~ BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (azas desentralisasi). Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan untuk menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi.1
Konsekuensi dari otonomi daerah ini, salah satunya dalam bentuk
pelimpahan wewenang dibidang keuangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (PEMDA) atau desentralisasi fiskal. Wujud dari desentralisasi fiskal ini adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Selain dari pendapatan pajak dan retribusi daerah, potensi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga salah satunya bersumber dari pendapatan hasil pengelolaan kekayaan daerah atau pendapatan dari bagian laba atas penyertaan modal baik pada Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD) maupun pada pihak swasta.
1
Andi chairil Furqan, Badan Usaha Milik daerah Sudah rawan. dalam harian Radar Sulteng, 9 April 2010
1
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang biasa diistilahkan dengan sebutan “Perusahaan Berplat Merah” ini, pembentukannya didasarkan pada Pasal 177 UU No. 34 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa Pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Yang mana pada dasarnya terdapat 4 (empat) alasan pendirian BUMD:2 Pertama, alasan ekonomis, yaitu sebagai langkah mengoptimalisasikan potensi ekonomi di daerah dalam upaya menggali dan mengembangkan sumber daya daerah, memberikan pelayanan masyarakat (public services) dan mencari keuntungan (provit motive). Kedua, alasan strategis, yaitu mendirikan lembaga usaha yang melayani kepentingan publik, yang mana masyarakat atau pihak swasta lainnya tidak (belum) mampu melakukannya, baik karena investasi yang sangat besar, risiko usaha yang sangat besar, maupun eksternalitasnya sangat besar dan luas. Ketiga, alasan budget, yaitu sebagai upaya PEMDA dalam mencari sumber pendapatan lain di luar pajak, retribusi dan dana perimbangan dari pemerintah pusat untuk mendukung pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah.
2
Ibid
2
Keempat, alasan politis, yaitu mempertahankan potensi ekonomi yang mempunyai daya dukung politis bagi PEMDA, yang mana alasan politis ini biasanya jarang dikemukakan, terlebih lagi secara formal Isu strategis kondisi perekonomian daerah selalu dikaitkan dengan kemampuan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam melaksanakan fungsinya secara optimal dalam melaksanakan pelayanan sosial dan ekonomi atas dasar prinsip bisnis. Sejauh mana kontribusi BUMD terhadap daerahnya? Itulah pertanyaan yang lazim diperdebatkan oleh banyak kalangan, entah itu, akademisi, dewan perwakilan rakyat, masyarakat umum, termasuk pula kalangan pers yang kerap mengulasnya. BUMD menjadi selalu saja menjadi sorotan. Apalagi di era otonomi daerah. Karena peran BUMD diharapkan akan menjadi lokomotif pembangunan daerah. Sayang hanya masih sebatas perdebatan dan wacana. Belum menemukan rambu yang jelas, apa dan dari mana agar BUMD bisa memainkan perannya di era otda. Siapa yang salah? Terkesan masyarakat termasuk DPR yang tidak serius memperjuangkan payung hukumnya lebih mempersoalkan kontribusi BUMD terhadap PAD, tanpa melihat apa saja benturan yang dihadapi BUMD dalam menjalankan core businessnya. Memang keberadaan BUMD melahirkan beragam kesan. Misalnya, tidak efisien, modalnya dari pemerintah, selalu merugi, tidak menyumbang PAD, kualitas SDMnya rendah, terima gaji buta, tidak profesional, tidak mampu kelola bisnis karena merekrut orang birokrat, birokratis, KKN, direksi/komisarisnya adalah kumpulan pensiunan, dan kesan kesan lainnya. Boleh dikata keberadaan BUMD selama ini
3
ibarat oplet butut yang jalannya lambat, sering mogok namun disuruh berlari dan mengejar setoran. Yang diangkutnya banyak yang cuma numpang, sementara para preman yang ada di setiap persimpangan jalan sudah menunggu meminta jatah tanpa mempedulikan kondisi kendaraan maupun kewajiban supirnya untuk menyetor kepada pemiliknya. Mungkin itu kondisi umum yang menggambarkan beratnya beban menjadi BUMD 3 Tebyan A. Amaari4, mantan CEO PD Sarana Djaya (BUMD DKI Jakarta) dalam sebuah seminar BUMD di Jakarta, begitu sadis mengupas, bagaimana pandangan miring terhadap keberadaan BUMD. Mantan ketua BUMD Seluruh Indonesia itu menggambarkan BUMD seperti Kambing, karena kerap dijadikan kambing hitam dalam ketidakbecusan pengelolaan. Dijadikan Kuda tunggangan, karena sekedar tunggangan para eksekutif yang memasuki masa pensiun. seperti bebek, karena karyawannya hanya bisa membebek pimpinan dalam mengambil keputusan. Seperti Sapi perahan, yang diambil susunya setiap saat. Bahkan disamakan dengan tong sampah, yang sekedar menampung karyawan PNS yang sudah tidak pontensial, lalu di buang saja ke BUMD. Permasalahan yang dihadapi BUMD sangatlah kompleks.5 Dari aspek governance misalnya, institusi BUMD masih diberlakukan sama dengan institusi pemerintah. Padahal BUMD bukan Institusi Pemerintah. Implikasinya, berbagai kewajiban yang 3
Komensius barus. Komplikasi Penyakit di Tubuh BUMD Dalam Komensius Barus, Komplikasi Penyakit Di Tubuh BUMD 5 Sunarsip. Membuka Belenggu BUMD. Jawa Pos Group. 13 Maret 2009 4
4
melekat pada pemerintah, melekat pula pada BUMD. BUMD masih harus mengikuti ketentuan pengadaan barang yang diperlakukan di pemerintahan, padahal semestinya tidak perlu karena adalah perusahaan. Masih menurut sunarsip, saat ini BUMD juga masih diwajiban menjalani pemeriksaan atas laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena alasan Keuangan Negara. Padahal BUMD juga diperiksa oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang independen. Yang perlu dicatat, pemeriksaan laporan keuangan dari BPK ini, sudah tidak berlaku di BUMN. Selain itu, pengelolaan perusahaan milik pemerintah daerah (Pemda) itu memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada Pemda. Misalkan saja, dalam merumuskan
dan melaksanakan operasional
perusahaan, manajemen BUMD harus mengacu kepada Rencana Kerja Anggaran dan Pendapatan (RKAP) yang tidak dapat diputuskan dalam waktu cepat, karena direksinya harus meminta persetujuan, dewan pengawas, Bupati/Gubernur. Direksi cenderung takut mengambil resiko, yang menyebabkan BUMD dalam bernegosiasi dengan pihak ketiga selalu dibatasi waktu yang menyebabkan hilangnya kesempatan. Menurut Sugeng Rianto6, Perusahaan daerah atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) memiliki fungsi dan peran ganda sebagai lembaga profit yang diharapkan mendapatkan deviden semaksimal mungkin untuk mendukung pendapatan daerah. Sekaligus sebagai lembaga yang memilki peran sosial yang juga dituntut 6
Sugeng Rianto. Perusahaan daerah; Eksistensi, Peran,dan Fungsinya. Suara Merdeka, Semarang, 27 Maret 2003
5
maksimalisasi peran sosialnya terhadap dinamika pembangunan masyarakat. Perusahaan Daerah sebagai sarana kelengkapan daerah memiliki fungsi dan peran yang tidak ringan, sebab antara peran sebagai lembaga sebagai lembaga yang harus memberipelayanan sosial sering terjadi benturan kepentingan. Dari laporan Biro Analisis Keuangan Daerah Departemen keuangan tentang analisis kinerja BUMD non PDAM (1997), dikemukakan bahwa bebagai permasalahan yang dihadapi BUMD dalam Perjalanannya adalah sebagai berikut7: (1). Lemahnya kemampuan manajemen perusahaan. (2). Lemahnya kemampuan modal usaha; (3). Kondisi mesin dan peralatan yang sudah tua dan ketinggalan dibandingkan usaha lain yang sejenis; (4). Lemahnya kemampuan pelayanan dan pemasaran yang sulit bersaing; (5). Kurang adanya komunikasi antar BUMD khususnya dalam kaitannya dengan industri hulu maupun hilir; (6). Kurangnya perhatian dan pemeliharaan aset yang dimiliki sehingga rendahnya produktivitas, serta mutu dan ketepatan hasil produksi. (7). Besarnya beban administrasi, akibat relatif besarnya jumlah pegawai dengan kualitas yang rendah; dan (8). Masih mempertahankan BUMD yang merugi dengan alasan menghindarkan PHK dan kewajiban pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Sumber Daya Manusia (SDM) masih menjadi salah satu permasalahan kronis yang dihadapi BUMD. Permasalahan sumber daya manusia cukup sulit diurai. 7
Rustian Kamaludin. Peran dan Pemberdayaan BUMD dalam rangka Peningkatan ekonomi daerah. Disampaikan dalam rapat koordinasi pemberdayaan BUMD oleh depdagri dan otda di Jakarta, 4‐6 desember 2000
6
keseimbangan antara kebutuhan operasional dan ketersediaan tenaga yang ada. karena rata-rata karyawan BUMD
meniti karir dari birokrasi. Dari sistem
penggajian, BUMD masih mengacu kepada pola gaji PNS, sehingga mendapat kesulitan untuk merekrut karyawan berkualitas karena terbentur dengan tuntutan gaji yang tinggi. Dari sisi jumlah, banyak BUMD yang kelebihan pegawai. Lalu jika BUMD melakukan pengurangan karyawan, secara umum, banyak BUMD masih menganut peraturan kepegawaian ala PNS, seperti gaji dan tunjangan. Kalau terjadi pengurangan pegawai BUMD menginginkan peraturan Depnaker, layaknya pegawai perusahaan swasta. Banyak juga BUMD yang mendirikan serikat pekerja, padahal organisasi BUMD masih banyak menganut organisasi pegawai Kopri. Karyawan yang bekerja sebagai BUMD umumnya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kinerja PNS termasuk karyawan BUMD, sering mendapat kritik dari masyarakat yang dilayani, karena dalam menjalankan tugas tugasnya cenderung tidak profesional. Dalam iklim kerja birokratik, seorang bawahan cenderung menunggu petunjuk sebelum mengambil keputusan. Akibatnya kreativitas kurang berkembang, ide ide inovatif tidak muncul. Sifat enterpreneurship pada manajemen BUMD pada umumnya tidak berkembang.8 Kondisi Sumber Daya Manusia yang demikian membawa organisasi pada budaya yang sangat tidak menguntungkan, terutama bagi intern organisasi karena
8
Syafaruddin Alwi, Paradigma Baru Peningkatan Kinerja Badan Usaha Milik Daerah. Jurnal Siasat Bisnis No. 7 Vol. 1 th. 2002
7
menciptakan iklim organisasi yang lebih tidak mengutamakan pelayanan kepada konsumen atau masyarakat. Sangat sulit bagi organisasi yang demikian untuk dapat berkembang dengan baik, karena untuk dapat terus berjalan saja sangat berat, apalagi jika harus dipaksa bersaing dengan organisasi atau perusahaan swasta yang menjadi saingan dari BUMD itu sendiri. Organisasi atau perusahaan swasta berlomba memberikan yang terbaik kepada konsumen, berbagai strategi baru dicoba demi memuaskan konsumen, yang pada akhirnya untuk memberikan keuntungan yang besar kepada perusahaan. Disis lain, BUMD masih “dengan santai” berjalan pelan tanpa mempedulikan kanan kirinya yang telah melesat cepat. Budaya birokratis juga semakin mendapat cap negatif dari masyarakat, pelayanan yang lama, berbelit-belit, dan rumit semakin dijauhi oleh masyarakat. Konsumen lebih memilih membayar sedikit lebih mahal namun mendapat pelayanan yang maksimal daripada harus menunggu lama walaupun harga yang harus dibayar sedikit lebih murah. Begitu banyaknya kritik terhadap BUMD, diantaranya dalam hal kualitas dan kinerja SDM, budaya organisasi yang begitu birokratis dan tidak mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat membuat BUMD semakin berada pada posisi yang sulit. Pengaruh pemerintah daerah yang memang sangat kuat dalam BUMD justru menjadi dilema yang sulit diatasi. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Pasar Kulon Progo merupakan BUMD yang ada di Kabupaten Kulon Progo, salah satu Kabupaten di Provinsi DI
8
Yogyakarta. Sebagai BUMD tentu saja sangat erat kaitannya dengan berbagai permasalahan yang telah dijabarkan diatas. PD. BPR. Bank Pasar Kulon Progo berdiri tahun 1964 dengan nama Bank Pasar Daerah Tingkat II Kulon Progo dan diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo No. 4 Tahun 1964 (14-11-1964) tentang Bank Pasar Daerah Tingkat II Kabupaten Kulon Progo. Kemudian dengan berlakunya UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, maka Perda No. 4 Tahun 1964 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, selanjutnya Perda tersebut diganti dengan Perda Kabupaten Kulon Progo No. 5 Tahun 1981 tentang Perusahaan Daerah Bank Pasar Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo (20-091981). Dengan berlakunya Perda tersebut, PD. Bank Pasar Daerah Tingkat II Kabupaten Kulon Progo ditetapkan menjadi Perusahaan Daerah Bank Pasar Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo dan didukung dengan Surat Keterangan dari Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Moneter Dalam Negeri No. S-428/MK/II/1981 tanggal 7 Desember 1981 yang mengijinkan Perusahaan Daerah Bank Pasar Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo untuk tetap beroperasi. Pada tahun 1995, Perda No. 5 Tahun 1981 diganti lagi dengan Perda Tingkat II Kulon Progo No. 3 Tahun 1995 tentang PD. BPR. Bank Pasar Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo. Dengan keluarnya Perda tersebut, maka berubah bentuk hukumnya menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan nama PD. BPR. Bank Pasar Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon Progo.
9
Pada Tahun 2010, PD BPR Bank Pasar Kulon Progo berhasil meraih prestasi yang cukup membanggakan. 4 penghargaan berskala nasional mampu diraih oleh PD BPR Bank Pasar Kulon Progo. Empat penghargan tersebut adalah9 : 1. Terbaik ke-I The Best BPR 2010 2. Terbaik ke-I The Best Human Capital Management System Alignment 3. Terbaik ke-2 The Best Performance Management System 4. Terbaik ke-4 The Best BUMD Of The Year 2010
Dewan Juri dalam ajang CEO Awards ini berasal dari berbagai institusi yang kredibel dan independen, seperti Business Review (Majalah bisnis & manajemen), Frontier Consulting Group (Lembaga Riset & Konsultasi bisnis dan pemasaran), Portege International (Konsultan dan Implementator IT dan Sistem Manajemen), Dunamis Organization Services (Konsultan SDM, Organisasi dan pelatihan kepemimpinan), Melani K. Harriman & Associate (Konsultan Keuangan). Keberhasilan PD BPR Bank Pasar Kulon Progo mendapatkan beberapa penghargaan level Nasional pantas untuk diapresiasi. Tapi yang menjadi lebih menarik, bagaimana proses yang dilakukan oleh PD BPR Bank Pasar Kulon Progo untuk mencapai hal tersebut. Lebih spesifik lagi yang berkaitan dengan masalah Perubahan budaya organisasi yang dilakukan oleh PD BPR bank Pasar kulon Progo. Sebagaimana kita ketahui, budaya birokrasi yang sangat kuat masih dijumpai dalam 9
www.kulonprogokab.go.id. Diakses 9 Februari 2011 pukul 09.43 WIB
10
mayoritas BUMD di Indonesia. Pelayanan yang buruk menjadi cirri khas yang melekat erat pada BUMD. Sebagai BUMD berprestasi, pastinya ada langkah berbeda yang ditempuh oleh PD BPR Bank Pasar Kulon Progo dalam budaya organisasi yang dijalankan sehingga mampu bersaing dengan BUMD Bonafit atau perusahaan swasta.
1.2 Rumusan Masalah Budaya Organisasi dalam Lingkungan BUMD selalu mendapat sorotan tajam. Budaya Birokrasi yang masih sangat tinggi menjadikan pelayanan terhadap masyarakat cenderung buruk. Namun hal tersebut memang sangat sulit dilepaskan dari latar belakang BUMD itu sendiri. Ketidak jelasan payung hukum yang menaungi BUMD ditambah dengan kewajiban ganda yang dibebankan kepada BUMD membuat langkah BUMD semakin berat. Di satu sisi harus melayani masyarakat dengan baik. Namun disi lain didorong untuk memberikan pemasukan besar pada daerah. Sumber daya Manusia BUMD sendiri masih sering dipertanyakan. Karena umumnya memang
SDM berlatar belakang birokrat atau pegawai pemerintahan
membuat budaya birokratis tumbuh subur. Keberhasilan PD BPR Bank Pasar Kulon Progo menyabet penghargaan tingkat nasional, menunjukkan adanya perubahan besar yang terjadi di dalam organisasi PD BPR Bank Pasar Kulon Progo. prestasi yang
11
pantas diapresiasi tinggi, karena PD BPR Bank Pasar Kulon Progo juga merupakan BUMD yang memiliki masalah kronis dalam pengelolaan SDM. Dari permasalahan BUMD dan prestasi PD BPR Bank Pasar Kulon Progo maka rumusan masalah penelitian ini adalah : 1. Bagaimana Proses Perubahan Budaya yang terjadi pada PD BPR Bank Pasar Kulon Progo? 1.3. Tujuan Penelitian : 1. Untuk mengetahui proses perubahan Budaya Organisasi yang terjadi pada PD BPR Bank Pasar Kulon Progo 1.4. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan dan saran-saran pertimbangan yang bersifat praktis bagi PD Bank Pasar Kulon Progo untuk meningkatkan kualitas 2. Sebagai bahan informasi dan wacana untuk memperkaya kajian mengenai Perubahan-perubahan Budaya Organisasi, khususnya dalam dunia perbankan.
12