ADOPSI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Muhammad Lutfi Syarifuddin Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Madiun
Abstrak Regenerasi (mempunyai anak) merupakan salah satu tujuan dari Perkawinan. Namun tidak semua orang yang berumah tangga dapat mempunyai anak sebagai karunia dari Allah. Banyak faktor yang menyebabkan orang yang berumah tangga ingin mempunyai anak namun bukan dari rahim isterinya sendiri, baik karena usia, pekerjaan atau kesiapannya. Untuk mengatasi masalah tersebut salah satu jalan keluar yang dapat dilakukan adalah dengan mengadopsi atau mengangkat anak. Dalam lapangan hukum perdata umum, pengangkatan anak tidak saja berasal dari anak yang jelas asal-usulnya tetapi juga anak yang lahir di luar perkawinan yang sah (tidak jelas asal usulnya) dalam agama Islam anak yang tidak jelas asal-usulnya ini termasuk dalam kelompok anak pungut. Islam menghendaki, bahwa pemungutan dan pengangkatan anak lebih dititikberatkan kepada kemanusiaan yaitu perawatan, pemeliharaan, dan pendidikan anak tersebut, bukan karena alasan-alasan lain seperti untuk menjaga harta dan sebagainya. Surat al Ahzab ayat 4-5 ini merupakan sebuah hukum baru yang menanggapi fenomena social tentang adopsi. Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai petunjuk tatacara praktek adopsi yang benar dan adil. bahwa Dia tidak menjadikan anak-anak angkat sebagai anak kandung (sendiri). Karena dengan mengatakan anak angkat sebagai anaknya sendiri adalah merupakan kebohongan yang hanya diucapkan dimulut saja dan bukan hal yang sebenarnya. Allah SWT memerintahkan untuk memanggil anak-anak angkat itu dengan memakai (menisbatkan
Muhammad Lutfi Syarifuddin
kepada) nama bapak kandung mereka, kecuali jika tidak diketahui siapa bapak kandungnya maka dianjurkan untuk memanggil anak angkat itu dengan sebutan saudaraku seagama atau maulaku. Dengan panggilan seperti itu maka tidak terjadi pemutusan/pengaburan hubungan dengan bapak kandungnya dan sesungguhnya yang demikian itu adalah lebih adil di sisi Allah. Kata Kunci: Adopsi, Perspektif Islam
A. Pendahuluan Regenerasi (mempunyai anak) merupakan salah satu tujuan dari Perkawinan. Namun tidak semua orang yang berumah tangga dapat mempunyai anak sebagai karunia dari Allah. Banyak faktor yang menyebabkan orang yang berumah tangga ingin mempunyai anak namun bukan dari rahim isterinya sendiri, baik karena usia, pekerjaan atau kesiapannya. Untuk mengatasi masalah tersebut salah jalan keluar yang dapat dilakukan adalah dengan mengadopsi atau mengangkat anak. Adopsi berasal dari kata “adoptie” (bahasa Belanda) atau “adopt” (adoption) dari bahasa Inggris yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Dalam bahasa Arab disebut “tabbani” yang berarti mengambil anak angkat.1 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri. Dalam kamus Hukum Bahasa Indonesia adopsi adalah pengangkatan seorang anak sebagai anak kandungnya sendiri. Menurut Hilman Hadi Kusuma dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat, anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. Dalam buku Pengantar Dan Azas-Azas Hukum Adat karya Surojo Wigjodipuro disebutkan bahwa Adopsi adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluargnya sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri. Pendapat lain mengatakan 1
66
Muderis Zaini, Adopsi; Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 4-5
An-Nuha
Vol. 1, No. 1, Juli 2014
Adopsi Perspektif Hukum Islam
bahwa Adopsi adalah pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri, anak yang diadopsi disebut anak angkat. Mahmud Syaltut mmpunyai dua pendapat mengenai pengertian adopsi, pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya. Cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak kandungnya sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status anak kandung sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu.2 Dalam lapangan hukum perdata umum, pengangkatan anak tidak saja berasal dari anak yang jelas asal-usuknya tetapi juga anak yang lahir di luar perkawinan yang sah (tidak jelas asal usulnya) dalam agama Islam anak yang tidak jelas asal-usulnya ini termasuk dalam kelompok anak pungut. Islam tidak memandang anak angkat sebagai anak kandung. Anak pungut atau anak yang ditemukan di jalan atau anak itu diterima dari orang lain boleh dinikahi asal antara keduanya tidak terhalang untuk melakukan pernikahan.3 Demikian tadi telah disebutkan pengertian adopsi (anak angkat) yang beraneka ragam. Dari pengertian yang telah ada dapat dipahami bahwa pendapat kedua yang dilontarkan Mahmud Syaltut mirip dengan konsep adopsi yang ada di Barat. Begitu juga pendapat lain yang mengatakan bahwa adopsi mempunyai akibat terjadinya hukum kekeluargaan seperti antara anak dan bapak kandung adalah mirip dengan konsep adopsi Barat yang juga sama dengan adopsi pada zaman Jahiliyah. Islam menghendaki, bahwa pemungutan dan pengangkatan anak lebih dititikberatkan kepada kemanusiaan yaitu perawatan, pemeliharaan, dan pendidikan anak tersebut, bukan karena alasan-alasan lain seperti untuk menjaga harta dan sebagainya.4 Dalam agama Islam masalah adopsi secara tegas disinggung oleh Allah SWT dalam surat al Ahzab ayat 4-5. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, jld 1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 27-29 3 Hussein Khalid Bahreisj, Kamus Standar Hukum Islam, (Surabaya: Tiga Dua, 1997), hlm. 21-22 4 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al Haditsah pada Masalah-masalah kontemporer hukum Islam cet ke-2 (Jakarta: Raja grafindo Persada, 1997), hlm. 108 2
Vol. 1, No. 1, Juli 2014
An-Nuha
67
Muhammad Lutfi Syarifuddin
B. Surat al Ahzab 4-5 Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu dan adalah Allah yang maha pengampun lagi maha penyayang.
1.
Makna Mufradat تظهرون منهن أدعياء
: kalian zhihar : mereka itu, misalnya seseorang berkata kepada isterinya menurutku kamu bagaikan punggung ibuku : lafaz ad’iya adalah bentuk jamak dari lafaz da’iyyun = anak angkat. 5
5
68
Jalalluddin bin Ahmad al Mahalli, Jalalluddin ar Rahman bin Abi Bakri Lil Suyuti, Tafsir Jalalain bi Asbab al Nuzul Lil Suyuti, cet ke-3 (Libanon: Dar al Kitab, tt) hlm. 543-544
An-Nuha
Vol. 1, No. 1, Juli 2014
Adopsi Perspektif Hukum Islam
موال Zhihar
: seorang yang sudah menjadi anak angkat : menyamakan isteri dengan ibunya, sehingga isteri menjadi haram bagi suaminya
2.
Asbabun Nuzul Pada zaman jahiliyah adopsi sudah sepeti agama yang tidak mungkin dihapus atau diganti karena sudah menjadi tradisi nenek moyang. Pada zaman ini orang-orang Arab biasa mengadopsi anak dan mengatakan “kau adalah anakku, aku mewarisimu dan kau mewarisiku” dengan begitu maka si anak angkat itu menjadi anaknya betul-betul dan berlakulah semua hukum tentang anak yang tak ubahnya dengan anak yang lahir dari sulbinya sendiri. Satuhikmahyangdipandangperluoleh Allahuntukdisampaikankepada Nabi-Nya –sebelum ia diutus sebagai Nabi- yaitu ia sendiri mengadopsi salah seorang anak. Anak itu bernama Zaid bin Haritsah sehingga ketika itu populer di kalangan manusia panggilan Zaid bin Muhamad, sampai turun ayat yang mengaharamkan adopsi itu. Sejak itu Rasulullah membatalkan pengangkatan Zaid sebagai naknya dan mengembalikan nasabnya kepada bapaknya sendiri. Lalu Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Haritsah bin Syurahbil. Adapun sebabnya Nabi mengadopsi Zaid sebelum beliau diutus sebagai Rasul padahal beliau sangat membenci tradisi jahiliyah adalah karena ada suatu hikmah yang benar-benar dikehendaki Allah, yaitu Zaid bersama ibunya ketika itu berada di tempat pamannya dari Bani ftai lalu mereka diserang oleh salah satu kabilah Arab dan dirampas seluruh harta benda dan anak-anaknya ditawan. Hal yang demikian sudah menjadi tradisi jahiliyah. Maka Zaid menjadi salah seorang tawanan kemudian para penawannya membawa Zaid ke Makkah untuk dijual. Kemudian Zaid dibeli oleh Khadijah binti Khuwailid. Setelah Khadijah dinikahi Rasulullah, ia memberikan Zaid kepada Rasulullah sebagai pelayan.6 Sejak Zaid ditawan, bapaknya (Haritsah bin Syurahbil) menangis siang malam. Setelah Haritsah mendengar berita bahwa anaknya masih hidup dan kini berada di rumah Muhamad di Makkah, Haritsah bersama paman Zaid datang kepada Rasulullah. Mereka meminta Nabi untuk mengembalikan 6
M. Ali as Shobuni, Rawai’ al Bayan; Tafsir Minal Qur’an (Kuwait: Dar al Qur’an al Karim) hlm. 269
Vol. 1, No. 1, Juli 2014
An-Nuha
69
Muhammad Lutfi Syarifuddin
Zaid berapapun uang tebusan yang diminta Nabi. Setelah mengetahui maksud kedatangan kedua orang tersebut, Rasulullah memanggil Zaid dan menyuruhnya memilih siapa yang ingin ia ikuti antara Rasul dan bapak kandungnya, dan ia memilih hidup bersama Rasulullah. Kemudian Rasulullah keluar dan berkata di hadapan orang banyak: “ketahuilah bahwa Zaid adalah anakku, dia mewarisiku dan aku mewarisi dia”. Mendengar penegasan Muhamad, bapak dan paman Zaid lega. Setelah kejadian itu Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad, sampai turun ayat: panggillah mereka (anak-anak angkat) itu dengan dinisbatkan kepada bapak-bapaknya, yang demikian itu lebih jujur dalam pandangan Allah. Setelah itu Zaid dipanggil dengan nama Zaid bin Haritsah. Mengenai hal ini as Suyuti meriwayatkan dari Mujahid ra. Bahwa Nabi pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah dan dimerdekakannya sebelum wahyu (yang melarangnya) itu turun. Kemudian tatkala Nabi kawin dengan Zainab binti Jahsy (janda Zaid, anak angkatnya itu), orang-orang yahudi dan munafiqin mencela dan mengatakan Muhammad kawin dengan janda anaknya. Begitulah, lalu turun ayat: Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anakmu betul-betul. Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Abdullah bin Umar bin khattab ia berkat: kami biasa memanggil Zaid bin Haritsah itu Zaid bin Muhammad sampai turun ayat: “Panggillah mereka (anak-anak angkat) iu dengan dinisbatkan kepada bapak-bapak mereka (sendiri) dan itulah yang jujur menurut mereka.7 C. Tafsir Surat al Ahzab 4-5 Rahasia disebutkannya “dua hati” dengan lebih didahulukan daripada masalah-masalah lainnya yang sudah terbiasa menjadi kepercayaan jahiliyah adalah untuk memberikan tamsil, sedang dengan tamsil itu justru lebih tegas dan lebih gamblang. Di situ ada tiga hal yang benar-benar batil dalam kepercayaan jahiliyah, yaitu: 1. Seorang mempunyai dua hati, padahal kenyataannya tidak demikian 2. Isteri yang dizhihar (dipersamakan) dengan ibunya dianggapnya 7
70
Ibid….. hlm. 256
An-Nuha
Vol. 1, No. 1, Juli 2014
Adopsi Perspektif Hukum Islam
seperti ibu betul-betul sehingga untuk selamanya menjadi mahram 3. Anak angkat diangap sebagai anak betul-betul hingga baginya berlaku seluruh hukum tentang anak. Dinakirahkannya kata rajula ( )رجلdalam firman Allah lirajula ( )لرجلdan dimasukkannya min ( )منpada jumlah berikutnya, yaitu dalam firman-Nya min qolbaini ( )من قلبينitu untuk menunjukkan arti umum dan menyeluruh sehingga arti ayat itu adalah sebagai berikut: sama sekali Allah tidak menjadikan dalam rongga seorang itu dua hati. Kemudian disebutkannya kata “rongga” dalam ayat itu sekalipun sudah sama-sama dimaklumi, bahwa hati itu berada dalam rongga adalah untuk lebih memberikan gambaran akan kedustaan omongannya itu. Kalau ada orang yang mendengar ada orang yang berhati dua dalam rongganya maka akan segera mendustakannya. Mengenai dua hati tersebut Imam Turmudzi telah mengetengahkan sebuah hadis yang ia nilai sebagai hadis hasan dengan bersumberkan dari ibnu Abbas ra. Yang telah menceritakan bahwa pada suatu hari Nabi berdiri melakukan shalat. Kemudian Nabi melakukan sesuatu seolah-olah sedang memikirkan sesuatu. Maka orang-orang munafik yang shalat bersamanya mengatakan “tidakkah kamu lihat bahwa sesungguhnya dia mempunyai dua hati yang satu bersama kalian dan yang satunya lagi memikirkan dirinya”. Ibnu Abu Hatim juga mengetengahkan hadits yang sama melalui jalur Qatadah yang ia terima dari al Hasan hanya ia dalam riwayatnya ditambahkan bahwa lelaki yang dijuluki si dua hati itu sering mengatakan aku memiliki satu hati yang memerintah dan satu hati yang lainnya yang mencegahku.8 Perkataan “yang demikian itu adalah omongan kamu dari mulutmulutmu” itu, ada suatu isyarat yang lembut sekali, yaitu bahwa omongannya itu semata-mata keluar dari mulut (bukan dari hati nurani), yang sama sekali tidak benar dan tidak sesuai dengan kenyataannya. 9 Menurut HAMKA, mengatakan anak orang lain jadi anak sendiri itu hanyalah ucapan mulut bukan keadaan yang sebenarnya.10 Jalallud Din bin Ahmad al Mahalli, Jalallud Din ar Rahman bin Abi Bakri Lil Suyuti, Tafsir Jalalain……. hlm. 570-571 9 M. Ali as Shobuni, Rawai’ al Bayan….. hlm. 260 10 HAMKA, Tafsir al Azhar juz XVIII (Surabaya: tp, 1984) hlm. 226 8
Vol. 1, No. 1, Juli 2014
An-Nuha
71
Muhammad Lutfi Syarifuddin
Zamakhsari berkata: sebagaimana dimaklumi bahwa omongan itu mesti dengan mulut tetapi mengapa dalam ayat di atas perlu disebut “dengan mulut-mulutmu” jawabnya: ini memberikan isyarat, bahwa omongannya itu sama sekali tidak dapat dipercayai, Karena hanya lidahnya yang berkatakata dan suatu anggapan mulut yang tidak mempunyai sandaran yang kuat yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarnnya. Perkataan “dan Allah mengatakan yang benar”. Yaitu anak orang lain bukanlah jadi anak (kandung) orang tua angkat walaupun orang tua angkat menyorakkan dimuka umum dan dikuatkan dengan kesaksian notaris dengan surat-surat yang sah.11 Dalam hal ini Imam Fakhrur Razi berkata: ini ada suatu isyarat pada suatu makna yang lembut, yaitu bahwa seorang yang pandai kalau bicara hendaknya yang rasional atau berdasarkan syara’ sehingga mereka bisa mengatakan, bahwa bekas isteri anak angkat itu haram dikawin oleh bapak angkatnya, padahal pada hakikatnya dia itu halal. Jadi anggapan seperti itu sama sekali tidak dapat dinilai sebagai benar. Sedang firman Allah itulah yang benar dan harus diikuti. Perkataan “yang demikian itu adalah lebih jujur menurut Allah” itu, tidak dimaksudkan sebagai perbandingan sehingga dengan demikian “tafdhil” (lebih jujur) itu bukan sebagai perbandingan, tetapi semata-mata untuk tambahan secara mutlak (sebab sudah jelas bahwa menisbatkan anak bukan kepada bapak-bapaknya sendiri itu suatu tindakan zhalim dengan permusuhan). Jadi makna ayat tersebut sebagai berikut: memanggil anak-anak angkat dengan menisbatkan kepada bapak-bapaknya sendiri itu sangat jujur dan adil menurut hukum Alah. Maksud keliru dan sengaja dalam ayat ini adalah Allah SWT menilai tidak berdosa terhadap orang yang keliru, tetapi ditetapkannya berdosa bagi orang yang sengaja memanggil “bapak” yang bukan bapaknya sendiri. Namun para mufasir berbeda pendapat sekitar masalah pengertian keliru dan sengaja dalam ayat tersebut:12 1. Mujahid berpendapat bahwa yang dimaksud keliru di sini ialah perbuatan yang dilakukan sebelum adanya larangan dan keterangan sedang yang dimaksud sengaja di sini ialah apa yang 11 12
72
HAMKA, Tafsiral Azhar hlm. 229 M. Ali as Shobuni, Rawai’ al Bayan….... hlm. 264
An-Nuha
Vol. 1, No. 1, Juli 2014
Adopsi Perspektif Hukum Islam
terjadi sesudah ada larangan. 2. Qatadah berpendapat, bahwa yang dimaksud keliru di sini ialah perbuatan yang dilkukan tanpa sengaja. Misalnya: engkau memanggil seorang anak dengan menisbatkan kepada seseorang yang bukan bapaknya, tetapi engkau mengira bahwa orang tersebut ialah betul-betul bapaknya, maka yang demikian itu tidak mengapa. Tetapi kalau dengan panggilan itu engkau betul-betul sengaja dan engkau betul-betul berniat untuk menbangsakan anak bukan kepada bapaknya, maka engkau berdosa. Menurut pendapat pertama, bahwa keliru yang tidak berdosa itu ialah menyebut anak angkat sebagai anaknya sendiri sebelum adanya larangan. Sedang sengaja yang jelas berdosa itu ialah sesuatu yang terjadi sesudah ada larangan sehingga ayat tersebut berarti demikian: kamu tidak berdosa mengangkat anak (adopsi) di zaman jahiliyah karena kamu belum mengetahui hukum-hukum Islam tetapi kamu dinilai berdosa karena hal itu kamu lakukan sesudah Islam datang dan sesudah dijelaskan akan hukumhukumnya. Menurut pendapat kedua, bahwa keliru yang tidak berdosa itu ialah yang tidak disengaja. Sedang yang sengaja itu ialah yang benar-benar disengajakan. Sehingga dengan demikian ayat tersebut berarti demikian: kamu tidak bedosa karena lidahmu terlanjur (tanpa sengaja) menisbatkan seorang anak kepada orang lain. Tetapi kalau kamu sengajakan padahal kamu tahu betul bahwa orang lain itu bukan bapaknya maka kamu berdosa. Abu Hayyan dalam tafsirnya al Bahrul Muhith membenarkan pendapat kedua dan pendapat pertama dilemahkannya seraya berkata: perkataan “tentang apa-apa yang kamu keliru” itu, ada yang berpendapat bahwa apabila hal itu terjadi sebelum ada larangan tidak bisa dinilai keliru. Dan ada juga yang berpendapat bahwa keliru itu ialah terlanjurnya ucapan, mungkin karena betul-betul keliru atau karena perasaan iba dan sayang. Sebab seringkali seseorang memanggil anak kecil “hai anakku” dan begitu juga nak kecil memanggil orang tua “hai bapakku” dengan tujuan menghormat.
D. Istimbat Hukum Ada beberapa istimbat hokum yang dapat diperoleh dari tafsir surat
Vol. 1, No. 1, Juli 2014
An-Nuha
73
Muhammad Lutfi Syarifuddin
al Ahzab ayat 4-5. Namun jika diperhatikan dengan lebih seksama maka dapat diketahui bahwa inti dari surat al Ahzab ayat 4-5 tersebut adalah berbicara tentang adopsi/anak angkat. Adopsi adalah sebuah tradisi yang sudah ada pada zaman jahiliyah. Adopsi pada zaman jahiliyah ini menganggap bahwa anak kandung adalah anak kandungnya yang penisbatan anak angkat itu ikut kepada bapak angkatnya (bukan kepada bapak kandungnya) sehingga hubungan antara bapak angkat dan anak angkat ini mengakibatkan terjadinya hukum kekeluargaan seperti antara anak dan bapak kandungnya seperti dalam hal warisan dan wali nikah. Surat al Ahzab ayat 4-5 ini merupakan sebuah hukum baru yang menanggapi fenomena social tentang adopsi. Ayat ini jelas sangat kontra dengan praktek adopsi pada masa itu. Dan Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai petunjuk tatacara praktek adopsi yang benar dan adil. Dalam firman Allah SWT tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa Dia tidak menjadikan anak-anak angkat sebagai anak kandung (sendiri). Karena dengan mengatakan anak angkat sebagai anaknya sendiri adalah merupakan kebohongan yang hanya diucapkan dimulut saja dan bukan hal yang sebenarnya. Pada ayat ke-5 surat al Ahzab dijelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk memanggil anak-anak angkat itu dengan memakai (menisbatkan kepada) nama bapak kandung mereka, kecuali jika tidak diketahui siapa bapak kandungnya maka dianjurkan untuk memanggil anak angkat itu dengan sebutan saudaraku seagama atau maulaku. Dengan panggilan seperti itu maka tidak terjadi pemutusan/pengaburan hubungan dengan bapak kandungnya dan sesungguhnya yang demikian itu adalah lebih adil di sisi Allah.
E.
Kesimpulan Dari tulisan mengenai tafsir surat al Ahzab ayat 4-5 yang berbicara mengenai adopsi yang telah dipaparkan di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa jika di lihat dari segi sejarah sababun nuzul, tidak diperbolehkannya adopsi oleh ayat ini adalah karena praktek adopsi yang diterapkan pada waktu itu memiliki unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip Islam, diantaranya yaitu:
74
An-Nuha
Vol. 1, No. 1, Juli 2014
Adopsi Perspektif Hukum Islam
1. Dinisbatkannya seorang anak angkat kepada bapak angkatnya 2. Timbulnya hubungan waris-mewarisi antara bapak angkat dan anak angkat 3. Putusnya hubungan kekerabatan antara anak angkat dengan bapak kandungnya Sesungguhnya ayat ini turun untuk memberi petunjuk tatacara praktek prihal adopsi yang benar dan adil. Allah SWT menjelaskan bahwa anak angkat bukanlah anak kandung dan meskipun telah menjadi anak angkat orang lain tapi penisbatannya tetap kepada bapak kandungnya, bukan kepada bapak angkatnya sehingga dengan demikian hubungan tersebut tidak menimbulkan akibat hokum kekeluargaan antara anak dan bapak kandung. Adopsi yang dianjurkan oleh Islam adalah adopsi yang lebih bersifat memelihara anak-anak yatim, anak-anak miskin dan anak-anak terlantar dengan tujuan menolong, menyantuni, mengasuh dan mendidik serta menyelamatkan iman anak. 1.
Pertanyaan saudara Andri : siapa yang paling berhak menjadi wali serta bagaimana status kewarisan anak angkat tersebut? Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwasannya praktek adopsi pada zaman jahiliyah adalah praktek adopsi yang dilarang oleh agama Islam disebabkan adanya beberapa hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yaitu dinisbatkannya anak angkat kepada bapak angkatnya dan dikaburkanya nisbat terhadap bapak kandungnya. Serta berlakunya hukum kekeluargaan seperti antara bapak dengan anak kandungnya. Sehingga halhal yang semula haram menjadi halal dan yang semula halal menjadi haram serta perubahan hukum yang lain. Jadi praktek adopsi pada zaman jahiliyah seperti tersebut di atas tidak sesuai dengan prinsip Islam karena adopsi dalam Islam tidak menghendaki yang demikian. Praktek adopsi dalam Islam menghendaki tidak dikaburkannya nisbat bapak kandung terhadap anak yang dijadikan anak angkat oleh orang lain. Jadi anak seseorang yang telah diadopsi oleh orang lain nasabnya tetap kepada bapak kandungnya. Dalam hal ini bapak angkat tidak mempunyai hak lain selain tanggung jawab terhadap pendidikan, keimanan, kemanusiaan dan kesejahteraan anak angkat sehingga anak angkat hukumnya sama dengan anak orang lain. Sehingga bapak angkat tidak mempunyai hak dalam hal perwalian pernikahan dan warisan kecuali bapak angkat atau anak angkat tersebut Vol. 1, No. 1, Juli 2014
An-Nuha
75
Muhammad Lutfi Syarifuddin
berbaik hati maka ayah angkat atau anak angkat tersebut boleh diberi harta peninggalan dalam bentuk wasiat wajibah yang jumlahnya tidak boleh melebihi dari 1/3 harta peninggalan.13 2.
Pertanyaan saudara Hamdun: dalam kaitannya dengan perwalian khususnya dalam hal adopsi, apakah pengangkatan anak hanya didasarkan pada niat mengasuh anak saja ataukah ada syarat-syarat dan proses tertentu? Pada zaman jahiliyah untuk mengangkat anak cukup hanya dengan mengatakan kalimat: “kau adalah anakku, aku akan mewarismu dan kau akan mewarisikku”. Dengan ucapan tersebut maka dua orang yang sebelumnya berstatus sebagai orang lain berubah menjadi anak angkat dan bapak angkat. Tidak ada syarat dan proses khusus tertentu dalam hal pengangkatan anak kecuali hanya ucapan seperti yang diucapkan Nabi ketika mengadopsi Zaid bin Haritsah. Ayat 4-5 surat al Ahzab ini memang tidak menjelaskan syarat-syarat adopsi secara inplisit namun dapat diketahui bahwa orang yang ingin mengadopsi anak harus sanggup melakukan syarat yang harus dipenuhi setelah pengadopsian anak yaitu tidak diperbolehkannnya menasabkan anak angkat kepada selain orang tua kandungnya. Jadi orang tua angkat tidak memiliki hak untuk mendapatkan nasab dari anak angkatnya. Dengan demikian maka hubungan antara anak angkat dan bapak angkat tetaplah sebagai orang lain sehingga bapak angkat tidak mempunyai hubungan hukum Islam seperti antara bapak dan anak kandungnya begitu pula bapak angkat tidak berhak atas perwalian dalam pernikahan dan tidak menadapatkan warisan dari masing-masing pihak kecuali pihak yang meninggal berbaik hati maka pihak yang ditinggalkan dapat memiliki harta tersebut dengan wasiat wajibah yang jumlahnya tidak boleh lebih dari 1/3 harta peninggalan. 3.
Pertanyaan saudari Akmalia : Bagaimana jika ada pasangan suami isteri mengadopsi anak untuk memancing kelahiran anak. Namun setelah anak kandungnya lahir anak adopsi tidak diperhatikan lagi? Kemudian jika salah satu tujuan adopsi adalah untuk menjamin 13
76
Mengenai pemberian wasiat wajibah ini juga di atur dalam KHI Pasal 209
An-Nuha
Vol. 1, No. 1, Juli 2014
Adopsi Perspektif Hukum Islam
pendidikan namun dalam masa adopsi ternyata anak bandel/ nakal. Apakah orang tua angkat boleh mengembalikan anak angkat tersebut? Banyak faktor mengenai sebab yang menjadi alasan pasangan suami isteri melakukan adopsi. Salah satu alasannya adalah karena belum juga mendapat karunia anak setelah lama menikah. Kehadiran anak adopsi dan nuansa warna rumah yang diciptakannya diharapkan dapat mempergigih usaha pasangan suami isteri untuk segera melahirkan anak. Dengan demikian adopsi dilakukan dengan harapan dapat memancing kelahiran anak kandung dari rahim isterinya. Hal ini dapat dibenarkan karena salah satu tujuan perkawinan adalah untuk regenerasi atau melahirkan keturunan. Namun tidak seharusnya jika orang tua angkat tidak memperhatikan lagi terhadap anak angkat setelah kelahiran anak kandung. Atau mungkin itu hanya perasaan dari anak angkat saja karena biasanya ia mendapatkan 100 % perhatian dari orang tua angkatnya namun setelah kelahiran anak kandung perhatian orang tuanya tentu saja harus dibagi. Tujuan adopsi adalah untuk menjamin kesejahteraan hidup, menjamin pendidikan, menyelamatkan kaimanan dan untuk kemanusiaan. Jadi memang benar bahwa salah satu tujuan adopsi adalah untuk menjamin pendidikan namun jika ternyata hasil didikan dari orang tua angkat menghasilkan anak yang bandel maka orang tua angkat diharapkan dapat memberi pendidikan yang lebih baik dan mencari sebab mengapa ia bandel dan tidak mau berubah padahal ia sudah beruntung mempunyai orang tua angkat yang mau menanggung biaya hidup dan pendidikannya sehiangga ia dapat berubah dan tidak nakal lagi. Jika orang tua merasa tidak tahan lagi orang tua angkat dapat melakukan usaha untuk mengembalikan anak angkat kepada orang tua kandung atau panti asuhan tempat asalnya dengan mengajukan permohonan ke pengadilan. 4.
Pertanyaan saudara Alwan: bagaimana hukum penyebutan nama suami di belakang nama isteri, seperti Ibu Yeni Suroso jika dikaitkan dengan penisbatan? Dalam ayat yang telah diterangkan di atas dapat dipahami bahwa seorang anak tidak boleh dinisbatkan kepada orang yang bukan bapak kandungnya. Salah satu tujuan penisbatan adalah untuk mengetahui silsilah
Vol. 1, No. 1, Juli 2014
An-Nuha
77
Muhammad Lutfi Syarifuddin
keluarganya, paling tidak mengetahui orang tuanya sehingga hubungan dan hukum antara keduanya menjadi jelas seperti tentang mahram, wali, warisan dan sebagainya. Pada zaman jahiliyah seseorang yang diangkat anak oleh orang lain maka nama anak tersebut dinasabkan kepada bapak angkatnya (misalnya seperti nama Zaid bin Muhammad) dan terputus hubungan dengan bapak kandungnya sehingga praktek adopsi pada waktu itu menimbulkan akibat hukum yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Panggilan yang tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam adalah panggilan yang menisbatkan anak kepada seseorang yang bukan bapaknya atau panggilan yang mengaburkan/menyamarkan nasabnya. Jika seseorang dipanggil dengan nama Ibu Yeni Suroso, maka panggilan ini tidaklah mengapa karena suroso dalam nama ini bukan dipakai untuk menisbatkan Ibu Yeni kepada Suroso dan nama suroso tidak diletakkan setelah kata bin. Dalam panggilan tersebut nama isteri suroso masih di sebut dan alasan diletakkannya nama suami di belakang nama isteri adalah untuk lebih mengenalkan bahwa yeni yang dipanggil adalah yeni yang bersuamikan suroso. Jadi panggilan seperti ini tidaklah mengapa atau diperbolehkan.
78
An-Nuha
Vol. 1, No. 1, Juli 2014
Adopsi Perspektif Hukum Islam
DAFTAR PUSTAKA Zaini, Muderis, Adopsi; Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1995 Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedia Hukum Islam, jld 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997 Bahreisj, Hussein Khalid, Kamus Standar Hukum Islam, Surabaya: Tiga Dua, 1997 Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al Haditsah pada Masalahmasalah kontemporer hukum Islam cet ke-2 Jakarta: Raja grafindo Persada, 1997 Jalalluddin bin Ahmad al Mahalli, Jalalluddin ar Rahman bin Abi Bakri Lil Suyuti, Tafsir Jalalain bi Asbab al Nuzul Lil Suyuti, cet ke-3 Libanon: Dar al Kitab, tt As Shobuni, M. Ali, Rawai’ al Bayan; Tafsir Minal Qur’an, Kuwait: Dar al Qur’an al Karim, tt HAMKA, Tafsir al Azhar juz XVIII, Surabaya: tp, 1984
Vol. 1, No. 1, Juli 2014
An-Nuha 79