TALFîQ ANTAR MADZHAB DALAM KAJIAN HUKUM ISLAM
Abdul Mufid STAI Khozinatul Ulum Blora Jawa Tengah Email:
[email protected]
Abstrak Selama ini masalah bermadzhab dan talfîq masih belum jelas statusnya; apakah ada talfîq (dalam diskursus hukum Islam) ataukah tidak. Sebagian kalangan menganggap talfîq bagi orang yang mengambil pendapat dari banyak ulama dalam satu masalah kemudian meramunya. Ada pula kalangan lain yang mengatakan hal itu tidak dianggap talfîq. Lalu pertanyaannya; bagaimana sebenarnya masalah bermadzhab dalam fiqh dan talfîq ini? Apakah ia benar-benar ada dalam hukum Islam? Tulisan ini mengupas tentang hukum bermadzhab dan talfîq antarmadzhab. Pembahasan ini penting untuk memperjelas status hukum bermadzhab dan talfîq dalam hukum Islam, sehingga tidak membingungkan masyarakat. Selain itu masyarakat akan mempunyai pegangan yang jelas dalam bermadzhab dan bertalfîq. Kajian ini berdasarkan kajian kepustakaan dengan pendekatan ushul fiqh. Berdasarkan kajian penulis, dapat disimpulkan bahwa orang yang mempunyai kemampuan berijtihad untuk menememukan hukum tidak diperkenankan bermadzhab atau mengikuti mujtahid tertentu pada tataran produk, pada tataran Fiqh atau bertaqlid. Bermadzhab pada tataran produk diperbolehkan, bahkan diharuskan hanya terbatas untuk orang yang tidak mempunyai kapasitas untuk melaksanakan
ijtihad. Mengenai talfîq, hal ini perbolehkan apabila dalam situsi dan kondisi tertentu yang menuntut seseorang untuk menggabungkan dua madzhab atau pendapat ulama atau lebih. Talfîq diperbolehkan dengan bersyarat. Kata kunci : Bermadzhab, Talfîq, Fiqh dan Hukum Abstract Untill recent times, the problem of talfîq - deliberate evasion of the strictures of one madhab (the school of Islamic legal thoughts and jurisprudences) so as to adopt dispensations in other madhabs- is still unclear; Even many feel doubt whether the issue of talfîq really exists in the discourse of Islamic law. Some people consider anyone who take the opinion of many scholars in a similar issue then mixes them as undertaking talfîq. While other consider it not. The questions, then, arise : What is the distinction between following madhab and talfîq? Does the talfiq really exist in Islamic law? This article explores the legal status of following a single madhab and talfiq among several madhabs. Such a discussion is important in order not to confuse the public in determining legal status of following a madhab and talfiq in Islamic law. Having scrutinized a number of literatures and by utilising the so-called ushul fiqh approach, this study concludes that a person capable to exercise private judment in formulating legal problems is not allowed to follow a madzhab or a particular mujtahid- an authoritative interpreter of Islamic law- either at the level of the legal product or at the level of fiqh (taqlid). For those incapable to do so, he/she is allowed to follow a madhab at the level of the products. He/she is also allowed to combine two, or more, madhabs or scholar opinions under certain circumstances. In other words, talfîq is allowed in certain situations and conditions. Keywords: Following a madzhab, Talfîq, Islamic Jurisprudences and Law.
Pendahuluan Islam diturunkan Allah swt untuk umat manusia yang mempunyai tujuan utama mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan RasulNya, baik berupa larangan maupun suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Ketentuan-ketentuan itu selanjutnya disebut dengan syari‟ah (Islamic law),1 yang memuat 3 (tiga) hal, yaitu al-aħkâm al-i‟tiqâdiyyah,2 al-aħkâm al-wujdâniyyah,3 dan al-aħkâm al-„amaliyyah.4 Hasil pemahaman tentang al-aħkâm al-„amaliyyah disusun secara sistematis dalam kitab-kitab fikih dan disebut hukum fikih. Sebagai hukum yang diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan konkrit, hukum fikih mungkin berubah dari masa ke masa dan mungkin juga berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Ini sesuai dengan ketentuan yang disebut dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: 5
Seiring dengan perkembangan zaman dan penyebaran Islam ke berbagai wilayah, maka hal tersebut berpengaruh terhadap interpretasi teks. Interpretasi ayat dan hadis berkembang sesuai dengan konteks sosio-kultural masyarakat dan perkembangan waktu. Hal ini berimplikasi juga pada metode penemuan hukum dari teks yang kemudian dirumuskan dalam bentuk fiqh. Masingmasing ulama dari suatu daerah mempunyai metode dan karakteristik dalam berijtihad dalam menemukan hukum. Metode 1 Secara etimologis, syari‟ah berarti jalan yang lurus. Sedangkan secara terminologis ia berarti hukum-hukum Allah yang ditujukan kepada hambanya melalui perantara Rasul-Nya (Khalil, tt: 8) 2 Al-ahkâm al-i‟tiqâdiyyah yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan keyakinan seperti iman kepada Allah, Rasul, Malaikat, Hari akhir, dll. Semua ini dibahas dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid 3 Al-ahkâm al-wujdâniyyah adalah yang berhubungan dengan akhlak, seperi zuhud, sabar, ridha, dll. yang dibahas dalam ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu akhlaq atau ilmu tasawuf 4 Al-ahkâm al-„amaliyyah adalah yang berhubungan dengan perbuatan seseorang, seperti shalat, puasa, jual beli, zakat, dll yang menjadi objek bahasan ilmu fikih 5 Ahmad Musthafa al-Zarqa, Syarh al-Qawâid al-Fiqhiyah, (CD al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), II/129 Jurnal Hukum, Vol. 11 Nomor 1
ijtihad dengan produk fiqhnya inilah yang memunculkan istilah madzhab fiqh. Fiqh Imam madzhab berarti suatu aturan furu‟ yang merupakan hasil ijtihad oleh imam madzhab. Madzhab yang paling “menghegemoni” dalam khazanah hukum Islam adalah empat madzhab, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi‟i dan Imam Hanbali. Masing-masing imam madzhab mempunyai karakteristik dan metode yang berbeda dalam melakukan ijtihad, sehingga juga berpengaruh pada perbedaan produk ijtihadnya yang bersifat furu‟.6 Jadi, fiqh madzhab pada tataran furu‟ merupakan suatu produk pemikiran, bukan metode. Islam pada dasarnya tidak mengenal ajaran bermadzhab. Namun demikian, setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, dalam menjalankan syariat Islam, khususnya pada tataran fiqh, umat Islam secara tidak terorganisir telah mengikuti pendapat tokoh tertentu. Tradisi ini telah ada sejak masa sahabat. Hal ini bisa dilihat dengan munculnya istilah madzhab „Aisyah, Ra., madzhab Abdullah bin „Umar, madzhab Abdullah bin Mas‟ud dan seterusnya. Sementara pada masa tabi‟in muncul tujuh madzhab ulama Madinah yang sangat Mashur, yaitu Sa‟id bin al-Musayyab, Urwah bin Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Khorijah bin Zaid, Abu Bakar bin Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, Sulaiman bin Yasar, dan Ubaidillah bin Abdullah bin „Utbah bin Mas‟ud. Selain itu, juga ada madzhab Nafi‟ Maula Abdullah bin Umar. Sementara di Kufah muncul madzhab „Alqomah bin Mas‟ud, Ibrahim al-Nakha‟i, Syaikh Hammad bin Abi Sulaiman, Syaikh Abu Hanifah. Sementara dari Bashrah muncul madzhab Hasan alBashri. Madzhab lain yang muncul pada masa tabi‟in antara lain madzhab „Ikrimah Maula Ibni „Abbas, „Atha‟ bin Abi Ribah, Taus bin Kisan, Muhammad bin Sirin, Masruq bin al-A‟raj, „Alqamah alNakha‟i, al-Syu‟ba, Syuraih, Sa‟id bin Jubair, Makhul al-Dimasyqi, 6 Realitas sosial menjadi salah satu faktor perbedaan metode dan corak ijtihad ulama madzhab dan hasilnya. Imam Syafi‟i misalnya, pada mulanya ketika berada di Hijaz dan Irak telah mengeluarkan hasil ijtihad beliau yang sering disebutnya dengan qaul qadîm. Qaul qadîm ini dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya negeri Hijaz dan Irak. Kemudian ketika beliau hijrah ke Mesir, beliau mendapati bahwa realitas sosial budaya masyarakat Mesir berbeda dengan Hijaz dan Irak, karena Mesir dipengaruhi Budaya Eropa dan Romawi. Sehingga beliau mengeluarkan istihad baru yang biasa disebut qaul jadîd.
dan Abu Idris al-Haulani.7 Tekad dan keyakinan seseorang untuk berpegang pada satu madzhab tertentu tidak jarang tidak dapat dipertahankan secara konsisten karena kondisi dan situasi tertentu. Seorang yang berpegang pada madzhab fiqh Syafi‟î suatu saat karena alas an tertentu, atau bahkan dengan tanpa ada alasan mencampurnya dengan ajaran madzhab Malikî, Hanafî atau Hanbalî. Ada pula seseorang yang tidak berpegang pada madzhab tertentu, akan tetapi menggunakan pendapat fiqh dari berbagai madzhab. Tindakan semacam ini dalam khazanah ushul fiqh disebut dengan talfîq. Hal ini nampaknya menjadi trend akahir-akhir ini di mana fanatisme bermadzhab telah mulai memudar seiring dengan perkembangan zaman. Lalu bagaimana status hukum talfîq dalam kajian hukum Islam? Bagaimana landasan hukum talfîq? Tulisan ini membahas mengenai status hukum dan syarat-syarat talfîq. Pembahasan dalam tulisan ini berdasarkan kajian kepustakaan yang dianalisa secara deskriptif. Penulis juga menjelaskan tentang bermadzhab dalam fiqh, hal ini sebagai titik tolak untuk berangkat dalam membahas tentang talfîq.
Pembahasan A. Bermadzhab dalam Fiqh 1.
Konsep Dasar Bermadzhab
Kata madzhab berasal dari suku kata yang berarti pergi. Madzhab adalah bentuk isim makan dan juga bisa menjadi isim zaman dari kata tersebut sehingga bermakna: “Jalan atau tempat untuk berjalan, atau waktu untuk berjalan”. Ahmad ash-Shawi al-Maliki menyebutkan bahwa makna etimologi dari madzhab adalah:8 7 Wahbah al-Zuailî, al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuh, (Beirut: Dâr Al-Fikr, 2005), I /27. 8 Ash-Shawi, Hasyiyah ash-Shawi „ala Syarh ash-Shaghir li ad-Dardiri, jilid 1, h. 16 Jurnal Hukum, Vol. 11 Nomor 1
“Tempat untuk pergi seperti jalanan secara fisik”. Sedangkan menurut istilah, madzhab adalah kumpulan hukum yang berisi masalah-masalah hukum.9 Sedangkan menurut az-Zarqani:10
“Pendapat yang diambil oleh seorang imam dan para imam dalam masalah yang terkait dengan hukum-hukum ijtihadiyah”. Menurut Sjechul Hadi Permono, anggapan madzhab sebagai rujukan yang kaku, dan dijadikannya sebagai upaya pengidentitasan kelompok atau golongan adalah amat keliru. Hal ini membawa kepada ta‟ashshub madzhab (fanatik faham dan fanatik golongan), serta membangkitkan asumsi ketidakmungkinan untuk melakukan tajdid dan ijtihad dalam bidang fikih.11 Kata madzhab mempunyai dua arti: 1. Qaul (pendapat), yakni produk hukum seorang ahli 2. Manhâj(metode), yakni turuq al-istinbat, prosedur penetapan hukum dari seorang mujtahid. Sejarah menunjukkan bahwa para ulama pengarang kitab pada umumnya bermadzhab dengan arti yang kedua (manhâj). Buktinya mereka banyak menelorkan qaul (pendapat) yang tidak ditawarkan oleh imam-imam madzhabnya, dan banyak aqwal (pendapat-pendapat) dari para imam dalam satu madzhab yang saling silang pendapat. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka hanya memakai manhajnya saja, tidak memakai qaul (produk hukum)-nya. Tegasnya mereka hanya memakai ushul dan qawa‟id fiqhiyyah-nya saja, tidak memakai fiqhnya. Bermadzhab dengan arti mengikuti manhâjjustru merupakan suatu aturan berpikir yang metodologis dan sistematis untuk mencapai suatu kebenaran ilmiah. Hal itu karena sesuai dengan metode ilmiah. Tanpa itu sesuatu yang dihasilkan tidak dapat dimasukkan dalam kategori 9 Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuh, 1989, Beirut: Dār alFikr, I, h. 28 10 Az-Zarqani, Syarh az-Zarqani „ala Syarh al-Qani, h. 133 11 Sjechul Hadi Permono, Dinamisasi Hukum Islam Dalam Menjawab Tantangan Era Globalisasi, 2002, Surabaya: Demak Press, h. 32
kebenaran ilmiah, karena tidak melalui metode ilmiah.12 Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika cara/jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Maka makan, minum dan tidur bukan merupakan madzhab bagi seseorang atau sekelompok orang. Menurut para ulama dan ahli yang dinamakan madzhab adalah manhâj(metode) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikan madzhab sebagai pedoman yang jelas batasanbatasannya, bagianbagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.13 Berdasarkan pemaparan di atas, maka bermadzhab dalam fiqh dapat diartikan sebagai tindakan seseorang untuk mengikuti pendapat ulama tertentu dalam bidang fiqh atau furû‟. Dalam hal ini orang tersebut mengetahui dasar pemikiran dan argument pendapat ulama yang diikuti tersebut. Bermadzhab dengan tanpa mengetahui dasar-dasar atau argumentasi suatu putusan hukum imam madzhab tersebut disebut taqlid. Berkaitan dengan bermadzhab atau taqlid kepada ulama atau mujtahid tertentu memang tidak diatur dalam nash Sa‟îd Ramadhân al-Buti dalam kitabnya “al-La Madzhabiyyah: Akht}aru Bid‟atin Tuhaddidu alSyarî‟ah al-Islâmiyah menyatakan bahwa tidak ada nash yang mengatur tentang taqlid. Namun demikian, taqlid disyariatkan dan ditetapkan. Selain itu, bagi orang yang bertaqlid berhak dan boleh untuk mengikuti madzhab tertentu.14 2.
Asal-usul Bermadzhab
Pada periode Rasulullah tidak terjadi perbedaan pendapat dalam memberikan keputusan hukum terhadap suatu peristiwa sebab standar perundang-undangan masih satu. Pada masa ini seluruh jawaban untuk setiap persoalan umat diserahkan kepada Rasul. Pada masa ini juga terjadi keputusan-keputusan hukum yang bersifat ijtihadî yang dikeluarkan oleh para sahabat, namun semuanya dikembalikan kepada Rasul untuk disahkan atau dikoreksi. 12 Ibid 13 Dikutip oleh Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012), h. 5 14 Ramadhan al-Buti, al-Madzhabiyyah: Akht}aru Bid‟atin Tuhaddidu alSyarî‟ah al Islâmiyyah, (Damaskus: Dâr al-Fârâbî, 2005), h. 95 Jurnal Hukum, Vol. 11 Nomor 1
Akan tetapi, pada periode sahabat, setelah munculnya pemuka-pemuka perundang-undangan di antara mereka, mulai timbullah perbedaan pendapat di kalangan mereka, sehingga dalam menetapkan hukum terhadap satu kejadian terdapat beberapa fatwa. Perbedaan pendapat ini terjadi sebab cara memahami maksud masing-masing teks berbeda-beda akibat perbedaan tingkat kecerdasan dan segi-segi tinjauannya, dan dalam soal sunnah. Kadang-kadang sebagian dari mereka berpegang kepada sunnah dan yang lain tidak berpegang kepadanya, sebab kepentingan-kepentingan yang harus dikeluarkan hukumnya pun berbeda-beda ukurannya, akibat perbedaan lingkungan. pemuka-pemuka perundangan itu sendiri. Fakta-fakta inilah yang menimbulkan perselisihan pemberian fatwa dan ketentuan hukum walaupun mereka sependirian dalam menetapkan sumber-sumber perundang-undangan dan urutan kembali mereka kepadanya, serta dalam hal prinsip-prinsip hukum yang umum. Dengan kata lain, mereka hanya berbeda dalam soal furû„ (cabang hukum) saja bukan dalam usus (pokok-pokok perundang-undangan) dan jenisjenisnya.15 Pada abad kedua Hijriyah ketika kekuasaan perundangundangan berpindah ke tangan angkatan para imam mujtahid, maka arena perbedaan pendapat di kalangan para pemukapemuka perundang-undangan semakin meluas, dan sebab-sebab perbedaan mereka pun tidak hanya terbatas pada tiga sebab yang menjadi pokok perbedaan pendapat di kalangan sahabat, bahkan sampai pada sebab-sebab yang berhubungan dengan sumbersumber hukum, bertentangan hukum dan prinsip-prinsip bahasa yang diterapkan untuk memahami nash. Dengan demikian, perselisihan mereka tidak hanya terbatas kepada fatwa-fatwa dan furû‟ (cabang-cabang) hukum saja, melainkan sudah terjadi pada usus (dasar-dasar) perundang-undangan dan garisnya. Hal ini menyebabkan setiap golongan dari mereka mempunyai suatu aliran hukum tertentu yang terbentuk dari hukum cabang yang mereka ambil (istinbat) dari garis perundang-undangan yang
15 Abdul Wahab Khalaf, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, 2000, Bandung: CV Pustaka Setia, h. 79-80
khusus.16 Perbedaan pendapat tentang garis perundang-undangan di kalangan para imam mujtahid itu bersumber pada perbedaan mereka mengenai tiga persoalan yakni: 1. Perbedaan tentang penetapan sebagian sumber-sumber perundang-undangan. 2. Perbedaan tentang pertentangan pengambilan hukum dari perundang-undangan. 3. Perbedaan tentang sebagian prinsip-prinsip bahasa yang diterapkan dalam memahami nash-nash.17 Perbedaan ini terus bertambah tajam sehingga masingmasing ulama yang diakui keilmuannya memiliki metode-metode istinbat sendiri serta keputusan-keputusan hukumnya yang berdiri sendiri. Dengan demikian, akhirnya timbul madzhab-madzhab dalam bidang fikih. Jumlah madzhab fikih pada awalnya banyak sekali yang dimulai dengan bermunculannya banyak tokoh fikih dari kalangan sahabat dan tabi‟in, seperti „Aishah, „Abdullah bin Umar, Ibn Mas‟ud, Urwah bin Zubair, Abu Bakr bin Hisyam, Ibrahim alNakha‟i, Hasan al-Bas lainnya. Awal abad kedua hijriah sampai separuh abad keempat adalah abad keemasan bagi dunia ijtihad. Pada masa itu muncul tiga belas mujtahid yang madzhabnya dibukukan dan diikuti. Mereka adalah: Sufyan bin Uyainah di Makkah, Malik bin Anas di Madinah, Hasan al-Basri di Bashrah, Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsaury di Kufah, al-Auza‟iy di Syam, asy-Syafi‟i dan al-Laits bin Sa‟ad di Mesir. Kebanyakan dari mereka sekarang hanya ada dalam keterangan-keterangan berbagai kitab karena pengikutnya tidak ada.18 3.
Hukum Bermadzhab
Sebagian ulama mengatakan bahwa komitmen dengan satu madzhab tertentu dan imam tertentu hukumnya harus. Karena ia yakin bahwa pendapat itu benar sehingga ia harus komitmen dengan keyakinannya. Sebagian besar ulama yang lain 16 Ibid 17 Ibid 18 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, 1989, Beirut: Dār al-Fikr, I, h. 28 Jurnal Hukum, Vol. 11 Nomor 1
berpendapat bahwa tidak harus komitmen dengan satu imam tertentu dalam semua masalah dan hukum. Namun ia boleh bertaklid dengan imam mujtahid tertentu yang ia kehendaki. Jika berkomitmen dengan satu madzhab tertentu, maka ia tidak wajib terus menerus mengikuti mereka dalam setiap masalah. Ia boleh berpindah dan memilih dari madzhab satu ke madzhab yang lain. Sebab ia hanya wajib mengikuti apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Sementara Allah dan RasulNya tidak mewajibkan seseorang untuk mengikuti salah satu dari ulama. Allah hanya memerintahkan untuk mengikuti mereka secara umum tanpa mengkhususkan satu dari yang lain. Ulama Ushuliyyûn berbeda pendapat mengenai hukum mengikuti salah satau Madzhab dalam fiqh (bermadzhab). Secara singkat pendapat mereka dapat dibagi menjadi tiga pendapat berikut: Pertama, Sebagian Ulama memewajibkan umat Islam untuk mengikuti madzhab tertentu, karena adanya keyakinan bahwa madzhab tertentu adalah benar, maka wajib mengikuti kebenaran yang diyakini. Kedua, Mayoritas Ulama Ushuliyyûn tidak mewajibkan mengikuti atau taqlid madzhab tertentu dalam menentukan hukum suatu permasalahan, tetapi diperbolehkan mengikuti ulama siapapun yang mereka kehendaki. Apabila seseorang mengkikuti madzhab imam tertentu, seperti Abu Hanifah, Syafi‟i dan lainnya, maka tidak wajib untuk terus mengikuti pendapat mereka, tapi diperbolehkan untuk berpindah madzhab dalam permasalahan tertentu. Alasan pendapat kedua ini, karena tidak ada kewajiban selain yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, sementara Allah dan Rasul-Nya tidak mewajibkan kepada umat Islam untuk bermadzhab. Allah hanya memerintahkan umat Islam untuk mengikuti ulama dan menanykan kepada mereka mengenai hal-hal yang tidak diketahui.19 Pendapat yang menyatakan kewajiban mengikuti madzhab tertentu malah akan menyulitkan seseorang padahal madzhab adalah keutamaan dan rahmat untuk umat. Pendapat kedua ini merupakan pendapat yang râjih di kalangan ulama. 19Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui (QS. Al-Anbiya‟ : 7)
Ketiga, Al-Amidî dan Kamal bin al-Hammâm, apabila seseorangdalammemutuskansuatupermasalahataumengamalkan sesuatu mengikuti madzhab tertentu, maka tidak diperbolehkan baginya untuk berpindah madzhab dalam permasalahan tersebut. Ulama lain yang berpendapat demikian adalah al-Manshur Billah, Syaikh al-H}asan bin Muhammad, dan Syaikh Ah}mad bin Muh} ammad.20 Bermadzhab pada tataran furu‟ atau taqlid itu relevan hanya bagi orang yang tidak mempunyai kapasitas atau tidak memenuhi syarat mujtahid. Bagi orang semacam ini boleh, bahkan harus mengikuti ulama yang sudah mempunyai kemampuan untuk berijtihad. Sementara itu, bagi orang yang mempunyai ilmu dan kapasitas untuk melakukan ijtihad maka dia tidak boleh taqlid. Artinya dia harus mendayagunakan segala ilmu dan kemampuannya untuk menggali dan menemukan hukum. Atau setidaknya ketika dia mengikuti pendapat seorang ulama atau mujtahid, maka dia harus mengetahui dalil dan argument ulama tersebut mengenai suatu permasalahan. Apabila mempunyai kemampuan untuk berijtihad, namun tidak dapat menemukan kaidah atau metode ijtihad, maka alangkah baiknya dia mengikuti metode madzhab tertentu, atau dengan kata lain bermadzhab secara metodologis (manhajî).
B. Hukum Talfîq Antar Madzhab Fiqh 1.
Definisi Talfîq Secara etimologi, kata talfîq ( ) berasal dari kata ( ) yang berarti menggabungkan sesuatu dengan
yang lain. Seperti dalam ungkapan bermakna saya menggabungkan antara kedua ujung baju (pakaian/kain), satu dengan yang lain, lalu menjahitnya. Dan pembahasan talfîq yang akan dibahas di sini ialah sebagaimana banyak diperbincangkan oleh para ulama ushul dan fuqaha yang menyangkut masalah bertaklid kepada para imam madzhab. Sehingga istilah talfîq antar madzhab dapat kita fahami secara etimologi sebagai 20 Ibnu Wazir, al-Raudh al-Basim, (CD al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar alSani, 2005), II/243. Jurnal Hukum, Vol. 11 Nomor 1
penggabungan dua madzhab atau lebih. Terminologi talfîq hanya ditemukan dari ulama dan kitabkitab yang sudah agak jauh dari masa awal pertumbuhan ilmu fiqh. Dan itupun ternyata para ulama agak berbeda pendapat ketika membuat definisi dari at-talfîq baina al-madzahib ini. Syaikh Muhammad Sa‟id Albani dalam kitab „Umdatu at-Tahqiq fi at-Taqlid wa at-Talfîq mendefinisikan talfîq dengan: “Mendatangkan suatu metode yang tidak pernah dikatakan oleh para mujtahid” Sebagian ulama yang lain sering mendefinisikan talfîq dengan tatabbu‟ ar-rukhash: “Mencari keringanan karena hawa nafsu”. Maksud dari mencari keringanan adalah keringanan hukum atau fatwa dari sekian banyak pendapat para ulama. Dengan demikian orang yang talfîq akan dapat dengan mudah menjalankan ibadah dengan aturan fiqh dari berbagai madzhab atau pendapat ulama. Talfîq antar madzhab dalam Ensiklopedi Fiqh Kuwait diaartikan sebagai berikut:
Pendefinisian ini memang tidak terlalu salah. Namun sebenarnya mencari keringanan dengan motivasi dorongan hawa nafsu hanyalah salah satu bentuk atau sebagian dari talfîq. Karena boleh jadi seorang mujtahid mencari keringanan dalam hukum dengan menggunakan dalil yang sekiranya meringankan kesimpulan hukum, namun motivasinya tidak selalu harus karena hawa nafsu. Ada motivasi-motivasi lain yang bisa diterima secara syariah dalam hal talfîq ini. Definisi yang agaknya bisa dijadikan pegangan adalah:
“Taklid yang dibentuk dari dua madzhab atau lebih menjadi satu bentuk ibadah atau muamalah”.21 2.
Kontroversi Madzhab
Ulama
tentang Hukum
Talfîq
antar
Ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama, melarang (mengharamkan) talfîq secara mutlak dan tanpa syarat. Pendapat kedua, membolehkan secara mutlak. Pendapat ketiga, talfîq ada yang dilarang dan ada yang diperbolehkan. Ulama Hanafiyah mengklaim ijma‟ kaum muslimin atas keharaman talfîq. Ulama Syafi‟iyyah mengatakan bahwa hal itu menjadi suatu ketetapan. Ibnu Hajar mengatakan, “Pendapat yang membolehkan talfîq adalah menyalahi ijma‟.” a. Pendapat yang Melarang Umumnya para ulama mengharamkan talfîq antar madzhab secara tegas dan tanpa syarat. Di antara mereka antara lain: 1. Abdul Ghani an-Nabulsi dalam karyanya Khulashah atTahqiq fi Bayan al-Hukmi at-Taqlid wa at-Talfîq 2. As-Saffarini (Muhammad bin Ahmad bin Salim alHanbali) dalam karyanya at-Tahqiq fi Buthlan at-Talfîq 3. Al-„Alawi asy-Syanqithi dalam karyanya Maraqi ashShu‟ud dan Nasyr al-Bunud „ala Maraqi ash-Shu‟ud 4. Al-Muthi‟i dalam karyanya Sullam al-Wushul li Syarh 21 Ghazi bin Mursyid bin Khalaf al-Atibi, At-Talfîq Baina al-Madzahib wa „Alaqatuhu bi Taisir al-Fatwa, h. 10
Nihayah as-Sul 5. Syaikh Muhammad Amin asy-Syanqithi dalam karyanya Syarh Maraqi ash-Shu‟ud 6. Al-Hasykafi dalam karyanya ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar. Ia mengklaim adanya ijma‟ dalam larangan talfîq.22 Argumentasi ulama yang melarang talfîq antara lain: pertama, Mencegah kehancuran. Andaikata talfîq dibenarkan, maka sangat dikhawatirkan terjadi kerusakan yang besar dalam tubuh syariat Islam dan hancurnya berbagai madzhab ulama yang telah dengan susah payah dibangun dengan ijtihad, ilmu dan sepenuh kemampuan. Sebab talfîq –menurut mereka- tidak lain pada hakikatnya adalah semacam kanibalisasi madzhabmadzhab yang sudah paten, sehingga kalau madzhab-madzhab itu di-oplos ulang, maka dengan sendirinya semua madzhab itu akan hancur lebur. Kedua, kaidah kebenaran hanya satu. Ada sebuah kaidah yang diikuti mereka, yaitu kebenaran di sisi Allah itu hanya ada satu. Kebenaran tidak mungkin ada dua, tiga, atau empat. Sedangkan prinsip talfîq justru bertentangan dengan kaidah di atas. Sebab dalam pandangan talfîq, semua mujtahid itu benar, padahal pendapat mereka jelas berbeda satu sama lain. Ketiga, tidak ada dalil yang membolehkan. Menurut pendapat ini, tidak ada satu pun dalil dalam syariat Islam yang menghalalkan talfîq antar madzhab. Bahkan tidak pernah ada contoh dari para ulama salaf sebelumnya yang pernah melakukan talfîq antar madzhab. Adapun bila kita temukan ada sebagian ulama salaf yang sekilas seperti melakukan talfîq, sebenarnya itu hanya terbatas pada kesan saja. Namun hakikatnya mereka tidak melakukan talfîq. Keempat, larangan ihdats qaul tsalits (menciptakan pendapat ketiga). Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma‟ atas ketidakbolehan menciptakan pendapat ketiga apabila para ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum suatu perkara. Karena 22 Al-Hasykafi al-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, (CD alMaktabah al-Syâmilah al-Isdâr al-Sânî, 2005), I/80.
menurut mayoritas ulama, tidak boleh menciptakan pendapat ketiga yang meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang telah disepakati. Seperti „iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia. Masalah ini ada dua pendapat. Pertama, sampai melahirkan. Kedua, masa yang paling jauh (lama) dari dua tempo „iddah. Dalam hal ini tidak boleh menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan beberapa bulan saja. b. Pendapat yang Memperbolehkan Bagi ulama yang mendukung pendapat ini antara lain para ulama Maghrib dari kalangan Malikiyah, seperti adDasuqi dalam karyanya Hasyiyah ad-Dasuqi „ala asy-Syarh alKabir. Argument ulama yang memperbolehkan mtalfîq antara lain: pertama, haraj dan masyaqqah. Mengharamkan talfîq antar madzhab adalah sebuah tindakan yang amat bersifat haraj (memberatkan) dan masyaqqah (menyulitkan), khususnya orang-orang awam dengan ilmu-ilmu agama versi madzhab tertentu. Hal itu mengingat bahwa amat jarang ulama di masa sekarang ini yang mengajarkan ilmu fikih lewat jalur khusus satu madzhab saja, selain juga tidak semua ulama terikat pada satu madzhab tertentu. Barangkali pada kurun waktu tertentu dan di daerah tertentu pengajaran ilmu agama memang disampaikan lewat para ulama yang secara khusus mendapatkan pendidikan ilmu fikih lewat satu madzhab secara ekslusif dan tidak sedikitpun mendapat pandangan dari madzhab yang selain apa yang telah diajarkan gurunya. Kedua, tidak ada dalil yang mengharuskan berpegang pada satu madzhab. Menurut pendapat ini, bahwa tidak ada satupun hadits yang secara tegas mengharuskan seseorang untuk berguru kepada satu orang saja, atau berkomitmen kepada satu madzhab saja. Ketiga, pendiri madzhab tidak mengharamkan talfîq. Inilah hujjah yang paling kuat. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain.
Di kalangan para shahabat Nabi saw terdapat para shahabat yang ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum. Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas‟ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya. Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama. Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya tidak boleh bertanya kepada orang lain. Imam madzhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun dari mereka yang melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain dirinya. Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam alqur`an, sunnah, perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri? Alasan tersebut semakin menguatkan pendapat bahwa talfîq itu boleh dilakukan. Karena yang membolehkannya justru Nabi Muhammad saw sendiri secara langsung. Maka kalau Nabi saja membolehkan, lalu mengapa harus ada larangan? Nabi saw melalui Aisyah disebutkan: Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “. Adanya dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil syar‟i yang benar. Namun salah satunya lebih ringan untuk dikerjakan. Maka nabi saw selalu cenderung untuk mengerjakan yang lebih ringan. Salah satu dasar tegaknya syariat Islam adalah memberi kemudahan, tidak menyusahkan dan mengangkat kesempitan, hal ini sesuai pula dengan sabda Nabi Muhammad saw: “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”. Di antara para ulama yang mendukung talfîq adalah al-Izz Ibnu Abdissalam yang menyebutkan bahwa dibolehkan
bagi orang awam mengambil rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfîq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah swt itu mudah (dinu al-allahi yusrun) serta firman Allah swt dalam surat al-Hajj ayat 78: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan. Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfîq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya. Demikian juga dengan para ulama kontemporer zaman sekarang, semacam Dr. Wahbah Az-Zuhaili, menurut beliau talfîq tidak masalah ketika ada hajat dan dlarurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar„iyat. c. Pendapat ketiga: Bersikap Moderat Menurut ulama yang berpendapat ketiga ini, harus diakui bahwa ada sebagian bentuk talfîq yang hukumnya haram dan tidak boleh dilakukan. Namun juga tidak bisa dipungkiri bahwa dari sebagian bentuk talfîq itu ada yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Argumentasi pendapat ketiga ini antara lain: Pertama, pada dasarnya talfîq yang dibolehkan itu bukanlah talfîq, melainkan lebih mengarah pada tarjih. Kedua, talfîq boleh dilakukan jika tidak semata-mata menuruti hawa nafsu. Ketiga, tidak ada dalil yang secara tegas melarang talfîq. Keempat, Islam menganjurkan agar mengambil hal-hal yang mudah dalam agama (tentunya tidak bercampur hawa nafsu). Menurut Wahbah, kebolehan ber-talfîq ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu menghindari hal-hal berikut: a. Mencari yang teringan saja dengan sengaja tanpa ada darurat atau uzur. Ini dilarang untuk menutup pintu kerusakan dengan lepasnya taklif. b. Talfîq yang dilakukan berakibat pada pembatalan hukum hakim, sedangkan hukum seorang hakim mengakhiri perkara. c. Talfîq yang mengharuskan rujuk dari apa yang telah
dilakukannya secara bertaklid atau dari perkara yang telah disepakati ulama yang pasti ada pada kasus yang ditaklidinya, seperti dalam kasus-kasus mu‟āmalah, hudûd, pembagian harta rampasan dan pajak dan pernikahan. Dalam hal-hal tersebut dilarang talfîq karena menjaga maslahah.23
Simpulan Orang yang mempunyai kemampuan berijtihad untuk menememukan hukum tidak diperkenankan bermadzhab atau mengikuti mujtahid tertentu pada tataran produk, pada tataran Fiqh atau bertaqlid. Bermadzhab pada tataran produk diperbolehkan, bahkan diharuskan hanya terbatas untuk orang yang tidak mempunyai kapasitas untuk melaksanakan ijtihad. Orang yang mempunyai ilmu, kemampuan dan kapasitas untuk mendayagunakan ilmunya untuk berusaha menemukan hukum. Apabila dia tidak mempunyai metode yang kuat dan mapan untuk menemukan hukum, maka dia sebaikanya mengikuti metode ulama atau mujtahid yang telah mempunyai metode yang mapan. Agama Islam memang tidak mengehndaki kesulitann dan tidak menyulitkan, namun demikian tidak boleh juga mempermainkan atau menggampangkan agama (tasahul). Oleh karena itu, talfîq dengan maksud dan niat menggampangkan agama sebaiknya dihindari. Talfîq diperbolehkan apabila dalam situsi dan kondisi tertentu yang menuntut seseorang untuk menggabungkan dua madzhab atau pendapat ulama atau lebih. Talfîq diperbolehkan dengan bersyarat.
Daftar Pustaka al-Abshar, Al-Hasykafi, al-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir, (CD alMaktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), I/80. al-Atibi, Ghazi bin Mursyid bin Khalaf, At-Talfîq Baina al-Madzahib wa „Alaqatuhu bi Taisir al-Fatwa. 23 Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 1986, Beirut: Dar al-Fikr, h. 1148-1153
al-Buti, Ramadan, al-Madzhabiyyah: Akhtaru Bid‟atin Tuhaddidu alSyari‟ah al Islamiyyah, (Damaskus: Dar al-Farabi, 2005). Ash-Shawi, Hasyiyah ash-Shawi „ala Syarh ash-Shaghir li ad-Dardiri, jilid 1 az-Zarqa, Ahmad Musthafa, Syarh al-Qawâid al-Fiqhiyah, (CD alMaktabah al-Syâmilah al-Isdâr al-Sânî, 2005), II/129. Az-Zarqani, Syarh az-Zarqani „ala Syarh al-Qani. az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Beirut: Dar AlFikr, 2005), I /27. az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu, 1989, Beirut: Dār al-Fikr, I. az-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, 1986, Beirut: Dar alFikr. az-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuh, 1989, Beirut: Dār al-Fikr, I, Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012). Kementerian Wakaf dan Keislaman Kuwait, al-Mausu‟ah alFiqhiyah al-Kuwaitiyah, (CD al-Maktabah al-Syamilah alIsdar al-Sani, 2005), II/4821. Khalaf, Abdul Wahab, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, 2000, Bandung: CV Pustaka Setia. Permono, Sjechul Hadi, Dinamisasi Hukum Islam Dalam Menjawab Tantangan Era Globalisasi, 2002, Surabaya: Demak Press. Wazir, Ibnu, al-Raud al-Basim, (CD al-Maktabah al-Syamilah alIsdar al-Sani, 2005), II/243.
Jurnal Hukum, Vol. 11 Nomor 1