REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH DENGAN BERAGAM JENIS POHON LOKAL DI PULAU BANGKA
EDDY NURTJAHYA
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Revegetasi Lahan Pasca Tambang Timah dengan Beragam Jenis Pohon Lokal di Pulau Bangka adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 4 Agustus 2008 Eddy Nurtjahya NIM G361020151
ABSTRACT EDDY NURTJAHYA. Revegetation On Tin-Mined Land Using Mixed Local Tree Species In Bangka Island. Under supervision of DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, MUHADIONO, and YADI SETIADI. Tin mining activity changes landscape so that it does not support plant growth. Effort to carry out reclamation especially revegetation has done using a few number of exotic species which are considered less support land rehabilitation for a restoration purpose. On the other hand, there is no promising local species list. Therefore it is needed to understand a succession on tin-mined land which may identify potential local species and identify seed source. To accelerate revegetation, the study on soil amendment and the use of some combination agricultural techniques are needed which can manipulate the environment to support plant growth. The first objective of this study was to understand the succession on tinmined land and its important vegetation in order to identify potential local tree species and location of source of seeds, and to understand tin-mined land environment for revegetation success. The second objective was to evaluate the growth of selected ten local tree species in tin tailing in order to identify agriculture techniques which best support plant growth and natural recolonisation in tin tailing in order to enrich the development of planting strategies that are effective for re-establishment of diverse native forests in as short a time as possible at places where the expense and high technical and professional level might be limited. The quantitative study was conducted at a low land forest, an abandoned farmed-land age 4 years old, and abandoned tin-mined lands at different ages: 0-, 7-, 11-, and 38-years old. The succession was slow, and natural regeneration in 7years old tin tailing was initiated by species belonged to families Cyperaceae and Poaceae, and shrubs belonged to family Myrtaceae were found in 38-years old tin tailing. The population of phosphate solubilizing microorganisms at tin-mined lands increased along with the more newly abandoned tin-mined land, but the number of arbuscular mycorrhizal fungi spore at tin-mined lands, which was dominated by Glomus, showed the opposite. Local tree species selection was based on habitat similarity of those species with tin-mined land environment, and on their pioneer attributes. The ten selected species were Calophyllum inophyllum L. (Clusiaceae) (11.7 %), Schima wallichii (DC) Korth. (Theaceae) (6.3 %), Syzygium grande (Wight) Walp. (Myrtaceae) (17.9 %), Ficus superba Miq. (Moraceae) (15.2 %), Vitex pinnata (Verbenaceae) (20.6 %), Hibiscus tiliaceus L. (Malvaceae) (9.9 %), Syzygium polyanthum (Wight) Walp. (Myrtaceae) (9.0 %), Mallotus paniculatus (Lmk) M.A. (Euphorbiaceae) (3.1 %), Aporosa sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %), and Macaranga sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %). Fifteen combinations of planting density with three levels: 625, 2500, and 10000 seedlings ha-1, and five levels soil treatment: (1) control, (2) fertilized with 500 g slime tailing powder under Lepironia articulata Rich., (3) planted with legume cover crops (LCC) 1:1 of Calopogonium mucunoides Desv. and Centrosema pubescens Bth. 30 kg ha-1, (4) planted with LCC plus 1 l 2.5 % (v/v) humic acid, and (5) planted with LCC plus top soil; with three replicates which
were examined for 12 months at null year abandoned and barren 2 ha tin-mined land in Sungailiat, Bangka island. A number of 3345 seedlings were planted in alternating rips in 30 cm x 30 cm x 30 cm pots filled in with mineral soil and compost (2:1) in 12 m x 12 m plots. Pieces of coconut shell which were put at the base of individual plant reduced soil temperature at least 3.3 oC, and increased soil humidity to 10.4 %. There was a significant interaction between planting distance and soil treatment towards total survival and cover. Highest planting density plus LCC gave highest survival (73-79 %), highest cover (13.5-21.8 %), and highest litter production (460 kg ha-1 year-1). Legume cover crops and / or top soil showed highly significant effect to recolonisation. Collembola population may be further studied as a successful revegetation indicator. Comparing to the natural regeneration at 0, 7, 11, and 38 years old, the revegetation study at three planting densities, which was studied up to twelve months after planting, may accelerate succession between 11 to 38 years. Although planting density 10000 seedlings ha1 showed the best soil fertility and plant growth, planting density 2500 seedlings ha-1 may be considered as it costs less. The novelty of this study is a revegetation technology package on sand tin tailing which may accelerate succession between 11 to 38 years i.e. : seedlings of potential local tree species H. tiliaceus, F. superba, C. inophyllum, and S. grande, grown with 10000 seedlings/ha in alternating rips, in 30 cm x 30 cm x 30 cm pots, with planting media of a 2:1 mineral soil and cow dung compost mixture, and were put 3-5 pieces of coconut shells at around root collar of individual plants, planted with LCC of Calopogonium mucunoides 30 kg ha-1 or top soil in lines of 20 cm width and 2 cm depth.
RINGKASAN Aktivitas penambangan timah mengubah bentang alam dan lahan pasca tambang timah tidak lagi mendukung pertumbuhan tanaman. Upaya reklamasi dan khususnya revegetasi telah dilakukan dengan penanaman sejumlah kecil jenis tanaman eksotik yang dipilih karena sifat-sifatnya, terutama Acacia mangium Willd. (Fabaceae), pada program rehabilitasi di Pulau Bangka, sejak tahun 1993. Pemilihan jenis eksotik tersebut dinilai kurang mendukung rehabilitasi lahan untuk tujuan restorasi, sementara belum ada jenis lokal yang menjanjikan, walaupun beberapa jenis pohon lokal telah disarankan oleh beberapa kelompok peneliti. Penelitian kuantitatif telah dilakukan di hutan dataran rendah, bekas perladangan, dan lahan pasca tambang timah masing-masing berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, yang hasilnya bermanfaat bagi penentuan strategi reklamasi lahan pasca tambang timah. Aktivitas penambangan timah meningkatkan komponen pasir dan menurunkan komponen debu dan liat, menurunkan konsentrasi hara, KTK, dan meningkatkan rasio C/N. Populasi mikrob pelarut fosfat semakin meningkat dengan semakin barunya tambang ditinggalkan, sementara jumlah spora fungi mikoriza arbuskula, yang didominasi oleh Glomus, menunjukkan hal sebaliknya. Suksesi berjalan lambat. Pola suksesi alami di lahan pasca tambang timah ditunjukkan oleh perubahan jenis tumbuhan dan bentuk hidup tumbuhan. Pada lahan pasca tambang yang baru saja ditinggalkan tidak ada jenis tumbuhan apa pun, kemudian pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun, empat jenis rumput dari famili Cyperaceae dan Poaceae terutama F. pauciflora (Cyperaceae), Imperata cylindrica (Poaceae) lebih mendominasi dibandingkan dua jenis semak. Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, lima jenis rumput (E. chariis, F. pauciflora, I. cylindrica, P. conjugatum, dan S. levis) masih mendominasi sekalipun tercatat satu jenis herba, dan dua jenis semak. Pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun, dominasi empat jenis rumput jauh berkurang dan digantikan terutama oleh dominasi semak R. tomentosa di samping tercatat lima jenis semak lain. Jenis rumput pun mengalami perubahan dan hanya F. pauciflora yang tetap tercatat, serta E. pallescens dan Ischaemum sp. lebih mendominasi dibandingkan dua jenis rumput yang lain. Selain itu bentuk hidup di lahan pasca tambang berumur 38 tahun lebih banyak yakni tercatatnya tingkat semai dan tingkat sapihan dari jenis tiga jenis pohon (S. wallichii, T. orientalis, dan V. pinnata), dan jumlah jenis herba menjadi tiga. Tahap suksesi pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun diduga masih jauh sekali dengan hutan berdasarkan komposisi dan struktur vegetasinya. Upaya mempercepat suksesi pemilihan jenis selain yang teramati pada suksesi alami, termasuk dengan bentuk hidup pohon dimungkinkan, sejauh jenis tersebut memiliki sifat xerofitik. Padang dan formasi Barringtonia dari hutan pantai campuran diduga dapat menjadi sumber jenis tanaman. Pemilihan jenis tentunya harus diikuti dengan pembenahan tanah dan berbagai teknik budidaya untuk memanipulasi lingkungan. Pembenahan tanah, penggunaan mulsa, penambahan bahan organik, tanah mineral dan top soil sebagai sumber biji atau semai dan mikrob tanah (soil propagule), percepatan penutupan permukaan tailing
oleh tajuk tanaman dengan model tanam permata perlu dilakukan untuk memanipulasi lingkungan sebelum dilakukan revegetasi. Penentuan jenis tanaman tidak cukup berdasarkan predikat kepioniran namun lebih pada kepemilikan sifat xerofitik. Penentuan lokasi sumber biji bercermin pada kemiripan lokasi sumber biji dengan lingkungan tailing pasir yang kering, poros, miskin hara, dan rentan terhadap temperatur udara panas di siang hari, dan rentan terhadap angin kencang sewaktu-waktu. Vegetasi padang dan formasi Barringtonia dari hutan pantai campuran tampaknya dapat menjadi sumber jenis tanaman. Sepuluh jenis terpilih yakni: Calophyllum inophyllum L. (Clusiaceae) (11.7 %), Schima wallichii (DC) Korth. (Theaceae) (6.3 %), Syzygium grande (Wight) Walp. (Myrtaceae) (17.9 %), Ficus superba Miq. (Moraceae) (15.2 %), Vitex pinnata (Verbenaceae) (20.6 %), Hibiscus tiliaceus L. (Malvaceae) (9.9 %), Syzygium polyanthum (Wight) Walp. (Myrtaceae) (9.0 %), Mallotus paniculatus (Lmk) M.A. (Euphorbiaceae) (3.1 %), Aporosa sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %), dan Macaranga sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %). Lima belas kombinasi dari tiga level kerapatan tanam: 625, 2500, dan 10000 semai ha-1, dan lima level perlakuan tanah: (1) kontrol, (2) dipupuk dengan 500 g tepung tailing slime di bawah Lepironia articulata Rich., (3) ditanami dengan legum penutup tanah (LCC) Calopogonium mucunoides Desv. dan Centrosema pubescens Bth. 30 kg ha-1 (1:1), (4) ditanami LCC dan disiram dengan 1 l larutan asam humat 2.5 % (v/v), dan (5) ditanami LCC dan top soil; dengan tiga ulangan selama 12 bulan di lahan pasca tambang timah seluas 2 ha, berumur 0 tahun yang gundul di Sungailiat, Pulau Bangka. Tanah di bawah vegetasi padang, di bawah hutan dataran rendah di dekat pantai, dan di bawah vegetasi Rhodomyrtus tomentosa dipilih sebagai top soil. Sejumlah 3345 bibit dari biji ditanam dengan model tanam permata, dalam lubang 30 cm x 30 cm x 30 cm dengan media tanam tanah mineral dan kompos (2:1) pada petak 12 m x 12 m. Parameter yang diukur adalah sifat-sifat fisika dan kimia tanah pada akhir penelitian, temperatur tanah dan kelembaban tanah baik di luar dan di dalam sabut kelapa diukur pada sembilan dan dua belas bulan setelah tanam atau akhir penelitian, survival (ketahanan hidup) dan diameter tajuk tiap individu diukur pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam, ditimbang produksi serasah setiap petak pada akhir penelitian, dihitung densitas semut dan Collembola pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam, diukur panjang akar horizontal dari 20 % contoh pada akhir penelitian, dianalisa jaringan daun C. inophyllum untuk N, P, K, Ca, Mg, Na, S, Fe, Al, Pb, dan Sn pada akhir penelitian, dan dicatat jumlah jenis tanaman yang menginvasi setiap petak pada akhir penelitian. Analysis of variance (p<0.05) dilakukan dengan one-way ANOVA dan uji Duncan Multiple Range Test dilakukan jika terdapat interaksi. Nilai F dan level signifikan dianalisa paket statistik SAS 9.1. Terdapat interaksi nyata antara kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap total survival dan luas tajuk. Densitas tertinggi dengan LCC menunjukkan survival tertinggi (73-79 %), luas tajuk tertinggi (13.5-21.8 %) dan produksi serasah tertinggi (460 kg ha-1 tahun-1). Perlakuan legume cover crops (LCC) dan / atau top soil lebih mendukung rekolonisasi alami dibandingkan perlakuan tanah yang lain. Perbaikan habitat ditunjukkan oleh perubahan sifat fisika dan kimia tailing di sekitar lubang tanam, dinamika populasi semut dan Collembola, rekolonisasi,
serta peningkatan jumlah jenis dan jumlah jenis hewan yang mengunjungi lokasi penelitian dari waktu ke waktu. Potongan sabut kelapa yang disusun di bagian pangkal tanaman menurunkan temperatur tanah sekurang-kurangnya 3.3 oC, dan meningkatkan kelembaban 10.4 %. Populasi Collembola kiranya dapat diteliti lebih lanjut sebagai indikator keberhasilan revegetasi. Membandingkan beberapa parameter (kualitas tanah, jumlah jenis tumbuhan yang memiliki habitus pohon, jumlah jenis tumbuhan, dan prosentase luas penutupan tajuk), hasil penelitian revegetasi lahan pasca tambang pada dua belas bulan setelah tanam dengan suksesi alami lahan pasca tambang, satu paket revegetasi yang telah dilakukan melampaui tahapan suksesi alami lahan pasca tambang sekurang-kurangnya berumur antara 11 dan 38 tahun. Sekalipun kerapatan tanam 1 m x 1 m menunjukkan kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman terbaik, kerapatan tanam 2 m x 2 m dapat dipertimbangkan untuk dipilih karena membutuhkan biaya revegetasi per hektar lebih rendah. Kebaharuan penelitian ini adalah satu paket teknologi untuk merevegetasi tailing timah pasir yang dapat mempercepat suksesi sekurang-kurangnya antara 11 dan 38 tahun yakni : semai dari biji pohon lokal potensial H. tiliaceus, F. superba, C. inophyllum, dan S. grande, ditanam dengan densitas 10000 semai ha-1 dengan model tanam permata, dalam lubang 30 cm x 30 cm x 30 cm, dengan media tanam tanah mineral dan kompos kotoran sapi (2:1), dan di bagian leher akar tiap individu ditutup dengan 3-5 potong sabut kelapa, dengan LCC Calopogonium mucunoides 30 kg ha-1 atau top soil dalam barisan selebar 20 cm dan setebal 2 cm.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a.
b.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH DENGAN BERAGAM JENIS POHON LOKAL DI PULAU BANGKA
EDDY NURTJAHYA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Biologi
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji pada Ujian Tertutup
:
Dr. Ir. Istomo, MS. Staf Pengajar Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Insitut Pertanian Bogor
Penguji pada Ujian Terbuka
:
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS. Guru Besar pada Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Insitut Pertanian Bogor Dr. Ir. Nuril Hidayati, M.Sc. Peneliti Madya Pusat Penelitian Biologi Bidang Botani, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong
Judul Disertasi
: Revegetasi Lahan Pasca Tambang Timah dengan Beragam Jenis Pohon Lokal di Pulau Bangka
Nama
: Eddy Nurtjahya
NIM
: G 361020151
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS. Ketua
Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal ujian : 4 Agustus 2008
Tanggal lulus : 15 September 2008
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas kasih-Nya sehingga karya ilmiah ini diselesaikan. Tema yang dipilih dan dilaksanakan sejak Februari 2004 ini ialah revegetasi tailing timah, dengan judul Revegetasi Lahan Pasca Timah dengan Beragam Jenis Pohon Lokal di Pulau Bangka. Penelitian ini sebagian dibiayai oleh International Tropical Timber Organization, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Pemprov. Kepulauan Bangka Belitung, PT Tambang Timah yang juga mengizinkan akses ke lokasi penelitian, dan Universitas Bangka Belitung. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc., dan Bapak Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc. masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing. Penghargaan disampaikan kepada pimpinan dan staf STIPER Bangka yang mendukung di awal penelitian, Dr. J.A. Parrotta yang berkenan berkomunikasi via email di awal dan akhir penelitian, serta Bapak Sutrisno S. Tatetdagat, Bapak Hanafi Sulaiman, Bapak Setiabudi Abdullah, Bapak Hamidin, Bapak Juara Tampubolon, Bapak Haji Fadri, dan Bapak Suanta dari PT Timah (Persero) Tbk. yang telah mendukung penelitian ini, juga kepada Robby, Wistria, Sinem, Lina, Wistaria, Bambang, Roni, Kusmah, Bapak Pati, Riati, Herman, dan Muhammad yang membantu pengumpulan data. Terima kasih disampaikan juga kepada Bapak Zainal Fanani dari Herbarium Bogoriense yang membantu identifikasi spesimen, Ibu Sri Winarni, S.Si., M.Si., dan Bapak Drs. Edi Mirmanto, M.Phil. yang membantu analisa data, dan Bapak Kepala Desa dan masyarakat Riding Panjang yang berkenan mendukung penelitian ini. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada istri dan kedua puteri kami atas dukungan doa, dana, dan pengertiannya. Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, 4 Agustus 2008
Eddy Nurtjahya
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 3 Oktober 1959 sebagai anak ke empat dari pasangan Budi Hartono (alm.) dan Enny Setyarini. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1995 dengan beasiswa The British Chevening Awards penulis menamatkan M.Sc. in Aquatic Pathobiology di University of Stirling, Inggris. Penulis melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Biologi, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 atas beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dengan dukungan dana penelitian ITTO Freezailah Fellowship pada tahun 2003. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Program Studi Biologi Universitas Bangka Belitung (dahulu STIPER Bangka, sejak 1999). Selama mengikuti program doktor, penulis menjadi anggota International Society of Tropical Foresters, Amerika Serikat, dan sebagai salah satu penasihat Bangka Flora Society, Bangka.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
……………………………………………………..
xv
…………………………………………………..
xvii
………………………………………………..
xix
1
PENDAHULUAN ……………………………………………… Latar Belakang …………………………………………............. Tujuan Penelitian ………………………………………………. Manfaat Penelitian ……………………………………………… Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………
1 1 3 4 4
2
SUKSESI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA Pendahuluan ……………………………………………………. Bahan dan Metode ……………………………………………… Hasil ……………………………………………………………. Pembahasan …………………………………………………….. Kesimpulan ……………………………………………………..
8 8 9 16 32 40
REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH
42
Pendahuluan ……………………………………………………. Bahan dan Metode ……………………………………………… Hasil ……………………………………………………………. Pembahasan …………………………………………………….. Kesimpulan ……………………………………………………..
42 45 61 78 85
4
PEMBAHASAN UMUM
………………………………………
86
5
KESIMPULAN
…………………………………………………
101
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………….........
104
DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
3
xv
DAFTAR TABEL Halaman 1
Sifat-sifat fisika dan kimia tanah pada kedalaman 0-20 dan 20-40 cm di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun, ladang ditinggalkan dan hutan …………………………………................
16
2
Status fungi mikoriza arbuskula dan mikrob pelarut fosfat di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, di ladang ditinggalkan, dan di hutan pada kedalaman 0 – 20 cm …….............
20
3
Jenis tumbuhan rumput, herba, dan liana/climber, semak, dan pohon di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan ……………........................................................................
24
4
Species richness, eveness, dominance, dan diversity index dari tingkat semai, sapihan, tiang, dan pohon di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan dan di hutan ……………………………………………………………….
29
5
Indeks kemiripan antara lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan dan di hutan ………............
30
6
Komposisi jenis tanaman pada kerapatan tanam 1 m x 1 m, 2 m x 2 m, dan 4 m x 4 m …………………………………………………
47
7
Jadual kerja ………………………………………………………
53
8
Rata-rata survival (%) dan luas tajuk (m2) setiap kombinasi perlakuan pada tiga, enam, sembilan, dua belas bulan setelah tanam, dan rata-rata luas tajuk (%) setiap kombinasi perlakuan pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………
63
9
Duncan multiple range test pengaruh interaksi kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap survival (%) pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………………………………..
64
10
Rata-rata survival sepuluh jenis tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………………………..
65
11
Duncan multiple range test pengaruh interaksi kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap luas tajuk (m2) pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………………………..
66
12
Rata-rata luas tajuk sepuluh jenis tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………………………..
67
xvi
13
Rata-rata produksi serasah per petak (kg ha-1 tahun-1) pada dua belas bulan setelah tanam …………………………………………..
70
14
Duncan multiple range test pengaruh kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap produksi serasah (kg ha-1 tahun-1) pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………
70
15
Panjang akar horizontal (cm) pada dua belas bulan setelah tanam
75
16
Rata-rata konsentrasi beberapa unsur pada daun C. inophyllum dari masing-masing petak dan pada lahan tidak terganggu pada dua belas bulan setelah tanam ...............................................................
76
17
Duncan multiple range test interaksi kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap konsentrasi Pb (ppm) pada daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………….......
76
18
Rata-rata jumlah jenis tumbuhan yang menginvasi pada dua belas bulan setelah tanam ………………………………………………
77
19
Matriks lima nilai terbesar dari kombinasi perlakuan kerapatan tanam dan perlakuan tanah pada survival, tajuk, dan produksi serasah dengan Duncan multiple range test pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………………………..
95
20
Perbandingan beberapa parameter kualitas tanah, jumlah jenis dengan habitus pohon, jumlah jenis tumbuhan, dan prosentase luas penutupan tajuk antara suksesi alami di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun dengan revegetasi pada kerapatan tanam 4 m x 4 m, 2 m x 2 m, dan 1 m x 1 m pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………………………..
98
21
Tabel 21 Perkiraan biaya revegetasi per hektar lahan pasca tambang timah pasir pada kerapatan tanam 4 m x 4 m, 2 m x 2 m, dan 1 m x 1 m ……………………………………………………………….
99
xvii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Penambangan timah di darat
…………….....................................
7
2
Jenis tanah lokasi penelitian
…………………….........................
10
3
Pulau Bangka dan lokasi penelitian
4
Lokasi penelitian
…………………….............
11
………………………………………………..
15
5
Konsentrasi beberapa sifat fisika dan kimia tailing pasir di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun dan di hutan ………..
18
6
Spora fungi mikoriza arbuskula dan koloni mikrob pelarut fosfat
19
7
Rata-rata jumlah spora FMA dan populasi MPF di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan pada kedalaman 0 – 20 cm ………………............................................
19
8
Jumlah individu per hektar, jumlah jenis dan jumlah famili di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan ………………………..........................
22
9
Jumlah jenis tumbuhan rumput, herba, liana/climber, semak, dan tingkat semai, tingkat sapihan, tingkat tiang, dan pohon di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan
23
10
Indeks vegetasi tingkat semai, sapihan, tiang, dan pohon di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan dan di hutan ……………………………………….
29
11
Canonical correspondence analysis antara vegetasi lokasi penelitian : lahan pasca tambang berumur 7 (tin-mined land 7), 11 (tin-mined land 11), dan 38 tahun (tin-mined land 38), ladang ditinggalkan (abandoned farmed-land), dan di hutan (forest) (■) dengan dengan sifat-sifat tanah (panah). Lahan pasca tambang berumur 0 tahun tidak tergambar ………………….....................
31
12
Analisis kelompok vegetasi lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan berdasarkan tingkat kemiripan vegetasi …………………………………….....
32
13
Pulau Bangka dan lokasi penelitian di Desa Riding Panjang (●)
50
14
Lokasi penelitian dan pembibitan
51
………………………………
xviii
15
Persiapan lahan
…………………………………………………
52
16
Denah percobaan
………………………………………………..
53
17
Denah petak penanaman
18
Denah lubang tanam pada masing-masing kerapatan tanam
19
Aklimatisasi dan penanaman
………………………………………...
55
…...
55
……………………………………
57
20
Rata-rata survival dan luas tajuk pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam …………………………………..
64
21
Rata-rata survival (%) setiap jenis tanaman pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam (BST) ……………
65
22
Rata-rata luas tajuk (m2) setiap jenis tanaman pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam (BST) ……………
67
23
LCC dan serasah ………………………………............................
69
24
Sepuluh jenis tanaman penelitian
71
……………………………….
xix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Daftar nama jenis pohon di lokasi penelitian suksesi, lokasi penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu .............................
116
2
Daftar nama jenis semak di lokasi penelitian suksesi, lokasi penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu ………………….
119
3
Daftar nama jenis climber dan liana di lokasi penelitian suksesi, lokasi penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu …………...
120
4
Daftar nama jenis herba di lokasi penelitian suksesi, lokasi penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu ………………….
121
5
Spora fungi mikoriza arbuskula pada kedalaman 0-10 cm dan 1020 cm di lahan pasca tambang timah berumur 0 tahun …………
122
6
Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 7 tahun ………………………………………….
123
7
Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 11 tahun ...............................................................
124
8
Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun ...............................................................
125
9
Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di ladang ditinggalkan
126
10
Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di hutan ………………..
127
11
Jumlah koloni mikrob pelarut fosfat di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan ………………………………………
128
12
Jumlah individu per hektar, jumlah jenis, dan jumlah famili pada tingkat semai, sapihan, tiang, dan pohon di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan …………….........................................................................
129
xx
13
Indeks nilai penting tingkat semai di lahan pasca tambang timah berumur 7 tahun ……...................................................................
129
14
Indeks nilai penting tingkat semai di lahan pasca tambang timah berumur 11 tahun ….....................................................................
130
15
Indeks nilai penting tingkat semai di lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun ……………………………………………….
131
16
Indeks nilai penting tingkat sapihan di lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun ……………………………………………….
132
17
Indeks nilai penting tingkat semai di ladang ditinggalkan
….......
132
18
Indeks nilai penting tingkat sapihan di ladang ditinggalkan
…....
134
19
Indeks nilai penting tingkat tiang di ladang ditinggalkan
…........
135
20
Indeks nilai penting tingkat semai di hutan
……………………..
136
21
Indeks nilai penting tingkat sapihan di hutan
…….......................
138
22
Indeks nilai penting tingkat tiang di hutan ………………………...
140
23
Indeks nilai penting tingkat pohon di hutan
…………………….
141
24
Survival dan luas tajuk tiap kombinasi perlakuan pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam ………...................
142
25
Analysis of variance survival tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………………………
143
26
Analysis of variance luas tajuk tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………………………
143
27
Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada tiga bulan setelah tanam
144
28
Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada enam bulan setelah tanam …………………………………………………………...
146
29
Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada sembilan bulan setelah tanam ……………………………………………………………
148
30
Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ………................................................................................
150
31
Analysis of variance produksi serasah (kg ha-1 tahun-1) pada dua belas bulan setelah tanam …….....................................................
152
xxi
32
Analysis of variance jenis tumbuhan yang menginvasi pada dua belas bulan setelah tanam ………………………………………
152
33
Jenis tumbuhan yang menginvasi empat puluh lima petak pada dua belas bulan setelah tanam ……….................................................
153
34
Famili dari jenis tumbuhan yang menginvasi empat puluh lima petak pada dua belas bulan setelah tanam .....................................
155
35
Analysis of variance jumlah jenis tumbuhan yang menginvasi pada dua belas bulan setelah tanam ………………..............................
157
36
Sifat-sifat tanah di bawah Lepironia articulata, tanah palet, tanah mineral, lahan tidak terganggu, lahan pasca tambang timah berumur pasir 0 tahun gundul, dan top soil di kaki bukit ….
157
37
Analisa jaringan daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam setelah tanam …………………………………………….
158
38
Analysis of variance total N (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ………………………………………
159
39
Analysis of variance total P (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ............................................................
159
40
Analysis of variance total K (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam …………….........................................
159
41
Analysis of variance total Ca (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………….
160
42
Analysis of variance total Mg (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………….
160
43
Analysis of variance total Na (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………….
160
44
Analysis of variance total S (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………….
161
45
Analysis of variance total Fe (ppm) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………….
161
46
Analysis of variance total Al (ppm) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………….
161
47
Analysis of variance total Pb (ppm) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………….
162
xxii
48
Analysis of variance total Sn (ppm) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……………………………………….
162
49
Analisa kompos
…………………………………………………
162
50
Kualitas air di kolam bekas tambang dan sumur di lahan tidak terganggu ………………………………………..........................
163
51
Daftar biji yang disemai
163
...............................................................
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pulau Bangka yang memiliki luas daratan 1160000 ha (PPTA 1996), sebagian besar terdiri atas dataran rendah dengan beberapa bukit dengan perbedaan iklim yang relatif kecil (Faber 1956), memiliki tipe iklim Af (PT Timah Tbk 1997), dan terletak pada 2o 20’-3o 20’ LU dan 107o 15’-108o 45’ BT (Widagdo et al. 1990). Bangka memiliki rata-rata curah hujan tahunan dalam sembilan tahun terakhir 2408 mm, rata-rata jumlah hari hujan tahunan 200, dan musim kemarau berlangsung dari bulan Mei – Oktober (Stasiun Meteorologi Pangkalpinang 2006). Rata-rata temperatur udara harian dalam sembilan tahun terakhir adalah 26.8 oC (23.8-31.5 oC). Pulau Bangka sebagai pulau penghasil timah terbesar di Indonesia, menyumbang 40 % kebutuhan timah dunia (ASTIRA 2005). Pada tahun 2001 produksi timah mencapai 53000 ton, dimana 18000 ton di antaranya berasal dari penambangan non - konvensional (Bangka Pos 2002a), dan sebagian besar berasal dari penambangan darat (Gambar 1). Pada tahun 2004 produksi timah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencapai 88.4 % dari total ekspor atau senilai 24 juta dolar AS (Zulkarnain et al. 2005). Penambangan timah ilegal mendapat publikasi yang negatif karena meninggalkan kerusakan lingkungan (Bangka Pos 2001, 2002a, 2002b, 2002c), termasuk penambangan ulang secara ilegal di sekitar 65 % luas lokasi yang telah direklamasi (Bangka Pos 2004; PT Tambang Timah 2005). Jumlah lahan yang seharusnya direklamasi oleh dua perusahaan tambang besar di Pulau Bangka dan Pulau Belitung sekitar 5800 ha, termasuk lokasi yang ditambang secara ilegal (PT Timah Tbk. 2002; PT Koba Tin 2003; Triswandi D 2003, komunikasi pribadi; PT Tambang Timah 2005). Dampak negatif penambangan timah adalah munculnya lahan terganggu, rusaknya drainase dan habitat alami, dan timbulnya polusi (Lau 1999). Pada tahun 1999 penambangan timah di Pulau Bangka meninggalkan 544 kolam bekas
2
tambang (kolong) seluas 1035 ha (PT Timah – Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya 2000). Angka ini dipastikan meningkat sejalan dengan meningkatnya penambangan ilegal di akhir tahun 1999. Penambangan menurunkan sifat-sifat tanah. Dibandingkan dengan lahan tidak terganggu, kandungan pasir pada tailing timah dapat mencapai 95 %, C-organik kurang dari 2 %, dan KTK (kapasitas tukar kation) kurang dari 1.0 cmol(+) kg-1. Pori air tersedia menjadi sangat rendah dan mencapai 1 % vol (sangat rendah) pada kedalaman 0-20 cm dan permeabilitas mencapai 35 cm jam-1 (sangat cepat) pada kedalaman 0-20 cm (Adimihardja et al. 2002). Temperatur tailing pasir pada kedalaman 3 cm pada jam 12.00-14.00 mencapai 45 oC (Nurtjahya et al. 2007), atau 48.8 oC (Mitchell 1959) pada jam 14.30, atau bahkan mencapai 60-70 oC (Setyowati-Indarto 1998). Mengandalkan suksesi alami untuk merestorasi tailing pasir tanpa campur tangan manusia akan membutuhkan waktu yang lama, waktu dimana tailing timah tetap gundul dan tidak ekonomis (Ang 1994). Setelah dibiarkan tidak terganggu selama dua puluh tahun, peningkatan kesuburan sangat lambat sehingga hanya meningkat seperlima atau kurang dibandingkan lahan tidak ditambang (Mitchell 1959). Sejumlah kecil jenis tanaman eksotik yang dipilih karena sifat-sifatnya, dipergunakan secara meluas pada program rehabilitasi di Pulau Bangka, seperti Acacia mangium Willd. (Fabaceae) sejak tahun 1993 (Nurtjahya 2001), namun praktek ini dinilai kurang mendukung rehabilitasi lahan untuk tujuan restorasi. Adalah kurang bijaksana terus mengandalkan pada sejumlah kecil jenis tanaman untuk upaya rehabilitasi di masa depan (Lamb & Tomlinson 1994). Sejauh ini daftar jenis lokal potensial sebagai kandidat untuk merevegetasi lahan pasca tambang timah di Pulau Bangka belum pernah dilaporkan, walaupun beberapa jenis pohon lokal telah disarankan oleh beberapa kelompok peneliti (Sambas & Suhardjono 1995; van Steenis dalam Whitten et al. 2000). Kondisi lingkungan lahan pasca tambang tidak mendukung pertumbuhan tanaman, sehingga diperlukan pemahaman suksesi sebagai informasi penting bagi perencanaan dan penentuan strategi revegetasi (Leteinturier et al. 1999; Corrêa et al. 2007). Informasi tersebut adalah identifikasi vegetasi yang berperan di setiap tahapan suksesi, penentuan jenis tanaman potensial sebagai calon jenis tanaman
3
revegetasi, dan penentuan lokasi potensial sumber biji bagi revegetasi, di samping penelusuran pustaka dan komunikasi dengan pakar akan jenis-jenis pionir. Hasil kajian suksesi, penelusuran pustaka dan komunikasi pakar mendaftar sebanyak mungkin jenis lokal yang dipilih untuk dipergunakan dalam revegetasi. Tingkat keragaman yang tinggi pada revegetasi diharapkan mempercepat pencapaian keragaman jenis tumbuhan di area revegetasi, sesuai dengan tujuan akhir penelitian yakni restorasi lahan pasca tambang. Kajian suksesi adalah penting dalam merancang satu paket teknik budidaya yang diharapkan memanipulasi lingkungan lahan pasca tambang yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Semua informasi ini dibutuhkan untuk mendukung upaya percepatan suksesi alami. Penggabungan beberapa teknik budidaya yakni: kerapatan tanam, model tanam, penanaman mulsa legum penutup tanah (legum cover crops – LCC), penggunaan mulsa sabut kelapa, pemberian top soil, pemberian tanah mineral, pemberian kompos, serta penggunaan pembenah tanah (soil conditioner) kiranya perlu dilakukan untuk menyiasati lingkungan lahan pasca tambang timah yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman: miskin hara, porous dan tercekam air, terbuka, dan dalam rangka mendapatkan prosedur revegetasi yang efektif dan sederhana. Evaluasi
keberhasilan
revegetasi
pada
akhir
penelitian
dilakukan
berdasarkan berbagai parameter pertumbuhan dan perbaikan habitat. Di samping itu, potensi mesofauna tanah sebagai indikator keberhasilan revegetasi pun perlu ditelaah untuk memperkaya parameter keberhasilan revegetasi. Penelitian ini terbagi atas dua, yakni penelitian pertama tentang suksesi lahan pasca tambang timah, dan penelitian ke dua tentang revegetasi lahan pasca tambang timah. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pertama adalah memahami suksesi dan jenis tumbuhan yang berperan di setiap tahapan suksesi. Tujuan penelitian ke dua adalah mengkaji pertumbuhan sepuluh jenis pohon lokal terpilih pada berbagai kerapatan tanam dan perlakuan tanah pada tailing pasir.
4
Manfaat Penelitian
Informasi suksesi lahan pasca tambang timah adalah penting bagi perencanaan dan penentuan strategi revegetasi dalam hal identifikasi jenis pohon lokal potensial, identifikasi lokasi potensial sumber biji dan pemahaman lingkungan lahan pasca tambang timah bagi keberhasilan revegetasi Hasil penelitian ke dua tentang revegetasi lahan pasca tambang timah dengan beragam jenis pohon lokal adalah identifikasi praktek budidaya yang paling mendukung pertumbuhan sepuluh pohon lokal terpilih dan yang paling mendukung
rekolonisasi
alami.
Informasi
tersebut
akan
memperkaya
pengembangan strategi yang efektif dalam penanaman di lahan pasca tambang timah bagi pemulihan hutan kembali dengan beragam jenis pohon lokal dalam waktu sesingkat mungkin dan dengan dana dan tenaga profesional terbatas.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi praktek revegetasi dengan pohon lokal dan yang paling mendukung rekolonisasi alami. Informasi tersebut akan memperkaya pengembangan strategi yang efektif dalam penanaman di lahan pasca tambang timah bagi pemulihan hutan kembali dengan beragam jenis pohon lokal dalam waktu sesingkat mungkin. Tailing timah secara garis besar dibagi menjadi dua bagian besar yakni tailing pasir dan tailing slime. Palaniappan (1974) membagi menjadi tiga yakni tailing pasir, tailing slime, dan tailing campuran pasir dan slime. Dibandingkan dengan tailing slime, dengan kurun waktu yang sama, tailing pasir lebih tidak bervegetasi karena kandungan air dan hara hasil pencucian lebih sedikit dibandingkan pada tailing slime. Penelitian ini memilih tailing pasir sebagai bahan penelitian. Untuk merevegetasi tailing pasir, beberapa hal harus dilakukan yakni pemilihan jenis tanaman yang sesuai di tailing pasir, persiapan lahan, pembenahan tanah, persemaian, penanaman, perawatan, dan pemantauan. Beberapa dari kegiatan-kegiatan tersebut dapat dipertukarkan urutan pengerjaannya tergantung
5
kondisi di lapang termasuk ketersediaan biji, dan dua atau tiga kegiatan dapat dilakukan secara bersama-sama jika keadaan di lapang memungkinkan, misalnya tersedianya bahan dan tenaga. Pemilihan jenis tanaman dapat didekati dari kombinasi beberapa hal, dari penelusuran pustaka (Backer & van den Brink 1965; Sakai et al. 1980; Sambas & Suhardjono 1995; Cheah 1995; van Steenis dalam Whitten et al. 2000; Whitten et al. 2000; Partomihardjo et al. 2004), mengutip pendapat para ahli (Kanzaki M 2004, komunikasi pribadi; Davies SJ 2004, komunikasi pribadi; Dalling J 2004, komunikasi pribadi), pengamatan di lapang, dan percobaan di lapang. Pemilihan jenis ditentukan juga oleh peruntukan lahan yang akan direvegetasi; jenis untuk revegetasi untuk hutan tanaman industri akan berbeda dengan jenis untuk restorasi. Dalam penelitian ini tujuan penelitian diarahkan ke restorasi lahan pasca tambang timah menjadi hutan kembali. Sejumlah jenis tumbuhan yang dipilih diseleksi di pembibitan sebelum dipergunakan sebagai dalam penelitian revegetasi. Untuk memperoleh hasil yang diharapkan, diperlukan contoh proses yang terjadi di alam sebagai cermin. Suksesi di lahan pasca tambang timah, khususnya tailing pasir dipelajari. Pemahaman suksesi memberi gambaran proses yang terjadi dan jenis-jenis tanaman yang berperan dalam proses tersebut. Pemahaman proses tersebut berguna dalam mengidentifikasi identifikasi jenis pohon lokal potensial yang relatif adaptif di tailing pasir, mengidentifikasi lokasi potensial sumber biji, pemahaman lingkungan lahan pasca tambang timah bagi keberhasilan pelaksanaan penanaman di tailing pasir. Mengingat belum pernah ada petak permanen pengamatan suksesi dan untuk memperoleh gambaran suksesi yang terjadi lebih teliti, pemilihan lokasi-lokasi penelitian diupayakan mewakili kurun waktu suksesi dan dari tipe tanah yang sama. Tipe tanah yang sama untuk mengurangi pengaruh tipe tanah terhadap suksesi karena tidak semua tipe tanah dapat ditambang. Tanah regosol dan tanah histosol atau tanah gambut tidak ditambang karena lapisan tanah di bawahnya tidak mengandung cadangan timah. Penambangan timah juga dilakukan berdasarkan peta eksplorasi yang telah dilakukan sejak zaman kolonial dan mengikuti alur cadangan timah di Pulau Bangka.
6
Pemahaman akan berbagai kelompok umur lahan pasca tambang timah berguna dalam merancang strategi revegetasi yang akan dilaksanakan di lahan pasca tambang timah, khususnya di tailing pasir. Identifikasi faktor pembatas di tailing pasir bagi pertumbuhan tanaman berguna dalam memanipulasi keadaan tailing pasir yang mendukung pertumbuhan jenis tanaman terpilih agar dapat tumbuh dengan baik dan sesuai harapan. Memperhatikan sifat-sifat fisika dan kimia tailing pasir dan lingkungan penambangan yang terbuka, cekaman air dan temperatur adalah faktor yang mendapat perhatian. Peningkatan sifat-sifat fisika dan kimia tanah diperlukan untuk membenahi tanah dan tekstur pasir yang porous, dan miskin hara. Perbaikan mikroklimat di sekitar lubang tanam diupayakan untuk mengurangi sebesar mungkin cekaman air dan temperatur bagi tanaman di tailing pasir. Diperlukan paduan beberapa teknik budidaya yang telah dipraktekkan di masyarakat untuk memperbaiki mikroklimat di lingkungan tailing pasir yang terbuka dan panas. Fokus teknik penanaman adalah kerapatan tanam, model tanam, penggunaan mulsa hidup dengan legum penutup tanah, penggunaan mulsa sabut kelapa, penggunaan tepung tailing slime sebagai sumber hara, pengunaan asam humat, top soil sebagai sumber hara dan sumber biji, tanah mineral sebagai sumber hara, dan kompos sebagai sumber bahan organik. Sejumlah jenis lokal terpilih dan dengan satu paket teknik budidaya yang dipilih dan diharapkan mampu memanipulasi lingkungan lahan pasca tambang diharapkan percepatan suksesi di lahan pasca tambang tercapai. Untuk mengevaluasi keberhasilan revegetasi beberapa parameter dipilih untuk mewakili beberapa aspek untuk mendapatkan evaluasi yang teliti. Paduan evaluasi pertumbuhan tanaman di atas permukaan tanah, perubahan sifat-sifat tanah di bawah permukaan tanah, dan populasi fauna tanah, pengukuran temperatur udara, temperatur tanah, dan kelembaban tanah dipilih. Di samping itu, potensi mesofauna tanah sebagai indikator keberhasilan revegetasi pun perlu ditelaah untuk memperkaya parameter keberhasilan revegetasi. Untuk mengetahui sejauh mana manfaat revegetasi dalam mempercepat suksesi alami, dibandingkan hasil revegetasi dengan suksesi alami lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun.
7
a
b
c
d
e
f
g
h
Gambar 1 Penambangan timah di darat. (a) penambangan timah skala besar, (b) penambangan non-konventional (TI), (c) penambangan timah terapung di kolam, (d) mendulang timah, (e) kapal keruk darat, (f) area penambangan timah darat, (g) penambangan ilegal di lokasi yang direvegetasi, (h) penambangan timah ilegal di dekat pemakaman. Foto oleh E. Nurtjahya.
2 SUKSESI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA
Pendahuluan Mengingat kesuburan tidak pernah tercapai tanpa bantuan manusia (Mitchell 1959; Ang 1994, Elfis 1998), pemilihan jenis tanaman dan teknik budidaya dibutuhkan untuk mempercepat restorasi tailing timah pasir. Sejumlah jenis pohon eksotik dipergunakan secara meluas pada program rehabilitasi karena memiliki banyak sifat, namun kehati-hatian ekologis menyebutkan adalah kurang bijaksana terus mengandalkan pada sejumlah kecil jenis dalam upaya rehabilitasi di masa depan (Lamb & Tomlinson 1994). Sementara belum dilaporkan adanya daftar jenis pohon lokal potensial untuk merevegetasi tailing timah, A. mangium adalah jenis eksotik yang dominan (mencapai 75 %) yang ditanam di tailing timah oleh dua perusahaan tambang besar di Pulau Bangka sejak 1993 (Nurtjahya 2001). Beberapa peneliti menganjurkan beberapa jenis pohon lokal. van Steenis (Whitten et al. 2000) menyarankan Ploiarium, Rhodamnia, dan Rhodomyrtus sebagai marga yang dapat dicoba. Sambas dan Suhardjono (1995) merekomendasikan Schima wallichii (DC.) Korth. (Theaceae), Syzygium racemosum (Blume) DC. (Myrtaceae), Vitex pinnata L. (Verbenaceae), Syzygium zeylanicum (L.) DC. (Myrtaceae), Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy (Clusiaceae), dan Gomphia serrata (Gaertn.) Kanis. (Ochnaceae) sebagai kandidat potensial untuk merevegetasi tailing pasir. Jenis lokal seperti Macaranga spp., dan Trema orientalis (L.) Blume (Ulmaceae) termasuk beberapa jenis lokal yang ditanam di lahan bekas tambang emas di Kalimantan Timur (Nurtjahya 2004). Di Pulau Bangka dan Pulau Belitung Anacardium occidentale L. (Anacardiaceae) dan Triomma malaccensis Hook. f. (Burseraceae) ditanam dalam prosentase yang kecil dibandingkan A. mangium di lokasi revegetasi yang tidak luas, dan keduanya dinilai cukup adaptif di tailing pasir. Melengkapi saran dan upaya penggunaan jenis pohon lokal dalam merevegetasi lahan pasca tambang timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung,
9
dan memperhatikan kondisi lingkungan lahan pasca tambang yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman, diperlukan pemahaman suksesi untuk membantu penentuan strategi revegetasi lahan pasca tambang timah melalui identifikasi jenis yang berperan di setiap tahapan, penentuan jenis tanaman, dan penentuan lokasi potensial sumber biji bagi revegetasi. Informasi regenerasi alami atau suksesi penting bagi perencanaan dan penentuan strategi revegetasi (Leteinturier et al. 1999; Corrêa et al. 2007). Memperhatikan mikrob tanah memiliki fungsi yang penting dalam ekosistem yakni terhadap pertumbuhan, nutrisi mineral, dan kesehatan tanaman (Souchie et al. 2006), populasi fungi mikoriza arbuskula (FMA), dan mikrob pelarut fosfat (MPF) yang termasuk termasuk plant growth promoting rhizobacteria (Rodriguez & Fraga 1999) perlu dihitung. Tujuan penelitian ini ialah memahami suksesi dan vegetasi yang berperan di setiap tahapan suksesi.
Bahan dan Metode Penelitian ekologi kuantitatif di lahan pasca tambang timah dilaksanakan di Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Enam lokasi yang masing-masing mewakili tipe vegetasi berbeda dipilih. Lokasi penelitian Suksesi lahan pasca tambang timah didekati dengan pengamatan suksesi alami yang terjadi di beberapa umur yang berbeda karena tidak ada petak pengamatan permanen dan belum pernah dilaporkan penelitian ini sebelumnya. Untuk mengurangi pengaruh tipe tanah, hampir semua lokasi penelitian memiliki dominasi tipe tanah hapludox (oksisol) antara 50-75 % di samping kandiudults (ultisol) 25-50 %. (PPTA 1990), yang baik oksisol dan ultisol dicirikan oleh kandungan bahan organik yang rendah, liat bermuatan rendah dan karenanya memiliki KTK yang rendah (Tan 2005) (Gambar 2). Untuk mendapatkan data umur yang tepat, survai lapang dan wawancara dengan penduduk dilakukan sebelum menentukan lokasi penelitian. Studi pustaka dilakukan pada Peta Ikhtisar
10
Penambangan Timah di Pulau Bangka (PT Tambang Timah 2004), Peta Satuan Lahan dan Tanah Pulau Bangka (PPTA 1990), dan Peta Land System Sumatera (Bakosurtanal 1986). Riwayat penambangan timah dari PT Timah (Persero) Tbk. memperkuat asumsi kesamaan tingkat eksploitasi lokasi penelitian.
Gambar 2 Jenis tanah lokasi penelitian. (1) hutan (Pfq 3.3); (2) ladang ditinggalkan (Pfq 3.3); (3) tailing 0 tahun gundul (X-5); (4) tailing 7 tahun (Pq 2.1); (5) tailing 11 tahun (Pfq 2.1); (6) tailing 38 tahun (Pt 5.3). (PPTA 1990)
11
Pulau Bangka
Gambar 3 Pulau Bangka dan lokasi penelitian. (1) hutan; (2) ladang ditinggalkan; (3) tailing 0 tahun gundul; (4) tailing 7 tahun; (5) tailing 11 tahun; (6) tailing 38 tahun. Digitasi garis pantai dari peta Provinsi Kepulauan Bangka Belitung skala 1:400000 (Bakosurtanal 2003)
Lokasi penelitian adalah hutan seluas 13 ha yang memiliki tipe tanah dominan hapludox, di desa Sempan (01o 53' 38.5" LS dan 105o 58' 14.5" BT), ladang yang ditinggalkan empat tahun sebelumnya seluas 1.6 ha di desa Sempan (01o 53' 32.3" LS dan 105o 58' 44.5" BT), lahan pasca tambang berumur nol tahun dan gundul seluas 2 ha di desa Riding Panjang (01o 59' 53.46"LS dan 106o 06' 45.32"BT), lahan pasca tambang berumur 7 tahun seluas 0.5 ha di desa Sempan (01o 52' 41.5" LS dan 106o 00' 14.2" BT), lahan pasca tambang berumur 11 tahun seluas 0.6 ha dengan tipe tanah kandiudult dan dystropepts di desa Gunung Muda (01o 37' 0.01"LS dan 105o 54' 47.9"BT), dan lahan pasca tambang berumur 38
12
tahun seluas 2 ha dengan tipe tanah hapludox di desa Riau (01o 44' 33.8" LS dan 105o 51' 66.4"BT) (Gambar 3). Lokasi seluas 15.7 ha terletak di Kabupaten Bangka dan berada pada ketinggian 20-40 m d.p.l. Untuk mendapatkan lahan pasca tambang timah yang berumur lebih dari 40 tahun sulit ditemukan karena kegiatan penambangan ulang, dan terutama oleh penambangan rakyat. Pengumpulan dan analisis data Sifat-sifat tanah Contoh tanah pada masing-masing lokasi penelitian diambil dengan auger berdiameter 8 cm pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm. Contoh tanah komposit secara diagonal (Setyorini et al. 2003) terdiri atas sembilan sub sampel di setiap lokasi penelitian. Contoh tanah dianalisis sifat-sifat kimia dan beberapa sifat fisika dengan analisis tanah rutin untuk keperluan penilaian kesuburan tanah yang meliputi: tekstur tiga fraksi, pH air dan KCl, bahan organik (C dan N), P dan K potensial, nilai tukar kation (kapasitas tukar kation – KTK, Ca-dd, Mg-dd, K-dd, Na-dd), dan kemasaman dapat ditukar (Al-dd dan H-dd). Analisis dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, di Bogor. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan Mikrob Pelarut Fosfat (MPF) Contoh tanah komposit sebanyak 500 g dari delapan titik rhizosfir dari tiga vegetasi paling dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm diambil dengan menggunakan modifikasi CSM-BGBD Project Protocol 2004 (Gafur & Swibawa 2004). Jumlah ulangan tiap contoh tanah adalah tiga kali. Jarak antar contoh di bawah vegetasi dominan semai adalah 50 cm untuk lingkaran terdekat dan 1 m untuk lingkaran terjauh. Jarak antar contoh di bawah vegetasi tiang atau pohon yang dominan adalah 1 m untuk lingkaran terdekat, dan 2 m untuk lingkaran terjauh. Spora diperoleh dengan metode tuang saring basah (Gadermann & Nicolson 1963). Sebanyak 50 g contoh tanah dilarutkan dalam 500 ml air dan diaduk dan dicuci berulangkali dengan air melalui satu rangkaian saringan (710 µm, 425 µm, dan 45 µm). Spora diamati di bawah mikroskop stereo. Marga diidentifikasi
13
berdasarkan morfologi spora dan merujuk pada buku manual Schenck and Perez (1988) dan INVAM (International Culture Collection of Arbuscular & VesicularArbuscular Mycorrhizal Fungi) (http://invam.caf.wvu.edu/index.html). Contoh tanah sebanyak 1 g dilarutkan dalam 9 ml larutan garam fisiologis dan diaduk dan dibuat seri pengenceran dari 10o-105. Sebanyak 0.02 ml dari larutan 105 diinokulasikan ke media agar Picovskaya dan diinkubasikan pada temperatur ruang selama 2-3 hari. Koloni yang menunjukkan cincin halo yang transparan di sekitar koloni dihitung, dan direisolasi dan dipelihara pada nutrient agar (NA). Pengujian FMA dan MPF dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Analisa vegetasi Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei 2004 – November 2005. Luas minimum area sebesar 0.2 ha ditentukan dengan kurva species-area (Setiadi & Muhadiono 2001). Analisa kuantitatif terhadap komposisi dan struktur vegetasi dilakukan pada 20 petak masing-masing 10 m x 10 m dengan modifikasi teknik pengambilan contoh kuadrat oleh Oosting 1956 (Soerianegara & Indrawan 1998). Petak berukuran 10 m x 10 m digunakan untuk mengukur pohon yang memiliki diameter lebih besar dari 20 cm diameter setinggi dada orang dewasa (dbh), dan mengukur tiang yang memiliki diameter pada dbh 10-20 cm. Petak berukuran 5 m x 5 m digunakan untuk mengukur sapihan yang memiliki tinggi tanaman lebih dari 1.5 m dan diameter kurang dari 10 cm. Petak berukuran 1 m x 1 m untuk menghitung semai yang memiliki tinggi kurang dari 1.5 m. Jumlah individu tiap jenis dan diameter batang pada tiang dan pohon dicatat, dan hanya jumlah individu tiap jenis yang dicatat untuk sapihan dan semai. Sekitar 340 spesimen herbarium diidentifikasi di Herbarium Bogoriense, Bogor. Komposisi vegetasi setiap lokasi penelitian (Gambar 4) ditentukan oleh jumlah individu tanaman, jumlah jenis, dan jumlah famili. Struktur vegetasi dihitung dari densitas relatif, frekuensi relatif, dan cover relatif (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974). Indeks vegetasi adalah species richness menurut Margalef (Odum 1971), evenness index menurut Pielou (Odum 1971), dominance index
14
(Odum 1971), dan species diversity (Shannon & Wiener 1949). Indeks kemiripan (similarity index) dihitung dengan formula Sǿrensen (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974). Data untuk analisis komponen utama (principal component analysis – PCA), analisis canonical correspondence analysis (CCA), dan analisis kelompok (cluster analysis) dihitung menggunakan paket statistik MSV 3.1. Densitas suatu jenis per unit area = Densitas relatif dari suatu jenis (DR) =
Frekuensi =
Frekuensi relatif suatu jenis (FR) = Basal area (cover) per individu suatu jenis =
Basal area (cover) relatif (CR) =
Jumlah individu suatu jenis di semua petak contoh jumlah petak contoh yang diamati Jumlah individu suatu jenis Jumlah individu dari semua jenis
Jumlah petak dimana suatu jenis ditemukan Jumlah petak yang diamati Frekuensi suatu jenis di petak tertentu Jumlah frekuensi semua jenis di petak tertentu
Jumlah individu Jumlah basal area per individu suatu jenis Jumlah basal area semua jenis di semua petak
Indeks diversitas Shannon dan Wiener suatu lokasi (Ĥ) = Indeks species richness suatu lokasi (d) =
Indeks Evenness suatu lokasi (e) =
x 100
DR + FR + CR 2 x Jumlah INP jenis sama di dua lokasi dibandingkan Jumlah INP yang dibandingkan
Indeks Dominansi suatu lokasi (c) =
x 100
Jumlah basal area
Index Nilai Penting (INP) =
Indeks kemiripan dua lokasi (IS) =
x 100
Jumlah (INP suatu jenis/INP semua jenis)2
Σ - log
Jumlah individu suatu jenis Jumlah invidu semua jenis Jumlah jenis minus satu
Logarithma jumlah individu di suatu lokasi Jumlah indeks diversitas semua jenis Logarithma jumlah jenis suatu lokasi
x 100
15
a
b
c
d
e
f
Gambar 4 Lokasi penelitian. (a) lahan pasca tambang berumur 0 tahun, (b) lahan pasca tambang berumur 7 tahun, (c) lahan pasca tambang berumur 11 tahun, (d) lahan pasca tambang berumur 38 tahun, (e) ladang ditinggalkan, (f) hutan. Foto oleh E. Nurtjahya
16
Hasil Sifat-sifat Tanah Komponen pasir di empat lahan pasca tambang pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm berkisar 80-97 % (Tabel 1). Terdapat kecenderungan adanya penurunan komponen pasir, kecuali pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, dengan semakin lamanya lahan pasca tambang timah ditinggalkan (Gambar 5a). Komponen pasir dari semua lahan pasca tambang timah masing-masing pada dua kedalaman lebih besar dibandingkan di hutan yakni 78 dan 66 %, dan di ladang yang ditinggalkan 47 dan 48 %. Tekstur semua lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun adalah sand, dan tekstur ladang yang ditinggalkan termasuk sandy clay loam, dan tekstur hutan adalah loamy sand. Tabel 1 Sifat-sifat fisika dan kimia tanah pada kedalaman 0-20 dan 20-40 cm di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan hutan
cm Tailing 0 tahun
%
C/N
(NH4 - Acetate 1 N, pH 7) Ca
Mg
mg100g-1
%
0-20
94
2
4
4.8
0.2
0.0
15
KCl 1 N
N
Kapasitas tukar
K2O
C
HCl 25% P2O5
Kjeldahl
H2O
Bahan organik W. & B.
pH
liat
debu
pasir
Lokasi penelitian
kedalaman
Tekstur
K
Na
Total
KTK
cmol(+)kg-1
2
3
0.1
0.2
0.0
0.0
KB %
0.3
0.4
73
Al3+ cmol (+) kg-1 0.3
20-40
97
1
2
4.5
0.1
0.0
13
3
3
0.3
0.2
0.0
0.0
0.6
1.4
40
0.1
Tailing 7 tahun
0-20
94
4
3
4.8
1.0
0.1
13
49
3
0.2
0.1
0.0
0.1
0.3
3.3
16
0.6
20-40
93
6
2
4.8
1.2
0.1
14
71
3
0.2
0.1
0.0
0.1
0.4
3.9
19
0.7
Tailing 11 tahun
0-20
83
5
13
4.9
0.2
0.0
10
11
4
0.2
0.1
0.0
0.0
0.3
2.0
28
0.9
20-40
80
3
18
4.8
0.3
0.0
10
11
4
0.2
0.1
0.0
0.0
0.4
2.3
30
0.9
Tailing 38 tahun
0-20
96
2
2
5.1
0.3
0.0
14
5
2
0.2
0.1
0.0
0.1
0.4
1.0
40
0.2
20-40
95
2
3
5.0
0.2
0.0
10
4
2
0.1
0.1
0.0
0.1
0.3
31
0.2
Ladang ditinggal kan
0-20
47
22
31
4.5
3.2
0.3
12
35
8
0.3
0.2
0.1
0.0
0.7
4
4.8
Hutan
20-40
48
22
31
4.6
1.7
0.1
12
36
7
0.3
0.2
0.1
0.1
0.6
0.9 14. 7 9.6
6
3.7
0-20
78
13
10
4.7
1.6
0.2
10
22
5
0.2
0.1
0.1
0.1
0.4
5.8
7
2.0
20-40
66
18
16
4.7
1.2
0.1
14
20
5
0.1
0.1
0.1
0.1
0.4
5.2
7
2.0
Kecuali rasio C/N lahan pasca tambang berumur 11 tahun, rasio C/N lahan pasca tambang berumur 0, 7, dan 38 tahun yakni berkisar 10-15 lebih tinggi dibandingkan hutan dan ladang yang ditinggalkan. Secara umum, konsentrasi P2O5 dan K2O pada lahan pasca tambang di dua kedalaman lebih rendah dibandingkan dengan P2O5 di hutan pada dua kedalaman (22 dan 20 mg 100g-1)
17
dan K2O (5 dan 5 mg 100g-1), dan konsentrasi P2O5 di ladang yang ditinggalkan (35 dan 36 mg 100g-1) dan K2O (8 dan 7 mg 100g-1). Tingginya konsentrasi P2O5 di dua kedalaman pada tailing timah berumur 7 tahun dibandingkan dengan di ladang yang ditinggalkan dan di hutan diduga pengambilan sampel tanah tercampur dengan sebagian tanah overburden yang lebih subur. Secara umum konsentrasi Ca, Mg, K, dan Na berangsur-angsur meningkat sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang ditinggalkan (Gambar 5b). Jumlah konsentrasi keempat kation dapat ditukar tersebut di dua kedalaman di lahan pasca tambang berkisar 0.3-0.6 cmol(+) kg-1, sementara jumlah konsentrasi keempat unsur di ladang yang ditinggalkan masing-masing 0.7 dan 0.6 cmol(+) kg-1, dan di hutan adalah masing-masing 0.4 dan 0.4 cmol(+) kg-1. KTK semua lahan pasca tambang timah tergolong sangat rendah berdasarkan tabel kesuburan tanah, dan berkisar antara 0.4-3.9 cmol(+) kg-1. KTK ladang yang ditinggalkan masing-masing 14.7 dan 9.6 cmol(+) kg-1, dan KTK hutan pada dua kedalaman masing-masing 5.8 dan 5.2 cmol(+) kg-1. KB di semua lahan pasca tambang timah yang berkisar antara 16-40 % dengan angka tertinggi pada lahan pasca tambang berumur 0 tahun. KB pada berbagai umur lahan pasca tambang timah menunjukkan pola yang tidak konstan dan nilai tertinggi tercatat pada lahan pasca tambang berumur 0 tahun yang gundul (73 dan 40 %). Nilai KB di lahan di ladang yang ditinggalkan masingmasing 4 dan 6 % dan di hutan masing-masing 7 dan 7 %. Konsentrasi Al3+ pada dua kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm di lahan pasca tambang timah berkisar 0.1-0.9 cmol(+) kg-1, sementara konsentrasi Al3+ pada dua kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm di hutan masing-masing 2.0 dan 2.0 cmol(+)kg1
, dan di ladang yang ditinggalkan masing-masing 4.8 dan 3.7 cmol(+) kg-1.
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Mikrob Pelarut Fosfat (MPF) Jumlah spora FMA (Gambar 6a) per 50 g tanah di bawah tiga jenis tumbuhan dominan pada kedalaman 0-20 cm di lahan pasca tambang timah berangsur-angsur meningkat sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang timah ditinggalkan (Gambar 7a). Jumlah spora di lahan pasca tambang berumur 0 tahun adalah 2, di lahan pasca tambang berumur 7 tahun adalah 47, di
18
lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah 57, dan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun tercatat tertinggi yakni 261.7, sementara di tanah hutan adalah 15 (Tabel 2). 100
Prosentase (%)
80
60
40
20
0 0
7
11
pasir
debu
38
Hutan
38
Hutan
a
liat
0.25
Konsentrasi cmol/kg
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00 0
7
11
Ca
Mg
K
Na
b
Gambar 5 Konsentrasi beberapa sifat fisika dan kimia tailing pasir di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun, dan di hutan. (a) komponen pasir, debu, dan liat. (b) konsentrasi Ca, Mg, K, dan Na. Jumlah jenis FMA pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 7 jenis Glomus, 2 jenis Gigaspora, 1 jenis Scutellospora, dan 1 jenis Acaulospora, dengan Glomus sp. 2 menempati urutan terbesar yakni 67.4 %, dan Glomus sp. 3 sebesar 20.7 %. Jumlah genus antara tiga dan lima, dan Glomus Tul. & Tul. (Glomaceae) adalah dominan (44-100 %) dibandingkan Gigaspora, Scutellospora, dan Acaulospora.
19
Sebaliknya, rata-rata jumlah koloni MPF (Gambar 6b) pada kedalaman 0-20 cm menunjukkan penurunan sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang ditinggalkan (Gambar 7b). Populasi MPF per g tanah pada 0-20 cm di lahan pasca tambang berumur 0 tahun (6.0 x 105),
di lahan pasca tambang
berumur 7 tahun adalah 6.2 x 105 c g-1, di lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah 4.2 x 105 c g-1, di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 1.3 x 105 c g-1, dan di hutan sebesar 4.4 x 105 c g-1.
a
b
Gambar 6 Spora fungi mikoriza arbuskula dan koloni mikrob pelarut fosfat. (a) spora fungi mikoriza arbuskula: spora Glomus kecil dan berwarna lebih gelap, dan spora Gigaspora besar dan transparan, (b) koloni mikrob pelarut fosfat dengan zona terang. Foto oleh N.F. Mardatin 7.5
300
262
a
200
Jumlah spora
6.0
Koloni 10 5 /g/jenis tanaman
250
150
100
47
b
6.2
5.0
4.4
4.2
2.5
57
1.3
50
15 2 0.0 0
0
7
11
FMA
38
Hutan
0
7
11
38
Hutan
MPF
Gambar 7 Rata-rata jumlah spora FMA dan populasi MPF di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan pada kedalaman 0-20 cm. (a) jumlah spora per 50 g tanah (b) jumlah koloni mikrob pelarut fosfat per g tanah
20
Tabel 2 Status fungi mikoriza arbuskula dan mikrob pelarut fosfat di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, di ladang ditinggalkan, dan di hutan pada kedalaman 0-20 cm
Lokasi penelitian
Tailing 0 tahun Tailing 7 tahun Tailing 11 tahun Tailing 38 tahun Ladang ditinggalkan Hutan
Vegetasi dominan
Tidak ada vegetasi Fymbristylis pauciflora Trema orientalis Melastoma malabatrichum Paspalum orbiculare Blumea balsamifera Melastoma malabatrichum Rhodomyrtus tomentosa Eriachne pallescens Ischaemum sp. Trema orientalis Melastoma malabatrichum Pternandra galeata Tristaniopsis whiteana Syzygium sp. Ilex cymosa
0 - 10 10 - 20 0 - 10 10 - 20
Jumlah rata2 koloni MPF (105 c g-1 tanah) 5.0 1.0 10.3 8.3
0 - 10 10 - 20
6.0 6.7
87 84
4 4
Glomus 59%
0 - 10 10 - 20
3.2 0.8
372 413
3 4
Glomus 95%
0 - 10 10 - 20
17.3 20.7
97 39
5 4
Glomus 44%
0 - 10 10 - 20
7.0 6.3
30 15
4 4
Glomus 57%
Ke dalam an (cm)
Genus FMA dominan dan prosentase
Jumlah spora / 50 g-1 tanah
Jumlah genera
1 1
1 1
Glomus
69 72
4 5
Glomus 67%
100%
Komposisi vegetasi Jumlah individu, jumlah jenis, dan jumlah famili di lahan pasca tambang timah semakin meningkat sejalan dengan semakin lama lahan pasca tambang ditinggalkan (Gambar 8). Jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 0 tahun adalah nol, jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 7 tahun adalah enam yang terdiri atas empat jenis rumput dan dua jenis semak, jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah delapan yang terdiri atas lima jenis rumput, satu jenis herba, dan dua jenis semak, dan jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah enam belas yang terdiri atas empat jenis rumput, tiga jenis herba, enam jenis semak, dua jenis tingkat semai dan satu jenis tingkat semai dan sapihan, jumlah jenis tumbuhan di ladang ditinggalkan sebesar tujuh puluh satu, dan jumlah jenis di hutan sebesar delapan puluh lima yang meliputi herba, liana / climber, semak, semua tingkatan pohon, dan tidak diketemukan jenis rumput (Gambar 9).
21
Jumlah individu per hektar untuk semua fase pertumbuhan semakin meningkat sejalan dengan semakin lama lahan pasca tambang ditinggalkan. Pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun sebesar 890, pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun 1720, dan pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun sebesar 2180. Jumlah individu per hektar tertinggi adalah di hutan yakni 7295, sedangkan di ladang yang ditinggalkan (7175). Jumlah famili di tiap lokasi penelitian menunjukkan pola serupa. Jumlah famili untuk semua fase pertumbuhan di lahan pasca tambang berumur 7 tahun adalah 4, di lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah 5, dan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 13. Jumlah famili untuk semua fase pertumbuhan tertinggi adalah di hutan yakni 44, sedangkan di ladang yang ditinggalkan adalah 38.
22
50
Jumlah jenis
40
30
20
10
a 0 0
7
11
semai
sapihan
38
tihang
Ladang
Hutan
pohon
30
Jumlah famili
20
10
b 0 0
7
11
semai
sapihan
38
tihang
Ladang
Hutan
pohon
4000
Jumlah individu ha-1
3000
2000
1000
c
0 0
7
11
semai
sapihan
38
tihang
Ladang
Hutan
pohon
Gambar 8 Jumlah individu per hektar, dan jumlah jenis dan jumlah famili di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan. (a) jumlah jenis (b) jumlah famili (c) jumlah individu ha-1
23
50
Jumlah jenis
40
30
20
10
0
0 rumput
herba
7
11
liana / climber
semak
38 semai
sapihan
Hutan tihang
pohon
Gambar 9 Jumlah jenis tumbuhan rumput, herba, liana/climber, semak, dan tingkat semai, tingkat sapihan, dan tingkat tiang, dan pohon di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan. Struktur vegetasi Tiap lokasi memiliki jenis yang berbeda. Tidak ada jenis tumbuhan ditemukan di lahan pasca tambang timah 0 tahun. Pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun, tercatat tumbuhan bawah Fimbristylis pauciflora R. Br. (Cyperaceae), malabatrichum
Imperata L.
cylindrica
(L.)
(Melastomataceae),
Beauv.
(Poaceae),
Eupatorium
Melastoma
inulaefolium
HBK
(Asteraceae), Paspalum orbiculare Forst.f. (Poaceae), Paspalum conjugatum Berg. (Poaceae) (Tabel 3). Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun tercatat Blumea balsamifera (L.) DC. (Asteraceae), P. conjugatum, I. cylindrica, F. pauciflora, dan M. malabatrichum, Eragrostis chariis (Schult.) Hitchc. (Poaceae), Scleria levis Retz. (Cyperaceae), dan Commersonia bartramia (L.) Merr. (Sterculiaceae). Pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun tercatat Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. (Myrtaceae), Eriachne pallescens R. Br. (Poaceae), Ischaemum sp. (Poaceae), Crotalaria sp. (Fabaceae), dan M. malabatrichum, Anonim sp.3, F. pauciflora, Glechenia sp. (Gleicheniaceae), S. levis, V. pinnata, S. wallichii, E. inulaefolium, T. orientalis, Dillenia suffruticosa (Griff.) Martelli, Nephentes sp.1. S. wallichii dengan INP 7.73 %, V. pinnata dengan INP 8.57 %, dan T. orientalis adalah tiga jenis pohon tingkat semai dan
24
hanya tingkat sapihan S. wallichii ditemukan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Pada ladang yang ditinggalkan lima jenis tumbuhan bawah yang memiliki INP tertinggi yang ditemukan berturut-turut adalah S. levis, T. orientalis, Dicranopteris linearis (Burm.f.) Und. (Gleicheniaceae), M. malabatrichum dan P. conjugatum. Pada hutan lima jenis yang memiliki INP tertinggi berturut-turut Gaertnera vaginata Poiret (Rubiaceae), C. pulcherrimum, Calophyllum lanigerum Miq., Syzygium sp.4 (Myrtaceae), dan Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. (Clusiaceae). Tingkat semai yakni S. wallichii, T. orientalis, dan V. pinnata, dan tingkat sapihan yakni S. wallichii baru tercatat pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Empat jenis tingkat sapihan yang memiliki INP tertinggi di hutan berturutturut C. lanigerum, P. galeata, Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat. (Myrtaceae), Gaertnera vaginata Poiret (Rubiaceae). Bentuk hidup (life form) liana / climber hanya ditemukan di hutan yakni liana
Calamus
sp.,
(Arecaceae)
dan
Urceola
brachysepala
Hook.
f.
(Apocynaceae), dan climber Artabotrys suaveolens Blume (Annonaceae) dan Freycinettia sp. (Pandanaceae). Tabel 3 Jenis tumbuhan rumput, herba, dan liana/climber, semak dan pohon di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan Habitus
rumput
herba
Fase per tumbuhan
Jenis Eragrostis chariis (Schult.) Hitchc. Eriachne pallescens R. Br. Fimbristylis pauciflora R.Br. Imperata cylindrica (L.) Beauv. Ischaemum sp. Paspalum conjugatum Berg. Paspalum orbiculare Forst.f. Scleria levis Retz. Ancistrocladus tectorius Merr. Blumea balsamifera (L.) DC. Glechenia sp. Nephentes sp.1 Taenitis blechnoides (Willd.) Sw. Vernonia arborea Ham. Anonim sp.3 Anonim sp.4 Anonim sp.5
0
7
11
38
Hutan
√ √ √
√ √
√ √
√
√ √ √
√
√ √
√ √ √ √ √ √ √ √
25
liana / climber
semak
pohon
semai
Anonim sp.6 Anonim sp.7 Anonim sp.8 Anonim sp.9 Anonim sp.10 Anonim sp.11 Anonim sp.12 Anonim sp.13 Anonim sp.14 Anonim sp.15 Anonim sp.16 Artabotrys suaveolens Blume Calamus sp. Freycinettia sp. Urceola brachysepala Hook. f. Anaxagorea scortechinii King Commersonia bartramia (L.) Merr. Crotalaria sp. Dillenia suffruticosa (Griff.) Martelli Eupatorium inulaefolium HBK Eurya acuminata DC. Gaertnera vaginata Poiret Guioa pubescens (Zoll. & Moritzi) Radlk. Ixora miquelii Brem. Melastoma malabatrichum L. Mussaenda frondosa L. Pandanus odoratissimus L.f. (P. tectorius Soland. ex Park.) Pandanus sp. Ploiarium alternifolium (Vahl) Melch. Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. Anonim sp.17 Aporosa cf. aurita (Tul.) Miq. Arthrophyllum diversifolium Blume Calophyllum lanigerum Miq. Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy Chaetocarpus castanocarpus (Roxb.) Thw. Chionanthus ramiflorus Roxb. Eurycoma longifolia Jack Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. Gynotroches axillaris Blume Ilex cymosa Blume Kibatalia maingayi (Hook.f.) Woods. Lepisanthes amoena (Hassk.) Leenh. Lithocarpus blumeanus (Korth.) Rehd. Litsea forstenii Blume Nephelium maingayi Hiern. Ormosia bancana (Miq.) Merr. Pternandra galeata (Korth.) Ridley Rhodamnia cinerea Jack
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√ √ √ √ √
√
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
26
pohon
sapihan
Schima wallichii (DC.) Korth. Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Syzygium claviflorum (Roxb.) Wall. ex AM Cowan & Cowan Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry Syzygium zeylanicum (L.) DC. Tarrena fragrans (Blume) Koord. & Val. Trema orientalis (L.) Blume Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat. Vitex pinnata L. Adinandra dumosa Jack Aporosa cf. aurita (Tul.) Miq. Artocarpus sp. Baccaurea bracteata Muell. Arg. Brackenridgea palustris Bartell. Calophyllum lanigerum Miq. Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy Chaetocarpus castanocarpus (Roxb.) Thw. Chionanthus ramiflorus Roxb. Cratoxylum formosum Benth. & Hook.f. ex Dyer Cratoxylum glaucum Korth. Daphniphyllum laurinum (Benth.) Baill. Elaeocarpus mastersii King Elaeocarpus valetonii Hochr. Eugenia densiflora DC. Ficus consociata Blume Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. Gordonia excelsa Blume Gynotroches axillaris Blume Helicia serrata (R.Br.) Blume Ilex cymosa Blume Kibatalia maingayi (Hook.f.) Woods. Lepisanthes amoena (Hassk.) Leenh. Lithocarpus blumeanus (Korth.) Rehd. Lithocarpus sp. Litsea forstenii Blume Litsea umbellata (Lour.) Merr. Lophopetalum javanicum (Zoll.) Turcz. Macaranga javanica (Blume) Muell. Arg. Ormosia bancana (Miq.) Merr. Pternandra galeata (Korth.) Ridley Rauvolfia verticillata (Lour.) Baill. Rhodamnia cinerea Jack Schima wallichii (DC.) Korth. Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Syzygium claviflorum (Roxb.) Wall. ex AM Cowan & Cowan Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry Syzygium sexangulatum (Miq.) Amsh.
√
√ √ √ √ √ √
√ √ √
√
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
27
pohon
pohon
tiang
pohon
Syzygium zeylanicum (L.) DC. Tarrena fragrans (Blume) Koord. & Val. Timonius flavescens (Jack) Baker Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat. Syzygium sp.2 Syzygium sp.6 Adinandra dumosa Jack Calophyllum cf. ferrugineum Ridl. Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy Chaetocarpus castanocarpus (Roxb.) Thw. Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser Cratoxylum formosum Benth. & Hook.f. ex Dyer Elaeocarpus mastersii King Eugenia densiflora DC. Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. Gynotroches axillaris Blume Ilex cymosa Blume Lophopetalum javanicum (Zoll.) Turcz. Nauclea subdita (Korth.) Steud. Nephelium eriopetalum Miq. Pternandra galeata (Korth.) Ridley Rhodamnia cinerea Jack Schima wallichii (DC.) Korth. Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry Tristania merguensis Griff. Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat. Vaccinium bancanum Miq. Xanthophyllum vitellinum (Blume) Dietr. Syzygium sp.6 Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy Cratoxylum formosum Benth. & Hook.f. ex Dyer Gluta velutina Blume Gordonia excelsa Blume Ilex cymosa Blume Ixonanthes petiolarisBlume Lithocarpus sp. Lophopetalum javanicum (Zoll.) Turcz. Schima wallichii (DC.) Korth. Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat.
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Tiang dan pohon tidak ditemukan di semua umur lahan pasca tambang berumur 0, 7, dan 11, dan 38 tahun. Hanya tercatat tiga jenis tingkat tiang di ladang yang ditinggalkan yakni Syzygium sp.6 (Myrtaceae), Sapium baccatum Roxb. (Euphorbiaceae), dan Artocarpus integer (Thunb.) Merr. (Moraceae). Lima
28
jenis tingkat tiang yang memiliki INP tertinggi di hutan berturut-turut Ilex cymosa Blume (Aquifoliaceae), C. pulcherrimum, A. dumosa, T. whiteana, dan Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry (Myrtaceae). Lima jenis pohon yang memiliki INP tertinggi berturut-turut adalah S. wallichii, T. whiteana, Ilex cymosa Blume (Aquifoliaceae), S. lineatum, dan Cratoxylum formosum Benth. & Hook.f. ex Dyer (Clusiaceae). Pohon hanya ditemukan di hutan. Perbedaan jumlah jenis, jumlah individu, dan jumlah famili di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 dan ladang ditinggalkan dan hutan ditunjukkan pada nilai indeks vegetasi : species richness index (d), evenness index (e), dominance index (D), diversity index (Ĥ), dan similarity index tiap-tiap lokasi penelitian (Tabel 4). Species richness di lahan pasca tambang berumur 7 tahun yakni 0-2.2 meningkat menjadi 0-2.4 di lahan pasca tambang berumur 11 tahun, dan 0-5.3 di lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Species richness yang lebih tinggi tercatat di hutan (6.5-15.3) dan di ladang yang ditinggalkan (0-18.7). Evenness di lahan pasca tambang berumur 7 tahun yakni 0-0.8 menurun menjadi 0-0.6 di lahan pasca tambang berumur 11 tahun, dan meningkat 0-0.9 di lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Nilai indeks kemerataan di hutan tercatat 0.70.9 dan di ladang yang ditinggalkan adalah 0-0.8. Dominance index di lahan pasca tambang berumur 7 tahun adalah 0-0.23 dan menurun pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun yakni 0-0,4 dan meningkat pada lahan pasca tambang berumur 38 yakni 0-1.0. Nilai dominansi jenis tercatat rendah di hutan yakni 0.05-0.15 dan di ladang ditinggalkan adalah 0-0.4. Diversity index di lahan pasca tambang berumur 7 tahun yakni 0-0.6 dan di lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah 0-0.5 dan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 0-1.06. Diversity index tercatat tinggi di hutan yakni 0.9-1.215 dan di ladang ditinggalkan adalah 0-1.4 (Gambar 10).
29
Tabel 4 Species richness, eveness, dominance, dan diversity index dari tingkat semai, sapihan, tiang, dan pohon di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan dan di hutan Lokasi penelitian
Indeks Species richness (d) Evenness (e) Dominance (D) Shannon (Ĥ) Species richness (d) Evenness (e) Dominance (D) Shannon (Ĥ) Species richness (d) Evenness (e) Dominance (D) Shannon (Ĥ) Species richness (d) Evenness (e) Dominance (D) Shannon (Ĥ)
Semai
Sapihan
Tiang
Pohon
0 tahun 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
7 tahun 2.22 0.79 0.23 0.61 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
38 tahun 5.33 0.90 0.09 1.06 0.0 0.0 1.00 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Ladang 18.68 0.82 0.05 1.37 9.77 0.60 0.07 0.88 4.19 0.71 0.36 0.34 0.00 0.00 0.00 0.00
Hutan 15.04 0.77 0.06 1.25 15.31 0.69 0.05 1.13 12.88 0.84 0.12 1.16 6.53 0.87 0.15 0.91
1.0
18
a
16
b 0.8
14 12
E v e n n e s s (e )
S p e c ie s r ic h n e s s (d )
11 tahun 2.38 0.55 0.36 0.46 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
10 8
0.6
0.4
6 4
0.2
2 0
0.0 0
7
11
38
0
Hutan
Semai Sapihan Tihang Pohon
7
11
38
Hutan
Semai Sapihan Tihang Pohon
1.0
1.6
d
c 0.8
S h a n n o n (H )
D o m in a n c e (c )
1.2
0.6
0.4
0.8
0.4 0.2
0.0
0.0 0
7
11
38
Semai Sapihan Tihang Pohon
Hutan
0
7
11
38
Hutan
Semai Sapihan Tihang Pohon
Gambar 10 Indeks vegetasi tingkat semai, sapihan, tiang, dan pohon di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan dan di hutan. (a) species richness index, (b) eveness index, (c) dominance index, (d) diversity index
30
Similarity index antara lahan pasca tambang yang lebih baru ditinggalkan dengan lahan pasca tambang yang lebih lama ditinggalkan atau dengan hutan atau dengan ladang ditinggalkan adalah kecil. Nilai kemiripan vegetasi bawah antara lahan pasca tambang berumur 7 tahun dan lahan pasca tambang berumur 11 tahun 27.8 %, menurun menjadi 18.6 % jika dibandingkan dengan lahan pasca tambang berumur 38 tahun, dan menjadi 17.6 % dengan ladang ditinggalkan, dan 0 % dengan hutan. Nilai kemiripan vegetasi bawah antara lahan pasca tambang berumur 11 tahun dengan lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 15.4 %, menjadi 16.9 % jika dibandingkan dengan ladang ditinggalkan, dan menjadi 0 % dengan hutan. Nilai kemiripan vegetasi bawah antara lahan pasca tambang berumur 38 tahun dan ladang ditinggalkan adalah 19.9 % dan sebesar 1.5 % jika dibandingkan dengan hutan. Nilai kemiripan antara ladang ditinggalkan dengan hutan untuk tingkat sapihan 25 %, tingkat tiang 2.0 % dan tingkat pohon sebesar 0 % (Tabel 5). Tabel 5 Indeks kemiripan antara lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan dan di hutan Lokasi penelitian
Lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun
Lahan pasca tambang timah berumur 7 tahun Lahan pasca tambang timah berumur 11 tahun Lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun Ladang ditinggalkan Hutan Lahan pasca tambang timah berumur 11 tahun Lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun Ladang ditinggalkan Hutan Lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun Ladang ditinggalkan Hutan Ladang ditinggalkan Hutan
Ladang ditinggalkan
Hutan
Lahan pasca tambang timah berumur 0 tahun
Lahan pasca tambang timah berumur 7 tahun
Lahan pasca tambang timah berumur 11 tahun
Tingkat Semai
Sapihan
Tiang
Pohon
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
0 0
0 0
0 0
27.8
0
0
0
18.6
0
0
0
17.6 0
0 0
0 0
0 0
15.4
0
0
0
16.9 0 19.9 1.5
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
13.7
25.0
2.0
0
31
Hubungan antara vegetasi di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun, ladang ditinggalkan dan hutan dengan sifat-sifat fisika dan kimia tanah digambarkan oleh canonical correspondence analysis (CCA) (Gambar 11) dan hubungan kemiripan vegetasi lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38, ladang ditinggalkan dan hutan digambarkan dalam analisis kelompok (Gambar 12). Vegetasi di lahan pasca tambang berumur 7, 11, 38 tahun, ladang ditinggalkan dan hutan lebih jelas digambarkan oleh komponen pasir dibandingkan dengan sifat-sifat fisika dan kimia tanah yang lain. Komponen pasir lebih tinggi di semua lahan pasca tambang timah berbagai umur dibandingkan di ladang ditinggalkan dan hutan. Semakin lama lahan pasca tambang ditinggalkan semakin rendah prosentase pasirnya dan semakin meningkat prosentase debu dan liat. CCA case scores 6.2 5.0 3.7
Axis 2
P2O5 C/NNa
-3.7
NC CEC Mg Al3+ K Silt K2O Clay -2.5 -1.2
Tin-mined land 7
2.5 1.2 Forest
Tin-mined land 38 Abandoned farmed-land Sand Tin-mined land 11 Ca 1.2
-1.2
2.5 pH
3.7
5.0
6.2
B
-2.5 -3.7 Vector scaling: 6.72
Axis 1
Gambar 11 Canonical correspondence analysis antara vegetasi lokasi penelitian: lahan pasca tambang berumur 7 (tin-mined land 7), 11 (tin-mined land 11), dan 38 tahun (tin-mined land 38), ladang ditinggalkan (abandoned farmed-land), dan di hutan (forest) (■) dengan dengan sifat-sifat tanah (panah). Lahan pasca tambang berumur 0 tahun tidak tergambar.
32
Y-38 Y-7 Y-11 Y-0 Lad Hutan
Farthest neighbour
-20
0
20
40
60
80
100
Percent Similarity
Gambar 12 Analisis kelompok vegetasi lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan berdasarkan tingkat kemiripan vegetasi. Vegetasi di hutan memiliki tingkat kemiripan lebih besar dengan vegetasi di ladang ditinggalkan dibandingkan dengan vegetasi di lahan pasca tambang berbagai umur. Di antara semua lahan pasca tambang, lahan pasca tambang berumur 0 tahun paling berbeda dan vegetasi di lahan pasca tambang berumur 7 tahun lebih dekat dengan vegetasi di lahan pasca tambang 11 tahun. Pembahasan Sifat-sifat Tanah, Fungi Mikoriza Arbuskula dan Mikrob Pelarut Fosfat Proses pencucian pasir timah memisahkan sejumlah kecil volum konsentrat butiran pasir yang mengandung biji timah, dan sejumlah besar pasir kuarsa yang disebut tailing pasir. Akibat pencucian, air dengan konsentrat ampas yang berukuran lebih kecil mengendap di lokasi yang lebih jauh dan landai dan endapan yang terjadi sering disebut tailing slime. Timbunan tailing pasir, dan lapisan-lapisan tanah yang tersusun pada akhir penambangan sangat bervariasi tergantung oleh banyak faktor, namun umumnya pasir berada di lapisan atas. Tailing pasir hasil cucian lapisan yang sudah miskin hara, miskin bahan organik, dan hampir dipastikan tidak mengandung soil propagule dan mikro dan meso flora dan fauna itu yang kemudian dilakukan revegetasi. Selama suksesi, terjadi perubahan sifat-sifat fisika dan kimia tanah lahan pasca tambang akibat
33
rekolonisasi alami. Pada suksesi terjadi dekomposisi serasah sehingga terjadi penambahan bahan organik dan hara sehingga menurunkan rasio C/N, menurunnya komponen pasir sehingga mengubah tekstur tanah, meningkatnya komponen debu dan liat, meningkatnya hara yang tercermin pada perbedaan konsentrasi kation dapat ditukar Ca, Mg, K, dan Na, dan KTK. Peningkatan kesuburan tanah secara umum juga dilaporkan pada pengamatan berbagai umur lahan pasca tambang timah di Pulau Singkep (Suciatmih & Sastraatmadja 1998), sekalipun ada nilai parameter yang tidak berbeda dari kecenderungan nilai parameter yang lainnya. Kesuburan ladang ditinggalkan jauh lebih tinggi daripada lahan pasca tambang timah diduga akibat praktek budidaya sebelumnya. Jumlah spora FMA di lahan pasca tambang timah yang rendah pada lahan pasca tambang berumur 0 tahun dan gundul, dan berangsur-angsur meningkat sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang timah ditinggalkan serupa dengan penelitian Badri (2004) di lahan pasca tambang timah di Pulau Singkep. Jumlah populasi FMA per gram tanah di lahan yang masih ditambang, lahan pasca tambang berumur 13 tahun, lahan pasca tambang berumur 26 tahun, dan lahan pasca tambang berumur lebih besar dari 40 tahun masing-masing 4.25, 6.15, 12.75, dan 62.50. Perbedaan jumlah spora FMA pada umur lahan pasca tambang yang semakin lama ditinggalkan diduga terpicu oleh berkurangnya total fosfat di dalam tanah. Berkurangnya total fosfat di dalam tanah dan cekaman kekeringan diduga
meningkatkan
pengaruh
inokulasi
FMA
pada
tanaman
seperti
dikemukakan Abdel-Fattah et al. (2002), sedangkan rendahnya jumlah spora di lahan pasca tambang berumur 0 tahun yang gundul diduga terkait oleh sifat sifat obligat biotrof FMA (Setiadi 2004) yang dimiliki FMA, di samping faktor-faktor lain seperti interaksi FMA dengan mikrob lain yang dilaporkan terjadi pada suksesi lahan reklamasi (Johansson et al. 2004). Berbagai faktor termasuk kesesuaian inang dan waktu pengambilan contoh memungkinkan hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian serupa di lahan pasca tambang timah berumur antara 10 – 25 tahun di Pulau Singkep (Suciatmih 1998). Rendahnya jumlah spora FMA di lahan berumur 0 tahun dan tidak ada vegetasi juga dilaporkan di lahan tambang lain (Totola & Borges 2000). Total spora di lahan pasca tambang emas sebesar 4.6/jenis dari tiga jenis, sedangkan
34
total spora di hutan yang belum ditambang adalah 85.6/jenis dari 8 jenis (Hidayati et al. 1999). Semakin lama lahan pasca tambang ditinggalkan semakin besar jumlah jenis dan keragaman tumbuhan yang bertindak sebagai inang FMA dan semakin meningkat peluang jumlah spora dihasilkan. Dominasi Glomus (44-100 %) di lahan pasca tambang yang antara lain memiliki ciri lingkungan berpasir dan kering, menyerupai hasil penelitian di lahan kering dan masam di Sulawesi Tenggara bahwa genus Glomus mendominasi lahan tersebut dibandingkan dengan Scutellospora, Acaulospora, dan Gigaspora (Husna 2004). Hasil penelitian ini memberi peluang penggunaan jenis dari genus ini sebagai inokulum potensial bagi pembenahan tailing pasir karena kesesuaian genus ini dengan inang yang tumbuh di lahan pasca tambang timah. Sebaliknya populasi MPF yang menunjukkan penurunan sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang ditinggalkan dengan populasi MPF terkecil tercatat pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun (1.3 x 105) diduga juga terkait dengan penurunan total fosfat sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang ditinggalkan. Konsentrasi fosfat P2O5 pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun sebesar 239 mg 100g-1, dan turun 43 mg 100g-1 pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, dan turun menjadi 18 mg 100g-1 tanah pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Tingginya populasi MPF sementara konsentrasi total fosfat yang rendah yakni 18 mg 100g-1 tanah di lahan pasca tambang berumur 0 tahun diduga karena hot spot yang lebih diakibatkan oleh proses penambangan yang tidak sama; diduga ada lapisan tanah yang mengandung MPF lebih banyak terletak pada beberapa titik akibat letak cadangan timah yang tidak sama. Diduga menurunnya total fosfat karena semakin besarnya penyerapan fosfat oleh vegetasi yang semakin beragam pada lahan pasca tambang yang semakin lama ditinggalkan. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Suciatmih (1998) di lahan pasca tambang timah di Pulau Singkep yakni dengan semakin lamanya lahan pasca tambang ditinggalkan, populasi MPF semakin besar. Kisaran jumlah koloni MPF di lahan pasca tambang yakni 1-20.7 x 105 c g-1 tanah di bawah hasil penelitian Suciatmih (1998) sebesar 50 x 105 di lahan pasca tambang berumur lebih dari 25 tahun di Pulau Singkep, namun masih berada pada kisaran
35
yang ditemui di segala jenis tanah yakni antara 104-107 c g-1 tanah (Souchie et al. 2006). Suksesi Keterkaitan tingkat kesuburan tanah tercermin pada komposisi dan struktur vegetasi lokasi penelitian. Lingkungan lahan pasca tambang timah antara lain porositas yang tinggi, temperatur permukaan tailing yang tidak stabil dan mencapai sekitar 42 oC dan kelembaban yang rendah di siang hari, dan luasnya tailing pasir menyebabkan area tailing pasir semakin rentan akan hembusan angin yang kencang sehingga berpengaruh pada evapotranspirasi tumbuhan, menjadikan lingkungan yang tidak mendukung optimal pertumbuhan tanaman. Lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman menghalangi rekolonisasi alami. Pada suksesi alami, peningkatan kesuburan tanah diikuti dengan jumlah jenis, jumlah individu, dan jumlah famili yang mampu tumbuh dan mendominasi lahan pasca tambang timah. Jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi paling baik di lahan pasca tambang yang baru ditinggalkan adalah jenis rumput-rumputan dari famili Cyperaceae dan Poaceae. Dengan semakin lamanya suksesi alami lahan pasca tambang timah, bentuk hidup herba, semak dijumpai. Pada keadaan klimaks seperti hutan, jenis-jenis rumput tidak dijumpai karena telah terjadi stratifikasi tumbuhan yang menghalangi cahaya matahari di lantai hutan. Sebaliknya di hutan tercatat bentuk hidup liana dan climber karena tingkat kesuburan tanah yang lebih tinggi, keberadaan pohon dan kompetisi akan cahaya di antara jenis-jenis tumbuhan di hutan. Jumlah jenis dan jumlah individu dari masing-masing bentuk hidup meningkat sejalan dengan semakin lamanya suksesi alami berjalan. Jumlah jenis rumput di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun berturut-turut sebesar nol, empat, lima, dan empat jenis dengan beberapa jenis di antaranya sama. Bentuk hidup herba baru tercatat pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun yakni satu jenis dan meningkat menjadi empat jenis di lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Jumlah jenis herba ini masih sangat lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah jenis herba di hutan. Hal ini juga menunjukkan perbedaan ekosistem yang demikian besar. Jenis-jenis pohon pada tingkat semai sebanyak
36
tiga jenis dan tingkat sapihan sebanyak satu jenis baru tercatat pada lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun, sekalipun jumlah jenis dan jumlah individu masih jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah jenis dan jumlah individu di hutan. Hal ini menunjukkan bahwa suksesi alami di lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun telah mampu ditumbuhi oleh jenis pohon walaupun baru ditemukan satu jenis di tingkat sapihan. Hampir semua jenis vegetasi bawah di hutan tidak ditemukan di semua lahan pasca tambang. Di lain pihak, hal ini dapat diartikan bahwa sampai dengan umur lahan 38 tahun lahan pasca tambang timah masih jauh tingkat kemiripan kesuburan tanahnya dengan hutan. Indeks kemiripan vegetasi bawah antara hutan dan lahan pasca tambang berumur 38 tahun tercatat 1.5 %. Sangat lambatnya suksesi alami sampai dengan lahan pasca tambang berumur 38 tahun diduga sebagai konsekuensi atas rendahnya hara, rendahnya bahan organik, rendahnya pH dan kapasitas simpan air (Kielhorn et al. 1999), seperti dilaporkan di Pulau Singkep dan berdasarkan diduga dibutuhkan waktu 150 tahun bagi lahan pasca tambang timah menjadi hutan kerangas seperti sedia kala (Elfis 1998). Masih sulit diduga laju suksesi yang terjadi dalam sepuluh tahun mendatang memperhatikan similarity index vegetasi bawah antara lahan pasca tambang berumur 38 tahun dan hutan dan memperhatikan hanya ada satu jenis tumbuhan di tingkat sapihan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Diduga proses suksesi alami yang diamati dalam penelitian ini masih merupakan bagian awal dari suksesi alami menuju ke keadaan sediakala. Karenanya data suksesi alami di lahan pasca tambang berumur lebih dari 38 tahun diperlukan untuk merekonstruksi suksesi alami di lahan pasca tambang timah. Namun, memperhatikan penambangan timah yang berulang-ulang termasuk penambangan tanpa izin, baik karena peningkatan harga jual timah dunia maupun perkembangan teknologi penambangan di kemudian hari, upaya pengamatan suksesi alami lebih lama dari 38 tahun diduga sulit tercapai. Laju suksesi alami dapat lebih lambat dari yang diperkirakan jika terjadi gangguan di lahan sekitar yang berfungsi sebagai sumber biji, misalnya akibat pengalihan fungsi hutan untuk pemukiman dan pertambangan, pemanfaatan yang berlebihan, atau kebakaran hutan.
37
Pada lahan pasca tambang yang baru ditinggalkan jumlah jenis lebih sedikit dan ditunjukkan dengan nilai species richness lebih kecil. Lahan pasca tambang lebih lama ditinggalkan dimana lingkungan lebih mendukung pertumbuhan lebih banyak jenis dan dengan jumlah individu lebih besar seperti halnya di ladang ditinggalkan dan di hutan, karenanya evenness index semakin besar. Konsentrasi dan distribusi jenis tumbuhan yang semakin besar di lingkungan yang semakin mendukung lebih banyak jenis tumbuhan ditunjukkan oleh dominance index menjadi semakin kecil dari 1.0. Nilai dominansi jenis tercatat rendah di hutan yakni 0.03-0.15 karena terdapat banyak sekali jenis tumbuhan dengan lebih merata populasi per jenisnya. Semakin lama lahan pasca tambang timah ditinggalkan yang diikuti dengan semakin meningkatnya kesuburan lahan mendukung lebih banyak jenis tumbuhan tumbuh di lingkungan tersebut. Semakin meningkatnya jumlah jenis tumbuhan ditunjukkan dengan semakin besarnya diversity index. Diversity index lahan pasca tambang berumur 0 tahun adalah 0, dan berumur 7 tahun berkisar 0-0.6 untuk semua tingkat pertumbuhan, dan di hutan berkisar 0.9-1.5. Pola suksesi alami di lahan pasca tambang timah ditunjukkan oleh perubahan jenis dan bentuk hidup tumbuhan. Pada lahan pasca tambang yang baru saja ditinggalkan tidak ada jenis tumbuhan apa pun, kemudian pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun, empat jenis rumput dari famili Cyperaceae dan Poaceae terutama F. pauciflora (Cyperaceae), Imperata cylindrica (Poaceae) lebih mendominasi
dibandingkan
dua
jenis
semak
M.
malabatrichum
(Melastomataceae) dan E. inulaefolium (Asteraceae). Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, lima jenis rumput (E. chariis, F. pauciflora, I. cylindrica, P. conjugatum, dan S. levis) masih mendominasi sekalipun tercatat satu jenis herba (B. balsamifera), dan dua jenis semak (C. bartramia dan M. malabatrichum). Pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun, dominasi empat jenis rumput (E. pallescens, F. pauciflora, Ischaemum sp., dan S. levis) jauh berkurang dan digantikan terutama oleh dominasi semak (R. tomentosa) di samping tercatat lima jenis semak lain yakni Crotalaria sp., D. suffruticosa, E. inulaefolium, M. malabatrichum, dan Anonim sp.17 (Myrtaceae). Jenis rumput pun mengalami perubahan dari lahan pasca tambang berumur 7, dan 11 tahun. Hanya F.
38
pauciflora yang tetap tercatat di lahan pasca tambang berumur 7, 11, dan 38 tahun dan diduga jenis ini lebih memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan jenis-jenis rumput yang lain. Dominasi tunggal jenis rumput ini tercatat pada satu hamparan tailing timah yang diduga lebih mengandung tailing slime di lahan pasca tambang di Sungailiat. Pionir di lahan pasca tambang timah yang lebih baru ditinggalkan akan digantikan oleh jenis yang lain sejalan dengan meningkatnya kesuburan tanah, seperti jenis pionir di tailing pasir pun berbeda dengan pionir tailing slime karena perbedaan sifat fisika dan kimia kedua jenis tailing itu. Palaniappan (1974) di Malaysia mencatat perbedaan jenis yang mendominasi tailing pasir seperti Ischaemum muticum, dan F. pauciflora dan tailing slime seperti Phragmites karka, dan Fimbristylis miliacea.. Dari antara empat jenis rumput, E. pallescens dan Ischaemum sp. lebih mendominasi dibandingkan dua jenis rumput yang lain. Selain itu bentuk hidup di lahan pasca tambang berumur 38 tahun lebih banyak yakni tercatatnya tingkat semai dan tingkat sapihan dari tiga jenis pohon (S. wallichii, T. orientalis, dan V. pinnata), dan jumlah jenis herba menjadi tiga (Glechenia sp., Nephentes sp.1, dan Anonim sp.3). Tahap suksesi pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun diduga masih jauh sekali dengan hutan klimaks berdasarkan komposisi dan struktur vegetasinya. Di hutan bentuk hidup jauh lebih kompleks dengan tercatatnya dua jenis liana, dua jenis climber, dan semua tingkatan pohon di samping herba dan semak, kecuali jenis rumput. Berpijak pada pola suksesi alami, jenis tumbuhan bagi revegetasi lahan pasca tambang timah yang baru ditinggalkan adalah jenis-jenis rumput dari famili Cyperaceae dan Poaceae. Suksesi dapat dipercepat dengan bantuan manusia yakni dengan pemilihan jenis yang sesuai dan pembenahan tanah yang tepat. Pemilihan jenis semak dari famili Melastomataceae dan Myrtaceae seperti dari penelitian ini, atau pohon kecil (Rhodamnia sp.) seperti disarankan oleh van Steenis (Whitten et al. 2000), atau pohon seperti Fagraea fragans dan Casuarina equisetifolia (Mitchell 1957) akan lebih membutuhkan upaya pembenahan tanah lebih besar dan teknik budidaya yang lebih kompleks untuk memanipulasi lingkungan. Terkait dengan tiga genera yang adalah semak dan pohon: Ploiarium, Rhodamnia, dan Rhodomyrtus, yang disarankan oleh van Steenis (Whitten et al. 2000) perlu
39
dicermati kondisi lahan karena Ploairium adalah jenis yang beradaptasi di tanah yang lebih memiliki bahan organik dan air lebih tinggi karenanya diduga kuat jenis dari genus ini tidak akan mampu bertahan hidup di tailing pasir. Penelitian Setyowati-Indarto (1988) menyebut bahwa Ploiarium alternifolium (Vahl) Melch. (Theaceae) termasuk jenis yang tumbuh di lahan pasca tambang timah yang dekat dengan air di Pulau Singkep. Adapatasi xerofitik tampaknya dibutuhkan sebagai bagian dari kriteria pemilihan jenis. Vegetasi Padang, yang dipandang sebagai bentuk degradasi dari hutan kerangas yang telah mengalami regenerasi alami (Whitten et al. 2000), diduga potensial sebagai lokasi sumber jenis seperti Baeckea frutescens L. (Myrtaceae). Anggota-anggota dari famili Myrtaceae disebut mendominasi hutan kerangas (MacKinnon et al. 1996) dengan ciri sclerophyllous dan sclerocarpous–nya (van Steenis 1932). Jenis dari hutan pantai campuran seperti Calophyllum inophyllum (penaga atau nyamplung) (Clusiaceae) dan Hibiscus tiliaceus (waru laut) (Malvaceae), yang keduanya termasuk formasi Barringtonia (Whitten et al. 2000), diduga potensial juga karena berbagai kemiripan ekosistem dengan lahan pasca tambang. Pemilihan atas dasar kategori pionir awal seperti T. orientalis, Mallotus paniculatus (Lmk) M.A. (Euphorbiaceae), Macaranga gigantea Reichb.f.&Zoll. (Euphorbiaceae),
Macaranga
triloba
(Bl.)
Muell.Arg.
(Euphorbiaceae),
Macaranga hypoleuca (Reichb.f.&Zoll.) Muell.Arg. (Euphorbiaceae) (Cheah 1995) dan Litsea sp. (Lauraceae) (Kanzaki M 2004, komunikasi pribadi), maupun pionir akhir seperti Scapium sp. (Sterculiaceae), Dyera spp. (Apocynaceae), dan Endospermum sp. (Euphorbiaceae) (Cheah 1995) dan Vitex pubescens (Verbenaceae) (Kanzaki M 2004, komunikasi pribadi) tidak akan cukup untuk merevegetasi setiap kondisi lahan terganggu dan setiap tahapan lahan pasca tambang timah. Demikian juga saran pemanfaatan vegetasi tematik sebagai panduan mengindentifikasi jenis lokal untuk merevegetasi tailing timah (Roemantyo et al. 2004) perlu dicermati.
40
Kesimpulan Aktivitas
penambangan
timah
meningkatkan
komponen
pasir
dan
menurunkan komponen debu dan liat, menurunkan konsentrasi hara, KTK, dan meningkatkan rasio C/N. Perubahan bentang alam yang meninggalkan hamparan tailing tidak bervegetasi menyebabkan lingkungan memiliki temperatur udara dan permukaan tanah dan kelembaban udara dan kelembaban tanah tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Pola suksesi alami di lahan pasca tambang timah ditunjukkan oleh perubahan jenis dan bentuk hidup tumbuhan. Pada lahan pasca tambang yang baru saja ditinggalkan tidak ada jenis tumbuhan apa pun, kemudian pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun, empat jenis rumput dari famili Cyperaceae dan Poaceae terutama F. pauciflora (Cyperaceae), Imperata cylindrica (Poaceae) lebih mendominasi dibandingkan dua jenis semak. Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, lima jenis rumput (E. chariis, F. pauciflora, I. cylindrica, P. conjugatum, dan S. levis) masih mendominasi sekalipun tercatat satu jenis herba, dan dua jenis semak. Pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun, dominasi empat jenis rumput jauh berkurang dan digantikan terutama oleh dominasi semak (R. tomentosa) di samping tercatat lima jenis semak lain. Jenis rumput pun mengalami perubahan dan hanya F. pauciflora yang tetap tercatat, serta E. pallescens dan Ischaemum sp. lebih mendominasi dibandingkan dua jenis rumput yang lain. Selain itu bentuk hidup di lahan pasca tambang berumur 38 tahun lebih banyak yakni tercatatnya tingkat semai dan tingkat sapihan dari jenis tiga jenis pohon (S. wallichii, T. orientalis, dan V. pinnata), dan jumlah jenis herba menjadi tiga. Tahap suksesi pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun diduga masih jauh sekali dengan hutan berdasarkan komposisi dan struktur vegetasinya. Hasil penelitian suksesi bagi pemilihan jenis tanaman pada penelitian revegetasi adalah jenis lokal yang memiliki habitus pohon yakni S. wallichii, T. orientalis, dan V. pinnata. Tanah di bawah R. tomentosa dipergunakan sebagai salah satu soil propagule bagi penelitian revegetasi. Jenis tumbuhan lain dengan habitus pohon dapat dipilih sejauh jenis tersebut memiliki sifat xerofitik dan ditemukan di lingkungan yang memiliki kemiripan dengan lingkungan lahan
41
pasca tambang timah yang terbuka dan relatif tidak bervegetasi, berpasir, miskin hara dan bahan organik, dan panas. Padang dan formasi Barringtonia dari hutan pantai campuran diduga dapat menjadi sumber jenis tanaman, dan soil propagule di bawah tegakan B. frutescens. Hasil analisis tanah dan mikroklimat yang tidak mendukung pertumbuhan mendorong perlunya pembenahan tanah dan satu paket teknik budidaya untuk memanipulasi lingkungan.
3 REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH
Pendahuluan Di samping beberapa jenis tumbuhan yang memiliki habitus pohon untuk tanaman revegetasi dan soil propagule di bawah R. tomentosa, hasil penelitian suksesi bagi revegetasi lahan pasca tambang timah adalah perlunya pembenahan tanah karena lahan pasca tambang memiliki tekstur pasir, dan konsentrasi hara makro khususnya fosfat dan kalium yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman rendah akibat penambangan timah. Bahan organik tanah (C dan N) berkurang dan karenanya meningkatkan rasio C/N, hara makro dan kapasitas tukar kation menurun, dan kejenuhan basa meningkat. Di samping itu populasi mikrob pelarut fosfat dan cendawan mikoriza arbuskula menurun. Sekalipun demikian, tidak dilaporkan adanya keracunan, dan konsentrasi Sn, Pb, dan Cu di tailing timah dilaporkan aman bagi tanaman (PPTA 1996). Kandungan logam berat Fe, Mn, Cu, dan Pb masih di bawah kandungannya masing-masing di lahan tidak terganggu, sedangkan kandungan Co, Cd, dan Cr di tailing berumur 1 sampai 25 tahun tidak terukur (Kusumastuti 2005). Manipulasi lingkungan perlu dilakukan seperti dengan pemberian mulsa baik mulsa hidup dan mati, top soil sebagai sumber biji (seed bank), percepatan penutupan permukaan tailing oleh tajuk dengan model tanam permata, dan perbaikan tekstur dan rendahnya hara perlu dengan penambahan bahan organik dan tanah mineral. Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan metode yang cocok bagi pembenahan tailing timah, namun sejauh ini dipandang belum ada teknik pembenahan tanah yang cocok (Ang et al. 2003a). Standar revegetasi tailing pasir timah di Bangka telah dilaksanakan sejak 1993 dengan jenis eksotik terutama A. mangium (Nurtjahya 2001), jenis yang dinilai kurang bijaksana untuk tujuan restorasi (Lamb & Tomlinson 1994) karena anakan yang mendominasi lokasi pertumbuhan menghambat rekolonisasi alami. Disadari juga bahwa tanaman lokal cenderung kurang responsif terhadap perlakuan dan menunjukkan pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan jenis pionir eksotik.
43
Dalam skala penelitian, berbagai bahan dan bahan organik telah dicoba untuk meningkatkan kualitas fisika dan kimia tanah (Puryanto 1983; Awang 1988; Sastrodihardjo 1990; Schroeder 1996; Naning et al. 1999; Bendfeldt et al. 2001; Nurtjahya 2001; Setiadi 2002a) termasuk kompos dengan bahan utama dari berbagai jenis ternak (Siagian & Harahap 1981; Abdullah S 2001, komunikasi pribadi), dan penanaman mulsa hidup seperti Calopogonium mucunoides Desv. (kacang asu) dan Centrosema pubescens Bth. (Madjid et al. 1994; CBR 2002). Untuk meningkatkan pH tanah, dosis kapur yang dipraktekkan selama ini adalah 500 g untuk setiap lubang tanam di tailing pasir berukuran sekitar 60 cm x 60 cm x 60 cm (Nurtjahya 2001). Untuk memperbaiki mikroklimat dan kondisi tanah yang kurang mendukung, penelitian model tanam permata dilaporkan (Rachmawati et al. 1996). Penanaman dengan jumlah jenis lebih dari 60 jenis di lahan pasca tambang dilaporkan (Parrotta & Knowles 2001; Bell 2001) dengan kerapatan tanam yang tinggi 2500 semai ha-1 (Parrotta & Knowles 2001). Dalam skala percobaan 0.2 ha, kerapatan tanam 10000 semai ha-1 telah dilaporkan (Norisada et al. 2005), sementara standar kerapatan tanam di lahan pasca tambang timah di Pulau Bangka 4 m x 4 m (625 semai ha-1) dengan mayoritas satu jenis eksotik A. mangium. Pengelolaan top soil yang baik adalah penting bagi fauna tanah, siklus hara, dan perkembangan biodiversitas pada tailing (Parrotta JA 2003, komunikasi pribadi), dan perannya sebagai bank biji pada revegetasi tailing Pb dan Zn telah dilaporkan (Zhang et al. 2001). Demikian juga tanah di bawah vegetasi Padang, tanah di bawah hutan dataran rendah di dekat pantai, dan tanah di bawah vegetasi R. tomentosa disarankan sebagai sumber biji atau semai (soil propagule), karena semak dari kelompok suksesi awal merupakan salah satu strategi yang murah untuk mempercepat pemulihan lahan (ITTO 2002). Suksesi di lahan pasca tambang timah berjalan lambat. Regenerasi alami di lahan pasca tambang timah berumur 7 tahun diawali oleh jenis dari famili Cyperaceae, Poaceae, dan Melastomaceae; dan diikuti oleh herba dari famili Asteraceae dan Poaceae pada umur 11 tahun; kemudian oleh semak dari famili Myrtaceae, dan Poaceae pada umur 38 tahun.
44
Jenis lokal terpilih, termasuk pohon, diharapkan mempercepat suksesi alami. Penentuan jenis tanaman tidak cukup berdasarkan predikat kepioniran awal atau akhir (Cheah 1995; Kanzaki M 2004, komunikasi pribadi), atau kemampuan jenis beradaptasi pada berbagai tingkat kerusakan lahan (Slik 2001), namun juga non pionir dan katalitik dan adaptasi xerofitik. Kandidat jenis lokal harus memiliki adaptasi di tailing pasir yang kering, porous, miskin hara, dan dapat memiliki temperatur tanah mencapai 43 oC antara jam 12.00-14.00, dan rentan terkena angin yang kencang sewaktu-waktu, dan rentan terhadap angin panas di siang hari. Jenis pionir yang beradaptasi pada lingkungan berair, seperti Melaleuca leucadendron L. (Myrtaceae), dan beberapa Macaranga spp. tidak cocok untuk merevegetasi tailing pasir. Jenis-jenis yang menginvasi lahan pasca tambang timah di Bangka yang didaftar (Latifah 2000; Setiawan 2003) dapat menjadi pertimbangan. Penentuan lokasi sumber biji bercermin pada kemiripan lokasi sumber biji dengan lingkungan tailing pasir. Vegetasi padang dan formasi Barringtonia dari hutan pantai campuran dapat menjadi sumber jenis tanaman. Hutan kerangas dipandang sebagai vegetasi potensial untuk tanah berpasir (Norisada et al. 2005). Untuk mengevaluasi program restorasi, ada beberapa indikator: survival (ketahanan hidup), pertumbuhan tanaman, pertumbuhan akar, tajuk, produksi serasah, rekolonisasi jenis lokal, dan perbaikan habitat (Setiadi 2002b), dengan survival dianggap indikator silvikultur yang paling penting sampai dengan dua tahun untuk menguji kemampuan bersaing dengan gulma (Lamb & Tomlinson 1994), dan Primer yang diterbitkan oleh Society of Ecological Restoration International (Ruiz-Jaen & Aide 2005a). Indikator lain adalah komposisi dan ukuran vegetasi, integrity of rip-lines, indeks siklus hara, dan kompleksitas habitat (Ludwig et al. 2003), landscape function analysis (Tongway et al. 2001; Setyawan et al. 2003), bacterial functional redundancy (Yin et al. 2000), pulihnya populasi burung (Passell 2000), dan populasi semut (Andersen & Sparling 1997). Bioindikator kesuburan tanah Collembola (Hopkin 1997; Greenslade & Vaughan 2003; Suhardjono 2004) sebagai bagian dari komunitas fauna tanah telah dilaporkan dalam evaluasi restorasi lahan (Williams 1993; Cullen & Wheater 1993; Jansen 1997; Webb et al. 2000; Jandl et al. 2003), namun belum pernah
45
dilaporkan secara tunggal sebagai indikator keberhasilan revegetasi, apalagi revegetasi lahan pasca tambang timah (Ang L-H, 2007 komunikasi pribadi). Untuk mengevaluasi keberhasilan revegetasi lebih teliti (Ruiz-Jaen & Aide 2005b) paduan evaluasi pertumbuhan tanaman di atas permukaan tanah, perubahan sifat-sifat tanah di bawah permukaan tanah, dan populasi fauna tanah, pengukuran temperatur udara, temperatur tanah, dan kelembaban tanah dipilih. Di samping itu, potensi mesofauna tanah sebagai indikator keberhasilan revegetasi pun perlu ditelaah untuk memperkaya parameter keberhasilan revegetasi. Tujuan penelitian adalah mengetahui pertumbuhan sepuluh jenis pohon lokal terpilih pada berbagai kerapatan tanam dan perlakuan tanah pada tailing pasir. Penelitian ini diharapkan mengidentifikasi praktek budidaya yang paling mendukung pertumbuhan sepuluh pohon lokal terpilih dan yang paling mendukung rekolonisasi alami demi memperkaya pengembangan strategi yang efektif penanaman di lahan pasca tambang timah bagi pemulihan hutan kembali dengan beragam jenis pohon lokal dalam waktu sesingkat mungkin dimana dana dan tenaga profesional terbatas.
Bahan dan Metode Lokasi penelitian Lahan pasca tambang (eks Tambang Besar – TB 1.2) yang berumur nol tahun dan gundul seluas 2 ha dan pernah dioperasikan oleh PT Tambang Timah, terletak di Desa Riding Panjang (30 m d.p.l.), Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (01o 59' 53.46"LS dan 106o 06' 45.32"BT) (Gambar 13). Lokasi tersebut pertama kali ditambang di zaman kolonial Belanda sekitar tahun 1941. Tanah di sekitar termasuk tanah podzolik merah kuning yang masam. Sebelum ditambang ulang pada tahun 1997, vegetasi lokasi penelitian adalah vegetasi rawa (Kusmah 2005). Pemilihan jenis Tiga jenis pohon yang tingkat semainya ditemukan pada tailing berumur 38 tahun, yakni S. wallichii, T. orientalis, dan V. pinnata dipilih. Berdasarkan
46
kecukupan jumlah semai di nursery, hanya S. wallichii dan V. pinnata yang dipilih pada penelitian revegetasi. Tiga belas jenis yang lain dipilih atas dasar kemiripan habitat dengan lingkungan tailing pasir yang kering, porous, miskin hara, dan rentan terhadap temperatur udara panas, dan rentan terhadap angin kencang. Berdasarkan pertumbuhan semai di nursery, hanya delapan jenis yang dipilih pada penelitian revegetasi di samping dua jenis yang ditemukan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Jumlah jenis yang digunakan pada penelitian revegetasi adalah sepuluh. Sepuluh jenis pohon lokal terpilih (Tabel 6): Calophyllum inophyllum L. (Clusiaceae) (11.7 %), S. wallichii (6.3 %), Syzygium grande (Wight) Walp. (Myrtaceae) (17.9 %), Ficus superba Miq. (Moraceae) (15.2 %), V. pinnata (20.6 %), Hibiscus tiliaceus L. (Malvaceae) (9.9 %), Syzygium polyanthum (Wight) Walp. (Myrtaceae) (9.0 %), M. paniculatus (3.1 %), Aporosa sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %), dan Macaranga sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %). C. inophyllum dan H. tiliaceus mewakili formasi Barringtonia (Backer dan van den Brink 1965; Partomihardjo et al. 2004) yang toleran terhadap garam, tanah yang miskin hara, dan kekeringan musiman (Whitten et al. 2000). Calophyllum dan Syzygium termasuk jenis yang umum dijumpai walaupun bukan jenis yang dominan di padang di Bangka (Whitten et al. 2000). S. grande tumbuh di tempat terbuka di kaki bukit yang berpasir, dan dekat pantai. Macaranga sp. dan M. paniculatus adalah jenis pionir awal. S. wallichii dan V. pinnata adalah jenis pionir akhir yang tingkat semainya ditemukan di lahan tailing berumur 38 tahun. F. superba beradaptasi pada lahan yang berpasir dan berbatu dan angin laut. Aporosa sp. umum mendominasi lahan terbuka dan relatif kering. S. polyanthum adalah jenis katalitik. Lokasi sumber biji adalah hutan dataran rendah, formasi Barringtonia di hutan pantai campuran, ladang yang ditinggalkan, di samping melakukan konsultasi dengan beberapa peneliti dan pustaka. Survai biji dilaksanakan pada bulan Mei 2004 dan mulai bulan Juni 2004, tergantung dari ketersediaan biji di lapang.
47
Tabel 6 Komposisi jenis pada kerapatan tanam 1 m x 1 m, 2 m x 2 m, dan 4mx4m No 1
Jenis Calophyllum inophyllum
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Schima wallichii Syzygium grande Ficus superba Vitex pinnata Hibiscus tiliaceus Syzygium polyanthum Mallotus paniculatus Aporosa sp Macaranga sp. Jumlah N = jumlah individu
Nama lokal Penaga, nyamplung Seruk Ubak Rengkat Leban Waru /baru Salam Balik angin Pelangas Mahang
1mx1m
2mx2m
4mx4m
N
%
N
%
N
%
Total 45 petak N %
17
10.4
7
15.2
2
14.3
390
11.7
7 31 25 40 18 16 3 3 3 163
4.3 19.0 15.3 24.5 11.0 9.8 1.8 1.8 1.8 100.0
5 7 7 5 3 3 3 3 3 46
10.9 15.2 15.2 10.9 6.5 6.5 6.5 6.5 6.5 100.0
2 2 2 1 1 1 1 1 1 14
14.3 14.3 14.3 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 7.1 100.0
210 600 510 690 330 300 105 105 105 3,345
6.3 17.9 15.2 20.6 9.9 9.0 3.1 3.1 3.1 100.0
Persiapan semai Semai dipersiapkan di pembibitan yang terletak pada ketinggian 30 m d.p.l., di Sungailiat atau 17 km lokasi penanaman (01o 51' 49.0" LS dan 106o 07' 09.5"BT). Hampir semua biji dari 16 jenis lokal (kemudian akan dipilih 10 jenis) dikoleksi dari Pulau Bangka, kecuali C. inophyllum dari Pulau Belitung. Biji disemai di kotak-kotak kayu berukuran 1 m x 1 m yang berisi pasir putih yang telah diayak. Kotak persemaian berada di dalam rumah berukuran 5 m x 5 m, beratap dan berdinding daun nipah yang dilapis dengan plastik transparan. Rumah persemaian memiliki rata-rata kelembaban udara 76 % dan rata-rata temperatur udara 30.4 oC (Gambar 14). Tiap kotak berisi biji dari satu jenis yang sama. Sebelum disemai, biji direndam dalam larutan asam humat 1 % (v/v) selama 2-6 jam. Untuk mempercepat perkecambahan, kulit buah V. pinnata dikupas dengan tangan di dalam air tawar. Tercatat pula bahwa perendaman buah V. pinnata dalam air panas selama 20 menit memberikan perkecambahan yang lebih cepat. Umumnya setelah satu sampai dua minggu perkecambahan, semai yang telah memiliki tiga helai daun masing-masing dipindahkan ke polibag berdiameter 10 cm dan tinggi 25 cm. Satu bulan setelah pemindahan di polibag, semai disemprot dengan pupuk daun Hyponex (red) 0.25 g l-1 setiap tiga minggu. Pemilihan jenis
48
dilakukan di pembibitan berdasarkan atas pertumbuhan dan ketersediaan bibit bagi perlakuan penanaman di lapang. Pada bulan Maret 2005 semai yang berumur 3-8 bulan, dengan ketinggian sekurang-kurangnya 35 cm dipindahkan ke bedeng aklimatisasi di lokasi penanaman. Semai diaklimatisasi di bedeng beratap daun nipah selama tiga minggu sebelum ditanam. Persiapan lahan Lokasi penanaman diratakan secara bertahap oleh excavator PT Tambang Timah sejak kuartal terakhir tahun 2004 hingga akhir bulan Januari 2005. Lokasi penanaman dipetakan untuk mengetahui kontur lokasi dan kemudian dibuat petakpetak. Tiap petak berukuran 12 m x 12 m, dengan jarak antar petak 2 m. Lubang tanam berukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm dan tersusun berdasarkan model tanam permata atau alternating rip. Tiap petak diberi pagar dari papan mengelilingi petak dan diletakkan sekitar 10 cm lebih tinggi dari permukaan tailing untuk menahan agar tanah di dalam petak tidak tercampur dan runtuh. Di dalam lokasi penanaman digali parit kecil berukuran lebar 40 cm dan kedalaman 40 cm untuk mengurangi terjadinya kontaminasi silang antar petak. Di sekeliling lokasi penelitian, digali parit berukuran lebih besar, lebar 80 cm dan kedalaman 50 cm untuk menghindari aliran air dari luar lokasi penelitian. Hampir semua persiapan lahan, pembuatan lubang tanam, penggalian parit berukuran kecil di dalam lokasi penanaman, pemagaran petak, pengisian lubang tanam dikerjakan oleh kelompok sepak bola kaum muda desa setempat (Gambar 15). Ke dalam setiap lubang tanam diisikan media tanam yakni 30 l tanah mineral dan 7 l kompos. Kompos dipersiapkan di lokasi penggemukan sapi sekitar 1 km dari lokasi penelitian. Kompos dibuat dari bahan dasar serbuk gergaji dan kotoran sapi dengan perbandingan 1:1, dengan inokulum Primadec. Tanah mineral diambil dari kaki bukit di dusun Rebo, sekitar 9 km dari lokasi penanaman, di bawah tegakan T. orientalis, S. wallichii, R. tomentosa, dan Rhodamnia cinerea L. (Myrtaceae). Tanah mineral mengandung debu 6 %, liat 35 %, pH = 4.7, C/N = 13, Ca = 0.15 cmol(+) kg-1, Mg = 0.05 cmol(+) kg-1, K = 0.01 cmol(+) kg-1, Na = 0.05 cmol(+) kg-1, KTK = 1.2. Kompos yang dibuat memiliki
49
pH = 7.8, C/N = 28, N total = 0.45 %, P2O5 = 0.23 %, K2O = 0.32 %, Cu = 4 ppm, Zn = 31 ppm, dan Co = 1.9 ppm. Rancangan percobaan Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan dua faktor: kerapatan tanam dan perlakuan tanah. Tiga level kerapatan tanam (J) adalah: 1 m x 1 m (J1, 10000 semai ha-1), 2 m x 2 m (J2, 2500 semai ha-1), dan 4 m x 4 m (J3, 625 semai ha-1). Lima level perlakuan tanah (T) adalah kontrol (T1), dipupuk dengan 500 g tepung tailing slime di bawah Lepironia articulata Rich. (T2), ditanami dengan LCC yakni C. mucunoides dan C. pubescens 30 kg ha-1 dengan perbandingan 1:1 pada 6 baris setiap petak (T3), ditanami dengan LCC dan disiram dengan 1 l larutan asam humat 2.5 % (v/v) (T4), dan ditanami dengan LCC dan top soil dalam tiga baris per petak (T5).
50
Pulau Bangka
Gambar 13 Pulau Bangka dan lokasi penelitian di Desa Riding Panjang (●). Digitasi garis pantai dari peta Provinsi Kepulauan Bangka Belitung skala 1:400000 (Bakosurtanal 2003)
51
a
b
c Gambar 14 Lokasi penelitian dan pembibitan. (a) lokasi penelitian; (b) rumah persemaian berukuran 5 m x 5 m, atap dan sebagian dinding ditutup dengan anyaman daun nipah dan dilapisi dengan lembaran plastik transparan, dan memuat 16 kotak persemaian, (c) semai muda di lokasi pembibitan di bawah bedeng beratapkan anyaman daun nipah. Foto oleh E. Nurtjahya
52
a
b
c Gambar 15 Persiapan lahan. (a) perataan, penggalian lubang tanam, dan pembuatan parit kecil di dalam lokasi penananam, (b) penggalian parit besar oleh excavator, (c) penurunan tanah mineral. Foto oleh E. Nurtjahya
53
Lokasi penelitian dibagi menjadi tiga blok: Blok I (hijau), II (kuning), dan III (merah) sebagai ulangan yang ditentukan atas dasar gradien komponen liat yang berbeda 2 % dengan bagian Tenggara lebih rendah, dan perbedaan kontur antara Barat Daya dan Tenggara hampir 100 cm dengan bagian Tenggara lebih rendah. Denah percobaan (Gambar 16) dan gambar 45 petak dari 15 kombinasi perlakuan, 3 blok, dan total 3345 individu (Gambar 17), dan gambar posisi lubang tanam pada masing-masing tiga kerapatan tanam (Gambar 18) disajikan. J3T1
J2T3
J3T5
J1T3
J3T4
J3T2
J1T4
J1T2
J1T1
J3T3
J1T5
J2T2
J2T4
J2T1
J2T5
I
J1T2
J2T2
J1T3
J1T5
J2T3
J3T5
J1T1
J1T4
J3T1
J3T4
J3T2
J3T3
J2T1
J2T4
J2T5
II
J1T5
J1T2
J3T1
J3T3
J1T3
J3T2
J1T1
J2T1
J3T5
J2T4
J2T5
J3T4
J2T2
J1T4
J2T3
III
Gambar 16 Denah percobaan LCC dipupuk dengan pupuk NPK 200 kg ha-1 dan diberi kompos 5 ton ha-1. Tepung tailing slime, dan asam humat diberikan pada tiga, tujuh, dan sebelas bulan setelah tanam (Tabel 7). Untuk menambah bahan organik, setiap individu tanaman pada tiga, tujuh, dan sebelas bulan setelah tanam diberikan 1 l larutan kotoran sapi yang telah direndam di dalam air tawar (20 l kotoran sapi dalam 200 l air tawar) selama 2 x 24 jam. Tabel 7 Jadual kerja 2005 Kegiatan Penanaman Penyulaman
Apr
Mei
Jun
Jul
Perlakuan I
√
Pengukuran III Perlakuan III Pengukuran IV
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
√ √
Perlakuan II
Sep
√
Pengukuran I Pengukuran II
Ags
2006
√ √ √ √ √
54
Kompos sebanyak 6 ton dibuat dari campuran serbuk gergaji dan kotoran sapi segar dengan perbandingan 1:1, ditambah dengan 5 kg ton-1 campuran, dan inokulum Primadec 1 kg ton-1 campuran. Serbuk gergaji diperoleh dari tempat penggergajian dan kotoran sapi dari penggemukan sapi yang keduanya di Pangkalpinang. Ketinggian campuran sekitar 100 cm dan campuran ditutup dengan lembaran plastik yang memiliki lubang-lubang kecil. Campuran diaduk setiap seminggu sekali hingga 9 minggu. Berdasarkan hasil analisa kualitas, kualitas kompos yang dihasilkan dikategorikan menengah. Tepung tailing slime di bawah vegetasi L. articulata dikeringkan di bawah sinar matahari kemudian ditumbuk dan diayak. Tepung slime ini mengandung debu 44 %, liat 49 %, pH = 2.9, C/N = 23, Ca = 1.26 cmol(+) kg-1, Mg = 2.03 cmol(+) kg-1, K = 0.11 cmol(+) kg-1, dan Na = 0.63 cmol(+) kg-1, dan KTK = 17.2. Asam humat dengan 6 % ekstrak (HumegaTM) adalah soil conditioner berbentuk cairan, yang diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Asam humat yang dipergunakan memiliki pH = 8.9, C/N = 26, Na = 0.93 ppm, Ca = 0.05 ppm, Mg = 0.02 ppm. Dua ratus enam belas kantong top soil untuk perlakuan tanah T5 masingmasing seberat 25 kg, diambil dari kaki bukit dekat kota Sungailiat di bawah tegakan T. orientalis, M. paniculatus, S. wallichii, Aporosa sp., dan S. grande. Top soil lain di bawah R. tomentosa diambil dari kaki bukit yang lain, dan top soil di bawah B. frutescens dikumpulkan dari vegetasi padang di dekat Dusun Bedukang, sekitar 20 km dari Sungailiat. Top soil dari kaki bukit pertama mengandung debu 20 % silt, liat 32 %, pH = 4.6, C/N = 15, Ca = 0.43 cmol(+) kg1
, Mg = 1.05 cmol(+) kg-1, K = 0.41 cmol(+) kg-1, Na = 0.16 cmol(+) kg-1, dan
KTK = 5.9.
55
106°6'44"
106°6'46"
106°6'48"
623700
623800
9779200
1°59'50"
N
Scale 1 : 1.500 30
0
30 M
1°59'50"
9779200
RENCANA LOKASI REVEGETASI Lokasi Revegetasi TAILING TIMAH DENGAN POHON LOKAL EX. TB 1.2 A. JANGKANG Ds. RIDING PANJANG
Pr oje ctio n UTM, Zo ne 48 , So uth er n H emisp her e (W GS84 )
J2T5
J1T2
J1T5
J2T3
J1T3
J3T4
J3T1
J1T2 J1T1
75
J1T4
J3T4
J3T2
J3T3
J2T2
J1T3
J2T4 J2T5
J1T5
1°59'54"
J3T3
10
.7 5
10
.5
J2T3
J1T1
J1T4
J2T2
J2T3
J2T5
J3T1
J1T1
J3T5 1°59'54"
J1T2
J3T5
J1T3
J2T1
J3T4
J2T2
J2T4
9779100
11
J2T1
1°59'52"
1°59'52"
J3T2
J1T5
J3T2
5 9. 2
J1T4
9779100
J3T5
J3T3
J2T4
9.
10
J2T1
9 .5
J3T1
J = kerapatan tanam; J1 = 1 m x 1 m; J2 = 2 m x 2 m; J3 = 4 m x 4 m; T = perlakuan tanah; T1 = kontrol, T2 = tepung tailing slime, T3=LCC, T4=LCC+asam humat, T5=LCC+top soil
Keterangan : I II III
Date : 2-2-2005 Author : SUTARYO Office : PKP Drawing : SUTARYO
623700
623800
Gambar 17 Denah petak penanaman. tua, petak bertutul, dan petak 106°6'44" petak bewarna abu-abu 106°6'46" 106°6'48"putih masing-masing adalah petak pada Blok I, II, dan III. Parit kecil (40 cm lebar x 40 cm dalam), dan parit besar (80 cm lebar x 50 cm dalam) tidak tergambar.
a
b
c
Gambar 18 Denah lubang tanam pada masing-masing kerapatan tanam. (a) Petak 1 m x 1 m, (b) petak 2 m x 2 m; (c) petak 4 m x 4 m . Kotak hitam adalah posisi tanaman
56
Penanaman Penanaman dilakukan pada bulan April 2005 di pagi hari, dan penyulaman dilakukan dalam tiga minggu setelah penanaman sebanyak 241 atau 7.2 %. Pada leher akar, sebanyak 3-5 potongan sabut kelapa tua disusun mengelilingi untuk menurunkan temperatur tanah dan meningkatkan kelembaban tanah di sekitar tanaman. Setiap dua minggu selama tiga bulan pertama, tanaman disemprot dengan pupuk daun Hyponex (red) 0.25 g l-1 di pagi hari antara jam 09.00-11.00. Hampir semua penanaman dilakukan oleh kaum ibu desa (Gambar 19). Penyiraman Penyiraman tanaman dilakukan di sore hari. Air berasal dari kolam bekas tambang timah (kolong) yang terletak sekitar 50 m dari tepi terluar lokasi penelitian. Pompa dengan ujung pipa 3 inchi dan dengan mesin 7 PK diletakkan di tepi kolam. Air dari pompa disalurkan ke beberapa titik di lokasi penananam dengan rangkaian pipa PVC 2 inchi yang ditanam di bawah permukaan tanah. Air disemprotkan melalui selang plastik ¾ inchi. Kualitas air kolam berfluktuasi terhadap musim, namun hasil analisa air di Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor menunjukkan kualitas air masih masuk batas yang direkomendasikan bagi tanaman. Nilai daya hantar listrik (DHL), yang mencerminkan kadar garam yang terlarut (Prasetyo et al. 2005), di musim kemarau (1.9 d S m-1) masih di bawah batas yang direkomendasikan yakni 2.5 d S m-1. pH di musim kemarau 3.8, dan 4.1 di musim hujan. Jumlah kation adalah 21.45 me l-1 di musim kemarau, dan 0.94 me l-1 di musim hujan. Jumlah anion adalah 19.44 me l-1di musim kemarau dan 1.04 me l-1 di musim hujan. Kandungan lumpur 0 ppm di musim kemarau dan 115 ppm di musim hujan. Tidak terdeteksi konsentrasi logam berat Pb, Cd, Co, Ni, dan Cr kecuali 0.03 ppm Pb dan 0.01 ppm Ni di musim kemarau. Beberapa jenis ikan hidup di kolam tersebut, dan beberapa kali terlihat pemancing berada di tepi kolam. Sebagai pembanding, air sumur di lokasi pembibitan dianalisa, dan didapat nilai daya hantar listrik adalah 0.14 d S m-1, pH = 6.4, total kation = 1.48 me l-1, total anion = 1.54 me l-1, debu = 61 ppm, dan tidak terdeteksi konsentrasi kation Pb, Cd, Co, Ni, dan Cr.
57
a
b
c Gambar 19 Aklimatisasi dan penanaman. (a) bedeng aklimatisasi beratap anyaman daun nipah di lokasi penanaman, (b) penanaman petak 2 m x 2 m oleh kaum ibu desa, (c) petak 1 m x 1 m yang baru saja ditanam dan menunjukkan susunan potongan sabut kelapa di bagian bawah tanaman. Foto oleh E. Nurtjahya
58
Pengumpulan dan analisis data Mikroklimat Temperatur tanah pada kedalaman sekitar 3 cm baik di dalam maupun di luar sabut kelapa diukur dengan thermometer 0-100 oC pada sembilan dan dua belas bulan setelah tanam. Kelembaban tanah pada kedalaman sekitar 5 cm, baik di dalam maupun di luar sabut kelapa diukur dengan pH and humidity Tester Model DM – 5 pada sembilan dan dua belas bulan setelah tanam. Sembilan bulan setelah tanam (Januari 2006) mewakili akhir musim kemarau, dan dua belas bulan setelah tanam (April 2006) mewakili akhir musim hujan. Survival Survival atau ketahanan hidup (%) untuk setiap individu tanaman di setiap petak diukur pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam. Tinggi dan diameter batang (2 cm dari leher akar) diukur. Tajuk Diameter tajuk (cm) dari setiap individu di setiap petak diukur pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam. Diameter tajuk diukur satu kali dengan mengambil diameter terbesar. Diameter tajuk dibutuhkan untuk menghitung luas tajuk per individu dengan rumus πr2, dan luas tajuk semua individu di setiap petak dihitung dengan menjumlahkan semua luas tajuk setiap individu tanaman. Produksi serasah Produksi serasah (kg ha-1 tahun-1) setiap petak pada dua belas bulan setelah tanam ditimbang. Memperhatikan perlakuan LCC yang ditanam dalam enam baris, jumlah serasah yang tidak banyak karena pertumbuhan tanaman di lahan pasca tambang berumur dua belas bulan, dan aspek keselamatan peralatan di lapang, seluruh serasah yang ada di atas permukaan tanah diambil semua dengan cara disapu dan dipungut. Setelah serasah setiap petak dikumpulkan, serasah dibersihkan dari kotoran dan terutama pasir yang melekat, dan ditimbang dengan
59
timbangan komersial untuk serasah yang lebih berat dari 1 kg per petak, dan timbangan rumah tangga untuk berat serasah kurang dari 1 kg per petak. Setelah ditimbang, serasah ditaburkan kembali secara merata ke masing-masing petak. Mesofauna tanah permukaan Densitas semut (ind. m-2) dan Collembola spp. (ind. m-2) ditentukan dengan metode perangkap sumuran (pitfall trap) (Suhardjono 2004) dengan gelas plastik berdiameter bibir 6.5 cm dan tinggi 9.5 cm. Gelas diisi dengan etanol 70 % setinggi 3 cm dan diletakkan di setiap petak selama 24 jam. Setiap perangkap dinaungi dengan atap dari alumunium untuk menghindari dari daun kering yang jatuh dan dari air hujan. Pengukuran dilakukan pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam untuk memantau perkembangan populasi mesofauna tanah permukaan khususnya semut dan Collembola. Satu perangkap diletakkan di dekat salah satu individu tanaman yang dipilih di setiap petak. Sebagai pembanding, satu perangkap juga diletakkan di lahan tidak terganggu di Sungailiat. Lahan tersebut ditanami dengan sepuluh jenis tanaman yang sama dan dari semai yang sama dan waktu tanam yang tidak berbeda jauh dengan yang ditanam di lokasi penanaman. Hal yang membedakan antara kedua lokasi adalah jumlah petak di lokasi lahan tidak terganggu adalah tunggal, memiliki luas petak yang kira-kira separuh luasan petak di lokasi penanaman, tidak ada pengacakan pada penanaman, serta kerapatan tanam 1 m x 1 m. Contoh fauna tanah dikoleksi di dalam botol contoh 100 ml dalam etanol 70 %. Contoh diamati di bawah mikroskop stereo di rumah penulis. Identifikasi semut dilakukan sampai tingkat morfospesies genus dengan kunci identifikasi Hymenoptera of the World (Goulet & Huber 1993) dan The Ants of Australia (http://www.ento.csiro.au, 9 April 2008). Identifikasi Collembola sampai dengan famili berdasarkan Buku Pegangan Belajar Collembola (Ekor Pegas) (Suhardjono 2004); Handbook to Collembola of Indonesia (unpublished) (Greenslade et al. 2000); dan Biology of The Springtails (Insecta: Collembola) (Hopkin 1997).
60
Panjang akar Panjang akar horizontal diukur untuk memantau adaptibilitas tanaman di tailing pasir, di luar lubang tanam. Panjang akar horizontal dianggap mewakili pertumbuhan akar tanaman di tailing timah. Akar horizontal tanaman A. mangium di tailing timah tercatat lebih panjang dibandingkan dengan akar vertikal (Setiawan 2003). Jumlah contoh adalah 20 % dari populasi (Setiadi Y 2006, komunikasi pribadi) setiap petak. Jumlah contoh untuk masing-masing kerapatan tanam 1 m x 1 m, 2 m x 2 m, dan 4 m x 4 m adalah 33, 10, dan 3 individu per petak. Pengukuran panjang dilakukan dengan dua ulangan setiap individu. Analisa jaringan tanaman Untuk memantau status hara tanaman di lokasi penanaman, pada akhir penelitian – dua belas bulan setelah tanam – contoh daun C. inophyllum diukur konsentrasi N, P, K, Ca, Mg, Na, S, Fe, Al, Pb, dan Sn. C. inophyllum dengan sengaja dipilih karena termasuk beberapa jenis yang memiliki pertumbuhan yang bagus di lapang secara visual. Contoh komposit dari daun yang sehat, dewasa, dan segar dipetik dari posisi daun ke tiga dari atas ke arah bawah. Sebanyak sekitar 200 g segar setiap petak dipetik dari semua individu dalam petak sehingga mewakili pertumbuhan jenis tersebut di dalam petak. Daun dibersihkan, dan dikeringkan dalam oven pada 70 oC selama 2 x 24 jam (Prasetyo et al. 2005, Sutedjo 1990) di Laboratorium Biologi, Universitas Bangka Belitung, Bangka. Contoh daun dianalisa di Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Sebagai pembanding, contoh komposit daun dari jenis yang sama yang ditanam di lahan tidak terganggu diuji. Tanaman memiliki sumber bibit dan umur tanam yang sama dengan tanaman yang ditanam di lokasi penanaman. Jenis yang menginvasi Jumlah jenis tanaman yang menginvasi setiap petak dicatat pada akhir penelitian atau dua belas bulan setelah tanam.
61
Analisa data Analysis of variance (p<0.05) dilakukan dengan one-way ANOVA untuk parameter pengaruh sabut kelapa terhadap temperatur tanah pada sembilan dan dua belas bulan setelah tanam, pengaruh sabut kelapa terhadap kelembaban tanah pada sembilan dan dua belas bulan setelah tanam, pengaruh kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap survival pada dua belas bulan setelah tanam, pengaruh kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap luas tajuk tanaman pada dua belas bulan setelah tanam, pengaruh kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap serasah pada dua belas bulan setelah tanam. Pengaruh kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap populasi Collembola dihitung pada enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam, dan terhadap populasi semut dihitung pada enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam, pengaruh kerapatan tanam. Perlakuan tanah terhadap panjang akar tanaman diukur pada dua belas bulan setelah tanam. Pengaruh kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap masing-masing konsentrasi N, P, K, Ca, Mg, Na, S, Fe, Al, Pb, dan Sn pada daun C. inophyllum dianalisis pada dua belas bulan setelah tanam. Pengaruh kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap jenis tanaman yang menginvasi petak dicatat pada dua belas bulan setelah tanam. Uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) dilakukan jika terdapat interaksi. Nilai F dan level signifikan dianalisa paket statistik SAS 9.1.
Hasil Mikroklimat Mikroklimat yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman diperbaiki oleh pemberian beberapa potong sabut kelapa di sekitar leher akar di setiap individu tanaman sejak semai ditanam di tailing pasir. Sabut kelapa secara signifikan mengurangi temperatur tanah di dalam sabut kelapa sebesar 4.3 oC pada akhir musim kemarau (sembilan bulan setelah tanam), dan sebesar 2.14 oC pada menjelang akhir musim hujan (dua belas bulan setelah tanam). Ada perbedaan signifikan antara temperatur tanah di musim kemarau dan musim hujan. Sabut kelapa secara signifikan meningkatkan kelembaban tanah antara 7.6-12.2 % di
62
dalam sabut kelapa pada musim kemarau dan antara 0.8-7.8 % pada musim hujan, kecuali pada perlakuan tanah control (T1) dan tepung tailing slime (T2) (Nurtjahya et al. 2007a). Diduga pengambilan contoh tanaman tidak teliti, ada sebagian sabut kelapa yang sudah tidak lagi menutup dengan sempurna atau sebagian potongan sabut berpindah karena berbagai hal termasuk gangguan manusia dan anjing. Tingginya kelembaban pada T2 diduga lokasi sekitar contoh yang diambil agak cekung dan masih mengandung air lebih banyak. Dibandingkan dengan musim kemarau, kelembaban tanah pada musim hujan relatif lebih tinggi, kecuali perlakuan tanah T2 pada dua belas bulan setelah tanam, dimana perbedaan kelembaban antara di dalam dan di luar sabut tidak besar (Nurtjahya et al. 2007a). Peningkatan jumlah hewan yang mengunjungi lokasi dari waktu ke waktu, seperti tikus, kadal, sekitar dua jenis burung termasuk ditemukannya satu bekas sarang burung di cabang S. grande, beberapa jenis dari Diptera, Hymenoptera, Coleoptera menunjukkan peningkatan mikroklimat. Kehadiran semai A. mangium pada 11 petak (24 %) yang teramati mulai 4-6 bulan setelah tanam diduga peran burung yang masuk ke lokasi penanaman. Survival Survival tanaman pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam disajikan pada Tabel 8. Survival semua individu di semua petak pada tiga bulan setelah tanam 98.8 %, kemudian turun menjadi 87.9 % pada enam bulan setelah tanam, turun menjadi 71.8 % pada sembilan bulan setelah tanam. Angka ini tidak berubah banyak sampai akhir penelitian pada dua belas bulan setelah tanam, yakni 71.6 %. Terdapat pengaruh signifikan interaksi antara kerapatan tanam (J) dan perlakuan tanah (T) terhadap survival. Pada kerapatan tanam 1 m x 1 m (10000 semai ha-1), semua perlakuan tanah memberikan survival yang tinggi (a). Pada kerapatan tanam 2 m x 2 m (2500 semai ha-1), semua perlakuan tanah memberikan survival yang sama (b), dan pada kerapatan tanam 4 m x 4 m (625 semai ha-1), perlakuan tanah T2 dan T4 memberikan survival yang lebih rendah (c) dibandingkan tiga perlakuan tanah yang lain (Tabel 9). Ketiga perlakuan tanah T1, T3, dan T5 memberikan survival yang sama dengan kerapatan tanam 2 m x 2 m (b) sekalipun berbeda kerapatan tanam. Perlakuan J1T5 memberikan survival
63
tertinggi yakni 78.7% sekalipun nilainya tidak berbeda nyata dengan keempat kombinasi perlakuan pada kerapatan tanam yang sama 1 m x 1 m. Tabel 8 Rata-rata survival (%) dan luas tajuk (m2) setiap kombinasi perlakuan pada tiga, enam, sembilan, dua belas bulan setelah tanam, dan rata-rata luas tajuk (%) setiap kombinasi perlakuan pada dua belas bulan setelah tanam Petak J1T1
S (%) 99.4
3 BST Tajuk (m2) 7.1
S (%) 91.8
6 BST Tajuk (m2) 6.9
S (%) 74.6
9 BST Tajuk (m2) 19.2
S (%) 73.6
12 BST Tajuk (m2) 24.1
Tajuk (%) 16.7
J1T2
95.7
8.1
91.4
7.3
72.8
16.5
73.2
19.5
13.5
J1T3
99.4
10.4
90.2
10.0
75.3
26.6
75.1
31.4
21.8
J1T4
99.6
9.2
91.8
8.7
77.5
22.3
77.3
25.9
18.0
J1T5
98.2
10.2
91.0
10.4
77.3
26.2
78.7
30.5
21.2
J2T1
98.6
2.1
79.0
2.2
60.9
3.7
60.1
5.1
3.5
J2T2
97.1
2.7
81.2
2.3
65.2
5.6
65.2
6.9
4.8
J2T3
96.4
2.1
79.0
2.7
63.8
4.7
63.0
5.6
3.9
J2T4
97.8
1.9
73.9
1.9
62.3
3.9
61.6
5.0
3.4
J2T5
99.3
2.0
81.9
2.0
58.0
4.4
57.2
5.4
3.7
J3T1
97.6
0.7
83.3
0.7
61.9
1.4
61.9
2.0
1.4
J3T2
100.0
0.7
78.6
0.8
52.4
1.3
52.4
1.7
1.2
J3T3
97.6
0.7
76.2
1.1
64.3
2.3
64.3
3.2
2.2
J3T4
100.0
0.6
81.0
0.6
52.4
1.1
52.4
1.4
0.9
J3T5
100.0
0.8
76.2
0.6
59.5
1.4
61.9
1.9
1.3
Keterangan: J1 = 1 m x 1 m, J2 = 2 m x 2 m, J3 = 4 m x 4 m; T1 = kontrol, T2 = tepung tailing slime, T3=LCC, T4=LCC+asam humat, T5=LCC+top soil; BST = bulan setelah tanam, S = survival
Rata-rata survival pada setiap kerapatan tanam pada setiap kerapatan tanam disajikan pada Gambar 20a. Survival keseluruhan dari 45 petak pada akhir penelitian atau dua belas bulan setelah tanam adalah 2395 individu atau 71.6 %. Survival tiap jenis di atas 75 % pada akhir penelitian berturut-turut paling tinggi H. tiliaceus (100 %), F. superba (99.9 %), C. inophyllum (99.3 %), S. grande (90.2 %), dan V. pinnata (76.9 %) (Tabel 10). Rata-rata survival tiap jenis pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam (Gambar 21) menunjukkan laju survival setiap jenis dari awal hingga akhir penelitian.
64
Tabel 9 Duncan multiple range test pengaruh interaksi kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap survival (%) pada dua belas bulan setelah tanam Perlakuan tanah (T)
Kerapatan tanam (J) J1 J2 73.62 a 60.15 bc
T1
J3 61.91
b
T2
73.21
a
65.22
b
52.38
c
T3
75.05
a
63.04
b
64.29
b
T4
77.30
a
61.60
b
52.38
c
T5
78.73
a
57.24
bc
61.90
b
Keterangan: huruf yang sama (a, b, c) dalam suatu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P<0.05); J1 = 1 m x 1 m, J2 = 2 m x 2 m, J3 = 4 m x 4 m; T1 = kontrol, T2 = tepung tailing slime, T3=LCC, T4=LCC+asam humat, T5=LCC+top soil
100
J1
J2
J3 J1 J2
S urvival (% )
80
J3
J1
J1 J2
60
J2
J3
J3
40 20 0 3 BST
6 BST
9 BST J1
J2
12 BST
a
J3
30 J1
Tajuk (m 2)
25
J1
20 15 10 5
J1
J1 J2
J2 J2
J3
J2
J3
J3
J3
0 3 BST
6 BST J1
9 BST J2
12 BST J3
b
Gambar 20 Rata-rata survival dan luas tajuk pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam. (a) Rata-rata survival (%) pada kerapatan tanam 1 m x 1m, 2 m x 2 m, dan 4 m x 4 m pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam (BST), (b) Rata-rata luas tajuk (m2) pada kerapatan tanam 1 m x 1m, 2 m x 2 m, dan 4 m x 4 m pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam (BST)
65
S. grande
V. pinnata
S. polyanthum
96.1 100.0 98.0 98.0 98.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 99.3
96.8 94.6 98.9 97.9 97.9 85.7 100.0 85.7 85.7 76.2 83.3 83.3 100.0 83.3 83.3 90.2
62.5 59.2 60.8 74.2 76.7 80.0 100.0 86.7 86.7 66.7 100.0 66.7 100.0 66.7 66.7 76.9
35.4 39.6 41.7 33.3 37.5 22.2 11.1 22.2 22.2 11.1 33.3 0.0 100.0 0.0 33.3 29.5
11.1 0.0 33.3 22.2 33.3 0.0 11.1 22.2 11.1 0.0 66.7 0.0 0.0 0.0 66.7 18.5
0.0 0.0 0.0 4.8 9.5 0.0 6.7 0.0 0.0 6.7 0.0 0.0 0.0 0.0 16.7 3.0
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 11.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.7
Macaranga sp.
C. inophyllum
98.7 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 99.9
M. paniculatus
F. superba
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
S. wallichii
H. tiliaceus
J1T1 J1T2 J1T3 J1T4 J1T5 J2T1 J2T2 J2T3 J2T4 J2T5 J3T1 J3T2 J3T3 J3T4 J3T5 Rata2
Aporosa sp.
Petak
Tabel 10 Rata-rata survival sepuluh jenis pada dua belas bulan setelah tanam
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Keterangan: J1 = 1 m x 1 m, J2 = 2 m x 2 m, J3 = 4 m x 4 m; T1 = kontrol, T2 = tepung tailing slime, T3=LCC, T4=LCC+asam humat, T5=LCC+top soil
100 C. inophyllum
80
S. wallichii
Survival (%)
S. grande F. superb a
60
V. pinnata H. tiliaceus
40
E. polyantha M. paniculatus Aporosa sp.
20
Macaranga sp.
0 3 BST
6 BST
9 BST
12 BST
Gambar 21 Rata-rata survival (%) setiap jenis pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam (BST).
66
Tajuk Jumlah luas tajuk seluruh individu tiap petak pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam disajikan pada Tabel 8. Ada interaksi siginifikan antara kerapatan tanam (J) dan perlakuan tanah terhadap luas tajuk pada dua belas bulan setelah tanam. Pada kerapatan tanam 1 m x 1 m (10000 semai ha-1), T3 – LCC (31.4 m2) dan T5 – LCC + top soil (21.2 m2) memberikan angka tertinggi (a). T5 dan T4 – LCC + asam humat tidak berbeda nyata (b). Pada kerapatan tanam 2 m x 2 m (2500 semai ha-1), dan kerapatan tanam 4 m x 4 m (625 semai ha-1), perlakuan tanah memberi angka rendah (e) (Tabel 11). Rata-rata luas tajuk pada kerapatan tanam 2 m x 2 m (2500 semai ha-1) dan kerapatan tanam 4 m x 4 m (625 semai ha-1) tidak berbeda nyata sekalipun berbeda kerapatan tanam. Tabel 11 Duncan multiple range test pengaruh interaksi kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap luas tajuk (m2) pada dua belas bulan setelah tanam Perlakuan tanah (T) T1 T2 T3 T4 T5
Kerapatan tanam (J) J1 24.08 19.47 31.40 25.93 30.50
J2 cd d a bc ab
5.07 6.86 5.64 4.96 5.39
J3 e e e e e
1.99 1.71 3.20 1.36 1.90
e e e e e
Keterangan; huruf yang sama (a, b, c, d, e) dalam suatu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P<0.05); J1 = 1 m x 1 m, J2 = 2 m x 2 m, J3 = 4 m x 4 m; T1 = kontrol, T2 = tepung tailing slime, T3=LCC, T4=LCC+asam humat, T5=LCC+top soil
Pada kerapatan tanam 1 m x 1 m (10000 semai ha-1), luas tajuk tertinggi adalah J1T3 (31.4 m2) dan J1T5 (30.5 m2). Rata-rata prosentase luas tajuk pada kerapatan tanam 1 m x 1 m (10000 semai ha-1) adalah 18 %, pada kerapatan tanam 2 m x 2 m (2500 semai ha-1) sebesar 4 %, dan pada kerapatan tanam 4 m x 4 m (625 semai ha-1) menunjukkan angka terkecil, kurang dari 1.5 %. Rata-rata luas tajuk pada kerapatan tanam 1 m x 1 m, 2 m x 2 m, dan 4 m x 4 m pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam disajikan (Gambar 20b). Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa semakin rapat kerapatan tanam, semakin tinggi luas tajuk.
67
Petak
C. inophyllum
S. wallichii
S. grande
F. superba
V. pinnata
H. tiliaceus
S. polyanthum
M. paniculatus
Aporosa sp.
Macaranga sp.
Tabel 12 Rata-rata luas tajuk sepuluh jenis pada dua belas bulan setelah tanam
J1T1 J1T2 J1T3 J1T4 J1T5 J2T1 J2T2 J2T3 J2T4 J2T5 J3T1 J3T2 J3T3 J3T4 J3T5 Rata2
1.70 1.61 1.82 2.25 2.55 0.86 1.37 0.94 1.14 0.93 0.44 0.35 0.46 0.32 0.37 0.13
0.00 0.00 0.00 0.02 0.18 0.00 0.02 0.00 0.00 0.07 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00
7.67 5.90 8.82 8.68 10.02 1.25 1.67 1.75 0.94 0.92 0.17 0.52 0.30 0.24 0.46 0.25
3.43 3.66 4.50 4.37 4.83 1.09 1.58 1.43 1.14 1.36 0.54 0.37 1.28 0.35 0.59 0.18
2.27 1.64 1.57 3.49 4.00 0.64 0.46 0.43 0.58 0.27 0.36 0.12 0.11 0.05 0.05 0.07
8.02 5.55 9.32 6.52 7.99 1.06 1.67 0.81 0.99 1.80 0.35 0.35 0.80 0.41 0.34 0.42
0.99 1.11 1.07 0.57 0.91 0.18 0.07 0.19 0.17 0.04 0.11 0.00 0.25 0.00 0.04 0.06
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.08 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.04 0.02 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.04 0.00 0.00 0.00 0.04 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Keterangan: J1 = 1 m x 1 m, J2 = 2 m x 2 m, J3 = 4 m x 4 m; T1 = kontrol, T2 = tepung tailing slime, T3=LCC, T4=LCC+asam humat, T5=LCC+top soil
0.50 C. inophyllum S. wallichii
0.40
Tajuk (m2)/ ind.
S. grande 0.30
F. superba V. pinnata
0.20
H. tiliaceus E. polyantha
0.10
M. paniculatus Aporosa sp.
0.00
Macaranga sp. 3 BST
6 BST
9 BST
12 BST
Gambar 22 Rata-rata luas tajuk (m2) setiap jenis pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam (BST).
68
Empat luas tajuk tertinggi pada akhir penelitian atau dua belas bulan setelah tanam berturut-turut adalah H. tiliaceus (0.42 m2), S. grande (0.25 m2), F. superba (0.18 m2), dan C. inophyllum (0.13 m2) (Tabel 12). Rata-rata luas tajuk setiap jenis pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam disajikan pada Gambar 22. yang menunjukkan laju luas tajuk setiap jenis dari awal hingga akhir penelitian. Luas tajuk pada enam bulan setelah tanam rendah namun meningkat mulai sembilan bulan setelah tanam. Produksi serasah Produksi serasah ditimbang pada dua belas bulan setelah tanam (Tabel 13). Rata-rata produksi serasah adalah 119 kg ha-1 tahun-1. Ada interaksi antara kerapatan tanam (J), dan perlakuan tanah (T) terhadap produksi serasah (Tabel 14 dan Gambar 23). Kombinasi perlakuan J1T3 memiliki serasah tertinggi (459.7 kg ha-1 tahun-1) dan tidak berbeda nyata dengan J1T4 (233.8 kg ha-1 tahun-1), J1T5 (293.3 kg ha-1 tahun-1), dan J3T5 (124.5 kg ha-1 tahun-1). Kombinasi perlakuan J3T2 memiliki produksi terendah (3.1 kg ha-1 tahun-1). Serasah dari petak pada kerapatan tanam 1 m x 1 m (212.5 kg ha-1 tahun-1) lebih tinggi dibandingkan rata-rata serasah dari petak pada kerapatan tanam 2 m x 2 m (90.9 kg ha-1 tahun-1), dan rata-rata serasah petak pada kerapatan tanam 2 m x 2 m umumnya lebih tinggi dibandingkan rata-rata serasah petak pada kerapatan tanam 4 m x 4 m (53.6 kg ha-1 tahun-1). Rata-rata serasah pada perlakuan tanah T3 (208.6 kg ha-1 tahun-1), T4 (145.8 kg ha-1 tahun-1), dan T5 (207.1 kg ha-1 tahun-1) menghasilkan serasah yang lebih tinggi dibandingkan dengan T1 (19.1 kg ha-1 tahun-1) dan T2 (kg ha-1 tahun-1).
69
a
b
c Gambar 23 LCC dan serasah. (a) Baris LCC pada petak dengan kerapatan tanam 2 m x 2 m, (b) serasah C. mucunoides yang dominan, (c) produksi serasah yang berbeda antara dua petak berbeda. Foto oleh E. Nurtjahya
70
Tabel 13 Rata-rata produksi serasah per petak (kg ha-1 tahun-1) pada dua belas bulan setelah tanam Petak J1T1
I
II -1
III -1
kg ha tahun 47.0
37.9
41.0
J1T2
34.0
26.7
40.7
J1T3
230.1
562.8
586.1
T1 J1
212.5
19.1
T2
14.4
T3
208.6
J1T4
33.6
40.6
627.1
T4
145.8
J1T5
44.0
247.6
588.2
T5
207.1
J2T1
3.8
7.2
19.2
J2T2
7.4
5.3
6.6
J2T3
7.5
199.5
267.7
J2T4
3.9
6.4
219.4
J2T5
6.3
113.6
490.4
J3T1
1.8
3.9
10.2
J3T2
3.9
2.4
2.9
J3T3
6.0
1.8
16.1
J3T4
18.0
47.9
314.9
J3T5
45.1
82.1
246.5
Rata2
32.8
92.4
231.8
J2
90.9
J3
53.6
Keterangan: J1 = 1 m x 1 m, J2 = 2 m x 2 m, J3 = 4 m x 4 m; T1 = kontrol, T2 = tepung tailing slime, T3=LCC, T4=LCC+asam humat, T5=LCC+top soil; I = blok I, II = blok II, III = blok III
Tabel 14 Duncan multiple range test pengaruh kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap produksi serasah (kg ha-1 tahun-1) pada dua belas bulan setelah tanam Kerapatan tanam (J) J2 J3 bcd def ef T1 41.94 10.08 5.30 bcd ef f T2 33.81 6.41 3.07 a bc ef T3 459.69 158.25 7.99 abc cde bc T4 233.78 76.55 126.94 ab bc abc T5 293.25 203.45 124.54 Keterangan: huruf yang sama (a, b, c, d, e, f) dalam suatu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P<0.05); J1 = 1 m x 1 m, J2 = 2 m x 2 m, J3 = 4 m x 4 m; T1 = kontrol, T2 = tepung tailing slime, T3=LCC, T4=LCC+asam humat, T5=LCC+top soil Perlakuan tanah (T)
J1
Produksi serasah mayoritas berasal dari LCC, dan sekitar 90 % berasal dari C. mucunoides. C. pubescens menunjukkan adaptasi yang rendah di tailing pasir. Selesai ditimbang, serasah ditaburkan secara merata ke petak asalnya. Gambar sepuluh jenis tanaman penelitian disajikan pada Gambar 24.
71
a
b
c
d
Gambar 24 Sepuluh jenis tanaman penelitian. (a) penaga / nyamplung (C. inophyllum); (b) ubak / jambu hutan (S. grande); (c) waru / baru (H. tiliaceus); (d) rengkat / ara (F. superba). Gambar a-d diambil di lahan penelitian. Foto oleh E. Nurtjahya
72
e
f
g
h
Gambar 24 Sepuluh jenis tanaman penelitian. (e) salam (S. polyanthum); (f) leben / leban (V. pinnata); (g) seruk (S. wallichii); (h) balik angin (M. paniculatus); Gambar e-g diambil di lahan penelitian; h diambil di lahan tidak terganggu karena tidak ditemukan lagi di lahan penelitian. Foto oleh E. Nurtjahya
73
i
j
Gambar 24 Sepuluh jenis tanaman penelitian. (i) Macaranga sp.; (j) Aporosa sp. Gambar i-j diambil di lahan tidak terganggu karena tidak ditemukan lagi di lahan penelitian. Foto oleh E. Nurtjahya Mesofauna tanah permukaan Di samping sekurangnya terperangkap empat jenis semut, Odontoponera sp. (Ponerinae) (panjang 14 mm dan bewarna hitam), Paratrechina sp. (Formicinae) (panjang 7 mm bewarna hitam, abdomen terkesan zebra hitam di abdomen), Anoplolepis sp. (Formicinae) (panjang 4 mm bewarna merah, dan terkesan abdomen zebra merah), Iridomyrmex sp. (Dolichoderinae) (panjang 2 mm bewarna coklat), dan sekurang-kurangnya empat jenis Collembola spp. dari famili Isotomidae, Entomobryidae, Paronellidae, dan Sminthuridae, sejumlah jenis lain dari Diplopoda (millipedes), Chilopoda (centipedes), Arachnida, Acari (mites), Diptera, Hymenoptera, Hemiptera, Coleoptera, Dermaptera, Lepidoptera, dan Orthoptera dengan jangkrik tanah sangat menonjol. Jenis yang termasuk tidak teramati pada perangkap sumuran adalah Annelida (Nurtjahya et al. 2007b). Tidak ada interaksi antara kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap masing-masing populasi semut dan populasi Collembola, kecuali pengaruh waktu pengamatan. Populasi semut dan Collembola spp. menunjukkan pola yang berbeda terhadap waktu pengamatan (Nurtjahya et al. 2007b). Rata-rata densitas semut pada sembilan bulan setelah tanam adalah tertinggi (11909 ind. m-2) dan
74
tidak berbeda nyata dengan enam bulan setelah tanam (7243 ind. m-2), dan densitas pada enam bulan setelah tanam tidak berbeda nyata dengan dua belas bulan setelah tanam (3849 ind. m-2). Di lain pihak, rata-rata densitas Collembola spp. pada dua belas bulan setelah tanam adalah yang tertinggi (375 ind. m-2) dan tidak berbeda nyata dengan densitas pada sembilan bulan setelah tanam (301 ind. m-2), dan densitas pada enam bulan setelah tanam adalah yang terkecil (40 ind. m2
). Terdapat kecenderungan semakin tinggi populasi semut dan Collembola
pada petak yang semakin rapat kerapatan tanamnya (Nurtjahya et al. 2007b). Rata-rata densitas semut dan Collembola pada kerapatan tanam 1 m x 1 m adalah masing-masing 3514 individu semut dan 4820 individu Collembola spp., lebih tinggi daripada densitas pada kerapatan tanam 2 m x 2 m yakni 2872 individu semut dan 341 individu Collembola spp., dan lebih tinggi dari densitas pada kerapatan tanam 4 m x 4 m untuk Collembola spp. yakni 301 individu, namun tidak untuk semut yang berjumlah 5161 individu.
Panjang akar Semua contoh tanaman yang diukur memiliki panjang akar yang lebih panjang dibandingkan lebar lubang tanam pada dua belas bulan setelah tanam (Tabel 15) dengan rata-rata sekurang-kurangnya 60 cm atau 45 cm di luar lubang tanam 30 cm x 30 cm. Tidak ada interaksi antara kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap panjang akar horizontal, namun ada pengaruh kerapatan tanam. Kerapatan tanam 4 m x 4 m (625 semai ha-1) memiliki panjang akar tertinggi, yakni 71.4 cm, dan berbeda signifikan terhadap panjang akar horizontal pada kerapatan tanam 1 m x 1 m (10000 semai ha-1), yakni 51.7 cm. Panjang akar horizontal pada kerapatan tanam 2 m x 2 m (2500 semai ha-1), yakni 57.4 cm tidak berbeda siginfikan terhadap panjang akar di dua kerapatan tanam yang lain.
75
Tabel 15 Panjang akar horizontal (cm) pada dua belas bulan setelah tanam Rata-rata panjang akar (cm) I II III Rata2 J1T1 37.7 65.4 83.8 62.3 J1T2 31.6 39.1 79.2 50.0 J1T3 47.8 60.9 43.5 50.8 J1 51.7 J1T4 29.0 67.9 49.3 48.7 J1T5 37.0 43.4 59.5 46.6 J2T1 29.4 31.1 105.6 55.4 J2T2 63.3 55.5 99.3 72.7 J2T3 74.4 68.0 54.3 65.6 J2 57.4 J2T4 32.8 31.7 48.5 37.7 J2T5 36.1 47.4 83.3 55.6 J3T1 69.0 125.7 91.8 95.5 J3T2 62.2 26.7 76.8 55.2 J3T3 84.7 27.7 69.7 60.7 J3 71.4 J3T4 59.8 43.3 99.3 67.5 J3T5 62.5 85.2 86.0 77.9 Rata2 50.5 54.6 75.3 Keterangan : J1 = 1 m x 1 m, J2 = 2 m x 2 m, J3 = 4 m x 4 m; T1 = kontrol, T2 = tepung tailing slime, T3=LCC, T4=LCC+asam humat, T5=LCC+top soil ; I = blok I, II = blok II, III = blok III Petak
Analisa jaringan tanaman Konsentrasi N, P, Ca, dan Na pada lokasi penanaman sekitar separuh dari masing-masing konsentrasi di lahan tidak terganggu (Tabel 16). Konsentrasi Mg, S, Fe, Al, Pb, dan Sn di lokasi penanaman lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi masing-masing di lahan tidak terganggu. Interaksi kerapatan tanam dan perlakuan tanah hanya ditunjukkan pada konsentrasi Pb (Tabel 17) dengan konsentrasi Pb di petak J2T5 merupakan yang tertinggi. Konsentrasi K menunjukkan pengaruh perlakuan tanah, konsentrasi Ca dan Na menunjukkan pengaruh kerapatan tanam, sedangkan konsentrasi S menunjukkan pengaruh kerapatan tanam dan perlakuan tanah tetapi tidak ada interaksi antar keduanya. Konsentrasi N, P, Fe, dan Sn tidak ada pengaruh baik kerapatan tanam maupun perlakuan tanah. Khusus konsentrasi Sn, ada 16 dari 45 petak (35.6 %) yang contoh daun C. inophyllum mengandung Sn, hal yang tidak dideteksi di daun tanaman yang ditanam di lahan tidak terganggu.
76
Tabel 16 Rata-rata konsentrasi beberapa unsur pada daun C. inophyllum dari masing-masing petak dan pada lahan tidak terganggu pada dua belas bulan setelah tanam Contoh daun kering pada 105oC Petak
N
P
K
Ca
Mg
Na
S
Fe
J1T1
0.52
0.05
0.34
% 0.60
0.15
0.01
0.22
65.00
J1T2
0.50
0.04
0.35
0.70
0.14
0.01
0.22
J1T3
0.52
0.06
0.34
0.66
0.15
0.01
J1T4
0.52
0.06
0.36
0.79
0.15
0.01
J1T5
0.53
0.06
0.37
0.61
0.15
J2T1
0.55
0.06
0.39
0.82
J2T2
0.60
0.06
0.43
J2T3
0.53
0.05
J2T4
0.55
J2T5
Al
Pb
Sn
ppm 93.00
1.43
0.93
70.67
116.67
1.00
1.83
0.23
71.00
144.33
0.97
2.07
0.25
69.33
123.00
0.83
2.73
0.01
0.22
77.00
129.00
0.67
0.00
0.15
0.01
0.29
72.33
102.00
1.00
1.13
0.66
0.15
0.01
0.30
68.67
122.67
0.97
1.03
0.35
0.63
0.16
0.01
0.23
62.00
130.67
0.90
0.83
0.06
0.33
0.76
0.16
0.01
0.28
70.33
138.00
1.10
2.10
0.53
0.06
0.31
0.68
0.14
0.01
0.22
73.67
86.00
1.47
1.93
J3T1
0.63
0.07
0.38
0.87
0.16
0.03
0.29
66.67
89.33
1.40
1.70
J3T2
0.53
0.07
0.41
0.90
0.15
0.03
0.26
71.00
102.33
1.27
1.90
J3T3
0.54
0.06
0.34
0.77
0.15
0.03
0.27
73.00
98.00
1.20
2.10
J3T4
0.52
0.06
0.32
0.83
0.15
0.04
0.26
70.67
96.67
1.37
4.60
J3T5
0.46
0.06
0.28
0.66
0.14
0.03
0.18
68.00
109.00
1.03
0.93
Rata2
0.54
0.06
0.35
0.73
0.15
0.02
0.25
69.96
112.04
1.11
1.72
LTT
0.84
0.12
0.40
1.13
0.13
0.05
0.16
62.00
75.00
0.80
0.00
Keterangan: J1 = 1 m x 1 m, J2 = 2 m x 2 m, J3 = 4 m x 4 m; T1 = kontrol, T2 = tepung tailing slime, T3=LCC, T4=LCC+asam humat, T5=LCC+top soil ; LTT = lahan tidak terganggu
Tabel 17 Duncan multiple range test interaksi kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap konsentrasi Pb (ppm) pada daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam Perlakuan tanah (T)
Kerapatan tanam (J)
T1
J1 1.43
T2
1.00
abcd
0.97
abcd
1.27
abc
T3
0.97
abcd
0.90
bcd
1.20
abcd
T4
0.83
cd
1.10
abcd
1.37
abc
T5
0.67
d
1.47
a
1.03
abcd
ab
J2 1.00
abcd
J3 1.40
ab
Keterangan: huruf yang sama (a, b, c, d) dalam suatu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P<0.05); J1 = 1 m x 1 m, J2 = 2 m x 2 m, J3 = 4 m x 4 m; T1 = kontrol, T2 = tepung tailing slime, T3=LCC, T4=LCC+asam humat, T5=LCC+top soil
77
Jenis yang menginvasi Tercatat 41 jenis dari sekurang-kurangnya 8 famili ditemukan di lokasi penanaman pada dua belas bulan setelah tanam. 18 jenis dari famili Poaceae, 7 jenis dari famili Cyperaceae, 3 jenis dari famili Asteraceae, 2 jenis dari famili Leguminosae, 2 jenis dari famili Melastomataceae, 1 jenis dari famili Euphorbiaceae, 1 jenis dari Orchidaceae, 1 jenis dari Myrtaceae, dan 6 jenis dari famili yang lain. Empat frekuensi tertinggi adalah Cyperaceae (88.9 %), Melastomataceae (33.3 %), Leguminosae (24 %), dan Poaceae (22 %). Tidak ada perbedaan signifikan antar petak, tetapi perlakuan tanah menunjukkan perbedaan. Perlakuan T5 – LCC + top soil (7.4 jenis) adalah tertinggi dan berbeda signifikan terhadap perlakuan tanah yang lain. Perlakuan T4 – LCC + asam humat (4.4 jenis) dan perlakuan T3 – LCC (4.3 jenis) tidak berbeda dengan perlakuan kontrol T1 (3.6 jenis) dan berbeda dengan perlakuan T2 – tepung tailing slime di bawah vegetasi L. articulata (2.4 jenis), sedangkan perlakuan T2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol T1. Rata-rata jumlah jenis per petak pada dua belas bulan setelah tanam disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Rata-rata jumlah jenis yang menginvasi pada dua belas bulan setelah tanam Petak J1T1 J1T2 J1T3 J1T4 J1T5 J2T1 J2T2 J2T3 J2T4 J2T5 J3T1 J3T2 J3T3 J3T4 J3T5 Rata2
I 7 3 5 4 6 2 3 6 2 7 1 2 5 2 10 4.3
Jumlah jenis II III Rata2 4 5 5.3 2 3 2.7 4 4 4.3 5 6 5.0 9 7 7.3 3 3 2.7 2 4 3.0 4 5 5.0 6 4 4.0 7 5 6.3 3 4 2.7 0 3 1.7 2 5 4.0 5 5 4.0 6 10 8.7 4.1 4.9
T1 T2 T3 T4 T5
3.6 2.4 4.4 4.3 7.4
Keterangan: J1 = 1 m x 1 m, J2 = 2 m x 2 m, J3 = 4 m x 4 m; T1 = kontrol, T2 = tepung tailing slime, T3=LCC, T4=LCC+asam humat, T5=LCC+top soil
78
Pembahasan Kerapatan tanam dan lima level perlakuan tanah menunjukkan pengaruh signifikan terhadap survival dan luas tajuk. Semakin rapat kerapatan tanam semakin cepat tajuk tanaman menutup tailing pasir yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Pada tahun-tahun pertama rehabilitasi lahan pasca tambang pembentukan tajuk tanaman ditekankan secepat mungkin (Wali 1999). Kombinasi dengan top soil sebagai sumber biji diduga berperan besar pada tingkat rekolonisasi yang tinggi. Semakin rapat kerapatan tanam berarti semakin banyak sabut kelapa digunakan, yang keberadaannya terbukti meningkatkan mikroklimat. Kerapatan tanam yang rapat juga berarti bahan organik dan top soil atau tanah mineral yang diberikan lebih banyak sehingga densitas yang lebih rapat lebih besar memperbaiki kualitas tanah. Lebih banyak individu juga berarti kemampuan lebih besar untuk mengurangi kecepatan angin dan kadang kala panas, sehingga mengurangi evapotranspirasi. Mikroklimat yang semakin baik akan mendukung flora dan fauna tanah untuk datang dan bertahan hidup, memperbesar peluang rekolonisasi, dan sebaliknya kehadiran jenis lain akan memberi dampak positif bagi perbaikan mikroklimat. Sejauh ini, penerapan kerapatan tanam 1 m x 1 m (10000 semai ha-1) di lapang belum pernah dilaporkan, namun sudah barang tentu efisiensi pemilihan kerapatan tanam harus juga dievaluasi dari sisi ekonomi. Kombinasi perlakuan J1T5 – kerapatan tanam 1 m x 1 m dengan perlakuan tanah LCC + top soil memberikan survival tertinggi yakni 78.7 % dan kombinasi perlakuan J1T3 (kerapatan tanam 1 m x 1 m dan LCC) dan J1T5 (kerapatan tanam 1 m x 1 m dan LCC + top soil) memiliki luas tajuk tertinggi. Diduga perbedaan kerapatan tanam dan prosentase jumlah individu tiap jenis pada perlakuan kerapatan tanam mempengaruhi survival dan luas tajuk. Membandingkan komposisi keempat jenis tersebut di tiga kerapatan tanam (1 m x 1m, 2 m x 2 m, and 4 m x 4 m), jumlah prosentase individu empat jenis tersebut tidak berbeda jauh, yakni 55.8 % pada kerapatan tanam 1 m x 1 m; 52.2 % pada kerapatan tanam 2 m x 2 m; dan 50.0 % pada 4 m x 4 m. Data lain, survival tiga perlakuan tanah T1, T3, dan T5 pada kerapatan tanam 4 m x 4 m sama dengan pada kerapatan tanam 2 m x 2 m. Luas tajuk pada kerapatan tanam 2 m x 2 m dan 4 m
79
x 4 m tidak berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa jenis lain juga berkontribusi dalam perbedaan survival, dan juga memperkuat dugaan bahwa semakin tinggi kerapatan tanam, semakin cepat perbaikan mikroklimat lingkungan. Empat jenis memiliki survival tertinggi, yakni berturut-turut H. tiliaceus (100 %), F. superba (99.9 %), C. inophyllum (99.3 %), dan S. grande (90.2 %). Keempat jenis tersebut masing-masing juga memiliki luas tajuk individu yang terbesar juga, H. tiliaceus (0.42 m2), S. grande (0.25 m2), F. superba (0.18 m2), dan C. inophyllum (0.13 m2). Besar dugaan bahwa keempat jenis tersebut memiliki adaptibilitas di lingkungan tailing pasir yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis yang lain, dan karenanya potensial sebagai pohon untuk merevegetasi tailing pasir. Di habitat aslinya, H. tiliaceus dan C. inophyllum adalah anggota formasi Barringtonia, dan F. superba beradaptasi dengan baik di hutan pantai yang berpasir, dan kadang-kadang terlihat cukup dekat dengan pantai. S. grande seringkali ditemukan tumbuh di dekat pantai. Lima jenis lain yang diteliti yang memiliki survival masing-masing di bawah 30 % adalah pionir M. paniculatus, Macaranga sp., dan S. wallichii, atau jenis katalitik S. polyanthum, atau jenis non pionir Aporosa sp. tidak mampu beradaptasi baik di tailing pasir, tetapi di lingkungan yang lain. Slik (2001) memasukkan M. paniculatus termasuk kelompok jenis dari Euphorbiaceae yang cocok untuk lahan yang sangat terganggu. Macaranga spp. dan Mallotus spp. termasuk jenis yang tidak tercatat sebagai pionir di lahan terbuka di Padang Kekurai di Pulau Bangka (Whitten et al. 2000). Hanya jenis yang memiliki toleransi atau kemampuan menghindar yang mampu bertahan hidup pada cekaman panas di tailing pasir (Ang LH & Ang TB 1997). Berdasarkan pengamatan, ada beberapa bentuk adaptasi tanaman di tailing pasir, suatu lingkungan yang kering, dan panas. Habitus H. tiliaceus terlihat lebih roset dibandingkan jenis yang sama yang ditanam di lahan tidak terganggu. F. superba menggugurkan daun dengan tingkat yang berbeda tiap inidividu dan pengguguran daun pun juga teramati dalam derajat lebih rendah pada individu yang ditanam di lahan tidak terganggu dan diduga salah satu tanggap terhadap cekaman air. C. inophyllum menunjukkan pertumbuhan lateral yang lebih mendekati sumbu tubuh dan ini diduga sebagai salah satu adaptasi morfologi
80
untuk mengurangi luas permukaan terkena matahari atau upaya mengurangi transpirasi. Keempat jenis yang memiliki survival tertinggi dibandingkan dengan enam jenis yang lain diduga memiliki adaptasi daun yang relatif lebih tebal dan mengkilap. Diduga ketebalan kutikula dan / atau suberin berperan memperkecil transpirasi mensiasati udara yang kering dan panas, di samping perubahan anatomi daun lainnya (densitas stomata, ketebalan lapisan palisade, ketebalan lapisan bunga karang, dan ketebalan lapisan epidermis). Konsekuensi lain, daun dari keempat jenis potensial tersebut lebih sulit didekomposisi, khususnya pada tanah yang relatif kering dan panas dan karenanya kombinasi perlakuan dengan LCC akan lebih baik. Dari penelitian lain (Nurtjahya & Juairiah 2006) yang membandingkan pertumbuhan semai di tailing pasir dan di lahan terganggu pada dua belas bulan setelah tanam, S. grande lebih memiliki adaptasi morfologi, anatomi, dan fisiologi dibandingkan V. pinnata, yang sumber biji dan umur kedua semai ditanam sama. Densitas stomata S. grande yang ditanam di tailing timah (609.8 mm-2) lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan dengan jenis yang sama yang ditanam di lahan tidak terganggu (539.1 mm-2), sementara densitas stomata V. pinnata menunjukkan sebaliknya. Rasio jaringan daun V. pinnata yang ditanam di tailing timah (0.10) lebih besar dibandingkan dengan yang ditanam di lahan tidak terganggu (0.09), pada S. grande yang ditanam di tailing timah (0.04) menunjukkan sebaliknya. Rasio konduktivitas akar S. grande yang ditanam di tailing timah (0.09) lebih kecil dan berbeda nyata dibandingkan pada tanaman yang sama yang ditanam di lahan tidak terganggu (0.10). Di lapang, tinggi, jumlah luas tajuk per petak, dan survival S. grande pada dua belas bulan setelah tanam masing-masing 79.2 cm, 3.4 m2, dan 90.1 % lebih tinggi dari hasil pengukuran V. pinnata yakni 65.3 cm, 1.1 m2, dan 75.3 %. Survival keseluruhan sebesar 70 % pada akhir penelitian atau dua belas bulan setelah tanam antara lain disebabkan oleh pertumbuhan yang jelek terutama dari dua jenis pionir Macaranga sp., M. paniculatus, dan satu jenis non pionir Aporosa sp. Diduga Macaranga sp. dan M. paniculatus yang masing-masing memiliki daun yang relatif lebar dan tipis tidak mampu bertahan di lingkungan lahan pasca tambang yang porous, tercekam air, terbuka dan panas. Hanya
81
beberapa individu tanaman yang tercatat mati karena gangguan manusia, yakni dua semai masing-masing V. pinnata dan F. superba dan S. grande pada September 2005. Mempergunakan kriteria survival >80 % untuk semai enam dan 12 bulan setelah tanam (Setiadi 2002a), hanya petak J1T5 dengan 78.7 % yang mendekati. Rata-rata luas tajuk pada kerapatan tanam 1 x 1 m sebesar 18 % (24 m2) pada dua belas bulan setelah tanam tampaknya juga potensial. Produksi serasah secara signifikan dipengaruhi oleh kerapatan tanam karena semakin rapat kerapatan tanam, semakin banyak individu dalam luasan yang sama. Produksi serasah juga dipengaruhi secara signifikan oleh LCC. Kecuali kombinasi perlakuan J3T3, semua kombinasi perlakuan dengan perlakuan tanah T3, T4, dan T5 menghasilkan serasah lebih tinggi dan kebanyakan karena daun jenis C. mucunoides, bukan C. pubescens yang disebut lebih adaptif di tanah masam dan kurang subur (http://www.tropicalforages.info/, 28 Februari 2007). C. mucunoides disebut mampu tumbuh dalam tipe tanah yang lebih luas namun menyukai
tanah
yang
mengandung
liat
dengan
pH
4.5-5.0
(http://www.tropicalforages.info/, 28 Februari 2007). Hal ini berarti bahwa kerapatan tanam yang lebih rapat dan penggunaan LCC menghasilkan lebih banyak serasah yang berguna sebagai input bahan organik pada lahan yang terdegradasi. Akumulasi serasah adalah tanda yang tampak dari pemulihan lahan (Setyawan et al. 2003). Baik kerapatan tanam dan perlakuan tanah berpengaruh secara
signifikan
terhadap
produksi
serasah.
C.
mucunoides
dapat
direkomendasikan sebagai jenis LCC pada tailing pasir memperhatikan pertumbuhannya di tailing pasir, sedangkan C. pubescens disarankan tidak dipilih karena pertumbuhannya yang sangat rendah, sebagian besar tidak tumbuh atau sempat tumbuh beberapa saat dan mati. Adaptabilitas semai yang ditanam ditunjukkan oleh lebih panjangnya akar horizontal terhadap lebar lubang tanam. Kerapatan tanam yang lebih rapat diduga menghalangi pemanjangan perkembangan akar. Dugaan lain, semakin rapat kerapatan tanam, semakin tersedia bahan organik dari lubang tanam terdekat sehingga akar horizontal tidak diperlukan tumbuh lebih panjang. Diduga dengan kurang rapatnya kerapatan tanam, luas tajuk tanaman lebih sedikit, kelembaban tanah dan kelembaban udara lebih rendah, temperatur tanah lebih tinggi, dan
82
produksi serasah lebih kurang, dan kesuburan yang lebih rendah menyebabkan akar bertambah panjang. Sarker et al. (2005) menemukan variasi karakter akar seperti akar samping yang lebih panjang dan panjang total akar lebih panjang dari Lens culinaris pada kondisi kekeringan. Diduga penampilan jenis tanaman di lokasi penanaman dipengaruhi oleh kualitas tanah atau perlakuan tanah diharapkan ditingkatkan. Membandingkan hasil analisa jaringan daun C. inophyllum yang ditanam di lokasi penanaman, konsentrasi beberapa mineral penting, N, P, K, Ca, dan Na sekitar separuh dari konsentrasi yang sama dari tanaman yang sama yang ditanam di lahan tidak terganggu. Hal ini menunjukkan bahwa perlu peningkatan pupuk. Di lain pihak konsentrasi Fe, Al, Pb, dan Sn di lahan penanaman lebih tinggi dan diduga C. inophyllum mengakumulasi beberapa mineral. Daun C. inophyllum dari sepertiga jumlah petak di lokasi penanaman menunjukkan konsentrasi Sn, mineral yang antara lain berasosiasi dalam bentuk cassiterite (SnO2). Konsentrasi Sn di daun 0-7.5 ppm secara umum di bawah batas normal 0.2-6.8 ppm kecuali pada petak I – J3T4 (7.5 ppm), tetapi semuanya masih di bawah konsentrasi kritis bagi tanaman yakni 60 ppm (Alloway 1995). Perlakuan tanah T5 – LCC + top soil memiliki jumlah jenis yang menginvasi paling tinggi, diduga karena peran top soil sebagai sumber biji. Zhang et al. (2001) melaporkan bawah top soil setebal 1 cm cukup memberi biji yang cukup seperti top soil yang lebih tebal pada tailing timbal atau seng. Pengelolaan top soil yang benar berpengaruh pada fauna tanah, siklus hara, dan perkembangan keragamanhayati pada tailing (Parrotta JA 2003, komunikasi pribadi). Diduga ada pengaruh tidak langsung dari pemberian top soil; top soil mengandung fauna yang mengundang khususnya burung untuk datang dan memangsanya dan sekaligus penyebar biji. Persiapan tanam LCC yakni penambahan tanah mineral, kompos, dan pupuk, serta dekomposisi daun legum yang kaya N diduga berperan pada peningkatan jenis tumbuhan yang tumbuh di petak. Rendahya jumlah jenis yang menginvasi petak yang mendapat perlakuan tanah T2 – tepung tailing slime di bawah vegetasi L. articulata diduga karena tepung bersifat asam (pH 2.9) dan karenanya tidak mendukung baik pertumbuhan tanaman. Upaya pemberian soil propagule pada perlakuan T5 – LCC dan top soil
83
dari bawah R. Tomentosa dan B. Frutescens tidak membuahkan hasil maksimal. Hanya tercatat beberapa individu R. tomentosa dan B. frutescens. Hal ini diduga karena diperlukannya lebih banyak air pada saat penaburan soil propagule untuk mendukung perkecambahan biji kedua jenis tersebut. Kebanyakan jenis yang menginvasi termasuk famili Poaceae dan Cyperaceae, dan diikuti oleh beberapa jenis semak dari famili Leguminosae, Melastomataceae, dan Myrtaceae. Temuan ini serupa dengan hasil penelitian tentang suksesi di lahan pasca tambang timah di Pulau Bangka. Satu-satunya jenis pohon adalah A. mangium, yang diduga disebarkan oleh burung karena jarak sumber biji terdekat sekitar 1 km, dan sebagian lokasi penanaman berupa rawa dengan dominasi M. leucadendron atau kolam, dan tailing pasir gundul. Burung sebagai hewan penyebar biji A. mangium disebutkan oleh Starr et al. (2003). Sekalipun model tanam permata tidak dianalisa dalam penelitian ini, model tanam permata tersebut akan mempercepat penutupan lahan yang sangat dibutuhkan untuk perbaikan mikroklimat. Model tanam permata memaksimalkan tajuk tanaman yang berdekatan untuk memperkecil saling tumpang tindih dan memperbesar penutupan lahan terbuka. Densitas semut cenderung naik dan kemudian turun pada dua belas bulan setelah tanam. Pola yang berbeda dan tidak sejalan dengan peningkatan pertumbuhan tanaman dan kesuburan tanah, tampaknya tidak mendukung Andersen dan Sparling (1997) bahwa semut sebagai indikator proses restorasi menyusul terjadinya gangguan. Beberapa kemungkinan yang mempengaruhi hal ini diduga adanya hot spot pada beberapa petak karena aktivitas penambang liar dan hewan peliharaan penduduk dari dusun terdekat. Sekalipun demikian, terdapat kecenderungan densitas yang meningkat pada kerapatan tanam yang lebih rapat, dan jumlah jenis masih jauh di bawah jumlah jenis di tanah yang jauh lebih subur yang memiliki keragaman jenis tanaman yang lebih besar seperti tercatat 216 jenis dari 61 genera semut di Kebun Raya Bogor (Ito et al. 2001). Densitas semut pada dua belas bulan setelah tanam 426 % lebih tinggi dibandingkan densitas di lahan tidak terganggu, yakni 904 ind. m-2. Diduga hal ini terkait dengan semakin besarnya jumlah serasah pada kerapatan tanam yang lebih tinggi dan serasah
84
terkait dengan ketersediaan mangsa dan penyangga temperatur dan kelembaban seperti dilaporkan beberapa peneliti (Agus 2007). Sebaliknya densitas Collembola meningkat dari enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam, dan diduga berkorelasi dengan pertumbuhan tanaman, peningkatan kesuburan tanah, dan perbaikan mikroklimat. Kelembaban dan temperatur
permukaan
tanah
lebih
mempengaruhi
populasi
Collembola
dibandingkan tipe dan kerapatan vegetasi (Agus 2007). Densitas populasi juga cenderung meningkat pada kerapatan tanam yang lebih tinggi. Pada lahan tidak terganggu di Sungailiat, densitas Collembola mencapai 4519 ind. m-2, dan jumlah jenis di beberapa hutan di Pulau Bali dan Pulau Lombok mencapai 76 (Suhardjono 1992), atau tercatat 48 jenis di Kepulauan Seribu (Rizali 2006). Perbedaan jumlah takson dan jumlah individu Collembola di lahan pasca tambang emas dan di hutan di Jampang dilaporkan (Hidayati et al. 1999) dengan jumlah takson dan jumlah individu di lahan pasca tambang emas lebih rendah. Keragaman jenis dan famili hutan lebih tinggi dibandingkan dengan keragaman di lahan yang dibudidaya seperti kebun sayur (Agus 2007). Perbedaan pola populasi semut dan Collembola spp. terhadap waktu pengamatan, diduga dapat dijelaskan dengan hubungan masing-masing kedua fauna tanah tersebut terhadap beberapa sifat kimia tanah. Dari canonical correspondence analysis (CCA) populasi semut lebih berkorelasi dengan konsentrasi Ca, Mg, dan Na, sementara populasi Collembola lebih berkorelasi dengan konsentrasi fosfat tersedia P2O5 dan rasio C/N. Densitas populasi Collembola yang meningkat seiring dengan umur revegetasi, serupa dengan hasil penelitian di berbagai umur: 0, 3, 7, 9, 12, dan 13 tahun lahan revegetasi di bawah tegakan A. mangium (Nurtjahya et al. 2008), sehingga populasi Collembola berpotensi sebagai indikator keberhasilan revegetasi di lahan pasca tambang timah. Peningkatan jumlah jenis dan individu hewan yang teramati mengunjungi lokasi penanaman meningkat dari waktu ke waktu, memperkuat dugaan terjadinya peningkatan mikroklimat di lokasi revegetasi sejalan semakin besarnya luas penutupan tajuk, dan meningkatnya rekolonisasi. Kehadiran semai A. mangium pada 11 petak (24 %) yang teramati mulai 4-6 bulan setelah tanam diduga berasal hasil penyebaran biji oleh burung.
85
Kesimpulan Empat dari sepuluh jenis pohon lokal yang ditanam di lahan tailing timah yakni H. tiliaceus, F. superba, C. inophyllum, dan S. grande memiliki survival dan luas tajuk individual tertinggi. Kombinasi perlakuan kerapatan tanam 1 m x 1 m dan perlakuan LCC dan top soil menunjukkan survival tertinggi (78.7 %) tapi tidak berbeda nyata dengan keempat kombinasi perlakuan pada kerapatan tanam yang sama. Kombinasi perlakuan kerapatan tanam 1 m x 1 m dengan perlakuan LCC memiliki luas tajuk tertinggi (31.4 m2) tapi tidak berbeda dengan kombinasi perlakuan kerapatan tanam 1 m x 1 m dan perlakuan LCC dan top soil (30.5 m2). Survival keseluruhan sebesar 70% pada dua belas bulan setelah tanam. Kombinasi kerapatan tanam 10000 semai empat jenis pohon lokal yakni H. tiliaceus, F. superba, C. inophyllum, dan S. grande per hektar dengan LCC C. mucunoides, atau kerapatan tanam 10000 semai ha-1 dengan C. mucunoides dan top soil, dengan pemberian hara dan bahan organik yang memadai, dengan kombinasi jenis dan model tanam permata dapat menjadi pilihan kombinasi perlakuan di tailing timah. Top soil yang sekaligus sebagai sumber hara dan sumber biji mendukung rekolonisasi. Pengayaan jenis tanaman dapat dilakukan dengan seleksi di formasi Barringtonia, atau hutan pantai campuran, atau di padang. Perbaikan habitat ditunjukkan oleh dinamika populasi semut dan Collembola, rekolonisasi alami, serta peningkatan jumlah jenis dan jumlah jenis hewan yang mengunjungi lokasi penelitian dari waktu ke waktu. Populasi Collembola diduga berpeluang dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan revegetasi tailing timah, hal yang tidak pernah dilaporkan sebelumnya, namun pemantauan dalam jangka waktu yang lebih lama dibutuhkan untuk memperkuat dugaan tersebut.
4 PEMBAHASAN UMUM
Proses penambangan timah diawali dengan pembukaan lahan di lokasi yang akan ditambang. Pembukaan lahan (land clearing) menyebabkan semua vegetasi di atas lokasi yang akan ditambang ditebang habis, disingkirkan atau dibakar. Pada tahapan ini, komposisi dan struktur vegetasi menjadi nol dan menyebabkan perubahan iklim mikro. Pada tahapan ke dua, seperti diamanatkan oleh pemerintah kepada pemegang kuasa penambangan (KP), adalah penyisiran lapisan (stripping) top soil dan ditimbun di suatu tempat yang kelak setelah proses penambangan berakhir, timbunan top soil digunakan kembali sebelum tahapan revegetasi. Penyisiran top soil, yakni humus dan serasah yang tidak lebih dari beberapa centimeter saja, ditambah dengan beberapa belas centimeter lapisan tanah di bawahnya menyebabkan lapisan tanah yang ditinggalkan sama sekali tidak mengandung biji sebagai soil propagule. Proses penambangan berikut adalah pemindahan lapisan tanah di bawahnya, sub soil, dengan ketebalan bervariasi antara 50 cm – belasan meter karena tergantung lokasi, menyebabkan terpajannya lapisan tersebut dan antara lain menyebabkan teroksidasinya pyrite dan menyebabkan dilepaskannya gas hidrogen sulfida. Pemindahan tanah baru dihentikan sampai dengan lapisan yang mengandung pasir dan butiran timah. Lapisan ini yang diangkat ke atas dan diproses lanjut dengan pencucian air sungai atau air danau yang kadang-kadang payau di saat air pasang. Proses pencucian memisahkan sejumlah kecil volum konsentrat butiran pasir yang mengandung timah, dan sejumlah besar pasir kuarsa yang disebut tailing pasir. Akibat proses pencucian, air dengan konsentrat ampas yang berukuran lebih kecil mengendap di lokasi yang lebih jauh dan landai dan endapan yang terjadi sering disebut tailing slime. Tailing pasir yang akhirnya menggunung biasanya ditimbunkan pada akhir penambangan, dan lapisan-lapisan tanah yang tersusun pada akhir penambangan sangat bervariasi tergantung oleh banyak faktor, namun umumnya tailing pasir berada di lapisan atas. Berbagai faktor yang mempengaruhi tersebut adalah: jumlah cadangan timah, lokasi cadangan, rona awal lokasi, alur
87
timah, tipe tanah, luas lokasi, cara penambangan, serta kepatuhan pelaku penambangan akan prosedur penambangan yang benar. Tailing pasir hasil cucian lapisan yang sudah miskin hara, dan hampir dipastikan tidak mengandung soil propagule dan mikro dan meso flora dan fauna itu yang kemudian dilakukan revegetasi, seperti juga dilaporkan di lahan pasca tambang timah di Pulau Singkep (Suciatmih & Sastraatmadja 1998). Hasil penelitian pada suksesi di lahan berumur 0 tahun dan gundul yakni tidak adanya vegetasi dan rendahnya spora fungi mikoriza arbuskula Glomus (1 per 50 g), seperti dilaporkan pada lahan tambang lain (Hidayati et al. 1999; Totola & Borges 2000), dan populasi mikrob pelarut fosfat (3.0 x 105 c g-1 pada 0-20 cm) memperkuat dugaan itu. Konsentrasi fosfat yang meningkat sejalan dengan suksesi yang terjadi diduga berpengaruh pada pola produksi spora fungi mikoriza arbuskula (Abdel-Fattah et al. 2002) dan populasi mikrob pelarut fosfat, dan pertumbuhan vegetasi juga berpengaruh pada sifat obligat biotrof (Setiadi 2004) fungi mikoriza arbuskula. Di samping itu terdapat faktor lain yang mempengaruhi interaksi fungi mikoriza arbuskula dengan mikrob lain pada suksesi di lahan reklamasi (Johansson et al. 2004). Akibat pencucian, pH tanah Bangka yang umumnya masam (4.6-4.9), tidak berubah pada tailing pasir. Umumnya pH tailing pasir sedikit lebih tinggi hingga 5.0. Akibat pencucian, tidak mengherankan jika hasil analisa rutin lahan pasca tambang timah berumur 0 tahun menunjukkan tingginya komponen pasir hingga 97 %, dan rendahnya komponen debu dan liat, serta rendahnya semua hara makro dan hara mikro yang diukur, seperti hasil penelitian serupa di Pulau Singkep (Suciatmih & Sastraatmadja 1998). Karenanya total kation yang dapat ditukar menjadi rendah, dan demikian juga semakin rendah kapasitas tukar kationnya. Pencucian ini pula yang menyebabkan rendahnya konsentrasi bahan organik sehingga pada usia lahan pasca tambang yang lebih muda. Kandungan unsur nitrogen, fosfor dan belerang yang terikat dalam bentuk organik ikut tercuci dan akhirnya rasio C/N lebih tinggi. Tailing pasir yang tidak dapat menyimpan air karena porositas yang tinggi menyebabkan temperatur permukaan tailing tidak stabil dan menjadi tinggi dan mencapai sekitar 42 oC, dan kelembaban yang rendah hanya beberapa persen di
88
siang hari. Semakin luasnya tailing pasir menyebabkan lingkungan di sekitar tailing menjadi panas di siang hari. Hamparan yang semakin luas menyebabkan area tailing pasir menjadi semakin rentan akan hembusan angin yang kencang dan panas sehingga berpengaruh pada evapotranspirasi tumbuhan. Lingkungan yang demikian meningkatkan ketidaksesuaian lingkungan bagi pertumbuhan tanaman, jenis pionir. Lingkungan ini yang menyebabkan suksesi alami berjalan lambat, dan setiap periode waktu suksesi memiliki jenis tumbuhan yang berbeda dan tingkat kemiripan antar suatu periode waktu adalah kecil. Sifat fisika dan kimia tanah tailing serta temperatur udara yang tinggi dengan kelembabannya yang rendah di atas hamparan tailing menyebabkan rekolonisasi jenis pohon tidak akan terjadi, dan sampai dengan umur suksesi 38 tahun tercatat hanya satu jenis dari Myrtaceae tingkat sapihan ditemukan, dan selebihnya dominasi rumput-rumputan dan herba. Jumlah individu, jumlah jenis, dan jumlah famili sangat berbeda dan kecil. Hal ini pula ditunjukkan dengan tidak mencapainya 2 % tingkat kemiripan semai antara lokasi yang telah berumur 38 tahun dengan semai di hutan sekunder. Lambatnya suksesi alami lahan pasca tambang timah juga dilaporkan dari penelitian serupa di Pulau Singkep (Elfis 1998). Diduga bahwa pengamatan suksesi alami di berbagai lokasi penelitian sampai dengan umur 38 tahun masih berada di bagian awal suksesi menuju tahapan klimaks. Upaya untuk mendapatkan calon lahan pasca tambang yang berumur lebih dari 40 tahun adalah sulit karena penambangan ulang baik oleh pemilik KP maupun penambangan tanpa izin. Pola suksesi alami di lahan pasca tambang timah ditunjukkan oleh perubahan jenis dan bentuk hidup tumbuhan (life forms). Pada lahan pasca tambang yang baru saja ditinggalkan tidak ada jenis tumbuhan apa pun, kemudian pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun, empat jenis rumput dari famili Cyperaceae dan Poaceae terutama F. pauciflora (Cyperaceae), Imperata cylindrica (Poaceae) lebih mendominasi dibandingkan dua jenis semak. Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, lima jenis rumput (E. chariis, F. pauciflora, I. cylindrica, P. conjugatum, dan S. levis) masih mendominasi sekalipun tercatat satu jenis herba, dan dua jenis semak. Pada lahan pasca
89
tambang berumur 38 tahun, dominasi empat jenis rumput jauh berkurang dan digantikan terutama oleh dominasi semak (R. tomentosa) di samping tercatat lima jenis semak lain. Jenis rumput pun mengalami perubahan dan hanya F. pauciflora yang tetap tercatat, serta E. pallescens dan Ischaemum sp. lebih mendominasi dibandingkan dua jenis rumput yang lain. Selain itu bentuk hidup di lahan pasca tambang berumur 38 tahun lebih banyak yakni tercatatnya tingkat semai dan tingkat sapihan dari jenis tiga jenis pohon (S. wallichii, T. orientalis, dan V. pinnata), dan jumlah jenis herba menjadi tiga. Tahap suksesi pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun diduga masih jauh sekali dengan hutan berdasarkan komposisi dan struktur vegetasinya. Setiap
upaya
mempercepat
suksesi
alami
(assisted
regeneration)
membutuhkan cermin seberapa besar dan target pembenahan tanah yang harus dilakukan sebelum dilakukan revegetasi. Hasil penelitian suksesi di lahan pasca tambang bermanfaat bagi penentuan strategi reklamasi yang meliputi teknik pembenahan tanah, pemilihan jenis tumbuhan yang adaptif, teknik memanipulasi lingkungan tailing, dan penentuan indikator keberhasilan revegetasi. Jenis apa yang akan diberikan untuk membenahi lahan dan seberapa besar. Jenis tumbuhan apa yang adaptif yang akan digunakan untuk menyesuaikan dengan tahapan suksesi yang ada. Prosedur penanaman seperti apa yang dapat memanipulir lingkungan lahan pasca tambang timah yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Beberapa tahapan prosedur akan menjadi semakin rumit manakala lahan yang hendak direvegetasi adalah lahan yang baru saja ditinggalkan sehingga beberapa lompatan tahapan suksesi harus dilampaui. Hal ini berarti suatu tindakan simultan pembenahan tanah, pemilihan jenis tumbuhan, dan aspek budidaya lain untuk mendukung upaya revegetasi yang demikian. Upaya
mempercepat
suksesi
jenis
dengan
bentuk
hidup
pohon
dimungkinkan sejauh jenis tersebut memiliki sifat xerofitik. S. wallichii, dan V. Pinnata, yang tingkat semai ditemukan pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun dipilih untuk merevegetasi lahan pasca tambang timah berupa tailing pasir. Padang dan formasi Barringtonia dari hutan pantai campuran, yang memiliki beberapa kemiripan dengan lahan pasca tambang, diduga dapat menjadi sumber jenis tanaman. H. tiliaceus dan C. inophyllum dipilih karena anggota formasi
90
Barringtonia, dan S. grande dipilih karena banyak ditemukan tumbuh di dekat pantai, dan F. superba sering ditemukan di sekitar bebatuan di tepi pantai. Pemilihan enam jenis lain, yakni S. polyanthum, M. paniculatus, Aporosa sp., dan Macaranga sp. didasarkan atas sifat kepioniran jenis. Pemilihan jenis diikuti dengan pembenahan tanah yang akibat penambangan kualitas tanah menjadi sangat buruk, dan berbagai teknik budidaya dibutuhkan untuk memanipulasi lingkungan lahan pasca tambang yang tidak mendukung pertumbuhan. Pembenahan tanah diupayakan dengan penambahan tanah mineral dan bahan organik untuk mencoba mengurangi komponen pasir dan sifat fisiknya, menambah hara dan bahan oganik untuk memperbaiki sifat kimianya. Upaya penggunaan tepung tailing slime di bawah L. articulata (rumput purun) tidak berhasil diduga pH slime yang 2.9 menyebabkan media tanam tidak mendukung pertumbuhan tanaman dengan baik. Hasil perlakuan ini memperkuat dugaan perbedaan sifat fisika dan kimia tailing timah pasir dan tailing timah slime. Sekalipun konsentrasi hara relatif lebih tinggi pada tailing slime dibandingkan dengan pada tailing pasir, jenis tanaman yang tidak sesuai akan menunjukkan pertumbuhan yang tidak maksimal. Purun mendominasi tailing slime di beberapa lokasi penambangan timah. Jenis tumbuhan lain yang ditemui adalah Nephentes, M. leucadendron, dan P. alternifolium. Perlakuan dengan top soil terbukti berpengaruh nyata pada survival dan luas tajuk pada kerapatan tanam tertinggi 10000 semai ha-1 dan pada rekolonisasi. Fungsi lain top soil, seperti tanah mineral adalah sebagai sumber biji (Zhang et al. 2001), yang dilaporkan efektif dalam pengembalian tajuk hutan dari lahan pasca tambang (Parrotta & Knowles 2001), yang jika dikelola dengan benar akan mendukung perkembangan fauna tanah, siklus hara, dan keragamanhayati di tailing (Parrotta JA 2003, komunikasi pribadi). Namun berdasarkan analisa jaringan tanaman C. inophyllum bahwa kandungan beberapa mineral penting N, P, K, Ca, dan Na sekitar separuh dari kandungan di lahan tidak terganggu, penambahan hara dan bahan organik perlu ditingkatkan lagi. Pemilihan jenis tumbuhan bercermin pada hasil penelitian suksesi lahan pasca tambang timah sampai dengan umur 38 tahun dapat menyeleksi jenis dari Cyperaceae, Poaceae, atau semak Myrtaceae, atau sejumlah pohon kecil dan
91
pohon (Mitchell 1957; van Steenis dalam Whitten et al. 2000). Upaya untuk memilih jenis pohon dengan harapan untuk mempercepat suksesi dan memperpendek proses restorasi lahan pasca tambang timah, memperhatikan kemiripan calon lokasi sumber biji dengan lingkungan tailing pasir yang kering, memiliki tekstur pasir, miskin hara, rendah flora dan fauna tanah, dan adaptif terhadap hembusan angin yang yang kadangkala kencang dan kadangkala panas (adaptasi xerofitik) (Awang 1988). Hanya jenis yang memiliki toleransi atau kemampuan menghindar yang mampu bertahan hidup pada cekaman panas di tailing pasir (Ang LH & Ang TB 1997). Formasi Barringtonia di hutan campuran merupakan salah satu lokasi potensial karena adaptasi jenis tumbuhan terhadap lingkungan berpasir, terbuka, hembusan angin yang kadang kencang dan panas. Tepi hutan dataran rendah yang terbuka juga menjadi pilihan karena jenis tumbuhan terpajan pada lingkungan berpasir, tidak berair, dan terbuka. Padang yang disebut pertama kali oleh Kurz tahun 1864 (van Steenis 1932) di Pulau Bangka, yang oleh sebagian peneliti disebut sebagai regenerasi alami dari hutan kerangas yang terdegradasi (Whitten et al. 2000), menjadi pilihan calon jenis tumbuhan untuk revegetasi tailing timah, seperti B. frutescens. Karena tingkat pohon tidak ditemukan dan hanya tiang dengan ketinggian tidak lebih dari 5-6 m, padang menjadi sumber jenis tumbuhan tingkat semai dan sapihan. Lapisan tanah menjadi soil propagule yang potensial, serupa dengan lapisan tanah berpasir dan berlapisan humus sangat tipis di bawah vegetasi R. tomentosa yang banyak ditemui di beberapa tempat di Bangka. Predikat kepioniran suatu jenis tumbuhan tidak menjamin cocok dan adaptif pada tailing timah pasir. M. paniculatus, yang dikategorikan Slik (2001) sebagai salah satu dari sedikit jenis Macaranga yang adaptif di lahan sangat terganggu, terbukti tidak adaptif di tailing timah karena kualitas tanah yang berbeda. Hal serupa terjadi pada satu jenis Macaranga dan satu jenis Aporosa yang dipilih pada penelitian ini. Ketiga jenis anggota Euphorbiaceae ini menunjukkan adaptasi yang sangat buruk dengan survival hampir 0 % pada akhir penelitian, atau dua belas bulan setelah tanam. Daun yang tipis yang dimiliki oleh masing-masing tiga jenis tumbuhan tersebut diduga tidak mampu menahan lingkungan yang panas, kelembaban yang demikian rendah, angin yang kadang kencang dan panas, di
92
samping tingkat kualitas tanah yang tidak sesuai. Kualitas tailing pasir ini pula yang dipastikan tidak mendukung pertumbuhan P. alternifolium salah satu dari tiga jenis yang disarankan oleh van Steenis. Jenis P. alternifolium (reriang atau riang-riang) ini memang pionir di tailing timah tipe slime yang mengandung relatif banyak hara dan mengandung air. Penelitian awal di persemaian juga telah membuktikannya. Jenis R. cinerea (merapin) yang juga disarankan van Steenis diduga tidak akan tumbuh bagus di tailing pasir yang baru saja ditinggalkan atau berumur muda, sekalipun dalam frekuensi sangat kecil ditemui di alam di lahan pasca tambang tipe overburden yang masih relatif mengandung banyak hara, lembab, dan tidak berada di tengah hamparan pasir namun di tepi area penambangan. Perbedaan jenis yang mendominasi tailing pasir dan tailing slime telah dilaporkan (Palaniappan 1974), dimana dua jenis tailing pasir yakni I. muticum dan F. pauciflora juga ditemui di tahapan suksesi lahan pasca tambang timah di Bangka, dan keduanya merupakan jenis khas padang di lapisan herba (van Steenis 1932). Atas alasan perbedaan kualitas tanah ini pula, saran pemanfaatan informasi vegetasi tematik (Roemantyo et al. 2004) diduga kuat tidak mungkin diikuti, dan rekomendasi peneliti lain (Sambas & Suhardjono 1995; Ang et al. 2003b) sangat patut dicermati. Gelam M. leucadendron yang mendominasi lahan berawa tidak akan tumbuh di tailing pasir, namun tailing slime dapat. Penelitian di persemaian juga membuktikannya. Secara visual morfologi daun dari tiga dari empat jenis yang menunjukkan survival dan luas tajuk tertinggi dari awal hingga akhir penelitian di dua belas bulan setelah tanam, adalah keras, kaku, tebal, licin dan mengkilap. Diduga lapisan suberin atau kutikula di permukaan daun meningkatkan adaptasi jenis tersebut di lingkungan tailing timah sehingga mampu menyiasati penguapan yang tinggi. Penelitian terhadap anatomi dan fisiologi V. pinnata dan S. grande (Nurtjahya & Juairiah 2006) menunjukkan adanya adaptasi jaringan daun dan konduktivitas xilem akar S. grande sehingga mampu beradaptasi lebih lebih di tailing timah dibandingkan V. pinnata. Adaptasi daun yang demikian menyebabkan daun yang gugur sulit terdekomposisi. Kandungan senyawa kimia tertentu, diduga tannin, menyebabkan daun tidak disukai oleh mikrob tanah. Adaptasi daun yang kecil dan tebal (sclerophyllous) dan bahkan daun buah yang
93
tebal dan keras (sclerocarpous) dari Myrtaceae, yang disebut sebagai penyusun penting flora padang dilaporkan (van Steenis 1932; MacKinnon et al. 1996). Salah satu upaya memanipulasi lingkungan permukaan tailing timah pasir yang panas terbukti berhasil dengan pemberian potongan sabut kelapa di sekitar leher akar. Pemberian sabut kelapa sebagai mulsa mati berhasil meningkatkan kelembaban tanah dan menurunkan temperatur tailing di bawah sabut kelapa (Nurtjahya et al. 2007a). Permukaan sabut kelapa yang keras dan licin menghalangi masuknya sinar matahari dan mencegah masuknya angin panas, dan bagian dalam sabut yang bertekstur serabut mampu menyimpan air. Demikian juga model tanam permata diduga lebih mempercepat penutupan permukaan tanah oleh tajuk tanaman yang berdekatan dengan menghindari tumpang tindih tajuk dibandingkan dengan model tanam sejajar yang memungkinkan terjadinya tumpang tindih tajuk dari tanaman yang berdekatan. Penanaman mulsa hidup dengan legum penutup tanah (LCC) terbukti berperan pada produksi serasah. C. mucunoides terbukti sangat adaptif di lahan tailing timah pasir dibandingkan dengan C. pubescens. LCC ini akan berperan sebagai mulsa untuk meningkatkan mikroklimat, juga penyedia bahan organik C dan N yang meningkatkan aktivitas biologis tanah terganggu (Alegre et al. 2004), dengan daun tipis yang mudah terdekomposisi. Manfaat tidak langsung adalah persiapan tanam LCC juga meningkatkan kualitas lahan pasca tambang timah. Kerapatan tanam yang tinggi 10000 semai ha-1 terbukti menunjukkan survival dan luas tajuk yang tinggi. Kerapatan tanam yang tinggi sebesar 2500 semai ha-1 dengan jumlah jenis yang tinggi yakni sekitar 60 jenis dilaporkan berhasil pada restorasi lahan pasca tambang di Brazil (Parrotta & Knowles 2001). Diduga peran jenis-jenis yang adaptif sangat menentukan di samping kerapatan tanam yang lebih tinggi berarti semakin besar tingkat pembenahan tanah dan semakin cepat mikroklimat petak penelitian terjadi. Prosentase yang tidak jauh berbeda akan komponen empat jenis tanaman potensial terhadap enam jenis lain di masing-masing tiga kerapatan tanam berbeda (55.8 % pada 1 m x 1 m; 52.2 % pada 2 m x 2 m; dan 50.0 % 4 m x 4 m) menunjukkan bahwa kerapatan tanam bukan menjadi satu-satunya penentu mengapa kerapatan tanam lebih tinggi memiliki survival dan luas tajuk lebih tinggi, namun juga perbedaan kualitas jenis.
94
Juga didukung dugaan bahwa kerapatan tanam yang lebih tinggi lebih cepat meningkatkan mikroklimat petak. Kerapatan tanam akan benar bermanfaat dan dapat disimpulkan dengan lebih komprehensif manakala jenis tanaman yang dipergunakan memiliki adaptasi yang relatif tidak berbeda jauh. Bahkan tidak mungkin semakin banyak jenis tanaman adaptif yang ditemukan, kerapatan tanam 2500 semai ha-1 (2 m x 2 m) menjadi pilihan yang ekonomis dibandingkan dengan kerapatan tanam 10000 semai ha-1 (kerapatan tanam 1 m x 1 m) yang lebih mahal. Kerapatan tanam 10000 semai ha-1 belum pernah dilaporkan dalam percobaan skala besar dan belum pernah dilakukan di lahan pasca tambang timah. Standar kerapatan tanam di Bangka adalah 625 semai ha-1 (kerapatan tanam 4 m x 4 m). Dari matriks lima nilai terbesar dari kombinasi perlakuan kerapatan tanam dan perlakuan tanah pada survival, tajuk, dan produksi serasah pada dua belas bulan setelah tanam (Tabel 19), terlihat konsistensi pengaruh kombinasi perlakuan kerapatan tanam tertinggi 10000 semai ha-1 dan perlakuan tanah LCC dan top soil (J1T5), dan kerapatan tanam tertinggi 10000 semai ha-1 dan perlakuan tanah LCC (J1T3) berpengaruh pada survival, tajuk, dan produksi serasah yang tertinggi. Produksi serasah ke empat dan ke lima terbesar pada kombinasi perlakuan kerapatan tanam 2500 semai ha-1 dan perlakuan tanah LCC dan top soil (J2T5), dan kerapatan tanam tertinggi 2500 semai ha-1 dan perlakuan tanah LCC (J2T3) diduga disebabkan oleh pengaruh penanaman LCC dan top soil. Pengaruh LCC dan top soil pada jumlah jenis tumbuhan yang menginvasi pada dua belas bulan setelah tanam (Tabel 18) diduga ditunjukkan oleh rata-rata jumlah jenis tumbuhan yang menginvasi terbesar yakni perlakuan tanah LCC dan top soil (T5) sebesar 7.4, dan perlakuan tanah LCC (T3) sebesar 4.4. Pemilihan jenis pohon lokal di penelitian ini perlu ditingkatkan untuk mendapatkan banyak jenis pohon yang adaptif, selain empat jenis memiliki survival dan luas tajuk tertinggi, yakni H. tiliaceus (100 %; 0.42 m2), F. superba (99.9 %; 0.18 m2), C. inophyllum (99.3 %; 0.13 m2), dan S. grande (90.2 %; 0.25 m2). Survival keseluruhan sebesar 70 % pada akhir penelitian antara lain disebabkan oleh pertumbuhan yang jelek dari jenis penyusun lainnya, terutama Macaranga sp., M. paniculatus, dan Aporosa sp. Survival dan luas tajuk akan
95
meningkat jika kombinasi perlakuan kerapatan tanam tinggi digabung dengan jenis tanaman yang semua beradaptasi baik di lahan pasca tambang timah. Tabel 19 Matriks lima nilai terbesar dari kombinasi perlakuan kerapatan tanam dan perlakuan tanah pada survival, tajuk, dan produksi serasah dengan Duncan multiple range test pada dua belas bulan setelah tanam Kombinasi perlakuan
Survival
Tajuk
Serasah
J1T5
78.73
a
30.50
ab
293.25
ab
J1T4
77.30
a
25.93
bc
233.78
abc
J1T3
75.05
a
31.40
a
459.69
a
J1T1
73.62
a
24.08
cd
J1T2
73.21
a
19.47
d
J2T5
203.45
bc
J2T3
158.25
bc
Keterangan: huruf yang sama (a, b, c, d) dalam suatu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P<0.05); J1 = 1 m x 1 m, J2 = 2 m x 2 m, J3 = 4 m x 4 m; T1 = kontrol, T2 = tepung tailing slime, T3=LCC, T4=LCC+asam humat, T5=LCC+top soil
Memperkuat kesimpulan terjadinya peningkatan pertumbuhan tanaman di petak percobaan, teramati adanya peningkatan jumlah jenis dan individu hewan yang mengunjungi lokasi penanaman meningkat dari waktu ke waktu. Kehadiran semai A. mangium pada 11 petak mulai 4-6 bulan setelah tanam diduga berasal hasil penyebaran biji oleh burung. Evaluasi kegiatan restorasi lahan memiliki berbagai parameter, yakni pertumbuhan tanaman, populasi invertebrata, mikrob dan perbaikan habitat, dan mulai dari yang sederhana seperti survival maupun yang kompleks yang merupakan gabungan beberapa parameter. Di satu pihak gabungan parameter dipilih untuk mendapatkan hasil evaluasi yang lebih komprehensif (Ruiz-Jaen & Aide 2005a), dan di lain pihak kesederhanaan parameter untuk memudahkan memperoleh hasil yang cepat, hemat biaya dan waktu, namaun dapat dipertanggungjawabkan. Penggunaan invertebrata di lingkungan terestrial sebagai bioindikator muncul karena dorongan kebutuhan yang besar terkait dengan kepedulian akan keanekaragaman hayati, sekalipun penggunaannya menimbulkan keraguan dibandingkan dengan penggunaan makroinvertebrata akuatik untuk
96
menilai kesehatan ekosistem. Keraguan itu antara lain ketidakjelasan hal apa yang diindikasikan oleh bioindikator (Andersen 1999). Upaya menelaah kemungkinan pemanfaatan populasi Collembola sebagai indikator keberhasilan revegetasi (Nurtjahya et al. 2007b) diduga memiliki prospek ke depan. Sejauh ini Collembola yang dikenal sebagai indikator kesuburan tanah (Hopkin 1997; Suhardjono 2004), digunakan sebagai bagian dari komunitas fauna tanah yang diteliti, dan bukan secara tersendiri, dan pemanfaatannya sebagai indikator keberhasilan revegetasi lahan pasca tambang timah belum pernah dilaporkan. Hasil penelitian serupa di bawah tegakan A. mangium di lahan pasca tambang timah berumur 0-13 tahun di Pulau Bangka baru-baru ini (Nurtjahya et al. 2008) memperkuat dugaan tersebut. Bantuan mikrob pelarut fosfat dan fungi mikoriza arbuskula untuk mendukung revegetasi lahan pasca tambang timah perlu diteliti. Dominasi genus Glomus pada berbagai umur suksesi alami di lahan pasca tambang timah menunjukkan peluang genus ini sebagai inokulum yang potensial. Genus ini dilaporkan paling dominan di lahan kering dan masam dibandingkan dengan Scutellospora, Acaulospora, dan Gigaspora (Husna 2004). Jenis Glomus yang teridentifikasi, diperbanyak untuk meningkatkan kapasitas populasi lokal yang ada (bioaugmentation) (Lestari 2003). Untuk mengetahui sejauh mana revegetasi yang dilakukan pada penelitian tahap ke dua dibandingkan dengan hasil penelitian tahap pertama tentang suksesi alami,
beberapa
hal
dapat
dibandingkan
(Tabel
20).
Pertama
adalah
membandingkan beberapa parameter kualitas tanah. Komponen pasir pada lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun berturut-turut 94.0, 94.0, 82.5, 96.0 %, sedangkan komponen pasir pada rata-rata seluruh petak pada kerapatan tanam 1 m x 1 m; 2 m x 2 m; dan 4 m x 4 m pada dua belas bulan setelah tanam masingmasing adalah 82.9; 86.5; dan 85.9 %. Data ini menunjukkan bahwa komponen pasir di sekitar lubang tanam pada lokasi revegetasi secara umum lebih rendah dibandingkan dengan lokasi suksesi alami, dan terdapat kecenderungan bahwa kerapatan tanam semakin tinggi memiliki komponen pasir semakin rendah. Rasio C/N pada tanah revegetasi pada kerapatan tanam 1 m x 1 m; 2 m x 2 m; dan 4 m x 4 m masing-masing adalah 12.2; 12.3; dan 12.8, sementara rasio C/N pada lahan
97
pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun berturut-turut 15.0, 13.2, 9.5, dan 13.5. Nilai KTK pada lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun berturut-turut 0.4, 3.3, 2.0, dan 1.0 cmol(+) kg-1. Hal ini menunjukkan secara umum terjadi peningkatan kesuburan tanah revegetasi dan terdapat kecenderungan bahwa kerapatan tanam semakin tinggi memiliki kesuburan tanah semakin tinggi. Nilai KTK pada tanah revegetasi pada kerapatan tanam 1 m x 1 m; 2 m x 2 m; dan 4 m x 4 m masing-masing adalah 2.27, 2.07, dan 2.46 cmol(+) kg-1. Nilai KTK tanah revegetasi lebih tinggi dibandingkan dengan tiga dari empat lokasi penelitian kecuali pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun yakni 3.3. Terdapat kecenderungan bahwa kerapatan tanam semakin tinggi memiliki kesuburan tanah semakin tinggi. Tingginya beberapa nilai kualitas tanah pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun diduga akibat pengambilan sampel tanah yang kurang cermat sehingga tercampur overburdern. Ke dua adalah jumlah jenis tanaman dengan habitus pohon. Sampai pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun, hanya dijumpai tiga jenis tumbuhan dengan habitus pohon yakni S. wallichii (semai, dan sapihan), T. orientalis (semai), dan V. pinnata (semai), sedangkan pada revegetasi yang dilakukan ditanam sepuluh jenis, walau empat (H. tiliaceus, F. superba, C. inophyllum, dan S. grande) yang menunjukkan adaptasi yang paling baik. Diduga pada umur sekitar dua sampai tiga tahun, sekurang-kurangnya sebagian individu satu jenis dari empat jenis yang paling adaptif tersebut mampu tumbuh menjadi sapihan. Dapat diduga bahwa penyempurnaan komposisi jenis tumbuhan termasuk mengganti tiga jenis yakni Macaranga sp., Aporosa sp., dan M. paniculatus akan lebih meningkatkan jumlah tanaman dengan habitus pohon. Ketiga adalah jumlah jenis tumbuhan. Jumlah jenis tumbuhan pada lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun berturut-turut 0, 6, 8, dan 17 jenis, sedangkan jumlah jenis pada petak penelitian revegetasi berkisar 8 – 19 jenis tergantung pada kombinasi perlakuan pada petak. Jumlah jenis pada petak revegetasi terdiri atas 7 jenis yang ditanam (dari 10 jenis, 3 jenis Macaranga sp., Aporosa sp., dan M. paniculatus mati), dua jenis LCC terutama C. mucunoides dan pada beberapa petak C. pubescens, dan antara 0 – 10 jenis dari rekolonisasi alami.
98
Keempat adalah luas penutupan tajuk. Jika dibandingkan luas penutupan tajuk, prosentase penutupan tajuk per meter persegi pada lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun berturut-turut 0, 0.47, 0.51, dan 1.69 %, sedangkan prosentase penutupan tajuk per meter persegi pada perlakuan kerapatan tanam 4 m x 4 m, 2 m x 2 m, dan 1 m x 1 m berturut-turut adalah 1.41, 3.88, dan 18.25 %. Data ini menunjukkan bahwa perlakuan kerapatan tanam 4 m x 4 m pada umur tanaman dua belas bulan memiliki prosentase penutupan tajuk per meter persegi yang mendekati pada prosentase penutupan tajuk per meter persegi pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Dapat diduga bahwa penyempurnaan paket revegetasi antara lain dengan komposisi jenis yang lebih baik, pemilihan kerapatan tanam 4 m x 4 m pun mampu melebihi hasil suksesi alami lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Tabel 20 Perbandingan beberapa parameter kualitas tanah, jumlah jenis dengan habitus pohon, jumlah jenis tumbuhan, dan prosentase luas penutupan tajuk antara suksesi alami di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun dengan revegetasi pada kerapatan tanam 4 m x 4 m, 2 m x 2 m, dan 1 m x 1 m pada dua belas bulan setelah tanam No.
Parameter
0
Suksesi Alami (tahun) 7 11 38
Revegetasi (1 tahun) 4mx4m
2mx2m
1mx1m
Kualitas tanah : Komponen pasir (%)
94.0
94.0
82.5
96.0
85.9
86.5
82.9
Rasio C/N
15.0
13.2
9.5
13.5
12.8
12.3
12.2
KTK (cmol(+) kg-1)
0.4
3.3
2.0
1.0
2.46
2.07
2.27
2
Jumlah jenis dengan habitus pohon
0
0
0
3
7
3
Jumlah jenis
0
6
8
17
9 - 19
4
Prosentase luas penutupan tajuk (%)
0
0.47
0.51
1.69
1
1.41
3.88
18.25
Keterangan: jumlah jenis habitus pohon pada dua belas bulan setelah tanam berkurang dari 10 menjadi 7 jenis. Jumlah jenis tumbuhan terdiri atas 7 jenis tanaman inti, 2 jenis LCC, dan antara 0 – 10 jenis rekolonisasi alami pada dua belas bulan setelah tanam.
Dari empat parameter yang dibandingkan, revegetasi lahan pasca tambang yang diukur sampai pada dua belas bulan setelah tanam memiliki kualitas tanah
99
yang lebih baik dibandingkan dengan lahan pasca tambang yang mengalami suksesi alami berumur antara 11 dan 38 tahun. Kualitas tanah cenderung semakin lebih subur pada kerapatan tanam yang semakin rapat karena pembenahan tanah yang lebih intensif, dan pengaruh peningkatan produksi serasah. Penelitian revegetasi juga menunjukkan lebih banyak jenis tumbuhan dengan habitus pohon dibandingkan dengan lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Penelitian revegetasi memiliki jumlah jenis tumbuhan lebih banyak dari semua lahan pasca tambang sampai dengan umur 38 tahun yang mengalami suksesi alami. Prosentase penutupan tajuk tumbuhan pada penelitian revegetasi dengan kerapatan tanam 4 m x 4 m menyerupai prosentase penutupan tajuk pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun, dan pada prosentase penutupan tajuk pada kerapatan tanam 2 m x 2 m dan 1 m x 1 m jauh lebih besar dibandingkan pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Tabel 21 Perkiraan biaya revegetasi per hektar lahan pasca tambang timah pasir pada kerapatan tanam 4 m x 4 m, 2 m x 2 m, dan 1 m x 1 m Biaya per hektar (rupiah) Jenis pekerjaan 4mx4m
2mx2m
1 m x 1m
6,000,000
6,000,000
6,000,000
Pembuatan lubang tanam 30 cm x 30 cm x 30 cm
625,000
2,000,000
4,800,000
Tanah mineral
875,000
3,500,000
14,000,000
Kompos untuk lubang tanam
625,000
2,500,000
10,000,000
Legum penutup tanah
1,800,000
1,800,000
1,800,000
Pupuk NPK bagi legum penutup tanah
1,000,000
1,000,000
1,000,000
Kompos bagi legum penutup tanah
5,000,000
5,000,000
5,000,000
62,500
250,000
1,000,000
1,250,000
4,000,000
9,600,000
17,237,500
26,050,000
53,200,000
Leveling lahan dengan bulldozer
Sabut kelapa Upah kerja pengisian lubang tanam, pemupukan, penanaman legum, pemasangan sabut kelapa, dan penanaman
Keterangan: perkiraan ini dibuat berdasarkan harga-harga yang berlaku saat penelitian ini dilakukan pada tahun 2005 di Desa Riding Panjang, Bangka. Harga bibit tanaman tidak dimasukkan dan selama ini bibit disediakan oleh pemegang KP (kuasa penambangan).
Berdasarkan perhitungan kasar, biaya revegetasi pada kerapatan tanam 4 m x 4 m, 2 m x 2 m, 1 m x 1 m diperkirakan masing-masing 17, 26, dan 53 juta
100
rupiah per hektar sementara biaya revegetasi standar, yakni kerapatan tanam 4 m x 4 m sekitar 12.5 - 15 juta rupiah per hektar. Memperhatikan biaya revegetasi yang semakin tinggi pada kerapatan tanam yang semakin tinggi, pemilihan kerapatan tanam seyogyanya juga memperhatikan aspek ekonomi.
101
5 KESIMPULAN
Aktivitas penambangan timah meninggalkan hamparan tailing yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman dan karenanya suksesi alami berjalan lambat. Pola suksesi ditunjukkan oleh perubahan jenis dan bentuk hidup tumbuhan. Pada lahan pasca tambang yang baru saja ditinggalkan tidak ada jenis tumbuhan apa pun, kemudian pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun, empat jenis rumput dari famili Cyperaceae dan Poaceae terutama F. pauciflora (Cyperaceae), I. cylindrica (Poaceae) lebih mendominasi dibandingkan dua jenis semak. Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, lima jenis rumput E. chariis, F. pauciflora, I. cylindrica, P. conjugatum, dan S. levis masih mendominasi sekalipun tercatat satu jenis herba, dan dua jenis semak. Pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun, dominasi empat jenis rumput jauh berkurang dan digantikan terutama oleh dominasi semak R. tomentosa di samping tercatat lima jenis semak lain. Jenis rumput pun mengalami perubahan dan hanya F. pauciflora yang tetap tercatat, serta E. pallescens dan Ischaemum sp. lebih mendominasi dibandingkan dua jenis rumput yang lain. Selain itu bentuk hidup di lahan pasca tambang berumur 38 tahun lebih banyak yakni tercatatnya tingkat semai dan tingkat sapihan dari jenis tiga jenis pohon (S. wallichii, T. orientalis, dan V. pinnata), dan jumlah jenis herba menjadi tiga. Tahap suksesi pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun diduga masih jauh sekali dengan hutan berdasarkan komposisi dan struktur vegetasinya. Upaya
mempercepat
suksesi
jenis
dengan
bentuk
hidup
pohon
dimungkinkan sejauh jenis tersebut memiliki sifat xerofitik. S. wallichii, dan V. pinnata, yang tingkat semai ditemukan pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun dipilih untuk merevegetasi lahan pasca tambang timah berupa tailing pasir. Padang dan formasi Barringtonia dari hutan pantai campuran, yang memiliki beberapa kemiripan dengan lahan pasca tambang, diduga dapat menjadi sumber jenis tanaman. Karenanya beberapa jenis tumbuhan yakni H. tiliaceus dan C. inophyllum dipilih karena anggota formasi Barringtonia, dan S. grande dipilih karena banyak ditemukan tumbuh di dekat pantai, dan F. superba sering
102
ditemukan di sekitar bebatuan di tepi pantai. Pemilihan enam jenis lain, yakni S. polyanthum, M. paniculatus, Aporosa sp., dan Macaranga sp. didasarkan atas sifat kepioniran jenis. Pembenahan tanah dilakukan dengan pemberian bahan organik dan tanah mineral di luar perlakuan tanah dan berbagai teknik budidaya dilakukan untuk memanipulasi lingkungan lahan pasca tambang yang tidak mendukung pertumbuhan. Kombinasi perlakuan kerapatan tanam 1 m x 1 m dan perlakuan legume cover crops (LCC) dan top soil menunjukkan survival tertinggi (79 %) sekalipun nilainya tidak berbeda nyata dengan keempat kombinasi perlakuan pada kerapatan tanam yang sama. Kombinasi perlakuan kerapatan tanam 1 m x 1 m dengan perlakuan LCC tanpa top soil memiliki luas tajuk tertinggi (31.4 m2) sekalipun tidak berbeda dengan kombinasi perlakuan kerapatan tanam 1 m x 1 m dan perlakuan LCC dan top soil (30.5 m2). Kombinasi perlakuan kerapatan tanam 1 m x 1 m dan perlakuan legume cover crops (LCC) dan / atau top soil menghasilkan produksi serasah yang tinggi. Perlakuan legume cover crops (LCC) dan / atau top soil lebih mendukung rekolonisasi alami dibandingkan perlakuan tanah yang lain. H. tiliaceus, F. superba, C. inophyllum, dan S. grande memiliki survival dan luas tajuk individual tertinggi dibandingkan dengan enam jenis lain. Karenanya, kombinasi kerapatan tanam 1 m x 1 m dari keempat jenis tersebut dengan LCC C. mucunoides, atau kerapatan tanam 1 m x 1 m dengan C. mucunoides dan top soil, dengan pemberian hara dan bahan organik yang memadai, dengan komposisi jumlah individu yang sama dari keempat jenis tersebut dan model tanam permata, dapat menjadi pilihan kombinasi perlakuan di lahan pasca tambang timah. Pengayaan jenis tanaman dapat dilakukan dengan seleksi di formasi Barringtonia, atau hutan pantai campuran, atau di padang. Evaluasi keberhasilan revegetasi terutama diukur dari survival tanaman pada dua belas bulan setelah tanam (52.4-78.7 %). Populasi Collembola diduga berpeluang dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan revegetasi lahan pasca tambang timah, hal yang tidak pernah dilaporkan sebelumnya, namun penelitian lebih lanjut dengan pemantauan dalam jangka waktu yang lebih lama dibutuhkan untuk memperkuat dugaan tersebut.
103
Membandingkan beberapa parameter (kualitas tanah, jumlah jenis tumbuhan yang memiliki habitus pohon, jumlah jenis tumbuhan, dan prosentase luas penutupan tajuk), hasil penelitian revegetasi lahan pasca tambang pada dua belas bulan setelah tanam dengan suksesi alami lahan pasca tambang, satu paket revegetasi yang dilakukan sekurang-kurangnya melampaui tahapan suksesi alami lahan pasca tambang berumur antara 11 dan 38 tahun. Kerapatan tanam 1 m x 1 m menunjukkan kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman lebih baik dibandingkan dengan kerapatan tanam 2 m x 2 m dan 4 m x 4 m. Memperhatikan aspek ekonomi dan hasil penelitian revegetasi pada ketiga kerapatan tanam yang dilakukan, pemilihan kerapatan tanam 2 m x 2 m disarankan.
Kebaharuan hasil penelitian Satu paket teknologi untuk merevegetasi lahan pasca tambang timah pasir: semai dari biji dari empat jenis pohon lokal H. tiliaceus (waru laut), F. superba (ara/rengkat), C. inophyllum (penaga/nyamplung), dan S. grande (ubak/jambu hutan), lubang tanam 30 cm x 30 cm x 30 cm, media tanam tanah mineral dan kompos kotoran sapi (2:1), bagian leher akar tiap individu tanaman ditutup dengan sabut kelapa, kerapatan tanam 10000 semai ha-1 (yang belum pernah dilaporkan), dengan LCC C. mucunoides 30 kg ha-1, model tanam permata, atau kombinasi 10000 semai ha-1, dengan LCC dan top soil, dalam barisan selebar 20 cm dan setebal 2 cm. Paket ini sekurang-kurangnya mampu melebihi suksesi alami lahan pasca tambang berumur antara 11 dan 38 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Fattah GM, Fatma, Migahed F, Ibrahim AH. 2002. Interactive Effects on Endomycorrhizal Fungus Glomus etunicatum and Phosphorous Fertilization on Grwoth and Metabolic Activities of Broad Bean Plants under Drought Stress Conditions. Pakistan Journal of Biological Sciences 5(8):835-841. Adimihardja A, Mappaona, Saleh A, editor. 2002. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Agus YH. 2007. Keanekaragaman Collembola, semut dan laba-laba permukaan tanah pada empat tipe penggunaan lahan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Alegre J, Alonzo-Blázquez N, de Andrés EF, Tenorio JL, Ayerbe L. 2004. Revegetation and reclamation of soils using wild leguminous shrubs in cold semiarid Mediterranean conditions: litterfall and carbon and nitrogen returns under two aridity regimes. Plant and Soil 263:203-212. Alloway BJ, editor. 1995. Heavy Metals in Soils. Ed ke-2. London: Blackie Academic & Professional. Andersen AN. 1999. My bioindicator or yours? Making the selection. J of Insect Conservation 3:61-64. Andersen AN, Sparling GP. 1997. Ants as Indicators of Restoration Success: Relationship with Soil Microbial Biomass in the Australian Seasonal Tropics. Res Ecol 5:109-114. Ang LH. 1994. Problems and Prospects of Afforestation on Sand Tin Tailings in Peninsular Malaysia. J of Trop For Sci 7(1):87-105. Ang LH, Ang TB. 1997. Greening the Tin Tailing Areas in Malaysia. Conference on Forestry and Forest Products Research 1997:195-205. Ang LH, Ho WM, Najib LA. 2003a. Soil Amendment of Ex-Mining Land for Growing Multipurpose Tree Species. Proceedings of the AKECOP International Workshop, August 6-8th 2003, Thailand. Ang LH et al. 2003b. The Enrichment of Species Diversity. Di dalam: A Succession of Plant Species on A Degraded Tropical Ecosystem. Proceedings of the AKECOP International Workshop, August 6-8th 2003, Thailand. [ASTIRA] Asosiasi Tambang Timah Rakyat 2005. Tambang Rakyat Potensi Terabaikan.
105
Awang K. 1988. Tin Tailings and Their Possible Reclamation in Malaysia. Di dalam: Adisoemarto S, editor 1988. Regional Workshop on Ecodevelopment Process for Degraded Land Resources in Southeast Asia; Bogor 23-25 August 1988. Backer CA, van den Brink RCB. 1965. Flora of Java. Volume ke-2. Angiospermae, Families 111 – 160. Groningen: NV P Noordhoff. Badri LN. 2004. Karakteristik Tanah, Vegetasi dan Air Kolong Pasca Tambang Timah dan Tehnik Rehabilitasi Lahan untuk Keperluan Revegetasi (Studi Kasus Lahan Pasca Tambang Timah Dabo Singkep) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bangka Belitung. 2003. [peta rupa bumi] Cibinong: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Bewarna, skala 1:400.000 Bangka Pos 2004. 65 Persen Reklamasi PT Timah Rusak Berat. Bangka Pos 19 Maret 2004. Bangka Pos 14 Desember 2002a. PT Timah Tbk. Desak Pemprov Bikin Perda TI. http://www.bangkapos.com/modules.php?op=modload&name=News&file=art icle&sid=6806. [12 Apr 2003]. Bangka Pos 31 Desember 2002b. Tindak Lanjut Temuan BPD Kelabat, Tripika Turun ke Lokasi. http://www.bangkapos.com/modules.php?op=modload &name=News&file= article &sid=7211. [12 Apr 2003]. Bangka Pos 3 April 2002c. TI Porakporandakan Areal Reklamasi Panti Rebo. http://www.bangkapos.com/modules.php?op=modload&name=News&file=art icle&sid=1561. [12 Apr 2003]. Bangka dan Sebagian Sumatera Daratan. 1990. Peta Satuan Lahan dan Tanah Pulau Bangka dan Sebagian Sumatera Daratan. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Lembar 1113, 1114, 1212, 1213. Bell LC. 2001. Establishment of Native Ecosystems After Mining – Australian Experience Across Diverse Biogeographic Zones. Ecological Engineering 17 (2001):179-186. Bendfeldt ES, Burger JA, Daniels WL. 2001. Quality of Amended Mine Soils after Sixteen Years. Soil Sci Soc Am J 65:1736-1744. [CBR] Centre for Biotechnology Research. 2002. Effect of Bio-organic on Soil and Plant Productivity Improvement of Post Tin Mine Site at PT Koba Tin Project Area, Bangka. Bogor Agricultural University, October 2002. Cheah LC. 1995. Pioneer species for fast growing tree plantations in Malaysia – An Evaluation. FRIM Technical Information No. 53.
106
Corrêa RS, de Melo Filho B, de Mello Baptista GM. 2007. Phytosociological evaluation of the autogenic succession in mined areas in the Brazilian Federal District. Cerne, Lavras 13(4):406-415. Cullen WR, Wheater CP. 1993. The flora and invertebrate fauna of a relocated grassland at thrislington plantation, County Durham, England. Rest Ecol 1: 130-137. Elfis. 1998. Vegetasi Kerangas pada Daerah Bekas Penambangan Timah di Pulau Singkep Kepulauan Riau [tesis]. Padang: Program Pascasarjana, Universitas Andalas. Faber DA. 1956. Rapport van de Bodemkundige Kaartering van Bangka (Report of the Soil Mapping of Bangka). Di dalam: Chin ATSM, editor 1993. Bibliography of Soil Science in Indonesia 1890 - 1993. Haren: DLO – Institute for Soil Fertility Research (IB-DLO). Gadermann JW, Nicolson TH. 1963. Spores of Endogone species extracted from soil by wet sieving and decanting. Trans Br Mycol Soc 46:235-244. Gafur A, Swibawa IG. 2004. Methods in nematode and soil microbe research for belowground biodiversity assessment. Di dalam: Susilo FX, Gafur A, Utomo M, Evizal R, Murwani S, Swibawa IG, editor 2004. Conservation and Sustainable Management of Below-Ground Biodiversity in Indonesia. Lampung: Universitas Lampung. GALI-GALI 2001. Awas! Bangka Terancam Petaka Lingkungan. http://www.jatam.org/indonesia/newsletter/uploaded/gg20.html#gb. [12 Apr 2003]. Goulet H, Huber JT. 1993. Hymenoptera of the world: An identification guide to families. Research Branch Agriculture Canada. Greenslade P, Deharveng L, Bedos A, Suhardjono YR. 2000. Handbook to Collembola of Indonesia (unpublished). Greenslade P, Vaughan GH. 2003. A comparison of Collembola species for toxicity testing of Australian soils. Pedobiologia 47:171-179. Hidayati N, Naiola BP, Sambas EN, Syarif F, Sudiana M, Rahajoe JS, Suciatmih, Juhaeti T, Suhardjono Y. 1999. Perubahan bioekofisik lahan bekas penambangan emas di Jampang dan metoda pendekatannya untuk upaya reklamasi. Di dalam: Siregar M, Rahmansyah M, Sunaryo, Hidayati N, editor. 1999. Proyek Penelitian Pengembangan dan Pendayagunaan Potensi Wilayah TA 1998/1999. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI.
107
Hopkin SP. 1997. Biology of The Springtails (Insecta: Collembola). Oxford: Oxford University Press. http://www.ento.csiro.au/science/ants/genus_list.htm [9 April 2008]. The Ants of Australia. http://www.tropicalforages.info/key/Forages/Media/Html/ [28 Peb 2007]. Husna. 2004. Studi diversitas cendawan mikoriza arbuskula (CMA) asal Sulawesi Tenggara. Di dalam: Simarmata T, Arief DH, Sumarni Y, Hindersah R, Azirin A, Kalay AM, editor 2003. Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo-Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding Seminar Mikoriza: Bandung 16 September 2003. Bandung: Asosiasi Mikoriza Indonesia Jawa Barat – Universitas Padjadjaran Bandung. [INVAM] International Culture Collection of Arbuscular & Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi. http://invam.caf.wvu.edu/index.html [Des. 2005] Ito F et al. 2001. Ant Species Diversity in the Bogor Botanic Garden, West Java, Indonesia, with Descriptions of Two New Species of the Genus Leptanilla (Hymenoptera, Formicidae). Tropics 10(3): 379-404. ITTO 2002. ITTO Guidelines for the Restoration, Management and Rehabilitation of Degraded and Secondary Tropical Forests. ITTO Policy Development Series No. 13. Jandl R, Kopeszki H, Bruckner A, Hager H. 2003. Forest soil chemistry and mesofauna 20 years after an amelioration fertilization. Rest Ecol 11(2):239246. Jansen A. 1997. Terrestrial invertebrate community structure as an indicator of the success of a tropical rainforest restoration project. Rest Ecol 5(2):115-124. Johansson JF, Paul LR, Finlay RD. 2004. Microbial interactions in the mycorrhizosphere and their significance for sustainable agriculture. FEMS Microbiol Ecol 48:1-13. Kielhorn KH, Keplin B, Hűttl RF. 1999. Ground beetle communities on reclaimed mine spoils: effect of organic matter application and revegetation. Plant and Soil 213:117-125. Kusmah. 2005. Rona Awal TB 1.2. STIPER Bangka: Laporan Tugas Matakuliah Ekologi Tanaman (unpublished). Kusumastuti E. 2005. Rehabilitasi Lahan Pasca Penambangan Timah di Pulau Bangka dengan Amelioran Bahan Organik dan Bahan Tanah Mineral dengan Tanaman Indikator Jati (Tectona grandis) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
108
Lamb D, Tomlinson M. 1994. Forest Rehabilitation in the Asia-Pasific Region: Past Lessons and Present Uncertainties. J of Trop For Sci 7:157-170. Latifah S. 2000. Keragaan Pertumbuhan Acacia mangium Willd. Pada Lahan Bekas Tambang Timah (Studi Kasus di Areal Kerja PT Timah Tbk.) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lau RWC. 1999. TED Case Studies: Tin Mining in Malaysia – Present and Future Tin Mining in Malaysia. http://www.american.edu/TED/tin.htm [14 Desember 2003] Lestari Y. 2003. Fisiologi Mikroba Pendegradasi Senyawa Polutan. Di dalam: Prosiding Seminar Bioremediasi dan Rehabilitasi Lahan Sekitar Perminyakan dan Pertambangan. Forum Bioremediasi Institut Pertanian Bogor – Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, 20 Pebruari 2003. Leteinturier B, Baker AJM, Malaisse F. 1999. Early stages of natural revegetation of metalliferous mine workings in South Central Africa : a preliminary survey. Biotechnol Agron Soc Environ 3(1):28-41. Ludwig JA, Hindley N, Barnett G. 2003. Indicators for Monitoring Minesite Rehabilitation: Trends on Waste-Rock Dumps, Northern Australia. Ecol Indicators 3:143-153. MacKinnon K, Hatta G, Halim H, Mangalik A. 1996. The Ecology of Kalimantan: Indonesian Borneo. Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd. Madjid NM, Hashim A, Abdol I. 1994. Rehabilitation of Ex-Tin Mining Land by Agroforestry Practice. J of Trop For Sc. 7:113-127. Mitchell BA. 1959. The Ecology of Tin Mine Spoil Heaps. Part I Sand and Gravel Tailings. Malay Forester 22:111-132. Mitchell BA. 1957. Malayan Tin Tailings – Prospects of Rehabilitation. Malay Forester 20:181 – 188. Muller-Dumbois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John Wiley & Sons. Naning MI, Diha MA, Gofar N. 1999. Perbaikan Sifat Kimia Bahan Tailing Asal Lahan Pasca Penambangan Timah dan Pertumbuhan Tanaman Jagung dengan Pemberian Bahan Organik dan Zeolit. Di dalam: Prosiding Seminar Hasil Penelitian Universitas Sriwijaya, Maret 1999. Norisada M et al. 2005. Acacia mangium, A Nurse Tree Candidate for Reforestation on Degraded Sandy Soils in the Malay Peninsula. For Sci 51(5):498-510.
109
Nurtjahya E, Juairiah L. 2006. Struktur Anatomi dan Karakter Fisiologi Tanaman Pionir di Lahan Pasca Penambangan Timah di Riding Panjang, Bangka. Sungailiat: Universitas Bangka Belitung. Nurtjahya E, Setiadi D, Guhardja E, Muhadiono, Setiadi Y. 2007a. Sabut kelapa sebagai mulsa pada revegetasi tailing timah di pulau Bangka. Eugenia 13: 366–382. Nurtjahya E, Setiadi D, Guhardja E, Muhadiono, Setiadi Y. 2007b. Potensi Collembola sebagai indikator revegetasi tailing timah di pulau Bangka. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 9: 113–123. Nurtjahya E, Setiadi D, Guhardja E, Muhadiono, Setiadi Y. 2008. Populasi Collembola di Lahan Revegetasi Tailing Timah di Pulau Bangka (unpublished). Nurtjahya E. 2004. Laporan studi banding ke area reklamasi PT Kelian Equatorial Mining, Kalimantan Timur (unpublished). Nurtjahya E. 2001. Revegetation on Tin Post Mining Area in Bangka Island (Bibliographical Review). Indonesian Mining Journal 7(3):32-37. Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Ed ke-3. Philadelphia: WB Saunders Co. Palaniappan VM. 1974. Ecology of Tin Tailings Areas: Plant Communities and Their Succession. J of Appl Ecol 11:133-150. Parrotta JA, Knowles OH. 2001. Restoring Tropical Forests on Lands Mined for Bauxite: Examples from the Brazilian Amazon. Ecol Eng 17:219-239. Partomihardjo T, Eizi S, Junichi Y. 2004. Development and distribution of vascular epiphytes communities on the Krakatau Islands, Indonesia. South Pacific Studies 25(1):7-26. Passell HD. 2000. Recovery of Bird Species in Minimally Restored Indonesian Tin Strip Mines. Rest Ecol 8(2):112-118. Penambangan Timah di Pulau Bangka. 2004. Peta Ikhtisar Penambangan Timah di Pulau Bangka. Pangkalpinang: PT Tambang Timah [PPTA] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1996. Laporan Akhir Penelitian Studi Upaya Rehabilitasi Lingkungan Penambangan Timah. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Departemen Pertanian. [PPTA] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1990. Peta Satuan Lahan dan Tanah Lembar Bangka dan Belinyu Sumetera. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Departemen Pertanian. Skala 1:250.000.
110
[PPTA] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 19.. Tabel Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik (unpublished). Prasetyo BH, Santoso D, Widowati LR, editor. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Prematuri R, Faiqoh N. 1999. Produksi Inokulum Cendawan Mikoriza Arbuskula. Di dalam: Workshop Mikoriza; Bogor, 27 September – 2 Oktober 1999. PT Koba Tin 2003. Data Penambangan (unpublished). PT Tambang Timah 2005. Reklamasi / Revegetasi di PT Tambang Timah – Dalam Rangka Dialog Multi Pihak Penyuluhan Kehutanan Kepulauan Bangka – Belitung. Seminar; Pangkalpinang 24 September 2005. PT Timah Tbk. 2002. Dokumen Peraturan Reklamasi. PT Timah Tbk. 1997. ANDAL, RKL, dan RPL. Kegiatan Penambangan Timah dan Pasir Laut di Perairan P. Bangka Kabupaten Bangka, Propinsi Sumatera Selatan. PT Timah Tbk. – Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya 2000. Identifikasi Kolong Pasca Penambangan Timah di Wilayah Bangka-Belitung. Laporan Akhir. Puryanto E. 1983. Rehabilitasi Tanah Pasir Kuarsa eks Tambang Timah Pulau Bangka dengan Bahan-bahan Alamiah untuk Budidaya Tanaman Jambu Monyet (Anacardium occidentale L.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rachmawati I, Karyawan KA, Sinaga M. 1996. Pengaruh Model Tanam terhadap Pertumbuhan Beberapa Jenis Pohon Serba Guna. Buletin Penelitian Kehutanan BPK Kupang 1:102-108. Rizali A. 2006. Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rodriguez H, Fraga R. 1999. Phosphate Solubilizing Bacteria and Their Role in Plant Growth Promotion. Biotechnology Advances 17:319-339. Roemantyo, Uji T, Noerdjito M, Utaminingrum HIP. 2004. Indonesia Biodiversity Information System (IBIS) Case Study: Vegetation Diversity of Bangka Island, Bangka-Biliton, Indonesia. Di dalam: International Symposium 2004 Asian Plant Diversity and Systematics; Japan: July 29 – Aug. 2 2004.
111
Ruiz-Jaen MC, Aide TM. 2005a. Vegetation structure, species diversity, and ecosystem processes as measures of restoration success. For Ecol and Manag 218:159-173. Ruiz-Jaen MC, Aide TM. 2005b. Restoration success: how is it being measured? Rest Ecol 13(3):569-577. Sakai KI, Budhiyono BE, Iyama S. 1980. Studies on Pioneer Trees and The Pioneer Index in Tropical Forest. Bogor: BIOTROP. Sambas EN, Suhardjono. 1995. Dampak dan Usaha Rehabilitasi Bekas Tambang Timah di Kabupaten Bangka. Di dalam: Prawiroatmodjo S, editor 1995. Penelitian dan Pengembangan Model Reklamasi Lahan Terdegradasi. Laporan Teknik 1994 – 1995. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI, p. 74 – 81. Sarker A, Erskine W, Singh M. 2005. Variation in Shoot and Root and Their Association with Drought Tolerance in Lentil Landraces. Genetic Resources and Crop Evolution 52:89-97. Sastrodihardjo S. 1990. Pengaruh Pemberian Bahan Organik dan Polimer Alam serta Sintetik terhadap Beberapa Sifat Fisik dan Kimia Tanah Tailing Tambang 25 Wilasi Pangkalpinang Unit Penambangan Timah Bangka (UPTB) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Schenck NC, Perez Y. 1988. Manual for the Identification of VA Mycorrhizal Fungi. Ed ke-2. Gainesville: International Culture Collection of VA Mycorrhizal Fungi. Schroeder PH. 1996. Restoration of Prime Farmland Disturbed by Mineral Sand Mining in the Upper Coastal Plain of Virginia [thesis]. Virginia Polytechnic Institute and State University. http://scholar.lib.vt.edu/theses/public/etd303112202974780/etd-title.html[ December 14, 2003]. Setiadi D, Muhadiono I. 2001. Penuntun Praktikum Ekologi. Bogor: Laboratorium Ekologi, Institut Pertanian Bogor. Setiadi Y. 2004. Arbuscular mycorrhizal inoculum production. Di dalam: Simarmata T, Arief DH, Sumarni Y, Hindersah R, Azirin A, Kalay AM, editor 2003. Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo-Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding Seminar Mikoriza: Bandung 16 September 2003. Bandung: Asosiasi Mikoriza Indonesia Jawa Barat – Universitas Padjadjaran Bandung. Setiadi Y. 2002a. Forest Restoration Program (unpublished). Setiadi Y. 2002b. Mycorrhizal Inoculum Production Technique for Land Rehabilitation. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 8(1):51-64.
112
Setiawan IE. 2003. Evaluasi Tingkat Keberhasilan Revegetasi pada Lahan Bekas Tambang Timah PT Koba Tin, Koba, Bangka Belitung [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Setyawan D, Gilkes RJ, Jasper DA, Tongway DJ, Hindley N. 2003. Nutrient cycling index in relation to organic matter and soil respiration of rehabilitated mine sites in Kelian, East Kalimantan. Proceedings of the International Seminar on The Organic Farming and Sustainable Agriculture in The Tropics and Subtropics: Science, Technology, Management and Social Welfare; Palembang October 8-9, 2003. Vol. I:123-126. Setyorini D, Adiningsih JS, Rochayati S. 2003. Uji Tanah Sebagai Dasar Penyusunan Rekomendasi Pemupukan. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Setyowati-Indarto N. 1998. Keanekaragaman Jenis-jenis Tumbuhan pada Lahan Bekas Penambangan Timah di Pulau Singkep Riau. Di dalam: Siregar M, Sunaryo, Sambas EN, Rahmansyah M, Hidayati N, editor 1998. Laporan Proyek Penelitian Pengembangan dan Pendayagunaan Potensi Wilayah Tahun Anggaran 1997/1998. Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Siagian YT, Harahap RMS. 1981. Hasil Pendahuluan Percobaan Pemilihan Jenis-jenis Pohon pada Lahan Kolong Pasir Kuarsa di Dabo, Singkep [Laporan]. Laporan Balai Penelitian Hutan No. 384. Bogor: Balai Penelitian Hutan. Slik JWF. 2001. Macaranga and Mallotus (Euphorbiaceae) as Indicators for Disturbance in the Lowland Dipterocarp Forests of East Kalimantan, Indonesia. Wageningen: The Tropenbos Foundation. Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Souchie EL et al. 2006. Communities of P-Solubilizing Bacteria, Fungi and Arbuscular Mycorrhizal Fungi in grass pasture and secondary forest at Paraty, RJ – Brazil. Anais da Academia Brasileira de Ciencias 78(1):183-193. Starr F, Starr K, Loope L. 2003. Acacia mangium, mangium wattle, Fabaceae. United States Geological Survey – Biological Resources Division Haleakala Field Station, Maui, Hawai’i. (http://www.hear.org/starr/hiplants/reports/ html/acacia_mangium.htm, [3 Maret 2007]. Stasiun Meteorologi Pangkalpinang. 2006. Data Iklim Bangka 1996 – 2005. Suciatmih. 1998. Populasi Mikroba Penyubur Tanah pada Lahan Terdegradasi Di Wilayah Singkep, Riau. Di dalam: Siregar M, Sunaryo, Sambas EN, Rahmansyah M, Hidayati N, editor. 1998. Proyek Penelitian Pengembangan
113
dan Pendayagunaan Potensi Wilayah TA 1997/1998. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI. Suciatmih, Sastraatmadja D. 1998. Ekofisik Pulau Singkep. Di dalam: Siregar M, Sunaryo, Sambas EN, Rahmansyah M, Hidayati N, editor. 1998. Proyek Penelitian Pengembangan dan Pendayagunaan Potensi Wilayah TA 1997/1998. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, LIPI. Suhardjono YR. 2004. Buku Pegangan Belajar Collembola (Ekor Pegas). Bogor: Museum Zoologicum Bogoriense. Suhardjono YR. 1992. Fauna Collembola Tanah di Pulau Bali dan Pulau Lombok [disertasi]. Jakarta: Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia. Sumatera. 1986. Peta Land System Sumatera. Cibinong: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Bewarna, skala 1:250.000 Sutedjo, MM. 1990. Analisa Tanah, Air dan Jaringan Tanaman. Jakarta: Rineka Cipta. Tan KH. 2005. The application of soil science in the use of land in Indonesia [abstract]. Seminar The Centennial Commemoration of the Soil Research Institute of Indonesia; Bogor, 28-29 June 2005. Tongway D, Hindley N, Setyawan D. 2001. Indicators of Ecosystems Rehabilitation Success – Stage Two Verification of Indicators. Kelian Equatorial Mining (unpublished). Totola MR, Borges AC. 2000. Growth and Nutritional Status of Brazillian Wood Species Cedrella fissilis and Anadenanthera peregrina in Bauxite Spoil in Response to Arbuscular Mycorrhizal Inoculation and Substrate Amendment. Brazillian Journal of Microbiology 31:257-265. van Steenis CGGJ. 1932. Botanical Results of A Trip to The Anambas and Natoena Islands. Bulletin Jard Bot Buitenzorg, Serie III 13:151-211. Wali MK. 1999. Ecological Succession and the Rehabilitation of Disturbed Terrestrial Ecosystems. Plant and Soil 213:195-220. Whitten AJ, Damanik SJ, Anwar J, Hisyam N. 2000. The Ecology of Sumatra. Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd. Webb CE, Oliver I, Pik AJ. 2000. Does coastal foredune stabilization with Ammophila arenaria restore plant and arthropod communities in Southern Australia? Rest Ecol 8(3):282-288.
114
Widagdo V et al. 1990. Buku Keterangan Peta Satuan Lahan dan Tanah Pulau Bangka dan Sebagian Sumatera Daratan (lembar 1113, 1114, 1212, dan 1213). Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Williams KS. 1993. Use of terrestrial arthropods to evaluate restored riparian wooldland. Rest Ecol 1:107-116. Yin B, Crowley D, Sparovek G, De Melo WJ, Borneman J. 2000. Bacterial Functional Redundancy along A Soil Reclamation Gradient. Appl and Env Microbiol 66:4361-4365. Zhang ZQ, Shu WS, Lan CY, Wong MH. 2001. Soil Seed Bank as An Input of Seed Source in Revegetation of Lead/Zinc Mine Tailings. Rest Ecol 9:378385. Zulkarnain I, Erman E, Pudjiastuti TN, Mulyaningsih Y. 2005. Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif Solusi. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
115
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar nama jenis pohon di lokasi penelitian suksesi, lokasi penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Spesies Acacia mangium Willd. Adinandra dumosa Jack Anacardium occidentale L. Aporosa cf. aurita (Tul.) Miq. Archidendron clypearia (Jack) Nielsen Archidendron microcarpum (Benth.) Nielsen Arthrophyllum diversifolium Blume Artocarpus integer (Thunb.) Merr. Artocarpus sp. Baccaurea bracteata Muell. Arg. Baeckea frutescens L. Brachenridgea palustris Bartell. Calophyllum cf. ferrugineum Ridl. Calophyllum inophyllum L. Calophyllum lanigerum Miq. Calophyllum pulcherrimum Wall. Ex Choisy Chaetocarpus castanocarpus Thw. Chionanthus ramiflorus Roxb. Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser Cratoxyllum formosum Benth. & Hook.f. ex Dyer Cratoxyllum glaucum Korth. Daphniphyllum laurinum (Benth.) Baill. Decaspermum fruticosum Forst. Dyera sp. Elaeocarpus mastersii King Elaeocarpus valetonii Hochr. Endospermum sp. Eugenia densiflora DC.
Nama lokal Pohon kertas Pelempang merah Jambu monyet Pelangas Keted belalang Jengkol Juluk antu Cempedak Rengas Keperes Sapu-sapu Pulan Metangur belulang Penaga, nyamplung Metangur Metangur prit Saber bubu Mentulang Perepat Mengkijang Idat Mentepung pahit Demang Jelutung Leten Rempudong Ubak putih
Famili Fabaceae Theaceae Anacardiaceae Euphorbiaceae Fabaceae Fabaceae Araliaceae Moraceae Moraceae Euphorbiaceae Myrtaceae Ochnaceae Clusiaceae Clusiaceae Clusiaceae Clusiaceae Euphorbiaceae Oleaceae Rhizophoraceae Clusiaceae Clusiaceae Daphniphyllaceae Myrtaceae Apocynaceae Eleocarpaceae Eleocarpaceae Euphorbiaceae Myrtaceae
Lokasi revegetasi hutan, ladang pustaka hutan, ladang, revegetasi ladang ladang hutan ladang hutan hutan revegetasi hutan hutan revegetasi hutan, ladang hutan, ladang hutan hutan, ladang hutan hutan hutan, ladang hutan, ladang ladang pustaka hutan hutan, ladang pustaka hutan, ladang
116
29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59
Eurycoma longifolia Jack Ficus consociata Blume Ficus fistulosa Reinw. Ficus grassularioides Burm.f. Ficus padana Burm.f. Ficus superba Miq. Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. Gluta velutina Blume Gomphia serrata (Gaertn.) Kanis. Gordonia excelsa Blume Gynotroches axillaris Blume Helicia serrata (R.Br.) Blume Hibiscus tiliaceus L. Ilex cymosa Blume Ixonanthes petiolarisBlume Kibatalia maingayi (Hook.f.) Woods. Lepisanthes amoena (Hassk.) Leenh. Lithocarpus blumeanus (Korth.) Rehd. Lithocarpus sp.2 Litsea forstenii Blume Litsea umbellata (Lour.) Merr. Lophoptalum javanicum (Zoll.) Turcz. Macaranga gigantea Reichb.f.&Zoll. Macaranga hypoleuca (Reichb.f.&Zoll.) Muell.Arg. Macaranga javanica (Blume) Muell. Arg. Macaranga sp. Macaranga trichocarpa (Rchb.f.&Zoll.) Muell. Arg. Macaranga triloba (Bl.) Muell.Arg. Mallotus paniculatus Muell. Arg. Melaleuca cajuputi Powell Melaleuca leucadendron L.
Puleh Nunok Kelebet Pelempan Ara, Rengkat Asam kandis Mengkikir Pelempang putih Mengkelik Kendung daun lebar Waru laut Mensirak Ngelasi Menseper Puleh putih Kabel putih Kabel hitam Medang Medang Perupuk Mahang Mahang Mahang Mang, Mahang Mang, Mahang Mang, Mahang Balik angin Kayu putih Gelam
Simaroubaceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Clusiaceae Anacardiaceae Ochnaceae Theaceae Rhizophoraceae Proteaceae Malvaceae Aquifoliaceae Linaceae Apocynaceae Sapindaceae Fagaceae Fagaceae Lauraceae Lauraceae Celastraceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Myrtaceae Myrtaceae
hutan hutan ladang ladang revegetasi revegetasi hutan, ladang hutan pustaka hutan hutan, ladang hutan revegetasi hutan, ladang hutan hutan, ladang hutan hutan hutan hutan hutan, ladang hutan pustaka pustaka hutan, ladang revegetasi ladang pustaka ladang, revegetasi ladang revegetasi
117
60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89
Nauclea subdita (Korth.) Steud. Nephelium eriopetalum Miq. Nephelium maingayi Hiern. Ormosia bancana Prain. Pternandra galeata (Cogn.) Ridley Rhodamnia cinerea Jack Sapium baccatum Roxb. Scapium sp. Schima wallichii (DC.) Korth. Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Syzygium claviflorum (Roxb.) Wall.ex AM Cowan & Cowan Syzygium grande (Wight) Walp. Syzygium lineatum (DC.) Merr. & Perry Syzygium polyanthum (Wight) Walp. Syzygium racemosum (Blume) DC. Syzygium sexangulatum (Miq.) Amsh. Syzygium sp.2 Syzygium sp.4 Syzygium sp.5 Syzygium sp.6 Syzygium zeylanicum (L.) DC. Tarrena fragrans (Blume) Koord. & Val. Timonius flavescens Baker Trema orientalis (L.) Blume Triomma malaccensis Hook. f. Tristania merguensis Griff. Tristaniopsis whiteana (Griff.) P.G. Wilson & J.T. Waterhouse Vaccinium bancanum Miq. Vitex pinnata L. Xanthophyllum vitellinum (Blume) Dietr.
Kayu kuning Ranggung Riden Saga Memeteng Merapin Ludai Kepayang Seruk Kendung daun kecil Kelisut Ubak, Jambu utan Kebecir Salam Kekalai Uber Gelam merah Ubak daun kecil Ubak Memetih Mentulang kera Memaran Mengkirai, Bengkirai Bantan Pelawan merah Pelawan air Pelawan tudak Leban Kerikis
Rubiaceae Sapindaceae Sapindaceae Papilionaceae Melastomataceae Myrtaceae Euphorbiaceae Sterculiaceae Theaceae Symplocaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Rubiaceae Rubiaceae Ulmaceae Burseraceae Myrtaceae Myrtaceae Ericaceae Verbenaceae Polygalaceae
hutan hutan hutan hutan, ladang hutan, ladang hutan ladang pustaka hutan, ladang, tailing 38, revegetasi hutan hutan, ladang revegetasi hutan, ladang revegetasi pustaka hutan hutan, ladang ladang ladang hutan, ladang hutan, ladang hutan, ladang hutan, ladang ladang, tailing 38, revegetasi pustaka hutan hutan, revegetasi hutan ladang, tailing 38, revegetasi hutan
118
Lampiran 2. Daftar nama jenis semak di lokasi penelitian suksesi, lokasi penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Spesies Anaxagorea scortechinii King Breynia cernua Muell. Arg. Commersonia bartramia (L.) Merr. Crotalaria sp. Dillenia suffructicosa (Griff.) Martelli Eupatorium inulaefolium H.B.K. Eurya acuminata DC. Gaertnera vaginata Poiret Guioa pubescens (Zoll. & Merr.) Radlk. Ixora miquelii Brem. Melastoma malabatrichum L. Mussaenda frondosa L. Pandanus odoratissimus L.f. (P. tectorius Soland. Ex Park.) Pandanus sp. Ploiarium alternifolium (Vahl.) Melch. Rauvolfia verticillata (Lour.) Baill. Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. Smilax barbata Wall. Anonim 17
Nama lokal Gerubeg Katu hutan Telimpuk Simpur Rumput busuk Mensalah Mengkumang Pules Soka hutan Kedebik Lemadep Jerutuk Bundong Reriang, Riang-riang Mempanyong Keramunting, Kerduduk Akar bahar
Famili Annonaceae Euphorbiaceae Sterculiaceae Leguminosae Dilleniaceae Asteraceae Theaceae Rubiaceae Sapindaceae Rubiaceae Melastomataceae Rubiaceae Pandanaceae Pandanaceae Theaceae Apocynaceae Myrtaceae Smilaceae Myrtaceae
Lokasi hutan ladang ladang, nursery tailing 38 tailing 38 ladang, tailing 7, tailing 38 hutan, ladang hutan, ladang hutan, ladang hutan ladang, tailing 7, tailing 11, tailing 38 hutan, ladang hutan hutan ladang, nursery hutan tailing 38 ladang tailing 38
119
Lampiran 3. Daftar nama jenis climber dan liana di lokasi penelitian suksesi, lokasi penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Spesies Ampelocissus thyrsiflora (Blume) Planch. Artabotrys suaveolens Blume Calamus sp. Calopogonium mucunoides Desv. Centrosema pubescens Bth. Dioscorea alata L. Freycinettia sp. Stenochlaena palustris (Burm.f.) Bedd. Urceola brachisepala Hook. f.
Nama lokal Akar anggur hutan Akar kelat Bebuar Kacang asu (Jw) Akar duri Seding Akar melat Akar ketol
Famili Vitaceae Annonaceae Arecaceae Leguminosae Leguminosae Dioscoreaceae Pandanaceae Pteridaceae Apocynaceae
Lokasi ladang hutan hutan revegetasi revegetasi ladang hutan ladang hutan, ladang
120
Lampiran 4. Daftar nama jenis herba di lokasi penelitian suksesi, lokasi penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Spesies Anchistrocladus tectorius Merr. Blumea balsamifera (L.) Blume Dianella nemorosa Lam Dicranopteris linearis (Burm.f.) Und. Eragrostis chariis (Schult.) Hitchc. Eriachne pallescens R. Br. Fimbristylis pauciflora R. Br. Glechenia sp. Imperata cylindrica (L.) Beauv. Lepironia articulata Rich. Lycopodium cernuum L. Nephentes sp.1 Nephenthes sp.2 Paspalum conjugatum Berg. Paspalum orbiculare Forst.f. Scleria levis Retz. Taenitis blechnoides (Willd.) Sw. Vernonia arborea Ham. Anonim sp.1 Anonim sp.3 Anonim sp.4 Anonim sp.6 Anonim sp.7 Anonim sp.8 Anonim sp.9 Anonim sp.10 Anonim sp.11
Nama lokal Belulus Rumput merambat Rumput belau Resam Rumput padian Rumput jenggot Alang-alang Purun Terak ayam Ketakung cangkir Ketakung, Ketuyut Rumput bebek Rumput seribu Serendai Pakisan Mentepung Kalamuntet Anggrek hutan Tajeug Rumput kekelut Remuding Anggrek hutan Mengkijau Puar hijau
Famili Anchistrocladaceae Asteraceae Liliaceae Gleicheniaceae Poaceae Poaceae Cyperaceae Pteridaceae Poaceae Cyperaceae Lycopodiaceae Nephentaceae Nephentaceae Poaceae Poaceae Cyperaceae Adiantaceae Asteraceae Orchidaceae Araceae Arecaceae Orchidaceae Zingiberaceae
Lokasi hutan tailing 11 ladang ladang tailing 11 tailing 38 tailing 7, tailing 11, tailing 38 tailing 38 ladang, tailing 7, tailing 11, tailing 38 revegetasi ladang tailing 38 ladang ladang, tailing 7, tailing 11 tailing 7 ladang, tailing 11, tailing 38 hutan ladang hutan hutan hutan hutan hutan tailing 38 ladang ladang ladang
121
Lampiran 5 Spora fungi mikoriza arbuskula pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 0 tahun Vegetasi dominan
Kedalaman (cm) 0-10
tidak vegetasi 10-20 Jumlah Prosentase (%)
Ul 1 2 3 1 2 3
Glomus spp.
1 1 1 1 1 1 2 100
Gigaspora spp.
Scutellospora sp.
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
Acaulospora sp. 0 0 0 0 0 0 0 0
Sclerocystis sp. 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 1 1 1 1 1 1
1
1 2 100
Keterangan: Ul = ulangan; jenis-jenis Glomus dan jenis-jenis Gigaspora tidak diidentifikasi masing-masing
122
Lampiran 6 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 7 tahun Vegetasi dominant
Kedalaman (cm) 0-10
Melastoma malabatrichum 10-20
0-10 Trema orientalis 10-20
0-10 Fimbristylis pauciflora 10-20 Jumlah Prosentase (%)
Ul
Glomus spp.
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
29 1 55 1 2 1 18 27 27 35 18 43 1 4 1 4 1 12 280 67.0
Gigaspora spp.
3 4 0 1 2 0 4 0 2 8 0 0 3 0 1 0 0 4 32 7.7
Scutellospora sp.
1 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 2 0 0 0 0 0 0 5 1.2
Acaulospora sp. 11 1 2 32 1 16 8 0 0 18 2 0 2 0 2 0 0 5 100 23.9
Sclerocystis sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0.2
Jumlah 44 6 57 34 5 17 30 27 31 61 21 45 6 4 4 4 1 21
107
56
88
127
14
26 418 100.0
Keterangan: Ul = ulangan; jenis-jenis Glomus dan jenis-jenis Gigaspora tidak diidentifikasi masing-masing
123
Lampiran 7 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 11 tahun Vegetasi dominant
Kedalaman (cm) 0-10
Melastoma malabatrichum 10-20
0-10 Blumea balsamifera 10-20
0-10 Paspalum arbiculare 10-20 Jumlah Prosentase (%)
Ul 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Glomus spp. 27 8 10 6 2 30 3 0 4 8 2 0 19 33 25 13 93 19 302 59.1
Gigaspora spp. 2 3 3 0 4 2 1 0 7 0 1 0 0 5 1 0 3 0 32 6.3
Scutellospora sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 2 0 4 0.8
Acaulospora sp. 0 71 10 4 44 10 5 2 3 3 0 1 0 8 7 1 1 3 173 33.9
Sclerocystis sp. 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.0
Jumlah 29 82 23 10 50 42 9 2 14 11 3 1 19 47 34 14 99 22
134
102
25
15
100
135 511 100.0
Keterangan: Ul = ulangan; jenis-jenis Glomus dan jenis-jenis Gigaspora tidak diidentifikasi masing-masing
124
Lampiran 8 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun Vegetasi dominant
Kedalaman (cm) 0-10
Rhodomyrtus tomentosa 10-20
0-10 Eriachne pallescens 10-20
0-10 Ischaemum sp. 10-20
Ul 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
sp1 1 1 1
1
2
4 9
9 6 11
sp2 147 136 111 79 217 255 1 41 105 13 29 27 53 95 56 130 40 54 530
sp3 45 34 90 27 51 47 6 21 24 4 11 10 5 6 17 46 8 36 163
Glomus sp4 sp5 6 6 7 1 1 5 3 1
sp6
sp7 10
2
Gigaspora sp1 sp2 13 1
3 1
2 5
2
4 2 1
3 2
1 1 12 1
11 2
2
3
2 3
3 4 8 28 21
Scutellospora sp1 2 2 4 2 3 1
1 1 1 2
5 4
9 7 27 24
Acaulospora sp1
2 2 1 1 4 5
2
Jumlah 206 203 204 121 277 307 17 71 141 19 50 44 82 113 81 192 73 155
Rata2
204
235
76
38
92
140
8 10 3 8 3 785 746 32 5 3 94.9 4.1 0.6 0.3 100 Keterangan: Ul = ulangan; Glomus sp1 = small hyaline glomus; Glomus sp2 = small yellow glomus; Glomus sp3 = small brown glomus; Glomus sp4 = yellow glomus; Glomus sp5 = brown glomus; Glomus sp6 = black glomus; Glomus sp7 = hyaline glomus; Gigaspora sp1 = hyaline spora; Gigaspora sp2 = yellow spora; Scutellospora sp1 = dark redish spora; Acaulospora sp1 = black spora; Acaulospora sp2 = brown spora. Jumlah Prosentase (%)
125
Lampiran 9 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di ladang ditinggalkan Vegetasi dominan
Kedalaman (cm)
0-10 Trema orientalis 10-20
0-10 Melastoma malabatrichum 10-20
0-10 Pternandra galeata 10-20 Jumlah Prosentase (%)
Ul 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Glomus spp.
10 0 29 4 12 1 9 7 32 4 5 19 7 10 17 7 1 6 180 44.1
Gigaspora spp.
4 102 3 1 21 0 0 0 4 0 3 0 1 0 5 0 0 0 144 35.3
Scutellospora sp.
Acaulospora sp.
Sclerocystis sp.
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0.2
5 15 5 2 0 14 1 2 13 0 2 1 1 6 0 13 0 0 80 19.6
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 3 0.7
Jumlah 19 117 37 7 33 15 10 9 50 4 10 20 9 16 23 20 2 7
173
55
69
34
48
29 408 100.0
Keterangan: Ul = ulangan; jenis-jenis Glomus dan jenis-jenis Gigaspora tidak diidentifikasi masing-masing
126
Lampiran 10 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di hutan Vegetasi dominan
Kedalaman (cm) 0-10
Tristaniopsis whiteana 10-20
0-10 Syzygium sp. 10-20
0-10 Ilex cymosa 10-20 Jumlah Prosentase (%)
Ul
Glomus spp.
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
5 7 17 6 0 1 1 2 7 3 2 6 5 3 5 4 2 2 78 57.4
Gigaspora spp.
0 0 9 0 3 2 9 1 5 2 1 1 5 1 5 3 0 4 51 37.5
Scutellospora sp.
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Acaulospora sp. 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1.5
Sclerocystis sp. 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 5 3.7
Jumlah 5 8 27 6 4 3 11 3 12 5 3 7 10 5 10 8 3 6
40
13
26
15
25
17 136 100
Keterangan: Ul = ulangan; jenis-jenis Glomus dan jenis-jenis Gigaspora tidak diidentifikasi masing-masing
127
Lampiran 11 Jumlah koloni mikrob pelarut fosfat di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan Lokasi penelitian Lahan pasca tambang timah berumur 0 tahun Lahan pasca tambang timah berumur 7 tahun Lahan pasca tambang timah berumur 11 tahun Lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun
Ladang ditinggalkan
Hutan
Vegetasi dominan Tidak ada vegetasi Fymbristylis pauciflora Trema orientalis Melastoma malabatrichum Paspalum arbiculare Blumea balsamifera Melastoma malabatrichum Rhodomyrtus tomentosa Eriachne pallescens Isachemeum sp. Trema orientalis Melastoma malabatrichum Pternandra galeata Tristaniopsis whiteana Syzygium sp. Ilex cymosa
Kedalaman (cm)
Jumlah rata2 koloni mikrob pelarut fosfat ( x 105 c/g tanah)
0-10 10-20 0-10 10-20
5.0 1.0 10.3 8.3
0-10 10-20
6.0 6.7
0-10 10-20
3.2 0.8
0-10 10-20
17.3 20.7
0-10 10-20
7.0 6.3
128
Lampiran 12 Jumlah individu per hektar, jumlah jenis, dan jumlah famili pada tingkat semai, sapihan, tiang, dan pohon di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan Jumlah individu ha-1
Lokasi penelitian
Jumlah jenis
Jumlah famili
semai
sapihan
tiang
pohon
jumlah
semai
sapihan
tiang
pohon
jumlah
semai
sapihan
tiang
pohon
jumlh
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Lahan pasca tambang berumur 0 tahun Lahan pasca tambang berumur 7 tahun Lahan pasca tambang berumur 11 tahun Lahan pasca tambang berumur 38 tahun Ladang ditinggalkan
890
0
0
0
890
6
0
0
0
6
4
0
0
0
4
1675
0
0
0
1675
7
0
0
0
7
4
0
0
0
4
2125
55
0
0
2180
15
1
0
0
16
12
1
0
0
12
1640
3665
15
0
5320
48
29
3
0
61
26
15
3
0
31
Hutan
2665
3215
305
170
6355
42
44
24
11
72
24
21
14
8
34
Lampiran 13 Indeks nilai penting tingkat semai di lahan pasca tambang timah berumur 7 tahun No. 1 2 3 4 5 6
Jenis Fimbristylis pauciflora R.Br. Imperata cylindrica (L.) Beauv. Melastoma malabatrichum L. Eupatorium inulaefolium H.B.K. Paspalum orbiculare Forst.f. Paspalum conjugatum Berg. Jumlah
Famili
N
Cyperaceae Poaceae Melastomataceae Asteraceae Poaceae Poaceae
73 55 27 12 6 5 178
DR
F
FR
INP
Dominancy index C
365 275 135 60 30 25
41.01 30.90 15.17 6.74 3.37 2.81
0.40 0.30 0.35 0.20 0.15 0.15
25.81 19.35 22.58 12.90 9.68 9.68
66.82 50.25 37.75 19.64 13.05 12.49
0.1116151 0.0631359 0.0356250 0.0096480 0.0042564 0.0038978
0.158753 0.157602 0.124239 0.078960 0.049627 0.043580
890
100.00
1.55
100.00
200.00
0.23
0.61
SP
Density
8 6 7 4 3 3
Diversity index
Species richness d
evenness e
2.22
0.79
129
Lampiran 14 Indeks nilai penting tingkat semai di lahan pasca tambang timah berumur 11 tahun No. 1 2 3 4 5 6 7
Jenis
Famili
Blumea balsamifera (L.) Blume Paspalum conjugatum Berg. Imperata cylindrica (L.) Beauv. Fimbristylis pauciflora R.Br. Melastoma malabathricum L. Eragrostis chariis (Schult.) Hitchc. Scleria levis Retz. Jumlah
Asteraceae Poaceae Poaceae Cyperaceae Melastomataceae Poaceae Cyperaceae
DR
F
FR
INP
Dominancy index C
Diversity index
Species richness d
evenness e
1150 195 100 120 25 70 15
68.66 11.64 5.97 7.16 1.49 4.18 0.90
0.60 0.30 0.15 0.10 0.15 0.05 0.05
42.86 21.43 10.71 7.14 10.71 3.57 3.57
111.51 33.07 16.68 14.31 12.21 7.75 4.47
0.31088352 0.02734122 0.00695926 0.00511728 0.00372516 0.00150177 0.00049884
0.1121281 0.1087320 0.0730755 0.0820179 0.0272548 0.0576264 0.0016472
2.38
0.55
1675
100.00
1.40
100.00
200.00
0.36
0.46
N
SP
Density
230 39 20 24 5 14 3
12 6 3 2 3 1 1
335
Keterangan: N = jumlah individu; SP = jumlah petak; DR = densitas relatif, F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; INP = indeks nilai penting
130
Lampiran 15 Indeks nilai penting tingkat semai di lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Jenis Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. Eriachne pallescens R. Br. Ischaemum sp. Crotalaria sp. Melastoma malabathricum L. Anonim 1 Fimbristylis pauciflora R. Br. Glechenia sp. Scleria levis Retz. Vitex pinnata L. Schima wallichii (DC.) Korth. Eupatorium inulaefolium H.B.K. Trema orientalis (L.) Blume Dillenia suffructicosa (Griff.) Martelli Nephentes sp. Jumlah
Famili
N
SP
Density
Myrtaceae Poaceae Poaceae Leguminosae Melastomataceae ? Poaceae Pteridaceae Cyperaceae Verbenaceae Theaceae Asteraceae Ulmaceae Dilleniaceae Nephentaceae
79 55 48 41 40 30 33 25 28 9 10 12 5 6 4
17 7 7 7 6 8 6 6 4 6 5 4 5 3 2
425
Dominancy index C
Diversity index
Species richness d
evenness e
36.87 20.47 18.82 17.17 15.86 15.66 14.22 12.33 10.89 8.57 7.73 7.12 6.55 4.64 3.09
0.033981 0.010474 0.008856 0.007374 0.006291 0.006132 0.005053 0.003803 0.002964 0.001836 0.001494 0.001269 0.001073 0.000538 0.000239
0.135836 0.114921 0.106972 0.097976 0.096596 0.081266 0.086179 0.072379 0.077822 0.035453 0.038315 0.043742 0.022699 0.026121 0.019071
5.33
0.90
200.00
0.09
1.055348
DR
F
FR
INP
395 275 240 205 200 150 165 125 140 45 50 60 25 30 20
18.59 12.94 11.29 9.65 9.41 7.06 7.76 5.88 6.59 2.12 2.35 2.82 1.18 1.41 0.94
0.85 0.35 0.35 0.35 0.30 0.40 0.30 0.30 0.20 0.30 0.25 0.20 0.25 0.15 0.10
18.28 7.53 7.53 7.53 6.45 8.60 6.45 6.45 4.30 6.45 5.38 4.30 5.38 3.23 2.15
2125
100.00
4.65
100.00
Keterangan: N = jumlah individu; SP = jumlah petak; DR = densitas relatif, F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; INP = indeks nilai penting
131
Lampiran 16 Indeks nilai penting tingkat sapihan di lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun No. 1
Jenis
Famili
Anonim sp.17
N
Myrtaceae
11 11
Jumlah
SP
Density
1
55 55
DR
F
FR
INP
100.0 100.0
0.05 0.05
100.0 100.0
200.0 200.0
dominancy index (D)
diversity index (H)
species richness (d)
evenness (e)
1 1
0
0
0
Keterangan: N = jumlah individu; SP = jumlah petak; DR = densitas relatif, F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; INP = indeks nilai penting
Lampiran 17 Indeks nilai penting tingkat semai di ladang ditinggalkan No.
Jenis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Scleria levis Retz. Trema orientalis (L.) Blume Dicranopteris linearis (Burm.f.) Und. Melastoma malabatrichum L. Paspalum conjugatum Berg. Lycopodium cernuum L. Eupatorium inulaefolium H.B.K. Nephenthes sp.2 Dianella nemorosa Lam Imperata cylindrica (L.) Beauv. Macaranga javanica (Blume) Muell. Arg. Anonim
Famili
Adinandra dumosa Jack Mussaenda frondosa L. Calophyllum lanigerum Miq. Chionanthus ramiflorus Roxb. Archidendron clypearia (Jack) Nielsen
Cyperaceae Ulmaceae Gleicheniaceae Melastomataceae Poaceae Lycopodiaceae Asteraceae Nephentaceae Liliaceae Poaceae Euphorbiaceae Orchidaceae Myrtaceae Theaceae Rubiaceae Clusiaceae Oleaceae Fabaceae
Vernonia arborea Ham.
Asteraceae
Syzygium claviflorum (Roxb.) Wall.ex AMCowan&Cowan
N
SP
Density
40 46 35 24 15 26 9 10 7 8 5 10 6 5 5 5 7 5 5
13 6 5 8 9 5 5 4 4 3 4 2 3 3 3 3 2 2 2
200 230 175 120 75 130 45 50 35 40 25 50 30 25 25 25 35 25 25
DR
F
FR
INP
Dominancy index C
Diversity index
Species richness d
evenness e
12.20 14.02 10.67 7.32 4.57 7.93 2.74 3.05 2.13 2.44 1.52 3.05 1.83 1.52 1.52 1.52 2.13 1.52 1.52
0.65 0.30 0.25 0.40 0.45 0.25 0.25 0.20 0.20 0.15 0.20 0.10 0.15 0.15 0.15 0.15 0.10 0.10 0.10
10.92 5.04 4.20 6.72 7.56 4.20 4.20 3.36 3.36 2.52 3.36 1.68 2.52 2.52 2.52 2.52 1.68 1.68 1.68
23.12 19.07 14.87 14.04 12.14 12.13 6.95 6.41 5.50 4.96 4.89 4.73 4.35 4.05 4.05 4.05 3.81 3.21 3.21
0.0133628 0.0090882 0.0055297 0.0049279 0.0036822 0.0036775 0.0012060 0.0010272 0.0007550 0.0006150 0.0005968 0.0005592 0.0004731 0.0004091 0.0004091 0.0004091 0.0003638 0.0002568 0.0002568
0.11144 0.11964 0.10370 0.08310 0.06127 0.08727 0.04285 0.04622 0.03566 0.03934 0.02770 0.04622 0.03179 0.02770 0.02770 0.02770 0.03566 0.02770 0.02770
18.68
0.82
132
20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
Syzygium sp.2 Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy
Gaertnera vaginata Poiret Pternandra galeata (Cogn.) Ridley Stenochlaena palustris (Burm.f.) Bedd. Syzygium zeylanicum (L.) DC. Ormosia bancana Prain. Timonius flavescens Baker Syzygium sp.6 Urceola brachisepala Hook.f. Puar hijau Anonim Schima wallichii (DC.) Korth. Dioscorea alata L. Kibatalia maingayi (Hook.f.) Woods. Ploiarium alternifolium (Vahl.) Melch. Cratoxylum glaucum Korth. Syzygium lineatum (DC.) Merr. & Perry Archidendron microcarpum (Benth.) Nielsen Litsea umbellata (Lour.) Merr. Ficus fistulosa Reinw. Commersonia bartramia (L.) Merr. Macaranga trichocarpa (Rchb.f.&Zoll.) Muell. Arg.
Mallotus paniculatus Muell. Arg. Aporosa cf. aurita (Tul.) Miq. Daphniphyllum laurinum (Benth.) Baill. Breynia cernua Muell. Arg. Eurya acuminata DC. Sapium baccatum Roxb. Jumlah
Myrtaceae Clusiaceae Rubiaceae Melastomataceae Pteridaceae Myrtaceae Papilionaceae Rubiaceae Myrtaceae Apocynaceae Zingiberaceae Theaceae Dioscoreaceae Apocynaceae Theaceae Clusiaceae Myrtaceae Fabaceae Lauraceae Moraceae Sterculiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Daphniphyllaceae Euphorbiaceae Theaceae Euphorbiaceae
4 3 5 5 2 2 3 3 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 328
2 2 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
20 15 25 25 10 10 15 15 10 10 10 10 10 10 10 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 1640
1.22 0.91 1.52 1.52 0.61 0.61 0.91 0.91 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.61 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 100.00
0.10 0.10 0.05 0.05 0.10 0.10 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 5.95
1.68 1.68 0.84 0.84 1.68 1.68 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 0.84 100.00
2.90 2.60 2.36 2.36 2.29 2.29 1.75 1.75 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 200.00
0.0002103 0.0001684 0.0001398 0.0001398 0.0001312 0.0001312 0.0000770 0.0000770 0.0000526 0.0000526 0.0000526 0.0000526 0.0000526 0.0000526 0.0000526 0.0000328 0.0000328 0.0000328 0.0000328 0.0000328 0.0000328 0.0000328 0.0000328 0.0000328 0.0000328 0.0000328 0.0000328 0.0000328 0.0000328 0.05
0.02334 0.01865 0.02770 0.02770 0.01351 0.01351 0.01865 0.01865 0.01351 0.01351 0.01351 0.01351 0.01351 0.01351 0.01351 0.00767 0.00767 0.00767 0.00767 0.00767 0.00767 0.00767 0.00767 0.00767 0.00767 0.00767 0.00767 0.00767 0.00767 1.37
Keterangan: N = jumlah individu; SP = jumlah petak; DR = densitas relatif, F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; INP = indeks nilai penting
133
Lampiran 18 Indeks nilai penting tingkat sapihan di ladang ditinggalkan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Trema orientalis (L.) Blume Pternandra galeata (Cogn.) Ridley Gynotroches axillaris Blume Adinandra dumosa Jack
10
Schima wallichii (DC.) Korth. Syzygium zeylanicum (L.) DC. Ilex cymosa Blume Timonius flavescens Baker Aporosa cf. aurita (Tul.) Miq. Syzygium claviflorum (Roxb.) Wall.ex AM Cowan &
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Syzygium sp.6 Eugenia densiflora DC. Melaleuca cajuputi Powell Ficus grassularioides Burm.f. Macaranga javanica (Blume) Muell. Arg. Decaspermum fruticosum Forst. Archidendron clypearia (Jack) Nielsen Tarrena fragrans (Blume) Koord. & Val. Cratoxylum glaucum Korth. Macaranga trichocarpa (Rchb.f.&Zoll.) Muell. Arg.
21 22 23 24
Guioa pubescens (Zoll. & Merr.) Radlk.
Cowan
Daphniphyllum laurinum (Benth.) Baill. Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. Syzigium sp.5
Famili
N
SP
Density
Ulmaceae Melastomataceae
143 117
8 9
Rhizophoraceae Theaceae Theaceae Myrtaceae Aquifoliaceae Rubiaceae
85 43 52
9 13 10
61 40 28
8 9 8
DR
F
FR
INP
Dominancy index C
Diversity index
Species richness d
evenness e
19.51 15.96 11.60 5.87 7.09 8.32 5.46 3.82 3.82
0.40 0.45 0.45 0.65 0.50 0.40 0.45 0.40 0.35
5.63 6.34 6.34 9.15 7.04 5.63 6.34 5.63 4.93
25.14 22.30 17.93 15.02 14.14 13.96 11.80 9.45 8.75
0.0158038 0.0124321 0.0080409 0.0056409 0.0049959 0.0048691 0.0034781 0.0022343 0.0019138
0.11524 0.10357 0.08597 0.05507 0.06269 0.06970 0.05237 0.04061 0.04061
9.77
0.60
Euphorbiaceae
28
7
715 585 425 215 260 305 200 140 140
Myrtaceae
15
6
75
2.05
0.30
4.23
6.27
0.0009834
0.02545
Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Moraceae Euphorbiaceae
23 12 14 8 6
4 6 5 6 5
Myrtaceae Fabaceae
11 6
4 4
Rubiaceae Clusiaceae
8 4
3 3
115 60 70 40 30 55 30 40 20
3.14 1.64 1.91 1.09 0.82 1.50 0.82 1.09 0.55
0.20 0.30 0.25 0.30 0.25 0.20 0.20 0.15 0.15
2.82 4.23 3.52 4.23 3.52 2.82 2.82 2.11 2.11
5.95 5.86 5.43 5.32 4.34 4.32 3.64 3.20 2.66
0.0008865 0.0008592 0.0007374 0.0007067 0.0004708 0.0004660 0.0003304 0.0002567 0.0001767
0.03514 0.02142 0.02414 0.01556 0.01235 0.02001 0.01235 0.01556 0.00888
Euphorbiaceae Sapindaceae Daphniphyllaceae Clusiaceae
3 7 4 2
3 2 2 2
Myrtaceae
6
1
15 35 20 10 30
0.41 0.95 0.55 0.27 0.82
0.15 0.10 0.10 0.10 0.05
2.11 1.41 1.41 1.41 0.70
2.52 2.36 1.95 1.68 1.52
0.0001590 0.0001396 0.0000955 0.0000707 0.0000580
0.00700 0.01399 0.00888 0.00499 0.01235
134
25 26 27 28 29
Vitex pinnata L. Syzygium sp.4 Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy Elaeocarpus valetonii Hochr. Mallotus paniculatus Muell. Arg.
0.98 0.98 0.84 0.84 0.84
0.0000239 0.0000239 0.0000177 0.0000177 0.0000177
0.00499 0.00499 0.00277 0.00277 0.00277
Jumlah 3665 100.0 7.1 100.0 200.0 Keterangan: N = jumlah individu; SP = jumlah petak; DR = densitas relatif, F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; INP = indeks nilai penting
0.07
0.88
Verbenaceae Myrtaceae Clusiaceae Elaeocarpaceae Euphorbiaceae
2 2 1
1 1 1
1 1 733
1 1
10 10 5 5 5
0.27 0.27 0.14 0.14 0.14
0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
0.70 0.70 0.70 0.70 0.70
Lampiran 19 Indeks nilai penting tingkat tiang di ladang ditinggalkan No. 1 2 3
Jenis Syzygium sp.6 Sapium baccatum Roxb. Artocarpus integer (Thunb.) Merr. Jumlah
Famili
DR
F
FR
Cover
CR
INP
Dominancy index C
Diversity index
5 5
33.33 33.33
0.05 0.05
33.33 33.33
90.69 30.63
68.54 23.15
135.21 89.82
0.2031156 0.0896306
0.11289 0.11289
5
33.33
0.05
33.33
11.00
8.31
74.98
0.0624664
0.11289
15
100.00
0.15
100.00
132.32
100.00
300.00
0.36
0.34
N
SP
Density
Myrtaceae Euphorbiaceae
1 1
1 1
Moraceae
1
1
3
Species richness d 4.19
evenness e 0.71
135
Lampiran 20 Indeks nilai penting tingkat semai di hutan No.
Jenis
1 2 3
Gaertnera vaginata Poiret Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy Calophyllum lanigerum Miq. Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. Pandanus sp. Litsea forstenii Blume Calamus sp. Pternandra galeata (Korth.) Ridley Eurycoma longifolia Jack Freycinettia sp. Taenitis blechnoides (Willd.) Sw. Rhodamnia cinerea Jack Ancistrocladus tectorius Merr. Ixora miquelii Brem. Eurya acuminata DC. Syzygium claviflorum (Roxb.) Wall. ex AM Cowan & Cowan Chaetocarpus castanocarpus (Roxb.) Thw. Urceola brachysepala Hook. f. Kibatalia maingayi (Hook.f.) Woods. Schima wallichii (DC.) Korth. Tarrena fragrans (Blume) Koord. & Val. Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Artabotrys suaveolens Blume
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Famili
N
SP
Density
Rubiaceae Clusiaceae Clusiaceae
140 48 32
7 12 9
Myrtaceae
32
Clusiaceae Pandanaceae Lauraceae Arecaceae Melastomataceae Simaroubaceae Pandanaceae Taenitidaceae Myrtaceae Ancistrocladaceae Rubiaceae Theaceae Myrtaceae Euphorbiaceae Apocynaceae Apocynaceae Theaceae Rubiaceae Symplocaceae Annonaceae
dominancy index (D)
diversity index (H)
31.91 18.68 13.26
0.025459 0.008726 0.004397
0.15250 0.09415 0.07334
6.45
12.46
0.003878
0.07334
0.20 0.30 0.30 0.30 0.30 0.05 0.10 0.15 0.20 0.20 0.20 0.15
3.23 4.84 4.84 4.84 4.84 0.81 1.61 2.42 3.23 3.23 3.23 2.42
9.23 9.15 8.40 8.03 7.65 6.81 5.55 5.42 4.73 4.35 4.16 4.11
0.002130 0.002095 0.001765 0.001611 0.001464 0.001159 0.000771 0.000735 0.000559 0.000473 0.000433 0.000422
0.07334 0.05890 0.05162 0.04772 0.04364 0.07334 0.05534 0.04571 0.02737 0.02194 0.01902 0.02993
0.75
0.20
3.23
3.98
0.000395
0.01594
1.13 1.88 0.94 0.56 2.06 0.94 0.56
0.15 0.10 0.15 0.15 0.05 0.10 0.10
2.42 1.61 2.42 2.42 0.81 1.61 1.61
3.55 3.49 3.36 2.98 2.87 2.55 2.18
0.000314 0.000304 0.000282 0.000222 0.000206 0.000163 0.000118
0.02194 0.03240 0.01902 0.01266 0.03478 0.01902 0.01266
DR
F
FR
INP
700 240 160
26.27 9.01 6.00
0.35 0.60 0.45
5.65 9.68 7.26
8
160
6.00
0.40
32 23 19 17 15 32 21 16 8 6 5 9
4 6 6 6 6 1 2 3 4 4 4 3
160 115 95 85 75 160 105 80 40 30 25 45
6.00 4.32 3.56 3.19 2.81 6.00 3.94 3.00 1.50 1.13 0.94 1.69
4
4
20
6 10 5 3 11 5 3
3 2 3 3 1 2 2
30 50 25 15 55 25 15
species richness (d) 15.04
evenness (e) 0.77
136
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Anonim sp.14 Arecaceae 2 2 10 0.38 0.10 1.61 1.99 0.000099 Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat. Myrtaceae 3 1 15 0.56 0.05 0.81 1.37 0.000047 Anonim sp.12 Araceae 3 1 15 0.56 0.05 0.81 1.37 0.000047 Guioa pubescens (Zoll. & Moritzi) Radlk. Sapindaceae 3 1 15 0.56 0.05 0.81 1.37 0.000047 Ormosia bancana (Miq.) Merr. Papilionaceae 2 1 10 0.38 0.05 0.81 1.18 0.000035 Anonim sp.4 2 1 10 0.38 0.05 0.81 1.18 0.000035 Anonim sp.13 2 1 10 0.38 0.05 0.81 1.18 0.000035 Chionanthus ramiflorus Roxb. Oleaceae 2 1 10 0.38 0.05 0.81 1.18 0.000035 Gynotroches axillaris Blume Rhizophoraceae 2 1 10 0.38 0.05 0.81 1.18 0.000035 Aporosa cf. aurita (Tul.) Miq. Euphorbiaceae 2 1 10 0.38 0.05 0.81 1.18 0.000035 Lithocarpus blumeanus (Korth.) Rehd. Fagaceae 1 1 5 0.19 0.05 0.81 0.99 0.000025 Mussaenda frondosa L. Rubiaceae 1 1 5 0.19 0.05 0.81 0.99 0.000025 Anonim sp.11 Orchidaceae 1 1 5 0.19 0.05 0.81 0.99 0.000025 Lepisanthes amoena (Hassk.) Leenh. Sapindaceae 1 1 5 0.19 0.05 0.81 0.99 0.000025 Arthrophyllum diversifolium Blume Araliaceae 1 1 5 0.19 0.05 0.81 0.99 0.000025 Syzygium zeylanicum (L.) DC. Myrtaceae 1 1 5 0.19 0.05 0.81 0.99 0.000025 Ilex cymosa Blume Aquifoliaceae 1 1 5 0.19 0.05 0.81 0.99 0.000025 Nephelium maingayi Hiern. Sapindaceae 1 1 5 0.19 0.05 0.81 0.99 0.000025 Jumlah 533 2665 100.0 6.2 100.0 200.0 0.06 Keterangan: N = jumlah individu; SP = jumlah petak; DR = densitas relatif, F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; INP = indeks nilai penting
0.00910 0.01266 0.01266 0.01266 0.00910 0.00910 0.00910 0.00910 0.00910 0.00910 0.00512 0.00512 0.00512 0.00512 0.00512 0.00512 0.00512 0.00512 1.25
15.04
137
Lampiran 21 Indeks nilai penting tingkat sapihan di hutan No. 1 2
Jenis
9
Calophyllum lanigerum Miq. Pternandra galeata (Cogn.) Ridley Tristaniopsis whiteana (Griff.) P.G. Wilson & J.T. Waterhouse Gaertnera vaginata Poiret Syzygium lineatum (DC) Merr. & Perry Rhodamnia cinerea Jack Ilex cymosa Blume Chaetocarpus castanocarpus Thw. Syzygium claviflorum (Roxb.) Wall.ex AM Cowan &
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. Chionanthus ramiflorus Roxb. Lithocarpus blumeanus (Korth.) Rehd. Gynotroches axillaris Blume Aporosa cf. aurita (Tul.) Miq. Syzygium sp.6 Tarrena fragrans (Blume) Koord. & Val. Calophyllum pulcherrimum Wall. Ex Choisy Helicia serrata (R.Br.) Blume Litsea umbellata (Lour.) Merr. Ormosia bancana Prain. Syzygium sp.2 Eurycoma longifolia Jack Elaeocarpus valetonii Hochr. Schima wallichii (DC.) Korth. Syzygium zeylanicum (L.) DC. Lithocarpus sp.2 Eugenia densiflora DC. Timonius flavescens Baker Daphniphyllum laurinum (Benth.) Baill. Baccaurea bracteata Muell. Arg. Lophoptalum javanicum (Zoll.) Turcz.
3 4 5 6 7 8
Cowan
DR
F
FR
INP
Dominancy index C
Diversity index
Species richness d
evenness e
380 395
11.82 12.29
0.85 0.75
6.97 6.15
18.79 18.43
0.0088236 0.0084950
0.09500 0.09716
22.26
0.62
14
310
9.64
0.70
5.74
15.38
0.0059136
0.08410
55 45 31 20 30
13 11 12 14 10
275 225 155 100 150
8.55 7.00 4.82 3.11 4.67
0.65 0.55 0.60 0.70 0.50
5.33 4.51 4.92 5.74 4.10
13.88 11.51 9.74 8.85 8.76
0.0048174 0.0033101 0.0023713 0.0019572 0.0019202
0.07805 0.06858 0.05328 0.03895 0.05208
Myrtaceae
26
11
130
4.04
0.55
4.51
8.55
0.0018283
0.04708
Clusiaceae Oleaceae Fagaceae Rhizophoraceae Euphorbiaceae Myrtaceae Rubiaceae Clusiaceae Proteaceae Lauraceae Papilionaceae Myrtaceae Simaroubaceae Eleocarpaceae Theaceae Myrtaceae Fagaceae Myrtaceae Rubiaceae Daphniphyllaceae Euphorbiaceae Celastraceae
27 19 16 12 11 11 7 9 8 7 7 9 10 7 5 7 8 4 5 4 3 2
8 6 7 8 8 6 7 6 6 6 6 5 4 5 5 4 3 4 3 2 2 2
135 95 80 60 55 55 35 45 40 35 35 45 50 35 25 35 40 20 25 20 15 10
4.20 2.95 2.49 1.87 1.71 1.71 1.09 1.40 1.24 1.09 1.09 1.40 1.56 1.09 0.78 1.09 1.24 0.62 0.78 0.62 0.47 0.31
0.40 0.30 0.35 0.40 0.40 0.30 0.35 0.30 0.30 0.30 0.30 0.25 0.20 0.25 0.25 0.20 0.15 0.20 0.15 0.10 0.10 0.10
3.28 2.46 2.87 3.28 3.28 2.46 2.87 2.46 2.46 2.46 2.46 2.05 1.64 2.05 2.05 1.64 1.23 1.64 1.23 0.82 0.82 0.82
7.48 5.41 5.36 5.14 4.99 4.17 3.96 3.86 3.70 3.55 3.55 3.45 3.19 3.14 2.83 2.73 2.47 2.26 2.01 1.44 1.29 1.13
0.0013979 0.0007328 0.0007175 0.0006618 0.0006224 0.0004347 0.0003915 0.0003722 0.0003428 0.0003146 0.0003146 0.0002974 0.0002551 0.0002461 0.0001998 0.0001860 0.0001530 0.0001279 0.0001007 0.0000520 0.0000414 0.0000320
0.04835 0.03752 0.03303 0.02658 0.02486 0.02486 0.01747 0.02129 0.01941 0.01747 0.01747 0.02129 0.02310 0.01747 0.01336 0.01747 0.01941 0.01116 0.01336 0.01116 0.00882 0.00630
Famili
N
SP
Density
Clusiaceae Melastomataceae
76 79
17 15
Myrtaceae
62
Rubiaceae Myrtaceae Myrtaceae Aquifoliaceae Euphorbiaceae
138
32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Elaeocarpus mastersii King Artocarpus sp. Adinandra dumosa Jack Syzygium sexangulatum (Miq.) Amsh. Cratoxyllum formosum Benth. & Hook.f. ex Dyer Cratoxyllum glaucum Korth. Ficus consociata Blume Kibatalia maingayi (Hook.f.) Woods. Gordonia excelsa Blume Arthrophyllum diversifolium Blume Brachenridgea palustris Bartell. Macaranga javanica (Blume) Muell. Arg. Litsea forstenii Blume Jumlah
Eleocarpaceae Moraceae Theaceae Myrtaceae
2 3 3 2
2 1 1 1
10 15 15 10
0.31 0.47 0.47 0.31
0.10 0.05 0.05 0.05
0.82 0.41 0.41 0.41
1.13 0.88 0.88 0.72
0.0000320 0.0000192 0.0000192 0.0000130
0.00630 0.00882 0.00882 0.00630
Clusiaceae
2
1
10
0.31
0.05
0.41
0.72
0.0000130
0.00630
2 1 1 1 1 1 1 1 643
1 1 1 1 1 1 1 1
10 5 5 5 5 5 5 5 3215
0.31 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 100.0
0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 12.2
0.41 0.41 0.41 0.41 0.41 0.41 0.41 0.41 100.0
0.72 0.57 0.57 0.57 0.57 0.57 0.57 0.57 200.0
0.0000130 0.0000080 0.0000080 0.0000080 0.0000080 0.0000080 0.0000080 0.0000080 0.05
0.00630 0.00351 0.00351 0.00351 0.00351 0.00351 0.00351 0.00351 1.13
Clusiaceae Moraceae Apocynaceae Theaceae Araliaceae Ochnaceae Euphorbiaceae Lauraceae
139
Lampiran 22 Indeks nilai penting tingkat tiang di hutan No.
Jenis
1 2 3 4
Ilex cymosa Blume Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy Adinandra dumosa Jack Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat.
Aquifoliaceae Clusiaceae Theaceae Myrtaceae
5
Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Tristania merguensis Griff. Chaetocarpus castanocarpus (Roxb.) Thw. Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Vaccinium bancanum Miq. Pternandra galeata (Korth.) Ridley Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. Calophyllum cf. ferrugineum Ridl. Syzygium sp.6 Eugenia densiflora DC. Nephelium eriopetalum Miq. Cratoxylum formosum Benth. & Hook.f. ex Dyer Gynotroches axillaris Blume Nauclea subdita (Korth.) Steud. Xanthophyllum vitellinum (Blume) Dietr. Rhodamnia cinerea Jack Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser Elaeocarpus mastersii King Lophopetalum javanicum (Zoll.) Turcz. Schima wallichii (DC.) Korth. Jumlah
Famili
N
SP
Density
18 5 5 3
13 3 4 3
Myrtaceae
4
Myrtaceae Euphorbiaceae Symplocaceae Ericaceae Melastomataceae Clusiaceae Clusiaceae Myrtaceae Myrtaceae Sapindaceae Clusiaceae Rhizophoraceae Rubiaceae Polygalaceae Myrtaceae Anisophyllaceae Elaeocarpaceae Celastraceae Theaceae
dominancy index (D)
diversity index (H)
species richness (d)
evenness (e)
89.29 24.02 21.72 18.15
0.088576 0.006413 0.005240 0.003661
0.15641 0.08905 0.08905 0.06434
12.88
0.84
2.21
16.61
0.003065
0.07759
435.8 275.8 86.9 466.3 98.1 263.9 238.8 160.8 114.5 76.0
6.81 4.31 1.36 7.29 1.53 4.12 3.73 2.51 1.79 1.19
15.65 13.15 12.16 10.89 8.73 7.72 7.33 6.11 5.39 4.79
0.002721 0.001921 0.001642 0.001317 0.000847 0.000663 0.000597 0.000415 0.000323 0.000255
0.06434 0.06434 0.06434 0.02927 0.04867 0.02927 0.02927 0.02927 0.02927 0.02927
1.96
69.2
1.08
4.68
0.000243
0.02927
1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96 100.0
56.7 48.1 45.4 42.7 35.3 33.0 24.5 22.5 6400.4
0.89 0.75 0.71 0.67 0.55 0.52 0.38 0.35 100.0
4.49 4.35 4.31 4.27 4.15 4.12 3.98 3.95 300.0
0.000224 0.000210 0.000206 0.000202 0.000192 0.000188 0.000176 0.000174 0.12
0.02927 0.02927 0.02927 0.02927 0.02927 0.02927 0.02927 0.02927 1.16
DR
F
FR
Cover
CR
INP
90 25 25 15
29.51 8.20 8.20 4.92
0.65 0.15 0.20 0.15
25.49 5.88 7.84 5.88
2194.5 636.5 363.3 470.5
34.29 9.94 5.68 7.35
4
20
6.56
0.20
7.84
141.3
3 3 3 1 2 1 1 1 1 1
2 2 3 1 2 1 1 1 1 1
15 15 15 5 10 5 5 5 5 5
4.92 4.92 4.92 1.64 3.28 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64
0.10 0.10 0.15 0.05 0.10 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
3.92 3.92 5.88 1.96 3.92 1.96 1.96 1.96 1.96 1.96
1
1
5
1.64
0.05
1 1 1 1 1 1 1 1 61
1 1 1 1 1 1 1 1
5 5 5 5 5 5 5 5 305
1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 100.0
0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 2.55
140
Lampiran 23 Indeks nilai penting tingkat pohon di hutan No.
Jenis
Famili
N
SP
Density
DR
F
FR
Cover
CR
INP
dominancy index (D)
diversity index (H)
1
Schima wallichii (DC.) Korth.
Theaceae
8
6
40
23.53
0.30
20.69
1965.9
21.08
65.30
0.047382
0.14786
2
Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat.
Myrtaceae
6
6
30
17.65
0.30
20.69
2207.1
23.67
62.01
0.042720
0.13294
Aquifoliaceae
7
5
35
20.59
0.25
17.24
2044.5
21.93
59.76
0.039675
0.14131
Myrtaceae
3
3
15
8.82
0.15
10.34
777.4
8.34
27.51
0.008406
0.09303
Clusiaceae
3
2
15
8.82
0.10
6.90
415.8
4.46
20.18
0.004524
0.09303
Clusiaceae
2
2
10
5.88
0.10
6.90
391.4
4.20
16.98
0.003202
0.07238
Fagaceae Celastraceae Linaceae Anacardiaceae Theaceae
1 1 1 1 1
1 1 1 1 1
5 5 5 5 5
2.94 2.94 2.94 2.94 2.94
0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
3.45 3.45 3.45 3.45 3.45
802.6 276.9 192.3 127.5 123.1
8.61 2.97 2.06 1.37 1.32
15.00 9.36 8.45 7.76 7.71
0.002499 0.000973 0.000794 0.000669 0.000660
0.04504 0.04504 0.04504 0.04504 0.04504
170
100.0
1.5
100.0
9324.5
100.0
300.0
0.15
0.91
3 4 5 6 7 8 9 10 11
Ilex cymosa Blume Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry Cratoxylum formosum Benth. & Hook.f. ex Dyer Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy Lithocarpus sp. Lophopetalum javanicum (Zoll.) Turcz. Ixonanthes petiolarisBlume Gluta velutina Blume Gordonia excelsa Blume Jumlah
34
species richness (d) 6.53
evenness (e) 0.87
Keterangan: N = jumlah individu; SP = jumlah petak; DR = densitas relatif, F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; CR = cover relatif; INP = indeks nilai penting
141
Lampiran 24 Survival dan luas tajuk tiap kombinasi perlakuan pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam 3 BST Petak
6 BST 2
2
9 BST S (%) Tajuk (m2) II III I II III 79 69 19.9 25.8 12.0 75 64 19.1 16.5 14.0 73 75 21.5 31.5 26.8 76 72 15.9 24.4 26.6 83 74 19.3 24.5 34.9 61 59 3.1 5.0 3.1 67 63 4.1 7.6 5.1 63 65 3.7 5.5 4.7 61 61 3.1 4.0 4.4 57 54 3.9 3.5 5.8 64 57 1.5 1.4 1.4 57 43 1.8 1.0 1.0 64 64 2.4 1.3 3.3 57 43 1.4 0.9 1.0 50 50 1.6 1.2 1.5
12 BST S (%) Tajuk (m2) II III I II III 77 69 24.4 31.2 16.6 74 66 22.0 19.0 17.4 73 75 27.1 36.8 30.3 76 72 21.1 27.6 29.0 83 77 29.4 26.5 35.7 59 59 4.9 6.3 4.0 65 65 5.3 9.1 6.1 63 63 6.2 5.6 5.1 59 61 4.4 5.0 5.5 57 52 4.9 4.1 7.1 64 57 2.1 1.8 2.0 57 43 2.6 1.3 1.3 64 64 2.8 1.5 5.3 57 43 1.7 1.3 1.1 57 50 2.2 1.8 1.7
S (%) Tajuk (m ) S (%) Tajuk (m ) I II III I II III I II III I II III I I J1T1 99 99 100 6.6 7.3 7.5 91.4 90.8 93.3 7.4 7.5 5.8 75 74 J1T2 100 87 100 9.2 5.2 10.0 95.1 84.0 95.1 9.9 7.7 4.3 80 80 J1T3 98 100 100 9.9 10.3 11.1 92.0 84.7 93.9 8.9 8.0 13.1 77 77 J1T4 100 99 100 7.7 8.4 11.5 95.1 85.9 94.5 6.9 7.6 11.7 84 84 J1T5 96 99 99 6.4 10.5 13.6 93.3 87.1 92.6 7.3 11.9 11.9 75 77 J2T1 98 100 98 1.6 2.6 2.1 76.1 78.3 82.6 1.8 2.8 1.9 63 63 J2T2 91 100 100 1.7 3.1 3.2 84.8 78.3 80.4 1.4 3.4 2.2 65 65 J2T3 93 96 100 1.2 2.4 2.6 76.1 76.1 84.8 2.1 3.7 2.4 63 63 J2T4 98 98 98 1.8 1.8 2.0 71.7 71.7 78.3 1.8 1.5 2.5 65 65 J2T5 98 100 100 1.6 1.9 2.5 78.3 78.3 89.1 1.3 2.3 2.2 63 63 J3T1 93 100 100 0.6 0.6 0.7 92.9 71.4 85.7 0.8 0.8 0.6 64 64 J3T2 100 100 100 0.9 0.6 0.6 85.7 71.4 78.6 0.9 0.5 1.0 57 57 J3T3 93 100 100 0.5 0.6 1.2 85.7 64.3 78.6 1.1 0.6 1.6 64 64 J3T4 100 100 100 0.7 0.6 0.6 85.7 78.6 78.6 0.7 0.7 0.5 57 57 J3T5 100 100 100 0.5 0.9 0.9 78.6 64.3 85.7 0.5 0.7 0.7 79 79 Keterangan: J = kerapatan tanam dengan 3 level: 1, 2, 3; T = perlakuan tanah dengan lima level = 1, 2, 3, 4, 5; I, II, III = ulangan; S = survival; BST = bulan setelah tanam
142
Lampiran 25 Analysis of variance survival pada dua belas bulan setelah tanam Source Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total (*) = significant 5%
DF 2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 466.52 2,486.96 92.88 478.33 621.38 4,146.08
Mean Square 233.26 1,243.48 23.22 59.79 22.19
F Value 10.51 56.03 1.05 2.69
Pr > F 0.0004 <0.0001 0.4012 0.0247
* * *
Lampiran 26 Analysis of variance luas tajuk pada dua belas bulan setelah tanam Source Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total (*) = significant 5%
DF 2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 10.58 5,142.48 100.07 198.82 259.84 5,711.78
Mean Square 5.29 2,571.24 25.02 24.85 9.28
F Value 0.57 277.07 2.7 2.68
Pr > F 0.572 <0.0001 0.051 0.025
* *
143
Variable Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S
Macaranga M. Aporosa sp. sp. paniculatus
S. polyanthum
H. tiliaceus
V. pinnata
F. superba
S. grande
S. wallichii
Species C. inophyllum
Lampiran 27 Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada tiga bulan setelah tanam cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 %
I 43.1 0.67 0.50 100.0 51.8 0.64 0.21 100.0 77.8 0.68 1.55 100.0 62.4 0.75 1.25 100.0 69.2 0.66 1.87 100.0 62.5 0.67 0.64 100.0 52.0 0.64 0.44 100.0 17.3 0.50 0.04 100.0 21.4 0.50 0.06 100.0 13.5 0.50 0.00 33.3
J1T1 II 46.8 0.68 0.49 100.0 63.3 0.62 0.29 100.0 74.7 0.68 1.45 96.8 66.6 0.88 1.67 100.0 77.5 0.72 1.85 100.0 69.2 0.73 0.79 100.0 46.7 0.65 0.61 100.0 31.3 0.55 0.06 100.0 21.8 0.52 0.04 100.0 17.3 0.50 0.00 100.0
III 39.9 0.62 0.72 100.0 46.3 0.44 0.45 100.0 58.0 0.92 1.62 100.0 51.0 0.77 1.58 100.0 67.9 0.61 1.87 100.0 60.6 1.49 0.54 100.0 35.2 0.52 0.49 100.0 27.6 0.34 0.17 100.0 19.3 0.25 0.07 100.0 16.8 0.28 0.02 100.0
I 46.2 0.62 0.83 100.0 50.9 0.45 0.50 100.0 71.7 0.57 1.84 100.0 65.0 0.73 1.80 100.0 77.4 0.61 2.24 100.0 64.1 0.70 1.14 100.0 48.8 0.58 0.66 100.0 34.5 0.53 0.07 100.0 19.0 0.38 0.05 100.0 17.2 0.45 0.03 100.0
J1T2 II 38.6 0.73 0.63 100.0 41.4 0.60 0.19 85.7 61.3 0.66 1.53 100.0 55.4 0.78 1.53 100.0 74.0 0.66 1.30 97.5 64.9 0.66 0.45 100.0 39.9 0.67 0.44 100.0 26.5 0.43 0.05 66.7 25.6 0.52 0.07 100.0 11.1 0.50 0.01 33.3
III 41.4 0.66 0.84 100.0 48.5 0.60 0.57 100.0 61.2 0.59 1.62 100.0 55.6 0.83 1.83 100.0 65.2 0.62 1.87 100.0 63.6 0.90 1.10 100.0 41.2 0.69 0.79 100.0 30.8 0.36 1.27 100.0 16.4 0.26 0.06 100.0 16.7 0.30 0.03 100.0
I 45.0 0.75 0.79 100.0 53.0 0.61 0.27 100.0 70.4 0.68 1.94 100.0 63.0 0.93 2.39 100.0 78.4 0.74 2.71 100.0 66.6 0.78 0.97 100.0 45.1 0.69 0.75 93.8 25.7 0.55 0.03 100.0 24.9 0.47 0.05 100.0 11.5 0.50 0.00 33.3
J1T3 II 51.8 0.67 0.91 100.0 64.7 0.51 0.55 100.0 71.2 0.58 1.89 100.0 62.9 0.74 2.37 100.0 72.1 0.59 2.36 100.0 65.0 0.74 1.36 100.0 51.1 0.58 0.61 100.0 36.1 0.41 0.16 100.0 24.4 0.37 0.06 100.0 17.0 0.42 0.02 100.0
III 44.5 0.78 0.85 100.0 53.8 0.62 0.61 100.0 68.7 0.64 1.89 100.0 62.6 1.02 2.65 100.0 69.3 0.81 2.40 100.0 62.2 1.07 1.77 100.0 39.4 0.64 0.68 100.0 32.2 0.67 0.13 100.0 19.9 0.24 0.05 100.0 19.5 0.31 0.03 100.0
I 42.0 0.70 0.68 100.0 46.2 0.50 0.23 100.0 75.5 0.72 2.19 100.0 58.9 0.78 1.37 100.0 83.3 0.74 2.21 100.0 62.6 0.72 0.63 100.0 41.4 0.56 0.35 100.0 38.6 0.38 0.00 100.0 25.9 0.47 0.04 100.0 15.8 0.50 0.00 100.0
J1T4 II 39.2 0.65 0.58 100.0 40.6 0.55 0.23 100.0 70.5 0.67 2.15 100.0 51.0 0.75 1.90 100.0 71.4 0.69 2.24 100.0 55.6 0.66 0.95 100.0 36.4 0.52 0.30 100.0 24.8 0.48 0.05 100.0 21.1 0.27 0.04 100.0 21.5 0.33 0.00 33.3
III 41.1 0.67 0.68 100.0 47.1 0.49 0.47 100.0 59.1 0.59 1.84 100.0 63.6 1.08 2.66 100.0 73.8 0.78 2.74 100.0 61.9 0.99 1.92 100.0 49.3 0.74 0.85 100.0 39.6 0.43 0.26 100.0 11.9 0.35 0.03 100.0 24.5 0.48 0.05 100.0
I 45.0 0.62 0.51 100.0 45.7 0.60 0.26 100.0 68.9 0.62 1.34 100.0 49.1 0.66 1.10 100.0 ### 0.60 1.51 95.0 64.5 0.68 1.11 100.0 ### 0.62 0.53 87.5 39.5 0.58 0.05 66.7 24.0 0.43 0.04 66.7 9.3 0.30 0.04 66.7
J1T5 II 46.9 0.70 0.90 100.0 41.3 0.50 0.27 100.0 69.1 0.64 1.76 100.0 67.4 0.85 2.21 100.0 81.5 0.73 3.33 100.0 73.1 0.85 1.27 100.0 42.8 0.59 0.56 100.0 33.4 0.43 0.12 100.0 24.9 0.37 0.07 100.0 22.0 0.31 0.01 66.7
III 47.0 0.75 0.97 100.0 44.0 0.52 0.48 100.0 70.1 0.73 2.14 100.0 75.7 1.30 3.33 100.0 81.6 0.95 3.52 97.5 70.1 1.16 1.88 100.0 47.1 0.80 0.91 100.0 50.6 0.58 0.27 100.0 23.7 0.34 0.04 100.0 24.2 0.50 0.04 100.0
I 37.7 0.55 0.24 100.0 31.6 0.37 0.08 100.0 75.9 0.53 0.53 100.0 64.4 0.56 0.44 100.0 82.5 0.55 0.19 100.0 67.8 0.43 0.06 100.0 47.9 0.43 0.03 100.0 18.6 0.31 0.00 100.0 21.8 0.25 0.05 100.0 16.8 0.20 0.00 66.7
J2T1 II 43.1 0.67 0.41 100.0 43.8 0.51 0.29 100.0 71.7 0.64 0.38 100.0 65.7 0.91 0.52 100.0 78.0 0.89 0.37 100.0 75.8 1.08 0.34 100.0 41.9 0.62 0.09 100.0 33.9 0.57 0.12 100.0 19.7 0.32 0.04 100.0 28.0 0.35 0.02 100.0
III 41.4 0.64 0.34 100.0 44.3 0.39 0.23 100.0 60.2 0.58 0.41 100.0 56.6 0.91 0.48 100.0 72.6 0.68 0.24 100.0 61.6 0.86 0.13 100.0 35.4 0.58 0.09 100.0 31.8 0.45 0.08 100.0 23.9 0.29 0.08 100.0 21.1 0.19 0.01 66.7
I 38.8 0.67 0.25 100.0 42.1 0.61 0.18 100.0 75.7 0.67 0.34 100.0 61.9 1.01 0.45 100.0 63.5 0.67 0.13 100.0 61.7 0.77 0.15 100.0 36.9 0.70 0.06 66.7 25.4 0.52 0.06 100.0 26.2 0.53 0.05 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
J2T2 II 48.8 0.72 0.29 100.0 59.2 0.58 0.47 100.0 75.9 0.65 0.43 100.0 70.0 1.09 0.78 100.0 90.1 0.99 0.39 100.0 66.1 0.93 0.43 100.0 36.1 0.61 0.14 100.0 24.9 0.43 0.05 100.0 27.1 0.37 0.07 100.0 20.6 0.39 0.01 100.0
III 61.1 0.89 0.87 100.0 42.1 0.35 0.21 100.0 60.9 0.59 0.39 100.0 78.0 1.14 1.20 100.0 60.0 0.69 0.24 100.0 42.5 0.93 0.13 100.0 30.0 0.43 0.07 100.0 22.4 0.24 0.05 100.0 20.4 0.32 0.06 100.0 19.7 0.43 0.03 100.0
144
Variable Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S
Macaranga M. Aporosa sp. sp. paniculatus
S. polyanthum
H. tiliaceus
V. pinnata
F. superba
S. grande
S. wallichii
Species C. inophyllum
Lampiran 27 (lanjutan) cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 %
I 43.0 0.66 0.21 100.0 42.4 0.54 0.15 100.0 70.3 2.34 0.20 100.0 58.1 0.73 0.31 100.0 65.9 0.65 0.20 100.0 48.8 0.60 0.04 100.0 41.2 0.60 0.03 100.0 18.1 0.37 0.02 66.7 23.1 0.48 0.05 100.0 21.2 0.60 0.02 33.3
J2T3 II 42.9 0.56 0.28 100.0 58.2 0.59 0.30 80.0 71.7 0.58 0.46 100.0 63.1 0.74 0.58 100.0 75.1 0.67 0.26 100.0 61.5 0.70 0.20 100.0 41.6 0.63 0.12 100.0 39.3 0.53 0.11 100.0 40.7 0.27 0.04 100.0 21.4 0.33 0.01 66.7
III 43.0 0.63 0.32 100.0 41.0 0.43 0.12 100.0 67.0 0.64 0.43 100.0 54.9 0.87 0.55 100.0 66.8 0.76 0.28 100.0 70.8 1.14 0.19 100.0 38.5 0.83 0.15 100.0 23.5 0.30 0.07 100.0 17.7 0.27 0.41 100.0 21.2 0.25 0.04 100.0
I 34.2 0.50 0.34 100.0 33.1 0.37 0.15 100.0 66.3 0.49 0.30 100.0 55.7 0.52 0.39 100.0 78.4 0.64 0.40 100.0 61.2 0.53 0.10 100.0 22.5 0.42 0.07 100.0 19.7 0.33 0.01 100.0 20.8 0.28 0.04 100.0 12.5 0.29 0.00 66.7
J2T4 II 37.3 0.61 0.26 100.0 42.3 0.53 0.19 100.0 60.7 0.64 0.34 100.0 58.7 0.78 0.55 100.0 62.3 0.67 0.20 100.0 61.0 0.82 0.16 100.0 35.4 0.53 0.06 100.0 22.4 0.24 0.04 100.0 22.4 0.43 0.03 100.0 18.9 0.28 0.02 66.7
III 38.0 0.67 0.39 100.0 38.8 0.36 0.18 80.0 59.0 0.65 0.39 100.0 58.2 0.89 0.46 100.0 65.4 0.47 0.19 100.0 60.7 0.87 0.12 100.0 33.6 0.63 0.09 100.0 26.7 0.34 0.09 100.0 21.0 0.31 0.04 100.0 18.0 0.23 0.03 100.0
I 33.7 0.61 0.28 100.0 35.9 0.50 0.10 100.0 69.1 0.72 0.40 100.0 52.2 0.67 0.27 100.0 66.3 0.64 0.26 100.0 67.6 0.65 0.09 100.0 32.1 0.52 0.07 100.0 22.0 0.35 0.03 100.0 23.9 0.48 0.05 100.0 14.3 0.39 0.00 66.7
J2T5 II 38.0 0.65 0.34 100.0 37.6 0.56 0.22 100.0 56.4 0.59 0.34 100.0 60.5 0.68 0.46 100.0 74.7 0.62 0.16 100.0 62.1 0.79 0.18 100.0 37.9 0.56 0.10 100.0 24.8 0.43 0.08 100.0 19.4 0.42 0.04 100.0 11.2 0.38 0.00 100.0
III 38.6 0.61 0.45 100.0 37.7 0.46 0.27 100.0 66.6 0.55 0.27 100.0 62.8 0.94 0.71 100.0 76.6 0.70 0.30 100.0 57.7 0.82 0.25 100.0 34.5 0.54 0.08 100.0 28.6 0.31 0.10 100.0 19.6 0.27 0.02 100.0 20.7 0.21 0.05 100.0
I 38.6 0.60 0.04 100.0 43.8 0.63 0.10 100.0 73.7 0.63 0.07 100.0 52.5 0.73 0.10 100.0 98.5 0.55 0.21 100.0 74.5 0.80 0.03 100.0 48.2 0.55 0.01 100.0 35.5 0.60 0.05 100.0 27.3 0.60 0.03 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
J3T1 II 38.9 0.58 0.04 100.0 42.5 0.70 0.13 100.0 77.7 0.73 0.06 100.0 62.5 1.15 0.19 100.0 78.5 0.50 0.07 100.0 68.1 1.05 0.03 100.0 44.6 0.85 0.08 100.0 23.5 0.30 0.01 100.0 21.1 0.45 0.01 100.0 18.1 0.35 0.01 100.0
III 46.9 0.75 0.10 100.0 57.7 0.54 0.11 100.0 63.4 0.51 0.09 100.0 63.0 0.90 0.19 100.0 76.1 0.60 0.06 100.0 61.8 1.05 0.06 100.0 20.6 0.55 0.02 100.0 20.5 0.30 0.02 100.0 27.1 0.33 0.01 100.0 18.3 0.20 0.01 100.0
I 39.8 0.70 0.08 100.0 44.0 0.55 0.09 100.0 81.2 0.81 0.13 100.0 76.1 1.00 0.22 100.0 71.9 0.95 0.07 100.0 66.3 0.85 0.26 100.0 30.1 0.60 0.02 100.0 24.5 0.50 0.02 100.0 26.1 0.45 0.02 100.0 19.1 0.50 0.01 100.0
J3T2 II 26.1 0.63 0.15 100.0 28.8 0.38 0.03 100.0 80.7 0.65 0.13 100.0 58.8 0.80 0.14 100.0 77.8 0.70 0.10 100.0 47.5 0.50 0.03 100.0 36.5 0.55 0.02 100.0 15.1 0.20 0.00 100.0 19.5 0.23 0.01 100.0 20.6 0.40 0.01 100.0
III 38.8 6.54 0.02 100.0 34.0 0.33 0.12 100.0 61.0 0.58 0.10 100.0 56.5 0.94 0.19 100.0 69.5 0.78 0.07 100.0 54.5 0.75 0.02 100.0 32.3 0.45 0.03 100.0 15.1 0.18 0.01 100.0 18.4 0.18 0.01 100.0 24.1 0.45 0.04 100.0
I 42.6 0.63 0.06 100.0 57.4 0.53 0.14 100.0 62.0 0.70 0.05 100.0 70.1 0.95 0.13 100.0 65.5 0.60 0.03 100.0 65.3 0.70 0.05 100.0 36.5 0.55 0.02 100.0 15.1 0.50 0.01 100.0 22.5 0.50 0.01 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
J3T3 II 38.0 0.55 0.07 100.0 29.5 0.45 0.04 100.0 54.0 0.45 0.09 100.0 63.6 0.99 0.14 100.0 87.5 0.85 0.09 100.0 61.2 0.65 0.04 100.0 45.5 0.83 0.07 100.0 18.5 0.40 0.00 100.0 22.9 0.33 0.01 100.0 19.3 0.25 0.01 100.0
III 40.6 0.64 0.08 100.0 46.6 0.43 0.11 100.0 64.4 0.49 0.11 100.0 75.9 1.23 0.35 100.0 89.4 0.58 0.04 100.0 76.3 1.35 0.40 100.0 45.6 0.75 0.05 100.0 30.9 0.33 0.02 100.0 21.1 0.28 0.01 100.0 16.4 0.38 0.01 100.0
I 46.8 0.80 0.12 100.0 53.8 0.58 0.11 100.0 88.9 0.65 0.10 100.0 74.0 1.05 0.14 100.0 66.2 0.55 0.02 100.0 76.8 0.95 0.12 100.0 44.5 0.95 0.06 100.0 29.5 0.50 0.03 100.0 24.5 0.40 0.02 100.0 8.3 0.35 0.00 100.0
J3T4 II 36.1 0.76 0.11 100.0 47.5 0.53 0.10 100.0 54.6 0.59 0.04 100.0 56.2 0.84 0.13 100.0 92.1 0.70 0.05 100.0 59.6 0.75 0.04 100.0 28.5 0.55 0.03 100.0 38.3 0.65 0.04 100.0 20.7 0.30 0.02 100.0 65.0 0.35 0.00 100.0
III 41.0 0.68 0.09 100.0 41.5 0.48 0.11 100.0 67.9 0.59 0.13 100.0 46.1 0.80 0.08 100.0 80.6 0.85 0.04 100.0 56.7 0.93 0.05 100.0 33.2 0.45 0.01 100.0 21.4 0.25 0.01 100.0 14.2 0.20 0.01 100.0 13.3 0.33 0.02 100.0
I 32.3 0.65 0.08 100.0 28.3 0.53 0.00 100.0 79.8 0.80 0.16 100.0 61.2 0.95 0.15 100.0 80.1 0.55 0.05 100.0 62.2 0.60 0.00 100.0 38.5 0.23 0.03 100.0 16.2 0.50 0.00 100.0 30.2 0.50 0.02 100.0 19.5 0.50 0.01 100.0
J3T5 II 45.8 0.65 0.11 100.0 47.5 0.65 0.16 100.0 40.9 0.45 0.05 100.0 76.2 1.19 0.26 100.0 74.9 0.55 0.10 100.0 70.6 1.15 0.15 100.0 31.2 0.75 0.04 100.0 21.7 0.30 0.01 100.0 20.2 0.20 0.02 100.0 11.2 0.35 0.00 100.0
III 34.2 0.60 0.12 100.0 49.6 0.60 0.25 100.0 72.0 0.60 0.13 100.0 57.9 0.86 0.19 100.0 68.2 0.38 0.08 100.0 59.2 0.93 0.08 100.0 31.6 0.65 0.04 100.0 25.6 0.23 0.03 100.0 17.8 0.20 0.01 100.0 18.3 0.25 0.01 100.0
Keterangan: J = kerapatan tanam dengan 3 level: 1, 2, 3; T = perlakuan tanah dengan lima level = 1, 2, 3, 4, 5; I, II, III = ulangan / blok; S = survival
145
Variable Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S
Macaranga M. Aporosa sp. sp. paniculatus
S. polyanthum
H. tiliaceus
V. pinnata
F. superba
S. grande
S. wallichii
Species C. inophyllum
Lampiran 28 Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada enam bulan setelah tanam cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 %
I 55.3 0.89 0.80 100.0 47.8 0.78 0.08 71.4 60.7 0.88 1.62 100.0 67.8 1.10 1.72 100.0 59.3 0.82 2.04 100.0 64.8 0.88 0.70 100.0 63.5 0.82 0.39 75.0 0.0 0.00 0.00 0.0 40.0 0.21 0.07 33.3 0.0 0.00 0.00 0.0
J1T1 II 55.8 1.03 0.68 94.0 60.0 0.88 0.30 71.0 70.0 0.91 1.31 97.0 72.8 1.33 1.53 96.0 70.5 0.93 1.36 95.0 68.3 1.31 1.72 100.0 52.7 0.97 0.59 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 82.0 0.80 0.04 33.0 0.0 0.00 0.00 0.0
III 49.3 0.93 0.69 100.0 34.3 0.47 0.04 85.7 56.5 0.67 1.13 96.8 52.7 1.09 1.61 96.0 55.1 1.46 0.92 97.5 64.1 1.14 1.15 100.0 37.0 0.66 0.19 93.8 20.0 0.50 0.01 33.3 45.0 1.59 0.00 33.3 46.0 0.98 0.05 33.3
I 57.6 0.95 1.10 94.1 44.7 0.63 0.41 85.7 68.3 0.75 2.16 100.0 64.2 1.28 2.40 100.0 68.1 0.73 1.46 97.5 63.0 0.94 1.56 100.0 48.5 0.69 0.72 100.0 51.0 0.62 0.05 33.3 14.5 0.62 0.00 66.7 45.0 1.40 0.04 33.3
J1T2 II 43.9 2.32 1.03 100.0 60.0 0.30 0.11 42.9 56.3 0.72 1.45 93.5 62.6 1.04 2.18 100.0 65.7 0.78 1.35 85.0 54.8 2.31 0.99 100.0 41.1 1.94 0.55 62.5 40.0 0.50 0.02 33.3 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0
III 56.7 1.07 0.40 100.0 50.8 0.77 0.09 85.7 58.8 0.71 0.84 100.0 51.1 1.19 1.38 100.0 49.9 0.67 0.38 100.0 65.4 1.22 1.04 100.0 35.2 0.83 0.19 87.5 32.7 0.54 0.00 100.0 4.0 0.59 0.00 33.3 0.0 0.00 0.00 0.0
I 55.9 1.02 1.04 100.0 54.8 1.14 0.14 57.1 64.1 0.84 1.86 96.8 63.7 1.12 2.29 100.0 69.2 0.86 1.68 97.5 61.9 1.13 1.18 100.0 52.2 0.85 0.66 81.3 42.0 0.64 0.03 33.3 37.0 0.20 0.02 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
J1T3 II 62.9 1.18 1.14 100.0 64.4 0.85 0.32 71.0 68.9 0.97 1.52 94.0 69.3 1.14 1.97 96.0 63.1 0.75 1.33 85.0 63.4 1.10 1.19 94.0 57.7 1.01 0.45 56.0 38.0 0.90 0.03 33.0 15.0 0.50 0.00 33.0 52.0 1.10 0.03 33.0
III 64.1 1.11 1.26 100.0 58.8 0.96 0.35 71.4 68.6 0.89 2.56 100.0 76.1 1.37 2.87 100.0 62.1 0.90 1.91 97.5 68.8 1.33 3.40 100.0 46.0 0.81 0.79 100.0 65.0 0.83 0.04 33.3 15.0 0.37 0.00 33.3 0.0 0.00 0.00 0.0
I 51.5 0.85 0.96 100.0 41.8 0.53 0.12 85.7 71.0 0.77 2.27 100.0 55.3 0.87 1.65 100.0 70.9 0.71 1.03 100.0 62.4 0.82 0.64 100.0 43.9 0.60 0.25 93.8 0.0 0.00 0.00 0.0 19.7 0.20 0.00 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
J1T4 II 56.2 0.95 0.81 100.0 46.3 0.72 0.12 43.0 70.5 0.93 1.69 100.0 63.4 1.14 1.98 100.0 67.7 0.85 1.69 93.0 55.3 0.93 1.13 100.0 38.6 0.69 0.16 56.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0
III 60.4 1.13 0.94 100.0 52.3 0.77 0.32 85.7 60.9 0.87 1.93 100.0 74.5 1.45 3.53 100.0 66.6 0.93 1.88 97.5 66.7 1.29 2.40 100.0 46.8 0.84 0.61 93.8 49.3 0.86 0.10 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0
I 51.5 0.84 0.76 100.0 42.3 0.61 0.13 85.7 67.9 0.82 2.12 100.0 51.8 0.96 1.66 100.0 58.5 0.71 0.92 95.0 62.6 1.09 1.20 100.0 46.4 0.69 0.41 81.3 0.0 0.00 0.00 0.0 26.0 0.89 0.00 100.0 76.0 0.66 0.07 33.3
J1T5 II 63.7 1.03 1.23 94.0 57.0 0.61 0.18 57.0 74.0 0.90 2.25 90.0 69.0 1.00 2.10 88.0 74.4 1.00 3.11 95.0 67.6 1.04 1.94 100.0 56.9 0.83 0.55 63.0 61.0 1.08 0.33 67.0 64.5 1.08 0.22 67.0 75.0 1.03 0.19 67.0
III 64.4 1.19 0.90 100.0 39.3 0.63 0.08 57.1 69.6 0.96 2.29 100.0 77.5 1.59 3.69 100.0 69.2 1.04 1.87 92.5 68.9 1.82 2.29 100.0 51.2 1.07 0.59 87.5 78.0 1.19 0.20 66.7 34.3 0.62 0.05 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
I 45.6 0.75 0.37 100.0 19.0 0.40 0.00 20.0 70.1 0.72 0.53 100.0 59.9 1.27 0.57 100.0 72.8 0.90 0.23 100.0 64.7 0.68 0.02 100.0 50.0 0.58 0.05 66.7 0.0 0.00 0.00 0.0 15.0 0.23 0.00 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
J2T1 II 60.1 0.99 0.55 100.0 54.0 0.67 0.08 60.0 75.4 0.81 0.39 100.0 80.6 1.26 0.78 100.0 84.0 1.04 0.35 100.0 82.3 1.30 0.54 100.0 45.5 0.95 0.12 66.7 43.5 0.70 0.02 66.7 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0
III 51.7 1.06 0.26 100.0 34.3 0.65 0.16 60.0 50.7 0.76 0.33 100.0 61.3 1.22 0.65 100.0 60.6 0.79 0.28 100.0 58.0 1.19 0.17 100.0 27.5 0.69 0.03 66.7 90.0 0.76 0.08 33.3 9.3 0.39 0.00 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
I 44.6 0.53 0.19 71.4 41.0 0.75 0.14 60.0 58.7 0.69 0.19 100.0 46.3 0.79 0.28 85.7 56.8 0.97 0.15 80.0 62.5 0.51 0.09 66.7 53.3 0.79 0.06 100.0 45.7 0.76 0.21 100.0 30.7 0.57 0.03 100.0 46.0 0.56 0.06 100.0
J2T2 II 67.4 1.15 0.44 100.0 66.3 0.84 0.36 80.0 78.7 1.04 0.49 100.0 81.6 1.22 0.91 100.0 88.8 1.11 0.45 100.0 77.7 1.42 0.65 100.0 34.5 0.85 0.05 66.7 0.0 0.00 0.00 0.0 54.0 1.10 0.06 33.3 0.0 0.00 0.00 0.0
III 54.4 0.92 0.49 100.0 41.6 0.56 0.05 100.0 58.6 0.71 0.26 100.0 61.4 1.38 0.89 100.0 65.5 1.06 0.16 80.0 65.7 1.20 0.35 100.0 32.0 0.50 0.01 66.7 27.0 0.50 0.00 33.3 23.0 0.81 0.00 33.3 0.0 0.00 0.00 0.0
146
Variable Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S
Macaranga M. Aporosa sp. sp. paniculatus
S. polyanthum
H. tiliaceus
V. pinnata
F. superba
S. grande
S. wallichii
Species C. inophyllum
Lampiran 28 (lanjutan) cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 %
I 51.0 0.91 0.43 100.0 43.0 0.44 0.17 80.0 66.0 0.89 0.42 100.0 61.9 1.09 0.65 100.0 63.0 1.37 0.37 100.0 53.7 0.87 0.10 100.0 44.0 0.51 0.01 33.3 0.0 0.00 0.00 0.0 17.0 0.24 0.00 33.3 0.0 0.00 0.00 0.0
J2T3 II 65.0 0.98 0.47 85.7 67.3 0.92 0.37 60.0 73.7 0.89 0.45 100.0 78.7 1.33 1.28 100.0 73.8 0.90 0.54 80.0 61.0 1.03 0.41 100.0 51.5 0.95 0.07 66.7 43.0 0.70 0.05 66.7 0.0 0.00 0.00 0.0 87.0 1.35 0.07 33.3
III 58.7 1.14 0.48 100.0 13.0 0.60 0.00 40.0 63.0 0.80 0.31 100.0 65.6 1.38 0.75 100.0 75.2 0.92 0.27 100.0 66.3 1.07 0.31 100.0 40.3 0.95 0.09 100.0 38.3 0.83 0.12 100.0 20.5 0.58 0.01 66.7 0.0 0.00 0.00 0.0
I 46.1 0.78 0.39 100.0 21.0 0.58 0.00 20.0 62.1 0.71 0.41 100.0 54.6 0.91 0.50 100.0 69.6 0.76 0.36 100.0 51.7 0.95 0.10 100.0 23.3 0.43 0.05 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0
J2T4 II 47.2 0.81 0.23 100.0 33.0 0.57 0.22 80.0 51.3 0.65 0.15 100.0 64.0 1.23 0.54 100.0 56.9 0.96 0.16 80.0 47.7 1.14 0.21 100.0 49.0 0.80 0.00 33.3 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0
III 53.8 0.69 0.17 57.1 56.3 1.07 0.23 60.0 75.6 0.88 0.41 71.4 58.1 0.89 0.42 100.0 77.0 1.22 0.50 100.0 42.7 0.70 0.07 100.0 41.5 1.01 0.06 66.7 62.0 1.19 0.29 66.7 57.3 0.78 0.14 100.0 52.5 0.83 0.20 66.7
I 43.7 0.78 0.21 100.0 35.0 0.35 0.05 80.0 64.3 0.72 0.36 100.0 48.4 1.05 0.36 100.0 59.8 0.73 0.15 100.0 47.0 1.03 0.20 100.0 35.5 0.45 0.01 66.7 0.0 0.00 0.00 0.0 19.0 0.34 0.01 33.3 0.0 0.00 0.00 0.0
J2T5 II 56.7 0.91 0.50 100.0 42.3 0.63 0.16 60.0 55.8 0.56 0.20 85.7 74.1 1.09 0.81 100.0 71.6 0.63 0.18 100.0 68.3 1.28 0.37 100.0 36.0 0.72 0.09 100.0 25.0 0.45 0.00 4.0 33.3 20.0 0.25 0.0 33.3 0.00 0.00 0.0
III 52.9 1.02 0.23 100.0 42.4 0.74 0.20 100.0 51.4 0.62 0.15 100.0 74.7 1.38 1.02 100.0 60.2 0.82 0.23 100.0 48.2 1.31 0.26 100.0 38.0 0.61 0.07 100.0 39.5 0.72 0.04 66.7 17.0 0.35 0.00 66.7 0.0 0.00 0.00 0.0
I 63.0 0.85 0.12 100.0 34.5 0.81 0.03 100.0 48.5 0.67 0.11 100.0 76.5 0.97 0.34 100.0 36.0 1.42 0.05 100.0 80.0 1.11 0.05 100.0 33.0 0.51 0.02 100.0 68.0 0.61 0.10 100.0 23.0 0.21 0.00 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
J3T1 II 62.0 1.05 0.14 100.0 29.0 1.00 0.06 50.0 73.0 0.70 0.07 100.0 76.0 1.30 0.25 100.0 27.0 0.60 0.02 100.0 75.0 1.40 0.11 100.0 60.0 1.10 0.11 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0
III 66.0 1.30 0.08 100.0 48.0 0.83 0.08 50.0 53.5 0.63 0.04 100.0 62.5 1.57 0.25 100.0 62.0 0.50 0.04 100.0 66.0 1.37 0.09 100.0 19.0 0.50 0.00 100.0 26.0 0.50 0.02 100.0 19.0 0.37 0.00 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
I 56.5 0.75 0.15 100.0 28.5 0.40 0.02 100.0 80.0 0.95 0.20 100.0 74.0 1.35 0.19 100.0 60.0 0.90 0.07 100.0 58.0 1.00 0.23 100.0 26.0 0.40 0.00 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 20.0 0.20 0.00 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
J3T2 II 44.0 0.88 0.08 100.0 16.0 0.50 0.01 50.0 75.5 0.83 0.10 100.0 62.0 1.18 0.22 100.0 82.0 1.05 0.06 100.0 47.0 0.65 0.03 100.0 35.0 0.40 0.01 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0
III 57.5 0.72 0.09 100.0 35.5 0.47 0.11 100.0 58.5 0.91 0.44 100.0 60.0 1.38 0.17 100.0 65.0 1.15 0.11 100.0 65.0 1.22 0.08 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0 11.0 0.22 0.00 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
I 63.0 1.29 0.14 100.0 57.0 0.82 0.24 100.0 51.5 0.73 0.25 100.0 94.5 2.18 0.30 100.0 51.0 0.67 0.08 100.0 74.0 1.31 0.10 100.0 34.0 0.41 0.02 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 27.0 0.21 0.00 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
J3T3 II 48.0 0.70 0.09 100.0 39.0 0.80 0.04 50.0 61.0 0.65 0.08 50.0 65.0 1.25 0.17 100.0 86.0 1.10 0.10 100.0 60.0 1.05 0.06 100.0 46.0 0.90 0.09 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0
III 61.0 1.08 0.10 100.0 68.0 0.61 0.06 50.0 64.5 0.61 0.08 100.0 69.0 1.60 0.38 100.0 73.0 0.50 0.03 100.0 79.0 2.00 0.87 100.0 57.0 1.00 0.11 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 9.0 0.37 0.00 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
I 64.0 1.22 0.12 100.0 48.0 0.64 0.13 100.0 81.0 0.68 0.07 100.0 56.0 1.07 0.16 100.0 64.0 0.61 0.07 100.0 71.0 1.34 0.13 100.0 50.0 0.90 0.06 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 16.0 0.20 0.00 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
J3T4 II 55.5 1.20 0.13 100.0 48.5 0.50 0.07 100.0 49.5 0.45 0.04 100.0 68.5 1.05 0.19 100.0 81.0 0.80 0.01 100.0 73.0 1.10 0.19 100.0 30.0 0.60 0.02 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0
III 63.0 1.00 0.13 100.0 34.0 0.56 0.00 100.0 61.5 0.67 0.04 100.0 59.5 1.00 0.19 100.0 71.0 0.83 0.04 100.0 58.0 1.15 0.14 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0 6.0 0.37 0.00 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
I 42.0 0.91 0.08 100.0 26.0 0.31 0.00 50.0 75.0 0.93 0.17 100.0 78.0 1.26 0.18 100.0 68.0 0.61 0.05 100.0 59.0 0.41 0.00 100.0 44.0 0.51 0.02 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 22.0 0.31 0.01 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
J3T5 II 66.5 1.18 0.16 100.0 64.0 0.65 0.05 50.0 50.0 0.56 0.03 50.0 78.5 1.25 0.14 100.0 73.0 0.55 0.04 100.0 72.0 0.35 0.28 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0 0.0 0.00 0.00 0.0 13.0 0.15 0.00 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
III 56.5 1.07 0.15 100.0 21.0 0.44 0.00 50.0 68.5 0.86 0.11 100.0 69.0 1.30 0.20 100.0 31.0 0.76 0.01 100.0 58.0 1.37 0.17 100.0 30.0 0.83 0.04 100.0 35.0 0.62 0.01 100.0 6.0 0.22 0.00 100.0 0.0 0.00 0.00 0.0
Keterangan: J = kerapatan tanam dengan 3 level: 1, 2, 3; T = perlakuan tanah dengan lima level = 1, 2, 3, 4, 5; I, II, III = ulangan / blok; S = survival
147
Variable Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S
Macaranga M. Aporosa sp. sp. paniculatus
S. polyanthum
H. tiliaceus
V. pinnata
F. superba
S. grande
S. wallichii
Species C. inophyllum
Lampiran 29 Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada sembilan bulan setelah tanam cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 %
I 68.70 1.60 1.75 88.2 0.00 0.00 0.00 0.00 85.90 1.29 8.60 100.0 78.10 2.01 3.28 100.0 59.60 0.98 2.97 75.0 67.30 1.34 2.55 100.0 63.60 1.70 0.72 25.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
J1T1 II 64.30 1.99 1.53 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 77.60 1.46 6.66 100.0 77.50 2.24 4.46 100.0 67.50 1.10 2.39 62.5 84.20 2.19 9.74 100.0 52.00 1.20 1.02 62.5 0.00 0.00 0.00 0.00 6.80 0.18 0.00 66.7 0.00 0.00 0.00 0.0
III 52.90 1.57 1.32 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 63.20 1.00 2.76 93.6 50.50 1.64 1.99 100.0 47.90 0.71 0.69 50.0 71.90 1.89 4.99 100.0 43.70 0.88 0.21 25.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
I 66.70 1.69 1.88 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 78.80 1.13 5.78 100.0 74.50 1.93 3.90 100.0 65.60 0.89 2.22 75.0 67.10 1.34 3.68 100.0 58.30 1.23 1.64 56.3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
J1T2 II 50.80 1.58 1.44 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 67.40 1.02 4.90 93.6 65.90 1.75 3.72 100.0 57.50 0.90 2.57 67.5 61.30 1.19 2.99 100.0 50.70 1.09 0.88 37.5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
III 57.60 1.78 1.11 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 59.40 1.07 3.30 93.6 56.10 1.78 2.43 100.0 53.00 0.81 0.44 27.5 80.60 2.01 6.39 100.0 48.40 1.14 0.30 25.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
I 62.30 1.66 1.46 94.1 0.00 0.00 0.00 0.00 83.50 2.94 7.54 96.8 78.20 2.03 4.73 100.0 65.10 0.90 2.68 67.5 75.50 1.63 3.81 100.0 59.50 1.26 1.30 56.3 0.00 0.00 0.00 0.00 15.00 0.20 0.02 33.3 0.00 0.00 0.00 0.0
J1T3 II 73.10 2.09 2.16 94.1 0.00 0.00 0.00 0.00 86.40 1.58 9.92 100.0 84.40 2.24 5.58 100.0 53.60 0.98 1.28 62.5 91.60 2.40 11.94 100.0 64.20 1.46 0.65 25.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
III 75.60 1.91 2.30 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 73.10 1.25 6.16 100.0 84.80 2.35 4.30 100.0 68.40 1.19 2.77 60.0 84.70 2.34 10.59 100.0 51.00 1.06 0.69 43.8 0.00 0.00 0.00 0.00 16.10 0.50 0.03 33.3 0.00 0.00 0.00 0.0
I 60.80 1.63 1.76 100.0 12.00 0.20 0.05 14.29 85.20 1.20 5.61 100.0 64.90 1.72 2.77 100.0 67.60 0.96 3.11 85.0 66.30 1.26 1.72 100.0 53.40 1.03 0.87 56.3 0.00 0.00 0.00 0.00 17.00 0.20 0.03 66.7 0.00 0.00 0.00 0.0
J1T4 II 65.70 1.72 1.72 94.1 0.00 0.00 0.00 0.00 80.80 1.46 8.78 100.0 70.20 2.15 4.14 100.0 64.40 1.17 4.06 72.5 66.60 1.59 5.60 100.0 29.80 0.75 0.10 25.0 10.50 0.55 0.00 33.33 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
III 70.00 1.93 1.72 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 69.50 1.30 7.13 93.6 77.10 2.30 4.63 100.0 68.50 1.13 2.62 65.0 81.50 2.21 10.34 100.0 45.10 0.98 0.17 18.8 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
I 77.50 1.80 1.94 94.1 46.80 0.93 0.35 28.57 89.0 1.29 7.86 93.6 67.90 1.76 2.84 96.0 53.30 0.91 2.40 75.0 69.70 1.50 3.35 100.0 62.00 1.28 0.57 18.8 0.00 0.00 0.00 0.00 5.00 0.35 0.00 33.3 0.00 0.00 0.00 0.0
J1T5 II 69.90 1.92 2.21 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 80.20 1.42 8.20 100.0 71.90 1.97 3.64 100.0 69.10 1.23 4.00 90.0 82.10 1.88 5.91 100.0 48.40 1.03 0.52 43.8 0.00 0.00 0.00 0.00 20.20 0.40 0.02 33.3 0.00 0.00 0.00 0.0
III 75.00 2.10 2.31 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 81.40 1.46 8.51 100.0 96.1 2.74 6.80 100.0 77.00 1.41 3.75 62.5 91.3 2.51 11.34 100.0 56.7 1.19 0.81 50.0 0.00 0.00 0.00 0.00 15.40 0.50 0.02 33.3 0.00 0.00 0.00 0.0
I 53.50 1.46 0.65 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 80.80 1.14 0.92 100.0 63.80 1.94 0.58 100.0 79.50 1.08 0.30 80.0 55.90 1.00 0.27 100.0 77.10 1.20 0.34 33.3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
J2T1 II 67.50 2.03 0.88 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 79.60 1.25 1.04 85.7 74.70 2.18 0.94 100.0 87.10 1.64 0.80 80.0 87.8 2.12 1.20 100.0 51.20 1.65 0.13 33.3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
III 54.30 1.63 0.53 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 64.30 1.12 0.63 85.7 60.10 1.91 1.09 100.0 70.90 1.09 0.25 80.0 69.70 1.68 0.58 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
I 69.60 1.57 1.12 100.0 12.20 0.50 0.02 20.00 76.90 1.02 0.95 100.0 65.80 1.90 1.15 100.0 49.40 0.63 0.24 100.0 65.90 1.38 0.68 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
J2T2 II 84.60 2.16 1.29 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 95.50 1.69 2.57 100.0 84.20 2.29 1.23 100.0 80.00 1.77 1.29 100.0 77.6 1.50 0.85 100.0 70.10 1.70 0.14 33.3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 91.20 1.45 0.20 33.3
III 58.70 1.83 1.15 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 61.00 0.95 0.78 100.0 68.80 2.10 1.63 100.0 58.90 0.98 0.21 80.0 77.00 2.02 1.29 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 6.70 0.45 0.01 33.3 0.00 0.00 0.00 0.0
148
Variable Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S
Macaranga M. Aporosa sp. sp. paniculatus
S. polyanthum
H. tiliaceus
V. pinnata
F. superba
S. grande
S. wallichii
Species C. inophyllum
Lampiran 29 (lanjutan) cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 %
I 61.90 1.96 0.82 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 81.30 1.19 1.19 100.0 74.70 2.03 1.08 100.0 70.40 1.12 0.37 100.0 52.50 1.40 0.23 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
J2T3 II 78.50 2.06 0.95 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 82.30 1.50 1.79 100.0 74.30 2.39 1.33 100.0 75.80 1.13 0.70 80.0 64.00 1.57 0.63 100.0 66.50 1.60 0.15 33.3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
III 73.60 1.86 0.99 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 66.20 1.06 0.58 71.43 69.50 2.29 0.95 100.0 82.90 1.39 0.54 80.00 80.60 2.13 1.17 100.0 70.50 1.80 0.35 33.33 61.50 0.90 0.14 33.33 13.40 0.48 0.04 66.67 0.00 0.00 0.00 0.00
I 52.40 1.46 0.56 0.6 0.00 0.00 0.00 0.00 66.90 1.08 0.73 85.7 63.00 1.64 0.79 100.0 74.50 1.08 0.53 100.0 55.20 1.32 0.28 100.0 38.60 0.70 0.22 66.7 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
J2T4 II 62.50 1.68 0.99 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 63.90 1.01 0.64 85.7 74.50 2.19 1.22 100.0 74.20 1.29 0.48 80.0 67.50 1.42 0.65 100.0 46.50 0.90 0.04 33.3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
III 58.80 1.83 0.82 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 71.20 1.22 0.83 85.7 66.10 2.01 1.16 100.0 62.80 0.90 0.25 80.0 75.80 2.23 1.37 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 10.50 0.35 0.00 33.3 0.00 0.00 0.00 0.0
I 57.50 1.35 0.77 100.0 54.60 0.70 0.19 20.00 74.80 1.07 1.15 100.0 63.30 1.62 0.80 100.0 66.30 0.79 0.35 80.0 63.20 1.37 0.66 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
J2T5 II 63.60 1.91 0.83 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 50.40 0.97 0.41 71.4 66.60 1.84 0.89 100.0 76.60 1.02 0.13 60.0 84.40 2.47 1.10 100.0 47.30 1.40 0.11 33.3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
III 63.60 2.00 0.89 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 56.30 1.05 0.31 57.1 78.80 2.36 1.84 100.0 78.50 1.20 0.38 60.0 81.20 2.37 2.37 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 6.50 0.65 0.00 33.3 0.00 0.00 0.00 0.0
I 73.80 2.03 0.43 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 65.10 0.70 0.10 100.0 56.50 11.75 0.23 100.0 107.5 1.90 0.44 100.0 87.40 1.65 0.25 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 15.50 0.20 0.02 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0
J3T1 II 64.20 2.25 0.18 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 75.00 1.05 0.24 100.0 72.70 2.00 0.49 100.0 61.60 0.60 0.04 100.0 81.80 1.85 0.26 100.0 76.80 1.50 0.22 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
III 81.90 2.38 0.34 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 69.10 0.95 0.12 50.0 83.90 2.28 0.56 100.0 69.20 0.80 0.04 100.0 75.80 1.55 0.34 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 10.20 0.30 0.01 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0
I 61.10 1.65 0.20 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 90.80 1.60 0.56 100.0 65.40 1.43 0.29 100.0 49.50 1.00 0.17 100.0 147.7 1.10 0.58 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
J3T2 II 54.10 1.43 0.23 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 81.70 1.00 0.31 100.0 75.80 2.18 0.23 100.0 64.50 1.30 0.12 100.0 45.50 1.45 0.12 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
III 68.60 1.83 0.36 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 62.70 1.55 0.17 50.0 68.80 2.05 0.36 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 58.20 1.60 0.15 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
I 82.0 2.63 0.44 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 54.40 0.70 0.14 100.0 143.9 3.60 1.51 100.0 59.60 0.90 0.07 100.0 81.80 1.70 0.23 100.0 34.80 0.55 0.02 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
J3T3 II 60.80 1.48 0.27 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 53.40 1.08 0.14 100.0 70.40 1.95 0.34 100.0 84.30 2.05 0.15 100.0 67.70 1.50 0.12 100.0 61.30 1.70 0.32 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
III 80.2 2.18 0.38 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 66.70 0.75 0.29 100.0 113.9 0.75 0.29 100.0 77.50 1.00 0.08 100.0 95.00 2.55 1.50 100.0 55.70 1.55 0.14 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
I 79.4 2.35 0.33 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 83.90 1.05 0.44 100.0 60.80 1.55 0.25 100.0 67.10 0.90 0.08 100.0 63.10 1.75 0.29 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
J3T4 II 63.50 1.83 0.24 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 45.70 0.53 0.03 100.0 64.00 1.90 0.26 100.0 83.50 0.65 0.02 100.0 82.20 1.85 0.30 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
III 65.30 1.83 0.24 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 64.40 1.10 0.15 50.0 51.50 1.33 0.29 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 74.80 1.60 0.30 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
I 64.00 2.03 0.34 100.0 8.00 0.20 0.00 50.00 100.9 1.60 0.63 100.0 79.30 2.18 0.44 100.0 50.10 0.90 0.09 100.0 56.50 0.60 0.01 100.0 44.40 0.70 0.08 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 23.50 0.40 0.01 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0
J3T5 II 71.00 2.30 0.28 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 60.20 1.05 0.15 50.0 80.50 2.83 0.36 100.0 64.50 0.65 0.04 100.0 74.50 2.00 0.35 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
III 60.00 1.88 0.21 100.0 0.00 0.00 0.00 0.00 81.40 1.48 0.31 100.0 61.60 1.75 0.40 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 80.50 2.05 0.55 100.0 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.00 0.0
Keterangan: J = kerapatan tanam dengan 3 level: 1, 2, 3; T = perlakuan tanah dengan lima level = 1, 2, 3, 4, 5; I, II, III = ulangan / blok; S = survival
149
Variable Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S
Macaranga sp.
Aporosa sp.
M. paniculatus
S. polyanthum
H. tiliaceus
V. pinnata
F. superba
S. grande
S. wallichii
Species C. inophyllum
Lampiran 30 Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada dua belas bulan setelah tanam cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 %
I 83.3 2.3 1.9 88.2 0.0 0.0 0.0 0.0 92.7 1.9 10.7 94.2 2.5 3.7 64.6 1.3 3.5 72.5 1.6 3.3 90.5 3.3 1.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
J1T1 II 76.3 2.2 1.9 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 88.8 1.7 9.1 96.8 83.5 2.2 4.2 100.0 71.8 1.1 2.5 62.5 96.6 2.4 12.1 100.0 55.7 1.4 1.4 62.5 0.0 0.0 0.0 0.0 14.0 0.2 0.0 33.3 0.0 0.0 0.0 0.0
III 59.9 1.7 1.3 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 67.2 1.1 3.2 93.6 56.2 1.7 2.4 100.0 51.9 0.7 0.8 50.0 82.7 2.1 8.7 100.0 46.8 1.0 0.3 25.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
I 71.1 2.2 2.2 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 86.5 1.5 7.3 100.0 82.1 2.3 4.2 100.0 68.0 1.1 2.3 75.0 68.7 1.6 4.4 100.0 60.9 1.6 1.6 56.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
J1T2 II 65.1 1.9 1.5 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 78.0 1.4 6.7 90.3 80.0 2.2 4.3 100.0 62.3 1.0 2.1 67.5 66.3 1.4 3.3 100.0 59.1 1.6 1.2 37.5 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
III 61.9 1.9 1.1 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 61.8 1.2 3.8 93.6 61.9 1.8 2.4 100.0 47.7 0.8 0.5 35.0 91.8 2.1 9.0 100.0 55.9 1.4 0.6 25.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
I 75.0 2.5 1.6 94.1 0.0 0.0 0.0 0.0 93.8 1.9 10.7 96.8 81.7 2.2 5.2 100.0 67.9 1.1 2.9 65.0 81.7 1.9 5.1 100.0 67.5 1.8 1.6 56.3 0.0 0.0 0.0 0.0 8.6 0.2 0.0 66.7 0.0 0.0 0.0 0.0
J1T3 II 81.7 2.4 2.7 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 98.7 2.0 12.0 100.0 95.6 2.6 5.9 100.0 57.7 1.0 1.3 60.0 98.6 2.4 13.9 100.0 56.0 1.5 1.0 25.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
III 84.2 2.2 2.3 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 79.1 1.5 7.5 100.0 88.7 2.5 5.2 100.0 71.5 1.3 2.8 57.5 92.3 2.5 11.6 100.0 56.2 1.2 0.9 43.8 0.0 0.0 0.0 0.0 21.2 0.5 0.0 33.3 0.0 0.0 0.0 0.0
I 74.4 2.1 2.3 100.0 18.3 0.4 0.0 14.3 91.4 1.7 7.6 100.0 71.0 2.0 3.6 100.0 71.4 1.3 3.9 85.0 69.0 1.5 2.3 100.0 56.0 1.6 1.3 56.3 0.0 0.0 0.0 0.0 50.1 0.6 0.1 66.7 0.0 0.0 0.0 0.0
J1T4 II 78.3 2.1 2.3 94.1 0.0 0.0 0.0 0.0 91.5 2.0 10.6 100.0 78.6 2.3 4.8 100.0 69.2 1.3 4.1 75.0 70.7 1.7 5.6 100.0 36.6 0.9 0.2 25.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
III 78.1 2.2 2.1 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 72.4 1.6 7.8 93.6 80.9 2.3 4.7 100.0 73.9 1.2 2.4 62.5 89.0 2.4 11.7 100.0 43.2 1.1 0.2 18.8 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
I 95.7 2.4 3.0 94.1 73.9 1.6 0.5 28.6 105.8 2.0 12.6 93.6 77.0 2.0 4.2 100.0 56.1 1.2 3.3 77.5 78.3 1.8 4.9 100.0 77.1 2.1 0.8 18.8 0.0 0.0 0.0 0.0 29.7 0.7 0.0 33.3 0.0 0.0 0.0 0.0
J1T5 II 84.2 2.3 2.2 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 85.6 1.7 8.5 100.0 74.6 2.1 3.5 100.0 70.2 1.3 4.6 90.0 79.6 2.0 6.7 100.0 54.1 1.4 0.8 43.8 0.0 0.0 0.0 0.0 25.5 0.6 0.0 33.3 0.0 0.0 0.0 0.0
III 80.2 2.4 2.4 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 82.6 1.7 8.9 100.0 102.1 2.8 6.7 100.0 79.3 1.4 4.1 62.5 102.3 2.7 12.4 100.0 59.8 1.4 1.2 50.0 0.0 0.0 0.0 0.0 19.2 0.5 0.0 33.3 0.0 0.0 0.0 0.0
I 72.0 2.0 0.9 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 92.2 1.7 1.6 100.0 72.1 2.5 1.1 100.0 79.4 1.4 0.5 80.0 59.4 1.4 0.4 100.0 84.2 1.8 0.4 33.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
J2T1 II 85.8 2.3 1.1 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 82.3 1.7 1.4 71.4 82.2 2.4 1.1 100.0 90.4 1.7 1.0 80.0 100.1 2.4 1.5 100.0 53.5 2.2 0.2 33.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
III 66.8 1.8 0.6 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 67.5 1.3 0.7 85.7 68.1 2.1 1.0 100.0 73.7 1.1 0.4 80.0 82.1 2.1 1.2 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
I 85.3 2.2 1.3 100.0 33.2 0.9 0.1 20.0 83.3 1.6 1.3 100.0 76.3 2.1 1.2 100.0 58.2 0.9 0.4 100.0 67.1 1.7 1.1 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
J2T2 II 96.9 2.6 1.4 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 97.3 2.0 2.8 100.0 92.1 2.6 1.7 100.0 82.4 1.6 0.8 100.0 108.5 2.4 2.2 100.0 90.2 2.4 0.2 33.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
III 80.9 2.1 1.4 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 62.7 1.2 0.9 100.0 78.4 2.3 1.9 100.0 49.0 1.0 0.2 100.0 88.9 2.1 1.7 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 11.7 0.3 0.0 33.3 0.0 0.0 0.0 0.0
150
Variable Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S Tinggi Diameter Tajuk S
Macaranga sp.
Aporosa sp.
M. paniculatus
S. polyanthum
H. tiliaceus
V. pinnata
F. superba
S. grande
S. wallichii
Species C. inophyllum
Lampiran 30 (lanjutan) cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 % cm cm m2 %
I 79.1 2.6 1.1 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 85.6 1.7 2.4 100.0 98.8 2.5 1.9 100.0 74.6 1.4 0.4 100.0 54.0 1.2 0.3 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
J2T3 II III 91.3 86.8 2.3 2.2 1.0 0.7 100.0 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 85.6 73.9 1.8 1.5 1.9 1.0 100.0 57.1 76.5 75.9 2.6 2.3 1.2 1.2 100.0 100.0 77.2 86.9 1.3 1.3 0.5 0.3 80.0 80.0 62.7 92.4 1.7 2.4 0.8 1.3 100.0 100.0 71.2 78.1 2.1 2.2 0.2 0.4 33.3 33.3 0.0 68.9 0.0 1.1 0.0 0.2 0.0 33.3 0.0 13.4 0.0 0.5 0.0 0.0 0.0 66.7 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
I 61.9 2.0 0.7 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 73.3 1.6 1.1 85.7 70.3 2.0 1.1 100.0 74.8 1.4 0.7 100.0 55.5 1.4 0.4 100.0 47.9 1.3 0.5 66.7 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
J2T4 II III 87.1 68.4 2.1 2.1 1.5 1.2 100.0 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 64.9 74.4 1.3 1.4 0.8 1.0 85.7 85.7 81.3 74.4 2.4 2.2 1.1 1.3 100.0 100.0 84.3 56.9 1.4 0.9 0.8 0.3 80.0 80.0 76.6 94.0 1.5 2.3 0.9 1.7 100.0 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 11.5 0.0 0.3 0.0 0.0 0.0 33.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
I 76.5 1.9 0.8 100.0 59.3 1.5 0.2 20.0 86.1 2.0 1.8 100.0 74.6 2.1 1.0 100.0 78.1 1.2 0.3 80.0 66.0 1.7 0.8 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
J2T5 II III 72.1 82.2 2.2 2.1 0.9 1.1 100.0 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 50.8 59.8 1.1 1.2 0.5 0.4 71.4 57.1 73.5 89.1 2.0 2.5 0.9 2.2 100.0 100.0 72.6 84.1 1.1 1.3 0.2 0.3 60.0 60.0 97.9 92.6 2.7 2.5 1.4 3.1 100.0 100.0 53.2 0.0 1.5 0.0 0.1 0.0 33.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
I 91.6 2.9 0.6 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 67.2 1.2 0.1 100.0 59.6 2.2 0.3 100.0 93.6 2.1 0.9 100.0 92.1 2.1 0.2 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 31.5 0.5 0.0 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0
J3T1 II 82.8 2.5 0.3 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 80.3 1.4 0.2 100.0 77.9 2.1 0.6 100.0 62.2 0.6 0.0 100.0 89.7 2.0 0.4 100.0 79.8 1.8 0.3 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
III 90.0 2.3 0.4 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 69.7 1.9 0.1 50.0 97.1 2.7 0.8 100.0 77.2 0.9 0.2 100.0 84.5 1.8 0.5 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 49.6 1.5 0.1 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0
I 79.0 2.2 0.3 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 90.4 2.3 1.1 100.0 64.1 1.8 0.4 100.0 60.5 1.4 0.2 100.0 47.2 1.2 0.7 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
J3T2 II III 63.3 81.6 2.3 2.3 0.3 0.5 100.0 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 84.4 62.5 1.6 1.9 0.3 0.2 100.0 50.0 84.6 88.3 2.5 2.3 0.3 0.4 100.0 100.0 68.3 0.0 1.5 0.0 0.2 0.0 100.0 0.0 45.5 55.6 1.7 1.7 0.1 0.2 100.0 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
I 109.6 2.9 0.5 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 66.0 1.3 0.4 100.0 184.2 4.3 1.3 100.0 76.1 1.3 0.2 100.0 78.1 1.7 0.4 100.0 41.2 1.1 0.1 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
J3T3 II 69.3 2.3 0.3 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 56.5 1.2 0.2 100.0 70.4 2.5 0.4 100.0 90.2 1.2 0.1 100.0 66.8 1.5 0.1 100.0 80.1 2.3 0.4 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
III 102.5 3.0 0.5 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 87.6 1.2 0.4 100.0 154.0 3.8 2.1 100.0 83.5 1.3 0.1 100.0 98.8 2.8 1.9 100.0 62.6 1.8 0.3 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
I 104.9 3.0 0.4 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 86.2 1.7 0.4 100.0 72.7 1.8 0.4 100.0 77.2 0.9 0.1 100.0 66.5 2.1 0.4 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
J3T4 II III 67.3 82.1 2.2 2.1 0.3 0.3 100.0 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 65.7 68.5 0.7 1.3 0.2 0.1 100.0 50.0 74.2 54.0 1.9 1.8 0.4 0.3 100.0 100.0 78.3 0.0 0.8 0.0 0.1 0.0 100.0 0.0 92.5 91.3 2.2 2.0 0.4 0.4 100.0 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
I 72.4 2.7 0.3 100.0 11.5 0.5 0.0 50.0 115.2 2.7 0.8 100.0 91.4 2.8 0.7 100.0 65.5 1.0 0.1 100.0 55.1 1.6 0.0 100.0 42.1 1.0 0.1 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 57.6 0.9 0.1 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0
J3T5 II 86.5 2.4 0.5 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 63.5 1.5 0.3 50.0 90.0 2.9 0.6 100.0 61.2 0.8 0.1 100.0 80.1 2.4 0.4 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 7.5 0.4 0.0 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0
III 79.1 2.1 0.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 82.9 1.5 0.3 100.0 73.1 2.3 0.5 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 89.5 2.6 0.6 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Keterangan: J = kerapatan tanam dengan 3 level: 1, 2, 3; T = perlakuan tanah dengan lima level = 1, 2, 3, 4, 5; I, II, III = ulangan / blok; S = survival
151
Lampiran 31 Analysis of variance produksi serasah (kg ha-1 tahun-1) pada dua belas bulan setelah tanam Source Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total
DF 2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 24.74715347 33.28718016 42.99299129 18.86795453 23.27657480 143.17185430
Mean Square 12.37357673 16.64359008 10.74824782 2.35849432 0.83130620
F Value 14.88 20.02 12.93 2.84
Pr > F <0.0001 <0.0001 <0.0001 0.0193
* * * *
(*) = significant 5%
Lampiran 32 Analysis of variance jenis tumbuhan yang menginvasi pada dua belas bulan setelah tanam Source Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total
DF 2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 5304.701604 3061.934618 1785.614009 3781.015538 11467.207130 25400.472900
Mean Square 2652.350802 1530.967309 446.403502 472.626942 409.543110
F Value 6.48 3.74 1.09 1.15
Pr > F 0.0049 0.0364 0.3806 0.3603
* *
(*) = significant 5%
152
Lampiran 33 Jenis tumbuhan yang menginvasi empat puluh lima petak pada dua belas bulan setelah tanam
Jumlah An. 2 daun bergerigi kasar 41 An. 1 - buah bulat-bulat 40 An. 5 39 An 4 38 buah lekat 2, daun bergerigi merah 37 Rhodomyrtus tomentosa 36 Orchidaceae umbi besar anggrek 35 Asteraceae bunga ungu mudah terbang 34 Asteraceae B 33
9 1 1 1
Eupatorium inulifolium 32 Scleria levis 31 Phyllantus niruri 30 Indigofera sp. 29 Acacia mangium 28 spt Melastoma bunga putih 27 Melastoma malabatrichum 26 An. 3 - buah melekat badan 25 Cyperaceae bunga sapu bintang 24 Cyperaceae D 23 Cyp rotundus 22
J3T4
Cyperaceae B 21 Cyperaceae A 20 Lepiromia mucronata 19 Poaceae rumput bunga putih 18 Poaceae ujung kuning 17 Poaceae bunga lebar 16 Poaceae bunga bintang 15 Poaceae bunga sapu cabang banyak 14 Poaceae F menjalar 13 Poaceae merah menjalar 12 Poaceae F 11 Poaceae E 10
I
1
2 1 1
Poaceae susun 4 9
J3T3
1
5
J2T2
Poaceae cabang 3 8
I
1
1
II
Poaceae D, cabang 2 7
J3T2
3 1 1 1
Poaceae B 6
I
1
1 J2T1
Poaceae A 5
J3T1
1
1 1 1
II
Rhynchelytrum roseum 4
J2T5
I
4
J1T5
Pennisetum purpureum 3
I
2
II
rumput jenggot bunga conus 2 Fimbristylis pauciflora 1
Petak
J2T4
1 1 1 1 1
2 1
I
1 1
1 1 J1T4
1 1
7 1
J2T3
4 1
II
1
I
1 1
1
1 1
1
1
1 1
1
J2T2
1
1
J1T3
2 1
2 1 0
II
1
I
1
J1T2
6 1
1
1
2 J2T1
1 1 1
1
II
3 1
I
1 J1T5
1
1 1
1 I
1 J1T1
1
J1T4
1 J3T5
1 I
1 1
1 I
1
J1T3
1
1 II
1
5 1 1
6
1 I
1 J1T2
1
1 1 1
1 1 1
4
1
1 1
5
1
1
3 1
1 1
J1T1
I
1
7 1 1 1 I
153
1
1
II
J2T3
II
J2T4
II
J2T5
II
J3T1
II
J3T2
II
J3T3
II
J3T4
II
J3T5
1
III
J1T1
1
1
III
J1T2
1
1
III
J1T3
1
III
J1T4
1
III III
1
1 1
1 1
1
1
1
1
1
1
1
1
7
1
3 0
1
1
1
2
1
1
1
1 1
1
J1T5
1
1
J2T1
1
1
III
J2T2
1
1
III
J2T3
1
1
III
J2T4
1
III
1
1
1
5
1
6 5 3 4
1 1
1
1 1
1
1
1
1
1
3
1 1
1
1
1
1
J2T5
1
1
1
III
J3T1
1
III
J3T2
III
J3T3
1
III
J3T4
1
III
J3T5
1
4 5 4
1
1
1
1
5
1
4
1 1
1
1
1
1
1
3
15
16
1
1
7
1
5
1
1 3
3
1
1
4
3
1
1
12
1
2
2
1
1
1
1
6 7
1
1
10
1
1
1
1
1
1
1 1
Jumalh
4 6
1
1
1
1
1
1
40
1
1 1
1
2
5
15
1
1
1
11
7
5 1 0
1 1
6
0
1
4
1
3
2
1
1
10
1
Keterangan: J = kerapatan tanam; J1 = 1 m x 1 m; J2 = 2 m x 2 m; J3 = 4 m x 4 m; T = perlakuan tanah, T1 = kontrol; T2 = tepung tailing slime; T3 = LCC; T4 = LCC+asam humat; T5 = LCC+top soil; I, II, III = blok sebagai ulangan
154
An 4 38
An. 5 39
An. 1 - buah bulat-bulat 40
An. 2 daun bergerigi kasar 41
F2
F3
F4
F5
F6
I
J3T2
I
J3T3
I
J3T4
I
J3T5
II
J1T1
II
J1T2
II
J1T3
II
J1T4
II
J1T5
1 1
1 1
1
1
1 1
1 1
1
2 1
2 1
3 1
6 1
Jumlah
buah lekat 2, daun bergerigi merah 37 F1
J3T1
1
Euphorbiaceae
I
1
An. 3 - buah melekat badan 36
1
1
Phyllantus niruri 35
1
1
Myrtaceae
J2T5
1
Rhodomyrtus tomentosa 34
I
1
Orchidaceae
1
1
umbi besar anggrek 33
1
1
Asteraceae bunga ungu mudah terbang 32
J2T4
1
Asteraceae
3 I
1
Asteraceae B 31
1
1
Eupatorium inulifolium 30
1
1
Leguminosae
J2T3
1
Indigofera sp. 28
2 I
1
Acacia mangium 28
1
1
Melastomataceae
1
1
1 1
spt Melastoma bunga putih 27
3
J2T2
1
Melastoma malabatrichum 26
6
I
1
Scleria levis 25
2
1
1
Cyperaceae bunga sapu bintang 24
Cyperaceae
3
J2T1
1
Cyperaceae D 23
2
I
1
Cyperus rotundus 22
1
J1T5
1
1 1
1 1 1
Cyperaceae B 21
5
I
1
Cyperaceae A 20
2
J1T4
1
Lepiromia mucronata 19
1
I
1
Poaceae rumput bunga putih 18
4
J1T3
1
Poaceae ujung kuning 17
4
I
1
Poaceae bunga lebar 16
3
J1T2
1
Poaceae bunga bintang 15
3
J1T1
I
1
Poaceae bunga sapu cabang banyak 14
Poaceae
4 I
1
Poaceae F menjalar 13 Poaceae merah menjalar 12 Poaceae F 11 Poaceae E 10 Poaceae susun 4 9 Poaceae cabang 3 8 Poaceae D, cabang 2 7 Poaceae B 6 Poaceae A 5 Rhynchelytrum roseum 4 Pennisetum purpureum 3 rumput jenggot bunga conus 2 Fimbristylis pauciflora 1
Petak
Lampiran 34 Famili dari jenis tumbuhan yang menginvasi empat puluh lima petak pada dua belas bulan setelah tanam
155
II
J2T1
II
J2T2
II
J2T3
II
J2T4
II
J2T5
II
J3T1
II
J3T2
II
J3T3
II
J3T4
II
J3T5
1
III
J1T1
1
1
III
J1T2
1
1
III
J1T3
1
1
III
J1T4
1
1
III
J1T5
1
1
III
J2T1
1
1
III
J2T2
1
1
III
J2T3
1
1
1
III
J2T4
1
1
1
III
J2T5
III
J3T1
III
J3T2
III
J3T3
1
1
III
J3T4
1
1
III
J3T5
Jumlah Frekuen si (%)
1
1
2
1
1 1
2
1
1
1
1
4
1
4
1
1
3
1 1
1
1
1
2 0
1
1
1
1
1
1
1
22
1
1 1
1
5
1
4
1
4
1
3
1
3 1
1
1
1
2 2
1
3 3
1
1
5
1
3 2 1
6
2
0
3
0
0
0
0
6
0
1
0
0
0
0
0
40 89
3 2
1 8
4 4
1
1 3
1 1
1
10
2
1
1 0
0
1
0
0
15 33
1 0
11 24
1 1
0
1
4
1
3
1
5
2
1
1
10
5 1
22
Keterangan: J = kerapatan tanam; J1 = 1 m x 1 m; J2 = 2 m x 2 m; J3 = 4 m x 4 m; T = perlakuan tanah; T1 = kontrol; T2 = tepung tailing slime; T3 = LCC; T4 = LCC+asam humat; T5=LCC+top soil; I, II, III = blok sebagai ulangan
156
Lampiran 35 Analysis of variance jumlah jenis yang menginvasi pada dua belas bulan setelah tanam Source Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total
DF 2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 4.3111111 5.3777778 124.2222222 23.5111111 55.6888889 213.1111111
Mean Square 2.15555560 2.68888890 31.05555560 2.93888890 1.98888890
F Value 1.08 1.35 15.61 1.48
Pr > F 0.3521 0.2751 <0.0001 0.2098
*
(*) = significant 5%
cm
C
N
%
C/N
P2O5
K2O
Morgan
Kjeld
HCl 25%
Bray
pH H2O
Walkl & Black
Olsen
Bahan organik liat
debu
Tekstur pasir
Kedalaman
Lampiran 36 Sifat-sifat tanah di bawah Lepironia articulata, tanah palet, tanah mineral, lahan tidak terganggu, tailing pasir 0 tahun gundul, dan top soil di kaki bukit
P2O5
P2O5
K2O
mg 100g-1
%
Kapasitas tukar (NH4 - Acetat 1 N, pH 7) Ca
Mg
0-30 200 0-80
7 8 59
44 46 6
49 46 35
2.9 5.5 4.7
5.63 3.93 0.51
0.24 0.28 0.04
23 14 13
26 19 4
14 36 2
17
0-20
91
5
4
6.5
0.83
0.07
12
20
4
56
Tailing pasir 0 tahun gundul Top soil kaki bukit
0-20 0-5
94 48
2 20
4 32
4.8 4.6
0.15 3.07
0.01 0.21
15 15
2 8
3 32
K
Na
Total
KTK
cmol(+) kg-1
ppm
Di bawah L. Articulata Tanah palet Tanah mineral Lahan tidak terganggu
KCl 1N Al3+
22.8
KB %
H+
cmol(+) kg-1
6.1
4.9
1.26 8.02 0.15
145
20
3.55
0.31
0.04
0
3.9
2.06
>100
0
0.04
206
0.05 0.43
0.21 1.05
0.04 0.41
0 0.16
0.3 2.05
0.41 5.93
73 35
0.3 2.3
0.44 0.52
5.3 11.1
2.03 16.4 0.05
0.11 0.55 0.01
0.63 3.43 0.05
4.03 28.4 0.26
17.2 22.8 1.22
23 >100 21
13.5 0 0.3
4.34 0.15 0.09
157
Lampiran 37 Analisa jaringan daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam Contoh kering 105oC N Petak
I
II
P III
I
II
K III
I
II
Ca III
I
II
Mg III
I
II
Na III
I
II
S III
I
II
Fe III
I
II
Al III
I
II
Pb III
% J1T1
0.6
0.4
0.5
0.0
0.0
0.1
0.4
0.3
0.3
0.5
I
Sn
II
III
I
II
III
1.30
1.30
0.00
0.00
2.80
ppm 0.6
0.7
0.2
0.1
0.2
0.01
0.01
0.01
0.28
0.19
0.19 66.0 69.0 60.0
77
81
121
1.70
J1T2
0.5
0.5
0.5
0.0
0.1
0.1
0.3
0.4
0.3
0.7
0.7
0.7
0.1
0.1
0.2
0.01
0.01
0.01
0.24
0.24
0.19 75.0 64.0 73.0 162
58
130
1.20
1.20
0.60
0.00
0.00
5.50
J1T3
0.5
0.5
0.6
0.0
0.1
0.1
0.4
0.3
0.4
0.6
0.7
0.7
0.1
0.2
0.2
0.01
0.01
0.01
0.22
0.19
0.27 72.0 71.0 70.0 190
103
140
1.00
1.20
0.70
0.00
0.00
6.20
J1T4
0.5
0.6
0.5
0.1
0.1
0.1
0.4
0.3
0.3
1.0
0.7
0.8
0.2
0.1
0.2
0.01
0.01
0.01
0.30
0.25
0.19 72.0 66.0 70.0 119
105
145
0.80
1.40
0.30
0.00
5.40
2.80
J1T5
0.6
0.5
0.5
0.1
0.1
0.1
0.5
0.4
0.3
0.5
0.7
0.7
0.1
0.1
0.2
0.01
0.01
0.01
0.24
0.22
0.21 72.0 73.0 86.0 103
109
175
0.90
0.70
0.40
0.00
0.00
0.00
J2T1
0.5
0.6
0.6
0.1
0.1
0.1
0.5
0.4
0.3
1.0
0.8
0.7
0.1
0.2
0.2
0.01
0.01
0.01
0.36
0.32
0.20 69.0 84.0 64.0
88
95
123
1.60
1.10
0.30
3.40
0.00
0.00
J2T2
0.7
0.6
0.6
0.1
0.1
0.1
0.5
0.5
0.3
0.7
0.7
0.6
0.2
0.2
0.1
0.01
0.01
0.01
0.37
0.29
0.23 65.0 70.0 71.0 108
133
127
0.70
1.60
0.60
3.10
0.00
0.00
J2T3
0.6
0.5
0.5
0.1
0.1
0.1
0.4
0.3
0.3
0.6
0.6
0.7
0.1
0.2
0.2
0.01
0.01
0.01
0.29
0.22
0.18 67.0 57.0 62.0 151
96
145
1.20
0.90
0.60
0.00
2.50
0.00
J2T4
0.5
0.5
0.6
0.1
0.1
0.1
0.4
0.3
0.3
1.0
0.7
0.7
0.1
0.2
0.2
0.01
0.01
0.01
0.39
0.26
0.20 65.0 72.0 74.0 173
109
132
1.50
1.30
0.50
0.00
6.30
0.00
J2T5
0.6
0.4
0.5
0.1
0.1
0.1
0.4
0.2
0.3
0.6
0.7
0.7
0.1
0.1
0.1
0.01
0.01
0.01
0.27
0.23
0.17 58.0 77.0 86.0
88
75
95
1.40
1.50
1.50
0.00
5.80
0.00
J3T1
0.7
0.6
0.6
0.1
0.1
0.1
0.4
0.4
0.3
0.7
0.9
1.0
0.1
0.2
0.2
0.01
0.01
0.07
0.37
0.28
0.21 67.0 63.0 70.0 113
55
100
1.70
1.30
1.20
0.00
5.10
0.00
J3T2
0.5
0.6
0.5
0.1
0.1
0.1
0.5
0.3
0.4
0.7
0.9
1.1
0.1
0.1
0.2
0.01
0.01
0.09
0.34
0.25
0.18 70.0 71.0 72.0
80
49
178
1.10
1.50
1.20
0.00
5.70
0.00
J3T3
0.7
0.5
0.5
0.1
0.0
0.1
0.4
0.3
0.4
0.6
0.7
1.1
0.1
0.1
0.2
0.01
0.01
0.09
0.28
0.27
0.25 75.0 75.0 69.0
76
61
157
1.00
1.60
1.00
0.00
6.30
0.00
J3T4
0.7
0.5
0.5
0.1
0.1
0.1
0.3
0.3
0.3
1.0
0.7
0.8
0.1
0.1
0.2
0.00
0.01
0.09
0.25
0.32
0.21 76.0 73.0 63.0
89
82
119
1.30
1.50
1.30
7.50
6.30
0.00
J3T5
0.5
0.5
0.5
0.0
0.1
0.1
0.3
0.2
0.3
0.6
0.7
0.8
0.1
0.1
0.2
0.00
0.01
0.09
0.21
0.17
0.17 56.0 73.0 75.0
51
89
187
1.40
1.00
0.70
0.00
2.80
0.00
Rata2
0.2
0
0.1
0.2
0
0
0.1
23
37
0.41
0.31
LTT
0.8
0.1
0.4
1.1
0.1
0.05
0.16
62
75
0.8
0
Keterangan: J = kerapatan tanam; J1 = 1 m x 1 m; J2 = 2 m x 2 m; J3 = 4 m x 4 m; T = perlakuan tanah; T1 = kontrol; T2 = tepung tailing slime; T3 = LCC; T4 = LCC+asam humat; T5=LCC+top soil; LTT + lahan tidak terganggu
158
Lampiran 38 Analysis of variance total N (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam Source Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total (*) = significant 5%
DF 2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 0.03459111 0.00955111 0.01703556 0.04153778 0.12000889 0.22272444
Mean Square 0.01729556 0.00477556 0.00425889 0.00519222 0.00428603
F Value 4.04 1.11 0.99 1.21
Pr > F 0.0288 0.3423 0.4273 0.3283
*
Lampiran 39 Analysis of variance total P (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam Source Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total (*) = significant 5%
DF 2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 0.00448000 0.00076000 0.00014667 0.00084000 0.00325333 0.00948000
Mean Square 0.00224000 0.00038000 0.00003667 0.00010500 0.00011619
F Value 19.28 3.27 0.32 0.90
Pr > F <0.0001 0.0529 0.8651 0.5271
*
Lampiran 40 Analysis of variance total K (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam Source Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total (*) = significant 5%
DF 2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 0.08325333 0.00229333 0.03279111 0.02839556 0.08074667 0.22748000
Mean Square 0.04162667 0.00114667 0.00819778 0.00354944 0.00288381
F Value 14.43 0.40 2.84 1.23
Pr > F <0.0001 0.6756 0.0427 0.3181
* *
159
Lampiran 41 Analysis of variance total Ca (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam Source Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total (*) = significant 5%
DF 2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 0.02337333 0.13481333 0.12539111 0.13200889 0.49609333 0.91168000
Mean Square 0.01168667 0.06740667 0.03134778 0.01650111 0.01771762
F Value 0.66 3.80 1.77 0.93
Pr > F 0.5249 0.0345 0.1631 0.5066
*
Lampiran 42 Analysis of variance total Mg (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam Source Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total (*) = significant 5%
DF 2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 0.01008000 0.00017333 0.00075556 0.00087111 0.01792000 0.02980000
Mean Square 0.00504000 0.00008667 0.00018889 0.00010889 0.00064000
F Value 7.88 0.14 0.30 0.17
Pr > F 0.0019 0.8739 0.8786 0.9932
*
Lampiran 43 Analysis of variance total Na (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam Source Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total (*) = significant 5%
DF 2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 0.00700818 0.00690151 0.00004200 0.00008227 0.01358916 0.02762311
Mean Square 0.00350409 0.00345076 0.00001050 0.00001028 0.00048533
F Value 7.22 7.11 0.02 0.02
Pr > F 0.0030 0.0032 0.9990 1.0000
* *
160
Lampiran 44 Analysis of variance total S (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam Source Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total (*) = significant 5%
DF 2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 0.06169333 0.01061333 0.01974222 0.01556444 0.04250667 0.15012000
Mean Square 0.03084667 0.00530667 0.00493556 0.00194556 0.00151810
F Value 20.32 3.50 3.25 1.28
Pr > F <0.0001 0.0441 0.0261 0.2925
* * *
Lampiran 45 Analysis of variance total Fe (ppm) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam Source Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total (*) = significant 5%
DF 2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 60.84444440 10.97777780 127.24444440 420.35555560 1294.48888900 1913.91111100
Mean Square 30.42222220 5.48888890 31.81111110 52.54444440 46.23174600
F Value 0.66 0.12 0.69 1.14
Pr > F 0.5257 0.8885 0.6063 0.3705
Lampiran 46 Analysis of variance total Al (ppm) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam Source Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total (*) = significant 5%
DF 2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 19985.24444000 4002.84444000 4683.91111000 5712.48889000 26733.42222000 61117.91111000
Mean Square 9992.62222000 2001.42222000 1170.97778000 714.06111000 954.76508000
F Value 10.47 2.10 1.23 0.75
Pr > F 0.0004 0.1418 0.3221 0.6496
*
161
Lampiran 47 Analysis of variance total Pb (ppm) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam Source
DF
Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total (*) = significant 5%
2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 1.94800000 0.56933333 0.35911111 1.47955556 2.12000000 6.56800000
Mean Square 0.97400000 0.28466667 0.08977778 0.18494444 0.07900000
F Value 12.33 3.60 1.14 2.34
Pr > F 0.0001 0.0405 0.3597 0.0458
* * *
Lampiran 48 Analysis of variance total Sn (ppm) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam Source
DF
Block Planting distance Soil Planting distance*Soil Error Total (*) = significant 5%
2 2 4 8 28 44
Sum of Squares 41.84311111 6.27377778 25.64222222 14.94177778 194.07688890 282.77777780
Mean Square 20.92155556 3.13688889 6.41055556 1.86772222 6.93131750
F Value 3.02 0.45 0.92 0.27
Pr > F 0.0650 0.6406 0.4635 0.9707
Lampiran 49 Analisa kompos N N-organik
Total
N-NH4
N-NO3
N-total
0.06
0.02
0.45
P2O5
K 2O
Corganik
Kandungan air
Total Fe
Mn
% 0.37
Cu
Zn
Co
Pb
pH 1:2.5
ppm 0.23
0.32
10.2
67.34
1,255
70
4
31
1.9
3.9
7.8
162
Lampiran 50 Kualitas air di kolam bekas tambang dan sumur di lahan tidak terganggu EC 25oC
pH
NH4
K
Ca
Mg
Kation Na Fe
Al
-1
dSm
Musim kemarau
1.896
4
Musim hujan
0.138
4
0.1
0
0.1
0.2
0.141
6
0.1
0.2
0.2
0
Sumur
Mn Total NO3 PO4 mg l-1 air bebas lumpur
0.20 0.33 0.86 3.35 16.50 0.01 0.19 0.01
SO4
Anion Cl HCO3
CO3
Total
Lumpur mg l
-1
Pb
Cd mg l
-1
Co
Ni
Cr
B
air bebas lumpur
21
0.00
0.00
2.24 17.20
0.00
0.00
19.44 0.00
0
0.9
0
0.00
0.32
0.70
0.00
0.00
1.04 115
0.00 0.00 0.00 0.00
1.02 0.00 0.00 0.00
1.5
0.4
0.00
0.00
0.64
0.48
0.00
1.54 61
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04
0.39 0.00
0.2
0.03 0.00 0.00 0.01 0.00 0.05
Lampiran 51 Daftar biji yang disemai No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Jenis Macaranga sp. Trema orientalis Commersonia bartramia Melaleuca leucadendron Ploiarium alternifolium Mallotus paniculatus Schima wallichii Vitex pinnata Calophyllum inophyllum Hibiscus tiliaceus Syzygium grande Aporosa sp. Ficus superba Ficus padana Tristaniopsis whiteana Syzygium polyanthum
Nama lokal Mahang Mengkirai Tlimpuk Gelam Reriang Balik angin Seruk Leban Penaga; nyamplung Waru Ubak Pelangas Rengkat Pelawan merah Salam
Kategori pionir pionir awal pionir awal pionir awal pionir awal; disarankan pionir awal pionir/ invader pionir akhir anggota formasi Barringtonia anggota formasi Barringtonia non pionir non pionir non pionir non pionir; invader non pionir pionir / invader
Sumber Davies SJ 2004, komunikasi pribadi; Sakai et al. (1980) Dalling J 2004, komunikasi pribadi; Cheah 1995
Whitten et al. 2000 Cheah 1995, Kanzaki M 2004, komunikasi pribadi Sakai et al. (1980); Setiawan 2003 Kanzaki M 2004, komunikasi pribadi; Sakai et al. (1980) Backer & van den Brink 1965 Backer & van den Brink 1965
Setiawan 2003 Sakai et al. (1980); Setiawan 2003
163