PELUANG DAN HAMBATAN PENCIPTAAN PERDAMAIAN DALAM KONFLIK BASQUE Rizki Damayanti Abstract Basque is the only example of non-state entities in the territory of Europe and even in the world which has very high self-government system. In other word, Basque is the only region in the world that is de jure under the sovereign state Spain, but in practice has the Basque parliament and even the Basque presidency. This self-government system raises the conflict between Spain and the Basque government. Basque conflict becomes so complicated and complex, because so many parties involved in the conflict by bringing different interests. At least there are three parties involved in this conflict, namely the Spanish government, the government and the Basque National Liberation Movement (National Liberation Movement-MLNV) consisted of ETA, Batasuna political party and labor union assemblies of the Patriotic Workers (LAB). This paper describes the background of conflicts related to political and administrative system which is unique among the Spanish government and Basque, the interests of each party involved in the conflict and the final section will describe the possibility of creating peace in the Basque conflict. Key Words: Basque Conflict, Self-Government, Spanish Government, Basque Euskadi Ta Askatasuna/ETA, Peace.
Pendahuluan Pada 11 Maret 2004, serangkaian insiden peledakan bom di jalur kereta api padat menumpang – yang biasanya banyak digunakan pada jam berangkat dan pulang kerja (commuter train system) – terjadi di Madrid. Pemerintah Spanyol, yang dipimpin oleh José María Aznar, segera mengutuk kelompok separatis Basque Euskadi Ta Askatasuna (ETA atau Negara dan Kebebasan Basque/Basque Country and Freedom) sebagai pelaku pengeboman tersebut.1 Meskipun hasil penyelidikan yang dilakukan kemudian memperlihatkan bahwa aktivis Basque tidak terlibat dalam serangan tersebut—dan bahwa serangan itu ternyata kemudian dinyatakan sebagai perbuatan kelompok ekstremis Islam— tetapi untuk sementara, serangan tersebut berhasil mengalihkan perhatian dunia pada konflik Basque. Meskipun pasca kejadian tersebut masyarakat internasional kemudian tetap lebih memusatkan perhatian pada masalah Irak, Afganistan, dan perang global terhadap teror, tetapi diumumkannya gencatan senjata permanen diantara pihak yang terlibat dalam konflik Basque telah memberi kesempatan bagi diakhirinya konflik Basque, yaitu sebuah konflik yang begitu identik dengan kekerasan dan telah berlangsung paling lama dalam sejarah konflik yang pernah ada di kawasan Eropa Barat. 1Agote, Alfonso Perez, (2006) The Social Roots of Basque Nationalism, University of Nevada Press, hal. 14.
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 153-163
Kesempatan bagi terciptanya jalan perdamaian dalam konflik Basque, sebetulnya juga didukung oleh beberapa faktor antara lain adanya kampanye massa besar-besaran yang terus menyatakan penolakan terhadap aksi kekerasan terkait isu Basque, diajukannya proposal politik oleh kaum moderat nasionalis Basque yang menuntut reformasi dalam sistem kedudukan otonomi Basque, serta dilakukannya Pemilu pemerintahan Spanyol yang baru yang ikut menyumbang bagi arah perubahan terhadap penanganan isu Basque. Sebagai contoh, pasca kemenangannya dalam Pemilu, Perdana Menteri Spanyol yang baru, yaitu José Luis Rodriguez Zapatero mengusulkan sebuah resolusi yang mendukung bagi dilakukannya dialog dengan ETA jika organisasi tersebut bersedia menghentikan berbagai aksi kekerasan terkait isu Basque.2 Pada dasarnya, situasi di Spanyol telah lebih membaik pada level pembangunan kepercayaan (confidence building). Oleh karena itu, pemerintah Spanyol dan sebagian besar analis politik percaya bahwa saat ini terbuka kesempatan yang besar dalam upaya menuju proses perdamaian sejak gencatan senjata tahun 1998 dilakukan, yaitu ketika pembicaraan resmi antara Perdana Menteri Aznar dan ETA terjadi di Swiss. Jika semua kesempatan ini terus berlanjut positif dan gencatan senjata itu dibuktikan oleh kedua belah pihak, maka bukan tidak mungkin perdamaian nyata memang akan mampu mengakhiri konflik politik Basque dan Spanyol. Latar Belakang Konflik Basque adalah nama yang biasa digunakan untuk menyebutkan wilayah geografis yang terletak di pantai Teluk Biscay dan berada diantara dua sisi Pyrenees bagian-barat yang memisahkan negara Spanyol dan Perancis. Saat ini, wilayah bersejarah dan kaya akan kebudayaan ini terbelah menjadi tiga struktur politik: dua di Spanyol—disebut sebagai Masyarakat Otonom Basque, yang terdiri dari tiga provinsi Basque, dan Navarre—yang memiliki struktur administrasi sendiri, sementara satu lagi terletak di daerah Aquitaine, Perancis, tidak memiliki struktur administratif sendiri.3 Dengan jumlah penduduk total hanya dibawah 3 juta jiwa, wilayah Basque di Spanyol merupakan wilayah dimana sebagian besar konflik kekerasan terjadi. Wilayah ini memiliki luas sekitar 7.970.656 mil persegi dan saat ini berada diatas standar rata-rata dari indikator pembangunan ekonomi dan sosial yang ada di Eropa. Sementara secara politik, Masyarakat Otonom Basque dan Navarre menikmati tata-kelola pemerintahan pada tingkatan tertinggi sebagai entitas bukan-negara di Uni
2Sabanadze, Natalie, (2009), Globalization and Nationalism: The Cases of Georgia and the Basque Country, Central European Univ Press, hal. 22. 3Kurlansky, Mark, (2001), The Basque History of The World: The Story of A Nation, Penguin, hal. 37-39. 154
Rizki Damayanti Peluang dan Hambatan Penciptaan Perdamaian dalam Konflik Basque
Eropa.4 Hanya sayangnya, konflik kekerasan dan konfrontasi politik masih terjadi dalam kehidupan sehari-hari di wilayah ini. Rakyat Basque berjuang melindungi karakteristik identitas mereka selama berabad-abad dan saat ini sebagian besar penduduk memiliki kesadaran kolektif serta keinginan yang kuat untuk memiliki pemerintahan yang berdaulat sendiri. Karakteristik identitas bersama ini terus dipertahankan melalui budaya, bahasa, dan sejarah politik yang unik dari rakyat Basque sendiri. Bahkan, selama beberapa abad, Basque berhasil mempertahankan sistem tata-kelola pemerintahan politik otonom di bawah kerangka politik Spanyol. Sebagai contoh, wilayah Basque sejak lama memang telah memiliki sistem fiskal dan parlemen sendiri. Di sisi lain, ketegangan antara pemerintah pusat Spanyol dengan pemerintah otonomi Basque terkait tipe hubungan yang tepat antara pusat dan otonomi terus berlangsung. Bibit-bibit ketegangan sebetulnya telah ada sejak kemunculan banyaknya kasus yang memicu terjadinya konfrontasi militer, misalnya selama terjadinya perang Carlist pada abad ke-19 dan Perang Saudara Spanyol 1936–1939. Sejarah berbagai konfrontasi dan konflik kekerasan yang terjadi ini telah meninggalkan sebuah kesan abadi tentang kebencian dalam memori kolektif penduduk Basque. Franco dan Transisi Spanyol menuju Demokrasi Setelah kudeta tahun 1936 yang berhasil menggulingkan pemerintahan Republik Spanyol sekaligus mengobarkan perang saudara, Jenderal Francisco Franco mendirikan sebuah kediktatoran baru. Kediktatoran baru ini mampu bertahan selama hampir empat dekade. Dalam masa itu, kekuatan nasionalis Basque berada di pihak pemerintah Republik sementara diktator Franco secara tegas menindas sistem tatakelola pemerintah otonom yang ada di Basque.5 Diktator Franco juga berupaya untuk menghilangkan keunikan budaya Basque yang telah berusia berabad-abad. Setelah Franco wafat pada akhir tahun 1975, negara Spanyol membentuk pemerintahan baru, yang kemudian dibebankan tugas untuk mentransformasi sistem politik Spanyol dari sistem diktator menuju demokrasi. Tantangan besar dari proses ini antara lain mencakup upaya untuk mengatasi isu-isu yang berhubungan dengan hak-hak demokrasi, amnesti bagi para tahanan politik, dan tuntutan diberikannya kedaulatan bagi wilayah-wilayah seperti Catalonia dan Basque. Pada bulan Desember 1978, Konstitusi Spanyol secara formal disetujui dalam sebuah referendum nasional yang kemudian mengubah Spanyol menjadi negara demokratis—yaitu sebuah monarki parlementer— yang menjanjikan perlindungan atas nilai-nilai etnisitas dan hak-hak kesejarahan pada masing-masing wilayah yang sejak awal memang 4Trask, R.L, (1996), The History of Basque, Routledge, 1st edition, hal. 39. 5Clark, Robert P., (1979) The Basques: The Franco Years and Beyond (The Basques Series), University of Nevada Press, hal. 46. 155
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 153-163
memiliki otonomi. Dalam Konstitusi Spanyol ini pula penduduk Basque diberikan jaminan hak otonomi atas wilayahnya yang kemudian disebut sebagai Masyarakat Otonom Basque dan Navarre. Akan tetapi, meskipun ada jaminan ini, konstitusi tersebut ternyata dianggap tidak berhasil memenuhi kepentingan kaum nasionalis Basque, yang merasa tersingkir dari proses pembuatan keputusan konstitusi. Sebagai akibatnya, partaipartai nasionalis Basque mengkampanyekan agar para pemilih tidak mendukung referendum konstitusional sehingga menyebabkan sekitar 54,5% dari pemilih Basque abstain dalam pemungutan suara. Contoh Penerapan Self -Government Tertinggi di Eropa Setelah referendum dilakukan, pemerintah Spanyol yang baru kemudian berunding dengan kaum moderat nasionalis Basque untuk mencapai dukungan massa yang lebih luas bagi sistem politik yang baru lahir dan kemudian sepakat memberikan otonomi yang tinggi pada wilayah Basque. Perjanjian ini, menetapkan bahasa Basque dan Spanyol diakui sebagai bahasa resmi sekaligus menyetujui adanya sistem parlemen dan kepresidenan sendiri bagi wilayah Basque.6 Persetujuan ini diformalkan dalam sebuah Perjanjian Otonomi Guernica, yang kemudian disetujui secara penuh oleh Masyarakat Otonomi Basque dalam referendum pada 25 Oktober 1979. Perjanjian serupa terkait kedudukan otonomi ini kemudian juga disetujui pada 15 Maret 1982 di Navarre tanpa melalui proses referendum. Dalam Perjanjian Otonomi Guernica ditetapkan pemindahan kekuasaan secara penuh kepada pemerintahan Basque. Sebagai contoh, wilayah Basque diberi otonomi fiskal tingkat tinggi dan kewenangan untuk mengumpulkan pajak serta meregulasi kontribusi pajaknya bagi kas negara. Selain itu, perjanjian itu juga mengizinkan dibentuknya lembaga kepolisian Basque yang otonom, stasiun radio dan televisi Basque, serta sistem pendidikan dan kesehatan otonom. Dalam prakteknya, kondisi ini menciptakan dijalankannya tata-kelola self government dengan tingkatan tertinggi yang pernah ada di Eropa. Dalam perkembangannya, Parlemen Basque kemudian mengajukan sebuah proposal politik yang menuntut reformasi kedudukan atas dasar “asosiasi bebas” (free association) atau “kedaulatan bersama” (shared sovereignty) dengan Spanyol. Dampak politik dari proposal politik ini, jika betul terwujud, akan memberi parlemen dan kepresidenan Basque hak untuk menentukan perubahan-perubahan mendasar terkait pola hubungan yang ada saat ini antara Spanyol dan Masyarakat Otonom Basque. Kondisi ini berkebalikan dengan yang terjadi di Navarre. Dinamika politik yang ada di Navarre sangat berbeda dibandingkan yang terjadi di Masyarakat Otonom Basque. Sebagai sesama wilayah Basque yang berada dalam negara Spanyol, sebagian besar penduduk Navarre justru tidak merasa menjadi bagian dari Basque dan sama sekali tidak menginginkan perubahan status 6Lecours, Andre, (2007), Basque Nationalism and the Spanish State, University of Nevada Press, hal. 51. 156
Rizki Damayanti Peluang dan Hambatan Penciptaan Perdamaian dalam Konflik Basque
quo. Oleh karena itu, pemerintah Navarre tidak tertarik kepada proposal politik yang diajukan oleh pemerintah Basque tersebut. Sementara Parlemen Spanyol, yang berpendapat bahwa proposal politik itu melampaui batas-batas konstitusi bagi otonomi regional di negara tersebut, langsung menyatakan penolakan. Keterlibatan ETA dalam Konflik Basque Pada bulan Desember 1958, ETA dibentuk oleh unsur-unsur nasionalis tertentu yang menganggap kaum nasionalis moderat terlalu pasif, baik dalam membela budaya Basque maupun dalam oposisi mereka terhadap kediktatoran Franco. Pola gerakan yang dilakukan ETA menuju kepada pola yang disebut sebagai “perjuangan bersenjata” (armed struggle) yang bersifat gradual. Sejak awal kemunculannya, gerakan ETA terkonsentrasi pada upaya pengeboman, pertahanan dan sabotase yang lebih banyak ditujukan bagi kerusakan material.7 Selama periode awal kemunculannya, polisi Spanyol sebetulnya mampu menangkap banyak anggota ETA, tetapi sayangnya rezim Franco menolak membahas tuntutan ETA sehingga pada akhirnya memicu dilakukannya upaya pembunuhan terencana untuk pertamakalinya oleh ETA. Pembunuhan paling terkenal selama era Franco ini terjadi pada tanggal 2 Agustus 1968 yaitu pembunuhan terhadap Admiral Luis Carrero Blanco, Presiden Spanyol sekaligus tokoh yang akan dijadikan oleh Franco sebagai pewarisnya. Sejak kemunculannya, ETA telah menyebabkan lebih dari 800 orang meninggal, ratusan orang terluka, melakukan banyak penembakan gelap, melakukan banyak serangan dan ancaman terhadap berbagai komponen penduduk, termasuk para wakil politik, aparat keamanan, pengusaha, hakim, jurnalis, dan akademisi. Pada saat yang bersamaan, banyak anggota dari organisasi ini juga telah meninggal di tangan kelompok-kelompok paramiliter dan aparat keamanan. Saat ini, lebih dari 700 orang yang terafiliasi dengan ETA ditahan di penjara Spanyol dan Perancis; sementara ratusan lebih anggotanya bersembunyi di negara-negara di seluruh dunia dalam upaya menghindari kejaran hukum dari pengadilan Spanyol dan Perancis. Kurangnya dukungan mayoritas dari kalangan penduduk Basque sendiri, serta adanya dukungan publik yang kuat pada usaha gencatan senjata antara pemerintah Basque dan pemerintah Spanyol pada tahun 1998, telah mendorong ETA untuk memodifikasi strategi baru dalam upaya mencapai tujuan politiknya. Ketimbang melanjutkan cara-cara kekerasan terhadap pemerintah Spanyol dalam upaya mencapai kesepakatan atas nama rakyat Basque, ETA lebih memilih untuk memanfaatkan legitimasi dari partai-partai politik pro-kemerdekaan Basque, seperti partai politik Batasuna dan serikat kerja Assemblies of Patriotic Workers (LAB) untuk
7Clark, Robert P., (1984), The Basque Insurgents: ETA, 1952-1980, University of Wisconsin Press, 1st edition, hal. 28. 157
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 153-163
berunding dengan pemerintah Spanyol terkait isu-isu fundamental yang menjadi perhatian masyarakat Basque. Pertentangan Internal Penduduk Basque terkait Masa Depan Politik Pemerintahan Basque Hasil beberapa jajak pendapat yang dilakukan, menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di Masyarakat Otonom Basque percaya bahwa bangsa Basque memiliki hak untuk menentukan pola hubungan yang mereka miliki dengan negara Spanyol—termasuk apakah pola hubungan itu akan melanjutkan status quo, otonomi yang diperluas atau bahkan kemerdekaan penuh. Satu hal yang pasti, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, salah satu faktor yang mendukung kompleksitas isu Basque adalah fakta terdapatnya dua visi yang saling bersaing dan berbenturan dalam masyarakat Basque terkait isu pola hubungan Basque dengan Spanyol. Kelompok yang yang pertama, yaitu Navarre menginginkan Spanyol tetap dipertahankan sebagai satu-satunya entitas yang berdaulat dalam wilayah Basque sementara kelompok kedua, yaitu Masyarakat Otonom Basque adalah kelompok yang menginginkan status Basque berdaulat penuh berdasarkan kesepakatan resmi antara Spanyol dan Basque. Kaum nasionalis Basque yang didukung penuh oleh Masyarakat Otonom Basque menganggap bahwa meskipun Basque telah diberikan otonomi penuh tetapi dalam proses pembuatan keputusan untuk menetapkan konstitusi Masyarakat Otonom Basque tetap berada dibawah kendali pemerintah Spanyol. Meskipun kendali ini dinyatakan tetap didasarkan pada upaya-upaya demokratis, tetapi bagi kaum nasionalis Basque tetap saja kondisi ini diinterpretasikan sebagai pembatasan fundamental terhadap kebebasan kolektif mereka. Sementara pemerintah Spanyol menganggap pendekatan kaum nasionalis Basque ini tidak realistis dan cenderung negatif apabila dilihat dari sistem politik yang ada saat ini. Pemerintah Spanyol sendiri sebetulnya sejak tahun 1978 yaitu sejak negara ini mengalami transisi menuju demokrasi, menyatakan dukungan penuh bagi upaya reformasi menuju suatu sistem teritorial otonom. Proses reformasi konstitusi otonom ini sebetulnya bukan hanya diberikan kepada penduduk Basque melainkan juga kepada penduduk Catalonia, Valencia, dan Andalusia. Terbukanya Peluang Perdamaian Dalam konflik-konflik paling keras sekalipun, perdamaian hanya dapat diciptakan melalui kombinasi kemajuan-kemajuan positif yang seimbang diantara tingkatan lokal, nasional dan internasional. Dalam artikelnya yang berjudul Violence, Peace, Peace Research, Johan Galtung – salah satu tokoh yang sangat kental akan prinsip-prinsip peace making –
158
Rizki Damayanti Peluang dan Hambatan Penciptaan Perdamaian dalam Konflik Basque
mengatakan bahwa dasar konflik adalah structural violence.8 Kekerasan yang terstruktur melalui sebuah sistem mampu menimbulkan titik klimaks konflik yang akan menimbulkan benturan keras antar satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Galtung juga mengemukakan teori perdamaian yang dibagi menjadi dua, yaitu: positif peace dan negative peace. Perdamaian positif dapat tercipta apabila terjalin konsensus dan win-win solution sebagai akhir konflik, sedangkan perdamaian negatif lebih memfokuskan kepada absensi konflik. Konsep ini tidak jauh berbeda dengan teori Ralf Dahrendorf, yang menyatakan bahwa efektifitas pengaturan konflik bergantung pada tiga faktor. Pertama, kedua pihak harus mengakui kenyataan dan situasi konflik yang terjadi. Kedua, kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisasikan secara rapi, tidak tercerai-berai sehingga masing-masing pihak memahami jelas tuntutan pihak lain. Ketiga, kedua pihak menyepakati aturan main yang menjadi landasan dan pegangan dalam hubungan dan interaksi diantara mereka.9 Berlandaskan pada konsepsi diatas, secara signifikan konflik Basque telah menunjukkan ketiga kondisi tersebut yang dipandang memungkinkan bagi terciptanya peluang perdamaian yang sebelumnya tidak pernah ada. Di tingkat lokal, peluang penciptaan perdamaian didukung oleh fakta bahwa 32% penduduk Basque tidak menginginkan wilayah Basque merdeka. Hanya 23% penduduk yang mendukung kemerdekaan sementara 34% abstain. Berpijak pada fakta ini, maka pembahasan dalam komunitas Basque saat ini bukan difokuskan pada isu kemerdekaan melainkan pencarian instrumen kedaulatan bersama yang disesuaikan dengan kenyataan sosial yang kompleks dan majemuk. Di tingkat nasional, terpilihnya Perdana Menteri Zapatero sebagai perdana menteri Spanyol yang baru—ditandai dengan kekalahan mantan Perdana Menteri Aznar akibat menyalahkan ETA atas pengeboman yang mengerikan di Madrid—ikut mendorong kemauan politik dan sosial di Spanyol untuk mengatasi masalah Basque. Tidak seperti Aznar, Zapatero berupaya memainkan peran proaktif dalam menciptakan sejumlah kondisi yang diperlukan bagi proses perdamaian. Sementara itu, di tingkat internasional, Father Alec Reid, salah satu mediator utama yang juga terlibat dalam pengawasan Tentara Republik Irlandia (Irish Republican Army—IRA), berhasil mendorong ETA untuk mengembangkan strategi politik eksklusif. Father Reid juga berhasil membuka saluran-saluran komunikasi baru antara kalangan aktivis Basque dengan pemerintah pusat Spanyol. Selain itu, serangan 11 September 2001, yang dikuti dengan pernyataan perang global Amerika Serikat terhadap terorisme juga ikut berkontribusi pada upaya penciptaan perdamaian dalam 8Galtung, Johan. (1969) Violence, Peace, and Peace Research. Journal of Peace Research. Vol. 6, No. 3, hal. 167-191 9Dougherty, James dan Robert Platzgraff. (1971), The Older Theories of Conflict. Chap 5. J.B Lippincolt Company. hal 140 159
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 153-163
isu Basque.10 Jika ETA tidak mampu menjustifikasi aktivitas-aktivitas kekerasan yang dilakukannya sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan, maka serangan apa pun yang dilakukan oleh ETA akan menyebabkannya diinterpretasi sebagai ancaman terhadap keamanan internasional. ETA tidak ingin membentuk pandangan negatif seperti itu sehingga ETA kemudian mulai mereposisi dirinya sebagai organisasi yang sama dengan IRA sekaligus berupaya untuk mengganti kekerasan dan intimidasi dengan strategi politik eksklusif.11 Hambatan Menuju Perdamaian Meminjam istilah Johan Galtung (2004), proses perdamaian merupakan sebuah metode transendental (transcend approach), yaitu kemampuan sosial individu untuk keluar dari halangan-halangan internalnya dan menciptakan peluang-peluang baru yang tidak saja menguntungkan diri sendiri, tetapi juga orang lain yang terlibat hubungan kontestasi atau konflik kepentingan. Halangan-halangan internal tersebut terutama sekali muncul dalam bentuk keterbatasan mendefinisikan masalah dan persepsi negatif terhadap pihak lain. Dengan demikian, meskipun proses perdamaian dalam konflik Basque berpeluang untuk dilakukan, tetapi isu-isu berikut ini harus tetap secara kreatif dan komprehensif ditangani sebelum dan selama proses perdamaian guna menetralisasi elemen-elemen paling destruktif dari politik Basque dan Spanyol. 1) Pelanggaran Hak Asasi Manusia Konflik Basque sarat dengan isu pelanggaran hak asasi manusia. Sebagai contoh, banyak terjadi serangan dan ancaman oleh ETA terhadap kelompok-kelompok yang berseberangan. Sebaliknya penganiayaan berat juga dialami oleh anggota ETA yang dipenjara. 700 tahanan ETA di Spanyol maupun Perancis menjalani hukuman di penjara-penjara yang jauhnya mencapai ratusan mil dari wilayah Basque sehingga terisolasi dari keluarga. Pada awal 2006, dua tahanan Basque meninggal dalam kondisi yang tidak lazim.12 Meskipun pemerintah Spanyol mengklaim peristiwa tersebut sebagai tindakan bunuh diri oleh tahanan tetapi tetap saja menimbulkan sorotan publik pada kejujuran fakta yang terjadi. Banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dinilai lekat dengan penanganan konflik Basque dinilai memiliki kemampuan destruktif luar biasa untuk menghalangi prakarsa perdamaian. Hal ini disebabkan karena pelanggaran itu dapat merusak keseimbangan konflik yang telah ada dan bahkan ditakutkan akan mengobarkan kembalinya memori masa 10Anderson, Wayne, (2002), The ETA: Spain's Basque Terrorist (Inside the World's Most Famous Terrorist Organizations), Rosen Publishing Group, hal. 42. 11Irvin, Cynthia L, (2009), Militant Nationalism: Between Movement and Party in Ireland and the Basque Country, University of Minnesota Press, 1st edition, hal. 61. 12Sabanadze, Natalie, (2009), Globalization and Nationalism: The Cases of Georgia and the Basque Country, Central European Univ Press, hal. 35. 160
Rizki Damayanti Peluang dan Hambatan Penciptaan Perdamaian dalam Konflik Basque
lalu, yaitu ketika konflik tersebut didefinisikan sebagai kekerasan dan tidak adanya ruang komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat. 2) Pelarangan Partai Politik Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Aznar, beberapa organisasi dan partai politik yang tergabung dalam MLNV dilarang dan tempat-tempat penjualan media massa yang terafiliasi dengan partai politik ditutup karena dianggap telah berkolaborasi dengan para aktivis teroris. Kebijakan pemerintah Aznar terkait hal ini mendapat kecaman keras dari Human Rights Watch dan Amnesty International. Sebagai contoh, partai politik Batasuna, yang dicabut perlindungan hukumnya oleh Mahkamah Agung Spanyol pada April 2003 karena keterkaitannya dengan ETA, tidak dapat menjalankan aktivitas politiknya dengan normal. Tokoh-tokoh partai politik Batasuna juga menghadapi proses pengadilan yang kemudian memasukkan mereka kedalam penjara. Kondisi ini dianggap sebagai sebuah hambatan potensial dalam upaya perdamaian Basque karena penyingkiran salah satu pihak utama dan para pemimpinnya dari proses perdamaian, justru akan menimbulkan hambatan besar bagi kemajuan yang bermakna. 3) Kurangnya Pengakuan Publik atas Korban Lebih dari 800 keluarga kehilangan kerabat sejak 1968 dan ratusan lainnya mengalami cacat fisik maupun psikologis akibat konflik Basque. Sebagian besar asosiasi dan yayasan yang mewakili kepentingan korban menyatakan bahwa suara korban tidak didengar dalam berbagai diskusi yang membahas konflik Basque. Penyelenggaraan diskusi terkait konflik Basque sama sekali tidak mewakili keprihatinan korban. Padahal, sebagaimana telah banyak diajarkan oleh pengalaman internasional, partisipasi konstruktif dari seluruh kelompok korban sejak awal pembicaraan akan menjadi kontribusi penting dalam menyingkirkan berbagai tantangan pasca-konflik. 4) Metodologi Proses Perdamaian Meskipun gencatan senjata telah disepakati—dan pemerintah Spanyol maupun Basque serta partai-partai politik yang terlibat juga telah menyatakan kesiapan terhadap pembicaraan inklusif terkait jalan menuju perdamaian—tetapi hal paling mendasar adalah para pihak yang terlibat konflik harus sepakat dengan metodologi untuk mentransformasi akar-akar politik konflik tersebut. Tanpa kesepakatan itu, gencatan-senjata yang telah dicapai akan pudar. Saat ini, setiap pihak memiliki perspektif sendiri mengenai bagaimana proses dan pembicaraan tersebut sebaiknya dirumuskan dan diadakan. Misalnya, meskipun pemerintah Spanyol menawarkan mereformasi Kedudukan Otonomi dengan mengikuti model yang ditetapkan oleh pemerintah Catalan, pihak Basque ingin proses itu memiliki fokus yang lebih luas. Dengan kata lain, kedua belah pihak sangat
161
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 153-163
perlu menemukan—sesegera mungkin—suatu metodologi dan agenda untuk sebuah proses yang dapat disepakati oleh semua pihak. Penutup Untuk pertamakalinya dalam sejarah konflik Basque, peluang perdamaian dinyatakan secara terbuka oleh masing-masing pihak yang terlibat. Meskipun pencapaian perdamaian tersebut akan membutuhkan waktu dan proses yang mungkin tidak mudah, tapi paling tidak situasi kondusif mulai tercipta. Dalam menghadapi terbukanya peluang menuju perdamaian dalam konflik Basque, maka hal-hal yang dipandang perlu dilakukan untuk mendukung proses perdamaian tersebut diantaranya terkait pada partisipasi masyarakat sipil, pelibatan korban secara aktif dalam proses perdamaian, pengembangan mekanisme trust-building, penentuan metodologi perdamaian serta penciptaan kerjasama internasional. Keterlibatan masyarakat dan organisasi sipil dari kedua belah pihak akan sangat penting diperlukan dalam proses perdamaian, khususnya dalam menjelaskan kompleksitas proses perdamaian tersebut sekaligus membangun dukungan yang luas dari publik masing-masing. Pelibatan korban dalam setiap proses perdamaian, juga akan berdampak positif terutama dalam upaya secara signifikan bagi proses penyembuhan sekaligus membantu kedua komunitas bergerak maju. Pengembangan mekanisme trust-building diantara pihak-pihak yang bertikai juga merupakan kunci utama bagi kelancaran proses perdamaian. Sesegera mungkin pihak-pihak yang terlibat konflik juga harus membentuk metodologi perdamaian yang dapat mengakomodir kepentingan masingmasing pihak. Dan hal terakhir yang akan turut mewarnai pencapaian hasil akhir dari proses perdamaian tersebut adalah terkait pelibatan badanbadan internasional yang relevan, misalnya Uni Eropa dan Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE). Pelibatan badan-badan internasional ini tentunya akan memberikan kontribusi signifikan dalam proses perdamaian, yaitu sebagai saluran komunikasi antara aktor lokal dan komunitas internasional terutama terkait kontrol atas pemenuhan komitmen dari setiap kesepakatan perdamaian di masa depan. __________ Daftar Pustaka Agote, Alfonso Perez, (2006) The Social Roots of Basque Nationalism, University of Nevada Press. Anderson, Wayne, (2002), The ETA: Spain's Basque Terrorist (Inside the World's Most Famous Terrorist Organizations), Rosen Publishing Group. Bourne, Angela, (2008), The European Union and the Accomodation of Basque Difference in Spain (Europe in Change), Manchester University Press. 162
Rizki Damayanti Peluang dan Hambatan Penciptaan Perdamaian dalam Konflik Basque
Clark, Robert P., (1984), The Basque Insurgents: ETA, 1952-1980, University of Wisconsin Press, 1st edition. Clark, Robert P., (1979) The Basques: The Franco Years and Beyond (The Basques Series), University of Nevada Press. Dougherty, James dan Robert Platzgraff, (1971), The Older Theories of Conflict, J.B Lippincolt Company. Galtung, Johan. (1969) Violence, Peace, and Peace Research. Journal of Peace Research. Vol. 6, No. 3. Irvin, Cynthia L, (2009), Militant Nationalism: Between Movement and Party in Ireland and the Basque Country, University of Minnesota Press, 1st edition. Kurlansky, Mark, (2001), The Basque History of The World: The Story of A Nation, Penguin. Lecours, Andre, (2007), Basque Nationalism and the Spanish State, University of Nevada Press. Sabanadze, Natalie, (2009), Globalization and Nationalism: The Cases of Georgia and the Basque Country, Central European Univ Press. Trask, R.L, (1996), The History of Basque, Routledge, 1st edition.
163