TINDAK PIDANA NARKOTIKA ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi Analisis Putusan Pengadilan No. 1409/PID.B/2009/PN. Tangerang)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : Asep Mahdi NIM : 206043103771
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
TINDAK PIDANA NARKOTIKA ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi Analisis Putusan Pengadilan No. 1409/PID.B/2009/PN. Tangerang)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : Asep Mahdi NIM : 206043103771 Di Bawah Bimbingan Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. H. Abdul Halim, M.Ag
Nahrowi, SH., MH
NIP: 196706081994031005
NIP: 197302151999031002
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M
KATA PENGANTAR ا ا ا Puji dan syukur dengan tulus kami persembahkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi ini, yang disusun dan ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya serta orang-orang yang menyeru dengan seruannya dengan berpedoman kepada petunjuknya. Suka cita selalu menyelimuti penulis seiring dengan selesainya penyusunan skripsi ini. Hal tersebut tidak lain karena dorongan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya, penulis megucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat: 1.
Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA., selaku Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum dan Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum.
i
3.
Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., selaku Pembimbing I dan Bapak Nahrowi, SH., MH., selaku Pembimbing II, yang telah rela memberikan bimbingan dengan penuh ketekunan, kesabaran dan perhatian hingga terselesaikannya skripsi ini.
4.
Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah berjasa dan ikhlas mewariskan ilmunya kepada penulis.
5.
Pimpinan, staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah serta Perpustakaan Umum Iman Jama yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam pengumpulan bahan skripsi ini.
6.
Pimpinan Pesantren Raudhatul Muhtadin KH. Musa Sarqowi (al-Marhum, alMagpurlah) yang telah mengajarkan kitab kuning kepada penulis, semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT.
7.
Ayahanda tercinta H. Jauhari (al marhum) dan Ibunda tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan memberikan do’a dan motivasinya sehingga terselesaikannya sekripsi ini.
8.
Mertua Bpk H. Sapnan dan Ibu Ruhanah yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil sehingga terselesaikannya skripsi ini.
9.
Isteri tercinta Mamah Nurhikmah yang telah memberikan segalanya, baik do’a maupun motivasinya sehingga terselesaikannya skripsi ini.
10. Anak tersayang Siti Hanifah Mahdiya yang telah membuat penulis semangat berjuang dalam hidup.
ii
11. Saudara-saudaraku tercinta baik kakak maupun adik yang telah turut serta membantu baik segi moril maupun materil . 12. Teman-teman seperjuangan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah periode 2006 dan teman-teman yang tidak disebutkan satu persatu yang telah turut mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Atas semuanya itu, penulis hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah SWT semoga amal baiknya diterima dan mendapatkan balasan yang lebih baik. Amien… Akhirnya penulis memanjatkan do’a dan memohon kepada Allah SWT semoga skripsi ini memberikan kemanfaatan, baik bagi penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya, serta melimpahkan taufik dan hidayah kepada kita semua. Amin…
Jakarta, 2 Desember 2010
Penulis
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2 Desember 2010
Asep Mahdi
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................... ... i DAFTAR ........................................................................................................................ ii BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................................
7
D. Review Studi Terdahulu .........................................................................
8
E. Metode Penelitian ...................................................................................
10
F. Sistematika Penulisan ............................................................................
12
TINDAK
PIDANA
ANAK
DI
BAWAH
UMUR
DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
BAB III
A. Tindak Pidana dalam Perspektif Hukum Islam .....................................
14
B. Tindak Pidana dalam Hukum Positif .....................................................
18
C. Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif .....................
19
PENGEDAR
NARKOTIKA
DALAM
PERSPEKTIF
HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Golongan, Efek Samping dan Gejala Mengkonsumsi Narkotika ...........
31
B. Status Hukum dan Sanksi Tindak Pidana Narkotika Dalam Hukum Islam ........................................................................................................
38
C. Status Hukum dan Sanksi Tindak Pidana Narkotika Dalam Hukum Positif .....................................................................................................
iv
53
BAB IV
ANALISIS PERKARA TENTANG PENGEDAR NARKOTIKA ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Duduk Perkara ........................................................................................
58
B. Analisis Pengedar Narkotik dalam Persepektif Hukum Islam ................
64
C. Analisis Perbandingan Hukum Islam dan Hukum Positif Tentang Pengedaran Narkotika Anak Di bawah Umur ........................................
BAB V
67
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................
70
B. Saran-Saran ............................................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................
74
LAMPIRAN-LAMPIRAN .........................................................................................
76
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Peredaran, produksi dan penyalahgunaan narkoba dikalangan masyarakat Indonesia kini semakin memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dengan bertambahnya korban narkoba dari tahun ketahun. Hasil survey nasional pada tahun 2004 menunjukan bahwa angka pengguna narkoba sebesar 1,75 % dari total populasi penduduk, yang kemudian meningkat menjadi 1,99 % pada tahun 2008 atau 3,3 juta orang. Keadaan tersebut menjadi semakin serius bila diperhatikan bahwa sebagian besar pengguna narkoba adalah generasi muda dan berada dalam usia produktif yang merupakan aset bangsa.1 Pengguna narkotika sangat beragam dan menjangkau semua lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, orang awam hingga artis bahkan hingga pejabat publik. Efek negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan narkotika secara berlebihan dalam jangka waktu lama serta tidak diawasi oleh ahlinya dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada penggunanya, baik secara fisik maupun psikis.2 Karena itu, peredaran narkotika perlu diawasi secara ketat, karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Di samping itu melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, 1
Tim Penyusun, Standar dan Prosedur (NSP) Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Badan Narkotika Nasional. 2009. h.1 2 Ibid h.1
1
2
penyebaran narkotika sudah menjangkau hampir ke semua wilayah Indonesia hingga ke pelosok-pelosok, daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika, lambat laun berubah menjadi sentral peredaran narkotika. Begitu pula anak-anak yang mulanya tidak mengenal narkotika, sebagian dari mereka justru menjadi korban narkotika. Salah satu upaya pemerintah dalam melindungi anak supaya tidak menjadi korban narkotika, adanya Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pemidanaan anak di bawah umur. Pemidanaan anak adalah pelaksana kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum (pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997). Meskipun sebagai pengadilan khusus, pengadilan anak bukan seperti berdiri sendiri. Keberadaan peradilan anak tetap dalam lingkungan peradilan umum. Hal itu sesuai dengan yang tersebut dalam pasal 14 Tahun 1970 yang menegaskan hanya ada empat lingkungan dalam peradilan, yaitu peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara.3 Mengenai tugas dan kewenangan pengadilan anak (sidang anak) pasal 3 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyatakan bahwa sidang anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.4 Salah satu tolok ukur pertanggungjawaban pidana bagi anak adalah umur.
3 4
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan. (Jakarta : Sinar Grafika 2008). h.101 Ibid 101
3
Dalam hal itu masalah yang urgen bagi terdakwa untuk dapat diajukan dalam sidang anak. Umur dapat berupa umur minimum maupun umur maksimum.5 Masalah umur tentunya harus dikaitkan dengan saat melakukan tindak pidana. Sehubungan masalah umur, pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menetapkan sebagai berikut: a.
Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
b.
Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan kesidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum pernah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke sidang anak. Jelaslah rumusan di atas, bahwa batas umur anak nakal minimum adalah 8
(delapan) tahun dan maksimum adalah 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah kawin. Sedangkan maksimum untuk dapat diajukan ke sidang anak umur 21 tahun, asalkan saat melakukan tindak pidana belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, dan belum pernah kawin.6 Sedangkan menurut hukum pidana Islam batasan umur yang termasuk ke dalam anak terdiri dari tiga fase, yaitu fase tidak adanya kemampuan berpikir (idrak). Sesuai dengan kesepakatan fuqaha, fase ini dimulai sejak manusia 5 6
Ibid 101 Ibid h.102
4
dilahirkan dan berakhir sampai usia tujuh tahun. Pada fase ini, seorang anak dianggap tidak mempunyai kekuatan berpikir. Karenanya, apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun sebelum berusia tujuh tahun, dia tidak dihukum, baik pidana maupun hukuman ta’dibi (hukuman untuk mendidik). Anak kecil tidak dijatuhi hukuman hudud, qishas, dan ta’zir apabila dia melakukan tindak pidana hudud dan qishas (misalnya membunuh atau melukai). Kedua, fase kemampuan berpikir lemah, dimulai si anak menginjak usia tujuh tahun sampai dia mencapai usia baligh. Dalam fase ini,
anak kecil telah mumayiz, tidak
bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang ia lakukan. Dia tidak dijatuhi hukuman hudud, bila ia mencuri atau berzina. Dia juga tidak dihukum qishas bila membunuh atau melukai, tetapi dikenai tanggung jawab ta’dibi yaitu hukuman yang bertsifat mendidik atas pidana yang dilakukannya. Meskipun pada dasarnya hukuman ta’dibi (untuk mendidik) bukan hukuman pidana. Akibat menganggap hukuman itu untuk mendidik (ta’dib) si anak tidak dapat dianggap sebagai residivis (pengulang kejahatan) meski hukuman untuk mendidik telah dijatuhkan kepadanya. Si anak juga tidak boleh dijatuhi hukuman ta’zir kecuali hukuman yang dianggap mendidik, seperti pencelaan dan pemukulan7. Ketiga fase Kekuatan Berpikir Penuh (sempurna), dimulai sejak menginjak kecerdasan (dewasa), yaitu kala menginjak usia lima belas tahun menurut pendapat mayoritas fuqaha, berusia delapan belas tahun menurut Imam Abu Hanifah dan pendapat yang popular dalam madzhab maliki. Pada fase ini seseorang dikenai tanggung 7
Ibid h.2
5
jawab pidana yang dilakukannya apapun jenisnya. Dia dijatuhi hukuman hudud, apa bila dia berzina atau mencuri, dikenakan qishas apabila dia membunuh atau melukai, demikian pula dijatuhi hukuman ta’zir apabila melakukan tindak pidana ta’zir8. Berdasarkan dari dua perspektif hukum di atas (hukum Islam dan hukum Positif) terhadap anak yang melakukakan tindak pidana narkotika, jelas ada perbedaan yang signifikan, antara hukum Positif dengan hukum Islam dalam penetapan anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana. Dalam hal ini hukum Islam menjelaskan ketika anak sudah menginjak lima belas tahun, maka ia harus dikenakan sanksi hudud atau pidana termasuk di dalamnya yang melakukan tindak pidana pengedaran narkotika. Berbeda dengan hukum Positif yang berlaku di Indonesia, yaitu pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, dalam pasal tersebut batas usia anak dibawah umur sampai batas usia 18 tahun, maka ini suatu kontradiktif yang harus di cari akar masalahnya, kenapa sampai berbeda. Dengan kata lain anak dalam batasan umur tersebut tidak bisa dikenai hukuman. Di lain pihak setelah saya melakukan observasi di pengadilan negeri Tangerang, ada suatu kasus tindak pidana narkotika anak yang bernama X, dia berumur 17 tahun, tidak tanggung-tanggung dia dijerat pasal 82 Undang-undang No.22 Tahan 1997, tentang pengedaran narkotika. Ia sebagai pengedar bukan pemakai yang dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun 5 bulan ditambah denda Rp 500.000,00,. Maka dalam hal ini antara norma hukum yang berlaku dengan fakta hukum di lapangan 8
Ibid h.4
6
ada sebuah distingsi atau perbedaan yang menarik dianalisisis. Dari hasil uraian di atas terdapat beberapa masalah diantaranya a) Pengadilan memberikan dispensasi kepada anak yang melakukan anak di bawah umur. b) Tindakan yang harus dilakukan oleh aparat kepolisian untuk menanggulangi tindak pidana narkotika. c) Peran orang tua dalam mendidik anak-anaknya supaya terhindar dari narkotika. d) Hukuman yang adil terhadap orang yang melakukan tindak pidana narkotika. e) Perbandingan hukum Islam dan hukum Positif dalam kasus pengedar narkotika anak dibawah umur. Atas dasar perbedaan-perbedaan dan permasalahan itulah, alasan penulis mengambil tema analisis putusan pengadilan dalam kasus tindak pidana narkotika yang di lakukan oleh anak di bawah umur dalam perspektif dua hukum (hukum Islam dan hukum Positif) dengan melihat dan mengaitkan kepada suatu putusan pengadilan dalam kasus pengedaran narkotika. Maksudnya adalah penulis ingin menulis realitas hukum secara komprehensif, antara norma hukum dan fakta hukum di lapangan. Studi ini penting dilakukan, karena kasus penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak di bawah umur sudah marak terjadi di negeri kita tercinta ini, bahkan ironisnya kategori anak di bawah umur sudah berani mengedarkan narkotika, sebagaimana saya uraikan diatas. Kasus pengedar narkotika anak
7
dibawah umur terjadi di daerah tangerang. Dalam hal ini peneulis melihat keunikan dalam kasus ini, yaitu kasusnya yang tergolong kasus besar dan berbahaya, baik bagi diri sendri maupun orang lain, akan tetapi dilakukan oleh seorang anak di bawah umur, maka disinilah penulis akan menganalisis sebuah putusan pengadilan dalam perkara pengedaran narkotika yang dilihat dalam dua sistem hukum, yaitu hukum Islam dan hukum Positif. Adapun judul skripsi yang penulis angkat yaitu, “TINDAK PIDANA NARKOTIKA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF” (Studi Analisis Putusan Pengadilan No. 1409/PID.B/2009/PN. Tangerang).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari pembahasan di atas agar pembahasan lebih terfokus kepada satu titik, maka penulis akan membatasi penulisan skripsi ini hanya dalam masalah tindak pidana narkotika yang dilakukan anak dibawah umur. Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana menurut Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap pengedar narkotika anak di bawah umur? 2. Bagaimana penerapan Hukum Positif dan Hukum Islam dalam putusan Pengadilan Tangerang dalam kasus pengedar narkotika anak di bawah umur?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penulisan ini adalah penulis ingin mengetahui tentang
8
penyelesaian hukum, khususnya mengenai: 1.
Untuk mengetahui perspektif hukum Islam dan hukum Positif tentang anak dibawah umur yang mengedarkan narkotika.
2.
Untuk mengetahui penerapan hukum Islam dan hukum Positif dalam putusan pengadilan terhadap pelaku tindak pidana pengedar narkotika yang dilakukan anak dibawah umur di Pengadilan Negeri Tangerang Adapun manfaat penulisan ini adalah:
1.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi yang membutuhkan pengetahuan mengenai hukum pidana Islam dan hukum Positif, khususnya dalam kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan anak di bawah umur.
2. Manfaat Praktis a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memahami penerapan hukum dalam putusan pengadilan dalam kasus tindak pidana narkotika anak di bawah umur. b. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang sangat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
D. Studi Review Terdahulu Setelah saya melakukan penelitian kepustakaan, sedikitnya ada empat yang menjadi bahan review, yaitu: a. Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan Anak Dibawah Umur Menurut
9
Hukum Positif dan Hukum Islam, studi kasus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang ditulis oleh Nursyamsiah, dalam skripsi ini dibahas mengenai tinjauan umum tindak pidana anak di bawah umur menurut hukum Islam dan hukum positif, tinjauan umum tentang jarimah pencurian, yang membedakan dengan skrpsi yang akan di tulis oleh penulis yaitu, disamping kasusnya yang berebeda
juga tempat penelitiannya lebih lengkap, walaupun sama-sama
pengadilan negeri akan tetapi penulis mengadakan penelitian di dua instansi yaitu, Tangerang dan Badan Narkotika Nasional (BNN). b. Urgensi Pelaksanan Hukum Jinayah Islam di Indonesia, Sebuah karya Musan Akbar, jurusan Perbandingan Madzhab Fiqh yang lulus pada tahun 1424 m / 2004 H. Dalam skripsi ini, dijelaskan pon-poin penting tentang hukum pidana Islam, dari mulai pengertian Jinayat, jenis-jenis hukuman dan sebagainya dalam Jinayat kemudian dikaitkan dengan realitas yang terjadi di Indonesia, yang akhirnya penulis skripsi tersebut, menyimpulkan betapa urgen dan relevannya Jinayah Islam diberlakukan di Indonesia. Yang membedakannya adalah skripsi ini bersifat umum dan global tidak terfokus kepada satu tindak pidana, sedangkan skripsi yang akan ditulis akan membahas satu tindak pidana, yaitu pengedaran narkotika anak di bawah umur yang ditinjau dari dua prespektif hukum yaitu hukum Islam dan hukum Positif. c. Tindak Pidana Pembunuhan Oleh Anak Di Bawah Umur Menurut Pasal 338 (Studi Kasus Pengadilan Negeri Tangerang), sebuah karya Mu’min Muhaimin,
10
jurusan Jinayah Siyasah tahun 2005. Dalam skripsi ini hanya membahas mengenai pembunuhan yang dilakukan anak di bawah umur dalam tinjauan pasal 338 KUHP dan Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang pengadilan anak. Yang membedakan dengan skripsi penulis adalah skripsi tersebut kasusnya berbeda dan hanya ditinjau dari satu perspektif, sedangkan skripsi penulis menggunakan studi komparatif antara hukum Islam dan hukum positif d. Kajian Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Kasus Penyalah Gunaan Narkotika Oleh Anak Di Bawah Umur, yang ditulis oleh Laila Maulida, dalam skripsi ini dibahas penyebab anak melakukan tindak penyalahgunaan narkotika, pandangan hukum Islam & hukum Positif tentang penyalah gunaan narkotika. Yang membedakan dengan judul skripsi penulis dari skripsi tersebut adalah pembahasannya, kalau skripsi tersebut membahas tentang penyalah gunaan narkotika anak dibawah umur, sedangkan skripsi penulis membahas tentang kasus pengedarannya (narkotika) yang dilakukan anak dibawah umur dengan melakukan analisa terhadap putusan Pengadilan Negeri Tangerang dan data yang ada di Badan Narkotika Nasional (BNN).
E. Metodelogi Penelitan 1. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif, yakni menggunakan kebenaran sebuah data, maka dalam penulisan ini, penulis menggunakan penelitian
11
pustaka (Library Research) dan derskriptif analisis yakni menggambarkan tindak pidana narkotika anak di bawah umur yang dilengkapi dengan penelitian ke instansi, yaitu Pengadilan Negeri Tangerang dan Badan Narotika Nasional (BNN). Sekalipun demekian penulis tetap melakukan wawancara kepada pihak pengadilan, demi kelengkapan data yang didapat. 2.
Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis yuridis yang bersifat komparatif antara hukum Islam dan hukum Positif
terhadap putusan di
pengadilan tentang kasus pengedar narkotika anak di bawah umur yang terjadi di Pengadilan Negeri Tangerang. 3. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan daalam penelitian ini adalah: a. Sumber data primer, yaitu salinan Putusan Pengadilan Tangerang No.1409/PID.B/2009/PN. Tangerang, Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pemidanaan anak di bawah umur. b. Sumber data sekunder, demi kesempurnaan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan data-data, baik data-data yang diperoleh dari buku-buku maupun data dari instansi seperti Pengadilan Negeri Tangerang dan Badan Narkotika Nasional. Dengan tujuan untuk memberikan penjelasan dalam menganalisa data primer.
12
4. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data menggunakan metode dekomentasi berupa perundang-undangan
dan
putusan
Pengadilan
Negeri
Tangerang
No.1409/PID/B/2009/PN. Tangerang, yang diteliti secara komparatif, baik dari sudut pandang hukum Islam maupun hukum Positif. 5. Teknik pengolahan dan analisa data serta pemeriksaan kesimpulan Dalam hal ini penulis menggunakan metode analisis putusan, yakni menelaah
tentang
putusan
No.1409/PID.B/2009/PN.Tangerang
Pengadilan tentang
tindak
Negeri pidana
Tangerang pengedaran
narkotika yang dilakukan anak dibawah umur yang di tinjau dari sudut hukum pidana Islam dan hukum positif yang dilengkapi dengan data yang ada di Pengadilan Negeri Tangerang dan Badan Narkotika Nasional (BNN). 6. Teknik Penulisan Dalam Penulisan Skripsi ini penulis berpedoman kepada buku pedoman skripsi tahun 2007 yang diterbitkan oleh fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
F. Sistematika Penulisan Sistematisasi yang dilakukan penulis dalam skripsi ini dengan standar penulisan. Tulisan ini akan dimulai dengan Bab I, yaitu penulis menguraikan latar belakang persoalan yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini. Bab ini juga akan mengemukakan Rumusan dan Batasan masalah, Tujuan Penelitian, Metode
13
Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab ini penting untuk mengurai secara umum keseluruhan isi tulisan. Bab kedua, dalam bab ini akan membahas tentang tindak pidana anak di bawah umur dalam perspektif hukum Islam dan hukum Positif, sebagai dasar pijakan pertama untuk melangkah, meneruskan penulisan skripsi ini. Bab ketiga, dalam bab ini akan menjelaskan hukum Islam dan hukum Positif tentang pengedar narkotika. Kemudian pada bab empat, dalam bab ini berupa uraian terhadap kasus pengedar narkotika anak di bawah umur di Pengadilan Negeri Tangerang dari mulai bentuk kasus, dakwaan, tuntutan, dan putusan, yang di analisa dari dua perspektif, yaitu hukum Islam dan hukum Positif yang dilengkapi data dari Badan Narkotika Nasional (BNN). Skripsi ini akan ditutup dengan Bab lima. Pada bab ini, penulis memaparkan kesimpulan dan saran-saran.
BAB II TINDAK PIDANA ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A.Tindak Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana dalam hukum Islam disebut jarimah () atau aljinayah (
ا
), menurut etimilogi, jarimah adalah melukai, berbuat dosa
dan kesalahan.9 Sedangkan secara terminologi ialah, larangan-larangan Syara’ yang diancamkan oleh Allah dengan jenis hukuman had atau ta’zir.10 2. Pembagian Jarimah Jarimah-jarimah dapat berbeda penggolongannya, menurut perbedaan cara meninjaunya, yaitu sebagai berikut. a. Dilihat dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: jarimah hudud , Jarimah qisas diyat, dan jarimah ta’zir11 1) Jarimah Hudud Jarimah hudud ialah jarimah yang diancamkankan hukuman had, yaitu hukuman yang ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Tuhan. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai 9
A.W Munawir kamus al-Munawir Arab-Idonesia terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif 2002), cet. ke-25, h.186. 10 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang. 2005). h. 7 11 Ibid h. 21
14
15
batasan terendah dan batasan tertingi. Pengertian hak Tuhan adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh perseorangan (yang menjadi korban jarimah), atau pun oleh masyarakat yang diwakili oleh negara.12 Hukuman yang termasuk hak Tuhan adalah setiap hukuman yang dikehendaki oleh kepentingann umum (masyarakat), seperti memelihara ketentaraman dan keamanan masyarakat, dan manfaat penjatuhan hukuman tersebut akan dirasakan oleh keseluruhan masyarakat.13 Jarimah hudud ada tujuh, yaitu : zina, qazaf (menuduh orang lain berbuat
zina),
minum-minuman
(pembegalan/perampokan,
gangguan
keras,
mencuri,
keamanan),
hirabah
murtad,
dan
pemberontakan 2) Jarimah Qisas Diyat Jarimah qishas diyat adalah perbuatan-perbuatan yang diancamkan hukuman qishas atau hukuman diyat. Qishas maupun diyat adalah hukuman-hukuman
yang
telah
ditentukan
batasannya.
Dan
tidak
mempunyai batas terendah atau tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian bahwa si korban bisa memaafkan, maka hukuman tersebut bisa menjadi hapus.14 Jarimah qishas diyat ada lima, yaitu: pembunuhan sengaja, 12
Ibid h. 14 Ibid 14 Ibid 13
16
pembunuhan semi sengaja, Pembunuhan karena kesalahan, Penganiayaan sengaja, penganiyaan tidak sengaja.15 3) Jarimah Ta’zir Maksudnya adalah perbuatan-perbuatan yang diancam satu atau beberapa hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir adalah memberi pengajaran. Syara’ tidak menentukan macam-macam hukumannya untuk tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai kepada yang seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberikan kaleluasan untuk menentukan hukuman sesuai dengan perbuatan pidana yang dilakukan.16 b. Dilihat dari segi niat si pembuat, jarimah dibagi dua, yaitu: jarimah sengaja dan jarimah tidak disengaja. Pembagian tersebut didasarkan atas niatan si pembuat. Pada “jarimah sengaja”, si pembuat dengan sengaja melakukan perbuatannya, sedang ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang (salah). Kalau si pembuat dengan
sengaja
berbuat
tetapi
tidak
menghendaki
akibat-akibat
perbuatannya itu, maka disebut “pembunuhan semi sengaja. Pada jarimah tidak di sengaja, si pembuat tidak sengaja mengerjakan perbuatan yang dilarang, akan tetapi perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat kekeliruannya.
15 16
Ibid h. 14 Ibid
17
c. Dilihat dari cara mengerjakannya, jarimah dibagi jarimah positif dan jarimah negatif. Pembagian tersebut didasarkan atas tinjauan apakah jarimah yang diperbuat terjadi dengan beberapa perbuatan nyata ataukah dengan tidak berbuat, apakah perbutan yang diperbuat itu diperintahkan atau dilarang Jarimah positif terjadi karena mengerjakan sesuatu perbuatan yang dilarang seperti mencuri, zina, memukul dan sebagainnya. Jarimah negatif, terjadi karena tidak mengerjakan sesuatu perbuatan yang diperintahkan, seperti tidak mengeluarkan zakat, dan sedikit sekali yang berupa jarimah negatif.17 d. Dilihat dari segi orang yang menjadi korban (yang terkena) akibat perbuatan, jarimah dibagi menjadi jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat.18 Pembagian tersebut didasarkan atas tinjauan terhadap orang yang menjadi korban. Jarimah masyarakat ialah suatu jarimah dimana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat, baik jarimah tersebut perseorangan atau mengenai ketentraman masyarakat dan keamanannya. Menurut para puqaha, penjatuhan hukuman atas perbuatan tersebut menjadi hak Tuhan dan hal ini berarti bahwa terhadap hukuman tersebut tidak ada pengampunan atau peringanan atau menunda-nunda
17 18
Ibid h. 12-13 Ibid h. 14
18
pelaksanaan.19 Jarimah perseorangan ialah suatu jarimah, dimana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan perseorangan juga berarti menyinggung masyarakat. e. Dilihat dari segi tabiatnya yang khusus, jarimah menjadi biasa dan jarimah politik. Syari’at Islam mengadakan pemisahan antara jarimah biasa dengan jarimah politik. Pemisahan tersebut didasarkan atas dasar kemaslahatan keamanan dan ketertiban masyarakat, dan atas pemeliharaan sendi-sendinya. Sebenarnya corak kedua macam jarimah tersebut tidak berbeda, baik mengenai macam maupun cara perbuatannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada motif (faktor pembangkitnya).20
B. Tindak Pidana Dalam Hukum Positif 1. Pengertian Tindak pidana Dalam ilmu hukum pidana, istilah tindak pidana adalah terjemahan dari bahasa Belanda Strafbaarfiet yang merupakan istilah resmi dalam wetboekVan Starfrecht yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang masih berlaku di Indonesia
19 20
Ibid h.21 Ibid h.21
19
sampai saat sekarang ini.21. 2.
Unsur-Unsur Tindak Pidana a.
Perbuatan manusia, baik perbuatan aktif maupun pasif
b. Perbuatan tersebut bertentangan atau melawan hukum. c.
Perbuatan tersebut harus tersedia ancaman hukumannya di dalam undangundang.
d. Harus terbukti adanya perbuatan pada orang yang berbuat yaitu orangnya harus dipertanggung jawabkan e.
Perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang cakap hukum dan dapat dipertanggungjawabkan22
C. Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif 1.
Anak Dalam Hukum Islam Kedudukan seorang anak dalam Islam merupakan “amanah” yang harus dijaga oleh kedua orang tuanya. Kewajiban mereka pula untuk mendidiknya hingga
berperilaku
sebagaimana
yang
dituntut
agama.
Jika
terjadi
penyimpangan dari perilaku anak, Islam dalam kadar tertentu masih memberikan kelonggaran. Seperti yang disyariatkan oleh hadits yang menyatakan “ketidak berdosaan” (raf’ul kalam) seorang anak hingga mencapai aqil baligh yang ditandai dengan timbulnya “mimpi” pada laki-laki dan haid 21
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Persfektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.), h.59 22 Ibid h.28
20
pada perempuan.23 Meski dalam kitab-kitab fiqh ditegaskan bahwa tidak benarkan menyeret anak ke meja hijau, tetap saja mereka harus dihukum jika bersalah, Cuma hukumannya berbeda dengan orang dewasa. Dalam bahasa fiqh disebutnya ta’dib (pembinaan), bukan ta’zir atau had (hukuman) seperti yang berlaku bagi orang dewasa (baligh). Bentuk pelaksanan ta’dib ini beragam, tergantung kepada kemampuan fisik dan jiwa anak. Hukum Islam dipandang sebagai hukum pertama yang membedakan secara sempurna antara anak kecil dan orang dewasa dari segi tanggung jawab pidana. Hukum Islam, juga yang pertama yang melakukan tanggung jawab anak-anak yang tidak berubah dan berevolusi sejak dikeluarkannya. Ironisnya, empat belas abad yang lalu, hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang baru dalam hal pertanggung jawaban anak kecil (belum dewasa) pada masa sekarang ini.24 Menurut hukum pidana Islam ancaman hukuman pidana anak-anak yang
melakukan
kejahatan
dibedakan
menurut
perbedaan
umurnya.
Berdasarkan tahapan umur inilah hukum pidana Islam memberikan hukuman (sanksi) terhadap tindak kejahatan (jarimah) anak dengan:25
23
Abdurrahman al-Jazari, Kitab Al-Fiqh Ala Mazdahib Al-arb’ah (Beirut: Dar al-Fikr ,Tth). Cet. Ke-1, h. 11 24 Ibid, h.11 25 Abdul Qodir Audah, Ensikopedi Hukum Pidana Islam, II h. 255
21
a) Fase Tidak Adanya Kemampuan Berpikir (Idrak) Sesuai dengan kesepakatan fuqaha, fase ini dimulai sejak manusia dilahirkan dan berakhir sampai usia tujuh tahun. Pada fase ini, seorang anak dianggap tidak mempunyai kekuatan berpikir. Karenanya, apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun sebelum berusia tujuh tahun, dia tidak dihukum, baik pidana maupun hukuman ta’dibi (hukuman untuk mendidik). Anak kecil tidak dijatuhi hukuman hudud, qishas, dan ta’zir, apabila dia melakukan tindak pidana hudud dan qishas (misalnya membunuh atau melukai). Walaupun demikian, adanya pengampunan tanggung jawab pidana terhadap anak kecil bukan berarti membebaskan dari tanggung jawab perdata atas semua tindak pidana anak yang dilakukanya. Ia bertanggung jawab untuk mengganti semua kerusakan harta dan jiwa orang lain. Tanggung jawab perdata tidak dapat hilang, tidak seperti tanggung jawab pidana yang dapat hilang, sebab menurut kaidah asal hukum Islam, darah dan harta benda itu maksum (tidak dihalalkan/mendapat jaminan keamanan) dan juga uzur-uzur syar’i tidak menafikan kemaksuman. Ini berarti uzur-uzur syar’i tidak dapat menghapuskan dan menggugurkan ganti rugi meski hukumannya digugurkan.26 b)
Fase Kemampuan Berpikir Lemah Fase ini dimulai si anak menginjak usia tujuh tahun sampai dia
mencapai usia baligh. Dalam fase ini, 26
Ibid h.256
anak kecil telah mumayiz tidak
22
bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang ia lakukan. Dia tidak dijatuhi hukuman hudud bila ia mencuri atau berzina. Dia juga tidak dihukum qishas bila membunuh atau melukai, tetapi dikenai tanggung jawab ta’dibi yaitu hukuman yang bertsifat mendidik atas pidana yang dia lakukannya. Meskipun pada dasarnya hukuman ta’dibi (untuk mendidik) bukan hukuman pidana. Akibat menganggap hukuman itu untuk mendidik (ta’dib) si anak tidak dapat dianggap sebagai residivis (pengulang kejahatan) meski hukuman untuk mendidik
telah dijatuhkan kepadanya. Si anak juga tidak boleh dijatuh
hukuman ta’zir kecuali hukuman yang dianggap mendidik, seperti pencelaan dan pemukulan27 c)
Fase Kekuatan Berpikir Penuh (sempurna) fase ini dimulai sejak menginjak kecerdasan (dewasa) yaitu kala
menginjak usia lima belas tahun, menurut pendapat mayoritas fuqaha, atau berusia delapan tahun menurut Iamam Abu Hanifah dan pendapat yang popular dalam madzhab maliki. Pada fase ini seseorang dikenai tanggung jawab pidana yang dilakukannya apapun jenisnya. Dia dijatuhi hukuman hudud apa bila dia berzina atau mencuri diqishas apabila dia membunuh atau melukai, demikian pula dijatuhi hukuman ta’zir apabila melakukan tindak pidana ta’zir. Hukuman bagi anak kecil yang belum mumayiz adalah hukuman untuk mendidik murni (ta’dibiyah khalishah), bukan hukuman pidana. Ini karena, anak kecil bukan orang yang pantas menerima hukuman. Hukuman Islam tidak 27
Ibid h. 257
23
menentukan jenis hukuman untuk mendidik yang dapat dijatuhkan kepada anak kecil. Hukum Islam memberikan hak kepada wali al-amr (penguasa) untuk menentukan hukuman yang sesuai menurut pandanganya. Para fuqaha menerima hukuman pemukulan dan pencelaan sebagai hukuman mendidik.28 Pembagian hak kepada penguasa untuk menentukan hukuman agar ia dapat memelih hukuman yang sesuai dengan anak kecil disetiap waktu dan tempat. Dalam kaitan ini, penguasa berhak menjatuhkan hukuman : 1) Memukul Si anak 2) Menegur dan mencelanya. 3) Menyerahkan kepada wali al-amr atau orang lain. 4) Menaruhnya pada tempat rehabilitasi anak atau sekolah anak-anak nakal. 5) Menempatkanya disuatu tempat dengan pengawasan khusus, dan lai-lain29 Jika hukuman bagi si anak dipandang sebagai hukuman untuk mendidik (ta’dibiyah) bukan hukuman pidana, ia tidak dianggap sebagai residivis ketika ia kembali melakukan tindak pidana yang pernah dilakukan sebelum baligh pada waktu ia telah baligh. Ketentuan inilah yang membantunya untuk menjalani jalan yang lurus dan memudahkannya untuk melupakan masa lalu.30 Seorang anak tidak dikenakan hukuman had, karena kejahatan yang dilakukannya. Karena tidak ada tanguang jawab atas seorang anak yang berusia berapapun sampai dia mencapai puber. Qhadi (hakim) hanya akan tetap berhak 28
Ibid h.258 Ibid h. 258 30 Ibid, h.259 29
24
untuk menegur kesalahannya/menetapkan beberapa pembatasan baginya yang akan membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari berbuat kesalahan lagi di masa yang akan datang. Menurut Abu Zaid Al-qarawani, seorang ulama mazhab maliki, tetap tidak akan ada hukuman had bagi anak-anak kecil, bahkan juga dalam hal tuduhan zina ( qadzaf ) atau justru si anak sendiri yang melakukannya.31 Bahwa anak yang belum baligh bila melakukan tindakan yang melanggar hukum, maka tidak wajib dikenakan sanksi had, atau pun ta’zir. Sebab ia belum termasuk mukallaf ( dewasa ) dan belum belum mengetahui hak dan kewajiban. Dalam Islam para puqaha telah sepakat bahwa seorang anak yang belum mencapai usia baligh tidak wajib dikenakan hukuman, bila anak tersebut melakukan perbuatan dosa. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw: " و ا! و ان# ا: ر ا 'ح وا*ر) ( و ا' ا, ' وا#ي وا.,ري وا'داود وا0' 1 )روا$% (23 Artinnya : “Diangkat pembebanan hukum dari tiga jenis manusia, orang yag tidur sampai ia bangun, anak yang kecil sampai ia baligh dan orang gila sampai ia sembuh‘’ (H. R. Bukhari. Abu Daud, AlTirmidzi, An-nasai,ibnu majah dan Al daruquthni dari Aisyah dan Ali Bin Abi Thalib).32
31
Abdur Rahman, Tindak Pidana Dalam Syri’at Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997) Cet ke-1 h. 16 32 Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Saru Islam Hoeve, 1997) Cet., h. 82
25
2. Anak Dalam Perspektif Hukum Positif a. Ketentuan umur anak di bawah umur Salah satu tolok ukur pertanggungjawaban pidana bagi anak adalah umur. Dalam hal itu masalah yang urgen bagi terdakwa untuk dapat diajukan dalam sidang anak. Umur dapat berupa umur minimum maupun umur maksimum. Masalah umur tentunya harus dikaitkan dengan saat melakukan tindak pidana. Sehubungan masalah umur, pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menetapkan sebagai berikut. 1) Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum pernah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetapi diajukan ke sidang anak. 2) Jelaslah rumusan diatas, bahwa batas umur anak nakal minumum adalah 8 (delapan) tahun dan maksimum adalah 18 (delapan belas tahun atau belum pernah kawin. Sedangkan maksimum untuk dapat diajukan ke sidang anak umur 21 tahun, asalkan saat melakukan tindak pidana belum mencapai
26
umur 18 (delapan belas) tahun, dan belum pernah kawin.33 Bagaimana apabila tersangka tersebut belum berumur 8 (delapan) tahun?, dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah dan demi kepentingan/perlindungan anak, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Pasal 5 menentukan sebagai berikut. 1) Jika anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik. 2) Apabila penyidik berpendapat bahwa anak tersebut masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. 3) Jika penyidik berpendapat bahwa anak tersdebut tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, penyidik menyarankan anak
tersebut
kepada
Departemen
Sosial
setelah
mendengar
pertimbangan dan pembimbing kemasyarakatan. 34 b. Penjatuhan Pidana Kepada Anak Dibawah Umur 1) Pengadilan anak dan perlindungan anak Penjatuhan pidana sebagai upaya pembinaan anak merupakan faktor penting. Salah satu upaya pemerintah bersama DPR adalah terbitnya
33 34
Ibid. h. 49 Ibid. h. 49
27
Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan Anak. Undang-Undang itu diundangkan tanggal 3 Januari 1997 (lembaran Negara 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668), dan mulai diberlakukan satu tahun kemudian yaitu tanggal 3 januari 1998. Adanya kekhususan dan hal-hal yang relatif baru sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut, melahirkan perbedan dalam proses pidana dan pemidanaan. Perbedaan itu melingkupi hal yang berkaitan dengan jenis-jenis pidana dan tindakan maupun prosedur peradilannya yang bagi anak nakal menjadi wewenang Pengadilan Anak.35 Sejak adanya sangkaan atau diadakan penyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut, anak harus didampingi oleh petugas sosial yang membuat Case Study tentang anak dalam sidang. Pembuat laporan sosial yang dilakukan oleh sosial worker ini merupakan yang terpenting dalam sidang anak. Yang sudah berjalan ialah pembuatan Case Study oleh petugas BISPA (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengatahuan Anak). Adapun yang tercantum dalam Case Study ialah gambaran keadaan anak yang berupa: a) Masalah sosialnya; b) Kepribadiannya;
35
3-5
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008). h.
28
c) Latar belakang kehidupannya, misalnya: riwayat sejak kecil, pergaulan di dalam dan diluar rumah, hubungan antara bapak, ibu dan si anak, hubungan si anak dengan keluarganya, dan lain-lain, dan latar belakang saat dilakukannya tindak pidana tersebut.36 Undang-Undang nomor 3 Tahun 1997 berlaku tanggal 3 januari 1998 atau satu tahun terhitung sejak tanggal diundangkan undang-undang tersebut. Pengadilan anak dibentuk memang sebagai upaya pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembanagan fisik, mental, dan sosial anak secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Oleh karenanya, ketentuan mengenai penyelengaraan pengadilan bagi anak dilakukan secara khusus. Meskipun demikian, hukum acara yang berlaku (KUHAP) diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 (Vide Pasal 40).37 Ketentuan pidana yang dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana antara lain sebagai berikut. a) Pidana yang dapat dijatuhkan palaing lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (vide pasal 26 ayat (1)). b) Apabila melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling 36
Wagiarti Soetojo, Hukum Pidana Anak. (Bandung: Refika Aditama. 2006). Cet ke-1. h.45 37 Bambang Waluyo h.102
29
lama 10 (sepuluh) tahun (vide pasal 26 ayat (2)). c) Apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan berupa menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja (vide Pasal 26 ayat (3) jo. Pasal 24 ayat (1) huruf b). d) Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman piadana bagi orang dewasa (vide Pasal 27). e) Pidana denda yang dapat dfijatuhkan paling banyak ½ (satu perdu) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa (vide Pasal 28 ayat (1)).38 2
)
Kedudukan
Kewenangan
dan
pengadilan
anak Pengadilan anak adalah pelaksana kehakiman yang berda di lingkungan peradilan umum
(pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997). Meskipun sebagai pengadilan khusus, pengadilan anak bukan seperti berdiri sendiri. Keberadaan peradilan anak tetap dalam lingkungan peradilan umum. Hal itu sesuai dengan yang tersebut dalam pasal 14 Tahun 1970, yang menegaskan hanya ada empat lingkungan dalam peradilan, yaitu
38
Undang-Undang Narkotika No. 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Psikrotofika No. 5 Tahun 1997 (Jakarta: Asa Mandiri 2008)
30
peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara. Mengenai tugas dan kewenangan pengadilan anak (sidang anak) pasal 3 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyatakan bahwa sidang anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.39 Pada prinsipnya kewenangan pengadilan anak sama dengan pengadilan perkara pidana lainnya. Meski prinsipnya sama, namun yang tetap harus diperhatikan adalah perlindungan anak merupakan tujuan utama.40
39 40
Bambang Waluyo h.102 Ibid h.49
BAB III PENGEDAR NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Golongan, Efek Samping dan Gejala Mengkonsumsi Narkotika 1. Jenis Narkotika Narkotika adalah obat untuk menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa ngantuk atau merangsang41. Adapun jenis-jenis narkotika diantaranya:42 a. Opioid (opiad) Opioid atau opiad berasal dari kata opium, jus dari bunga opium, Papaver somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Nama Opioid juga digunakan untuk opiat, yaitu suatu preparat atau derivat dari opium dan narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak didapatkan dari opium. opiat alami lain atau opiat yang disintesis dari opiat alami adalah heroin (diacethylmorphine), kodein (3-methoxymorphine), dan hydromorphone (dilaudid). Turunan OPIOID (OPIAD) yang sering disalahgunakan adalah : 1). Candu Getah tanaman Papaver Somniferum didapat dengan menyadap 41
Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus besar bahasa Indonesia,.( Jakarta: Balai Pustaka 2002), edisi ke-3, h.774. 42 www.bnn.1d, di akses pada tanggal 6 september 2010
31
32
(menggores) buah yang hendak masak. Getah yang keluar berwarna putih dan dinamai "Lates". Getah ini dibiarkan mengering pada permukaan buah sehingga berwarna coklat kehitaman dan sesudah diolah akan menjadi suatu adonan yang menyerupai aspal lunak. Inilah yang dinamakan candu mentah atau candu kasar. Candu kasar mengandung bermacam-macam zat-zat aktif yang sering disalahgunakan. Candu masak warnanya coklat tua atau coklat kehitaman, diperjual belikan dalam kemasan kotak kaleng dengan berbagai macam cap, antara lain ular, tengkorak, burung elang, bola dunia, cap 999, cap anjing, dsb. Pemakaiannya dengan cara dihisap.43 2) Morfin Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupakan alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ). Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan. 3) Heroin ( putaw ) Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir-akhir ini. Heroin yang secara farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi mengantuk dan perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker 43
Ibid h. 42
33
terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang baik44.
b. Codein Codein termasuk garam turunan dari opium/candu. Efek codein lebih lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungan rendah, biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan disuntikkan. c. Demerol Nama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat ditelan atau dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak berwarna. d. Methadone Saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam pengobatan ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati overdosis opioid dan ketergantungan opioid. Sejumlah besar narkotik sintetik (opioid) telah dibuat, termasuk meperidine (Demerol), methadone (olphine), pentazocine (Talwin), dan propocyphene (Darvon). Saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam pengobatan ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati overdosis opioid dan ketergantungan opioid. Kelas obat tersebut adalah nalaxone (Narcan), naltrxone (Trexan), nalorphine, levalorphane, dan apomorphine. Sejumlah senyawa dengan aktivitas campuran 44
Ibid h. 42
34
agonis dan antagonis telah disintesis, dan senyawa tersebut adalah pentazocine, butorphanol (Stadol), dan buprenorphine (Buprenex). Beberapa penelitian telah menemukan bahwa buprenorphine adalah suatu pengobatan yang efektif untuk ketergantungan opioid. Nama popoler jenis opioid : putauw, etep, PT putih. e. Kokain Kokain adalah zat yang adiktif yang sering disalahgunakan dan merupakan zat yang sangat berbahaya. Kokain merupakan alkaloid yang didapatkan dari tanaman belukar Erythroxylon coca, yang berasal dari Amerika Selatan, dimana daun dari tanaman belukar ini biasanya dikunyah-kunyah oleh penduduk setempat untuk mendapatkan efek stimulan. Saat ini Kokain masih digunakan sebagai anestetik lokal, khususnya untuk pembedahan mata, hidung dan tenggorokan, karena efek vasokonstriksifnya juga membantu. Kokain diklasifikasikan sebagai suatu narkotik, bersama dengan morfin dan heroin karena efek adiktif dan efek merugikannya telah dikenali. Nama lain untuk Kokain: Snow, coke, girl, lady dan crack ( kokain dalam bentuk yang paling murni dan bebas basa untuk mendapatkan efek yang lebih kuat ).45 2. Efek Samping Yang Ditimbulkan a) Opoid Mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, mengalami kerusakan pada liver dan ginjal, peningkatan resiko terkena virus HIV dan hepatitis dan penyakit infeksi lainnya 45
Ibid h.42
35
melalui jarum suntik dan penurunan hasrat dalam hubungan sex, kebingungan dalam identitas seksual, kematian karena overdosis. b) Kokain Kokain digunakan karena secara karakteristik menyebabkan elasi, euforia, peningkatan harga diri dan perasan perbaikan pada tugas mental dan fisik. Kokain dalam dosis rendah dapat disertai dengan perbaikan kinerja pada beberapa tugas kognitif. 3. Gejala Mengkonsumsi Narkotika a) Intoksitasi (Keracuan) 1 Opioid Konstraksi pupil atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis berat dan satu atau lebih tanda berikut, yang berkembang selama, atau segera setelah pemakaian opioid, yaitu mengantuk atau koma bicara cadel, gangguan atensi atau daya ingat. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis misalnya: euforia awal diikuti oleh apatis, disforia, agitasi atau retardasi psikomotor, gangguan pertimbangaan, atau gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berkembang selama, atau segera setelah pemakaian opioid.46 2. Kokain Pada penggunaan Kokain dosis tinggi gejala intoksikasi dapat terjadi, seperti agitasi iritabilitas, gangguan dalam pertimbangan perilaku seksual yang 46
Ibid h.42
36
impulsif dan kemungkinan berbahaya agresi peningkatan aktivitas psikomotor Takikardia Hipertensi Midriasis . b). Gejala Putus Obat dan Ketrgantungan 1.Opiod Gejala putus obat dimulai dalam enam sampai delapan jam setelah dosis terakhir. Biasanya setelah suatu periode satu sampai dua minggu pemakaian kontinu atau pemberian antagonis narkotik. Sindroma putus obat mencapai puncak intensitasnya selama hari kedua atau ketiga dan menghilang selama 7 sampai 10 hari setelahnya. Tetapi beberapa gejala mungkin menetap selama enam bulan atau lebih lama. Kram otot parah dan nyeri tulang, diare berat, kram perut, rinorea lakrimasipiloereksi, menguap, demam, dilatasi pupil, hipertensi, takikardia, disregulasi temperatur, termasuk pipotermia dan hipertermia. Seseorang dengan ketergantungan opioid jarang meninggal akibat putus opioid, kecuali orang tersebut memiliki penyakit fisik dasar yang parah, seperti penyakit jantung, gejala residual seperti insomnia, bradikardia, disregulasi temperatur, dan kecanduan opiat mungkin menetap selama sebulan setelah putus zat. Pada tiap waktu selama sindroma abstinensi, suatu suntikan tunggal morfin atau heroin menghilangkan semua gejala. Gejala penyerta putus opioid adalah kegelisahan, iritabilitas, depresi, tremor, kelemahan, mual, dan muntah. 47
47
Ibid h. 42
37
2.Kokain Setelah menghentikan pemakaian Kokain atau setelah intoksikasi akut terjadi depresi pasca intoksikasi (rash) yang ditandai dengan disforia, anhedonia, kecemasan, iritabilitas, kelelahan, hipersomnolensi, kadang-kadang agitasi. Pada pemakaian kokain ringan sampai sedang, gejala putus Kokain menghilang dalam 18 jam. Pada pemakaian berat, gejala putus Kokain bisa berlangsung sampai satu minggu dan mencapai puncaknya pada dua sampai empat hari. Gejala putus Kokain juga dapat disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Orang yang mengalami putus Kokain seringkali berusaha mengobati sendiri gejalanya dengan alkohol, sedatif, hipnotik, atau obat antiensietas seperti diazepam (Valium). menimbulkan
perasaan
relax,
dan
Jumlah
pengguna
yang kecil,
alkohol
akan
mudah
lebih
mengekspresikan emosi, seperti rasa senang, rasa sedih dan kemarahan. Bila dikonsumsi lebih banyak lagi, akan muncul efek sebagai berikut: merasa lebih bebas lagi mengekspresikan diri, tanpa ada perasaan terhambat menjadi lebih emosional (sedih, senang, marah secara berlebihan) muncul akibat ke fungsi fisik-motorik, yaitu bicara cadel, pandangan menjadi kabur, sempoyongan, inkoordinasi motorik dan bisa sampai tidak sadarkan diri. Kemampuan mental mengalami hambatan, yaitu gangguan untuk memusatkan perhatian dan daya ingat terganggu, mulut rasanya kering. Pupil mata membesar dan jantung berdegup lebih kencang. Mungkin pula akan timbul rasa mual. Bisa juga pada awalnya timbul kesulitan bernafas (untuk itu diperlukan sedikit udara segar).
38
Jenis reaksi fisik tersebut biasanya tidak terlalu lama. Selebihnya akan timbul perasaan seolah-olah kita menjadi hebat dalam segala hal dan segala perasaan malu menjadi hilang. Kepala terasa kosong, rileks dan "asyik". Dalam keadaan seperti ini, merasa membutuhkan teman mengobrol, teman bercermin dan juga untuk menceritakan hal-hal rahasia. Semua perasaan itu akan berangsur-angsur menghilang dalam waktu 4 sampai 6 jam. Setelah itu akan merasa sangat lelah dan tertekan. Pengguna biasanya merasa dapat mengendalikan diri dan mengontrol tingkahlakunya. Pada kenyataannya mereka tidak mampu mengendalikan diri seperti yang mereka sangka mereka bisa. Oleh sebab itu banyak ditemukan kecelakaan mobil yang disebabkan karena mengendarai mobil dalam keadaan mabuk. Pemabuk atau pengguna alkohol yang berat dapat terancam masalah kesehatan yang serius seperti radang usus, penyakit liver, dan kerusakan otak. Kadang-kadang alkohol digunakan dengan kombinasi obatobatan berbahaya lainnya, sehingga efeknya jadi berlipat ganda. Bila ini terjadi, efek keracunan dari penggunaan kombinasi akan lebih buruk lagi dan kemungkinan mengalami over dosis akan lebih besar.48
B. Status Hukum dan Sanksi Tindak Pidana Narkotika Dalam Hukum Islam 1. Status Hukum Tindak Pidana Narkotika Status hukum narkotika dalam konteks fikih, memang tidak disebutkan secara langsung baik dalam al-Quran maupun Sunnah, karena masalah 48
Ibid h. 42
39
narkotika tidak dikenal pada masa Rasululah Saw. Hal ini sesuai dengan statement Abdul Rahman al-Jaziri:
ا"! ت ا ل ا و و د#$ان ه 49 '" () Artinya : “Sesungguhnya narkotika belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw, dan belum ada nash yang mengharamkannya.” Al-quran hanya berbicara pengharaman khmar. Pengharaman khmar dalam al-quran bersifat gradual (( ا5 )ا*ر,yaitu: Tahap pertama, turun QS. 2 (al-Baqarah): 219
Ĩ$Ζ¨ =9Ï ì ß Ï ≈Ψo Βt ρu × 7Î 2 Ÿ Ö Oø )Î $! ϑ Ν y γ Î ŠùÏ ≅ ö %è ( Î £ Å ÷ ϑ y 9ø #$ ρu Ì ϑ ô ‚ y 9ø #$ ∅ Ç t 7 ã y Ρt θ=è ↔t ¡ ó „o š9Ï ≡‹ x .x 3 θu ø èy 9ø #$ ≅ È %è β t θ) à Ï Ζƒã #Œs $Βt š Ρt θ=è ↔t ¡ ó „o ρu 3 $ϑ y γ Î èÏ ø Ρ‾ ΒÏ ç 9t 2 ò &r $! ϑ y γ ß ϑ ß Oø )Î ρu (219 :2/ 1 )ا
tβρã 3 © x Ft ?s Ν ö 6 à =‾ èy 9s M Ï ≈ƒt ψ F #$ Ν ã 3 ä 9s ! ª #$ ß iÎ 7t ƒã
Artinya: ”Mereka bertanya kepadamu tentang khmar dan judi. Katakanlah: “pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. (QS.1 (al-Baqarah). 219) Tahap kedua turun QS.3 (al-Nisa): 43
tβθ9ä θ) à ?s $Βt (#θϑ ß =n è÷ ?s 4L® m y 3“t ≈3 s ™ ß óΟFç Ρ&r ρu nοθ4 =n Á ¢ 9#$ (#θ/ç t ) ø ?s Ÿω #( θΨã Βt #u t% Ï !© #$ $κp ‰š 'r ≈‾ ƒt u$! _ y ρ÷ &r @ x ™ y ’ 4 ?n ã t ρ÷ &r # Ì y ÷ó ∆£ Λä Ψ.ä β)Î ρu 4 #( θ=è ¡ Å Ft óø ?s 4 L® m y ≅ @ ‹6Î ™ y “Ì /Î $ã t ω ā )Î $7 Ψã _ ã ω Ÿ ρu $7Y ŠhÍ Û s #‰ Y ‹èÏ ¹ | #( θϑ ß ϑ £ ‹u Ft ùs [ $! Βt #( ρ‰ ß gÅ B r Ν ö =n ùs u $! ¡ | ΨiÏ 9#$ Λã ä ¡ ó ϑ y ≈9s ρ÷ &r Ý Å ←Í $! ót 9ø #$ z ΒiÏ Ν3 ä ΨΒiÏ ‰ Ó n t &r
49
Abdul rahman al-Jaziri, Al-fiqhu ‘ala Madzahabi al Arba’ah, (Bairut: Darul Fikr TTh,) juz ke-5, h.35.
40
(43 :3 / ء# )ا#‘ θ à î x #θ‚ à ã t β t %.x ! © #$ β ¨ )Î 3 Ν ö 3 ä ƒ‰ Ï ƒ÷ &r ρu Ν ö 3 ä δ Ï θ_ ã θâ /Î #( θs ß ¡ | Βø $$ ùs Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”. (QS.3( Al-Nisa). 43) Tahap ketiga (tegas pelarangan khmar) turun QS al-Maidah: 90-91
È≅ϑ y ã t ô ΒiÏ § Ó _ ô ‘Í Ν ã ≈9s —ø { F #$ ρu > Ü $Á | Ρ{ F #$ ρu ç £ Å Šø ϑ y 9ø #$ ρu ã ϑ ô ƒs :ø #$ $ϑ y Ρ‾ )Î #( θþ Ψã Βt #u t % Ï !© #$ $κp ‰š 'r ≈‾ ƒt ãΝ3 ä Ζu ÷ /t ì y %Ï θƒã β&r ß ≈Ü s ‹ø ± ¤ 9#$ ‰ ß ƒÌ ƒã $ϑ y Ρ‾ )Î . tβθs ß =Î ø ?è Ν ö 3 ä =ª èy 9s νç θ7ç ⊥Ï Gt _ ô $$ ùs Ç ≈Ü s ‹ø ± ¤ 9#$ ö≅γ y ùs ( οÍ θ4 =n Á ¢ 9#$ Ç ã t ρu ! « #$ Ì .ø ŒÏ ã t Ν ö .ä ‰ £ Á Ý ƒt ρu Î £ Å ÷ ϑ y 9ø #$ ρu Ì Κ÷ ƒs :ø #$ ’ûÎ u $! Ò Ÿ óø 7t 9ø #$ ρu οn ρu ≡‰ y èy 9ø #$ (91-90 :5/ )ﺍﻝﻤﺎ ﺌﺩﻩtβθκå Jt ΖΒ• Λä Ρ&r Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)khmar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminim) khmar dan berjudi itu, dan menghalangikamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari dari mengerkan pekerjaan itu)”. (QS.5 (.Al-Maidah). 90-91). Khamr di haramkan di tahun 2 hijriyah. Mulai waktu itu seseorang yang mukallaf atas kemauan sendiri, tahu haramnya khamr atas sesuatu yang memabukkan, maka dikenai hukun had bagi yang merdeka 40 jilid, bagi hamba sahaya 20 jilid, sedikit maupun banyak tetap dikenai had50 Berdasarkan Nash tersebut, maka setiap sesuatu yang memeliki 50
Muhammd Sarbini Al Khatib, kitab al-Iqna pi hal al-pazhi Abi Suja’i (Semarang :Toha Putra Tth) juz 2 h. 229
41
persamaan illat dalam hal iskar (memabukkan) haram pula meminumnya, jadi setiap minuman yang mempunyai atau mengandung sifat iskar akan melahirkan implikasi hukum haram meskipun dari sudut mana, jenis mana yang berbeda.Yang menjadi sorotan bukan nama atau jenisnya tetapi illat iskarnya.51. Sesuai dengan hadits Nabi Saw, yang berbunyi:
امG#, H وآJ G#, H آB وC D اE ل اB )ل ر: ا' هة )ل 52
(# ا1)روا
Artinya: dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda “ setiap yang memabukkan itu adalah khmar, dan setiap yang memabukkan itu haram” (HR. alNasa’i) Narkotika tidak dikenal pada masa Roslullah Saw, walau demikian ia termasuk kategori khamr, bahkan narkotika lebih berbahaya dibanding dengan khmar. Istilah narkotika dalam konteks Islam, tidak disebutkan secara langsung dalam al-Quran maupun Sunnah. Dalam al-Quran hanya disebutkan istilah khamr. Tetapi dalam teori ilmu Fikih, bila suatu hukum belum ditentukan hukumnya, maka bisa diselesaikan dengan metode qiyas (anologi hukum).53 Arti kata dasar qiyas yaitu “mengukur” Fungsi qiyas adalah untuk menemukan sebab atau illat hukum yang diwahyukan untuk dikembangkan
51
Ahmad Sudirman Abbas, , Dasar-Dasar Masail Fiqhiyah (Jakarta: CV. Banyu Kencono, 2003) H.62-63. 52 Al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i bi syarh i al- Hafiz Jalaludin al-Suyuti (Beirut: Dar al Ma’rifat T,Th). Juz ke-7, h. 695 53 Abdul Qadir Audah. At-Tasyri Al-Jinay Al-Islamy Muqharanah Wadhi (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III). (Penj) Ali Yafie. Et all. (bogor: Kharisma Ilmu, 2008). Cet ke-1h. 54
42
kedalam kasus yang serupa. Minum khamr sebagai contoh, dilarang secara tegas oleh nash. Penyebab larangan itu adalah akibat yang memabukkan, karenanya dalam apa saja penyebab ini ditemukan, maka larangan dapat diterapkan. Jadi hukum diperlukan kedalam kasus lain yang memenuhi sifat yang sama.54 Untuk itu apabila belum ditentukan status hukum dari narkotika dalam syariat Islam, maka para ulama (mujtahid) biasanya menyelesaikan dengan cara mereka, melalui metodologi hukum Islam dengan jalan qiyas sebagai solusi istimbath hukum yang belum jelas hukumnya dalam syariat Islam. Berikut ini dipaparkan
metode
penyelesaian
ketentuan
hukum
narkotika
dengan
pendekatan qiyas.55 1) Al-Ashl adalah khamr, karena sesuatu yang ada hukumnya dalam nash (alQur’an), sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 90. 2) Al-Far’u (cabang) adalah narkotika, karena tidak ada hukumnya dalam nash tetapi ada maksud menyamakan status hukumnya kepada nash yakni khamr. Narkotika dalam hal ini disebut al-musyabbab (yang diserupakan) 3) Hukum ashl khamr adalah haram, sebagimana tertuang dalam firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 90, dengan itu menjadi tolak ukur ketetapan hukum bagi cabang (al-far’u).
54
Wahyudi Asmin Yudian Fhilosopy of Islamic law and the orientalis a comparative study of Islamic legal Sistem ( Terj), (Yogya: PT Tiara, 1991) Cet. II. h. 107 55 Abdul wahab khalaf, . Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Ilmu Ushul Fiqh). (penj) Nuriskandar al-Barsany. ( Jakarta: Rajawali ,1989.). Cet ke-1. h. 90
43
4) Al-Illat, karena dampak negatif dari khamr dapat memabukkan atau menghilangkan akal pikiran dan melupakan kepada Allah SWT. Sedangkan narkotika adalah far’u karena tidak terdapat nash mengenai hukumnya dan narkotika
telah
menyamai
khamr
dalam
kedudukannya
adalah
memabukkan.56 2. Sanksi atau Hukuman Tindak Pidana Narkotika Hukum Islam menjatuhkan hukuman delapan puluh kali dera bagi pelaku tindak minuman keras (khamr). Ini merupkan hukuman yang memeliki satu batas karena hakim tidak dapat mengurangi, menambahi atau mengganti dengan hukuman yan lain.57 Imam Syafi’i berpendapat bahwa hukuman hudud terhadap pelaku tindak pidana minuman keras adalah empat puluh dera. Pendapatnya tersebut menyalahi ulama madzhab yang lain. Imam Syafi’i, beralasan karena tidak ada dalil yang bersumber dari Rasulullah Saw, bahwa Beliau pernah mencabuk para peminum minuman keras lebih dari empat puluh kali. Menurut Imam Syafi’i, sisa empat puluh dera yang lain bukan hukuman hudud, melainkan hukuman ta’zir. Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal, orang yang meminum minuman keras harus 56
Ibid h.90 Abdul Qadir Audah. At-Tasyri Al-Jinay Al-Islamy Muqharanah Wadhi (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III). (Penj) Ali Yafie. Et all (Bogor: Kharisma Ilmu. 2008). Cet ke-1h. 54 57
44
didera sebanyak delapan puluh kali Imam Syafi’i berpendapat, pendapatnya juga didapati dalam riwayat lain dari Ahmad bin Hambal bahwa hukuman hudud atas tindak pidana ini adalah empat puluh kali dera. Akan tetapi, tidak ada halangan bagi penguasa (imam) untuk mendera pelaku sampai delapan puluh kali, jka dia memiliki kebijakan seperti itu. Jadi hukuman hudud atas peminum
minuman keras
hanyalah empat puluh deraan, yang lainnya adalah hukuman ta’zir.58 Menurut Imam Abu Hanifah, hukuman hudud karena mabuk dan karena meminum minuman keras adalah sama. Perbedaan pendapat dikalangan fuqaha dalam menuntukan kadar hukuman hudud disebabkan tidak adanya ketentuan dalam al-Quran tentang hukuman tersebut. Selain itu riwayat yang ada tidak menyebutkan dengan pasti adanya ijma’ para sahabat tentang hukuman hudud atas pelaku tindak pidana minuman keras.59 Adapun pelarangan meminum minuman keras itu sendiri bersumber dari al-Qur’an. Menurut pendapat yang kuat, penentuan delapan puluh kali dera, baru ditetapkan pada masa khalifah Umar bin Khatab ra,
ketika ia
bermusyawarah dengan para sahabat mengenai hukuman peminum khmar tersebut. Ali Abi Thalib ra, menyarankan agar hukumannya berupa dera adalah delapan puluh kali dera dengan alasan apabila seseorang minum, ia akan mabuk, jika ia mabuk dia akan mengigau, jika ia mengigau ia kan memfitnah
58 59
Ibid h. 54 Ibid h. 67-68
45
(qadzaf), sedangkan hukuman bagi pelaku qadzaf adalah delapan puluh kali dera. Pendapat ini disetujui oleh para sahabat yang lain. Jadi, sumber larangan minuman keras adalah al-Quran, hukumannya bersumber dari Hadits dan berasal dari Ijma’ para sahabat60 Hukum Islam menetapkan hukuman dera bagi peminum minuman keras atas dasar yang kuat yakni ilmu fsikologi. Hukum Islam kemudian memerangi faktor fsikologis yang mendorong dilakukanya tindak pidana minuman keras dengan faktor-faktor fsikologis yang berlawanan yakni yang pada tabi’atnya dapat menolak dilakukannya tindak pidana tersebut dimana tidak ada faktor lain yang dapat menggantikan posisinya. Karena itu, apabila seseorang berpikir untuk meminum minuman keras untuk melupakan penderitaan jiwa yang dialaminya, ia kan tetap kembali kepada penderitaan jiwanya dan ditambah dengan penderitaan fisik (hukuman dera).61 Demikian pula apabila dengan meminum khamr itu, ia berpikir dapat melarikan diri dari penderitaan hidupnya, ia juga akan kembali kepada kenyataan hidup tersebut ditambah dengan derita hukuman atas perbuatannya itu. Hal ini biasanya dapat membuat seseorang jera dari melakukan tindak pidana minuman keras tersebut. Apabila hukuman ini belum bisa mencegahnya (yakni ketika suatu waktu ia melakukan tindak pidana tersebut ), ketika ia kembali berpikir untuk mengulanginya lagi, hukuman dera yang telah
60 61
Ibid h.28 Ibid h.28
46
menimpanya akan memenangkan faktor-faktor psikologis yang mencegah tindak pidana tersebut dari faktor-faktor psikologis yang memotivasi untuk melakukanya.62 Dalil hukum bagi peminum khamr adalah dari hadits berikut:
ان1 *وKGB انB وC D اE Dل اB)ل ر: ا' هة )ل (يN, اO ا#0 ا1 )رواC 'اM L' ااGB ان1 *وK GB Artinya: “dan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah Saw, bersabada: “jika seorang mabuk, maka deralah dia, kemudian jika ia mabuk lagi, maka deralah ia, kemudian jika ia kembali lagi yan keempat kalinya, maka pukullah lehernya”. (H.R. Imam yang lima keculai Tirmidzi).63 Bagaimanapun, ketika seseorang melakukan pelanggaran lebih dari satu kali, dan orang itu disumpahi oleh para muslim lainnya, Nabi mencegah mereka dari mengutukki orang tersebut, dengan alasan ini setan mendominasi diri si pelanggar untuk melakukan lebih bamnyak dosa lagi. Dalam kehidupan Nabi cara memukul juga dilakukan secara bervariasi. Sejumlah orang dipukul secara singkat oleh kelompok orang dengan menggunakan tangan, sandal dan pakaian. Dalam kasus lain pelanggar dipukul dengan tongkat dan bahan-bahan pohon kurma. Pada zaman Abu Bakar ra dan Umar ra cambukkan dilakukan dengan dahan pohon kurma.64 Ulama yang berpendapat bahwa hukuman hudud karena meminum
62
Ibid, h. 55 Muhammad Hamidy, Terjemah Nailul Authar, Himpunan Hadits-Hadits Hukum, Jilid 6. (Surabaya: Bina Ilmu 2001.). Cet. Ke-1. h. 2658 64 Malik B. Badri, Islam &Alkoholisme Pengobatan Bagi Muslim pecandu, (Jakarta: Pustaka 2006) H.14 63
47
minuman keras adalah delapan puluh dera, menganggap bahwa para sahabat sudah memiliki ijma’ dalam hal ini, sedangkan ijma’ adalah salah satu sumber penerapan hukum. Ulama yang berpendapat bahwa hukuman hudud hanya empat puluh dera menggunakan dalil perbuatan Ali ra., yang mendera walid bin ‘Uqbah denga empat puluh kali deraan dan perkataan Ali, “Rasulullah Saw mendera empat puluh kali dan Umar mendera delapan puluh kali. Semua ini adalah sunnah dan ini yang lebih aku sukai. Mereka berpendapat bahwa apa yang dilakukan Rasulullah Saw, adalah hujjah yang tidak boleh ditinggalkan karena perbuatan orang lain. Ijma’ dibatalkan jika ijma’ itu berlawanan dengan apa yang dilakukan Rasulullah Saw, Abu Bakar ra., dan Ali ra. mereka berpendapat bahwa apa yang dilakukan Umar bi Khatab ra. adalah hukuman ta’zir yang boleh dilakukan, jika seseorang penguasa memiliki kebijakan untuk melakukannya.65 Hukuman hudud yang murni hak Allah SWT memiliki hukum dasar, yaitu tidak bisa diampuni, tidak bisa didamaikan, tidak bisa digugurkan. Karena hukuman hudud akibat meminum minuman keras termasuk hukuman murni hak Allah, perseorangan atau masyarakat tidak berhak menggugurkan atau mengampuninya. Para ulama sepakat bahwa hukuman hudud tidak dijatuhkan kepada orang mabuk sampai ia sadar, hukuman hudud diberikan untuk mendidik
65
Abdul Qadir Audah. At-Tasyri Al-Jinay Al-Islamy Muqharanah Wadhi (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III). (Penj) Ali Yafie. Et all (Bogor: Kharisma Ilmu. 2008). h. 69
48
(ta’dib) dan membuat jera (Zajr), sedangkan orang mabuk sama sekali tidak merasakan apa yang terjadi66. Adapun sebab perbedaan ulama tentang jumlah jilid ini, karena al-Quran tidak menentukkan secara tegas dan lagi pula Rasulullah Saw, kadang-kadang beliau menjilidnya sedikit dan kadang-kadang menjilidnya banyak, tetapi tidak pernah melebihi empat puluh kali jilidan. Pada zaman pemerintah Umar bin alKhathab peminum khamr itu diberi hukuman delapan puluh kali jilid, karena pada masa itu mulai banyak lagi minum khamr. Ketentuan ini berdasarkan hasil musyawarah beliau bersama para sahabat yang lain, yakni atas usulan Abdurahaman bin Auf. Pada pemerintahan Ali, peminum khamr juga diberi hukuman delapan puluh kali jilid, dengan menqiyaskan kepada penuduh zina. Bila seseorang berkali-kali minum
dan beberapakali pula mabuk,
namun belum pernah dijatuhi hukuman, maka hukumannya sama dengan sekali mabuk. Dalam kasus ini, ada kemungkinan diterapkannya teori al-tadakhul, dengan ketentuan sebagai berikut: 1)
Bila minum dan mabuk beberapa kali, maka hukumannya adalah satu kali.
2) Beberapa kali minum dan satu kali mabuk, maka hukumannya adalah satu kali. Dilakukan madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali bila seseorang mabuk, lalu sesudah sadar membunuh orang lain serta tidak dapat perma’afan dari 66
Ibid, h. 69
49
keluarga korban, maka hukuman baginya hanya satu, yaitu hukuman mati (qishas).67 Pada masa pemerintahan sahabat Umar Bin Khatab dipandang perlu menetapkan hukuman bagi para peminum khmar, maka Ali Bin Abi Thalib berijtihad dengan argument anaologi (qiyas) kepada hukuman pelaku penuduh zina pada wanita yang baik-baik tanpa adanya empat orang saksi, yaitu dilakukan cambuk sebanyak 80 kali bagi pemabuk itu, batasan hukuman tersebut tidak dapat dikatakan didasarkan pada al-Quran dan Hadits.68 Abu Lais berkata, “Jauhilah minuman khmar, karena dalam khmar terdapat 10 keburukan, yaitu: 1. Al-khmar akan mengakibatkan gila, dan menjadi bahan tertawaan anak. 2. Menghilangkan akal dan menghabiskan harta. 3. Menjadikan sebab permusuhan antara saudara dan sahabat. 4. Menjauhkan dari mengingat Allah dan shalat. 5. Akan membawa pelaku kedalam perzinaan. 6. Kuncinya semua keburukan. 7. Berada dalam majlis fasik 8. Wajib di jilid 80 jilid, kalau di dunia tidak dijilid, maka diakhirat dijilid oleh pecut dari api neraka. 9. Ditolak do’a 40 hari, ditutup pintu langit. 10.Ditariknya iman ketika maut".69 3. Sanksi Bagi Pengedar Narkotika Dalam Hukum Islam Narkotika tidak akan pernah sampai kepada tangan pemakai, jika tidak ada pengedar, maka ini tentunya antara pemakai dengan pengedar lebih berbahaya pengedar dari pada pemakai, karena dia bertindak sebagai mupsid 67
A. Djajuli. Fiqh jinayah ,Upaya Menanggulani Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997). Cet. Ke-2, h. 99-100. 68 Said al-Asmawi , Muhammad, Problematika & Penerapan Syari’at Islam Dalam Undang-Undang,. (Jakarta :Gunung Persada Press, 2005). Cet I h. 138-139 69 , Usman Bin Hasan Bin Ahmad Al-Syakir, Duratun Nasihin pi al Wa’zi wa al-irsad, (Bairut: Dar al-Fikr Tth), h.66
50
(perusak), maka dalam hal ini apakah sama hukuman atau sanksi antara pengedar dengan pemakai, inilah yang akan dikaji dalam bab ini, yaitu tentang sanksi bagi pengedar narkotika. Nabi Muhammd Saw, bersabda:
ر." و/ ا ا0 ل رل ا ا و, ا- " ر ' وا"(" ا57 ه و05" ' و1 2' و ه واآ4)5' و06 ' و,و 70
( 95 #)روا
Artinya: “ dari Umar ra, Rasulullah Saw Bersabda: “Allah melaknat khamr, peminumnya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, pengambil manfaat dari harganya, yang menyuruh memerasnya, pembawanya dan yanmg menerimanya.” (HR Muslim)
Berdasarkan uraian di atas dijelaskan, bahwa hukuman khamr itu adalah 80 atau 40 jilidan. Dalam hukum Islam ada hukuman had, qisahas, dan ta`zir, maka ketika sebuah perbuatan yang tidak ada hadnya seperti pengedar narkotika maka ini mengacu kepada jenis yang kedua yaitu ta`zir, karena sanksi pengedar narkotika tidak dijelaskan dalam al-Quran dan Sunnah. Ta’zir adalah larangan, pencegahan, menegur, menghukum, mencela dan memukul. Jadi ta’zir hukuman yang tidak ditentukan bentuk dan jumlahnya yang wajib dilaksanakan terhadap segala bentuk ma’siat yang tidak termasuk hudud dan kifarat. Disamping itu ulama fikih mengartikan ta’zir dengan ta’dib
70
Imam Muslim, Shaih Muslim (Singapura: Sulaiman Mar’i, T.Th.) juz ke-10
51
(pendidikan).71 Menurut Fathi al-Duraini, guru besar fiqh di Universitas Damaskus Suriah, ta’zir adalah hukuman yang diserahkan kepada penguasa untuk menentukan bentuk dan kadarnya sesuai dengan kemaslahatan yang dihendaki dalam tujuan syara’ dalam menetapkan hukum yang ditetapkan pada bentuk ma’siat.72 Setiap kema’siatan yang tidak ada had dan kifarat harus dita’zir, seperti bercumbu selain parji, mencuri yang tida nishab, saksi palsu, memukul tanpa hak.73 Menurut Abdul Aziz Amir, sanksi ta`zir itu banyak macamnya, yaitu:74 a. Sanksi mengenai badan seperti hukuman mati dan jilid b. Sanksi yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang seperti penjara dan pengasingan. c. Sanksi yang berkaitan dengan harta seperti denda, penyitaan, perampasan dan penghancuran. Pembagian tersebut diatas, menurut prof. Drs. H.A. Jazuli adalah agar tercapai tujuan sanksi ta'zir, yaitu:75 1) . Sanksi bersifat preventif. Maksudnya adalah sanksi ta`zir harus memberikan dampak positif bagi orang lain (yang tidak dikenai sanksi
71
Qalyubi ‘umairah, hasyiatani, juz 4, (Bairut: Darul fikr TTh.). H.206 Dahlan Abd Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve1997) H.1771-1772 73 Qolyubi ‘umairah, H.206 74 Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Persfektif Hukum Islam dan Hukum Pidana nasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008) h.129 75 Ibid h.130 72
52
ta`zir) sehingga ia tidak melakukan yang perbutan yang sama; 2)
Sanksi ta`zir yang bersifat represif. Maksudnya adalah sanksi ta`zir harus berdampak positif kepada si terhukum itu sendiri supaya ia tidak mengulangi perbuatannya;
3)
Sanksi ta`zir bersifat kuratif. Maksudnya adalah maksudnya adalah sanksi tersebut mampu membawa perbaikan sikap dan perilaku;
4)
Sanksi ta`zir bersifat edukatif. Maksudnya adalah sanksi tersebut mampu menyembuhkan hasyrat terhukum untuk mengubah pola hidupnya ke arah lebih baik. Meskipun sanksi ta`zir itu merupakan otoritas ulil amri (hakim) untuk
menentukan
berat
atau
ringannya
hukuman,
akan
tetapi
harus
mempertimbangkan banyak hal seperti kedaan pelakunya, jarimahnya, korban, kejahatannya, waktu dan tempat kegiatannya sehingga putusannya bersifat preventif, refresif, kuratif dan edukatif. Oleh karena itu hakim harus mempunyai sumber materil. Demikian juga ulil amri hendaknya membuat hukum pidana Islam.76 Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk jarimah ta`zir antara lain tindakan Sayidina Umar bin Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelentangkan seekor kambing untuk disembelih, kemudian ia mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul orang tersebut dengan cemeti
76
Ibid 130 dan 131
53
dan ia berkata: “Asah dulu pisau itu.77
C. Status Hukum dan Sanksi Pengedar Narkotika dalam Hukum Positif 1. Status Hukum Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan data statistik tahun 2009 tersangka kasus narkoba berdasarkan kelompok umur, dibawah umur 16 tahun berjumlah 113 orang, 16-19 tahun berjumlah 11.731 orang, 20-24 tahun berjumlah 39.368 orang, 25-29 tahun berjumlah 49.022 orang, diatas umur 30 tahun berjumlah 93.805.78 Status hukum pemakai, produsen dan pengedar narkoba menurut Hukum Pidana Nasional adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UndangUndang No 5 Tahun 1997 tentang Psikrotopika. 79 Adapun perubahan undang-undang narkotika di Indonesia, yaitu: 1) Undang-Undang Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonantie Stb. 1927 No. 278 jo. 536). Undang-Undang obat bius ini merupakan kumpulan-kumpulan dari berbagai undang-undang serta ketentuan-ketentuan mengenai candu 77
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika 2005) H. 252-
253 78
Badan Narkotika Nasional, Jurnal Data Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan Gelap Narkoba (P4GN). BNN, Jakarta. H.12 79 Lihat UU Narkotika dan Psikotrapika dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika, (Jakarta: Bina Aksara 1999), Cet ke III h.1dan 81
54
dan obat-obat bius lainnya yang tersebar dalam sejarah perundanundangan. Aturan hukum di atas berlaku pada zaman kolonial Belanda. 2) Undang-Undang Obat Keras Undang-Undang ini dibuat pada tahun 1949 dengan lembaran Negaran No. 419 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Obat Bius, karena dianggap memeliki banyak kekurangan di beberapa sisi. Antara lain tidak memuat opiates sinthesis dan segala obat-obatan yang memeliki efek samping yang sama atau cenderung disalahgunakan yang dapat mengakibatkan ketergantungan sebagaimana jenis-jenis obat bius yang terdapat dalam Undang-Undang Obat Bius. 3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Dengan
diberlakukannya
Undang-Undang
Narkotika
yang
diundangkan pada tanggal 26 Juli 1976, maka pada saat itu juga UndangUndang Obat Bius dan Undang-Undang Obat Keras, tidak menjadi berlaku lagi. 4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narktika dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997 Psikotropika.80 Kedua undang-undang ini mempunyai sistematika dan isi lebih up to date daripada Undang-Undang tentang Obat Bius dan Undang-Undang tentang Obat Keras. Secara umum, Undang-Undang Obat Bius hanya 80
Lihat UU Narkotika dan Psikotrapika dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika, (Jakarta: Bina Aksara 1999), Cet ke III h. 1dan 81
55
mengatur hal–hal yang berkenaan dengan pengadaan, distribusi, dan penggunaan narkotika. Sedangkan masalah-masalah yang berhubungan dengan pengobatan dan rehabilitasi pecandu serta usaha-usaha pencegahan lainnya tidak diatur. Demikian pula mengenai ancaman hukuman, relatif sangat ringan, sehingga tidak mempunyai daya pencegahan terhadap masyarakat dan dala upaya penegakkan hukum. 81 2. Pengedar Narkotika Dalam Hukum Positif Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal–hal yang negatif. Di samping itu, Melalui perkembangan teknologi informarsi dan komunikasi, penyebaran narkotika sudah menjangkau hampir ke semua wilayah Indonesia hingga ke pelosokpelosok. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika, lambat laun berubah menjadi sentral peredaran narkotika, Begitu pula anak-anak yang mulanya awam terhadap terhadap barang haram ini, telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar untuk di lepaskan ketergantungannya. Peredaran narkotika secara ilegal harus segara ditanggulangi mengingat efek negatif yang akan ditimbulkan tidak saja pada penggunanya, tetapi juga bagi keluarga, komunitas, hingga bangsa dan negara. Sebelum lahirnya Undang-undang No.22 Tahun 1997, narkotika diatur dalam undang-undang No.9 Tahun 1976 tentang narkotika (lembaran Negara 81
Ibid h. 81
56
Republik Indonesia Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3086), Undang-Undang ini tidak dapat di pertahankan lagi keberadaannya, karena adanya perkembangan kualitas kejahatan narkotika yang sudah menjadi ancaman serius bagi kehidupan umat manusia.82 Dalam Undang-Undang NO.22 tahun 1997 pasal 82, mengatur tentang pengedar narkotika, unsur-unsur pidana dalam pasal 82 adalah:83 a. Barang Siapa ( pelaku tindak pidana/darder) b. Perbuatan tanpa hak melawan hukum c.Mengimpor, mengekspor, menawarkan, untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau denda paling banyak Rp. 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Jika mengimpor, mengekspor, menawarkan, untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan II, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun (lima belas tahun) dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).Jika mengimpor, mengekspor, menawarkan, untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual
82
Dikdik M. Arief Mansur Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita(Jakarta: Raja Grafindo, 2008)Cet ke-1 h. 101 83 Undang-Undang Narkotika No. 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Psikrotofika No. 5 Tahun 1997 (Jakarta: Asa Mandiri 2008)
57
beli, atau menukar narkotika golongan III, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun (sepuluh tahun) dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).84
84
Undang-Undang Narkotika No. 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Psikrotofika No. 5 Tahun 1997 (Jakarta: Asa Mandiri 2008)
58
BAB IV ANALISIS PERKARA TENTANG PENGEDAR NARKOTIKA ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Duduk Perkara
59
Berdasarkan naskah salinan dakwaan, tuntutan dan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Tangerang dalam perkara No. 1409/PID/B/ PDM. /TNG/2009, bahwa Hendrik Alias Kompoi Bin Marulah, yang berusia 17 Tahun, kelahiran Tangerang 1992, yang beralamat di Jl. Aburrahman Saleh RT02/04
Kelurahan Jurumudi
Kecamatan Benda Kabupaten Tangerang,
bersama-sama dengan Eko Fitrah Hardiansyah Bin M. Husain dan Mutoni Alias Melon Bin Marlan, pada hari Selasa tanggal 12 Mei 2009 sekitar jam 21.00 Wib, dalam bulan Mei tahun 2009, bertempat Jl. Aburrahman Saleh RT02/04 Kelurahan Jurumudi Kecamatan Benda Kabupaten. Tangerang yang berada di daerah Hukum Pengadilan Negeri Tangerang, kedapatan membawa 2 (dua) buah empel/bungkus kecil narkotika jenis daun ganja kering yang terbungkus kertas koran yang disembunyikan dalam sarung handpone serta digantung dileher terdakwa Hendrik Alias Kompoi sebagai kalungan dengan berat 1,4140 (satu koma empat ribu seratus empat puluh sebelum hasil uji lab.). Terdakwa Hendrik Alias Kompoi memperoleh ganja tersebut dengan cara membeli dari seseorang di daerah komplek Ambon Cengkareng Jakarta Barat, dan tidak memeliki perijinan dari pihak yang berwenang untuk membawa, menyimpan, memeliki, menggunakan dan memperjual belikan daun ganja kering tersebut. Kemudian barang bukti tersebut diamankan di Polesk Benda sebagai barang bukti untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sesuai hasil laporan pengujian secara laboratorium oleh Badan Narkotika Nasional RI pada tanggal 19 Mei 2009 No. 301. E/V/2009/UPT/ Lab Uji
60
Narokoba yang dibuat dan ditandatangani oleh Maimunah S.Si, Rieski Dwi Widayati, S,si, Tanti, ST. Mengetahui ka. UPT. Menerangkan bahwa barang bukti: bahan/daun tersebut di atas adalah benar ganja mengandung THC (Tetra Hidro Cannabinol) dan terdaftar dalam golongan 1 nomor urut 8 dan 9 lampiran Undang-Undang RI No. 22 tahun 1997 tentang narkotika. Terdakwa Hendrik Alias Kompoi, turut melakukan perbuatan secara tanpa hak dan melawan hukum, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantra, dalam jual beli, atau menukar, yaitu daun ganja kering. Berdasarkan barang bukti dan keterangan para saksi bahwa nama tersebut telah terbukti melakukan tindakan melawan hukum. Perbuatan tersebut didakwa dengan dakwaan primer, yatu pasal 82 (1) huruf a UU No.22 tahun 1997 dan dakwaan Subsider, yaitu pasal 78 (1) huruf a UU no.22 tahun 1997 tentang narkotika. Karena perbuatan tersebut, maka terdakwa dituntut pasal 82 ayat (1) a, UURI No.22 Tahun 1997 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP sesuai dakwan primair dan membebaskan terdakwa dari dakwaan subsidair. Atas perbuatan terdakwa, maka dijatuhkan pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan dikurangi selama terdakwa selama berada dalam tahanan sementara, dengan perintah terdakwa tetap ditahan, dan denda sebesar Rp 500.000,00 subsidair 3 bulan. Setelah mendengar keterangan para saksi dan terdakwa, hakim menimbang dan sebagainya dengan memperhatikan pasal 82 ayat 1 huruf a Undang-Undang RI No. 22 tahun 1997 dan pasal 78 ayat 1 No. 22 tahun 1997
61
tentang narkotika, telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, bersalah
melakukan kejahatan dan diancam. Pengadilan Negeri Tangerang,
menjatuhkan hukuman selama 1 (satu) tahun, 5 bulan dan denda sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), apa bila denda tersebut tidak dibayarkan, maka diganti dengan hukuman kurungan selama 3 (tiga) bulan, menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana dijatuhkan. Dalam pasal 82 Undang-Undang NO. 22 tahun 1997 mengatur tentang pengedar narkotika, unsur-unsur pidana dalam pasal 82 adalah:85 a. Barang Siapa ( pelaku tindak pidana/darder) b. Perbuatan tanpa hak melawan hukum c. Mengimpor, mengekspor, menawarkan, untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau denda paling banyak Rp. 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Jika mengimpor, mengekspor, menawarkan, untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan II, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun (lima belas tahun) dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Jika mengimpor, 85
Undang-Undang Narkotika No. 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Psikrotofika No. 5 Tahun 1997 (Jakarta: Asa Mandiri 2008)
62
mengekspor, menawarkan, untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan III, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun (sepuluh tahun) dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)86 Masalah umur tentunya harus dikaitkan dengan saat melakukan tindak pidana. Sehubungan masalah umur, pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menetapkan sebagai berikut.87 1) Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum pernah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetapi diajukan ke sidang anak. 2) Jelaslah rumusan di atas, bahwa batas umur anak nakal minimum adalah 8 (delapan) tahun dan maksimum adalah 18 (delapan belas tahun) atau belum pernah kawin. Sedangkan maksimum untuk dapat diajukan ke sidang anak umur 21 tahun, asalkan saat melakukan tindak pidana belum mencapai umur
86
Undang-Undang Narkotika No. 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Psikrotofika No. 5 Tahun 1997 (Jakarta: Asa Mandiri 2008)
63
18 (delapan belas) tahun, dan belum pernah kawin. Bagaimana apabila tersangka tersebut belum berumur 8 (delapan) tahun?, dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah dan demi kepentingan/perlindungan anak, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, Pasal 5 menentukan sebagai berikut. a) Jika anak belum mencapai umur 8 ( delapan) tahun melakukan atau diduga tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik. b) Apabila penyidik berpendapat bahwa anak tersebut masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. c) Jika penyidik berpendapat bahwa anak tersebut tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, penyidik menyarankan agar anak tersebut diserahkan kepada Departemen Sosial. Pertimbangan yang digunakan oleh seorang hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap seorang anak, yaitu anak masih mempunyai harapan, maka oleh karena itu dalam menentukan sanksi ada dua bagian, satu berupa tindakan dan yang kedua berupa penjara, berupa tindakan misalnya dikembalikan kepada orang tunanya, dijadikan abdi Negara atau dititipkan ke panti sosial untuk dididik dan diberikan pelatihan.88 Jika melihat kasus perrkara di atas, maka kasusnya adalah pengedaran 88
Wawancara dengan Doddy Hermayadi, SH pada tanggal 2 September 2010
64
ganja yang dilakukan anak di bawah umur. Ganja adalah jenis narkotika golongan I, tanpa izin pihak yang berwenang ganja tidak bisa diperjual belikan. Maka pelaku dijerat pasal 82 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, tentang pengedaran narkotika, yang jenis hukumannya berupa pidana dengan pidana mati atau
pidana
penjara
seumur hidup,
atau
denda
paling banyak
Rp.
1000.000.000,00 (satu miliar rupiah) Pelaku dalam kasus tersebut adalah Hendrik yang berusia 17 tahun, maka hukumannya pun tidak sama dengan pasal 82 Undang-Undang tahun 1997, karena masih kategori anak di bawah umur. Maka oleh karena itu putusan yang di keluarkan oleh Pengadilan Negeri Tangerang tersebut sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pemidanaan anak. Sanksi terhadap tindak pidana anak dibawah umur pada hakikatnya adalah sama, yaitu berpatokan kepada sanksi berupa tindakan dan penjara, mengenai lamanya waktu, hakim yang mempertimbangkan.89
B. Analisis Pengedar Narkotika Anak Di Bawah Umur Dalam Prespektif Hukum Islam Ganja adalah jenis narkotika yang mempunyai sifat memabukkan, dalam hukum Islam dikenal dengan namanya qiyas (analogi hukum), karena narkotika belum dikenal pada masa Nabi Saw, maka status hukum narkotika disamakan dengan khamr, yaitu haram, karena mempunyai sifat yang sama yaitu 89
Wawancara dengan Doddy Hermayadi, SH pada tanggal 2 September 2010
65
memabukkan. Sesuai dengan hadits Nabi Saw yang berbunyi:
امG#, H وآJ G#, H آB وC D اE ل اB )ل ر: ا' هة )ل 90
(# ا1)روا
Artinya: “dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda “ setiap yang memabukkan itu adalah khamr, dan setiap yang memabukkan itu haram” (HR. al-Nasa’i) Dalam kasus di atas Hendrik (17 tahun) seorang pengedar narkotika, menurut Imam Abu Hanifah, masih tergolong anak di bawah umur, sedangkan menurut Imam Syafi’i sudah tidak bisa tergolong anak di bawah umur, karena ia berpendapat kategori anak dibawah umur dimulai dari sejak lahir sampai berumur lima belas tahun. maka ini berarti putusan tersebut atau Undang-Undang N0. 3 Tahun 1997 sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah. 91 Sanksi bagi pemabuk atau yang mengkonsumsi narkotika adalah had, sedangkan sangksi bagi produsen dan pengedar tidak dijelaskan dalam al-Quran dan Sunnah. Nabi bersabda:
',ر و." و/ ا ا0 ل رل ا ا و, ا- " ر ' وا"(" ا57 ه و05" ' و1 2' و ه واآ4)5' و06 و 92
( 95 #س )روا
Artinya: “dari Umar ra, Rasulullah Saw Bersabda: “Allah melaknat khamr, peminumnya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, pengambil manfaat 90
Al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i bi syarh i al- Hafiz Jalaludin al-Suyuti TTh, (Beirut: Dar al Ma’rifat) Juz ke-7, h. 695 91
Abdurrahman al-Jazari, Kitab Al-Fiqh Ala Mazdahib Al-arb’ah (Beirut: Dar al-Fikr ,Tth). Cet. Ke-1, h. 12 92
Imam Muslim, Shaih Muslim (Singapura: Sulaiman Mar’i, T.Th.) juz ke-10
66
dari harganya, yang menyuruh memerasnya, pembawanya dan yanmg menerimanya.” (HR Muslim) Meliahat teks hadits tersebut, Nabi Saw tidak menyatakan sanksi yang jelas bagi pengedar akan tetapi hanya mengeluarkan pela’natan, oleh karena itu sanksi bagi pengedar, apalagi kategori seorang anak seperti kasus di atas adalah ta`zir. Ta’zir bisa seringan-ringannya atau seberat-beratnya. Karena pelakunya anak di bawah umur, maka tentunya sanksi yang diberikan harus berbeda dengan orang dewasa. Meskipun sanksi ta`zir itu merupakan otoritas ulil amri (hakim) untuk menentukan
berat
atau
ringannya
hukuman,
akan
tetapi
harus
mempertimbangkan banyak hal seperti kedaan pelakunya, jarimahnya, korban kejahatannya waktu dan tempat kegiatannya sehingga putusannya bersifat preventif, refresif, kuratif dan edukatif bisa tercapai. Oleh karena itu hakim harus mempunyai sumber materil. Demikian juga ulil amri hendaknya membuat pidana Islam.93 Sanksi ta’zir mernurut Abadul Aziz banyak macamnya, yaitu:94 a) Sanksi mengenai badan seperti hukuman mati dan jilid b) Sanksi yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang seperti penjara dan pengasingan. c) Sanksi yang berkaitan dengan harta seperti denda, penyitaan, perampasan dan
93
Ibid 130 dan 131. Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Persfektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008). h. 129-130 94
67
penghancuran. Melihat sanksi dari putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Tangerang kepada terdakwa (17 tahun), yaitu hukuman selama 1 (satu) tahun, 5 bulan dan denda sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), ini sesuai dengan Hukum Islam yaitu berupa penjara, karena penjara adalah salah satu hukuman yang yang masuk kedalam kategori ta’zir, namun jika melihat dalam hal penentuan umur dalam putusan tersebut, terdakwa masuk ke dalam kelompok anak di bawah umur, karena di bawah 18 (delapan belas tahun), padahal kalau melihat kesepaakatan ulama, apa bila seseorang dalam hal ini pelaku di atas lima belas tahun, maka penentuan sanksinya sama orang dewasa, walaupun ada ulama seperti Imam Abu Hanifah yang berpendapat bahwa pelaku di bawah 18 (delapan belas) masih masuk ke dalam kategori anak.. ini berarti UndangUndang No. 3 tahun 1997 ini sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah.
C. Analisis Perbandingan Tentang Pengedar naarkotika Anak Di Bawah Umur Berdasarkan uraian di atas tentang putusan Pengadilan Negeri No. 1409/PID/B/ PDM. /TNG/2009 tentang pengedar narkotika anak di bawah umur yang dilihat dari dua sistem hukum ( Hukum Islam dan Hukum Positif), maka dalam bagian analisa ini, penulis hendak menyoroti titik perbedaan yang terdapat dalam ketentuan hukum Islam dan Hukum Positif. Menurut hukum Pidana Islam ancaman hukuman pidana anak-anak yang melakukan kejahatan dalam hal ini pengedaran narkotika, dibedakan dalam
68
klasifikasi umurnya. Berdasarkan umur inilah, hukum pidana Islam memberikan hukuman (sanksi) terhadap tindak pidana (kejahatan), dengan 3 tahapan, yaitu usia sebelum 7 tahun, dalam fase ini anak tidak mendapatkan hukuman apapun, baik had, ta’zir maupun ta’dib, kemudian fase kedua , yaitu masa mumayiz dari 7 sampai usia baligh atau berusia 15 (lima belas) tahun, dalam fase ini anak dikenai hanya hukuman ta’dib, dan yang terakhir fase menjelang kecerdasan, dalam fase ini anak mendapatkan ta’zir atau had. Sedangkan menurut hukum Positif pembagian umur kategori anak, yaitu dimulai berumur 8 sampai 12 tahun (hanya dikenai tindakan), usia di atas 12 tahun sampai 18 tahun dapat dijatuhi pidana dengan tetap memperhatikan harapan anak dengan mengacu kepada UndangUndang N0. 3 Tahun 1997 tentang pemidanaan anak. Mengenai sanksi yang diberikan, menurut hukum Islam pengedar narkotika adalah sesuatu perbuatan berbahaya dan membahayakan (mupsid), maka ketika orang dewasa melakukan perbuatan tersebut, dijatuhi hukuman ta’zir yang berat. Akan tetapi jika pelakunya seorang anak di bawah umur, maka hukumannya sama tetap hukuman ta’zir namun tetap memperhatikan atau mengacu kepada batas usia anak di bawah umur. Sedangkan menurut hukum Positif sanksi bagian pengedar narkotika (pasal 82 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997), yaitu: pengedar narkotika golongan I (satu), sanksinya pidana mati atau seumur hidup ditambah denda, golongan II (dua), sanksinya 15 tahun ditambah denda dan golongan III (tiga), sanksinya 10 tahun ditambah denda, akan tetapi jika pelakunya anak dibawah umur, sanksinya adalah mengacu kepada batas usia, seperti dalam kasus
69
pengedaran narkotika yang saya angkat dalam penulisan ini, pelakunya masih masuk ke dalam kategori anak di bawah umur, ini bisa di jatuhi hukuman pidana namun tetap harus memperhatikan seorang anak di bawah umur, maka disinilah seorang hakim mempertimbangkan hukuman yang harus dijatuhkan dengan mengacu kepada UndangUundang no. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak. Adapun dalam perspektif hukum Islam dan hukum Positif terhadap putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 1409/PID/B/ PDM. /TNG/2009 tentang kasus pengedaran narkotika anak di bawah umur, menurut hukum Islam, putusan tersebut tidak sesuai dengan kesepakatan para ulama yang menentukan bahwa kategori anak di bawah umur itu sampai 15 (lima belas) tahun, sedangkan dalam kasus tersebut pelaku berumur 17 tahun, maka menurut hukum Islam pelaku tersebut dijatuhi hukuman sama seperti orang dewasa, artinya jika seseorang di atas 15 tahun melakukan perbuatan tindak pidana, harus dikenai hukuman, bukan ta,dib. Sedangkan dalam perspektif hukum Positif Indonesia yang berlaku, ini sangat sesuai dengan aturan main yang ada, yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1997
tentang narkotika dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
pemidanaan anak.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A Kesimpulan 1. Menurut hukum Islam, pengedar narkotika anak di bawah umur sanksinya tidak dijelaskan dalam al-Quran dan Sunnah, maka sanksinya adalah berupa ta`zir. Ta`zir adalah suatu bentuk sanksi yang ditetapkan oleh ulil amri, dari seringanringannya sampai ke yang seberat-beratnya, akan tetapi dalam Islam menjatuhkan hukuman atau sanksi ini mengacu kepada tingkatan umur, yaitu yang di bagi kepada tiga fase, fase anak dibawah umur 7 tahun. Dalam fase ini anak tersebut tidak mendapatkan hukuman, baik berupa had, ta’zir atau ta’dib, kemudian tingkatan kedua fase anak berumur dari 7 tahun samapai berumur 15 (lima belas tahun). Dalam fase ini anak tersebut dikenai hukuman berupa ta’dib dan yang terakhir fase 15 tahun atau dari baligh sampai dengan dewasa, dalam fase ini anak tersebut dikenai hukuman, baik hukuman ta’zir, qishas, maupun hudud. Sanksi bagi pengedar narkotika, dalam hukum Positif Indonesia lebih berat dari pada penyalah gunaan narkotika, yaitu bergantung kepada golongannya. a. Pengedar Narkotika Golongan I, hukumannya pidana mati atau penjara seumur hidup ditambah denda paling banyak Rp. 1000.000.000,00 b.
Pengedar Narkotika Golongan II, hukumannya, pidana penjara paling lama 15 tahun (lima belas tahun) dan denda paling banyak Rp500.000.000,00
70
71
(lima ratus juta rupiah). c. Pengedar narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun (sepuluh tahun) dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Adapun sanksi bagi pengedar narkotika anak di bawah umur sama mengacu kepada pasal 82 Undang-Undang N0.22 Tahun 1997, namun dikaitkan kepada Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak, yaitu sanksinya berupa penjara, dititipkan kepada panti sosial, dan dipulangkan kepada orang tua/wali. 2. Setelah melihat salinan putusan hakim Pengadilan Negeri Tangerang terhadap si pelaku (17 tauhun), pengedar narkotika dengan dijatuhi hukuman 1 (satu) tahun lima bulan ditambah denda, maka kesimpulan penulis, bentuk hukuman tersebut jika
dilihat dari hukum Islam sesuai karena bentuk hukumannya
berupa ta’zir, akan tetapi jika mengacu kepada kesepakatan ulama bahwa batas umur anak di bawah umur itu adalah sampai dengan 15 tahun, maka ini tidak sesuai. Sedangkan jika dilihat dari hukum Positif yaitu pasal 82 UndangUndang No. 22 tahun 1997 dan Undang-Undang No. 3 1997 tentang Pengadilan Anak, maka putusan tersebut sesuai, karena walaupun kasusnya besar akan tetapi pelakunya adalah anak di bawah umur, maka yang diperhatikan adalah bahwa seorang anak masih punya harapan. Perbedaan dan persamaan antara Hukum Islam dan hukum Positif terhadap pengedar narkotika anak di bawah umur, yaitu:
72
a. Perbedaan Batas usia anak di bawah umur. Batas usia anak dibawah umur menurut kesepakatan ulama ( Hukum Islam), yaitu sampai 15 tahun atau baligh, sedangkan dalam hukumPositif sampai berumur 18 tahun. b. Persamaan Adapun Persamaan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap pengedar anak di bawah umur, yaitu: a). Hukum Islam dan hukum Positif sama-sama membedakan sanksi antara orang dewasa dan anak di bawah umur dan memperhatikan seorang anak. b). Jenis hukuman pengedar narkotika. Dalam Hukum Islam pengedar narkotika tidak dibahas, maka hukumannya adalah ta’zir yang ditentukan kepada ulil amri (pemerintah). Dalam Hukum Positif, pengedar narkotika hukumannya berat sekali yaitu, hukuman mati atau penjara seumur hidup di tambah denda Rp 1000.000.000,00, ini teermasuk sesuai, karena bentuk ta’zir dari seringan-ringannya sampai seberat-beratmya. B. Saran Mengenai batasan umur dalam hukum Positif, hemat penulis perlu diuji ulang, karena penulis setuju kepada pendapat Imam Syafi’i atau sepakat ulama bahwa anak dibawah umur batasanya sampai 15 tahun atau sampai baligh, jadi kalau sudah liwat dari umur tersebut, maka bukan anak dibawah umur lagi dan
73
sudah berlaku hukum yang diterapkan untuk orang dewasa. Karena anak dalam fase di atas (baligh), anak tersebut sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Paling tidak hemat penulis, batas anak dibawah umur harus ada tahapan dalam perbedaan sanksinya, ketika anak di bawah masa baligh atau umur 15 (lima belas) tahun jangan disamakan dengan pelaku yang di atas 15 (lima belas) tahun, apalagi dalam kasus besar seperti pengedaran narkotika, karena pengedar dalam Islam di namakan Mupsid (pembuat perusakan), disamping dia membahayakan dirinya juga membahayakan orang lain. Maka oleh karena itu saya pikir Indonesia yang mayoritas beragama Islam ini sudah waktunya diundang-undangkannya hukum pidana Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-karim Ali. Daud. Hukum Islam, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, 2009. Jakarta Al-Jazari, Abd. Ar-urrahman, Kitab Al-Fiqh Ala Mazdahib Al-arb’ah. Tanpa tahun, Beirut: Dar al-Fikr Al Khatib Sarbini, Muhamad. kitab al-Iqna pi hal al-pazhi Abi Suja’I, Tanpa tahun Semarang: Toha Putra Al-Syakir, Usman Bin Hasan Bin Ahmad Duratun Nasihin pi al Wa’zi wa al-irsad, Bairut: Dar al-Fikr Ali, Zainudin. Hukum Pidana Islam Sinar 2009. Jakarta: Grafika Badan Narkotika Nasional, Jurnal Data Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan Gelap Narkoba (P4GN). Tanpa tahun.Jakarta: BNN Badri, Malik B., Islam & Alkoholisme Pengobatan Bagi Muslim pecandu, 1994 Jakarta: Pustaka Firdaus, Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, 2008. Jakarta: Sinar Grafika Dahlan Abd Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, 1997 . Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve Djajuli, Ahmad. Fiqh jinayah (Upaya Menanggulani Kejahatan Dalam Islam), 1997. Jakarta: Raja Grafindo Persada Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam,2005. Jakarta: Bulan Bintang Lutfi Syaukanie, Politik HAM dan Isu-isu Tekhnologi Dalam Fikih kontmporer, 1998. Bandung: Pustaka Hidaya, Mansur Dikdik M. Arief Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita 2008 Jakarta: Raja Grafindo Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Persfektif Hukum Islam dan Hukum Pidana nasional, 2008. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
73
74
Muhammad, Imam bin Ismail Asson’ani. Syarah Bulughul Maram ( subulussalam ), Darul Hadist Mujib, Abd. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh (qowa’idul Fi al-fiqhiyah), Kalam Mulia: Jakarta Munawir, A.W. kamus al-Munawir Arab-Idonesia terlengkap, 2002.Surabaya: Pustaka Progressif Philosofy of Islamic law amd the orientalis a comparative study of Islamic legal Sistem(Penj) Yudian Wahyudi Asmin, 1991.Yogya: PT Tiara Qadir Audah Abdul. At-Tasyri Al-Jinay Al-Islamy Muqharanah Wadhi (Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III). 2008, (Penj) Ali Yafie. Et all. Bogor: Kharisma Ilmu. Qalyubi ‘umairah, hasyiatani, Bairut: Darul fikr Rahman Abdur, Tindak Pidana Dalam Syri’at Islam 1997 Jakarta: PT. Rineka Cipta Said al-Asmawi, Muhammad. Problematika & Penerapan Syari’at Islam Dalam Undang-Undang, 2005 Jakarta: Gunung Persada Press, Soetojo Wagiarti, Hukum Pidana Anak. bandung: Refika Aditama. 2006 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, 2007. Jakarta: P.T. Alumni Sudirman Abbas, Ahmad, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyah, 2003. Jakarta: CV.Banyu Kencono Undang-Undang Narkotika No. 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Psikrotofika No. 5 Tahun 1997 Jakarta: Asa Mandiri 2008 Wahab khalaf, Abdul. Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Ilmu Ushul Fiqh). (penj) Nuriskandar al-Barsany. 1989, Jakarta: Rajawali Wardi Muslich,Ahmad. Hukum Pidana Islam. T.th. www.bnn.id