Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana
KANTOR BANK DUNIA JAKARTA Gedung Indonesia Stock Exchange, Tower II/Lt. 12-13 Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12910 Tel: (6221) 5299-3000 Fax: (6221) 5299-3111
BANK DUNIA Bank Dunia 1818 H Street N.W. Washington, D.C. 20433 USA Tel: (202) 458-1876 Fax: (202) 522-1557/1560 Email :
[email protected] Website : www.worldbank.org
Dicetak bulan Juli 2009
DIAGNOSIS PERTUMBUHAN ACEH: Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana adalah produk staf Bank Dunia. Temuan-temuan, penafsiran, dan kesimpulan yang dinyatakan dalam dokumen ini tidak berarti mencerminkan pandangan Direksi Eksekutif Bank Dunia atau pemerintah yang diwakilinya. Bank Dunia tidak menjamin ketepatan data yang tercantum dalam dokumen ini. Perbatasan, warna, denominasi, dan informasi lain yang ditunjukkan di setiap peta yang terdapat dalam dokumen ini tidak mengimplikasikan suatu penilaian terhadap bagian Bank Dunia sehubungan dengan status hukum setiap wilayah atau pengesahan atas persetujuan terhadap perbatasan tersebut.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana
Daftar Isi Pengantar Ucapan Terima Kasih Daftar Istilah Ringkasan Eksekutif 1. Pendahuluan 2. Metodologi 3. Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 4. Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konflik dan Pasca Konflik di Aceh 5. Akses Terhadap Kredit a. Apakah pembiayaan menjadi masalah di Aceh? b. Apakah biaya modal tinggi terjadi di Aceh? c. Apakah permasalahannya adalah rendahnya tabungan dan tidak adanya akses terhadap pembiayaan eksternal? d. Apakah permasalahannya adalah fungsi intermediasi (perantara) bank-bank lokal yang rendah? e. Apabila tidak, apakah persoalannya adalah pembatasan kredit oleh bank? 6. Hasil Sosial yang Rendah a. Infrastruktur: jalan-jalan b. Infrastruktur: listrik c. Pendidikan dan modal sumber daya manusia 7. Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability) a. Risiko-risiko Makroekonomi b. Lingkungan usaha c. Korupsi d. Biaya-biaya Transaksi: Pajak dan Iuran Keamanan e. Kegagalan pasar - kegagalan koordinasi f. Kegagalan pasar - kegagalan informasi 8. Kesimpulan 9. Daftar Referensi 10. Lampiran-Lampiran Lampiran I – Perkiraan hasil-hasil pendidikan Lampiran II – Tabel regresi: kinerja perusahaan dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Lampiran III – Uji T Kesetaraan rata-rata (T Test equality of means) Lampiran IV – Insiden-Insiden keamanan dan pertumbuhan
iv v vi 1 5 9 15 21 25 25 27 28 30 32 37 38 40 42 47 47 48 51 53 59 61 65 71 77 77 78 79 80
Gambar Gambar 1 PDB per kapita di Aceh hampir sama dengan rata-rata nasional Gambar 2 Kerangka kerja, yang diadaptasi dari Hausmann, Rodrik dan Velasco (2005) Gambar 3 Aceh telah mengalami pertumbuhan dengan laju yang lebih lambat dibandingkan Indonesia hampir di sepanjang dasawarsa ini Gambar 4 Upah minimum provinsi di Aceh telah meningkat lebih dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia Gambar 5 Kekerasan di Aceh – Jan 2005 sampai dengan Des 2008 Gambar 6 Kredit terhadap PDRB sangat rendah di Aceh
ii
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
6 10 15 19 24 26
Juli 2009
Gambar 7 Tingkat peminjaman investasi riil di Aceh dan rata-rata nasional Gambar 8 Tingkat peminjaman investasi nominal di Aceh dan rata-rata nasional Gambar 9 Pertumbuhan PDB tidak bereaksi terhadap perbedaan suku bunga Gambar 10 Tabungan per PDRB untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006 Gambar 11 Dana-dana pemerintah menyumbangkan bagian yang besar dari simpanan di Aceh Gambar 12 Sektor konstruksi dan perdagangan menerima bagian kredit yang relatif besar di Aceh Gambar 13 Bagaimana perusahaan-perusahaan menilai kondisi dari jenis-jenis infrastruktur yang berbeda Gambar 14 Belanja pemerintah untuk infrastruktur di Aceh telah meningkat sejak tahun 2004 Gambar 15 Aceh kekurangan cadangan listrik siaga yang diperlukan untuk menghindari gangguan pasokan Gambar 17 Komposisi sektoral dari sampel survei The Asia Foundation / KKPOD Gambar 16 Lingkungan Indonesia untuk menjalankan usaha masih relatif buruk di tahun 2009 Gambar 18 Kinerja perusahaan dan peristiwa-peristiwa kekerasan, per kabupaten Gambar 19 Jumlah pelanggan telepon seluler di Aceh untuk penyedia layanan terkemuka dan jumlah warnet
27 27 28 29 29 34 39 40 41 50 49 56 62
Tabel Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Table 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20
Bagaimana konflik mepengaruhi perekonomian? Penciptaan lapangan kerja di Aceh Pertumbuhan ekonomi di Aceh Proyeksi tingkat kemiskinan Aceh dalam lima tahun (angka pada tahun 2008) Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari PDRB Suku bunga nomial rata-rata, Desember 2008 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari keseluruhan kredit Pendapatan dan kekayaan (hanya untuk laki-laki) Kondisi infrastruktur di Aceh dan Indonesia tahun 2005 Kondisi Jalan di Aceh, 2006 Tingkat elektrifikasi di Aceh berada di tingkat yang sama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia Capaian pendidikan Karakteristik dasar, perbandingan antara mantan Tentara Nasional Aceh (TNA), korban sipil, dan non korban (khusus pria) Tenaga profesional dalam bidang kesehatan dan pendidikan Hasil pendidikan – perkiraan kenaikan upah Indeks persepsi korupsi Jenis penghidupan (khusus pria) Perbandingan kawan dan mitra usaha di kalangan mantan pejuang GAM (%) Ekspor non-migas Aceh, dalam AS$ Hambatan-Hambatan terhadap Pertumbuhan di Aceh
11 13 16 18 26 30 31 35 38 39
43 44 45 52 54 55 61 66
Menguraikan dampak-dampak tsunami, rekonstruksi, dan berakhirnya konflik terhadap pertumbuhan Data Investasi Merevitalisasi Pertanian Aceh Apakah konflik merupakan halangan untuk mengakses kredit? Industri-industri baru yang mulai berkembang di Aceh
8 18 20 32 62
41 42
Kotak Kotak 1 Kotak 2 Kotak 3 Kotak 4 Kotak 5
iii
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Pengantar Aceh saat ini berada di persimpangan jalan. Searah dengan menurunnya usaha-usaha rekonstruksi yang sebelumnya telah menghasilkan tingkat pertumbuhan yang tinggi disektor-sektor ekonomi tertentu (misalnya konstruksi, perdagangan dan transportasi), kondisi ekonomi Aceh tercatat terus menurun. Kondisi penurunan ekonomi secara alamiah ini juga berhubungan dengan dampak negatif krisis keuangan global. Fakta juga menunjukkan bahwa sebenarnya ekonomi Aceh belum sembuh dari dampak negatif konflik yang terjadi selama 30 tahun. Berakhirnya masa konflik pada tahun 2005 dan berlanjutnya masa-masa damai merupakan pencapaian besar. Beberapa daerah konflik biasanya kembali ke suasana konflik dalam tahun-tahun awal kesepakatan damai. Namun tidak untuk Aceh. Meskipun sempat memanas dalam Pemilu legislatif dalam bulan April lalu, namun secara umum kondisi keamanan mengalami perkembangan yang menggembirakan. Hal ini menunjukkan komitmen yang tinggi dari kedua belah pihak termasuk pemerintah pusat untuk terus memelihara perdamaian sehingga mendorong pembangunan yang lebih baik. Laporan ini menunjukkan bahwa beberapa investor masih memandang Aceh sebagai daerah yang berisiko untuk berinvestasi, meskipun fakta menunjukkan bahwa Aceh relative aman selama kurun waktu hampir 4 tahun. Beberapa insiden keamanan, yang lazim terjadi di daerah pasca konflik, menghambat pelaku usaha dan individu untuk berinvestasi di Aceh. Dampak lain dari konflik juga masih adanya pajak-pajak illegal, yang pada akhirnya mengurangi minat investasi. Pemerintah Aceh menyadari bahwa sebelum pelaku usaha dan masyarakat merubah persepsi mereka tentang keamanan di Aceh dan merasa percaya diri bahwa mereka dapat memperoleh manfaat penuh dari investasi mereka, hanya sedikit investasi akan datang. Akhirnya, pertumbuhan propinsi ini akan terbatas dan upaya-upaya untuk mengurangi kemiskinan akan kurang efektif. Terdapat masalah lain yang mempengaruhi perekonomian Aceh. Yaitu termasuk lingkungan usaha, akses pada permodalan dan kualitas infrastruktur. Laporan ini mencoba menunjukkan bagaimana faktorfaktor yang berbeda ini berpengaruh pada investasi dan pertumbuhan, dan memberikan rekomendasi pada upaya pemerintah dalam memperioritaskan dan merubah kebijakan untuk meningkatkan iklim investasi Meningkatkan kemakmuran masyarakat merupakan hal yang penting untuk menjaga perdamaian. Karena lingkungan konflik dan pasca konflik yang tidak positif dapat memperburuk investasi dan pertumbuhan ekonomi. Konflik yang ada di Aceh tidak dapat disederhanakan menjadi hanya isu lapangan pekerjaan dan ketimpangan sosial. Akarnya jauh lebih rumit dan memelihara perdamaian lebih penting dari sekedar pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, kami percaya bahwa manakala masyarakat dalam keadaan stabil dan menikmati penghasilan yang layak, maka kekacauan akan menurun. Tentunya menghilangkan hambatan pertumbuhan dan investasi adalah penting. Karena pada akhirnya dapat membuat propinsi ini terus tumbuh dengan tingkat hidup yang lebih baik bagi masyarakat, serta membantu terjaganya perdamaian.
Joachim von Amsberg Direktur Bank Dunia Indonesia
iv
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Ucapan Terima Kasih Laporan ini disusun oleh unit Manajemen Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan Asia Timur Bank Dunia, yang bekerjasama dengan Unit Pembangunan Sosial. Tim penyusun laporan ini diketuai oleh Enrique Blanco Armas dan terdiri atas Patrick Barron, David Elmaleh, dan Harry Masyrafah. Kami sangat berterima kasih atas masukan-masukan berharga yang diberikan oleh banyak orang selama penyusunan laporan ini, termasuk Enrique Aldaz-Carroll, Achmad Budiman, Tim Bulman, Yoko Doi, Said Fauzan Baabud, Wolfgang Fengler, Fitria Fitrani, Scott Guggenheim, Ahya Ihsan, Islahuddin, Kai Kaiser, Neni Lestari, Lina Marliani, Lloyd McKay, Adrian Morel, Nazamuddin, David Newhouse, Blair Palmer, Peter Rosner, Rodrigo Wagner, Susan Wong, Robert Wrobel, Sukmawah Yuningsih, dan Wasi Abbas. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada para rekan peninjau (peer reviewer), Elena Ianchovichina dan Nicola Pontara, yang telah memberikan masukan-masukan berharga. Rizki Atina yang telah memberikan bantuan untuk tim, Peter Milne dan Arsianti yang telah membantu dengan melakukan penyuntingan dan produksi laporan ini. Dalam melaksanakan penelitian ini, tim mendapatkan bantuan dari sebuah survei kecil dan serangkaian wawancara yang dilakukan dengan para pelaku usaha dan bank-bank di Aceh. Bimbingan dari Bank Indonesia dalam melaksanakan survei ini sangat penting, dan kami secara khusus berterima kasih kepada Yusran dan Eko Hermonsyah dari Bank Indonesia atas bantuannya. Penelitian ini juga mendapatkan banyak bantuan dari survei di tingkat perusahaan yang dilakukan oleh KPPOD dan The Asia Foundation di Aceh pada tahun 2008. Keduanya setuju untuk memberikan hasil-hasil surveinya kepada kami, meluangkan waktu yang cukup banyak untuk membahas survei tersebut dan hasil-hasilnya dengan tim. Kami ingin berterima kasih khususnya pada Romawaty Sinaga, Adam Day, dan Erman Rahman dari The Asia Foundation. Kami juga menggunakan hasil dari survei Reintegrasi Aceh dan Penghidupan (ARLS), yang dilakukan oleh Nielson Indonesia dengan bantuan dana dari Department for International Development (Departemen Pembangunan Internasional (DFID)) Inggris. Diskusi yang kami lakukan dengan Laura Paler (Columbia) dan Yuhki Tajima (Riverside) bermanfaat bagi kami dalam penafsiran data. Tim juga telah mempresentasikan versi awal dari laporan ini dalam Konferensi Internasional tentang Kajian Aceh dan Kawasan Samudra Hindia (ICAIOS) kedua yang bertajuk “Konflik Sipil dan Penanggulangannya”, di Banda Aceh, dari tanggal 23 sampai 24 Februari 2009. Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada para penyelenggara, Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry dan the Asia Research Institute (ARI) Universitas Nasional Singapura, serta para peserta konferensi tersebut, karena telah memberikan kepada kami kesempatan untuk menyajikan hasil-hasil awal dan memberikan kepada tim tanggapan-tanggapan yang matang tentang makalah yang disajikan. Hasil-hasil awal juga telah dipresentasikan kepada Pemerintah Aceh pada bulan April 2009 untuk menjelaskan hasil temyan awal dan untuk memperoleh umpan balik dari Pemerintah tentang kegiatan kami. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada T. Said Mustafa dari Kantor Gubernur Aceh yang telah memfasilitasi pertemuan tersebut, serta kepada semua peserta yang telah meluangkan waktunya dan memberikan tanggapan-tanggapan yang bermanfaat kepada tim. Akhirnya, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Vikram Nehru, Joachim von Amsberg, dan William Wallace, yang telah memberikan bimbingan menyeluruh kepada kami, atas dukungan, bimbingan, serta masukan-masukan bermanfaat yang telah diberikan sepanjang proses penyusunan laporan ini.
v
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Daftar Istilah APKO ARLS ARI ATAP BI BPS CSIRO DAU DFID GAM GDP GER GRDP GwH IAIN ICAIOS ICG IFC IOM IOO KDP KPM KPPOD KTP KUR kVA LDR LOGA MIGA MoU MSME MSR NAD NER NGO NPL PDRB PEG PER PLN PMA PMDN Pusdatin
vi
Asosiasi Penguasaha Kopi Aceh Reintegration and Livelihood Survey Asia Research Institute Aceh Triple-A Project Bank Indonesia Biro Pusat Statistik Australia’s Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization Dana Alokasi Umum Department for International Development Gerakan Aceh Merdeka Gross Domestic Product Gross Enrollment Rate Gross Regional Domestic Product Gigawatt Hour Institut Agama Islam Negeri International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies International Consultative Group International Finance Corporation International Organization for Migration Investment Outreach Office Kecamatan Development Program Business Empowerment Credit Program Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Kartu Tanda Penduduk Kredit Usaha Rakyat Kilo Volt Ampere Loan to Deposit Ratio The Law on Governing Aceh Multilateral Investment Guarantee Agency Memorandum of Understanding Micro, Small and Medium Enterprises Multi Stakeholder Review Nanggroe Aceh Darussalam Nett Enrollment Rate Non Government Organization Non Performing Loan Produk Domestik Regional Brutto Poverty Elasticities of Growth Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Perusahaan Listrik Negara Penanaman Modal Asing Penanaman Modal Dalam Negeri Pusat Data dan Informasi
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
RPJMD RUPTL Sakernas SMA SME Susenas TAF TNA TNI UN
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Survey Tenaga Kerja Nasional Sekolah Menengah Atas Small Medium Enterprise Survey Sosial Ekonomi Nasional The Asia Foundation Tentara Negara Aceh Tentara Nasional Indonesia United Nations
vii
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Ringkasan Eksekutif Hambatan-hambatan terhadap investasi dan pertumbuhan di Aceh perlu segera ditangani. Seiring dengan berakhirnya masa rekonstruksi, pertumbuhan ekonomi kembali menurun, seperti pada saat sebelum terjadinya tsunami. Perekonomian Aceh mengalami penurunan sebesar lebih dari 8 persen di tahun 2008. Sedangkan perekonomian dari sektor non-migas menunjukkan pertumbuhan yang cukup rendah, yaitu sebesar 1,9 persen, jauh di bawah pertumbuhan di tingkat nasional sebesar 6 persen. Pertumbuhan di Aceh pasca tsunami didominasi oleh sektor-sektor yang berkaitan erat dengan upaya rekonstruksi, seperti konstruksi, perdagangan, dan transportasi. Seiring dengan akan berakhirnya upaya rekonstruksi, pertumbuhan sektor-sektor tersebut telah melambat, sementara pelambatan tersebut belum diisi oleh sektor-sektor lain dalam perekonomian (misalnya, pertanian dan industri). Pada saat di mana cadangan minyak dan gas yang diketahui semakin menipis dengan cepat dan program rekonstruksi pasca tsunami tidak lagi menjadi motor penggerak pertumbuhan, sektor swasta perlu menjadi mesin penggerak pertumbuhan, meningkatkan produktifitas, dan membentuk kembali sektor produktif agar tidak lagi bergantung pada sektor minyak dan gas, dan membantu transisi Aceh menjadi perekonomian yang modern. Dengan menggunakan kerangka diagnosa pertumbuhan, laporan ini mengidentifikasi kurangnya pasokan listrik yang dapat diandalkan sebagai hambatan utama terhadap investasi dan pertumbuhan di Aceh. Berbagai perusahaan di Aceh melaporkan bahwa pasokan listrik mengalami gangguan rata-rata 4,3 kali per minggu, lebih dari dua kali lipat dari jumlah gangguan yang dialami oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Usaha manufakturing dan pengolahan hasil pertanian merupakan sektor yang secara khusus sangat dirugikan apabila terjadi pemadaman listrik. Hal ini menyebabkan sejumlah usaha kecil yang tidak memiliki generator sendiri tidak dapat menjalankan kegiatannya. Selain untuk meningkatkan tingkat keandalan pasokan energi dari Sistem Interkoneksi Sumatera, Pemerintah Aceh dapat mempertimbangkan untuk upaya-upaya pembaruan untuk menarik investasi dari sektor swasta dalam bidang energi dengan (i) merevisi penetapan harga listrik yang dihasilkan oleh pihak swasta untuk didistribusikan melalui PLN, (ii) mendorong keikutsertaan sektor swasta dalam pembangkitan listrik dari sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui (panas bumi, biomassa setempat, energi matahari), dan (iii) menjajaki kemungkinan kemitraan pemerintah-swasta untuk menarik para produsen listrik yang hemat biaya. Hambatan utama lainnya terhadap investasi dan pertumbuhan di Aceh adalah masalah pungutan liar dan masalah keamanan yang masih menjadi perhatian para calon investor. Hal tersebut harus menjadi fokus instansi-instansi terkait dalam upaya untuk menarik investasi di Aceh. Sisa-sisa konflik di Aceh masih terus menghambat pertumbuhan. Konflik dapat menimbulkan dampak yang mendasar pada lembaga-lembaga ekonomi, sosial, dan politik yang menjadi landasan pertumbuhan. Dampak-dampak tersebut mempengaruhi bagaimana perekonomian berfungsi dalam
1
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Ringkasan Eksekutif
masa pasca konflik. Selain pengaruh-pengaruh destruktif langsung, dampak-dampak tersebut juga dapat membahayakan keamanan para individu dan masyarakat dengan cara-cara yang secara tidak langsung mengubah perilaku, preferensi, dan fungsi kelembagaan. Kekhawatiran akan keamanan dan persepsi negatif di luar Aceh nampaknya merupakan faktor yang kuat yang menghalangi investasi di provinsi tersebut. Pungutan liar dan masalah-masalah keamanan dianggap sebagai hambatan-hambatan yang sangat besar oleh usaha-usaha: 9,3 persen dari usaha-usaha tersebut menyatakan keamanan dan kemudahan penyelesaian konflik sebagai hambatan di Aceh, dibandingkan dengan angka di provinsi-provinsi yang lain yang hanya mencapai 4 persen. Kabupaten-kabupaten tempat terjadinya insiden-insiden yang paling hebat sejak penandatanganan Kesepakatan Damai cenderung merupakan kabupaten-kabupaten di mana perusahaan-perusahaan mencatat kinerja yang lebih rendah. Secara rata-rata. satu dari empat usaha swasta menyatakan mengeluarkan biaya untuk tambahan keamanan. Persepsi peningkatan risiko juga dapat juga menimbulkan kurangnya kredit untuk sektor swasta. Semua hal tersebut meningkatkan ketidakpastian dalam menjalankan usaha di Aceh. Berbagai perusahaan mencoba mengatasi ketidakpastian tersebut dengan menjalin kerjasama dengan prusahaan-perusahaan atau jaringan-jaringan setempat yang dapat menawarkan perlindungan dan rasa aman, walaupun hal tersebut tidak selalu mungkin dilakukan. Upaya untuk mengatasi kekhawatiran para calon investor tentang keamanan dan pemberantasan pungutan liar serta suap membutuhkan strategi dua arah: memperkuat supremasi hukum dan menangani hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya ancaman kekerasan dan keamanan. Untuk memperkuat supremasi hukum, instansi-instansi terkait harus meningkatkan kapasitas kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan menyelesaikan kasus-kasus kejahatan, serta kapasitas sistem peradilan untuk menuntut dan menghukum para pelaku kejahatan. Hal tersebut mungkin membutuhkan modal politik yang cukup besar, yang sama pentingnya dengan modal yang diperlukan untuk membangun konstituen yang diperlukan yang akan mendukung reformasi tersebut, dengan melibatkan masyarakat madani dan sektor swasta dalam diskusi-diskusi dan pemantauan situasi keamanan. Untuk menangani faktor-faktor penyebab yang mendasar dari ancaman kekerasan dan keamanan, instansi-instansi terkait harus mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di daerah-daerah yang dilanda konflik, dengan fokus pada kelompok-kelompok yang berisiko dan rentan. Apabila bantuan hanya diberikan kepada para mantan pejuang GAM, maka hal tersebut mungkin kurang efektif dan akan menimbulkan masalah baru serta kecemburuan lainnya. Situasi keamanan yang lebih baik dan penghapusan pungutan dan pajak liar kemungkinam besar akan mendorong meningkatnya investasi dan pertumbuhan. Seiring dengan pengurangan biaya-biaya yang terkait dengan keamanan dan pungutan liar, perusahaan dan para individu akan dapat lebih mudah menilai biaya-biaya dan hasil investasinya secara lebih pasti dan tentunya akan melakukan investasi apabila investasi tersebut secara jelas dapat berkembang. Mengingat terbatasnya kapasitas dan modal politik yang harus dimiliki oleh instansi-instansi pemerintah daerah untuk melaksanakan reformasi, reformasi harus terlebih dahulu difokuskan pada sektor-sektor yang menghasilkan pertumbuhan yang berkesinambungan dan menyeluruh dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan pemerataan manfaat pertumbuhan ekonomi secara luas. Sifat inklusif dari pertumbuhan ekonomi menjadi sangat relevan dalam situasi pasca konflik. Pertumbuhan harus bersifat inklusif, lintas sektoral dan bermanfaat bagi sebagian besar dari angkatan kerja, terutama masyarakat miskin sebagai produsen. Pertumbuhan inklusif di Aceh akan timbul dari pertumbuhan sektor-sektor yang menjadi sumber mata pencaharian mayoritas masyarakat miskin, yaitu pertanian dan perikanan. Pertumbuhan inklusif juga akan didorong oleh penciptaan lapangan pekerjaan di sektor-sektor padat karya, agribisnis, sektor manufaktur lain, dan sejumlah sektor jasa, terutama perdagangan dan transportasi. Khususnya di lingkungan pasca konflik seperti Aceh, kekhawatiran akan masalah keadilan dan kepastian bahwa ’para pihak yang berpotensi akan mengganggu perdamaian’ merupakan sebuah masalah yang penting.
2
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Pertumbuhan yang inklusif dan merata yang bermanfaat bagi mayoritas penduduk, juga memberikan perhatian khusus terhadap peluang terhadap ‘pihak yang berpotensi akan mengganggu perdamaian’, harus menjadi bagian dari setiap strategi untuk memelihara perdamaian di provinsi Aceh. Strategi umum untuk mengatasi persoalan keamanan dan konflik harus mencakup upaya untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan merata. Upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan yang telah teridentifikasi akan bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, sehingga meningkatkan kemampuan masyarakat miskin dan rentan di Aceh untuk merasakan manfaat dari pertumbuhan. Terdapat pula intervensi khusus untuk memastikan agar pertumbuhan bersifat inklusif. Intervensi tersebut antara lain berupa upaya umtuk terus fokus pada sektor pertanian (namun juga dengan meningkatkan layanan publik lainnya, seperti pemberian kredit, irigasi, dll.). Intervensi tersebut juga termasuk memulihkan ketidakadilan yang ada baik dalam modal manusia maupun modal fisik dengan menambah keterampilan masyarakat miskin di daerah-daerah pedesaan. Pemerataan manfaat pertumbuhan akan memberikan masyarakat Aceh tanggung jawab yang besar atas perdamaian dan stabilitas, sehingga pada akhirnya memperkecil kemungkinan terulangnya konflik.
3
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
01
Pendahuluan Laporan ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi penghambat pertumbuhan di Aceh. Pada saat di mana cadangan minyak dan gas tercatat semakin menipis dan program rekonstruksi pasca tsunami yang akan segera berakhir, sektor swasta harus menjadi mesin penggerak pertumbuhan. Sektor swasta yang kuat dapat meningkatkan produktifitas dan dapat membantu menciptakan investasi baru dalam sektor industri tradisional dan non tradisional. Hal ini pada akhirnya menciptakan sektor industri produktif lainnya di samping sektor migas dan membantu transisi Aceh untuk menjadi perekonomian yang modern. Berbagai tantangan terhadap perekonomian Aceh telah banyak didokumentasikan secara luas. Laporan ini bertujuan mengidentifikasi dan memahami secara lebih rinci persoalan-persoalan pertumbuhan ekonomi yang paling mendesak untuk di perbaiki dan bagaimana upaya reformasi yang tepat terkait dengan perkembangan dan pertumbuhan sektor swasta. Laporan ini menggunakan Kerangka Diagnosa Pertumbuhan yang dikembangkan oleh Hausmann, Rodrik, dan Velasco (2005) yang bertujuan untuk mengidentifikasi masalah-masalah utama yang menghambat pertumbuhan perekonomian Aceh dan harus segera menjadi fokus utama dari kebijakan ekonomi. Masalah-masalah tersebut disebut sebagai hambatan-hambatan utama1. Kerangka ini telah di modifikasi sedemikian rupa agar dapat diterapkan dengan latar belakang daerah yang merupakan daerah pasca konflik. Penggunaan kerangka ini dalam latar tersebut memiliki beberapa keterbatasan. Pada daerah pasca konflik, persoalan-persoalan seperti, struktur dasar sosial, dan memastikan bahwa “pihak yang berpotensi akan mengganggu perdamaian” yang juga merasakan manfaat dari pertumbuhan, menjadi semakin penting dan tidak dapat ditangani secara mudah dengan menggunakan kerangka diagnosa pertumbuhan. Terdapat hambatan yang penting terkait dengan ketersediaan data di tingkat daerah, khususnya minimnya data investasi sektor swasta yang dapat diandalkan. Meski demikian, laporan ini dapat digunakan sebagai masukan yang berharga dalam proses pengambilan keputusan politik, memberikan wawasan tentang apa yang menghambat investasi dan pertumbuhan sektor swasta di Aceh, dan dampak yang terjadi di daerah pasca konflik. Laporan ini mengidentifikasi hambatanhambatan terhadap investasi dan pertumbuhan. Di dalam berbagai bagian dalam laporan ini, analisis yang dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan seperti ; apakah hambatan-hambatan terhadap investasi timbul dari tingginya biaya atau rendahnya akses terhadap kredit, ketidakmampuan untuk menghasilkan laba atas investasi karena rendahnya hasil investasi sosial atau rendahnya tingkat laba atas investasi yang mungkin diperoleh. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu faktor pendorong utama bagi upaya pengentasan kemiskinan di banyak negara. Namun dampak pertumbuhan pada upaya pengentasan kemiskinan dan kesinambungan pertumbuhan sangat bergantung pada laju dan pola pertumbuhan. Di 1
Pendekatan ini didasari oleh dalil bahwa faktor-faktor penentu pertumbuhan lebih merupakan pelengkap daripada pengganti. Oleh karena itu, semua tindakan kebijakan tidak akan memiliki dampak yang sama pada pertumbuhan, karena sejumlah faktor penentu relatif lebih rendah daripada faktor-faktor penentu yang lain. Hambatan-hambatan utama adalah faktor-faktor penentu pertumbuhan tersebut yang apabila dikurangi, akan menghasilkan dampak positif langsung tertinggi pada kinerja pertumbuhan.
5
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Pendahuluan
Indonesia, pertumbuhan dari pertengahan tahun 1960-an hingga terjadinya krisis keuangan pada tahun 1997-98 merupakan pertumbuhan yang memihak pada masyarakat miskin dikarenakan meningkatnya produktifitas dalam bidang pertanian dan perluasan sektor-sektor padat karya (World Bank, 2006a). Struktur perekonomian Aceh, yang sangat bergantung pada sektor minyak dan gas dengan sedikit peluang terhadap ketenagakerjaan dan kaitannya dengan sektor-sektor perekonomian yang lain, menunjukkan bahwa rendahnya pertumbuhan tidak dapat diejawantahkan ke dalam tingkat kemiskinan yang lebih rendah (World Bank, 2008a). Tingkat pertumbuhan Aceh tercatat cukup lambat dan berfluktuatif yang juga menjelaskan penyebab dari tingginya angka kemiskinan di Aceh. Dengan tidak menyertakan sektor migas dari sumber-sumber pendapatan daerah, PDB Aceh per kapita yang berjumlah Rp 11 juta (sekitar AS$1.000) hampir sama dengan jumlah rata-rata di tingkat nasional pada tahun 2006 (Gambar 1). Hal tersebut bertolak belakang dengan angka kemiskinan. Aceh merupakan salah daerah dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia, sebesar 23,5 persen di tahun 2008. Pertumbuhan di sektor non-migas menguat sebesar lebih dari 7 persen pada tahun 2006 dan 2007, namun angka ini hanya sedikit lebih tinggi daripada pertumbuhan rata-rata di tingkat pusat, meskipun terdapat aliran dana rekonstruksi yang sangat besar yang masuk ke provinsi Aceh. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang prospek pertumbuhan seiring dengan berkurangya aliran dana rekonstruksi: Tingkat pertumbuhan awal untuk tahun 2008 menunjukkan bahwa pertumbuhan di sektor non-migas telah melambat sampai dengan 1,9 persen dibandingkan dengan pertumbuhan di tingkat pusat yang mencapai lebih dari 6 persen. Pertumbuhan yang inklusif dan berkesinambungan, terutama di sektor non-migas, perlu dicapai untuk menurunkan angka kemiskinan di provinsi tersebut secara signifikan. Gambar 1 PDB per kapita di Aceh hampir sama dengan rata-rata nasional PDRB non-migas per kapita, tahun 2006 (nilai saat ini) 60,000,000 50,000,000 40,000,000 30,000,000
ACEH
20,000,000 10,000,000
Pr
op
.N
Pr op .M a us P luk a ro u Te p Ut n . a Pr gga M al ra Pr op r u op . a T ku . S Go im Pr ul ro u op . N P aw n t a r us ro esi lo a p. Te La Bara n Pr P gg m p t o r a u Pr p. S op ra ng op u . B Ba . S law en rat g ul aw esi k ul P e Se u Pr rop si Te lata op . J n n . S aw gg ul a ara aw Te Pr op e n . K P si T gah al ro en im p g Pr an . J a ah op ta m P . n b Pr rop Yog Bar i op . P y a at . a k Pr Sum pu art a a Pr op. atr Ba Su a op r Pr la Se at .K op al Pr w e lat .N im o si an an an p. B Ut gg ta an ara n t r Se en Pr oe A op c P la . K eh rop tan al D a . B im r an uss ali P ta ala Pr rop n Te m op . J n Pr . Su awa gah op m B . S at ara Pr um ra B t op at ar . J ra at Pr aw Ut op . B P a T ara an ro im Pr gk p. ur op a R . K P Be iau Pr alim rop lit u op a . P n . K nt ap g ep an u Pr ula Tim a op u . D an ur KI Ria Ja u ka rta
-
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia
Salah satu faktor penentu utama pertumbuhan adalah insentif-insentif yang diberikan oleh pemerintah guna mendorong sektor swasta dan para individu untuk melakukan investasi.2 Investasi menyebabkan terjadinya akumulasi modal (fisik, manusia) dan dapat menimbulkan kemajuan teknologi, dengan demikian meningkatkan produktifitas. Investasi memungkinan penerapan teknologiteknologi baru, menjangkau pasar-pasar baru dan memperkenalkan peningkatan proses usaha dapat 2
6
Teori pertumbuhan telah banyak berevolusi dalam beberapa dekade terakhir dengan berusaha mengidentifikasi faktor-faktor penentu pertumbuhan. Model pertumbuhan klasik, yang berfokus pada akumulasi modal manusia dan modal, atau model pertumbuhan neoklasik (Solow, 1956), yang mengamati tingkat tabungan dan memperkenalkan konsep kemajuan teknologi, tidak dapat menjelaskan perbedaan angka-angka pertumbuhan di seluruh negara. Teori pertumbuhan endogen (Romer, 1990) memperkenalkan konsep insentif untuk inovasi, dampak ikutan, dan Litbang dan bagaimana hal-hal tersebut penting untuk menghasilkan pertumbuhan produktifitas. Model-model pertumbuhan modern berfokus pada latar dan kebijakan-kebijakan kelembagaan yang memberikan insentif yang benar untuk investasi (Aghion and Howitt, 1992). Pencarian faktor-faktor penentu pertumbuhan yang dapat memandu pembuatan kebijakan masih jauh dari kata usai, namun terdapat kesepakatan bahwa investasi merupakan faktor penentu utama pertumbuhan.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
memiliki dampak ikutan positif yang bermanfaat bagi perekonomian secara keseluruhan. Pemerintah provinsi Aceh menyadari hal ini dan telah berupaya untuk menarik investasi swasta yang secara nyata tersaji dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dan prakarsa-prakarsa lain yang diusung oleh pemerintah provinsi, seperti “Aceh Hijau”.3 Namun demikian, tingkat investasi di Aceh tertinggal dari daerah-daerah lain di Indonesia. Tidak ada data tentang investasi yang dapat diandalkan, terutama tentang investasi swasta, namun bukti yang ada menunjukkan tingkat investasi tersebut sangat rendah. Investasi sebagai bagian dari PDB berjumlah sekitar 13 persen pada tahun 2008 di Aceh, jauh lebih rendah dari porsi di tingkat pusat yang berjumlah 24 persen. Kredit investasi, yang kurang dari 8 persen dari PDB, juga tercatat rendah di Aceh dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, sebagaimana ditunjukkan oleh data dari Bank Indonesia. Investasi pemerintah penting bagi pertumbuhan dalam hal bahwa pemerintah menyediakan barang dan layanan publik yang tidak akan dapat disediakan oleh pasar atau dapat disediakan oleh pasar dalam jumlah yang kurang memadai. Barang-barang dan layanan-layanan tersebut, seperti prasarana umum, dapat memberikan manfaat bagi semua pelaku perekonomian dengan biaya marjinal yang terbatas bagi pengguna tambahan, menciptakan eksternalitas positif di mana laba atas investasi sosial lebih tinggi daripada laba atas investasi swasta. Sebagai akibat dari eksternalitas tersebut, apabila diserahkan kepada sektor swasta, penyediaan barang-barang dan layanan publik tersebut tidak memadai dan hasilnya kurang optimal dari segi sosial. Infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah sejumlah bidang yang lebih menonjol di mana pemerintah memiliki peranan yang penting. Kajian terbaru (Moreno-Dodson, 2008) yang dilakukan oleh Bank Dunia di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia, menunjukkan hubungan yang positif antara belanja publik dan pertumbuhan, terutama apabila alokasi belanja berfokus pada penyediaan barang-barang publik dibandingkan dengan pemberian subsidi atau penyediaan barang-barang dan masukan-masukan dari swasta. Kajian tersebut juga menunjukkan bahwa investasi publik melengkapi (dan tidak menggantikan) investasi swasta sebagai penggerak pertumbuhan. Laporan ini berfokus pada analisis atas hambatan-hambatan terhadap investasi sektor swasta, dengan tetap mengakui peran penting yang dimiliki oleh investasi pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan, yang paling menonjol melalui penyediaan barang-barang publik.4 Laporan ini berasumsi bahwa terkait dengan investasi dalam usaha, sektor swasta lebih efektif dalam menghasilkan jenis inovasi dan pertumbuhan produktifitas yang diperlukan untuk memelihara tingkat pertumbuhan dibandingkan dengan pemerintah. Pemerintah merupakan investor swasta yang kurang optimal. Para investor swasta kemungkinan memiliki informasi yang lebih baik karena mereka memiliki pemahaman tentang usaha tertentu. Dibandingkan dengan para pelaku usaha swasta yang umumnya digerakkan oleh laba, pemerintah memiliki serangkaian tujuan yang lebih luas yang dapat mengakibatkan inefisiensi dalam pengelolaan badan usaha milik negara. Karena badan usaha tersebut seringkali tidak dihadapkan dengan hambatan anggaran yang besar, sebagai akibatnya, mereka mungkin dapat melakukan investasi dengan cara-cara yang sama sekali tidak dapat menghasilkan laba. Investasi pemerintah dapat mengalahkan investasi swasta karena mereka mungkin khawatir akan adanya persaingan yang tidak sehat dari badan usaha milik pemerintah. Yang lebih penting lagi, mengingat langkanya sumber daya dan adanya kebutuhan akan perbaikan penyediaan layanan publik, pemerintah harus berfokus untuk memberikan layanan-layanan publik tersebut: infrastruktur yang modern, pendidikan yang lebih baik, perbaikan layanan kesehatan dan lain-lain. 3
Aceh Hijau adalah sebuah prakarsa yang diluncurkan oleh Gubernur Aceh untuk melaksanakan visinya untuk “Strategi Investasi dan Pembangunan Ekonomi Hijau untuk Aceh”, www.aceh-eye.org/data_files/english_format/economic/economic_analysis/ eco_analysis_2008_07_00.pdf
4
Mutu investasi pemerintah telah dianalisis dalam berbagai makalah analisa (World Bank, 2006b dan 2008b) dan sepanjang makalah tersebut relevan, temuan-temuan tersebut telah dimasukkan ke dalam analisis ini. Terdapat keprihatian tentang efisiensi belanja dan mutu investasi pemerintah di provinsi Aceh. Pemerintah setempat tidak kekurangan sumber daya, namun tidak memiliki pengalaman untuk mengalokasikan sumber daya tersebut secara efisien. Belanja untuk layanan umum (kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur) cukup tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain dan mutu layanan secara umum setara dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
7
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Pendahuluan
Konflik turut memiliki andil dalam buruknya kinerja perekonomian Aceh dan, yang lebih penting lagi, sisa-sisa konflik dapat terus menghambat pertumbuhan dalam waktu dekat ini.5 Laporan ini mencoba mengungkap apa saja dampak yang ditimbulkan oleh konflik yang berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia pada pertumbuhan dan investasi. Masa-masa kekerasan bersenjata telah menjadi bagian dari sejarah Aceh setidak-tidaknya sejak jaman penjajahan (Reid, 2006), yang terbaru adalah konflik separatis antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Kekerasan telah mengalami pasang surut sejak tahun 1976, yang mengakibatkan sekitar 12.000 sampai dengan 20.000 meninggal (Aspinall, 2009b), lebih dari 100.000 orang harus mengungsi (IOM, 2008), trauma yang tersebar luas (IOM/Harvard Medical School, 2007), dan kerusakan infrastruktur yang signifikan (World Bank/KDP, 2007; MSR, 2009). Segera setelah terjadinya tsunami, situasi politik di Aceh berubah secara dramatis dengan berakhirnya konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Konflik tersebut berakhir dengan penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki oleh GAM dan Pemerintah Indonesia pada tanggal 15 Agustus 2005. Walaupun demikian, periode pasca konflik menimbulkan tantangan-tantangan baru. Sekurang-kurangnya 10.000 mantan pejuang dan penduduk sipil GAM menghadapi tantangantantangan reintegrasi (Barron and Burke, 2008). Nazamuddin (2008) berpendapat bahwa tantangan utama dalam pelaksanaan reintegrasi bagi para mantan pejuang GAM adalah lapangan kerja, di mana 75 persen anggota GAM yang kembali ke kampung halaman masih menganggur pada tahun 2006 (World Bank, 2006c), sehingga mereka bergantung pada sanak keluarganya. Meskipun sebagian besar dari mereka telah kembali bekerja, banyak yang melakukan pekerjaan terkait dengan rekonstruksi pasca tsunami, sehingga menimbulkan potensi masalah setelah berakhirnya program tersebut (MSR, 2009). Naiknya tingkat kekerasan yang baru-baru ini terjadi menunjukkan bahwa stabilitas dan perdamaian Aceh tidak dapat dianggap mudah (World Bank, 2009; ICG, 2009). Laporan ini berupaya menguraikan berbagai macam dampak yang ditimbulkan oleh komflik pada struktur perekonomian masyarakat Aceh dan bagaimana sisa-sisa peperangan terus membentuk insentif untuk investasi dalam masa pasca-konflik. Kotak1 Menguraikan dampak-dampak tsunami, rekonstruksi, dan berakhirnya konflik terhadap pertumbuhan Setiap analisis tentang perekonomian Aceh setelah tsunami dan berakhirnya konflik akan menghadapi suatu tantangan: muara dari serangkaian kejadian-kejadian dramatis yang berdampak besar pada perekonomian, sehingga pengidentifikasian penyebab-penyebab dan dampak-dampak sangat sulit untuk dilakukan. Laporan ini, yang berupaya menganalisis pertumbuhan dan hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan, menghadapi masalah yang serupa. Pada tahun 2004, perekonomian mengalami penurunan, karena konflik yang berkepanjangan dan menipisanya cadangan gas. Pada bulan Desember 2004, gempa bumi yang dahsyat dan tsunami menghancurkan Aceh. Kerusakan dan kerugian, diperkirakan sebesar AS$4,5 milyar, diperhitungkan mencapai 80 persen dari PDB Aceh. Bantuan dan upaya rekonstruksi yang luar biasa dimulai tidak lama setelah itu, dengan lebih dari AS$7 milyar dialokasikan untuk Aceh dalam jumlah tahun yang terbatas. Hal tersebut menyebabkan kaitan ke belakang (backward linkage) dengan sektor-sektor lain dalam perekonomian, terutama di sejumlah sektor seperti perdagangan, transportasi, dan konstruksi. Berakhirnya konflik pada bulan Agustus 2005 memungkinkan banyak masyarakat Aceh untuk kembali melakukan kegiatan sehari-harinya dan kembali bekerja. Analisis atas dampak dari setiap kejadian tersebut pada pertumbuhan merupakan analisis yang rumit, mengingat singkatnya jangka waktu di mana semua hal tersebut terjadi. Laporan ini akan berupaya untuk melakukan hal tersebut dengan menggunakan serangkaian indikator untuk menidentifikasi daerah-daerah di Aceh yang terutama terdampak oleh tsunami, upaya rekonstruksi, atau oleh dinamika konflik. Walaupun tidak sempurna, pendekatan tersebut telah berhasil digunakan di masa lalu (misalnya, World Bank, 2008b). Walaupun demikian, hasil-hasilnya harus ditafsirkan secara seksama mengingat mutu data dan kesulitan-kesulitan untuk menguraikan dampak-dampak dari kejadiankejadian yang berbeda tersebut.
5
8
Laporan ini menganalisis secara mendalam dampak konflik terhadap investasi dan pertumbuhan. Walaupun konflik merupakan inti dari berbagai masalah yang dihadapi oleh Aceh pada saat ini, penting pula untuk mengakui bahwa Aceh bukanlah lingkungan pasca konflik yang biasa. Aceh merupakan bagian dari suatu negara yang cukup besar, yang menawarkan tingkat stabilitas politik dan ekonomi yang tinggi, serta pasar dalam negeri yang besar. Terkait dengan hal tersebut, kebanyakan persoalan tersebut yang dapat mempengaruhi perekonomian pasca konflik yang lain (lemah atau gagalnya negara, ketergantungan pada donor dan bantuan) sebagian besar tidak berlaku terhadap Aceh (lihat Barron, 2009).
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
02
Metodologi Laporan ini menggunakan kerangka diagnosa pertumbuhan yang dikembangkan oleh Hausmann, Rodrik, dan Velasco (2005). Bagian ini menjelaskan metodologi yang akan digunakan untuk mengidentifikasi hambatan yang paling utama terhadap pertumbuhan, serta bagaimana metodologi ini disesuaikan dengan kondisi khusus di Aceh. Kerangka diagnosa pertumbuhan memberikan suatu kerangka kerja untuk mengidentifikasi, di antara begitu banyak masalah yang mungkin melanda suatu perekonomian yang menjadi penghambat utama pertumbuhan, dan harus menjadi fokus utama dari suatu kebijakan ekonomi. Pendekatan ini mengakui bahwa konteks-konteks negara atau daerah tertentu memerlukan tindakan kebijakan yang berbeda untuk diterapkan. Selain itu, pendekatan ini mengakui kenyataan bahwa pemerintah seringkali memiliki modal politik yang terbatas dan tidak dapat melakukan reformasi besar-besaran yang sering bersifat kontraproduktif. Tujuan diagnosa ini adalah untuk mengidentifikasi hambatan(-hambatan) yang utama terhadap pertumbuhan yang bersifat khusus dalam kasus yang diteliti dan yang harus menjadi target reformasi. Tidak ada cara kuantitatif lain untuk mengukur semua hambatan potensial berdasarkan seberapa besarnya hambatan-hambatan tersebut, namun suatu kombinasi analisis ekonomi dan pemahaman tentang keadaan ekonomi di provinsi ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi hambatan yang paling utama.6 Pemahaman tentang konteks sosial-politik setempat juga dapat membantu dalam penentuan prioritas rekomendasi-rekomendasi tentang hal-hal yang perlu direformasi. Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan dapat digunakan untuk memahami bagaimana situasi konflik atau pasca konflik dapat mempengaruhi investasi dan pertumbuhan. Pilihan metodologi ini juga didorong oleh keinginan tim untuk menguji persepsi yang tersebar luas dan berdasarkan intuisi bahwa bagaimanapun juga konflik pasti terkait dengan hambatan-hambatan yang paling mengikat di Aceh. Pendekatan diagnosa pertumbuhan ini mempertimbangkan setiap kategori hambatan untuk menentukan apakah dan bagaimana suatu kategori telah dipengaruhi oleh konflik, dan bagaimana sisasisa konflik terus mempengaruhinya. Apakah konflik merupakan suatu masalah bagi investasi karena dalam suatu lingkungan pasca-konflik, masyarakat khawatir akan keamanan mereka dan keamanan aset mereka, atau karena beberapa prasarana penting telah hancur selama terjadinya konflik, atau hanya karena masyarakat percaya bahwa konflik akan berkobar kembali dan mereka akan kehilangan semua investasi mereka. Pendekatan diagnosa pertumbuhan dapat membantu dalam memberikan suatu penilaian atas kebutuhan yang lebih terkait dengan konteks setempat, di mana, pada akhirnya, dapat membantu meningkatkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan. Kerangka kerja tersebut perlu disesuaikan untuk menganalisis hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan di daerah pasca-konflik pada tingkat daerah. Pertama, kerangka kerja tersebut dikembangkan untuk menganalisis hambatan-hamatan terhadap pertumbuhan pada tingkat nasional. 6
Suatu gambaran kerangka yang lebih terperinci serta jenis analisis ekonomi yang digunakan untuk mengidentifikasi hambatanhambatan yang mengikat dapat ditemukan di dalam Hausmann, 2008.
9
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Metodologi
Penerapan kerangka kerja tersebut pada tingkat daerah menimbulkan beberapa tantangan teoretis dan metodologis. Mungkin kenyataannya adalah bahwa hambatan yang mengikat terletak di suatu daerah yang bukan di bawah kendali provinsi, seperti kebijakan moneter atau aturan nilai tukar. Dalam keadaan seperti demikian, walaupun kebijakan-kebijakan yang menyebabkan timbulnya hambatan yang mengikat tersebut berada di luar kendali provinsi, namun provinsi masih dapat bertindak untuk mengurangi akibat-akibat dengan kebijakan-kebijakan “terbaik kedua”. Data yang tersedia pada tingkat daerah lebih sedikit dibandingkan yang tersedia di tingkat nasional, sehingga analisis menjadi lebih sulit. Akan tetapi, kerangka kerja ini akan relatif lebih tepat untuk kasus-kasus di mana data dengan kualitas yang baik sukar didapatkan. Untuk menganalisis dampak konflik terhadap investasi, maka konflik tersebut akan diintegrasikan dengan dua cara yang berbeda. Laporan ini menganalisis dampak langsung yang ditimbulkan oleh konflik terhadap insentif-insentif untuk berinvestasi, karena para investor memperhitungkan kemungkinan terjadinya kembali konflik, sehingga mengurangi hasil-hasil sosial dari investasi. Para calon investor mungkin mengkaitkan Aceh dengan risiko yang lebih tinggi, khususnya risiko terjadinya kembali konflik, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan timbulnya faktor diskon yang lebih tinggi yang dibuat oleh para investor dalam investasi di Aceh atau penjatahan kredit oleh bank-bank. Konflik dapat juga mempengaruhi insentif-insentif masyarakat untuk berinvestasi dengan berbagai cara yang tidak langsung sebagai akibat dari jumlah modal manusia (human capital) yang lebih sedikit dan prasarana yang tidak terawat, struktur pemerintahan dan kekuasaan yang paralel yang menciptakan ketegangan-ketegangan dan masalah-masalah keamanan, serta suatu lingkungan usaha yang tidak kondusif. Terdapat permasalahan tentang suatu perekonomian pasca-konflik yang tidak dapat sepenuhnya ditangkap dengan menggunakan kerangka kerja ini, termasuk “besarnya jumlah aktor-aktor politik yang bersaing atau keberadaan lembaga-lembaga negara dan daerah (tradisional) yang bersaing” (Ulloa, 2008). Namun demikian, kerangka kerja tersebut memberikan suatu metode yang terstruktur untuk mempertimbangkan serangkaian mekanisme yang mungkin digunakan untuk bagaimana konflik dan dampak-dampaknya menentukan bentuk peluang-peluang untuk investasi dan pertumbuhan. Kerangka yang telah disesuaikan tersebut dijelaskan dalam Gambar 2. Gambar 2 Kerangka kerja, yang diadaptasi dari Hausmann, Rodrik dan Velasco (2005) Rendahnya tingkat investasi swasta dan wirausaha
Biaya keuangan yang besar
Rendahnya pendapatan dari aktivitas ekonomi
Rendahnya pendapatan sosial
Rendahnya appropriability
Kurangnya Kegagalan keamanan - resiko pemerintah
yang tidak baik
Infrastruktur tidak baik
Rendahnya SDM
Resiko mikro: hak bangunan, korupsi, perpajakan
Rendahnya Keuangan lokal yang kurang baik Tabungan domestik + Keuangan internasional yang kurang baik Kegagalan pasar Rendahnya kompetisi
Bagian luar Bagian luar informasi: koordinasi Resiko makro: “ self-discovery” keuangan, moneter,
Resiko besar
Biaya besar
Analisis ini menerapkan suatu pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi apa saja yang dapat menghambat pertumbuhan dan investasi. Analisis tersebut dilakukan mulai dari tingkat yang paling atas dari diagram pohon di atas dan kemudian terus turun ke tingkat yang lebih rendah, sambil
10
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
berupaya pada setiap tahap untuk mengidentifikasi apa saja yang menghambat investasi sektor swasta. Setiap cabang menggambarkan potensi “gejala” atau “penyakit” perekonomian yang dapat memberikan penjelasan tentang tingkat-tingkat investasi swasta dan kewirausahaan yang rendah. Pertanyaan yang harus dijawab pada tahap ini adalah apakah hambatan yang mengikat tersebut adalah rendahnya tingkat manfaat bagi kegiatan ekonomi atau biaya kredit yang tinggi. Apabila hambatan yang mengikat tersebut adalah rendahnya tingkat manfaat, apakah masalahnya terletak pada manfaat sosial (karena kurangnya faktor-faktor pelengkap seperti geografi, sumber daya manusia, atau prasarana yang baik) atau kesulitan yang dihadapi pihak-pihak swasta untuk memberikan manfaat tersebut (karena kegagalankegagalan pemerintah atau pasar)? Apabila permasalahannya adalah tingginya biaya kredit, maka apakah permasalahannya adalah simpanan yang rendah atau sistem keuangan dalam negeri yang buruk di mana fungsi intermediasi tidak berjalan secara efisien? Untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan yang paling mengikat, seseorang harus menjalani suatu proses yang berulang: yakni diagnostik pertumbuhan itu sendiri. Bagian-bagian dalam laporan ini sesuai dengan berbagai cabang pohon yang menganalisis apa yang dapat menjadi hambatan-hambatan utama terhadap pertumbuhan di Aceh. Laporan ini mendalilkan bahwa konflik yang melanda Aceh selama lebih dari suatu generasi menimbulkan dampak negatif terhadap pertumbuhan di provinsi Aceh dalam berbagai bentuk, yang digambarkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 1 Bagaimana konflik mepengaruhi perekonomian? Kategori 1. Sumber daya manusia yang rendah
Mekanisme • Banyaknya korban jiwa akibat bencana atau konflik • Kerusakan pada sistem pendidikan • Ketidakhadiran para guru selama terjadinya konflik • Keahlian-keahlian yang tertinggal dari pembaharuan • Perpindahan-perpindahan penduduk secara terpaksa sebagai akibat dari konflik • Perpindahan keluar para tenaga ahli 2. Prasarana yang buruk • Pemberian layanan publik setempat yang buruk • Kerusakan langsung terhadap prasarana • Kurangnya pemeliharaan terhadap sarana publik 3. Risiko-risiko mikro • “Pajak-pajak” ilegal yang dikenakan kepada usaha-usaha karena pemerasan yang dilakukan para mantan pejuang GAM • Lembaga-lembaga pemerintah yang tidak berdaya • Korupsi 4. Risiko-risiko kredit yang • Risiko pengambilalihan atau kerusakan apabila konflik berlanjut tinggi • Kemungkinan kecenderungan kemerosotan ekonomi yang lebih besar karena situasi keamanan 5. Biaya kredit yang besar • Pajak-pajak ilegal • Biaya pemantauan yang tinggi
Penelitian ini menggunakan sumber-sumber data kualitatif dan kuantitatif untuk mengidentifikasi hambatan(-hambatan) pertumbuhan utama. Karena tsunami dan konflik horizontal, terdapat banyak penelitian yang dilakukan atas Aceh dan ada banyak literatur tentang provinsi ini. Penelitian ini berdasar pada sebagian dari penelitian yang sudah ada sebelumnya ini, yang digunakan untuk mengembangkan hipotesis-hipotesis dan untuk memperluas pemahaman-pemahaman tentang temuan-temuan kuantitatif. Terkait dengan data kuantitatif, penelitian ini mengandalkan sumber-sumber data standar seperti BPS (Biro Pusat Statistik) dan BI (Bank Indonesia) untuk sebagian besar indikator-indikator makroekonomi dan keuangan yang digunakan. Meskipun sebagian besar dari data-data tersebut tersedia untuk Aceh, beberapa indikator tidak tersedia atau tidak dapat cukup dipercaya (lihat Kotak 2 untuk perincian-perincian lebih lanjut). Penelitian ini juga menggunakan dua set data tertentu tentang Aceh, yaitu: Survei pemerintahan ekonomi daerah Aceh yang dilakukan oleh The Asia Foundation / KPPOD dan Aceh Reintegration and Livelihood Surveys (ARLS). Survei-survei tersebut mencakup informasi sosial
11
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Metodologi
dan ekonomi pada tingkat perusahaan atau perorangan yang membantu menguraikan mekanismemekanisme mikroekonomi yang mendasari perekonomian masyarakat Aceh, serta fokus pada kelompokkelompok tertentu, contohnya untuk menyelidiki masalah-masalah yang terkait dengan pertumbuhan yang inklusif. Analisis ini difokuskan pada upaya untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan utama terhadap pertumbuhan yang inklusif. Laporan ini terkait dengan pertumbuhan secara inklusif dan berkesinambungan. Dengan demikian, fokusnya terletak pada pertumbuhan ekonomi yang memiliki basis yang luas di semua sektor dan mencakup mayoritas angkatan kerja, khususnya masyarakat miskin sebagai produsen. Sifat inklusif tersebut merujuk kepada kesetaraan peluang terkait dengan akses terhadap pasar, sumber daya, dan suatu lingkungan pengaturan yang tidak memihak bagi usaha dan individu. Analisis atas pertumbuhan yang inklusif difokuskan pada laju dan pola pertumbuhan, karena penurunan kemiskinan yang berkesinambungan memerlukan suatu jenis pertumbuhan yang memungkinkan masyarakat untuk memberikan kontribusi kepada dan mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga mencakup upaya untuk menyelidiki peluang kerja (employability) masyarakat miskin, serta peluang-peluang bagi mereka untuk dipekerjakan (World Bank, 2008f ). Untuk menilai peluang kerja masyarakat miskin, diperlukan suatu analisis atas persediaan modal manusia yang dimiliki oleh masyarakat (pendidikan dan kesehatan), kemampuan mereka untuk mendapatkan keterampilan dan kemampuan mereka untuk memasuki pasar tenaga kerja di mana mereka dapat memperoleh pendapatan dengan menggunakan keterampilan mereka. Pilar kedua dari pertumbuhan yang inklusif, yaitu peluang kerja, yang bergantung kepada sektor swasta yang dapat menawarkan peluang kerja. Dengan demikian, meneliti pertumbuhan yang inklusif secara tidak langsung menyiratkan upaya untuk meneliti sisi persediaan tenaga kerja (masyarakat miskin dan keterampilan mereka), serta sisi permintaan tenaga kerja (perusahaan dan investor). Sebuah kerangka kerja pertumbuhan yang inklusif untuk menganalisis hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan mungkin merupakan hal yang penting khususnya untuk Aceh, karena ketimpangan yang sistematis pada peluang dapat menggelincirkan proses pertumbuhan dengan adanya konflik (Komisi Pertumbuhan dan Pembangunan – Commission on Growth and Development, 2008). Perhatian yang terkait dengan pertumbuhan yang inklusif diejawantahkan dalam tiga bidang utama. Bidang-bidang tersebut adalah: fokus pada sektor-sektor yang padat karya, seperti pertanian atau perdagangan kecil; penilaian tentang lingkungan usaha dan peluang-peluang-peluang untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam lingkungan usaha tersebut; serta pemahaman tentang dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat karena konflik pada tingkat individu. Tabel di bawah ini menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2008, jumlah orang yang bekerja telah mengalami penurnan sampai dengan lebih dari 100.000 orang. Jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian dan perdagangan telah berkurang, sementara sektor-sektor lain tidak mampu menciptakan pekerjaan dengan laju yang sama. Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah bahwa sebagian besar dari lapangan kerja yang tercipta (transportasi, konstruksi) yang terkait dengan upaya rekonstruksi juga mempekerjakan sebagian besar dari para mantan pejuang GAM. Oleh karena itu, berakhirnya rekonstruksi dapat disertai dengan penurunan lapangan kerja di Aceh. Upah bulanan rata-rata memberikan cerminan yang jelas tentang nilai tambah per pekerja dalam sektor tersebut, di mana sektor pertanian dan perdagangan memiliki nilai tambah per pekerja yang sangat rendah (terkecuali sektor jasa, yang kebanyakan termasuk layanan umum). Peningkatan pada penghidupan masyarakat yang bekerja dalam sektor pertanian dan perdagangan eceran sebagian besar akan hanya dapat tercapai dengan mengalihkan kedua sektor tersebut ke dalam kegiatan-kegiatan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Bagian berikut ini akan meninjau fakta-fakta terhadap hambatan-hambatan yang paling utama terhadap pertumbuhan yang inklusif.
12
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Tabel 2 Penciptaan lapangan kerja di Aceh Jumlah pekerjaan
Pertanian Pertambangan Industri Utilitas Bangunan Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa Total
2002
2004
2006
2008
1.081.568 9.617 77.687 757 34.182 293.587 47.371 9.720 178.772 1.733.261
906.046 8.914 51.613 8.486 62.879 231.855 59.849 5.687 187.175 1.522.504
866.334 7.670 72.497 5.322 74.402 215.668 69.078 3.343 224.180 1.538.494
876.092 14.085 72.180 3.387 103.749 232.606 60.528 8.907 246.088 1.617.622
Pertumbuhan ratarata 2002-08 (%) -3,5 6,6 -1,2 28,4 20,3 -3,8 4,2 -1,4 5,5 -1,1
Upah bulanan ratarata 2008 (jutaan Rp) 0,64 1,50 0,92 1,03 1,02 0,90 1,10 1,92 1,30
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia
13
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
03 Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh Aceh memiliki tingkat pertumbuhan yang negatif hampir di sepanjang dasawarsa ini, sebagian sebagai akibat dari menipisnya cadangan gas alam. Bagian ini bertujuan untuk memberikan suatu pemahaman yang lebih baik tentang pola-pola pertumbuhan dan investasi di Aceh, yang diperlukan untuk diagnosis atas hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan dan investasi. Pertumbuhan ekonomi tanpa sektor migas tumbuh dengan laju yang relatif rendah (dan lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional) hingga upaya-upaya rekonstruksi tsunami dimulai (Gambar 3). Rendahnya tingkat pertumbuhan perekonomian non-migas sebagian disebabkan oleh konflik yang melanda Aceh sampai terjadinya tsunami. Aceh merupakan provinsi yang relatif makmur di Indonesia pada tahun 1970-an dan sampai awal tahun 1980-an, namun sejak saat itu perekonomian Aceh terlihat sulit untuk tumbuh. Sementara daerah lain di Indonesia telah pulih dari krisis keuangan tahun 1997, Aceh terus menunjulkan tingkat pertumbuhan yang rendah atau negatif selama jangka waktu tersebut, yang membuatnya menjadi salah satu dari daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, yaitu 23,5 persen pada tahun 2008. Gambar 3 Aceh telah mengalami pertumbuhan dengan laju yang lebih lambat dibandingkan Indonesia hampir di sepanjang dasawarsa ini Perbandingan pertumbuhan ekonomi non migas per kapita 10.0%
5.0%
0.0%
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
-5.0%
-10.0%
-15.0%
-20.0% Aceh
Indonesia
Sumber: BPS dan perhitungan oleh staf Bank Dunia
Kinerja ekonomi Aceh pra-tsunami ditandai oleh konflik serta menipisnya cadangan-cadangan minyak dan gas di pantai timur Aceh.7 Pada tahun 2003, minyak dan gas serta usaha manufaktur terkait menyumbangkan lebih dari 50 persen dari PDB Aceh. Jumlah ini telah merosot sampai kurang dari 20 7
Cadangan minyak dan gas menipis dengan cepat, namun hanya ada sedikit investasi dalam eksplorasi yang baru. Hanya ada sedikit investasi baru dalam sektor minyak, gas dan pertambangan selama lebih dari satu dasawarsa di seluruh Indonesia, meskipun terdapat ledakan yang berkesinambungan untuk komoditas tersebut di seluruh dunia. Sebuah catatan terbaru yang dibuat oleh World Bank dan IFC (2008) mengidentifikasikan beberapa hambatan utama bagi lingkungan usaha dalam sektor ini. Penemuan-penemuan baru di Aceh dapat memberikan tambahan pendapatan yang, apabila dibelanjakan dengan bijaksana, akan meredam proyeksi penurunan dana dari pembagian pendapatan dan upaya rekonstruksi.
15
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh
persen sampai dengan tahun 2008. Penurunan produksi gas menimbulkan dampak negatif terhadap industri yang bergantung pada ketersediaan gas dengan harga yang murah dan terletak berdekatan dengan ladang-ladang gas, seperti pupuk, kertas atau bahan-bahan kimia. Akan tetapi, karena industri gas dan industri-industri terkait di sekitar Lhokseumawe memiliki sedikit keterkaitan dengan bagian lain dari perekonomian ,8 dampaknya mungkin dapat dirasakan terutama pada tingkat makro. Porsi pertanian, yang menyumbangkan 17 persen dari PDRB pada tahun 2003, meningkat menjadi 25 persen pada tahun 2008, secara signifikan lebih tinggi daripada porsinya pada tingkat nasional sebesar 14 persen. Sekitar setengah dari semua produksi pertanian adalah tanaman pangan, di mana 20 persen lainnya adalah tanaman non-pangan (perkebunan), khususnya kopi, cokelat, minyak sawit, dan sedikit tanaman perkebunan lainnya. Sebelum tsunami, tanaman non-pangan dan perikanan memberikan sumbangan terbesar untuk pertumbuhan dalam sektor ini, sementara pasca-tsunami sebagian besar pertumbuhan dalam sektor pertanian berasal dari sektor tanaman non-pangan. Tabel 3 Pertumbuhan ekonomi di Aceh Persen9 Pertanian, kehutanan, dan perikanan Pertambangan dan penggalian9 Minyak dan gas Penggalian Industri manufaktur Industri minyak dan gas Industri non-minyak and gas Listrik, gas, dan air (utilitas) Bangunan Perdagangan, hotel, dan rumah makan Transportasi dan komunikasi Keuangan Jasa PDB Aceh PDB Aceh non migas PDB Indonesia PDB Indonesia non-minyak dan gas
2004 6,0 -24,0 -24,4 7,3 -17,8 -11,6 -37,3 19,5 0,9 -2,6 3,6 19,4 20,1 -9,6 1,8 5,0 6,0
2005 -3,9 -22,6 -23,0 0,8 -22,3 -26,2 -5,1 -2,0 -16,1 6,6 14,4 -9,5 9,7 -10,1 1,2 5,7 6,6
2006 1,5 -2,6 -4,3 78,8 -13,2 -17.3 1,1 12,0 48,4 7,4 10,9 11,7 4,4 1,6 7,7 5,5 6,1
2007 3,6 -21,6 -22,5 2,0 -10,1 -16,7 8,6 23,7 13,9 1,7 10,9 6,0 14,3 -2,5 7,0 6,3 6,9
2008* 0,8 -44,7 -47,0 -0,2 -4,2 -7,8 3,6 12,7 -0,9 4,6 1,4 5,2 1,2 -8,3 1,9 5,9 6,4
Sumber: BPS. *Angka-angka pendahuluan.
Perekonomian pasca-tsunami Aceh didominasi oleh aliran masuk dana rekonstruksi dalam jumlah besar. Sebagian besar dari pertumbuhan pada tahun 2006 dan 2007 terjadi dalam sektorsektor yang terkait erat dengan upaya rekonstruksi, seperti konstruksi, perdagangan dan transportasi, walaupun pertanian juga telah tumbuh dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat upaya rekonstruksi berakhir, pertumbuhan mulai melambat dan angka-angka awal untuk tahun 2008 menunjukkan suatu 8
McGibbon (2006) berpendapat bahwa upaya-upaya pemerintah untuk membangun Aceh gagal sehingga pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tersebut terpusatkan pada pengembangan sebuah daerah di sekitar Lhokseumawe yang memiliki sedikit keterkaitan dengan daerah lainnya di provinsi tersebut.
9
Perekonomian Aceh telah mengalami perubahan yang signifikan selama beberapa tahun terakhir. Tsunami, upaya rekonstruksi yang besar serta menipisnya cadangan minyak dan gas secara signifikan menyulitkan perluasan statistik daerah, khususnya pada sisi produksi. Sebagian dari laju pertumbuhan yang dilaporkan, seperti penurunan minyak dan gas yang hampir 50 persen pada tahun 2008, tampaknya tidak sesuai dengan data dari sumber-sumber lain (seperti data produksi dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral). Ketidakkonsistenan ini mungkin merupakan akibat dari data pengurang yang digunakan untuk memperkirakan laju pertumbuhan. Sebuah perbandingan tentang pengurang-pengurang yang dimaksud secara tak langsung di tingkat Aceh dan nasional menunjukkan perbedaan-perbedaan yang besar yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh perbedaan-perbedaan tingkat inflasi. Menggunakan pengurang yang sama di Aceh seperti yang digunakan di daerah lainnya di Indonesia akan menunjukkan suatu penurunan dalam pertanian yang nyata dan suatu penurunan yang agak lebih lambat di sektor pertambangan pada tahun 2008. Meskipun terjadi ketidakkonsistenan-ketidakkonsistenan dalam deretan PDB, kecenderungan-kecenderungan besar yang dibahas dalam bab ini tetap valid.
16
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
perlambatan yang signifikan dalam sektor-sektor yang sebelumnya digerakkan oleh upaya rekonstruksi, dengan penurunan pada perekonomian sebesar lebih dari 8 persen (non migas). Usaha manufaktur non-migas masih relatif tidak terlalu besar, hanya kurang dari 5 persen dari PDRB (apabila dibandingkan dengan 22 persen pada tingkat nasional). Sebagian besar usaha manufaktur adalah usaha skala kecil dan hanya melayani pasar setempat. Hanya ada empat perusahaan yang relatif besar dalam sektor industri di Aceh, kebanyakan terkait dengan ketersediaan gas murah (pupuk, kertas), serta sebuah pabrik semen dekat Banda Aceh. Semuanya adalah industri-industri padat modal yang memiliki sedikit keterkaitan dengan bagian lain dari perekonomian. Meskipun konflik mempengaruhi provinsi ini secara keseluruhan, intensitasnya terlokalisir dan oleh karena itu tidak mempengaruhi semua wilayah secara merata. Ibu kota provinsi dan pantai barat paling sedikit mengalami dampak konflik, meski demikian beberapa usaha-usaha swasta di kotakota juga mengalami pemerasan. Daerah-daerah terpencil yang fokus pada pertanian, khususnya di pedalaman, lebih terdampak oleh konflik, sehingga menyebabkan beberapa petani tidak dapat merawat lahannya. Eksploitasi gas mengalami dampak yang sangat besar pada tahun 2001 ketika situasi keamanan memburuk. Konflik juga mungkin mempunyai dampak yang berbeda pada faktor-faktor produksi yang digunakan secara intensif dalam berbagai sektor. Para pekerja yang cakap merasa lebih baik meninggalkan Aceh dan mencari kesempatan-kesempatan di luar Aceh, yang mungkin memiliki dampak yang lebih besar pada kegiatan-kegiatan yang bernilai lebih tinggi yang membutuhkan pekerja-pekerja terampil dalam jumlah lebih besar. Sektor-sektor yang lebih spesifik dalam hal lokasi, seperti perkebunan, mungkin lebih mudah menjadi sasaran kelompok-kelompok bersenjata, sementara pemerasan atau perusakan lebih sulit dilakukan pada usaha-usaha yang dapat dengan mudah berpindah tempat, seperti para pedagang atau pada perusahaan-perusahaan jasa angkutan. Tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dapat secara drastis menurunkan kemiskinan, khususnya apabila pertumbuhan ini mencakup mayoritas penduduk Aceh. Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang memihak kepada masyarakat miskin sejak tahun 1970 (World Bank, 2006a) namun perkekonomian Aceh tetap tertinggal karena perekonomian yang tumbuh secara lambat selama tahuntahun terjadinya konflik dan karena sebagian besar dari pertumbuhan tersebut adalah dalam sektor minyak dan gas bumi. Tidak semua jenis pertumbuhan memiliki manfaat yang sama bagi masyarakat miskin: contohnya, pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada industri-industri ekstraksi mineral jarang mengalir ke bawah ke masyarakat miskin yang dapat meningkatkan penghidupan mereka. Pertumbuhan yang memihak kepada masyarakat miskin mencakup berinvestasi dalam aset-aset manusia dan fisik termasuk pengurangan biaya-biaya transaksi. Tiga perubahan besar pada penghidupan masyarakat Indonesia timbul karena perubahan-perubahan tersebut dan turut membantu masyarakat Indonesia untuk keluar dari kemiskinan: mata pencaharian telah mengalami perubahan dari pertanian bernilai rendah menjadi pertanian yang bernilai lebih tinggi, dari pertanian menjadi non-pertanian dan dari kegiatan-kegiatan yang berbasis pedesaan menjadi berbasis perkotaan (World Bank, 2006a). Di Aceh, perubahan-perubahan tersebut serta laju pertumbuhan yang lebih tinggi dapat menimbulkan dampakdampak positif yang sangat besar, seperti ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel tersebut menggambarkan sembilan skenario dengan tingkat pertumbuhan per kapita dan elastisitas pertumbuhan kemiskinan10 (PEG) yang berbeda. PEG mengukur bagaimana pertumbuhan ekonomi mewujudkan penurunan kemiskinan. Nilai-nilai dalam tabel tersebut berkisar dari nilai yang saat ini dimiliki masayarakat Aceh, -1,4, sampai -2.6, yang merupakan nilai tertinggi yang dicapai oleh Indonesia selama periode 1984 - 1999, dan merupakan suatu skenario kasus terbaik (World Bank, 2008a dan 2006a). Berawal dari suatu tingkat kemiskinan sebesar 23,5 persen, pertumbuhan selama lima tahun dengan laju rata-rata sebesar 2 persen per tahun dan sehingga PEG sebesar -1,4 akan menurunkan kemiskinan sampai 20,4 persen. Akan tetapi, apabila pertumbuhan akan mencapai 4 persen dan PEG sebesar -2, kemiskinan akan berkurang sampai 15,5 persen dalam 5 tahun. 10 Rasio perubahan persentase tingkat kemiskinan terkait dengan perubahan persentase pendapatan per kapita. Sebuah PEG sebesar -1,4 berarti bahwa satu titik persentase pertumbuhan mewujudkan suatu penurunan tingkat kemiskinan sebesar 1,4 persen.
17
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh
Tabel 4 Proyeksi tingkat kemiskinan Aceh dalam lima tahun, (angka pada tahun 2008) Persen Pertumbuhan yang lebih tinggi Pertumbuhan yang lebih inklusif
Laju pertumbuhan PEG -1.4 -2.0 -2.6
2%
4%
20.39 17.62 19.16 15.49 17.99 13.57
7%
14.03 11.06 8.61
Catatan: Menggunakan tingkat dasar sebesar 23,5% (tingkat kemiskinan pada tahun 2008) Sumber: Perkiraan-perkiraan Bank Dunia berdasarkan World Bank, 2006a dan World Bank, 2008a.
Upaya untuk menarik minat investasi swasta merupakan kunci untuk memodernisasikan perekonomian Aceh, meningkatkan produktivitasnya dan penghematan biaya poduksi dari skala usaha. Kelangkaan data tentang volume investasi swasta yang relatif rendah menunjukkan suatu konsentrasi dalam sektor-sektor pengembangan perkebunan, perikanan, pertambangan, perdagangan, dan pariwisata (ATAP, 2007; IFC, 2008). Hampir 50 pesen dari semua perusahaan bergerak dalam sektor pertanian, suatu indikasi tentang keunggulan komparatif provinsi Aceh. Sebagian besar investasi baru pada tahun 2006 juga ddilakukan dalam sektor pertanian dan sebagian kecil dalam sektor perdagangan. Sebagian besar dari semua usaha yang informasinya tersedia telah menghentikan kegiatan operasional untuk sementara waktu sampai dengan tahun 2006, yang disebabkan oleh konflik dan tsunami. Kecilnya jumlah investasi swasta merupakan sebagai hambatan terhadap pertumbuhan. Aceh tertinggal dari provinsi-provinsi lainnya dalam hal menarik investasi dan hal ini mendorong ke arah kinerja pertumbuhan provinsi yang relatif buruk. Rasio kredit terhadap PDB di Aceh merupakan yang terendah kedua di Indonesia (lihat bagian tentang akses terhadap kredit), yang menggambarkan tingkat investasi sektor swasta yang relatif rendah. Kotak 2 Data Investasi Tidak ada data yang cukup akurat tentang investasi swasta di Aceh, yang merupakan suatu tantangan yang cukup besar untuk setiap jenis analisis atas investasi. Data tentang investasi swasta yang dikumpulkan oleh Bank Indonesia, BPS dan Bainprom menunjukkan ketidakkonsistenan dan terdapat permasalahan-permasalahan metodologi yang berarti. Meski demikian, semua bukti yang tersedia menunjukkan tingkat investasi yang relatif rendah. Penelitian yang baru-baru ini dilakukan atas perekonomian Aceh dan iklim investasinya (IFC, 2008) berdasar pada analisis rantai nilai yang dilakukan dalam beberapa komoditas dan menyoroti kurangnya investasi swasta yang diperlukan untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas produksi serta meningkatkan produktivitas. Data Pembetukan Modal Dalam Negeri Bruto yang dikeluarkan oleh BPS hanya akan mencakup proyek-proyek investasi besar yang dilakukan dengan dana-dana masyarakat sebagai bagian dari upaya rekonstruksi, yang menunjukkan investasi swasta yang sangat kecil yang menambah persediaan modal di provinsi ini. Data Bank Indonesia tentang kredit menunjukkan bahwa Aceh mempunyai rasio PDB kredit/non-minyak dan gas terendah kedua di seluruh Indonesia, yang mengidikasikan rendahnya tingkat investasi di provinsi ini. Dari kredit tersebut, sebagian besar digunakan untuk konsumsi, yang mengindikasikan terbatasnya peran investasi swasta dalam membentuk perekonomian Aceh. Menggunakan volume kredit bank sebagai representasi investasi memiliki beberapa kekurangan, dan salah satu kekurangan yang penting adalah bahwa di negara-negara berpenghasilan rendah bank bukanlah satu-satunya sumber pinjaman untuk usaha, namun para pemberi pinjaman uang, keuntungan sendiri atau bahkan keluarga dan teman-teman seringkali merupakan sumber modal yang penting untuk investasi. Akan tetapi, bukti yang ada menunjukkan bahwa keadaannya tidak seperti itu di Aceh. IFC (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 2006 hampir 50 persen dari semua usaha mikro dan kecil yang mengambil pinjaman, mendapatkan pinjaman dari bank bukan dari para pemberi pinjaman informal atau anggota keluarga. Survei lainnya yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2008 sebanyak 44 persen rumah tangga juga telah mendapatkan pinjamanpinjaman dari bank-bank bukan dari sumber-sumber informal yang lain (Survei Akses Keuangan).
18
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Perhatian khusus terhadap pertumbuhan yang inklusif adalah penting. Hal ini terkait dengan bahwa kebanyakan pertumbuhan dan lapangan kerja yang diciptakan di Aceh beberapa tahun belakangan terkait dengan ketersediaan dana rekonstruksi. Pada saat upaya rekonstruksi berakhir, banyak lapangan kerja yang akan hilang. Pertanian masih merupakan lapangan kerja yang utama di provinsi Aceh, menyerap lebih dari 50 persen dari angkatan kerja. Seiring dengan modernisasi di Aceh, pertanian mungkin akan terus mengurangi jumlah lapangan kerja dan terus mendekati tingkat nasional (41 persen). Sektor-sektor jasa dan manufaktur harus menjadi pengerak penciptaan lapangan kerja yang utama, namun di beberapa daerah lain di Indonesia, hal ini tidak terjadi (World Bank, mendatang). Terdapat beberapa alasan tentang rendahnya lapangan kerja yang tercipta dalam sektor non-pertanian, akan tetapi kenaikan upah nyata yang tinggi dalam sektor-sektor jasa mungkin memberikan sebagian dari penjelasan tentang hal tersebut. Upah yang tinggi mungkin memberikan pengaruh yang lebih besar pada Aceh, seiring dengan kenaikan harga dan upah menjadi lebih tinggi daripada daerah-daerah lain di Indonesia sebagai akibat dari tsunami (Gambar 4). Walaupun reformasi-reformasi di pasar tenaga kerja dapat mengatasi beberapa hambatan penciptaan lapangan kerja yang kebanyakan di luar yurisdiksi pemerintah provinsi, upah minimum regional ditentukan pada tingkat provinsi. Hal ini memberikan pengaruh yang diperlukan pemerintah provinsi untuk menghindari kenaikan upah yang merupakan suatu hambatan terhadap penciptaan lapangan kerja. Gambar 4 Upah minimum provinsi di Aceh telah meningkat lebih dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia Perbandingan UMP Daerah 2004-08 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 Rp 0 2004 Aceh
2005 Lhokseumawe
2006
2007 Sumatera Utara
2008 Nasional
Sumber: BPS.
Suatu strategi pertumbuhan yang inklusif adalah fokus pada upaya untuk merevitalisasi sektor pertanian dan industri-industri padat karya. Diversifikasi tanaman dan kepemilikan usaha kecil selain pertanian merupakan strategi-strategi kunci masyarakat Aceh untuk melepaskan diri dari kemiskinan sebagai akibat dari tsunami (World Bank, 2008a). Hal ini sesuai dengan langkah utama untuk melepaskan diri dari kemiskinan yang terdapat di Indonesia selama tahun 1980-an dan 1990-an (World Bank, 2006a). Salah satu ciri dari pengurangan kemiskinan dalam periode ini adalah transisi masyarakat dari lingkungan pedesaan ke perkotaan dan penciptaan lapangan kerja selain di sektor pertanian. Sampai sejauh ini, hal ini terjadi melalui urbanisasi dari beberapa daerah pedesaan dan integrasi daerah-daerah pedesaan yang ditingkatkan dengan pilar-pilar pertumbuhan perkotaan. Pemerintah Aceh dapat memfasilitasi hubungan masayarakat miskin di pedesaan dengan pilar-pilar pertumbuhan dengan memperbaiki prasarana pedesaan dan akses pasar serta menyediakan insentif untuk peningkatan mobilitas tenaga kerja antara daerah-daerah pedesaan dan perkotaan. Peningkatan dalam produktivitas pertanian dipercayai memberikan kontribusi kepada keberhasilan penurunan kemiskinan yang mengesankan di Indonesia dari tahun 1970-an sampai krisis keuangan tahun 1997. Revitalisasi sektor pertanian masih penting untuk memastikan bahwa masyarakat miskin di Aceh dapat memperoleh keuntungan dari pertumbuhan, karena hampir 30 persen populasi pedesaan di Aceh hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2006 (World Bank, 2008a).
19
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh
Kotak 3 Merevitalisasi Pertanian Aceh Pertanian masih memiliki andil besar dalam PDB non minyak dan gas propinsi Aceh, dan menyediakan lapangan kerja bagi sebagian besar masyarakat. Minat para investor baik investor dalam negeri maupun investor asing di propinsi ini berfokus pada sektor pertanian, baik tanaman perkebunan maupun pengolahan hasil pertanian (agro-processing) (IFC, 2008). Pemerintah Aceh telah mengembangkan sebuah strategi untuk peningkatan ekonomi propinsi ini yang berfokus pada dukungan terhadap serangkaian kelompok komoditas. Oleh karena itu, ada sedikit perdebatan tentang peran utama pertanian dalam pembangunan ekonomi propinsi Aceh dalam waktu dekat. Apa yang diperlukan untuk merevitalisasi pertanian dan menjadikannya mesin pertumbuhan yang inklusif dan berkesinambungan di Aceh? Di daerah lain di Indonesia, terdapat suatu kebutuhan yang mendesak untuk mengorientasikan kembali belanja pemerintah, guna menghilangkan subsidi pasokan bahan kebutuhan swasta (pupuk, bibit, mesin dan pasokan bahan kebutuhan pertanian lainnya) dan untuk meningkatkan penyediaan layanan publik seperti layanan-layanan penyuluhan, irigasi atau mempermudah akses ke pasar-pasar (World Bank, akan segera diterbitkan). Hambatanhambatan yang ditemukan dalam meningkatkan produktivitas pertanian berkaitan dengan kurangnya layanan publik - layanan-layanan penyuluhan, akses terhadap lahan, akses terhadap pasar dan kemunduran sistem irigasi, bukan dengan ketidakmampuan untuk membeli bahan-bahan kebutuhan pertanian. Memang terdapat alasan dalam membantu rumah tangga miskin untuk memulihkan modal fisik dan manusia yang hilang karena tsunami atau konflik, namun hal ini perlu dibatasi dan fokus yang lebih besar harus ditujukan pada upaya untuk menyediakan barang dan layanan publik yang diperlukan. Para petani juga telah mengidentifikasi ketrampilan, akses terhadap teknologi dan kurangnya kredit sebagai hambatan-hambatan dalam meningkatkan produktivitas mereka (World Bank, 2008a). Para calon investor telah mengidentifikasi ketersediaan lahan subur sebagai aset utama di Aceh. Pada saat yang bersamaan, mereka juga menyebutkan kesulitan-kesulitan dalam memperoleh akses terhadap lahan dan bagaimana hal ini dapat menghalangi investasi. Walaupun hak atas tanah merupakan masalah di seluruh Indonesia, masalah tersebut mungkin semakin memburuk di Aceh. Banyak hak atas tanah yang hilang karena tsunami dan ada banyak insiden di mana mantan anggota GAM menuntut kembali tanah-tanah serta banyak lahan yang berada di bawah hak kepemilikan adat yang tidak terdokumentasi, yang mungkin baru diketahui oleh para investor setelah menyewa tanahtanah tersebut. Tidak ada pusat pendaftaran tanah yang dapat digunakan oleh para investor untuk mengidentifikasi lahan-lahan yang tersedia untuk perkebunan komersial, dan sering kali negosiasi dilakukan langsung dengan bupati di daerah yang direncanakan untuk investasi. Sebagai permulaan, para otoritas propinsi dapat mengkoordinasikan informasi penggunaan tanah dan kepemilikan tanah dalam sebuah unit pusat yang akan mempermudah akses bagi para investor terhadap informasi. Kurangnya informasi pasar (khususnya informasi tentang harga) sering kali diidentifikasi sebagai hambatan utama dalam meningkatkan bagian sewa yang menguntungkan para produsen di Aceh dari kegiatan produksi mereka, yang sering kali mendapatkan informasi pasar hanya dari satu penjual (cengkeh, udang). Peningkatan akses bagi para petani terhadap informasi tersebut akan memungkinkan para produsen untuk lebih cepat menanggapi sinyal-sinyal pasar serta mendorong penyediaan pasokan sebagai akibat dari peningkatan laba dari investasi yang dilakukan. Mutu layanan-layanan penyuluhan yang diberikan juga diidentifikasi sebagai bidang yang harus diperhatikan. Terdapat anggapan luas bahwa desentralisasi memberikan dampak negatif terhadap penyediaan layanan-layanan penyuluhan, karena sebagian besar fungsi ini dialihkan ke pemerintah-pemerintah daerah yang tidak selalu menyediakan tenaga dan tingkat layanan-layanan penyuluhan yang memadai. Hal ini tampaknya juga terjadi di Aceh (IFC, 2008). Mengingat fakta bahwa Aceh merupakan wilayah yang cukup terdesentralisasi, peningkatan penyediaan layanan-layanan penyuluhan sepenuhnya berada di tangan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota. Terdapat peningkatan permintaan untuk produk-produk pertanian bernilai lebih tinggi seperti hortikultura atau perternakan sebagai akibat dari meningkatnya permintaan dari pasar-pasar dalam negeri karena Indonesia menjadi lebih kaya dan masyarakat menginginkan jenis makanan yang berbeda-beda, maupun munculnya rantai pasokan global (toko-toko serba ada) yang mencari barang-barang pertanian bernilai lebih tinggi dari negara-negara berkembang. Manfaat yang diperoleh dari tren-tren baru ini tidak timbul begitu saja, dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa sering kali para petani yang lebih besar dan berpendidikan lebih baik adalah pihak-pihak yang mampu berhubungan dan menerima manfaat dari peningkatan permintaan ini (World Bank, 2008e). Pemerintah propinsi memiliki peran yang harus dimainkan, yakni mengorientasikan kembali dukungan pemerintah untuk membantu para petani kecil dan kelompok-kelompok petani untuk mendapatkan akses terhadap rantai nilai global dengan (i) meningkatkan infrastruktur, (ii) mendukung pelatihan petani untuk memenuhi persyaratan mutu dan perlindungan, (iii) memperlengkapi para petani dengan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk mengadakan negosiasi dengan rantai-rantai pasokan besar dan (iv) mendorong penggunaan instrumen-instrumen berbasis pasar untuk mengendalikan risiko-risiko yang meningkat.
20
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
04 Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konflik dan Pasca Konflik di Aceh Untuk menganalisis hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan di Aceh, perlu dilakukan penelusuran atas berbagai dampak yang ditimbulkan oleh konflik terhadap jalannya fungsi ekonomi, dan bagaimana konflik pada gilirannya membentuk pola-pola pertumbuhan dan institusi di era pasca konflik perlu ditelusuri. Secara khusus, pemahaman tentang hubungan antara konflik dan pertumbuhan merupakan hal yang penting, mengingat bahwa beberapa pihak berargumen bahwa cara-cara pengelolaan ekonomi Aceh di masa lalu memiliki kaitan dengan pemberontakan di propinsi tersebut. Dampak konflik pada pertumbuhan dan perkembangan propinsi tersebut telah dan akan terus meluas dan telah dianalisa secara terperinci di bagian-bagian penelitian lainnya (Dawood and Sjafrizal, 1989; Nazamuddin, 2008). Studi ini berfokus pada dampak konflik pada hambatan-hambatan terhadap investasi sektor swasta dan pertumbuhan ekonomi dari sudut pandang yang cukup sempit – namun yang justru merupakan kuncinya. Studi ini tidak berupaya menganalisa secara mendalam pengaruh yang ditimbulkan konflik pada pertumbuhan melalui jalur-jalur lainnya — yaitu antara lain memburuknya mutu lembaga-lembaga pemerintah atau putusnya jaringan-jaringan sosial.11 Walaupun ini berarti bahwa hasil analisis dan temuan tersebut tidak mempertimbangkan unsur-unsur penting dalam hubungan antara konflik dan pertumbuhan, studi ini diperlukan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dampak yang ditimbulkan oleh konflik pada keputusan-keputusan investasi, dan dengan demikian, dampaknya pada pertumbuhan . Konflik dan kekerasan menimbulkan dampak yang mendasar pada lembaga-lembaga politik, sosial dan ekonomi yang melandasi pertumbuhan. Dampak-dampak ini mempengaruhi bagaimana ekonomi berfungsi di periode pasca konflik. Selain akibat-akibat konflik yang merugikan secara langsung (infrastruktur rusak, banyak orang terbunuh, banyak orang yang pindah ke luar daerah), konflik mengurangi keamanan individu dan masyarakat dengan cara-cara yang mengubah perilaku, pilihan dan fungsi lembaga (Bodea and Elbadawi, 2008). Perilaku investasi juga berubah. Hal ini cenderung mengakibatkan berkurangnya tabungan, akumulasi modal manusia yang lebih rendah dan perilaku yang berisiko (Lorentzen, McMillan and Wacziarg, 2006). Akses terhadap kredit juga menjadi semakin sulit apabila bank-bank atau penyedia kredit lainnya kemungkinan besar tidak meminjamkan dan/atau hanya meminjamkan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi (Nagarajan and McNulty, 2004). Chauvet, Collier and Hegre (2008) memperkirakan bahwa rata-rata, perang saudara merugikan sebuah negara sebesar AS$123 milyar per tahun. Negara-negara yang mengalami perang saudara mengalami penurunan PDB tahunan rata-rata sebanyak 2,0-2,2 persen (Collier, 1999; Hoeffler and Reynal-Querol, 2003; Restrepo et. al., 2008), mengurangi pendapatan sekitar 15 persen (Moser, 2006). Di wilayah-wilayah yang tidak mengalami perang saudata yang berkepanjangan, dampak konflik berdarah pada pertumbuhan dan kemiskinan juga sangat luas. Diperkirakan bahwa produktivitas yang hilang karena konflik berdarah dan kejahatan 11 Sebagian dampak ini dianalisa di MSR (2009).
21
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konflik dan Pasca Konflik di Aceh
di luar zona-zona perang secara global mencapai AS$95 milyar per tahun (Sekretariat Deklarasi Jenewa/ Geneva Declaration Secretariat, 2008). Penyimpangan-penyimpangan terhadap ekonomi tersebut cenderung berlanjut dalam periode pasca konflik. Dinamika-dinamika yang biasanya berkaitan dengan akhir suatu konflik dan kekerasan yang tinggi — berlanjutnya persepsi dan perasaan tidak aman serta kekerasan yang kadang-kadang terjadi, pertumbuhan pesat dalam sektor-sektor yang sebelumnya terhalang oleh konflik, kesulitankesulitan yang dihadapi dalam mempersatukan para anggota kelompok pemberontak ke dalam sistem politik dan ekonomi — pada gilirannya mengubah kesempatan-kesempatan dan hambatan-hambatan menjadi pertumbuhan. Sebagai contoh, sebuah penelitian baru-baru ini mengemukakan bahwa apabila Jamaika dan Haiti mengurangi tingkat pembunuhan mereka ke tingkat seperti yang dimiliki Kosta Rika, maka mereka dapat melihat peningkatan angka pertumbuhan sebesar 5,4 persen per tahun (Kantor PBB untuk masalah Obat-obatan Terlarang dan Kejahatan/World Bank, 2007). Sebagian dari konflik Aceh didorong oleh persaingan atas sumber daya alam di propinsi ini dan wewenang untuk mengelola sumber daya alam tersebut. Cadangan gas bumi yang banyak ditemukan di lepas pantai Aceh pada tahun 1971, diperkirakan berpotensi menghasilkan AS$2-3 milyar per tahun selama 20-30 tahun.12 Produksi dimulai pada tahun 1977 dan royalti besar dibayarkan kepada pemerintah pusat Indonesia. Hanya beberapa orang setempat dipekerjakan dalam eksploitasi gas tersebut sehingga menimbulkan kemarahan. Persepsi-persepsi tentang eksploitasi sumber daya Aceh digunakan sebagai seruan perang untuk membangun adanya suatu gerakan kebebasan, yang mencakup klaim bahwa Aceh telah dimiskinkan oleh kekuasaan orang-orang Jawa dan membebankan kesalahan atas penderitaan mereka pada penyalahgunaan yang dilakukan pemerintah pusat atas gas alam yang baru saja ditemukan (Ross, 2005. hal. 40). Keluhan-keluhan terhadap eksploitasi ladang gas yang dirasakan yang mendorong perjuangan dan ketegangan GAM diperburuk oleh perbedaan-perbedaan budaya antara kaum pendatang dan orang Aceh.13 Seperti yang dikemukakan Ross (2007, hal. 36), sumber daya alam tidak menjadi alasan bagi GAM untuk memberontak melawan pemerintah pusat namun mendorong timbulnya keluhan-keluhan setempat.14 Meskipun pendapatan gas Aceh menurun dengan tajam, pencantuman dalam penetapan MoU bahwa Aceh akan menguasai 70 persen dari pendapatan minyak dan gas sangat penting secara simbolis bagi para pemimpin GAM. Keluhan-keluhan tentang eksploitasi ladang gas turut membangun cerita yang lebih luas bahwa Aceh tertinggal secara ekonomi dari propinsi-propinsi lain di Indonesia. Pada awalnya, klaimklaim tersebut memiliki dasar lemah, karena propinsi tersebut memiliki standar hidup yang lebih tinggi daripada propinsi lainnya di Indonesia selama tahun 1970an (Hill and Wiedermann, 1989). Namun karena konflik tersebut menjadi berkepanjangan, klaim-klaim tersebut benar-benar terjadi dan persepsi-persepsi tentang eksploitasi ekonomi berkembang. Pemerintah pusat menjadi semakin bergantung pada gas alam Aceh — pada tahun 1998, 9 persen dari total pendapatannya berasal dari sumber ini (Ross, 2005, hal. 47) — dan menerapkan langkah-langkah tegas untuk penumpasan pemberontakan dalam mengamankan pengoperasian ladang-ladang gas tersebut (Sukma, 2004). Konflik memiliki dampak negatif baik pada akumulasi modal fisik maupun manusia. Konflik berdarah cenderung mengurangi aktifitas sosial terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi karena dampak merugikan dari konflik pada modal fisik dan manusia. Infrastruktur swasta dan publik sering kali sengaja dijadikan target dari pertikaian-pertikaian tersebut guna menghilangkan jalur-jalur pasokan dan mengintimidasi masyarakat. Adanya konflik berdarah juga mempersulit pembangunan infrastruktur baru dan perbaikan infrastruktur yang rusak. Konflik berdarah berdampak negatif pada modal manusia dengan 12 Bagian ini banyak disadur dari Ross (2005). 13 Di antara tahun 1974 dan 1986, sekitar 50.000 pendatang dari bagian-bagian lain di Indonesia datang ke Aceh (Hiorth, 1986). 14 Penjelasan sebab-akibat ini berbeda dengan penjelasan Collier and Hoeffler (2004), yang mengemukakan bahwa adanya sumber daya alam meningkatkan kemungkinan perang sipil dengan memampukan kelompok-kelompok pemberontak untuk membiayai biaya permulaan dan biaya yang berkelanjutan untuk pemberontakan mereka.
22
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
mempercepat perpindahan ke luar daerah, mengurangi insentif-insetif investasi dalam pendidikan (Steward and Fitzegerald, 2001), dan merusak sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Di Aceh, infrastruktur pendidikan sengaja dijadikan target selama konflik. Selain itu, konflik berdarah mengubah ketrampilan-ketrampilan yang berharga dalam suatu perekonomian ; karena sering kali orang-orang yang berpendidikan terbaik dan berpenghasilan cukup menjadi orang-orang pertama yang pindah dan melarikan diri dari konflik. Konflik mengakibatkan lembaga-lembaga pemerintah menjadi lebih lemah, korupsi meningkat dan supremasi hukum menjadi lemah. Pertumbuhan yang berkesinambungan dan inklusif memerlukan lembaga-lembaga publik yang memastikan bahwa para investor dapat memperoleh laba atas investasi. Fungsi-fungsi utama pemerintah mencakup perlindungan hak milik dan langkah-langkah peraturan lainnya yang memastikan persaingan yang efisien dan fungsi pasar yang efektif. Konflik berdarah sering kali berkaitan dengan kegagalan pemerintahan dalam bidang-bidang ini. Konflik berdarah dapat memperlemah lembaga-lembaga dan menggangu pasar karena negara menjadi alat pemangsa dan/ atau di mana negara kehilangan monopolinya atas upaya pemaksaan (Bates, 2008). Walaupun sebagian dari konflik di Aceh disebabkan oleh persepsi-persepsi tentang tidak efektifnya fungsi negara (Barron and Clark, 2006), konflik tersebut selanjutnya mengikis lembaga-lembaga negara (McGibbon, 2006). Konflik sering kali digunakan sebagai dalih untuk kurang efektifnya pemerintah, bahkan ketika GAM atau konflik tersebut hanya memiliki andil sedikit (Jones, 2005). Konflik tersebut juga membuat sumber-sumber daya negara lebih dialokasikan melalui jaringan-jaringan neopatrimonial yang membawa pada peningkatan korupsi, karena pihak-pihak yang terpilih berusaha membayar kembali para pendukungnya (Clark and Palmer, 2008). Konflik tersebut menawarkan peluang bagi kedua belah pihak untuk mendapatkan laba dari kegiatan-kegiatan ilegal dan dari lemahnya supremasi hukum (McCulloch, 2006; Olken and Barron, 2007). Para politikus dan pegawai sipil setempat bertindak tanpa mendapatkan hukuman dan menyedot sumber-sumber daya penting dari anggaran negara (Sukma, 2001; Sulaiman, 2006; McGibbon, 2006), yang mengakibatkan adanya beberapa kasus korupsi tingkat tinggi yang melibatkan para pejabat pemerintah lokal dan propinsi.15 Dalam periode pasca konflik, terdapat bukti empiris bahwa praktik-praktik korupsi dan pajak ilegal telah berlanjut (Aspinall, 2009b). Insiden-insiden keamanan yang berlanjut dan persepsi-persepsi negatif tentang risiko di luar Aceh dapat menjadi penghalang besar terhadap investasi di propinsi tersebut. Kegagalan untuk memberikan keamanan di wilayah-wilayah yang terdampak oleh konflik cenderung menurunkan tingkat investasi karena para calon investor mempertimbangkan risiko-risiko keamanan, sehingga mengurangi investasi dalam modal fisik (Knight et al., 2005; Imai and Weinstein, 2000). Persepsi-persepsi tentang keamanan yang buruk dapat berlanjut dalam periode pasca konflik. Sebagian disebabkan karena risiko berlanjutnya konflik tetap tinggi pada awal periode pasca konflik. Collier et al. (2006), sebagai contohnya, menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat yang telah melewati konflik memiliki peluang sebesar 40 persen untuk jatuh kembali ke dalam konflik. Di Aceh, PT Arun sering kali menjadi target serangan GAM, sehingga harus menghentikan operasinya pada tahun 2001, yang mungkin berkontribusi pada persepsipersepsi risiko yang lebih tinggi. Masalah-masalah keamanan pasca konflik yang berkaitan dengan insiden-insiden keamanan dapat menghambat investasi. Bentuk-bentuk kekerasan baru termasuk kekerasan politik, kekerasan ekonomi dan kejahatan, masalah keadilan masyarakat dan informal, serta sengketa-sengketa terkait dengan hak milik pasca konflik (Muggah, 2009, diambil dari Chaudhary and Suhrke, 2008 dan Sekretariat Deklarasi Jenewa/Geneva Declaration Secretariat, 2008). Setelah perjanjian damai di Aceh, terdapat masa yang cukup tenang, namun setelah periode awal ini, kekerasan mulai timbul lagi, khususnya selama persiapan pemilihan legislatif pada bulan April 2009 (Gambar 1). Hal ini dapat mengurangi keinginan usaha-usaha di dalam dan di luar Aceh untuk berinvestasi, karena kekhawatiran bahwa aset-aset produktif akan dihancurkan atau menjadi tidak dapat beroperasi apabila kekerasan meningkat. IFC (2008) memperkuat pendapat ini dan melaporkan ketidakstabilan politik dan 15 Lihat Sulaiman and van Klinken (2007, hal. 231) dan Saraswati (2004).
23
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konflik dan Pasca Konflik di Aceh
keamanan sebagai dua kekhawatiran yang dikemukakan oleh usaha-usaha yang mempertimbangkan untuk berinvestasi di Aceh. Gambar 5 Kekerasan di Aceh – Jan 2005 sampai dengan Des 2008 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F MA M J J A S O N D 05 06 07 08 Insiden kekerasan (excl. GAM vs GoI)
GAM vs GoI untuk insiden kekerasa
Sumber: Update Pemantauan Konflik Aceh, Bank Dunia.
Bagian ini telah mengkaji mekanisme di mana konflik di Aceh dapat membentuk pola-pola pertumbuhan dalam periode pasca konflik. Bagian-bagian berikut ini akan memperdalam analisis tentang hubungan antara konflik dan pertumbuhan, menganalisa hambatan-hambatan investasi dan pertumbuhan, dan menggabungkan ciri-ciri konflik Aceh ke dalam analisis tersebut.
24
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
05
Akses Terhadap Kredit Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan menguji apakah biaya yang tinggi, atau tidak adanya kredit merupakan hambatan yang mengikat bagi investasi sektor swasta. Dengan mempertimbangkan bahwa usaha-usaha biasanya beralih kepada bank sebagai sumber pembiayaan kegiatan-kegiatannya, kurangnya akses terhadap kredit atau biaya kredit yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan. Suatu sistem keuangan yang tidak menyediakan modal kerja dan modal investasi bagi usaha-usaha yang mampu berkembang dapat menjadi gejala dari penyakit yang lebih luas. Setelah menjelaskan sistem perbankan di Aceh, bagian ini akan menganalisis apakah kredit berbiaya tinggi atau sulit diakses oleh usaha serta alasan-alasan di balik keadaan ini. Perbankan di Aceh didominasi oleh bank umum milik pemerintah. Banyak bank swasta menutup usahanya di provinsi ini setelah krisis keuanganan tahun 1997-98 dan intensifikasi konflik, dan bank-bank tersebut baru kembali ke provinsi ini setelah penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pada tahun 2005. Sektor perbankan di Aceh terdiri dari 18 bank umum dan 20 bank perkreditan rakyat, di mana sebagian besar dari kedua kategori bank tersebut adalah bank umum, yang menyumbangkan sekitar 80 persen dari semua simpanan. Bank-bank umum menyumbangkan lebih dari 97 persen dari aset, simpanan dan pinjaman (IFC, 2007). Menurut Bank Indonesia, sejak bulan September 2008, jumlah total simpanan adalah sebesar Rp.20,5 triliun dan jumlah pinjaman terutang adalah sebesar Rp.9,4 triliun. Hal ini bersesuaian dengan rasio pinjaman terhadap simpanan sebesar 46 persen, yang tergolong rendah untuk Indonesia. Rasio pinjaman macet adalah sebesar 1,9 persen, lebih rendah dari rata-rata nasional. Perbankan syariah masih relatif kecil namun menjadi semakin penting pada tahun-tahun terakhir.
a. Apakah pembiayaan menjadi masalah di Aceh? Kredit investasi relatif rendah di Aceh. Pertanyaan pertama yang perlu dijawab adalah apakah pembiayaan merupakan masalah di Aceh. Salah satu cara melihat permasalahan ini adalah dengan melihat apakah kredit, khususnya kredit investasi, rendah. Gambaran berikut menunjukkan kredit investasi sebagai bagian dari PDRB16 dan PDRB per kapita (sebagai ukuran yang menunjukkan tingkat pembangunan atau pendapatan). Kredit investasi sebagai bagian dari PDRB non-migas di Aceh lebih rendah dari kredit investasi di provinsi-provinsi lain. Dengan kata lain, besarnya pinjaman yang diberikan oleh bank di Aceh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pembangunannya, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 16 PDB non-migas digunakan untuk menghindari PDB yang besar yang ditentukan oleh minyak dan gas, yang menimbulkan rasio kredit-terhadap-PDB yang rendah pada tingkat kredit ‘normal’. Dalam rangka memastikan konsistensi, sektor minyak dan gas dikurangkan dari data PDB di provinsi-provinsi lain.
25
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
di bawah ini17. Pada tahun 2006, kredit investasi dan modal kerja mencapai 7,8 persen dari PDRB di Aceh, sementara rata-rata nasional adalah 32,1 persen. Nilai kredit terhadap PDRB merupakan yang terendah kedua untuk semua provinsi di Indonesia. Hal ini barangkali hanya mencerminkan permintaan kredit yang rendah di provinsi tersebut, sebagai akibat dari kurangnya kesempatan investasi, tetapi mungkin juga sebagai akibat dari sistem perbankan yang tidak dapat memenuhi permintaan kredit dari sektor swasta. Gambar 6 Kredit terhadap PDRB sangat rendah di Aceh
Kredit per PDRB non-migas tahun 2006
Kredit per PDRB untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006 1.0 0.9
DKI Jakarta
0.8 0.7 0.6 Nasional Sumatera Utara Kalimantan Timur
0.5 0.4 0.3
Aceh
0.2 0.1 0.0 0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
PDRB non-migas per kapita tahun 2006 (Jt Rupiah, harga tahun 2000)
Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia
Table 5 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari PDRB Persentase
Aceh North Sumatera Riau East Kalimantan Papua Central Sulawesi Maluku Sumatera Java Indonesia
Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari PDRB 2005 6.3 32.3 16.3 13.2 3.2 15.0 26.7 20.7 35.7 29.0
2006 7.6 35.3 18.4 15.3 7.2 15.7 16.1 23.0 38.9 32.1
Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia
17 Tingkat kredit bankyang rendah mungkin tidak harus diwujudkan dalam tingkat-tingkat investasi yang lebih rendah, apabila usaha menerima pinjaman dari sumber-sumber non-bank lainnya (keluarga, teman atau rentenir). Bukti yang ada menunjukkan bahwa kredit bank merupakan patokan yang relevan untuk mengukur tingkat investasi. Kredit bank mewakili sumber penting bagi pembiayaan di Aceh: 43,9 persen rumah tangga yang memperoleh pinjaman dari bank. Jumlah ini lebih tinggi dari rata-rata nasional: di Indonesia, hanya 28,3 persen rumah tangga memperoleh pinjaman dari bank. Mengingat rumah tangga di Aceh relatif lebih mengandalkan bank, volume pemberian kredit yang rendah untuk investasi dan modal kerja tampaknya menjadi lebih mencolok (angka-angka ini adalah perkiraan Bank Dunia, berdasarkan Access to Finance Survey, 2008).
26
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
b. Apakah biaya modal tinggi terjadi di Aceh? Biaya untuk pembiayaan di Aceh sama dengan di daerah-daerah lain di Indonesia. Pada bulan September 2008, suku bunga peminjamaan riil untuk pinjaman investasi di Aceh adalah 2,82 persen dan rata-rata nasional adalah 1,05 persen.18 Suku bunga riil telah berfluktuasi secara signifikan di provinsi ini sejak tsunami. Pada tahun 2005, semua jenis suku bunga peminjaman riil didorong turun oleh inflasi yang tinggi yang dialami provinsi ini sebagai akibat upaya rekonstruksi, sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 7. Suku bunga naik kembali ketika inflasi menurun pada tahun-tahun berikutnya. Perbedaanperbedaan dalam biaya modal terutama disebabkan oleh tingkat-tingkat inflasi yang berbeda, sementara suku bunga nominal yang dibebankan di Aceh secara umum sama dengan di daerah-daerah lain di Indonesia, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 8. Tingkat suku bunga nominal yang sama juga ditegaskan dalam diskusi-diskusi tim dengan bank-bank di Aceh. Ketidakmampuan bank untuk secara aktual menentukan biaya risiko yang lebih besar dalam menjalankan usaha di Aceh, dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, dapat dengan sendirinya menjadi hambatan terhadap pemberian kredit bagi usaha, sehingga bank hanya melakukan operasi-operasi yang relatif aman, sebagaimana dibahas lebih lanjut di bawah ini. Gambar 7 Tingkat peminjaman investasi riil di Aceh dan rata-rata nasional 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% Dec-04
Jun-05
Dec-05
Jun-06
Dec-06
Jun-07
Dec-07
Jun-08
-5.00% -10.00% -15.00% -20.00%
Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia
Gambar 8 Tingkat peminjaman investasi nominal di Aceh dan rata-rata nasional 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 Dec-04
Jun-05
Dec-05
Jun-06
NASIONAL - Investasi
Dec-06
Jun-07
Dec-07
Jun-08
ACEH - Investasi
Sumber: Bank Indonesia dan kalkulasi staf Bank Dunia 18 Data tentang suku bunga rata-rata mungkin tidak dapat diandalalkan untuk Aceh. Perbandingan antara suku bunga di Aceh dan suku bunga nasional dengan demikian harus ditafsirkan dengan hati-hati. Data tentang inflasi yang dibunakan untuk memperkirakan suku bunga sebenarnya hanya berlaku untuk Banda Aceh
27
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
Biaya modal tidak menghambat pertumbuhan dan investasi di Aceh. Walaupun terdapat beberapa perbedaan antara Aceh dan daerah-daerah lain di Indonesia, masih dapat terjadi bahwa biaya modal menghambat investasi swasta dan, dengan demikian, menghambat pertumbuhan. Hal ini seharusnya menciptakan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah ketika suku bunga menjadi lebih tinggi. Namun demikian, bukan ini yang terjadi di Aceh: pertumbuhan PDRB tidak bereaksi terhadap menurunnya suku bunga riil. Pengamatan ini menunjukkan bahwa biaya kredit barangkali bukan merupakan hambatan yang mengikat bagi pertumbuhan.19 Akan tetapi, penemuan ini sebaiknya ditafsirkan dengan hati-hati. Pertama, rangkaian data yang digunakan agak pendek dan tingkat pertumbuhan mungkin bersifat responsif terhadap perubahan-perubahan suku bunga selama jangka waktu yang lebih panjang. Kedua, jangka waktu yang pendek ini mencakup peristiwa tsunami dan program pemulihan setelahnya yang mungkin mendistorsi pengamatan, misalnya dengan menyebabkan inflasi yang sangat tinggi dan dengan demikian menyebabkan suku bunga riil menjadi sangat rendah pada tahun 2005. Data terakhir mendukung gagasan bahwa biaya kredit bukan merupakan hambatan yang mengikat di Aceh. Program Kredit Pemberdayaan Pengusaha yang mulai digulirkan pada bulan Oktober 2008 memberikan pinjaman dengan suku bunga tetap bersubsidi sebesar 8 persen bagi usaha-usaha di Aceh. Dengan program tersebut, persyaratan-persyaratan jaminan tidak terlalu ketat: tidak seperti biasa di tingkat 110-120 persen dari jumlah pinjaman, 80 persen saja yang diminta dari para peminjam. Ukuran pinjaman berkisar antara Rp.50 juta hingga Rp.500 juta. Sejak bulan April 2009, jumlah total dana yang telah dipinjamkan di bawah program ini hanya sekitar Rp.5 milyar.20 Walaupun masih terlalu dini untuk menilai efektivitas keseluruhan dari program tersebut, jumlah penerimaan yang relatif kecil atas dana “yang lebih murah” ini lebih jauh menunjukkan bahwa suku bunga yang tinggi tidak menghambat usahausaha dalam mengakses kredit di Aceh.
Tingkat pertumbuhan riil (sebelumnya migas)
Gambar 9 Pertumbuhan PDB tidak bereaksi terhadap perbedaan suku bunga Hubungan antara angka dan pertumbuhan 9.00% 2006
8.00%
2002
2007
7.00% 6.00% 5.00% 4.00%
2003
3.00% 2.00% 2005 -20.00%
1.00% -15.00%
-10.00%
2008 2004 2001
0.00% -5.00% 0.00% -1.00%
2000 5.00%
10.00%
15.00%
Tingkat bunga riil (pinjaman investasi)
Sumber: Bank Indonesia, BPS dan kalkulasi staf Bank Dunia
c. Apakah permasalahannya adalah rendahnya tabungan dan tidak adanya akses terhadap pembiayaan eksternal? Tingkat tabungan yang rendah bukan merupakan alasan bagi rendahnya volume kredit di provinsi ini. Satu penjelasan klasik tentang mengapa kredit dapat menjadi mahal atau mengapa bisa terdapat penjatahan kredit adalah rendahnya persediaan dana serta tidak adanya akses terhadap pembiayaan eksternal. Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki rasio tabungan-terhadap-PDRB tertinggi di Indonesia. Gambar 10 menunjukkan hal ini di mana Provinsi Aceh menduduki peringkat ke-empat 19 Data ini menangkap situasi ekonomi di provinsi ini sebelum dimulainya kiris keuangan global. Setelah terjadinya krisis kredit dalam ekonomi riil, pernyataan di atas mungkin memerlukan kualifikasi. 20 Sumber: Pak Dahlan Sulaiman, kepala program.
28
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
pada tahun 2006. Tidaklah mengherankan, Aceh memiliki rasio pinjaman-terhadap-simpanan (loan-todeposit ratio/LDR) yang rendah: pada bulan Desember 2008, LDR berada di tingkat 46 persen, yang secara signifikan lebih rendah dari rasio nasional sebesar 70 persen. Gambar 10 Tabungan per PDRB untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006 Tab un gan p er P DR B n o n m igas20 06
2.5000 DKI Jakarta
2.0000 1.5000 Aceh
1.0000
Aceh*
Nasional Sumatra Utara
0.5000 0.0000
0.00
5.00
10.00
Kalimantan Timur
15.00
20.00 25.00
30.00 35.00
40.00
PDRB non migas riil per kapita 2006 (Rp juta, harga 2000) * disesuaikan terhadap deposit pemerintah menurut rata-rata nasional
Sumber: Bank Indonesia dan staf Bank Dunia
Sebagian besar simpanan di Aceh adalah simpanan jangka pendek, namun demikian tingkat tabungan tidak menjadi hambatan bagi pembiayaan di provinsi tersebut. Situasi di Aceh dapat menyesatkan karena tingkat rekonstruksi yang tinggi dan dana-dana pemerintah yang telah dimasukkan ke provinsi ini oleh berbagai badan pemerintah dan non-pemerintah. Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 11, pada tahun 2007 dana-dana pemerintah mewakili 36 persen dari seluruh simpanan, dibandingkan dengan rata-rata sebesar kira-kira 14 persen secara nasional. Karena dana-dana tersebut tidak dapat dipinjamkan, kecilnya jumlah sisa ‘dana-dana yang yang boleh dipinjamkan/loanable funds” ini bisa menjelaskan mengapa hanya ada sedikit kredit di Aceh sementara total tabungan begitu besar. Untuk menguji hipotesis ini, diasumsikan adanya tingkat yang sama pada ‘dana-dana yang dapat dipinjamkan’ dengan daerah-daerah lain di Indonesia dibandingkan dengan tingkat tabungan di Aceh (titik data “Aceh*” pada Gambar 10 di atas).21 Bahkan setelah dibandingkan tingkat tingkat tabungan nasional, Aceh masih memiliki rasio tabungan-terhadap-PDRB yang relatif tinggi, yang membawa kita pada kesimpulan bahwa persediaan dana tidak menjadi alasan rendahnya rasio kredit-terhadap-PDRB. Gambar 11 Dana-dana pemerintah menyumbangkan bagian yang besar dari simpanan di Aceh Deposit Nasional, 2004-07
25
Trillion Rp
Trillion Rp
Deposit Aceh, 2004-07
20 15
70%
10 5
64%
82% 83% 17%
2004
18% 2005
Dana pemerintah Sumber: Bank Indonesia, Aceh
30%
36%
2006
2007
Dana swasta
1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
86%
89% 11% 2004
84%
86%
14%
16%
14%
2005
2006
2007
Dana pemerintah
Dana swasta
Sumber: Bank Indonesia
21 Penyesuaian ini adalah untuk mengurangi tabungan masyarakat di Aceh sehinga bagian tabungan masyarakat dalam tabungan total sama dengan rata-rata nasional..
29
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
Apabila tabungan memang tinggi di Aceh, harus ada penjelasan lain tentang mengapa volume kredit rendah: apakah karena sektor perbankan tidak melaksanakan fungsinya sebagai perantara (intermediary function) dengan baik atau karena kredinya yang dibatasi? Hal – hal dibawah ini mencoba mengfokuskan untuk menggali beberapa opsi yang berbeda dalam melihat masalah diatas.
d. Apakah permasalahannya adalah fungsi intermediasi (perantara) bank-bank lokal yang rendah? Rendahnya fungsi perantara oleh bank-bank lokal di Aceh dapat menghambat kemampuan mereka untuk memberikan kredit kepada dunia usaha. Bank-bank di Aceh tampaknya belum yakin dalam mengevaluasi permohonan-permohonan pinjaman; walaupun proses kajian seharusnya secara resmi berlangsung selama tidak lebih dari satu bulan, UKM kadang-kadang harus menunggu sampai dengan enam bulan apabila mereka mengajukan permohonan pinjaman untuk pertama kali (IFC, 2007). Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang peran intermediasi yang dimainkan bank-bank di Aceh, serangkaian wawancara secara mendalam dengan delapan bank umum di Banda Aceh te;ah dilakukan pada bulan Desember 2008 untuk mengkaji perspektif bank dalam menjalankan usaha di Aceh serta tantangan-tantangan khusus yang mereka hadapi. Tujuannya adalah untuk melihat apakah bank-bank tidak mampu dalam menentukan nilai risiko khusus berkaitan dengan kredit di Aceh, yang menyebabkan bank tidak bersedia memberi pinjaman, atau apakah bank tidak memiliki keahlian yang mungkin diperlukan untuk menjalankan usaha di Aceh dan memberikan pinjaman. Bank-bank tidak mengenakan suku bunga yang lebih tinggi di Aceh untuk menentukan biaya akibat dari persepsi risiko-risiko yang lebih besar dalam menjalankan usaha perbankan di provinsi tersebut. Apabila bank khawatir tentang tingkat gagal bayar (default rate) di Aceh, orang akan mengira bank-bank tersebut, antara lain, mengenakan suku bunga yang lebih tinggi di provinsi ini. Menariknya, semua bank yang diwawancarai oleh tim menyatakan bahwa mereka mengenakan suku bunga yang sama seperti di daerah-daerah lain di Indonesia. Data Bank Indonesia yang disajikan dalam Tabel 6 menunjukkan bahwa suku bunga nominal rata-rata di Aceh lebih rendah dari rata-rata nasional dan suku bunga di provinsi-provinsi lain pada bulan Desember 2008. Perbedaan-perbedaan suku bunga yang diamati mungkin dikarenakan bank-bank memiliki portofolio berbeda di provinsi yang berbeda, karena semua bank yang diwawancarai menyatakan bahwa suku bunga yang mereka kenakan bergantung pada banyak faktor (besarnya pinjaman, jatuh tempo, peminjam, dll.) namun tidak bergantung di provinsi mana pinjaman tersebut diberikan. Suku bunga yang rendah di Aceh menunjukkan bahwa bank-bank tidak memperhitungkan biaya risiko yang lebih tinggi yang dipersepsikan dalam menjalankan usaha di Aceh. Tabel 6 Suku bunga nomial rata-rata, Desember 2008 Nasional (%)
Aceh (%)
Sumatera Utara (%)
Kalimantan Timur (%)
Papua (%)
Sulawesi Tengah (%)
15,22
14,10
15,73
14,95
15,11
15,70
Investasi
14,4
13,65
15,16
14,29
14,71
14,14
Konsumsi
16,4
12,00
13,73
13,26
14,22
14,37
Modal Kerja
Sumber: Bank Indonesia, kalkulasi staf Bank Dunia
Satu cara bagi bank untuk mempertahankan portofolio pinjaman yang besar tanpa kemungkinan menanggung persepsi risiko yang lebih besar dari pemberian pinjaman investasi adalah dengan mengfokuskan pada pemberian pinjaman konsumsi. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 7, porsi kredit investasi dan kredit modal kerja dari dari total kredit di Aceh lebih rendah dari daerah-daerah lain
30
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
di Indonesia, dan lebih rendah lagi dibandingkan dengan provinsi tetangga, Sumatera Utara. Pinjamanpinjaman konsumsi biasanya dianggap lebih aman dan tidak mengharuskan penyaringan yang ketat terhadap pemohon, karena barang-barang yang dibeli, khususya motor atau mobil, digunakan sebagai barang jaminan. Lebih lanjut, bank mengakui bahwa sebagian besar nasabah mereka adalah pegawai negeri sipil dan sebagian besar permohonan pinjaman mereka disetujui. Tabel 7 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari keseluruhan kredit Persentase Bagian kredit investasi dan modal kerja dalam keseluruhan kredit 2005
2006
2007
Aceh
48.6
49.8
50.8
Sumatera Utara
78.6
79.0
78.7
Riau
68.9
68.3
68.5
Kalimantan Timur
76.8
78.9
80.3
Papua
42.6
47.5
54.1
Sulawesi Tengah
51.9
50.9
49.9
Maluku
57.8
38.8
40.6
Sumatera
71.7
71.8
71.7
Java
71.3
72.7
71.3
Indonesia
70.3
71.4
70.3
Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa fungsi perantara bank menjadi penghambat investasi di Aceh. Masalahnya mungkin adalah bahwa bank tidak memiliki sumber daya manusia (pejabat bagian kredit) yang diperlukan untuk menilai permohonan pinjaman secara memadai, namun lebih memilih untuk menolak permohonan-permohonan dan berfokus pada portofolio pinjaman yang lebih aman dan melewatkan peluang-peluang usaha yang menguntungkan. Hal ini berpengaruh lebih besar bagi Aceh dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, mengingat bahwa bank tidak banyak melayani wilayah selama konflik. Beberapa pelaku terbesar yang ada di daerah-daerah pedesaan mengirim personil kredit ke lapangan untuk mengidentifkasi dan melakukan pendekatan kepada usaha-usaha yang dianggapnya layak untuk memperoleh kredit dan memberikan kredit kepada usaha-usaha tersebut. Pendekatan proaktif ini efektif untuk memperluas portofolio pinjaman dan mempertahankan agar tingkat pengembalian tetap tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tetap ada ruang untuk meningkatkan intermediasi keuangan dan bank yang mengirim personil kredit yang terlatih ke lapangan bertemu dengan nasabah potensial telah berhasil melayani lebih banyak pemohon dan badan usaha. Walaupun demikian, dengan besarnya dana yang dikeluarkan dalam rekonstruksi dalam jangka waktu yang pendek, bank telah dengan cepat memberi tanggapan dengan membuka cabang-cabang untuk memperoleh simpanan dan mempekerjakan tenaga-tenaga ahli yang diperlukan untuk memberi pinjaman bagi sektor-sektor yang dianggapnya aman. Mengingat juga sifat yang relatif kompetitif dari sektor perbankan, hanya ada sedikit bukti pasti yang menunjukkan bahwa bank tidak akan memperbaiki kapasitasnya untuk melayani permintaan kredit, apabila bank menganggap bahwa sektor usaha ini menguntungkan.
31
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
Kotak 4 Apakah konflik merupakan halangan untuk mengakses kredit? Dalam melakukan pendekatan terhadap permasalahan pembiayaan di Aceh, salah satu hipotesis dari tim adalah bahwa bank mungkin enggan untuk memberi pinjaman bagi usaha-usaha lokal karena bank masih mengkhawatirkan stabilitas provinsi ini. Mengingat sejarah Aceh yang ditandai kekerasan dan perdamaian yang masih baru, tampaknya masuk akal bahwa bank berhati-hati akan munculnya kembali bentuk kekerasan, dan dengan demikian bank dengan sukarela membatasi kegiatannya di provinsi ini. Temuan-temuan dari wawancara-wawancara bervariasi: terdapat konsensus yang kuat bahwa masalah keamanan, sekarang menjadi “bisnis seperti biasa” bagi bank di Aceh dan masalah-masalah yang lebih berat juga masih ada. Namun demikian, banyak bank menyebutkan bahwa selama konflik, bank-bank tersebut mengurangi keberadaan (atau tidak ada sama sekali) dan membuka cabang baru di provinsi ini. Jika konflik masih mungkin untuk terjadi, hal tersebut akan tetap menjadi pertimbangan bank untuk menjalankan usaha di Aceh. Beberapa bank menyatakan maksudnya untuk memperluas jaringan cabang mereka di Aceh, khususnya dengan menjangkau hingga ke kabupaten dan kota-kota selain ibukota provinsi, ini dapat mencerminkan perbaikan daya tarik provinsi tersebut, yakni bahwa saat ini perdamaian telah bertahan hingga lebih dari tiga tahun. Tidak ada bank yang mengutarakan bahwa pihak mereka mengenakan biaya suku bunga yang berbeda di provinsi ini (sebagai akhibat dari risiko yang lebih besar yang dipersepsikan), atau telah menetapkan persyaratan-persyaratan barang jaminan yang ketat. Setiap perbedaan dalam suku bunga dapat dijelaskan dengan perbedaan dalam portofolio pinjam (misalnya pinjaman-pinjaman yang lebih kecil yang akan menghasilkan suku bunga rata-rata yang lebih tinggi yang dibebankan sebagai biaya). Lebih lanjut, walaupun bank tidak menunjukkan kekhawatiran bahwa konflik mungkin akan muncul kembali, semuanya menampakkan keprihatinan tentang pemilu lokal dan pemilihan umum presiden tahun 2009 dan fakta bahwa terdapat banyak keputusan strategis yang ditunda hingga bank-bank tersebut dapat mengamati apakah pemilu kembali menimbulkan ketidakstabilan. Fokus pada pinjaman konsumsi, dan secara khusus pada pinjaman yang melayani pegawai negeri sipil, juga menunjukkan suatu upaya dari bank-bank untuk mengurangi risiko menjalankan usaha di Aceh. Sumber: Survei terhadap bank di Aceh.
Walaupun tampaknya masih ada ruang bagi peningkatkan dalam cara bagaimana bank memenuhi fungsi penengahan keuangannya — terutama untuk banyak bank yang meninggalkan provinsi tersebut selama konflik dan lambat laun datang kembali — hal ini tidak mungkin menjadi faktor utama di balik rendahnya tingkat kredit bagi sektor swasta. Mengingat ketersediaan dana, pertumbuhan yang kuat selama upaya rekonstruksi dan keamanan relatif di sebagian besar daerah Aceh, tampaknya tidak mungkin bagi bank untuk tidak menyediakan sumber daya dan kapasitas yang diperlukan, setidaknya pada tingkat yang sama dengan yang dilakukannya di tempat-tempat lain di Indonesia. Perbedaan jumlah kredit yang diberikan kepada dunia usaha pada daerah-daerah lain di negeri ini, tidak bisa dijelaskan sebagai kurangnya kapasitas bank-bank lokal.
e. Apabila tidak, apakah persoalannya adalah pembatasan kredit oleh bank? Pembatasan kredit dapat menjadi suatu alasan rendahnya tingkat kredit. Biaya kredit tampaknya bukan merupakan halangan utama bagi investasi, dan bukan pula buruknya fungsi perantara dari bankbank lokal. Alasan lain bagi rendahnya tingkat kredit yang diberikan bagi usaha-usaha barangkali adalah bahwa bank-bank tidak mempunyai pilihan untuk melakukan hal tersebut. Misalnya, hal tersebut dapat terjadi karena banyak usaha bersifat informal,22 atau karena bank enggan memberi pinjaman bagi jenis-
22 Hal ini mungkin bukan merupakan hambatan dalam mengakses pinjaman-pinjaman kecil, karena bank tidak meminta nomor pendaftaran usaha atau pajak, melainkan mensyaratkan KTP atau kartu pendaftaran keluaraga dan referensi-referensi informal lainnya (misalnya, dari kepala desa).
32
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
jenis pemohon kredit tertentu.23 Bank bersikap hati-hati dalam pendekatannya untuk beroperasi di Aceh, yakni menghindari sektor-sektor yang lebih berisiko seperti pertanian atau menghindari para peminjam seperti UKM. Dalam wawancara-wawancara yang dilakukan terhadap bank-bank umum di Banda Aceh, tampak bahwa bank-bank tersebut bersikap sangat hati-hati di provinsi ini (sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya pinjaman macet (non-performing loan/NPL) dari sebagian besar bank dan sektor perbankan secara umum), yang membatasi akses masyarakat dan usaha terhadap kredit. Pertama, bankbank biasanya enggan menawarkan produk-produk pinjaman yang tidak mewajibkan adanya barang jaminan dan sebagian besar menargetkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).24 Hal ini dapat menjadi halangan yang serius bagi akses karena banyak orang dan usaha kehilangan aset dan sertifikat selama tsunami, sehingga mereka tidak lagi dapat menggunakanya sebagai barang jaminan. Kedua, beberapa orang telah dimasukkan dalam “daftar hitam” oleh bank. Hal ini terjadi setelah mereka gagal mengembalikan pinjaman sebagai akibat dari kehilangan-kehilangan selama tsunami dan, untuk saat ini, mereka tetap tidak dapat mengajukan permohonan pinjaman baru walaupun sebagian besar pinjamanpinjaman lama tersebut telah diputihkan. Ketiga, pertanian tampaknya merupakan sektor yang relatif berisiko dan, walaupun banyak bank menyatakan ketertarikannya untuk memberi pinjaman lebih untuk mendorong pengembangan pertanian, hal ini masih harus ditindaklanjuti dengan kegiatan selanjutnya. Struktur kredit di Aceh lebih mengarah ke sektor-sektor yang dianggap kurang berisiko, seperti konstruksi dan perdagangan. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 12, alokasi kredit investasi dan modal kerja secara sektoral lebih diarahkan ke sektor-sektor yang dianggap lebih aman. Sektorsektor tersebut sebagian besar adalah ekonomi perkotaan, seperti perdagangan dan, pada tingkat yang lebih rendah, konstruksi. Sektor-sektor yang paling banyak menerima kredit adalah sektor-sektor di mana investasi modal tetap rendah, seperti perdagangan. Hal ini mungkin dapat menjadai petunjuk bahwa dunia usaha masih belum berniat melakukan investasi yang besar di provinsi ini karena mereka mempersepsikan adanya risiko yang besar bahwa konflik dapat timbul kembali dan membuat mereka terpaksa tidak bisa melanjutkan usaha. Membatasi investasi modal tetap dengan alasan bahwa mereka mungkin dipaksa meninggalkan usaha dalam keadaan seperti itu merupakan cara yang mudah bagi usaha untuk melindungi diri dari risiko tersebut. Bagian dari kredit yang masuk ke sektor manufaktur sejalan dengan daerah-daerah lain di Sumatera dan Indonesia, dan bagian kredit yang masuk ke sektor pertanian lebih rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sumatera. Pemberian pinjaman bagi industri pengolahan makanan dihambat oleh ukuran yang kecil dari industri tersebut di Aceh. Alokasi kredit yang besar bagi sektor konstruksi akan tampak bertentangan dengan pernyataan-pernyataan yang disampaikan para bankir yang diwawancarai, yang mengidentifikasi konstruksi sebagai sektor yang juga relatif berisiko: para kontraktor sering menghadapai persoalan-persoalan berkaitan dengan pemberian hak atas tanah, pungutan liar atau harga bahan bangunan yang berubah-ubah. Namun demikian, bagian kredit yang masuk ke sektor ini masih lebih tinggi daripada di daerah lain di Sumatera dan rata-rata nasional, yang menunjukkan bahwa, walaupun terdapat kesangsian seperti yang diutarakan, konstruksi merupakan pendorong utama perekonomian provinsi ini selama beberapa tahun terakhir di mana bagian yang besar dari semua sumber daya – pemerintah dan swasta – diberikan kepada sektor ini. 23 Kesulitan akses terhadap kredit bagi usaha-usaha dan para petani yang lebih kecil bukan hanya masalah khusus di Aceh, karena masalah tersebut mempengaruhi seluruh negara (dan sebagian negara lain untuk hal tersebut). Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk menangani permasalahan ini melalui skema kredit yang disubsidi atau dijamin menunjukkan tingkat pengembalian yang rendah, yang agaknya membenarkan keengganan bank swasta untuk memberi pinjaman bagi sektor ini. Di Aceh, program PER (Pemberdayaan Ekonomi Rakyat) diluncurkan pada 2001 dan terdiri dari pinjaman-pinjaman kecil (Rp.1 – Rp.250 juta) bagi UKM informal. Program ini tidak mempersyaratkan barang jaminan. Antara tahun 2001 dan 2003, Rp.47 milyar dicairkan di mana sejumlah Rp.40 milyar gagal bayar. Tingkat pengembalian yang rendah ini kemudian dijelaskan dengan tidak adanya persyaratan barang jaminan, tsunami dan akibat-akibatnya serta tidak baiknya perencanaan program (pemerintah, dan bukan bank, yang menyeleksi para pemohon). Tingkat pengembalian yang rendah dari skema bersubsidi yang disponsori oleh pemerintah juga disoroti oleh beberapa bank yang menjadi sumber diskusi tim di Aceh selama persiapan kajian ini. 24 Wawancara dengan bank-bank, Banda Aceh, Desember 2008.
33
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
Gambar 12 Sektor konstruksi dan perdagangan menerima bagian kredit yang relatif besar di Aceh Bagian dari investasi dan kredit modal kerja yang masuk ke sektor yang diseleksi, 2007 80.0% 70.0% 60.0% 50.0% 40.0% 30.0% 20.0% 10.0% 0.0% Pertanian
Aceh
Pertambangan Manufaktur
Sumatera Utara
Listrik Gas, & Air
Kalimantan Timur
Bangunan
Perdagangan, Transportasi, Jasa usaha gudang & restoran dan komunikasi hotel
Sulawesi Tengah
Papua
SUMATERA
Jasa sosial
INDONESIA
Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia
Secara umum, tampak bahwa bank-bank tidak bersedia memberikan pinjaman bagi sektor agrobisnis dan perkebunan yang berskala kecil apabila pemerintah atau LSM tidak membantu penjaminan pinjaman tersebut. Ada pemahaman bahwa pasar telah terdistorsi ketika para petani dan nelayan telah menerima hibah dan pinjaman dari LSM selama rekonstruksi, dan saat ini tidak bersedia mengambil kredit komersial yang wajib mereka kembalikan.25 Program-program pemberian pinjaman mikro yang tidak mensyaratkan barang jaminan, atau yang hanya menerima peralatan atau perabotan rumah tangga sebagai barang jaminan, sangat berhasil dan memperoleh permintaan yang tinggi. Bahkan bank-bank yang memiliki tenaga ahli di bidang kredit mikro, dan berpengalaman memeberikan pinjaman bagi ekonomi pedesaan di provinsi-provinsi lain tampaknya juga enggan untuk melaksanakan program-program pemberian pinjaman pembiayaan mikro di Aceh.26 Lagi pula, sebagian dari keberhasilan perbankan syariah akhir-akhir ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa perbankan ini tidak mensyaratkan barang jaminan untuk memberikan pinjaman.27 Orang atau kelompok yang telah kehilangan aset-asetnya karena tsunami atau karena konflik mungkin bisa terhalang untuk mengakses kredit. Terdapat bukti bahwa para korban konflik memiliki lebih sedikit aset dibandingkan yang bukan korban konflik (Tabel 8). Kasus mantan kombatan GAM juga patut dilihat bahwa: secara rata-rata, walaupun mereka memiliki pendapatan yang sama dengan warga sipil, basis aset mereka lebih rendah. Mungkin juga ada beberapa kelompok yang kurang beruntung di Aceh mengalami hambatan untuk mengakses kredit, yang pada gilirannya dapat menjadi penghalang bagi mereka untuk dapat melakukan kegiatan ekonomi dan berinvestasi.
25 IFC, “Aceh Financial Sector Diagnostics”, November 2007. 26 Wawancara dengan bank-bank, Banda Aceh, 2009. 27 IFC, “Aceh Financial Sector Diagnostics”, November 2007, hal.2.
34
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Tabel 8 Pendapatan dan kekayaan (hanya untuk laki-laki) Perbandingan Kelompok-Kelompok Warga Ex-TNA Korban Sipil terhadap terhadap warga non-korban (n =1792) (n = 974) (n = 1321) sipil 16.596 16.146 16.918 -347 -771
Semua Laki-Laki TNA (n=1024)
Laki-Laki Warga Sipil NonKorban korban
Pendapatan Rata-Rata (Rp. ‘000) 16.248 Pengukuran Kemiskinan Rumah Tangga, 2008 Aset-aset rumah tangga (rata-rata) (Rp. 17.426 24.370 23.520 25.838 -694*** -2.586* ‘000) Meter persegi tanah yang digarap oleh 7.628 10.044 8.912 10.800 -2.416 -1.887 rumah tangga (rata-rata) Bagian rumah yang terbuat dari beton 27 36 31 40 -9*** -9** (%) Akses terhadap air dari sumber yang 46 60 56 63 -15*** -7** bersih/terlindungi (%) Persepsi tentang Kemiskinan Rumah tangga di kalangan sepertiga 65 47 53 42 18*** 12*** termiskin di desa†† *** Signifikan pada 99%; ** Signifikan pada 95%; * Signifikan pada 90%. Tabel melaporkan rata-rata penduduk dan n sampel. Sumber: MSR, 2009.
Setelah berakhirnya konflik, bank telah memulai kembali operasinya di Aceh dan secara bertahap kembali ke modus operasi “ bismis seperti biasa” di daerah tersebut. Akan tetapi, bukti menunjukkan bahwa proses ini barangkali lebih lambat daripada yang diperkirakan oleh bank. Pada saat ini, sebagian besar bank hanya beroperasi di kota-kota utama provinsi dan sangat sedikit menjangkau daerah-daerah pedesaan. Akibatnya, mereka kekurangan kapasitas untuk memberikan pinjaman bagi sektor-sektor ekonomi yang utama dalam perekonomian, seperti pertanian dan perikanan. Bank-bank sebagian besar melayani para peminjam yang paling tidak beresiko. Tidak ada bank yang memberikan pinjaman usaha kepada perusahaan-perusahaan yang berusia kurang dari satu tahun. Bank-bank sebagian besar memberi pinjaman kepada usaha-usaha yang sudah berkembang dan memiliki aliran kas yang besar dan jaminan yang cukup. Di Aceh, usaha-usaha tersebut sebagian besar adalah usaha perdagangan dan, pada tingkat yang lebih kecil, kontraktor. Akses terhadap pembiayaan, terutama untuk beberapa sektor usaha, tampaknya menjadi persoalan di Aceh. Walaupun agak rendah, akses terhadap kredit di Aceh tampaknya bukan merupakan hambatan yang mengikat bagi pertumbuhan di provinsi ini. Usaha kecil dan menengah yang mengajukan permohonan pinjaman pada umumnya berhasil: hanya 4,13 persen yang ditolak selama paruh pertama tahun 2008 (World Bank, 2008d). Persoalan-personalan akses terhadap pembiayaan tampaknya menyebar di Indonesia dan tidak dapat menjadi alasan tingkat kredit yang rendah di Aceh. Rendahnya tingkat kredit yang diberikan kepada sektor swasta mungkin merupakan suatu upaya dari bank untuk menghadapai apa yang oleh banyak pihak dianggap sebagai risiko-risiko yang lebih besar dalam beroperasi di Aceh. Fungsi perantara bank juga terhalang oleh fakta bahwa banyak bank beranjak dari provinsi ini selama konflik, dan kembali ke Aceh saat-saat terakhir ini, sehingga bank-bank tersebut memiliki sedikit cabang di provinsi ini, dan harus mendirikan kembali usaha serta jaringan nasabah mereka. Bank-bank memberi pinjaman kepada para peminjam yang tidak memiliki resiko tinggi yaitu: usaha-usaha dan perusahaan-perusahaan yang mapan dan memiliki arus kas yang tinggi yang dapat mengembalikan pinjaman dengan cepat atau memberikan pinjaman konsumsi bagi pegawai negeri sipil. Sektor-sektor pertanian, pengolahan makanan, dan manufaktur skala kecil semuanya memiliki potensi untuk menciptakan pertumbuhan
35
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
ekonomi yang berkelanjutan dan bersama, tetapi tidak dapat dengan mudah mengakses kredit karena sektor-sektor tersebut masuk dalam kategori yang membuat bank enggan memberikan pembiayaan. Akses terhadap kredit bukanlah halangan utama bagi pertumbuhan di Aceh, tetapi mengingat sektor swasta maupun individu-individu tersebut telah mengidentifikasi keadaan tersebut sebagai hambatan produktifitas, upaya meningkatkan akses terhadap kredit mungkin menjadi penting agar kaum miskin juga dapat mengambil manfaat dari pertumbuhan. Lembaga-lembaga pemerintah dapat melakukan dua intervensi utama untuk meningkatkan akses sektor swasta di Aceh untuk memperoleh kredit: •
Memperluas/memperkenalkan program-program jaminan sebagian jenis Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang dibantu Pemerintah Aceh/Pemerintah Indonesia, untuk memberikan insentif bagi bank dalam rangka memberikan pinjaman kepada nasabah-nasabah baru. Program tersebut seharusnya mempertimbangkan strategi transisi (exit strategies) bagi perusahaanperusahaan yang telah membuktikan pengembalian kreditnya dengan baik dan dengan demikian dapat mengakses kredit tanpa jaminan yang memberatkan. Mengingat pengalaman Aceh dengan program-program tersebut, perhatian khusus harus diberikan bagi rencana programnya agar menghindari rendahnya tingkat pengembalian, sebagaimana dalam program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, atau rendahnya daya serap (intake), seperti dalam program Kredit Pemberdayaan Pengusaha yang telah diluncurkan;
•
Mendukung layanan pengembangan usaha (misalnya melalui Pusat-Pusat Layanan Usaha Pembangunan atau Development Business Services Center – DBS) yang menyediakan informasi bagi usaha-usaha kecil dan menengah tentang pengembangan usaha, sambil mengidentifikasi usaha-usaha yang memiliki potensi yang bisa dikembangkan dan menghubungkan usahausaha tersebut dengan sumber-sumber kredit. DBS seharusnya berfokus pada sektor pertanian, perikanan dan pengolahan hasil pertanian, karena sektor-sektor ini berpotensi menjadi mesin pertumbuhan inklusif di Aceh maupun karena fakta bahwa sektor-sektor ini seringkali oleh bank diidentifikasi sebagai sektor-sektor yang sangat berisiko.
Bagian ini telah memberikan bukti bahwa dunia usaha di Aceh memiliki akses yang rendah terhadap kredit, dan juga telah menganalisis sebab-sebabnya. Walaupun mungkin terdapat persoalan-persoalan berkaitan dengan peran intermediasi yang dimainkan oleh bank, tidak terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa fungsi intermediasi bank-bank di Aceh secara signifikan lebih buruk dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagai akibatnya, hingga ke tingkat yang lebih besar, alasanalasan bagi rendahnya tingkat pemberian kredit kepada usaha-usaha lebih disebabkan oleh risiko-risiko yang lebih tinggi yang dipersepsikan dalam menjalankan usaha di Aceh serta potensi keuntungan yang rendah dari usulan-usulan investasi terkait. Bagian berikut dari laporan ini menganalisis alasan-alasan yang mungkin di balik keadaan ini.
36
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
06
Hasil Sosial yang Rendah Insentif untuk melakukan investasi boleh jadi turun karena rendahnya kualitas atau tidak tersedianya sama sekali beberapa faktor produksi yang bersifat pendukung. Produktivitas para pekerja mungkin boleh jadi rendah karena rendahnya keterampilan, rendahnya kualitas infrastruktur atau kondisi geografis yang merugikan perkembangan usaha. Modal sumber daya manusia sangat penting untuk meningkatkan produktivitas, karena hal tersebut memungkinkan kemajuan teknologi dan perkembangan industri-industri padat keterampilan. Indikator dasar pencapaian pendidikan Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain di kawasan yang sama. Di tingkat nasional, indikator infrastruktur dasar, khususnya dalam bidang energi, transportasi, dan air serta sanitasi masih rendah. Kekurangan-kekurangan tersebut dapat menimbulkan kendala serius dalam upaya untuk mencapai produktivitas usaha dan dengan demikian berdampak pada insentif bagi perusahaan-perusahaan dalam melakukan investasi. Dalam menganalisis kualitas dan ketersediaan faktor-faktor produksi yang bersifat komplementer, akan sangat bermanfaat untuk membandingkan Aceh dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia untuk menilai sejauh mana keberhasilan yang dicapainya atau kegagalan yang dialaminya dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain. Mengingat lokasi Aceh yang menguntungkan, faktor geografis tampaknya tidak menimbulkan hambatan yang signifikan bagi pertumbuhan. Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan menganggap lokasi dan karakteristik geografis sebagai serangkaian faktor yang bersifat komplementer yang berdampak pada hasil sosial untuk investasi: kita dapat menganggap kondisi negara yang tidak memiliki daerah pantai, dan ketiadaan sumber daya alam atau tanah yang dapat digarap sebagai faktor-faktor geografis yang dapat memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan. Aceh terletak di ujung bagian utara Sumatera dan berada di pusat rute perdagangan dan dikaruniai dengan sumber daya alam. Lokasinya dekat dengan pusat industri dan perdagangan utama di Sumatera, Medan dan pasar-pasar regional, termasuk negara tetangga Malaysia dan Singapura. Iklim Aceh memungkinkan pembudidayaan beberapa jenis tanaman ekspor, seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi dan bersama-sama dengan provinsi tetangganya, Sumatera Utara, di sanalah terdapat salah satu dari beberapa hutan hujan yang tersisa di Asia Tenggara. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini tidak hanya menyoroti keuntungan yang dilihat oleh para investor dari kedekatan Aceh dengan pusat industri dan perdagangan utama seperti Medan serta Malaysia, melainkan juga menyebutkan beberapa hambatan yang menghalangi Aceh untuk memperoleh manfaat dari kedekatan tersebut. Hal ini mencakup lemahnya hubungan rantai pasokan dengan rantai domestik dan global yang lebih luas, kegagalan informasi pasar dan lemahnya daya tawar perkebunan skala kecil, lemahnya pemberian layanan dan kualitas produk (IFC, 2008). Para calon investor menganggap kedekatan dan logistik angkutan ke Medan sebagai sebuah aset untuk Aceh, dan bukanlah sebagai sebuah
37
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Hasil Sosial yang Rendah
hambatan. Apakah kebutuhan pertumbuhan perekonomian menjadi tidak berimbang karena terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi masih menjadi perdebatan yang hangat (World Bank, 2009b). Perdebatan ini juga berlangsung di Aceh, pada saat membahas tentang manfaat dari kedekatan Aceh dengan Medan dan apakah pengelompokan kekuatan, yang menarik kegiatan investasi dan perekonomian ke Medan, merupakan suatu insentif atau disinsentif (misalnya oleh semua kegiatan bernilai tambah yang berlangsung di Medan alih-alih di Aceh) untuk melakukan investasi di Aceh. Tanpa bermaksud mengakhiri perdebatan tersebut melainkan berdasarkan bukti yang ada dan wawancara dengan para calon investor, laporan ini menunjukkan bahwa lokasi geografis Aceh tidak merupakan kendala yang mengikat bagi investasi dan pertumbuhan.
a. Infrastruktur: jalan-jalan Infrastruktur seringkali disoroti sebagai hambatan utama terhadap investasi di Aceh. Indikatorindikator infrastruktur dasar tampaknya sebanding dengan rata-rata nasional di sejumlah bidang, seperti irigasi dan akses terhadap tenaga listrik. Namun demikian, skor Aceh jauh lebih rendah dalam indikatorindikator yang berhubungan dengan sambungan telepon, sanitasi pribadi, dan pengelolaan limbah. Semua jenis infrastruktur tidak sama pentingnya untuk beberapa usaha dan bagian ini akan berfokus pada pemahaman tentang masalah-masalah khusus terkait jaringan jalan dan listrik, yang keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberhasilan pembangunan sektor swasta. Tabel 9 Kondisi infrastruktur di Aceh dan Indonesia tahun 200528 Kondisi Infrastruktur28 Rumah tangga yang memiliki akses terhadap listrik
Aceh (%)
Indonesia (%)
73,0
68,7
Desa-desa yang tidak dilengkapi listrik
7,7
7,3
Sambungan telepon
6,2
12,2
Lahan yang mendapat irigasi sebagai persentase terhadap tanah tegalan
52,8
54,6
Sanitasi pribadi
34,2
52,2
3,7
8,5
Pengelolaan limbah Sumber: Podes, 2005.
Sektor swasta memiliki anggapan yang beragam tentang kondisi infrastruktur, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar di bawah ini. Ketika perusahaan-perusahaan di Aceh dimintai pandangannya tentang kondisi jalan-jalan kabupaten dan kota, penerangan jalan, dan listrik di dekat lokasi kegiatan operasi mereka, lebih dari 35 persen menilai layanan tersebut “buruk” atau “sangat buruk”. Namun demikian, indikator-indikator persepsi tampaknya sebanding untuk sebagian besar jenis infrastruktur, yang tidak memiliki jenis tunggal atau kelompok yang dikhususkan oleh perusahaan yang telah ada sebagai hal yang lebih bermasalah. Beberapa jenis infrastruktur masih menimbulkan hambatan bagi investasi dan pertumbuhan dengan tidak mendukung para investor baru untuk menetap di provinsi tersebut. Dalam diskusi dengan Kantor Penunjang Investasi (Investors Outreach Office) di Aceh, ketiadaan pasokan listrik yang dapat diandalkan dianggap sebagai kendala utama bagi gagasan-gagasan usaha yang dalam kondisi yang berbeda akan mampu bertahan hidup. Untuk memahami jenis infrastruktur mana yang jauh lebih buruk di Aceh, laporan ini mengandalkan ukuran-ukuran cakupan dan kualitas infrastruktur yang lebih objektif di Aceh dan membandingkannya dengan provinsi-provinsi lain.
28 Indikator (ukuran): Rumah tangga yang memiliki akses terhadap listrik (porsi), desa-desa tanpa listrik (porsi), sambungan telepon (porsi desa yang telah tersambung), lahan yang mendapat irigasi sebagai persentase terhadap tanah tegalan (porsi), sanitasi pribadi (porsi rumah tangga yang memiliki septic tank), pengelolaan limbah (porsi desa yang dilengakapi dengan sistem pengolahan limbah yang memadai, seperti tempat pembuangan sampah akhir)
38
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Gambar 13 Bagaimana perusahaan-perusahaan menilai kondisi dari jenis-jenis infrastruktur yang berbeda 0.7 0.6 Jelek sekali Jelek Bagus Bagus sekali Tidak tahu
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 Kab/Kota jalan
iluminasi jalan
Air minum Listrik yang disuplai pemerintah daerah
Telephone
Sumber: The Asia Foundation / KPPOD
Kendati persepsi yang berkembang berbeda, infrastruktur jalan di Aceh tampaknya tidak lebih buruk dibandingkan dengan kondisi di daerah lain di Indonesia. Data yang diperoleh dari dinas Pekerjaan Umum menunjukkan bahwa pada tahun 2006, jaringan jalan kabupaten dan provinsi Aceh berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan rata-rata jaringan jalan di Sumatera atau Indonesia secara keseluruhan. Hanya jaringan jalan nasional yang berada dalam kondisi yang lebih buruk, di mana jalan-jalan nasional di sepanjang pantai timur dan barat rusak parah akibat tsunami. Pada tahun 2000, 78 persen jaringan jalan nasional di Aceh berada dalam kondisi yang baik, dibandingkan dengan 69 persen jaringan jalan di Sumatera secara keseluruhan dan 54 persen jaringan jalan di tingkat nasional. Dalam hal kepadatan jalan, Aceh lebih baik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia dan sangat serupa dengan Sumatera secara keseluruhan. Tabel 10 Kondisi Jalan di Aceh, 2006 Jalan yang berada dalam kondisi baik, 2006 Aceh Sumatera Utara Pulau Sumatera Nasional
Jalan Kabupaten (%) 28 12,2 17,9 20,2
Jalan Nasional (%) 6 42 57 52
Jalan Provinsi (%) 9,5 4,9 6,2 10,8
Kepadatan jalan* Kepadatan jalan* Km/ 10.000 orang Km / 100 km2 3,5 1,7 3,6 1,4
2,7 2,9 2,8 1,7
Sumber: Bina Marga, Pekerjaan Umum. * Jalan Provinsi.
Infrastruktur mengalami kerusakan signifikan selama konflik. Beberapa dari indikator ketertinggalan dapat dijelaskan sebagai akibat dari konflik. Sebuah penilaian tentang kerusakan dan kerugian akibat konflik yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen dari sembilan jenis infrastruktur yang rusak selama konflik adalah sebagai berikut: transportasi, jembatan, air dan sanitasi, listrik, irigasi, fasilitas desa, fasilitas perekonomian, perumahan, dan tanah produktif (MSR, 2009). Pada tahun 2006, hanya 12 persen dari kerusakan ini yang telah diperbaiki. Sembilan puluh enam ribu hektar sawah (31 persen dari jumlah total di Aceh) terlantar; 278.000 hektar lahan perkebunan lainnya (49 persen) tidak dapat digunakan karena konflik dan lebih dari 200.000 ekor ternak (sapi dan kerbau) hilang selama konflik. Di sektor usaha, 1.483 penggilingan padi dan pabrik pengolahan kecil lainnya rusak (47 persen dari jumlah total), sekitar 6.707 toko, pertokoan, dan warung makanan dan hampir 1.409 pasar desa (dari total 2.368) rusak atau hancur. Hampir 1.179 km jalan kabupaten (43 persen dari total), 2.641 km jalan akses ke desa (60 persen), dan 1.442 km jalan akses ke dusun (61 persen) rusak. Sebanyak 2.195 jembatan beton dan 4.468 jembatan jenis lain (kayu, gantung, baja) juga rusak. Infrastruktur yang rusak selama konflik yang cenderung dibangun kembali relatif rendah, khususnya apabila dibandingkan dengan jangka waktu pembangungan kembali infrastruktur yang rusak akibat tsunami.
39
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Hasil Sosial yang Rendah
Rekonstruksi setelah tsunami telah memberi Aceh infrastruktur yang lebih baik. Proyek-proyek infrastruktur senilai sekitar AS$1,5 miliar (dalam bidang transportasi, irigasi, dan energi) telah dialokasikan. Sejak bulan Desember 2008, sekitar 3.000 km jalan (semua jenis jalan) telah dibangun, 273 jembatan telah diperbaiki, demikian pula 12 landasan pacu dan 20 pelabuhan.29 Semua ini dilakukan terutama di daerah-daerah yang terkena dampak tsunami, dengan sejumlah kecil investasi di wilayah tengah Aceh dan daerah-daerah lain yang tidak terkena dampak tsunami: hanya sembilan persen dari nilai kerusakan dan kerugian terkait konflik yang telah dialokasikan dalam bentuk dukungann pasca konflik (MSR, 2009). Di daerah-daerah pasca konflik, masih diperlukan bantuan yang cukup besar dalam bidang perumahan, pertanian, dan pengangkutan. Di daerah-daerah di mana infrastruktur telah diperbaiki setelah tsunami, belum pasti apakah pemerintah daerah memiliki sumber daya dan kemampuan untuk memelihara aset baru tersebut. Pemerintah tetap menjadi investor utama dalam bidang infrastruktur. Walaupun beberapa industri terpaksa membangun infrastruktur mereka sendiri (minyak dan gas, industri pupuk, dan beberapa perkebunan), sebagian besar dari sektor swasta masih mengandalkan penyediaan infrastruktur oleh pemerintah. Belanja pemerintah untuk infrastruktur turun secara signifikan seiring dengan diterapkannya desentralisasi, tetapi kemudian meningkat kembali (baik secara mutlak maupun relatif ) sejak tahun 2004, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 14. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini tentang belanja pemerintah di Aceh menunjukkan kenaikan belanja pemerintah untuk infrastruktur secara keseluruhan (World Bank, 2008b) serta kenaikan dalam alokasi untuk operasional dan pemeliharaan (World Bank, 2006b) sebesar sampai dengan 9 persen, masih di bawah rata-rata nasional sebesar 12 persen. Mempertahankan alokasi dana yang tinggi untuk infrastruktur dan belanja khusus untuk operasional dan pemeliharaan perlu dilakukan untuk terus meningkatkan infrastruktur jalan di Aceh. Gambar 14 Belanja pemerintah untuk infrastruktur di Aceh telah meningkat sejak tahun 2004 60
2500
50
2000
40
1500
30
1000
20
500
10
0
0 1999
2000
2001
2002
Bagian (kanan)
2003
2004
2005
2006
Bagian dari anggaran total (%)
Rp Billion
Investasi pemerintah untuk infrastruktur 3000
2007
Belanja Pemerintah (kiri)
Catatan: Harga konstan 2006. Sumber: Provinsi, Departemen Keuangan, perhitungan staf Bank Dunia.
b. Infrastruktur: listrik Permintaan akan listrik terus meningkat dan ketiadaan pasokan listrik yang dapat tersedia seringkali diidentifikasi sebagai hambatan utama bagi pembangunan perekonomian di Aceh. Tidak berbeda dengan tren nasional, pertumbuhan permintaan listrik mencapai hampir 10 persen selama lima tahun terakhir. Sektor rumah tangga mencatat 67 persen dari permintaan, sementara permintaan dari sektor usaha dan pemerintah masing-masing sebesar 14,5 persen dan 18,5 persen. Hampir 80 persen pasokan listrik di Aceh berasal dari sistem interkoneksi Sumatera (Sumatra Interconnection System) melalui Sumatera Utara. Sistem ini telah dirancang untuk meningkatkan efisiensi dalam distribusi, tetapi hal ini sekaligus menunjukkan secara tidak langsung bahwa Aceh rentan terhadap gangguan koneksi jarak jauh, yang kadang-kadang dapat terjadi, misalnya dalam keadaan cuaca buruk. Aceh memiliki pasokan listrik yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dalam kondisi normal, tetapi kekurangan 29 Sektor energi merupakan salah satu dari sedikit sektor yang tidak mendapakan dana yang memadai untuk melakukan pemulihan dari dampak tsunami. Dengan kebutuhan minimum diperkirakan mencapai hampir sebesar AS$120 juta, dana yang dialokasikan mencakup kurang dari 40 persen kebutuhan minimum.
40
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
cadangan listrik siaga yang diperlukan sebagai cadangan apabila jaringan pasokan terganggu (Gambar 15). Hal ini sering terjadi di Aceh: perusahaan-perusahaan di Aceh melaporkan bahwa pasokan listrik terganggu rata-rata selama 4,3 kali per minggu, sementara di wilayah lain di Indonesia, gangguan listrik ini hanya terjadi dua kali seminggu. Diskusi-diskusi yang diadakan dengan para perwakilan sektor swasta juga menggarisbawahi bahwa ketiadaan listrik yang dapat diandalkan merupakan kendala utama yang dihadapi oleh jenis-jenis kegiatan tertentu (pengolahan ikan, peternakan unggas) yang dalam keadaan sebaliknya akan mampu berkembang. Gambar 15 Aceh kekurangan cadangan listrik siaga yang diperlukan untuk menghindari gangguan pasokan Listrik di Aceh (GwH) 2500 2000 1500 1000 500 0 2007
2008 Kapasitas
2009
2010
2011
2012
Permintaan (termasuk cadangan)
Sumber: RUPTL NAD 2008-2017, PLN, perhitungan staf Bank Dunia.
Menurut PLN, tingkat elektrifikasi di Aceh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Sumatera dan Indonesia (Tabel 11). Elektrifikasi di tingkat rumah tangga tidaklah selalu dapat dilihat sebagai yang sesuatu yang dapat diandalkan dan lancar. Beberapa industri, seperti minyak dan gas bumi atau semen, terpaksa harus menyediakan pasokan listrik mereka sendiri: secara bersama-sama industri tersebut memproduksi sekitar 427.000 kVA untuk kebutuhan mereka sendiri pada tahun 2007. Pada tahun tersebut, sekitar 575.000 kVA atau 3 persen dari total pasokan listrik di Aceh dihasilkan oleh sektor swasta untuk konsumsi mereka sendiri. Untuk industri-industri berskala menengah dan kecil, yang beroperasi dalam skala yang lebih kecil, menghasilkan listrik secara swadaya seringkali bukanlah suatu pilihan dan pasokan listrik dapat menjadi hambatan yang signifikan. Tabel 11 Tingkat elektrifikasi di Aceh berada di tingkat yang sama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia Tingkat Elektrifikasi – Provinsi (%) Java - Bali – Madura NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kalimantan Timur Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo Papua NTT Batam Sumatera Indonesia
2003 59,5 56,2 67,1 60,5 38,5 49,8 46,2 27,4 22,4 68,7 50,3 54,8
2008 67,3 69,8 78,2 72,9 47,1 65,4 53,5 34 28,7 96 62,8 63,5
2013 77,3 86,5 93,2 94,3 56,9 91,1 63 42,6 37,2 100 80,3 75,2
Sumber: PLN.
41
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Hasil Sosial yang Rendah
Pemadaman listrik yang sering dilakukan, bahkan di ibukota provinsi Banda Aceh, sebagai akibat dari kekurangan kapasitas, peralatan yang relatif tua, dan pemeliharaan yang seringkali diperlukan, kemungkinan menimbulkan hambatan yang signifikan terhadap pertumbuhan. Investasi yang cukup signifikan dalam sektor kelistrikan diperlukan untuk menjamin pasokan listrik yang lancar dan menghindari keharusan sektor swasta untuk menghasilkan listriknya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan listrik yang terus meningkat, PLN memperkirakan bahwa diperlukan investasi sebesar sekitar AS$130 juta selama lima tahun ke depan (PLN, 2007). Sebagian besar investasi berasal dari sektor publik. Struktur pasar energi yang berlaku saat ini tampaknya tidak mendorong investasi yang signifikan dalam hal produksi energi oleh sektor swasta, mengingat kebijakan harga yang diberlakukan saat ini oleh PLN. Masih belum dipastikan apakah pemerintah provinsi mempunyai kemampuan untuk melakukan investasi yang diperlukan dalam jangka pendek. Selain meningkatkan kehandalan pasokan energi dari Sistem Interkoneksi Sumatera, Pemerintah Aceh dapat mempertimbangkan penggunaan sumber energi yang lebih terkini, yang sebelumnya telah diidentifikasi memiliki potensi untuk Aceh (CSIRO, 2008). Terdapat beberapa peluang untuk meningkatkan perkembangan energi panas bumi, bio-masa lokal, dan sinar matahari, untuk menjamin pasokan energi lokal yang handal guna mendukung pembangunan provinsi tersebut.
c. Pendidikan dan modal sumber daya manusia Tingkat capaian pendidikan di Aceh cukup tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain dan rata-rata di Indonesia, tetapi para mantan anggota GAM kurang mendapat pendidikan dibandingkan dengan masyarakat sipil. Tingkat partisipasi di tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama pada tahun 2007 lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat partisipasi secara nasional dan dibandingkan dengan provinsi tetangganya yang lebih kaya, Sumatera Utara (Tabel 12). Belum terjadi evolusi yang signifikan sejak berakhirnya konflik dan tsunami karena tingkat partisipasi pada tahun 2007 masih sama dibandingkan dengan tingkat partisipasi pada tahun 2004. Tabel 12 Capaian pendidikan 2004 Pendidikan Aceh Angka Partisipasi Bersih SD Angka Partisipasi Bersih SMP Angka Partisipasi Bersih SMA Angka Partisipasi Kotor SD Angka Partisipasi Kotor SMP Angka Partisipasi Kotor SMA
95,9 80,0 62,0 108,8 95,9 75,2
Sumatera Utara 93,6 73,0 56,6 106,6 89,9 70,9
2007 Nasional (rata-rata) 93,0 65,2 42,9 107,1 82,2 54,4
Aceh 95,7 76,4 61,8 114,3 91,1 76,8
Sumatera Utara 93,9 73,6 54,8 111,0 91,3 69,0
Nasional (rata-rata) 93,8 66,6 44,6 110,4 82,0 56,7
Sumber: Susenas, 2004-07.
Data yang diperoleh dari Survei tentang Reintegrasi dan Penghidupan di Aceh (Aceh Reintegration and Livelihood Survey/ARLS) menunjukkan bahwa rata-rata para mantan anggota GAM kurang mendapat pendidikan dibandingkan dengan masyarakat sipil. Rangkaian data dari ARLS memberikan informasi tentang individu, rumah tangga, dan desa-desa dan berfokus pada reintegrasi pasca konflik di Aceh. ARLS dilaksanakan sejak bulan Juli-September 2008 di 754 desa di Aceh. Contoh yang diambil diupayakan agar representatif untuk para pria di seluruh Aceh (dan perempuan dalam sebuah kelompok di kabupaten-kabupaten) dan memungkinkan diadakannya perbandingan antara beberapa kelompok, termasuk mantan anggota GAM versus masyarakat sipil dan para korban versus non-korban. Kajian tersebut menggunakan data ini untuk mengetahui situasi sosial ekonomi yang dihadapi oleh sebagian dari kelompok tersebut, termasuk para mantan anggota GAM dan tantangan-tantangan khusus yang
42
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
mereka hadapi. Pertimbangan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menggariskan kebijakan yang terkait untuk mencapai pertumbuhan inklusif. Dalam hal pendidikan, apabila membandingkan antara para mantan anggota GAM dan masyarakat sipil, tampak bahwa para mantan anggota GAM kemungkinan besar berhenti bersekolah di tingkat sekolah dasar atau sekolah menengah pertama (Tabel 13). Hanya 17 persen dari mereka yang lulus sekolah menengah atas atau memperoleh pendidikan di tingkat perguruan tinggi dibandingkan dengan 34 persen masyarakat sipil (MSR, 2009). Namun demikian, lebih banyak dari mereka yang melek huruf yang menunjukkan bahwa kemungkinan besar mereka telah memperoleh pendidikan dasar. Tabel 13 Karakteristik dasar, perbandingan antara mantan Tentara Nasional Aceh (TNA), korban sipil, dan non korban (khusus pria)
Usia (rata-rata) Penduduk Aceh (%) Melek Huruf (%) Pendidikan (%) Tidak memiliki pendidikan Lulus sekolah dasar Lulus sekolah menengah pertama Lulus sekolah menengah atas atau lebih tinggi
Semua Pria Mantan-TNA Sipil (n=1024) (n=1794) 35 40 94 70 96 91 15 40 29 17
Kelompok Pembanding Mantan-TNA terhadap sipil -6 *** 24 *** 5 ***
17 29 20 34
-3 11 *** 9 *** -17 ***
*** Signifikan 99%; ** Signifikan 95%; * Signifikan 90%. Tabel reports population means and sample n’s. Sumber: MSR 2009.
Selama konflik, infrastruktur pendidikan banyak menjadi target, di mana pihak yang bertikai berupaya untuk menghancurkan tempat-tempat persembunyian potensial dan penghancuran yang infrastruktur pemerintah. Penilaian terhadap kerusakan dan kehilangan (MSR, 2009) memperkirakan bahwa 49 persen sekolah menengah atas, 47 persen sekolah menengah pertama, 54 persen sekolah dasar, dan madrasah tradisional (sekolah Islam), dan 74 persen taman kanak-kanak rusak selama konflik. Sekolah-sekolah seringkali ditutup sementara terutama pada saat kekerasan meningkat. Selama enam bulan setelah kegagalan Perjanjian Penghentian Permusuhan pada bulan Mei 2003, 880 sekolah harus ditutup (Barron, 2008). Beberapa universitas juga diserang. Sejumlah besar penduduk Aceh meninggalkan provinsi ini selama periode ini. Czaika dan Kis-Katos (2007), misalnya, memperkirakan bahwa lebih dari 180.000 orang meninggalkan Aceh antara tahun 1999 dan 2002, yang membuktikan bahwa konflik tersebut merupakan faktor penentu dalam migrasi penduduk keluar dari provinsi tersebut. Setelah pemerintah mendeklarasikan darurat militer di Aceh pada bulan Mei 2003, lebih dari 100.000 penduduk Aceh meninggalkan wilayah tersebut, di antara mereka terdapat banyak pelajar dan pelaku usaha (Misbach, 2007). Industri-industri berbasis pertanian dan para pedagang meninggalkan provinsi tersebut dan ratusan mahasiswa Universitas Syiah Kuala melanjutkan pendidikan mereka di luar Aceh. Namun demikian, terdapat tanda-tanda bahwa situasi keamanan yang membaik dan peluang-peluang yang diciptakan melalui upaya rekonstruksi berhasil membawa kembali beberapa pelaku usaha dan tenaga kerja terampil ke Aceh.30 Upaya rekonstruksi pada gilirannya telah memberikan kontribusi terhadap makin meningkatnya modal sumber daya manusia di provinsi tersebut. Proyek-proyek rekonstruksi telah meningkatkan fasilitas pendidikan dan kemampuan para pejabat pemerintah. Sejak bulan Desember 30 Wawancara dengan Kepala Kamar Dagang dan Industri dan para pemimpin perusahaan.
43
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Hasil Sosial yang Rendah
2008, 40.000 guru telah mendapatkan pelatihan selama upaya rekonstruksi.31 Beberapa pelaku rekonstruksi telah mempekerjakan staf lokal, yang kemungkinan telah menciptakan alih pengetahuan secara signifikan.
Ketersediaan tenaga kerja terampil tampaknya bukan hambatan dan tidak terjadi kekurangan tenaga kerja terampil di provinsi Aceh. Pasar tenaga kerja tampaknya tidak mampu menyerap tenaga kerja yang telah ada dan hanya terdapat beberapa peluang lapangan kerja untuk para pekerja terampil di Aceh. Mayoritas angkatan kerja di Aceh (lebih dari 60 persen) bekerja di sektor informal. Pemberi kerja utama adalah sektor pertanian diikuti oleh sektor perdagangan dan jasa, dengan peluang lapangan kerja yang terbatas di sektor industri. Pemerintah daerah tampaknya harus menyerap bagian terbesar dari angkatan kerja terampil,32 karena terbatasnya peluang lapangan kerja di sektor formal bagi para lulusan sarjana dan lebih dari sepertiga dari semua lulusan universitas mencari peluang kerja di luar provinsi.33 Namun demikian, ketiadaan tenaga kerja terampil saat ini boleh jadi tidak menghambat pertumbuhan, karena mungkin Aceh berada dalam ekuilibrium pertumbuhan yang cukup rendah, dengan sejumlah tenaga kerja Aceh yang lebih terampil yang telah meninggalkan provinsi selama terjadinya konflik. Kita mungkin berharap hal ini akan tercermin dalam jumlah tenaga profesional yang bekerja di provinsi, misalnya dengan menunjukkan jumlah guru dan tenaga profesional di bidang kesehatan yang lebih rendah. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam tabel 12 di bawah ini, tidak terjadi kekurangan tenaga profesional di Aceh untuk memberikan layanan kesehatan dan pendidikan. Jumlah tenaga profesional di provinsi Aceh setara dengan rata-rata nasional atau di atas rata-rata dan lebih baik dibandingkan dengan Sumatera Utara (Tabel 14). Hal ini memberikan dukungan lebih besar terhadap gagasan bahwa tenaga kerja terampil tersedia dalam jumlah yang memadai. Seiring dengan pertumbuhan provinsi, keterampilan angkatan kerjanya mungkin menimbulkan kendala lebih besar, tetapi saat ini hal itu tampaknya bukan merupakan kendala bagi investasi dan pertumbuhan. Tabel 14 Tenaga profesional dalam bidang kesehatan dan pendidikan Guru/1000 * (2008) NAD Sumatera Utara Sumatera Total Nasional
14,84 14,04 n/a 14,98
Profesional bidang kesehatan/1000 ** (2007) 2,6 2,3 2,1 2,.0
* Termasuk para guru SD, SMP, SMA ** Termasuk para dokter umum, dokter spesialis, nutrisionis, perawat, operator peralatan medis, bidan. Sumber: Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, BPS
Selain itu, para pekerja terampil mendapat penghargaan atas keterampilan mereka setara dengan yang diterima oleh para pekerja di Sumatera (tetapi di bawah rata-rata nasional), yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memerlukan tenaga kerja terampil di Aceh tidak menghadapi kesulitan untuk mendapatkannya. Hasil pendidikan didefinisikan sebagai premi upah yang diterima oleh para karyawan dengan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan para karyawan yang kurang terdidik. Dalam kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan akan keterampilan di Aceh, masyarakat 31 Kemajuan Pemulihan di Aceh dan Nias, data dari Pusdatin-RAN Database-BRR di http://www.e-aceh-nias.org/home/default. aspx?language=EN, diakses pada tanggal 14 April 2009 32 Sebagian besar peluang lapangan kerja untuk para lulusan sarjana tersedia dalam sektor layanan Publik, industri perbankan, dan jasa. Sebagai gambaran, lebih dari 60.000 lulusan sarjana berkompetisi hanya untuk 6.000 jabatan baik dalam pemerintahan provinsi dan kabupaten di Aceh pada tahun 2008. 33 Wawancara dengan Ketua Alumni Universitas Syiah Kuala.
44
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
berharap agar hasil pendidikan di Aceh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia, yang ditunjukkan oleh premi yang dibayarkan terhadap upah di provinsi tersebut. Tabel 15 menunjukkan perbandingan antara premi-premi upah di Aceh, Sumatera Utara, dan Indonesia secara keseluruhan: penduduk yang hanya lulus SMA versus penduduk yang kurang berpendidikan, penduduk yang lulus SMA atau perguruan tinggi versus semua penduduk lain dan penduduk yang telah mengikuti pendidikan tersier versus semua penduduk lain (lihat Lampiran I untuk rincian). Tujuannya adalah untuk memperoleh harga perkiraaan (shadow price) dari keterampilan di Aceh, yang berarti seberapa tinggi perusahaan menghargai keterampilan para pekerjanya. Hasilnya menunjukkan bahwa keterampilan di Aceh mendapat penghargaan yang sama sebagaimana di Sumatera, tetapi lebih rendah dari penghargaan di tingkat nasional. Dengan mengendalikan variabel-variabel lain yang juga mempengaruhi upah, seperti usia, gender atau lokasi, seorang pekerja lulusan SMA atau lulusan pendidikan yang lebih tinggi boleh jadi berharap untuk memperoleh 39 persen lebih tinggi dibandingkan dengan para pekerja lain di Aceh. Di Sumatera, premi ini setara dengan 38 persen dan di Indonesia setara dengan 67 persen. Untuk pendidikan tersier, premi upah adalah 53 persen di Aceh, sementara di Sumatera Utara dan Indonesia mencapai sebesar masing-masing 61 persen dan 105 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan pekerja dengan pendidikan tersier di Aceh lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan di Sumatera Utara. Tabel 15 Hasil pendidikan – perkiraan kenaikan upah Persen SMA vs. Pendidikan lebih rendah Aceh Noth Sumatera
33 29
Sumatera Indonesia
30 47
SMA dan di atas SMA vs. Pendidikan Lebih rendah (SMP dan pendidikan di Bawah SMP ) 39 39 38 67
Pendidikan tinggi vs. Pendidikan yang lebih rendah 53 61 52 105
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas, 2008 kecuali untuk Indonesia (Bank Dunia, yang akan datang (b))
Penyediaan tenaga kerja terampil mungkin bukan hambatan utama terhadap pertumbuhan di provinsi Aceh, tetapi hal itu tidak berarti bahwa ketersediaan keterampilan bukanlah hambatan bagi penduduk Aceh untuk memperoleh manfaat dari pertumbuhan. Kebutuhan untuk mendatangka tenaga kerja dalam jumlah besar dari provinsi-provinsi tetangga untuk mengisi pekerjaan yang memerlukan keterampilan sedang yang tercipta melalui upaya rekonstruksi menandakan bahwa penduduk Aceh tidak memiliki serangkaian keterampilan yang diperlukan untuk ikut serta dalam pasar tenaga kerja. Penduduk Aceh yang tinggal di wilayah perdesaan (World Bank, 2008a) menyoroti terjadinya kekurangan keterampilan dan modal sumber daya manusia sebagai hambatan utama untuk meningkatkan produktivitas mereka dan melepaskan diri dari kemiskinan. Berbagai keterampilan diidentifikasi sebagai kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas di wilayah perdesaan, di antaranya penerapan teknologi perikanan dan pertanian yang makin baik, pengalaman dalam menjalankan pengolahan barang primer yang sederhana, pemeliharaan peralatan pelayaran atau industri rumah tangga (jahit menjahit, menganyam tikar, dan membuat roti). Meningkatkan kesesuaian antara penawaran dan permintaan keterampilan telah diidentifikasi sebagai bidang pokok untuk memudahkan penciptaan pekerjaan di Indonesia (World Bank, yang akan datang), yang berfokus pada peningkatan kualitas pelatihan kejuruan dan penyediaan pembinaan keterampilan bagi para pekerja.
45
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Hasil Sosial yang Rendah
Yang muncul dari analisis ini adalah bahwa walaupun terdapat peluang untuk meningkatkan penyediaan layanan pendidikan di Aceh, alih-alih kelangkaan pasokan tenaga kerja terampil, tidak ada cukup permintaan akan tenaga kerja terampil.34 Sebagai akibatnya sejumlah besar angkatan kerja terampil harus mencari peluang di luar provinsi atau dalam pemerintahan daerah. Di masa yang akan datang, hal ini dapat berubah seiring dengan perkembangan dan modernisasi yang terjadi di provinsi. Sektor swasta mulai mengalami kelangkaan keterampilan profesional, dengan keharusan untuk meningkatkan kesesuaian antara keterampilan yang diperlukan oleh pasar tenaga kerja dengan yang disediakan oleh lembaga-lembaga setempat. Namun demikian, hal ini tampaknya tidak merupakan hambatan utama dewasa ini. Para mantan anggota GAM kurang memperoleh kesempatan pendidikan dibandingkan dengan masyarakat sipil. Untuk menjamin bahwa mereka juga memperoleh manfaat dari pertumbuhan, mereka harus dilengkapi dengan keterampilan yang diperlukan. Memberikan penghidupan kepada para mantan anggota GAM juga akan mendukung proses perdamaian dan memperkuat stabilitas di provinsi.
34 Inflasi upah yang signifikan bagi para pekerja terampil dan semi terampil selama periode rekonstruksi di Aceh serta masuknya para pekerja migran dari provinsi lain selama periode yang sama tampaknya bertentangan dengan pernyataan bahwa ketersediaan tenaga kerja terampil bukanlah sebuah masalah di Aceh. Namun demikian, upaya rekonstruksi, dengan tingkat pencairan tahunan lebih dari 20 persen dari PDB dan kematian sekitar 167.000 orang, merupakan guncangan berat bagi pasar tenaga kerja serta perekonomian. Dalam situasi normal (sebelum tsunami dan seiring dengan makin berkurangnya upaya rekonstruksi), hingga taraf tertentu, pasar tenaga kerja lokal tampaknya mampu memasok serangkaian tenaga kerja terampil yang diperlukan oleh pasar.
46
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
07 Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability) Kemungkinan terdapat disinsentif investasi, bukan karena para investor tidak dapat memperoleh laba, tetapi karena mereka tidak dapat memperoleh penghasilan atas investasi mereka seperti yang diharapkan. Ini adalah pertanyaan penting karena apabila para pelaku ekonomi tidak dapat memperoleh penghasilan atas investasi, mereka tidak akan melakukan investasi apa pun. Pertanyaan ini terlepas dari pertimbangan apakah faktor-faktor pelengkap yang diperlukan — prasarana, tenaga kerja terampil, dan sebagainya — tersedia bagi perusahaan-perusahaan untuk memungkinkan perusahaanperusahaan tersebut memperoleh penghasilan, yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Terdapat banyak permasalahan yang dapat menghalangi para investor untuk mengambil manfaat dari investasiinvestasi mereka. Masalah-masalah tersebut terjadi apabila perusahaan-perusahaan, walaupun mereka memperoleh penghasilan, tidak dapat mengambil manfaat dari investasi-investasinya karena terhalangi oleh mekanisme. Mekanisme-mekanisme tersebut dapat berupa banyak hal, misalnya: tingginya tingkat korupsi, tingginya pajak (legal maupun ilegal), ketidakpastian pengaturan, kurangnya penegakan hukum, lemahnya hak-hak kepemilikan harta, atau gagalnya pasar. Semua faktor ini dapat menghalangi para investor untuk memperoleh bagian penghasilannya dan dengan demikian dapat menurunkan tingkat investasi. Bab ini akan dimulai dengan menilai kemantapan lingkungan makroekonomi di Aceh. Kemudian akan ditinjau kualitas keseluruhan dari lingkungan usaha sebelum membahas isu-isu mikroekonomi khusus yang melandasi lingkungan usaha. Kemudian akan dikaji kemungkinan terjadinya kegagalan pasar dan bagaimana hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan. Akhirnya, bab ini akan ditutup dengan menjawab pertanyaan tentang apakah hambatan yang mengikat terhadap pertumbuhan terletak pada masalah rendahnya kemungkinan penghasilan atas investasi.
a. Risiko-risiko Makroekonomi Tinjauan makroekonomi di Aceh secara luas berkaitan dengan tinjauan makroekonomi di Indonesia. Menilik kestabilan makroekonomi Indonesia, hal ini bukanlah hambatan bagi investasi dan pertumbuhan. Defisit pemerintah pusat berhasil dipertahankan di tingkat yang sangat rendah pada tahun 2008, hampir mendekati 0 persen dari PDB, sementara perbandingan utang pemerintah terhadap PDB menurun drastis beberapa tahun terakhir. Inflasi, setelah meningkat tajam di Indonesia akibat melonjaknya harga sembako, mulai menurun di semester kedua tahun 2008. Walaupun terdapat kekhawatiran tentang seberapa kuat perekonomian Indonesia dapat bertahan menghadapi krisis keuangan saat ini, terdapat kesepakatan di antara sebagian besar pengamat bahwa Indonesia relatif mampu bertahan dan hanya terdapat sedikit risiko makroekonomi yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia. Situasi makro di Aceh juga tampak seimbang. Setelah beberapa tahun Aceh mengalami tingkat inflasi yang tinggi akibat program restrukturisasi dan aliran pemasukan dana, tingkat inflasi
47
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
provinsi tersebut saat ini telah berada di bawah tingkat inflasi nasional. Angka pengangguran di Aceh kini hanya sedikit di atas angka pengangguran di tingkat nasional. Tinjauan fiskal di Aceh diuntungkan oleh adanya sumber-sumber pendapatan khusus provinsi. Seperti semua pemerintah daerah di Indonesia, pemerintah provinsi dan kabupaten di Aceh banyak bergantung pada penyaluran dana dari pusat sebagai pendapatan, dan di tingkat kabupaten/kota, pendapatan dari sumber sendiri hanya mencapai 7,2 persen dari jumlah pendapatan pada tahun 2008. UU Pemerintahan Aceh (UUPA), yaitu UU No. 11/2006, menentukan penyaluran dana tambahan dalam bentuk Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) sebesar 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional. Selain itu, provinsi tersebut menerima 70 persen dari pendapatan minyak dan gas yang dihasilkannya. Walaupun pendapatan bersama dari pengusahaan sumber daya alam menurun karena berkurangnya persediaan, pendapatan ini, sehubungan dengan Dana Otsus menjamin adanya sumber pendapatan yang sesuai dan peningkatan belanja bagi pemerintah di tingkat daerah. Rendahnya kapasitas pemerintah di tingkat daerah menyebabkan timbulnya permasalahan dalam hal pembelanjaan sumber-sumber daya yang tersedia, dan dapat menghambat pengadaan prasarana yang sangat dibutuhkan. Dana Otonomi Khusus harus mendanai agenda pembangunan provinsi karena dana tersebut akan digunakan untuk pengeluaran sosial dan prasarana dan tidak dapat membiayai administrasi umum pemerintah. Akan tetapi, keterlambatan yang terjadi baru-baru ini dalam menyetujui anggaran secara tepat waktu telah menimbulkan keraguan tentang kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan program-program pembangunan secara keseluruhan. Tanggung jawab antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tidak disebutkan dengan jelas, yang seringkali menyebabkan kebingungan dalam hal pemerintah yang mana yang harus membangun jenis-jenis prasarana tertentu dan pemerintah mana yang harus membayar biaya pemeliharaannya. Karena pemerintah tingkat daerah bertanggung jawab atas pengadaan sebagian besar prasarana, hal ini kemungkinan besar menyebabkan kualitas jalan-jalan tertentu menurun serta menghambat provinsi dalam memperlengkapi dirinya dengan prasarana listrik yang lebih baik.
b. Lingkungan usaha Lingkungan usaha di Indonesia secara keseluruhan cukup rendah: Indonesia berada di peringkat 129 dari 181 negara dalam hal kemudahan usaha di tahun 2009 (Gambar 16).35 Kinerja Indonesia cukup rendah terutama dalam enam bidang, yaitu: memulai suatu usaha, mempekerjakan pegawai, mendaftarkan harta milik, membayar pajak, melaksanakan kontrak, dan menutup suatu usaha. Permasalahan ini kemungkinan besar juga merupakan permasalahan di Aceh, dan beberapa isu seperti pendaftaran harta milik mungkin lebih parah di provinsi tersebut. Akan tetapi, karena permasalahan pengaturan ini menyangkut seluruh negeri, sementara tingkat pertumbuhan dan investasi Aceh termasuk rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain, keadaan ini mengharuskan dilakukannya kajian yang lebih mendalam lagi tentang lingkungan usaha di Aceh untuk dapat memahami hal yang spesifik untuk lingkungan tersebut.
35 Data berikut ini diperoleh dari Doing Business Survey 2009 (Bank Dunia, 2008c), yang meninjau ulang peraturan perundangundangan tentang 10 tahap kehidupan usaha. Data ini mengamati peraturan perundang-undangan resmi tetapi tidak menilai apakan praktik-praktik ilegal seperti korupsi mempengaruhi jalannya usaha.
48
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Gambar 16 Lingkungan Indonesia untuk menjalankan usaha masih relatif buruk di tahun 2009 Melakukan bisnis 2009 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Singapura Thailand
Malaysia
Indonesia
Filipina
Lao PDR Timor-Leste
Sumber: Doing Business 2009
Kerangka pengaturan yang buruk terkait dengan praktik-praktik ilegal yang membebani usaha-usaha menjadi ciri iklim investasi di Aceh. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini (IFC, 2008) menunjukkan beberapa kekurangan yang bersifat spesifik dalam lingkungan usaha di Aceh: risiko-risiko dan ketidakpastian terkait akses lahan, prosedur-prosedur investasi yang rumit, dan kecerdasan pasar yang kurang memadai. Penelitian tersebut menekankan bahwa pemerintah belum membuat suatu kerangka pengaturan yang secara khusus kondusif bagi investasi, yang seringkali menyebabkan kebingungan di kalangan investor dalam interaksi mereka dengan administrasi. Penilaian ini juga memperjelas bahwa risiko politis terkait dengan kesulitan-kesulitan memulai kembali, pembebanan-pembebanan yang tidak sah, dan perlindungan aset yang kurang memadai, adalah faktor-faktor penting yang menghambat investasi. Pemerintah Aceh sedang merancang sebuah undang-undang investasi yang baru (“Qanun”) yang seharusnya dapat memberikan kepastian yang sangat diperlukan bagi para investor yang ada saat ini maupun para calon investor, yang juga mungkin mencakup pengaturan-pengaturan yang memberatkan. Status otonomi khusus dalam beberapa hal terkadang dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidak jelasan peraturan investasi, dimana bisa saja terjadi perbedaan definisi dan pertentangan diantara tingkat pusat dan daerah. Qanun tersebut masih dibahas di tingkat DPRD Provinsi pada pertengahan tahun 2009.36 UU tersebut akan menjamin akses ke pasar-pasar dalam negeri maupun luar negeri bagi usaha-usaha di Aceh, serta hak usaha-usaha tersebut untuk menarik investasi langsung baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Selanjutnya, UU tersebut akan menjamin kepastian dan keamanan untuk operasi usaha dan menyederhanakan proses perizinan usaha. Selain itu, UU tersebut akan menjamin perlakuan yang sama bagi para investor dalam negeri dan luar negeri, sambil “memperhatikan kepentingan daerah dan nasional”. Rancangan undang-undang tersebut juga memperjelas beberapa peraturan tentang sewa guna usaha, bangunan dan hak-hak pengguna.37 Akan tetapi, terdapat beberapa pengaturan yang dapat merugikan dalam rancangan undang-undang tersebut. Misalnya, Pemerintah Aceh akan mempertahankan hak untuk membuat dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan dinas di luar lingkup peraturan-peraturan keuangan standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Selain itu, beberapa ketentuan dalam UU tersebut yang bertujuan untuk melindungi perekonomian lokal dapat menghalangi investasi dan pada akhirnya merugikan bagi provinsi tersebut: para investor tidak diperbolehkan mempekerjakan staf di luar provinsi apabila staf dengan profil serupa tersedia di provinsi tersebut, bahan-bahan mentah dan input harus dibeli di Aceh, dan para investor harus menggunakan sarana pendukung dari provinsi tersebut, apabila memungkinkan. 36 Rancangan UU investasi yang terbaru per tanggal 6/5/09, sumber: DPRD Aceh 37 Sebagai contoh, RUU tersebut menetapkan bahwa: 1) Hak sewa awalnya dapat diberikan untuk 60 tahun, dapat diperpanjang satu kali untuk 35 tahun untuk perusahaan-perusahaan PMA dan PMDN, dengan ketentuan bahwa usahanya berjalan 2) Hakhak Bangunan diberikan untuk 50 tahun, dapat diperpanjang satu kali untuk 30 tahun 3) Hak-hak guna diberikan untuk 45 tahun, dapat diperpanjang satu kali untuk 25 tahun.
49
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
Dalam rangka menetapkan faktor-faktor apa yang mempengaruhi kinerja usaha di tingkat mikro, laporan ini menggunakan survei di tingkat perusahaan dari The Asia Foundation dan KPPOD yang melibatkan 1.104 perusahaan di semua kabupaten di Aceh. Dengan mengetahui beberapa ciri dasar dari perusahaan-perusahaan dalam survei tersebut, dapat membantu pemahaman tentang pentingnya temuan-temuan survei tersebut. Rata-rata besarnya perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi dalam survei tersebut adalah 13 karyawan, dan rata-rata usia perusahaan-perusahaan tersebut adalah 12 tahun, yang tampaknya cukup mewakili usaha-usaha di Aceh. Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa sektor-sektor yang paling terwakili adalah industri pengolahan dan perdagangan. Karena di Aceh lebih dari separuh penduduknya bekerja di sektor pertanian, survei tersebut hanya mewakili perusahaanperusahaan yang mempekerjakan sebagian tenaga kerja dan, oleh sebab itu, temuan-temuan dari survei tersebut perlu untuk dikualifikasi. Akan tetapi, sebagian besar temuan kemungkinan masih relevan sepanjang sebagian besar hambatan yang mempengaruhi perusahaan-perusahaan di sampel survei tersebut kemungkinan besar juga mempengaruhi semua perusahaan di Aceh. Gambar 17 Komposisi sektoral dari sampel survei The Asia Foundation / KKPOD %
45.74
50 45 40 35 30 25 17.39
20 15 10 5
0.54 0.63 1.09 1.09 1.63 1.99
6.07 6.97 3.99 3.99 4.17 4.71
Pemrosesan industri
Perdagangan dan penjualan eceran
Jasa pendidikan
broker keuangan
perumahan, penyewaan
Publik, sosial, dll
Bangunan
Akomodasi dan restoran
Transportasi dan gudang
Perikanan
Bisnis yang tidak dijelaskna
Pertanian, perburuan
Pertambangan dan penggalian
Jasa kesehatan dan sosial
0
Sumber: The Asia Foundation/ KPPOD dan perhitungan staf Bank Dunia.
Kedua permasalahan yang tampaknya paling mempengaruhi kinerja perusahaan adalah perilaku pemerintah kabupaten dan biaya-biaya transaksi yang dihadapi. Serangkaian regresi di tingkat perusahan digunakan untuk memahami permasalahan apa, di antara banyak permasalahan yang dibahas dalam survei tersebut, yang paling mempengaruhi perusahaan-perusahaan. Variabel-variabel tak bebas yang dicoba adalah dua ukuran kinerja perusahaan yang berbeda: angka penjualan per karyawan dan investasi per karyawan. Variabel-variabel bebas adalah variabel-variabel berpasangan yang menunjukkan apakah suatu perusahaan yang melaporkan masing-masing permasalahan tergolong signifikan atau sangat signifikan. Permasalahan tersebut meliputi: akses ke lahan dan kepastian hukum, izin usaha, interaksi pemerintah kabupaten dengan para pengusaha, kapasitas dan integritas bupati/walikota, biayabiaya transaksi, prasarana, keamanan dan penyelesaian konflik (lihat Lampiran II). Tujuan dari regresi-regresi ini adalah untuk mengetahui permasalahan mana yang memiliki dampak paling besar terhadap kinerja, dengan asumsi bahwa para responden dapat menilai secara akurat sejauh mana permasalahan tersebut mempengaruhi mereka. Dua variabel yang terus-menerus memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kinerja aktual perusahaan adalah “interaksi pemerintah kabupaten dengan para pengusaha” dan “biaya-biaya transaksi”. Variabel yang pertama mencakup semua permasalahan yang berkaitan dengan perilaku pemerintah daerah terhadap sektor swasta (kemampuan dalam hal-hal yang berkaitan dengan sektor swasta, kemauan untuk membantu, persaingan tidak sehat, perilaku pemangsa, nepotisme) dan variabel yang kedua, semua jenis biaya transaksi yang sah maupun tidak sah yang dihadapi oleh usaha-
50
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
usaha (pajak-pajak legal dan ilegal, bea, uang “keamanan”). Ini membuktikan bahwa usaha-usaha mungkin dirugikan akibat perilaku pemangsa yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan. Menariknya, beberapa hambatan yang seringkali disebut (seperti ketersediaan lahan, prasarana) tidak signifikan selama pelaksanaan. Aspek lingkungan usaha yang paling mempengaruhi investasi perusahaan adalah “biaya-biaya transaksi”, yang dipahami sebagai pajak-pajak sah dan tidak sah yang dibayarkan kepada entitas resmi maupun tidak resmi. Analisis survei tersebut kemudian meninjau apakah usaha-usaha yang melaporkan bahwa setiap permasalahan ini signifikan sebenarnya tidak banyak melakukan investasi, dalam hal investasi sebagai persentase penjualan, dibandingkan dengan usaha-usaha yang lain (lihat Lampiran III). Ternyata hanya dalam hal “biaya-biaya transaksi” terletak perbedaan yang paling signifikan antara perusahaan-perusahaan yang terkena dampak dengan yang tidak: badan-badan usaha yang melaporkan bahwa biaya-biaya tersebut merupakan beban melakukan investasi rata-rata sebesar 6 persen dari nilai penjualan mereka pada tahun 2007, jauh berbeda dibandingkan usaha-usaha lainnya, yang melakukan investasi sebesar 21 persen dari nilai penjualan mereka. Perbedaan ini signifikan pada tingkat 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pajak legal dan ilegal merupakan hambatan yang signifikan bagi usaha-usaha, dan di Aceh, pajak ilegal mungkin merupakan inti permasalahan. Akan tetapi, survei tersebut tidak menyebutkan jenis biaya transaksi, pajak legal atau ilegal mana yang menimbulkan masalah terbesar. Bagian berikutnya menyelidiki lebih lanjut tentang permasalahan pajak dan biaya-biaya ilegal, pertama dengan membahas tentang korupsi, isu yang seringkali mengemuka terkait dengan lingkungan usaha di Aceh.
c. Korupsi Terdapat pemahaman yang luas bahwa korupsi terjadi meluas sehingga mempengaruhi cara sebagian besar perusahaan dan perorangan dalam menjalankan usaha mereka di Aceh, tetapi data survei menunjukkan bahwa korupsi bukan masalah besar di Aceh dibandingkan dengan di wilayah lain Indonesia. Survei yang dilakukan oleh Transparency International menempatkan Banda Aceh pada peringkat ketiga sebagai kota yang paling rendah tingkat korupsinya di antara 50 kota di Indonesia, menurut indeks persepsi korupsi38 yang ditetapkan dengan melakukan survei terhadap para pengusaha (Tabel 16). Persepsi tentang upaya-upaya pemerintah daerah dalam memberantas korupsi cukup tinggi. Yang cukup membesarkan semangat adalah fakta bahwa Aceh mengalami peningkatan skor yang signifikan sejak survei terakhir yang dilakukan pada tahun 2006. Bidang di mana Aceh mendapat skor paling buruk adalah pemberian kontrak pemerintah, yang membenarkan tanggapantanggapan para pelaku dari sektor swasta yang diwawancarai untuk laporan ini. Hal ini menciptakan citra Aceh yang berbeda dengan citra korupsi yang biasanya ditampilkan. Hal ini menunjukkan bahwa usahausaha mungkin tidak perlu membayar para pejabat pemerintah untuk sebagian besar layanan yang mereka perlukan, dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Nilai yang cukup tinggi untuk Banda Aceh dalam hal korupsi ini bukan berarti bahwa korupsi bukanlah masalah. Indonesia menduduki peringkat 126 dari 180 negara dalam hal korupsi (peringkat 1 adalah negara yang paling rendah tingkat korupsinya) dalam suatu survei yang diadakan oleh Transparency International pada tahun 2008, yang mengindikasikan bahwa korupsi adalah fenomena yang merata di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, walaupun laporan ini tidak berpendapat bahwa tidak ada masalah korupsi di Aceh, disini diuraikan bahwa laporan tersebut tidak dapat menjelaskan tentang tingkat investasi yang rendah di provinsi tersebut.
38 Transparency International, “Indeks persepsi korupsi dan indeks suap di Indonesia tahun 2008”. Indeks ini mencakup ukuran persepsi Suap dalam hal-hal berikut ini: Mengajukan Izin Usaha / Prosedur Utilitas Umum / Pembayaran Pajak Tahunan / Pemberian Kontrak Pemerintah / Memperoleh Putusan Pengadilan yang Menguntungkan / Kebijakan, Hukum, Peraturan yang Mempengaruhi / Mempercepat Proses Birokrasi
51
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
Tabel 16 Indeks persepsi korupsi Peringkat
Kota (n=jumlah responden dari kalangan pengusaha)
CPI
1
Yogyakarta (n=44)
6,43
2
Palangkaraya (n=31)
6,1
3
Banda Aceh (n=30)
5,87
30
Ambon (n=31)
4,32
50
Kupang (n=44)
2,97
Sumber: Transparency International, indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2008. Catatan: 1 berarti tingkat korupsi paling rendah, 50 berarti tingkat korupsi paling tinggi.
Mungkin terdapat bentuk-bentuk korupsi lainnya yang berkaitan dengan proses tender umum di provinsi tersebut, di mana bukti-bukti berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa secara sistematis usaha-usaha harus membayar suap apabila mereka melakukan penawaran untuk kontrak-kontrak pemerintah. Seringkali perusahaan-perusahaan yang menjadi pemenang tender untuk suatu proyek pemerintah di Aceh harus membayar “bea”, yaitu “jatah pimpro”, kepada para pejabat pemerintah. Jumlah bea ini biasanya mewakili 5-10 persen dari nilai proyek. Kemungkinan masalah lainnya dalam proses tender adalah “intat linto”, di mana para penawar berpura-pura bersaing tetapi sebenarnya mereka berkolusi dalam menyusun proposal. Para pimpinan usaha membenarkan bahwa praktik-praktik ini banyak dilakukan di Aceh dan masyarakat usaha setempat mengetahuinya.39 Hubungan patronage antara pemerintah dan GAM sejak dimulainya konflik atas alasan keamanan diri terus berjalan. Terdapat indikasi bahwa sebagain besar proyek pemerintah menggunakan hubungan patronage ini bahkan intimidasi terhadap panitia tender. Korupsi di Aceh mempengaruhi efektivitas belanja pemerintah. Korupsi dalam proses tender dapat mempengaruhi efektivitas belanja pemerintah. Hal ini dapat mempengaruhi investasi melalui prasarana yang kurang memadani. Hal ini juga dapat menyebabkan kelemahan-kelemahan dalam lingkungan pengaturan, seperti pengawasan proses tender kontrak, menaikkan biaya dan menghalangi perusahaanperusahaan dalam memasuki pasar. Bukti berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa para mantan pejuang GAM memainkan peran yang semakin penting di sektor-sektor dengan kemungkinan yang besar untuk memungut iuran, seperti konstruksi, penebangan hutan atau penambangan ilegal (Aspinall, 2009a). Mekanisme sektor konstruksi merupakan contoh dari kekurangan sistem perlindungan (patronage) dan inefisiensi yang dapat ditimbulkannya. Banyak kontraktor lokal, dengan keahlian dan modal yang terbatas, mulai beroperasi pasca tsunami dan berharap dapat memperoleh manfaat dari upaya rekonstruksi, tetapi terbatas hanya dalam proyek-proyek kecil dikarenakan kapasitas mereka yang terbatas. Sebagian besar proyek kecil terindikasi diberikan pada kontraktor-kontraktor lokal yang terhubung dengan GAM. Sedangkan kontrak-kontrak besar sebagian besarnya dimenangkan oleh perusahaan-perusahan lebih besar yang bukan berasal dari Aceh. Akibat dari segmentasi ini adalah kurangnya persaingan. Perusahaan-perusahan lokal tidak terdorong untuk meningkatkan produktivitas mereka karena diberi jaminan sekumpulan kontrak-kontrak kecil. Sistem perlindungan pada gilirannya akan memperbesar penghalang masuknya usaha-usaha yang tidak dijalankan oleh orang-orang dengan koneksi politik yang tepat. Akibatnya, potensi investasi dan semua pengalihan teknologi yang terkait seringkali gagal terwujud di daerah tersebut. Proses tender untuk pengadaan barang dan jasa umum seharusnya tidak digunakan sebagai “imbalan” terhadap para pihak yang dapat mengganggu perdamaian. Membiarkan pihak illegal (tidak resmi) memungut iuran dari kegiatan-kegiatan ekonomi melalui korupsi dapat menjadi cara memberikan imbalan terhadap para pihak yang dapat menggangu perdamaian dengan memastikan 39 Wawancara dengan para pengusaha dan para pimpinan asosiasi usaha, Banda Aceh, Januari 2009.
52
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
bahwa mereka memiliki kepentingan dalam stabilitas provinsi tersebut. Akan tetapi walaupun hal ini mungkin benar dalam jangka pendek, dalam jangka panjang kemungkinan besar hal ini tidak dapat bertahan. Pemungutan iuran oleh sekelompok kecil orang dapat menghalangi investasi dan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi lainnya, dan menyebabkan penurunan ekuilibrium angka pertumbuhan. Pertumbuhan dengan basis yang lebih luas dan lebih inklusif kemungkinan menguntungkan masyarakat secara keseluruhan, termasuk para pihak yang mungkin menjadi pengganggu, yang menjamin dukungan jangka panjang mereka terhadap proses perdamaian dengan cara yang lebih efektif. Bagian berikut ini memberi bukti lebih lanjut tentang batas-batas suatu strategi yang menggunakan kontrak-kontrak pemerintah dalam mempertahankan perdamaian dan stabilitas.
d. Biaya-biaya Transaksi: Pajak dan Iuran Keamanan Pajak-pajak dan retribusi lokal, walaupun menjadi hambatan pertumbuhan di sejumlah sektor tertentu, tergolong relatif rendah dan kecil kemungkinannya hal tersebut menghambat pertumbuhan dan investasi di provinsi secara keseluruhan. Sehubungan dengan pajak legal dan retribusi lokal, setelah adanya desentralisasi di awal dekade, telah terdapat tren yang jelas dalam peningkatan pajak dan bea lokal, dengan adanya sektiar 6.000 pajak dan bea lokal baru yang dikenakan oleh pemerintah daerah dalam lima tahun pertama desentralisasi (Lewis dan Suharnoko, 2008). Walaupun terdapat proliferasi pajak dan bea lokal ini, tampaknya pajak dan bea lokal tersebut merupakan bagian biaya yang relatif rendah (kurang dari 2 persen) dan lebih dari 80 persen perusahaan menganggap pajakpajak dan retribusi tidak terlalu memberatkan. Pajak-pajak dan retribusi lokal tampaknya ditargetkan pada sektor-sektor yang berkembang (mis. kopi, teh, hasil-hasil hutan), yang dapat menurunkan insentif untuk berinvestasi di sektor-sektor tersebut. Transportasi dipengaruhi terutama oleh retribusi lokal untuk penggunaan jalan, pelintasan batas atau stasiun-stasiun penimbangan (KPPOD dan The Asia Foundation, 2008). Fakta bahwa, secara keseluruhan, pajak-pajak dan retribusi lokal tidak terlalu memberatkan di Aceh juga tercermin dari pandangan-pandangan para calon investor (IFC, 2008), yang mana para investor cukup terdorong oleh reformasi di tingkat nasional. Akan tetapi, mereka juga menyuarakan kekhawatiran bahwa Status Otonomi Khusus Aceh dapat digunakan untuk mengenakan pajak-pajak dan retribusi tambahan (mis. tambahan-tambahan biaya untuk minyak kelapa sawit yang diproduksi di provinsi tersebut). Secara keseluruhan, tampaknya pajak-pajak dan retribusi lokal tersebut bukan merupakan hambatan pertumbuhan, walaupun dalam beberapa keadaan tertentu (mis. transportasi) telah menjadi semakin bermasalah. Dengan demikian, laporan ini berpendapat bahwa pajak-pajak ilegal atau biayabiaya keamanan tambahan yang harus ditanggung oleh perusahaan-perusahaan di Aceh, dengan adanya ketidakpastian tentang biaya-biaya tersebut, menjadi lebih bermasalah dan kemungkinan besar merupakan hambatan yang mengikat terhadap pertumbuhan. Tampaknya kecil kemungkinan bahwa di Aceh akan kembali terjadi konflik bersenjata, tetapi peristiwa-peristiwa kekerasan masih lazim terjadi dan dunia usaha masih menganggap bahwa provinsi ini tidak aman, yang dapat menjadi penghalang masuknya investasi swasta. Terjadi asimilasi secara luas dalam proses perdamaian di antara para mantan pimpinan GAM karena banyak di antara mereka diangkat menduduki jabatan pemerintah atau menjalankan usaha yang menguntungkan. Akan tetapi, banyak di antara para pengikutnya yang tidak dapat melakukan dan mungkin merasa bahwa mereka tidak menerima keuntungan dari suksesnya perdamaian (Apsinall, 2009b; MSR, 2009). Akibatnya, kadangkala mereka menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencari nafkah. Dalam jangka waktu dua tahun mulai bulan Oktober 2006 hingga September 2008, tercatat 588 peristiwa kekerasan yang telah terjadi.40 Peristiwa-peristiwa tersebut mengacam keamanan perorangan dan usaha, tetapi berkemungkinan kecil untuk meningkat menjadi terulangnya konflik.
40 Bank Dunia, data Tim Konflik dan Pembangunan.
53
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
Sebahagian besar para mantan pejuang GAM hidup dalam sektor-sektor ekonomi yang tertinggal, seperti pertanian. Survei Reintegrasi dan Penghidupan Aceh (Aceh Reintegration and Livelihoods Survey atau ARLS) menunjukkan bahwa para mantan pejuang Tentara Negara Aceh (TNA) memiliki kemungkinan lebih besar dibandingkan para penduduk sipil untuk memperoleh pendapatan dari menanam padi atau menjadi buruh tani upahan, dan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk memperoleh pendapatan dari pekerjaan-pekerjaan seperti pegawai negeri, guru atau pedagang (Tabel 17). Pekerjaan-pekerjaan pertanian ini, yang sangat diandalkan oleh para mantan pejuang GAM adalah pekerjaan-pekerjaan dengan upah yang rendah. Mungkin tampaknya mengejutkan bahwa keadaan ekonomi para mantan pejuang tidak lebih baik, mengingat luasnya keyakinan tentang jaringan hubungan yang erat di antara para mantan pejuang GAM dan nepotisme yang terjadi di provinsi tersebut. Akan tetapi, Tabel 18 menunjukkan bahwa di antara para mantan pejuang GAM, para pejabat mempertahankan hubungan yang lebih erat dengan para mantan pejuang GAM dibandingkan dengan mereka yang bukan pejabat. Hal ini kemungkinan besar mengindikasikan bahwa para pejabat GAM memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapat manfaat dari koneksi mereka dengan GAM dan menjadi sukses, misalnya dengan memperoleh kontrak-kontrak konstruksi melalui jaringan ini, sementara sebagian besar mantan pejuang GAM yang bukan pejabat harus membanting tulang untuk mencari nafkah. Akibatnya, upaya-upaya yang menguntungkan pembangunan pertanian tidak hanya akan membantu masyarakat Aceh yang paling miskin, tetapi juga menjangkau banyak mantan pejuang GAM, dengan demikian memberikan kontribusi untuk stabilitas provinsi tersebut. Tabel 17 Jenis penghidupan (khusus pria) Semua Pria
Jenis Penghidupan (%): Petani padi di sawah Buruh non-tani harian Pedagang Buruh tani harian Pegawai negeri Tenaga kerja terampil lainnya Petani kopi Karyawan sektor swasta Guru Tenaga kerja tidak terampil lainnya Petani sayuran/rempah-rempah
TNA
Penduduk Sipil
(n=1024)
(n=1794)
22 19 9 10 1 3 2 3 0 4 5
17 18 13 6 4 4 4 4 2 3 3
Kelompok-kelompok Pembanding Mantan Korban Non-korban TNA Korban terhadap terhadap (n=764) (n=1030) penduduk non-korban sipil 18 16 6 *** 2 20 17 1 3 11 14 -4 ** -3 7 5 4 *** 2 3 5 -4 *** -1 4 4 -1 * 0 4 5 -2 -1 3 4 -1 -1 2 3 -2 *** -1 2 5 1 -3 *** 4 3 1 1 Penduduk Sipil
*** Signifikan pada 99%; ** Signifikan pada 95%; * Signifikan pada 90%. Tabel tersebut melaporkan rata-rata populasi dan sampel n populasi. Termasuk jenis penghidupan yang dilaporkan sebagai kegiatan utama oleh sedikitnya tiga persen dari populasi. Source: MSR 2009.
54
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Tabel 18 Perbandingan kawan dan mitra usaha di kalangan mantan pejuang GAM (%) Pria (n=1,024) Wanita (n=51) Pejabat (n=30) Non-Pejabat (n=1,045) Tahanan (n=97) Korban Konflik (n=800) Non-Korban Konflik (n=280) Perbedaan Pria vs. Wanita Mantan TNA Pejabat vs. Non-Pejabat Korban Mantan TNA vs. Non
Korban Konflik 61 57 62 61 64 69 38
Anggota KPA 57 35 76 56 40 57 56
Mantan TNA 61 47 83 60 54 61 61
IDP 1 2 7 1 1 1 2
Returnee 10 18 10 10 12 13 3
4 1 30***
22* 20* 1
14 22** -1
-1 6 -1
-7 0 10***
*** Signifikan pada 99% ** Signifikan pada 95% * Signifikan pada 90%. Tabel melaporkan rata-rata populasi dan perbedaan dalam rata-rata tersebut. Sumber: MSR 2009
Praktik pemungutan pajak-pajak ‘ilegal’ berkembang selama konflik dan terus berlanjut hingga hari ini. Selama tahun-tahun konflik, GAM membentuk suatu pemerintahan berstruktur paralel yang dikembangkan sangat baik dan sangat teratur. Pajak-pajak ilegal dikenakan oleh GAM dan angkatan bersenjata selama konflik (Olken dan Barron, 2007; Schultz, 2004; ICG, 2001). Usaha-usaha legal dan ilegal juga berkembang selama konflik, sehingga memungkinkan penarikan iuran yang cukup besar (McCulloch, 2006). Sistem-sistem tersebut berlanjut sampai periode pasca konflik, dan beberapa mantan pejuang masih melakukan kegiatan semacam ini, melakukan ancaman dan kadangkala tindak kekerasan untuk menarik pajak dari orang dan usaha serta menggunakan tekanan untuk memperoleh kontrakkontrak pemerintah, kendali atas akses ke lahan dan penyelesaian konflik setempat (MSR, 2009). Peristiwa-peristiwa kekerasan yang paling parah sejak MoU cenderung terjadi di kabupatenkabupaten di mana perusahaan-perusahaan memiliki kinerja yang rendah Gambar 18 menunjukkan jumlah peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi di kabupaten (sumbu X) terhadap porsi usaha di kabupaten tersebut yang telah mengalami kenaikan penjualan per karyawan pada tahun 200607 (sumbu Y), dengan menggunakan survei TAF/KPPOD. Gambar tersebut menunjukkan hubungan yang melandai turun, berarti bahwa kabupaten-kabupaten yang mengalami kekerasan lebih banyak cenderung memiliki lebih sedikit jumlah perusahaan yang kinerjanya baik dan hubungan ini signifikan pada tingkat 10 persen (lihat Lampiran IV untuk hasil-hasil regresi). Hal itu tidak menciptakan hubungan sebab-akibat di antara keduanya dan mungkin terdapat faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi kedua parameter tersebut. Meskipun demikian, cukup intuitif bahwa gejolak-gejolak kekerasan dapat membawa dampak negatif terhadap kinerja usaha dan keputusan-keputusan investasi.
55
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
Gambar 18 Kinerja perusahaan dan peristiwa-peristiwa kekerasan, per kabupaten Bagian dari perusahaan yang telah meningkatkan penjualan mereka per pekerja tahun 2006-07
0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
10 20 30 Jumlah insiden kekerasan, 2005-06
40
50
Sumber : Survei TAF/KPPOD, Bank Dunia
Pemerasan dan masalah keamanan menyebabkan tambahan-tambahan biaya dan ketidakpastian usaha di Aceh yang menghambat investasi dan pertumbuhan. Kedua permasalahan tersebut berkaitan karena kelompok ilegal (preman) yang biasanya menggunakan ancaman kekerasan untuk memaksa perusahaan membayar biaya “keamanan”. Pemerasan ilegal dan masalah keamanan dianggap sebagai faktor penghambat yang signifikan oleh usaha-usaha: 9,3 persen dari usaha-usaha melaporkan bahwa masalah keamanan dan penyelesaian konflik merupakan faktor penghambat di Aceh, dibandingkan dengan 4 persen di provinsi-provinsi lainnya.41 Sementara itu, 23,4 persen usaha-usaha melaporkan bahwa mereka membayar uang lebih untuk iuran keamanan tambahan. Para mantan pejuang GAM dan kelompok-kelompok kejahatan lainnya kadangkala menggunakan kekerasan untuk mencari nafkah, yang menciptakan rasa tidak aman dan ketidakpastian di provinsi tersebut (ICG, 2009). Mereka sering menggunakan paksaan untuk memungut secara paksa iuran dari usaha-usaha. Usaha-usaha di Aceh melaporkan bahwa mereka harus membayar para mantan pejuang GAM ketika mereka menjalankan usaha di provinsi tersebut, bahkan di ibukota provinsi, yaitu Banda Aceh.42 Di daerah-daerah pedesaan, para mantan pejuang GAM memungut bea melalui pengendalian “akses ke lapangan”, yang mereka peroleh setelah kesepakatan perdamaian. Usaha-usaha yang ingin menetap harus membayar iuran rutin kepada GAM atau kelompok ilegal (preman) lainnya agar diizinkan beroperasi. Seringkali tidak begitu jelas kepada organisasi atau pihak mana iuran ilegal tersebut harus dibayarkan. Akibatnya, kadangkala walaupun iuran tersebut telah dibayarkan, perusahaan-perusahaan masih diancam karena mereka tidak membayar iuran kepada orang-orang yang tepat. Situasi semacam itu mempersulit usaha-usaha untuk dapat beroperasi di Aceh karena menambah ketidakpastian pada informalitas dan rasa tidak aman. Diagnosa ini mengidentifikasi adanya kekerasan yang terus-menerus terjadi dan tingginya tingkat ‘pajak’ tidak resmi yang ilegal sebagai faktor-faktor penghambat utama bagi investasi dan pertumbuhan. Kedua faktor tersebut berkaitan erat. Kekerasan, atau ancaman kekerasan, seringkali merupakan cara untuk memungut iuran ilegal. Dengan demikian, untuk mengatasi kedua permasalahan tersebut kembali diperlukan kekuatan dan ketegasan negara dalam menetapkan pajak dan penggunaan kekuasaan. Hasil dari keadaan yang kurang sempurna ini mengakibatkan meningkatnya kekerasan dan berlanjutnya penegasan kekuasaan dari kelompok-kelompok di luar proses politik formal. Pada akhirnya hal ini akan menyebabkan meningkatnya persepsi di antara para calon investor bahwa terdapat potensi berkembangnya konflik. Mendorong investasi mengharuskan diputuskannya lingkaran setan (yang terkadang diwarnai dengan kekerasan) intimidasi, pajak ilegal, dan (kemungkinan) berkembangnya konflik. 41 KPPOD dan The Asia Foundation (2008). The Asia Foundation dan KPPOD telah melaksanakan survei serupa di semua provinsi di Indonesia, yang memungkinkan perbandingan lintas provinsi. 42 Wawancara dengan para pengusaha dan para pimpinan asosiasi usaha, Banda Aceh, Januari 2009.
56
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Peningkatan kapasitas kepolisian dalam penyelidikan dan penyelesaian kasus-kasus tindak kejahatan sangat diperlukan untuk memperkuat supremasi hukum (rule of law). Meski tidak mudah untuk melakukan hal ini, para pembuat undang-undang dan pemangku kebijakan memiliki beberapa alat yang potensial dengan pendekatan langsung dan tidak langsung. Pertama, penting untuk memperkuat rule of law. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kinerja kepolisian. Apabila para pelaku tindak kejahatan, termasuk kekerasan dan pemerasan ditangkap dan dijatuhi hukuman, perhitunganperhitungan biaya-manfaat dari mereka yang turut serta dalam tindakan-tindakan tersebut dapat berubah. Saat ini di Aceh, pihak kepolisian memiliki kapasitas yang terbatas untuk mengadakan penyelidikan yang efektif terhadap tindak kejahatan. Sampai saat ini, banyak dukungan yang diterima oleh kepolisian di Aceh yang lebih berkaitan dengan permasalahan yang lebih “lunak”, seperti peningkatan pengetahuan tentang hak-hak asasi manusia dan metode-metode penentuan kebijakan di tingkat masyarakat. Hal ini dianggap dapat membangun legitimasi kepolisian di mata warga biasa di Aceh, dengan demikian meningkatkan hubungan dan kepercayaan antara negara dan masyarakat. Hal ini penting, akan tetapi legitimasi kepolisian lebih mungkin ditingkatkan apabila mereka dapat menangkap para pelaku kejahatan dan tindak-tindak kekerasan. Meningkatkan kemampuan penyelidikan memerlukan pelatihan dan metode-metode peningkatan kemampuan lainnya. Akan tetapi, tujuan tersebut juga memerlukan peningkatan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh kepolisian: dengan mempekerjakan para petugas kepolisian yang lebih banyak dan lebih baik, dan memberikan kepada mereka peralatan fisik agar dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Tujuan tersebut juga memerlukan tekad yang kuat—dari para petugas polisi senior di Aceh dan Jakarta, dan para politisi senior di Aceh—untuk dapat mencapai hasilhasil yang baik. Sistem peradilan yang kuat dan profesional adalah elemen kunci lainnya untuk memperkuat rule of law di provinsi tersebut. Menangkap mereka yang terlibat dalam pemerasan dan kekerasan tidaklah cukup. Sistem peradilan di Aceh juga perlu diperkuat, sehingga mereka yang ditahan, apabila terbukti bersalah, dijatuhi hukuman. Terdapat kelemahan-kelemahan yang signifikan dalam sistem peradilan formal di Aceh, termasuk kurangnya kemampuan dan, kadangkala, praktik ‘keadilan orang kaya’ di mana uang dapat menentukan putusan pengadilan. Membangun suatu sistem peradilan yang kuat dan profesional memerlukan peningkatan kapasitas, sumber-sumber daya tambahan dan kemauan politik (political will). Tujuan tersebut juga mungkin memerlukan digalangnya ‘tuntutan’ para warga untuk sistem yang lebih efektif dan tidak memihak. Hal ini, sampai pada tahap tertentu merupakan masalah nasional yang tidak dapat diselesaikan di Aceh saja tetapi para otoritas lokal dapat mendukung sistem peradilan di provinsi, dan memperkecil hambatan-hambatan yang ditimbulkannya dalam memerangi pemerasan dan tindakan-tindakan ilegal. Selain berurusan langsung dengan tindak-tindak kejahatan, mengatasi akar permasalahan dari kejahatan-kejahatan tersebut juga akan meningkatkan situasi keamanan di Aceh. Intervensi tidak langsung yang menangani ‘penyebab-penyebab’ mendasar dari kejahatan dan kekerasan juga diperlukan. Telah lama diakui bahwa para mantan pejuang GAM seringkali menghadapi tantangantantangan tertentu dalam beradaptasi dengan kehidupan sebagai masyarakat sipil, termasuk dalam mencari pekerjaan (Tajima 2009). Pengangguran, atau jenis pekerjaan tidak memuaskan ambisi-ambisi sebelumnya dari para mantan pejuang GAM tersebut dapat memicu para mantan pejuang GAM untuk menggunakan cara-cara kekerasan dan kejahatan (Collier 1994). Dengan demikian, perlu untuk mengembangkan program-program dan strategi-strategi untuk membantu para mantan pejuang GAM dalam memperoleh pekerjaan. Strategi-strategi yang komprehensif untuk mendukung pertumbuhan dan pembangunan perekonomian di daerah-daerah terdampak konflik dapat lebih bermanfaat daripada programprogram yang hanya menargetkan para mantan pejuang GAM. Dalam banyak konteks pasca konflik, bantuan reintegrasi yang ditargetkan disediakan untuk tujuan ini. Para mantan pejuang diberi uang tunai dan bentuk-bentuk dukungan lainnya seperti pembinaan dan pelatihan. Di Aceh, cara itu juga pernah
57
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
dicoba (Barron dan Burke, 2008). Akan tetapi, dampak-dampaknya terbatas. Para mantan pejuang yang telah menerima bantuan reintegrasi tidak lagi atau berkemungkinan kecil untuk memiliki pekerjaan saat ini dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima bantuan tersebut, walaupun faktanya mereka yang menerima bantuan mungkin memiliki tingkat aset yang lebih tinggi di pada saat perang berakhir (MSR, 2009). Pemberian bantuan dengan sasaran perorangan kepada para mantan pejuang GAM juga menimbulkan kecemburuan dan ketegangan, dan telah menciptakan suatu “mentalitas merasa berhak” yang dalam beberapa kasus telah menghalangi upaya reintegrasi sosial dan ekonomi yang lebih mendalam (Barron, 2009). Pendekatan-pendekatan yang ditargetkan secara geografis, yang bertujuan membangun perekonomian di daerah-daerah yang terkena dampak konflik mungkin memiliki lebih banyak kegunaan. Hal ini meliputi penggunaan proyek-proyek pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat untuk menyediakan barang-barang swasta dan publik, kegiatan-kegiatan perluasan pertanian untuk meningkatkan produktivitas, beberapa proyek pekerjaan umum yang membuka lapangan kerja, dan pemberian layanan-layanan dukungan usaha (MSR, 2009). Para mantan pejuang GAM dan kelompokkelompok ‘berisiko’ lainnya dapat disertakan dalam skema-skema tersebut dan, apabila proyek-proyek ditargetkan pada daerah-daerah yang mengalami dampak konflik terbesar, mereka kemungkinan besar akan mendapatkan manfaat. Dukungan terhadap reformasi untuk meningkatkan rule of law dan mengurangi pemerasan dan pajak-pajak ilegal harus bersifat luas, dengan menyoroti kebutuhan untuk menghindari pengucilan kelompok-kelompok tertentu. Selain itu, perlu juga untuk mencari cara-cara guna memenuhi ‘kebutuhan-kebutuhan’ mereka yang berada di tingkat yang lebih tinggi yang saat ini memperoleh keuntungan dari tindakan pemerasan dan pemberian perlindungan yang tidak sah. Akses ke kontrak-kontrak berskala besar menjadi cara yang penting dalam menjamin pelibatan para pengganggu kedamaian di Aceh ke dalam perdamaian. Akan tetapi hal itu sulit dipertahankan kelangsungannya. Terdapat kebencian yang semakin meningkat dari banyak pihak di Aceh yang telah melihat berkurangnya manfaat-manfaat perdamaian akibat praktik-praktik masa perang yang masih terus dilakukan. Terdapat risiko nyata bahwa untuk jangka menengah, hal ini dapat menimbulkan pergolakan baru apabila faktor-faktor yang memicu terjadinya konflik — seperti penyelenggaraan jasa yang buruk, pertumbuhan yang tidak merata dan kurang — terus terjadi pada masa pasca konflik (Barron dan Clark, 2006). Menilik hambatan-hambatan kapasitas yang disoroti dalam paragraf di atas, terdapat kebutuhan akan adanya tindakan penyeimbang yang hati-hati dan berfokus pada pembatasan peluang pemungutan iuran besar-besaran sementara membuka jalur-jalur legal lainnya bagi para mantan pimpinan dan elit pejuang GAM agar dapat hidup sejahtera. Adalah hal yang masuk akal untuk memfokuskan upaya-upaya dalam memerangi pemerasan dan penarikan pajak-pajak ilegal pada bidang di mana terdapat potensi terbesar untuk meningkatkan pertumbuhan yang inklusif dan terciptanya konstituen pro-reformasi yang diperlukan, yaitu: sektor pertanian dan usaha pertanian, masyarakat dagang dan transportasi serta manufaktur, terutama manufaktur padat karya. Membangun konstituen yang mendukung reformasi-reformasi tersebut harus menjadi bagian dari suatu strategi untuk memerangi pemerasan dan pajak-pajak ilegal. Menilik pertentangan yang mungkin timbul dari perorangan dan kelompok yang saat ini diuntungkan dari kegiatan-kegiatan ilegal, reformasi-reformasi mungkin merugikan secara politis dan perlu dibangun konstituen-konstituen untuk menuntut adanya perubahan. Pekerjaan analitis dan pemantauan yang menunjukkan seberapa besar pengaruh negatif pemerasan dan kekerasan terhadap perekonomian Aceh, dan manfaat-manfaat yang dapat diberikan melalui pengurangan hal-hal tersebut sangat penting bagi tercapainya tujuan ini. Persepsi tentang risiko-risiko yang lebih tinggi dalam berinvestasi di Aceh dapat diatasi melalui suatu skema untuk memberikan jaminan bagi investasi. Skema ini dapat memberikan asuransi terhadap tindakan-tindakan ilegal dan retribusi yang tidak sah, dan pemerintah provinsi dapat memfasilitasi ketersediaan asuransi investasi tersebut di provinsi Aceh. Hal ini akan berarti bahwa usahausaha dan pemerintah-pemerintah daerah sama-sama menanggung risiko terkait dengan permasalahan
58
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
keamanan dan pajak-pajak ilegal. Skema tersebut bukan merupakan solusi jangka panjang, tetapi lebih berupa bantuan untuk memulai investasi dan pertumbuhan, dan menunjukkan Aceh kepada para calon investor lainnya. Terdapat lembaga-lembaga yang memiliki spesialisasi di bidang penyediaan produk-produk asuransi terhadap risiko politis (mis. Badan Jaminan Investasi Multilateral atau Multilateral Investment Guarantee Agency, MIGA, suatu organisasi Bank Dunia). Asuransi dapat ditawarkan sebagai perlindungan terhadap risiko-risiko terkait dengan pembatasan-pembatasan pengalihan mata uang, perampasan, perang dan gangguan sipil serta pelanggaran terhadap kontrak.43 Jenis-jenis jaminan investasi lainnya mungkin dapat diberikan, tetapi kemungkinan manfaat-manfaat dari skema tersebut perlu dinilai secara teliti terhadap biaya-biaya untuk menghindari kewajiban-kewajiban fiskal yang tidak perlu yang harus ditanggung oleh pemerintah provinsi. Rancangan yang teliti juga dapat mencegah diberikannya pertanggungan atas kegagalan komersil karena adanya risiko bahwa skema asuransi tersebut dapat disalahgunakan oleh perusahaan-perusahaan yang belum terkena dampak lingkungan pasca konflik. Suatu skema asuransi dapat membuka jalan menuju investasi-investasi baru di provinsi tersebut dan menunjukkan peluang untuk memperoleh laba atas investasi. Perlunya menyediakan asuransi bagi para investor disebabkan adanya risiko perampasan atau pengrusakan yang ditimbulkan oleh kelompok-kelompok sipil dan ancaman keamanan di lingkungan pasca konflik serta pandanganpandangan negatif terhadap Aceh di luar provinsi tersebut. Walaupun kemungkinan terjadinya kembali ketidakstabilan besar di provinsi tersebut cukup rendah, perspesi adanya risiko ini masih menghalangi usaha-usaha dan para investor untuk datang ke Aceh. Akibatnya, penyediaan jaminan risiko politis dapat menjadi tambahan yang berharga untuk asuransi risiko keamanan. Penyediaan asuransi tersebut dapat mengurangi risiko-risiko yang dihadapi oleh para investor di Aceh karena mereka dapat menanggung risiko yang bersumber dari ketidakstabilan umum bersama dengan pihak penjamin. Jaminan tersebut berpotensi untuk membuka jalan bagi investasi-investasi berskala relatif besar di sektor-sektor seperti energi, perikanan, penyimpanan beku atau pengolahan hasil pertanian. Selain memberikan perlindungan bagi para investor dari tindak kejahatan kecil dan pemerasan, skema tersebut juga dapat mengirimkan isyarat yang sangat kuat bahwa provinsi tersebut berminat untuk menarik investasi. Skema asuransi yang dirancang khusus perlu untuk disusun bersama dengan otoritas lokal untuk memenuhi kebutuhan provinsi tersebut. Para investor akan membayar premi, kemungkinan besar dalam jumlah yang disubsidi. Skema ini dapat ditawarkan kepada para investor besar maupun kecil. Akan tetapi, beberapa dimensi dari skema ini perlu mendapat perhatian khusus. Pertama, para penyedia asuransi risiko politis biasanya bekerjasama dengan pemerintah pusat, sementara di Aceh, rekan imbangan utama mereka adalah pemerintah daerah dan beberapa disposisi produk-produk standar mungkin perlu disesuaikan. Kedua, dalam pengaturan inovatif ini, peranan pemerintah pusat harus ditentukan secara tepat. Ketiga, akan muncul pembahasan tentang apakah para investor dari provinsiprovinsi lain di Indonesia dapat ditanggung, karena para investor tersebut merupakan para calon investor yang jelas dapat berinvestasi di Aceh, sementara jaminan tersebut biasanya memberikan pertanggungan hanya bagi para investor asing. Keempat, mekanisme penyelesaian sengketa yang biasanya melibatkan pemerintah dan para investor perlu diadaptasi ke dalam suatu konteks di mana sebagian besar risiko berasal dari kelompok-kelompok non-pemerintah.
e. Kegagalan pasar - kegagalan koordinasi Kegagalan pasar yang paling sering mempengaruhi perusahaan-perusahaan terdiri atas dua jenis: kegagalan koordinasi dan kegagalan informasi. Kedua jenis kegagalan pasar ini biasanya menghambat pengembangan yang sukses dari produk-produk baru dalam skala besar. Kegagalan koordinasi terjadi ketika perusahaan-perusahaan tidak dapat meningkatkan produk-produk baru yang 43 http://www.miga.org
59
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
sukses akibat kurangnya layanan-layanan pelengkap atau masukan. Kegagalan informasi terjadi ketika perusahaan-perusahaan gagal untuk melakukan eksplorasi produk-produk baru untuk menemukan bidang yang dapat mereka kuasai. Produk-produk baru tidak perlu menjadi yang terdepan dalam teknologi global, tetapi justru produk-produk baru yang proses produksinya memerlukan penyesuaian terhadap teknologi yang telah ada. Kajian terhadap kegagalan pasar potensial ini memberikan data perdagangan yang dapat diandalkan untuk menyelidiki apakah yang diekspor oleh perekonomian yang sedang dipelajari tersebut dan bagaimana keranjang ekspor perekonomian tersebut berkembang seiring berjalannya waktu. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi kecanggihan produk-produk tersebut dan laju perkembangan kecanggihan tersebut selagi produk-produk baru “ditemukan”. Sayangnya, data ekspor untuk Aceh kurang tepat karena sebagian besar perdagangannya masuk ke Medan dan tidak dicatat dalam angka-angka resmi. Akibatnya, bagian analisis ini mengandalkan data perdagangan yang relatif lemah, serta bukti berdasarkan pengalaman dalam bentuk studi-studi kasus untuk menyelidiki kegagalan pasar yang mungkin terjadi. Beberapa sektor perekonomian, terutama usaha pertanian, menunjukkan kegagalan koordinasi. Akan tetapi, upaya-upaya yang kurang berhasil dalam menangani kegagalan tersebut menunjukkan bahwa kegagalan koordinasi bukanlah hambatan pertumbuhan dan investasi yang mengikat. Sektor-sektor seperti hortikultura, peternakan, perikanan, dan budidaya air belum tercatat belum meningkat dan belum dapat menciptakan tingkat produktivitas yang lebih tinggi (IFC, 2008). Skala kecil menyebabkan pemenuhan kualitas dan standar-standar keamanan tertentu menjadi lebih mahal, yang pada gilirannya membatasi peningkatan kegiatan-kegiatan tersebut.44 Usaha-usaha menunjukkan kurangnya hubungan pasar dengan usaha-usaha di luar provinsi, sehingga membatasi jangkauan produk-produk dari Aceh. Jaringan perdagangan yang ada saat ini didominasi oleh sejumlah pedagang, sehingga membatasi daya tawar produsen-produsen Aceh. Usaha-usaha lokal menyatakan kekhawatirannya terhadap sitausi ini dan keyakinan bahwa meningkatkan informasi pasar (mis. melalui suatu pangkalan data dengan informasi tentang para eksportir dari komoditas-komoditas yang paling umum) dapat memiliki dampak positif yang penting. Walaupun permasalahan ini relatif penting, keberhasilan prakarsa-prakarsa yang dilaksanakan baru-baru ini untuk menyediakan informasi pasar dan mendukung pembentukan jaringan dengan usaha-usaha di luar provinsi (Kantor Penunjang Investasi, Pusat Pengembangan Ekspor) relatif terbatas, yang menunjukkan bahwa faktor-faktor penghambat investasi dan pertumbuhan lainnya mungkin lebih menekan. Terdapat kebutuhan akan prasarana spesifik industri akan tetapi jenis-jenis prasarana yang paling diperlukan saat ini akan memberi manfaat bagi semua industri di Aceh. Kegagalan koordinasi dapat terjadi ketika terdapat keuntungan dari skala besar (economies of scale) yang terkait dengan pengadaan jenis-jenis prasarana yang bersifat eksternal bagi perusahaan-perusahaan tetapi bersifat internal bagi suatu industri. Hal ini menyebabkan kurangnya pengadaan jenis-jenis prasarana tersebut. Sektor-sektor yang disebutkan sebelumnya, hortikultura, peternakan, perikanan dan budidaya air, memerlukan prasarana spesifik industri dan layanan-layanan pelengkap, seperti fasilitas penyimpanan beku. Akan tetapi, sebagian besar pengusaha yang diwawancarai oleh tim mengungkapkan bahwa prasarana yang paling tertinggal di Aceh adalah prasarana yang bersifat “dasar’ dan umum, seperti kondisi jalan yang baik, pasokan air, dan pasokan listrik yang memadai. Setelah kualitas dari jenis-jenis prasarana tersebut ditingkatkan, pemerintah Aceh dapat mulai melakukan eksplorasi terhadap kebutuhan-kebutuhan prasarana spesifik industri dan peranan sektor publik dalam pengadaan prasarana tersebut, melalui konsultasi dengan para pemangku kepentingan di sektor industri.
44 Wawancara dengan para pengusaha dan para pemimpin asosiasi usaha, Banda Aceh, Januari 2009.
60
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
f. Kegagalan pasar - kegagalan informasi Sangat sedikit usaha-usaha di Aceh yang merupakan eksportir atau melakukan penjualan di luar provinsi. Data perdagangan yang tersedia tampaknya menunjukkan bahwa Aceh mengekspor sedikit sekali barang-barang manufaktur. Ekspor non-migas di Aceh meningkat sebesar 80 persen pada tahun 2008, tetapi hal ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan ekspor pupuk.45 Sebagai masukan utamanya, industri pupuk di Aceh menggunakan gas bersubsidi dan ekspor mewakili lebih dari 80 persen dari jumlah ekspor non-migas (Tabel 19). Sebaliknya, dan termasuk pupuk, barang-barang manufaktur hanya mewakili sebagian kecil dari keseluruhan ekspor non-migas: pada tahun 2008 hanya mewakili 3,3 persen dari jumlah keseluruhan. Pangsa produk-produk pertanian mewakili 14 persen dan sebagian besar terdiri atas kopi yang belum diolah, kakao, rempah-rempah, dan produk-produk perikanan. Sejalan dengan pengamatan ini, sangat sedikit perusahaan di Aceh yang melaporkan pengeksporan produkproduk mereka. Survei usaha The Asia Foundation / KPPOD menemukan bahwa hanya 1,5 persen dari usaha-usaha di Aceh melakukan ekspor ke luar negeri dan hanya 4,3 persen dari perusahaan-perusahaan tersebut memiliki para pelanggan utama yang berdomisili di luar provinsi tersebut. Tabel 19 Ekspor non-migas Aceh, dalam AS$ US$ 2008 Bahan-bahan kimia
134,049,080
Makanan dan hewan hidup
22,936,870
Barang-barang manufaktur
5,040,379
Minyak & lemak hewani & nabati
632,100
Mesin dan peralatan transportasi
250,082
Bahan-bahan mentah yang tidak dapat dimakan
227,127
Berbagai barang manufaktur
15,234
Source: BPS.
Akan tetapi, Aceh telah membuktikan keterbukaannya terhadap perdagangan dan cepat beradaptasi dengan teknologi-teknologi baru di tahun-tahun pasca tsunami. Sebagaimana daerahdaerah lainnya di Indonesia, terdapat sedikit halangan dalam melakukan perdagangan dengan provinsiprovinsi lainnya dan negara-negara lain di dunia. Pasca tsunami dan selama program rekonstruksi yang mengikutinya, Aceh telah membuka jalur-jalur perdagangan yang besar untuk membeli bahan-bahan konstruksi serta komoditas-komoditas dasar seperti makanan. Pemanfaatan teknologi baru di provinsi tersebut cukup cepat dalam tahun-tahun terakhir ini. Jumlah pelanggan telepon seluler meningkat sangat cepat (Gambar 19) dan pada tahun 2008, penyedia layanan telepon seluler yang terkemuka memiliki 1,7 juta pelanggan. Selain itu, jumlah warung internet (warnet) meningkat sangat cepat di provinsi tersebut, yang menunjukkan bahwa penduduk Aceh memiliki minat terhadap teknologi baru dan teknologi baru dapat dengan mudah masuk ke provinsi tersebut.
45 Bank Dunia, 2009c.
61
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
Gambar 19 Jumlah pelanggan telepon seluler di Aceh untuk penyedia layanan terkemuka dan jumlah warnet 300
Jumlah pelanggan telpon ribuan (merah)
1,800 250
1,600 1,400
200
1,200 1,000 800
150 100
600 400
50
200 -
2004
2005
2006
2007
Jumlah warnet di provinsi (hitam)
2,000
2008
Sumber: Penyedia layanan telepon seluler dan Dinas Informasi dan Komunikasi di Aceh
Selanjutnya, bukti berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa produk-produk baru sedang dicoba di Aceh, tetapi hanya sedikit yang berhasil ditingkatkan. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat beberapa percobaan, terutama di sektor pertanian. Para petani telah mencoba beberapa produk baru seperti: ternak, minyak nilam dan jamur. Upaya-upaya peragaman produk ini menunjukkan bahwa usaha-usaha di Aceh tidak kehabisan ide untuk berinovasi (Lihat Kotak 5 di bawah ini). Akan tetapi, hanya sedikit dari gagasan-gagasan usaha ini yang berhasil menjadi perusahaan-perusahaan baru dan bahkan lebih sedikit lagi dari antaranya yang menjadi sektor-sektor perekonomian baru. Inilah alasan mengapa pengkajian terhadap kisah-kisah sukses dapat membawa pengaruh besar: kotak di bawah ini menunjukkan tiga sektor usaha baru di Aceh. Kotak 5 Industri-industri baru yang mulai berkembang di Aceh Industri Daur Ulang (Sumber: Yayasan Daur Ulang Plastik Palapa) Daur ulang plastik merupakan salah satu industri yang sedang berkembang di Aceh. Sebelumnya, usaha ini dijalankan dengan mengikuti contoh yang sama seperti usaha-usaha lainnya: limbah plastik dikumpulkan di Aceh kemudian dikirim ke Sumatra Utara di mana kemudian limbah tersebut diolah. Pada bulan Juni 2005, Yayasan Daur Ulang Plastik Palapa berhasil membangun suatu fasilitas pengolahan di Lhokseumawe atas biaya sendiri. Beberapa donor memberikan bantuan kepada usaha ini dalam berbagai bentuk, mulai dari peningkatan kapasitas bagi para pemulung sampai teknologi yang lebih baik untuk daur ulang plastik. Usaha baru ini mampu memberikan penghidupan bagi banyak penduduk Aceh. Yayasan tersebut kini mempekerjakan sekitar 25 pegawai tetap dan mendaur ulang 50 ton limbah plastik setiap bulannya, dengan demikian memberikan penghasilan bagi lebih dari 1.500 pemulung. Seluruh produksi potongan-potongan plastik dikirim ke Medan untuk kemudian diekspor ke China dan Singapura, di mana kemudian potongan-potongan plastik tersebut diubah menjadi produk-produk akhir seperti kursi plastik, tali, dsb. Kakao Organik (Sumber: APKO Pidie Jaya) Dengan dukungan sejumlah donor, koperasi petani kakao bernama APKO Pidie Jaya didirikan pada tahun 2007 dan saat ini memiliki 7.100 petani. Lebih dari 7.000 petani memperoleh sertifikasi kakao organik yang memungkinkan produk mereka diperdagangkan secara internasional. Perjanjian juga telah ditandatangani antara kooperasi tersebut dan para pembeli internasional seperti The Body Shop, Bendrain Swiss, Olam dan cokelat Delfi. Ekspor pertama dari koperasi tersebut yaitu sekitar 10.000 ton kakao organik dijadwalkan akan dilakukan pada bulan Agustus 2009. Kelapa dan industri sampingannya (Sumber: Austcare) Perusahaan ini didirikan pada awal tahun 2008 di Meulaboh, Aceh Barat, dengan modal awal sekitar Rp. 1 milyar yang diperoleh dari para donor dan para anggota koperasi. Modal tersebut terutama digunakan untuk membeli mesin pengolah kelapa. Mesin tersebut dapat menghasilkan beberapa produk dari kelapa mentah: serat kelapa, tempurung kelapa, dan arang. Sebagian besar produksi tersebut diekspor ke luar negeri, dengan tujuan-tujuan utama meliputi Malaysia dan Singapura. Dengan dukungan beberapa donor, dalam bentuk bantuan teknis dan peningkatan mutu mesin, perusahaan tersebut mampu terus berkembang dan kini mempekerjakan 20 pegawai tetap dan menghasilkan laba bulanan sekitar Rp. 150 juta.
62
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Kegagalan pasar bukan penyebab upaya-upaya yang kurang berhasil dalam meningkatkan usaha-usaha di Aceh. Walaupun terdapat banyak gagasan-gagasan baru di Aceh, hanya sedikit di antaranya yang berhasil berkembang menjadi usaha-usaha yang maju karena alasan-alasan yang tidak banyak terkait dengan kegagalan pasar dibandingkan dengan permasalahan seperti faktor lemahnya kelembagaan, biaya-biaya transaksi dan faktor pemerintahan. Aceh terbuka terhadap teknologi-teknologi baru, terbuka terhadap perdagangan dengan negara-negara lain di dunia, dan memiliki sarjana-sarjana dalam jumlah yang memadai, tetapi masih memiliki sedikit industri-industri baru. Agar dapat memahami alasannya, menarik untuk disimak bahwa banyak usaha yang berhasil berkembang dan maju adalah usahausaha yang memang cukup besar sejak awalnya untuk menggalang dukungan politis. Pengamatan ini sejalan dengan isu rendahnya kemungkinan penghasilan atas investasi (appropriability) yang disebutkan sebelumnya sebagai hambatan yang mengikat terhadap pertumbuhan di Aceh. Walaupun sulit untuk menguji hipotesis ini, salah satu mekanisme yang menjelaskan keberhasilan perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan politik mungkin ada kaitannya dengan fakta bahwa perusahaan-perusahaan tersebut terlindungi dengan baik dari pemerasan. Bab ini telah meninjau ulang faktor-faktor yang mungkin dapat menghalangi usaha-usaha untuk memperoleh manfaat dari investasi mereka dan khususnya, peranan konflik dalam keadaan tersebut. Sebagaimana yang seringkali menjadi anggapan, konflik dan warisannya memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap insentif-insentif yang harus diinvestasikan oleh perusahaan-perusahaan dan terhadap kemampuan perusahaan-perusahaan tersebut untuk memperoleh penghasilan atas investasi mereka. Kemungkinan besar lingkungan mikroekonomi adalah faktor hambatan yang mengikat di Aceh, dan terdapat beberapa fenomena yang terjadi yang mengancam kualitasnya. Sistem perlindungan yang diperkokoh selama konfilk telah menghasilkan sektor swasta yang menjadi maju justru karena koneksi mereka dengan sektor publik dan bukan karena efisiensi mereka. Hal ini juga menghalangi perusahaanperusahaan baru untuk masuk ke Aceh karena mereka tidak menjadi bagian dari jaringan lokal. Ancamanancaman keamanan dan biaya-biaya yang terkait dengan hal tersebut juga menghambat investasi dan pertumbuhan. Usaha-usaha kurang memiliki kepastian ketika mereka beroperasi di Aceh: mereka tidak mengetahui kepada siapa dan berapa banyak yang harus mereka bayar untuk dapat menjalankan usaha.
63
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
08
Kesimpulan Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan Aceh membantu mengidentifikasi hambatan-hambatan utama terhadap investasi dan pertumbuhan di provinsi tersebut. Perekonomian Aceh tumbuh dengan laju yang lebih lambat dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, terutama investasi swasta, pada tingkatan yang relatif rendah. Ekonomi Aceh terbilang lemah karena jaringanjaringan patronasi yang kuat dan lingkungan yang tidak aman sebagai akibat konflik selama 30 tahun. Situasi ini menghambat kinerja pertumbuhan dan membatasi investasi swasta. Para calon investor telah mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang kemungkinan konflik akan berlanjut dan tedapat bukti bahwa kekhawatiran atas keamanan dan pemerasan serta pajak-pajak ilegal yang timbul menghalangi perusahaan-perusahaan dan perorangan untuk memetik keuntungan penuh dari investasi mereka. Pada akhirnya hal ini membatasi investasi dan pertumbuhan di provinsi tersebut. Meyakinkan para investor atas keamanan investasi mereka merupakan prasyarat untuk meningkatkan kembali investasi sektor swasta di provinsi ini. Dua hambatan utama terhadap pertumbuhan adalah; ketersediaan tenaga listrik yang dapat diandalkan dan risiko-risiko keamanan yang diperburuk oleh pemerasan dan pembayaranpembayaran ilegal dianggap lebih tinggi di Aceh. Hambatan-hambatan yang teridentifikasi berdampak pada para investor lokal, domestik dan luar negeri secara merata. Permasalahan-permasalahan seperti prasarana (jalan, listrik) mungkin lebih menjadi masalah bagi para investor lokal daripada bagi para investor asing. Kekhawatiran tentang masalah keamanan mempengaruhi semua jenis investor, walaupun para investor besar mungkin dapat mengurangi kekhawatiran mereka akan hal ini dengan cara memperoleh perlindungan dari pemerintah daerah yang ingin sekali mendapatkan investasi. Tabel di bawah ini merangkum temuan-temuan pada laporan ini, apakah hambatan-hambatan yang terindentifikasi bersifat utama, bobot kesimpulan-kesimpulan dan implikasi kebijakan.
65
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Kesimpulan
Tabel 20 Hambatan-Hambatan terhadap Pertumbuhan di Aceh Jenis hambatan Akses terhadap Kredit Modal Manusia yang rendah Kualitas Prasarana
Tingkat hambatan ? Bobot Kesimpulan Implikasi Kebijakan Tidak menghambat Sedang Tidak menghambat Tinggi Menghambat
Tinggi
• •
• Pemerasan dan PajakPajak Ilegal
Menghambat
Tinggi
• • •
• Risiko-risiko makro Kegagalan Informasi Kagagalan Koordinasi
Tidak menghambat Tidak menghambat Tidak menghambat
Tinggi Sedang Sedang
Revisi strategi penetapan harga oleh PLN Dukung partisipasi sektor swasta dalam pembangkitan listrik menggunakan sumber enegi terbarukan Tingkatkan keandalan pasokan energi dari Sumatra Utara Tingkatkan kemampuan kepolisian dan pengadilan untuk menegakkan supremasi hukum Fokus pada program-program pembangunan ekonomi di daerah yang terkena dampak konflik Bantu membangun konstituensi untuk reformasi – contohnya melibatkan komunitas dan masyarakat madani dalam upayaupaya pemantauan Fasilitasi skema asuransi risiko politik untuk menarik para investor
-
Ketersediaan listrik yang andal adalah hambatan paling utama terhadap investasi dan pertumbuhan, terutama untuk perusahaan-perusahan skala lebih kecil. Pasokan energi tidak mencukupi dan tidak dapat diandalkan kemungkinan besar menjadi hambatan yang paling utama bagi investasi dan ekonomi secara keseluruhan. Beberapa badan usaha dapat menghasilkan listrik mereka sendiri, tetapi hal ini hanya merupakan solusi yang mungkin bagi usaha-usaha yang relatif besar, yang memungkinkan usaha-usaha tersebut untuk membiayai investasi ini. Usaha-usaha yang lebih kecil (misalnya pengolahan ikan, sektor ternak atau agrobisnis) tidak mampu membiayai investasi yang diperlukan dan listrik menjadi hambatan bagi usaha-usaha prospektif ini. Oleh karena itu, ketersediaan listrik merupakan hal yang penting untuk memajukan usaha-usaha kecil di sektor pengolahan. Pemerintah Aceh telah mengidentifikasi bahwa ketersediaan listrik merupakan bidang perhatian utama untuk pembangunan provinsi ini, dan Pemerintah Aceh juga sedang meningkatkan upaya mereka untuk menghasilkan energi dan menjamin ketersediaan listrik dari PLN. Upaya-upaya yang diperbarui untuk menarik investasi sektor swasta dapat didukung dengan cara:
66
•
Merevisi penetapan harga listrik yang dihasilkan oleh pihak swasta untuk didistribusikan melalui PLN, dalam rangka meningkatkan insentif bagi pihak swasta untuk berinvestasi dalam bidang pembangkitan energi di provinsi ini;
•
Meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam bidang pembangkitan listrik dengan menggunakan sumber-sumber energi terbarukan, seperti panas bumi (geothermal), biomassa lokal (local biomass) atau energi matahari;
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
•
Menelaah kemungkinan kemitraan pemerintah-swasta untuk menarik produsen tenaga linstrik independen dengan biaya murah, dengan memasukkan akses yang aman dan berharga menarik terhadap sumber-sumber energi dan lahan yang terkait ke dalam MoU dan kontrak;
•
Meningkatkan keandalan pasokan-pasokan energi dari Sistem Interkoneksi Sumatra (Sumatra Interconnection System) untuk menghindari sering terputusnya pasokan listrik.
Ketidakmampuan perusahaaan dan individu untuk memperoleh keuntungan dari investasi mereka, akibat masalah keamanan dan pajak-pajak ilegal, merupakan faktor penghambat investasi dan pertumbuhan. Laporan ini menyajikan serangkaian bukti bahwa biaya atau ketersediaan modal bukanlah hambatan terhadap pertumbuhan dan investasi di provinsi ini. Demikian pula, dengan pengecualian pada prasarana energi, faktor-faktor pelengkap produksi tidak tampaknya tidak menjadi hambatan terhadap pertumbuhan dan investasi. Permasalahan-permasalahan keamanan, pemerasan, dan pajak-pajak serta pembayaran-pembayaran ilegal membatasi kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dari investasi mereka, sehingga tidak mendorong pertumbuhan investasi di provinsi ini. Persepsi tentang risiko yang lebih tinggi juga berakibat pada kurangnya kredit bagi sektor swasta. Semua hal ini menambah ketidakpastian menjalankan usaha di Aceh, dan berdampak pada biaya-biaya setiap investor potensial. Kalangan usaha pada saat ini mencoba untuk mengatasi ketidakpastian ini dengan bergabung bersama kalangan usaha atau jaringan kerja yang dapat memberikan perlindungan serta rasa aman, walaupun hal ini tidak selalu dapat dilakukan. Kalangan-kalangan usaha yang tidak dapat atau tidak bersedia mengadakan perjanjian-perjanjian tersebut mungkin saja memutuskan untuk tidak berinvestasi di provinsi ini sama sekali. Untuk menghilangkan hambatan ini, penting untuk mengikutsertakan kembali monopoli negara dalam penggenaan pajak serta penggunaan ketegasan terhadap hukum . Penggalakan investasi tentunya memerlukan pemutusan lingkaran setan permasalahan intimidasi terkadang disertai kekerasan dan pajak ilegal. Strategi untuk melakukan hal ini harus berupa strategi ganda, dengan memperkenalkan reformasi yang memperkuat kemampuan pemerintah untuk menegakkan supremasi hukum dan intervensi yang bertujuan menangani penyebab-penyebab yang mendasari munculnya tindak kerjahatan dan kekerasan, dengan cara: •
Meningkatkan kemampuan polisi untuk menyelidiki dan menyelesaikan masalah kejahatan untuk memperkuat supremasi hukum, melalui pelatihan dan pengembangan kapasitas, meningkatkan sumber daya yang dapat digunakan polisi serta memperkuat angkatan kepolisian;
•
Meningkatkan kemampuan sistem peradilan untuk menuntut dan menjatuhkan hukuman atas para penjahat, melalui pengembangan kapasitas, sumber daya tambahan dan kemauan politik, dan juga mendukung konstituensi, pada sektor swasta dan masyarakat madani, yang akan menuntut reformasi ini;
•
Mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di daerah-daerah yang terkena dampak konflik. Hal ini berbeda dengan pemberian bantuan reintegrasi bagi para mantan pejuang GAM, yang memiliki dampak yang lebih terbatas dan dapat memicu ketegangan. Pendekatan-pendekatan yang ditargetkan secara geografis, yang berfokus pada kelompokkelompok yang menhadapi risiko dan rawan di daerah-daerah yang terkena dampak konflik, telah terbukti lebih efektif.
•
Memfokuskan reformasi pada peningkatan supremasi hukum dan memerangi pemerasan serta pajak-pajak ilegal pada sektor-sektor yang menghasilkan pertumbuhan inklusif. Upaya ini termasuk sektor pertanian, perikanan, pengolahan hasil pertanian (agro-processing), dan sektor-sektor jasa tertentu (perdagangan, transportasi), yang mendukung pembentukan konstituensi pro-reformasi;
67
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Kesimpulan
•
Melibatkan masyarakat madani dalam pemantauan tindakan-tindakan ilegal sebagai upaya mengatasi permasalahan ini. Dengan mempertimbangkan kemauan politik dan modal yang besar yang akan dibutuhkan untuk reformasi yang diusulkan tersebut, secara berkala.
•
Memfasilitasi pemberian asuransi politik oleh sektor swasta. Jaminan-jaminan yang diberikan oleh para pihak ketiga untuk proyek-proyek tunggal dapat ditemukan di banyak kawasan di dunia dan sering digunakan di lingkungan pasca-konflik. Jenis-jenis jaminan ini juga dapat berfungsi sebagai sinyal penarik yang kuat bagi para investor potensial. Rancangan yang menyeluruh terhadap skema asuransi tersebut sangat penting untuk menghindari kewajiban fiskal yang tidak perlu bagi pemerintah provinsi dan untuk menghindari penyalahgunaan skema-skema asuransi tersebut oleh para pengusaha. Jaminan-jaminan investasi ini biasanya dibuat pada tingkat nasional. Dengan demikian, fakta bahwa Aceh adalah sebuah provinsi di negara yang lebih besar dan relatif stabil akan menimbulkan tantangan-tantangan tambahan dalam rancangan skema tersebut yang harus dipecahkan bersama-sama oleh pemerintah nasional dan provinsi.
Situasi keamanan yang membaik serta pemberantasan iuran dan pajak-pajak ilegal kemungkinan besar akan meningkatkan investasi dan pertumbuhan. Pada saat ini, perusahaan-perusahaan dan individu tidak dapat mengambil keputusan untuk berinvestasi, karena mereka tidak yakin dengan biaya yang akan mereka hadapi yang timbul dari ancaman-ancaman keamanan dan pemerasan; mereka tidak dapat memperoleh keuntungan dari investasi mereka dan, dengan demikian, hampir tidak mungkin untuk melakukan investasi. Karena biaya yang berhubungan dengan kemanan dan pembayaran ilegal menurun, perusahaan-perusahaan dan individu-individu akan dapat mengakses biaya dan keuntungan investasi mereka dengan kepastian yang lebih besar dan melakukan investasi ketika investasi-investasi tersebut jelas-jelas dapat berkembang secara komersial. Hambatan-hambatan yang utama terhadap pertumbuhan kemungkinan besar dapat berubah seiring berjalannya waktu, karena hambatan-hambatan lain menjadi lebih utama apabila hambatan-hambatan ini dipecahkan. Apabila masalah-masalah yang berkaitan dengan ketersediaan listrik dan situasi keamanan membaik, dan usaha-usaha tidak lagi terkena pemerasan dan pajak-pajak ilegal, hambatan-hambatan lain akan menjadi lebih utama dan seperangkat reformasi yang berbeda menjadi sangat diperlukan. Pemerintah daerah dapat memperkenalkan sebuah sistem, bersama dengan sektor swasta, untuk membahas analisis dan rekomendasi-rekomendasi dalam laporan ini, dan berlanjut dengan sebuah proses untuk, di kemudian hari, meninjau kembali rekomendasi-rekomendasi tersebut dan mengidentifikasi hambatan-hambatan yang mengikat lainnya terhadap investasi dan pertumbuhan. Selanjutnya, hambatan-hambatan tersebut kemungkinan besar sama dengan hambatan-hambatan yang ada di daerah lain di Indonesia, di mana ketidakpastian peraturan, terutama terhadap pajakpajak dan peraturan perizinan, pajak-pajak dan peraturan-peraturan daerah yang diberlakukan oleh para pemerintah daerah, dan juga penegakan hukum yang kurang, akan menghambat investasi dan pertumbuhan. Kualitas prasarana transpotasi yang buruk juga telah teridentifikasi sebagai hambatan utama bagi investasi dan pertumbuhan di Indonesia. Walapun prasarana transportasi yang ada sekarang terlihat cukup untuk ekuilibrium pertumbuhan Aceh yang rendah, ketika provinsi ini berupaya menjadi lebih modern dan berkembang, maka hal ini kemungkinan besar akan menjadi hambatan. Perhatian yang lebih khusus harus diberikan dalam penyusunan strategi besar untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan merata bermanfaat bagi sebagian besar penduduk, termasuk kalangan yang berpotensi mengganggu perdamaian. Laporan ini berfokus pada hambatanhambatan utama terhadap pertumbuhan dan menawarkan rekomendasi tentang intervensi-intervensi potensial untuk menyelesaikan masalah-masalah ini. Upaya mengatasi hambatan-hambatan yang utama kemungkinan akan memberi manfaat bagi penduduk secara keseluruhan, meningkatkan kemampuan kelompok miskin dan rawan di Aceh untuk memperoleh manfaat dari pertumbuhan. Diperlukan intervensiintervensi khusus untuk memastikan bahwa pertumbuhan tersebut bersifat inklusif. Intervensi-intervensi
68
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
tersebut termasuk melanjutkan fokus pada sektor pertanian, dan juga meningkatkan penyediaan layanan publik di daerah ini. Intervensi-intervensi tersebut juga termasuk menata ulang ketidaksetaraan yang ada baik dalam hal modal manusia maupun fisik dengan meningkatkan tingkat keahlian orang-orang miskin di daerah-daerah pedesaan, juga intervensi-intervensi yang memfasilitasi akses terhadap kredit bagi orang-perorangan dan usaha-usaha kecil yang bergerak dalam sektor pertanian dan perikanan. Mendistribusikan manfaat-manfaat pertumbuhan akan memberikan hal yang penting dalam perdamaian dan stabilitas di Aceh bagi bagian masyarakat yang lebih besar, menurunkan kekhawatiran tentang masalah keamanan dan pada akhirnya menjaga agar konflik tidak terjadi lagi.
69
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
09
Daftar Referensi Aghion, P. and Peter Howitt, 1992, “A Model of Growth through Creative Destruction”, Econometrica, Vol. 60, No. 2. (Mar., 1992), hal. 323-351 Aghion, Philippe and Steven Durlauf, 2007, “From Growth Theory to Policy Design”, mimeo, Commission on Growth and Development. Aguswandi and Judith Large, 2008, “Reconfiguring Politics: The Indonesia-Aceh Peace Process”, London: Conciliation Resources. Aspinall, Edward, 2009a, “Combatants to Contractors: The Political Economy of Peace in Aceh”. Indonesia May-June. Aspinall, Edward, 2009b, “Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia”, Stanford, CA.: Stanford University Press. Barron, Patrick, 2008, “Managing the Resource for Peace: Reconstruction and Peace building in Aceh” in Aguswandi and Judith Large (eds.) Reconfiguring Politics: The Indonesia-Aceh Peace Process. London: Conciliation Resources. Barron, Patrick, 2009, “The Limits of DDR: Reintegration Lessons from Aceh” in Small Arms Survey Yearbook 2009, Cambridge: Cambridge University Press. Barron, Patrick and Adam Burke, 2008, “Supporting Peace in Aceh: Development Agencies and International Involvement”, Washington, DC: East-West Center. Barron, Patrick, and Samuel Clark, 2006, “Decentralizing Inequality? Center-Periphery Relations, Local Governance and Conflict in Aceh”, Conflict Prevention and Reconstruction Paper No. 39. Washington, D.C.: World Bank. Bates, Robert H., 2008, “State Failure”, Annual Review of Political Science. 11: 1-12. Bodea, Christina and Ibrahim A. Elbadawi, 2008, “Political Violence and Economic Growth”, Policy Research Working Paper No. 4692. Washington, D.C: World Bank. Chaudhary, Torunn and Astri Suhrke, 2008, “Postwar Violence”, mimeo, Small Arms Survey, Geneva. Chauvet, Lisa, Paul Collier, and Haavard Hegre, 2008, “The Security Challenge in Conflict-prone Countries”, Conflicts Challenge Paper, Copenhagen: Copenhagen Consensus Centre. Edisi situs internet. Diakses bulan Juni 2008.
Clark, Samuel, and Blair Palmer, 2008, “Peaceful Pilkada, Dubious Democracy”, Indonesian Social Development Paper No. 11. Jakarta: World Bank.
71
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Daftar Referensi
Collier, Paul, 1994, “Demobilization and Insecurity: A Study in the Economics of the Transition from War to Peace”, Journal of International Development. 6(3): 343-51. Collier, Paul, 1999, “On the Economic Consequences of Civil War”, Oxford Economic Papers 51 (1): 168–83. Collier, Paul, V.L. Elliott, Havard Hegre, Anke Hoeffler, Marta Reynal-Querol, and Nicholas Sambanis, 2003, “Breaking the Conflict Trap: Civil War and Development Policy”. Washington, DC: World Bank and Oxford University Press. Collier, Paul and Anke Hoeffler, 2004, “Greed and Grievance in Civil War”, Oxford Economic Papers 54: 563595. Collier, Paul, Anke Hoeffler, and Mans Soderboom, 2006, “Post-Conflict Risks”, Working Paper No. 256. Oxford: Centre for the Study of African Economics, University of Oxford. Commission on Growth and Development, 2008, “Growth Report: Strategies for Sustained Growth and Inclusive Development”, Washington, D.C.: The World Bank.. CSIRO, 2008, “Environmental Management for a Sustainable Economic Development Strategy for Nanggroe Aceh Darussalam”, Nota Kebijakan untuk Bank Dunia oleh Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO). Czaika, Mathias and Krisztina Kis-Katos, 2007, “Civil Conflict and Displacement. Village-Level Determinants of Forced Migration in Aceh”, HiCN Working Paper No. 32, Households in Conflict Network, Institute of Development Studies, University of Sussex, Brighton, UK. Dawood, Dayan, and Sjafrizal, 1989, “Aceh: The LNG Boom and Enclave Development”, in Hal Hill (ed.) Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia since 1970. Singapore: Oxford University Press. Geneva Declaration Secretariat, 2008, “The Global Burden of Armed Violence”. Geneva: Geneva Declaration Secretariat. Government of Aceh, 2007, “Atlas – Economic Development NAD Province – Aceh Triple A Project (ATAP)”, Initial Edition, Mei 2007 Hausmann, Ricardo and Dani Rodrik, 2003, “Economic Development as Self-Discovery”, Journal of Development Economics, Vol. 72, No. 2, hal. 603-633. Hausmann, Ricardo; Rodrik, Dani and Andrés Velasco, 2005, “Growth Diagnostics”, mimeo, Inter-American Development Bank. Hausmann, Klinger and Wagner, 2008, “Doing growth diagnostics in practice: A ‘Mindbook’”, CID Working Paper No. 177, Harvard University. Hill, Hal, and Anna Weidermann, 1989, “Regional Development in Indonesia: Patterns and Issues”, in Hal Hill (ed.) Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia since 1970. Singapore: Oxford University Press. Hiorth, Finnegar, 1986, “Free Aceh: An Impossible Dream?”, Kabar Seberang 17: 182-194. Hoeffler, Anke., and Marta Reynal-Querol, 2003, “Measuring the Costs of Conflict”, Washington, DC: World Bank. Ianchovichina, Elena and Susanna Lundstrom, 2008, “Inclusive growth analytics, framework and application”, Policy Research Working Paper No. 4851, Washington, D.C: World Bank
72
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Imai, Kosuke, and Jeremy Weinstein, 2000, “Measuring the Economic Impact of Civil War.” CID Working Paper No. 51, Harvard University. International Crisis Group, 2001, “Aceh: Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace”, Asia Report No. 17. Jakarta/Brussels. International Crisis Group, 2009, “Indonesia: Deep Distrust in Aceh as Elections Approach”, Asia Briefing No. 90. Jakarta/Brussels. International Finance Corporation, 2008, “Aceh Investment Climate Policy Note”, Januari 2008 International Finance Corporation, 2007, “Aceh Financial Sector Diagnostics”, November 2007 International Organization for Migration, Harvard Medical School, 2007, “A Psychological Assessment of Communities in 14 Conflict-Affected Districts in Aceh”, Jakarta: IOM. International Organization for Migration, 2008, “Meta Analysis: Vulnerability, Stability, Displacement and Reintegration: Issues Facing the Peace Process in Aceh, Indonesia”, Jakarta: IOM. Jones, Sidney, 2005, “The importance of good governance in easing separatist conflicts”, in Dewi Fortuna Anwar et. al. (eds.) Violent Internal Conflicts in Asia Pacific: Histories, Political Economies and Policies. Jakarta: LIPI/Yayasan Obor. Kell, Timothy, 1995, “The Roots of Acehnese Rebellion, 1989-1992”, Ithica, NY: Cornell University Press. Knight, Malcolm, Norman Loayza, and Delano Villanueva, 1996, “The Peace Dividend: Military Spending Cuts and Economic Growth.” IMF Staff Paper Vol. 43, hal. 1-37. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) and The Asia Foundation, 2008, “Local Economic Governance in Indonesia. A Survey of Businesses in 243 Regencies/ Cities in Indonesia, 2007”, Jakarta. Lewis, Blane D. and Bambang Suharnoko, 2008, “Local Tax Effects on the Business Climate”, Decentralization Support Facility, Juli 2008 Lorentzen, P., J. McMillan, and R. Wacziarg, 2006, “Death and development.” Mimeo. Stanford University. McCulloch, Lesley, 2006, “Greed: The Silent Force of Conflict in Aceh”, in Damian Kingsbury (ed.) Violence In Between: Security Issues in Archipelagic South-East Asia. Melbourne/Singapore: Monash Asia Institute/ Institute for Southeast Asian Studies. McGibbon, Rodd, 2006, “Local Leadership and the Aceh Conflict”, in Anthony Reid (ed.) Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem. Singapore: Singapore University Press. Meitzner, Marcus, 2006, “The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism and International Resistance”, Policy Studies No. 23. Washington, D.C.: East-West Center. Missbach, Antje, 2007, “Aceh Homebound?”, in Inside Indonesia No. 90: Special Aceh Reports Moreno-Dodson, Blanca, 2008, “Assessing the Impact of Public Spending on Growth - An Empirical Analysis for Seven Fast Growing Countries”, Policy Research Working Paper No. 4663. Washington, D.C.: The World Bank. Moser, Caroline O. N., 2006, “Reducing Urban Violence in Developing Countries.” Policy Brief 2006-1. Washington, DC: Brookings Institute. MSR, 2009, Multi-Stakeholder Review of Post-Conflict Programming in Aceh: Identifying the Foundations for Sustainable Peace and Development in Aceh. Banda Aceh/Jakarta: MSR. Muggah, Robert, 2009, “Post-conflict armed violence and security promotion.” Small Arms Survey Yearbook 2009. Cambridge and Geneva: Cambridge University Press.
73
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Daftar Referensi
Nagarajan, Geetha, and Michael McNulty, 2004, “Microfinance Amid Conflict: Taking Stock of Available Literature.” Washington, D.C.: United States Agency for International Development. Nazamuddin Basyah Said, 2008, “Economic Injustice: Cause and Effect of the Aceh Conflict”, in Aguswandi and Judith Large (eds), Special Aceh issue in Accord: An International Review of Peace Initiatives, Reconfiguring politics: the Indonesia - Aceh peace process, London Olken, Benjamin and Patrick Barron, 2007, “The Simple Economics of Extortion: Evidence from Trucking in Aceh”. NBER Working Paper No. 13145. Cambridge, MA: NBER. Reid, Anthony (ed.), 2006, “Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem”, Singapore: Singapore University Press. Restrepo, Jorge, Brodie Ferguson, Jukliana M. Zúñiga, and Adriana Villamarin, 2008, “Estimating Lost Product Due to Violent Deaths in 2004”. Makalah yang tidak diterbitkan untuk Small Arms Survey. Geneva/ Bogota: Small Arms Survey/CERAC. Robinson, Geoffrey, 1998, “Rawan is as Rawan Does: The Origins of Disorder in New Order Indonesia.” Indonesia 66 (October): 127-156. Romer, Paul M., 1990, “Endogenous Technological Change”, The Journal of Political Economy, Vol. 98, No. 5, Part 2: The Problem of Development: A Conference of the Institute for the Study of Free Enterprise Systems. (Okt., 1990), hal. S71-S102 Ross, Michael L., 2005, “Resources and Rebellion in Indonesia,” in Paul Collier and Nicholas Sambanis (eds.), Understanding Civil War: Europe, Central Asia, and Other Regions. Washington D.C.: World Bank and Oxford University Press. Saraswati, Muninggar Sri, 2004, “Puteh to sit in the dock”, The Jakarta Post, 18 Desember. Schulze, Kirsten, 2004, “The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization”, Policy Studies No. 2. Washington, DC: East-West Center. Solow, Robert M., 1956, “A Contribution to the Theory of Economic Growth”, The Quarterly Journal of Economics, Vol. 70, No. 1. (Feb., 1956) Stewart, Frances and Vaply Fitzgerald (eds.), 2001, “War and Underdevelopment: The Economic and Social Consequences of Conflict, Volume 1”, Oxford: Oxford University Press. Sukma, Rizal, 2001, “The Acehnese Rebellion: Secessionist Movement in Post-Suharto Indonesia”, in Andrew Tan and Kennethn Boutin, Non-Traditional Security Issues in Southeast Asia. Singapore: Institute of Defense and Strategic Studies. Sukma, Rizal, 2004, “Security Operations in Aceh: Goals, Consequences and Lessons”, Policy Studies No. 3. Washington, D.C.: East-West Center. Sulaiman, M. Isa, 2006, “From Autonomy to Periphery: A Critical Evaluation of the Acehnese Nationalist Movement”, in Anthony Reid (ed.) Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem. Singapore: Singapore University Press. Sulaiman, M. Isa, and Gerry van Klinken, 2007, “The Rise and Fall of Governor Puteh”, in Henke Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (eds.) Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press. Tajima, Yuhki, 2009, “Background Paper on Economic Reintegration.” Prepared for International Congress on Disarmament, Demobilization and Reintegration, Cartagena, Colombia, April 2009. Transparency International, 2008, “Measuring corruption in Indonesia: Indonesia Corruption Perception Index 2008 and Bribery Index”
74
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Ulloa, Alfie, 2008, “Growth Diagnostic Scoping Study Final Report – Technical”, DFID Understanding Afghanistan, September 2008. UN Office on Drugs and Crime/ World Bank, 2007, “Crime, Violence and Development: Trends, Costs and Policy Options in the Caribbean”, Washington, D.C.: World Bank. Van Klinken, 2008, “Social foundations: illegality in the construction sector in provincial Indonesia.” Makalah yang dipresentasikan dalam lokakarya tentang “The State and Illegality in Indonesia”, Australian National University, Canberra, 22-24 September. Walter, Barbara F., 2004, “Does Conflict Beget Conflict? Explaining Recurring Civil War.” Journal of Peace Research 41(3): 371-388. World Bank, 2006a, “Making the New Indonesia Work for the Poor”, Jakarta: The World Bank. World Bank, 2006b, “Aceh Public Expenditure Analysis – Spending for Reconstruction and Poverty Reduction”, Banda Aceh/ Jakarta: The World Bank. World Bank, 2006c, GAM Reintegration Needs Assessment: Enhancing Peace Through Community-Level Development Programming, Banda Aceh: The World Bank. World Bank/KDP, 2007, “2006 Village Survey in Aceh: An Assessment of Village Infrastructure and Social Conditions”, Banda Aceh/Jakarta: World Bank/Government of Indonesia. World Bank, 2007, “Connecting to compete: trade logistics in the global economy”, Washington DC: The World Bank World Bank, 2008a, “Aceh Poverty Assessment 2008 – The Impact of the Conflict, the Tsunami and the Reconstruction on Poverty in Aceh”, Jakarta: The World Bank. World Bank, 2008b, “Aceh Public Expenditure Analysis Update”, Jakarta: The World Bank World Bank, 2008c, “Doing Business 2009 – Country Profile for Indonesia”, Washington DC: The World Bank World Bank, 2008d, “Aceh Economic Update, Oktober 2008”, Jakarta: The World Bank World Bank, 2008e, “World Development Report 2008 – Agriculture for Development”, Washington DC: The World Bank. World Bank, 2008f, “What Are the Constraints to Inclusive Growth in Zambia?”, report No. 44286-ZM, Washington DC: World Bank World Bank, 2009a, “Aceh Conflict Monitoring Update: 1 Desember 2008 – 31 Januari 2009”, Banda Aceh: World Bank. World Bank, 2009b, “World Development Report 2009 – Reshaping Economic Geography”, The World Bank: Washington DC World Bank, 2009c, “Aceh Economic Update, June 2009”, Jakarta: The World Bank World Bank, yang akan datang (a), “Indonesia Jobs Report”. Jakarta: The World Bank World Bank, yang akan datang (b), “Indonesia. Agriculture Public Spending and Growth”. Policy Note for the Indonesia Agriculture Public Expenditure Review World Bank/BRR, 2006, “Trucking and Illegal Payments in Aceh”, Banda Aceh/Jakarta: World Bank/BRR. World Bank/ IFC, 2008, “Public-Private Dialogue Promotes Change in Oil, Gas and Mining Investment Climate”, The World Bank: Jakarta
75
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
10
Lampiran-Lampiran
Lampiran I – Perkiraan hasil-hasil pendidikan Spesifikasi
SMA vs. kurang berpendidikan
SMA dan di atas SMA vs. kurang berpendidikan
Berpendidikan tinggi vs. kurang berpendidikan
Aceh
0,33*** (0,05)
0,39*** (0,04)
0,53*** (0,07)
Sumatera Utara
0,29*** (0,03)
0,39*** (0,03)
0,61*** (0,05)
Sumatera
0,30*** (0,02)
0,38*** (0,02)
0,52*** (0,03)
Indonesia
0,47
0,67
1,05
Sumber: Perhitungan staf bank berdasarkan Sakernas (Feb 2008) Catatan: 1. *** signifikan pada tingkat 1 persen; ** signifikan pada tingkat 5 persen; * signifikan pada tingkat 10 persen. 2. Kesalahan-kesalahan standard (Standard errors) ada dalam tanda kurung. 3. Nilai-nilai nasional diambil dari “laporan Kerja” (Bank Dunia, yang akan datang (b)). 4. SMA = Sekolah Menengah Atas 5. Variabel-variabel kendali mencakup: umur dan umur kuadrat; variabel boneka perkotaan; variabel boneka gender; dan pada tingkat nasional, variabel boneka wilayah (Sumatra, Jawa/Bali, Kalimantan, Sulawesi, NTB/NTT/Maluku, Papua).
77
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Lampiran-Lampiran
Lampiran II – Tabel regresi: kinerja perusahaan dan permasalahanpermasalahan yang dihadapi Variabel dependen
Penjualan per karyawan (2007)
-6,33 (25,69)
Dengan insiden per 1000 0,63 (28,02)
Dengan intensitas konflik -0,97 (30,13)
-36,57* (20,74) -41,08*** (14,40)
-43,73* (26,14) -42,03** (16,50)
-16,17 (16,17)
-0,02 (1,40)
Dengan insiden per 1000 0,14 (1,44)
Dengan intensitas konflik 0,08 (1,71)
-31,63 (22,42) -40,25** (18,55)
1,89 (2,18) -2,42** (1,21)
1,89 (2,39) -2,66** (1,31)
3,18 (2,86) -2,40 (1,51)
0,12 (15,65)
-17,70 (17,97)
1,39 (2,64)
2,00 (2,87)
1,31 (3,05)
-36,37** (16,31) -45,06 (31,65) 0,71 (29,39)
-36,61** (17,54) -49,44 (35,86) 6,18 (36,03)
-38,19** (18,47) -34,68 (36,73) 21,36 (41,13)
-1,69** (0,86) -1,51 (1,42) -0,87 (1,14)
-1,73* (0,94) -1,63 (1,60) -0,85 (1,29)
-1,59 (1,02) -1,73 (1,70) -0,75 (1,68)
--
262,25 (273,61) --
--
--
--
-17,36 (14,13)
--
6,62 (11,05) --
Spesifikasi
Dasar
Akses lahan dan kepastian hukum Pemberian surat izin usaha Interaksi pemerintah daerah dengan kalangan pengusaha Kemampuan dan integritas Utama Biaya-biaya transaksi Prasarana Penyelesaian masalah keamanan dan konflik Insiden per 1000 Intensitas konflik
Investasi per karyawan (2007)
--
Dasar
-2,06** (0,97)
Sumber: The Asia Foundation / survei KPPOD (2008), Tim Konflik dan pembangunan Bank Dunia Catatan: 1. *** signifikan pada tingkat 1 persen; ** signifikan pada tingkat 5 persen; * signifikan pada tingkat 10 persen. 2. Kesalahan-kesalahan standar (Standard errors) ada dalam tanda kurung. 3. Investasi dan penjualan per karyawan adalah nilai-nilai tahunan yang dinyatakan dalam juta rupiah. 4. Variabel dependen (kecuali 2 yang terakhir) adalah variabel boneka yang mengindikasikan apakah responden memperkirakan bahwa tiap-tiap hambatan menghambat kinerja perusahaannya secara signifikan atau sangat signifikan. 5. Insiden per 1000 adalah jumlah insiden keamanan di kabupaten/kota di mana perusahaan tersebut beroperasi dari Januari 05 – Juli 08 per 1000 penduduk. 6. Konflik adalah indikator intensitas konflik yang dikembangkan oleh staf Bank Dunia. Indikator tersebut mengukur dampak jangka panjang konflik dalam bentuk korban, orang-orang yang kembali dari pengungsian, tahanan politik, persepsi intensitas, dll…..Studi ini menggunakan indikator tersebut pada tingkatan kabupaten (lihat World Bank, 2006c).
78
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Lampiran III – Uji T Kesetaraan rata-rata (T Test equality of means) Rata-rata Investasi per penjualan (2007) Untuk grup yang Untuk grup yang TIDAK melaporkan … sebagai melaporkan … sebagai sebuah hambatan sebuah hambatan Akses atas tanah dan kepastian hukum Pemberian surat izin usaha Interaksi pemerintah daerah dengan kalangan pengusaha Kemampuan dan integritas Utama Biaya-biaya transaksi Prasarana Penyelesaian masalah keamanan dan konflik
0,11
0,2
0,7
0,15
0,19
0,19
0,11
0,19
0,06
0,21
0,16
0,22
0,25
0,18
Selisih -0,09 (0,07) 0,55 (0,57) 0 (0,11) -0,08 (0,07) -0,15** (0,07) -0,06 (0,10) 0,07 (0,11)
Sumber: The Asia Foundation / survei KPPOD (2008) Catatan: 1. *** signifikan pada tingkat 1 persen; ** signifikan pada tingkat 5 persen; * signifikan pada tingkat 10 persen. 2. Kesalahan-kesalahan standar (Standard errors) ada di dalam tanda kurung. 3. Kategori-kategori di sini mengindikasikan apakah responden memperkirakan bahwa tiap-tiap hambatan menghambat kinerja perusahaannya secara signifikan atau sangat signifikan.
79
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Lampiran-Lampiran
Lampiran IV – Insiden-Insiden keamanan dan pertumbuhan Statistik Regresi Regresi Berganda Regresi Kuadrat Regresi Kuadrat yang Disesuaikan Kesalahan Standar Observasi Koefisien Konstanta Variabel X
0,600889 -0,00484
0,380964 0,145134 0,097641 0,166216 20
Kesalahan Standar 0,0527 0,002768
Statistik t 11,402 -1,748
Nilai P 1,14E-09 0,097479
Lebih rendah 95% 0,490169 -0,01065
Lebih Tinggi 95% 0,711608 0,000976
Lebih Rendah 95,0% 0,490169 -0,01065
Lebih Tinggi 95,0% 0,711608 0,000976
Sumber: The Asia Foundation / survei KPPOD (2008), tim konflik dan pembangunan World Bank Catatan: 1. Variabel dependen di sini adalah saham perusahaan-perusahaan di sebuah kabupaten yang telah meningkatkan penjualan per pegawai mereka pada 2006-07. 2. Variabel independen adalah jumlah insiden keamanan yang terjadi di sebuah kabupaten pada tahun 2005-06. 3. Koefisien variabel independen, jumlah insiden keamanan, signifikan pada tingkat 10 persen.
80
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Juli 2009
Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana