KONDISI EKONOMI DAN LINGKUNGAN PULAU GEBE, PASCA TAMBANG NIKEL (Abd. Wahab Hasyim)
Latar Belakang Prospek pertambangan energi dan mineral di Indonesia pada 20 tahun terakhir ini mengalami kemajuan pesat, kemajuan ini ditandai dengan meningkatnya volume produksi dan berkembangnya usaha eksploitasi jenis sumberdaya energi dan mineral yang pada tahun-tahun 1970-an
sampai 1980-an belum
banyak berkembang di Indonesia. Hasil penyelidikan dan pemetaan geologi yang telah dilakukan di sekitar 90 % dari luas wilayah daratan Indonesia, telah mengidentifikasikan wilayah negara dari Sabang sampai Merouke memiliki potensi kekayaan berbagai jenis mineral dan energi yang sangat diminati pasar ekspor (Ness, 1999), termasuk kawasan Timur Indonesia juga memiliki kekayaan sumber daya mineral dan energi pertambangan yang sangat bersar (Katili, 2002). Sumbangan atau kontribusi pertambangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 1996 telah mencapai 5,25%, angka ini jauh meningkat bila dibanding dengan capaian tahun 1983 yang hanya sebesar 1,13% dari PDB Indonesia. Pertumbuhan yang sangat signifikan ini, menunjukkan bahwa sektor pertambangan dapat menjadi sektor andalan bagi pembangunan perekonomian suatu negara (Ness,1999). Penambangan bijih nikel di Pulau Gebe dilakukan sejak tahun 1979 oleh PT Aneka tambang ( PT ANTAM) pada lahan areal kontrak karya seluas 1.225 ha, namun sampai tahun 2003 (PT ANTAM berhenti mengeksploitasi nikel) areal yang terganggu langsung hanya seluas 422 ha. Jenis nikel yang dihasilkan, adalah
nikel saprolit dan nikel limonit. Hasil produksi nikel jenis saprolit dipasok ke pabrik Ferronikel (FeNi) di Pomala dan bagian terbesar di pasarkan ke Jepang,
2
dan jenis nikel limonit seluruhnya diekspor ke Australia. Produksi tahun 2000 masih dibawah target yang ditetapkan yakni 730.823 wmt atau 83 % jumlah (target) kadar tinggi dan 931.355 wmt atau 85 % untuk kadar rendah. Dengan prinsip “kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat”, maka bahan tambang perlu diolah dengan tujuan: meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebagai implementasi dari tujuan tersebut, keberadaan PT ANTAM selama 24 tahun di Pulau Gebe telah mampu memberi kontribusi cukup nyata terhadap pembangunan wilayah Pulau Gebe, pembangunan daerah dan perekonomian nasional. Terhadap daerah penambangan menyebabkan penerimaan royalti dari eksploitasi nikel telah memberikan masukan berarti terhadap kas APBD Kabupaten Halmahera Tengah, dan efek positif yang timbul dari kegiatan eksploitasi telah menaikan pendapatan asli daerah dari pos retribusi dan pajak kendaraan bermotor serta pajak bumi dan bangunan (PBB). Namun demikian, kegiatan penambangan juga memunculkan sisi negatif, seperti terjadinya degradasi sumberdaya dan lingkungan, kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat dan terjadi reduksi nilai terhadap tatanan sosial dan budaya. Karena itu menurut Salim (1989) pengelolaan sumberdaya pertambangan perlu dilakukan secara berhati hati agar mampu menjaga keberlanjutan aset generasi masa depan, untuk itu konsep pembangunan harus berkelanjutan. Sebagai negara penganut “paham” sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat, Indonesia cenderung menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu mengolah kekayaan sumberdaya alam dan energi secara bijaksana agar kondisi lingkungan tetap lestari dan bermutu tinggi. Lingkungan yang lestari, pembangunan akan tetap berlangsung dari generasi ke generasi, dan lingkungan yang lestari hanya dapat dilahirkan dari pola pikir yang memiliki rasa bijak lingkungan yang besar (Naiola, 1996). Konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan pertama pada tahun 1987 oleh The World Commission on Enviroment and Development (WCED) melalui laporan “Our Common Future” yang disampaikan oleh Cicin-Sain et al. (1998). Substansinya, adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini
3
tanpa membatasi peluang generasi mendatang. Tidak menyebabkan penurunan kapasitas produksi ekonomi di masa mendatang (Barry, 1997). Keberlanjutan secara ekologis, ekonomi, sosial, budaya dan politik (Rahim, 2000). Mengandung prinsip “justice as fairness” yang berarti manusia dari generasi yang berbeda mempunyai tugas dan tanggungjawab satu terhadap manusia lainnya seperti yang ada dalam satu generasi (Beller, 1990). Kegiatan penambangan selalu memunculkan pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif kegiatan penambangan dapat dilihat dari kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah, membuka isolasi keterisolasian wilayah, menyumbangkan devisa negara, menyediakan kesempatan kerja, serta pengadaan barang dan jasa untuk konsumsi dan yang berhubungan dengan kegiatan produksi, disamping itu dapat menyediakan prasarana bagi pertumbuhan sektor ekonomi lainnya (Mangkusubroto, 1995). Namun secara alamiah keberadaan deposit sumberdaya tambang selalu berinteraksi dan kait mengkait dalam lingkungan habitatnya sendiri, seperti tanah, air dan tumbuh-tumbuhan, maka salah satu faktor mendasar yang tidak bisa dihindarkan pada saat dilakukan eksploitasi deposit tambang tersebut adalah terjadinya kerusakan lingkungan. Pengelolaan sumberdaya tambang yang tidak berpedoman pada prinsip-prinsip ekologi, dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang apabila melewati ambang batas terpulihkan akan berakibat pada kerusakan permanen dengan akibat terjadinya degradasi lingkungan yang parmanen. Beberapa kejadian sebagai dampak negatif dari kegiatan pertambangan dapat dilihat dari terjadinya ancaman terhadap lingkungan fisik, biologi, sosial, budaya, ekonomi dan warisan nasional (Barton, 1993), ancaman terhadap ekologi dan pembangunan berkelanjutan (Makurwoto, 1995). Ancaman terhadap dimensi ekologi seperti terjadinya perubahan bentang alam yang cukup luas, perubahan morfologi dan fungsi lahan, penimbunan tanah kupasan, penimbunan limbah pengolahan dan jaringan infrastrukturnya, seperti lahan bekas tambang emas di PT Newmont Minahasa Raya (PTNMR, 2000), mempengaruhi iklim dalam skala lokal seperti yang terjadi di lokasi penambangan PT Batu Bara Bukit Asam
4
(1996), berbagai mikro organisme pada horizon top soil A dan B menjadi musnah, sehingga produktivitas dan stabilitas lahan menurun (Latifah, 2000). Menurut Hardiyanti (2000) dalam penelitiannya di PT Freeport, luas wilayah operasi penambangan juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya malapetaka ekologi yang besar setelah habis masa tambang, terjadi pemborosan sumberdaya tambang yang cukup besar, serta musnahnya keanekaragaman hayati. Akibat dampak negatif terhadap komponen ekologi banyak daerah bekas tambang mengalami degradasi ekologi seperti tambang emas di Kalgoorie Australia Barat, bekas tambang timah di Pulau Dabo Singkep yang menyebabkan air tergenang pada lubang-lubang bekas galian sebagai sarang malaria, hamparan tanah gundul yang tidak produktif (Kasus ANTAM Pomala dan PT. Inco), rona kota terkesan sebagai kota mati (Katili, 1998), serta menurunnya kualitas tanah dan air. Dampak penambangan di bidang sosial ekonomi sangat terasa pada saat menjelang dan berhentinya operasi perusahaan, seperti pendapatan masyarakat menurun, tidak ada lapangan kerja, terjadi pemutusan tenaga kerja (Katili, 1998), menimbulkan perubahan pada : lapangan kerja, tingkat dan pola pendapatan, pola produksi dan konsumsi, pendapatan dan penerimaan pemerintah dari pajak tambang dan retribusi menurun kasus di PT Tambang Timah Bangka (1990). Konflik antar etnis, konflik budaya, konflik tanah, kemiskinan dan pengangguran, persepsi negatif terhadap perusahaan, kualitas hidup, partisipasi dan peranan wanita seperti yang terjadi di Freeport, PT Inco dan PT Minahasa, kekerasan fisik dan pelecehan seksual, seperti kasus yang terjadi di PT Kelian Equtorial Mining. Penambangan nikel di Pulau Gebe yang mulai berproduksi pada tahun 1979 tidak disangkal lagi telah menimbulkan beberapa dampak positif di bidang sosial dan ekonomi, seperti kontribusi terhadap produksi nikel nasional, kontribusi terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, kesempatan kerja, pendidikan, kesehatan, pengusaha kecil dan koperasi, sarana dan prasarana umum, serta keterbukaan wilayah. Namun, perlu juga diakui bahwa sebagai penambangan terbuka, juga telah menimbulkan sisi negatif terhadap komponen biofisik seperti terjadinya perubahan sifat tanah dan kualitas air di sekitar lokasi tambang. Sisi
5
negatif di bidang sosial ekonomi, mulai muncul di saat perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 484 karyawan perusahaan operasional (KPO) dan Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM). Akibat dari PHK tersebut telah terjadi: (1) Arus penduduk keluar Pulau Gebe antara bulan Januari 2003- Maret 2003 sebanyak ± 817 jiwa; (2) Terdapat 218 bekas karyawan perusahan yang tetap bermukim di Pulau Gebe kehilangan lapangan kerja; (3) Pendapatan nelayan, petani, pedagang dan usaha informal dan formal mengalami penurunan; (Tim Ekonomi, 2009). Menyadari bahwa masyarakat tetap membutuhkan keberlangsungan hidup secara sosial dan ekonomi, sementara kegiatan penambangan telah berakhir pada tahun 2005, dengan demikian terjadi lagi PHK terhadap 486 karyawan sisa. Akibat yang muncul adalah berpindahnya bekas karyawan ke daerah lain dan sebagian pulang ke kampung halaman asal. Dari hasil survei yang dilakukan Tim Fakultas Ekonomi Unkhair (2009); Hasyim (2010) dan Tim IPB, Unkhair (2011) diperoleh beberapa harapan masyarakat, adalah : (1) Perbaikan
lingkungan
biofisik di areal tambang secara langsung dapat berpengaruh terhadap lingkungan pesisir pantai; (2) Perlu adanya investor yang dapat mengembangkan sektorsektor primer yang bertumpu pada potensi sumberdaya lokal agar masyarakat dapat melangsungkan kehidupannya; (3) Perusahaan harus memperbaiki dan membangun fasilitas umum di bidang sosial dan ekonomi; Sebagai sebuah pulau kecil yang letaknya berhadapan langsung dengan laut pasifik, Pulau Gebe memiliki potensi sumberdaya laut dan perikanan yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya, di samping itu sumberdaya lain juga memiliki potensi yang relatif baik. Tercatat, wilayah perairan Pulau Gebe mempunyai potensi sumberdaya ikan demersal dan palagis yang sangat besar, dan merupakan salah satu potensi untuk layak dikembangkan, selain sektor ekonomi lainnya yang juga memiliki potensi dan daya dukung yang relatif baik pada saat Pulau Gebe tanpa tambang nikel. Upaya ini dirasakan sangat urgen dan mendesak, karena seperti pulau - pulau kecil lainnya, masyarakat Pulau Gebe juga mempunyai tingkat ketergantungan yang sangat besar dengan pihak luar, sehingga
6
upaya ini sangat penting untuk dapat mempertahankan keberlanjutan hidup masyarakat secara sosial ekonomi di saat Pulau Gebe tanpa tambang nikel.
KEADAAN PULAU GEBE
Letak Geografis Pulau Gebe merupakan salah satu pulau kecil, yang terletak di antara Pulau Halmahera dan Pulau Irian (Papua). Secara geografis Pulau ini terletak tepat di garis katulistiwa pada 0° Lintang Selatan dan 129, 30° Bujur Timur dengan batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut: sebelah Utara dengan Samudera Pasifik, sebelah Selatan berbatasan dengan laut Halmahera, sebelah Timur dengan Kabupaten Sorong Papua, dan sebelah Barat dengan Kecamatan Patani. Secara administratif pulau Gebe masuk dalam lingkup wilayah Kabupaten Halmahera Tengah. Sebelum menjadi kecamatan defenitif, Pulau Gebe hanya merupakan kumpulan beberapa desa yang secara administrasi pemerintahan berada dalam wilayah Kecamatan Patani, namun dengan pertimbangan untuk memperpendek rentang kendali dan meningkatkan pelayanan masyarakat serta percepatan pembangunan, maka melalui perjuangan masyarakat Pulau Gebe yang kemudian mendapat respon DPRD dan Pemerintah Kabupaten (PEMKAB), maka pada tanggal 7 April tahun 2001 status desa Gebe dinaikan menjadi Kecamatan Pulau Gebe dengan enam desa definitif. Bentuk Pulau memanjang dari arah barat laut ke tenggara dengan panjang sekitar 45 km, dan lebar bervariasi 1 -7 km dengan luas`wilayah ± 153 km2. Lokasi kegiatan penambangan nikel terletak di semenanjung Oeboelie yaitu pada sisi bagian barat daya Pulau Gebe dalam wilayah KP Eksploitasi DU 286 Maluku dengan luas 1.225 hektar. Perjalanan dari Ternate ke Gebe dapat di tempuh melalui laut dan udara. Perjalan dengan menggunakan sarana udara dapat ditempuh dalam waktu 1 jam, sedangkan dengan menggunakan kapal motor niaga biasanya ditempuh dalam waktu sekitar 20 jam. Kapal laut yang melayari Ternate
7
Gebe, yang dilakukan oleh pihak swasta dan PT PELNI frekwensi pelayarannya masing-masing dua kali dalam seminggu. Untuk penerbangan Ternate–Gebe, jadwal penerbangan permanen dilakukan dengan maskapai Merpati pada hari Selasa dan Jumat.
Gambar . Peta Pulau Gebe
Batuan dan Tanah Pulau-pulau di wilayah propinsi Maluku Utara terutama Pulau Halmahera bagian Timur, Waigeo, Gag dan Pulau-pulau di sekitarnya merupakan bagian dari “The Circum Pasific Orogenic Belt” (Katili, 2000). Batuan-batuan dasar dari
8
orogenesis
yang ada di kawasan ini terdiri dari lapisan mesoik atas sampai
lapisan tersier bawah. Proses pelapukan dan retakan lapisan batuan dasar di sepanjang garis tektonik, sehingga terjadi intrusi nikel seperti di bukit Elfanon, Tulio Kalio, dan pulau Fau. Sebagian wilayah Pulau Gebe juga merupakan daerah plateau terdiri dari batu pasir dan batu karang (gamping muda) seperti di tanjung Safa sampai tanjung Magnonapo, dan daerah massive yang terdiri dari batuan ultra basa, basa dan laterit, terdapat di bukit Elfanon, dan Toeli Kalio. Jenis tanah di Pulau Gebe berdasarkan hasil penelitian Lembaga Penelitian Tanah Bogor dan hasil analisis terhadap Peta jenis hutan di wilayah Maluku Utara terdiri dari jenis tanah : Latosol, Mediteran Merah Kuning, dan Renzina. Tabel 1 menunjukkan penyebaran dari jenis tanah di Pulau Gebe. Tabel 1. Jenis dan luas tanah di Pulau Gebe (Ha) Jenis tanah Latosol Mediteran merah kuning
Luas (ha)
Persentase
165
0,8
3.637
18,2
Renzina
16.205
81
Jumlah
20.007
100
Sumber : Hasil analisis peta jenis hutan Maluku Utara, 2009
Kondisi tanah fisik dan kimia tanah Pulau Gebe pada bagian yang tidak terkait langsung dengan penambangan nikel, dapat dilihat dari empat lokasi pewakil seperti Tabel 1.
Tabel 2. Data sifat fisik –kimia tanah di Pulau Gebe
9
Parameter Tekstur (Kelas) Bulk Density (g/cc) Kadar Air (Pf 2.54) Kadar Air (pF 4.2) Air Tersedia (%) Pori Total Permeabilitas (cm/jam) Drainase Tanah Struktur Kedalaman tanah (cm) pH C-Organik (%) KTK (me/100g) KB (%) N-Total (%) P2O5 (ppm) K-Tersedia (me/100g) Fe (ppm) Co (ppm) Ni (ppm) Suhu (ºC) Curah hujan (mm) Kemiringan (%)
Lokasi A1 SiL,SiL 1,2 40 28 11 56 26 (SC) Cepat Glanuler sedang 50 –90 6,7 (n) 1,29 (R) 7,2 (R) 96,6 (ST) 0,08 (SR) 2,8 (SR) 0,16 (SR) 44,6 (R) 0,79 (S) 10,63 (SR) 28 2009 35
A2 SiL, L 0,8 37 20 17 69 50 (SC) Cepat Glanuler sedang 50-90 7,0 (n) 1,27 (R) 15,7 (R) 100 (ST) 0,14 (R) 5,7 (R) 0,23 (R) 38,28 (R) 0,77 (S) 28,16 (R) 28 2009 25
A3 SiL, Sil 0,9 45 18 17 66 18 (AC) Agak Cepat Glanuler sedang > 90 7,3(n) 0,62 (SR) 5,9 (R) 98,9(ST) 0,03 (SR) 3,7 (SR) 0,15 (SR) 4,04 (SR) 0,04 (SR) 20,41 (R) 28 2009 15
D C 0,9 33 22 14 66 6 (S) Sedang Glanuler sedang > 90 8,1(ab) 1,47 (SR) 21,9 (S) 100 (ST) 0,04 (SR) 11,9 (S) 0,54 (R) 9,12 (SR) 0,10 (SR) 13,22 (SR) 31 1997 8
Tabel 2, menunjukan lahan Pulau Gebe yang bergunung (A1), berbukit bergunung (A2), berombak bergelombang (A3), dan datar berombak (D) memiliki sifat fisik dan kimia tanah sebagai berikut: tekstur tanah pada lapisan top soil dominan lempung liat berdebu (sedang). Permeabilitas tanah yang ada di Pulau Gebe berada pada kategori sedang (S) hingga sangat cepat (SC). Kondisi permeabilitas ini berkaitan dengan struktur tanah yang didominasi oleh struktur granuler. Drainase tanah umumnya sedang hingga cepat. Kondisi kimia tanah di Pulau Gebe yang tergolong baik adalah pH tanah yang netral (N), dan kejenuhan basa yang sangat tinggi (ST). KTK tanah C-organik berada pada kelas rendah (R) hingga sangat rendah (SR). Hara tersedia N, P, dan K berada dalam kondisi rendah (R) hingga sangat rendah (R). Kemiringan atau kelerengan tanah (Tabel 2) di Pulau Gebe berada pada level datar berombak sebesar 54%, berombak bergelombang 27%, berbukit
10
bergunung 11%, dan bergunung sebesar 8%. Umumnya tanah dengan kondisi datar berombak terletak pada kawasan pemukiman, berombak-bergelombang pada lokasi pertanian tanaman semusim, perkebunan, dan peternakan dan kegiatan jasa. Berbukit bergunung umumnya terdapat pada hutan lindung dan perkebunan. Luas kedalaman efektif tanah di Pulau Gebe (Tabel 2), meliputi tanah dalam 74%, agak dangkal seluas 12 %, dangkal 8%, dan sangat dangkal 6%. Tanah dangkal umumnya berada pada lokasi pemukiman, sedangkan tanah dalam dan agak dalam umumnya terdapat pada daerah pedalamaan bagi penggunaan perkebunan dan pertanian. Penyebaran tekstur tanah di Pulau Gebe berada pada klas halus sebesar 1.071 ha atau 7%, klas sedang sebesar 2.142 ha atau 14%, tekstur kasar seluas 9.333 ha atau 18%, dan berbatu seluas 2.754 ha atau 18%. Kondisi Drainase Pulau Gebe, lahan yang baik dalam mengalirkan air yaitu seluas 13.459 ha atau 78 %, dan yang terhambat 1.841 ha atau 22% dari total lahan.
Iklim Tipe iklim di Pulau Gebe diklasifikasikan menurut sistem Schmid dan Ferguson (1975) dengan mengacu pada jumlah bulan kering (BK) dan jumlah bulan basah (BB) rata-rata. Bulan kering dalam sistem ini adalah bulan dimana curah hujan < 60 mm, dan bulan basah adalah bulan dimana hujan > 100 mm. berdasarkan kriteria tersebut, diperoleh rata-rata bulan kering sebesar 2,2 bulan dan bulan basah 8,8 bulan, dengan nilai Q (Q= rata-rata BK/BB x 100 %) sebesar 21, 59. Nilai Q hasil hitungan bila di sesuaikan dengan kriteria iklim Schmid dan Ferguson (1975), masuk dalam tipe iklim B atau tipe iklim basah. Dari segi curah hujan, wilayah Pulau Gebe mulai jatuh hujan pada bulan Oktober dan mencapai puncaknya pada bulan Mei. Curah hujan bulan terendah 55,90 mm terjadi pada bulan September dan tertinggi 250,90 mm di bulan Mei,
11
dengan jumlah curah hujan tahunan sebesar 2009,4 mm per tahun. Temperatur udara umumnya berkisar antara 26o–30o C, dengan temperatur udara rata-rata sebesar 28,84o C. Temperatur udara terendah 26,46 o C terjadi pada bulan Januari dan temperatur udara tertinggi 31,05 o C terjadi pada bulan Agustus. Tabel 3. Data rata-rata komponen iklim di Pulau Gebe selama 10 tahun pencatatan (1996 - 2005 ) Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Rata-rata Tahunan
Curah hujan (mm) 238,0 176,7 173,0 176,7 250,9 146,1 110,5 67,4 55,9 179,9 185,2 249,1 2.009,4 -
Hari hujan
Suhu ( °C)
Kelembaban (%)
24 12 12 18 19 13 13 8 6 19 14 25 15,25
26,46 26,92 27,26 29,06 29,89 30,13 30,62 31,05 30,97 28,69 27,84 27,17 28,84
84 85 83 86 85 84 83 78 78 81 87 87 83,42
Hari hujan rata-rata tahunan di wilayah Pulau Gebe sebesar 15, 25 hari dengan hari hujan terendah 6 hari terjadi pada bulan September dan hari hujan tertinggi 25 hari terjadi pada bulan Desember. Kelembaban udara berkisar antara 83 – 87 % dengan kelembaban udara rata-rata 83,42 % per tahun. Kelembaban udara terendah terjadi pada bulan Maret dan Juli dengan tingkat kelembaban sebesar 83 % dan kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan November dan Desember dengan tingkat kelembaban sebesar 87 %. Pola pergerakan angin di Gebe mengikuti pola perubahan musim, antara bulan Desember hingga Pebruari angin Barat bertiup sangat kencang, sehingga keadaan laut sangat membahayakan. Khusus bagian Selatan dan Utara Pulau Gebe para nelayan tidak berani menangkap ikan di wilayah ini, karena gelombang laut yang terjadi sangat besar.
12
Tata Air Kondisi tata air di Pulau Gebe termasuk kategori rendah, karena Pulau Gebe merupakan pulau kecil yang banyak di dominasi batu-batu karang, di Pulau ini tidak terdapat sungai besar, dan gunung besar/tinggi. Air untuk kebutuhan penduduk di peroleh dari air sumur, dari sumber mata air di hutan, dan di Telaga Niwisyo. Hasil pengamatan dan pengukuran, luas genangan air Telaga
±13
hektar, pada saat musim kemarau ketinggian air rata-rata bisa mencapai kurang dari 2 meter, sedangkan pada saat hujan bisa mencapai lebih dari 2,4 meter. Untuk memenuhi kebutuhan karyawan, perusahaan membangun Bendungan penampung yang sumbernya dari Telaga Niwisyo.
Bencana Daerah rawan bencana di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah yang dapat diidentifikasi terdiri atas daerah rawan gempa dan gerakan tektonik. Berdasarkan peta wilayah bencana gempa bumi Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Pulau Gebe termasuk dalam zona skala IV – V MMI. Peta tersebut di atas disusun berdasarkan nilai intensitas tertinggi atau tingkat kerusakan terparah yang diakibatkan oleh terjadinya gempa bumi. Besarnya intensitas atau tingginya tingkat kerusakan akibat gempa bumi sangat tergantung pada beberapa faktor, diantaranya ialah jarak tempat tersebut terhadap sumber gempa bumi dan kondisi geologi setempat. Makin dekat suatu tempat terhadap sumber gampa bumi, makin besar intensitas gempanya dan makin tinggi tingkat kerusakannya.
13
Kondisi Lahan Kelerengan tanah adalah perubahan ketinggian permukaan tanah/lahan satuan luas tertentu. Berdasarkan klasifikasi yang digunakan dalam zonasi agroekologi, kelerengan tanah di Pulau Gebe, seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Klasifikasi kelerengan di Pulau Gebe No 1 2
Lereng (% ) > 40 16 – 40
3
8 – 15
4 Jumlah
<8
Fisiografi
Luas (ha)
%
Bergunung Berbukit – bergunung Berombak bergelombang Datar – berombak
1.224 1.683
8 11
4.131
27
8.262 15.300
54 100
Sumber : Peta zona agroekologi dan komoditas utama (2009) Tabel 4, menunjukan bahwa kondisi tanah di Pulau Gebe, berada pada level datar berombak sebesar 54%, berombak bergelombang sebesar 27%, berbukit bergunung sebesar 11%, dan bergunung sebesar 8%. Umumnya tanah dengan kondisi datar berombak terletak pada kawasan pemukiman, berombakbergelombang terletak pada lokasi pertanian tanaman semusim, perkebunan, dan peternakan dan kegiatan jasa. Berbukit bergunung umumnya terdapat pada hutan lindung dan perkebunan. Kedalaman efektif tanah adalah batas kemampuan akar menembus solum tanah (lapisan tanah) sampai bahan induk dimana tanaman masih tumbuh baik dan normal. Pada umumnya kedalaman efektif tanah bervariasi dari dangkal sampai dalam dan biasanya dipengaruhi oleh jenis dan sifat tanah yang bersangkutan. Berdasarkan kedalamannya klasifikasi tanah di Pulau Gebe dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Luas kedalaman efektif tanah di Pulau Gebe
14
Kedalaman efektif Luas (Ha) Persentase (%) Sangat dangkal ( 0 – 30 cm 918 6 ) Dangkal ( 30 – 60 cm ) 1.224 8 Agak Dangkal ( 60 – 90 1.836 12 cm ) Dalam ( >90 cm ) 11.322 74 Jumlah 15.300 100 Sumber : RUTR Kabupaten Halmahera Tengah (2009)
Tabel 5, menunjukan luas kedalaman efektif tanah di Pulau Gebe, meliputi tanah dalam seluas 7%, agak dangkal 12 %, dangkal 8%, dan sangat dangkal 6%. Tanah dangkal umumnya berada pada lokasi pemukiman yang terletak di pesisir pantai, sedangkan tanah dalam dan agak dalam umumnya terdapat pada daerah pedalamaan bagi penggunaan perkebunan dan pertanian. Tekstur berpengaruh langsung terhadap unsur hara, drainase, dan kepekaan terhadap erosi, dan juga terhadap pengelolaan tanah dan pertumbuhan tanaman terutama dalam hal mengatur kandungan udara dalam rongga tanah, persediaan dan kecepatan peresapan air. Tekstur tanah di Pulau Gebe lebih terinci dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Penyebaran tekstur tanah di Pulau Gebe (Ha) Penyebaran tekstrur Luas (ha) Persentase (%) Halus 1.071 7 Sedang 2.142 14 Kasar 9.333 61 Berbatu 2.754 18 Jumlah 15.300 100 Sumber : RUTR Kabupaten Halmahera Tengah (2009) Tabel 6, menunjukan penyebaran tekstur tanah di Pulau Gebe berada pada klas halus sebesar 1.071 ha atau 7%, klas sedang sebesar 2.142 ha atau 14%, tekstur kasar seluas 9.333 ha atau 18%, dan berbatu seluas 2.754 ha atau 18%. Drainase menunjukkan lamanya atau seringnya tanah jenuh air atau kecepatan air menghilang dari permukaan tanah oleh aliran permukaan dan
15
gerakan turun ke bawah. Dengan kata lain drainase dapat dikaitkan dengan ada tidaknya genangan air yang terdapat dipermukaan tanah, seperti hujan, irigasi atau 3rawa monoton (tergenang sepanjang musim). Drainase menggambarkan tata udara dan tata air di dalam tanah. Dengan demikian drainase berkaitan erat dengan tekstur tanah, vegetasi penutup, pengelolaan tanah, intensitas hujan, dan bentuk-bentuk relief permukaan. Tabel 7. Luas desa berdasarkan kondisi Drainase di Pulau Gebe (Ha) Keadaan Drainase Desa Total Baik Terhambat Ha % Ha % Umera 2.717 87 406 13 3.123 Mamin 913 79 242 21 1.155 Kacepi 1.189 67 586 33 1.775 Kapaleo 1.642 62 1.007 38 2.649 Umiyal 1.752 83 360 17 2.112 Sanafi 5.246 89 648 11 5.894 Jumlah 13.459 78 1.841 22 15.300 Sumber : RUTR Kabupaten Halmahera Tengah (2009) Tabel 7, berdasarkan kemampuan tanah dalam mengalirkan air, tanah tanah di Pulau Gebe dikelompokkan ke dalam dua kelas yaitu tanah yang baik dalam mengalirkan air dan tanah yang terhambat dalam mengalirkan air. Lahan yang baik dalam mengalirkan air seluas 13.459 ha atau 78 %, dan yang terhambat 1.841 ha atau 22% dari total lahan.
Penggunaan Lahan Prinsip penataan ruang dalam suatu wilayah pada dasarnya merupakan pengaturan terhadap pengunaan lahan yang ada di wilayah tersebut. Selain itu penggunaan lahan yang ada dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penata guna lahan selanjutnya. Berdasarkan kondisi eksisting guna lahan di Pulau Gebe
16
pada tahun 2004, sebagian besar pengunaan lahan di Pulau Gebe adalah berupa hutan belukar (rumput) dan hutan bakau. Kondisi ini seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Luas lahan per jenis penggunaan di Pulau Gebe No Keterangan Luas Area (Ha) Proporsi (%) 1 Areal Penggunaan Lain 732 5 2 Hutan 9.801 64 3 Hutan Bakau 1.227 8 4 Perkantoran 16 0,1 Perkebunan dan 15 5 Pertanian 2.299 6 Pertambangan 1.225 7,9 Jumlah 15.300 100 Sumber : RUTR Kabupaten Halmahera Tengah (2009) Tabel 8, menunjukan lahan untuk penggunaan (pemukiman, usaha jasa, olah raga dan rekreasi) adalah seluas 852.724 ha atau sama dengan 4,8 dari total lahan Pulau Gebe. Lahan untuk penggunaan hutan dan hutan bakau adalah masing-masing 61% dan 12% dari total lahan. Lahan penggunaan untuk kegiatan perkebunan dan pertanian sebesar 15%, sedangkan untuk kegiatan penambangan sebesar 7% dari total lahan Pulau Gebe. Berdasarkan peruntukan hutan dalam Tata Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Maluku Utara tahun 2009, luas jenis pemanfaatan hutan untuk Pulau Gebe terdiri dari : Hutan produksi yang dapat di konversi 2.978 ha, hutan produksi tetap 1.985 ha, hutan produksi terbatas 2.536 ha, dan hutan lindung seluas 3.529 ha.
17
Evaluasi Kesesuaian Lahan Pulau Gebe
Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman cengkih, kopi, kelapa, kakao, padi gogo, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, dan pisang disajikan pada Tabel 8. Tanaman perkebunan memiliki kelas kesesuaian lahan yang sama yaitu kelas Cukup sesuai (S2), dan Sesuai marginal (S3). Kelas (S2) untuk kelapa, cengkih, kopi dan kakao, dipengaruhi oleh faktor media perakaran, retensi hara, hara tersedia, sedangkan di lereng dipengaruhi erosi ringan. Kelas (S3) dipengaruhi faktor pembatas erosi tanah, dan retensi tanah, sedangkan kelas tidak sesuai saat ini (N1) untuk tanaman Kakao disebabkan oleh erosi ringan. Tabel 9. Hasil evaluasi kesesuaian lahan tanaman perkebunan dan pertanian di Pulau Gebe Jenis tanaman Cengkih Kopi
Kelas Kesesuaian
Sub kelas
S3
S3.r,e S3,f.n
S3
S3, r.f.n
S3
S3,f.e S3,f.n S3,r.f.n
Kelapa
Kakao
S3
Padi
S3
S3,m S3,f S3, f.m S3,f
S3
S3, f.m S3,f
S3
Ubi jalar
Ubi kayu
Kacang tanah Pisang
S3,f.n.e
S3 S3
S3,m; S3,n S3, w.n
Pembatas media perakaran, erosi retensi hara, hara tersedia media perakaran, retensi hara, hara tersedia retensi hara, erosi retensi hara, hara tersedia media perakaran, retensi hara, hara tersedia retensi hara, hara tersedia, erosi potensi mekanisasi retensi hara retensi hara, potensi mekanisasi retensi hara retensi hara, potensi mekanisasi retensi hara potensi mekanisasi; hara tersedia Ketersediaan air, hara tersedia
Lokasi A2 A3, D A3 A2 A3 D
D A3 D A3 D A3 D A3; A3
Sumber : Data primer, 2009 Kelas (S3) tanaman (padi, ubi jalar, ubi kayu, kacang tanah, dan pisang) dipengaruh oleh pembatas retensi hara, hara tersedia, potensi mekanisasi, dan ketersediaan air, dan tingkat erosi ringan. Kesesuaian lahan potensial untuk tanaman perkebunan dan pertanian
18
tersebut setelah dilakukan perbaikan dapat mencapai kelas sangat sesuai (S1) dari aktualnya S2, kelas (S2) dari aktual S3, dan kelas (S3) dari kelas N1.
Potensi Pengembangan di Pulau Gebe
a. Pertanian dan Perkebunan Mengacu pada hasil evaluasi kesesuaian lahan di Pulau Gebe, lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan perkebunan dan pertanian, adalah: padi gogo, ubi kayu, jagung, ubi jalar, kacang hijau dan kedelei dapat di tanam pada lahan (A3, dan D), sedangkan tipe lahan (A1) tidak cocok untuk padi gogo, ubi kayu, dan jagung. Lahan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman kacang tanah yaitu (A2), lahan (A1 dan D) dapat digunakan jika telah dilakukan pengolahan. Tanaman hortikultura dapat ditanam pada lahan (A2, dan A3), tanaman pisang pada lahan (A3), dan lahan (A1 dan D) dapat dimanfaatkan untuk tanaman pisang apabila dilakukan pengelolaan. Untuk tanaman Jeruk dapat ditanam pada lahan (A2,dan A3), sedangkan lahan (A1 dan D) masih perlu pengolahan untuk dapat dimanfaatkan. Tanaman mangga tidak sesuai saat ini untuk semua tipe lahan yang diteliti terutama pada lahan bekas tambang. Tanaman perkebunan kakao dapat dikembangkan pada lahan tipe (A3, dan D), lahan tipe (A1, dan D) dapat digunakan untuk tanaman kakao bila telah dilakukan pengolahan untuk kesesuaian potensial. Kopi robusta dan karet sesuai marginal pada lahan (A3), dan tidak sesuai saat ini pada lahan (A1, dan D). Tanaman kelapa, sesuai marginal pada (A2, dan D), tidak sesuai saat ini pada lahan (A1), sedangkan tanaman tebu sebaran kelas sesuai marginal pada (A3, dan D) dan kelas tidak sesuai saat ini pada (A1, dan A2). Perkebunan dan pertanian di Pulau Gebe, pengembangannya menyatu dengan permukiman penduduk, sehingga spontanitas petani.
dapat dilakukan usaha partisipasi dari swadaya atau
Areal perkebunan ini apabila mengacu pada Tata Guna Hutan
Kesepakatan maka arealnya ada yang termasuk hutan konversi, hutan produksi terbatas karena itu perlu direview kembali agar memenuhi kriteria penetapan kawasan lindung dan
19
budidaya. Pengembangan perkebunan rakyat diarahkan ke wilayah perkebunan yang telah ada, yaitu melalui rehabilitasi, peremajaan, dan perluasan areal disekitar perkebunan yang telah ada. Dilihat dari aspek ekonomi, komoditi tanaman perkebunan (kelapa, cengkih, kopi rebusta dan kakao) dan tanaman pertanian (padi gogo, jagung, ubi kayu, ubi jalar, pisang, kacang tanah, dan kacang hijau) bagi masyarakat Pulau Gebe sudah merupakan tanaman tradisional dan, secara turun temurun telah menjadi tanaman familiar bagi petani setempat untuk mengisi kebutuhan hidup. Namun, usaha-usaha yang dilakukan masyarakat Pulau Gebe terhadap pemanfaatan komoditi tersebut hanya berskala kecil. Kondisi ini, selain karena usaha perkebunan dan pertanian bersifat subsistem, juga karena luas lahan yang dimiliki petani sangat terbatas (rata-rata 1,0 ha sampai 1,5 ha) per kepala keluarga, sehingga usaha dalam skala besar yang membutuhkan lahan dengan luasan besar tidak terpenuhi, serta tidak adanya diversifikasi kegiatan perkebunan dan pertanian yang mampu dilakukan oleh petani. Dilihat dari aspek sosial kemasyarakatan, usaha sektor perkebunan dan pertanian tanaman pangan hanya berskala kecil dan kurang berkembang, karena prilaku masyarakat yang berprinsip konsumsi hidup sehari-harinya secara mudah dapat dipenuhi melalui ketersediaan sumberdaya alam yang berasal dari pohon sagu, kelapa dan hasil laut, yang dengan mudah dapat diperoleh. Prinsip hidup ini menyebabkan kurangnya motivasi untuk meningkatkan usaha perkebunan secara modern dan berskala besar. Seiring dengan itu, kualitas pendidikan masyarakat Pulau Gebe yang rata-rata berpendidikan Sekolah lanjutan Pertama dan Atas, sehingga tidak mampu memotivasi produktifitas kerja masyarakat. Ditinjau dari aspek kelembagaan, tidak tersedianya perkumpulan petani, seperti koperasi petani, jaringan pemasaran yang pendek, serta ketidakadaan kelembagaan modal dan keuangan di tingkat desa sehingga tidak ada faktor pendorong yang dapat memotivasi masyarakat (petani) untuk meningkatkan skala produksi melalui penggunaan alat produksi ekonomi yang lebih modern dengan nilai tambah yang besar. Faktor lain yang secara tidak langsung turut mempengaruhi motivasi bekerja, adanya kelembagaan tradisional, seperti ngase
dalam
pengelolaan
hutan
sagu
yang
menyebabkan
masyarakat
cendrung
mengeksploitasi sagu dalam skala kecil. Kelembagaan Babari, secara gotong-royong, yang
20
dalam perspektif ekonomi tidak produktif, karena individu tidak terlatih bekerja secara sendiri-sendiri. Dari aspek fasilitas lokal, aksesibilitas dari sentra produksi ke pasar cukup baik walaupun permintaan lokal rendah, namun akses antar pulau relatif masih sangat rendah.
Perikanan Pengembangan kawasan perikanan sasarannya adalah meningkatkan produksi dalam rangka memperluas kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan dan pembinaan sumber daya hayati perikanan. Strategi dalam meningkatan produksi perikanan adalah melalui upaya ekstensifikasi melalui perikanan tangkap. Hasil analisis kualitas air pada dua lokasi sampel pewakil Pulau Gebe (Telaga dan Bendungan) menunjukan bahwa seluruh parameter kualitas air di Pulau Gebe tidak mengalami penyimpangan secara signifikan dari standar baku mutu fisik maupun kimia perairan, penyimpangan yang terjadi pada parameter DO dan BOD relatif kecil. Kondisi kualitas fisik dan kimia air yang baik tersebut, sangat memungkinkan dapat dikembangkan budidaya perikanan darat di Pulau Gebe. Kualitas air di Dermaga dan Turap pantai, relatif telah terjadi penyimpangan pada beberapa parameter, namun penyimpangan tersebut tidak berpengaruh langsung tehadap biota laut yang ada di
perairan Pulau Gebe. Perikanan
tangkap di Pulau Gebe, memiliki potensi besar dan dalam jarak ± 3 mil dari garis pantai sudah bisa diperoleh ikan cakalang dan tuna. Dilihat dari aspek ekonomi, budidaya perikanan darat di Pulau Gebe tidak memberikan manfaat ekonomis, karena selain ketersediaan lahan yang terbatas, juga tidak ada permintaan (pasar) lokal terhadap perikanan darat. Hal ini, berhubungan dengan pola dan prilaku konsumsi masyarakat setempat yang lebih senang pada ikan laut dibanding ikan air tawar. Kondisi ini, memberikan kesempatan pada pengembangan perikanan tangkap di laut, karena selain prilaku penduduk sebagai masyarakat pesisir, juga potensi ikan di wilayah perairan Pulau Gebe sangat besar dengan potensi lestari sebesar 126.923 ton yang dapat dimanfaatkan (maksimum sustainable yield, MSY ), rata-rata jumlah ikan yang dapat diusahkan nelayan Pulau Gebe adalah sebesar 8.264 ton per tahun atau 7% dari potensi yang
21
dapat dimanfaatkan, dengan demikian masih ada 93% potensi sumberdaya ikan di perairan pulau Gebe yang belum dimanfaatkan. Dilihat dari pendekatan sosial, pelaku perikanan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan umumnya mengutamakan cara-cara konvensional yaitu berdasarkan pengamatan fenomena alam yang diperoleh secara turun temurun (tradisional), sementara kondisi sumberdaya alam dan sumberdaya ikan serta lingkungan laut sudah berubah secara alami maupun akibat intervensi manusia. Rendahnya kualitas`manusia di tingkat lokal sangat berpengaruh pada lemahnya penguasaan tekhnologi di bidang kelautan dan perikanan. Ditinjau dari aspek kelembagaan, adanya kebijakan pemerintah propinsi dan Kabupaten Halmahera Tengah yang menempatkan
Pulau Gebe sebagai pelabuhan
pendaratan ikan di kawasan Tengah dan Timur propinsi Maluku Utara, Kebijakan Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) tentang pengembangan Pulau Gebe, sebagai sentra produksi ikan di wilayah Halmahera bagian Tengah dan Timur, serta kebijakan oleh PT. ANTAM dalam pembangunan masyarakat pasca tambang nikel di Pulau Gebe, dengan melibatkan PT Menerina sebagai pelaksana operasional dalam hal jaringan pemasaran hasil tangkap nelayan. Tindak lanjut dari kebijakan tersebut, beberapa program aksi telah dilaksanakan, seperti: (1) Melalui PEM pesisir dan pulau-pulau kecil, Dinas Perikanan dan Kelautan propinsi Maluku Utara dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Halmahera Tengah. (1) Bantuan ( sarana dan alat tangkap kepada masyarakat nelayan Pulau Gebe; (2) Pembebasan lahan oleh PEMDA propinsi untuk lokasi pelabuhan pendaratan ikan; (3) Tahun 2002 bantuan senilai Rp 600.000.000,- dari Ditjen Pesisir dan Pulau Pulau Kecil untuk mendukung program PEM Pulau Gebe, serta Rp 150.000.000,- untuk kegiatan pengembangan mata pencaharian alternatif; (4). Telah dilakukan rehabilitasi hutan mangrove dan terumbu karang di kawasan pantai yang mengalami degradasi; (5) Memberikan pendidikan dan ketrampilan masyarakat lokal yang meliputi pembekalan manajemen usaha dan administrasi keuangan, ketrampilan menangkap ikan dengan menggunakan alat non tradisional, dan ketrampilan pembenihan ikan; (6) Pengadaan dua buah kapal oleh PT Minerina Adikara, dengan maksud menampung penjualan ikan nelayan Pulau Gebe untuk selanjutnya di ekspor.
22
Peternakan Pengembangan kawasan budidaya peternakan diarahkan pada daerah pedesaan. Sasaran pengembangan sektor peternakan adalah meningkatkan produksi dalam rangka peningkatan pendapatan, lowongan kerja dan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas peternakan yang telah dikembangkan di Pulau Gebe, yaitu : sapi, kambing, dan unggas. Kondisi suhu dan kelembaban, merupakan dua faktor penting yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan usaha ternak di suatu wilayah. Ternak jenis Ruminansia seperti sapi dapat dikembangkan di Pulau Gebe, karena suhu normal yang dibutuhkan jenis Ruminense yaitu antara 27 ºC hingga 30ºC yang cocok dengan kisaran suhu yang terdapat di Pulau Gebe. Ternak kambing sangat cocok dengan suhu yang terdapat di Pulau Gebe, yaitu suhu ≥ 30ºC. Untuk jenis unggas juga dapat dikembangkan di Pulau Gebe, karena suhu yang ada masih berkisar pada kesesuaian suhu unggas yakni 27ºC hingga 28ºC. Dari faktor kelembaban Pulau Gebe yang rata-rata 83%, jenis ruminanse (sapi), kambing dan unggas (ayam) cukup sesuai untuk dapat hidup. Dilihat dari faktor pakan ternak, Pulau Gebe memiliki potensi pengembangan ternak, karena lahan seluas 328 ha (2%) merupakan lahan peruntukan sektor peternakan, sedangkan ± 77% lahan pulau Gebe mengandung hijauan (hutan, dan perkebunan/pertanian). Dilihat dari aspek ekonomi, pengembangan agribisnis ternak pada kondisi Pulau Gebe sekarang tidak memberi profit maksimal karena lesunya pasar lokal. Lokasi agro industri hulu ternak umumnya sangat jauh sehingga (Jawa dan Sulawesi) sehingga dapat menghambat pengembangan sektor ini, serta memberi implikasi pada harga dasar jual komoditi ternak. Pengelolaan usaha ternak di Pulau Gebe masih bersifat tradisional dimana dilakukan secara individu dan tidak berkelompok. Jenis ternak yang diusahakan sangat terbatas pada: sapi, kambing dan ayam, pada skala kepemilikan yang sangat terbatas, sehingga produktifitas sangat rendah. Namun usaha agribisnis ternak akan dapat memberi pendapatan maksimal melalui pemanfaatan pasar antar pulau (ke PT ANTAM di Teluk Buli, ke Ternate `dan Tidore, atau ke kota/desa pesisir Pulau Papua). Dilihat dari aspek sosial, usaha sektor peternakan yang dilakukan masyarakat Pulau Gebe lebih bersifat tradisional dengan skala usaha kecil, karena tingkat pendidikan
23
masyarakat yang rata-rata rendah sehingga tingkat ketrampilan usaha ternak juga masih rendah. Jenis ternak yang diusahakan terbatas pada sapi, kambing dan ayam, karena faktor agama dan keyakinan masyarakat setempat yang menganut agama Islam, sehingga tidak membolehkan ternak babi di Pulau Gebe. Dari aspek kelembagaan, minimnya penyaluran dana kredit usaha ke agribisnis peternakan, sebagai faktor pendorong yang memotivasi petani ternak untuk meningkatkan skala produksi melalui penggunaan alat produksi yang lebih modern dengan nilai tambah yang besar, tidak tersedianya kelembagaan perkumpulan petani ternak, koperasi ternak, jaringan pemasaran yang pendek. Peraturan dan Kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah di bidang agribisnis ternak masih minim, disebabkan banyaknya kerancuan yang terjadi
pada
pelaksanaan
sistem
otonomi
daerah
saat
ini.
Kurangnya
tenaga
penyuluh/pendamping untuk pengembangan usaha agribisnis ternak, serta kurangnya fasilitas/sarana bagi pengembangan agribisnis ternak terutama setelah pasca kerusuhan.
Ekosistem Terumbu karang dan Mangrove
Terumbu karang Terumbu karang adalah salah satu media bagi biota laut yang mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi kehidupan masyarakat yang bermukim di pesisir pantai. Demikian juga masyarakat Gebe, sebagai masyarakat pesisir yang hidup di Pulau kecil sangat bergantung kepada beberapa jenis ikan karang yang terdapat di gugus pulau-pulau kecil di Pulau Gebe. Dari hasil pengamatan di lima lokasi terumbu karang yang terdapat di Pulau Gebe (Kapaleo, desa Kacepi, dan desa Mamin) dan penuturan responden yang telah berusia di atas 60 tahun, kondisi terumbu karang yang diamati pada saat sekarang sangat jauh berbeda dibanding dengan kondisi di tahun 1980-an. Informasi yang diperoleh, pada tahun sebelum 1980-an di pesisir desa-desa tersebut, masyarakat banyak mendapatkan ikan karang,
kerang-kerang
hiasan di lokasi terumbu-terumbu karang itu, namun sekarang tidak ada lagi ikan dan kerang yang bisa diperoleh masyarakat di lokasi-lokasi tersebut. Sesuai hasil pengamatan menunjukan terumbu karang yang terletak di bagian selatan berdekat-an dengan lokasi
24
penambangan, telah tertutup dengan sedimen lumpur akibat terbawa erosi dari areal penambangan. Selain itu, kerusakan terumbu karang yang terdapat di bagian Utara Pulau Gebe, di desa Kapaleo, di desa Kacepi dan di desa Mamin, lebih disebabkan karena pengambilan karang yang dilakukan oleh penduduk untuk bahan bangunan, dan kerusakan yang diakibatkan oleh adanya kegiatan pengeboman ikan.
Hutan Mangrove Potensi hutan mangrove di Pulau Gebe tersebar mulai dari sepanjang pantai bagian Selatan kearah bagian Barat dan Utara Pulau Gebe, beberapa pulau kecil yang terdapat dalam wilayah kecamatan ini sangat banyak ditumbuhi mangrove. Dari hasil pengamatan di lokasi penelitian jenis mangrove yang banyak terdapat di daerah ini adalah jenis apiculata,
Rhizopora
stylosa, dan Bruguera Sp. Kondisi areal
Rhizopora
mangrove di tanjung
Oeboelie mangrove tidak lagi tumbuh subur karena tertimbun oleh sedimen lumpur yang terbawa erosi yang berasal dari areal penambangan dan lokasi penimbunan bahan galian yang mengandung nikel, sedangkan desa Kacepi, Mamin, dan Yam, musnahnya hutan mangrove karena masyarakat mengambil kayu sebagai bahan bakar dan bahan bangunan (Kepala desa Kacepi dan Mamin, 2009). Menurut penuturan beberapa penduduk yang telah berusia di atas 60 tahun ketika PT ANTAM belum mengeksploitasi nikel di Pulau Gebe hampir seluruh pantai Pulau Gebe tumbuh pohon bakau, dan hanya bagian-bagian tertentu yang dipakai sebagai tempat berlabuh perahu. Penduduk dapat menangkap udang dan kepiting di hutan bakau dalam jumlah yang banyak.
25
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1990. Laporan Utama Volume-3 : Studi Evaluasi Lingkungan (SEL) Unit Penambangan dan Unit Peleburan Timah pulau Bangka. Kerja sama PT. Timah dengan PPLH IPB. Anonim, 1996. Annual Report 1996. PT. Batu Bara Bukit Asam. Jakarta Anonim, 1998. Annual Report 2000. PT Aneka Tambang Jakarta Anonim, Kabupaten Halmahera Tengah Dalam Angka, Tahun 2009 Katili JA, 2002. Advancement of Geoscience in The Indonesia Region, IAGI Bandung. Ness. R.B, 1999. Proyek Batu Hijau. Pembangunan Daerah Masyarakat Bagian yang Tidak Terpisahkan dari Pembangunan Proyek. Makalah seminar Pembangunan Propinsi Nusa Tenggara Barat. 4 Pebruari 1999 Naiola, et.al, 1996. Pendekatan Biologi untuk Reklamasi Hutan Terdegradasi. Kasus Penambangan Emas di BojongPari Japang Sukabumi. Puslitbang Biologi LIPI Salim. E, 1989. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3ES Jakarta.
Rahim. S.E, 2000. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta Bumi Aksara. Barry C. F, 1997. Environmental Economics. An Introduction. The MacGraw Hill Companies. Beller, W, 1990. How to Sustain a Small Island. Dalam beller, W.P d’Ayala, dan P.Hein (editor): Sustainable development and environmental management of small islands. Man and the Biosphere Series, Vol.5 UNESCO and The Parthenon Publishing Group, Paris. Hal. : 15 – 22 Barton, 1993. Canadian Law of Mining. Canadian Institute of Resources Law. Calgary, 522h Mangkusubroto K, 1995. Mining Investment Policy In Indonesia . Current Issues and Future Outlook. Indonesia Mining journal, hal. 60, Vol. 1, 3 Oktober 1995. Mukarwoto E.D, 1995. Developing Peat Mining In Indonesia and Ecological Sustainable Principles. Indonesia Mining journal, hal. 87, Vol. 1, 3 Oktober 1995. Hasyim AW, et al. 2009. Survey Sosial Ekonomi Masyarakat Pulau Gebe
26