De-sekuritisasi Papua, Upaya Memutus Rantai Kekerasan Sejumlah pihak meyakini de-sekuritisasi dan pengurangan personil militer akan mengurangi kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Upaya ini membutuhkan perubahan cara pandang aparat, politik, dan kebijakan keamanan di Papua, secara mendasar. Akankah pendirian Kodam baru memupus asa ini? Sebulan setelah dilantik sebagai kepala negara, Presiden Joko Widodo menyetujui rencana pembentukan Komando Daerah Militer (Kodam) baru di tanah Papua. Bersamaan dengan itu, juga akan dibentuk Komando Armada Tengah untuk Angkatan Laut di wilayah Timur. Hal ini disampaikan Jokowi setelah menggelar pertemuan tertutup dengan Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, di Istana Bogor, medio November 2014 silam. Sebelumnya, usulan mengenai rencana pembentukan Kodam baru tersebut berasal dari Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Dalam acara pemberian pengarahan Presiden Jokowi kepada para Panglima Komando Utama (Pangkotama) TNI se-Indonesia, Moeldoko mengusulkan pembentukan komando gabungan wilayah pertahanan, serta pembentukan Kodam Manado dan Papua. Alasannya, antara lain, untuk memperkuat pertahanan dan mempermudah koordinasi TNI di Papua. “Penambahan Kodam di Papua, sesuai rencana strategi (renstra) sudah disiapkan. Tapi yang pertama di Manado sudah mulai dijalankan. Harapan kita untuk Papua tahun depan sudah bisa dijalankan," ujar Moeldoko di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, sebagaimana dilansir sejumlah media ibukota, Desember 2014 silam. Lebih lanjut, dia menjelaskan, luasnya wilayah Papua menyulitkan rentang kendali bagi seorang pemimpin di mana Pangdam harus mengendalikan seluruh prajuritnya yang sangat jauh. Moeldoko menyangkal adanya kepentingan politik dalam rencana pembentukan Kodam baru di Papua tersebut. Menurut dia, rencana ini murni untuk kepentingan pertahanan. Terlepas dari alasan Panglima TNI di atas, kebijakan keamanan baru di Papua mengundang tanda tanya besar, terlebih di tengah rantai siklus kekerasan yang tak kunjung reda. Sejumlah pihak menilai, pembentukan Kodam baru mengindikasikan peningkatan pendekatan keamanan yang justru akan kontraproduktif dengan upaya penyelesaian masalah kekerasan politik dan pelanggaran HAM di Papua yang terjadi selama ini. Kekerasan demi kekerasan: kontradiksi sekuritisasi Yafed Leonard Franky, pegiat hak asasi manusia dari Yayasan Pusaka, menuturkan, kekerasan di Papua terus terjadi dan semakin meluas. Menurut dia, hal ini terjadi karena pendekatan dan cara pandang aparat keamanan TNI dan Polri belum berubah. Boleh jadi ini dikarenakan dominasi pandangan militeristik yang melihat rakyat sipil di Papua sebagai lawan dan ancaman, atau digerakkan oleh kepentingan kekuasaan dan ekonomi,
maupun pandangan diskriminatif. “Sehingga, selalu saja terjadi kekerasan dan menggunakan alat kekerasan untuk menaklukkan rakyat Papua, meskipun melanggar hukum,” tutur Angky, begitu dia kerap disapa. Sekadar catatan, sepanjang 2014 saja ELSAM mencatat 102 kasus kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi di Papua. Sebagian besar kasus kekerasan yang terjadi di 19 kabupaten/kota di Papua ini melibatkan aparat keamanan dan anggota aparat keamanan, anggota TNI, dan kelompok sipil bersenjata yang diduga merupakan binaan tentara. Terakhir, terjadi peristiwa penembakan oleh aparat keamanan di Paniai yang menewaskan 4 orang anak sekolah dan 1 remaja pada Desember 2014 silam (Selengkapnya, lihat infografis). Namun, jika menengok ke belakang, kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua sudah berlangsung lama seiring dengan dilakukannya operasi militer. Sejarah mencatat, operasi militer di Papua sudah dilakukan sejak 1952 di bawah komando Ali Kahar. Namun saat itu, operasi militer dilakukan untuk mengkonfrontasi Belanda yang masih bercokol di sana. Sejak itu, nama-nama seperti Beny Moerdani, Ali Murtopo, dan Sarwo Edhie Wibowo, bergantian memimpin operasi militer Papua. Puncaknya adalah ketika Ali Murtopo memimpin operasi militer antara 1961-1969 untuk mengawal proses integrasi Papua hingga pelaksanaan Pepera. Sejak itulah terjadi kekerasan politik dan pelanggaran HAM di Papua. Pasalnya, menjelang Pepera kelompok militer Indonesia getol melakukan intimidasi dan memperlakukan orang Papua semenamena. Tokoh-tokoh intelektual dan masyarakat yang tidak setuju dengan integrasi Papua ke Indonesia ditekan dengan intimidasi dan teror, diberi minuman keras, dan perlakuan semena-mena lainnya. Hingga kini, berbagai gejolak politik di Papua selalu diselesaikan dengan jalan kekerasan. Rezim boleh berubah, presiden boleh berganti, tapi siklus kekerasan di Papua tidak pernah berhenti. Kekerasan selalu ada di Papua. Ada siklus kekerasan yang sulit untuk dihentikan karena rezim militer yang berada di atas segalanya seiring kebijakan dan pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah untuk Papua. Oleh karena itu, sejumlah pihak menilai rencana pembentukan komando teritorial militer baru di Papua kian mempersulit penyelesaian masalah pelanggaran HAM dan kekerasan politik. Cahyo Pamungkas, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai, kian intensifnya pendekatan sekuritisasi isu Papua, setidaknya menimbulkan dua dampak serius. Pertama, mengurangi kepercayaan dan dukungan dunia internasional. Sebagai contoh, pada 2010 salah seorang anggota Kongres Amerika Serikat menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Papua. “Ini menunjukkan kecaman dunia internasional terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Saya kira itu yang pertama untuk menilai pendekatan sekuritisasi,” papar Cahyo. Kedua, lanjut dia, meningkatnya ketidakpercayaan orang asli Papua terhadap pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan pemimpin-pemimpin di Papua, terutama di kalangan pemimpin komunitas gereja, yang menyuarakan pelanggaran HAM di Papua. Sebagai contoh, tak lama setelah kasus peristiwa Paniai berdarah, pendeta Socrates menyerukan agar Jokowi sebaiknya dilarang merayakan natal di Papua sebelum
menyelesaikan kasus ini. “Itulah bukti bahwa pendekatan keamanan menjadi kontraproduktif,” tegasnya. Ketiga, dari data-data korban kekerasan juga semakin meningkat. Pada 2012, ada 63 orang tewas. Kebanyakan yang meninggal adalah warga sipil, dan jumlahnya semakin meningkat sepanjang 2011-2014. Catatan dokumentasi ELSAM mencatat selama periode 2012-2014, setidaknya terdapat 169 warga sipil yang tewas, dan 783 orang mengalami luka-luka. Jumlah ini masih belum termasuk jumlah korban dari aparat dan anggota TNI sendiri, serta kelompok sipil bersenjata. Menurut Cahyo, hal ini menunjukkan pendekatan sekuritisasi itu sudah tidak bisa dipertahankan, justru akan semakin menambah perasaan bahwa identitas orang Papua sebagai bangsa orang yang berbeda dengan bangsa Indonesia. Dominasi tentara, derita rakyat Papua Saat ini, di Papua yang luasnya tiga setengah kali Pulau Jawa memiliki satu Kodam dengan empat Korem dan 14 Kodim serta 113 Koramil. Pada 2012, perkiraan jumlah pasukan TNI di Papua mencapai 14.842 orang, dengan rincian: TNI AD 13.000 orang, TNI AL 1.272 orang, dan TNI AU 570 orang. Jumlah ini mendekati setengah dari jumlah prajurit TNI yang digelar dalam situasi Darurat Militer di Aceh pada 2003 silam. Ironis memang, mengingat saat ini baik Papua maupun Papua Barat tidak sedang berada dalam status Darurat Militer maupun Sipil. Bahkan, dengan pembentukan Kodam baru, jumlah pasukan TNI di Papua bisa bertambah dua kali lipat! Josie Susilo, wartawan Kompas untuk daerah Papua, menuturkan, jumlah tentara di Papua memang terlalu berlebihan. Saat ini memang belum ada data resmi soal berapa jumlah personil militer di Papua. Tapi dia memperkirakan setidaknya untuk Polda Papua saja ada 15.000 personil. Kalau ditambah, jumlah tentara di sana mungkin menjadi 30.000 orang, papar Josie. “Bayangkan, dengan jumlah penduduk 4 juta orang, di Papua terdapat 2 Kodam dan 2 Polda. Ini berlebihan,” ujar Josie. Sebagai orang yang lama tinggal dan menyinggahi banyak tempat di Papua, Josie cukup mengenal dengan baik wilayah dan aspek demografi Papua. Menurut dia, daerah yang paling padat penduduk di Papua hanya Jayapura. Sementara di derah pedalaman setiap 1 Km hanya bisa ditemui rata-rata 1-2 keluarga saja. “Tapi lalu mengapa harus mendatangkan militer banyak-banyak?” gugat Josie. Lebih lanjut Josie menuturkan, dengan kehadiran militer di banyak titik mungkin semuanya menjadi terawasi dengan baik. Tapi kalau di kampung-kampung, khususnya pos daerah rawan, kehadiran militer di sana justru dapat memicu rasa tidak aman warga. “Padahal, kalau kita lihat sendiri, tidak ada potensi bahaya di sana. Artinya, militer sendiri yang menciptakan mitos tentang adanya bahaya atau daerah rawan di Papua. Dengan menyebut ada “pos rawan” atau “tim khusus”, mereka menciptakan satu situasi yang melegitimasi kehadiran mereka di sana,” papar Josie. Sementara itu, baik tentara atau aparat bersenjata di sana tidak pernah mengakui kekerasan yang mereka lakukan di Papua. Menurut Josie, mereka memang selalu mencari kambing hitam, selalu menyalahkan simpatisan OPM atau KNPP. Terhadap kasus penembakan di Papua, misalnya, mereka menyalahkan KNPP. “Mereka selalu mengatakan: ‘bukan kami pelakunya’, ‘tidak mungkin itu kami pelakunya’, dan segala
macam. Tapi ketika dilakukan pengecekan, akhirnya ketahuan yang melakukan mereka,” ujar Josie. Ironisnya, semakin hari dominasi militer di Papua kian tak terbendung. Mereka tak hanya menjalani peran di sektor keamanan, tetapi juga mulai masuk ke ranah bisnis, dan pembangunan. Pada 2012, misalnya, seiring dengan pelaksanaan program Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), pemerintah mengeluarkan Perpres No. 40 tahun 2012 tentang pembangunan ruas-ruas jalan. Pembangunan infrastruktur jalan ini diyakini bakal membuka keterisolasian Tanah Papua. Namun alih-alih memberi ruang bagi keterlibatan masyarakat asli dalam membangun tanah Papua, pemerintah bersama DPR justru mengerahkan Satuan Zeni TNI untuk mengawal pembangunan ruas-ruas jalan P4B ini. Penggunaan satuan pasukan tentara ini untuk mengurangi pengaruh para kontraktor pendatang yang menjamur di tanah Papua, begitu dalih pemerintah (Tempo). Pandangan kritis pun muncul dari beberapa pihak, salah satunya adalah Otto Nur Abdullah, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dengan mencermati berbagai kebijakan dan praktik pembangunan di Papua, Otto melihat pendekatan yang dilakukan pemerintah selama ini lebih menyerupai pendekatan kolonial. Hal ini jelas merupakan langkah yang kontradiktif bagi upaya penyelesaian masalah Papua. “Pemerintah kolonial Belanda dulu melakukan tiga hal. Pertama, mengirim tentara; kedua, mengirim pejabat birokrasi, dan; ketiga, membangun jalan,” ujar Otto. Dalam hal ini, jalan dibangun demi kelancaran aliran logistik yang terkait dengan proses penundukkan. Artinya, jalan dibuat untuk mobilitas amunisi dan pasukan. “Kalau dalam konteks sekarang, ditambah dengan mobilitas sumber daya alam yang sama sekali tidak bersentuhan dengan kesejahteraan dan kenyamanan hidup sebagai warga negara di Papua. Oleh karena itu, saya katakan pendekatannya sangat kolonial,” tegas dia. Angky mempunyai pandangan yang kurang lebih senada. Dia melihat pembangunan infrastruktur ini bermata dua. Di satu sisi, pembangunan infrastruktur memang populer untuk membuka daerah terisolasi, tetapi di sisi lain, juga memberi jalan lapang buat kepentingan investasi untuk mengeruk sumber daya setempat dan menjadi sasaran pasar. “Pihak-pihak yang berkepentingan tentu akan terus memelihara dan menggunakan pendekatan keamanan dalam menjalankan bisnis yang saling menguntungkan,” ucap dia. Itulah mengapa pendekatan keamanan juga digunakan sekaligus untuk mengontrol ruang gerak masyarakat, menaklukan, dan melucuti hak-hak rakyat. “Ini dilakukan supaya rakyat menerima ‘kepentingan pemerintah’ yang ditumpangi kepentingan bisnis korporasi,” lanjut Angky. De-sekuritisasi butuh nyali Jokowi Menimbang berbagai dampak sekuritisasi tersebut, Angky berharap kebijakan keamanan di Papua ditinjau ulang. Dia menghimbau perlu adanya perubahan dalam cara pandang
aparat dalam menyelesaikan permasalahan. Selain itu, harus ada penegakkan hukum dan secara konsisten dilakukan secara berkesinambungan. Misalnya, dengan memberikan sangsi pada pihak-pihak yang melanggar dan menciptakan rasa keadilan. Josie juga berpandangan serupa. Ke depannya, kata Josie, kehadiran militer harus dikurangi dan diarahkan untuk hanya berkonsentrasi di area perbatasan saja. Namun demikian, bagi Otto, kendati tak bisa ditawar-tawar lagi, mengakhiri dominasi militer (de-sekuritisasi) di Papua tampaknya tak semudah membalik telapak tangan. Menurut dia, tantangan utamanya adalah bagaimana mengefektifkan daya kontrol rezim terhadap pergerakan militer di Papua. Bercermin dari pengalaman Aceh, pergerakan militer seharusnya ada di bawah kontrol Presiden. Jika tidak, sulit untuk mengendalikan gerak-gerik tentara di lapangan. Sebagai contoh, di Aceh dulu pernah terjadi kesimpangsiuran komando militer. Antara Presiden, Panglima TNI, dan hasil perjanjian damai, saling berbeda dalam memberi intruksi. Walhasil, pergerakan militer di lapangan tidak terkontrol. Baru kemudian setelah Presiden SBY mampu mengontrol militer, proses perdamaian pun berjalan, dan pelanggaran HAM di Aceh turun drastis. “Semua harus satu komando. Kontrol tentara harus di bawah Presiden. Kita lihat sejak zaman Habibie hingga Megawati, kontak senjata terus berlangsung di Aceh karena mereka tak mampu mengontrol militer,” kenang Otto. “Baru di era SBY, mulai mencoba mengontrol militer meskipun dengan susah payah sambil membangun komunikasi dengan elite politik yang berlawanan di Aceh. Jadi alurnya jelas. Nah, sekarang Jokowi mau apa dengan Papua?”. Jika kelompok militer masih mengangkat senjata, menurut Otto, itu menunjukkan bahwa rezim Jokowi belum mampu mengontrol sepenuhnya gerak-gerik mereka di Papua. Masalah kebijakan kemiliteran atau pertahanan dan keamanan terkait dengan Polri di Papua juga belum jelas. De-sekuritisasi dan pengurangan aparat militer di Papua jelas akan mengurangi kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Namun, seperti yang disampaikan Otto, hal ini membutuhkan perubahan politik dan kebijakan keamanan di Papua secara mendasar. Selain menghilangkan faktor-faktor penyebab pelanggaran HAM, perubahan politik dan kebijakan keamanan di Papua harus diorientasikan pada upaya penyelesaian konflik Papua secara damai. Ini akan menjadi langkah radikal yang membutuhkan kemauan politik dan keberanian Presiden Jokowi.[]