Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak
Memunculkan Anak sebagai Aktor Perdamaian: Upaya Memutus Siklus Konflik Secara Transformatif "Anak-anak yang bertumbuhkembang pada iklim pembunuhan, penculikan, dan teror, cenderung pada masa kedewasaannya kelak ia tidak mempunyai gagasan bagaimana memaknai kemampuannya untuk belajar, bermain, dan hidup aman di rumah bersama keluarganya, atau bersosialisasi dengan sebayanya. Dan mereka akan melanggengkan siklus perang dan kekerasan pada generasi yang akan datang. Dititik ini mengapa kita percaya bahwa perlindungan anak-anak dari dampak konflik bersenjata merupakan tanggung jawab dasar siapapun – pemerintah, organisasi internasional dan setiap segmen masyarakat madani serta seluruh sektor komunitas bisnis”. – Graça Machel. 1
I. Pendahuluan
S
ejak 1990 telah terjadi lebih dari 60 perang bersenjata pada 48 lokasi. Sebagian besar konflik tersebut merupakan konflik dalam negeri (intrstate conflict) di mana 57 konflik tersebut mengakibatkan kematian lebih dari 1000 orang per tahun. Bahkan pada 2006 yang lalu terdapat 17 Konflik bersenjata yang tergolong besar. Akibat konflik bersenjata tersebut terdapat 2 juta anak terbunuh, 6 juta anak menderita cacat permanen atau luka, lebih dari 14 juta anak mengungsi, dan lebih dari 1 juta anak menjadi yatim dan terpisah dari orang tua. Selain itu lebih dari 250 ribu anak tergabung dalam kelompok dan angkatan bersenjata sehingga setiap tahun 8 – 10 ribu anak terbunuh atau menjadi cacat terkena ranjau darat. 2 Konflik bersenjata menghasilkan kerusakan secara masif, tidak hanya menyebabkan banyak anak-anak terbunuh dan luka, tetapi tak terbilang kebutuhan emosional dan material mereka terampas, termasuk struktur sosial dan budaya yang menopang kehidupan anak-anak. Seluruh tatanan kemasyarakatan, keluarga, sekolah, sistem kesehatan, institusi keagamaan, tercabik satu demi satu. Konflik bersenjata melanggar setiap hak anak – hak atas hidup, hak atas keluarga dan masyarakat, hak atas kesehatan, hak atas pengembangan pribadi dan hak untuk mendapatkan pengasuhan dan perlindungan. Pelanggaran hak tersebut telah mengacaukan jaringan sosial dan hubungan utama yang mendukung pengembangan fisik, emosi, moral, pengetahuan, dan sosial anak-anak. 3 Kemudian, berdasarkan studi yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation/WHO), sepanjang konflik bersenjata anak-anak mengalami trauma yang memicu dan berkontribusi pada permasalahan psikologis anak-anak 4 karena mereka mengalami peristiwa-peristiwa : OECD, The DAC Guidelines Helping Prevent Violent Conflict, OECD Publications, Paris, Perancis, 2001, hal. 25 2 Lihat Dyan Mazurana & Khristoper Carlson, The Girl Child and Armed Conflict: Recognizing and Addressing Grave Violations of Girl’s Human Rights, Article on Expert Group Meeting Elimination of All Forms of Discrimination and Violence Against the Girl Child, Florence, Italy, 25 -28 September 2006, hal. 2 3 General Assembly United Nation, PROMOTION AND PROTECTION OF THE RIGHTS OF CHILDREN, Impact of armed conflict on children, Fifty-first session, Item 108 of the provisional agenda, A/51/306 26 August 1996, hal. 9 4 Anak di bawah usia 6 tahun mereka sepenuhnya tergantung kepada orang dewasa di sekitarnya. Mereka akan mengalami kesulitan untuk mengatasi peristiwa traumatic tanpa kehadiran orang dewasa yang peduli dengannya. Hal ini disebabkan mereka sangat memiliki 1
1
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak • • • • • • • • • • •
Pembersihan etnis dan genosida; Kehilangan atau kematian ayah, ibu atau anggota keluarga yang lain; Hidup sendiri dan terdapatnya kesenjangan untuk mendapatkan perlindungan dan perawatan; Kekerasan yang ekstrim, penyiksaan, kekerasan dan eksploitasi seksual, dipenjara, dan ditahan; Kamp konsentrasi dengan kondisi di bawah batas-batas kemanusiaan; Terlibat dalam aksi-aksi pasukan militer dan pasukan paramiliter, termasuk melakukan pembunuhan terhadap keluarga dan orang-orang terdekat mereka; Menyaksikan kekejaman, penculikan keluarga, pengambilan anggota keluarga dari rumah mereka; Penindasan secara kultur; Putusnya pendidikan; Ketidakpastian masa depan; 5 Kehilangan akta kelahiran. 6
Peta berikut menunjukkan lokasi-lokasi di mana terjadi pembakaran sekolah dan tempat pengungsian sebagai akibat konflik bersenjata antara TNI dengan GAM yang hampir terjadi di seluruh wilayah Aceh. Jika melihat sebaran lokasi-lokasi tersebut, dampak konflik bersenjata di Aceh sudah dapat dipastikan dirasakan oleh hampir seluruh anak-anak Aceh karena mereka terpaksa mengungsi dan tidak bisa bersekolah.
keterbatasan menoleransi ketakutan dan kesedihan. Selanjutnya pemahaman yang terbentuk oleh ketidakmatangan mengakibatkan mereka belum mampu memahami semua peristiwa yang dialami. Reaksi yang umumnya terlihat pada diri mereka antara lain putus asa, murung, gelisah, penuh ketakutan, lekas marah, gangguan fungsional, kehilangan nafsu makan, dan tidak semangat bermain, tidur bermasalah, dan mimpi buruk. Sedangkan anak antara umur 6 sampai dengan 12 tahun secara subtansial memiliki kapasitas untuk mengatasi rasa trauma. Permainan, fantasi, dan imajinasi akan membantu mereka untuk memahami suatu peristiwa tragis dan mampu mengkaitkannya. Tantangan psikologis dalam masa ini justru mengatasi masalah-masalah mereka seperti konsentrasi, ingatan, sulit untuk belajar, dan gangguan psikososial seperti perubahan tingka laku, kehilangan spontanitas, pasif, tindakan depresi atau agresif. International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, PSYCHO-SOCIAL ASSISTANCE FOR CHILDREN AFFECTED BY ARMED CONFLICT, HENRY DUNANT INSTITUTE & INTERNATIONAL COORDINATING GROUP OF CABAC (CHILDREN AFFECTED BY ARMED CONFLICT), 1211 Geneva 19, Switzerland, 1999, hal. 13 5 International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, ibid hal. 17 6 Menurut penilitian Innocenti Research Centre di seluruh dunia terdapat 40% anak tidak memiliki akta kelahiran yang dikarenakan negara tersebut merupakan negara miskin dan/atau negara tersebut dilanda konflik bersenjata. Ketiadaan akta kelahiran berakibat sulitnya mencari dan mereunifikasi anak-anak yang terpisah akibat konflik bersenjata. Akibat lebih jauh anak sangat berisiko untuk diabaikan, dieksplotasi, atau direkrut menjadi anggota pasukan bersenjata. Lihat Innocenti Insight, Birth Registration and Armed Conflict, UNICEF Innocenti Research Centre, Florence, Italy, 2007, hal. 2
2
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak
Sumber : wwwnotes.reliefweb.int/w/fullMaps_Sa.nsf/luFullMap/
3
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak Akibat pembakaran tersebut menurut statistik dari Departemen Pendidikan Daerah memperlihatkan bahwa selama periode Mei 2003-Februari 2004, 137,000 anak telah berhenti sekolah. Selain itu tingginya angka putus sekolah juga disebabkan kaena guru mereka telah dibunuh atau tidak mau mengajar karena terancam, dan juga disebabkan keluarga maupun anak itu sendiri mengalami ketakutan. 7 Sementara itu, fluktuasi peristiwa-peristiwa yang terkait dengan konflik antara Pemerintah RI dengan GAM berdasarkan pemberitaan 2 (dua) media massa lokal Aceh yaitu Serambi dan Aceh Kita, selama periode 2005 – awal 2006 dapat terlihat pada tampilan berikut. 8
Di sisi lain selama periode DOM (1989-1998) sekitar 15.000 penduduk terbunuh, 1958 orang hilang, 128 perempuan dan anak gadis diperkosa, 81 kasus kekerasan seksual, 597 rumah terbakar, dan 16.375 anak menjadi yatim-piatu. Sampai dengan Juli 1998 terdapat 23 kuburan masal yang berisi rata-rata 100 orang. 9 Akibat konflik yang berkepanjangan tersebut terjadi pengungsian penduduk Aceh ke beberapa wilayah lain di Indonesia seperti Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Berikut data jumlah pengungsi dalam negeri penduduk Aceh akibat konflik bersenjata di Aceh yang sebagian besar mengalir ke Propinsi Sumatera Utara. Jumlah pengungsi yang tercantum di bawah ini belum mencakup jumlah pengungsi asal Aceh yang berada di Propinsi Aceh maupun propinsi-propinsi yang lain. 10 Tahun Pertengahan 2001 Akhir Juli 2002 April 2003 Oktober 2003 Februari 2004
Jumlah Pengungsi 30.000 orang 122,866 orang 100.000 orang 117.000 orang 123. 000 orang
Kondisi-kondisi di atas berdampak pada terhalanginya anak-anak dalam meraih lingkungan keluarga yang beratmosfirkan kebahagiaan, kasih sayang, dan pemahaman 7 8 9
10
http://www.aceheye.org World Bank/DSF, Aceh Conflict Monitoring Update, 1st – 30th April 2006 M.N.Djuli, Aceh for beginners or The Process of Ethnic Dilution in Aceh, tanpa tahun Diolah dari Laporan Global IDP, PROFILE OF INTERNAL DISPLACEMENT : INDONESIA,
Norwegian Refugee Council/Global IDP Project, tahun 2001 - 2004
4
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak yang dijadikan sebagai pijakan filosofis Konvensi Hak Anak/KHA (Convention on the Rights of the Child/CRC. Preambul KHA menyatakan bahwa : “Mengakui bahwa anak, untuk perkembangan kepribadiannya sepenuhnya yang penuh dan serasi, harus tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarganya dalam suasana kebahagiaan, cinta dan pengertian.” Lebih lanjut Preambul KHA menyatakan bahwa anak-anak sebagai korban dari konflik bersenjata semestinya menikmati semua hak yang diakui dalam KHA, terlebih lagi ketika kondisi kehidupannya mengalami masa-masa sulit dan membutuhkan perlindungan khusus karena konflik bersenjata. 11 Secara normatif negara tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawabnya untuk melindungi dan membantu anak-anak pada saat terjadi konflik bersenjata. Kewajiban ini merupakan prinsip dasar dari hak asasi manusia (HAM) dan hukum perang (humanitarian law). 12 Hal ini ditegaskan oleh Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee) dalam Komentar Umum (General Comment) No. 31 tahun 2004 yang menyatakan bahwa:
“Kovenan dapat juga diterapkan pada situasi konflik bersenjata namun ketentuan yang terdapat dalam hukum humaniter internasional merupakan hukum yang lebih spesifik untuk mengatur situasi tersebut. Dengan demikian aturan yang khusus dalam hukum humaniter internasional relevan untuk menginterpretasikan hak-hak yang dijamin dalam Kovenan. Kedua sistem hukum tersebut saling melengkapi bukan berdiri semdiri secara eksklusif.” Sehubungan dengan situasi darurat, negara dapat mengurangi (to derogat) atau menyimpang (to deviate) ketentuan-ketentuan Kovenan Hak Sipil dan Politik asalkan kekuasaan untuk menguranginya dibatasi oleh aturan hukum yang demokratis. Namun, berbeda dengan ketentuan Kovenan Hak Sipil dan Politik, pada KHA tidak dikenal adanya ketentuan yang membolehkan negara mengurangi kewajibannya untuk melindungi hak asasi anak meskipun negara dalam kondisi darurat sekalipun. 13 Dalam perspektif jender, konflik bersenjata merupakan aktivitas yang terdeferensiasi secara jender dengan pembagian kerja yang tegas. Para petarung di medan laga lebih banyak didominasi laki-laki termasuk institusi-institusinya. Seiring dengannya, pendefinisian maskulinitas dan feminitas diciptakan dan dimobilisasi. Perempuan menjadi pemangku kebudayaan, pemegang ekonomi, dan penjaga komunitas. 14 Dengan kata lain konflik merupakan kombinasi quadrilateral antara jender, struktur, kultur, dan kekerasan/perdamaian dalam suatu formasi sosial patriarkis. 15 Dalam konstruksi patriarkis seperti ini maka setiap terjadi konflik bersenjata sudah apat dipastikan korban didominasi oleh anak-anak dan perempuan. Kondisi ini dapat ditunjukkan dalam banyak kasus bahwa perempuan yang dikonstruksikan mengasuh justru malah dijadikan sebagai alat untuk menaklukkan pihak yang lain. Oleh karena jika setiap perempuan menjadi korban konflik maka dampaknya akan berimpas pada anak-anak yang menggantungkan hidupnya pada diri perempuan tersebut . Tampilan berikut ini menunjukkan fakta empiric bahwa
International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, op.cit, hal. 19 Marta Santos Pais, Kata Pengantar dalam Innocenti Insight, op.cit, hal. vii 13 Innocenti Insight, Birth Registration and Armed Conflict, ibid, hal. 3 14 OECD, The DAC Guidelines Helping Prevent Violent Conflict, loc.cit 15 Johan Galtung, Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003, hal. 89 11
12
5
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak jumlah pengungsi akibat konflik selalu menimbulkan implikasi besar pada anak-anak dan perempuan. 16
Seturut dengannya penderitaan dan dampak konflik akan dirasakan berbeda antara anak perempuan dan anak laki-laki, bahkan di antara anak perempuan itu sendiri. Perbedaan ini tidak terlepas dari konstruksi budaya patriarkhis yang melekat pada konflik bersenjata tersebut. Berdasarkan perspektif yang sebangun konflik bersenjata dapat dilihat sebagai institusionalisasi dominasi laki-laki dalam struktur vertikal dengan korelasi sangat tinggi antara posisi dan jender. 17 Kemudian situasi ini dilegitimasi oleh kebudayaan dan termanifestasikan melalui kekerasan langsung oleh laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek. 18 Dengan demikian konflik bersenjata yang terkonstruksi secara patriarkhis menempatkan kelompok perempuan dan kelompok anak perempuan menjadi sasaran utama dalam konflik bersenjata. 19 Bahkan sekaligus menjadi metode dan strategi untuk merusak keseluruhan komunitas serta identitas kebudayaan pihak lawan. 20 Melihat situasi ini dapat disimpulkan bahwa setiap terjadi peristiwa konflik bersenjata perempuan dan anak-anak merupakan elemen yang paling rentan menjadi korban. 21
16
Global IDP, PROFILE OF INTERNAL DISPLACEMENT : INDONESIA, Norwegian Refugee
Council/Global IDP Project, 2004, hal. 60
Johan Galtung, Studi Perdamaian, ibid OECD, The DAC Guidelines Helping Prevent Violent Conflict, op.cit 19 Selama Perang Teluk para pilot pembom AS (laki-laki) di atas kapal USS Kennedy menonton video porno sebelum melakukan serangan mendadak untuk menghancurkan sasaran-sasaran militer dan sipil dan membunuh tentara dan warga sipil. Lihat Johan Galtung, Studi Perdamaian, ibid, hal. 92 20 OECD, The DAC Guidelines Helping Prevent Violent Conflic, loc.cit . Dalam perang, pemerkosaan atas perempuan musuh adalah bagian dari penaklukan. Johan Galtung mengajukan 6 (enam) hipotesis hubungan antara seksualitas dan pekerjaan tentara yakni membunuh dan menghancurkan, bukan dibunuh dan dihancurkan. Lihat lebih jauh dalam Johan Galtung, Studi Perdamaian, ibid, hal. 93 - 96 21 Lihat Dyan Mazurana & Khristoper Carlson, op. cit. hal. 3. Sedangkan menurut data Wamen‘s Crisis for Refeguee kira-kira setengah dari 35 juta pengungsi dan pengungsi dalam negeri berusia di bawah 18 tahun. Lihat Office of Conflict Management and Mitigation USAID, Youth and Conflik: A Toolkit for Intervention, Washington, US, tanpa tahun, hal. 13 17 18
6
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak Pada titik ini konflik bersenjata sesungguhnya merupakan manifestasi kekerasan berbasis jender, 22 di mana pengalaman dan dampaknya terdiferensiasi secara jender pula. 23 Selama terjadi konflik bersenjata anak-anak perempuan mengalami perlakuan yang kejam, seperti : (i) pembunuhan atau pemutungan (ii) penggunaan, perekrutan, wajib militer, atau penempatan anak perempuan sebagai pasukan bersenjata; (iii) pemerkosaan dan kekerasan seksual yang kejam; (iv) eksploitasi seksual; (v) penculikan; (vi) kawin paksa; dan (vii) peningkatan angka anak perempuan yang kedapatan menderita HIV/AIDS. 24 Sampai September 2003, lebih dari 1000 perempuan pengungsi Aceh dipaksa menjadi pelacur. Mereka menjadi korban perdagangan perempuan. Perempuan yang diperdagangan rata-rata berusia 16 – 26 tahun. 25 Dalam perspektif telaah feminisme, tentu saja setiap anak perempuan yang menjadi korban tindakan brutal tersebut akan merasakan penderitaan dengan derajat yang berbeda-beda. Karena pengalaman individu setiap perempuan berbeda satu dengan yang lain dalam merespon setiap peristiwa yang berdampak pada dirinya. Meskipun dampak setiap konflik bersenjata dirasakan lebih mendalam oleh anak-anak, bukan berarti anak-anak tidak berpotensi menjadi agen perdamaian. Pendekatan tradisional yang top-down dan mempunyai fokus yang terbatas yakni memberikan bantuan (charity) justru meruntuhkan potensi dan kapasitas individual dan komunitas untuk melakukan langkah-langkah penyelesaian masalah. 26 Model pendekatan ini tidak menyelesaikan persoalan konflik secara mendasar. Dengan kata lain akar masalah konflik akan menjadi pemicu konflik di masa yang akan datang tidak tersentuh. Pada titik ini signifikan untuk memodifikasi intervensi kepada anak-anak korban konflik bersenjata tidak terbatas hanya melalui pendekatan pemberian bantuan, tetapi perlu ditindaklanjuti dengan pendekatan pendidikan perdamaian (peace education approuch). Pemberian bantuan kepada anak korban konflik bersenjata yang bersifat mendasar memang dibutuhkan pada saat terjadinya konflik bersenjata. Namun kemudian, pada masa pemulihan hingga terciptanya kondisi ideal, yakni terwujudnya perdamaian, intervensi kepada anak korban konflik bersenjata melalui pendidikan perdamaian perlu diintegrasikan dalam penanganan anak korban konflik bersenjata. Perbedaan penanganan tersebut tergambar di bawah ini. 27
Dyan Mazurana & Khristoper Carlson, Ibid OECD, The DAC Guidelines Helping Prevent Violent Conflic loc.cit 24 Dyan Mazurana & Khristoper Carlson, op.cit., hal. 3-4 25 Global IDP, PROFILE OF INTERNAL DISPLACEMENT : INDONESIA, op.cit, hal. 96 26 Pat Pridmore, Priya Coomaraswamy, Vesna Dejanoovic, Partisipasi Anak-Anak Dalam Situasi Konflik dan Bencana dalam Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta, REaD Book, 2002, hal. 325 27 YPHA membedakan penanganan terhadap anak korban bencana alam tsunami bergantung pada situasi dan kondisi yang melingkupi kehidupan anak. Dalam konteks perlindungan anak korban bencana alam tersebut terdapat 2 periode yakni (i) anak dalam situasi khusus dan (ii) anak dalam kondisi ideal. Kedua kondisi ini semestinya menjadi pertimbangan setiap pihak yang akan menangani anak-anak. Lihat YPHA, Laporan Akhir Assesment Children Centre UNICEF di Aceh dan Nias : TOWARDS LONG TERM CHILD 22 23
PROTECTION COMMUNITY WORK : LESSONS LEARNING FROM CHILDREN CENTERS WORK IN ACEH AND NIAS , Jakarta, 2006, hal. III-2
7
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak ANAK DALAM KONDISI KHUSUS
ANAK DALAM KONDISI IDEAL
Hancurnya potensi fisik, kemanusiaan, sosial, ekonomi, dan potensi natural masyarakat Aceh akibat konflik bersenjata
Pulihnya potensi fisik, kemanusiaan, sosial, ekonomi dan potensi natural masyarakat Aceh
EMERGENCY
SOCIAL RECOVERY
Kebutuhan Dasar
Kebutuhan Dasar + Pendidikan Perdamaian
Gambar 1: Perbedaan penangan bagi anak korban konflik bersenjata
Secara skematik intervensi terhadap anak-anak yang hidup dalam konflik bersenjata agar mereka di masa yang akan datang menjadi aktor-aktor yang menebarkan perilaku damai sebagai berikut. 28
Konflik Bersenjata
PERUBAHAN PSIKOLOGIS DAN PERILAKU ANAK-ANAK (Fase Trauma Healing) Pengorganisasian
Kurikulum Perdamaian PENDIDIKAN PERDAMAIAN
PERUBAHAN PERILAKU BARU BERBASIS BUDAYA DAMAI
(Fase Pemulihan) (Kondisi Ideal) Advokasi
Gambar 2: Skema Integrasi Pendidikan Pedamaian
Intervensi melalui pendidikan perdamaian perlu dilakukan karena fokus utama pendidikan perdamaian adalah merubah perilaku (focus on behavioural change). Fokus pendidikan perdamaian pada perubahan perilaku ini dapat terbaca pada definisi pendidikan perdamain yang dirujuk UNICEF. Definisi tersebut menyatakan bahwa pendidikan perdamaian merupakan proses pemajuan pengetahuan (knowledge), kecakapan-kecakapan (skill), sikap-sikap (attitudes), dan nilai-nilai (values) yang dibutuhkan untuk menghasilkan perubahan tingkah laku yang mana akan memungkinkan anak-anak, remaja, dan dewasa untuk : (i) mencegah konflik dan kekerasan, baik tindakan maupun secara struktural (to prevent conflict and violence, both overt and structural); (ii) memecahkan konflik secara damai (to resolve conflict peacefully); dan (iii) menciptakan kondisi yang kondusif bagi perdamaian (to create the conditions conducive to peace), apakah pada level diri individu (intrapersonal), antarindividu (interpersonal), dalam kelompok (intergroup), national (national) atau internasional (international). 29 Hal ini sesuai dengan tujuan dari pendidikan perdamaian yang dicanangkan dalam UNESCO (United Nations Educational, 28 Mengadopsi Konsep Pengembangan Ecocity Calang, Laporan Akhir Studi Pengembangan Eco city Calang, PT. Santika Kusuma Agung, Jakarta, 2006 29 Susan Fountain, Peace Education in UNICEF, UNICEF Staff Working Papers, Programme Division UNICEF New York, 1999, hal.
8
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak Scientific and Cultural Organization) Declaration and Integrated Framework of Action on Education for Peace, Human Rights and Democracy, pada paragraf 6 yang menyatakan :
“Tujuan utama dari pendidikan untuk perdamaian, HAM, dan demokrasi adalah pengembangan setiap individu yang memiliki nilai-nilai dan bentuk-bentuk tingkah laku yang mencerminkan budaya-budaya damai dapat diprediksikan. Hal ini dimungkinkan apabila perbedaan kontekstual sosio-kultural sesuai dengan nilai-nilai universal yang telah diakui.” 30 Dengan demikian pendidikan perdamaian mengkonstruksikan terdapatnya habitus (kebiasaan) baru dan menanggalkan habitus lama. Pada titik ini misi pendidikan perdamaian mendapatkan justifikasi sebagai pintu masuk pembaruan habitus dengan mengangkat "simpul-simpul" kultural perilaku damai masyarakat dan menyodorkan kembali secara kritis. Pengangkatan secara kritis "simpul-simpul" kultural hendak menegaskan, praktik pendidikan perdamaian harus mendorong masyarakat mencari kembali makna dan konteks perwujudan nilai-nilai itu dalam tatanan masyarakat baru. 31 Untuk mengubah perilaku sebagaimana menjadi fokus pendidikan perdamaian, maka dibutuhkan pendekatan yang tepat sehingga pendidikan perdamaian tersebut sesuai dengan konteks sosial kemasyarakatan yang ada. Studi perdamaian konstruktif merupakan pendekatan pendidikan perdamaian yang tepat untuk diterapkan bagi anak-anak korban konflik bersenjata. Studi perdamaian konstruktif didasarkan pada konstruktivisme, yakni perbandingan sistematis antara teori dengan nilai-nilai melalui upaya menyesuaikan teori dengan nilai-nilai sehingga menghasilkan visi tentang realitas baru. Studi ini dapat dianalogikan dengan apa yang dilakukan para arsitek dan teknisi yang menciptakan habitat-habitat baru dan bangunan-bangunan baru. Konstruktivisme memberikan proposal yang bersifat konstruktif. 32 Pada prinsipnya, pendekatan ini dibangun oleh hubungan-instrinsik dalam segitiga data-teori-nilai. Data membagi dunia menjadi yang tampak dan tidak tampak; teori terbagi dalam teramalkan (artinya dapat dijelaskan dengan teori yang mungkin atau tidak mungkin menyiratkan suatu unsur prediksi) dan tidak teramalkan; dan nilai-nilai membagi dunia menjadi yang dikehendaki dan yang ditolak. Logika konstruktivisme ialah menyesuaikan dengan teori-teori baru, menyesuaikan dengan nilai-nilai sehingga yang dikehendaki dapat teramalkan dan yang tak tertolak menjadi tak teramalkan. Konstruktivis berusaha menciptakan sebuah realitas baru dengan menyesuaikan teori, nilai, dan data satu dengan yang lainnya. 33 Kedua pendekatan ini merupakan upaya mengelola konflik secara transformatif yakni mengubah sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas melalui upaya mengubah kekuatan negatif konflik menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif. 34
30 Deklarasi ini di hasilkan pada sesi ke-44 Konferensi Internasional Pendidikan di Jenewa, pada Oktober 2004. Kemudian deklarasi tersebut disahkan melalui Konferensi Umum UNESCO pada sesi ke-28 di Paris pada November 1995. 31 Mengadopsi pemikiran Agus Suwignyo dalam Pendidikan dan Perubahan Habitus, http://kompas.com/kompas-cetak/0704/03/opini/3426602.htm 32 Johan Galtung, Studi Perdamaian, op.cit, hal. 22-25 33 Johan Galtung, Studi Perdamaian, ibid, hal. 26-27 34 Simon Fisher, et.al., Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak, The British Council, Jakarta, 2001, hal. 7
9
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak II. Situasi Konflik Bersenjata di Aceh : Wilayah Hidup Kehidupan Anak Aceh
Sumber: www.child-soldiers.org
B
erdasarkan Laporan The Coalition to Stop the Use of Child Soldiers dalam Child Soldiers Global Report 2004, Indonesia termasuk salah satu negara di dunia di
mana di dalam wilayahnya anak-anak hidup pada situasi konflik bersenjata. Sepanjang tahun 1998 – 2005 di beberapa tempat terjadi konflik yang melibatkan anak-anak sebagai paramiliter dan pasukan kelompok perlawanan. Konflik-konflik yang melibatkan anak-anak dalam konflik terjadi di Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Aceh, dan Papua. 35 Dari keseluruhan konflik tersebut konflik yang terjadi di
35 Coalition to Stop the Use of Child Soldiers, Child Soldiers Global Report 2004, Coalition to Stop the Use of Child Soldiers 2-12 Pentonville Road (2nd floor) London N1 9HF, United Kingdom, hal. 177
10
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak Aceh menjadi fokus dalam tulisan ini karena konflik Aceh selain dari dimensi waktu terjadinya lebih panjang sejak 1976 36 – 2005, 37 dan pada dimensi lain konflik ini telah mengalami internasionalisasi. Internasionalisasi ini ditandai dengan adanya intervensi pihak ketiga dalam penyelesaian konflik Aceh. Pada tahun 2000, Presiden Abdulrahman Wahid berinisiatif berdialog dengan GAM yang dimediasi oleh Henry Dunant Center (HDC). Pada titik ini hukum nasional dan hukum internasional bersinggungan yurisdiksinya dalam penyelesaian konflik tersebut. Selama masa panjang konflik di Aceh telah digelar rangkaian operasi militer oleh Pemerintah Indonesia untuk menumpas GAM. Rangkaian operasi militer tersebut melalui 2 (dua) masa pemerintahan yakni: pertama, semasa rezim Orde Baru; dan kedua, pasca rezim Orde Baru. Pada masa Pemerintahan Rezim Orde Baru, terdapat 2 (dua) periodesasi operasi militer, yakni: pertama, periode konflik bawah tanah yang dikenal sebagai Pra Operasi Daerah Militer (Pre-Military Operation Territory) 1976 – 1989. Pada periode ini operasi militer yang dilancarkan ditujukan dengan dalih operasi opium (military operation camouflaged) dengan mengunakan sandi : Operasi Oktopus, Operasi Kadet, Operasi Kobra, dan Operasi Indigo. Kedua, Periode DOM 1989-1998. Pada akhir 1980-an Pemerintah melancarkan operasi propaganda dan operasi intelejen yang ditujukan secara langsung kepada GAM. Pada masa sesudahnya digelar operasi militer dengan tujuan menumpas GAM secara sistematis. Sedangkan pada masa Pemerintahan Pasca rezim Orde Baru, periode operasi militer berlangsung 1998-2003, di mana konflik antara kedua belah pihak semakin terbuka. Pada masa ini masih dilancarkan rangkaian aksi militer dengan nama operasi sebagai berikut : • • • • • • •
Operasi Wibawa I - VII (1998-1999) Operasi Sadar Rencong I - III (1999-2000) Operasi Cinta Meunasah I - II (2000-2001) Operasi Cinta Damai I - II (2001-2002) Operasi Rehabilitasi Ketertiban dan Hukum I-II (2001-2002) Darurat Militer (19 Mei-19 November 2003) Darurat Sipil (19 November 2003-2005) 38
Pada masa-masa operasi militer di atas dihasilkan 2 (dua) kesepakatan damai yang relatif berhasil menurunkan eskalasi konflik bersenjata di antara kedua belah pihak. Kesepakatan pertama, pada 2000 atas intervensi Henry Dunant Centre (HDC) dihasilkan “jeda kemanusiaan” yang berhasil menurunkan terjadinya kekerasan bersenjata di antara kedua belah pihak. Kemudian, kesepakatan kedua, terjadi pada bulan Desember 2003, dengan perantara HDC, dan dibawah tekanan dari Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan Bank Dunia, Indonesia dan GAM menandatangani Perjanjian Kerangka Gencatan Senjata atas Permusuhan (the Cessation of Hostilities Framework Agreement atau/COHA). 39 Namun dalam perjalanan mengimplementasikan COHA masing-masing pihak melakukan pelanggaranpelanggaran yang berakhir pada kebuntuan. Krisis implementasi CoHA akhirnya berujung pada penolakan GAM terhadap pertemuan untuk pembahasan Dewan Bersama (Joint Council) pada tanggal 25 April 2003 sebagaimana dimandatkan dalam 36 GAM sudah ada sejak para pendirinya mendeklarasikan kemerdekaannya dari Jakarta pada tahun 1976. Lihat Human Rights Watch, ACEH DIBAWAH DARURAT MILITER: DI DALAM PERANG RAHASIA, Desember 2003, Vol. 15, No. 10 (C), hal. 37 Konflik bersenjata di Aceh secara yuridis berakhir manakala pada 15 Agustus 2005, Perjanjian Helsinki ditanda tangani oleh Pemerintah Ri dengan GAM 38 Otto Syamsuddin Ishak, The Anatomy of Aceh Conflict, Laporan Riset, tanpa tahun 39 Human Rights Watch, Vol. 15, No. 10 (C), hal. 10-11
11
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak CoHA . Krisis ini direspon pemerintah RI di bawah Presiden Megawati dengan mengajukan proposal bagi dijalankannya Operasi Terpadu sebagai jawaban atas persepsi mereka tentang kebuntuan proses perundingan damai. 40 Dengan melihat masa konflik Aceh yang demikian panjang, pada titik ini menentukan status konflik bersenjata di Aceh sebagai konflik internal menjadi signifikan. Dengan kata lain, status internasionalisasi konflik internal menjadi titik masuk bagi perlindungan noncombatans (pihak-pihak yang tidak terlibat langsung dalam konflik) melalui hukum humaniter internasional. Selama konflik bersenjata berlangsung, anak-anak yang berusia antara 14-18 tahun dilibatkan dalam konflik bersenjata antara GAM dengan Pemerintah Republik Indonesia. Dalam konflik tersebut anak-anak menjadi target penangkapan oleh pasukan TNI. Kasus Salah Tangkap Pada 26 Juni 2003, sejumlah anggota Brimob menangkap Indra Saputra (14 tahun) yang dianggap sebagai anggota GAM yang sedang dicari petugas Brimob. Target sebenarnya dari operasi yang dilakukan oleh pasukan Brimob adalah Indra Budiman, seorang anggota GAM. Tanpa memastikan identitas orang yang ditangkap, termasuk faktor usia yang bersangkutan, Indra Saputra pun ditangkap dan ditahan tanpa pemberitahuan kepada orang tua maupun keluarganya. Setelah 2 (dua) minggu mencari, orang tua Indra Saputra menemukan anaknya di Polresta Banda Aceh. Pihak kepolisian, kemudian mengakui bahwa Indra Saputra bukanlah orang yang dicari. Sumber: Dedy Dedy Ardian Prasetyo, Materi Pelatihan HAM dan Keberagaman, YPHA, 2007, kutipan dari www. Aceh-eye.org
Berdasarkan laporan Orlando de Guzman dan Sian Powell yang dikutip dalam Soldiers Global Report 2004, penangkapan tersebut mengakibatkan 11 (sebelas) anak tewas. Kemudian berdasarkan laporan KOMNAS HAM terdapat 2 (dua) orang anak menjadi korban penembakan sewenang-wenang. Selanjutnya pada Mei 2003, menurut pengakuan seorang anggota TNI, 10 (sepuluh) anggota pasukan GAM terlibat kontak senjata setelah mereka meledakkan sebuah jembatan. Di antara 4 (empat) yang anggota GAM yang tertembak, terdapat seorang anak yang berusia 13 tahun, Pada Juni tahun yang sama 2 (dua) orang remaja tertangkap ketika akan membakar sekolah. Menurut pengakuan mereka selama bergabung dengan GAM, mereka telah membakar 60 sekolah. Awal tahun 2004, seorang anak berusia 14 tahun tertangkap karena membawa granat. Anak-anak terlibat dalam konflik bersenjata karena mereka direkrut sebagai anggota GAM. GAM merekrut anak-anak sebagai informan, pesuruh, pendukung logistik, pemasak, dan pembawa pesan. Bahkan beberapa diantaranya digunakan untuk mencuri senjata dari markas militer atau melempar granat, dan membakar sekolah. Menurut keterangan salah satu komandan militer GAM usia pasukan mereka rata-rata antara 14 – 25 tahun. 41 Konflik Aceh dapat dikategorikan sebagai konflik internal (internal armed conflict) yang telah terinternasionalisasi jika melihat pihak-pihak yang terlibat konflik
Child
40 Daniel Hutagalung, Melihat Aceh Dalam Konteks: Analisis Atas Situasi Aceh, YLBHI, 2003, hal. 7 41 Coalition to Stop the Use of Child Soldiers, Child Soldiers Global Report 2004, loc,cit
12
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak dan mekanisme penyelesaiannya. Dalam perspektif hukum internasional perlindungan terhadap penduduk sipil (civilian), telah diatur dalam 4 (empat) Konvensi Jenewa (The Geneva Conventions of 1949) dan kembali dipertegas dalam 2 (dua) protokol opsional tahun 1977. Aturan-aturan tersebut secara khusus mengikat negara peserta perjanjian untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak termasuk upaya reunifikasi dengan keluarga mereka, pada saat terjadinya konflik bersenjata. 42 Mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil dalam konflik internal, hukum internasional telah mengatur di dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War). 43 Ketentuan pasal ini, kemudian diatur secara lebih rinci dalam Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa yang berkaitan dengan Perlindungan terhadap Korban Perang Internal (Protocol Additional to the Geneva Convention relating to the Protection of Dalam kontek konflik di Aceh, Victims of Non-Internal Armed Conflict). internasionalisasi konflik tersebut dapat dilihat dari karakteristik pihak-pihak yang berperang tersebut, yakni antara GAM sebagai pihak yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah (belligerent) dengan TNI sebagai representasi alat pertahanan negara. Untuk melihat sejauhmana konflik Aceh memiliki karakteristik konflik internal, Jean S. Pictet merinci kriteria-kriteria berikut: pertama, dalam perang internal ada pihak yang melakukan pemberontakan atau penentangan terhadap pemerintahan yang sah secara de jure, memiliki kekuatan militer yang terorganisir, terdapat otoritas yang bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan, bertindak di wilayah tertentu, dan memiliki sarana atau kapasitas untuk mematuhi aturan dalam Pasal 3. Kedua, pemerintahan yang sah berdasarkan kondisi yang ada, diharuskan untuk mengerahkan kekuatan militernya dalam menghadapi kelompok pemberontak (insurgent) yang menggunakan kekuatan militernya dan menguasai sebagian dari wilayah nasional. Ketiga, perlindungan sesuai dengan Pasal 3 dapat diterapkan jika (a) pemerintah yang sah mengakui kelompok pemberontak sebagai pihak yang bertikai (belligerent); atau kelompok pemberontak mengklaim hak sebagai belligerent; atau (c) kelompok pemberontak sepakat dengan status sebagai belligerent hanya untuk tujuan konvensi; atau (d) konflik tersbut telah diakui dalam agenda DK atau MU PBB sebagai ancaman terhadap perdamaian internasional, pelanggaran terhadap perdamaian, atau tindakan agresi. Keempat, mengenai karakteristik pemberontak, Pasal 3 dapat diterapkan apabila : (a) kelompok pemberontak memiliki organisasi yang mengarah pada karakteristik negara; (b) otoritas sipil dari kelompok pemberontak menerapkan 42 Jihad Shomaly, Used of the Children in Occupied Palestinian Territories : Perspektif Child Soldier, Defence for Children International/Palestine Section, 2004, hal.9 43
Pasal 3 Konvensi Jenewa mengatakan bahwa :
“Dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam suatu Negara pihak, setiap pihak diwajibkan untuk : (i) orang-orang yang tidak terlibat aktif dalam sengketa termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata serta mereka yang tidak turut serta karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapaun, dalam keadaan apapun harus diperlakukan manusiawi tanpa perbedaan yang merugikan apapun berdasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan, atau kekayaan, atau setiap kriteria lain yang serupa. Untuk maksud ini maka tindakan-tindakan yang dilarang dan tetap akan dilarang untuk dialkukan terhadap orang-orang tesebut di atas pada waktu dan tempat apapun juga: (a) tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pemutungan, perlakuan kejam dan penganiayaan; (b) penyanderaan; (c) perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat; (d) menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan.”
13
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak wewenag secara de facto terhadap penduduk di wilayah tertentu; (c) kekuatan militer
yang ada bertindak di bawah petunjuk dari otoritas sipil dan dipersiapkan untuk mengetahui perang yang berlaku secara umum; (d) otoritas sipil kelompok pemberontak sepakat untuk teriakt pada aturan-aturan di dalam Konvensi Jenewa. 44 GAM sebagai pihak pemberontak jika merujuk pada pendapat di atas, dapat dikatakan telah memenuhi persyaratan sebagai belligerent, karena berdasarkan pada penelitian Kirsten E. Schulze: (i) GAM memiliki struktur organisasi yang mirip dengan suatu negara. Penelitiannya mengungkapkan bahwa GAM dapat dibagi atas pemerintahan sipil dan struktur militer; 45 (ii) adanya kontrol Sumber : terhadap sejumlahwilayah http://www.globalsecurity.org/military/world/ tertentu. Faktanya, hingga para/images/mapaceh.jpg periode 2003 GAM memiliki sejumlah anggota yang tersebar di delapan daerah, yaitu: Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah, dan Aceh Tenggara dengan jumlah anggota mencapai lebih dari 5.500 orang. 46 Ketiga, intervensi pihak ketiga, yakni Henry Dunant Centre dalam proses perundingan dan dilanjutkan penandata-tanganan nota kesepahaman merupakan bentuk pengakuan (recognition) GAM sebagai aktor internasional yang kedudukannya setara dengan Pemerintah RI. 47 Dengan demikian, mengacu pada kriteria-kriteria di atas maka kedua belah pihak yang terlibat berkonflik bersenjata di Aceh terikat untuk mematuhi pada aturan hukum humaniter internasional yang tercantum dalam Konvensi Jenewa dan optional protokol II yang mengatur konflik internal. 48
Lina A. Alexandra, Hukum Perang Internal : Studi Kasus Operasi Terpadu di Aceh 2003, dalam Hak Menentukan Nasib Sendiri, Dignitas: Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume III No. 1 Tahun 2005, Jakarta, ELSAM, 2005, hal. 126-127 45 Para pemimpin GAM pada umumnya disebut dengan jabatan wali negara. Unit administrasi terbesar di bawah kekuasaan wali negara adalah nanggroe (propinsi) dan dibantu oleh panglima nanggroe yang merupakan panglima militer. Nanggroe terdiri dari beberapa distrik (sagoe) yang dipimpin oleh kepala distrik (ulee sagoe) dan dibantu oleh panglima militer distrik (panglima sagoe). Setiap sagoe dibagi atas beberapa subdistrik (mukim) yang dikepalai oleh imum. Kemudian setiap mukim terbagi menjadi beberapa desa yang dipimpin oleh kepala desa (geutjhik) yang dibantu oleh seorang wakil (waki) dan empat orang tetua (tuha peut). Sedangkan struktur militer GAM terdiri dari Panglima TNA (Tentara Negara Aceh) yang membawahi 17 panglima. Panglima wilayah membawahi empat panglima daerah. Panglima daerah membawahi panglima sagoe. Panglima sagoe ini mengatur pasukan di dalm kelompokkelompok. Lihat, Lina A. Alexandra, Hukum Perang Internal , ibid, hal. 137 46 Kirsten E. Schulze dalam Lina A. Alexandra, Hukum Perang Internal , ibid, hal. 138 47 Kompas, Memahami Prakarsa Kemanusiaan untuk Aceh, 17 Mei 2000, hal. 7 48 Meskipun Pemerintah RI belum meratifikasi Optional Protokol II yang mengelaborasi ketentuan Pasal 3 Konvensi Jenewa, namun hal ini tidak berarti TNI tetap terikat secara moral mematuhi ketentuan Optional Protokol II karena ketentuan Optional Protokol II merupakan uraian lebih rinci dari Pasal 3. Di samping itu, Pasal 3 Konvensi Jenewa menurut Lindsay Moir merupakan salah satu dari tiga peremptory norm yakni : (i) melindungi dasar-dasar hukum perdamaian dan kemanusiaan; (ii) aturan kerja sama yang melindungi kepentingan bersama yang fundamental; dan (iii) melindungi kemanusiaan dalam hal martabat manusia, 44
14
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak III. Perlindungan Terhadap Hak Asasi Anak dalam Situasi Konflik di Aceh: Perspektif Hukum HAM Internasional
P
erlindungan terhadap hak asasi anak dalam situasi konflik bersenjata
(children conflict)
in situation of
armed
diartikan sebagai perlindungan anak sebagai korban konflik
(the protection of children as the victims of that conflict). Fokus perlindungan
tersebut dititikberatkan pada perlindungan anak dari dampak-dampak kekerasan, termasuk di dalamnya kebutuhan dasar hidup dan hak atas pendidikan. Cakupan perlindungan tersebut, meskipun tidak bisa dipisah-pisahkan, meliputi 2 (aspek) berikut :
a. Anak yang terlibat sebagai kombatan (children as participants) b. Anak sebagai bagian penduduk sipil yang menjadi korban konflik (children as victims) 49 Dalam situasi konflik bersenjata perlindungan hak asasi anak secara umum tercakup dalam hukum humaniter internasional (International Humanitarian Law). Hukum humaniter internasional merupakan seperangkat instrumen hukum internasional yang pada pokoknya terdiri dari 4 (empat) Konvensi Jenewa, 1949 dan 2 (dua) Protokol Tambahan, yang mengatur perlakuan bagi kombatan dan penduduk sipil selama terjadi konflik bersenjata. Namun penerapan ketentuan tersebut bergantung pada sejumlah faktor, termasuk jenis konflik bersenjata yang terjadi – apakah konflik internasional atau konflik internal, untuk dapat menentukan penerapan ketentuan Protokol Tambahan I atau Protokol Tambahan II terhadap konflik bersenjata yang terjadi. 50 Konflik Aceh sebagaimana diuraikan di atas dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata internal, dengan demikian ketentuan Protokol Tambahan II dapat diterapkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap penduduk sipil Aceh termasuk kelompok anak. Kemudian instrumen hukum HAM internasional lain yang terkait dengan konflik internal adalah The Convention relating to the Status of Refugees dan Protokol 1967. Kedua ketentuan ini mengatur perihal perlindungan hukum pada tingkat mendasar bagi pengungsi anak karena situasi konflik. 51 Instrumen Hukum HAM internasional yang sui generis mengatur anak dalam situasi konflik bersenjata berdasarkan kedua cakupan perlindungan di atas adalah Konvensi Hak Anak (The Convention on the Rights of the Child) dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan anak dalam konflik bersenjata persamaan individu dan ras, kehidupan, dan kebebasan individu, sehingga ketentuan tersebut tidak boleh diderogasi. Lihat Lina A. Alexandra, Hukum Perang Internal , op.cit, hal. 129 49 Ben Majekodunmi, PROTECTION IN PRACTICE : The protection of children’s rights in situations of armed conflict, UNICEF Experience in Burundi, UNICEF Innocenti Research Centre Florence, Italy, 1999, hal. 3 50 Ben Majekodunmi, PROTECTION IN PRACTICE, ibid, hal. 51 Ben Majekodunmi, PROTECTION IN PRACTICE, ibid,
15
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak (Optional Protocol to the CRC on the Involvement of Children in Armed Conflict).
Pasal 22 dan Pasal 38 KHA merupakan ketentuan yang mengatur secara spesifik anak yang berada dalam situasi konflik. Pasal 22 KHA lebih menekankan pada anak-anak yang menjadi pengungsi, pasal tersebut menyatakan bahwa : 1.
Negara harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin bahwa seorang anak yang sedang mencari status pengungsi atau yang dianggap sebagai pengungsi, sesuai dengan hukum dan prosedur internasional atau domestik yang berlaku, apakah tidak diikuti atau diikuti oleh orang tuanya atau oleh orang lain mana pun, harus menerima perlindungan yang tepat dan bantuan kemanusiaan dalam perolehan hak-hak yang berlaku yang dinyatakan dalam Konvensi ini dan dalam instrumen-instrumen hak-hak asasi manusia 2. Untuk tujuan ini, maka negara harus melindungi dan membantu seorang anak melacak setiap orang tua atau anggota-anggota keluarga yang lain dari pengungsi anak untuk melaksanakan repatriasi dengan keluarganya. Dalam kasus apabila orang tua atau para anggota keluarga lainnya sama sekali tidak dapat ditemukan, maka anak itu harus diberi perlindungan yang sama seperti anak yang lainnya
Sedangkan Pasal 38 KHA titik tekannya pada perlindungan terhadap anak yang terlibat sebagai kombatan, pasal tersebut menyatakan bahwa : 1. Negara berusaha menghormati dan menjamin penghormatan terhadap peraturanperaturan hukum humaniter internasional yang dapat berlaku bagi mereka dalam konflik bersenjata yang relevan bagi anak itu. 2. Negara harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa orangorang yang belum mencapai umur lima belas tahun tidak mengambil suatu bagian langsung dalam permusuhan. 3. Negara-negara Pihak harus mengekang diri agar tidak menerima siapa pun yang belum mencapai umur lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata mereka. Dalam menerima di antara orang-orang tersebut, yang telah mencapai umur lima belas tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun maka Negara-negara Pihak harus berusaha memberikan prioritas kepada mereka yang tertua. 4. Sesuai dengan kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum humaniter internasional untuk melindungi penduduk sipil dalam konflik bersenjata, maka Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin perlindungan dan pengasuhan anak-anak yang dipengaruhi oleh suatu konflik bersenjata. Kemudian pasal-pasal yang terkait dengan anak dalam situasi tersebut antara lain : • • • • • •
Perlindungan anak dari diskriminasi (Pasal 2 ). Hak anak untuk mempertahankan kehidupan dan perkembangannya, sepanjang terjadinya konflik membutuhkan perlindungan khusus (Pasal 6). Hak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan (Pasal 8) Perlindungan terhadap anak yang terpisah dengan keluarganya (Pasal 9, 10), dan mengupayakan pencarian dan reunifikasi anak dengan keluarganya (Pasal 22) Perlindungan terhadap anak yang menjadi pengungsi dan sedang mencari status pengungsi (Pasal 22) Perlindungan terhadap anak yang difabel (Pasal 23), perlindungan ini dilengkapi dengan Aturan Standar PBB mengena perlindungan terhadap anak yang difabel
16
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak • • • • •
Perlindungan terhadap anak dari ekspolitasi seksual (Pasal 34) Perlindungan terhadap anak dari penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi dan meendahkan martabat atau (Pasal 37) Rehabilitasi bagi anak dalam konflik bersenjata, dan secara khusus penyembuhan fisik dan psikologis dan reintegrasi sosial (Pasal 39) Perlindungan hukum anak dalam konflik dengan hukum atau dirampas kebebasannya (Pasal 40) Perlindungan terhadap hak sipil dan hak politik, termasuk hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang terkait dengan pemenuhan hak asasi anak yang esensial dan terkiat dengan perlindungan terhadap anak. 52
Terkait dengan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya hak anak untuk tetap menikmati hak atas pendidikan harus dipenuhi oleh kedua belah pihak yang bersengketa sebagaimana dijamin dalam Pasal 29 KHA. Kewajiban kedua belah pihak untuk menjamin pemenuhan hak anak adalah menciptakan kondisi-kondisi yang menyokong realisasi penuh hak anak atas pendidikan. Kemudian dalam masa darurat pendidikan dibutuhkan karena dapat menjamin keberlanjutan kehidupan dan menyelamatkan kehidupan karena memberikan : • • • • • • • •
Perlindungan secara fisik Kehidupan sosial dan psikologis yang mendukung perkembangan anak Pengembangan pengetahuan 53 Perlindungan dari upaya recruitasi sebagai tentara anak Perlindungan dari tindakan kekerasan seksual dan berbasis gender Tersedia tempat yang aman Pencegahan anak-anak terlibat dalam pekerjaan yang eksplotatif Pencegahan anak-anak terpisah dari keluarga mereka 54
Oleh karena itu untuk mewujudkan hak atas pendidikan, dibutuhkan 7 (tujuh) prasayarat mendasar kebebasan mendasar manusia yaitu: 55 • • • • • • •
Kebebasan dari ketidakadilan dan kekerasan atas nama hukum Kebebasan untuk berkembang dan mewujudkan salah satu HAM yang potensial Kebebasan dari kemiskinan dan kelaparan Kebebasan untuk berpikir dan berbicara dalam setiap proses pengambilan kebijakan Kebebasan dari segala bentuk diskriminasi Kebebasan untuk bekerja secara layak tanpa eksploitasi] Kebebasan dari rasa takut
Kebebasan dari rasa takut sebagai salah satu persyaratan mendasar pemenuhan hak atas pendidikan pada saat terjadinya konflik gagal dipenuhi oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Hal ini diindikasikan dengan dijadikannya sekolah sebagai sasaran Ben Majekodunmi, PROTECTION IN PRACTICE, ibid, Women Commission for Refugee Women and Children, Right to Education During Displacement, NY, Women Commission for Refugee Women and Children, 2006, hal. 16 54 Carl Triplehorn, EducationCare & Protection of Children in Emergencies A Field Guide, Save the Children Federation, 2001, hal. 6 55 Women Commission for Refugee Women and Children, Right to Education During Displacement, op.cit, hal. 14 52 53
17
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak (obyek) perang. Padahal hukum humaniter internasional menyatakan kewajiban para pihak untuk menjamin hak atas pendidikan yang tercermin dalam ketentuan larangan-larangan sebagai berikut: (i) secara sengaja melakukan serangan terhadap obyek-obyek sipil yaitu obyek yang bukan merupakan sasaran militer; (ii) menyerang atau membom dengan sarana apapun kota-kota, desa, perumahan atau gedunggedung yang tidak dipertahankan atau bukan obyek militer; dan (iii) secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang digunakan untuk tujuan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuwan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit, dan tempat perwatan orang sakit dan terluka sejauh bahwa tempat tersebut bukan obyek militer. 56 Jika kedua belah pihak melanggar larangan tersebut maka dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. Jaminan tersebut termasuk apabila anak-anak menjadi pengungsi dalam negeri akibat konflik tersebut. Pasal 23 Pedoman Prinsip-Prinsip Pengungsi Dalam Negeri (1998) yang menyatakan setiap orang berhak atas pendidikan. Di samping itu tuturan anak-anak di bawah ini ketika mengalami situasi konflik bersenjata juga menjadi bukti empirik kegagalan kedua belah pihak menjamin rasa aman masyarakat. Hal ini terjadi karena wilayah-wilayah pertempuran maupun sasaran operasi militer kedua belah pihak dilakukan di permukiman warga masyarakat sehingga menimbulkan suasana yang menakutkan dan sekaligus mengancam kehidupan. Kondisi ini tergambarkan pada ungkapan anak-anak ketika mereke hidup dalam bayang-bayang konflik sebagai berikut.
56
Lihat Statuta Roma Pasal 18
18
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak Kesaksian Anak-Anak Lam Lhom •
Akmal Gunadi, 16 tahun (laki-laki) Meunasah Manyang, Lam Lhom, Aceh Besar Waktu konflik kira-kira 2 (dua) tahun lalu, saya mempunyai kisah yang sangat sangat menakutkan karena pada saat di rumah saya mendengar suara senjata (bedil). Suara senjata itu juga membuat keluarga kami sangat tertekan. Kami merasa tidak aman lagi tinggal di desa apalagi untuk mencari nafkah. Akibat konflik tersebut anak-anak tidak berani lagi bermain secara bebas bersama teman-teman.
•
Syarief Maulana, 16 tahun (laki-laki) Meunasah Karieng, Lam Lhom, Aceh Besar Konflik di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) terjadi sejak lama, mungkin sejak saya belum lahir. Ketika masa konflik pernah terjadi peperangan/kontak senjata di sekitar permukiman penduduk. Masyarakat pada saat kontak senjata tersebut hanya berdiam diri di rumah karena takut terlibat dalam kontak senjata. Dengan kondisi itulah masyarakat sering berdiam diri di rumah. Terkadang-kadang kontak senjata juga terjadi malam hari.
•
Isma Wardani, 15 tahun (perempuan) Meunasah Moncut, Lam Lhom Aceh Besar Setelah GAM dan RI berdamai, saya sangat senang sekali karena tidak ada lagi peperangan. Saya maupun masyarakat setempat tidak merasakan ketakutan lagi karena perdamaian yang sangat diinginkan masyarakat Aceh telah terjadi. Masyarakat Lam Lhom berharap perdamaian abadi untuk selama-lamanya.
•
Riki Ridhwan (Laki-laki), 16 Tahun Meunasah Krieng, Lam Lhom, Aceh Besar Saat saya lahir di Lam Lhom memang sudah terjadi konflik antara GAM dan TNI. Pada saat saya berusia 6 (enam) tahun saya sekolah di MIN. Saat saya ke sekolah saya sering merasa takut karena suara-suara senjata. Akibat suara tersebut saya pun pergi ke sekolah terasa tidak nyaman. Demikian pula halnya masyarakat merasa tertekan juga dengan keadaan konflik. Masyarakat sulit untuk mencari nafkah di luar lingkungan seperti ke kota atau ke luar kota. Apalagi pada saat malam hari, mereka tidak berani keluar rumah seperti ke warung karena kontak senjata itu bukan hanya terjadi di rawa-rawa atau di gunung saja tetapi juga terjadi di perkampungan penduduk. Keadaam ini menjadi penyebab semua orang tua tidak membiarkan anak-anaknya keluar rumah atau bermain jauh dari rumah mereka. Sumber: Hasil FGD dengan anak-anak Lam Lhom, YPHA, 2007
19
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak Dalam perspektif perlindungan hukum HAM internasional, keterlibatan anak sebagai kombatan dikenal dengan sebutan tentara anak (child soldiers). Cape Town Principles mendefinisikan tentara anak sebagai :
”Setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun yang menjadi bagian dari angkatan bersenjata atau kelompok perlawanan bersenjata secara regular maupun tidak dalam setiap kapasitas, termasuk tetapi tidak terbatas pada tukang masak, pembawa barang, pembawa pesan, dan yang menyertai kelompok tersebut, selain dari anggota keluarga. Ini termasuk anak perempuan yang direkrut dengan tujuan pelacuran dan nikah paksa. Hal ini bukan semata-mata merujuk pada anak yang mengangkat senjata” 57 Definisi yang sama juga dikemukakan oleh The Coalition to Stop the Use of Child Soldiers (CSC) sebagai :
“ Setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun yang menjadi bagian dari bagian dari angkatan bersenjata dan kelompok perlawanan bersenjata secara regular maupun tidak dalam kapasitas termasuk namun tidak terbatas pada tukang masak, pembawa barang, pembawa pesan, dan yang menyertai kelompok tersebut, selain dari anggota keluarga. ” Mengacu pada definisi ini maka tentara anak mempunyai peran yang sangat luas dari terlibat secara langsung sebagai kombatan maupun aktivitas yang mendukung operasi militer termasuk mengintai, mata-mata, sabotase, tindakan menjebak, kurir atau pengawal; melatih dan mempersiapkan pelatihan bagi calon pasukan; fungsi pendukung seperti penjaga dan tugas domestik; budak seks dan tenaga paksa. 58 Fenomena tentara anak tidak terlepas dari permasalahan kemiskinan dan marjinalisasi kelompok budaya minoritas dalam sebuah Negara. Kondisi ini diungkapkan oleh Graça Machel. Pada 1996, Graça Machel pelapor khusus dampak konflik bersenjata terhadap anak, menjelaskan mengapa anak bisa menjadi tentara anak : “ Kelaparan dan kemiskinan yang mungkin membuat orang tua menawarkan anak-
anak mereka untuk melayani atau menarik anak-anak menjadi sukarelawan sebagai cara agar terjamin makannya secara rutin, pakaian, dan perhatian medis. Beberapa anak menjadi tentara untuk melindungi dirinya sendiri atau keluarga mereka dalam menghadapi kekerasan dan kondisi chaos yang melingkupi kehidupannya. Sementara yang lain, khususnya remaja, ditarik dengan bujukan ideology. Anakanak juga dilibatkan sebagai pihak dalam konflik sosial, ekspresi keberagamaan, perlawanan untuk memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri atau mencapai kebebasan politik, misal di Afrika Selatan dan tempat lain yang diduduki oleh suatu Negara asing. ” 59
Mark Lorey, Child Soldiers Care & Protection of Children in Emergencies A Field Guide, Save the Children Federation, Inc, 2001, hal. 3 58 Jihad Shomaly, Used of the Children in Occupied Palestinian Territories, op. cit, hal. 8 59 http://www.un.org/children/conflict. 57
20
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak Terdapat 3 (tiga) cara yang sering digunakan untuk merekruit anak sebagai tentara anak yaitu: 60 • Wajib (compulsory), kewajiban ini terkait dengan pelaksanaan wajib militer militer yang ditetapkan oleh Negara • Paksaan (forced), anak-anak direkruit menjadi tentara anak karena dipaksa misalnya melalui penculikan • Suka rela (voluntary), perekruitan anak-anak menjadi tentara anak secara suka rela sangat sulit diterima akal sehat dan masih diperdebatkan. Paling tidak pilihan ini berdasarkan kondisi lingkungan yang sangat menekan misalnya kondisi lapar, tekanan ekonomi keluarga, kekerasan, penipuan sehingga kemudian anak terpaksa memilih menjadi tentara anak Terkait dengan proses rekruitmen anak sebagai tentara anak, dalam kasus perang sipil di Negara Columbia anak-anak menjadi tentara anak dengan alasan “kesukarelaan” sebagai berikut: 61 Alasan Perekruitan
Mencintai senjata (alasan kultural) Pendirian (alasan idelogis) Kesenjangan Pilihan (alasan sosio-ekonomi) Kebutuhan untuk bekerja (alasan sosio-ekonomi) Balas dendam (untuk perlindungan) Perekruitan paksa Alasan lain
Kelompok Bersenjata FARC (Armed Revolutionary Forces of Colombia), 17,0%
ELN (National Liberation Army), 16,0%
Paramiliter
24,0% 10,0%
40,0% 16,0%
11,0% 17,0%
16,0%
8,0%
25,0%
3,4%
5,4%
11,0%
12,5% 17,1%
8,0% 6,6%
14,0% 11,0%
11,0%
Alasan mencintai senjata, terkait dengan persepsi anak-anak terhadap tindakan heroic dan keberanian tentara. Pada sisi lain senjata merepresentasikan kekuasaan dan status. Alasan ideologis terkait dengan keyakinan yang tumbuh dalam diri anak akibat doktrinasi bahwa perlawanan dengan senjata dilakukan untuk memperjuangkan keadilan, revolusi, melaksanakan ajaran agama, perang suci, dan otonomi kelompok minoritas. Alasan kemiskinan dan ketiadaan masa depan menjadi lasan lain anak-anak menjadi tentara anak utuk mendapatkan makanan, perlindungan, dan uang. Kemudian karena anak-anak menyaksikan keluarga mereka terbunuh maka ia ingin membalas dendam atas kematian tersebut. Alasan ini pula yang menjadi pemicu mengapa anak mau menjadi tentara anak. 62 Dari seluruh alasan tersebut alasan budaya karena mencintai senjata, dalam konteks Aceh perlu mendapatkan perhatian seksama. Hal ini disebabkan sebagian besar anak-anak Aceh gemar bermain perang-perang dan bermain dengan aneka jenis senjata maian. Bahkan ketika mereka ditanya apa cita-cita mereka setelah dewasa terdapat beberapa anak ingin menjadi tentara, polisi, dan GAM dengan alasan ingin 60 61
62
War Child, Child Soldier: The Shadow of their existence, 2007, hal. 14 War Child, Child Soldier: The Shadow of their existence, ibid, hal. 22 War Child, Child Soldier: The Shadow of their existence, ibid, hal. 23-26
21
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak balas dendam. 63 Di samping alasan tersebut, keberadaan tentara anak juga terkait dengan kemiskinan penduduk Aceh dan ketertinggalan pembangunan di Aceh dibanding propinsi lain, meskipun di wilayah tersebut kaya dengan SDA. Kondisi ini semakin diperburuk dengan terjadinya pelanggaran HAM secara masif dan sistematis. Kombinasi kedua faktor tersebut menjadi akar terjadinya gerakan perlawanan. Dampak anak-anak karena hidup dalam kemiskinan dan situasi konflik pada akhirnya mereka terlibat dalam konflik sebagai tentara anak. Hukum HAM internasional, dengan merujuk pada Protokol Tambahan KHA, membagi 2 (dua) jenis rekrutmen tentara anak yaitu pertama, rekruitmen 64 yang dilakukan oleh negara dengan memasukkan anak sebagai bagian kekuatan militer pemerintah (recruitment by armed forces). Pasal 3 Protokol Tambahan KHA mengatur persyaratan bagi anak yang berusia di bawah 18 tahun yang akan bergabung dalam angkatan bersenjata. Ketentuan pasal tersebut dinyatakan bahwa kesukarelaan anak dimaknai sebagi anak tidak di bawah paksaan untuk Sumber : bergabung dalam angkatan bersenjata dan http://www.alertnet.org/childsoldiers3.htm kesukarelaan tersebut berasal dari kesepakatannya sendiri (genuinely voluntary). 65 Kedua, rekruitmen yang dilakukan oleh pasukan yang melakukan perlawan terhadap kekuatan militer pemerintahan yang sah (recruitment by non state armed groups). Ketentuan Pasal 4 dari Protokol Tambahan tersebut juga mengatur ketentuan mengenai larangan rekrutmen terhadap anak untuk bergabung pada kelompok bersenjata di bawah 18 tahun. 66 Pada prinsipnya terdapat 4 (empat) instrumen hukum internasional utama yang mengatur perlindungan anak dari upaya rekruitmen tentara anak, yakni : •
Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law) Perjanjian internasional yang signifikan untuk mengaplikasikan perlindungan terhadap rekrutmen anak : a. Protokol I, Perlindungan Korban dari Konflik Bersenjata Internasional
(Protocol I, concerning the Protection of Victims of International Armed Conflicts)
Hasil wawancara dengan anak-anak Children Center UNICEF pada saat YPHA melakukan Assesment Children Centre UNICEF di Aceh dan Nias pada 2006 64 Rekruitmen tentara anak dimaknai sebagai cara-cara formal atau de facto yang menempatkan anak menjadi anggota angkatan bersenjata atau kelompok perlawanan bersenjata dengan cara-cara yang mencakup wajib miter, tentara sukarela maupun rekrutmen paksa. http://hrw.org/campaigns/crp/int-law.htm#N_2_ 65 Persyaratan yang dicantumkan dalam pasal tersebut : (i) kesepakatan diri anak (genuinely voluntary); (ii) mendapatkan persetujuan dari orang tua atau walinya yang sah (informed consent of the person’s parent or legal guardians); (iii) mendapatkan informasi penuh tugas kemiliterannya (fully informed of the duties involved in such military services); dan terdapat bukti yang terpercaya bahwa usia anak tersebut diterima sebagai anggota militer (provide 63
reliable proof of age prior to acceptance into national military service).
66 Coalition to Stop the Use of Child Soldiers dan United Nations Children’s Fund, Guide to The Optional Protocol on The Involvement of Children in Armed Conflict, New York,
UNICEF, 2003, hal. 15
22
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak
b. Protokol II, Perlindungan Korban dari Konflik Bersenjata Internal (Protocol II, concerning the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts)
•
•
•
Kedua protokol ini merupakan perjanjian internasional yang ditujukan untuk mengatur rekruitmen anak dalam konflik bersenjata, yakni larangan untuk merekruit anak di bawah usia 15 tahun. 67 Hukum HAM internasional (International Human Rights Law) Terdapat 2 (dua) perjanjian internasional yang secara sui generis mengatur tentara anak yakni : a. Konvensi Hak Anak (The Convention on the Rights of the Child) 68 b. Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan anak dalam konflik bersenjata (Optional Protocol to the CRC on the
Involvement of Children in Armed Conflict) 69 Hukum Pidana Internasional (International Criminal Law) Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional (the Statute of the International Criminal Court/ICC) menyatakan bahwa yurisdiksi mahkamah tidak mengikat
bagi anak di bawah usia 18 tahun yang melakukan tindak pidana internasional. Bahkan Statuta ini mendefinisikan bahwa anak-anak di bawah 15 tahun yang diwajibkan wajib militer, didaftarkan sebagi wajib militer atau dilibatkan dalam permusuhan baik oleh tentara suatu Negara maupun kelompok perlawanan, yang dimaksudkan untuk melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil, pertugas kemanusiaan dan sarana transportasi, rumah sakit, dan geduk sekolah adalah pelaku kejahatan perang. Hukum Perburuhan Internasional (International Labour Law) Konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan terburuk bagi anak
(ILO Convention No. 182 on the Worst Forms of Child Labor)
mengkategorikan tentara anak sebagai salah satu bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Konvensi mengidentifikasi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak meliputi : segala bentuk perbudakan atau praktik yang menyerupai perbudakan, termasuk trafficking anak, penjeratan utang, kerja paksa, dan anak yang direkruit sebagai tentara anak. 70
67
Lihat Pasal 77 ayat (2) Protokol I dan Pasal 4 ayat (3) Protokol II. Lihat Jihad Shomaly,
Used of the Children in Occupied Palestinian Territories, op. cit, hal. 9
Lihat Pasal 38 dan Pasal 39 Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 batas umur anak-anak yang dapat direkruit bergabung dalam pasukan militer dinaikkan menjadi di atas 18 tahun 70 Jihad Shomaly, Used of the Children in Occupied Palestinian Territories, op. cit, hal. 9 68 69
23
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak IV. Memutus Konflik Aceh Melalui Rekonsiliasi Berbasis Pendekatan Studi Perdamaian A.
Akar Masalah Konflik di Aceh
T
perdebatan mengenai apa penyebab mendasar konflik (the root causes of the conflict) di Aceh. Diskurus pertama, penyebab konflik Aceh adalah ketidakadilan ekonomi (economic injustice) dan politik hak menentukan nasib sendiri (political self-determination) yang mendominasi sekitar tahun 1976 – 1979 dan kembali mengemuka sekitar 1989 - 1990. Diskursus kedua, permaafan erdapat beberapa
Pemerintah Indonesia atas terjadinya pelanggaran HAM selama masa aksi militer yang dimulai sejak 1991 – 1998. Periode ini dikenal sebagai penetapan daerah operasi militer (DOM). Diskursus ketiga penyeban konflik adalah perihal kepentingan ekonomi militer dan polisi (economic interests of the military and police) di Aceh. 71 Ketidakadilan ekonomi sebagai penyebab konflik Aceh dapat ditelusuri sejak Aceh pada pertengahan 1970-an ditetapkan sebgai daerah pengelolaan sumber daya alam dengan pendekatan mega-proyek (mega-projects approach). 72 Awalnya dilakukan eksplorasi gas alam cair yang tersimpan di Aceh Utara dan pembangunan zona industri Lhokseumawe. Dengan demikian, penyebab utama konflik di Aceh seperti daerah yang kaya akan sumber daya alam di belahan dunia lain, adalah persoalan ketidakadilan ekonomi, yakni perebutan kepentingan sumber daya. Dalam konteks Aceh, pihak yang memperebutkan sumber daya alam tersebut ialah Pemerintah Republik Indoensia, GAM, dan investor asing. 73 Pendapat senada juga dikemukakan oleh Anthony Smith dalam tulisannya “Conflict in Aceh: The Consequences of a Broken Social Contract” yang menyatakan bahwa konflik di Aceh akibat Pemerintah Pusat telah berulangkali mengingkari janji kepada rakyat Aceh. Pengingkaran ini merupakan kombinasi ekspoitasi ekonomi yang berakibat pada tertinggalnya pembangunan di Aceh dan terjadinya pelanggaran HAM rakyat Aceh secara meluas. 74 Sementara itu, Christopher Wilson menyebutkan terdapat 3 (tiga) penyebab kekerasan struktural 75 penyebab konflik komunal di Indonesia yang meliputi : (i) berkurang kekuasaan struktur tradisional (the decline of traditional structures of power); (ii) terjadi pergeseran kelompok-kelompok masyarakat secara horizontal; dan (iii) selama 3 (tiga) dekade di bawah pemerintahan yang otoriter. Penyebab konflik komunal tersebut adalah pertama, terjadi pergeseran batas-batas sejarah yang dianggap penting oleh suatu komunitas. Penyebab kedua, kekecewaan yang terjadi 71 Lesley McCulloch, Greed: the silent force of the conflict in Aceh, University of Deakin Melbourne Australia, 2003, hal. 5 72 Terdapat 4 (empat) bentuk mega proyek yakni : (i) infrastruktur; (ii) ekstraksi; (iii) produksi; dan konsumsi. Lihat, Saiful Mahdi, Aceh: From Mega-projects to Capitalization of Nature and the Conflict, Cornell University, Ithaca, NY 14850, hal. 73 Saiful Mahdi, Aceh: From Mega-projects to Capitalization of Nature and the Conflict,ibid 74 Tamara Renee Shie, Disarming For Peace in Aceh: Lessons Learned, Dr. Edward J. Laurance IPS688 Security & Development Monterey Institute of International Studies Monterey, California 2003, hal. 18 75 Konflik vertikal atau konflik struktural. Konflik vertikal dimaknai sebagai konflik yang merujuk pada konflik antara pejuang kelompok perlawanan (rebels fighters) dengan pasukan militer Negara. Lihat Internal Displacement Monitoring Centre, INDONESIA: Support needed
for return and re-integration of displaced Acehnese following peace agreement, A profile of the internal displacement situation, Norwegian Refugee Council, 2006, hal. 24
24
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak pada seluruh lapisan masyarakat. Ketiga, merupakan kombinasi 2 (dua) dua penyebab
sebelumya, yakni eksploitasi sumber daya alam. Di samping itu, ketiadaan mekanisme resolusi konflik ditingkat lokal karena sentralisasi peran Negara menjadi sumber konflik secara tidak langsung. 76 Konflik bersenjata di Aceh merupakan lingkaran kekerasan yang bermula dari ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat Aceh. Ketidakadilan ini menjadi alasan untuk melakukan perlawanan dari rakyat Aceh, yang direpresentasikan oleh GAM. Kemudian Pemerintah merespon perlawanan tersebut dengan tindakan represif melalui aksi militer. Lingkaran kekerasan di Aceh akibat konflik bersenjata, dapat dianalisis dengan teori lingkatan (spiral) kekerasan dari Dom Helder Canara. Teori ini menjelaskan bekerja 3 (tiga) bentuk kekerasan bersifat personal, institusional, dan struktural. Menurutnya, dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar dan menjadi sumber sumber utama adalah ketidakadilan. Karena sifatnya yang mendasar dan menjadi sumber dari kekerasan lainnya, Dom Helder Camara menyebutkan kekerasan tersebut sebagai kekerasan nomor 1. Kekerasan nomor 1 , Ketidakadilan itu terjadi sebagai akibat dari upaya kelompok elit nasional mempertahankan kepentingan mereka sehingga terpelihara sebuah struktur yang mendorong terbentuknya kondisi subhuman, yaitu kondisi hidup di bawah standar layak untuk hidup sebagai manusia normal. Kondisi ini selanjutnya mendorong munculnya kekerasan nomor 2, yaitu perlawanan masyarakat sipil. Perlawan ini dipandang oleh penguasa sebagai alasan sah untuk menggunakan cara-cara kekerasan. Kekerasan ini memunculkan kekerasan nomor 3, yaitu represi dari penguasa. 77 Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Aceh akibat eksploitasi sumber daya alam memicu munculnya gerakan perlawanan rakyat Aceh yang direpresentasikan oleh GAM. Perasaan kolektif masyarakat Aceh akan ketidakadilan ini dalam perspektif Camara merupakan kekerasan nomor 1. Kemudian munculnya GAM sebagai bentuk gerakan perlawanan merupakan kekerasan nomor 2. Respon pemerintah yang menggelar rangkaian operasi militer yang sistematis merupakan kekerasan nomor 3. Akibatnya terjadi aksi kekerasan yang menimpa masyarakat sipil yang tidak terlibat sebagai pihak yang bersengketa. Pada titik ini akan memicu kembali perasaan ketidak adilan masyarakat sipil Aceh yang berpotensi memicu kembali perlawan. Konflik bersenjata antara Pemerintah RI dengan GAM , jika ditilik dengan perspektif Johan Galtung terdapat 3 (tiga) varian kekerasan , yakni : • •
•
Kekerasan politik struktutal (political structural violence), misalnya penetapan status Daerah Operasi Militer merupakan sumber legalisasi penggunaan kekerasan bersenjata untuk menyelesaikan konflik Aceh; Kekerasan ekonomi structural (economic structural violence), misalnya operasi miter yang digelar di Aceh tidak terlepas dari kepentingan ekonomi Pemerintah Pusat untuk mengamankan sumber daya alam yang terdapat di wilayah Aceh; Kekerasan kultural struktural (cultural structural violence), misalnya institusiinstitusi lokal dan budaya lokal Aceh direduksi melalui homogenisasi bentuk
76 Christopher Wilson, OVERCOMING VIOLENT CONFLICT, PEACE AND DEVELOPMENT ANALYSIS IN INDONESIA, volume 5, 77 Lambang Triyono, Pengantar dalam Dom Helder Camara, Spiral Kekerasan, Yogyakarta, Resist Book, 2005, hal. Xi-xxii
25
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak pemerintahan desa ala Jawa melalui UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. 78 Terkait dengan isu penyebab konflik tersebut di atas, segitiga konflik A-B-C yang dikembangkan Johan Galtung dapat dijadikan sebagai pisau analisis untuk menganalisis pemicu konflik (root causes of conflict). Segitiga konflik dipergunakan untuk memisahkan komponen suatu konflik pada 3 (tiga) kutub, namun ketiga kutub ini berkait kelindan satu dengan lainnya. Kutub C (contradiction) diartikan sebagai kontradikasi/pertentangan yang merupakan akar sebuah konflik. Konfrontasi ini bersumber pada kutub A (attitudes) yang diartikan sikap dan kutub B (behavior) yang diartikan perilaku. 79 Gambaran segitiga konflik A-B-C yang diperkenalkan oleh Johan Galtung tersaji di bawah. A (attitudes) Perilaku
B (behavior) Sikap
C (contradiction) Kontradiksi Gambar 4 : Segitiga konflik A-B-C
Ketiga kutub tersebut masing-masing bisa menjadi akar dari suatu konflik. Suatu konflik mungkin berawal dari kontradiksi-kontradiksi yang menyelubungi sekelompok orang. Kondisi ini berpengaruh pada tingkah laku yang mereka lakukan, atau kepercayaan dan persepsi yang mereka punyai tentang satu sama lain. Sekali konflik bermula dari satu kutub, biar bagaimanapun, akan cepat meluas kepada kutub yang lainnya. Dalam hal ini ketiga titik menjadi saling menguatkan satu sama lain dalam konflik. 80 Relasi di atas dapat diformulasikan dalam siklus hidup sebuah konflik (life-cycle of a conflict) sebagai berikut: 81
Gambar 5: Skilus hidup konflik
Sikap dan perilaku konflik bersumber pada perbedaan nilai yang diyakini oleh individu maupun kelompok sehingga menumbuhkan prasangka terhadap individu dan Mengadopsi pemikiran Johan Galtung dalam Rethinking Conflict: the Cultural Approach, Prepared for the Intercultural Dialogue and Conflict Prevention Project, Council of Europe Strasbourg 2002, hal. 10-11 dan hasil Lokakarya Pengembangan Kurikulum Pendidikan Perdamaian, YPHA, 2008 79 Johan Galtung, Conflict Transformation by Peaceful Means (the Transcend Method), United Nations Disaster Management Training Programme, United Nations, 2000, hal. 34-35 80 Mark Anstey, et. al., Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator, IDEA, 2000, hal. 47 81 Johan Galtung, Conflict Transformation by Peaceful Means, ibid, hal. 1 78
26
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak kelompok lain. Pada akhirnya, prasangka kemudian dikonkritkan dalam perilaku dan atau tindakan diskriminasi. Dengan demikian konflik yang terjadi dari adanya masalah dalam hubungan antarmanusia dipicu oleh emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotipe, salah komunikasi dan tingkah laku negatif yang berulang. 82 Sikap, perasaan, dan nilai-nilai yang dianut dan diyakini dapat dengan mudah menjadi sumber kekerasan atau setidaknya membiarkan perlaku kekerasan dan kekerasan struktur terus berlangsung. 83 Dalam kerangka ini, kepentingan yang kontradiktif antara GAM dengan Pemerintah Pusat yang kemudian melahirkan sikap dan perilaku di antara kedua pihak yang berpotensi melanggengkan konflik. Situasi demikian memang tidak terlepas dari sejarah perlawanan masyarakat Aceh itu sendiri. Sejarah panjang ini menumbuhkan secara evolutif kesadaran kritis kolektif masyarakat Aceh untuk melakukan perlawanan terhadap upaya menghegemoni identitas keacehan. Pertama perlawanan masyarakat Aceh yang panjang terhadap penetrasi kepentingan bangsa asing sejak jaman penjajahan Belanda tahun 1873-1942. Kedua, perlawanan terhadap identitas kebangsaan masyarakat Aceh yang terancam oleh proyek homogenisasi sistem pemerintahan yang militeristik dan sentralistis sejak tahun 1976 – 1998. 84 Pada akhirnya masyarakat sipil Aceh yang tidak terlibat dalam pertarungan kepentingan menjadi masyarakat yang terbelah. Pada satu sisi sebagian masyarakat mendukung Pemerintah Pusat, sebagian masyarakat lain mendukung perjuangan GAM. Keterbelahan ini akan menguntungkan pihak yang berkonflik melalui agitasi dan propaganda untuk menumbuhkan sikap dan perilaku saling bermusuhan. Melalui provokasi salah satu pihak atau pihak ketiga, sikap dan perilaku konfliktual ini mudah bertranformasi menjadi konflik yang manifes. Situasi demikian sudah dipastikan akan berdampak pada perkembangan anak-anak Aceh karena sikap dan perilaku anak merupakan produk dari jaman di mana mereka menjalani kehidupan. B. Pendidikan Perdamaian dalam Konteks di Aceh Gavriel Salomon mengklasifikasikan 3 (tiga) jenis pendidikan perdamaian yang disesuaikan dengan konteks di mana pendidikan perdamaian ini akan diberikan. Klasifikasi pendidikan perdamaian ini adalah: 85 • • •
Pendidikan perdamaian dalam wilayah yang keras atau wilayah konflik (Peace Education in intractable regions or areas of intractable conflict); Pendidikan perdamaian pada wilayah di mana terdapat ketegangan antar entik (Peace Education in regions of inter-ethnic tension); Pendidikan di wilayah yang tenang (Peace Education in regions of
experienced tranquility).
Pendidikan perdamaian pada wilayah konflik harus merespon kondisi-kondisi yang terjadi di suatu masyarakat yang pernah mengalami hal-hal berikut: (i) menghadapi suatu konflik yang terjadi secara kolektif bukan konflik individual; (ii) menghadapi 82 Ichsan Malik, et.al, Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam, Jakarta, Yayasan Kemala, 2003, hal. 152 83 Simon Fisher, et.al., Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak, The British
Council, Jakarta, 2001, hal. 10 84 Otto Syamsuddin Ishak, The Anatomy of Aceh Conflict, op.cit 85 Alberto Valiente Thoresen, THEORIZING PEACE EDUCATION: A THEORETICAL SURVEY OF THE PRACTICE OF PEACE EDUCATION, THESIS LEADING TO A MASTER’S DEEGREE IN PEACE AND CONFLICT TRANSFORMATION. UNIVERSITY OF TROMSØ, 2005, hal. 68
27
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak suatu konflik yang memiliki akar konflik mendalam di mana membutuhkan waktu yang panjang dan menimbulkan ingatan menyakitkan di masa lalu; dan (iii) menghadapi ketidakadilan yang luas. Dengan demikian pendidikan perdamaian yang dapat diberikan paling tidak materinya mencakup anti rasisme, rekonsiliasi konflik, multikulturalisme, pengetahuan lintas-kultural, dan penanaman pandangan damai. Sementara pendidikan perdamaian dalam ketegangan antar etnik harus merespon situasi dengan karakteristik terdapatnya ketegangan antaretnis, ras, atau suku bangsa yang mayoritas dengan minoritas tanda diikuti tindakan agresi atau ingatan kolektif sejarah yang panjang terkait dengan permusuhan, penghinaan, penaklukan, atau pencabutan hak milik. Pada kondisi ini pendidikan perdamaian lebih penting ditujukan untuk merubah perasaan anti etnis lain melalui materi anti rasisme dan multikulturalisme. Selanjutnya pendidikan perdamaian pada wilayah yang tidak berkonflik adalah pendidikan mengenai perdamaian. Pendidikan mengenai perdamaian menekankan pada materi nilai-nilai positif perdamaian dengan tujuan merubah perilaku sekelompok masyarakat. 86 Jika merujuk pada uraian di atas maka pendidikan damai yang seharusnya diberikan kepada peserta didik dalam konteks konflik Aceh adalah pendidikan perdamaian untuk anak-anak yang hidup dalam wilayah konflik. Ingatan individu anak tentang pengalamannya ketika terjadi konflik dapat dikonstruksi sebagai pengalaman kolektif anak-anak Aceh pada umumnya yang hidup dalam situasi konflik bersenjata. Dampak konflik terhadap anak dapat dilihat dari gambar-gambar yang dihasilkan ketika mereka hidup dalam wilayah konflik. Persepsi anak-anak tersebut dapat terungkap melalui visualisasi sebagai berikut . 87
Hasil karya seorang anak yang menyaksikan rumahnya dikepung aparat dan salah satu dari keluargamya tertembak akibat pengepungan tersebut.
Alberto Valiente Thoresen, ibid Hasil karya anak-anak Meunasah Manyang selama mengkuti Pelatihan Social Mapping YPHA pada April 2007 dan anak-anak Children Center UNICEF pada saat YPHA melakukan Assesment Children Center UNICEF di Aceh dan Nias pada 2006 86 87
28
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak
Hasil karya seorang anak ketika menyaksikan rumahnya terbakar akibat konflik
Hasil karya seorang anak laki-laki, ketika di rumah ia suka bermain perang-perangan
29
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak
Hasil karya seorang anak laki-laki, ketika di rumah salah satu jenis permainan yang disukainya adalah bermain senjata mainan
Hasil karya seorang anak laki-laki, ketika di rumah salah satu jenis permainan yang disukainya adalah bermain senjata mainan
30
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak
Hasil karya seorang anak ketika menyaksikan penerjunan pasukan TNI di wilayah perkampungan mereka Dari visualisasi yang dihasilkan oleh anak-anak dapat ditarik kesimpulan anak-anak mengalami peristiwa traumatik karena mereka menyaksikan terjadinya tindakan kekerasan akibat konflik bersenjata antara Pemerintah RI dengan GAM, misalnya menyaksikan anggota keluarganya meninggal karena ditembak atau rumahnya terbakar. Di sisi lain anak-anak juga menjadi saksi gelar pasukan dan peragaan senjata yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Di satu sisi situasi ini mengintimidasi sehingga menimbulkan ketakutan, namun di sisi lain senjata-senjata yang dipergunakan kedua belah pihak menjadi bagian memori ingatan anak-anak Aceh. Hal ini terbukti visualisasi yang dihasilkan anak-anak, terutama anak laki-laki, banyak menggambarkan senjata yang dipergunakan para pihak yang bersengketa seperti M16 dan AK. Pada titik ini, pendidikan perdamaian yang diterapkan dapat mentransformasi perubahan sikap dan perilaku anak-anak agar di masa yang akan datang mereka tidak berperan sebagai pelaku kekerasan melainkan sebagai pelaku perdamaian yang akan menyemai kultur perdamaian. Reproduksi kekerasan pada masa yang akan datang yang dilakukan oleh anak-anak yang hidup dalam situasi konflik bersenjata diungkapkan oleh Graça Machel sebagai berikut:
”Anak-anak yang bertumbuhkembang pada iklim pembunuhan, penculikan, dan teror, cenderung pada masa kedewasaannya kelak ia mereka akan melanggengkan siklus perang dan kekerasan pada generasi yang akan datang.” Perdamaian dimaknai sebagai kemampuan untuk mengelola konflik yang melekat pada diri setiap orang secara otonom, tanpa kekerasan serta tercipta
31
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak melalui partisipasi setiap orang. 88 Mengacu pada definisi ini perdamaian dapat berkelanjutan apabila budaya damai 89 (culture of peace) telah terinternalisasi dalam setiap elemen masyarakat Aceh, khususnya anak-anak sebagai pemilik masa depan Aceh. Budaya damai sebagai prasyarat terwujudnya masyarakat Aceh terinternaslisasi apabila setiap anak-anak Aceh memiliki budaya-budaya damai dan menolak budaya perang dan kekerasan. Perbandingan kedua budaya nampak pada tabel sebagai berikut: 90 Budaya Perang dan Kekerasan Meyakini kekuasaan merupakan dasar dari kekuatan Merasa memiliki musuh Pemerintahan yang otoriter Menyimpan rahasia dan propaganda Memilik persenjataan Mengeksplotasi manusia lain Mengeksplotasi alam Laki-laki mendominasi
Budaya damai dan Nir-kekerasan Pendidikan untuk menyemai budaya damai Memahami, menerima, dan memilika rasa solidaritas Partisipasi secara demokratis Arus informasi yang bebas Tidak memiliki persenjataan Menghormati HAM orang lain Pembangunan yang berkelanjutan Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki
Dalam kerangka hukum Konvensi Hak Anak (KHA) pemberian pendidikan perdamaian pada anak-anak merupakan bagian integral dari jaminan penikmatan hak anak atas pendidikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28. Lebih jauh Pasal 29 ayat (1) telah menggariskan bahwa nilai-nilai perdamaian dan penghormatan terhadap HAM menjadi tujuan fundamental pendidikan bagi setiap anak. Dalam pasal tersebut secara tegas dinyatakan bahwa pendidikan anak harus diarahkan untuk: • •
Pengembangan penghormatan terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan dasar dan prinsip-prinsip yang diabadikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang bebas, dalam semangat saling pengertian, perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan persahabatan antara semua bangsa, etnis, warga negara dan kelompok agama, dan orang-orang asal pribumi;
Tujuan pendidikan tersebut merefleksikan landasan filosofis KHA sebagaimana terbaca pada Pembukaan KHA yang menyatakan bahwa : 88 Johan Galtung, Conflict Transformation by Peaceful Means (The Transcend Method), Participant’s Manual, United Nation Disaster Management Training Programme, United Nation, 2000 89 Budaya damai menurut Resolusi PBB tentang Program Aksi Budaya Damai (1999) dan Resolusi PBB tentang Budaya Damai (1998) menyatakan bahwa budaya damai merupakan sebuah pendekatan yang integral untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dan konflik bersenjata dan mencari alternatif dari budaya perang dan kekerasan melalui pendidikan berbasis pendidikan perdamaian, pemajuan pembangunan ekonomi dan sosial, penghormatan terhadap HAM, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, partisipasi yang demokratis, toleransi, arus informasi yang bebas, dan bebas dari kepemilikan senjata. Lihat David Adams, Definition of Culture of Peace, http://www.culture-of-peace.info/copoj/definition.html 90 David Adams, Definition of Culture of Peace, ibid
32
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak ”Anak harus dipersiapkan seutuhnya untuk hidup dalam suatu kehidupan individu dan masyarakat, dan dibesarkan dengan semangat cita-cita yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan terutama dalam semangat perdamaian, kehormatan, tenggang rasa, kebebasan, persamaan dan solidaritas. ” Hal senada ditegaskan dalam Deklarasi dan Integrasi Kerangka Kerja Aksi Pendidikan bagi Perdamaian, HAM, dan Demokrasi (Declaration an Integrated Framework of Action on Education for Peace, Human Rights, and Democracy) yang menyatakan bahwa tujuan akhir pendidikan bagi perdamaian, HAM, demokrasi adalah:
”Pengembangan pada diri setiap orang semangat nilai-nilai universal dan bentukbentuk tingkah laku yang ditujukan bagi perwujudan budaya damai. Hal ini dimungkinkan dengan memperkenalkan persamaan dari nilai-nilai konteks sosial-budaya yang berbeda di mana telah mendapatkan pengakuan secara universal.” 91 Tujuan serupa juga tercantum pada Deklarasi Pendidikan untuk Semua (World
Declaration on Education for All) 1990 yang menyatakan bahwa:
”Setiap orang – anak-anak, remaja, dan dewasa, harus mendapatkan manfaat dari tujuan pendidikan yang dirancang untuk mencukupi kebutuhan dasar pembelajaran. Kebutuhan ini meliputi sarana pembelajaran yang esensial (essential learning tools) yang meliputi literasi, mengekspresikan pendapat, numerasi, dan pemecahan masalah dan isi pembelajaran yang mendasar (basic learning content) yang mencakup: pengetahuan, keahlian, nilai-nilai, dan tingkah laku sebagai prasyarat dasar kehidupan manusia. Dengan demikian tujuan pendidikan diarahkan untuk agar setiap individu memiliki kemampuan yang cukup untuk memberdayakan diri dan masyarakat; bertanggung-jawab untuk mendorong keadilan sosial; bertoleransi atas setiap perbedaan pandangan politik dan keyakinannya; menerima nilai-nilai kemanusiaan dan memegang teguh HAM; dan bekerjasama mewujudkan perdamaian dan solidaritas dunia.” 92 C. Budaya Damai dan Rekonsiliasi Konflik dalam Konteks Aceh Sebagaimana diuraikan di muka pendidikan perdamaian semestinya ditempatkan sesuai dengan konteks kultur (kultur lokal) di mana pendidikan perdamaian tersebut akan diberikan, namun tetap disesuaikan dengan standar prinsipprinsip dan norma-norma HAM yang universal. Dalam konteks Aceh pendidikan perdamaian harus bertumpu pada situasi dan kondisi masyarakat Aceh. Selain terlanda bencana gempa dan tsunami, Aceh mengalami bencana antropogenik 93 yang berkepanjangan, yaitu timbulnya sebagian
91 Deklarasi yang dihasilkan dalam Konferensi Internasional Pendidikan pada sesi ke 44 di Jenewa, 1994, disahkan dalam Konferensi Umum UNESCO sesi ke-28, Paris, 1995 92 Susan Fountain, Peace Education in UNICEF, UNICEF Staff Working Papers, Programme Division UNICEF New York, 1999 hal. 2 93 Indonesia yang berpenduduk padat, multi etnik, multi agama, sebagian besar penduduk berpendidikan menengah ke bawah dan kesenjangan kesejahteraan yang mencolok dapat memicu konflik yang akhirnya menjurus timbulnya bencana antropogenik. Bencana antropogenik terkandang tidak kalah dahsyatnya dengan bencana alam, apakah bencana antropogenik akan terjadi atau tidak sangat ditentukan oleh kondisi sosial, ekonomi, budaya,
33
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak rakyat Aceh yang berkeinginan melepaskan diri dari pangkuan NKRI yang dikenal dengan GAM atau ada yang menyebutkan separatis. Dengan demikian pendidikan damai di Aceh ditempatkan dalam konstruksi di mana tujuannya untuk memberikan penghormatan terhadap hak-hak manusia. Penghormatan terhadap hak-hak manusia sangat penting dalam mereduksi dukkha yang ditimbulkan oleh pihak lain. 94 Di samping itu, kultur masyarakat Aceh yang khas yang bersandar pada nilainilai adat dengan pengaruh ajaran Islam yang kental harus dijadikan acuan dalam mengupayakan implementasi pendidikan perdamaian sehingga sesuai dengan konteks akar masalah dan kehidupan kultural masyarakat Aceh. Secara antropologis, semua orang Aceh merupakan masyarakat teritorial keagamaan. Menurut Profesor M. Hakim Nya’ Pha sebagai masyarakat teritorial keagamaan di Aceh, kehidupan keluarga di Aceh yang bersifat parental dan dalam halhal tertentu bersifat bilateral, mendiami suatu wilayah yang disebut gampong dan kehidupannya berkisar pada meunasah atau masjid. 95 Prosesi dan interaksi kehidupan masyarakat Aceh diperankan oleh komunikasi timbal balik nilai-nilai fungsi Meunasah dan Mesjid yang menjadi satu ikatan sumber budaya. Karena itu simbol (logo) utama budaya Aceh adalah Meunasah dan Mesjid, sebagai pengendali (sumber inspirasi), yang hidup dan berkembang dalam teritorial kawasan Gampong dan Mukim. Meunasah sebagai pencerminan pembangunan ”nilai-nilai adat” dan Mesjid sebagai pencerminan pembangunan ”nilai-nilai Islami”. Integrasi kedua sumber nilai ini melahirkan nilai-nilai primer adat, yang bisa diadopsi sebagai nilai-nilai perdamaian berbasis lokal, seperti: a. komunal (tolong menolong dan silaturrahmi/rambateerata/ kebersamaan). Tulong meunulong sabei keudroe-droe, ta peukong
nanggroe sabei syedara; b. suka damai (pemaaf). Jaroe siploh ateuh ulee, muah lon lakei bak syeedara. Sigoe bak gob, siploh bak lon, bak rukon kaom sesama bangsa .
Kemudian, nilai-nilai adat Aceh berkaitan dengan damai yang berasal dari nilai-nilai preventif (konstruktif) seperti : • • • •
” Beik ta muprang sabei keudroe-droe, hancoe nanggroe reuloh bangsa “ ” Malei kaom, meungnyoe mupakei, habeih crei-brei bandum syeedara” “Meulawan hukom, raya akibat, meulawan adat malei bak donya.” “ Peuturot nafsu, malei pih tanlee, peu turot hatei nyawong tabila.
Dalam membangun penyelesaian damai, biasanya mekanismenya ” Damai Adat” ditempuh melalui dua jalan: Pertama, prosesi penyelesaian nilai-nilai normatif (hukum adat) melalui forum ”Adat Musapat”, musyawarah para tokoh adat/lembaga terkait dan pihak-pihak bersangkutan dalam hubungan penyelesaian sengketa/pelanggaran, dengan menggunakan asas ” luka tasipat, darah ta sukat” (Kompensasi/Kerugian). ”But nyan geit peureulee keu bagah, beik jeut susah watei iblih teuka” Kedua, prosesi penyelesaian formal melalui seremonial adat (publik) di
politik dan religi dari masyarakatnya. Lihat Sofian Effendi, Rekonstruksi Daerah Bencana Tsunami Harus Didahului Rekonsiliasi, tanpa tahun 94 Sofian Effendi, Rekonstruksi Daerah Bencana Tsunami Harus Didahului Rekonsiliasi, ibid 95 Tripa Sulaiman, Pembagian Peran Lewat Lembaga Adat Gampong, http://www.acehinstitute.org/opini_sulaiman_tripa_adat_gampong.htm
34
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak depan umum, dengan inti acara : khanduri, peusijuk, bermaafan dan salaman, sayam (penyerahan kompensasi), nasehat dan do’a. 96 Perdamaian dalam konteks Islam terefleksikan dalam Al Quran sebagai sumber utama yang dijadikan rujukan dan pedoman bagi pemeluknya dalam menyelesaikan setiap permasalahan, termasuk di dalamnya penyelesaian relasi antara manusia dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat (muamalah). Dalam Al-Qur’an, Islam mendeklarasikan dirinya sebagai agama damai. “Kami
tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat (belas kasih) bagi semesta alam.” Pernyataan inilah yang biasa kita kampanyekan Islam sebagai agama rah-matan lil ‘alamin. Konsep rahmatan lil ‘alamin dalam Islam secara garis besar melihat perdamaian dalam tiga dimensi, yaitu; pertama, dimensi tauhidiah
(ketuhanan), yaitu konteks bahwa Allah adalah inspirasi dan sumber perdamaian. Kedua, dimensi insaniah (kemanusiaan), artinya manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan suci dan memiliki nilai asasi yang perlu dijaga dan dijunjung tinggi untuk bisa hidup damai, tenang, rukun dan toleran. Dimensi insaniah ini memiliki tiga landasan utama. Pertama, damai dalam diri sendiri. Kedua, damai dalam keluarga yang mengarahkan terjadi-nya hubungan yang harmonis di lingkungan keluarga sehingga tercipta ketenangan dan cinta kasih. Ketiga, damai dalam lingkungan masyarakat, sehingga terjadi hubungan sosial yang harmonis, bebas dari berbagai macam diskriminasi. 97 Konsep tentang perdamaian dalam Islam tersebut dapat dipahami dari dua pendekatan yaitu; pertama, normatif, yaitu bentuk pemahaman yang lebih menekankan pada kecenderungan analisis tekstual tentang ketentuan-ketentuan teks yang bersumber dari ajaran ‘langit’. Analisis tekstual-normatif ini secara mendorong terciptanya upaya perdamian dan kerukunan yang di dalam Islam termanifestasikan pada prinsip-prinsip antara lain; (1) saling mengenal dan memahami; (2) prinsip menjaga kehormatan orang lain; (3) melakukan dialog yang baik, komunikatif dan argumentatif yang dimaksudkan untuk mencari titik temu dan menerima perbedaan ideologis; (4) menjalin interaksi sosial; (5) menghindari permusuhan; (6) tidak memaksakan kehendak; (7) melestarikan lingkungan; (8) prinsip menahan amarah dan keikhlasan memberi maaf; (9) merukunkan pihak yang bertikai, yaitu dengan berbagai media rekonsiliasi, mediasi maupun bentuk yang lain. Kedua, perspektif fakta-historis yang merupakan pemahaman untuk mencerminkan domain aktualitas yang cenderung bersifat empiris dalam ranah sosio-historis. Dalam kenyataannya, perdamaian tidak begitu saja hadir di tengah-tengah kehidupan umat manusia, namun memerlukan keterlibatan dan peran aktif dari manusia itu sendiri. Peran aktif manusia dalam menciptakan perdamian di dalam masyarakat merupakan aktualisasi dari nilai dan cita-cita Islam dengan upaya mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Upaya mewujudkan kehidupan yang damai, toleran, harmonis dan bebas dari berbagai diskriminasi sosial merupakan sesuatu yang harus dilakukan. 98 Dengan demikian, perdamaian akan terwujud dalam kehidupan apabila masyarakat Aceh dalam menerapkan ajaran Islam yang disemai dengan semangat pluralisme dan menghormati HAM.
Badruzzaman Ismail, Pengaruh Faktor Budaya Aceh Dalam Menjaga Perdamaian dan Disampaikan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, Tunas Aceh Research Institute, 2006 97 Mibtadin Ahmad, Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah, Al-Ikhtilaf, Edisi 304/31 Maret,2006.http://www.lkis.or.id/kontent/index.php?option=com_content&task=view&id=5 0&Itemid=60 98 Mibtadin Ahmad, Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah, ibid 96
Rekonstruksi,
35
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak Prinsip Islam tentang pluralisme tergambar baik dalam landasan etik-normatif yang terdokumentasi dalam al-Qur’an dan al-Hadis maupun rekaman historis pengalaman Nabi Muhammad ketika mengalami perjumpaan dengan agama lain. Contoh ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan landas tumpu terhadap penghargaan dan penyikapan yang benar terhadap pluralisme misalnya, Qs. AlBaqoroh (2); 62 dan 148; dua ayat ini di samping mengandung kenyataan bahwa pluralitas itu bagian dari Sunnat-u Allâh sekaligus juga melaui pluralitas kita dituntut untuk berlomba dalam kebaikan. (fastabiq al-khairât). Pluralisme juga merupakan kebijakan Tuhan yang berlaku dalam sejarah (Qs. Al-Rum (30): 22 dan al-Baqarah (2): 213. Artinya kenyataan pluralitas demikian adalah keinginan Allah sendiri, karena jika Allah menghendaki, tentulah Dia menciptakan manusia dalam satu komunitas saja. 99 Kemudian Surat An-Nisa, ayat 1 (Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang sama) merupakan penetapan nilai al-Ikhwah al-Insaniyah (Persaudaraan kemanusiaan) yang dimaksud sebagai pedoman hubungan antar kelompok manusia yang disebut Al Qur’an diatas. Nilai ini harus menjadi landasan masalah multikulturisme, multiagama, multibahasa, multibangsa dan pluralisme secara umum, karena Al-Qur’an menganggap perbedaan ras, suku, budaya dan agama sebagai masalah alami (ketentuan Tuhan). Justeru itu, perbedaan tadi tidak boleh dijadikan ukuran kemuliaan dan harga diri, tapi ukuran manusia terbaik adalah ketaqwaan dan kesalehan sosial yang dilakukannya. Ini yang dimaksud firman Tuhan dalam al-Hujurat ayat 13 yang artinya Persamaan adalah prinsip mutlak dalam Islam dalam membina hubungan sesama manusia tanpa beda. 100 HAM dalam perspektif Islam dapat dikonstruksikan dari sejumlah hak yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia, sebagaimana Tuhan telah memperlihatkan apresiasinya terhadap mereka semata-mata berdasarkan kemanusiaannya. Sesungguhnya telah Kami mulaikan anak-anak Adam (Al Isra: 70). Hal yang senada dapat pula dijumpai pada Surat At Tiin ayat (4) yang menyatakan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptkan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya. Kemudian penggalan Al Maaidah ayat 32 menyatakan bahwa barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memeihara kehidupan manusia seluruhnya. Dengan kata lain baik Al Quran telah menyiratkan serangkaian hak yang telah diberikan oleh Tuhan sebagai hak kepada manusia ditengah masyarakat. Semua HAM yang dihasilkan oleh berbagai konvensi 101 merupakan bagian dari kumpulan HAM yang mendasar menurut Islam. Meskipun Al Quran telah menjamin penghormatan HAM, namun pemahaman serta penerapannya semestinya tetap menyesuaikan dengan realitas sosial politik dari berbagai komunitas Islam berada. Oleh karenanya dampak parktik dari kaidah-kaidah Islam selalu dan senantiasa merupakan hasil pemahaman manusia atas sumber kitab suci dalam konteks sejarah tertentu. Dengan kata lain, untuk menerapkan teks-teks Ilahi perlu intervensi manusia sebagai pelaku baik dalam interpretasi maupun implementasinya. 102
99 Suprapto, Pluralitas, Konflik, dan Kearifan Dakwah, ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah Suprapto.doc 100 Masri Elmahsyar Bidin, Prinsip Hubungan Muslim dan Non Muslim Dalam Pandangan Islam, Makalah disampaikan pada Annual Conference Kajian Islam , Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI, 2006 101 Mahmud Gamal-ad-din, HAM di Dalam Agama Islam, dalam HAM Aneka Suara dan Pandangan (Jilid 2), Frans Ceunfin, SVD, Penerbit Ledalero,Seminari Tinggi Ledalero, Maumere, hal. 218 102 Abdullahi Ahmed An-Naim, Al Quran, Syariat dan HAM: Pendasaran, Kekurangan dan Prospek, dalam HAM Aneka Suara dan Pandangan (Jilid 2), ibid, hal. 234-235
36
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak Dalam kaitannya dengan mekanisme rekonsiliasi konflik berbasis tradisi yang yang kental dengan nuansa Islam paling tidak diketemukan mekanisme-mekanisme sebagai berikut: 103 •
Diet Diet merupakan mekanisme penyelesaian sengketa khususnya kasus pidana
dalam masyarakat Aceh. Penyelesaiannya dilakukan dengan cara membayar kompensasi berupa harta yang dibayarkan oleh pelaku pidana terhadap korban atau ahli waris korban. Diet dibayar terhadap kasus pidana yang menyebabkan korban meninggal dunia atau cacat seumur hidup. Dalam perkembangannya kemudia, diet juga dibayar untuk korban yang mengalami luka. •
Sayam Sayam berlaku pada kasus sengketa yang melibatkan anak-anak yang bersifat ringan. Pemberian sayam dilakukan kepada korban yang mengalami luka baik sengaja atau tidak sengaja. Pemberian sayam dapat mencakup penyembelihan hewan, tepung tawar (peusijuk), makan nasi ketan (bu leukat), dan peumat jaroe (saling salaman). Dalam bentuk lain sayam diwujudkan dalam bentuk
pengadopsian pelaku menjadi anak angkat keluarga korban atau sebaliknya. Anak angkat dari proses sayam ini dikenal dengan sebutan aneuk seubot atau
•
•
•
syeedara seubot. Suloh
Dalam kontek budaya Aceh, suloh memiliki tujuan rekonsiliasi konflik dalam kasus pidana maupun perdata dengan cara memberi kompensasi yang besarannya bergantung pada kondisi dan kemampuan ekonomi keluarga pelaku. Dalam mekanisme ini masyarakat terlibat di dalamnya, terutama teungku gampong (imam desa), keuchik (kepala desa) dan tuha peut (tetua adat) yang berperan sebagai mediator dalam penyelesaian konflik. Pelaksanaan suloh diakhiri dengan kenduri yang dihadiri oleh ulama, tokoh adat, dan masyarakat.
Peusijuek Peusijuek dalam konteks rekonsiliasi konflik merupakan bagian dari rangkaian mekanisme rekonsiliasi. Peusijuek dilakukan setelah kesepakatan penyelesaian konflik telah tercapai. Persiapan peusijuek dilakukan oleh pelaku pidana atau
keluarganya dan yang dipeusijuek adalah para pihak yang bersengketa. Pelaksanaan peusijuek dilakukan oleh imam (teungku meunasah), keuchik, dan orang yang dituakan. Jumlah pelaku peusijuek harus selalu ganjil minimal 1 (satu) orang dan maksimal 11 orang. Benda yang digunakan dalam upacara peusijuek bergantung pada konteks peusijueknya seperti air, tepung, ikatan dedaunan yang terdiri dari on manek-mano, on naleung sambo, on seunijuek, on leubue, dan on gaca. Di samping itu benda untuk peusijuek yang lain misalnya beras dan padi, bu leukat kuneng (ketan kuning), kain putih, dalong (talam), dan sange (tutup talam).
Peumat jaroe Peumat jaroe (berjabat tangan untuk bermaafan) merupakan symbol perbaikan
hubungan antar para pihak yang bermasalah dengan harapan bahwa konflik antar mereka berakhir. Dalam pelaksanaannya peumat jaroe diiringi dengan pesan seperti : Nyoe kaseb oh noe, bek na dendam le. Nyoe beujueuet keu
Syahrizal, et.al., Kurikulum Pendidikan Damai 2004 : Perspektif Ulama Aceh, Banda Aceh, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan Nonviolence International (NI), 2004, hal. 46-51
103
37
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak taloe syeedara sabab nyan ajaran agama geutanyoe (masalah ini cukup sampai di sini dan jangan diperpanjang lagi). Pihak yang berperan dalam peumat jaroe adalah teungku/imam atau ureung tuha gampong (orang tua kampong) dan disaksikan oleh orang yang diundang pada acara kenduri dan peusijuek. Peumat jaroe merupakan bagian dari peusijuek dan kenduri. Urutan kegiatannya dimulai dengan peusijuek, peumat jaroe dan makan bersama
(kenduri).
Penyelesaian konflik dengan menggunakan mekanisme rekonsiliasi berbasis tradisi memiliki kelebihan dibanding mekanisme yang diinisiasi oleh Negara. Dalam hal ini terdapat 5 (lima) kekuatan pendekatan tradisional untuk transformasi konflik yaitu: 104 • • • • •
Pendekatan tradisional layak untuk mengganti kerapuhan dan kegagalan Negara dalam menyelesaikan konflik Pendekatan tradisional bukan pendekatan berpusat pada Negara sehingga menciptakan legitimasi Pendekatan tradisional menempatkan faktor waktu sebagai faktor dalam penting dalam penyelesaian konflik bergantung pada kontek kultural, di samping itu pendekatan tadisional berorientasi pada proses Pendekatan tradisional membuka ruang partisipasi secara menyeluruh dan komprehensif. Dengan kata lain setiap orang bertanggung jawab untuk mencari solusi penyelesaian konflik Pendekatan tradisional berfokus pada dimensi psiko-sosial dan spiritual dari transformasi konflik
Meskipun demikian pendekatan rekonsiliasi konflik berbasis tradisi mengandung kelemahan sebagai berikut: 105 • • • • •
Tidak dapat menghentikan tindak kekerasan untuk jangka waktu panjang Terkadang bertentangan dengan standar universal HAM Memiliki keterbatasan ruang untuk mengaplikasikannya Mekanisme ini dapat dipergunakan bagi suatu rezim menjaga keberlangsungannya (status quo) Membuka ruang untuk penyalahgunaan kekuasaan
Kemudian berdasarkan hasil Lokakarya Pengembangan Kurikulum Pendidikan Perdamaian disimpulkan bahwa penggunaan mekanisme rekonsiliasi berbasis tradisi Aceh terkendala faktor-faktor berikut: 106 •
•
Mekanisme rekonsiliasi berbasis tradisi Aceh dan institusi lokal sudah mengalami kehancuran sehingga sudah hilang dalam memori kolektif masyarakat Aceh. Dengan kata lain masyarakat Aceh sendiri saat ini hanya sedikit yang mengenali tradisi Aceh Telah ada upaya penghidupan mekanisme rekonsiliasi berbasis gampong dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan berbasis gampong. Namun mekanisme ini hanya menyelesaikan konflik pada tataran masyarakat yaitu individu dengan individu lain atau
Volker Boege, Traditional Approaches to Conflict Transformation — Potentials and Limits, Berghof Research Center for Constructive Conflict Management, 2006, hal. 11 105 Volker Boege, Traditional Approaches to Conflict Transformation, ibid, hal. 15 106 Hasil Lokakarya Pengembangan Kurikulum Pendidikan Perdamaian, YPHA, 2008 104
38
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak • •
sekelompok masyarakat dengan kelompok lain. Mekanisme ini tidak dapat dipergunakan untuk resolusi konflik vertikal antara Negara dengan masyarakat Mekanisme di gampong tidak ada punishment yang menjerakan pelaku konflik Mekanisme tradisi yang ada saat ini lebih mendorong upaya rekonsiliasi konflik bersifat formal dan seremonial seperti peusijuek. Namun akar konflik yang masih mengakar kuat mungkin tidak terselesaiakan. Dengan demikian dendam masa lalu dapat menjadi bahaya laten yang berpotensi menjadi konflik yang manifest.
Dalam perspektif keadilan masa transisi (transitional justice) , mekanisme rekonsiliasi konflik berbasis tradisi hanya berfungsi bagi penyelesaian konflik yang terjadi antar individu dengan individu atau individu dengan kelompok lain atau kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain. Dengan kata lain mekanisme ini digunakan untuk rekonsiliasi konflik horizontal. Namun dalam peristiwa konflik vertikal yang melibatkan Negara sebagai pelaku konflik atau kelompok bersenjata mekanisme tersebut tidak berlaku. Hal ini disebabkan kedua actor ini memiliki kewajiban secara yuridis untuk bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang dilakukannya sesuai dengan ketentuan hukum HAM internasional. Rekonsiliasi konflik yang melibatkan Negara sebagai pelaku pelanggaran HAM dilakukan dengan cara mengadili pelaku melalui pengadilan HAM dan atau melalui mekanisme pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Kendatipun demikian mekanisme rekonsiliasi konflik berbasis pendekatan tradisi tersebut dapat dipergunakan dalam penyelesaian konflik dalam masyarakat asal sesuai dengan standar hukum internasional. Mekanisme rekonsiliasi konflik yang biasanya dipergunakan oleh para pihak untuk mengakhiri konflik selain menggunakan mekanisme pengadilan, dapat menggunakan mekanisme alternative (alternative dispute resolution) , yakni: (i) negosiasi, (ii) mediasi, dan (iii) arbitrase. Secara diagramatik rangkaian rekonsiliasi konflik dapat divisualisasikan sebagai berikut. 107 Pihak yang terlibat konflik kehilangan control
Pihak yang terlibat konflik masih memiliki control atas capaiannya Negosiasi Diskusi antara dua pihak, bekerja untuk mencari titik kesepakatan, tanpa bantuan pihak ketiga
107
Mediasi Dalam proses penyelesaian sengkata secara sukarela masingmasing pihak menyertakan pihak ketiga yang imparsial sehingga tercapai kesepakatan yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Arbitrase Menggunakan jasa pihak ketiga yang independen untuk menyelesaikan konflik. Pihak ketiga ini menentukan penyelesaian yang mengikat kedua belah pihak.
Ajudikasi Penyelesaian konflik menggunakan mekanisme pengadilan
International Federation of University Women, Workshop on Conflict Resolution
Facilitator’s Guide, tanpa tahun, hal. 15
39
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak MoU antara Pemerintah RI dengan GAM di Helsinski yang fasilitasi oleh Henry Dunant Centre, sebuah LSM yang berbasis di Swiss, merupakan upaya rekonsiliasi konflik dalam bentuk mediasi. Dalam proses tersebut Henry Dunant Centre bertindak sebagai mediator, substansi kesepakatan diserahkan kepada masing-masih pihak yang bersengketa. Salah satu substansi yang penting dalam MoU tersebut adalah diterbitkannya kewajiban bagi Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dan memulihkan hak-hak korban. Meskipun MoU tersebut pada titik-titik tertentu sesuai dengan standar universal HAM, namun di sisi lain, minimalnya partisipasi masyarakat sipil 108 menyisakan ruang potensi munculnya konflik di masa yang akan datang. Hal ini disebabkan belum tentu substansi MoU tersebut sesuai dengan aspirasi masyarakat sipil yang menjadi korban sesungguhnya konflik tersebut. D.
Pendekatan Pendidikan Perdamaian Upaya Memutus Siklus Konflik
Terdapat 6 (enam) pendekatan utama studi perdamaian, yakni: (i) konservatif (conservative); (ii) pragmatis (pragmatic); (iii) keadilan sosial (social justice); (iv) transformasi personal (personal transformation); (v) ketertiban dunia (world order); dan (vi) ekologis (ecological). 109 Pendekatan konsevatif menekankan pada pendekatan pembangunan perdamaian melalui kekuatan dan kekuasaan (strength and authority) karena menjadi bagian dari manajemen krisis. Hal ini merupakan kondisi perdamaian penuh yang skeptik. Perdamaian yang terbatas menjadi kondisi yang ideal. Oleh karenanya bermacam-macam pendekatan “kepolisian” diterapkan untuk menciptakan kondisi damai. Mengacu pada pendekatan ini perdamaian disamakan dengan ketertiban. Dengan demikian tindakan kekerasan dapat digunakan untuk memilihara ketertiban. Pendekatan pragmatis mengasumsikan netralitas ideologi dan mencoba membangun perdamaian secara pragmatis dan mengartikannya secara pragmatis pula. Kondisi perdamaian yang diinginkan bukanlah secara filosofis, nilai-nilai, dan politik yang ideal, melainkan suatu tingkat perdamaian yang terbaik yang mungkin bisa dicapai. Penghentian sebuah peperangan adalah salah satu tujuan yang utama. Pendekatan ini tidak menekankan penyelesaian kekerasan struktural yang terjadi di masyarakat. Pendekatan keadilan sosial merupakan upaya advokasi bagi perdamaian yang positif. Pendekatan ini menganalisa secara mendalam penyebab rusaknya kondisi perdamaian di masyarakat. Perspektif Johan Galtung menjadi acuan pendekatan ini. Fokus utamanya adalah pendekatan kekerasan struktural dan upaya penghapusannya. Ketidakadilan sosial sebagai bentuk kekerasan struktural meliputi kemiskinan, rasisme, chauvinism, dan eksplotasi ekonomi yang akan ditujukan sebagai sasaran pembangunan perdamaian. Pendekatan ini berupaya membangun tatanan sosial baru yang akan membantu tercapainya kesetaraan, keadilan, dan harmoni sosial. Pendekatan transformasi personal mengacu pada Pembukaan Konstitusi UNESCO yang menyatakan bahwa sejak peperangan mulai dipemikiran, pada pemikiran tersebut juga melekat bahwa perdamaian juga mesti dikonstruksikan. Pendekatan ini dapat dilacak pada beberapa filosof agama seperti Mahatma Gandhi dan Marthin Luter yang menyatakan bahwa tujuan utama dari penyelesaian konflik di Pandangan peserta Lokakarya Pengembangan Kurikulum Pendidikan Perdamian, YPHA, 2008 109 Laksiri Fernando, Peace Studies dalam Conflict Resolution & Peace Studies An Introductory Handbook, Jayadeva Uyangoda (Editor), Center for Policy Research and Analysis (CEPRA) University of Colombo, Eriedrich Ebert Stiftung, Colombo office, 2000, hal. 46 108
40
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak dalam dan diantara individu-individu itu sendiri. Aspek psikologis ditekankan pada pendekatan ini. Pendekatan ini mencari sesuatu yang keliru dalam proses sosialisasi kontemporer. Oleh karenanya pendidikan perdamaian dimaknai sebagai perdamaian. Pendekatan utama advokasinya melalui pendidikan dan psikologi sosial. Pendekatan ketertiban dunia merupakan pendekatan yang popular secara akademis, khususnya dalam bidang hubungan internasional. Menurut pendekatan ini, masalah perdamaian bukan pada isolasi tetapi dalam relasi pembangunan, keadilan, dan HAM. Secara normatif nilai-nilai perdamaian merupakan tujuan tertinggi yang akan tercapai melalui upaya-upaya politik. Pendekatan ini berorientasi pada nilai, non-elitis, dan menolak netralitas. Pendekatan ekologis dikembangkan oleh Prof. Fred Knehnan pendiri Vancouver Peace Council in Canada. Prof. Fred mencoba mensintesakan aspek-aspek positif semua pendekatan perdamaian, utamanya 3 (tiga) pendekatan yang terakhir dan dikembangkan pendekatan baru. Pendekatan ini memperlihatkan keterkaitan antara 3 (tiga) bidang masalah, yakni: (i) perang/damai; (ii) pembangunan/lingkungan hidup; dan (iii) HAM/keadilan. Tujuan pendekatan ini adalah masa depan dapat diwujudkan jika perdamaian juga terus berkelanjutan. Pendekatan ini menekankan pentingnya gerakan perdamaian di mana pendidikan perdamaian merupakan bagian penting dari gerakan perdamaian. 110 Jika melihat keenam pendekatan studi perdamian di atas, pendekatan transformasi personal dan pendekatan ekologis yang secara eksplisit menyebutkan pendidikan perdamaian (peace education) sebagai metode untuk mengembangkan pendekatan studi perdamaian. Pendidikan perdamaian secara konseptual merujuk pada tenaga pendidik/guru mendidik mengenai perdamaian, yakni apakah perdamaian, mengapa kondisi damai terkadang tidak eksis (hilang) dan bagaimana mencapai kondisi damai. Hal ini mencakup pendidikan mengenai tantangan menciptakan perdamaian, mengembangkan keterampilan-keterampilan anti-kekerasan, dan pemajuan perilakuperilaku damai. Pendidikan perdamaian pada prinsipnya dikembangkan berdasarkan pada 5 (lima) postulat utama, yakni: 1. 2. 3. 4. 5.
Penjelasan mengenai akar kekerasan; Pendidikan mengenai bentuk-bentuk lain dari tindak kekerasan; Cakupan bentuk-bentuk kekerasan yang berbeda; Proses perdamaian itu sendiri beragam sesuai dengan konteks; Konflik itu dapat terjadi di mana saja.
Postulat pertama memberikan peringatan mengenai berbahayanya tindak kekerasan. Dengan postulat ini,peserta didik dalam menerima pendidikan perdamaian akan belajar mengenai hal-hal yang lain sebagai upaya mendekonstruksi musuh-musuh yang terbentuk melalui pencitraannya. Postulat kedua menunjukkan strategi-strategi perdamaian yang berbeda yang ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan sebagaimana disebut dalam postulat pertama. Pendidik perdamaian akan mendidik proses-proses perdamaian seperti negosiasi, rekonsiliasi, penggunaan cara-cara nonkekerasan, penggunaan perjanjian-perjanjian dan aturan-aturan untuk merngurangi tingkat kekerasan. Postulat ketiga menjelaskan bahwa dinamika pendidikan perdamaian disesuaikan dengan bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi. Postulat keempat teori dan praktik pendidikan perdamian diletakkan sesuai dengan normanorma kultural setempat. Postulat kelima menegaskan bahwa pendidikan perdamaian
110
Laksiri Fernando, Peace Studies, ibid
41
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak pada dasarnya tidak dapat mengurangi konflik tetapi hanya memberikanpeserta didik kemampuan mengelola konflik. 111 Lebih jauh pendidikan perdamaian merupakan salah satu upaya pemenuhan hak anak atas pendidikan. Sebagaimana diketahui doktrin hukum HAM Internasional menegaskan pentingnya hak atas pendidikan karena hak atas pendidikan memberikan kemampuan bagi setiap individu untuk mengontrol kehidupannya. Dalam konteks pendidikan perdamaian, pemenuhan hak atas pendidikan dapat memajukan kesepemahaman, toleransi, penghormatan, dan persahabatan antar masyarakat dan antar Negara. 112 E. Kelompok Anak sebagai Sasaran Utama Pendidikan Perdamaian Pendidikan perdamaian bagi anak-anak tidak terlepas dari tujuan pendidikan yang telah diatur dalam KHA. Pasal 29 KHA menetapkan bahwa pendidikan anak harus diarahkan untuk :
“(b) Pengembangan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar dan prinsip-prinsip 113 yang diabadikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; (d) Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang bebas, dalam semangat saling pengertian, perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan persahabatan antara semua bangsa, etnis, warga negara dan kelompok agama, dan orang-orang asal pribumi.” Semangat perdamaian yang menjadi tujuan pendidikan merefleksikan landasan filosofis KHA sebagaimana terbaca pada Pembukaan KHA yang menyatakan bahwa:
“anak harus dipersiapkan seutuhnya untuk hidup dalam suatu kehidupan individu dan masyarakat, dan dibesarkan dengan semangat cita-cita yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, 114 dan terutama dalam semangat perdamaian, kehormatan, tenggang rasa, kebebasan, persamaan dan solidaritas.”
Ian M. Harris, Peace Education Theory, Journal of Peace Education, Volume 1, Number 1, March 2004, hal. 4 112 Women Commission for Refugee Women and Children, Right to Education During Displacement, op.cit, hal. 15 113 Pasal 2 Piagam PBB berisikan prinsip-prinsip PBB yang antara lain menyebutkan: (3) All 111
Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered. 114 Pembukaan Piagam PBB paragraf awal dengan tegas menyatakan bahwa to save succeeding generations from the scourge of war, which twice in our lifetime has brought untold sorrow to mankind. Mengacu pada bunyi paragraf Piagam PBB tersebut tujuan pendirian PBB tidak
terlepas dari prinsip kepentingan terbaik bagi anak yakni menyelamatkan anak-anak sebagai pemilik masa depan dari konflik bersenjata. Landasan filosofis ini kemudian dielaborasi lebih lanjut dalam Pasal 1 Piagam PBB yang menyatakan bahwa salah satu tujuan utama pendirian PBB adalah: (1) To maintain international peace and security, and to that end: to take effective
collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace;
42
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak Tujuan pendidikan KHA di atas dipertegas dalam Deklarasi Pendidikan untuk Semua (World Declaration on Education for All) 1990 yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang – anak-anak, remaja, dan dewasa, harus mendapatkan manfaat dari tujuan pendidikan yang dirancang untuk mencukupi kebutuhan dasar pembelajaran. Kebutuhan dasar ini meliputi sarana pembelajaran yang esensial (essential learning tools) yang meliputi literasi, mengekspresikan pendapat, numerasi, dan pemecahan masalah dan isi pembelajaran yang mendasar (basic learning content) yang mencakup pengetahuan, keahlian, nilai-nilai, dan tingkah laku sebagai prasyarat dasar kehidupan manusia sehingga memiliki kemampuan yang cukup untuk memberdayakan diri dan masyarakat; bertanggung-jawab untuk mendorong keadilan sosial; bertoleransi atas setiap perbedaan pandangan politik dan keyakinan; menerima nilai-nilai kemanusiaan dan memegang teguh HAM; dan bekerjasama mewujudkan perdamaian dan solidaritas dunia.” 115 Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, maka karakteristik psikosososial yang melekat pada setiap rentang usia yang berbeda harus dipahami. Karakteristik yang melekat pada anak-anak berdasarkan rentang usia anak yang berbeda dapat dilihat dalam tabel berikut: 116
Susan Fountain, Peace Education in UNICEF, op.cit, hal. 2 Equitas – International Centre for Human Rights Education, Play It Right, Montréal, Québec, 2006, hal 19-26 115 116
43
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak Kelompok Usia 6-8 tahun
Deskripsi Umum
Karakteristik Secara Fisik
Antara usia 6 - 8 tahun usia, anak-anak berkembang suatu perasaan kemerdekaan/ kebebasan. Mereka bersemangat untuk mengeksplorasi cakrawala baru. Perubahan dalam pertumbuhan dan perkembangan mereka terjadi dengan cepat. Mereka menyebar dengan antusias. Mereka sangat bergembira dan memiliki banyak harapan bahwa terhadap diri mereka akan lebih baik. Mereka menikmati penjelajahan lingkungan baru, ide baru dan jalinan pertemanan baru. Anak-anak dalam kelompok ini memilik perasaan yang sedang berkembang cepat rasa ingin tahu dan imajinasi yang tinggi. Mereka selalu berharap dapat berkreasi, membangun, dan mengeksplorasi lingkungan sekitarnya.
• Aktivitas motorik anak-anak meningkat secara signifikan dalam kelompok umur ini dan mereka selalu nampak resah meskipun mereka sedang terdiam. • Mereka menikmati permainan yang penuh sorak sorai • Koordinasi belum sepenuhnya dapat dikembangkan, namun dikembangkan dengan cepat. Mereka menikmati permainan dengan oyek kecil, sekalipun baik bagi kemampuan motorik mereka namum masih terlihat sedikit canggung. • Mereka mempunyai suatu perhatian yang singkat pendek/singkat dan mudah • dikacaukan oleh lingkungan mereka. • Sungguhpun mereka banyak menyerap aktivitas, namun kemampuan mereka untuk berkonsentrasi masih terbatas
Kemampuan Belajar (Kognitif) • Anak-anak dalam masa usia ini belajarnya akan lebih baik melalui sentuhan, eksplorasi, dan gerakan. Aktivitas yang diminta anak-anak terutama aktivita-aktivitas yang menarik hati mereka • Mereka tidak terlalu suka menunggu secara bergilir untuk bermain • Mereka mempertunjukkan suatu kemampuan untuk mengikuti kelanjutan dan akitivitas yang diperintahkan kepada mereka. • Mereka jadilah lebih sadar akan konsep waktu dan • panjangnya aktivitas. • Kemampuan membaca dan menulis masih dalam tahap perkembangan dan untuk mengupayakan kemampuan ini masih terbatas. • Mereka akan belajar lebih baik melalui sentuhan perasaan, eksplorasi dan gerakan, dan pembelajaran mengenai pengalaman mereka masih membutuhkan arahan. • Mereka suka mencoba untuk
Relasi • Mereka ingin selalu menjadi yang pertama dan sulit untuk menunggu putaran selanjutnya • Mereka selalu percaya bahwa orang dewasa lebih benar • Mereka harus selalu diingatkan secara konsiten bahwa setiap melakukan aktivitas ada aturannya • Mereka pada saat bermain lebih senang berdua-dua dibanding kelompok. • Dalam menjalin pertemanan seringkali ada keributan dan kompetisi • Mereka menikmati kesempatan untuk menyatakan diri mereka, tetapi harus diminta secara langsung.
44
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak
• • • • •
9-10 tahun
Pada 9 tahun usia, anak-anak mempertunjukkanmeningkatnya kemampuan untuk berfikir secara logis, membuat keterkaitan antara peristiwaperistiwa dan pemahaman atas perasaan dan sudut pandang orang lain. Pada mereka menjangkau usia 10, mereka akan memperoleh kepercayaan kebebebasan lebih. Mereka akan selalu memotivasi diri dan dan sekali mereka sibuk dengan suatu kegiatan yang menarik perhatian, mereka akan melanjutkan dengan sendirinya. Mereka menyambut tantangan baru dan lebih memiliki semangat. Mereka dapat
• Mereka menikmati permainan olah raga, menari atau olahraga senam dan dilibatkan di dalamnya. • Pertumbuhan secara fisik mulai bervariasi antara anak yang satu dengan anak yang lain. • Mereka menikmati permainan yang dinamis pada saat waktu luang mereka • Ketrampilan motorik mereka sedang berkembang • Anak laki-laki suka menunjukkan fisik mereka lebih kuat. Meskipun baik, namun harus mempertimbangkan
memecahkan permasalahan sendiri Mereka mempunyai harapan sangat tinggi diri pada mereka dan orang yang lain. Mereka menikmati permainan memainkan peranan. Pemahaman mereka suatu fakta, pelajaran, atau aktivitas memerlukan untuk dipandu dengan memperkenalkan satu konsep pada waktu yang sama.
• Mereka menikmati pembelajaran –fakta-fakta baru, tetapi mungkin merefleksikannya secara lebih mendalam • Pembelajaran terbaik bagi mereka adalah melalu eksperimentasi dan keterlibatan penuh dalam suatu aktivitas. • Setelah mereka menyelesaikan pembelajarannya – melalui tahap membaca, mereka mampu untuk membaca cerita yang lebih rumit. • Mereka dapat berputus asa jika apa yang dilakukannya tidak memenuhi harapannya • Mereka menikmati pemecahan masalah.
• Mereka mempertunjukkan peningkatan kepentingan terhadap apa yang dimiliki oleh sebuah kelompok • Mereka menempatkan arti penting sebuah pertemanan • Mereka mungkin berkompetisi satu dengan yang lain namun menikmati kerja sama dalam kelompok • Pada masa usia ini anakanak mulai untuk menempatkan arti penting pertemanan dan bergabung dalam sebuah kelompok, atau kelompok dengan teman-teman khusus
45
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak
Usia 11-12 tahun
terlibat pada suatu aktivitas, membaca untuk kesenangan, dan berpartisipasi dalam suatu perbincangan. Pada masa usia ini , anak-anak menikmati tanggung jawab yang diberikan kepadanya, tetapi mereka harus tetap mendapatkan arahan secara konsisten sehingga mereka dapat memenuhi tugas mereka. Mereka terkadang masih menunjukkan rasa rendah diri dan malu-malu dan mereka membutuhkan lebih banyak dorongan dari orang dewasa.
kemampuan yang beragam antara anak yang satu dengan yang lainnya. • Mereka sering bermain dengan tujuan untuk mencapai titik kelelahan mereka
• Mereka lebih menyukai berpikir hal yang konkrit daripada hal yang abstrak • Mereka menikmati pembelajaran berdasarkan fakta sebagai cara agar tetap menilkmatinya • Mereka menikmati permainan dan puzzle
• Pada masa ini pula mereka menyatakan perasaan apa yang mereka sukai dan tidak sukai kepada orang lain dan perasaan benar atau salah berdasarkan pada kejujuran
Anak-Anak pada masa usia 11 dan 12 sedang menikmati kehidupan mereka, pembelajaran dan menjadi bagian dari sebuah pertemanan. Kehidupan mereka selalu dipenuhi dengan kejutan, tetapi mereka selalu menikmati rutinitas. Pada masa ini mereka juga lebih percaya diri akan kemampuan mereka. Mulai percakapan dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih cerdas, logis, dan menyenangkan. Mereka mempunyai lebih banyak energi dan
• Secara fisik mulai terjadi perubahan terutama pada diri anak perempuan • Perkembangan fisik tersebut berbeda antara satu individu dengan individu lainnya . • Mereka mempunyai suatu energy yang berimpah • Mereka seringkali mengalami kesulitan untuk mengendalikan emosi mereka.
• Walaupun pemikiran konkret masih mendominasi, namun mulai menunjukkan kapasitas untuk berpikir abstrak • Mereka bertualang dan menikmati perubahan. • Mereka menunjukkan perhatian yang lebih lama • Ketrampilan bahasa mereka meningkatkan. • Mereka belajar dari model yang diperankan oleh orangorang disekitar mereka
• Mereka menikmati pembelajaran aktivitas kerja dengan temantemannya • Mereka mulai bergantung pada teman dan orang dewasa untuk menjawab kesulitan • Mereka mencari persetujuan dari teman sebaya • Mereka mulai mengembangkan suatu keyakinan • Mereka memiliki kesadaran yang meningkat terhadap keadilan
46
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak menunjukkan pergerakan yang tetap. Bagaimanapun,energi mereka nampak menghilang ketika mereka melakukan aktivitas yang tidak diinginkan atau aktivitas yang dipaksakan. Pada masa ini, anak-anak mempertunjukkan suatu kemampuan berpikir logis yang, dapat membuat keterkaitan antara peristiwa, dan bisa memahami perasaan dan sudut pandangan dari orang lain. Hidup mereka mulai lebih memusatkan pada pertemanan yang melingkupinya. Bersosialisasi, berbicara melalui telepon, dan menjadi bagian dari suatu kelompok merupakan hal yang penting yang terus meningkat pada masa usia ini.
• Mereka menikmati aktivitas yang berkaitan dengan keadilan sosial, bekerja secara suka rela dan membantu orang lain.
47
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak Berdasarkan tabel di atas, pada rentang usia tersebut diatas kurikulum pendidikan perdamaian dapat mulai diperkenalkan dan diajarkan sebagai materi pelajaran, namun dengan metode yang berbeda sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak-anak. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, materi pendidikan perdamaian semestinya mulai masuk dalam kurikulum pendidikan dasar awal atau tingkat sekolah dasar. Kemudian berdasarkan psikologi perkembangan, anak-anak antara usia 7 – 12 tahun berkembang kemampuannya mengambil langkah keluar dari diri mereka sendiri untuk refleksi diri melihat interaksinya dengan orang lain dan melakukan hal-hal yang sama yang dilakukan oleh orang lain. Pada masa ini pula secara bertahap berkembang kemampuannya untuk mengkoordinasikan perspektif yang dimilikinya dengan orang lain dengan cara, pertama anak secara bertahap menerima perspektif orang lain dan kemudian mengakui pandangan tersebut. Dengan kata lain terdapat pengakuan kebutuhan untuk menjalin relasi secara psikologis antara dirinya dengan orang lain dan di antara mereka saling bertukar perspektif yang saling menguntungkan. 117 Dalam kaitan ini terdapat, pandangan Lawrence Kohlberg yang mengemukakan teori tahapan perkembangan moral. Teori ini menyatakan bahwa ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya. Penalaran moral merupakan dasar dari perilaku etis dengan tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan. Perkembangan tersebut terdiri atas enam tahapan yang terbagi lagi dalam tiga tingkatan, yakni pra-konvensional, konvensional, dan pascakonvensional. 118 Pendidikan perdamaian berdasarkan perkembangan moral Kohlberg lebih tepat di letak pada tingkat konvensional. Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Pada tahapan ini orang menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Dalam tingkatan ini terdapat 2 (tahap) yakni: pertama seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Kemudian kedua, tahapan ini seseorang mulai merasakan penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. 119 Pada rentang usia ini kurikulum pendidikan perdamaian dapat mulai diperkenalkan dan diajarkan sebagai materi pelajaran. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, materi pendidikan perdamaian semestinya mulai masuk dalam kurikulum pendidikan dasar awal atau tingkat sekolah dasar. Secara substansi pendidikan perdamaian yang diajarkan kepadapeserta didik memiliki 3 (tiga) karakteristik yang meliputi: (i) pengetahuan/pemahaman (knowledge/understanding); (ii) Kemampuan/keahlian (skill/competencies), dan (iii) Sikap/nilai (attitude/value). 120 Ketiga karakteristik ini secara sinergis ditampakkan pada segitiga KSA (knowledge-skill-attitude) di bawah ini. 121
Roger A.Hart, Children Participation, UNICEF & Earthscan, London, 1997, hal. 33 http://id.wikipedia.org/wiki/Tahap_perkembangan_moral_Kohlberg 119 http://id.wikipedia.org/wiki/Tahap_perkembangan_moral_Kohlberg 120 Ellie Ken & Anca Tirca, Education for Democratic Citizenship, ARREDO, Rumania, 1999, hal. 13 121 Ellie Ken & Anca Tirca, Education for Democratic Citizenship, ibid 117 118
48
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak Informasi/konsep analisis
pengetahuan/pemahaman
(knowledge/understanding)
Tindakan
/Action
Praktik
Kemampuan/keahlian
(skill/competencies)
Empati/ Perasaan yang menyenangkan
Sikap/nilai
(attitude/value)
Gambar 6 : Sinergitas Karakteristik Pendidikan Perdamaian
Segitiga di atas menggambarkan bahwa pendidikan perdamaian tidak hanya mengenai pemberian informasi kepada sanak-anak. Informasi tanpa diiringi kemampuan dan keinginan untuk menggunakannya secara efektif , dalam arti hanya digunakan secara akademik akan menyebabkan mayoritas peserta didik bosan. Kebosanan peserta didik berakibat mereka beranggapan pendidikan perdamaian tidak penting dan pada akhirnya mereka tidak berkeinginan untuk menggunakannya dalam kehidupan. Tujuan pendidikan sebenarnya adalah tindakan yang mana akan berkontribusi pada kehidupan masyarakat. Dengan demikian segitiga tersebut menampakkan keterhubungan yang kuat antara pengetahuan, kemampuan, dan sikap karena pengetahuan semata tidak cukup untuk memajukan tindakan, tanpa diiringi kemampuan dan sikap. 122 Pemahaman peserta didik terhadap pendidikan perdamaian diupayakan melalui pemberian informasi mengenai HAM, pluralism, dan konsep struktur dan proses sosial dan politik yang melingkupi kehidupan anak-anak. Kemudian, kemampuan menerapkan pendidikan perdamaian dapat terbangun apabila peserta didik diberikan kesempatan untuk mempraktikan perilaku damai dalam kehidupan mereka. Selanjutnya kemampuan tersebut menumbuhkan sikap di mana dalam menganalisis permasalahan anak-anak menggunakan perasaan dan empati mereka sehingga dapat menerima setiap perbedaan pandangan dan konteks permasalahan yang berbeda. Dengan kata lain, pemahaman terhadap konsep pendidikan perdamaian mensyaratkan diilibatkannya sikap peserta didik dengan berlandasakan pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Pengembangan sikap merupakan hal yang esensial sebagai bagian dari upaya menumbuhkan pemahaman. Keterkaitan ini dapat digambarkan sebagai berikut. 123
122 123
Mengadopsi Ellie Ken & Anca Tirca, Education for Democratic Citizenship, ibid Mengadopsi Ellie Ken & Anca Tirca, Education for Democratic Citizenship, ibid
49
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak
Kemampuan
Sikap
Pemahaman
Gambar 7 : Pengembangan Sikap Basis Pendidikan Perdamaian
Rasionalitas anak-anak dengan rentang usia di atas sebagai kelompok sasaran pendidikan perdamaian karena mereka dapat bertindak sebagai agen transformasi sosial yang akan membawa nilai-nilai dan perilaku damai di masa yang akan datang. Penentuan strategi ini sesuai dengan fokus dari pendidikan perdamaian yaitu terjadinya perubahan tingkal laku. Proses perubahan tingkah laku ini melalui tahapan-tahapan yang berkelanjutan sebagai berikut: • • • • • • •
•
Menjadikan isu perdamaian dan konflik sebagai kesadaran bersama; Menjadikan isu perdamaian dan konflik sebagai perhatian bersama; Mendapatkan pemahaman dan kemampuan yang terkait dengan isu; Menumbuhkan motivasi berdasarkan sikap dan nilai baru; Terdapatnya keinginan untuk bertindak; Mencoba tingkah laku baru seperti resolusi konflik perdamaian; Mengevaluasi pengalaman tersebut; Mempraktikan tingkah laku yang direkomendasikan. 124
Kedelapan langkah tersebut bisa bervariasi atau dilakukan secara bertahap bergantung pada konteks sosial dan budaya di mana perubahan perilaku tersebut akan ditempatkan. Pendekatan komprehensif pada pendidikan perdamaian dapat mengadopsi ke delapan langkah tersebut. Kedelapan langkah ini berkaitan dengan isu perdamaian dan konflik yang dapat diberikan kepada remaja karena : (1) sebagian besar konflik antar orang-orang seusianya berhubungan dengan pertengkaran/perkelahian; (2) menjadi lebih peduli mengenai kerusakan yang disebabkan oleh kekerasan fisik dan emosional; (3) belajar megenai cara-cara alternative untuk menangani konflik dan menyadari bahwa ada cara-cara nirkekerasan dalam situasi konflik; (4) termotivasi untuk mencoba kemampuan-
124
Susan Fountain, Peace Education in UNICEF, op.cit, hal. 5
50
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak kemampuan tersebut dalam situasi nyata; (5) membuat keputusan untuk mencoba kemampuan nir kekerasan di masa yang akan datang ketika dirinya terlibat konflik; (6) mencoba perilaku yang baru seperti negosiasi dengan cara yang lebih kooperatif dalam konflik dengan teman sebaya; (7) refleksi pada pengalaman dan menyadari bahwa hasilnya lebih tidak membahayakan secara fisik atau emosional dibandingkan perilaku yang muncul sebelumnya pada situasi konflik; dan (8) berkomitmen untuk terus menggunakan dan belajar mengenai cara-cara atau metode nirkekerasan dalam menangani konflik. 125 Dalam konteks Aceh pengembangan kurikulum pendidikan berbasis budaya damai mendapatkan rasionalitas 3 (tiga) hal berikut: (i) masyarakat Aceh menjadi korban akibat kebijakan militer Pemerintah Republik Indonesia masa Orde Baru yang represif sehingga banyak terjadi pelanggaran HAM; (ii) Pemerintah Republik Indonesia telah mengeksploitasi SDA dan menerapkan kebijakan ekonomi yang tidak adil; 126 dan (ii) masyarakat Aceh khususnya anak-anak sebagai korban berpotensi melanggengkan kekerasan di masa yang akan datang. 127 Dengan demikian sistem pendidikan yang seharusnya diterapkan di Aceh adalah pendidikan hadap masalah (problem possing education). Pendidikan hadap masalah seperti ini harus tertuang dalam kurikulum pendidikan di Aceh. Kurikulum pendidikan demikian bertujuan menempatkan pendidikan sebagai bagian integral dalam rangka meningkatkan kesadaran kritis anak-anak dengan basis belajar dari realitas. Realitas khas anak-anak Aceh yakni ketika mereka mengalami, merasakan, dan menjadi korban dari konflik struktural tersebut. Kurikulum dimaknai oleh John Kerr sebagai garis-garis besar pembelajaran yang direncanakan dan diarahkan oleh sekolah untuk diberikan kepada peserta didik apakah sebagai sebuah kelompok atau individu, baik dalam sekolah maupun di luar sekolah. 128 Mengacu pada definisi ini terdapat 3 (tiga) elemen dari kurikulum pendidikan, mencakup: (i) perencanaan, yakni apa tujuan dari pembelajaraan yang akan diberikan kepada para peserta didik; (ii) pengarahan, yakni bagaimana struktur di sekolah dapat mengakomodasi sebuah perencanaan pembelajaran; dan (iii) implementasi, yakni bagaimana perencanaan tersebut dapat dilaksanakan disekolah. 129 Dengan demikian kurikulum pendidikan di sekolah karena berbasis hadap masalah maka pendidikan perdamaian dapat menjadi salah satu materi muatan pendidikan bagi anak-anak Aceh. Pendidikan perdamaian yang menjadi bagian integral materi dalam kurikulum pendidikan bertujuan untuk: 130 • • • •
Memajukan budaya damai dan menghilangkan budaya kekerasan; Memfokuskan pada tingkat antarpersonal, komunitas, dan internasional; Memajukan nilai-nilai dan keterampilan yang menjadi syarat untuk mengembangkan perdamaian; Menggunakan pendekatan andragogi secara konsisten.
Susan Fountain, Peace Education in UNICEF, ibid, hal. Imam Budidarmawan Prasodjo mengutip Rizal Sukma dalam Aceh at The Crossroads, Paper presented at the opening plenary session of the 100th Annual Meeting of the American Sociological Association (ASA) in Philadelphia, USA, on August 12, 2005 127 OECD mengutip Graça Machel, dalam The DAC Guidelines Helping Prevent Violent 125 126
Conflict, loc.cit
www.infed.org/biblio/b-curric.htm. diunduh pada tanggal 19 Januari 2008 www.decs.act.gov.au/schools/pdf/curr_workshop1worksheet1, diunduh pada tanggal 19 Januari 2008 130 Melissa Conley Tyler, Peace Education Through Practice and Across the Curriculum, Fulbright Symposium on Peace and Human Rights Education, tanpa tahun 128 129
51
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak Untuk merealisasikan tujuan ini terdapat 4 (empat) cara pendekatan teori dan praktik kurikulum yaitu: (i) kurikulum sebagai perangkat pengetahuan yang akan ditularkan kepada peserta didik; (ii) kurikulum sebagai upaya untuk mencapai tujuan akhir dari pendidikan yang akan nampak pada produk dari pendidikan; (iii) kurikulum sebagai sebuah proses; dan (iv) kurikulum sebagai sebuah praksis. 131 Kemudian terkait dengan upaya menempatkan pendidikan perdamaian dalam kurikulum pendidikan di Aceh maka terdapat materi-materi pendidikan yang semestinya diakomodasi dalam kebijakan pendidikan. Dalam hal ini, Melissa Conley Tyler mengutip Ian Harris (2004) mengidentifikasi 5 (lima) bentuk pendidikan perdamaian yang dapat dijadikan sebagai materi pendidikan, yaitu: 132 • • • •
Pendidikan resolusi konflik (Conflict Resolution Education); Pendidikan hak asasi manusia (Human Rights Education); Pendidikan lingkungan (Environmental Education); Pendidikan mekanisme Perdamaian internasional (International
•
Pendidikan pembangunan (Development Education).
Mechanism Education);
Peace
Sementara berdasarkan hasil Lokakarya Pengembangan Kurikulum Pendidikan Perdamaian diidentifikasi substansi pendidikan perdamaian yang sesuai dengan konteks Aceh, meliputi: 133 • • • • • •
Pendidikan sistem pemerintahan Pendidikan sistem politik nasional dan politik local Pendidikan partisipasi warga negara Pendidikan demokrasi Pendidikan pengorganisasian Pendidikan HAM
Keseluruhan materi tersebut bermuara pada pendidikan hak asasi manusia (human rights education) yang substansi/materi pendidikannya mencakup permasalahanpermasalahan di atas. Secara visualisasi keterkaitan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut: 134
www.infed.org/biblio/b-curric.htm. diunduh pada tanggal 19 Januari 2008 Melissa Conley Tyler, op.cit 133 Hasil Lokakarya Pengembangan Kurikulum Pendidikan Perdamaian, YPHA, 2008 134 European Youth Centre Budapest, Compasito, manual on human rights education for children, tanpa tahun 131
132
52
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak
Visualisasi di atas menunjukkan bahwa pendidikan hak asasi manusia mentautkan substansi/materi pendidikan yang satu dengan yang lainnya menjadi satu kesatuan sistem pendidikan hak asasi manusia. Keterkaitan ini sama halnya dengan karakteristik dasar hak asasi manusia yang saling terkait (interrelated), tidak terpisahkan (indivisible), dan tidak berdiri sendiri (interdependent). 135 Dalam konteks pendidikan formal, topik perdamaian bisa diajarkan dalam berbagai mata pelajaran di sekolah seperti: • • • • •
135
136
Pendidikan agama: ajaran tentang perdamaian di setiap agama; Sejarah: mempelajari contoh-contoh tindakan antikekerasan dan pengembangan perdamaian; Geografi: mengatasi prasangka dan memperlihatkan hubungan manusia; Ilmu pengetahuan: menggali kebutuhan manusia dan tanggung jawab ilmu pengetahuan; Sastra: membaca dan menganlisis karya sastra tentang perdamaian. 136
European Youth Centre Budapest, ibid Simon Fisher, et.al., op.cit.
53
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak
V. Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan Dari dimensi historis, konflik bersenjata di Aceh telah berlangsung dalam waktu yang sangat panjang semenjak jaman sebelum kemerdekaan, era Pemerintahan Rezim Soekarno, era Pemerintahan Rezim Soeharto, bahkan sampai pada akhir tahun 2004. Diantara era tersebut penetapan wilayah Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989 - 1998 menoreh luka yang sangat mendalam bagi masyarakat Aceh karena dampak dari aksi-aksi militer tersebut menyebabkan terjadi pelanggaran HAM yang masif dan meluas. Konflik bersenjata di Aceh secara de jure memang telah berakhir Jika melihat dimensi waktu maka konflik di Aceh tersebut telah melampaui puluhan generasi. Dengan kata lain, setiap generasi mengalami dan hidup dalam suasana konflik bersenjata. Pada setiap generasi tersebut sudah dipastikan terdapat dendam atas peristiwa masa lalu. Dendam tersebut akan terus berkelanjutan dan peristiwa konflik akan terus terjadi apabila tidak ada upaya untuk memutus siklus konflik tersebut. Pada titik ini, anak-anak sebagai pemilik masa depan menjadi signifikan diintervensi agar dapat menjadi pelaku transformasi sosial. Salah satu intervensi yang urgen segera direalisasikan adalah pendidikan perdamaian karena fokus utama pendidikan perdamaian adalah merubah perilaku (focus on behavioural Diharapkan perubahan tersebut dapat terjadi melalui pendidikan change). perdamaian dengan substansi/materi pendidikan yang terdiri dari: • • • • • • • • • •
Pendidikan resolusi konflik Pendidikan hak asasi manusia Pendidikan lingkungan Pendidikan mekanisme internasional Pendidikan pembangunan Pendidikan sistem pemerintahan Pendidikan partisipasi warga negara Pendidikan sistem politik nasional dan politik local Pendidikan demokrasi Pendidikan pengorganisasian
Dengan demikian pendidikan perdamain merupakan salah strategi untuk memutus lingkaran kekerasan dengan menempatkan sebagai aktor perdamaian yang selalu menyemai budaya damai agar perdamaian di Aceh tetap terpelihara keberlanjutannya. B. Rekomendasi Dengan melihat peran strategis pendidikan perdamaian untuk merubah perilaku anak-anak sehingga keberlanjutan perdamaian di Aceh dapat terpelihara, YPHA merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Memasukkan pendidikan perdamaian dalam menumbuhkembangkan budaya-budaya damai;
kurikulum
lokal
untuk
54
Kertas Posisi : Urgensi Pengembangan Pendidikan Damai Berbasis Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak 2. Terdapatnya kebijakan publik berupa legislasi dan regulasi sebagai landasan hukum sehingga memperkuat eksistensi pendidikan perdamaian. 3. Penguatan terhadap aparat dinas pendidikan atau dinas terkait agar tercipta kesepemahaman mengenai signifikansi pengakomodasian pendidikan perdamaian dalam kurikulum lokal 4. Pemerintah Daerah mengalokasikan sumber daya yang tersedia untuk mengembangkan kurikulum perdamaian secara berkelanjutan 5. Memperkuat keterlibatan masyarakat sipil dalam mengembangkan pendidikan perdamaian melalui modul-modul pendidikan alternative sehingga substansi pendidikan dapat sesuai dengan konteks permasalahan masyarakat setempat. 6. Menerapkan pendidikan perdamaian pada lingkungan yang terdekat dengan kehidupan anak-anak, yatu: 137 • • •
Ranah Rumah Tangga Ranah Sekolah Ranah komunitas/masyarakat
7. Melibatkan partisipasi anak-anak dalam setiap proses penerapan pendidikan perdamaian dalam setiap ranah di atas
137
Hasil Lokakarya Pengembangan Kurikulum Pendidikan Perdamaian, YPHA, 2008
55