PENYATUAN ZAKAT DAN PAJAK UNTUK KEADILAN SOSIAL (Studi Pemikiran Masdar Farid Mas’udi)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : NUR HASAN NIM : 062311012
JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
Drs. H. Nur Khoirin M.Ag Jl. Tugu Lapangan Tambakaji Ngaliyan Semarang Rustam Dahar KAH. M.Ag Jl. Taman Jeruk II Bukit Jatisari Permai Mijen Semarang PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp. : 4 (empat) eks Hal
: Naskah Skripsi a.n. Sdr. Nur Hasan Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini kami kirim naskah skripsi saudara: Nama
: Nur Hasan
NIM
: 062311012
Judul
: PENYATUAN ZAKAT DAN PAJAK UNTUK KEADILAN SOSIAL (Studi Pemikiran Masdar Farid Mas’udi)
Dengan ini, mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosahkan. Demikian harap menjadikan maklum. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Semarang, Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. H. Noor Khoirin M.Ag NIP. 19630801 199203 1 001
Rustam Dahar KAH. M.Ag NIP. 19690723 199803 1 005
PENGESAHAN Skripsi Saudara
: Nur Hasan
NIM
: 062311012
Judul
: PENYATUAN ZAKAT DAN PAJAK UNTUK KEADILAN SOSIAL (Studi Pemikiran Masdar Farid Mas’udi)
telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude/ baik/ cukup, pada tanggal : dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata I tahun akademik 2010/2011
Semarang, Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Maria Ana Muryani SH.,MH NIP. 19620601 199303 1 004
Drs. H. Noor Khoirin M.Ag NIP. 19630801 199203 1001
Penguji I
Penguji II
Drs. Maksun M. Ag NIP. 19680515 199303 1 002
Moh. Arifin S.Ag.,M.Hum NIP. 19711012 199703 1 002
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Noor Khoirin M.Ag NIP. 19630801 199203 1001
Rustam Dahar KAH. M.Ag NIP. 19690723 199803 1 005
MOTTO
Pada dasarnya semua aktivitas muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati, skripsi ini penulis persembahkan untuk: v Almamaterku, Fakultas Syari ah IAIN Walisongo Semarang v Jurusan Hukum Ekonomi Islam (Mu'amalah) v Pembimbing Bapak Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag., dan Bapak Rustam Dahar KAH. M.Ag. v Takmir masjid Al-hikmah Perum Pondok Indah Semarang v Yang senantiasa mendoakanku tanpa henti, Bapak & Ibuku dan seluruh keluarga besarku yang saya banggakan. v Shahabat tercintaku U3 ( Syaifuddin dan Yeni Ulfiyeni) terima kasih atas bimbingan, saran, motifasi yang telah kalian berikan v Keluarga besar ForSHEI mulai angkatan 2006 sampai sekarang v Temen-temen se-angkatan 2006 aku kan selalu merindukan saat-saat kebersamaan kita jangan pernah sampai terputus tali persahabatan kita.
DEKLARASI
Dengan
penuh
kejujuran
dan
tanggung
jawab,
penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, Desember 2010
Deklarator,
NUR HASAN NIM: 062311012
ABSTRAK
Zakat merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu membayarnya dengan persyaratan tertentu dan diperuntukkan bagi mereka yang membutuhkan dengan persyaratan tertentu pula. Sedangkan pajak adalah kewajiban yang ditetapkan bagi warga negara yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan undang-undang, Dengan perkataan lain sumber hukum zakat adalah firman Allah sedangkan pajak sumber hukumnya adalah undang-undang yang ditetapkan oleh penguasa atau pemerintah sebagai ulil amri. Kondisi muslim Indonesia dalam kewajiban membayar zakat dan pajak mempunyai dua kewajiban yaitu membayar zakat dan pajak sekaligus. Tetapi zakat hanya dikenakan kepada orang-orang yang memiliki harta dengan persyaratan tertentu, dan bagi yang tidak mampu maka dia akan menjadi orang yang berhak menerimanya. Dalam hal pajak semua warga negara yang berpenghasilan dikenakan pajak. Masdar Farid Mas’udi mengatakan pemisahan lembaga zakat dan pajak adalah suatu hal yang sesat dan menyesatkan. Karena konsep zakat adalah merupakan konsep pajak, zakat sebagai ruhnya dan pajak sebagai badannya. Oleh karena itu orang yang membayar pajak harus diniati membayar zakat. Dan dengan konsep pajak sebagai zakat menurut Masdar Farid Mas’udi maka konsep keadilan dan kesejahteraan masyarakat akan tercapai. Dari uraian tersebut, penulis tertarik ketika Masdar Farid Mas’udi berbicara tentang konsep penyatuan zakat dan pajak, dimana telah menjadi keyakinan umum bahwa zakat dan pajak merupakan dua kewajiban yang berbeda. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library Research), yakni meneliti buku-buku yang berhubungan dengan objek kajian yang sedang disusun. Untuk menganalisisnya data, yang diperlukan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penulis mendeskripsikan pandangan Masdar Farid Mas’udi, dengan dianalisis secara mendalam sehingga diperoleh gambaran pemikiran Masdar Farid Mas’udi dengan jelas. Kesimpulan akhir peneliti, penulis menyatakan bahwa Masdar Farid Mas’udi dalam masalah zakat (pajak) mengabungkan keduanya artinya bagi kaum muslimin yang membayar pajak (dengan spirit zakat) kepada negara/pemerintah, maka gugurlah (terpenuhi) kewajiban agamanya, tidaklah berarti menggugurkan kewajiban untuk membayar zakat. Pajak merupakan hal yang hanya menyangkut urusan duniawi, sedangkan zakat bukan saja masalah hablum minannas (hubungan antara sesama manusia) tetapi juga mengandung muatan hablum minallah (hubungan antara manusia dengan tuhan). Jika zakat disatukan dengan pajak, maka syari’at dari zakat akan hilang, dan menjadi tidak penting lagi, zakat bukan lagi suatu kewajiban melainkan akan terkesan sebagai suatu anjuran yang tidak bersifat memaksa bagi umat Islam.
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim. Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan, karena karunia dan anugrah-Nya skripsi berjudul ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa tercurah pada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita pada zaman penuh dengan cahaya Islam. Penulis menyadari bahwa penulis tidak akan sanggup menyelesaikan skripsi ini tanpa adanya dorongan, bantuan dan kerjasama dari pihak-pihak yang berperan dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat : 1.
Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag, selaku rektor IAIN Walisongo
2.
Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah
3.
Bapak Moh. Arifin, M.Hum, sebagai kajur Muamalah yang senantiasa memberi nasehat.
4.
Bapak Drs. H. Noor Khoirin, M.Ag, dan Bapak Rustam Dahar KAH. M.Ag, selaku pembimbing I dan II yang telah banyak meluangkan waktu berharga hanya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skipsi ini.
5.
Keluargaku tercinta (Bapak Sukiran dan Ibunda Wariatun) dan semua keluarga besarku yang senantiasa mendoakanku setiap saat.
6.
Semua sahabat dan teman seperjuangan, terima kasih atas dukungan dan motifasi kalian. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran
serta kritik yang membangun selalu penulis harapkan. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii HALAMAN MOTTO .................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... v HALAMAN DEKLARASI ............................................................................ vi ABSTRAK ...................................................................................................... vii KATA PENGANTAR .................................................................................. viii DAFTAR ISI ................................................................................................ . ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Perumusan Masalah .......................................................................... 7 C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 8 D. Telaah Pustaka ...................................................................................8 E. Metode Penelitian ........................................................................... 10 F. Sistematika Penulisan ..................................................................... 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZAKAT DAN PAJAK A. Pengertian Zakat Secara Umum ....................................................... 15 1. Pengertian Zakat ......................................................................... 15 2. Dasar Hukum Zakat .................................................................... 17 3. Syarat dan Rukun Zakat.............................................................. 21 4. Tujuan Zakat............................................................................... 24 5. Hikmah dan Manfaat Zakat......................................................... 25 B. Pengertian Pajak Secara Umum ....................................................... 30
1. Pengertian Pajak ......................................................................... 30 2. Ciri-Ciri dan Fungsi Pajak .......................................................... 33 3. Teori-Teori Pemungutan Pajak ................................................... 34 4. Pembagian Pajak......................................................................... 37
BAB III KONSEP ZAKAT DAN PAJAK DALAM PEMIKIRAN MASDAR FARID MAS’UDI A. Biograi Masdar Farid Mas’udi ........................................................ 39 1. Latar Belakang Keluarga............................................................. 39 2. Pendidikan.................................................................................. 39 3. Pengalaman Organisasi ............................................................... 40 4. Karya-Karya Masdar Farid Mas’udi.......................................... 42 B. Konsep Zakat dan Pajak Dalam Pemikiran Masdar Farid Mas’udi ... 43 1. Penciptaan Agama Keadilan Berdasarkan Zakat (Pajak)……...…43 2. Penyatuan Zakat dan Pajak…………………………….…………50 C. Metode Penalaran Hukum Masdar Farid Mas’udi Terhadap Penyatuan Zakat dan Pajak………………………………….…………………...53
BAB IV ANALISIS KONSEP ZAKAT DAN PAJAK DALAM PEMIKIRAN MASDAR FARID MAS’UDI A. Analisis Terhadap Konsep Zakat dan Pajak Dalam Pemikiran Masdar Farid Mas’udi ................................................................................. 63 B. Analisis Metode Penalaran Hukum Masdar Farid Mas’udi Terhadap Penyatuan Zakat dan Pajak .............................................................. 69
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... 73
B. Saran .............................................................................................. 74 C. Penutup .......................................................................................... 75 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 76 LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Zakat merupakan salah satu kewajiban umat Islam, sebagaimana tersebut dalam rukun Islam yang keempat. Zakat menjadi sumber dana bagi kesejahteraan umat terutama untuk mengentaskan dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial.1 Dalam al-Quran terdapat 32 ayat zakat dan 82 kali diulang dengan mengunakan istilah yang merupakan sinonim dari kata zakat, yaitu kata sedekah dan infak. Pengulangan tersebut mengandung maksud bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sangat penting dalam Islam. 2 Dari 32 ayat dalam al-Quran tersebut, 29 diantaranya menghubungkan ketentuan zakat dan salat. Rangkaian kata zakat dengan salat dalam al-Quran sering kali ditemukan secara konsisten. Hanya dalam tiga ayat ketentuan zakat tidak dirangkaikan dengan salat, yaitu 1. QS al Kahfi (18): 81 ÇÑÊÈ $YH÷qâ‘ z>t•ø%r&ur Zo4qx.y— çm÷ZÏiB #ZŽö•yz $yJåk›5u‘ $yJßgs9ωö7ムbr& !$tR÷Šu‘r'sù Artinya: Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).3 1
Achyar Rusli, Zakat = Pajak, Jakarta: Redana, 2005, hlm. 36. Abdurrachman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 43. 3 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemah, Semarang: PT. Toha Putra, 2002, hlm. 414. 2
2. Maryam (19): 13 ÇÊÌÈ $wŠÉ)s? šc%x.ur ( Zo4qx.y—ur $¯Rà$©! `ÏiB $ZR$oYymur Artinya: Dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dan dosa). dan ia adalah seorang yang bertakwa.4 3. al-Mu’minun (23): 4 ÇÍÈ tbqè=Ïè»sù Ío4qx.¨“=Ï9 öNèd tûïÏ%©!$#ur Artinya: Dan orang-orang yang menunaikan zakat.5 yang merupakan ayat-ayat Makiyyah.6 Menurut mayoritas ulama, dalam redaksi yang berbeda-beda disimpulkan bahwa zakat merupakan bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, dimana Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kapada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.7 Sebagaimana termaktub dalam al-Quran QS. at- Taubah (9): 103 yang berbunyi: ìì‹ÏJy™ ª!$#ur 3 öNçl°; Ö`s3y™ y7s?4qn=|¹ ¨bÎ) ( öNÎgø‹n=tæ Èe@|¹ur $pkÍ5 NÍkŽÏj.t“è?ur öNèdã•ÎdgsÜè? Zps%y‰|¹ öNÏlÎ;ºuqøBr& ô`ÏB õ‹è{ ÇÊÉÌÈ íOŠÎ=tæ Artinya: Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya do amu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.8
4
Ibid., hlm. 420. Ibid., hlm. 475. 6 Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrument dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 25. 7 Didin Hafidhuddin, `Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm. 7. 8 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 273. 5
Pada masa Rasulullah SAW, Khalifah Abu Bakar ibn Khattab dan Umar ibn Affan, zakat di kelola oleh negara, bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar ibn Khattab dilakukan penyerangan terhadap penentang pembayar zakat. Kemudian seiring perkembangan wilayah Islam diberlakukan sistem pajak yang disebut dengan jizyah yang pada mulanya hanya diberlakukan kepada kalangan non muslim atas jaminan yang mereka terima dari negara.9 Pada masa Khalifah Umar ibn Affan terjadi tatkala pasukan muslimin baru saja berhasil menaklukkan Irak. Khalifah Umar, atas saran saran pembantunya memutuskan untuk tidak membagikan harta rampasan perang, termasuk tanah bekas wilayah taklukan. Tanah tanah yang direbut dengan kekuatan perang ditetapkan menjadi milik kaum muslimin. Sementara tanah yang ditaklukkan dengan perjanjian damai tetap dianggap milik penduduk setempat. Konsekuensinya, penduduk diwilayah Irak tersebut diwajibkan membayar pajak (kharaj), bahkan sekalipun pemiliknya telah memeluk ajaran Islam. Inilah kiranya yang menjadi awal berlakunya pajak bagi kaum muslimin di luar zakat. Penarikan pajak selanjutnya terus berlangsung meski dengan alasan yang berbeda beda. Seiring berjalannya waktu, hubungan zakat dan pajak menjadi terbalik. Dimulai dengan kemunduran kaum muslimin, penjajahan Eropa, dan hegemoni peradaban barat sehingga hukum hukum syar’i semakin ditinggalkan, dan sebaliknya hukum hukum barat buatan manusia diutamakan. Kewajiban
9
Nuruddin Mhd. Ali, op. cit., hlm. 4.
zakat disubordinasikan dan diganti dengan kewajiban pajak.10 Dalam perkembangannya persoalan zakat dan pajak merupakan salah satu persoalan yang banyak mendapat perhatian dalam khazanah pemikiran ekonomi Islam. Persoalan ini muncul karena adanya dua kewajiban yang harus dijalankan oleh umat Islam, yaitu kewajiban membayar pajak sebagai kewajiban seorang warga negara terhadap negaranya, dan kewajiban zakat yang merupakan perintah agama dan salah satu rukun Islam.11 Hal ini terlihat jelas dengan adanya dua kewajiban dalam dua undang-undang yang berbeda, yaitu kewajiban zakat dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan kewajiban pajak dalam UU No. 17 Tahun 2000 tentang pajak penghasilan (PPh). Kedua undang-undang ini menyatakan bahwa zakat dan pajak adalah kewajiban. Hal inilah yang dirasakan oleh kaum muslimin sebagai suatu beban yang berat. Beban ini akan bertambah berat lagi jika kaum muslimin diwajibkan pula membayar pajak bumi bangunan (PBB) yang harus mereka bayar dengan uang atau harta simpanan yang telah dizakati. Makin berat lagi, tatkala kaum muslimin diwajibkan pula membayar pajak petambahan nilai (PPN), karena mengonsumsi barang/jasa tentu yang menurut pemerintah bukan kebutuhan pokok (sekunder/mewah).12 Kaum muslimin tidak boleh diberati dengan kewajiban berganda. Zakat yang sudah dipungut harus dijadikan sebagai pengurang ( kredit pajak) langsung, sehingga
10
Siti Arifah, Konstitusi Negara Berbicara Zakat Mengurang Penghasilan Kena Pajak, http://www.pkpu.or.id/artikel.php?id=20&no=15, Download pada tanggal 08/07/2010. 11 Nuruddin Mhd. Ali, op. cit., hlm. 23. 12 Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 7.
pajak yang harus dibayar kaum muslimin hanya tambahannya saja. Berdasarkan dalam UU No. 17 Tahun 2000 tentang pajak penghasilan, zakat dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan (biaya). Hal ini memang suatu perkembangan baru dalam aplikasi hukum Islam di Indonesia.13 Atas dasar
pendekatan tersebut
diatas,
jelaslah kiranya
bahwa
kecenderungan selama ini untuk memisahkan zakat dengan lembaga upeti yang kini diperhalus menjadi pajak merupakan suatu cara pandang yang sesat dan menyesatkan. Sebagaimana kita alami, dengan anggapan itu, kita pun tenggelam dalam arus dikotomis untuk selalu memisahkan sesuatu yang duniawi dari yang ukhrawi. Dalam sejarah kehidupan Modern, dikotomis itu memuncak pada penghadapan yang sangat diyakini antara negara disatu pihak dan agama dipihak lain. Jika yang tersebut pertama memungut dari kantong rakyat dana wajib yang disebutnya pajak, maka yang kedua memungut dari kantong umat dana wajib yang disebutnya zakat. Yang pertama pusat kekuasaannya ada ditangan umara, sedang yang kedua pusat kekuasaanya ada ditangan ulama. Islam (ideal) sebagai agama fitrah, pemikiran dualisme yang dikotomistis itu tidaklah dikenal. Bahwa ada sesuatu yang bersifat duniawi disamping sesuatu yang bersifat ukhrawi adalah nyata. Seperti juga nyata bahwa disamping ada ruhani ada jasmani, ada jiwa, ada raga, ada tujuan, ada cara, ada nilai, ada lembaga, ada subtansi, ada bentuk, ada prinsip, ada prosedur dan seterusnya. 13
Ibid., hlm. 221.
Akan tetapi kedua hal yang disebut berbeda itu, bukan untuk dipisahkan. Melainkan supaya diesakan, disatukan dalam pola kesatuan dialektis (dialectical unity). Yaitu suatu pola kesatuan dimana kedua pihak saling mempersyaratkan yang lain demi terjadinya proses transformasi diri secara terus menerus menuju kesempurnaan yang (sebenarnya) tak terhingga. Dalam bahasa agama, kesempurnaan yang tak terhingga itulah Tuhan adanya. Demikianlah,
prinsip
kesatuan dialektis yang fitrah ini yang seharusnya terus dapat dipertahankan, juga dalam hubungan antar agama dengan negara. Karena sekali dipisahkan dan kemudian dipersaingkan atau diperhadapkan satu terhadap yang lain, yang terjadi tentulah dosa yang sulit diampuni. 14 Menurut Masdar Farid Mas’udi proses transformasi lembaga pajak/upeti ini digerakkan oleh Islam bukan dengan cara menyaingi atau menjajari lembaga pajak dengan lembaga zakat, seperti dipersepsi orang selama ini. Melainkan dengan cara merasukkan sepirit ajaran zakat ke dalam lembaga pajak. Zakat sebagai ruhnya pajak sebagai badannya, zakat sebagai komitmen spiritual moral, pajak
sebagai
ujud
kelembagaan
yang
hendak
menjadi
ajang
pengejawentahannya.15 Dan dalam terminologi Islam, pajak yang dibayarkan oleh masyarakat disebut zakat, karena pajak dibayarkan bukan sebagai persembahan (udliyah) kapada raja, juga bukan sebagai imbalan jasa (jizyah) dengan negara,
14
Masdar Farid Mas’udi, Agama Keadialan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: P3M, 1993, hlm. 97. 15 Ibid., hlm. 100-104.
melainkan sebagai sedekah lillah yang diamanatkan kepada negara/pemerintah.16 Dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik ketika Masdar Farid Mas’udi berbicara tentang konsep penyatuan zakat dan pajak, dimana telah menjadi keyakinan umum bahwa zakat dan pajak merupakan dua kewajiban yang berbeda, bahwa zakat adalah kewajiban kepada Allah SWT dan hanya ditasarufkan kepada delapan asnaf. Sementara pajak merupakan kewajiban kepada negara dan ditasarufkan untuk kepentingan negara secara menyeluruh (umum). Dan bagaimana jika pemikiran Masdar Farid Mas’udi tersebut diterapkan di Indonesia apakah akan menyebabkan dampak yang baik bagi kelembagaan zakat maupun kelembagaan pajak. Untuk mengkaji lebih jauh pemikiran Masdar Farid Mas’udi beserta kerangka pemikirannya, penulis perlu melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Penyatuan Zakat Dan Pajak Untuk Keadilan Sosial” (Studi Pemikiran Masdar Farid Mas’udi).
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat penulis rumuskan permasalahan yang akan menjadi inti dari pembahasan skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimana konsep pemikiran Masdar Farid Mas’udi tentang zakat dan pajak? 2. Bagaimana metode penalaran hukum Masdar Farid Mas’udi terhadap penyatuan zakat dan pajak? 16
M. Tuwah dkk, Islam Humanis (Islam dan Persoalan Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum dan Masyarakat Marginal, Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2001, hlm. 105.
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana tersebut diatas, penulis menetapkan beberapa tujuan penulisan skripsi ini sebagai berikut: 1. Untuk menyingkap konsep zakat dan pajak dalam pemikiran Masdar Farid Mas’udi. 2. Untuk mengetahui metode penalaran hukum Masdar Farid Mas’udi terhadap penyatuan zakat dan pajak.
D. Tinjauan Pustaka Zakat dan pajak sejauh ini telah banyak dibahas oleh para ulama dengan sumber al-Quran dan al-Hadits serta aneka ragam pendapat mereka, tetapi masalah penyatuan zakat dan pajak sebagaimana dalam pemikiran Masdar Farid Mas’udi masih jarang disentuh orang, karena pemahaman yang ada selama ini antara zakat dan pajak merupakan dua hal yang terpisah dan tidak bisa disatukan, karena zakat merupakan perintah agama tetapi pajak adalah perintah negara. Diantara ulama yang membahas zakat dan pajak dengan detail adalah Yusuf al-Qardhawy dalam bukunya Hukum Zakat, melengkapi uaraian dengan membandingkan pendapat-pendapat ulama dengan mengambil yang lebih kuat. Ketidak sepakatan para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in juga diungkapakan secara detail.17 Tetapi tidak mengupas tentang penyatuan pajak dan zakat.
17
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (terj.) Didin Hafidhuddin dkk, Jakarta: PT. Pustaka Lintera Antar Nusa, 2006, hlm. 1110.
Gusfahmi, dalam bukunya Pajak Menurut Syariah menyatakan bahwa zakat dan pajak bukan merupakan kesatuan tubuh seperti roh dengan badan sebagaimana yang telah dipahami oleh Masdar Farid Mas’udi, yang artinya adalah jika seseorang telah membayar pajak, berarti ia sudah membayar zakat. Oleh Gusfahmi, hal tersebut dinilai keliru karena sama saja dengan menyamakan salat dengan sembahyang atau berdo’a di Pura. Namun buku ini menawarkan konsep, bahwa pajak berada pada posisi dibelakang sesudah ditunaikannya kewajiban zakat. Menurutnya, zakat yang sudah dipunggut harus dijadikan sebagai pengurang (kredit pajak) langsung, sehingga pajak yang harus dibayarkan kaum muslim hanya tambahannya saja.18 Ahyar Rusli dalam bukunya yang berjudul Zakat=Pajak bahwa zakat dan pajak masih dalam tahapan konsep dan teori-teori saja. Karena begitu luasnya aspek wacana zakat dan pajak menurut ulama fiqih dan ahli perpajakan, maka dalam bukunya hanya dibatasi pada kajian mengenai persamaan dan perbedaannya dalam konteks dimensi kemanusiaan dalam memahami agama.19 Nurudddin Mhd. Ali dalam bukunya Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal beliau bermaksud melanjutkan pembahasan yang telah dilakukan oleh Masdar Farid Mas’udi, terutama dalam melihat terintegrasinya zakat dalam kebijakan fiskal dan sebagainya.20 Sedangkan karya yang secara komprehensif membahas zakat dan pajak 18
Gusfahmi, op. cit., hlm. 218. Achyar Rusli, op. cit., hlm. 9. 20 Nuruddin Mhd. Ali, op. cit., hlm. 15. 19
adalah skripsi karya Siti Muniroh (2007) yang berjudul “Efektifitas Pelaksanaan Pasal 14 (3) UU No.38 Tahun 1999 tentang Pengurangan Pajak Bagi Pembayar Zakat (Studi Kasus di Perusahaan-Perusahaan Kudus)”. Skripsi tersebut pada intinya membahas penerapan zakat sebagai pengurang pembayar pajak sebagaimana tercantum dalam UU No.38 Tahun 1999 tersebut. Sekali lagi, sejauh pengamatan penulis hinga saat ini masih jarang yang mengangkat pemikiran Masdar Farid Mas’udi. Kalaupun ada maka hanya sebatas pada problematika seputar zakat dan pajak saja. Oleh karena itu, penulis bermaksud melengkapi kajian terhadap pemikiran Masdar Farid Mas’udi tersebut dengan mengetahui penalaran hukum
yang dijadikan sebagai landasan teori
penyatuan zakat dan pajak yang tertuang dalam karya-karyanya, beserta implikasi sosial ekonomi dari pemikirannya tersebut khususnya terkait dengan lembaga pajak maupun lembaga zakat di Indonesia.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library Research), yakni meneliti buku-buku yang berhubungan dengan objek kajian yang sedang disusun21. Dalam hal ini penelitian yang dilakukan dengan cara penelaah terhadap buku, artikel yang berkaitan dengan permasalahan yang
21
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Rineka Cipta, 1998, hlm. 202.
ada. 2. Sumber Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sekunder. a. Sumber Primer Sumber primer adalah sumber informasi yang langsung mempunyai wewenang dan bertanggung jawab terhadap pengumpulan data . Adapun yang dimaksud dalam data primer adalah karya-karya/buku-buku Masdar Farid Mas'udi diantaranya: 1) Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, Jakarta, diterbitkan oleh P3M, 1993. 2) Pajak Itu Zakat Uang Allah Untuk Kemaslahatan Rakyat, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2010. 3) Artikel Masdar Farid Mas’udi dalam buku kumpulan tulisan, Islam Humanis, Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2001. 4) Artikel Masdar Farid Mas’udi dalam Seminar Nusantara Institut, Pancasila, Agama dan Sitem Budaya Nasional, www. damandiri.or.id Serta karya tulis lain yang telah ditulis oleh Masdar Farid Mas’udi dalam buku-buku, majalah, artikel atau lainnya. b. Sumber Skunder Sumber sekunder merupakan sumber data yang diperoleh dari pihak lain dengan kata lain sumber yang mengutip dari sumber lain. Dalam hal
ini sumber penelitian adalah buku-buku, catatan-catatan yang bisa mendukung penyempurnaan data utama serta dapat menunjang penelitian ini, diantaranya: 1) Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. 2) Gazi Inayah, Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003. 3) Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. 4) Achyar Rusli, Zakat = Pajak, Jakarta: Renada, 2005. 3. Analisis Data Untuk mempertajam analisis penyatuan zakat dan pajak, penulis tidak mengabaikan pendekatan sosiologis histories. Pendekatan ini digunakan untuk meneliti atau menelaah pemikiran Masdar Farid Mas’udi secara utuh. Dengan memperhatikan latar belakang kehidupannya, serta kondisi dimana ia berkiprah dan berkarya dalam merumuskan gagasan-gagasannya. Metode analisis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,22 dengan analisis kualitatif.23 Penulis mendeskripsikan pandangan Masdar Farid Mas’udi, dengan dianalisis secara mendalam sehingga diperoleh gambaran
22
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008, hlm. 90. Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 91. 23
pemikiran Masdar Farid Mas’udi dengan jelas. Untuk memperoleh deskripsinya penulis juga mengkomparasikan pemikiran Masdar Farid Mas’udi tersebut dengan pandangan ulama atau tokoh lain yang menarik perhatian pada aplikasi penyatuan zakat dan pajak, sehingga mudah untuk memposisikan Masdar Farid Mas’udi dalam khasanah pemikiran yang berkembang dalam dunia Islam. Metode deskriptif
ini juga penulis gunakan untuk mendeskripsikan
metodologi yang dibangun Masdar Farid Mas’udi dalam merumuskan penyatuan zakat dan pajak dalam kerangka pendekatan fiqhiyah. Kemudian dengan mengkompromikan bentuk formulasi penyatuan pajak dan zakat yang ditawarkan Masdar Farid Mas’udi dengan bentuk implementasi fiqh mu amalah yang dimungkinkan teraplikasi di negeri, penulis akan melihat sejauhmana gagasan Masdar Farid Mas’udi tersebut memiliki relevansi dan signifikasi bagi tingkat fiqh mu amalah dalam acara pembangunan ekonomi Islam.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. Bab pertama berisi pendahuluan, yang merupakan gambaran umum secara global dengan memuat: latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian,
telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua, diuraikan mengenai tinjauan umum tentang zakat dan pajak yang meliputi pengertian zakat, dasar hukum zakat, syarat dan rukun zakat, tujuan zakat dan hikmah serta manfaat zakat. Pengertian pajak, cirri-ciri dan fungsi pajak, teori-teori pemungutan pajak, serta pembagian pajak. Bab ketiga, membahas tentang konsep Masdar Farid Mas’udi tentang zakat dan pajak, yang memuat biografi Masdar Farid Mas’udi (latar belakang keluarga, pendidikan, pengalaman organisasi serta karya-karya Masdar Farid Mas’udi), dan konsep zakat dan pajak dalam pemikiran Masdar Farid Mas’udi (penciptaan agama keadilan berdasarkan zakat (pajak) dan penyatuan zakat dan pajak), dan metode penalaran hukum Masdar Farid Mas’udi terhadap penyatuan zakat dan pajak. Bab keempat merupakan analisis penulis terhadap konsep zakat dan pajak dalam pemikiran Masdar Farid Mas’udi dan analisis metode penalaran hukum Masdar Farid Mas’udi terhadap penyatuan zakat dan pajak. Bab kelima merupakan penutup yang memuat kesimpulan serta saransaran yang dianggap relevan dengan tema skripsi ini.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZAKAT DAN PAJAK
A. Pengertian Zakat Secara Umum 1. Pengertian Zakat Zakat merupakan ibadah yang dapat diartikan banyak hal, baik secara etimologi maupun secara terminologi. Secara etimologi (bahasa) kata “zakat” diambil dari kata (az-zakah), sedang lafal (az-zakah) berarti “tumbuh, baik, suci dan berkah”. 24 Syara’ memakai kata tersebut untuk dua arti. Pertama, dengan zakat diharapkan akan mendatangkan kesuburan pahala. Kedua, zakat merupakan suatu kenyataan jiwa suci dari kikir dan dosa.25 Hal ini didasarkan atas Firman Allah SWT dalam surat al-Syams ayat 9 sebagai berikut: ÇÒÈ $yg8©.y— `tB yxn=øùr& ô‰s% Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu . ( QS. asy- Syams: 9).26 Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa zakat secara etimologi berarti sama dengan shadaqah, penyucian, berkembang serta
24
Abdul Aziz Dahlan (et.al..), Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, hlm. 1985. 25 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984, hlm. 24. 26 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemah, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002, hlm. 896.
membersihkan diri dari dosa dan kekejian. Secara terminologi (syara’), zakat ialah “pemberian sesuatu yang wajib diberikan dari sekumpulan harta tertentu, menurut syarat-syarat dan ukuran tertentu kepada golongan tertentu yang berhak menerimanya”.27 Yasin Ibrahim al-Syaikh mengartikan zakat, menyucikan harta milik seseorang dengan cara pendistribusian oleh kaum kaya sebagian hartanya untuk kaum miskin sebagai hak mereka dan bukan derma. 28 Definisi ini juga tidak jauh berbeda dengan pengertian yang disepakati oleh empat mazhab Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hanbali serta Yusuf Qardawi bahwa zakat adalah mengeluarkan bagian tertentu dari harta dan menyerahkannya kepada yang berhak menerimanya.29 Oleh karena itu, jika pengertian zakat dihubungkan dengan harta, maka menurut ajaran Islam, harta yang dizakati itu akan tumbuh berkembang, bertambah karena suci dan berkah (membawa kebaikan bagi hidup dan kehidupan bagi yang punya). Sebagaimana disebutkan juga dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat yaitu: Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seseorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang
27
Direktorat Pembinanan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu Fiqh, Jilid I, Jakarta: 1983.
hlm. 229. 28
Yasin Ibrahim al-Syaikh, Kitab Zakat Hukum, Tata Cara dan Sejarah, Bandung: Marja, 2008, hlm. 27. 29 Achyar Rusli, op. cit., hlm. 37.
muslim
sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang
berhak menerimannya.30 Dari beberapa pengertian zakat di atas dapat disimpulkan bahwa, zakat adalah merupakan hak Allah yang berupa harta benda yang diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, dengan harapan dapat memperoleh beberapa kebaikan dan dapat mensucikan jiwa dari sifat kikir. Dengan kata lain, mengeluarkan atau memberikan sebagian harta benda yang sudah mencapai batas minimal (nishab) dan rentang waktu satu tahun (haul) kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq zakat)31 dengan syarat-syarat tertentu. 2. Dasar Hukum Zakat Zakat merupakan salah satu sendi ajaran Islam. Bahkan al-Qur’an menjadikan zakat dan shalat sebagai lambang dari keseluruhan ajaran Islam. 32 Atas dasar inilah, maka zakat diwajibkan bagi seluruh umat Islam, dan Allah SWT telah menfardukannya sama dengan shalat. Dalil-dalil yang menjadi dasar hukum wajib zakat di antaranya adalah sebagai berikut:
30
Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqih Kontemporer, Jakarta: Salaemba Diniyah, 2002, hlm. 10. 31 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual Dari Norma Ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 259. 32 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1993, hlm. 323.
1. Al-Qur’an ÇÍÌÈ tûüÏèÏ.º§•9$# yìtB (#qãèx.ö‘$#ur no4qx.¨“9$# (#qè?#uäur no4qn=¢Á9$# (#qßJŠÏ%r&ur Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' . (QS. al-Baqarah: 43)33 Ayat di atas menjelaskan, bahwa Allah SWT. memerintahkan umat manusia supaya menegakkan shalat dan menunaikan zakat. z`ÏiB Nä3s9 $oYô_t•÷zr& !$£JÏBur óOçFö;|¡Ÿ2 $tB ÏM»t6ÍhŠsÛ `ÏB (#qà)ÏÿRr& (#þqãZtB#uä tûïÏ%©!$# $yg•ƒr'¯»tƒ 4 Ïm‹Ïù (#qàÒÏJøóè? br& HwÎ) ÏmƒÉ‹Ï{$t«Î/ NçGó¡s9ur tbqà)ÏÿYè? çm÷ZÏB y]ŠÎ7y‚ø9$# (#qßJ£Ju‹s? Ÿwur ( ÇÚö‘F{$# ÇËÏÐÈ î‰ŠÏJym ;ÓÍ_xî ©!$# ¨br& (#þqßJn=ôã$#ur Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman infakkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya Lagi Maha Terpuji (QS. al-Baqarah: 267).34
Dari ayat di atas secara tegas menjelaskan tentang pedoman kualitas barang yang akan dizakatkan, yaitu barang tersebut hendaknya merupakan barang yang paling bagus dan paling dicintai, sehingga zakat tersebut menjadi sempurna.
33 34
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 8. Ibid., hlm. 56.
3 öNçl°; Ö`s3y™ y7s?4qn=|¹ ¨bÎ) ( öNÎgø‹n=tæ Èe@|¹ur $pkÍ5 NÍkŽÏj.t“è?ur öNèdã•ÎdgsÜè? Zps%y‰|¹ öNÏlÎ;ºuqøBr& ô`ÏB õ‹è{ ÇÊÉÌÈ íOŠÎ=tæ ìì‹ÏJy™ ª!$#ur Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui . (QS. al-Taubah: 103)35 Ayat ini menjelaskan tentang faedah-faedah atau manfaat mengeluarkan zakat dan anjuran untuk mengeluarkannya, yaitu untuk mensucikan jiwa orang yang mengeluarkan zakat dan mengangkat mereka pada derajat yang baik, sehingga mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 2. Hadits Selain dari al-Qur’an, hukum zakat juga didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW. Hadits yang secara langsung berhubungan dengan hukum zakat adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. sebagai berikut:
: .
35
Ibid., hlm. 273.
.
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW, ketika mengutus Mu aadz ke Yaman, ia bersabda: Sesungguhnya engkau akan datang ke satu kaum dari ahli kitab, oleh karena itu ajaklah mereka unutk bersaksi bawa tidak ada tuhan melainkan Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Kemudian jika mereka taat kepadamu untuk ajakan itu, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima kali sehari semalam , lalu jika mereka mentaati kamu untuk ajakan itu, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu dikembalikan kepada orang-orang miskin mereka, kemudian jika mereka taat kepadamu untuk ajakan itu, maka berhati-hatilah kamu terhadap kehormatan harta-harta mereka, dan takutlah terhadap do a orang yang teraniaya, karena sesungguhnya antara do a itu dan Allah tidak ada pendinding . (HR. Jama ah).36
Dalam hadits lain Rasulullah saw. bersabda:
:
: : (
.)
Artinya: Dari Umar ra meriwayatkan: Rasulullah SAW bersabda: Islam didasarkan kepada 5 prinsip: 1) bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, 2) mendirikan sholat, 3) membayar zakat, 4) melaksanakan haji dan, 5) puasa di bulan Ramadhan . (HR. Bukhari).37
36
Al-Syaukani, Nail al-Authar, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1985, hlm. 1155. Abu Abdillah ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah, 1992, hlm. 10. 37
3. Ijma Para imam mazhab dan mujtahid mempunyai peranan yang besar dalam pemecahan-pemecahan masalah zakat yang belum disebutkan dalam nash-nash yang shahih. Ijma menurut istilah Ushul Fiqih diartikan sebagai “kesepakatan seluruh imam mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat”.38Adapun dalil berupa ijma ialah umat Islam sepakat bahwa zakat adalah wajib, bahkan para sahabat Nabi sepakat untuk membunuh orang-orang yang enggan membayarkan zakat. Dengan demikian, barang siapa yang mengingkari wajibnya berarti dia kafir. 39 Seterusnya
pada
masa
tabi in
dan
imam
mujtahid
serta
muridmuridnya telah melakukan ijtihad dan merumuskan pola operasional zakat sesuai dengan situasi dan kondisi ketika itu.40 3. Syarat dan Rukun Zakat Zakat dikeluarkan disertai dengan syarat-syarat dan kriteria tertentu, sehingga tidak semua orang Islam dan seluruh kekayaannya harus dizakati. Zakat memiliki beberapa syarat wajib yang telah disepakati ulama, antara lain: merdeka, Islam, baligh, berakal, milik sempurna, mencapai nishab dan mencapai haul. 38
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. H. Muh. Zuhri dan Ahmad Qorib, Semarang: Bina Utama, 1994, hlm. 56. 39 Wahbah al-Zuhayly, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh, terj. Agus Effendi dan Bahruddin Fananny, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT. Remaja Kosdakarya, 2008, hlm. 90. 40 Abdurrachman Qodir, op. cit., hlm. 49.
1. Merdeka Ulama sepakat bahwa zakat tidak wajib atas hamba sahaya, sebab ia tidak mempunyai hak milik yang sempurna (almilkuttam), namun tuannyalah yang memiliki harta yang dimiliki hambaya. 2. Islam Zakat
merupakan
suatu
kewajiban
bagi
umat
Islam
semata. Karena zakat adalah mensucikan atau membersihkan harta.41 3. Baligh dan berakal Madzab Hanafi berpendapat, bahwa “syarat orang yang zakat adalah baligh dan berakal, sehingga zakat tidak wajib diambil dari orang gila dan anak kecil. Dengan alasan, bahwa keduanya tidak masuk kriteria orang yang wajib mengerjakan ibadah, seperti shalat dan puasa”.42 Berbeda
dengan
pendapat
jumhur ulama (kebanyakan
ulam), wajib membayar zakat atas harta anak-anak dan orang gila, karena zakat tidak melihat kepada keadaan orangnya, tetapi melihat kepada hartanya. Pihak yang wajib mengeluarkan zakat adalah
41 42
Daniel, Definisi Zakat, http://abuazi .blogspot.com, Download pada tanggal 20/10/2010. Wahbah al-Zuhayly, op. cit., hlm. 100.
walinya.43 4. Milik sempurna Manusia lahir tidaklah membawa harta kekayaan, karena kekayaan adalah milik Allah SWT. yang dikaruniakan kepada manusia. Milik sempurna adalah ketentuan hukum yang terdapat di dalam benda atau manfaat yang memberikan hak kepada orang yang memilikinya untuk menggunakan, mengambil manfaatnya atau meminta penggantiannya, selama tidak terdapat hal-hal yang tidak membolehkan atas harta tersebut. 44 Dengan kata lain, bahwa milik sempurna adalah hubungan yang berdasarkan suatu
benda
yang
hukum
membuatnya
antara
seseorang
dengan
secara
mutlak
dapat
menggunakannya dan menghalangi orang lain untuk menggunakannya. 5. Mencapai nishab Nishab adalah “batas ukuran tertentu yang wajib dikeluarkan zakatnya”. 45 Jadi, harta yang telah mencapai nishab adalah harta yang mencapai batas minimal yang ditentukan bagi setiap jenisnya.46 Nishab merupakan salah satu syarat yang hanya dengan hal itu suatu 43 44
Daniel, loc. cit.,
Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003, hlm. 91. Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat Infak Sedekah, Jakarta: Gema Insani, 1998, hlm. 14. 46 Lahmudin Nasution, Fiqh I, Jakarta: Logos, t.th, hlm. 149. 45
harta wajib dizakati. Artinya, harta yang kurang dari batas minimal tersebut tidak dikenai wajib zakat. 6. Mencapai haul Haul merupakan syarat wajib zakat, yaitu“waktu wajib mengeluarkan zakat yang telah memenuhi nishabnya dinilai cukup dalam waktu satu tahun atau 12 bulan kamariah (Hijriah). Akan tetapi ulama fikih berbeda pendapat tentang harta yang disyaratkan berlalu satu tahun tersebut. Mereka sepakat menyatakan bahwa seluruh harta yang wajib dizakatkan disyaratkan berlalu satu tahun, kecuali bartambang, harta terpendam, dan hasil pertanian, karena jenis harta ini wajib dikeluarkan zakatnya pada saat ditemukan dan setiap panen, apabila telah memenuhi syarat-syarat lain.47 7. Berkembang Maksud “berkembang” dikembangkan
dengan
sengaja
di atau
sini
adalah
memiliki
harta itu
potensi
untuk
berkembang dalam rangka mendapatkan keuntungan.48 4. Tujuan Zakat Zakat sebagai salah satu rukun Islam mempunyai kedudukan yang
47 48
Abdul Aziz Dahlan (et al), op. cit., hlm. 1990. Ibid., hlm. 1988.
sangat penting,49 dalam hubungan ini adalah sasaran praktisnya. Tujuan tersebut adalah: a. Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup serta penderitaan. b. Membantu pemecahan permasalahan yang di hadapi para mustahik (penerima zakat) c. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama muslim dan manusia pada umumnya. d. Menghilangkan sifat kikir atau serakah para pemilik harta. e. Membersihkan sifat iri dan dengki (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin. f. Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin dalam suatu masyarakat. g. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang terutama pada mereka yang mempunyai harta. h. Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyeahkan hak orang lain yang ada padanya. i.
Sarana pemeratan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial.50
5. Hikmah Dan Manfaat Zakat Zakat adalah ibadah dalam bidang harta yang sebagaimana telah 49
Direktorat Pembinanan Perguruan Tinggi Agama Islam, op. cit., hlm. 233. Gustian Djuanda (et.al)., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 15. 50
dikemukakan diatas yang mengandung hikmah dan manfaat yang begitu besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan orang yang berzakat (muzakki), penerimanya (mustahik), harta yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Hikmah dan manfaat tersebut antara lain tersimpul sebagai berikut: 1. Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikmatnya, menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta yang dimiliki. Dengan bersyukur, harta dan nikmat akan semakin bertambah dan berkembang,51 sebagaiman firman Allah SWT : ÇÐÈ Ó‰ƒÏ‰t±s9 ’Î1#x‹tã ¨bÎ) ÷Länö•xÿŸ2 ûÈõs9ur ( öNä3¯Ry‰ƒÎ—V{ óOè?ö•x6x© ûÈõs9 öNä3š/u‘ šc©Œr's? øŒÎ)ur Artinya:
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".(QS. Ibrahim: 7)52
2. Karena zakat merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka, terutama fakir miskin, kearah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus 51 52
Didin Hafidhuddin, op. cit., hlm. 9. Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 346.
menghilangkan sifat iri, dengki dan hasrad yang mungkin timbul dari kalangan mereka, ketika mereka meihat orang kaya yang memiliki harta cukup banyak. Zakat sesungguhnya bukanlah sekedar memenuhi kebutuhan para mustahik, terutama fakir miskin yang bersifat konsumtif yang bersifat sesaat, akan tetapi
memberikan kecukupan dan
kesejahteraan kepada mereka, dengan cara menghilangkan ataupun memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita. 3. Sebagai pilar amal bersama antara orang-orang kaya yang berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya untuk berjihad dijalan Allah, yang karena kesibukannya tersebut, ia tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berusaha dan berikhtiar bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya53. Sebagaiman firman Allah SWT: †Îû $\/ö•|Ê šcqãè‹ÏÜtGó¡tƒ Ÿw «!$# È@‹Î6y™ †Îû (#rã•ÅÁômé& šúïÏ%©!$# Ïä!#t•s)àÿù=Ï9 Ÿw öNßg»yJŠÅ¡Î/ NßgèùÌ•÷ès? É#’ÿyè-G9$# šÆÏB uä!$u‹ÏZøîr& ã@Ïd$yfø9$# ÞOßgç7|¡øts† Äßö‘F{$# ÇËÐÌÈ íOŠÎ=tæ ¾ÏmÎ/ ©!$# cÎ*sù 9Žö•yz ô`ÏB (#qà)ÏÿZè? $tBur 3 $]ù$ysø9Î) šZ$¨Y9$# šcqè=t«ó¡tƒ Artinya: (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui .( QS. al-Baqarah: 273)54
53 54
Didin Hafidhuddin, op. cit., hlm. 11. Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 57.
Di samping sebagai pilar amal bersama, zakat juga merupakan salah satu bentuk konkret dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh ajaran Islam. Melalui syariat zakat, kehidupan orang-orang fakir, miskin dan orang-orang menderita lainnya akan terperhatikan dengan baik. Zakat merupakan salah satu bentuk pengejawantahan perintah Allah SWT untuk senantiasa melakukan tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran: ©!$# ¨bÎ) ( ©!$# (#qà)¨?$#ur 4 Èbºurô‰ãèø9$#ur ÉOøOM}$# ’n?tã (#qçRur$yès? Ÿwur ( 3“uqø)-G9$#ur ÎhŽÉ9ø9$# ’n?tã (#qçRur$yès?ur ÇËÈ É>$s)Ïèø9$# ߉ƒÏ‰x© Artinya Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksaNya .(QS. al-Maa’idah:2)55 4. Sebagai salah satu sumberdana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam. 5. Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat bukanlah membersihkan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian dari hak orang lain di dalam harta kita, sesuai dengan ketentuan Allah SWT yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 276-277: ¨bÎ)
55
ÇËÐÏÈ ?LìÏOr& A‘$¤ÿx. ¨@ä. •=ÅsムŸw ª!$#ur 3 ÏM»s%y‰¢Á9$# ‘Î/ö•ãƒur (#4qt/Ìh•9$# ª!$# ß,ysôJtƒ
Ibid., hlm. 142.
óOßgs9 no4qŸ2¨“9$# (#âqs?#uäur no4qn=¢Á9$# (#qãB$s%r&ur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#qè=ÏJtãur (#qãZtB#uä šúïÏ%©!$# ÇËÐÐÈ šcqçRt“óstƒ öNèd Ÿwur öNÎgøŠn=tæ ì$öqyz Ÿwur öNÎgÎn/u‘ y‰ZÏã öNèdã•ô_r& Artinya: Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orangorang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati . 6. Untuk pembangunan kesejahtraan umat, zakat merupakan salah satu instrument pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan baik, dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan. Sebagaiman dalan al-Quran yang artinya: Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah
kepada
Allah.
Sesungguhnya
Allah
amat
keras
hukumannya . 7. Dorongan ajaran Islam yang begitu kuat kepada orang-orang yang beriman untuk berzakat, berinfak dan bersedekah menunjukkan bahwa ajaran Islam mendorong umatnya untuk mampu bekerja dan berusaha sehingga memiliki harta kekayaan yang disamping dapat memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya, serta berlomba-lomba menjadi muzakki. Zakat yang dikelola dengan baik akan mampu membukan
lapangan kerja dan usaha yang luas, sekaligus penguasaan aset-aset oleh umat Islam.56
B. Pengertian Pajak Secara Umum 1. Pengertian Pajak Pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada di dalam masyarakat. Jika tidak ada masyarakat, tidak akan ada pajak. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang pada suatu waktu berkumpul untuk tujuan tertentu.57 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pajak diartikan sebagai pungutan wajib, biasanya berupa uang yang
harus
dibayar
oleh
penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli
barang
dan
sebagainya.58 Secara terminologi, para ahli merumuskan pajak secara berbedabeda sesuai dengan titik berat pendekatan masing-masing. Hal ini tidak berbeda dengan definisi hukum dalam ilmu hukum Barat pun tidak ada kesepakatan para ahli tentang apa itu hokum. Kurang lebih 200 tahun yang lalu Immanuel Kant pernah menulis sebagai berikut: Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffi von Recht (masih juga para 56
Didin Hafidhuddin, op. cit., hlm. 14. Rochmad Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung: PT. Eresco, 1988, hlm. 1. 58 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 812. 57
sarjana hukum mencari-cari suatu definisi tentang hukum).59 Demikian pula, pajak dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda sebagai berikut: 1. Bohari mengutip dari Prof.Dr.PJA. Adriani, pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan,
dengan
tidak
mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah
membiayai
pengeluaran-pengeluaran
umum
berhubung dengan tugas pemerintahan.60 2. Ibrahim Hosen, pajak adalah iuran wajib pajak dipungut oleh pemerintah dari warga negara/rakyat berdasarkan aturan-aturan tertentu. Gunanya antara lain untuk menutup biaya produksi barangbarang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Selain
itu
untuk
membiayai
pengeluaran-pengeluaran
umum
sehubungan dengan tugas-tugas negara dalam menyelenggarakan pemerintahan.61 3. Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbal (kontraprestasi), yang ditunjukkan 59
langsung
dapat
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hlm. 35. 60 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 19. 61 Ibrahim Hosain, “ Hubungan Zakat dan Pajak Dalam Islam, dalam B. Wiwoho, et al., Zakat dan Pajak, Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara, 1992, hlm. 138.
umum", dengan penjelasan sebagai berikut: "Dapat dipaksakan" artinya: bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan; terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa-timbal-balik tertentu, seperti halnya dengan retribusi.62 4. Smeeths, mendefinisikan pajak adalah prestasi pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah membiayai pengeluaran pemerintah.63 Berdasarkan keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi atau imbalan langsung dari negara. Hasilnya ditujukan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak, dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik, dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara. Kata "pajak" jika didahului dengan kata "hukum" dan dirangkai menjadi kata "hukum pajak" maka berarti suatu kumpulan peraturanperaturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Hukum pajak sering juga
62 63
Erly Suandy, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 11. Bohari, op. cit., hlm.
disebut hukum fiskal. Istilah pajak sering disamakan dengan istilah fiskal, yang berasal dari bahasa latin fiscal yang berarti kantong uang atau keranjang uang. Istilah fiskal yang dimaksud sekarang adalah kas negara. Sedangkan fiscus disamakan dengan pihak yang mengurus penerimaan negara atau disebut juga administrasi pajak.64 2. Ciri-Ciri dan Fungsi Pajak a. Ciri-Ciri Pajak Ciri-ciri pajak yang tersimpul dari berbagai definisi tentang pajak adalah: 1. Pajak merupakan peralihan kekayaan dari orang atau badan kepada pemerintah 2. Pembayar pajak harus berdasarkan undang-undang. 3. Sifatnya dapat dipaksakan. 4. Tidak ada kontra prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. 5. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta). 6. Pajak
digunakan
untuk
membiayai
pengeluaran-pengeluaran
pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.65
64 65
Erly Suandy, op. cit., hlm. 12. Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2004, hlm. 5.
b. Fungsi Pajak Berdasarkan ciri-ciri yang melekat dari pajak itu, maka pajak mempunyai fungsi sebagai berikut: 1. Fungsi budgetair/financial yaitu memasukkan uang sebanyakbanyaknya ke kas negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. 2. Fungsi regulerend/fungsi mengatur yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik dengan tujuan tertentu.66 3. Teori-Teori Pemungutan Pajak Terdapat beberapa teori tentang pemungutan pajak, di antaranya adalah: a. Teori Asuransi Negara dalam melaksanakan tugasnya, mencakup pula tugas melindungi jiwa raga dan harta benda perseorangan. Oleh sebab itu negara disamakan dengan perusahaan asuransi, untuk mendapat perlindungan warga negara membayar pajak sebagai premi. Teori ini sudah lama ditinggalkan dan sekarang praktis tidak ada pembelanya lagi, sebab selain perbandingan ini tidak cocok dengan kenyataan, yakni jika orang misalnya meninggal, kecelakaan atau kehilangan, negara tidak akan mengganti kerugian seperti halnya dalam asuransi. 66
Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta: Andi, 2003, hlm. 1.
Di samping itu tidak ada hubungan langsung antara pembayaran pajak dengan nilai perlindungannya terhadap pembayar pajak. b. Teori Kepentingan Menurut teori ini pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin banyak individu mengenyam atau menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya. Teori ini meskipun masih berlaku pada retribusi sukar pula dipertahankan,
sebab
seorang
miskin
dan
penganggur
yang
memperoleh bantuan dari pemerintah menikmati banyak sekali jasa dari pekerjaan negara, tetapi mereka justru tidak membayar pajak.67 c. Teori Gaya Pikul Dasar teori ini adalah asas keadilan yaitu orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. Pajak yang harus dibayar adalah menurut gaya pikul seseorang yang ukurannya adalah besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran yang dilakukan. Mr. A.j. Caren Stuart menyatakan asas gaya pikul dengan sebuah jembatan dengan menjelaskan bahwa yang pertama harus dipikul adalah bobot jembatan itu sendiri baru kemudian dibebani dengan beban yang lain. Artinya bahwa yang harus diperlukan dalam kehidupan seseorang tidak dimasukkan dalam pengertian gaya pikul. 67
Erly Suandy, op. cit., hlm. 20.
Hal ini sesuai dengan pendapat dari Sinninghe Damste bahwa gaya pikul ditentukan berdasarkan
beberapa
komponen
yaitu
penghasilan, kekayaan dan susunan keluarga wajib pajak.68 d. Teori Kewajiban Mutlak/ Teori Bakti Teori ini didasari paham organisasi negara (organische Staatsleer) yang mengajarkan bahwa negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Negara harus mengambil tindakan atau keputusan yang diperlukan termasuk keputusan dibidang pajak. Dengan sifat seperti itu maka negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya. Menurut teori ini dasar hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat dengan negara, di mana negara berhak memungut pajak dan rakyat berkewajiban membayar pajak.
Kelemahan dari teori ini adalah negara bisa menjadi otoriter sehingga mengabaikan aspek keadilan dalam pemungutan pajak.69 e. Teori Gaya Beli Teori ini menekankan bahwa pembayar pajak yang dilakukan kepada negara dimaksudkan untuk memlihara masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Gaya beli suatu rumah tangga dalam
68 69
Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, op. cit., hlm. 14. Erly Suandy, op. cit., hlm.21.
masyarakat adalah sama dengan gaya beli suatu rumah tangga negara. Pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara lebih ditekankan pada fungsi mengatur (regulerent) dari pajak agar masyarakat tetap eksis.70 4. Pembagian Pajak a. Menurut golongannya 1. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: pajak penghasilan. 2. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: pajak pertambahan nilai. b. Menurut sifatnya 1. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan diriwajib pajak. Contoh: pajak penghasilan. 2. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknyatanpa memperhatikan
keadaan
diri
wajib
pajak.
Contoh:
pajak
pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. c. Menurut lembaga pemungutnya 1. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan 70
Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, op. cit., hlm. 15.
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunandan bea materai. 2. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untukmembiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas: •
Pajak propinsi, contoh: pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air, pajak bahan baker kendaraan bermotor.
•
Pajak kabupaten/kota, contoh: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame dan pajak penerangan jalan.71
71
Mardiasmo, op. cit., hlm. 5.
BAB III KONSEP ZAKAT DAN PAJAK DALAM PEMIKIRAN MASDAR FARID MAS’UDI
A. Biogarafi Masdar Farid Mas’udi 1. Latar Belakang Keluarga Masdar Farid Mas’udi lahir dari pasangan KH Mas’udi bin Abdurrahman dan ibunda Hj. Hasanah, di dusun Jombor, Cipete, Cilongok, Purwokerto pada tanggal 18 September 1954. 72 Ayahnya merupakan seorang tokoh masyarakat atau sering disebut sebagai kyai yang cukup terkenal oleh masyarakat melalui kegiatan ta lim (pengajian) dari kampong kekampung. Kakeknya, kyai Abdurrahman Jombor, dikenal dengan pesantren salaf yang sebelumnya telah dirintis oleh moyangnya, yang konon merupakan turunan keenam dari mbah kyai Abdussomad yang sampai sekarng pun makam beliau masih selalu diziarahi oleh masyarakat Islam Banyumas khususnya.73 2. Pendidikan Pendidikan formal Masdar Farid Mas’udi diawali dari pendidikan Dasar atau Ibtidaiyah yang diselesaikannya pada tahun 1966.74 Masdar langsung dikirim ayahnya ke Pesantren salaf di Tegalrejo Magelang, dibawah 72
Imdadun Rahmat, dkk, Islam Pribumi: MendialogkanAgama Membaca Realitas, Jakarta: Erlangga, 2003, hlm. 234. 73 Ahmad Kosasi Marzuki, http://www.pondokpesantren.net/ponpren, Download pada tanggal 15/ 7/2010. 74 www.nu.or.id, Downloat pada tanggal 11/9/ 2010.
asuhan kyai Khudlori. Tiga tahun di Tegalrejo, Masdar telah menamatkan dan menghafalkan Alfiyah Ibnu Aqil. Selanjudnya Masdar pindah ke pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta, berguru kepada kyai Ali Maksoem (Rois Am PBNU tahun 1988-1999). Meskipun dari Tegalrejo baru menyelesaikan pendidikan setara dengan kelas 3 Tsanawiyah, di Krapyak Masdar langsung diterima dikelas 3 Aliyah. Setelah menamatkan Aliyah Masdar tidak langsung melanjutkan di Perguruan Tinggi, namun tetap tinggal di pesantren dan mengajar serta menjadi asisten pribadi kyai Ali Maksoem sebagai dosen luar biasa di IAIN Sunan Kalijaga. Baru pada tahun 1972, Masdar melanjutkan pendidikan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Syari’ah Jurusan Tafsir Hadits dan selesai pada tahun 1980. Selama menjadi mahasisiwa, Masdar membut tradisi baru, yakni pengajian kitab kuning dan mengkaji Alfiyah bagi kalangan mahasiswa di Masjid Jami’ IAIN Sunan Kalijaga.75 Setelah melalui berbagai pengalaman, Masdar melanjutkan Program pasca sarjananya di Fakultas Filsafat Universitas Indonesia, Jakarta (pada tahun 1994-1997).76 3. Pengalaman Organisasi Perjalanan karirnya dimulai ketika semangatnya berkobar sebagai aktivis mahasiswa di IAIN Sunan Kalijaga. Pada tahun 1973, terpilih sebagai
75 76
Ahmad Kosasi Marzuki, loc. cit., Imdadun Rahmat, dkk, op. cit., hlm. 234.
ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Krapyak, Yogyakarta hingga tahun 1975. Kemudian terpilih sebagai Sekjen Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga. Kemudian sekitar tahun 1983, Masdar terpilih sebagai ketua 1 PB-PMII (Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).77 Setelah menyelesaikan kuliah, tahun 1980 Masdar hijrah ke Jakarta, dan bekerja untuk lembaga Misi Islam NU dan menjadi wartawan diberbagai mass media ibu kota.78 Sebagai kordinator program P3M (Penghimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) Masdar sempat menerbitkan jurnal Pesantren, yang pertama dan satu-satunya jurnal ilmiah Islam yang terbit 1984-1993 serta mengorganisir pelatihan-pelatihan bersama para kyai muda pada saat itu.79 Dipihak lain dengan didukung oleh Rabitah Ma’ahid Islam (RMI) dibawah pimpinan (alm) KH. Imran Hamzah dan (alm) KH. Wahid Zaini, Masdar merintis berbagai kegiatan kajian khazanah keislaman salaf melalui berbagai halaqah. Dimulai dari halaqah watucongkol tahun 1989, dengan tema “Memahami Kitab Kuning Secara Kontekstual”, kegiatan ini terus bergulir diberbagai daerah dengan keikutsertaan para kyai, baik kyai sepuh ataupun kyai muda. Salah satu dari bentuk outputnya yang monumental adalah Rumusan Metode Pengambilan Hukum yang menjadi keputusan
77
www.nu.or.id, loc. cit., Ahmad Kosasi Marzuki, loc. cit., 79 Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Wacana, Yogyakarta: LKiS, 1994, hlm. 222. 78
Munas NU Lampung 1992.80 Saat ini, Masdar menduduki jabatan sebagai Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sekaligus sebagai direktur P3M Jakarta, Anggota Dewan Etik ICW ( Indonesia Corruption Watch), serta Komisi Ombudsman Republik Indonesia.81 4. Karya-Karya Masdar Farid Masudi Terhitung cukup banyak kontribusi pemikiran Masdar dalam hal sosial yang berbasis keagamaan, terutama sejak aktif di P3M, diantara karya-karyanya adalah: 1. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, Jakarta: P3M, 1993. 2. Islam
Dan
Hak-Hak
Reproduksi
Perempuan:
Dialog
Fiqh
Pemberdayaan, Bandung: Mizan, 1997. 3. Pajak Itu Zakat Uang Allah Untuk Kemaslahatan Rakyat, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2010. 4. Artikel berjudul,” Zakat Sebagai Paradigma Pajak dan Negara”, dalam M. Tuwah dkk, Islam Humanis: Islam dan Persoalan Kepeimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum dan Masyarakat Marginal, Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2001.
80 81
Ahmad Kosasi Marzuki, loc. cit., www.nu.or.id, loc. cit.,
5. Artikel berjudul, Hak Milik dan Ketimpangan Sosial (Telaah Sejarah dan Kerasulan) , dalam Nurcholish Madjid dkk, Islam Universal, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007. 6. Artikel berjudul,” Zakat dan Keadilan Sosial”, dalam M. Imdadun Rahmat et., Islam Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta: Erlangga, 2003. B. Konsep Zakat dan Pajak Dalam Pemikiran Masdar Farid Mas’udi 1. Penciptaan Agama Keadilan Berdasarkan Zakat (Pajak) Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran yang normal (wajar), Islam tidak saja harus bisa dicerna oleh logika penalaran (ma qul), tetapi juga harus bisa dicerna oleh logika kesejarahan (ma mul). Orang bisa saja menilai seluruh rukun Islam adalah ma qul, tetapi dari rukun Islam tersebut, satu-satunya yang ma qul dan ma mul hanyalah zakat, Karena pencapaian keadilan sosial berawal dari persoalan harta.82 Sebagaimana para fuqaha, Masdar mendefinisikan zakat sebagai: Suatu sebutan untuk kadar tertentu dari harta tertentu yang wajib dibagikan untuk pihak yang juga tertentu Bertolah dari sejarah pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW bersama para sahabat membentuk suatu lembaga negara. Namun lembaga negara tersebut dibangun dengan penuh waspada, serta meyakinkan masyarakat akan pentingnya kontrol sosial (amar ma ruf nahi munkar) secara 82
Masdar Farid Mas’udi, “Zakat: Konsep Harta Bersih”, www.el-rahman-samarinda.com, Download pada taggal 7/ 11/ 2010.
berkesinambungan, agar keberadaan lembaga negara tetap sebagai alat, bukan hanya bagi kalangan tertentu saja, melainkan bagi kepentingan seluruh rakyat yang ada dalam otoritasnya. Dari sudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau kekuasaan pemerintah adalah amil yang harus melayani kepentingan segenap rakyat, dengan memberikan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat.83 Terkait dengan pajak, pada masa Islam merupakan upeti atau pungutan yang hanya ditarik Baitul Mal ketika mengalami kekosongan dana. Ketika dana zakat telah disalurkan, sementara negara memerlukan sesuatu dan bersifat mendesak, maka negara berhak menarik pajak terutama kepada orangorang yang memiliki harta berlebih. 84 Pajak memiliki arti yang sangat berbeda dengan zakat, perbedaan arti pajak dan zakat juga dapat dilihat dari kata asalnya. Zakat berasal dari kata kerja zaka yang berarti ketenangan jiwa, sedangkan pajak menurut syariah berasal dari kata daraba yang berarti memberatkan manusia,85 sebagaimana firmana Allah dalam al-Quran: ÞÚö‘F{$# àMÎ6.^è? $®ÿÊE $uZs9 ólÌ•øƒä† š•-/u‘ $oYs9 äí÷Š$$sù 7‰Ïnºur 5Q$yèsÛ 4’n?tã uŽÉ9óÁ¯R `s9 4Óy›qßJ»tƒ óOçFù=è% øŒÎ)ur 4†oT÷Šr& uqèd ”Ï%©!$# šcqä9ωö7tGó¡n@r& tA$s% ( $ygÎ=|Át/ur $pkÅ•y‰tãur $ygÏBqèùur $ygͬ!$¨VÏ%ur $ygÎ=ø)t/ .`ÏB ä'©!Éj‹9$# ÞOÎgøŠn=tæ ôMt/ÎŽàÑur 3 óOçFø9r'y™ $¨B Nà6s9 ¨bÎ*sù #\•óÁÏB (#qäÜÎ7÷d$# 4 îŽö•yz uqèd ”Ï%©!$$Î/ «!$# ÏM»tƒ$t«Î/ šcrã•àÿõ3tƒ (#qçR%x. óOßg¯Rr'Î/ y7Ï9ºsŒ 3 «!$# šÆÏiB 5=ŸÒtóÎ/ râä!$t/ur èpuZx6ó¡yJø9$#ur 83
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo Libral, Jakarta: Erlangga, 2006, hlm. 354. 84 Gusfahmi, op. cit., hlm. 210. 85 Gazi Inayah, Teori Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003. hlm. 24.
ÇÏÊÈ šcr߉tF÷ètƒ (#qçR$Ÿ2¨r (#q|Átã $oÿÏ3 y7Ï9ºsŒ 3 Èd,yÛø9$# ÎŽö•tóÎ/ z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# šcqè=çGø)tƒur Artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, Kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi Kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta". lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. ( QS. al-Baqarah: 61)86 Secara bahasa maupun tradisi, daribah dalam pengunaannya memang mempunyai banyak arti, namaun para ulama memakai ungkapan daribah untuk menyebut harta yang dipungut secara wajib. Bahwa para ulama menyebut kharaj dan jizyah merupakan daribah.87 Dalam sejarah Islam, zakat dan pajak pernah ditetapkan secara bersamaan. Dalam literature fikih dan sejarah ditemukan istilah kharaj, jizyah dan usyr,88 dengan pengertian sebagai berikut: a. Kharaj pada awalnya merupakan pajak tanah yang dipungut dari nonmuslim ketika Khaibar ditaklukkan. Jumlah kharaj adalah tetap, yaitu setengah dari hasil produksi kepada negara.89 Sedangkan Masdar
86
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 11. Gusfahmi, op. cit., hlm. 27. 88 Nuruddin Mhd. Ali, op. cit., hlm. 3. 89 Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba Empat, 2002, hlm. 183. 87
berpendapat bahwa kharaj bukanlah pajak tanah, melainkan semacam retribusi sewa tanah negara yang dibayarkan oleh penggarapnya.90 b. Jizyah merupakan kewajiban keuangan atas penduduk non- muslim di negara Islam sebagai pengganti biaya perlindungan atas hidup, properti dan kebebasan untuk menjalani agama mereka masing-masing.91 c. Usyr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadaporang yang nilainya lebih dari 20 dirham. Rasulullah berinisiatif mempercepat peningkatan perdagangan, walaupun terjadi beban pendapatan negara.92 Berbeda dengan zakat yang karena kedudukannya sebagai rukun Islam. Maka dipandang sakral dan oleh sebab itu siapapun yang menanganinya dituntut sikap yang ekstra hati-hati, sedangakan kharaj, jizyah dan usyr tidak demikian. Secara eksplisit penyaluran dana zakat telah ditentukan dalam al-Quran, sedangkan kharaj, jizyah dan usyr lebih memiliki ruang kebebasan dalam menyalurkannya. Sebagai negara mayoritas penuduk muslim, Indonesia sejatinya telah mencanangkan tujuan dan konsep bernegara yang benar dan mulia. Tujuannya adalah keadilan sosial bagi semua, dengan landasan spiritual ketuhanan YME, landasan moral kemanusiaan yang adil dan beradab, landasan sosial persatuan dan kebinekaan dan acuan politik kerakyatan dalam kebermusyawaratan 90
Masdar Farid Mas’udi, op. cit., hlm. 53. Gusfahmi, op. cit., hlm. 119. 92 Muhammad, op. cit., hlm, 185. 91
perwakilan.93 Cita keadilan bagi manusia bukanlah suatu yang asing. Secara fitrah, dan sabda keadialan itu tersirat melalui ilham ketuhanan pada nurani setiap manusia. Oleh sebab itu, boleh dikatakan bahwa keislaman manusia pada dimensi ini adalah merupakan keislamannya pada suara nuraninya sendiri untuk menegakkan keadilan disatu pihak dan mnghindarkan kedzaliman dipihak lain. Seperti halnya suara nurani untuk mengenal dan luluh dalam Tuhan itu bersifat universal, maka suara nurani untuk cita-cita keadilan pun demikian.94 Konsep keadilan Masdar tersebut bisa dikatakan sebagai konsep yang universal, bernilai kebenaran dan mutlak. Sehingga konsep keadilan yang secara tidak langsung mensejajarkan tuhan dengan prinsip keadilan, tidak memerlukan sebuah ijtihat ataupun modifikasi. Konsep keadilan dalam Islam sangat relevan dihubungkan dengan zakat. Keadialan bersifat primer dan masalah paling mendasar adalah ekonomi. Bagaimana orang yang kurang beruntung dapat merasakan kebahagiaan orang kaya. Oleh karena itu, dalam rangka mengentaskan kemiskinan tersebut, harus ada usaha sungguh-sungguh. Hal tersebut merupakan tanggung jawab sosial dan tanggung jawab untuk menegakkan keadilan yang mulia dari keadilan ekonomi. Itulah sebabnya, zakat merupaka
93
Laporan: Masdar Farid Mas’udi dalam seminar nusantara institute degan tema Pancasila, Agama dan Sistem Budaya Nasional, www. Damandiri Online.com Download pada tanggal 15 Agustus 2010. 94 Masdar Farid Mas’udi, op. cit., hlm. 15-16.
salah satu rukun dalam Islam yang bisa mengunakan kekuasaan negara (sebagai pajak).95 Rasa keadilan adalah suatu nilai yang abstrak, tetapi menuntut tindakan dan perbuatan yang konkret dan positif. Penunaian zakat adalah sebuah contoh konkret atas rasa keadilan sosial karena pembayaran zakat adalah berupa pemberian sejumlah harta yang sangat dicintai dan diberikan secara cuma-cuma. Tanpa rasa keadilan, zakat akan terasa sangat berat. Oleh karena itu, zakat hanya dipungut dari orang-orang kaya saja. Berbeda dengan pajak, siapa saja baik yang kaya ataupun yang miskin dapat terkena kewajiban pajak dengan motivasi kepentingan negara.96 Aggapan bahwa pajak yang dibayarkan oleh warga negara muslim dengan niat zakat hanya boleh diperuntukkan bagi umat Islam menjadi kurang tepat, karena pada perinsipnya kehadiran Islam adalah untuk menjadikan rahmat bagi semesta, sebagaimana dalam QS. al-Anbiya: 107 ÇÊÉÐÈ šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ZptHôqy‘ žwÎ) š•»oYù=y™ö‘r& !$tBur Artinya: Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.97 Dalam surat at-Taubah ayat 60 tentang mustahik zakat, sama sekali tidak ada catatan bahwa hanya orang yang beragama Islam saja yang berhak
95
Masdar Farid Mas’udi, Zakat dan Keadilan Sosial dalam Imdadun Rahmat, op. cit., hlm.
96
Abdurrachman Qadir, op. cit., hlm. 160. Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 461.
100. 97
menerima sadaqah tersebut.98 Berdasarkan pengamatannya, Masdar berpendapat bahwa zakat merupakan ajaran pokok Islam yang paling dekat dengan persoalan manusia, terutama mengenai keadilan .99 Umat Islam, terutama para pemimpin dan ulama tidak bisa melepaskan tanggung jawab atas terjadinya ketidakadilan semesta yang disebabkan oleh negara. Dengan memisahkan ajaran zakat dari lembaga pajak, umat Islam menjadi menanggung beban berat, karena harus melaksanakan dua macam kewajiban, zakat sebagai kewajiban agama dan pajak sebagai kewajiban negara. Oleh sebab itu, kewajiban zakat menjadi terkalahkan oleh kewajiban pajak.. Namun kenyataannya dalam dataran empiris tingkat kemampuan masyarakat tidak semuanya sama. Hal ini menjadikan suatu kritik terhadap sistem perpajakan khususnya di Indonesia, bahwa pemanfaatan atas proyekproyek yang dilakukan pemerintah, oleh masyarakat digunakan dalam batas dan tingkat yang berbeda. Sehingga dalam hal pajak, pemerintah harus melakukan suatu perencanaan yang efektif guna memelihara prinsip keadilan dalam regulasi pajak. 100 Hal ini sangat berbeda dengan zakat yang memang sudah teratur rapi dan memenuhi unsur keadilan yaitu hanya orang yang memenuhi kriteria wajib zakat saja yang berkewajiban berzakat dengan
98
Nuruddin Mhd. Ali, op. cit., hlm. 69. Masdar Farid Masudi, op. cit., hlm. 4. 100 Ahmad Dahlan, Keuangan Publik Islam: Teori dan Praktek, Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2008, hlm108. 99
ukuran yang tertentu juga. Dalam kontek Indonesia yang notabenya berpenduduk mayoritas Islam namun bukan negara Islam, nilai keadilan yang dirasakan akan berbeda dengan nilai keadilan pada negara Islam ataupun negara skuler. Karena tolak ukur masyarakat adil adalah suatu masyarakat yang bebas dari segala bentuk eksploitasi ekonomi dan dominasi budaya, agama, pengetahuan, idiologi dan gender.101 Ketika Indonesia harus mentransformasi sebuah sistem yang diinginkan untuk mencapai keadilan, maka harus melakukan transformasi pada dataran struktur dan sistem sekaligus kemudian akan berpengaruh pada perubahan sikap mental perorongan. Hal ini berarti bahwa sekalipun para pejabat telah diganti, namun struktur dan sistem tetap sama, maka perubahan serta pencapaian masyarakat adil tidak akan pernah terjadi. 102 2. Penyatuan Zakat dan Pajak Ada banyak cara ataupun pendapat untuk mewujudkan sebuah keadilan masyarakat dalam konteks kenegaraan. Berbagai contoh referensi pelaksanaan kebijakan dalam penentuan anggaran belanja negara, dari mulai zaman kepemimpinan Rasulullah SAW hingga pada masa sahabat serta kepemimpinan modern dapat dijadikan rujukan bagi penciptaan kesejahteraan negara, terutama menyangkut kemaslahatan penerapan ekonomi Islam dalam 101
Anang Haris Himawan ed., Epistemologi Syara Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Walisongo Press dan Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 145. 102 Ibid., hlm. 143.
negara. Salah satu persoalan laten dalam konsep ekonomi Islam adalah persoalan dualisme zakat dan pajak yang harus ditunaikan warga negara muslim. Hal ini telah mengandung perdebatan berlarut-larut hampir sepanjang sejarah Islam itu sendiri. Untuk itu Masdar menawarkan konsep untuk mengintegrasikan zakat dan pajak, sehingga kewajiban seorang muslim terhadap agama dan negara dapat terlaksana secara simultan.103 Merujuk kepada kepemimpinan pada masa awal Islam, Rasulullah SAW mengharamkan diri dan keluarganya dari dana zakat (pajak). Dana tersebut dihimpun dari rakyat dan sepenuhnya digunakan untuk tujuan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat. Dengan tujuan spiritual etis ini Rasulullah SAW mengajak umatnya untuk menunaikan kewajiban pajaknya dengan niat zakat, bukan semata-mata sebagai beban yang dipaksakan oleh penguasa/negara, melainkan sebagai kewajiban yang dihayati dari dalam yang kemudian akan berdampak pada kesucian persoalan bagi pribadi yang melaksanakan.104 Masdar meyakini bahwa zakat adalah sebuah mekanisme spiritualisasi bermasyarakat melalui pintu masuk yang paling material. Sementara pintu masuk yang paling material dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah pajak, karena tidak ada negara yang bisa hidup tanpa adanya pajak. Oleh karena itu, Islam mensucikan kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan
103 104
Nuruddin Mhd. Ali, op. cit., hlm. 57. Masdar Farid Mas’udi, op. cit., hlm. 96-97.
berpolitik melalui zakat (pajak).105 Berdasarkan hal tersebut, Masdar berpendapat bahwa:“ Pemisahan lembaga zakat dan lembaga pajak adalah satu hal yang sesat dan menyesatkan. Karena konsep zakat adalah merupakan konsep pajak yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, tanpa memandang agama serta suku bangsa. Pada dasarnya, hakekat membayar pajak pada saat ini sama saja dengan membayar zakat, hanya saja tidak disadari. Oleh karena itu, setiap orang yang membayar pajak harus disertai dengan nilai membayar zakat kemudian setelah itu harus melakukan kontrol terhadap negara agar dana tersebut tidak diselewengkan”.106 Perbedaan antara yang niat dan yang tidak adalah menyangkut hak diakhirat nanti. Pembayaran pajak dengan niat zakat akan memperoleh pahala spiritual-uhrawi, karena dengan niat demikian itulah harapannya. Sedangkan yang tidak disertai niat maka ia tidak memperoleh hal tersebut.107 Niat adalah ruh, persambungannya adalah Tuhan. Sedangkan amal seperti sedekah/pajak adalah badan persambungannya dengan manusia. Keduanya berbeda, tetapi tidak untuk dipisahkan. Oleh karena itu, sebagaimana tercermin dalam konsep zakat, harta diserahkan kepada negara sebagai kelembagaan kepentingan manusia dalam mengatur kehidupannya.
105
Muhtar Sadili ed., Problematika Zakat Kontemporer, Jakarta: Forum zakat (FOZ), 2003,
hlm. 172. 106 107
Masdar Farid Mas’udi, Zakat dan Keadilan Sosial, Imdadun Rahmat, op. cit., hlm. 103. Masdar Farid Mas’udi, op.cit., hlm. 104.
Sedangkan untuk tuhan, cukup niat yang menjiwai dan melatar belakangi penyerahan pajak itu saja.108
C. Metode Penalaran Hukum Masdar Farid Mas’udi Terhadap Penyatuan Zakat dan Pajak Wacana fikih sebagai potret luar dari hukum Islam selama ini terlihat dingin dan kurang menunjukkan pemihakan (engagement) terhadap kepentingan masyarakat, dalam pandangan Masdar disebabkan karena adanya kelemahan paradigma, orientasi, prioritas dan perwatakan fikih itu sendiri. Oleh karena itu watak ekslusif dalam fikih yang parsial (juz iyah), kasuistik dan micro oriented, formulasi fikih yang hanya berguna pasca kejadian, mengabaikan masalahmasalah strategis dan cenderung formalistik sehingga perlu dicariakan rumusan pengganti agar mampu menghadirkan kemaslahatan universal serta keadilan sosial.109 Secara garis besar, pemikiran masdar adalah memiliki paradigma yang didominasi oleh pembahasan kemaslahatan-keadilan, demokrasi, hak asasi manusia yang muncul sebagai cita luhur agama Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Dalam rangka pencapaian agama tersebut, melalui penyatuan zakat dan pajak, ada dua rumusan yang ditawarkan olehnya, yaitu:
108
Ibid., hlm. 149. Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Naral Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LKiS, 2003, hlm. 98. 109
1. Konsep Kemaslahatan Sosial Dalam konteks kekinian, menurut Masdar segala bentuk tawaran teoritis baik didukung oleh nas ataupun tidak, maka segala bentuk yang menjamin kemaslahatan manusia adalah sah, dan umat Islam memiliki keterikatan untuk mengambil dan merealisasikannya.110 Masdar mengkritik keterikatan umat Islam yang berlebihan terhadap teks (nas), seperti yang dianut oleh kaum ortodoks. Sebab menurutnya sikap seperti ini akan membuat prinsip kemaslahatan hanya menjadi jargon kosong. Bertolak dari pemikiran seperti ini, kaidah yang selama ini dipegang teguh para ulama, yakni idza sahhal hadits fahuwa madzhabiy (jika suatu hadits (ajaran yang bersandar pada Nabi) telah diabsahkan keasliannya, itulah madzhabku) perlu ditinjau kembali karena ia lebih meperhatikan bunyi harfiah teks (nas) daripada kandungan substansinya. Lebih tepatnya, apa yang harus dipegangi
sebagai
kebenaran
adalah
apa
yang
diyakini
membawa
kemaslahatan. Sebagai konsekuensinya, ia bisa disubstitusi dengan kaidah yang berbunyi idza shahhatil mashlahatu fahiya madzhabiy (Apabila kemaslahatan (baca: tuntutan keadilan dan kesejahteraan bersama pada sesuatu), telah menjadi absah, itulah madzhabku).111 Dalam hukum yang digunakan Masdar sebagai landasan konsep kemaslahatannya tersebut adalah: 110
Masdar Farid Mas’udi, Konsep Pajak Mendeterminasi Akhlak Negara, Makalah tidak
diterbitkan. 111
Masdar Farid Mas’udi, op. cit., hlm.110.
a. al-Quran 1. QS. al-Anbiya:107 ÇÊÉÐÈ šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ZptHôqy‘ žwÎ) š•»oYù=y™ö‘r& !$tBur Artinya: Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.112 2. QS. an-Naml: 77 ÇÐÐÈ tûüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 ×pyJômu‘ur “Y‰çlm; ¼çm¯RÎ)ur Artinya: Dan Sesungguhnya Al qur'an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.113 3. QS. al-Hajj: 78 4 8lt•ym ô`ÏB ÈûïÏd‰9$# ’Îû ö/ä3ø‹n=tæ Ÿ@yèy_ $tBur öNä38u;tFô_$# uqèd 4 ¾ÍnÏŠ$ygÅ_ ¨,ym «!$# ’Îû (#r߉Îg»y_ur ãAqß™§•9$# tbqä3u‹Ï9 #x‹»yd ’Îûur ã@ö6s% `ÏB tûüÏJÎ=ó¡ßJø9$# ãNä39£Jy™ uqèd 4 zOŠÏdºt•ö/Î) öNä3‹Î/r& s'©#ÏiB no4qx.¨“9$# (#qè?#uäur no4qn=¢Á9$# (#qßJŠÏ%r'sù 4 Ĩ$¨Z9$# ’n?tã uä!#y‰pkà- (#qçRqä3s?ur ö/ä3ø‹n=tæ #´‰‹Îgx© ÇÐÑÈ çŽ•ÅÁ¨Z9$# zO÷èÏRur 4’n<öqyJø9$# zN÷èÏYsù ( óOä39s9öqtB uqèd «!$$Î/ (#qßJÅÁtGôã$#ur
Artinya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekalikali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.114
112
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 461. Ibid., hlm. 540. 114 Ibid., hlm. 474.
113
4. QS. al-Maidah: 7 ( $oY÷èsÛr&ur $oY÷èÏJy™ öNçGù=è% øŒÎ) ÿ¾ÏmÎ/ Nä3s)rO#ur “Ï%©!$# çms)»sV‹ÏBur öNä3ø‹n=tæ «!$# spyJ÷èÏR (#rã•à2øŒ$#ur ÇÐÈ Í‘r߉•Á9$# ÏN#x‹Î/ 7OŠÎ=tæ ©!$# ¨bÎ) 4 ©!$# (#qà)¨?$#ur Artinya: Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: "Kami dengar dan Kami taati". dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah mengetahui isi hati(mu).115
b. al-Hadits Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang mau menerima keringanan-Nya seperti halnya pada hamba yang mau menerima kewajibannya.116 c. Kaidah Fiqh
Artinya: Kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya didasarkan pada pertimbanggan kemaslahatan bagi rakyatnya.117 Dengan memperhatikan ayat, hadits serta kaidah fikih tersebut, Masdar meyakini bahwa syariat/hukum yang diturunkan tuhan adalah subordinate dengan kemaslahatan. Artinya, aturanlah yang harus tunduk dan mengabdi pada kemaslahatan, bukan sebaliknya. Namun demikian tidak berarti keseluruhan aturan syari’at dapat dirubah dengan alasan maslahat atau
115 116
Ibid.. hlm. 144. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Bairut: Al Maktabah Al Islamy, 1978,
hlm. 108. 117
39.
M Adib Bisri, Terjemahan Al Faraidul Bahiyyah, Rembang: Menara Kudus, 1977, hlm.
menghindarkan mudarat kecuali berdasarkan dua pertimbangan: a. Jenis amaliah/tindakan hukum yang menjadi obyek peraturan b. Kemaslahatan macam apa yang dapat merubah/menetapkan ketentuan yang dimaksud.118 Panadangan Masdar tersebut hampir sama dengan pendapat at-Tufi yang cenderung mendahulukan maslahat dalam setiap permasalahan. Namun pendapat at-Tufi lebih ekstrim, karena baginya secara mutlak maslahah merupakan dalil syara’ yang terkuat. Maslahat bukan hanya merupakan hujjah semata ketika terdapat nas dan ijma’, melainkan juga harus didahulukan atas nas dan ijma’ disaat terjadi pertentangan antara keduanya.119 Dalam
konteks
kemaslahatan,
semua
manusia
ingin
meraih
kemaslahatan untuk dirinya. Begitu juga dengan hukum Islam, akan tetapi kemaslahatan yang dikehendaki manusia belum tentu sama dengan kemaslahatan hukum Islam atau sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menentukan sesuatu itu maslahat atau tidak, barometernya bukanlah selera/hawa nafsu manusia, melainkan patokannya adalah syara’/hukum Islam. 120 Ketika teks diyakini dan dianggap lebih mulia dari ijtihat serta yakin bahwa semua teks mengandung keadilan, kebenaran, rahmat dan maslahat
118
Masdar Farid Mas’udi, op. cit., hlm. 111-112. Ahmad Munif Suratmanaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Maslahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, hlm. 90. 120 Ibid., hlm.29. 119
sebagaimana tercantum dalam QS. al-Anbiya: 107, maka kita tidak akan berbuat lain kecuali menjadikan teks sebagai standar dalam menilai kemaslahatan. Pada saat teks (nas) dijadikan sebagai standar penilaian kemaslahatan, maka secara otomatis kita telah berperan besar dalam menghilangkan pertentangan antara teks dan kemaslahatan, karena pada saat itu kita telah berinteraksi dengan kemaslahatan yang selaras dengan teks (nas).121 Untuk itu, Masdar mempertegas bahwa konsep kemaslahatan yang diusungnya tersebut merupakan salah satu bentuk ijtihad, dengan syarat: a. Maslahat tersebut jelas-jelas tidak akan menimbulkan bahaya/madharat bagi siapapun (syarat material) b. Maslahat tersebut timbul bukan atas kepentingan perorangan belaka, tetapi harus obyektif (syarat formal) Bentuk madharat nyata atas pemisahan lembaga zakat dan pajak menurut Masdar adalah tiadanya dispensasi pembayaran pajak atas umat Islam yang telah membayar zakat, meskipun sebagaimana tercantum dalam UU No. 38 tahun 2000 tentang pajak, zakat bisa sebagai pengurang pajak, tetap saja umat Islam diberi tanggung jawab gandan.122 2. Rekontruksi Konsep Qat i-Zanni dalam Nas Pada awalnya, al-Quran merupakan kalam Allah yang tidak berwujud 121
Ahmad Al Rasum dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad: Antara Teks, Realita dan Kemaslahatan Sosial, Jakarta: Erlangga, 2002, hlm. 32. 122 Masdar Farid Mas’udi, loc. cit.,
nyata seperti suara atau tulisan. Dalam perkembangaanya, al-Quran telah dibukukan dengan mengunakan bahasa Arab sebagai sarana komunikasi. AlQuran berasal dari Allah SWT, namun dalam penggalian, makna dan pesan yang dikandungnya, ada perbedaan penangkapan seseorang terhadap arti yang terkandung dalam nas bukan merupakan hal yang mustahil. Dalam upaya pemahaman al-Quran dan hadits perspektif penalaran fiqh, maka nas-nas tersebut dalam istilah qat i dan zanni, untuk lebih memperjelas wilayah ijtihad bagi para ulama. Pandangan umum mengenai ijtihad yang selama ini berjalan bisa dikatakan hanya menjangkau sasaran atau hal-hal yang bersifat zanni (teks yang tidak pasti) dan kurang mencermati dimensi ajaran yang diyakini sebagai nas qat i (teks yang dianggap pasti).123 Menurut Masdar, dalil qat i dalam hukum Islam sesuai dengan makna harfiyahnya adalah sebagai sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan bersifat fundamental. Sedangkan kategori zanni adalah seluruh ketentuan batang tubuh atau teks ketentuan normatif yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menterjemahkan yang qat i (nilai kemaslahatan dan keadilan) dalam kehidupan nyata. Namun demikian, ayat-ayat qat i bisa diijtihadi dalam rangka124:
123 124
Mahsun Fuad, op. cit., hlm. 100. Masdar Farid Mas’udi, op. cit., hlm. 17.
a. Menemukan rangka ontologis dari prinsip-prinsip yang dikandungnya b. Untuk menemukan kerangka aksiologis, yakni mengenai cara, metode bagaimana prinsip-prinsip itu diaktualisasikan dalam proses sejarah yang terus berubah. Secara eksplisit, rekontruksi konsep qat i-zanni ini mengancam ketentuan formalitas. Kecenderungan yang begitu kuat dalam mengubah ketentuan-ketentuan yang bersifat teknis ini, dengan sendirinya akan menanggalkan banyak ketentuan legal formal, karena dipandang tidak lagi sesuai kebutuhan. Dalam hal ini, Masdar menyatakan bahwa bagaimanapun, ketentuan legal formal harus menjadi acuan tingkah laku masyarakat. Segala persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat harus ditundukkan pada ketentuan legal formal yang berlaku dan sah. Akan tetapi, pada saat yang sama, hendaknya selalu disadari sedalam-dalamnya bahwa patokan formal legal haruslah selalu tunduk pada cita kemaslahatan yang hidup dalam nurani masyarakat. 125 Pemilihan yang diberikan Masdar antara yang qat i dan zanni untuk menetukan kemaslahatan-keadialan sepertinya lebih merupakan kreasi yang lahir dari teks itu sendiri, dan bukan dari luar teks yakni realitas dan konteks kesejarahan. Pasalnya, kreasi semacam itu bisa menjebak seseorang pada pencarian ayat-ayat yang sesuai dengan kepentingannya, kemudian dipatok sebagai ayat qat i yang universal dan tidak berubah, sementara ayat-ayat 125
Ibid., hlm.134.
lainya yang dianggap tidak cocok dengan asumsinya dimasukkan dalam kategori zanni yang mudah berubah dan bersifat partikular, sehingga mudah dijatuhkan.126 Dalam penentuan suatu nas termasuk qat i dan yang lain adalah zanni terjadi ketidakkonsistenan. Hal ini dapat dilihat dari ketidakjelasan dan ketidaksamaan klasifikasinas qat i yang dibuat usuliyyun. Klasifikasi tersebut bersifat subyektif dan hukum yang dikandung bernilai relatif. Apabila dikaitkan dengan unsur historisitas yang melekat pada nas, maka nas-nas yang secara subyektif diklaim sebagai nas qat i dipengaruhi oleh sosio-kultural masyarakat pra-Islam dan masyarakat Arab itu sendiri. Artinya, ketentuanketentuan hukum yang diekspresikan Allah dan Rasul-Nya sangat dipengaruhi oleh kondisi setempat.127 Sebagai contoh konkret adalah mengenai obyek yang wajib dizakati. Masdar berpendapat bahwa cakupan harta yang harus dizakati (amwal azzakat) harus diperluas untuk zaman sekarang, tidak adil jika kita hanya mengunakan pungutan sedekah wajib atas kurma dan anggur, sementara kelapa sawit, apel, kopi dan tembakau yang tidak kalah ekonomisnya kita bebaskan begitu saja dari kewajiban zakat. Juga pendapatan dari sektor pertanian wajib dikenakan zakat sementara sektor industri dan jasa
126
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo Liberal, Jakarta: Erlangga, 2006, hlm. 362. 127 Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 264.
dibebaskan. Penentuan obyek pada masa Rasulullah SAW tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat pada saat itu. Jika suatu jenis kekayaan tertentu seperti industri dan sebagainya sudah ada pada zaman Rasulullah SAW, maka hal tersebut akan dikenakan zakat.128
128
Mahsun Fuad, op. cit., hlm. 104.
BAB IV ANALISIS KONSEP ZAKAT DAN PAJAK DALAM PEMIKIRAN MASDAR FARID MAS’UDI
A. Analisis Terhadap Konsep Zakat dan Pajak Dalam Pemikiran Masdar Farid Mas’udi Pada awal Islam ada kejelasan dalam kewajiban zakat dan pajak. Zakat diwajibkan bagi orang muslim, sedangkan pajak (jizyah) diwajibkan bagi orang non muslim. Hal ini disebabkan karena bentuk pemerintahan pada waktu itu adalah khilafah (negara Islam), dimana al-Quran dan hadits menjadi sumber hukumnya. Akan tetapi jika melihat konteks Indonesia yang berbentuk negara republik meskipun mayoritas penduduknya adalah muslim, realitas yang terjadi adalah dua kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang Islam di Indonesia, yaitu kewajiban agama berupa zakat dan kewajiban negara berupa pajak. Karena tidak ada negara otoriter maupun demokratis yang dapat bertahan hidup dan menjalankan roda kekuasaannya tanpa pajak rakyat. Pajak dibayar, negara tegak pajak diboikot, negara ambruk.129 Sebagai upaya penyelesaian tersebut, Masdar berpendapat bahwa zakat dan pajak harus disatukan dan dikelola oleh negara, dengan masuknya zakat kedalam pajak ataupun bisa disebut dalam kebijakan fiskal negara maka akan mengakibatkan beberapa implikasi sosial ekonomi
129
Masdar Farid Mas’udi, Pajak itu Zakat Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2010, hlm. 70.
negara. Berkaitan dengan zakat sebagai pengaruh atas kewenangan negara terhadap pajak, terdapat UU Nomor 38 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengelolaan zakat bukanlah lembaga resmi negara melainkan suatu badan atau lembaga yang khusus dibentuk dalam rangka menampung aspirasi teologis umat Islam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ). Keberadaan lembaga ini secara hukum tentu akan dapat menambah luasnya kewenangan daerah, dalam kebijakan fiskal ini, sebab Badan Amil Zakat pada umumnya berada di daerah-daerah, hingga saat ini telah mengumpulkan uang masyarakat dan kemudian didistribusikan kembali pada masyarakat.130 Perubahan
ataupun
perumusan
ulang
tersebut
diharapkan
dapat
memperbaiki karancuan-kerancuan yang ada didalamnya. Sudah saatnya negara memikirkan tentang perlunya zakat ini di desain dalam konteks kehidupan kenegaraan yang riil dan bukan sebagai lembaga “semi negara” atau lembaga suka rela yang diurus oleh swasta. Dengan terlibatnya negara dalam pengelolaan zakat ini, tentunya didahului dengan adanya undang-undang yang mengaturya, maka akan dapat meningkatkan kesejahtraan rakyat, terutama umat Islam yang masih terbelakang.131 Sayangnya dalam hal ini Masdar tidak memberikan tawaran, mengenai sistem dan pola penanganan pajak dengan spirit zakat. Secara keseluruhan, hal 130
Edi Slamet Irianto dan Syarifudin Jurdi, Politik Perpajakan: Membangun Demokrasi Negara, Yogyakarta:UII Press, 2005, hlm. 105. 131 Ibid., hlm. 160.
tersebut diserahkan kepada kebijakan pemerintah, dengan tolak ukur pencerminan prinsip etika dan moralitas zakat, yakni keadilan dan kemaslahatan semesta, dimana yang mampu dapat menunaikan kewajibannya untuk membantu yang lemah serta membiayai kepentingan bersama.132 Menurut Masdar, jika pengelola zakat (pajak) adalah negara, maka hak atas penerimaan dan pengelolaan dana tersebut adalah orang-orang atau fungsifungsi yang terlibat dalam 4 bidang tangung jawab:133 a. Pengontrolan kebijakan zakat (pajak) sebagaimana disepakati oleh rakyat wajib zakat (pajak) b. Aparat pemungut/pencatat zakat (pajak) c. Aparat administrasi perzakatan (perpajakan) d. Segenap aparat departemen teknis yang bekerja untuk kesejahteraan (kemaslahatan) rakyat dengan dana zakat (pajak) Hal ini berarti bahwa semua lembaga pengelola zakat (pajak) berada dibawah naungan dan pengawasan negara, sementara lembaga negara tersebut berada dibawah kontrol sosial masyarakat yang kuat dengan alasan bahwa, uang ataupun dan yang dikelola adalah milik Allah SWT yang merupakan amanat dari rakyat bagi segenap rakyat (mustahik).134 Dampak positif lain dari pemikiran Masdar tersebut adalah bagi petugas amil zakat yang selama ini terkesan sebagai profesi yang kurang menjanjikan 132
Lihat Masdar Farid Mas’udi, op. cit., hlm. 105-106. Ibid., hlm. 129. 134 Zainudin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 116.
133
kerena bersifat suka rela. Jika pengelolaan zakat dibawah naungan negara, maka diharapkan profesi amil zakat lebih terangkat dan terjamin kualitasnya. Sebagaimana zakat, kebijakan membayar pajak juga merupakan sumber pemasukan bagi negara yang memiliki daya paksa. Namun fungsi pajak keseluruhan belum semuanya terlaksana. Pajak baru mampu menjadi sumber pendapatan negara (budgeter) semata untuk mendanai berbagai kebutuhan pemerintah dalam menyelenggarakan negara, belum berfungsi sebagai regulator atau pemindah kekayaan dari si kaya kepada si miskin.135 Secara konsep sebagaimana tercantum dalam undang-undang, pajak merupakan unsur hukum publik, yakni hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.136 Dengan demikian ada persoalan timbal balik yang secara tidak langsug berlaku tanpa membeda-bedakan unsur apapun asalkan tidak
melanggar undang-undang. Idealnya filosofi pajak adalah untuk
menciptakan keadilan, agar kaum yag lemah dapat menikmati sejumlah hasil yang didistribusikan melalui media negara sehingga dapat hidup menurut standar hidup yang normal dalam wilayah negara yang merdeka.137 Namun kenyataannya Masyarakat miskin semakin bertambah setiap tahunnya. Hal ini berarti bahwa konsep perpajakan ataupun perzakatan kita belum berhasil. Ketika Masdar mencoba menyatukan zakat dan pajak, maka harapan yang muncul adalah kesadaran dan keihalasan seluruh masyarakat dalam membayar 135
Gusfahmi, op. cit., hlm. 9. Mardiasmo, op. cit., hlm. 4. 137 Slamet Edi Irianto dan Syarifudin Jurdi, op. cit., hlm. 102. 136
zakat (pajak), sehingga dengan kesadaran tersebut diharapkan uang zakat (pajak) akan terkumpul secara keseluruhan, tanpa membebani dua kali lipat kewajiban yang selama ini disinyalir menjadi faktor kurang efektifnya perpajakan di Indonesia. Namun demikian menurut penulis bahwa gagasan tentang penyaruan zakat dan pajak dalam kesatuan hukum memerlukan beberapa tahap untuk kemudian disosialisasikan kepada mayarakat, disebabkan: 1. Pemahaman masyarakat selama ini antara zakat dan pajak adalah berbeda. Zakat adalah kewajian agama (ibadah), merupakan rukun dari kelima rukun Islam, walaupun didalamnya mengandung unsure sosial, namun ia adalah saudara sekandung dari salat. Tarif dan nisab ditentukan oleh Allah SWT serta pedistribusiannya pun mendapatkan ketentuan dari Allah SWT. Sedangkan kewajiban pajak bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh penguasa atau pemerintah sebagai ulil amri yang tidak berkaitan sama sekali dengan ibadah. Dengan perkataan lain sumber hukum zakat adalah firman Allah sedangkan pajak sumber hukumnya pemikiran yang dituangkan dalam undang-undang suatu negara. 2. Dari sudut sanksinya bahwa meskipun antara keduanya terdapat kesamaan, yaitu bila wajib zakat atau wajib pajak telah menyerahkannya kepada petugas, maka kewajibannya itu telah terpenuhi. Zakat dan pajak sama-sama mengandung unsur memaksa, terhadap yang tidak membayar zakat (pajak), dan dapat dijatuhi sanksi.
3. Dari kelestariannya bahwa zakat adalah kewajiban yang lestari, berlaku terus menerus sepanjang masa, kewajiban yang bersifat kekal dan abadi, tak dapat dibatalkan atau dilikuidasi ke dalam bentuk lain oleh siapa pun sama seperti kewajiban salat. Sedangkan pajak, ia merupakan suatu kewajiban skuler yang bersifat tidak tetap, penguasa dapat mengubah, mengganti, menghentikan, bahkan dapat dihapus sama sekali. 4. Dari sudut tujuannya, kewajiban zakat terkandung tujuan yang bersifat moral spiritual. Dalam menjalankannya kewajiban zakat, seseorang merasa bahwa harta yang dimilikinya itu adalah milik Allah SWT, yang dikaruniakan kepada kita yang wajib kita syukuri. Dalam rangka mensyukurinya seseorang harus mengeluarkan sebagian dari harta bendanya sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Tujuan moral terlihat dari segi anggapan bahwa sesama hamba Allah itu bersaudara yang harus saling tolong menolong. Zakat disampaikan dalam rangka mewujudkan rasa persaudaraan dan beban moral tanggung jawab sosial, disamping simbul rasa syukur kepada Allah, orang yang menunaikan zakat berharap akan kesucian jiwa, kesucian harta dan mendapatkan berkah, pahala dari Allah SWT. Sedangkan pajak terlihat tujuan yang bersifat materiil, yaitu sebanyak mungkin memasukkan uang ke dalam kas negara untuk pengeluaran rutinan dan pendanaan pembangunan. Dalam hal tersebut terkandung pemikiran bahwa warga Negara harus membantu negara dengan menyumbangkan sebagian harta bendanya yang berupa pajak untuk membiiayai pengeluaran-pngeluaran tersebut. Karena semua pengeluaran
negara yang dibiayai itu tidak lain adalah untuk kesejahtraan dan kemakmuran semua warganya. Dengan demikian menurut analisi penulis bahwa orang yang sudah membayar pajak sesuai dengan kewajibannya tidaklah berarti menggugurkan kewajiban untuk membayar zakat. Pajak merupakan hal yang hanya menyangkut urusan duniawi, sedangkan zakat bukan saja masalah hablum minannas (hubungan antara sesama manusia) tetapi juga mengandung muatan hablum minallah (hubungan antara manusia dengan tuhan). Jika zakat disatukan dengan pajak, maka syari’at dari zakat akan hilang, dan menjadi tidak penting lagi, zakat bukan lagi suatu kewajiban melainkan akan terkesan sebagai suatu anjuran yang tidak bersifat memaksa bagi umat Islam.
B. Analisis Metode Penalaran Hukum Masdar Farid Mas’udi Terhadap Penyatuan Zakat dan Pajak Masdar adalah tokoh Indonesia yang namanya cukup mewarnai dalam kanca keilmuan dan pembaharuan di Indonesia. Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya bahwa Masdar adalah orang pertama yang melahirkan gagasan baru tentang penafsiran kembali atas ajaran zakat. Dimana gagasannya ini juga sempat mendapat kritikan pedas dari kalangan tokoh dan ulama’ lainnya, karena dianggap menyalahi hukum dan ketetapan yang selama ini dijadikan pegangan bagi umat manusia khususnya di Indonesia. Dimana Masdar mengharapkan bagaimana inti dari ajaran zakat ini tidak
hilang dan luntur karena tradisi yang ada, dengan demikian harus melihat faktor sejarah yang ada yaitu sejarah Rasulullah SAW dan sahabat yang menangani zakat dan mencapai hasil yang gemilang. Dengan melakukan pendekatan anologi yang dimaksudkan untuk membaca dan menganologikan teks zakat yang akhirnya di temukan konsep zakat. Proses yang dilakukan dengan pembacaan ulang teks zakat dan melihat teks tersebut dimana ia turun. Dengan membangun ulang konsep zakat, rekontruksi,
ia
mendapatkan
bahwa
zakat
memiliki
nilai
sosial
dan
pemberdayaannya ditangan pemerintah. Kemudian Masdar membuat konsep penyatuan zakat dan pajak, dengan rekonstruksi konsep qat i dan zanni, serta disesuaikan dengan konteks ke Indonesiaan dan kultur Indonesia tanpa menafikan sejarah yang ada. Konsep ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menerjemahkan yang qat i (nilai kemaslahatan dan keadilan) dalam kehidupan nyata. Sehingga jika ijtihat tidak bisa terjadi untuk daerah qat i, maka bisa dilakukan untuk daerah zanni, yang tidak pasti, yang memang harus kita perbaharui terus menerus sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu yang terus berubah. Dalam pengertian klasik, qat i adalah ajaran yang dikemukakan dalam teks bahasa yang tegas, sedangkan zanni adalah ajaran yang dikemukakan dalam teks bahasa yang tidak tegas, yang ambigu atau bisa diartikan lebih dari satu pengertian. Masdar mencoba memaknai kembali substansi zakat dan pajak, dengan
legalitas yang digunakan adalah sunnah, dalam arti kebiasaan yang dilakukan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Yaitu bahwa zakat diwaktu itu disamping memiliki nilai ibadah juga nilai sosial, dan pajak disamping bermakna sebagai upaya pemerataan kekayaan juga kewajiban warga terhadap negara sebagai biaya pembangunan. Masdar menganggap bahwa dua kewajiban sekaligus (zakat dan pajak) yang harus dibayarkan oleh orang Islam di Indonesia merupakan suatu bentuk madharat yang menyalahi kemaslahatan dan harus dihindarkan. Makna dalil qat i yang sesungguhnya adalah kemaslahatan itu sendiri, sedangkan dalil-dalil baik yang terdapat dalam al-Quran maupun hadits merupakan dalil zanni yang kemudian masih dapat diinterprestasikan lagi maknanya untuk disesuaikan dengan masa sekarang. Oleh sebab itu zakat merupakan ajaran pokok Islam yang paling dekat dengan kemaslahatan dan dalam hal ini bersifat qat i. Sedangkan persoalan rincian obyek zakat dan ketentuan-ketentuan lain dalam al-Quran dan hadits merupakan suatu hal yang zanni dan masih dapat diperbaharui. Oleh karena itu, tidak perlu lagi memahami jenis barang yang wajib dikeluarkan zakatnya seperti disebut dalam nas, tetapi yang lebih penting adalah menangkap substansi kewajiban zakat, sehingga obyek wajib zakat bisa diperluas cakupannya, agar tercipta cita keadilan yang dicita-citakan bangsa.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Penelitian terhadap permasalahan zakat dan pajak khususnya dalam pemikiran Masdar Farid Mas’udi dapat disimpulkan: 1. Menurut Masdar Farid Mas’udi pada dasarnya spirit zakat itu sama dengan spirit pajak yang sepenuhnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat dan operasional negara sebagaimana yang dilakukan pada masa pemerintahan Rasulullah SAW. Oleh karena itu, Masdar ingin mengembalikan konsep zakat dan pajak seperti zaman Rasulullah SAW, yakni dikelola sepenuhnya oleh negara. Namun untuk konteks negara Indonesia yang berbentuk republik maka zakat dan pajak harus disatukan agar tidak terjadi dua beban kewajiban terutama pada orang Islam. Kemudian dengan perkembangan lapangan perekonomian seperti sekarang ini, obyek zakat harus diperluas dari yang sekedar di tetapkan Rasulullah SAW pada saat memimpin di Madinah.. 2. Pemikiran Masdar untuk menyatukan zakat kedalam pajak adalah berdasarkan rekontruksi pemaknaan nas qat i dan zanni. Dengan kemaslahatan sebagai inti dari ajaran Islam, Masdar menganggap bahwa dua kewajiban sekaligus ( zakat dan pajak ) yang harus dibayar oleh orang Islam di Indonesia merupakan suatu bentuk madharat yang menyalahi kemaslahatan dan harus dihindarkan. Makna dalil qat i
yang sesungguhnya adalah kemaslahatan itu sendiri,
sedangkan dalil-dalil baik yang terdapat dalam al Quran maupun hadits merupakan dalil zanni yang kemudian masih dapat diinterprestasikan lagi maknanya untuk disesuaikan dengan masa sekarang. Oleh sebab itu zakat merupakan ajaran pokok Islam yang paling dekat dengan kemaslahatan dan dalam hal ini bersifat qat i. Sedangkan persoalan rincian obyek zakat dan ketentuan-ketentuan lain dalam al Quran dan hadits merupakan suatu hal yang zanni dan masih dapat diperbaharui.
B. Saran-Saran Dalam hal ini penulis mengajukan beberapa rekomendasi yang berupa saran-saran kepada pembaca atau siapa saja yang beniat mengkaji zakat dan pajak, khususnya terkait dengan pemikiran Masdar Farid Mas’udi diantaranya: 1. Persoalan dualisme antara zakat dan pajak merupakan sebuah persoalan yang semakin ramai dibicarakan publik. Tidak mudah untuk menghadirkan sebuah solusi yang dapat diterima semua kalangan. Oleh karena itu, sebelum membicarakan keduanya hendaknya kita terlebih dahulu telah memahami satu persatu baik konsep zakat maupun zakat itu sendir, agar tidak terjebak dalam suatu paradikma yang buntu. 2. Masdar Farid Mas’udi dikenal sebagai sosok yang pemberani dalam mengemukakan pendapat-pendapat yang tergolong ekstrim. Ketika akan berusaha untuk menggali pemikirannya, maka hendaknya kita mempelajari alur fikirnya yang terkadang tidak mudah dimengerti, kemudian penggalian
biografi, biasanya ada hal-hal tertentu yang merupakan privasi seseorang dan hendaknya hal tersebut tidak dipaksakan untuk diulas lebih jauh. 3. Kepada pemerintah seharusnya dapat menengahi secara tegas dalam persoalan dualisme zakat dan pajak ini, dengan kembali merevisi UU Zakat dan UU Pajak yang saat ini berlaku. Kejelasan mengenai pengaturan obyek, subyek, tarif serta sanksi baik bagi lembaga pengelola maupun bagi para wajib zakat dan wajib pajak, karena baik zakat maupun pajak keduanya memiliki potensi yang besar bagi kemajuan ekonomi serta kesejahteraan sasial.
C. Penutup Dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan ridhanya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Penulis menyadari bahwa meskipun telah diupayakan semaksimal mungkin namun tidak menutup kemungkinan terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam pemaparan maupun penulisannya. Namun demikian semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi pembaca budiman.
DARFTAR PUSTAKA
Ali, Nuruddin Mhd., Zakat Sebagai Instrument dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Rineka Cipta, 1998. Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Al-Syaukani, Nail al-Authar, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1985. Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pedoman Zakat, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984. al-Zuhayly, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuh, terj. Agus Effendi dan Bahruddin Fananny, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT. Remaja Kosdakarya, 2008. al-Syaikh, Yasin Ibrahim, Kitab Zakat Hukum, Tata Cara dan Sejarah, Bandung: Marja, 2008. al-Bukhari Abu Abdillah ibn Ismail, Shahih Bukhari, Juz I, Beirut: Dar alKutub alIlmiyah, 1992. Ali, Zainudin, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Bekker, Anton dan Zubedr, A. Charris, Metode Penelitian Filsafat, Yogya: kanisius, 1990. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Bruinessen, Martin Van, NU: Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Wacana, Yogyakarta: LKiS, 1994. Baso, Ahmad, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo Libral, Jakarta: Erlangga, 2006. Burton, Richard dan Ilyas, Wirawan B., Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2004.
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemah, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002. Dahlan, Abdul Aziz (et.al..), Ensiklopedia Hukum Islam , Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Direktorat Pembinanan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu Fiqh, Jilid I, Jakarta: 1983. Djuanda, Gustian (et.al)., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Dahlan, Ahmad, Keuangan Publik Islam: Teori dan Praktek, Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2008. Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia, Dari Naral Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LKiS, 2003. Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Hafidhuddin, Didin, Panduan Praktis Tentang Zakat Infak Sedekah, Jakarta: Gema Insani, 1998. Hosain, Ibrahim, “ Hubungan Zakat dan Pajak Dalam Islam, dalam B. Wiwoho, et al., Zakat dan Pajak, Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara, 1992. Himawan, Anang Haris ed., Epistemologi Syara Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Walisongo Press dan Pustaka Pelajar, 2001. Hanbal, Ahmad bin, Musnad Ahmad bin Hanbal, Bairut: Al Maktabah Al Islamy, 1978. Irianto, Edi Slamet dan Jurdi, Syarifudin, Politik Perpajakan: Membangun Demokrasi Negara, Yogyakarta:UII Press, 2005.
Inayah, Gazi, Teori Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003. Bisri, M. Adib, Terjemahan Al Faraidul Bahiyyah, Rembang: Menara Kudus, 1977. Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, terj. H. Muh. Zuhri dan Ahmad Qorib, Semarang: Bina Utama, 1994. Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984. Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003. Mas’udi, Masdar Farid, Agama Keadialan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: P3M,1993. -----------, Pajak itu Zakat Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2010. -----------, Zakat: Konsep Harta Bersih. www.el-rahman-samarinda.com Download pada taggal 7/11/2010. ------------dalam seminar nusantara institute degan tema Pancasila, Agama dan Sistem Budaya Nasional, www. Damandiri Online.com Download pada tanggal 15/8/ 2010. -----------, Konsep Pajak Mendeterminasi Akhlak Negara, Makalah tidak diterbitkan. Marzuki, Ahmad Kosasi, http://www.pondok pesantren.net/ponpren, Download pada tanggal 15/7/2010. Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqih Kontemporer, Jakarta: Salaemba Diniyah, 2002. -------------, Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba Empat, 2002. Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta: Andi, 2003. Nasution, Lahmudin, Fiqh I, Jakarta: Logos, t.th,
Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat, (terj.) Didin Hafidhuddin dkk, Jakarta: PT. Pustaka Lintera Antar Nusa, 2006. Qodir, Abdurrachman , Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Rusli, Achyar, Zakat = Pajak, Jakarta: Redana, 2005. Rahmat, Imdadun, dkk, Islam Pribumi: MendialogkanAgama Membaca Realitas, Jakarta: Erlangga, 2003. Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007. Rofiq, Ahmad, Fiqh Kontekstual Dari Norma Ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Rasum, Ahmad Al dan Barut, Muhammad Jamal, Ijtihad: Antara Teks, Realita dan Kemaslahatan Sosial, Jakarta: Erlangga, 2002. Saebani, Beni Ahmad, Metode Penelitian, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1993. Soemitro, Rochmad, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung: PT. Eresco, 1988. Suandy, Erly, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2000. Sadili, Muhtar ed.,Problematika Zakat Kontemporer, Jakarta: Forum zakat (FOZ), 2003. Supena, Ilyas dan Fauzi, M., Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media,2002. Suratmanaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Maslahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. Tuwah, M. dkk, Islam Humanis (Islam dan Persoalan Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum dan Masyarakat Marginal, Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2001.
Daniel, Definisi Zakat, http://abuazi .blogspot.com, Download pada tanggal 20/10/2010. www.nu.or.id, Download pada tanggal 11/9/2001 Siti Arifah, Konstitusi Negara Berbicara Zakat Mengurang Penghasilan Kena Pajak, http://www.pkpu.or.id/artikel.php?id=20&no=15, Download pada tanggal 08/07/2010.