TUGAS AKHIR LUMPUR DAN KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
Disusun oleh : Nama
: Novia Kusumaningrum
NIM
: 11.02.8073
Kelompok
:A
Program studi
: Perkuliahan Pancasila
Jurusan
: D3 - Manajemen Informatika
Nama Dosen
: Drs. M. Khalis Purwanto, MM
STIMIK AMIKOM YOGYAKARTA Jl. Ringroad Utara Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta Tlp. (0274) 884 201-204, Fax. (0274) 884 208 www.amikom.ac.id
ABSTRAK
Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah sila Pancasila yang sangat erat hubungannya dengan masyarakat secara nyata. Namun sampai saat ini masih banyak terdapat pelanggaran atas sila tersebut. Masyarakat banyak yang belum mendapat keadilan sebagai wujud dari kemanusiaan. Salah satu contohnya adalah yang ingin saya ulas di tugas akhir ini yaitu ketidakadilan yang diterima para korban Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Banyak diantara mereka yang sampai saat ini masih belum mendapatkan haknya. Ganti rugi yang dijanjikan belum juga tuntas, sedangkan mereka telah kehilangan harta benda, rumah dan lahan pekerjaan mereka. Banyak diantara mereka yang tidak mempunyai sanak saudara ditempat lain terlantar begitu saja dibarak pengungsian yang kumuh dan jauh dari kata sehat. Hak anak-anak untuk menuntut ilmu juga terampas. Bagaimana masa depan meeka kalau mereka harus putus sekolah, tidak pernah terpikir oleh para penguasa yang lenggah dikursi singgasana. Untuk itu, sebagai generasi muda calon pemimpin bangsa, kita harus dapat melihat lingkungan sekitar. Membaur dengan mereka yang kesusahan sehingga kita bisa turut serta merasakan penderitaan yang mereka alami untuk riset dan kedepannya dapat membantu mereka, agar kehidupan mereka sejahtera.
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Kemanusiaan yang Adil dan Beradap adalah sila yang paling mendasar dalam arti etis. Karena tanpa kemanusiaan yang adil dan beradab, semua sila lain menjadi cacat. Sebaliknya meskipun tanpa empat sila lain, sila kedua belum mengembangkan sepenuhnya dimensi-dimensi potensial manusia, akan tetapi asal seseorang dan begitu pula hubungan antar orang, menjadi adil dan beradab, dasar situasi yang secara etis benar dan mantap sudah siletakkan. Dengan kata lain, hanya atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab empat sila lain bisa bermutu. Gasis paling bawah yang menjamin harkat etis manusia adalah keberadaban. Bertindak dengan beradab tentu belum cukup kalau kita menghadap kewajiban kita sebagai manusia dalam masyarakat dan dunia, akan tetapi sudah merupakan titik berpijak yang menjamin moralitas pada dasariah. Sebaliknya, bertindak dengan tidak beradab, demi tujuan baik pun, adalah tidak mutu dan tidak etis.misalnya orang yang memperjuangkan keyakinan politik atau keyakinan keagamaannya dengan cara yang tidak beradab justru merendahkan etika politik dan menghina agamanya sendiri. Sebenarnya banyak masalah dalam masyarakat kita sudah akan terpecahkan asal saja kita bertekad bersama untuk selalu bertindak secara beradab. Tak perlu dulu bicara akhlak mulia, cukup kalau kita mau membawa diri sebagai makhluk yang beradab saja. Karena keberadaban itulah yang membedakan manusia dari binatang. Jadi kita mestinya bertekad untuk tidak pernah bertindak secara tidak beradab, secara brutal, secara kejam atau keji, secara beringas, secara kasar tak sopan. Tekad ini justru perlu dipegang dalam memperjuangkan yang baik. Begitu misalnya tindakan kasar dan brutal atas nama agama merupakan penghinaan terhadap agama yang diperjuangkan sendiri tak mungkin tindakan tak beradab dan brutal berkenan di hadapan Tuhan. Kalau Lumpur Porong hasil pengeboran Lapindo dilihat dari sudut kemanusiaan yang adil dan beradab, kelihatan segala dimensi malapetakanya itu. Fakta yang sangat relevan sangat sederhana. Lumpur Porong membebani negara kita yang sudah kekurangan dana dengan biaya tambahan luar biasa. Misalnya biaya untuk membuat jalan-jalan dan jalur kereta api yang vital di
jantung Jawa Timur tidak sampai tenggelam. Ada bahaya sungguh-sungguh bahwa sebagian wilayah Jawa Timur, bagian yang padat penduduk dan sangat produktif bisa untuk selamanya dibuat tidak dapat dihuni. Tetapi fakta yang paling memilukan, ada 10.000 orang yang tenggelam rumah, pekarangan dan tempat kerjanya yang dengan demikian, hancur seluruh eksistensinya. Dan bahwa dari mereka ada yang sampai saat ini sesudah bor itu meledak, belum juga menerima ganti rugi. Dan itu semuanya di negara yang mendasarkan diri pada kemanusiaan yang adil dan beradab.
2. RUMUSAN MASALAH
a) Apa saja fakta dapat kita lihat akibat lumpur Lapindo? b) Mengapa warga Sidoarjo khususnya yang menderita akibat lumpur Lapindo merasa tidak mendapat keadilan? c) Apa akibat dari wawasan “kamu modal dan kuasa”? d) Contoh ketidakadilan yang bagaimana yang harus kita basmi?
3. PENDEKATAN
a) Historis Pertentangan terhadap nilai-nilai pancasila terutama sila kedua sebenarnya sudah sangat lama terjadi. Tetapi ketidakadilan yang dirasakan warga Porong, Sidoarjo, Jawa Timur baru 5 tahun ini dirasakan. Itu semua karena kebocoran/kegagalan pengeboran hasil bumi yang mengakibatkan lumpur yang menenggelamkan kota itu. Lumpur Lapindo orang menyebutnya, muncul sehari setelah gempa dahsyat yang menimpa kota Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006 silam yang hingga saat ini lumpur tersebut terus menyembur ke permukaan bumi yang diperkirakan tidak akan habis dalam waktu 20 tahun kedepan setelah munculnya.
b) Sosiologis Dimensi hubungan antar manusia yang menjadi syarat segala hubungan yang baik adalah keadilan. Adil berarti, mengakui orang lain, mengakui dia sebegai manusia, dengan martabatnya, dengan menghormati hak-haknya. Cinta itu mewujudkan hubungan antar manusia paling mendalam dan berharga, tetapi kalau dia melanggar keadilan, dia bukan cinta dalam arti yang sebenarnya. Kejujuran yang tidak adil bukan kejujuran. Dan kebaikan yang tidak adil kehilangan harkat etisnya. Seperti halnya yang terjadi di Sidoarjo, banyak warga yang tidak mendapat keadilan akibat kesalahan pengeboran yang tidak memasang casing yang seharusnya sehingga mengakibatkan lumpur dapat merembes hingga ke sumur-sumur warga. Akibatnya adalah kesengsaraan orang-orang yang tidak berdosa menanggung penderitaan akibat Lumpur Lapindo. Rumah, sawah, pekarangan, bahkan tempat kerja para penduduk lenyap ditelan lumpur. Dengan demikian hancurlah ekosistem di tempat itu. Bahkan hingga 17 bulan setelah lumpur menyembur ke permukaan, banyak warga yang masih bellum mendapat ganti rugi. Bukan itu saja penderitaan yang mereka alami. Coba renungkan dimana mereka akan tinggal kelak, bagaimana dengan sekolah putra-putri mereka. Jalan-jalan raya, rel kereta api dan masih banyak fasilitas umum lainnya yang seharusnya bermanfaat bagi penduduk Indonesia, hancur sudah dan susah untuk diperbaiki. Lihat juga berapa nilai rupiah yang sudah dikeluarkan untuk menyelamatkan sarana umum, meinggikan jalur rel kereta api dan sebagainya.
c) Yuridis Pendekatan yuridis yang terlihat sangat jelas dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab ini adalah perampasan secara paksa hak warga masyarakat. Para orang tua yang seharusnya mempunyai hak untuk bekerja, kini mereka harus kehilangan ladang pekerjaan mereka. Anak-anak yang mempunyai hak untuk mengenyam bangku pendidikan, harus meratapi nasibnya yang sudah tidak bisa
melanjutkan sekolah seperti kebanyakan anak dinegeri ini karena sekolah mereka telah tenggelam di lautan lumpur. Ini adalah pelanggaran HAM dan tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 28 khususnya pasal 28A-28J.
4. PEMBAHASAN a) Fakta yang dapat kita lihat pada bencana lumpur Lapindo Kalau Lumpur Porong hasil pengeboran Lapindo dilihat dari sudut kemanusiaan yang adil dan beradab, kelihatan segala dimensi malapetakanya itu. Fakta yang sangat relevan sangat sederhana. Lumpur Porong membebani negara kita yang sudah kekurangan dana dengan biaya tambahan luar biasa. Misalnya biaya untuk membuat jalan-jalan dan jalur kereta api yang vital di jantung Jawa Timur tidak sampai tenggelam. Ada bahaya sungguh-sungguh bahwa sebagian wilayah Jawa Timur, bagian yang padat penduduk dan sangat produktif bisa untuk selamanya dibuat tidak dapat dihuni. Tetapi fakta yang paling memilukan, ada 10.000 orang yang tenggelam rumah, pekarangan dan tempat kerjanya yang dengan demikian, hancur seluruh eksistensinya. Dan bahwa dari mereka ada yang sampai 17 bulan sesudah bor itu meledak, belum juga menerima ganti rugi. Dan itu semuanya di negara yang mendasarkan diri pada kemanusiaan yang adil dan beradab. Di sini bukan tempatnya untuk berspekulasi sejauh mana Lapindo dengan pengeborannya harus dipersalahkan. Hal itu seharusnya dibikin jelas dalam sebuah perkara pengadilan. Di sini hanya mau ditunjuk betapa malapetaka yang menimpa masyarakat yang terkena lumpur Lapindo itu menantang pengakuan kita akan kemanusiaan yang adil dan beradab.
b) Warga Sidoarjo khususnya yang menderita akibat lumpur Lapindo merasa tidak mendapat keadilan
Mereka itu mengalami kehancuran, bukan karena malapetaka alami murni, melainkan karena tindakan manusia. Itulah inti ketidakadilan yang mereka rasakan. Bahwa manusia-manusia yang melakukan operasi pencarian kekayaan dibawah kulit bumi bertindak dengan ceroboh sampai sekarang tidak terbantah. Kita menyaksikan sesuatu yang khas dalam dunia usaha – dan dalam wawasan para pejabat negara yang bertanggungjawab atas keselamatan masyarakat, yaitu kecongkakan sebuah perusahaan besar yang tidak berpikir pada masyarakat kecil di dekatnya, yang dalam kasus Porong melakukan pengeboran tanpa memakai casing yang seharusnya dipakai untuk menjamin bahwa bahan yang keluar dari perut bumi tidak masuk ke dalam celah-celah tanah. Dan kali ini kecerobohan itu mempunyai akibat fatal. Masalahnya bukan bahwa mereka acuh tak acuh terhadap suatu kerugian masyarakat, melainkan bahwa mereka menganggap enteng kemungkinan bahwa pengeboran itu bisa gagal. Jadi bukan pengabaian total terhadap orang kecil, melainkan bahwa orang kecil, masyarakat, seakan-akan dilupakan. Bukan karena jahat, melainkan karena sembrono. Itulah yang mendasari ketidakadilan di negara ini berbeda dengan beberapa di negara dimana kelas atas kejam terhadap masyarakat, di Indonesia ada budaya perhatian terhadap orang kecil, tetapi dalam kenyataan perhatian itu dipojokkan oleh suatu wawasan yang hampir seluruhnya dikuasai oleh pertimbangan keuntungan perusahaan dan akses ke pusat-pusat kekuasaan. Seakan-akan kita di Indonesia hidup dalam dua dunia, atau ada dua bangsa di NKRI kita ini, mereka yang cepat atau lambat terbawa ke atas dalam pusaran naik akumulasi modal dan kemodernan akibat globalisasi. Dan mereka yang harus hidup dari dua Dollar US per hari atau kurang dan yang citacitanya adalah survival, penjaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Dua-duanya hidup berdampingan, tetapi bangsa yang kedua oleh bangsa yang pertama- bangsa dalam angin naik- hampir tidak diperhatikan lagi. Itulah yang terjadi di Porong dan belakangan, sesudah terjadi malapetaka terjadi, tentu semua menyesalkan pengeboran itu. Sebuah penyesalan yang tidak banyak terasa oleh para
korban yang begitu lambat merasakan diberi perhatian sungguhsungguh. c) Akibat dari wawasan “kamu modal dan kuasa” Kembali ke wawasan “kamu modal dan kuasa” yang hampir seluruhnya dipenuhi oleh kepentingan kemajuan ekonomis dalam rangka globalisasi sehingga perhatian spontan pada massa masyarakat tidak menembus lagi pengambilan keputusan. Wawasan yang buta terhadap kenyataan masyarakat itu tentu akan membahayakan masa depan bangsa. Situasi ini adalah unsustainable secara sosial. Masyarakat kita tidak senantiasa akan terus menerus menerima ketidakadilan itu dengan damai dan pasrah. Kita jangan mengharapkan kekerasan dalam masyarakat berkurang kalau mereka terus tidak diberi perhatian.
d) Ketidakadilan yang harus kita basmi Kadang-kadang kebutaan perusahaan-perusahaan terhadap masyarakat biasa berbalik menjadi kebrutalan terbuka / pada tanggal 11 Oktober 2007 terbaca di sebuah harian Ibukota bahwa di Tangerang ada developer yang memagari dengan tembok tinggi sebuah kampong sebesar delapan atau sembilan rumah yang terletak di tengah-tengah tanah yang mau dikembangkannya, yang menolak untuk mau pergi, sesudah sebelumnya memblokir satu demi satu jalan-jalan yang menghubungkan kampung-kampung itu dengan dunia luar. Satusatunya jalan ke luar bagi kampong itu – yang untuk terdiri ata orangorang lanjut usia – adalah sebuah celah selebar 50 cm yang masih terbuka. Semua barang lebih besar harus diangkut melalui tangga yang naik ke atas tembok tiga meter itu. Kalau kelakuan semacam itu dibiarkan terus, negara Indonesia akan menghadapi masa yang berat di masa mendatang. Kebrutalan dan ketakpedulian terhadap massa rakyat yang terdiri atas orang kecil tak mungkin akan ditelan terus. Yang gawat bahwa ketidakadilan dalam kesempatan rakyat indonesia bisa maju tidak keluar dari sebuah kebencian atau rencana jahat khusus, melainkan merupakan akibat kecerobohan, kelalaian dan
kurang perhatian pada kemungkinan bahwa ada orang yang menderita. Sebuah rencana yang jahat bisa langsung digugat dan dilawan. Tetapi ketidakadilan yang karena kurang perhatian, karena katakana, telinga orang-orang dia tas sudah penuh dengan bunyi keras ipod, cell phone dan iklan mereka sehingga jeritan mereka yang ketinggalan tidak kedengaran lagi, bisa menjadi kebiasaaan, dan kebiasaan hanya akan diubah dengan ledakan. Akhirnya perhatian pada orang kecil, wawasan yang betul-betul mau adil juga merupakan tantangan bagi keberadaan bangsa. Sebagai bangsa yang beradab, apa kita mau menerima bahwa terjadi perkembangan-perkembangan mengagumkan dan sebagian-sebagian cukup besar, bangsa tetap teramcam kemiskinan dan keputusasaan, tentunya tidak.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulannya adalah sila kemanusiaan yang adil dan beradab belum sepenuhnya terwujud di Negara ini. Pelanggaran tentang kemanusiaan yang adil dan beradab masih banyak terjadi. Sebagai contoh kecilnya adalah korban Lumpur Lapindo yang tidak mendapatkan keadilan dan dari sisi kemanusiaan juga tidak terlihat. Para penguasa perusahaan pengeboran seakan tutup telinga dengan jerit tangis para korban yang kehilangan kehiupannya. Sedangkan para penguasa pemerintahan juga belum dapat bekerja secara optimal demi terwujudnya warga yang sejahtera. Saran demi mewujudkan sila kedua dari Pancasila yaitu dengan menegakkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Memberikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh para korban agar kehidupan mereka berlangsung dengan baik, misalnya dengan memindahkan para korban ke kota lain (transmigrasi) demi mewujudkan kehidupan yang layak bagi mereka. Dan untuk para petinggi pemerintahan, jangan hanya menutup telingan dengan
earphone tetapi dengarkanlah jeritan rakyat yang masih merasa keadilan atas dirinya masih dirampas oleh penguasa.
6. REFERENSI http://korbanlumpur.info/opini/artikel/321-lumpur-dan-kemanusiaan-yangadil-dan-beradab.html