BENCANA LINGKUNGAN PASCA TAMBANG (ANALISIS KASUS EKS LUBANG TAMBANG BATUBARA KALIMANTAN TIMUR) Luluk Nurul Jannah, SH., MH (Staf Sub Bidang Tindak Lanjut P3E Kalimantan)
Era desentralisasi membuka peluang bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk turut mengatur aktifitas pertambangan. Tugas dan wewenang yang dimiliki pemda dalam hal pertambangan salah satunya tertuang dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam undang-undang tersebut, Pemda diberikan hak untuk
mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP),
menetapkan luas dan batas Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) serta melakukan pembinaan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang. Di Indonesia, Kalimantan Timur adalah salah satu provinsi utama penghasil batubara. Kalimantan Timur menyimpan 45% cadangan batubara nasional. Besarnya cadangan batubara di Provinsi Kalimantan Timur berbanding lurus dengan tingkat eksploitasi dan pemberian izin pertambangan batubara yang sangat tinggi. Data yang dihimpun Jatam Kaltim, di Kalimantan Timur 1.488 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kab/kota. Selain IUP, terdapat juga 33 izin tambang yang diterbitkan oleh pemerintah pusat melalui
Kementerian
ESDM
yang
disebut
Perjanjian
Karya
Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B). Kota Samarinda merupakan salah satu wilayah yang ditetapkan Kementerian ESDM masuk dalam wilayah usaha pertambangan, dengan itu Pemkot Samarinda mengeluarkan kebijakan pengelolaan pertambangan batubara sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Namun kebijakan sektor pertambangan yang diambil oleh Pemerintah Kota Samarinda nampaknya tidak dicermati dengan baik. Hal ini dibuktikan dari luas wilayah pertambangan terhadap luas wilayah di Kota Samarinda sudah mencapai angka 71%. Dampak dari banyaknya izin tambang yang dikeluarkan adalah timbulnya tumpang tindih antar kawasan dan adanya tambang di kawasan padat pemukiman. Lubang eks tambang yang tidak direklamasi akan menimbulkan dampak yang sangat berbahaya karena meninggalkan air beracun dan logam berat dan juga dapat mengancam keselamatan masyarakat yang tinggal di sekitar lubang eks tambang.
Sejak tahun 2011 sampai dengan pertengahan tahun 2016, lubang eks tambang batubara telah menelan korban sebanyak 24 orang (22 diantaranya anak-anak) dengan rincian di Kota Samarinda (15 anak), Kutai Kartanegara (8 anak) dan Penajam Paser Utara (1 orang). Seperti diketahui, dalam kasus ini, tidak ditemukan rambu tanda berbahaya dan pagar pembatas di sekitar lokasi kejadian, sebagaimana yang telah diatur dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor: 555.K/26/M/PE/1995. Disamping itu, jarak lubang tambang juga tidak memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan Untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara, yang mengharuskan minimal 500 meter jarak tepi lubang galian dari permukiman warga. alam UU nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral, dan Batubara, berdasarkan Pasal 97 yang berbunyi para pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah. Begitu juga Pasal 98 disebutkan pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang ditimbulkan oleh adanya suatu tindakan dan terdapat aturan yang mengatur tindakan tersebut. Sama halnya untuk reklamasi dan pasca tambang, terdapat aturan yang mengharuskan tindakan tersebut dilaksanakan dan harus dilakukan, karena apabila tidak dilaksanakan maka terdapat konsekuensi yang mengatur tindakan tersebut bila memenuhi kriteria perbuatan melawan hukum. Dalam PP Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang pada Pasal 2 Ayat (1) termuat klausul wajib melaksanakan reklamasi dan pasca tambang, sama halnya dalam Pasal 21. Klausul wajib berarti bahwa setiap pelaku usaha atau pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksploitasi wajib melaksanakan reklamasi. Dalam klausul hukum, wajib berarti harus dilaksanakan, dan apabila tidak dilaksanakan maka terdapat sanksi yang mengatur perbuatan tersebut. Di dalam reklamasi dan pasca tambang terdapat saksi administratif. Sanksi Administratif dalam hal ini adalah peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, dan pencabutan izin. Di dalam sanksi administratif yang diberikan tidak menghilangkan
kewajiban untuk pemegang usaha untuk melaksanakan reklamasi dan pasca tambang.
Lokasi eks lubang tambang PT. Cahaya Energi Mandiri dan PT. Energi Cahaya Industritama, dan PT. Multi Harapan Utama di Kota Samarinda yang dipasang papan peringatan penghentian sementara kegiatan oleh Direktorat Penegakan Hukum KLHK dan menjadi lokasi tenggelamnya anak pada lubang bekas tambang
Dilihat dari ketidakpatuhan terhadap kebijakan dan perundang-undangan, Menteri, Gubernur, dan Walikota/Bupati sebagai Pemerintah memiliki kewenangan pengawasan terhadap setiap perizinan yang dikeluarkan olehya atau oleh tingkat pemerintah di bawahnya, sebagaimana Pasal 71 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 71 dengan jelas menyatakan bahwa kewenangan absolut dalam pengawasan secara mutlak diberikan kepada pemberi izin, dalam hal ini Walikota Samarinda, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Kalimantan Timur sesuai kewenangannya, selaku penyelenggara negara yang mengawasi setiap izin yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di dalam kewenangannya mengawasi setiap izin yang dikeluarkan juga dapat mengeluarkan sanksi administratif bila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha atau pemegang izin lingkungan. Sanksi
administratif
tersebut
dapat
berupa
teguran
tertulis,
paksaan
pemerintah,
pembekuan izin dan pencabutan izin lingkungan.
Contoh penerapan sanksi administrasi paksaan pemerintah berupa penghentian sementara seluruh kegiatan PT. PLKK oleh Direktur Pengaduan, Pengadawan dan Sanksi Administrasi KLHK
Dalam kasus pembiaran kerusakan lingkungan yang disebabkan pengabaian tindakan
reklamasi
dan
pasca
tambang
oleh
pemegang
izin,
telah
jelas
menyebabkan terjadinya kondisi pelanggaran serius terhadap izin lingkungan, maka Menteri, dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki kewenangan untuk melakukan pengawsan terhadap izin lingkungan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 173 UU No. 32 Tahun 2009. Menteri juga memiliki kewenangan untuk memberikan saksi administratif kepada pemegang izin, bilamana Pemerintah Daerah dengan sengaja tidak menerapkan sanksi, sebagaimana termuat dalam Pasal 77 UU No. 32 Tahun 2009. Pengawasan dilaksanakan Menteri, Gubernur, dan Walikota/Bupati bila tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 71 dan Pasal 72 maka dapat dikenakan saksi pidana, sesuai dengan Pasal 112 UU no. 32 Tahun 2009. Dalam Pasal 112 menyebutkan bahwa Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Jika melihat posisi kasus meninggalnya anak di bekas galian lubang tambang, sudah jelas unsur perbuatan pidananya terpenuhi. Secara prinsip, perbuatan pidana tentu saja menuntut pertanggungjawaban pidana pula. Dalam kasus ini, pertanggungjawaban pidana tidak hanya dialamatkan kepada kontraktor semata sebagai pelaksana kegiatan. Namun faktanya dari beberapa kasus yang telah diproses secara pidana, cenderung hanya menyeret pelaksana kegiatan di lapangan yaitu kontraktor saja. Sementara pemegang IUP termasuk korporasinya tidak tersentuh sama sekali. Meskipun dalam dokumen kontrak, tanggung jawab telah dilimpahkan kepada kontraktor, tetapi bukan berarti pemegang IUP lepas dari tanggung jawab. Artinya, tanggung jawab pemegang IUP tetap menjadi hal yang utama mengingat posisinya sebagai penggerak terhadap berjalannya kegiatan korporasi dari hulu ke hilir, yang memiliki kewajiban melekat terhadap kegiatan reklamasi dan pasca tambang. Selain kontraktor dan pemegang IUP, pertanggungjawaban juga seharusnya dialamatkan kepada Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam pengawasan kegiatan pertambangan, termasuk dalam hal kegiatan reklamasi dan pasca tambang. Salah satu ketentuan pidana yang bersifat khusus (lex specialis), terkait pengawasan ini, diatur dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal ini merujuk atas ketentuan kewajiban dan tanggung jawab pengawasan oleh pemerintah terhadap ketaatan kegiatan usaha yang telah ditentukan oleh undang-undang. Tidak dilakukannya pengawasan (kelalaian) yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, merupakan tindak pidana yang harus dipertanggungjawabkan. Sekarang bergantung keseriusan dari semua pihak, terutama aparat penegak hukum untuk menjawab rasa keadilan publik dengan mengusut tuntas kasus-kasus ini sebelum korban lainnya kembali berjatuhan. Setiap peristiwa tewasnya korban dilubang tambang tidak pernah sekalipun terselesaikan secara tuntas pada jalur hukumnya, jika adapun hukuman yang dijatuhkan sangat ringan.