia Perspektif Hukum Islam Asuransi sebagai suatu bentuk perjanjian yang relatif baru dikenal di Indonesia merupakan persoalan ijtihadiyah. Sebab AlQur’an dan Hadits tidak menjelaskannya secara eksplisit, bahkan para Imam madzhabpun belum pernah membahasnya karena pada masa itu asuransi belum dikenal oleh mereka. Asuransi baru dikenal di negara-negara Islam kurang lebih pada abad 19 termasuk di 17
Ibid. hal 185 Imam Ahmad ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, Juz V Dar al-Fikr, Bairut, tt, hal 268. 18
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
58
Indonesia. Karenanya wajar apabila hukum asuransi masih diperdebatkan antara yang pro dan yang kontra. Disini penulis akan menganalisis dengan menggunakan pendekatan prinsip-prinsip umum diatas (General Principles Approach) dengan metode analisa “deduktif”. Dalam kaitan ini juga terdapat sebuah kaidah hukum yang dapat pula dijadikan rujukan dalam menetapkan hukum asuransi yaitu : “Hukum asal didalam perikatan-perikatan dan transaksi-transaksi adalah boleh sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya”19. Selanjutnya, mengingat asuransi itu sangat variatif bentuk dan macamnya maka untuk menetapkan status hukumnya akan dibahas secara detail dengan membuat kategori-kategori berdasarkan perspektif tertentu. Dengan mengikuti kategorisasi asuransi menurut Wirjono Prodjodikoro diatas maka paling tidak terdapat dua kategori asuransi yaitu : 1. Asuransi ganti kerugian dan asuransi sejumlah uang Dalam
operasionalnya,
asuransi
ini
memberikan
pertanggungan dengan digantungkan kepada terjadinya resiko berupa kerugian dan kematian atau terjadinya kecelakaan atas pihak tertanggung atau resiko-resiko lain yang ditentukan dalam perjanjian dalam tenggang waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah premi. Apabila dalam rentang waktu tersebut tidak terjadi resiko, maka premi yang dibayarkan oleh pemegang polis menjadi hak milik penuh pihak perusahaan asuransi. Dan pihak tertanggung tidak memperoleh apa-apa. Melihat hal diatas maka asuransi
ini
bersifat
untung-untungan
(spekulasi)
karena
pertanggungan digantungkan kepada terjadinya resiko yang tidak jelas, dan bersifat merugikan kepada pihak-pihak tertentu 19
Lihat Abd al-Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Dar al-Qalam, Bairut, 1978, hal. 202. Lihat juga, Hasbi Ash-Shiddiqiey, Pengantar Hukum Islam, J.I Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hal. 132
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
59
terutama pihak tertanggung seandainya tidak terjadi resiko. Maka berdasarkan prinsip-prinsip transaksi menurut hukum Islam, asuransi semacam ini tidak boleh (haram) dan tidak sah secara hukum,
terkecuali
apabila
didalamnya
terdapat
unsur
menabung/investasi dan mempunyai tujuan sosial, misalnya ketika tidak terjadi resiko pihak tertanggung tetap memperoleh pembayaran uang dari premi yang merupakan tabungan atau investasi di perusahaan asuransi itu dan ketika terjadi resiko pihak perusahaan memberikan bantuan pertanggungan kepada pihak tertanggung sebagai orang yang mengalami musibah yang membutuhkan bantuan. Apabila perjanjian asuransi terjadi dalam bentuk seperti ini, maka hukum asuransi tersebut boleh dan sah secara hukum karena tidak terdapat unsur-unsur yang terlarang menurut hukum Islam. 2. Asuransi secara premi dan asuransi saling menjamin. Asuransi ganti kerugian dan asuransi sejumlah uang termasuk kategori asuransi premi dan status hukumnya telah dijelaskan diatas. Sedangkan asuransi saling menjamin termasuk kategori asuransi sosial, karena didalamnya terdapat tujuan sosial yaitu saling bantu-membantu diantara anggota apabila terjadi resiko seperti musibah atau kerugian lainnya. Maka status hukum asuransi semacam ini boleh dan sah secara hukum karena didalamnya tidak terdapat unsur-unsur yang terlarang menurut hukum Islam, bahkan saling bantu-membantu antara sesama sangat diperintahkan oleh Islam. Di Indonesia asuransi ini juga dikenal dengan asuransi takaful, yaitu pertanggungan yang berbentuk tolong menolong atau disebut juga dengan perbuatan “kafalah” yaitu perbuatan saling menolong dalam menghadapi sesuatu resiko yang tidak diperkirakan sebelumnya.i
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
60
Dari dua kategori asuransi menurut Wirjono Prodjodikoro diatas sebenarnya masih dapat dikembangkan lagi kepada kategori yang ketiga yaitu asuransi komersial dan asuransi sosial. Asuransi komersial meliputi asuransi ganti kerugian dan asuransi sejumlah uang atau disebut juga asuransi secara premi sebagaimana telah dijelaskan diatas. Sedangkan asuransi sosial baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun non pemerintah
bertujuan
memberikan
bantuan
sosial
untuk
meringankan beban masyarakat ketika terjadi sesuatu resiko. Status hukum asuransi semacam ini telah pula dijelaskan diatas yaitu boleh dan sah secara hukum, karena tidak terdapat unsurunsur yang terlarang menurut hukum Islam.
V. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat ditarik beberapa poin kesimpulan sebagai berikut : 1. Hukum asuransi menurut hukum Islam mengacu kepada prinsip-prinsip umum pengambilan keputusan hukum dalam Islam dan prinsip-prinsip
transaksi
menurut Islam. 2. Asuransi ganti kerugian dan asuransi sejumlah uang status hukumnya tidak boleh (haram) dan tidak sah secara hukum, karena mengandung unsur-unsur yang terlarang menurut hukum Islam yaitu spekulasi, ketidak pastian dan eksploitasi. 3. Asuransi premi yang meliputi asuransi ganti kerugian dan asuransi sejumlah uang status hukumnya sama dengan
diatas
kecuali
premi
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
tersebut
bersifat
|
61
tabungan/investasi dan pertanggungan dari perusahaan asuransi kepada pihak tertanggung bertujuan sosial. Adapun asuransi saling menjamin status hukumnya boleh dan sah secara hukum karena didalamnya tidak terdapat unsur-unsur yang terlarang menurut hukum Islam. Asuransi komersial yang bertujuan mencari keuntungan semata status hukumnya tidak boleh (haram) karena mengandung unsur-unsur yang terlarang menurut hukum Islam sebagaimana telah dijelaskan diatas. Sedangkan asuransi sosial status hukumnya boleh dan sah secara hukum karena didalamnya terdapat unsur saling tolong menolong yang memang diperintahkan oleh Islam dan tidak mengandung unsur-unsur lain yang terlarang.
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
62
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam Sebagai Penunjang Pembangunan; Dalam “Hukum Islam Di Indonesia”, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung 1991. Emmy
Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan Perkembangannya, BPHN, Jakarta, 1990.
Dan
Ismail Yusanto, Islam Ideologi, Al Izzah, Bangil 1998, Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Persada, Jakarta, 2000.
PT. Raja Grafindo
Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqih Madzhab Negara, LKIS, Jogjakarta, 2001. Masjfuk Zuhdi, Masail- Fiqhiyah, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1988. Muhammad Yusuf Musa, Dr. Al Madkhal-Lidirasat al- Fiqh al- Islamy, Dar Al- Fikr Al- Araby, tt. Sri Rejeki Hartono , Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 1995. Imam Ahmad ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, Juz V Dar al-Fikr, Bairut, tt Jalal al-Din Al-Suyuthy, Al-Jami' al-Shaghir, Dar al-Qalam, ttp. 1966 Ibn Hajar al-Asqalany, Bulugh al-Maram, Maktabah Tijariyah Kubra, Bairut,tt.
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, jakarta, 2000. Wirjono Prodjodikoro, Prof. Dr. Hukum Asuransi Di Indonesia, PT. Intermasa, ttp. 1987. Abd al-Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Dar al-Qalam, Bairut, 1978, Hasbi Ash-Shiddiqiey, Pengantar Hukum Islam, J.I Bulan Bintang, Jakarta, 1980
i
. Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 82.
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
63