MODUL PERKULIAHAN
PANCASILA
AKTUALISASI SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
Fakultas
Program Studi
MKCU
MARCOM
Tatap Muka
11
Kode MK
Disusun Oleh
MK90003
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Abstract
Kompetensi
Pancasila resulting from rational thought. It also became a hallmark of science and technology. both are interrelated and supportive.
Mahasiswa memiliki pendalaman yang memadai untuk melihat Pancasila sebagai dasar pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Mahasiswa bisa menyaringnya dengan baik agar bisa menempatkan teknologi sebagaimana mestinya.
Materi Pengayaan BAB IX AKTUALISASI SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
9.1. Pengantar Cukup banyak pembahasan dalam bab ini. Meskipun hanya dua sila, tapi masing-masing sila punya muatan yang sangat mendalam, pelik, dan harus kita pikirkan secara jernih. Sila ke dua berbicara tentang kemanusiaan yang adil dan beradab. Praktis, di sini kita harus berbicara tentang kemanusiaan, keadilan, dan juga keadaban. Sementara sila ke tiga berbicara tentang persatuan Indonesia. Meskipun ada dua kata persatuan Indonesia, namun banyak dimensi yang perlu dikaji di sini. Pertama, jelas menuntut kejelasan arti. Yang kedua, menunjuk pada keindonesiaan yang mau tidak mau bicara geopolitik dan juga nasionalismenya. Nah, karena begitu luasnya pembahasan ini, saya akan membatasinya dalam dua tema: kemanusiaan dan kebhinekaan.
9.2. Kemanusiaan dan HAM 9.2.1. Humanisme Kata kemanusiaan menerjemahkan dari bahasa Inggris humanity. Kata ini justru berakar dari sebuah gerakan yang menyadarkan manusia pada hakekat kemanusiaannya, tanpa diskriminasi. Jika kita lihat dalam sejarah, kemerdekaan Indonesia juga didasari oleh kesadaran akan kemanusiaan ini. Di dalamnya ada martabat (human dignity) yang harus dibela. Drijarkara SJ, ketika mengkaji Pancasila, juga mengatakan bahwa kemanusiaan adalah titik pusat dari Pancasila. Kemanusiaan muncul dari sebuah gerakan dan paham humanisme. Kata ‘humanisme’ memiliki berbagai makna. Dalam Oxford Advance Learner Dictionary, definisi humanisme adalah (a) sistem keyakinan yang memusatkan pada kebutuhan umum manusia dan mencari cara rasional untuk pemecahan masalah manusia; (b) studi tentang umat manusia dan urusan manusia. Secara etimologis humanisme berasal dari kata Latin klasik humus yang berarti tanah atau bumi. Dari kata tersebut muncul kata homo yang berarti manusia (mahluk bumi) dan humanus yang menunjukkan sifat ‘membumi’ dan ‘manusiawi’. Dari dua acuan tersebut, secara umum ‘humanisme’ berarti sebuah sistem pemikiran di mana nilai-nilai kemanusiaan, kepentingan, dan martabat dianggap sangat penting. Pemahaman dengan cara ini mungkin hampir semua orang memenuhi syarat sebagai seorang humanis. Humanisme memiliki batas yang elastis antara beberapa pendapat. Pada pandangan dunia (world view), humanisme berarti sesuatu yang agak lebih terfokus. Humanisme berarti isme atau aliran tentang manusia. Dalam arti luas humanisme adalah konsep manusia sebagai pusat eksistensi. Kita akan melihat secara ringkas konsep humanisme dari Edward Said, Corliss Lamont, dan Martin Heidegger. Corliss Lamont dalam Phylosophy of Humanism, menekankan bahwa humanisme bukan hal yang baru. Humanisme menjadi paham yang signifikan dalam filsafat Yunani. Prinsip utamanya adalah perhatian umat manusia harus pada umat manusia (mankind’s concern should be mankind). Menurut Lamont, secara filosofis menyiratkan pandangan dunia (world-view) bahwa alam adalah segala-galanya, tanpa adanya supernatural dan manusia menjadi bagian integral dari alam yang tidak terpisahkan dari pembedahan yang tajam atau diskontinuitas. Sifat dasar manusia tak pernah dipandang sebagai sesuatu yang dipisahkan (diisolasi), karena senantiasa mewujudkan dirinya dalam masyarakat. Kemewujudannya ini bisa dalam kejahatan, atau dalam kebaikan yang rasional.
2016
2
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Humanisme adalah konsep ontologis tentang eksistensi manusia sesuai dengan esensinya sebagai manusia. Manusia secara ontologis hidup menuju ruang dan waktu untuk menemukan dirinya dalam dunia ini. Secara filosofis, humanisme semenjak tampilnya dalam sejarah peradaban untuk menjunjung tinggi kemanusiaan. Namun dalam kenyataan sampai hari ini selalu saja menemui tantangan, terutama pada. bentuk-bentuk sistem sosial dan politik yang mau mengobjekkan, menjadikan manusia bukan lagi sebagai subjek dalam hidup bersama. Dengan menjamurnya alasanalasan ideologis yang atas nama keyakinan atau mazhab pikiran maju, ujung-ujungnya menaruh manusia hanya sebagai ‘alat’, instrumen, bahkan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan si pemegang ideologi itu sendiri. Tantangan berikutnya muncul manakala pikiran atau paham humanisme oleh lawannya dianggap terlalu ‘sekuler’ dalam arti nir-nilai religius, melulu nilai manusiawi sehingga mau dipaksa diganti dengan paham ‘humanisme religius’ yang didasarkan dan diacukan pada alasan mengapa manusia berharga. Terdapat tiga nilai pokok dalam humanisme. Pertama, menjunjung ‘anugerah Tuhan’ pada akal budinya (rasionalitas). Kedua, kebebasan kehendak (libertas). Ketiga, keindividuan atau pribadinya sebagai subjek yang otonom atau mandiri. Dari gagasan ini, humanisme dalam bentuk apapun seharusnya tidak menolak konsep agama. Hal ini dipandang dari konsep humanisme merupakan konsep ontologis eksistensi manusia yang otentik dengan tujuan kemanusiaan. Humanisme sekuler pun, tidak menolak agama, hanya memisahkan persoalan agama dan persoalan dunia secara proporsional. Heidegger sangat cermat dalam membahas humanisme dalam Letter on Humanism, dengan penjelasan bahwa setiap bentuk humanisme selalu menempatkan manusia pada pusat kehidupan. Kebersamaan sejati dengan orang lain, hanya akan terjadi kalau ada perbedaan yang bermakna (meaningful diversity) yang mengatasi relativisme kultur atau etnosentris. Perbedaan penuh makna adalah model untuk berelasi secara kultural dengan apa yang disebut Heidegger sebagai disclosedness, titik temu sesama dengan masing-masing mengakui keadaan apa adanya, dengan keunikan perbedaannya. Inilah yang disebut university in diversity. Ini merupakan kebersamaan universal yang dipadukan menjadi satu kesamaan, yaitu kenyataan bahwa setiap manusia adalah manusia. Dalam konteks Indonesia inilah konsep bhineka tunggal ika. Heidegger mengungkapkan pentingnya humanisme filosofis, untuk kembali ke esensi manusia dan dengan demikian melestarikan humanitas dari homo humanus. Dalam mengartikulasikan humanitas dari manusia, Heidegger mengatakan bahwa esensi tertentu dari humanitas, yaitu kebenaran Being sebagai eksistence, layak untuk manusia. Humanitas (kemanusiaan) terdiri atas esensi dari manusia, atau Being dari manusia, tetapi makhluk ‘yang lebih dari’ mahluk yang kita sebut sebagai manusia (human being). Heideger mengartikan humanisme sebagai Sorge (kepedulian) bahwa manusia menjadi manusia dan bukan ketidak-manusiawian (the human being be human and not inhumane). Inhuman berarti di luar esensi manusia. Semua humanisme atau ideologi humanistik tergantung pada esensi yang diakui secara universal bahwa manusia sebagai animal rationale, atau hewan yang rasional. Namun demikian, Heidegger mengakui bahwa pemikirannya tentang humanisme dalam 'pengertian ekstrem' dengan menyatakan. keterbukaan bagi Being, dimana manusia (human being) berada dalam eksistensinya. Manusia bukanlah mahluk dunia (earthly being) berhadapan dengan transenden, juga bukan subyek berhadapan dunia (bahkan inter-subyektif subjek), tetapi sudah menjadi mahluk yang berada dalam dunia (being-in-the world), sebagai manusia yang berada tengah dunia.
9.2.2. HAM Dalam perbincangan tentang hak asasi manusia, kebanyakan orang berdiri di dua kubu yang saling bertentangan. Kubu pertama adalah kubu idealis-rasional, kebanyakan didominasi oleh para filosof, yang mencoba mengurai persoalan hak asasi manusia dari asal usul ide dan gagasannya. Karena itu, 2016
3
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
pertanyaan yang menyibukkan mereka adalah: apakah hak asasi manusia itu memang ada, kalau ada apa hakikatnya, apa isinya, dan apa yang menjadi landasan keberadaannya itu. Selain itu, didukung oleh kelompok anti-modern, anti-liberalisme, dan terutama mengental pada kaum postmodernis, persoalan universalitas hak asasi manusia sangat menyita perhatian mereka. Sebaliknya, kubu kedua, yang kita namakan kaum empiris-pragmatis, tidak begitu peduli dengan pertanyaan-pertanyaan “omong-kosong” tersebut. Bagi kubu ini, yang terpenting adalah gerakan. Tidak perlu banyak disibukkan dengan pelbagai teori yang abstrak dan membingungkan, yang terpenting adalah gerakan dan advokasi terus menerus dengan memanfaatkan instrumen-instrumen yang sudah ada. Instrumen hak asasi manusia internasional, kemudian, menjadi semacam “kitab suci”. Mereka tidak peduli apakah di balik instrumen-instrumen tersebut tersembunyi kepentingankepentingan hegemonik dan dominatif dari kelompok dan ideologi tertentu yang pada gilirannya mempersendat implementasinya di lapangan. Bagi mereka, ketersendatan itu adalah semata-mata persoalan tidak adanya good will dari pihak pemegang kewajiban hak asasi manusia baik itu negara, masyarakat itu sendiri, dan loci kekuasaan global lainnya seperti institusi ekonomi global. Untuk memahami hal tersebut, marilah kita membuat penelusuran genealogis: genealogi kesadaran. Maksudnya, kita menelusuri genealogi (atau semacam asal usul) hak asasi manusia dalam ranah kesadaran praksis, dengan berpegang pada tonggak-tonggak sejarah penting gerakannya, namun dengan memasuki ranah kesadaran reflektif sebelum dan sesudah tonggak sejarah itu terpancang, yang berarti memasuki wilayah permenungan para pemikir. Ada beberapa fase yang kita perhatikan di sini.
(1) Fase I: Pra-Perang Dunia I dan II Fase pertama ini merentang dari tonggak sejarah penentangan monarki absolut di Inggris hingga Prancis dan perjuangan kemerdekaan di Amerika. Lazimnya, kebanyakan orang mengamini bahwa paham hak asasi untuk pertama kali lahir di Inggris pada abad ke-17, tepatnya pada tahun 1679 dengan lahirnya Habeas Corpus, suatu dokumen bersejarah yang menjadi cikal bakal prinsip rule of law untuk menggantikan kesewenangan rule by man yang terutama pada masa itu terpersonalisasi pada sang raja sebagai penguasa monarki absolut. Inti dokumen ini adalah bahwa orang yang ditahan harus dihadapkan dalam waktu paling lambat tiga hari kepada seorang hakim untuk diproses dan diadili. Jadi, ini merupakan tonggak pertama yang sekarang dikenal sebagai kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang dan hak untuk mendapatkan peradilan yang jujur (fair trial). Jauh sebelum itu, pada tahun 1215, didorong oleh kepentingan bangsawan dan feodalis yang merasa keberadaannya terancam oleh kekuasaan raja yang sewenang-wenang, dikeluarkanlah sebuah piagam yang kita kenal dengan nama Magna Charta Libertatum. Sebuah piagam yang melarang penahanan, penghukuman, dan perampasan benda sewenang-wenang. Kurang lebih empat ratus tahun setelah itu, tepatnya pada tahun 1640, terjadi Revolusi Inggris yang dipimpin Oliver Cromwell, dan kemudian memegang tampuk pemerintahan menggantikan raja, dan mendirikan pertama kalinya pemerintahan republik di Inggris yang kemudian dalam sejarah selanjutnya menjadi satu-satunya, karena setelah itu (1660) hingga sekarang Inggris kembali menjadi monarki. Revolusi ini berangkat dari kesewenangan raja yang mengebiri hak atas partisipasi politik dan kebebasan beragama serta kebebasan untuk mengawasi pemerintahan. Peristiwa tahun 1215 dan 1640 di atas kemudian mempengaruhi renungan politik filosof terkenal Inggris yaitu John Locke (1632-1704). Renungannya, selain realitas politik yang meresahkan, memberi pengaruh signifikan pada kelahiran Bill of Rights tahun 1689, bahkan hingga masa
2016
4
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
sesudahnya termasuk hingga sekarang. Inti pandangan Locke adalah bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah (natural rights) yang tidak dapat dilepaskan (inalienable). John Locke menekankan empat hak utama yaitu: hak atas hidup, kebebasan (kemerdekaan), hak atas properti (hak milik), dan hak untuk mengusahakan kebahagiaan. Pengaruh pemikiran hukum kodrat Aquinas yang diartikulasikan Locke dipahami dalam pengalaman pahit rakyat Prancis yang mengalami penindasan di bawah raja yang memerintah dengan semboyan “negara adalah saya.” Revolusi Prancis yang dimulai tahun 1788 kemudian berbuah pada lahirnya “pernyataan tentang hak-hak manusia dan warga negara” (Déclaration des droits de l’homme et du citoyen – Declaration of the Rights of Man and of the Citizen). Deklarasi ini membedakan hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia – yang sekarang lazim kita sebut sebagai paham hak asasi manusia – dan hak-hak yang diperoleh manusia sebagai warga masyarakat dan negara – yang sekarang lazim kita mengerti sebagai hak hukum dan civil liberties. Memang kemudian, dalam kenyataannya, deklarasi hasil revolusi tersebut jauh panggang dari api karena teror yang dikomandani Maximilien de Robespierre (1758– 1794). Cita-cita penghormatan hak asasi manusia dengan bertolak dari paham kebebasan total malah berakhir pada raibnya kebebasan itu dari ranah kehidupan manusia. Dalam fase pertama ini, kesadaran akan hak terutama berangkat dari pengalaman ketertindasan penguasa. Hal ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan karena “pengalaman bersama” akan ketertindasan itu turut serta memberi warna pada klaim universalitas hak asasi manusia, dan bukan sekadar berangkat dari paham kodrati. Universalitas yang tumbuh dari negativitas pengalaman bersama ini bergayung sambut dengan renungan antropologi filosofis, sosial dan politik para pemikir, semisal John Locke dengan mengetengahkan tesis antropologis bahwa semua manusia diciptakan sama dengan hak yang sama pula dan tak dapat dicerabut.
(2) Fase II: Fase Pasca-Perang Dunia I dan II Fase ini merupakan fase penegakan rule of law dan demokratisasi. Semua cita-cita dan perjuangan luhur abad XIX seolah raib tak berbekas pada abad XX, yang oleh Frederico Mayor7 dinamakan sebagai “abad terkelam” dalam sejarah kehidupan manusia. Abad ini ditandai perang dunia dua kali, perang saudara, otoritarianisme, diktatorisme, kekacauan sosial, perang dingin, ketidakadilan yang merajalela, kemiskinan dan pembodohan yang akut, dan bahkan diindikasikan sebagai abad kegamangan. Kembali universalitas negativitas berupa pengalaman penderitaan menyatukan manusia yang terwakili dalam diri beberapa gelintir pemimpin dengan dukungan hampir seluruh umat manusia yang jijik dan ngeri pada kekelaman dan penderitaan akibat nafsu manusia sendiri. Kekejaman Nazi Jerman merupakan klimaks dari kengerian dan kejijikan manusia terhadap penderitaan. Didahului oleh terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1919 setelah berakhirnya Perang Dunia I, kemudian dipertegas lagi dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa yang secara resmi berdiri pada 24 Oktober 1945, lahirlah sebuah deklarasi yang kita kenal sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM inilah yang lalu menjadi tonggak baru perjuangan dan gerakan hak asasi manusia hingga masa kontemporer. Bersama dengan turunannya dalam bentuk dua kovenan utama yaitu Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), DUHAM telah menjadi semacam kitab suci bagi para pejuang dan subjek pemegang hak asasi manusia di seluruh dunia, yang dikenal dengan sebutan International Bills of Human Rights.
2016
5
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
(3) Fase III: Era Globalisasi dan Neo-liberalisme Fase III yang merupakan fase kontemporer ditandai globalisasi dan neoliberalisme. Ciri khas fase ini adalah bahwa pemahaman lama hak asasi manusia mulai dipandang tidak memadai sekaligus digugat. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa lokus kekuasaan politik sebagai pengampu kewajiban pemenuhan hak asasi manusia tidak lagi berada pada satu aktor yaitu negara (state actor) melainkan sudah tersebar ke mana-mana terutama aktor-aktor ekonomi global. Hampir tidak ada kebijakan negara yang berimplikasi pada hak asasi manusia yang imun dan netral dari pengaruh kekuasaan ekonomi global itu. Maka, menagih kewajiban semata kepada Negara untuk memenuhi, menghargai dan melindungi di satu sisi dan menggugat Negara atas kejahatan dan pelanggaran yang dilakukannya baik dengan cara aktif (by commission) maupun secara pasif (by omission) tampak tidak realistis dan rasional. Logika politik kontemporer dengan mudah bisa memandang hal ini. Namun, yang susah adalah bagaimana logika filsafat politik kontemporer itu menjadi efektif sampai pada mempengaruhi kebijakan. Lagi-lagi PBB mengambil peran penting. Beberapa tahun belakangan ini, PBB menginisiasi tindakan penyusunan dan lahirnya beberapa instrumen, baik berupa deklarasi maupun konvensi, yang menegaskan per-lunya institusi-institusi ekonomi global bertanggung jawab atas masalah hak asasi manusia. Yang terakhir adalah disusunnya UN Draft Norms on Business and Human Rights. Pada fase inilah lahir generasi baru dalam diskursus hak asasi manusia, yang sering disebut sebagai hak asasi manusia generasi ketiga, yaitu hak asasi manusia atas pembangunan, lingkungan yang sehat, termasuk di dalamnya hak-hak minoritas dan kelompok-kelompok rentan. Paradigma yang dikembangkan oleh para pejuang hak asasi manusia pada fase ini adalah paradigma ekonomi politik dengan fokus pada etika tanggung jawab terutama yang berkaitan dengan masa depan sebagaimana disampaikan oleh Hans Jonas.
9.3. Konsep Umum dan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Sekarang kita memasuki pembahasan tentang konsep umum dan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang direnungkan oleh para filosof guna memahami hak asasi manusia dan pada gilirannya akan mempengaruhi cara para pengambil kebijakan untuk peka terhadap hak asasi manusia atau bahkan memunculkan substansi hak asasi manusia yang baru.
9.3.1. Konsep Umum Konsep umum hak asasi manusia dapat dijelaskan dengan mengangkat beberapa karakternya, tanpa harus disibukkan dengan daftar hak yang termaktub di dalamnya. Dengan cara itu, orang mungkin saja bisa berbeda pendapat tentang apa saja yang layak dan harus menjadi hak asasi dan apa yang tidak, namun mereka bisa sependapat mengenai karakternya. Paling tidak ada delapan karakter yang bisa kita angkat di sini, terutama dalam pengertian kontemporernya. Pertama, hak asasi manusia bukan sekadar norma moral biasa yang diterapkan dalam hubungan interpersonal semata melainkan norma-norma politik yang berkaitan dengan bagaimana orang diperlakukan oleh negara dan institusi-institusinya. Memang ada juga jenis hak asasi yang secara utama diarahkan pada hubungan interpersonal yaitu hak atas anti-diskriminasi rasial dan seksual. Namun, pemerintah dan negara juga termasuk di dalamnya yang dilarang untuk mempraktikkan diskriminasi, dan bahkan bertanggung jawab jika terjadi diskriminasi interpersonal. Kedua, hak asasi manusia eksis sebagai hak moral dan/atau legal. Hak asasi manusia eksis sebagai norma bersama dalam kesadaran moral aktual manusia – yaitu sebagai norma moral absah yang didukung oleh penalaran yang kuat – selain juga sebagai hak legal baik di tingkat nasional maupun di
2016
6
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
tingkat internasional yang diakui dalam hukum internasional. Hak asasi manusia paling tidak eksis dalam empat cara, yaitu: (1) melalui pemberlakuan hukum dan keputusan judisial baik di tingkat nasional maupun internasional; (2) sebagai norma prapositif berdasarkan paham hukum kodrat dan pemberian sang Pencipta, jadi tidak atau belum diakuinya suatu hak dalam hukum tidak menghilangkan eksistensi hak itu sebagai hak asasi manusia; (3) sebagai norma yang diterima oleh hampir semua umat manusia, terlepas dari percaya atau tidak pada sang Pencipta, yaitu norma moral berdasarkan pandangan dan kesadaran umum tentang moralitas aktual manusia, semisal kesadaran moral umum manusia bahwa membunuh itu tidak baik; dan (4) sebagai norma moral yang diabsahkan dalam ranah politik dan hukum, jalan yang kebanyakan ditempuh dalam gerakan dan diskursus hak asasi manusia kontemporer. Ketiga, hak asasi manusia sangat beragam dan banyak. Hak asasi manusia yang digambarkan John Locke – hak atas hidup, kebebasan, dan hak milik – hanyalah sebagian dari hak asasi yang kita kenal sekarang. Hak asasi manusia kontemporer tidak abstrak sebagaimana paham klasik, juga mengarah pada problem-problem spesifik dan konkret, misalnya penjaminan pengadilan yang jujur, pengentasan perbudakan, pelarangan genosida, penjaminan hak-hak perempuan, anak-anak, dll. Keempat, hak asasi manusia merupakan patokan minimal (minimal standards). Mereka lebih memberi perhatian pada menghindari kekejaman dan kengerian daripada mencapai yang terbaik. Fokusnya adalah pemberian perlindungan secara minimal pada kebaikan hidup manusia. Karena itu, konsep dan kandungan hak asasi manusia bersifat dinamis dan toleran terhadap perbedaan kultural dan ideologi, namun tetap menjadi patokan minimal. Kelima, hak asasi manusia merupakan norma internasional yang mencakupi semua negara dan seluruh umat manusia dewasa ini. Mereka adalah norma-norma yang sangat direkomendasikan kepada seluruh umat manusia, karena lahir dari hasil refleksi mendalam atas universalitas penderitaan umat manusia pada abad sebelumnya yang diimbuhi dengan kerinduan untuk mencegah kembali terulangnya tragedi yang sama. Keenam, hak asasi manusia merupakan norma berprioritas tinggi (high-priority norms). Artinya, pengingkaran terhadap hak asasi manusia hanya akan berbuah pada ketidakadilan dan realitas tidak manusiawi. Kedudukannya yang berprioritas tinggi bermakna bahwa suatu masyarakat yang adil dan manusiawi hanya terjadi sejauh hak-hak asasi dijadikan patokan dan ukuran. Ketujuh, hak asasi manusia memiliki nilai justifikasi yang kuat yang berlaku di mana pun dan mendukung prioritasnya yang tinggi. Tanpa karakter ini, hak asasi manusia itu tidak dapat menyeberangi dan melampaui perbedaan kultural dan mengatasi klaim kedaulatan nasional. Justifikasi yang kuat ini sangat dibutuhkan, namun juga tidak berarti absolut dan tak dapat dikurangi dalam tuntutannya. Tuntutan yang kuat ini masih harus dihadapkan pada konteks aktual problemnya. Kedelapan, hak asasi manusia adalah hak, tetapi tidak harus dalam pengertiannya yang kaku. Sebagai hak, mereka memiliki beberapa unsur. Yang pertama sekali adalah bahwa mereka memiliki “pemegang hak” (rightholder) – seorang atau suatu badan yang memilik hak tertentu. Umumnya, yang diakui sebagai pemegang hak dari hak asasi adalah semua orang yang hidup. Hak ini berfokus pada kebebasan, perlindungan, status atau keuntungan. Hak selalu berkaitan dengan sesuatu yang berfokus pada kepentingan pemegangnya (Brandt, 1983).Yang kedua adalah bahwa hak selalu mengarah pada pengampu tanggung jawab atau kewajiban untuk memenuhi, melindungi, atau menjamin hak tersebut. Yang terakhir adalah bahwa hak selalu bersifat mandatoris, dalam arti melimpahkan kewajiban kepada pengampu tanggung jawab, namun tidak murni merupakan tanggung jawab pengampu kewajiban semata, melainkan dipenuhi dengan mengandaikan adanya langkah proaktif dari pemegang hak sendiri, seperti hak atas makanan, pakaian, rumah, dan pendidikan.
2016
7
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
9.3.2. Prinsip-prinsip Sekarang marilah kita lihat berkaitan dengan prinsip utama hak asasi manusia. Hak asasi manusia itu bersifat universal, tak terpisahkan, non-diskriminatif, mengandaikan adanya partisipasi, dan penjaminannya dilakukan dengan remedi (upaya hukum) yang efektif.
1. Universal Prinsip universalitas hak asasi manusia umumnya diderivasikan dari pandangan atau teori hukum kodrat Thomas Aquinas, yang diartikulasikan lebih tajam oleh John Locke. Intinya bahwa secara kodrati semua manusia itu sama, dan sudah membawa serta dalam dirinya hak sebagai manusia. Karena itu, sebagai manusia yang sama dengan hak yang sama, hak-hak itu bersifat universal. Argumen universalitas ini juga mendapatkan landasan rasionalnya dalam teori rasionalitas Immanuel Kant yang mengedepankan bahwa ide-ide transendental bersifat umum pada semua manusia. Pada gilirannya, universalitas rasio ini juga tertuang dalam teori etikanya.
2. Kesalingtergantungan dan Ketakterpisahan Pengelompokan hak-hak asasi manusia atas hak negatif, positif, aktif dan hak sosial tidak berarti bahwa hak-hak itu terpisah satu sama lain. Hak-hak itu saling mengandaikan dan karena itu saling tergantung. Memang dalam sejarah instrumentalisasinya kemudian pertama sekali dikelompokkan menjadi dua besar yang tertuang dalam dua kovenan. Juga kemudian muncul pelbagai konvensi yang memberikan perhatian khusus pada problem khusus berkaitan dengan ras, etnis, dan kelompokkelompok rentan.
3. Non-diskriminasi Prinsip ketiga dalam hak asasi manusia adalah bahwa ia berlaku sama pada semua orang, tanpa pandang ras, etnis, keyakinan, ideologi, bangsa, status, seks dan golongan. Memang terdapat konvensi yang mengatur hak-hak khusus semisal konvensi pelarangan genosida, konvensi antidiskriminasi rasial, konvensi hak-hak anak, konvensi anti-diskriminasi terhadap perempuan, lalu konvensi ILO 169 (dan usulan draf deklarasi) tentang hak-hak masyarakat adat. Namun, keberadaan konvensi-konvensi khusus itu justru menekankan signifikansi prinsip non-diskriminasi itu.
4. Partisipasi Kendatipun ada pemilahan antara pemegang hak dan pengampu kewajiban untuk menjamin hak asasi itu, dalam pelaksanaannya hak itu tidak akan terjamin tanpa partisipasi aktif dari pemegang hak itu sendiri. Hal ini terutama nyata dalam hak-hak demokratis.
5. Remedi yang Efektif Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian tentang konsep di depan, penegakan hak asasi manusia terjamin, meski bukan satu-satunya jalan, melalui remedi atau upaya hukum yang efektif. Tanpa law enforcement, daftar hak asasi manusia itu hanyalah tinggal daftar. Karena itu, hak-hak asasi manusia yang tertuang dalam pelbagai instrumen internasional perlu diadopsi di dalam sistem hukum nasional setiap negara, dan diperjuangkan terus untuk diterapkan hingga pemenuhannya paling tidak pada taraf minimal. 2016
8
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
9.4. Penutup Mengapa manusia bermartabat? Karena dia adalah manusia. Oleh karena itulah, kemanusiaannya harus mendapatkan perlakuan yang istimewa dengan apa yang disebut sebagai HAM. Memang, sekarang banyak yang menuntut pengakuan akan adanya hak asasi binatang, tapi tetap saja, manusia dalam pandangan yang ekosentris mendapatkan tempat istimewa. Pancasila digali dengan menekankan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Cinta kepada sesama manusia, mendasari relasinya baik dengan alam maupun dengan Tuhan. Karena kita sadar, kita butuh dihargai, maka kita harus menghargai. Kita butuh dijamin kebebasan untuk beragama, maka kita harus menghargai juga. Akhirnya, Pancasila adalah perwujudan dari etika hak asasi manusia di Indonesia.
2016
9
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
1. P. J. Suwarno, Pancasila budaya bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1993 2. R. Soeprapto, Pancasila Menjawab Globalisasi, Yayasan Taman Pustaka, Tangerang, 2004 3. Ketut Rindjin, Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi, Gramedia, Jakarta, 2012
2016
10
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id