BAB 1 DEMOKRATISASI SEBAGAI KAJIAN POLITIK TRANSFORMATIF BERFOKUS AKTOR
Studi ini menelaah masalah dan peluang yang dihadapi para aktor gerakan demokrasi di Indonesia. Penelaahan itu dimaksudkan untuk mencari rumusan aksi yang tepat dan terukur yang dapat dilakukan oleh para aktor untuk mendorong perkembangan dan kemajuan demokrasi. Alat analisis utama yang digunakan untuk mengungkap masalah dan peluang itu adalah kapasitas politik para aktor. Asumsinya, perkembangan demokrasi ditentukan oleh bagaimana para aktor mengaktualisasi kapasitas politik mereka untuk memanfaatkan peluang-peluang demokratisasi yang tersedia dan mengatasi masalah-masalah yang muncul. Karena hal tersebut di atas, studi ini tidak dimaksudkan untuk menghasilkan kesimpulan tentang seberapa baik atau buruk situasi demokrasi Indonesia saat ini. Pengukuran-pengukuran semacam itu mungkin berguna untuk mengetahui apakah situasi dan proses-proses politik semakin memenuhi indikator-indikator demokrasi tertentu atau tidak. Tetapi cara pengukuran seperti itu tidak cukup memberikan informasi yang justru lebih penting untuk diketahui, yaitu masalah-masalah apa yang menyebabkan capaian situasi demokrasi seperti yang digambarkan, dan bagaimana demokratisasi dapat dikembangkan lebih lanjut. Selain itu, beragam cara pengukuran kemajuan demokrasi dapat memperlihatkan hasil yang berbeda tergantung pada indikator-indikator dan definisi demokrasi yang dijadikan acuan. Demokrasi dan demokratisasi, dalam studi seperti itu, menjadi objek pengamatan semata-mata. 1
Berbeda dari itu, studi ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya demokratisasi. Studi ini adalah upaya untuk mengakumulasikan secara sistematis berbagai refleksi dan pengalaman demokrasi di lapangan, lalu mentransformasikan hasilhasilnya menjadi rancangan aksi politik dalam proses pembangunan demokrasi selanjutnya. Singkatnya, inilah studi tentang demokrasi dan demokratisasi dalam kerangka politik transformatif (transformative politics).
1.1. Tinjauan Literatur: Demokratisasi dan Kapasitas Politik Aktor Para aktor yang memperjuangkan demokrasi harus mengevaluasi kinerjanya sendiri. Ukuran keberhasilan yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja para aktivis pro-demokrasi adalah penguasaan terhadap pos-pos jabatan politik di lembaga-lembaga publik maupun partai. Dalam proses sedemikian, tak ayal banyak kegagalan yang dialami oleh para aktivis pro-demokrasi, terutama mereka yang berlatar belakang aktivis di berbagai organisasi masyarakat sipil, karena mereka tidak memiliki kecakapan dan kapasitas politik yang setara dengan pelaku-pelaku politik lama yang memiliki kapasitas politik jauh lebih besar. Oleh karena itulah perhatian terhadap kapasitas politik para aktor gerakan demokrasi menjadi penting, agar penentuan strategi aksi pemajuan demokrasi dapat didasarkan sesuai dengan karakteristik kapasitas politik yang dimiliki. Telaah tentang kapasitas politik aktor amat penting menjadi salah satu kajian pokok dalam studi demokrasi, terlebih dalam studi yang berorientasi pada aksi. Demokrasi substansial, atau demokrasi yang bekerja, sangat bergantung pada kemampuan publik melakukan kontrol terhadap proses-proses politik demokratik. Karena
2
itu pada dasarnya setiap anggota masyarakat perlu memiliki sejumlah kapasitas dasar, setidaknya untuk menggunakan hak-hak dan institusi-institusi demokrasi yang tersedia. Sebagian di antara mereka, disebut sebagai “aktor utama” dalam studi ini, 1 yang menjadi pelopor-pelopor paling depan dalam gerakan demokrasi, tidak cukup hanya memiliki kemampuan untuk menggunakan hak-hak dan institusi demokrasi, tetapi juga harus mempunyai visi, kepentingan dan kekuatan untuk mencari alternatif-alternatif yang mungkin dan membangun strategi paling efektif untuk mendorong pengembangan hakhak dan kemajuan institusi-institusi demokrasi (Prasetyo, Priyono, Törnquist 2003: xiv). Kemampuan untuk menggunakan hak dan institusi demokrasi itulah yang dimaksudkan sebagai kapasitas politik. Sejauh ini, studi yang khusus mengenali kapasitas politik aktor sebagai basis informasi untuk mendorong demokratisasi belum banyak dilakukan. Studi-studi tentang aktor biasanya langsung memotret upaya-upaya aktual yang telah atau sedang dilakukan para aktivis gerakan demokrasi (e.g. Törnquist & Budiman 2001, Prasetyo, Priyono, Törnquist 2003, Nur 2009, Priyono & Nur 2009, dan Törnquist 2009). Dari studi seperti itu kita memang dapat memperoleh informasi dan pengetahuan mengenai berbagai pilihan strategi dan aksi yang telah dilakukan, kegagalan dan keberhasilan, serta apa implikasinya terhadap situasi demokrasi dalam berbagai konteks. Namun, tidak ada penjelasan yang pasti apakah pilihan-pilihan strategi dan aksi itu sesuai atau tidak sesuai dengan kapasitas politik para aktor.
1
O’Donnell dan Schmmiter (1986) menggunakan istilah ‘exemplary individuals’. 3
Priyono & Nur (2009) memaparkan data-data menarik mengenai terobosanterobosan aksi politik yang dilakuan berbagai gerakan sosial di Indonesia. Ada dua temuan penting yang diperoleh melalui studi itu. Temuan pertama mengungkapkan polapola perluasan gerakan politik yang dilakukan organisasi masyarakat sipil. Dengan menggunakan dimensi isu, dimensi kepentingan dan dimensi geografis sebagai indikator perluasan gerakan, Priyono dkk mengidentifikasi tiga pola perluasan gerakan, yaitu (1) rekoneksi intra-lokal, (2) rekoneksi lokal-supralokal, dan (3) rekoneksi nasional-lokal. Pola pertama dan kedua bersifat memperluas gerakan melalui perluasan isu dan kepentingan, misalnya dengan membangun koalisi atau aliansi lintas-sektoral namun terbatas pada lingkup geografis tertentu. Pola ketiga, sebaliknya, mencoba meleburkan batas-batas geografis namun dengan pembatasan pada isu-isu atau kepentingan spesifik atau berbasis sektoral, misalnya pembentukan Partai Perserikatan Rakyat (PPR) yang besifat nasional berbasis organisasi tani (Priyono & Nur, 2009: 71-72). Temuan kedua dari studi yang sama adalah identifikasi atas pilihan-pilihan strategi yang digunakan organisasi masyarakat sipil untuk menerobos masuk ke dalam sistem politik. Ada lima pilihan strategi go politics yang telah dan sedang ditempuh berbagai gerakan sosial di Indonesia, yaitu (1) tetap dalam peranan sebagai kelompok penekan, (2) masuk parlemen, (3) memanfaatkan partai politik, (4) mendirikan partai alternatif, dan (5) menerobos jaring-jaring kekuasaan pemerintahan (Ibid: 83-95). Studi lain yang dilakukan Törnquist (2009) juga berhasil mengidentifikasi jalurjalur politisasi yang sudah dan sedang ditempuh berbagai gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Jalur-jalur politisasi itu adalah (1) politik berbasis kepentingan masyarakat sipil dan kerakyatan (civil society and popular interest politics), (2) politik komunitas 4
kaum tertindas (dissident community politics), (3) partisipasi politik langsung, (4) politik wacana publik, dan (5) kontrak politik. Lima jalur lainnya adalah politisasi melalui sistem kepartaian, yaitu dengan melakukan (6) front dari dalam, (7) membangun partai serikat buruh, (8) partai multisektoral, (9) partai nasional berbasis ideologi, dan (10) partai politik lokal. Namun, baik Priyono dkk maupun Törnquist tiba pada kesimpulan bahwa, kendati memperlihatkan adanya harapan bagi perbaikan demokrasi, upaya-upaya untuk go politics itu tampaknya tidak terlalu berhasil menciptakan situasi representasi yang baik. Bahkan dari beberapa kasus go politics yang dipelajari lewat kedua studi itu ditemukan indikasi-indikasi terjadinya kompetisi dan konflik horisontal di antara sesama gerakan sosial. Selain itu, upaya-upaya yang lebih integratif, seperti membangun partai, juga terhalangi oleh peraturan yang mengharuskan partai politik bersifat nasional. Upaya itu tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit yang sangat sulit dicukupi oleh gerakan sosial. Pelajaran yang dapat dipetik dari kedua studi itu adalah bahwa, tampaknya para aktor pro-demokrasi cenderung reaktif terhadap situasi politik-demokratik yang mereka hadapi, dan kemudian mengantisipasinya dengan menyusun strategi semata-mata untuk merespon perkembangan yang dihadapi. Para aktor pro-demokrasi tidak cukup menyadari pentingnya melihat dan menganalisis potensi kapasitas politik yang dimilikinya, sehingga tidak jarang aksi-aksi dan strategi yang dikembangkan mereka berakhir pada kegagalan. Desain tentang bentuk dan aksi gerakan demokrasi yang disusun berdasarkan penilaian terhadap kapasitas politik para aktor sebenarnya bukan tak pernah dilakukan sama sekali. Studi Demos-UiO 2007 merekomendasikan pembentukan Blok Politik 5
Demokratik (BPD) dengan mempertimbangkan kecenderungan umum kapasitas politik para aktor sebagaimana yang teridentifikasi dalam studi itu. Rekomendasi pembentukan BPD ditujukan untuk menghimpun berbagai upaya para aktor dan gerakan demokrasi ke dalam sebuah kekuatan, yaitu blok politik, melalui perumusan sebuah common platform yang kemudian menjadi agenda bersama dan diperjuangkan secara bersama-sama. Dengan cara itu para aktor dan gerakan demokrasi melalui BPD memiliki daya-tawar tinggi terhadap organisasi-organisasi politik formal, seperti partai politik dan parlemen. Pada kenyataannya, gagasan pembentukan BPD tidak dapat direalisasikan sebagaimana yang direncanakan. Satu penjelasan penting yang barangkali perlu digarisbawahi dari berbagai kendala dan kegagalan implementasi BPD adalah bahwa rekomendasi itu didasarkan melulu pada kecenderungan umum. Di balik kecenderungan umum, sangat mungkin ada beberapa karakter kapasitas politik yang berbeda. Dalam situasi seperti itu, ada dua kemungkinan yang perlu dijajaki lebih dalam. Pertama, rekomendasi pembentukan BPD belum tentu sesuai untuk dijalankan seluruh kelompok aktor gerakan demokrasi. Atau kedua, aktor-aktor gerakan demokrasi perlu berbagi peran yang berbeda dan spesifik dalam pembentukan BPD. Pada titik inilah penelaahan tentang perbedaan (atau persamaan) karakteristik kapasitas politik menjadi penting untuk dilakukan.
1.2. Pertanyaan Penelitian Meskipun berfokus pada kapasitas politik aktor, penelitian ini sejak awal tidak dirancang untuk semata-mata memaparkan kesimpulan tentang situasi aktual kapasitas politik aktor. Lebih dari itu, penelitian ini ingin menjadikan temuan tentang karakteristik 6
kapasitas politik itu sebagai basis untuk mencari alternatif strategi yang paling baik yang dapat ditempuh para aktor gerakan demokrasi, dalam hal ini adalah pembentukan blok politik. Akan tetapi, untuk tidak kembali terjebak menghasilkan rekomendasi yang menggeneralisasi karakter kapasitas politik para aktor, penelitian ini pertama-tama ingin mengetahui apakah ada perbedaan karakteristik yang siginifikan di antara para aktor gerakan demokrasi. Analisis untuk melihat diferensiasi antar-aktor itu bukan saja berguna untuk mempertajam hasil-hasil temuan, tetapi pada gilirannya diperlukan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor sesuai dengan variasi karakter kapasitas politiknya. Serangkai dengan itu, temuan-temuan tentang karakter kapasitas politik dapat pula menjadi pertimbangan baru untuk merumuskan-ulang bentuk blok politik agar lebih sesuai dengan situasi saat ini. Karena itu, penelitian ini didedikasikan untuk menjawab dua pertanyaan berikut: 1. Apakah kapasitas politik aktor gerakan demokrasi memiliki karakter yang cenderung homogen, ataukah ada pengelompokan yang berbeda-beda sehingga masing-masing kelompok aktor dapat berbagi peran dalam mengembangkan blok politik? 2. Penyesuaian apa sajakah yang perlu diterapkan dalam gagasan BPD sehingga dapat lebih mengoptimalisasi kapasitas politik para aktor gerakan demokrasi?
1.3. Kerangka Kajian: Demokratisasi Melalui Transformasi Kapasitas Aktor Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, kerangka kajian tesis ini dibangun di atas kerangka kajian yang lebih luas, yang dimasudkan untuk memberi masukan, kalau bukan acuan bagi pergerakan menuju tatanan politik Indonesia yang lebih demokratis. Jelas
7
bahwa, kajian ini tidak dipersiapkan untuk menggali data lapangan dari nol. Tesis ini menyandarkan diri pada data sekunder, berupa hasil survei democracy assessment yang dilakukan oleh UGM-UiO. Karena fokus yang diletakkan tesis ini hanya pada aspek kapasitas politik aktor, tentu saja tidak semua data dari studi UGM-UiO akan digunakan. Hanya data-data yang berkaitan dengan aspek kapasitas politik aktor yang akan dimanfaatkan dan dianalisis.
1.3.1. Demokrasi Sebagai Politik Transformatif Demokrasi pada umumnya dipahami awam sebagai sebuah kondisi politik yang memberikan tempat kepada rakyat untuk berkuasa. Demokratisasi, karena itu, sering diartikan sebagai proses untuk mencapai kondisi itu. Cara pemaknaan seperti itu sangat menyederhanakan persoalan dan menghilangkan terlalu banyak dimensi penting yang terkandung di dalam kedua konsep itu. Demokrasi dan demokratisasi memiliki dinamika dan mengandung kompleksitas yang rumit daripada sekadar penjelasan sesederhana itu. Studi ini memahami demokrasi sebagai sebuah proses dinamis yang tak pernah berhenti. Sebagaimana dicerminkan oleh definisi Beetham (1999), demokrasi adalah kontrol popular (orang banyak) terhadap urusan-urusan publik atas dasar kesetaraan warga negara. Berdasarkan definisi itu, demokrasi dapat dibayangkan sebagai sebuah keadaan yang memungkinkan setiap warga negara bukan saja memiliki hak untuk melakukan kontrol terhadap urusan-urusan yang disepakati sebagai urusan bersama, tetapi sekaligus mampu mengaktualisasikan kapasitas politiknya dalam menggunakan hak-haknya dengan cara-cara yang disepakati bersama. Di samping itu, demokrasi juga
8
berkaitan dengan siapa yang merumuskan urusan publik, apa yang dimaksud dengan kontrol popular, serta siapa saja dan bagaimana kontrol popular dijalankan. Sejalan dengan hak itu, demokratisasi adalah proses implementasi prinsip-prinsip dasar demokrasi2 untuk memperoleh capaian demi capaian situasi demokratik tertentu, yang ditandai oleh karakteristik situasi yang berbeda dibandingkan situasi sebelumnya. Ia tidak sekadar sebuah proses pergeseran dari rezim otoritarian menjadi rezim demokrasi. Demokratisasi juga menyangkut tentang proses bagaimana serangkaian regulasi politik tentang, misalnya hak-hak kewarganegaraan, diterima dan diaplikasikan untuk menggantikan praktik sebelumnya yang lebih menerapkan aturan-aturan berdasarkan tradisi, kekerasan, wangsit, titah, atau petunjuk orang-orang pintar dan orang-orang yang dianggap pemimpin, dan sebagainya. Demokratisasi juga adalah proses tentang bagaimana regulasi politik menjamin perluasan hak berpartisipasi bagi orang atau kelompok-kelompok yang sebelumnya dianggap tidak memiliki hak, juga tentang proses bagaimana proses politik mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelompok yang lebih luas daripada yang telah berlaku sebelumnya, atau juga tentang proses bagaimana regulasi politik mengatur dan menjamin siapa saja orang atau pihak yang memiliki hak dan wewenang untuk berpartisipasi di dalam lembaga-lembaga negara (Cf. O’Donnell and Schmitter 1986, p.8; Törnquist 2013, p.1).
2
Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi adalah elemen-elemen universal yang selalu ada dan diakui oleh beragam teori utama tentang demokrasi. Prinsip-prinsip dasar itu dapat dikelompokkan menjadi enam kelompok besar aturan-aturan dan regulasi yang menyangkut: (1) kewarganegaraan (citizenship), (2) rule of law dan prinsip kesetaraan hukum, (3) pengakuan, penegakan dan perlindungan atas hak asasi manusia dan hak-hak lainnya menyangkut kebutuhan dasar, (4) keterwakilan dan partisipasi yang demokratik, (5) pemerintahan demokratik yang efektif di tingkat pusat dan lokal, dan (6) kebebasan untuk mengembangkan wacana publik, ekspresi kebudayaan, kebebasan akademik dan keberadaan masyarakat sipil. Lihat Stokke & Törnquist (2013) dalam Stokke & Törnquist (2013, p.9). 9
Singkatnya, capaian demokrasi pada dasarnya tidak dapat digeneralisasi menjadi sebuah kesimpulan yang menyatakan demokrasi A lebih buruk dibandingkan demokrasi B, atau demokrasi dalam konteks saat ini lebih baik dibandingkan konteks sebelumnya. Demikian pula, demokratisasi tidak dapat dilihat sebagai sebuah proses linear yang berlangsung di atas sebuah spektrum yang membentang antara ekstrem otoritarian dan ekstrem demokrasi. Ada terlalu banyak dimensi yang bekerja dan perlu diperhatikan di dalam pengertian tentang demokrasi dan demokratisasi, sehingga pada dasarnya demokrasi dan demokratisasi adalah “proses menjadi” yang dinamis, tak pernah berhenti, dan senantiasa membutuhkan campur-tangan para aktor yang terlibat di dalamnya. Dengan menggunakan kerangka pemahaman demokrasi dan demokratisasi seperti itu, maka memahami perkembangan demokrasi sesungguhnya adalah memahami masalah-masalah yang muncul di tengah-tengah pergeseran politik dari sebuah kondisi tertentu ke arah kondisi baru yang berbeda, kemudian bagaimana para aktor mengaktualisasikan kapasitas politik mereka untuk mengatasi masalah-masalah itu sekaligus memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia untuk melakukan perubahan ke arah perbaikan, berdasarkan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Inilah yang dimaksud sebagai kajian tentang demokratisasi dalam kerangka politik transformatif.
1.3.2. Politik Transformatif dalam Demokratisasi di Indonesia Sebagaimana disampaikan di atas, karya ilmiah ini ditulis sebagai bagian tak terpisahkan dari gerakan demokratisasi Indonesia. Lebih dari itu, studi ini adalah bagian dari studi yang diselenggarakan secara khusus untuk itu. Tesis ini dapat dikatakan 10
merupakan bagian laporan penelitian democracy assessment kerja sama Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Oslo (Universitetet i Oslo – UiO) yang berlangsung pada 2013, di mana penulis ikut terlibat secara aktif sebagai anggota tim peneliti. 3 Tesis ini menggunakan sebagian data yang dikumpulkan oleh penelitian itu sebagai data sekunder. Namun tentu saja tesis ini membidik fokus yang berbeda dari naskah-naskah laporan yang dikeluarkan oleh tim peneliti UGM-UiO.4 Penelitian UGM-UiO itu sendiri adalah langkah lanjutan dari upaya panjang pengkajian transformasi demokratisasi di Indonesia melalui democracy assessment yang diinisiasi oleh Demos dan UiO. 5 Studi Demos-UiO yang diawali pada 2003 (dan dilanjutkan pada 2007) memberikan perhatian khusus terhadap variabel kapasitas politik aktor. 6 Studi mereka itulah yang kemudian dilanjutkan dan dikembangkan dengan kerangka riset yang lebih besar oleh UGM dan UiO pada 2013. Perbedaan paling nyata yang muncul dari riset UGM-UiO adalah adanya aksentuasi assessment terhadap aspek “pembentukan demos dan urusan publik”.
3
Riset kolaborasi antara UGM dan UiO dilakukan dalam kerangka proyek kajian tematik tentang Kekuasaan, Kesejahteraan dan Demokrasi (Power, Welfare and Democracy – PWD). Proyek PWD berlangsung selama 2012-2017, terdiri atas beberapa sub-tema riset. Sub-tema utama adalah Baseline Survey on Development of Democracy, yang menjadi dasar bagi penulisan tesis ini, merupakan kelanjutan dari kerja sama Demos-UiO. Sub-tema lainnya adalah local regimes, welfare regimes, dan citizenship. 4
Publikasi komprehensif mengenai hasil assessment UGM-UiO, lihat Savirani dkk (2013) dan Savirani dkk (akan terbit 2015). 5
Kerja sama Demos dan UiO pada dasarnya merupakan pengembangan dari studi pendahuluan tentang aktor dalam demokratisasi Indonesia yang dilakukan oleh Profesor Olle Törnquist (UiO) bekerja sama dengan Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Hasil studi mereka terdokumentasikan dalam Törnquist & Budiman (2001) dan Prasetyo, Priyono dan Törnquist (eds.) (2003). Kedua studi itu mengamanatkan perlunya mengembangkan sebuah kerangka riset untuk mengevaluasi capaian demokrasi dengan perhatian khusus terhadap kapasitas politik para aktor pro-demokrasi. Untuk kebutuhan itulah kemudian dibentuk Demos, lembaga kajian baru yang menitikberatkan perhatian pada isu-isu demokrasi dan HAM. Kerangka riset yang dikembangkan oleh Demos-UiO pertama-tama diujicobakan pada 2003, kemudian dikembangkan lebih lanjut pada 2007. Penulis secara aktif terlibat sejak awal dalam pengembangan kerangka riset tersebut sekaligus menjadi salah satu peneliti, baik pada 2003 dan 2007. 6
Hasil-hasilnya lihat Priyono, Samadhi, Törnquist (2007) dan Samadhi & Warouw (eds.) (2009). 11
Kerangka analisis yang digunakan dan dikembangkan untuk melakukan democracy assessment oleh ketiga lembaga itu – Demos, UGM dan UiO – memberikan perhatian yang luas dan mendalam terhadap aktor dan kapasitas politiknya dalam upaya mereka mengatasi masalah-masalah dan memanfaatkan peluang yang tersedia untuk meningkatkan kualitas representasi dan partisipasi publik. Hal itulah yang menandakan kajian mereka bersifat dinamis-transformatif, berbeda dari kebanyakan studi lain yang cenderung menitikberatkan pada penilaian statis-informatif tentang aspek-aspek institusional dan prosedur demokrasi.7 Namun, karena perhatiannya pada lingkup yang besar seperti kelembagaan demokrasi, pembahasan terhadap kapasitas aktor tidak sempat dilakukan. Oleh karena itulah studi ini penting kehadirannya. Peninjauan terhadap aspek kapasitas aktor memungkinkan kita menangkap interaksi antar-aktor dan dinamika proses demokratisasi, ketimbang melulu memotret kondisi demokrasi dalam situasi-sewaktu (statik). Pemahaman atas dinamika proses demokratisasi pada gilirannya memungkinkan pula untuk melihat demokrasi bukan semata-mata sebagai tujuan, tetapi juga cara (means). Hal yang disebut terakhir itu penting karena upaya pemajuan demokrasi sudah seharusnya dilakukan dengan menggunakan dan memajukan institusi-institusi demokratik yang prinsipil, seperti
7
Di luar kerangka alternatif yang dikembangkan Demos-UGM-UiO, studi tentang penilaian demokrasi dapat dikelompokkan ke dalam enam kategori besar. Pertama, studi yang semata-mata dan sepenuhnya menggunakan kerangka kerja dan prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagai basis penilaian demokrasi. Kedua, studi yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip good governance dan rule of law. Ketiga, studi yang diarahkan untuk membuat indeks demokrasi, yaitu dengan mengaitkan hak-hak demokratik sebagai fungsi dari variabel-variabel lain, seperti pembangunan atau derajat konflik. Keempat, studi dengan metoda audit yang bertujuan untuk melihat kekuatan dan kelemahan aplikasi demokrasi pada berbagai dimensi. Kelima, studi-studi dengan pendekatan struktural yang tidak secara langsung melihat aspek-aspek demokrasi, namun menilai kondisi ekonomi dan sosial sebagai capaian (outcome) demokrasi. Keenam, studi yang berfokus pada penilaian atas kualitas atau kinerja institusi-institusi demokrasi dengan mempertimbangkan konteks dan setting politiknya. Lihat Törnquist & Warouw (2009) dalam Samadhi & Warouw eds (2009). 12
kesetaraan warga negara, rule of law, prinsip persamaan di depan hukum, hak-hak dan kebebasan sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, pemerintahan yang bersih, akuntabel, transparan, dan antikorupsi (good governance), supremasi sipil, kebebasan berpartai, keberlangsungan pemilihan umum yang bebas dan adil, termasuk juga kebebasan pers dan kebebasan akademik, jaminan atas partisipasi warga negara, dan lain-lain. Kapasitas politik aktor, khususnya aktor gerakan demokrasi, dalam meningkatkan kualitas representasi dan pemajuan demokrasi merupakan aspek yang jarang diperhatikan oleh studi lainnya. Kebanyakan studi tentang demokratisasi lebih memusatkan perhatian kepada peningkatan kinerja berbagai lembaga (baca: organisasi) demokrasi, semacam DPR dan DPRD, DPD, dan badan-badan penyelenggara pemilihan umum, serta perbaikan prosedur dan sistem elektoral. Bahkan, bukan sebatas studi, langkah-langkah advokasi demokrasi pun kebanyakan dilakukan di dalam koridor seperti itu. Dengan kata lain, kecenderungan arah studi-studi semacam itu telah pula mengarahkan kecenderungan arah aksi yang dilakukan oleh para aktivis gerakan demokrasi. Sebagai akibatnya, proses demokratisasi seakan-akan terpusat dan terbatas hanya pada aspek kompetisi perebutan kekuasaan melalui sistem elektoral. Aktor pejuang demokrasi berhadapan dengan masalah-masalah yang sifatnya konteks yang spesifik. Setelah Orde Baru jatuh dan reformasi bergulir, keterbukaan dan kebebasan politik memang meningkat pesat. Organisasi-organisasi masyarakat sipil dan serikat-serikat buruh sekonyong-konyong aktif bergerak di ranah politik. Gerakan go
13
politics8 seolah menjadi trend baru di kalangan masyarakat sipil setelah selama puluhan tahun sebelumnya menjauhkan diri dari kegiatan-kegiatan politik formal. Sebagian dari mereka masuk ke dalam partai politik, sebagian ada yang mendirikan partai politik, sebagian ada pula yang menggerakkan partisipasi langsung melalui inisiasi penganggaran dan perencanaan partisipatoris meniru pola serupa yang sukses di Brasil dan Kerala. Sebegitu jauh, inisiatif-inisiatif seperti itu belum terlalu membantu perbaikan situasi representasi popular. Gerakan-gerakan politik itu cenderung berlangsung sektoral, sporadis, atau individual (Priyono & Nur 2009). Dalam telaah demokrasi yang relatif makro tersebut di atas, democracy assessment UGM-UiO dalam kerangka fikirnya (yang juga menjadi acuan kajian ini) mengkonseptualisasi demokrasi ke dalam empat variabel utama, yaitu (1) konstruksi wacana dan definisi tentang publik, (2) kinerja institusi-institusi demokrasi, (3) identifikasi aktor-aktor utama yang memiliki pengaruh paling signifikan terhadap demokratisasi, (4) bagaimana para aktor utama dalam proses demokratisasi membangun hubungan dengan mekanisme demokrasi, dan (5) bagaimana kapasitas politik yang dimiliki oleh para aktor utama itu, serta (6) strategi yang ditempuh para aktor dalam proses demokratisasi (lihat Gambar 1.1).
8
Kampanye go politics mula-mula disuarakan oleh Demos setelah studi mereka pada 2003. Seruan ini didasarkan atas temuan bahwa situasi keterbukaan politik yang ada sejak 1998 ternyata lebih banyak mendatangkan keuntungan bagi kelompok elit politik baru yang berkolaborasi dengan para pelaku politik lama. Aktor-aktor pro-demokrasi yang sejak jaman Orde Baru menyerukan pentingnya demokratisasi dan keterbukaan politik justru terpinggirkan di dalam proses-proses politik demokratik karena mereka memilih untuk tetap berada di luar lingkaran politik dan kekuasaan formal. Sebagai akibatnya, ruang-ruang politikdemokratik dimonopoli oleh kekuatan yang sangat elitis dan eksklusif. Atas dasar itulah Demos merekomendasikan perlunya para aktivis pro-demokrasi untuk merebut posisi-posisi politik formal. Lihat Priyono, Samadhi, Tornquist (eds.) (2007). 14
Publik
Democracy Assessment
Institusi
Relasi Aktor dan Institusi
Aktor
Kapasitas Politik
Strategi
Gambar 1.1. Kerangka democracy assessment UGM-UiO
Variabel pertama dimaksudkan untuk mengidentifikasi keberadaan publik atau demos, termasuk mencermati masalah-masalah dan peluang yang ada dalam kaitan dengan eksistensi publik sebagai konstituen utama demokrasi. Variabel tentang publik ini adalah variabel baru yang digunakan di dalam studi UGM-UiO.9 Variabel kedua diteliti dengan memperhatikan institusi-institusi intrinsik demokrasi, dengan fokus penilaian terutama pada seberapa jauh institusi-institusi demokrasi yang ada benar-benar mendorong tercapainya tujuan demokrasi. Sedangkan variabel ketiga dimaksudkan untuk mengidentifikasi aktor-aktor utama dalam proses demokratisasi – baik mereka yang memiliki kekuatan riil mengendalikan jalannya proses demokratisasi (aktor dominan) maupun mereka yang secara menonjol memberikan aksi dan wacana tandingan terhadap aktor dominan (disebut sebagai aktor alternatif). Variabel keempat – dan inilah yang akan menjadi fokus pembahasan di dalam tesis ini – merupakan assessment terhadap kapasitas politik para aktor melalui lima
9
Pada kedua studi terdahulu yang dilakukan Demos-UiO (2003 dan 2007), variabel yang digunakan adalah mengenai identifikasi kewarganegaraan dengan aksentuasi pada aspek kesetaraan. Lihat Priyono, Samadhi, Törnquist (2007) dan Samadhi & Warouw (2009). 15
aspek, yaitu (1) kapasitas untuk mengatasi eksklusi dan inklusi, (2) kemampuan untuk mentransformasikan sumber-sumber kekuatan ekonomi, sosial, budaya dan kekerasan menjadi otoritas, alias kekuasaan politik, (3) kapasitas untuk mengubah isu-isu privat menjadi agenda politik di tingkat publik, (4) kapasitas untuk melakukan mobilisasi dan pengorganisasian untuk mendukung tuntutan-tuntutan dan perubahan kebijakan, dan (5) kapasitas untuk menggunakan dan memajukan mekanisme yang tersedia bagi partisipasi dan representasi. Tesis ini meletakkan fokus dan akan mengeksplorasi aspek-aspek kapasitas aktor itu. Kelima aspek kapasitas politik yang disebutkan di atas berkaitan dengan lima kelompok pendekatan teoretikal besar yang biasa digunakan untuk mengkaji bagaimana relasi-kuasa dan kapasitas organisasi politik berpengaruh terhadap kemampuan aktor untuk menggunakan dan memajukan instrumen-instrumen demokrasi.10 Aspek pertama dimaksudkan untuk memotret (capturing) intisari teori-teori yang memberi penekanan pada eksklusi politik baik langsung maupun tak langung. Pada dasarnya argumen ini berkaitan dengan teori-teori tentang ketidaksetaraan warga negara (unequal citizenship), politik identitas dan peng-sub-ordinasi-an warga negara melalui berbagai metoda yang dilakukan pemerintahan pasca-kolonial (e.g. Mamdani 1996, Chatterjee 2004). Secara khusus, yang menjadi fokus dalam studi ini adalah teori-teori tentang marginalisasi yang terjadi di dalam proses pembangunan demokrasi elitis terhadap gerakan popular, organisasi kepentingan seperti serikat buruh, kelompok isu sektoral, dan beragam asosiasi
10
Alinea penjelasan tentang kelima aspek kapasitas aktor ini (hal 18-20) dirangkum dari Törnquist (2013), khususnya Chapter 5, Part 1. 16
kewargaan dari kegiatan-kegiatan politik terorganisasi. (e.g. Harriss et.al. 2004 dan Törnquist et.al. 2009). Aspek
kapasitas
politik
yang
kedua
berkaitan
dengan
kapasitas
mentransformasikan basis-basis kekuatan menjadi kekuasaan yang absah dan otoritatif. Aktor harus memiliki kemampuan memanfaatkan potensi-potensi kekuatan yang dimilikinya untuk berkuasa dan memperoleh legitimasi. Hal inilah yang disebut Pierre Bourdieu sebagai modal simbolik dan kekuasaan politik (Stokke 2002, Stokke & Selboe 2009). Kerangka analisis Bourdieu tentang kekuasaan terutama bermanfaat dalam konteks pembangunan yang berlapis dan tak lazim (di mana berbagai sumber kekuasaan harus dikombinasikan dan ditransformasikan) serta dalam kajian-kajian mengenai proses pembentukan demos dan urusan publik. Aspek yang ketiga berkaitan dengan kemampuan aktor melakukan politisasi dan agenda setting. Para aktor harus memiliki kemampuan untuk menggulirkan isu-isu nonprivat hingga menjadi isu politik-publik, atau dengan kata lain memasukkannya menjadi agenda politik. Variabel ini terkait misalnya dengan gagasan tentang public sphere yang dikemukakan Habermas, gagasan tentang hegemoni yang dikembangkan Gramsci, serta konsep Bourdieu tentang ‘habitus’ (norma-norma, pola dan pemahaman yang terinternalisasi) serta makna penting dari kebudayaan. Aspek keempat adalah tentang kapasitas melakukan mobilisasi dukungan publik. Aspek ini digali dari teori-teori politik dan gerakan sosial yang berhubungan dengan demokrasi, misalnya seperti yang disampaikan oleh Mouzelis (1986) dan Tarrow (1994). Yang ingin dipetakan dengan variabel ini adalah bagaimana para aktor melakukan
17
mobilisasi dukungan, misalnya populisme, clientelism, dan mobilisasi yang terintegrasi melalui organisasi akar rumput. Aspek ini penting untuk melihat apakah upaya untuk memperoleh dukungan politik dilakukan dengan cara-cara inkorporatif ataukah integratif, atau juga justru berakibat pada pengeksklusian secara tidak langsung. Beberapa ilmuwan, seperti Houtzager (2005), Houtzager et.al. (2005 dan 2007), dan Harriss (2006), mengingatkan bahwa kerja berjejaring yang biasa dilakukan para aktor masyarakat sipil sering menghadapi dilema inklusi versus eksklusi semacam itu, sehingga para aktor membutuhkan lebih daripada sekadar kapasitas mobilisasi untuk menggalang dukungan. Studi yang dilakukan Demos-UiO pada 2007 memperlihatkan bahwa variabel ini mampu menerangkan dengan cukup baik kegagalan kelompok-kelompok berorientasi popular menghubungkan diri dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan aktivitas politik, baik pada era sebelum 1998 maupun pada era pasca-Soeharto (Nur 2009; Priyono & Nur 2009). Karena itu, para aktor perlu mengembangkan gerakan yang mengombinasikan aksi-aksi masyarakat sipil, gerakan sosial dan gerakan politik yang terorganisasi, sekaligus mengombinasikan berbagai isu dan kepentingan tunggal sehingga menjadi isu dan kepentingan yang lebih luas dan menjadi kepedulian publik (e.g. Törnquist 2002, 2004; Törnquist et.al. 2009). Aspek yang terakhir adalah kapasitas untuk menggunakan dan mengembangkan metoda partisipasi dan representasi yang tersedia. Menyangkut aspek ini, kerangka studi yang dikembangkan oleh Demos-UGM-UiO mengakomodasi sekaligus tiga kerangka kerja dan teori-teori besar mengenai representasi, yaitu jenis-jenis representasi Pitkin (1967), pendekatan matarantai kedaulatan rakyat, dan pendekatan demokrasi langsung.
18
Yang akan dibahas dan dianalisis oleh tesis ini hanyalah kapasitas politik aktor gerakan demokrasi. Karena istilah aktor banyak digunakan dalam posisi yang berbedabeda di dalam studi UGM-UiO, kiranya perlu di sini terlebih dahulu dijelaskan aktor mana yang akan dibahas di dalam tesis ini. Ada beberapa tahap pengidentifikasian aktor yang perlu diklarifikasi. Pertama, studi UGM-UiO menyandarkan diri pada keterangan seorang informan-kunci, yaitu aktor gerakan pro-demokrasi yang memiliki pengalaman dan pengetahuan luas tentang dinamika demokratisasi di kota/kabupaten-nya. Informan-kunci ini memberikan keterangan aktual dan kontekstual mengenai situasi politik-demokrasi di kota/kabupatennya berdasarkan sebuah kerangka pemetaan gerakan demokrasi (frontline) yang dibuat oleh tim peneliti UGM-UiO. 11 Berdasarkan kerangka pemetaan itu, informan-kunci bersama-sama dengan tim UGM-UiO menyepakati area-gerakan yang akan diteliti di kota/kabupaten yang bersangkutan. Setelah
menetapkan
area-gerakan
yang
akan
diteliti,
informan-kunci
mengidentifikasi aktor-aktor yang paling menonjol di setiap gerakan demokrasi berbasis sektor/isu (frontliner) dan memiliki pengaruh signifikan terhadap proses demokratisasi di tingkat lokal. Para frontliner inilah yang kemudian menjadi informan di dalam proses assessment. Namun, bukan kapasitas politik mereka yang akan dibahas dan dianalisis oleh tesis ini. Masih ada aktor lain yang diidentifikasi pada tahap berikutnya.
11
Kerangka pemetaan gerakan demokrasi adalah sebuah daftar gerakan berbasis sektor atau isu yang dianggap gerakan-gerakan demokrasi paling kritikal dan berpengaruh dalam proses demokratisasi di Indonesia. Gerakan berbasis sektor/isu itu diidentifikasi oleh tim peneliti UGM-UiO. 19
Dalam melakukan assessment, setiap informan kembali diminta mengidentifikasi aktor-aktor paling berpengaruh terhadap proses demokratisasi di level kota/kabupatennya, di dalam empat arena yang berbeda, yaitu (1) negara, (2) masyarakat politik, (3) masyarakat ekonomi, dan (4) masyarakat sipil. Aktor-aktor yang diidentifikasi oleh para informan itu disebut sebagai aktor utama. Setelah mengidentifikasi aktor utama yang berlatarbelakang empat macam arena itu, setiap informan kemudian diminta untuk memilih dua aktor utama yang paling dominan dan determinatif; kedua aktor itu disebut sebagai aktor dominan. Selain itu, informan juga diminta untuk menunjuk dua aktor utama lain yang memiliki kecenderungan untuk mengimbangi dominasi dan determinasi aktor dominan. Kedua aktor yang ditunjuk terakhir itu disebut di dalam studi UGM-UiO sebagai aktor alternatif. Pada bagian berikutnya, setiap informan melakukan assessment terhadap kapasitas politik aktor dominan dan aktor alternatif. Pengidentifikasian dan hasil assessment tentang kapasitas politik aktor alternatif inilah yang menjadi fokus pembahasan di dalam tesis ini. Gambar 1.2 di bawah ini memperlihatkan proses penentuan aktor alternatif dan posisinya di antara berbagai aktor lain yang disebutkan di dalam studi UGM-UiO.
Aktor dominan Aktor informankunci
Aktor informan
Aktor utama Aktor alternatif
Gambar 1.2. Berbagai istilah aktor dalam studi UGM-UiO 20
Sesungguhnya tidak ada keterangan yang pasti dari para informan survei UGMUiO apakah aktor-aktor alternatif yang mereka identifikasi adalah aktor-aktor yang memiliki komitmen dan rekam-jejak yang jelas sebagai komponen gerakan demokrasi. Karena itu, dengan segala keterbatasan, tesis ini memberikan justifikasi untuk memperlakukan data-data menyangkut aktor alternatif sebagai basis data untuk menganalisis karakter kapasitas aktor gerakan demokrasi, sebagai berikut: Sebagaimana terjelaskan di dalam batasan dan proses penentuannya, aktor alternatif
adalah
para
alternatif/penyeimbang
aktor para
yang aktor
dianggap
senantiasa
menjadi
kekuatan
dominan
yang
determinatif.
Dengan
mempertimbangkan situasi demokrasi yang relatif masih stagnan, ada indikasi yang cukup jelas bahwa para aktor dominan di dalam konteks lokal cenderung tidak cukup progresif memajukan demokrasi. Maka, aktor alternatif sebagai kekuatan alternatif secara definisi memiliki konotasi lebih pro-demokratik. Indikasi hipotetik bahwa aktor alternatif cenderung pro-demokratik terbukti dari data yang diperoleh dari studi yang sama mengenai bagaimana sikap para aktor alternatif terhadap institusi-institusi demokrasi. Aktor alternatif terlihat cenderung lebih mendukung kemajuan institusi-institusi demokrasi dibandingkan dengan aktor dominan. Data tentang latar belakang aktor alternatif juga memperlihatkan profil yang berbeda jika dibandingkan dengan aktor dominan. Kebanyakan aktor dominan berlatarbelakang jabatan formal di dalam arena negara dan masyarakat politik, sedangkan aktor alternatif cenderung berlatarbelakang elemen masyarakat sipil (Tabel 1.1 dan 1.2).
21
Tabel 1.1. Lima kategori aktor alternatif paling menonjol NO
LATAR BELAKANG 1 2 3
Aktivis organisasi masyarakat sipil Tokoh masyarakat/adat/etnis Akademisi, Profesional
4 5
Pemuka agama Anggota parlemen (pusat/lokal)
% 41% 10% 13% 8% 8%
Tabel 1.2. Lima kategori aktor dominan paling menonjol NO
LATAR BELAKANG 1 2 3 4 5
Pejabat publik Anggota parlemen (pusat/lokal) Pemimpin partai politik Pengusaha Birokrat
% 49% 14% 7% 6% 5%
Ketiga justifikasi di atas kiranya cukup menjadi dasar pertimbangan untuk memperlakukan data-data tentang aktor-aktor alternatif dan assessment mengenai kapasitas politiknya sebagai bahan analisis untuk melihat karakteristik kapasitas politik aktor gerakan demokrasi yang menjadi fokus tesis ini. Berdasarkan data yang ada, aktor gerakan demokrasi yang teridentifikasi melalui studi UGM-UiO berjumlah 1.079 satuandata.12 Data-data tentang kapasitas politik aktor perlu ditelaah lebih lanjut untuk menemukan kemungkinan adanya karakteristik kapasitas yang berbeda-beda di antara para aktor. Sebagai pelaku gerakan demokrasi, para aktor tentu mengalami beragam 12
Istilah satuan-data digunakan di sini karena ada sejumlah nama aktor gerakan demokrasi yang disebut beberapa kali oleh informan yang berbeda-beda, dan karena itu mendapatkan assessment yang berbedabeda pula. Karena studi ini meletakkan fokus pada assessment tentang kapasitas politik setiap aktor, maka yang lebih penting untuk dipertahankan sebagai satuan-data adalah assessment atas kapasitas politik, bukan identifikasi nama aktornya. Dengan kata lain, jumlah record satuan-data lebih besar dibandingkan jumlah record nama aktor. 22
persoalan dan tantangan dalam konteks yang berbeda-beda. Pengalaman-pengalaman kontekstual seperti itu sangat mungkin berpengaruh terhadap situasi dan perkembangan kapasitas politik mereka. Sebaliknya, proses demokratisasi yang dinamis tentu juga akan mengalami pergeseran konteks dari waktu ke waktu, seiring pengaruh yang muncul dari pilihan-pilihan tindakan yang dilakukan oleh para aktor. Karena itu, analisis tentang karakteristik kapasitas politik dan bagaimana kapasitas itu harus ditransformasikan ke dalam pilihan-pilihan strategi demokratisasi tidak dapat dilepaskan dari pencermatan terhadap situasi aktual demokrasi dan kemungkinan kecenderungannya pada tahap perkembangan berikutnya.
1.4. Metode Analisis Sebagai bagian dari studi yang dilakukan UGM-UiO, tesis ini sepenuhnya menggunakan konsep dasar dan data-data yang sudah dihimpun oleh survei 2013. Tentu saja tidak semua data yang tersedia akan digunakan. Sesuai dengan pertanyaan yang membatasi wilayah kajian tesis ini, data-data yang akan diolah adalah lima kelompok data mengenai kapasitas aktor, khususnya aktor alternatif. 13 Kelima aspek kapasitas politik itu adalah (1) kapasitas untuk mengatasi eksklusi dan inklusi, (2) kapasitas untuk mengakumulasikan berbagai basis-basis kekuasaan (sources of power), yaitu ekonomi, sosial, budaya dan kekerasan dalam rangka membangun kekuasaan yang otoritatif, alias kekuasaan politik, (3) kapasitas untuk mengubah isu-isu privat menjadi agenda politik di
13
Batasan lain yang perlu disampaikan di sini adalah bahwa analisis di dalam tesis ini hanya menyandarkan diri pada hasil survei di 30 kota/kabupaten. Sebenarnya ada data lain yang juga dihasilkan dari survei UGM-UiO, yaitu data mengenai assessment terhadap aktor-aktor demokrasi yang bergerak di sejumlah gerakan demokrasi berbasis sektor/isu di tingkat pusat. Data yang tersebut terakhir itu sengaja dikesampingkan karena tesis ini memang difokuskan untuk memetakan situasi di tingkat lokal. 23
tingkat publik, (4) kapasitas untuk melakukan mobilisasi dan pengorganisasian untuk mendukung tuntutan-tuntutan dan perubahan kebijakan, dan (5) kapasitas untuk menggunakan dan memajukan mekanisme yang tersedia bagi partisipasi dan representasi. Analisis tentang kelima aspek kapasitas politik itu akan dilakukan dengan dua cara. Pertama, analisis terhadap setiap aspek kapasitas politik. Analisis akan didasarkan atas tabel frekuensi yang menggambarkan kecenderungan umum para aktor dalam setiap aspek kapasitas politik. Cara ini berguna untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan para aktor di setiap aspek kapasitas politik yang dipetakan. Selanjutnya, data-data tentang keseluruhan aspek kapasitas aktor itu akan diolah secara statistik untuk melihat apakah ada kemiripan dan perbedaan kapasitas politik di antara para aktor gerakan demokrasi yang memungkinkan terjadinya pengelompokan (cluster) karakteristik kapasitas politik. Jika ada, tesis ini bertugas untuk memberi penjelasan-penjelasan, baik mengenai persamaan yang menyatukan suatu kelompok, maupun perbedaan-perbedaan yang ada di antara setiap kelompok sehingga menampilkan karakteristik kapasitas politik yang berbeda-beda pula. Jika data-data mengerucut kepada satu kecenderungan karakteristik saja, analisis juga akan diarahkan untuk mengungkap sebab-sebab kecenderungan itu terjadi, dan rekomendasi apa saja yang dapat dihasilkan dari temuan semacam itu. Dengan kedua cara analisis itu tesis ini diharapkan pada akhirnya dapat memberikan jawaban atas pertanyaan pokok sekaligus memenuhi tujuan penyusunan tesis ini sebagaimana dirumuskan di bagian terdahulu, yaitu memberikan rekomendasi aksi berdasarkan karakter kapasitas politik aktor.
24
1.5. Pembabakan Penulisan Setelah bab pengantar ini, uraian pada bagian berikutnya (Bab 2) akan memaparkan profil aktor gerakan demokrasi berdasarkan kapasitas politik mereka. Penjelasan tentang profil itu diharapkan dapat segera memberikan gambaran tentang subjek utama tesis ini, yaitu para aktor gerakan demokrasi. Gambaran yang disajikan adalah profil umum kapasitas politik aktor dan variasinya yang dihasilkan dari pengolahan data lanjutan dengan menggunakan analisis kluster. Setelah itu, pada Bab 3 akan memberikan uraian ringkas tentang temuan-temuan penting dari baseline survey UGM-UiO mengenai situasi aktual demokrasi. Bagian ini diperlukan karena dua alasan: pertama, menjadi konteks yang membatasi penjelasan sebelumnya tentang profil kapasitas politik aktor; kedua, menjadi konteks yang menjadi basis pijakan guna pengembangan analisis selanjutnya ketika merumuskan alternatif rekomendasi. Analisis yang menghubungkan profil kapasitas politik aktor dan situasi aktual demokrasi akan dilakukan pada bagian berikutnya (Bab 4). Di sana akan diulas masalahmasalah perlu dihadapi dan peluang apa saja yang dapat dimanfaatkan agar para aktor gerakan demokrasi dapat memanfaatkan secara optimal kapasitas politik yang mereka miliki untuk mengantisipasi situasi aktual demokrasi, guna perbaikan proses demokratisasi pada tahap berikutnya. Kesimpulan dari analisis itu akan dituliskan pada bab terakhir.
- o0o -
25