1
KONFLIK, PERDAMAIAN DAN MASALAH PENGUNGSI DI MADURA Pengantar Membanjirnya warga etnik Madura yang berasal dari Kalimantan ke pulau Madura hingga mencapai 128.919 orang (OCHA, 2003) menimbulkan sejumlah persoalan yang serius. Pertama, kondisi kualitas hidup pengungsi yang memburuk. Kedua, beban sosial ekonomi yang bertambah bagi masyarakat di pulau tersebut. Ketiga, masa depan penyelesaian masalah konflik etnis yang belum jelas. Sejauh ini kerangka penyelesaian masalah pengungsi ini disusun ke dalam tiga alternatif yakni pengembalian ke lokasi di Kalimantan, integrasi ke dalam masyarakat Madura, dan relokasi ke luar wilayah konflik maupun Madura. Namun demikian kerangka ini belum memperhatikan isu yang paling mendasar yakni usaha untuk mencapai pembangunan perdamaian yang berjangka panjang. Untuk itu studi ini bermaksud mempelajari sejauh mana kerangka usaha tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik konflik yang terjadi, kondisi sosial ekonomi politik dari pengungsi, relasi antara pengungsi dengan komunitas lokal di Madura maupun Kalimantan, upaya-upaya dan kendala-kendala perdamaian yang telah dilakukan. Studi ini dilakukan terhadap para pengungsi yang saat ini berada di daerah pengungsian di Madura khususnya di Bangkalan dan Sampang. Studi ini dilakukan dengan melihat terlebih dulu karakteristik sosial, budaya, maupun geografis dari Madura itu sendiri. Selanjutnya studi mendapatkan gambaran tentang pengalaman konflik yang pernah dialami baik oleh pengungsi maupun konflik yang ada di Madura sendiri. Selanjutnya studi juga mengidentifikasi bentuk respon dan inisiatif sekaligus kendala dari pembangunan perdamaian. Tujuan-tujuan ini memberi dua manfaat penting. Pertama adalah untuk mengenali daya dukung sosial ekonomi dari wilayah tersebut terhadap keberadaan pengungsi dan peluang pemecahan masalahnya. Kedua adalah untuk mengenali latar belakang sosial budaya maupun politik dari perkembangan etnik madura. Pengenalan ini membantu memberikan pemahaman tentang beberapa faktor yang mengkontribusi konflik sekaligus memungkinkan terjadinya proses perdamaian di masa depan. Gambaran Provinsi (Regional) Madura mempunyai karakteristik yang cukup spesifik dibanding dengan wilayah-wilayah lain di propinsi Jawa Timur. Secara demografis, Madura tergolong wilayah yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi. Bahkan tingkat kepadatan penduduk di kabupaten Pamekasan (889
2 jiwa/km2) lebih tinggi dibanding rata-rata tingkat kepadatan propinsi Jawa Timur (726 jiwa/km2). Sementara itu komposisi etnis dan umat agama di wilayah tersebut cenderung homogen. Etnik madura-muslim adalah kelompok yang paling dominan. Ekosistem Madura adalah ekosistem ladang yang dikembangkan di atas tanah yang kering dan tandus. Oleh sebab itu sektor okupasi didominasi oleh pertanian ladang. Namun sektor ini kurang produktif. Sektor produksi lainnya juga kurang berkembang pesat. Pertumbuhan (proliferasi) sektor ekonomi cenderung lambat karena banyak sektor ekonomi menggunakan sistem produksi yang sederhana sehingga tidak menstimuli pertumbuhan sektor-sektor lain yang terkait. Partisipasi angkatan kerja memang tinggi. Konsentrasi ada pada sektor pertanian (70-80%) Namun tingkat produktifitas relatif rendah. Tingginya tingkat konsentrasi kerja namun tidak diikuti oleh peningkatan produktivitas juga terlihat dari konsentrasi angkatan kerja di sektor informal di daerah urban atau sub-urban. Kondisi kesejahteraan penduduk Madura tergolong rendah secara nasional. Ini terlihat dari HDI pada empat kabupaten yang lebih rendah daripada Jawa Timur sekalipun. Demikian pula GDI dan HPI keempat kabutaten-kabupaten tersebut. PDRB Madura pada tahun 2002 tergolong paling rendah di Jawa Timur. Kondisi yang demikian ini yang berkombinasi dengan sejarah kekerasan struktural kerap digambarkan oleh sejumlah penulis sebagai salah satu faktor yang turut membentuk budaya etnik Madura yang keras, ulet, dan agresif (Wiyata, 2003, De Jonge, 2002; Rozaki, 2004). Secara struktural, kondisi alam maupun kondisi sosial ekonomi di Madura juga turut mempengaruhi pembentukan suatu karakteristik pola hubungan sosial dan struktur sosial yang tipikal. Konflik: Sebab-Sebab, Dinamika & Dampak Peristiwa konflik masal dengan kekerasan yang terjadi di Kalbar dan Kalteng serta melibatkan etnik Madura, Dayak dan Melayu merupakan peristiwa konflik yang telah terjadi berulang kali sejak pertengahan tahun 1990an hingga awal 2000. Konflik yang dialami oleh para pengungsi pada dasarnya telah memiliki rantai sejarah yang relatif panjang. Pelluso & Harwell (2001) serta Davidson & Kammen (2002) memberikan sejumlah catatan penting tentang latar belakang dari konflik tersebut. Mereka melihat bahwa konflik yang terjadi antara etnik Madura dengan etnik Dayak (Kalteng) maupun etnik Melayu (Kalbar) pada dasarnya merupakan konsekuensi dari: 1. Sejarah panjang dari konflik kekerasan lokal di Kalimantan dan politik kebudayaan yang melahirkan identitas kekerasan; 2. Peran langsung negara dalam melakukan perubahan distribusi sosial maupun spasial dari aktivitas produksi sumber-sumber daya. Kondisi ini
3
3. 4. 5. 6. 7.
mengubah lokus dari otoritas teritorial dalam menentukan akses terhadap sumber-sumber daya. Perasaan tersingkirnya etnik Dayak dari keuntungan-keuntungan ekonomi politik yang dihasilkan melalui pembangunan terhadap sumber-sumber daya lokal. Negara mempunyai peran di dalam menyokong kekerasan dan teror sejak 1960an. Kegagalan negara untuk menumpas konflik kekerasan antar etnik Kecenderungan warga Madura di Kalimantan untuk memisahkan diri secara eksklusif dari etnik lain terutama Dayak dan Melayu. Persaingan terhadap sumber2 ekonomi dan segregasi yang diperkuat oleh stereotipe etnik.
Dengan membanjirnya para pengungsi akibat konflik tersebut di sejumlah wilayah di Madura, khususnya kabupaten Sampang dan Bangkalan, maka hal tersebut memunculkan sejumlah dinamika permasalahan baru di tingkat lokal Madura. Dampak langsung dari konflik dan kekerasan di Kalimantan adalah hancurnya struktur sosial di tingkat keluarga dan kelompok kekerabatan etnik Madura di Kalimantan sebagai akibat pembunuhan masal. Dampak lain adalah munculnya trauma psikologis dan hilangnya aset ekonomi. Hingga tiga tahun pertama selama masa pengungsian, pengungsi umumnya mengalami ketergantungan terhadap bantuan yang diberikan oleh pemerintah maupun badan-badan internasional. Namun program bantuan ini kerap menimbulkan kecemburuan sosial dan deprivasi relatif di kalangan orang lokal. Ini disebabkan oleh kondisi komunitas lokal yang juga miskin sementara mereka melihat bahwa pengungsi pada dasarnya berasal dari kelas sosial yang relatif lebih baik dibanding dengan mereka. Dalam hubungan sosial, awalnya terjadi kesenjangan antara komunitas lokal Madura dan pengungsi yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya yang terbentuk melalui lokasi tempat tinggal yang berbeda. Kehadiran pengungsi dalam keluarga-keluarga penampung menimbulkan beban sosial sehingga kerap melahirkan konflik. Pasca periode pemberhentian program bantuan, kebanyakan pengungsi bergeser ke sektor okupasi sebagai andalan sumber kehidupan. Konsekuensinya kompetisi di sektor informal juga meningkat. Konflik pun bergeser ke institusi ini. Meskipun demikian kecenderungan terjadinya konflik masal di antara komunitas lokal dan pengungsi relatif kecil. Hal ini karena struktur sosial komunitas pengungsi yang tidak homogen dan cenderung terfragmentasi berdasarkan wilayah asal, wilayah pengungsian, organisasi, stratifikasi sosial, dan status migrasi. Di samping itu ada kesamaan patron kultural di antara pengungsi dan komunitas lokal, memudahkan proses penanganan konflik di antara kedua kelompok.
4 Respon - Respon & Inisiatif Pembangunan Perdamaian Diantara 3 alternatif inisiatif, kembali ke Kalimantan adalah alternatif yang paling banyak dipilih oleh pengungsi dari Kalteng. Sebagian lain khususnya pengungsi dari Kalbar memilih untuk menetap di Madura. Sangat sedikit pengungsi yang menyukai pilihan relokasi. Kendatipun hingga saat penelitian dilakukan, pemda maupun pemerintah pusat belum melakukan langkah-langkah konkrit untuk pengembalian pengungsi, etnik Madura yang mengungsi sudah banyak kembali dengan inisiatif sendiri. Sejumlah inisiatif rekonsiliasi telah dilakukan. Beberapa pertemuan antar kelompok etnik yang diantaranya menghasilkan kesepakatan untuk pengembalian secara alamiah dan pembentukan BMC. Namun demikian, pemulangan ini mendapat penolakan oleh sebagian elit Dayak. Sementara itu respon pemerintah lokal, pusat maupun DPRD lambat. Upaya pemda di Madura lebih terfokus pada pemberian bantuan. Sementara Pemda-pemda di Kalbar dan Kalteng menyusun peraturan-peratuarn daerah yang berkaitan dengan penataan kependudukan dan hubungan antar etnik. Di tingkat operasional pemulangan, sejumlah penyimpangan terjadi dalam bentuk praktek pemotongan bantuan. Ada dua bentuk pemotongan. Pertama pemotongan dengan tujuan menciptakan keseimbangan sosial antara warga lokal dengan komunitas. Kedua, pemotongan sebagai bentuk eksploitasi elit komunitas terhadap pengungsi. Preman mempunyai peran di dalam relasi antara pengungsi dan aktor-aktor yang ada di dalam organisasi pemberian bantuan. Inisiatif program pemberdayaan sosial ekonomi yang berkelanjutan lebih banyak dilakukan oleh LSM. Sementara itu program serupa yang dilakukan oleh pemerintah justru banyak menemui kendala dalam keberlanjutan. Di tingkat grass-root, proses rekonsiliasi diantara komunitas Dayak-Madura terjadi melalui interaksi informal. Dasar dari proses rekonsiliasi adalah adanya ketergantungan ekonomi. Ha ini terjadi khususnya pada kelompok komunitas yang berasal dari pedesaan di daerah Kalteng. Peran lain dari LSM adalah memfasilitasi proses perdamaian, proses pemulangan. Sedangkan media masa lokal membangun konsep jurnalisme damai. Kesimpulan: Kapasitas Perdamaian & Kerentanannya Proses pembangunan perdamaian mempunyai sejumlah keterbatasan. Pada dimensi struktur ekonomi politik, keterbatasan terlihat dari peran pemerintah maupun DPRD khususnya di Madura yang kurang menaruh perhatian pada pendekatan yang integrated dari alternatif pemulangan, integrasi dengan komunitas lokal dan pembangunan perdamaian yang berkelanjutan. Sementara itu struktur manajemen pemulangan pengungsi itu sendiri mengandung kerentanan terhadap penyalahgunaan. Kondisi semacam ini
5 cenderung turut mempunyai hubungan timbal balik dengan resistensi dari elit lokal di Kalimantan. Di tingkat lokal Madura, Oligarki yang terbentuk dalam hubungan antara pemda, elit politik dan elit organisasi pengungsi cenderung potensial mendistorsi efektivitas program pemberdayaan pengungsi. Terbatasnya jumlah organisasi civil society di tingkat komunitas di Madura memperlemah kekuatan masyarakat dalam melakukan kontrol sosial terhadap oligarki. Di sisi lain tidak adanya kebijakan pembangunan sosial ekonomi yang jelas di dalam mengatasi kendala dan keterbatasan sumber daya membuat struktur sosial politik yang timpang ini cenderung akan bertahan. Relasi hubungan sosial budaya di antara Madura dengan Dayak dan Melayu sarat diwarnai oleh stereotip. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap proses rekonsiliasi dan pembangunan perdamaian. Proses perubahan memerlukan penataan kembali pola hubungan sosial budaya mengingat stereotip ini terbangun melalui serangkaian proses historis yang sangat panjang di antara kedua belah pihak. Perubahan struktur dominasi etnik di dalam institusi-institusi ekonomi dan sosial sebagai dampak atas konflik dan kekerasan merupakan suatu bentuk kenyataan yang akan dihadapi oleh etnik Madura ketika mereka kembali ke Kalimantan. Proses ini menjadi rawan konflik kembali manakala etnik Madura tidak dapat memperoleh kembali akses dan aset sumber daya mereka. Rekomendasi Ada dua bentuk kerangka kemungkinan penyelesaian masalah pengungsi yang dapat diajukan. Pertama penyelesaian masalah dengan kerangka pengembalian warga Madura ke Kalimantan. Kedua penyelesaian dengan kerangka integrasi ke dalam masyarakat lokal di pulau Madura. Beberapa gagasan dalam kerangka pengembalian pengungsi ke Kalimantan: 1. Pengembalian pengungsi yang efektif dapat dilakukan jika diikuti oleh kerangka pembangunan perdamaian yang lebih berjangka panjang. 2. Mengembangkan dan mengoptimalisasikan institusi komunikasi yang berbentuk forum dialog sosial maupun organisasi lintas kultar yang melibatkan institusi-institusi politik lokal, organisasi non-pemerintah, dan organisasi civil society dari masing-masing wilayah yang mewakili identitas budaya kelompok mayoritas dalam kerangka pembangunan perdamaian, serta melibatkan organisasi-organisasi internasional 3. Menata kembali secepatnya organisasi pengembalian para pengungsi dan menata menakisme keterwakilan lintas kelompok yang bertikai di dalam organisasi tersebut. 4. Membangun institusi-institusi mediasi di dalam penyelesaian dampak konflik 5. Membangun institusi perekonomian yang terbuka dan mencakup lintas budaya.
6 6. Mereorganisasi proses sosialisasi bagi kepada pengungsi, warga Madura lokal, maupun komunitas lokal di Kalimantan tentang perbedaan kebudayaan, pembangunan perdamaian serta mendorong berbagai bentuk kerjasama budaya. 7. Membangun sistem peringatan dini terhadap kemungkinan terjadinya konflik. 8. Mengoptimalkan peran perempuan di dalam proses perdamaian. 9. Melakukan kajian terhadap dampak jangka panjang dari keberadaan peraturan-peraturan daerah yang berkaitan dengan kependudukan. 10.Penegakan hukum yang diikuti dengan distribusi etnik yang seimbang diantara aparat penegak hukum. Gagasan dalam kerangka integrasi pengungsi ke dalam komunitas lokal Madura: 1. Pemerintah daerah di pulau Madura perlu mendorong pertumbuhan ekonomi pasar dengan lebih mengoptimalkan sumber-sumber ekonomi lokal guna memperbesar penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan sektor-sektor okupasi, serta mengurangi ketergantungan dari sumbersumber alam yang tidak produktif. 2. Penguatan peran organisasi demokrasi di tingkat komunitas seperti BPD dengan penekanan fungsi keterwakilan, transparansi, akuntabilitas, dan pemberdayaan komunitas. Penguatan dan peningkatan juga diarahkan kepada LSM lokal. 3. Implementasi fungsi good governance di tingkat lokal. 4. Pengembangan kapasitas ekonomi komunitas termasuk para pengungsi yang memilih menetap melalui program-program pemberdayaan yang setara di antara kelompok-kelompok dalam komunitas serta memanfaatkan peran dari institusi-institusi kultural. 5. Promosi terhadap penegakan hukum khususnya untuk wilayah-wilayah yang memiliki tingkat kriminalitas tinggi.