SIARAN PERS | PATTIRO | Rabu, 24 April 2013
ANCAMAN RUU PEMDA KEPADA DEMOKRATISASI LOKAL DAN DESENTRALISASI Pembahasan RUU Pemda telah memasuki tahap-tahap krusial. Saat ini RUU Pemda sedang dibahas oleh DPR bersama Pemerintah, ditingkat Panja. Titik penting dan fundamentalnya ada ditahap ini. Berbagai kesepakatan telah dibangun. Namun tatkala proses saat ini berjalan, sikap kritis masyarakat atas substansi dan proses pembahasan RUU tersebut tidak boleh hilang. Menggantung kepercayaan sepenuhnya kepada DPR dan Pemerintah –dalam hal ini Panja RUU Pemda dari DPR dan Kemendagri- tidak seharusnya dilakukan. Karena bisa-bisa, seperti yang telah diketahui bersama, tingkat kekritisan (sikap kritikal) hubungan diantara kedua pihak itu sudah menumpul. Terbukti selama ini sifat hubungan diantara keduanya lebih dominan sikap kolaboratif daripada kritikal. Dan hal itu nampak pula pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Pemda yang diperoleh PATTIRO. Pada pasal-pasal yang bersifat fundamental dan krusial, yakni pasal-pasal krusial terkait dengan urusan, kewenangan, dan kedudukan pemerintahan daerah, DPR nampak permisif. Mereka hanya bersikap kritikal tatkala pembahasan masuk pada pasal-pasal yang bernuansa politis. Terutama yang terkait dengan kepentingannya sebagai partai politik. Seperti yang mereka tunjukkan terhadap pasal-pasal yang terkait penyelenggara pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah. Setelah melakukan kajian, PATTIRO menemukan berbagai pasal yang bertendensi menegasikan dan mengancam demokratisasi daerah, desentralisasi, dan proses reformasi bangsa. Pasal-pasal itu PATTIRO klasifikasi dalam beberapa kelompok, yakni: A. Kelompok Anti Desentralisasi. B. Kelompok Anti Pemberantasan Korupsi. C. Kelompok Penyalahgunaan Wewenang Gubernur. A. Kelompok Pasal-pasal Anti Desentralisasi. Pada kelompok ini terdapat pasal-pasal yang terkait dua konsep kunci, yakni Urusan Pemerintahan dan Wilayah Administratif. Yakni pada Pasal 1 angka 5 dan angka 13, Pasal 20 hingga pasal 32. Urusan Pemerintahan Umum ini merupakan sebuah jenis Urusan Pemerintahan yang memiliki pengertian dan ruanglingkup yang sangat kabur dan rawan multi-tafsir. Disebutkan bahwa Urusan Pemerintahan Umum adalah “urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan” (Pasal 20 ayat (5)). Definisi ini sama dengan pengertian dari Urusan Pemerintahan itu sendiri, yakni adalah “kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara, lembaga pemerintahan non kementerian, dan pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat” (Pasal 1 angka 5). Selain Urusan Pemerintahan Umum, Urusan Pemerintahan juga dibagi
JALAN INTAN NO 81, CILANDAK BARAT, JAKARTA SELATAN 12430
T. +62 21 7591 5498 +62 21 7591 5546 F. +62 21 7512503
E.
[email protected] [email protected] www.pattiro.org
SIARAN PERS | PATTIRO | Rabu, 24 April 2013 dalam Urusan Pemerintahan Absolut dan Urusan Pemerintahan Konkuren. Kedua jenis urusan terakhir ini didefinisikan dengan jelas, tegas, dan sektoral. Untuk Wilayah Administratif, meskipun kehadirannya sudah lama, namun dorongan RUU Pemda untuk memperluas ruanglingkup Wilayah Administratif sehingga menjangkau ketingkat kabupaten/kota menyebabkan kehadirannya mengancam desentralisasi dan demokratisasi lokal. Kehadiran kedua konsep kunci itu ternyata merupakan reinkarnasi rezim otoriter Orde Baru dalam RUU Pemda. Kedua konsep kunci itu merupakan jiwa dan semangat dari UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah. Padahal diketahui, UU 5/1974 ini adalah produk hukum yang dibentuk dalam formasi politik otoriterian dan disusun dengan dasar logika pendekatan berbasis keamanan. Pemerintah telah secara sadar menggunakan logika pendekatan keamanan dalam substansi materi RUU Pemda. Trauma akan masa-masa represi diabaikan. Proses demokratisasi bangsa akan dihambat dan dikembalikan ke masa lalu. Logika dan pendekatan keamanan (logics and security approaches) yang dipakai dalam RUU Pemda dikukuhkan melalui 3 (tiga) buah instrumen pendekatan keamanan. Ke-tiga instrumen tersebut adalah: (i). Perangkat Pusat di daerah untuk membantu provinsi, kabupaten, dan kota dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan Umum (Pasal 32 ayat (3)). Perangkat pusat di daerah ini akan berwujud semacam Sekretariat Wilayah Administratif, yang memiliki struktur organisasi dan tata kerja sendiri. Meskipun demikian beban anggaran tetap dipikul oleh APBD provinsi dan kabupaten/kota. (ii). Perangkat gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, yang akan dibantu oleh 5 (lima) deputi (Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2)). Perangkat gubernur ini berupa Sekretariat Wakil Pemerintah Pusat, yang terlepas secara fungsional dan struktural dari Sekretariat Daerah Provinsi. Meskipun begitu, pimpinan dari Sekretariat ini dirangkap oleh Sekretaris Daerah sebagai Sekretaris Gubernur, dan anggaran ditanggung oleh APBD provinsi. (iii). Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, yang diketuai oleh kepala daerah dan camat, sesuai dengan tingkat pemerintahannya masing-masing (Pasal 87 ayat (1), ayat (3), dan ayat (6). Forum ini wujud baru Muspida yang dihidupkan dan dilegalkan melalui RUU Pemda. Apa dasar pemikiran Pemerintah sehingga cenderung mengedepankan pendekatan keamanan dalam membangun struktur pengendalian dan monitoring evaluasinya terhadap pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota? B. Kelompok Anti Pemberantasan Korupsi. RUU Pemda, disamping membawa pendekatan keamanan, juga memberikan perlindungan hukum kepada kepala daerah yang diindikasikan korupsi dan menyalahgunakan kewenangannya. Ada dua
2
SIARAN PERS | PATTIRO | Rabu, 24 April 2013 pasal kunci yang menetapkan dan memberikan kekebalan hukum kepada kepala daerah. yakni Pasal 71 dan Pasal 269. Pasal 71 mengatur tentang perlindungan hukum bagi kepala daerah yang telah berhenti masa tugasnya atau mendapatkan tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden, maka maka dilakukan pemeriksaan menyeluruh dalam aspek keuangan dan aset daerah oleh instansi yang berwenang. Hasil laporan instansi yang berwenang tersebut, yang menyatakan tidak ada perbuatan melawan hukum, menjadi dasar pemberian kekebalan hukum terhadap kepala daerah tersebut. Bagaimana bila ternyata di kemudian hari ditemukan tindak pidana yang dilakukannya selama menjabat? Demikian pula pada Pasal 269, yang melindungi kepala daerah dari tuntutan tindak pidana akibat kegagalan pencapaian inovasi daerah yang telah menjadi kebijakan pemerintahannya. Argumen perlindungan hukum karena kegagalan menjalankan kebijakan menjadi kabur. Kegagalan mencapai target kebijakan publik adalah persoalan administrasi dan kompetensi. Kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari kegagalan kebijakan publik adalah logis sepanjang bersifat administratif dan kompetensi. Namun, apabila kerugian keuangan negara yang ditimbulkan karena adanya tujuan memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, maka hal itu masuk ke ranah tindak pidana. C. Kelompok Penyalahgunaan Wewenang Gubernur. Kedudukan provinsi dalam RUU Pemda ini diperkuat. Harapannya, peran monitoring dan evaluasi, serta pengendalian pemerintahan dari Pusat dapat diringankan dengan mendelegasikan kewenangan itu kepada provinsi. Namun, ternyata RUU Pemda ini keblabasan. Alih-alih memberikan kewenangan yang memadai, RUU Pemda ini cenderung memberikan gubernur sesuatu tugas yang melampaui batas-batas kewenangannya yang berpotensi disalahgunakan. Hal itu nampak pada Pasal-pasal berikut: 1. Pasal 76 ayat (5) dan Pasal 77 huruf e. Gubernur dalam dua pasal ini diberi kewenangan untuk memberikan sanksi kepada bupati dan walikota. Padahal disamping sebagai Wakil Pemerintah Pusat, gubernur juga kepala pemerintahan daerah yang dipilih melalui pilkada dan berasal dari Partai Politik. Tendensi politis gubernur dalam berhubungan dengan bupati dan walikota yang berbeda kepentingan politik dan afiliasi politik bisa sangat besar. Pasal ini diprediksi akan memicu konflik mengeras dan bereskalasi politis. 2. Pasal 77 huruf b dan huruf i. Gubernur diberi kewenangan untuk membatalkan perda dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota, dan rancangan perda tentang kecamatan. Kewenangan yang besar ini membuat gubernur melampaui batasan kewenangannya menurut UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pembatalan peraturan perundangundangan dibawah Undang-Undang, seperti rancangan perda, perda, dan peraturan kepala daerah, hanya dapat dilakukan oleh MA (Pasal 9 ayat (2) UU 12/2011). Dan RUU Pemda harus mengacu kepada prinsip lex superiori, berpijak kepada peraturan perundang-undangan yang telah ada.
3
SIARAN PERS | PATTIRO | Rabu, 24 April 2013 3. Pasal 77 huruf d. Gubernur diberi kewenangan untuk meminta langsung kepada perangkat daerah untuk menangani masalah penting dan mendesak. Meskipun permintaan ini ditujukan juga kepada kepala daerah, namun kontak langsung gubernur dengan perangkat daerah kabupaten/kota membuat wilayah intervensi gubernur meluas dan melebar. Dan berpotensi mengganggu proses kerja internal birokrasi kabupaten/kota. Sudah seharusnya, ditingkat kabupaten/kota loyalitas perangkat daerah hanya kepada bupati dan walikota, dan tidak diganggu oleh intervensi gubernur. 4. Pasal 77 huruf f. Gubernur diberi kewenangan memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota DPRD kabupaten/kota. Kewenangan ini menempatkan DPRD, sebagai lembaga politik dan perwakilan masyarakat kabupaten/kota, berkedudukan sub-ordinat dengan kepala daerah tingkat provinsi. Berbeda sekali dengan persetujuan tertulis untuk penyidikan terhadap bupati/walikota, yang harus dikeluarkan oleh Menteri. Kewenangan ini menunjukkan perlakuan yang diskriminatif dan berbeda meskipun DPRD adalah komponen dari pemerintahan daerah ditingkat kabupaten/kota. 5. Pasal 77 huruf g. Gubernur diberi kewenangan menyelesaikan perselisihan antara daerah kabupaten/kota dalam provinsinya. Penyelesaian sengketa antar daerah kabupaten/kota, dalam konteks pasal ini, menempatkan gubernur sebagai pihak yang berjarak dengan persoalan yang disengketakan. Namun, tidak ada mekanisme yang diatur apabila yang bersengketa adalah gubernur dengan bupati/walikota. Juga tidak dijelaskan bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa itu. Ketiadaan aturan itu berpotensi besar menghadirkan abuse of power dari gubernur. Pada peringatan Hari Otonomi Daerah ke-17 pada 25 April 2013, PATTIRO mengingatkan kepada masyarakat, DPR, dan Pemerintah, terutama kepada Panja, agar tidak menyepakati dan menetapkan pasalpasal diatas. Untuk itu PATTIRO mendesak Panja RUU Pemda DPR, Komisi II DPR, dan Pemerintah agar: 1. Menghapus Urusan Pemerintahan Umum, pada Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (5), Pasal 32 seluruh ayat, dan cukup menetapkan materi muatan terkait pada Pasal 48 tentang Kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 2. Menghapus perluasan Wilayah Administratif kepada kabupaten/kota, pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 32 ayat (4), dan hanya menetapkan provinsi sebagai Wilayah Administratif. 3. Menghapuskan 3 (tiga) instrumen pendekatan keamanan dan birokratisasi baru ditingkat daerah (Sekretariat Wilayah Administratif, Sekretariat Wakil Pemerintah Pusat, dan Forkopimda). 4. Membersihkan Pasal 71 dari unsur pemberian kekebalan hukum bagi pejabat, dan menetapkan Pasal 71 semata-mata sebagai pengaturan Audit Paska Jabatan untuk penilaian kinerja. 5. Menghapuskan Pasal 269 agar tidak ada satu pun pasal yang berpotensi disalahgunakan untuk memberikan kekebalan hukum. 6. Kewenangan gubernur dalam memberikan sanksi dan penyelesaian sengketa antar daerah wajib ditambah aturan mengenai mekanisme komplain/keberatan dari kabupaten/kota terhadap sanksi dan keputusan penyelesaian sengketa antar daerah yang ditetapkan gubernur. 7. Mengubah kata “membatalkan” menjadi kata “mengusulkan” pada kalimat Pasal 77 huruf b dan huruf i tentang kewenangan gubernur dalam membatalkan perda, perkada, dan rancangan perda kecamatan.
4
SIARAN PERS | PATTIRO | Rabu, 24 April 2013
8. 9. 10.
11.
Produk hukum, perda, hanya dapat dicabut/dibatalkan oleh perda, sesuai UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menghapus kewenangan gubernur dalam memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota DPRD kabupaten/kota. Menghapus kalimat “perangkat daerah” pada Pasal 77 huruf d, sehingga hubungan gubernur cukup berhenti sampai pada bupati/walikota. Menambahkan pasal tentang pendampingan teknis secara kontinyu dan terukur untuk peningkatan kapasitas bagi pemerintah daerah ditingkat provinsi, kabupaten, dan kota yang berstatus daerah otonomi baru dan yang membutuhkan berdasarkan penilaian kinerja pemerintahan daerah. Menambahkan pasal tentang penilaian kinerja, secara keorganisasian, sumberdaya manusia, dan manajerial terhadap pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota.
Jakarta, 24 April 2013
Sad Dian Utomo | Direktur Eksekutif
[email protected] | 0812 800 3045
Untuk Informasi dapat menghubungi: Iskandar Saharudin | Spesialis Kebijakan |
[email protected] | 0852 6045 0446
*PATTIRO adalam lembaga riset dan advokasi, yang berdiri pada 17 April 1999, dengan fokus pada isu-isu local governance, terutama desentralisasi. Kini PATTIRO sudah bekerja di 17 provinsi dan 70 kabupaten/kota di Indonesia, melalui riset, bantuan teknis kepada pemerintahan daerah, pendampingan kepada masyarakat, dan advokasi kepada pemerintah untuk mereformasi kebijakan, memperbaiki pelayanan, dan mengalokasikan anggaran publik yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat.
5