KAJIAN AWAL POTENSI TUMBUHAN INDIGENOUS DAN KERAGAMAN FUNGINYA UNTUK REVEGETASI LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA
IING DWI LESTARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajian Awal Tumbuhan Indigenous dan Keragaman Funginya untuk Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2008
Iing Dwi Lestari G 351060111
ABSTRACT IING DWI LESTARI. Preliminary Study of the Potency of Indigenous Plants and Their Fungal Diversity for Revegetation Program of Post Tin Mining Land in Bangka Island. Supervised by IBNUL QAYIM and NAMPIAH SUKARNO. Activity of tin mining had negative impact on the ecosystem including decreasing in soil fertility. Effort had been done to revegetate the post tin mining land, however, the plant used was mainly Acacia mangium. This because the plant was ease to grow in marginal land, including post tin mining site. The potential indigenous plant is defined as indigenous plants that have potency to be used in revegetation program of the post tin mining land. The objective of this research was to examine the potency of indigenous plants and diversity of fungi that were associated with the potential plant for revegetation program of post tin mining land. Five experimental sites were selected, they were revegetated lands of 0 year (Jongkong 5E), 3 years (Jongkong 24), 16 years (Jongkong1), and 28 years (Nibung 2), and secondary forest as a control treatment. The parameters mesuared for determining the potency of indigenous plants were Important Value Index, production and decomposition rate of litter fall. The soil characteristics that were determined plant growth such as physical and chemical properties were also measured. Litter fall analysis was carried out based on predominant tree found in all sites. Fungal diversity was studied by isolation and identification of the fungi grown in roots, leaf litters, and rhizosfers. The vegetation analysis showed that the plants were grow in all research sites were Dyera costulata, Schima wallichii, and Acacia mangium. The production and decomposition rate of litter fallnin all sites were varied. The production of litter fall from Acacia mangium in Jongkong 1 was 3.79x10-4 ton/ha/year. The highest decomposition rate of litter fall was found Nibung 2 from Dyera costulata was 16.36/year with residience time 0.06 years. The fungal diversity isolated from dominant vegetation in tree stage category was high. The average of each plant harboured 26-30 fungi that were grown in roots, leaf litters, and rhizosfers of the plants. Trichoderma was the dominant fungi. Based on the data of vegetation analysis, production and decomposition rate of litter fall and fungal diversity, Dyera costulata and Schima wallichii were the potentional plants for revegetation program of post tin mining land.
Keywords: Indigenous plant, fungi, post tin mining land, litter fall
RINGKASAN IING DWI LESTARI. Kajian Awal Potensi Tumbuhan Indigenous dan Keragaman Funginya untuk Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka. Dibimbing oleh IBNUL QAYIM dan NAMPIAH SUKARNO. Kegiatan pertambangan timah selain memberikan keuntungan juga dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem alam yaitu terjadi penurunan kesuburan tanah, hilangnya keragaman tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Kriteria jenis tumbuhan tumbuhan yang digunakan untuk revegetasi lahan bekas tambang ialah berdasarkan sifat yang dimiliki oleh tumbuhan tersebut yang antara lain ialah cepat tumbuh dilingkungan marginal dan memungkinkan jenis lain tumbuh kemudian pada lahan tersebut, menghasilkan buah yang mudah disebarkan oleh burung, dan memproduksi serasah yang mudah mengalami dekomposisi. Oleh karena itu revegetasi pada lahan bekas tambang dilakukan dengan menggunakan tumbuhan pionir yang memiliki kriteria tersebut diatas, dapat mengikat nitrogen, tahan kekeringan, dan berdaun banyak. Keberhasilan revegetasi tidak saja ditentukan oleh pemilihan jenis tumbuhan tetapi juga oleh jenis mikroorganisme yang bermanfaat dalam kesuburan tumbuhan dan tanah. Beberapa fungi dekomposer berperan dalam proses pembentukan tanah, pertumbuhan tanaman dan terlibat dalam siklus nutrisi melalui proses dekomposisi dalam tanah, terutama untuk dekomposisi selulosa, kitin, dan lignin. Oleh sebab itu tujuan dari penelitian ini ialah mengkaji potensi tumbuhan indigenous dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas tambang timah. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini metode kuadrat untuk menganalisis keragaman vegetasi dengan parameter yang di ukur adalah kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan Indeks Nilai Penting (INP). Pendugaan produksi serasah dianalis dengan menggunakan litter fall, sedangkan pendugaan laju dekomposisi serasah dengan menggunakan litter bag. Studi keragaman fungi dilakukan dengan mengisolasi dan mengidentifikasi fungi dari rizosfer, akar, daun segar, dan serasah daun tumbuhan yang terpilih. Lokasi yang digunakan dalam pengambilan sampel penelitian adalah hutan sekunder dan lahan bekas tambang timah yang telah direvegetasi selama 0 tahun (di Jongkong 5E), 3 tahun (di Jongkong 24), 16 tahun (di Jongkong 1), dan 28 tahun (di Nibung 2). Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh tumbuhan yang dominan pada semua lokasi penelitian ialah Acacia mangium dengan nilai INP yaitu 212.80% yang terdapat di lokasi Jongkong 1. Pada lahan bekas tambang tersebut juga ditemukan beberapa jenis tumbuhan lokal yaitu Dyera costulata, Schima wallichii, Vitex pubescens, dan Callophyllum lanigerum. Secara umum lahan pada lokasi penelitian memiliki sifat fisik tanah berpasir dengan pH yang masam yaitu pH 4.6-5.6 dan miskin unsur hara. Pada lokasi lahan bekas tambang terlihat adanya suksesi tumbuhan yaitu ditemuinya tumbuhan bawah berupa paku-pakuan dan alang-alang, serta tumbuhnya permudaan pohon. Tumbuhan yang memproduksi serasah tertinggi ialah Acacia mangium yang terdapat pada lokasi Jongkong 1 yaitu 3.79 x 10-4 ton/ha/tahun, sedangkan laju dekomposisi tertinggi
terjadi pada tumbuhan Dyera costulata yang terdapat pada lokasi Nibung 2 yaitu 16.36/tahun yaitu residience time 0.06 tahun. Fungi yang berhasil diisolasi dari rizosfer, akar, daun segar, dan serasah daun pada setiap tumbuhan bervariasi. Secara umum, fungi yang berhasil diisolasi ialah 450 isolat, yang terdiri dari Genus Trichoderma, Aspergillus, Paecilomyces, Penicillium, Acremonium, Fusarium, Cunninghamella, Phoma, beberapa fungi Miselia sterilia, Basidiomycetes, dan Coelomomyces. Dyera costulata dan Schima wallichii merupakan tumbuhan indigenous yang berpotensi sebagai tumbuhan revegetasi pada lahan bekas tambang timah karena memiliki laju dekomposisi dan keragaman fungi yang tinggi.
Kata kunci: Tumbuhan indigenous, fungi, lahan bekas tambang, produksi dan laju dekomposisi serasah.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruhkarya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a.
Pengutipan
hanya
untuk
kepentingan
pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. 2.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN AWAL POTENSI TUMBUHAN INDIGENOUS DAN KERAGAMAN FUNGINYA UNTUK REVEGETASI LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA
IING DWI LESTARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sain pada Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis : Kajian Awal Potensi Tumbuhan Indigenous dan Keragaman Funginya untuk Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka Nama : Iing Dwi Lestari NIM : G351060111
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ibnul Qayim Ketua
Dr. Ir. Nampiah Sukarno Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Biologi
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Tanggal Ujian : 8 September 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus :
PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis yang berjudul ”Kajian Awal Potensi Tumbuhan Indigenous dan Keragaman Funginya pada Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka” dapat diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang besar kepada: 1. Dr. Ir. Ibnul Qayim dan Dr. Ir. Nampiah Sukarno selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Irdika Mansur M.For.Sc sebagai anggota tim penguji. 3. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) yang diberikan kepada Dr. Ir. Nampiah Sukarno atas bantuan dana untuk melaksanakan sebagian dari penelitian ini. 4. Proyek HiLink-Dikti Aplikasi Bioteknologi untuk Pembentukan Inkubatorbisnis di Kabupaten Bangka Induk a/n Dr. Ir. Utut Widyastuti. 5. Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, Laboratorium Mikologi, dan Laboratorium Terpadu Biologi atas sarana dan prasarana penelitian. 6. Departemen Agama RI atas kepercayaan dan dukungan dana yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan pascasarjana. 7. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua program Studi Pascasarjana dan Ketua Departemen Biologi IPB, beserta seluruh dosen dan tenaga administratif. 8. Kepala Sekolah Drs. Amri, MM, seluruh guru dan karyawan tata usaha Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 14 Jakarta. 9. PT Koba Tin atas bantuan dan kerjasamanya sehingga penelitian ini bisa berjalan dengan lancar. 10. Heri Yumaru suami tercinta dan kedua buah hati penulis yaitu Hanifah Asma Ramadhani dan Muhammad Aslam Hibatullah atas segala pengertian dan kasih sayangnya. 11. Keluarga tercinta yaitu Ayahanda H. Sukaryo, Ibunda Hj. Suti, Mas Aang Purwoko dan Nurasiyah, De’ Indriani dan Dede, serta Papa Suparno dan Mama Ernawati yang selalu memberikan dukungan materil maupun spirituil kepada penulis. 12. Rida dan M. Ilyas yang selalu bersedia membantu penulis. 13. Seluruh rekan-rekan Beasiswa Utusan Daerah (BUD) terutama Yanti Novera, Adil, dan Sri Suryani yang selalu memberikan semangat kepada penulis. Semoga sedikit tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya. Amin.
Bogor,
September 2008 Iing Dwi Lestari
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 April 1977 dari Ayah H. Sukaryo dan Ibu Hj. Suti. Penulis merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 98 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur UMPTN. Penulis memilih Program Studi Biologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus pada tahun 1999. Penulis melanjutkan studi di Universitas Negeri Jakarta untuk mengambil Akta Mengajar IV dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2000 penulis bekerja sebagai guru honorer di Madrasah Aliyah Negeri 14 Jakarta sebagai guru Biologi. Pada tahun 2006, penulis diterima di Program Studi Biologi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Departemen Agama RI.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xvii
PENDAHULUAN........................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................
1
Perumusan Masalah .........................................................................
3
Kerangka Pemikiran ..........................................................................
3
Tujuan Penelitian .............................................................................
4
Manfaat Penelitian ...........................................................................
5
Hipotesis Penelitian ..........................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
6
Lahan Bekas Tambang Timah di PT. Koba Tin, Koba-Bangka .......
6
Keragaman Jenis ..............................................................................
8
Serasah .............................................................................................
9
Keragaman Fungi .............................................................................
10
METODOLOGI .........................................................................................
12
Tempat dan Waktu Penelitian ..........................................................
12
Bahan dan Alat .................................................................................
12
Pengukuran Parameter Ekologi ........................................................
12
Pengukuran Produksi Serasah ..........................................................
15
Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah ............................................
15
Pengambilan Sampel Tanah ..............................................................
16
Pengambilan Sampel Akar ...............................................................
17
Pengambilan Sampel Serasah ..........................................................
17
Isolasi Fungi .....................................................................................
17
Identifikasi Fungi .............................................................................
18
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
20
Analisis Vegetasi ..............................................................................
20
Analisis Tanah ..................................................................................
23
Produksi Serasah ..............................................................................
26
Laju Dekomposisi Serasah ...............................................................
28
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Hutan Sekunder ................................................................
32
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Hutan Sekunder ................................................................
38
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Acacia mangium di Lokasi Hutan Sekunder ................................................................
40
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Callophyllum lanigerum di Lokasi Hutan Sekunder ..............................................
44
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) ...................
47
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) ....................
49
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Acacia mangium di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) ....................
51
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Vitex pubescens di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) ....................
52
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Paraserianthes falcataria di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun)....
53
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Jongkong 1 (lahan Revegetasi Usia 16 tahun) ..................
54
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Jongkong 1 (lahan Revegetasi Usia 16 tahun) ..................
55
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Acacia mangium di Lokasi Jongkong 1 (lahan Revegetasi Usia 16 tahun) ..................
56
Potensi Tumbuhan Indigenos dan Keragaman Funginya ................
58
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
61
Kesimpulan ......................................................................................
61
Saran .................................................................................................
61
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
62
LAMPIRAN ................................................................................................
67
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Indeks Nilai Penting (INP) jenis pohon yang ditemukan pada lokasi penelitian .....................................................................................
22
2 Analisis sifat fisik tanah pada lokasi penelitian .....................................
24
3 Analisis sifat kimia tanah pada lokasi penelitian ...................................
24
4 Rata-rata produksi serasah di lokasi penelitian .....................................
27
5 Rata-rata laju dekomposisi serasah dan residience time beberapa tumbuhan setelah 21 hari terdekomposisi ..............................................
30
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian tentang kajian awal potensi tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka .........................................
4
2 Peta pulau Bangka (sumber PT.Koba Tin 2004) ...................................
6
3 Desain unit contoh vegetasi dalam metode kuadrat ...............................
14
4 Jaring penampung serasah (Litter trap) yang digunakan untuk menampung serasah yang jatuh dari pohon di beberapa lokasi penelitian ................. 15 5 Kantong serasah (Litter bag) yang digunakan untuk penempatan serasah di beberapa lokasi penelitian .....................................................
16
6 Jumlah jenis tumbuhan pada beberapa fase pertumbuhan di lokasi penelitian .................................................................................
20
7 Berat kering sisa serasah daun di hutan sekunder yang didekomposisikan selama 3 minggu .......................................................
28
8 Berat kering sisa serasah daun di Nibung 2 yang didekomposisikan selama 3 minggu ....................................................................................
29
9 Berat kering sisa serasah daun di Jongkong 1 yang didekomposisikan selama 3 minggu ....................................................................................
29
10 Keragaman fungi pada Dyera costulata di Hutan sekunder ..................
32
11 Fungi Paecilomyces sp4. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium ...........................................................................................
33
12 Fungi Miselia sterilia 1 dengan perbesaran 600x (a) Hifa ......................
33
13 Fungi Miselia sterilia 3 dengan perbesaran 150x (a) Hifa ......................
33
14 Fungi Coelomomyces dengan perbesaran 150x (a) Hifa ........................
34
15 Fungi Penicillium sp1. dengan perbesaran 600x (a) Konidiofor (b) Konidium ...........................................................................................
34
16 Fungi Basidiomycetes isolat 2 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit .................................................................................
35
17 Fungi Basidiomycetes isolat 3 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit .................................................................................
35
18 Fungi Aspergillus sp1. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor ........................................................................................
36
19 Fungi Trichoderma sp1. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor ........................................................................................
36
20 Fungi Aspergillus niger dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor ........................................................................................
37
21 Fungi Volutella sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor ........................................................................................
37
22 Keragaman fungi pada Schima wallichii di Hutan sekunder ..................
38
23 Fungi Phoma sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidia .........................
39
24 Fungi Paecilomyces sp1. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (c) Konidiofor ........................................................................................
39
25 Fungi Penicillium sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor ........................................................................................
39
26 Fungi Synchephalatrum sp. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor ........................................................................................
40
27 Keragaman fungi pada Acacia mangium di Hutan sekunder .................
40
28 Fungi Cunninghamella sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (b) Konidiofor ........................................................................................ 42 29 Fungi Acremonium sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (b) Konidiofor ........................................................................................
42
30 Fungi Basidiomycetes isolat 1 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit ................................................................................
42
31 Fungi Fusarium sp3. dengan perbesaran 150x (a) Hifa (b) Makrokonidia (b) Mikrokonidia ....................................................................................
43
32 Fungi Penicillium sp3. dengan perbesaran 1500x (a) Konidium ............
43
33 Fungi Verticillium sp. dengan perbesaran 150x (a) Hifa (b) Konidium .
44
34 Fungi Fusarium sp2. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Makrokonidia (b) Mikrokonidia ....................................................................................
44
35 Keragaman fungi pada Callophyllum lanigerum di Hutan sekunder ......
45
36 Fungi Fusarium sp1. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Makrokonidia (b) Mikrokonidia (d) Konidiofor.............................................................
45
37 Fungi Dematiaceae dengan perbesaran 600x (a) Hifa ............................
46
38 Fungi Cladosporium sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidium ...........
46
39 Fungi Penicillium sp2. dengan perbesaran 150x (a) Konidium .............
46
40 Keragaman fungi pada Dyera costulata di Nibung 2 ............................
47
41 Fungi Curvularia sp. dengan perbesaran 150x (a) Hifa (b) Konidium ..
48
42 Fungi Trichoderma sp2. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor .........................................................................................
48
43 Fungi Gliocladium sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (c) Konidiofor .........................................................................................
49
xv
44 Fungi Paecilomyces sp2. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor .........................................................................................
49
45 Keragaman fungi pada Schima wallichii di Nibung 2 ...........................
50
46 Fungi Paecilomyces sp3. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (b) Konidiofor .........................................................................................
50
47 Fungi Miselis sterilia 2 dengan perbesaran 150x (a) Hifa ......................
51
48 Fungi Paecilomyces sp5. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor .........................................................................................
51
49 Keragaman fungi pada Acacia mangium di Nibung 2 ...........................
52
50 Keragaman fungi pada Vitex pubescens di Nibung 2.............................
53
51 Keragaman fungi pada Paraserianthes falcataria di Nibung 2 .............
54
52 Keragaman fungi pada Dyera costulata di Jongkong 1 ..........................
55
53 Keragaman fungi pada Schima wallichii di Jongkong 1 ........................
56
54 Keragaman fungi pada Acacia mangium di Jongkong 1........................
56
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data lokasi penelitian .............................................................................
67
2 Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Hutan Sekunder .....................
67
3 Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Hutan Sekunder .......................
68
4 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Hutan Sekunder ..................
69
5 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Hutan Sekunder ......................
70
6 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Hutan Sekunder ...........
70
7 Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Nibung 2 ................................
70
8 Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Nibung 2 ...................................
71
9 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Nibung 2 .............................
71
10 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Nibung 2 .................................
71
11 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Nibung 2 .......................
72
12 Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Jongkong 1 ............................
72
13 Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Jongkong 1 ...............................
72
14 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Jongkong 1 .........................
73
15 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Jongkong 1 ..............................
74
16 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Jongkong 1 ...................
74
17 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Jongkong 24 ........................
75
18 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Jongkong 24 ............................
75
19 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Jongkong 24 .................
75
20 Luas penutupan tajuk (T) dan luas bidang dasar pohon (B) yang digunakan ................................................................................................
75
21 Hasil dekomposisi serasah pohon di Hutan Sekunder ...........................
75
22 Hasil dekomposisi serasah pohon di Nibung 2 ......................................
75
23 Hasil dekomposisi serasah pohon di Jongkong 1 ....................................
75
24 Bentuk kanopi tumbuhan pada fase pohon yang digunakan saat pengukuran produksi dan laju dekomposisi serasah ..............................
77
25 Jenis cendawan yang diisolasi dari Hutan sekunder menggunakan media CMC ............................................................................................
78
26 Jenis cendawan yang diisolasi dari Nibung 2 menggunakan media CMC ............................................................................................
79
27 Jenis cendawan yang diisolasi dari Jongkong 1 menggunakan media CMC ............................................................................................
80
28 Jenis cendawan yang diisolasi dari Hutan sekunder menggunakan media Alkali lignin .................................................................................
80
29 Jenis cendawan yang diisolasi dari Nibung 2 menggunakan media Alkali lignin .................................................................................
81
30 Jenis cendawan yang diisolasi dari Jongkong 1 menggunakan media Alkali lignin .................................................................................
82
PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Bangka merupakan penghasil utama timah di Indonesia. Kegiatan pertambangan timah selain memberikan keuntungan juga dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem alam berupa perubahan struktur morfologi tanah yang dilanjutkan dengan kerusakan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Dampak penambangan timah menyebabkan perubahan iklim seperti suhu, kelembaban, dan kandungan hara tanah. Aktivitas penambangan menurunkan kesuburan tanah, mengurangi areal hutan, berkurangnya ketersediaan hasil hutan yang penting, menurunkan keragaman vegetasi jenis tumbuhan dan hewan, perubahan topografi, pencemaran dan terganggunya sistem aliran air di sekitar lokasi, kerusakan yang sangat parah sulit untuk direhabilitasi. Akibat hilangnya fungsi hutan tersebut, maka produktivitas dan stabilitas lahan akan menurun. Suksesi secara alami untuk memperbaiki lahan bekas tambang timah tanpa adanya campur tangan manusia membutuhkan waktu yang sangat lama. Tarmie (2005) menyatakan revegetasi alami pada lahan bekas tambang timah setelah belasan tahun terdiri dari Dicranopteris sp. (pakis), Melastoma sp., dan Eragrotis sp. (rumput-rumputan). Kriteria pemilihan jenis tumbuhan untuk revegetasi sementara ini berdasarkan atas sifat katalitik yang dimiliki jenis tersebut antara lain cepat tumbuh di lingkungan marginal dan memungkinkan jenis lain tumbuh kemudian, buahnya mudah disebarkan oleh burung pemakan buah, dan serasah mudah mengalami dekomposisi. Revegetasi lahan bekas tambang biasanya dengan cara pengadaan bibit tumbuhan pionir yang dapat mengikat N, cepat tumbuh, tahan kering, berdaun banyak dan mudah melapuk. Vegetasi merupakan salah satu komponen biotik yang dapat tumbuh pada suatu wilayah tertentu dan dapat dijadikan sebagai cerminan dari iklim, tanah, topografi, dan ketinggian yang saling berinteraksi secara kompleks. Setiap jenis tumbuhan membutuhkan kondisi lingkungan yang spesifik untuk tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Perubahan dan variasi kondisi lingkungan tertentu akan memberikan dampak bagi struktur dan komposisi jenis tumbuhan dari segi kelimpahan, pola penyebaran, asosiasi dengan jenis lainnya serta kondisi
pertumbuhan yang berbeda dengan jenis lainnya. Vegetasi yang berupa pohon pada suatu wilayah juga menunjukan struktur dan komposisi yang dapat memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan pada habitatnya secara umum. Hutan alami dan hutan hasil revegetasi bekas tambang timah di pulau Bangka diharapkan menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya berbagai jenis fauna dan flora sehingga memiliki kekayaan jenis yang beragam. Keragaman jenis tersebut dipengaruhi juga oleh kondisi lingkungan diantaranya kesuburan tanahnya. Salah satu faktor penentu kesuburan tanah adalah serasah. Serasah merupakan bahan organik yang berasal dari organ tumbuhan yang mati dan jatuh ke lantai hutan. Komponen serasah tersebut terdiri dari organ-organ vegetatif seperti daun, ranting, dan cabang, serta organ-organ reproduktif seperti bunga, buah dan biji. Serasah sebagai guguran struktur vegetatif dan reproduktif yang jatuh disebabkan oleh faktor ketuaan (senescens), stress oleh faktor mekanik (misalnya angin), kombinasi antara keduanya, kematian serta kerusakan seluruh bagian tumbuhan oleh iklim (Yunasfi 2006). Produksi serasah dapat diketahui dengan memperkirakan komponen-komponen dari produksi primer bersih yang dapat terakumulasi pada lantai hutan yang selanjutnya mengalami mineralisasi melalui tahap-tahap dekomposisi. Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi dan mikroorganisme yang adaptif tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah, iklim, dan kegiatan pasca penambangan. Kemampuan tumbuh vegetasi pada lahan pasca tambang sangat bergantung pada mikroorganisme yang bermanfaat baik, bersimbiosis maupun hidup bebas pada rizosfer tumbuhan. Hal ini karena lahan pasca
tambang
selain
mengalami
kerusakan
fisik,
juga
miskin
dari
mikroorganisme bermanfaat. Fungi tanah merupakan salah satu mikroorganisme yang sangat penting dalam membantu meningkatkan kesuburan tanah dan tumbuhan. Salah satu fungi tanah yang penting ialah fungi rizosfer dan rizoplan. Selain mikoriza, terdapat banyak fungi rizosfer dan rizoplan lain yang dapat meningkatkan kesuburan tanah dan tumbuhan. Fungi rizosfer biasanya hidup bebas, sedangkan fungi rizoplan umumnya hidup bersimbiosis mutualisme dengan tumbuhan inang. Fungi merupakan satu di antara berbagai kelompok mikroorganisme yang memainkan peran sangat penting dalam proses dekomposisi
serasah bahan-bahan tumbuhan. Hal ini karena fungi merupakan pengurai utama dedaunan yang memiliki kemampuan untuk menguraikan selulosa dan lignin. Seperti diketahui selulosa dan lignin ini secara bersama merupakan komponen penyusun dinding sel di daun. Telah banyak penelitian yang melaporkan bahwa keberhasilan revegetasi lahan bekas tambang ditentukan tidak saja oleh vegetasinya tetapi juga oleh mikroorganisme
tanahnya,
misalnya
penggunaan
mikoriza.
Beberapa
mikroorganisme rizosfer berperan penting dalam siklus hara dan proses pembentukan
tanah,
pertumbuhan
tumbuhan,
mempengaruhi
aktivitas
mikroorganisme lainnya dan sebagai pengendali hayati terhadap patogen akar (Mardieni 2003). Oleh karena itu kajian mengenai potensi tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas tambang timah perlu dilakukan.
Perumusan Masalah Penurunan kualitas lingkungan dapat disebabkan oleh penggunaan alat-alat berat dan bahan kimia selama proses produksi pengambilan timah. Berdasarkan pengamatan dilapangan permasalahan yang ada di lahan bekas tambang timah PT. Koba Tin adalah sebagai berikut: 1.
Lahan bekas tambang timah memiliki unsur hara dan pH tanah yang rendah, sehingga tumbuhan sulit untuk tumbuh di lahan tersebut.
2.
Hilangnya vegetasi alami dan berubahnya ekosistem lingkungan tersebut.
3.
Hilangnya mikroorganisme yang berperan dalam mendekomposisikan serasah
Kerangka Pemikiran Peneliti Dasar pemikiran peneliti adalah bahwa daerah bekas penambangan timah mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan hidup, sehingga perlu dikaji mengenai suksesi tumbuhan dan keragaman funginya pada revegetasi lahan bekas tambang timah, sehingga dapat dimanfaatkan untuk penentuan strategi rehabilitasi lahan yang baik dan cepat. Kerangka berfikir dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Lahan bekas tambang timah
Penurunan Kualitas Lingkungan
Fisik : Topsoil hilang
Kimia : Kesuburan tanah menurun
Biologi : Vegetasi alami dan mikroorganisme (fungi) hilang
Analisis tanah, analisis vegetasi dan identifikasi fungi
Informasi tentang kajian awal potensi tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk peningkatan kualitas lahan bekas tambang timah Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian tentang kajian awal potensi tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mempelajari struktur dan komposisi jenis tumbuhan pada hutan sekunder dan hutan hasil revegetasi. 2. Mempelajari tentang kesuburan tanah di lahan bekas penambangan timah. 3. Menentukan produksi dan laju dekomposisi serasah pada beberapa tumbuhan. 4. Menginventarisasi keragaman fungi dari rizosfer, akar, dan serasah daun dari beberapa tumbuhan pada hutan sekunder dan hutan hasil revegetasi. 5. Menentukan jenis tumbuhan indigenos dan funginya yang berpotensi untuk revegetasi lahan bekas tambang timah.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mempelajari tentang kajian awal potensi tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas penambangan timah dan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi untuk pertimbangan bagi pemerintah, perusahaan ataupun masyarakat dalam menentukan strategi rehabilitasi lahan bekas penambangan timah yang baik dan cepat.
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1.
Adanya variasi keanekaragaman jenis tumbuhan pada hutan sekunder dan hutan hasil revegetasi.
2.
Kesuburan tanah di tempat penelitian mengalami penurunan kualitas dan kuantitas.
3.
Ada beberapa jenis tumbuhan yang memiliki nilai produksi dan laju dekomposisi serasah yang tinggi pada lahan revegetasi bekas tambang timah.
4.
Ada variasi keanekaragaman jenis fungi pada hutan sekunder dan hutan hasil revegetasi.
5.
Ada beberapa jenis tumbuhan indigenos dan keragaman funginya yang berpotensi untuk revegetasi lahan bekas tambang timah.
TINJAUAN PUSTAKA Lahan Bekas Penambangan Timah di PT Koba Tin, Koba-Bangka PT Koba Tin merupakan perusahaan kerjasama antara MSC (Malaysian Smelting Corporation) dengan pemerintah Republik Indonesia yang bergerak di bidang pertambangan timah. Wilayah kerjanya meliputi areal seluas 619 km2 yang terletak di bagian Timur-Selatan Pulau Bangka. Kegiatan eksplorasi telah di mulai sejak Desember 1971, dengan percobaan penambangan dilakukan Maret 1973, dan penambangan komersil dimulai April 1974. Daerah kuasa pertambangan PT Koba Tin terletak di Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Selatan dengan jangka waktu kontrak karya 30 tahun yang telah berakhir pada tahun 2003. Namun sejak terjadi pemindahan kepemilikan saham dari Iluks Resources Limited (Australia) kepada Malaysian Smelting Corporation (Malaysia) pada tahun 2002, PT Koba Tin mendapatkan perpanjangan kontrak karya hingga tahun 2013.
Lokasi Penelitian
Gambar 2 Peta Pulau Bangka (Sumber PT. Koba Tin 2004) Secara geografis Pulau Bangka terletak pada posisi sekitar 2o20’ sampai 2o48’ LS dan 106o7’ sampai 106o56’ BT. Luas Pulau Bangka sekitar 10 760 km2 dengan panjang 214 km dan lebar 50 km. Topografi Pulau Bangka umumnya merupakan hamparan dataran dengan sedikit bergelombang oleh perbukitan. Topografi di wilayah kontrak karya PT Koba Tin merupakan daerah berkontur rendah yang mengikuti pesisir Pantai Koba menuju ke Timur Lubuk Besar, dengan ketinggian sampai 36 m dpl. Kemiringan permukaan tanah rata-rata
mengarah ke Utara sesuai aliran arah aliran sungainya. Berdasarkan dokumen AMDAL (1980) diacu dalam PT. Koba Tin (2004), areal tambang timah PT. Koba Tin mempunyai jenis tanah asosiasi podsolik coklat kekuningan dan podsol. Jenis tanah lain yang dapat ditemukan adalah alluvial, regosol dan latosol. Alluvial mempunyai bahan induk bersama pasir dan clay, sementara regosol abuabu mempunyai bahan induk dari pasir. Kegiatan penambangan timah menimbulkan perubahan ekosistem dan morfologi lahan. Ciri yang terlihat pertama kali adalah hilangnya vegetasi alami dengan tanah yang rusak karena horizon tanah tidak teratur, lapisan hitam dan lapisan-lapisan lainnya sudah terbalik. Lahan pasca penambangan berupa hamparan tailing pasir yang mengandung fraksi pasir lebih dari 94%, fraksi liat kurang dari 3%, kandungan bahan organik kurang dari 2% C-organik, daya memegang air sangat rendah, daya permeabilitas air sangat cepat, jumlah mikroorganismenya sangat rendah (Juairiah et al. 2005). Tanah bekas tambang timah dapat berupa tailing dan overburden. Tailing merupakan material sisa dari penambangan timah berupa pasir yang mempunyai sifat fisik dan kimia tanah yang kurang subur. Sedangkan overburden merupakan material yang dipindahkan pada waktu stripping (pengupasan) yang terdiri dari campuran tanah, bahan induk tanah, pasir kerikil, dan lain-lain. Pada tumpukan galian overburden telah terjadi pencampuran berbagai lapisan, sehingga yang mengandung unsur hara sudah tidak terlihat lagi, bahkan telah ikut terbawa oleh aliran permukaan. Overburden mempunyai sifat heterogen yang tidak kompak, terdiri dari 2 komponen yaitu (1) top soil yang mengalami proses oksidasi, dan (2) material yang tidak mengalami oksidasi dan pelapukan yang dikenal sebagai bahan induk kurang menyokong pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (PPAT 1990). Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang. Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi yang adatif, iklim, dan kegiatan pasca penambangan. Adapun tujuan rehabilitasi ekosistem hutan yang mengalami degradasi adalah menyediakan, mempercepat dan melangsungkan proses suksesi alami selain untuk menambah produktivitas biologis, mengurangi laju erosi tanah, menambah kesuburan tanah (termasuk
bahan organik) dan menambah kontrol biotik terhadap aliran biogeokimia dalam ekosistem yang ditutupi tumbuhan (Parotta 1993).
Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis adalah suatu bentuk komunitas baik flora maupun fauna yang hidup di muka bumi. Primack et al. (1998), diacu dalam Yassir (2005) menyebutkan keragaman hayati harus dilihat dari tingkat jenis, komunitas dan ekosistem, termasuk didalamnya jutaan tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, genetik sebagai ekosistem yang di bangun menjadi lingkungan hidup. Dombois et al. (1974) menyatakan bahwa struktur dan komposisi komunitas merupakan salah satu aspek penting untuk mengungkapkan bagaimana kondisi suatu komunitas tersebut dalam sistem kehidupan terutama organisasi populasi dan interaksinya masing-masing. Struktur tumbuhan merupakan organisasi dalam ruang dimana individu-individu membentuk suatu tegakan
atau perluasan tipe tegakan
membentuk asosiasi secara keseluruhan. Elemen penting dalam struktur tumbuhan adalah bentuk pertumbuhan (growth form), statifikasi, dan penutupan tajuk (coverage). Lebih lanjut Kershaw (1964) diacu dalam Arrijani (2006) membedakan tiga komponen struktur vegetasi yaitu: (1) struktur vertikal yaitu stratifikasi ke dalam lapisan-lapisan menurut ketinggian, (2) struktur horizontal yaitu distribusi ruang areal populasi dan masing-masing individu, (3) jumlah struktur yaitu kelimpahan masing-masing jenis dalam komunitas. Penelitian keanekaragaman jenis dengan menggunakan indeks kekayaan jenis adalah untuk mengetahui jumlah jenis yang ditemukan pada suatu komunitas. Odum (1993) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis dapat mempergunakan indeks kelimpahan jenis (spesies abundance), yaitu suatu indeks tunggal yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Indeks kemerataan jenis di dalam menilai keanekaragaman jenis dapat digunakan sebagai petunjuk kemerataan kelimpahan individu antar setiap jenis. Indeks ini dapat digunakan pula sebagai indikator adanya gejala dominansi diantara setiap jenis dalam suatu komunitas. Adapun indeks kelimpahan jenis yang sering digunakan oleh beberapa peneliti ekologi adalah indeks kelimpahan jenis dari Shannon-Wiener.
Setiadi (1994) diacu dalam Kusumastuti (2005) mendefinisikan revegetasi sebagai suatu usaha manusia untuk memulihkan lahan kritis di luar kawasan hutan dengan maksud agar lahan tersebut berfungsi secara normal. Revegetasi dengan jenis-jenis pohon dan tumbuhan bawah yang terpilih dapat memberikan peranan penting dalam merehabilitasi hutan tropik. Revegetasi dengan jenis-jenis lokal dan eksotik yang telah beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh yang terdegradasi dapat memulihkan kondisi tanah dengan menstabilkan tanah, menambah bahan organik dan produksi serasah yang dihasilkan sebagai humus untuk memperbaiki keseimbangan siklus hara dalam lahan revegetasi.
Serasah Serasah merupakan lapisan atas pada lantai hutan yang terdiri dari bagianbagian tumbuhan yang telah mati seperti guguran daun, ranting dan cabang, bunga dan buah, kulit kayu serta bagian-bagian lainnya yang jatuh ke lantai hutan dan belum mengalami proses dekomposisi (Dephut 1997). Selain serasah yang berasal dari tumbuhan, serasah juga dapat berupa hewan yang telah mati pada permukaan tanah. Sehingga pengertian serasah dalam arti luas mencakup semua bahan organik yang tersusun dari bahan-bahan yang telah mati dan jatuh atau berada pada permukaan tanah sebelum mengalami dekomposisi. Secara umum semua serasah tersebut berperan dalam penyediaan bahan organik tanah tiap tahunnya (Deshmukh 1992). Perbedaan produksi serasah disebabkan karena adanya variasi kondisi lingkungan yang mempengaruhi tumbuhan pada suatu lokasi tertentu. Selain itu kemampuan masing-masing pohon untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan sekitarnya juga berbeda-beda. Oleh sebab itu struktur dan kompisisi pohon penyusun suatu kawasan hutan juga mempengaruhi produksi serasah pada hutan tersebut (Sallata & Halidah 1990, diacu dalam Arrijani 2006). Arrijani (2006) menyatakan bahwa serasah yang jatuh ke permukaan tanah bermanfaat untuk mempertahankan dan memperbaiki struktur tanah. Dengan adanya serasah pada permukaan tanah, maka akan memberikan banyak manfaat bagi tanah terutama untuk menunjang fungsinya sebagai media tumbuh tumbuhan. Kebaikan serasah pada permukaan tanah antara lain:
a. Melindungi agregat-agregat tanah dari daya rusak air hujan atau mencegah erosi. b. Meningkatkan penyerapan air oleh tanah c. Mengurangi volume dan kecepatan aliran permukaan d. Memelihara temperatur dan kelembaban tanah e. Memelihara kandungan bahan organik tanah f. Mengendalikan tumbuhan pengganggu Bahan organik dalam serasah akan mengalami proses dekomposisi atau proses penguraian bahan organik kompleks yang berasal dari tumbuhan dan berlangsung secara fisik maupun kimiawi menjadi senyawa anorganik yang lebih sederhana. Salah satu dari serasah hasil dekomposisi bagi tumbuhan adalah sebagai sumber unsur hara berupa bahan kimia yang dapat diserap oleh tumbuhan yang akan dimanfaatkan dalam proses metabolisme dan pertumbuhan.
Keragaman Fungi Fungi merupakan suatu kelompok mikroorganisme yang anggotanya sangat besar dan dapat ditemukan di hampir semua relung ekologi. Fungi tanah kira-kira 100 kali lebih sedikit daripada bakteri, tetapi biasanya mempunyai biomassa yang lebih besar. Fungi tanah selalu memainkan peranan yang paling besar dalam siklus nutrisi melalui proses dekomposisi dalam tanah, terutama untuk dekomposisi selulosa, kitin, dan lignin yang terdapat pada lapisan tanah bagian atas. Fungi sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme lainnya baik pada tingkat jenis, komunitas dan ekosistem. Jika fungi tidak ada maka proses dekomposisi dan siklus nutrisi dalam tanah akan terhambat, sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem (Watling et al. 2002). Habitat fungi di alam ialah tanah, air, udara, tumbuhan, hewan, kotoran hewan, serasah, bagian tanaman dan hewan mati, dan lain-lain. Fungi hidup pada bahan organik baik yang mati maupun yang hidup. Fungi saprob ialah fungi yang hidup pada bahan organik hidup disebut fungi simbion. Fungi yang hidupnya bersimbiosis terdiri dari simbiosis antagonistik (parasit) dan simbiosis mutualistik. Fungi simbiosis mutualistik diantaranya ialah fungi mikoriza dan endofit.
Fungi endofit adalah fungi yang terdapat di dalam jaringan tumbuhan seperti daun, bunga, ranting maupun akar tumbuhan. Fungi ini menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu menghasilkan mikotoksin, enzim, dan antibiotik. Fungi endofit secara umum didominasi oleh kelompok Ascomycetes dan fungi bermitospora, serta beberapa Basidiomycetes. Contoh fungi endofit adalah Acremonium (Bacon & White 2000; Clay 1988). Fungi tanah biasanya ialah beberapa Basidiomycetes, Mucorales, Ascomycetes, dan Deuteromycetes. Fungi tanah lain berperan di dalam penyediaan unsur hara fosfat diantaranya ialah Aspergillus sp dan Penicillium sp. Anke (1997) menyatakan bahwa fungi tanah seperti Aspergillus, Trichoderma, dan Penicillium berperan penting dalam menguraikan selulosa dan hemiselulosa. Fungi
banyak berperan dalam proses dekomposisi serasah karena memiliki
kemampuan untuk menghasilkan enzim selulose yang berguna dalam penguraian serasah. Kemampuan fungi dalam menguraikan selulosa juga dipengaruhi oleh kualitas serasah itu sendiri, serasah yang memiliki kandungan lignin yang tinggi akan lebih lama terdekomposisi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Robinson et al. (1994) menunjukan bahwa pada serasah daun yang mengalami dekomposisi kadar selulosa dan kadar lignin masih berkurang dengan makin lamanya waktu dekomposisi. Konsentrasi unsur hara dan lignin yang terdapat pada serasah daun berpengaruh terhadap kecepatan dekomposisi melalui pengaruhnya terhadap ketersediaan karbon dan unsur hara yang diperlukan oleh fungi.
METODOLOGI Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di lahan bekas penambangan timah PT. Koba Tin, Koba-Bangka, dan Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB (PPSHB IPB). Penelitian dilakukan mulai bulan Juni 2007 sampai bulan Mei 2008.
Bahan dan Alat Bahan penelitian yang digunakan di lapangan adalah keragaman vegetasi, serasah daun, dan sampel tanah, sedangkan di laboratorium adalah media isolasi fungi seperti Low Carbon Agar + Rose Bengal (LCA), Carboxymethyl Cellulose Agar (CMC), dan Alkali Lignin, alkohol, dan lain-lain Peralatan yang digunakan di lapangan adalah kompas, meteran, tali rafia, sekop, plastik, dan alat tulis, sedangkan di laboratorium adalah mikroskop, cawan petri, tabung reaksi, dan lain-lain.
Pengukuran Parameter Ekologi Parameter ekologi yang diukur pada lokasi penelitian antara lain kerapatan, frekuensi, dominasi, dan indeks nilai penting masing-masing tumbuhan. Analisis vegetasi yang dilakukan dengan penentuan kurva jenis area dan metode kuadrat (Cox 2002; Setiadi 1998; Kusmana 1997). Kurva jenis area untuk mengetahui berapa % penambahan jenis tumbuhan. Metode kuadrat untuk mengetahui komposisi jenis, peranan dan struktur suatu tipe vegetasi yang diamati. a. Pengukuran kerapatan dan kerapatan relatif masing-masing pohon dilakukan setelah data lapangan dikumpulkan melalui metode kuadrat. Nilai kerapatan dan kerapatan relatif masing-masing jenis ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kerapatan jenis (K)
=
Jumlah individu suatu jenis Luas total petak contoh
=
K. Relatif (KR)
K suatu jenis x 100% K total seluruh jenis
b. Pengukuran nilai frekuensi dan frekuensi relatif masing-masing jenis dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dominansi (D)
Luas penutupan suatu jenis Luas petak contoh
=
=
D. Relatif (DR)
D suatu jenis x 100% D seluruh jenis
c. Pengukuran nilai dominasi mutlak dan dominasi relatif masing-masing jenis dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
=
Frekuensi (F)
F. Relatif (FR)
Jumlah petak yang diduduki jenis Jumlah seluruh petak contoh
=
F suatu jenis x 100 % F seluruh jenis
d. Menghitung Indeks Nilai Penting (INP) masing-masing jenis dengan cara menjumlahkan nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominasi relatif masing-masing jenis. Rumus yang digunakan adalah: INPa = KRa + FRa + DRa Dimana :
INPa
= Indeks nilai penting jenis tertentu
KRa
= Nilai kerapatan relatif jenis tertentu
FRa
= Nilai frekuensi relatif jenis tertentu
DRa
= Nilai dominasi relatif jenis tertentu
Lokasi penelitian ditentukan dengan mempertimbangkan keragaman lokasi seperti hutan sekunder dan lahan bekas tambang yang telah direvegetasi dengan usia 0, 3, 16 dan 28 tahun. Penempatan plot dilakspancang secara acak berdasarkan peta wilayah dan hasil survei di lapangan. Metode penempatan plot menggunakan metode garis berpetak, dengan pengambilan contoh kuadrat (Dombois et al. 1974; Setiadi 1998; Kusmana 1997) dan penempatan jalur/transek secara purposive (Gambar 3).
Plot 2
Plot 1
20 m
dst 10 m
d c b a
Keterangan : a. plot 1m x1m untuk tumbuhan bawah dan semai b. plot 2m x 2m untuk pancang c. plot 10m x 10m untuk tiang d. plot 20m x 20m untuk pohon
Gambar 3 Desain unit contoh vegetasi dalam Metode Kuadrat.
Pada inventarisasi vegetasi perlu dibedakan antara fase pertumbuhan
seedling (semai), sapling (pancang), pole (tiang), dan tree (pohon). Adapun perbedaanya adalah: a. Seedling (semai) permudaan mulai kecambah sampai tinggi 1,5 m. b. Sapling (pancang) permudaan yang tingginya >1,5 m dan berdiameter < 10 cm. c. Pole (tiang) pohon-pohon muda yang berdiameter 10-20 cm. d. Tree (pohon) pohon dewasa dengan diameter >20 cm. Pemilihan sampel pohon untuk pengambilan serasah daun diutamakan tumbuhan dan yang memiliki Nilai Indeks Penting (INP) tinggi karena merupakan jenis yang dominan sehingga penetapannya sebagai sampel diharapkan mewakili semua jenis pohon di lokasi penelitian. Identifikasi dilakukan langsung di lokasi penelitian untuk menentukan nama ilmiah dan nama lokal masing-masing jenis tumbuhan yang ditemukan. Jika terdapat kesulitan untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan tertentu, maka dilakukan koleksi terhadap sampel tumbuhan dan identifikasi lebih lanjut di Herbarium Bogoriense.
Pengukuran Produksi Serasah Produksi serasah diukur dengan menggunakan jaring penampung serasah (litter trap) berukuran 1m x 1m dan ditempatkan di bawah kanopi masing-masing pohon yang terpilih sebagai sampel penelitian (Gambar 4). Jumlah dan jenis pohon ditentukan kemudian berdasarkan hasil pemilihan yang ada di lokasi penelitian dan dilakukan dengan 3 kali ulangan untuk masing-masing jenis pohon. Serasah yang tertampung dalam jaring penampung diambil setiap hari selama 3 minggu. Serasah daun ditampung dalam kantong plastik dan diberi label. Lalu ditimbang berat basahnya, dikeringkan dalam oven pengering selama 4 hari atau sampai beratnya tetap, pada suhu 70oC. Kemudian serasah kering tersebut ditimbang dengan alat timbangan. Parameter yang diukur adalah berat serasah pada masing-masing penampungan serasah dengan menggunakan satuan gram/m2/hari (Arrijani 2006; Francesca et al. 2005).
Gambar 4 Jaring penampung serasah (Litter trap) yang digunakan untuk menapung serasah yang jatuh dari pohon di beberapa lokasi penelitian.
Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Untuk menghitung laju dekomposisi serasah digunakan litter bag yang terbuat dari kantong nylon dengan pori 1 mm dengan ukuran 20 x 30 cm. Kantong ini diisi dengan 10 gram serasah daun kering dan kantong-kantong diberi label, kemudian diletakan diatas permukaan tanah berdekatan dengan pohon sampel (Gambar 5). Jumlah kantong yang dipasang disetiap lokasi tergantung hasil pengamatan analisis vegetasi. Kantong yang diambil dan diamati setelah 7 hari, 14 hari, dan 21 hari. Serasah daun yang tersisa dalam kantong ditimbang dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 70oC selama 4 hari atau sampai beratnya tetap (Olson 1963; Das 2003).
Gambar 5 Kantong serasah (Litter bag) yang digunakan untuk penempatan serasah di beberapa lokasi penelitian. Perhitungan laju dekomposisi diperoleh dari perhitungan yang dilakukan oleh Olson (1963) yaitu dengan rumus:
Xt = Xo.e − kt Xt
(
ln Xt
Xo
(1)
) = − kt
Adapun penentuan lama masa serasah terdapat (residience time) di lantai hutan digunakan rumus:
1k
(2)
Dengan pengertian: Xt
= bobot kering serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g)
Xo
= bobot serasah awal (g)
e
= bilangan logaritma natural (2,72)
k
= laju dekomposisi serasah
t
= waktu pengamatan (hari)
Pengambilan Sampel Tanah Sampel tanah komposit secara diagonal pada masing-masing lokasi penelitian diambil dengan menggunakan bor tanah berdiameter 5 cm pada kedalaman 0 – 20 cm untuk analisis rutin tanah. Sampel tanah untuk masingmasing lokasi diambil dari 10 petak sampel yang digunakan untuk analisis vegetasi. Sampel tanah tersebut dianalisis kesuburan tanahnya di Laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Teknik pengambilan sampel tanah (rizosfer) untuk isolasi fungi dilakukan dengan cara diambil bagian rizosfer tumbuhan pada kedalaman 0 – 20 cm dengan menggunakan bor tanah berdiameter 5 cm. Sampel tanah (rizosfer) tersebut dikeringudarakan, diisolasi, dan diidentifikasi di Laboratorium PPSHB IPB. Rizosfer diambil dari daerah yang belum ditambang dan beberapa daerah hasil revegetasi.
Pengambilan Sampel Akar Pada pengambilan sampel akar tumbuhan (rizoplan) untuk isolasi fungi dilakukan dengan cara menentukan ujung perakaran dari tumbuhan tersebut, lalu diambil akarnya dengan menggunakan bor tanah berdiameter 10 cm. Akar yang diperoleh dibersihkan dari tanah dan kotoran, lalu disimpan dalam plastik berlabel. Rizoplan diambil dari beberapa tumbuhan hasil analisis vegetasi yang memiliki INP tinggi pada setiap lokasi penelitian.
Pengambilan Sampel Serasah Isolasi serasah untuk identifikasi fungi diambil dari daun segar sebagai kontrol, serasah yang tertampung pada litter trap sebagai serasah minggu ke-0. Sedangkan sisa serasah pada litter bag yang diambil pada hari ke-7 sebagai serasah minggu ke-1, sisa serasah pada litter bag yang diambil pada hari ke-14 sebagai serasah minggu ke-2, dan sisa serasah pada litter bag yang diambil pada hari ke-21 sebagai serasah minggu ke-3. Serasah daun yang diambil tersebut berasal dari beberapa tumbuhan hasil analisis vegetasi yang memiliki INP tinggi pada setiap lokasi penelitian.
Isolasi fungi a. Rizosfer dan rizoplan Isolasi fungi rizosfer dengan teknik pengenceran. Sampel tanah ditimbang sebanyak 1g kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml dengan perbandingan 1:10 (bobot/volume) sampai pengenceran 103 kali dan dikocok dengan vortex selama 10-20 menit.
Suspensi dari pengenceran 103 diambil
sebanyak 50µl dan disebar pada media LCA yang mengandung antibiotik dan
rose bengal, media CMC, dan media Alkali Lignin, dengan masing-masing media 3 kali ulangan. Cawan kemudian diinkubasi pada suhu 27oC selama 5 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari. Koloni yang tumbuh selanjutnya dimurnikan dan diidentifikasi (Barnet & Hunter 1998; Domsch et al. 1980; Fassatiova 1986; Gandjar et al. 1999). Sampel akar muda dari tumbuhan hidup (rizoplan) dipotong ± 1cm, cuci dengan air mengalir, direndam alkohol 70% selama 1 menit, bilas dengan akuades, rendam dalam NaOCl 0.5% selama 15 menit, lalu dibilas dengan akuades 3 kali. Tiriskan dengan tissu steril dan ditanam pada media LCA, CMA, dan Alkali Lignin (Bill 1996).
b. Dekomposer Daun segar dari tumbuhan hidup (sebagai kontrol) dipotong ± 1cm, cuci dengan air mengalir, direndam alkohol 70% selama 1 menit, bilas dengan akuades, rendam dalam NaOCl 0.5% selama 15 menit, lalu dibilas dengan akuades 3 kali. Tiriskan dengan tissu steril dan ditanam pada media LCA, CMA, dan Alkali Lignin. Sampel serasah daun dikeringudarakan, lalu dihancurkan dengan blender dan dipisahkan dengan saringan bertingkat yaitu 500, 250, dan 125 µm. Butiran serasah yang terdapat pada saringan dengan ukuran 125 µm dicuci dalam air mengalir selama 15 menit, lalu disebar pada media LCA, CMA, dan Alkali Lignin.
Identifikasi Fungi Biakan murni fungi diremajakan pada media Potato Dextrose Agar (PDA) dan diinkubasi 5-7 hari pada suhu ruang. Isolat fungi yang telah tumbuh pada media, diamati ciri-ciri makroskopiknya yaitu ciri koloni seperti sifat tumbuh hifa, warna dan diameter koloni dan warna massa spora atau konidia. Isolat fungi juga ditumbuhkan pada kaca objek dengan Metode Riddel (Gunawan et al. 2006) yaitu dengan cara meletakkan potongan agar sebesar 4 x 4 x 2 mm yang telah ditumbuhi fungi pada kaca objek, yang kemudian ditutup dengan kaca penutup. Isolat pada kaca objek ini ditempatkan dalam cawan Petri berdiameter 9 cm, yang
telah diberi pelembab berupa kapas basah. Isolat fungi pada kaca objek ini dibiarkan selama beberapa hari pada kondisi ruang sampai isolat fungi tumbuh cukup berkembang. Ketika isolat fungi telah berkembang dilakukan pengangkatan kaca penutup yang telah ditumbuhi fungi dengan hati-hati untuk membuang potongan agarnya. Selanjutnya pada bekas potongan agar ditetesi larutan laktofenol untuk membuat kultur permanen. Kaca penutup yang juga telah ditumbuhi fungi selanjutnya ditempatkan di atas larutan laktofenol di atas kaca objek. Kultur kaca ini diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya untuk mengetahui ciri mikroskopik fungi yaitu ciri-ciri hifa, ada tidaknya sekat pada hifa, tipe percabangan hifa, konidiofor, konidiogenesis, serta ciri-ciri konidia atau spora (bentuk dan rangkaian) dan ukuran spora. Setelah itu dicocokkan dengan kunci identifikasi fungi (Domsch et al. 1980; Barnett & Hunter 1998; Fassatiova 1986; Gandjar et al. 1999). Pemeliharaan biakan murni dilakukan dengan cara biakan disimpan dalam parafin cair steril yang menutupi seluruh permukaan biakan
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Vegetasi Lokasi
penelitian
untuk
analisis
vegetasi
ditentukan
dengan
mempertimbangkan keragaman lokasi seperti hutan sekunder dan lahan bekas tambang yang telah direvegetasi dengan usia 0, 3, 16, dan 28 tahun (Lampiran 1). Penentuan lokasi penelitian ini berdasarkan hasil survei lokasi yang telah dilakukan. Hutan sekunder merupakan hutan yang pernah mengalami gangguan oleh manusia, misalnya pohon yang diambil kayunya untuk keperluan manusia. Tumbuhan bawah
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Jumlah jenis tumbuhan
25 20 15 10 5 0 Jongkong 5E (0 tahun)
Jongkong 24 (3 tahun)
Jongkong 1 (16 tahun)
Nibung 2 (28 tahun)
Hutan sekunder
Lokasi Penelitian
Gambar 6 Jumlah jenis tumbuhan pada beberapa fase pertumbuhan di lokasi penelitian. Jumlah jenis tumbuhan pada beberapa fase pertumbuhan di lokasi penelitian tersaji pada Gambar 6. Pada hutan sekunder jumlah jenis tumbuhan tertinggi dijumpai pada fase pancang sebanyak 18 jenis, fase semai sebanyak 17 jenis, diikuti fase tiang (10), dan fase pohon (9), sedangkan tumbuhan bawah ditemukan 4 jenis. Hal ini menunjukan bahwa hutan sekunder belum memiliki komposisi jenis sesuai dengan hutan hujan tropik secara umum. Hutan hujan tropis memiliki komposisi jenis yang baik karena jumlah jenis semai lebih banyak dari pada pancang, jumlah jenis tumbuhan pancang lebih banyak dari pada tiang, dan jumlah jenis tiang lebih banyak dari pada pohon. Pada Nibung 2 (lahan revegetasi usia 28 tahun) jumlah jenis tertinggi terdapat pada tumbuhan bawah yaitu 12 jenis, fase pancang sebanyak 13, fase semai (7), lalu diikuti fase pohon
(6), dan fase tiang (5). Pada lokasi Nibung 2 terjadi pengurangan jumlah jenis pada fase tiang. Pada Jongkong 1 (lahan revegetasi usia 16 tahun) jumlah jenis tumbuhan tertinggi terdapat pada fase pancang sebanyak 20 jenis, lalu fase semai sebanyak 15 jenis, tumbuhan bawah 10 jenis, fase tiang sebanyak 8 jenis, dan fase pohon sebanyak 7 jenis. Sedangkan pada Jongkong 24 (lahan revegetasi usia 3 tahun) terjadi pengurangan jenis tumbuhan, yaitu hanya terdapat pada tumbuhan bawah (9), fase pancang (14) dan semai(4). Hasil analisis vegetasi secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 2-19. Perubahan yang mendasar dari lahan bekas penambangan timah ini diduga karena terjadinya perubahan bentang alam, tercuci dan hanyutnya unsur hara tanah. Sehingga terjadi kerusakan ekologi di daerah tersebut dan hanya jenis tumbuhan tertentu saja yang dapat bertahan pada kondisi tanah yang bertekstur pasir ini. Berdasarkan analisis vegetasi pada lahan bekas tambang timah dapat diduga yang pertama kali muncul adalah jenis paku-pakuan yaitu Gleichenia linearis (paku resam) karena jenis tumbuhan ini dijumpai pada tumbuhan bawah di lahan bekas tambang usia revegetasi 3 tahun (Jongkong 24) dan di lahan bekas tambang usia revegetasi 16 tahun (Jongkong 1). Setelah tumbuh jenis pakupakuan dilanjutkan tumbuh jenis vegetasi lain seperti rumput dan permudaan pohon. Jenis paku-pakuan memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi karena daya reproduksi yang tinggi pada lahan yang baru dibuka dan berkembang biak dengan sistem vegetatif melalui rhizoma dan generatif melalui spora. Sistem
perkembangbiakan
dengan
rhizoma
mengakibatkan
organ
tumbuhan tersebut tidak terkena penetrasi setelah kondisi lingkungan cukup mendukung, maka akan muncul kembali tunas-tunas jenis paku-pakuan dengan cepat. Jenis vegetasi pada lahan bekas tambang timah memiliki urutan tumbuhan yang tumbuh adalah rumput-rumputan, semak kemudian pohon. Selanjutnya diikuti oleh jenis tumbuhan bawah yang terdiri dari herba dan rumput-rumputan. Beberapa jenis semai yang muncul merupakan jenis baru yang belum ada. Munculnya jenis baru ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu berasal dari tegakan disekitarnya yang penyebarannya dibantu oleh angin, hewan, dan air. Sebaliknya pertumbuhan bawah memiliki pertumbuhan yang cepat dibandingkan dengan kondisi awal. Hal ini diduga terjadi karena pada awal penambangan
ketersediaan nutrisi dan ruang tumbuh belum mendukung pertumbuhan tingkat semai, seiring perjalanan waktu kondisi lahan mengalami perubahan sehingga terjadi peningkatan jumlah jenis dan individu. Analisis vegetasi pada hutan sekunder, Nibung 2, dan Jongkong 1 untuk tingkat pohon tercantum pada Tabel 1 yang menunjukkan komposisi dan struktur tumbuhan yang nilainya bervariasi pada setiap jenis. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan karakter pada masing-masing jenis pohon. Acacia mangium memiliki nilai INP tertinggi di setiap lokasi penelitian (Hutan sekunder = 104.19, Nibung 2 = 209.79, dan Jongkong 1 = 212.80). Acacia mangium merupakan tanaman revegetasi untuk lahan bekas tambang timah. Tabel 1 Indeks Nilai Penting (INP) jenis pohon yang ditemukan pada lokasi penelitian No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 7
Nama Jenis Lokal Ilmiah HUTAN SEKUNDER Bintangor Calophyllum lanigerum Akasia Acacia mangium Seru Schima wallichii Pelaik Dyera costulata Kayu arang-arang Syzygium claviflorum Mesiran Ilex cymosa Cempedak Arthocarpus integer Jeled Microcos tomentosa Fam: Euphorbiaceae Kayu pengikar NIBUNG 2 Akasia Acacia mangium Leben Vitex pubescens Kenidae Bridelia tomentosa Pelaik Dyera costulata Sengon Paraserianthes falcataria Seru Schima wallichii JONGKONG 1 Akasia Acacia mangium Bebetun Syzygium sp Karet Hevea brosiliensis Pelaik Dyera costulata Samak Eugenia sp Sengon Paraserianthes falcataria Seru Schima walliichii
KR
FR
DR
INP
7.14 35.71 28.57 7.14 3.57 3.57 7.14 3.57 3.57
10.53 26.32 26.32 10.53 5.26 5.26 5.26 5.26 5.26
6.35 42.17 25.02 9.95 4.77 1.93 4.91 1.98 2.91
24.02 104.19 79.90 27.61 13.60 10.76 17.32 10.82 11.74
79.31 2.29 4.59 2.29 9.19 2.29
55.55 5.55 8.33 5.55 19.44 5.55
74.93 3.36 4.81 2.22 13.48 1.17
209.79 11.21 17.74 10.07 42.12 9.03
76.59 1.06 5.31 3.19 1.06 2.12 10.63
55.55 2.77 11.11 8.33 2.77 2.77 16.66
80.65 0.69 4.36 3.11 0.77 1.65 8.74
212.80 4.53 20.79 14.63 4.61 6.56 36.04
Tumbuhan yang dominan pada hutan sekunder adalah Acacia mangium, karena tumbuhan ini mempunyai kemampuan adaptasi dan daya reproduksi yang
tinggi. Tumbuhan ini tumbuh di lapisan terluar dari hutan sekunder dan tidak dijumpai pada lapisan dalam hutan sekunder. Hal ini menunjukkan bahwa Acacia mangium yang ada di hutan sekunder merupakan tumbuhan yang tumbuh sendiri karena terbawa oleh manusia ataupun hewan. Tumbuhan Schima wallichii dan Dyera costulata dijumpai pada hutan sekunder dan lahan revegetasi (Nibung 2 dan Jongkong 1). Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan tersebut dapat beradaptasi di lingkungan yang kurang subur seperti di lahan bekas tambang timah. Revegetasi dengan menggunakan jenis-jenis lokal dan eksotik yang telah beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh yang terdegradasi dapat memulihkan kondisi tanah dengan menstabilkan tanah, penambahan bahan organik dan produksi
serasah
yang
dihasilkan
sebagai
humus
untuk
memperbaiki
keseimbangan siklus hara pada lahan revegetasi. Vegetasi lokal seperti Imperata cylindrica dan Melastoma malabraticum merupakan jenis tumbuhan bawah yang banyak dijumpai pada lahan bekas tambang. Secara umum Imperata cylindrica (alang-alang) mendominasi di lahan bekas tambang timah, hal ini diduga jenis tumbuhan ini memiliki senyawa alellopati yang dapat menghambat pertumbuhan tumbuhan lain. Melastoma malabraticum (kera munting) merupakan vegetasi yang banyak menginvasi lahan bekas tambang timah. Hal ini menunjukkan bahwa tanah tersebut bersifat asam karena memiliki pH rendah dan terjadi penumpukan fosfat pada tanah tersebut (Badri 2004).
Analisis Tanah Analisis sifat tanah merupakan indikator penting dalam menilai tingkat kesuburan tanah. Tanah yang dianalisis diambil dari hutan sekunder dan beberapa lahan bekas tambang yang telah direvegetasi. Karakteristik sifat fisik tanah berdasarkan hasil analisis laboratorium yaitu tekstur tanah menunjukkan ukuran butir tanah. Tekstur tanah secara umum dibedakan atas tiga kelas, yaitu pasir (50µ- 2mm), debu (2 µ-50 µ), dan liat (kurang dari 2 µ) (Hardjowigeno 2007). Berdasarkan hasil analisis sampel tanah dari Hutan sekunder, Nibung 2, Jongkong 1, Jongkong 24, dan Jongkong 5E memiliki tekstur tanah yang didominasi oleh pasir (Tabel 2). Tanah bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil
sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara. Kondisi demikian menyebabkan tanah-tanah di lokasi penelitian kurang subur, sehingga akan mempengaruhi jenis tumbuhan yang tumbuh di daerah tersebut.
Tabel 2 Analisis sifat fisik tanah pada lokasi penelitian No 1 2 3
Sifat Tanah Pasir Debu Liat
Hutan Sekunder 68 17 15
Nibung 2 (28 tahun) 76 8 16
Jongkong 1 (16 tahun) 72 4 24
Jongkong 24 (3 tahun) 86 9 5
Jongkong 5E (0 tahun) 76 14 15
Karakteristik sifat kimia tanah berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah, terlihat perbedaan status hara antara Hutan sekunder, Nibung 2, Jongkong 1, Jongkong 24, dan Jongkong 5E (Tabel 3). Tanah pada hutan sekunder memiliki pH agak masam (5.6), sedangkan tanah pada lokasi bekas penambangan (Nibung 2, Jongkong 1, Jongkong 24, dan Jongkong 5E) memiliki pH yang bersifat masam (².6-4.9). Berdasarkan Kusumastuti (2005), tanah di wilayah ini mempunyai kesuburan yang rendah karena tingkat kemasamannya yang tinggi (nilai pH rendah). Tabel 3 Analisis sifat kimia tanah pada lokasi penelitian N o 1 2 3 4
Sifat Tanah pH (H2O) C (%) N (%) C/N P2O5 Bray-1 mg/kg K cmol(+)/kg Ca cmol(+)/kg Mg cmol(+)/kg Na cmol(+)/kg KTK cmol(+)/kg
Hutan Sekunder Lab Krit AM 5.6 S 2.11 R 0.12 T 18 T SR SR
16 0.07 0.49
S SR SR
Jongkong 1 (16 th) Lab Krit M 4.9 S 2.83 R 0.16 T 18 3 0.12 0.33
SR R SR
Jongkong 24 (3 th) Lab Krit 4.6 M 0.40 SR 0.02 SR 18 T 2 0.07 0.32
SR SR SR
Jongkong 5E (0 th) Lab Krit 4.7 M 0.23 SR 0.02 SR 13 S 3 0.05 0.24
SR SR SR
8 0.21 SR 0.23 SR 0.17 SR 0.06 SR 0.06 SR SR 0.09 SR 0.06 SR 0.07 9 0.07 0.07 1 0 4.76 SR 3.36 SR 7.77 R 1.75 SR 1.43 1 SR R SR 29 R 29 1 KB (%) 13 25 9 1 SR SR SR 1.20 SR 0.89 2 Al cmol(+)/kg 1.97 1.39 5.47 Sumber: Data primer dan kriteria penilaian sifat kimia tanah (Hardjowigeno 2007) Keterangan : Lab: Laboratorium Krit: Kriteria SR: Sangat Rendah R: Rendah S: Sedang T: Tinggi AM: Agak Masam M: Masam
SR SR
5 6 7
24 0.07 0.25
Nibung 2 (28 th) Krit Lab M 4.8 R 1.61 R 0.12 S 14
SR R SR
Pada hutan sekunder nilai C-organik sebesar 2,11% (tergolong sedang), di Nibung 2 sebesar 1.61% (tergolong rendah), di Jongkong 1 sebesar 2.83% (tergolong sedang), di Jongkong 24 sebesar 0.40% (tergolong sangat rendah), sedangkan di Jongkong 5E sebesar 0.23% (tergolong sangat rendah). Nilai N-total di tiga lokasi penelitian berkriteria rendah yaitu berkisar antara 0.12% - 0.16%, sedangkan di lokasi Jongkong 24 dan Jongkong 5E berkriteria sangat rendah yaitu 0.02%. Nilai C/N rasio tinggi pada tanah hutan sekunder, Jongkong 1, dan Jongkong 24 yaitu 18, sedangkan tanah pada Nibung 2 dan Jongkong 5E berkriteria sedang (13-14). Jongkong 24 merupakan lahan revegatasi berusia 3 tahun ternyata memiliki C/N rasio tinggi (18). Rendahnya kadar bahan organik di lahan bekas tambang timah disebabkan oleh hilangnya lapisan atas tanah (top soil) dan lapisan bawah (sub soil) pada saat proses awal penambangan, yaitu pada saat pengupasan tanah penutup bahan tambang. Akibatnya lapisan atas dan bawah tanah terbalik dan tertimbun oleh sisa bahan galian tambang timah. Top soil merupakan medium tempat tumbuh tumbuhan karena banyak mengandung bahan organik, unsur makro dan mikro serta mikroorganisme yang membantu mendekomposisikan bahan organik. Hilangnya top soil akan menyebabkan menurunnya produktivitas tumbuhan. Selain itu terbukanya lahan pasca tambang timah juga disebabkan oleh tidak adanya vegetasi yang dapat tumbuh di lahan tersebut. Badri (2004) menyatakan bahwa nilai N-total pada lahan pasca tambang umumnya sangat rendah, walaupun ada juga yang tinggi tetapi masih belum mencukupi untuk mendukung pertumbuhan tumbuhan. Hutan sekunder memiliki nilai K, Ca, Mg, Na, dan Al yang sangat rendah (Tabel 3). Hal ini diduga terjadi akibat reaksi tanah yang mengalami ganguan akibat penebangan hutan dan berubahnya fungsi hutan, sehingga menyebabkan berkurangnya unsur-unsur tersebut. Sedangkan rendahnya nilai K, Ca, Mg, Na, dan Al pada bekas lokasi penambangan, diduga akibat aktivitas penambangan yang menyebabkan unsur-unsur tersebut mudah larut atau terbuang. Unsur-unsur tersebut merupakan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tumbuhan dalam jumlah yang sangat kecil, tetapi jika tidak ada dapat mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan (Hardjowigeno 2007).
Rendahnya nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada semua lokasi penelitian disebabkan adanya penurunan pH dan kadar bahan organik. KTK merupakan sifat kimia tanah yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah, sebab tanah tidak akan mampu menyerap dan menyediakan unsur hara yang cukup bagi pertumbuhan tumbuhan apabila memiliki KTK yang rendah. Nilai KTK dipengaruhi oleh tekstur, pH tanah, jumlah dan tipe liat serta bahan organik. Tekstur tanah berkaitan dengan KTK karena peningkatan fraksi kasar (pasir) akan menurunkan KTK.
Produksi Serasah Secara umum produksi serasah dari jenis-jenis pohon yang ditemukan pada lokasi penelitian sangat bervariasi (Tabel 4). Pengguguran daun atau ranting suatu jenis pohon yang dipengaruhi oleh umur daun, ketersediaan air dalam lingkungan, kelembaban, suhu udara, dan faktor fisiologis dari suatu pohon (Dubeux et al. 2006). Produksi serasah tertinggi pada setiap lokasi dijumpai pada tumbuhan Acacia mangium (Hutan sekunder = 1.74 x 10-4 ton/ha/tahun, Nibung 2 = 3.63 x 10-4 ton/ha/tahun, Jongkong 1 = 3.79 x 10-4 ton/ha/tahun). Produksi serasah untuk tumbuhan Dyera costulata adalah 0.89 x 10-4 ton/ha/tahun (Hutan sekunder), 0.68 x 10-4 ton/ha/tahun (Nibung 2), dan 3.20 x 10-4 ton/ha/tahun (Jongkong 1). Sedangkan pada tumbuhan Schima wallichii memiliki nilai produksi serasah sebesar 0.97 x 10-4 ton/ha/tahun (Hutan sekunder), 0.88 x 10-4 ton/ha/tahun (Nibung 2), dan 1.31 x 10-4 ton/ha/tahun (Jongkong 1). Produksi serasah tertinggi dihasilkan oleh Acacia mangium, hal ini diduga karena Acacia mangium memiliki rata-rata luas penutupan tajuk 3.1 m2 dan luas bidang dasar 0.17 m2 (Lampiran 18). Bentuk kanopi untuk jenis tumbuhan yang diberi perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 24. Arrijani (2006) menyatakan bahwa terjadinya perbedaan produksi serasah pada setiap tumbuhan disebabkan karena adanya variasi kodisi lingkungan yang mempengaruhi tumbuhan tersebut. Selain itu kemampuan masing-masing pohon untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan disekitarnya juga berbeda-beda. Oleh sebab itu struktur dan komposisi pohon penyusun suatu kawasan hutan juga mempengaruhi produksi serasah pada hutan tersebut. Pada tegakan alamiah dalam
suatu kawasan hutan, variasi komposisi jenis penyusun formasi hutan tertentu, tingkat kerapatan pohon dan luas bidang dasar masing-masing tegakan juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi produktivitas serasah sehingga perbedaan parameter tersebut akan mengakibatkan adanya perbedaan dalam produksi serasah suatu kawasan hutan.
Tabel 4 Rata-rata produksi serasah di lokasi penelitian N o 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3
Nama jenis pohon Lokal Ilmiah HUTAN SEKUNDER Pelaik Dyera costulata Seru Schima wallichii Akasia Acacia mangium Bintangor Calophyllum lanigerum NIBUNG 2 Pelaik Dyera costulata Seru Schima wallichii Akasia Acacia mangium Leben Vitex pubescens Sengon Paraserianthes falcataria JONGKONG 1 Pelaik Dyera costulata Seru Schima wallichii Akasia Acacia mangium
Berat kering g/m2/hr Ton/ha/th 3.25 3.55 6.34 2.47
0.89 x 10-4 0.97 x 10-4 1.74 x 10-4 0.61 x 10-4
2.47 3.22 13.26 5.39 2.93
0.68 x 10-4 0.88 x 10-4 3.63 x 10-4 1.48 x 10-4 0.80 x 10-4
11.68 4.77 13.82
3.20 x 10-4 1.31 x 10-4 3.79 x 10-4
Ewusie (1990) yang membandingkan produktivitas tahunan serasah di 4 zona iklim yang berbeda dan menemukan pada hutan hujan tropis, hutan iklim sedang yang hangat, hutan iklim sedang yang sejuk, dan hutan alphin produktivitasnya berturut-turut adalah: 10.2 ton/ha/tahun; 5.6 ton/ha/tahun; 3.1 ton/ha/tahun; dan 1.1 ton/ha/tahun. Hutan hujan tropis adalah ekosistem dengan produktivitas serasah tercepat dibanding ekosistem-ekosistem lainnya. Produksi serasah pada hasil penelitian ini berkisar antara 0.61x10-4 ton/ha/tahun sampai 3.79x10-4 ton/ha/tahun yang berarti produktivitas serasahnya sangat lambat. Hal ini diduga karena lokasi penelitian merupakan lahan yang kurang subur sehingga mempengaruhi produksi serasah yang dihasilkan oleh tumbuhan yang ada. Selain itu produksi serasah dapat dipengaruhi oleh angin atau kombinasi antara angin dengan faktor cuaca lainnya dan proses kematian dari tanaman itu sendiri (Brown 1984). Intensitas cahaya matahari diduga juga mempengaruhi produksi serasah pada suatu tumbuhan, dimana pada proses fotosintesis diperkirakan akan berlangsung lebih cepat dan sempurna bila intensitas cahaya matahari tinggi.
Keadaan ini akan mengakibatkan tumbuhan lebih aktif sehingga lebih cepat melakukan regenerasi, misalnya dengan mempercepat proses penggantian daun, dan selama musim kering akan terjadi persaingan antara daun tua dan daun muda untuk mendapatkan sinar matahari. Daun tua yang umumnya berada di bagian bawah tajuk yang kurang mendapat sinar matahari akan lebih cepat menguning dan kemudian gugur karena gagal melakukan fotosintesis (Alrasjid 1986). Adapun faktor yang mempengaruhi kecepatan pergantian daun dan banyaknya daun yang gugur adalah produksi bunga dan buah, aktivitas serangga, dan daun tumbuhan mempunyai masa hidup tertentu tergantung pada jenis tumbuhannya, misalnya A. Marina dan B. Cylindrica masa hidup daunnya 13 bulan dan R. apiculata selama 17 bulan.
Laju Dekomposisi Serasah Pada hutan sekunder nilai berat kering sisa serasah daun tumbuhan yang telah mengalami beberapa lama masa dekomposisi dapat dilihat pada Gambar 7. Secara umum serasah daun tumbuhan mengalami penurunan berat kering sisa serasah di setiap minggunya. Pada minggu ke 3 berat kering sisa serasah tertinggi terdapat pada Calophyllum lanigerum yaitu 8.58 gram. diikuti Schima wallichii (6.38 gram), Dyera costulata (6.00 gram), dan Acacia mangium (4,00 gram).
Berat kering sisa serasah (gram)
Dyera costulata
Schima wallichii
Acacia mangium
Calophyllum lanigerum
10.00 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 1
2
3
Waktu (minggu)
Gambar 7 Berat kering sisa serasah daun di hutan sekunder yang didekomposisikan selama 3 minggu.
Berat kering sisa serasah daun tumbuhan di Nibung 2 yang telah mengalami beberapa lama masa dekomposisi dapat dilihat pada Gambar 8. Secara umum serasah daun tumbuhan mengalami penurunan berat kering sisa serasah di setiap minggunya. Pada minggu ke 3 berat kering sisa serasah tertinggi terdapat pada Acacia mangium sebesar 7.37 gram, diikuti Schima wallichii (7.35 gram), Paraserianthes falcataria (².84 gram), Vitex pubescens (².80 gram), dan Dyera
Berat kering sisa serasah (gram)
costulata (3,90 gram). Dyera costulata
Schima wallichii
Vitex pubescens
P. falcataria
Acacia mangium
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 1
2
3
Waktu (minggu)
Gambar 8 Berat kering sisa serasah daun di Nibung 2 yang didekomposisi selama 3 minggu. Pada Jongkong 1 berat kering sisa serasah daun tumbuhan yang telah mengalami beberapa lama masa dekomposisi dapat dilihat pada Gambar 7. Secara umum serasah daun tumbuhan mengalami penurunan berat kering sisa serasah di setiap minggunya. Pada minggu ke 3 berat kering sisa serasah tertinggi terdapat pada Acacia mangium sebesar 7.21 gram, diikuti Schima wallichii (5.26 gram). dan Dyera costulata (².83 gram). Dyera costulata
Schima wallichii
Acacia mangium
Berat kering sisa serasah (gram)
9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 1
2 Waktu (minggu)
Gambar 9 Berat kering sisa serasah daun di Jongkong 1 yang didekomposisi selama 2 minggu.
Laju dekomposisi serasah dapat dilihat berdasarkan kecepatan penyusutan berat kering sisa serasah. Secara umum berat kering sisa serasah daun terendah dijumpai pada Dyera costulata (di Nibung 2 = 3.90 g dan di Jongkong 1 = ².83 g) yang berarti serasah ini memiliki kehilangan serasah terbesar jika dibanding dengan tumbuhan lainnya. Hal ini disebabkan oleh lamanya waktu dekomposisi, kualitas serasah, aktivitas dekomposer, dan faktor lingkungan (Dubeux et al. 2006).
Tabel 5 Rata-rata laju dekomposisi serasah dan residience time beberapa tumbuhan setelah 21 hari terdekomposisi k residience time Lokasi Jenis Tumbuhan (tahun-1) (tahun) Hutan sekunder Dyera costulata 8.88 0.11 7.81 0.13 Schima wallichii 15.93 0.06 Acacia mangium 2.66 0.38 Calophyllum lanigerum Nibung 2 16.36 0.06 Dyera costulata 5.35 0.19 Schima wallichii 5.30 0.19 Acacia mangium 12.76 0.08 Vitex pubescens Paraserianthes falcataria 12.61 0.08 Jongkong 1 13.84 0.07 Dyera costulata 11.98 0.08 Schima wallichii 6.17 0.16 Acacia mangium Rata-rata laju dekomposisi dan residience time setelah terdekomposisi selama 21 hari di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5. Nilai laju dekomposisi yang terjadi pada serasah daun bervariasi di setiap lokasi (Lampiran 21-23). Pada hutan sekunder laju dekomposisi terbesar terdapat pada Acacia mangium dengan nilai k sebesar 15.93/tahun. lalu diikuti Dyera costulata (8.88/tahun), Schima wallichii (7.81/tahun), dan Calophyllum lanigerum (2.66/tahun). Pada Nibung 2 laju dekomposisi terbesar terdapat pada Dyera costulata dengan nilai k sebesar 16.36/tahun, kemudian Vitex pubescens (12.76/tahun), Paraserianthes falcataria (12.61/tahun), Schima wallichii (5.35/tahun), dan Acacia mangium (5.30/tahun). Sedangkan di Jongkong 1 laju dekomposisi terbesar terdapat pada Dyera costulata dengan nilai k sebesar 13.84/tahun, diikuti Schima wallichii (11.98/tahun), dan Acacia mangium (6.17/tahun). Nilai laju dekomposisi (k) yang tinggi
menunjukkan bahwa proses dekomposisi berlangsung cepat. Hal ini terjadi di hutan sekunder yaitu pada serasah Acacia mangium, sedangkan di Nibung 2 dan Jongkong 1 terjadi pada serasah Dyera costulata. Nilai laju dekomposisi serasah Dyera costulata memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tumbuhan lainnya yaitu 16.36/tahun dengan residience time 0.06 tahun (di Nibung 2) dan 13.84/tahun dengan residience time 0.07 tahun (di Jongkong 1). Hal ini menunjukkan bahwa serasah Dyera costulata lebih mudah terdekomposisi jika dibanding dengan serasah dari jenis tumbuhan lainnya. Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh kelembapan udara, organisme flora dan fauna mikro, serta kandungan kimia dari serasah. Tanner (1981) menyatakan perbedaan laju dekomposisi disebabkan oleh faktor tipe hutan, karakteristik daun, serta suhu dan curah hujan. Anderson dan Swift (1984) berpendapat bahwa proses dekomposisi serasah ditentukan oleh 3 variabel utama yaitu komunitas dekomposer alami (makrofauna dan mikroorganisme), sifat bahan organik yang menentukan keteruraian, dan keadaan fisika-kimia lingkungan (iklim makro, edafik, dan tanah). Selain itu laju dekomposisi secara relatif akan berubah-ubah dari satu tempat ke tempat yang lain dan antara satu komponen dengan komponen yang lain. Tergantung pada tempat dekomposisi dan jenis komponen serasah. Polunin (1986) menyatakan proses dekomposisi merupakan suatu proses pencucian. perombakan secara fisik dan tahap katabolisme. Pencucian (leaching) sejumlah tertentu senyawa terlarut dan bahan organik dapat terbebaskan, yang dipengaruhi oleh faktor abiotik seperti suhu, curah hujan, dan aktivitas dekomposer yang tinggi yaitu bakteri anaerob dan beberapa jenis jamur. Pribadi (2000) menyatakan karakteristik daun meliputi morfologi, anatomi, dan sifat kimia dari setiap jenis tumbuhan akan menghasilkan kecepatan dekomposisi yang berbeda. Aktivitas mikroorganisme yang memiliki enzim tertentu juga berpengaruh terhadap laju dekomposisi.
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Hutan Sekunder Pada rizosfer, akar, daun segar, dan serasah daun Dyera costulata dijumpai 11 jenis fungi seperti tersaji pada Gambar 10. Jenis fungi pada rizosfer Dyera costulata ialah Paecilomyces sp4., Miselia sterilia 1 dan Miselia sterilia 3. Pada akar Dyera costulata diperoleh fungi Penicillium sp1. dan Coelomomyces. Pada daun segar Dyera costulata diperoleh jenis fungi Aspergillus sp1., Basidiomycetes isolat 2, Basidiomycetes isolat 3, dan Coelomomyces. Jenis fungi pada serasah minggu ke-0 ialah Trichoderma sp1. Jenis fungi pada serasah minggu ke-1 ialah Trichoderma sp1., dan Miselia sterilia 1. Jenis fungi pada serasah minggu ke-2 ialah Aspergillus niger dan Penicillium sp1. Jenis fungi pada serasah minggu ke-3 ialah Trichoderma sp1. dan Aspergillus niger. Tanah
Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 1
Serasah minggu ke 2
Serasah minggu ke 3
Trichoderma sp1. Aspergillus niger Aspergillus niger Penicillium sp1. Trichoderma sp1. Miselia sterilia 1
Trichoderna sp1
Serasah minggu ke 0
Paecilomyces sp4. Miselia sterilia 1 Miselia sterilia 3 Coelomomyces Penicillium sp1. Basidiomycetes isolat2 Basidiomycetes isolat3 Aspergillus sp1. Coelomomyces
Gambar 10 Keragaman fungi pada Dyera costulata di Hutan sekunder. Pada tumbuhan ini diperoleh fungi saprofit antara lain Paecilomyces, Aspergillus, Trichoderma, Penicillium, Miselia sterilia, dan Basidiomysetes. Sedangkan Coelomomyces merupakan fungi yang bersifat parasit pada serangga (Anke 1997). Paecilomyces sp4. membentuk koloni seperti kapas berwarna kuning kehijauan dengan serbuk berwarna hijau kehitaman dan luar koloni berwarna kuning (Gambar 11 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 11 B). Miselia sterilia 1 membentuk koloni seperti kapas renggang, berwarna putih, steril, dan luar koloni berwarna putih krem sampai putih kecoklatan
(Gambar 12 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta, hialin, dan tidak ada sambungan apit (Gambar 12 B). Miselia sterilia 3 membentuk koloni seperti kapas, kompak, padat, berwarna putih ada tetes eksudat, hifanya sangat rapat sehingga waktu diambil sangat liat, dan luar koloni berwarna putih ada lingkar konsentris (Gambar 13 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 13 B).
b
a A
B
100 µm
Gambar 11 Fungi Paecilomyces sp4 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium.
a A A
B
100 µm
Gambar 12 Fungi Miselia sterilia 1 dengan perbesaran 600x (a) Hifa.
a
A
100 µm B Gambar 13 Fungi Miselia sterilia 3 dengan perbesaran 150x (a) Hifa.
Coelomomyces yang dijumpai memiliki ciri-ciri sebagai berikut yaitu koloni seperti kapas padat, putih krem sampai kecoklatan, ada sklerotia warna hitam, dan sebalik koloni berwarna putih krem sampai coklat tua hingga hitam. Diameter koloni mencapai 8 cm dalam waktu 7 hari inkubasi (Gambar 14 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 14 B). Penicillium sp1. yang diisolasi dari akar Dyera costulata memiliki ciri-ciri makroskopis koloni seperti kapas padat, kompak, berbubuk berwarna hijau keabuabuan tersusun secara lingkar konsentris, dan sebalik koloni berwarna putih kekuningan. Koloni berdiameter 4 cm pada usia 7 hari inkubasi (Gambar 15 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 15 B).
a
A
100 µm
B
Gambar 14 Fungi Coelomomyces dengan perbesaran 150x (a) Hifa.
b a
A
B
100 µm
Gambar 15 Fungi Penicillium sp1. dengan perbesaran 600x (a) Konidiofor (b) Konidium. Basidiomycetes isolat 2 yang diisolasi dari daun segar Dyera costulata memiliki bentuk koloni seperti kapas, putih, miselium terlihat halus, dan luar koloni berwarna putih krem (Gambar 16 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta, hialin, dan terdapat sambungan apit (Gambar 16 B). Basidiomycetes isolat 3 membentuk koloni seperti kapas, tipis, merata dipermukaan agar, hifa terlihat halus agak transparan, dan luar koloni putih
(Gambar 17 A). Struktur hifa bersepta, hialin, dan terlihat ada sambungan apit (Gambar 17 B). Aspergillus sp1. yang berhasil diisolasi memiliki bentuk koloni seperti kapas berwarna putih, di tengah berwarna hijau diikuti oleh putih di bagian pinggir, dan tersusun secara konsentris. Diameter koloni mencapai 8 cm pada umur 8 hari inkubasi dalam media PDA. Luar koloni berwarna hijau kekuningan (Gambar 18 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta, berwarna agak kehijauan. Konidiofor terlihat hialin dan kepala konidiofor (vesikel) bulat. Konidia berbentuk bulat dan berwarna kuning kehijauan (Gambar 18 B).
b
a A
B
100 µm
Gambar 16 Fungi Basidiomycetes isolat 2 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit.
q b A
B
100 µm
Gambar 17 Fungi Basidiomycetes isolat 3 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit
a
b A
100 µm
B
Gambar 18 Fungi Aspergillus sp1. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor. Trichoderma sp1. yang dijumpai membentuk koloni seperti kapas berwarna putih, hifanya menggunung, terdapat serbuk berwarna hijau, dan luar koloni berwarna putih kehijauan. Koloni tumbuh cepat pada media PDA, diameter mencapai 6.5 cm setelah diinkubasi selama dua hari (Gambar 19 A). Struktur hifa bersepta dan hialin (Gambar 19 B). Aspergillus niger membentuk koloni seperti kapas putih padat dengan butiran kepala konidia berwarna hitam. Awalnya koloni berwarna putih, lamakelamaan menjadi hitam karena diproduksinya konidia. Sedangkan luar koloni berwarna putih kehitaman. Dalam media PDA diameter koloni mencapai 4.5 cm setelah disimpan dalam suhu 27oC selama 7 hari masa inkubasi (Gambar 20 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta, hialin, dengan konidia berlimpah berwarna hitam (Gambar 20 B).
b a
A
B
100 µm
Gambar 19 Fungi Trichoderma sp1. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor.
a
b
B
A
100 µm
Gambar 20 Fungi Aspergillus niger dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor. Pada akar tumbuhan Dyera costulata ditemukan jenis fungi Volutella sp. yang tumbuh pada media CMC, dimana media tersebut mengindikasikan bahwa jenis fungi tersebut mampu mendegradasi selulosa. Volutella sp. yang dijumpai membentuk koloni seperti kapas, putih abu-abu gelap, dan luar koloni berwarna abu-abu tua sampai hitam (Gambar 21 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 21 B).
a
b A
B
100 µm
Gambar 21 Fungi Volutella sp dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) konidiofor.
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Hutan Sekunder Keragaman fungi pada tumbuhan Schima wallichii
dari hasil isolasi
adalah 12 jenis fungi seperti tersaji pada Gambar 22. Secara umum diperoleh fungi seperti Aspergillus niger, Paecilomyces, dan Trichoderma. Tanah
Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 1
Serasah minggu ke 2
Serasah minggu ke 3
Trichoderma sp1. Aspergillus niger Paecilomyces sp1. Aspergillus niger Paecolomyces sp1. Miselia sterilia 1 Aspergillus niger Paecolomyces sp1. Miselia sterilia 1
Serasah minggu ke 0
Penicillium sp1. Trichoderma sp1. Penicillium sp4.
Basidiomycetes isolat 1 Phoma sp. Coelomomyces Trichoderma sp2. Aspergillus niger
Gambar 22 Keragaman fungi pada Schima wallichii di Hutan sekunder.
Pada rizosfer dari tumbuhan Schima wallichii dijumpai jenis fungi Penicilium sp1. dan Trichoderma sp1. Pada akar tumbuhan ini hanya diperoleh jenis Penicillium sp4. Pada daun segar diperoleh isolasi fungi seperti Basidiomycetes isolat 1, Phoma sp., dan Coelomomyces. Pada serasah daun minggu ke-0 diperoleh jenis fungi Trichoderma sp2. dan Aspergillus niger. Pada serasah minggu ke-1 diperoleh fungi Aspergillus niger, Paecilomyces sp1., dan Miselia sterilia 1. Pada serasah minggu ke-2 diperoleh fungi Aspergillus niger, Paecilomyces sp1., dan Miselia sterilia 1. Pada serasah minggu ke-3 diperoleh fungi Aspergillus niger, Trichoderma sp1., dan Paecilomyces sp 1. Phoma sp. yang dijumpai memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas berwarna abu-abu tua sampai hitam, terdapat tetes eksudat warna jingga, hifa menggunung, dan luar koloni berwarna abu-abu dengan bercak kehitaman (Gambar 23 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin, konidia terdiri dari 1 sel berbentuk lonjong-oval, dan hialin (Gambar 23 B).
Paecilomyces sp1. membentuk koloni seperti kapas berwarna kuning kehijauan, berbubuk seperti tepung, dan luar koloni berwarna putih kecoklatan (Gambar 24 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 24 B). Penicillium sp4. yang dijumpai memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas bergranula putih, ada garis zonasi, dan luar koloni coklat kekuningan (Gambar 25 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 25 B).
a B
A
100 µm
Gambar 23 Fungi Phoma sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidia. b
c a Gambar 24
A
B
100 µm
Fungi
Paecilomyces sp1. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (c) Konidiofor.
a b A
B
100 µm
Gambar 25 Fungi Penicillium sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor. Pada serasah minggu ke-0 tumbuhan Schima wallichii ditemukan fungi Syncephalastrun sp. yang tumbuh pada media alkali lignin. Meskipun tumbuh pada media alkali lignin, namun fungi ini diduga hanya memanfaatkan unsur
karbon yang telah diuraikan oleh fungi lignolitik yang mendegradasi lignin. Syncephalastrun sp. yang dijumpai memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas, hifanya aerial, berwarna abu-abu kehitaman transparan, dan luar koloni berwarna abu-abu kehitaman (Gambar 26 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 26 B).
a b A
100 µm
B
Gambar 26 Fungi Syncephalastrum sp. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor.
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Acacia mangium di Lokasi Hutan Sekunder
Tanah
Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 1
Serasah minggu ke 2
Serasah minggu ke 3
Trichoderma sp1. Paecilomyces sp3 Penicillium sp1. Trichoderma sp1.
Basidiomycetes isolat 1 Miselia sterilia 1
Serasah minggu ke 0
Paecilomyces sp4. Aspergillus sp1. Cunninghamella sp.
Acremonium sp.
Basidiomycetes isolat 1 Basidiomycetes isolat 2 Fusarium sp3. Miselia sterilia 1
Gambar 27 Keragaman fungi pada Acacia mangium di Hutan sekunder. Keragaman fungi pada Acacia mangium sebanyak 11 jenis seperti tersaji pada Gambar 27. Pada rizosfer tumbuhan Acacia mangium ditemukan fungi Paecilomyces sp4., Aspergillus sp1., dan Cunninghamella sp. Pada akar hanya diperoleh fungi Acremonium sp. Pada daun segar diperoleh fungi seperti Fusarium
sp3., Basidiomycetes isolat 1, Basidiomycetes isolat 2, dan Miselia sterilia 1. Pada serasah minggu ke-0 ditemukan Basidiomycetes isolat 1 dan Miselia steria 1. Pada serasah minggu ke-1 hanya ditemukan fungi Trichoderma sp1. Pada Serasah minggu ke-2 ditemukan fungi Paecilomyces sp3. dan Penicillium sp1. Pada serasah minggu ke-3 hanya diperoleh Trichoderma sp1. Cunninghamella sp. yang diperoleh memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas putih keabu-abuan, menggunung, hifa aerial, dan luar koloni putih keabu-abuan dengan pusat putih krem sampai kehitaman. Koloni tumbuh cepat di media PDA, usia 4 hari setelah diinkubasi berdiameter 8 cm (Gambar 28 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 28 B). Acremonium sp. yang berhasil diisolasi memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas putih dengan hifa terlihat halus, tekstur koloni terlihat kompak, dan luar koloni berwarna putih kecoklatan. Pada media PDA diameter koloni mencapai 1-3 cm setelah diinkubasi selama 7 hari dalam suhu 27oC (Gambar 29 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin. Konidia terdiri dari 1 sel, berbentuk oval dan hialin (Gambar 29 B). Basidiomysetes isolat 1 membentuk koloni seperti kapas kompak, putih, menggunung agak padat, steril, dan luar koloni putih kekuningan (Gambar 30 A). Struktur hifa bersepta, hialin dan terlihat ada sambungan apit (Gambar 30 B). Fusarium sp3. membentuk koloni seperti kapas putih dengan pusat berwarna keunguan, menggunung, tetes eksudat kuning, luar koloni kuning kecoklatan (Gambar 31 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin. Konidia terdiri dari makrokonidia dan mikrokonidia (Gambar 31 B). Penicillium sp3. yang berhasil diisolasi memiliki ciri-ciri koloni berbetuk seperti kapas padat, berbubuk berwarna hijau kebiruan, dan luar koloni berwarna putih kuning kehijauan (Gambar 32 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 32 B).
a A
b
c
B
100 µm
Gambar 28 Fungi Cunninghamella sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (c) Konidiofor. .
a
b A
c 100 µm
B
Gambar 29 Fungi Acremonium sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (c) Konidium (c) Konidiofor.
a b
A
B
100 µm
Gambar 30 Fungi Basidiomycetes isolat 1 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit.
. b a c B
A
100 µm
Gambar 31 Fungi Fusarium sp3. dengan perbesaran 150x (a) Hifa (b) Makrokonidia (c) Mikrokonidia.
a
A
B
100 µm
Gambar 32 Fungi Penicillium sp3. dengan perbesaran 150x (a) Konidium.
Pada media alkali lignin dijumpai fungi Verticillium sp. hasil isolasi dari akar Acacia mangium dan Fusarium sp3. hasil isolasi dari serasah minggu ke-3 Acacia mangium. Verticillium sp. yang berhasil diisolasi memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas, putih sampai putih krem, terdapat tetes eksudat, dan luar koloni berwarna putih krem (Gambar 33 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin. Konidiofor hialin dengan konidia berbentu oval, terdiri dari 1 sel, dan hialin (Gambar 33 B). Fusarium sp3. yang diperoleh memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas berwarna putih ungu kemerahan, menggunung, dan luar koloni ungu kemerahan (Gambar 34 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin. Memiliki dua jenis konidia yaitu makrokonidia dan mikrokonidia (Gambar 34 B).
b a
100 µm A B Gambar 33 Fungi Verticillium sp dengan perbesaran150x (a) Hifa (b) Konidium.
a
c
b
A
B
100 µm
Gambar 34 Fungi Fusarium sp2. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Makrokonidia (c) Mikrokonidia.
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Callophyllum lanigerum di Lokasi Hutan Sekunder Keragaman fungi pada tumbuhan Callophyllum lanigerum sebanyak 10 jenis seperti tersaji pada Gambar 35. Pada rizosfer dari tumbuhan Callophyllum lanigerum diperoleh fungi Aspergillus sp1. Pada akar diperoleh fungi seperti Fusarium sp3., Penicillium sp1, Dematiceae, dan Miselia sterilia 1. Pada daun segar diperoleh fungi Miselia sterilia 2 dan Coelomomyces. Pada serasah minggu ke-0 diperoleh fungi Trichoderma sp1. dan Miselia sterilia 1. Pada serasah minggu ke-1 diperoleh fungi Aspergillus niger dan Paecilomyces sp1. Pada serasah minggu ke-2 diperoleh Paecilomyces sp1. dan Fusarium sp1. Pada serasah minggu ke-3 diperoleh Trichoderma sp1. dan Aspergillus niger.
Tanah
Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 1
Serasah minggu ke 2
Serasah minggu ke 3
Trichoderma sp1. Aspergillus niger
Serasah minggu ke 0
Aspergillus sp1. Fusarium sp3. Dematiaceae Miselia sterilia 1 Penicillium sp1.
Paecilomyces sp1. Fusarium sp1. Aspergillus niger Paecilomyces sp1.
Miselia sterilia 2 Coelomomyces
Trichoderma sp1. Miselia sterilia 1
Gambar 35 Keragaman fungi pada Callophyllum lanigerum di Hutan sekunder. Ciri-ciri Fusarium sp1. yang berhasil diisolasi ialah koloni berbentuk seperti kapas, berwarna putih halus agak transparan, luar koloni putih (Gambar 36 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta, hialin, konidiofor umumnya tidak bercabang, konidia terdiri dari 2 macam yaitu makrokonidia dan mikrokonidia. Mikrokonidia terdiri dari 1-2 sel, hialin, dan fusiform. Sedangkan makrokonidia berbentuk seperti kano perahu, terdiri lebih dari dua sel, dan hialin (Gambar 36 B). Dematiaceae yang dijumpai membentuk koloni seperti kapas padat, abuabu kehitaman, terdapat tetes eksudat, dan luar koloni berwarna hitam (Gambar 37 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan berwarna coklat transparan (Gambar 37 B).
c
b
a
d A
B
100 µm
Gambar 36 Fungi Fusarium sp1. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Makrokonidia (c) Mikrokonidia (d) Konidiofor.
a
A
100 µm
B
Gambar 37 Fungi Dematiaceae dengan perbesaran 600x (a) Hifa.
Pada akar tumbuhan Callophyllum lanigerum ditemukan jenis fungi Cladosporium sp. dan Penicillium sp2. yang tumbuh pada media CMC. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis fungi ini mampu mendegradasi selulosa. Cladosporium sp. yang diperoleh membentuk koloni seperti kapas, berbubuk hijau tua coklat gelap dan luar koloni berwarna hitam (Gambar 38 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan berwarna kecoklatan (Gambar 38 B). Ciri-ciri Penicillium sp2. yang berhasil diisolasi ialah koloni berbentuk seperti kapas berwarna putih kecoklatan, berbubuk, dan luar koloni berwarna coklat muda (Gambar 39 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 39 B).
a
A A A Gambar 38 Fungi Cladosporium sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidium.
a
A
B
100 µm
Gambar 39 Fungi Penicillium sp2. dengan perbesaran 150x (a) Konidium.
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Keragaman fungi pada tumbuhan Dyera costulata di Nibung 2 dapat dijumpai pada Gambar 40 dan berjumlah 11 jenis fungi. Pada rizosfer tumbuhan Dyera costulata diperoleh Aspergillus sp1. Pada akar diperoleh fungi Phoma sp. dan Dematiaceae. Pada daun segar diperoleh fungi Miselia sterilia 1. Pada serasah minggu ke-0 dijumpai fungi Trichoderma sp1. dan Trichoderma sp2. Pada serasah minggu ke-1 ditemukan fungi Trichoderma sp1. dan Trichoderma sp2. Pada serasah minggu ke-2 dijumpai fungi Paecilomyces sp1., Aspergillus niger, dan Curvularia sp. Pada serasah minggu ke-3 diperoleh fungi Trichoderma sp2., Penicillium sp1., dan Aspergillus sp1.
Tanah
Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 1
Serasah minggu ke 2
Serasah minggu ke 3
Serasah minggu ke 0
Aspergillus Trichoderma sp2. Penicillium sp1. Aspergillus sp1.
Phoma sp. Dematiaceae Miselia sterilia 1
Aspergillus niger Paecilomyces sp1. Curvularia sp.
Trichoderma sp1. Trichoderma sp2.
Trichoderma sp1. Trichoderma sp2.
Gambar 40 Keragaman fungi pada Dyera costulata di Nibung 2.
Curvularia sp. yang berhasil diisolasi memiliki ciri-ciri koloni seperti kapas, sedikit berbubuk berwarna abu-abu coklat tua kehitaman, dan luar koloni berwarna hitam (Gambar 41 A). Diameter koloni setelah diinkubasi selama 7 hari mencapai 7.5 cm, bagian media yang ditumbuhi terasa padat waktu diambil untuk pembuatan kultur kaca objek. Struktur hifa yang terbentuk bersepta, berwarna coklat transparan, dan bercabang. Konidia terdiri dari 4 sel, dengan 2 sel di tepi berwarna coklat terang/transparan, sedangkan 2 sel ditengah berwarna coklat tua (Gambar 41 B).
Trichoderma sp2. yang dijumpai memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas tipis berwarna putih, terdapat serbuk berwarna hijau tersusun secara konsentris, dan luar koloni berwarna putih kehijauan. Koloni tumbuh cepat pada media PDA, setelah diinkubasi selama 2 hari diameter mencapai 6 cm (Gambar 42 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 42 B).
b
a 100 µm A A Gambar 41 Fungi Curvularia sp. dengan perbesaran150x (a) Hifa (d) Konidium.
a b A
B
100 µm
Gambar 42 Fungi Trichoderma sp2. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor.
Hasil isolasi fungi yang ditumbuhkan pada media CMC ialah Paecilomyces sp2 dari akar Dyera costulata dan Gliocladium sp. dari serasah minggu ke-1 Dyera costulata. Ini menunjukkan bahwa fungi Paecilomyces sp2 dan Gliocladium sp tersebut mampu mendegradasi selulosa. Ciri-ciri Gliocladium sp. yang berhasil diisolasi ialah koloni berbentuk seperti kapas halus, putih transparan, ada serbuk halus berwarna krem muda, dan luar koloni berwarna putih dengan lingkar konsentris yang jelas (Gambar 43 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin. Konidiofor bercabang dengan
percabangan terminal. Konidia bersel satu, berbentuk slindris, dan hialin (Gambar 43 B). Paecilomyces sp2 yang diperoleh membentuk koloni seperti kapas berwarna putih kekuningan, berbubuk, dan luar koloni berwarna coklat kekuningan (Gambar 44 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 44 B).
b
c
A
B
a 100 µm
Gambar 43 Fungi Gliocladium sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidum (c) Konidiofor.
a
100 µm b B Gambar 44 Fungi Paecilomyces sp2. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor.
A
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Keragaman fungi pada tumbuhan Schima wallichii terdiri dari 9 jenis seperti tersaji pada Gambar 45. Pada rizosfer dari tumbuhan Schima wallichii dijumpai fungi Paecilomyces sp4. dan Miselia sterilia 3. Pada akar hanya diperoleh fungi Dematiaceae. Pada daun segar diperoleh fungi Miselia sterilia 2 dan Coelomomyces. Pada serasah minggu ke-0 hanya diperoleh Trichoderma sp1.
Pada serasah minggu ke-1 diperoleh fungi antara lain Trichoderma sp1. dan Paecilomyces sp1. Pada serasah minggu ke-2 dijumpai fungi Paecilomyces sp1. dan Paecilomyces sp3. Pada serasah minggu ke-3 diperoleh fungi Trichoderma sp1. dan Penicillium sp1. Tanah
Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 1
Serasah minggu ke 2
Serasah minggu ke 3
Serasah minggu ke 0
Paecilomyces sp4. Miselia sterilia 3
Trichoderma sp1. Penicillium sp1.
Dematiaceae
Paecilomyces sp1. Paecilomyces sp3.
Miselia sterilia 2 Coelomomyces Trichoderma sp1. Paecilomyces sp1.
Trichoderma sp1
Gambar 45 Keragaman fungi pada Schima wallichii di Nibung 2.
Paecilomyces sp3. yang berhasil diisolasi memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas berwarna kuning kecoklatan, berbubuk dengan lingkar konsentris, dan sebalik koloni berwarna coklat muda (Gambar 46 A). Struktur hifa bersepta dan hialin (Gambar 46 B). Miselia sterilia 2 yang dijumpai memiliki ciri-ciri sebagai berikut yaitu koloni berbentuk seperti kapas, menggunung, berwarna putih, dan sebalik koloni putih kekuningan (Gambar 47 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta, hialin, dan tidak ada sambungan apit (Gambar 47 B).
c b a A
B
100 µm
Gambar 46 Fungi Paecilomyces sp3. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (c) Konidiofor.
a
100 µm
A
B
Gambar 47 Fungi Miselia sterilia 2 dengan perbesaran 150x (a) Hifa.
Pada rizosfer dan akar tumbuhan Schima wallichii ditemui Paecilomyces sp5. yang tumbuh pada media CMC. Hal ini menunjukkan bahwa fungi tersebut berkemampuan untuk mendegradasi selulosa. Paecilomyces sp5. yang berhasil diisolasi memiliki ciri-ciri yaitu koloni seperti kapas berwarna coklat, berbubuk seperti tepung, dan luar koloni putih kecoklatan(Gambar 48 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 48 B).
a b B 100 µm A Gambar 48 Fungi Paecilomyces sp5. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor.
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Acacia mangium di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Keragaman fungi pada tumbuhan Acacia mangium terdiri dari 11 jenis fungi seperti tersaji pada Gambar 49. Hasil isolasi fungi dari rizosfer Acacia mangium ialah Paecilomyces sp4. dan Trichoderma sp1. Pada akar diperoleh fungi Coelomomyces dan Dematiaceae. Pada daun segar diperoleh fungi Basidiomycetes isolat 3, Basidiomycetes isolat 2, dan Coelomomyces. Pada
serasah minggu ke-0 diperoleh fungi Paecilomyces sp1. Pada serasah minggu ke-1 diperoleh fungi seperti Aspergillus niger, Aspergillus sp1., dan Trichoderma sp1. Pada serasah minggu ke-2 diperoleh fungi seperti Paecilomyces sp1., Paecilomyces sp3., dan Aspergillus niger. Pada serasah minggu ke-3 diperoleh fungi seperti Aspergillus niger dan Penicillium sp1.
Tanah
Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 1
Serasah minggu ke 2
Serasah minggu ke 3
Aspergillus niger Penicillium sp1.
Serasah minggu ke 0
Paecilomyces sp4 Trichoderma sp1.
Paecilomyces sp1. Paecilomyces sp3. Aspergillus niger
Coelomycetes Dematiaceae
Basidiomycetes isolat 3 Basidiomycetes isolat 2 Coelomomyces
Aspergillus niger Aspergillus sp1. Trichoderma sp1.
Paecilomyces sp1.
Gambar 49 Keragaman fungi pada Acacia mangium di Nibung 2.
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Vitex pubescens di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Keragaman fungi pada tumbuhan Vitex pubescens yang diperoleh sebanyak 11 jenis fungi seperti tersaji pada Gambar 50. Pada rizosfer ditemukan fungi seperti Trichoderma sp1. dan Miselia sterilia 1. Fungi yang ditemui pada akar adalah Dematiaceae. Pada daun segar diperoleh fungi seperti Basidiomycetes isolat 1, Basidiomycetes isolat 2, Miselia sterilia 1, dan Miselia sterilia 2. Pada serasah minggu ke-0 hanya diperoleh fungi Penicillium sp1. Pada serasah minggu ke-1 diperoleh fungi seperti Aspergillus niger dan Trichoderma sp1. Pada serasah minggu ke-2 diperoleh fungi sebagai berikut yaitu Aspergillus niger, Miselia sterilia 1, dan Penicillium sp1. Pada serasah minggu ke-3 diperoleh fungi seperti Cunninghamella sp, Trichoderma sp1, Aspergillus sp1, dan Aspergillus niger.
Tanah
Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 1
Serasah minggu ke 2
Serasah minggu ke 3
Cunninghamella sp. Trichoderma sp1. Aspergillus sp1. Aspergillus niger
Trichoderma sp1. Miselia sterilia 1 Dematiaceae Basidiomycetes isolat 1 Basidiomycetes isolat 2 Miselia sterilia 1 Miselia sterilia 2
Aspergillus niger Miselia sterilia 1 Penicillium sp1. Aspergillus niger Trichoderma sp1.
Serasah minggu ke 0
Penicillium sp1.
Gambar 50 Keragaman fungi pada Vitex pubescens di Nibung 2.
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Paraserianthes falcataria di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Keragaman fungi pada tumbuhan Paraserianthes falcataria dari hasil isolasi diperoleh 10 jenis fungi (Gambar 51). Pada rizosfer diperoleh fungi seperti Paecilomyces sp4., Aspergillus sp1., dan Miselia sterilia 2. Pada akar tumbuhan diperoleh fungi Aspergillus niger dan Coelomomyces. Pada daun segar diperoleh fungi Coelomomyces, Miselia sterilia 1, dan Miselia sterilia 2. Pada serasah minggu ke-0 hanya diperoleh fungi Trichoderma sp2. Pada serasah minggu ke-1 diperoleh fungi seperti Aspergillus niger dan Trichoderma sp1. Pada minggu ke-2 dijumpai fungi seperti Trichoderma sp1. dan Miselia sterilia 1. Pada minggu ke-3 diperoleh fungi seperti Trichoderma sp1. dan Trichoderma sp2.
Tanah
Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 1
Serasah minggu ke 2
Serasah minggu ke 3
Trichoderma sp1. Trichoderma sp2. Trichoderma sp1. Miselia sterilia 1
Serasah minggu ke 0
Paecilomyces sp4. Aspergillus sp1. Miselia sterilia 2 Aspergillus niger Coelomomyces
Aspergillus niger Trichoderma sp1. Trichoderma sp2.
Coelomomyces Miselia sterilia 1 Miselia sterilia 2
Gambar 51 Keragaman fungi pada Paraserianthes falcataria di Nibung 2.
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Jongkong 1 (Lahan Revegetasi Usia 16 tahun) Hasil identifikasi fungi pada tumbuhan Dyera costulata sebanyak 9 jenis fungi (Gambar 52). Pada rizosfer dijumpai fungi Aspergillus sp1. Pada akar dijumpai fu Aspergillus niger dan Penicillium sp1. Pada daun segar dijumpai fungi seperti Coelomomyces, Basidiomyces isolat 2, Basidiomyces isolat 3, dan Miselia sterilia 2. Pada serasah minggu ke-0 ditemukan Trichoderma sp1. Pada serasah minggu ke-1 diperoleh fungi seperti Aspergillus niger dan Aspergillus sp1. Pada serasah minggu ke-2 dijumpai fungi seperti Aspergillus niger, Miselia sterilia 1, dan Trichoderma sp1. Fungi yang mendominasi dari hasil isolasi tumbuhan Dyera costulata ialah Aspergillus dan diduga merupakan fungi saprofit. Pada hasil identifikasi ditemukan juga fungi yang diduga bersifat patogen yaitu Coelomomyces.
Tanah
Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 0
Aspergillus niger Miselia sterilia 1 Trichoderma sp1.
Serasah minggu ke 1
Serasah minggu ke 2
Aspergillus sp1.
Aspergillus niger Aspergillus sp1.
Trichoderma sp1.
Aspergillus niger Penicillium sp1.
Coelomomyces Basidiomycetes isolat 2 Basidiomycetes isolat 3 Miselia sterilia 2
Gambar 52 Keragaman fungi pada Dyera costulata di Jongkong 1.
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Jongkong 1 (Lahan Revegetasi Usia 16 tahun) Keragaman fungi untuk tumbuhan Schima wallichii terdiri dari 9 jenis seperti tersaji pada Gambar 53. Hasil identifikasi fungi yang berasal dari rizosfer seperti Miselia sterilia 1 dan Trichoderma sp1. Hasil isolasi fungi dari akar diperoleh Trichoderma sp1. dan Aspergillus niger. Hasil isolasi dari daun segar seperti Basidiomycetes isolat 1, Basidiomycetes isolat 2, Basidiomycetes isolat 3, dan Miselia sterilia. Hasil identifikasi fungi dari isolat serasah minggu ke-0 seperti Trichoderma sp1. Hasil identifikasi fungi dari isolat serasah minggu ke-1 adalah Paecilomyces sp1. dan Penicillium sp. Sedangkan hasil identifikasi pada isolat serasah minggu ke-2 adalah Penicillium sp. Berdasarkan hasil identifikasi fungi tersebut diatas maka diduga semua jenis fungi tersebut berperan sebagai saprofit.
I
Tanah
Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 0
Penicillium sp1
Serasah minggu ke 1
Serasah minggu ke 2
Miselia sterilia 1 Trichoderma sp1.
Penicillium sp1. Paecilomyces sp1. Trichoderma sp1. Aspergillus niger Trichoderma sp1. Basidiomycetes isolat 1 Basidiomycetes isolat 2 Basidiomycetes isolat 3 Miselia sterilia 1
Gambar 53 Keragaman fungi pada Schima wallichii di Jongkong 1.
Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Jongkong 1 (Lahan Revegetasi Usia 16 tahun) Keragaman fungi untuk tumbuhan Acacia mangium terdiri dari 6 jenis fungi seperti tersaji pada Gambar 54. Secara umum fungi yang diperoleh bersifat saprofit seperti Aspergillus niger dan Trichoderma sp1. Pada tumbuhan ini ada fungi yang diduga bersifat patogen yaitu Fusarium sp3. Tanah
Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 0
Trichoderma sp1
Aspergillus niger Trichoderma sp1.
Serasah minggu ke 1
Serasah minggu ke 2
Penicillium sp1.
Dematiaceae
Basidiomycetes isolat 1 Fusarium sp3. Trichoderma sp1.
Gambar 54 Keragaman fungi pada Acacia mangium di Jongkong 1.
Pada tumbuhan Acacia mangium diperoleh fungi Penicillim sp1. yang berasal dari isolat rizosfer, Dematiaceae berasal dari isolat akar, Basidiomycetes isolat 1 dan Fusarium sp3. berasal dari isolat daun segar, Trichoderma sp1. berasal dari serasah minggu ke-0, Aspergillus niger dan Trichoderma sp1. berasal dari isolat serasah minggu ke-1, dan isolat serasah minggu ke-2 hanya ditemukan Trichoderma sp1. Secara umum jenis-jenis fungi yang diperoleh pada penelitian ini yang berasal dari serasah daun dari beberapa jenis tumbuhan pada tiap-tiap minggunya bervariasi, baik dari jumlah ataupun dari jenisnya. Hal ini diduga karena waktu pengamatan yang relatif singkat sehingga proses dekomposisi masih relatif lambat, kualitas serasah daun, dan faktor lingkungan. Fungi berperan penting dalam ekosistem yaitu untuk mempercepat proses dekomposisi serasah daun. Fungi merupakan pengurai utama serasah daun tumbuhan karena mempunyai kemampuan menguraikan selulosa dan lignin.
Seperti telah diketahui bahwa
selulosa dan lignin merupakan komponen utama penyusun dinding sel di daun. Pada daun tumbuhan banyak dijumpai fungi yang bersifat parasitik dan saprofit. Pada hasil isolasi-isolasi tersebut diperoleh beberapa fungi yang secara umum bersifat saprofit seperti Trichoderma, Aspergillus, Paecilomyces, Penicillium, Miselia sterilia, dan Basidiomycetes. Fungi Aspergillus, Penicillium, dan
Trichoderma
merupakan
fungi
pendegradasi
selulosa,
sedangkan
Basidiomycetes merupakan fungi yang mampu mendegradasi selulosa dan lignin dengan baik (Suciatmih 2001). Beberapa fungi mampu mendegradasi selulosa dengan baik misalnya kelompok Basidiomycetes, Trichoderma sp., Cladosporium sp., dan Paecilomyces sp. (Anke 1997; Gandjar et al. 2006) Fungi yang diduga bersifat parasit antara lain ialah Coelomomyces, Acremonium, Fusarium, Cunninghamella, dan Phoma. Hal ini diduga bahwa jaringan tua (senescent) dan jaringan mati berpengaruh terhadap keberadaan jenis fungi parasit, saprofit primer dan sekunder yang menggunakan karbohidrat sederhana terutama selulosa dan lignin sebagai makanan. Secara alami suksesi fungi pada tumbuhan diawali oleh tumbuhnya fungi patogen lemah, lalu diikuti fungi saprofit, dan kemudian fungi dekomposer (Frankland 1998). Organ tumbuhan seperti akar, batang, dan daun bisa saja dihuni oleh fungi patogen, saat
organ-organ tersebut mulai tua dan menguning tapi belum gugur (senescent) maka akan ditumbuhi oleh fungi saprofit yang masih memanfaatkan senyawa-senyawa sederhana. Setelah organ-organ tumbuhan tersebut mati maka akan tumbuh jenis fungi dekomposer yang menguraikan senyawa-senyawa lebih kompleks seperti selulosa dan lignin. Secara umum jenis fungi yang diperoleh merupakan fungi yang kosmopolit yaitu hidup bebas dan bisa dijumpai pada spektrum habitat yang luas. Dekomposisi adalah proses penghancuran tumbuhan mati secara bertahap yang menyebabkan terurainya struktur organisme yang semula kompleks menjadi bentuk-bentuk sederhana seperti air, karbohidrat dan unsur-unsur hara mineral. Penghancuran serasah dapat diartikan sebagai tahapan-tahapan dalam proses dekomposisi, yang menyebabkan terjadinya kehilangan bobot materi (organik). Proses dekomposisi bahan-bahan tumbuhan dipengaruhi oleh kandungan lignin dan lilin dalam bahan tumbuhan, suplai nitrogen, kondisi lingkungan, aerasi tanah, kelimpahan mikroorganisme, dan suhu udara (Yunafis 2006). Anderson dan Swift (1984) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi adalah organisme penghancur (hewan dan jasad renik), kualitas serasah (sifat bahan organik serasah yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi), dan lingkungan. Daun-daun senescent jatuh di permukaan tanah, selanjutnya mengalami pembusukan, melepaskan unsur hara, dan secara perlahan menyatu ke dalam struktur tanah. Fungi berperan penting pada saat itu, tetapi relatif masih sedikit jenis-jenis fungi yang berperan. Dekomposisi berbagaimacam tipe serasah suatu tumbuhan setelah dikolonisasi fungi sekunder, biasanya berlangsung satu tahun. Pada tahap ini juga berlangsung sejumlah proses fisika dan kimia. Serasah tumbuhan berada di permukaan tanah selama beberapa bulan sampai beberapa tahun sebelum terdekomposisi sempurna dan akhirnya menyatu ke dalam tanah mineral (Dix & Webster 1995).
Potensi Tumbuhan Indigenos dan Keragaman Funginya Tumbuhan indigenos adalah tumbuhan asli di suatu wilayah atau bukan merupakan tumbuhan introduksi. Berdasarkan hasil analisis vegetasi ditemukan beberapa tumbuhan indigenos yang dapat tumbuh di lahan bekas tambang timah
yaitu Dyera costulata dan Schima wallichii. Hal ini menunjukkan bahwa jenisjenis tumbuhan tersebut dapat tumbuh pada kondisi tanah yang kurang subur dan bersifat asam. Pada penelitian ini nilai produksi serasah tumbuhan Dyera costulata dan Schima wallichii lebih rendah jika dibandingkan dengan Acacia mangium. Namun nilai laju dekomposisi serasah Dyera costulata lebih tinggi jika dibanding dengan tumbuhan Acacia mangium dan Schima wallichii. Hal ini diduga karena pengguguran daun atau ranting suatu jenis pohon dipengaruhi oleh umur daun, ketersediaan air dalam lingkungan, kelembaban, suhu udara, dan faktor fisiologis dari suatu pohon. Selain itu laju dekomposisi dipengaruhi oleh lamanya waktu dekomposisi, kualitas serasah, aktivitas dekomposer, dan faktor lingkungan (Dubeux et al. 2006). Pada analisis keragaman fungi dari serasah daun Dyera costulata dan Schima wallichii ditemukan fungi dominan yaitu Aspergillus, Trichoderma dan Basidiomycetes. Jenis-jenis fungi tersebut berperan dalam proses dekomposisi karena mampu mendegradasi selulosa dan lignin (Anke 1997; Griffin 1972; Gandjar et al. 2006). Hasil pengujian laboratorium menunjukkan Aspergillus dan Trichoderma dapat tumbuh pada media CMC (Lampiran 25-27). Hal ini membuktikan bahwa kedua jenis fungi tersebut mampu mendegradasi selulosa. Dan Basidiomycetes dapat tumbuh pada media alkali lignin yang membuktikan bahwa jenis fungi ini mampu mendegradasi lignin (Lampiran 28-30). Berdasarkan penelitian Novera (2008) pada tumbuhan Dyera costulata dan Schima wallichii memiliki persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) yang cukup tinggi sehingga diduga mampu beradaptasi dengan lahan bekas tambang yang bersifat marginal. Dyera costulata dan Schima wallichii berpotensi sebagai tumbuhan revegetasi pada lahan bekas tambang timah karena memiliki keragaman jenis fungi yang tinggi yang akan membantu proses dekomposisi serasah tumbuhan tersebut sehingga dapat memperbaiki agregat tanah dan unsur hara di dalam tanah Nurtjahya (2003) menyatakan bahwa Dyera costulata dan Schima wallichii merupakan tumbuhan lokal di Pulau Bangka yang dapat digunakan untuk revegetasi di lahan bekas tambang timah karena memiliki kemampuan cepat
tumbuh, pengikat nitrogen, dapat tumbuh di lahan yang bernutrisi rendah, serasahnya mudah terdekomposisi, dan mudah diperbanyak. Secara ekonomi tumbuhan Dyera costulata dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar permen, kerajinan tangan, dan pensil (Rosdayanti 2004; Misery 1996). Sedangkan tumbuhan Schima wallichii bermanfaat untuk bahan bangunan dan furniture (Salim 2005).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Struktur dan komposisi jenis tumbuhan pada hutan sekunder dan hutan hasil revegetasi didominasi oleh Acacia mangium. Selain itu terdapat beberapa jenis tumbuhan indigenos yang dapat tumbuh di lahan bekas tambang timah yaitu Dyera costulata, Schima wallichii, Callophyllum lanigerum dan Vitex pubescens. Tekstur tanah di lahan bekas tambang timah didominasi oleh pasir, bersifat asam, dan memiliki unsur hara yang rendah. Setiap tumbuhan memiliki 6-11 jenis fungi yang tumbuh pada rizosfer, akar, daun segar, dan serasah daun. Fungi yang diperoleh antara lain ialah Trichoderma,
Aspergillus,
Penicillium,
Fusarium,
Miselia
sterilia,
Cunninghamella, Curvularia, Phoma, Basidiomycetes, Coelomomyces, dan Dematiaceae. Produksi serasah tertinggi dihasilkan oleh tumbuhan Acacia mangium (3.79 x 10-4 ton/ha/tahun). Laju dekomposisi serasah tertinggi dimiliki oleh Dyera costulata yaitu 16.36/tahun dengan residience time 0.06 tahun. Fungi yang banyak berperan dalam dekomposisi serasah adalah Trichoderma dan Aspergillus. Jenis tumbuhan indogenous dan funginya yang berpotensi untuk revegetasi lahan bekas tambang timah adalah Dyera costulata dan Schima wallichii.
Saran 1. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai potensi tumbuhan Dyera costulata dan Schima wallichii sebagai tumbuhan revegetasi di lahan bekas tambang timah. 2. Perlu dilakukan pengidentifikasian secara molekuler mengenai jenis fungi yang diperoleh. 3. Perlu dilakukan uji lanjut untuk mengetahui aktivitas fungi yang menguntungkan untuk perbaikan lahan bekas tambang timah.
DAFTAR PUSTAKA
Alrasjid H. 1986. Jalur hijau untuk pengelolaan hutan mangrove Pamanukan Jawa Barat. Bul. Pen. Hut. 503:29-44. Anderson JM, Swift MJ. 1984. Decomposition in tropical forest. Dalam : Sutton SL & Chadwick AC (eds). Tropical rain forest: Ecology and management. Spec. Publ. series of the British Ecological Society No. 2. Blackwell Scientific Publication. London: 287-309. Anke T. 1997. Fungal Biotechnology. New York: Chapman & Hall Company. Arrijani. 2006. Korelasi model arsitektur pohon dengan laju aliran batang, curahan tajuk, infiltrasi, aliran permukaan dan erosi (Suatu studi tentang peranan vegetasi dalam konservasi tanah dan air pada sub-DAS Cianjur Cisokan Citarum Tengah) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bacon CW, White JF. 2000. Microbial Endophytes. New York: Marcel Dekker, Inc. Badri LN. 2004. Karakteristik tanah, vegetasi, dan air kolong pasca tambang timah dan tehnik rehabilitasi lahan untuk keperluan revegetasi (Studi kasus lahan pasca tambang timah Dabo Singkep) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Barnett HL, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. APS Press. The American Phytopathological Society St. Paul. Minnesota. Bill GF. 1996. Isolation and análisis of endifitic fungal communities from woody plants. Dalam :Redlin S & Carris LM (eds). In Systematics, Ecology and Evolution of Endophytic Fungi in Grasses and Woody Plants. APS Press, St Paul : 31-65. Brown MS. 1984. Mangrove leaf litter production and dinamics. Di dalam: Snedaker SC & Snedaker JG, editor. The Mangrove Ecosystem: Research Methods. UNESCO. United Kingdom: 321-238. Clay K. 1988. Fungal endophytes of grasses : A Devensive Mutualism Between Plans and Fungi. Ecology 69:2-9. Cox GW. 2002. Laboratory Manual of General Ecology. Eight edition. Publisher by McGraw-Hill Higher Education. America. Das DK, Chaturvedi OP. 2003. Litter quality effects on decomposition rates of forestry plantations. Journal Tropical Ecology 44(2):261-264.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 1997. Ensiklopedia Kehutanan Indonesia. Ed ke-1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan RI. Jakarta. Deshmuk I. 1992. Biologi dan Ekologi Tropik. Kartasasmita K dan Dinihardja S. penerjemah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Ecology and Tropical Biology. Blackwell Scientific Publications. Dix NJ, Webster J. 1995. Fungal Ecology. Chapman and Hall. London, Glasgow, Weinheim, New York, Tokyo, Melbourne, Madras. Dubeux JCB, Sollenberger LE, Interrante SM, Vendramini JMB, Stewart RL. 2006. Litter decomposition and mineralization in Bahiagrass Pastures Managed at Different Intensities. J. Crop Science vol 46:(1305-1310). Dombois DM, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John wiley & sons. Domsch KK, Gams W, Anderson TH. 1980. Compendium of Soil Fungi. Academic Press A Subsidiary of Harcourt Brace Jovanovich. Publishers. London New York Toronto Sydney San Francisco. Ewusie JY. 1990. Pengantar Ekologi Tropik. Tanuwijaya U. penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Fassatiova O. 1986. Mould and Filamentous Fungi in Technical Microbiology. Elsevier. Amsterdam Oxford New York Tokyo. Francesca MC, Angelis PD, Polle A. 2005. Leaf litter production and decomposition in poplar short-rotation coppice exposed to free air CO2 enrichment (POPFACE). J. Global Change Biology (11):971-982. Frankland JC. 1998. Fungal succession-unravelling the unpredictable. J. Mycology 102 (1):1-15. Gandjar I, Samson RA, Karin TV, Ariyanti O, Imam S. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Depok: Universitas Indonesia. Gandjar I, Sjamsuridzal W, Oetari A. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Griffin DM. 1972. General Ecology of Soil Fungi. London: Chapman and Hall. Gunawan AW, Dharmaputra OS, Rahayu R, Sudirman LI, Sukarno N, Listiyowati S. 2006. Fungi dalam Praktik Laboratorium. Bogor: Mikologi FMIPA IPB. Hardjowigeno S. 2007. Ilmu tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Juairiah L, Nurtjahya E, Prawitasari T, Dorly. 2005. Konduktivitas xylem akar dan batang tumbuhan pionir di lahan pasca penambangan timah di Desa Sempan, Bangka. STIPER Bangka. Kusmana C. 1997. Metode Survei Vegetasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kusumastuti E. 2005. Rehabilitasi lahan pasca penambangan timah di pulau bangka dengan amelioran bahan organik dan bahan tanah mineral dengan tumbuhan indikator Jati (Tectona grandis) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Majumder M, Shukla AK, Arunachalam A. 2008. Nutrient release and fungal succession during decomposition of weed residues in a shifting cultivation system. Communication in Biometry and Crop Science 3 (1): 45-59. Mardieni T. 2003. Keragaman fungi rizosfer tanaman Cabai Merah (Capsicum annum var. longum) pada lahan aplikasi pestisida secara berjadwal [skripsi]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian IPB. Misery CJ. 1996. Kajian struktur anatomi Kayu Jelutung (Dyera costulata) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Nurtjahya E. 2003. Potential local tree candidates for revegetation sandy tin tailling in Bangka Island. STIPER Bangka. Novera Y. 2008. Analisis vegetasi, karakteristik tanah dan kolonisasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka [makalah seminar Pascasarjana]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: UGM Press. Olson JS. 1963. Energy storage and the balance of producers and decomposers in ecological systems. Ecology 44: 322–331. Parotta JA. 1993. Secondary Forest Revegetation on Degraded Tropical Lands: The Role of Platation as “Forest Ecosystem”. Kluwer Academic Publisher. Dardrecht. The Netherland. [PPAT] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1990. Pusat satuan Lahan dan Tanah Lembar Bangka dan Belinyu Sumatera. Skala 1:250 000. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. Pribadi R. 2000. Small litterfall and leaflitter decomposition of Bintuni Bay. Majalah Ilmu Kelautan 17(5):1-18.
PT. Koba Tin. 2004. Pemaparan tentang kegiatan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan (KP) PT. Koba Tin di Kabupaten Bangka Tengah. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Polunin NVC. 1986. Decomposition proces in Mangrove Ecosystems. Dalam: Cragg SM & Polunin NVC (eds). Workshop on mangrove Ecosystem Dynamics. Matupore Island Research Station 27-31 May 1985: 95-104. Robinson CH, Dighton J, Frankland JC, Roberts JD. 1994. Fungal communities on decaying wheat strow of different resources quality soil. Biochem. 26:1053-1058. Rosdayanti H. 2004. Perbanyakan Jelutung Bukit (Dyera costulata) melalui kultur invitro [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Salim. 2005. Profil kandungan karbon pada tegakan Puspa (Schima wallichii Korth.) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Setiadi D, Muhadiono. 1998. Penuntun Praktikum Ekologi Dasar. Bogor: IPB. Suciatmih. 2001. Test of lignin and cellulose decomposition and phosphate solubilization by soil fungi of Gunung Halimun. J. Berita Biologi Vol 5 (6): 685-689. Tanner EV. 1981. The decompocition of leaf litter in Jamaican montane rain forest. Journal of Ecology. 69: 263-275. Tarmie RS. 2005. Komposisi jenis dan struktur tumbuhan pada tanah hapludoxs pada berbagai tipe penggunaan lahan di Desa Sempan Bangka.[skripsi]. Bangka: STIPER Bangka. Watling R, Frankland JC, Ainsworth AM, Isaac S,. Robinson CH. 2002. Tropical Micology Vol. 2. Micromycetes. CAB International Publishing. Yassir I. 2005. Keanekaragaman tumbuhan bawah. potensi Fungi Mikoriza Arbuskula (CMA) dan sifat-sifat tanah pada lahan kritis di Samboja. Kalimantan Timur [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Yunasfi. 2006. Dekomposisi serasah daun Avicennia marina oleh Bakteri dan Fungi pada berbagai tingkat salinitas [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data lokasi penelitian NAMA LOKASI HUTAN SEKUNDER (HS)
USIA REKLAMASI -
2
NIBUNG 2 (NB2)
28 TAHUN
5
3
JONGKONG 1 (JK1)
16 TAHUN
9
4
JONGKONG 24 (JK24)
3 TAHUN
5
5
JONGKONG 5E (JK5E)
0 TAHUN
7
No 1
KETINGGIAN (m dpl) 7
DATA GEOGRAFIS S 02º 32' 45.2" E 106º 25' 32.9" S 02º 32' 21.8" E 106º 22' 46.4" S 02º 33' 39.8" E 106º 24' 07.7" S 02º 33' 05.4" E 106º 25' 43.3" S 02º 32' 44.5" E 106º 25' 38"
Lampiran 2 Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Hutan Sekunder No
Nama jenis Lokal
1 2 3 ²
Bintangor Akasia daun lebar
5 6
Seru Pelaik Kayu arangarang/isut-isut Mesiran
7
Cempedak
8
Jeled
9
Kayu pengikar
Ilmiah Collophyllum lanigerum Acacia mangium Schiima walliichii Dyera costulata Syzygium claviflorum Ilex cymosa Arthocarpus integer Microcos tomentosa Fam: Euphorbiaceae
K
KR
F
FR
D
DR
INP
5
7.14
0.2
10.52
0.09
6.34
24.02
25
35.71
0.5
26.31
0.64
42.16
104.19
20 5
28.57 7.14
0.5 0.2
26.31 10.52
0.38 0.15
25.01 9.94
79.91 27.62
2.5 2.5
3.57 3.57
0.1 0.1
5.26 5.26
0.07 0.03
4.77 1.92
13.61 10.76
5
7.14
0.1
5.26
0.07
4.91
17.32
2.5
3.57
0.1
5.26
0.03
1.98
10.82
2.5 70
3.57 100
0.1 1.9
5.26 100
0.04 1.53
2.91 100
11.75 300
Lampiran 3 Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Hutan Sekunder No
Nama jenis Ilmiah Syzygium Bebetut racemosum Kendung daun lebar Helicia serrata Akasia Acacia mangium Collophyllum Bintangor lanigerum Rhodamnia Merapin cinerea Jack Aporusa Pelangas actandra Mensira Ilex cymosa Microcos Jeled tomentosa Schiima Seru walliichii Arthocarpus Cempedak integer
K
KR
F
FR
D
DR
INP
Lokal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
10
3.44
0.1
4.16
0.01
1.87
9.48
30 40
10.34 13.79
0.3 0.4
12.5 16.66
0.02 0.05
7.04 12.49
29.89 42.95
30
10.34
0.3
12.5
0.05
11.69
34.53
10
3.44
0.1
4.16
0.01
2.12
9.73
10 70
3.44 24.13
0.1 0.4
4.16 16.66
0.01 0.01
2.12 20.97
9.73 61.78
30
10.34
0.3
12.5
0.03
9.01
31.86
40
13.79
0.3
12.5
0.08
21.40
47.70
20 290
6.89 100
0.1 2.4
4.16 100
0.05 0.41
11.23 100
22.30 300
Lampiran 4 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Hutan Sekunder No
Nama Jenis Lokal
1
Bebetut
2
Bintangor
3 4 5
Jeled Kayu Batu Kendung daun lebar
6 7
Merapin Mesira
8
Pahala
9 10 11
Pelangas Pelawan Pelempang Putih
12 13
Pengengkang Samak
14
Selampit
15
Simpur
16
Seru
17 18
Sesapat Ulas
Ilmiah Syzygium racemosum Collophyllum lanigerum Microcos tomentosa Ilex cymosa Helicia serrata Rhodamnia cinerea Ilex cymosa Eurya acuminate Aporusa actandra Tritanium sp Gordonia excelsa Elaeocarpus stipularis Eugenia sp Syzygium lineatum Dillenia suffruticosa Schiima walliichii Anisophyllea disticha Guioa pubescens
K
KR
F
FR
D
DR
INP
240
3.52
0.5
6.66
0.13
1.34
11.54
520
7.64
0.3
4
0.28
2.77
14.41
160 120
2.35 1.76
0.4 0.3
5.33 4
0.21 0.18
2.11 1.74
9.80 7.51
200
2.94
0.4
5.33
0.29
2.84
11.11
960 880
14.11 12.94
0.8 0.7
10.66 9.33
1.96 1.24
18.97 12.03
43.75 34.30
960
14.11
0.8
10.66
1.14
11.11
35.89
720 80
10.58 1.17
0.8 0.2
10.66 2.66
1.74 0.19
16.85 1.87
38.11 5.72
80
1.17
0.1
1.33
0.16
1.63
4.14
240 320
3.52 4.70
0.3 0.4
4 5.33
0.30 0.45
2.94 4.41
10.47 14.45
280
4.11
0.4
5.33
0.21
2.06
11.51
40
0.58
0.1
1.33
0.01
0.12
2.04
640
9.41
0.4
5.33
1.06
10.29
25.04
120 240 6800
1.76 3.52 100
0.2 0.4 7.5
2.66 5.33 100
0.13 0.56 10.34
1.33 5.50 100
5.77 14.36 300
Lampiran 5 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Hutan Sekunder No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Nama Jenis Lokal Bebetut Betur Bintangor Isut-isut/kayu arang-arang Jeled Kayu Menulang Kelimpuk / Trima/telimpuk Merapin Pahala Pelangas Pelawan Pengengkang Puley Samak Selampit Seru Ulas
K 500 3600 2600
KR (%) 3.85 27.69 20.00
200 200
Chionanthus ramiflorus Commersonia bartremia Rhodamnia cinerea Eurya acuminate Aporosa sp Tritanium sp Elaeocarpus stipularis Eurycoma longifolia Eugenia sp Eugenia lineata Schiima walliichii Guioa pubescens
Ilmiah Syzygium racemosum Callophyllum sp Callophyllum lanigerum Syzygium claviflorum Microcos tomentosa
F 0.1 0.4 0.7
FR (%) 2.5 10 17.5
INP 6.35 37.69 37.50
1.54 1.54
0.1 0.2
2.5 5
4.04 6.54
1800
13.85
0.2
5
18.85
200 900 400 300 200 300 300 200 200 1000 100 13000
1.54 6.92 3.08 2.31 1.54 2.31 2.31 1.54 1.54 7.69 0.77 100
0.1 0.3 0.2 0.2 0.2 0.2 0.1 0.1 0.4 0.4 0.1 4
2.5 7.5 5 5 5 5 2.5 2.5 10 10 2.5 100
4.04 14.42 8.08 7.31 6.54 7.31 4.81 4.04 11.54 17.69 3.27 200
Lampiran 6 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Hutan Sekunder No 1 2 3 4
Nama Jenis Lokal Rumput Miang Rumput Sesayat Spesies A Spesies B
K
Ilmiah Melhania indica Scleria purpurascens Anonim Anonim
200 200 100 300 800
KR (%) 25 25 12.5 37.5 100
F 0.2 0.1 0.1 0.1 0.5
FR (%) 40 20 20 20 100
INP 65 45 32.5 57.5 200
Lampiran 7 Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Nibung 2 No 1 2 3 4
Lokal Akasia Leben Kenidae Pelaik
5 6
Sengon Seru
Nama jenis Ilmiah Acacia mangium Vitex pubescens Bridelia tomentosa Dyera costulata Paraserianthes falcataria Schiima walliichii
K 86.25 2.5 5 2.5
KR (%) 79.31 2.29 4.59 2.29
10 2.5 108.75
9.19 2.29 100
F 1 0.1 0.15 0.1
FR (%) 55.55 5.55 8.33 5.55
0.35 0.1 1.8
19.44 5.55 100
D 5.32 0.23 0.34 0.15
DR (%) 74.93 3.36 4.81 2.22
INP 209.79 11.21 17.74 10.08
0.95 0.08 7.11
13.48 1.17 100
42.12 9.03 300
Lampiran 8 Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Nibung 2 No 1 2 3 4 5
Nama jenis Ilmiah Acacia mangium Melaleuca Kayu putih leucadendron Kenidae Bridelia tomentosa Seru Schiima walliichii Spesies 1 Ficus fistulosa Lokal Akasia
K 30
KR (%) 42.85
5 25 5 5 70
7.14 35.71 7.14 7.14 100
F 0.2
FR (%) 40
0.05 0.15 0.05 0.05 0.5
10 30 10 10 100
D 0.07
DR (%) 0.02
INP 82.88
0.02 277.21 0.01 0.01 277.33
0.01 99.95 0.003 0.004 100
17.15 165.67 17.14 17.14 300
Lampiran 9 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Nibung 2 No
Nama jenis Ilmiah Rhodamnia Merapin cinerea Vitex Leben pubescens Microcos Jeled tomentosa Aporusa Pelangas actandra Syzygium Kemeti spicatum Eurya Pahala acuminate Bridelia Kenidae tomentosa Syzygium Selampit lineatum Acacia Akasia mangium Schiima Seru walliichii Dyera Pelaik costulata Elaeocarpus Pengengkang stipularis Melaleuca Kayu putih leucadendron
K
KR
F
FR
D
DR
INP
Lokal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
20
2.22
0.05
3.70
0.0002
0.008
5.93
20
2.22
0.05
3.70
0.0008
0.03
5.95
80
8.88
0.2
14.81
0.0007
0.03
23.73
240
26.66
0.35
25.92
0.004
0.23
52.82
20
2.22
0.05
3.70
0.0003
0.01
5.93
20
2.22
0.05
3.70
0.0002
0.01
5.93
140
15.55
0.15
11.11
0.72
29.07
55.73
80
8.88
0.05
3.70
1.04
41.56
54.15
100
11.11
0.15
11.11
0.72
28.85
51.07
80
8.88
0.1
7.41
0.003
0.10
16.39
20
2.22
0.05
3.70
0.001
0.02
5.94
20
2.22
0.05
3.70
0.001
0.03
5.95
60 900
6.66 100
0.05 1.35
3.70 100
0.001 2.49
0.05 100
10.41 300
Lampiran 10 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Nibung 2 No 1 2 3 4 5 6 7
Lokal Akasia Jeled Katu Hutan Kenidae Pelangas Spesies 3 Spesies Z
Nama jenis Ilmiah Acacia mangium Microcos tomentosa Breynia cernua Bridelia tomentosa Aporosa sp Borreria laevis Borreria sp
K 23000 500 1500 1000 500 8000 22500 57000
KR (%) 40.35 0.88 2.63 1.75 0.88 14.04 39.47 100
F 0.30 0.05 0.05 0.10 0.05 0.10 0.15 0.80
FR (%) 37.50 6.25 6.25 12.50 6.25 12.50 18.75 100
INP 77.85 7.13 8.88 14.25 7.13 26.54 58.22 200
Lampiran 11 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Nibung 2 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama jenis Lokal Akar Bebenar Rumput sesayat Serunai Kera Munting Akar Tepelas Alang alang Putri malu Rumput Kemili Rumput Miang Rumput Gudo Akar hijau Rumput Kacangan
K 500
KR (%) 0.53
Scleria purpurascens Eupatorium pallescens Melastoma malabrathicum Tetracera indica Imperata cylindrica Mimosa pudica Anonim Melhania incana Paspalum scorbiculatum Pycnarrhena cauliflora
1000 15500 8500 5000 49000 1500 1000 7500 2500 2000
Stachytarphyta indica
500 94500
Ilmiah Dioscorea pyrifolia
F
INP
0.05
FR (%) 2.38
1.06 16.40 8.99 5.29 51.85 1.59 1.06 7.94 2.65 2.12
0.05 0.45 0.05 0.40 0.40 0.10 0.10 0.25 0.15 0.05
2.38 21.43 2.38 19.05 19.05 4.76 4.76 11.90 7.14 2.38
3.44 37.83 11.38 24.34 70.90 6.35 5.82 19.84 9.79 ².50
1 100
0.05 2.10
2 100
2.91 200
2.91
Lampiran 12 Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Jongkong 1 No
Nama Jenis Ilmiah Acacia Akasia mangium Bebetun Zyzygium sp Hevea Karet brosiliensis Pelaik Dyera costulata Samak Eugenia sp Paraserianthes Sengon falcataria Schiima Seru walliichii
K
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP
90 1.25
76.59 1.06
1 0.05
55.55 2.77
518.56 4.4785
80.65 0.69
212.80 4.53
6.25 3.75 1.25
5.31 3.19 1.06
0.2 0.15 0.05
11.11 8.33 2.77
28.071 20.02 4.968
4.36 3.11 0.77
20.79 14.63 4.61
2.5
2.12
0.05
2.77
10.65
1.65
6.56
12.5 117.5
10.63 100
0.3 1.8
16.66 100
56.21 642.97
8.74 100
36.04 300
Lokal
1 2 3 4 5 6 7
Lampiran 13 Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Jongkong 1 No 1 2 3
Lokal Akasia Jambu Mete
Nama Jenis Ilmiah Acacia mangium Anacardium occidentale Hevea brosiliensis
4 5 6
Karet Kendung daun lebar Pelaik Samak
7
Sengon
8
Seru
Hellicia serrata Dyera costulata Eugenia sp Paraserianthes falcataria Schiima walliichii
K 75
KR (%) 55.55
5
F 0.55
FR (%) 26.82
3.70
0.05
25
18.51
5 5 5
D 47.85
DR (%) 72.29
INP 154.67
2.43
0.76
1.15
7.29
0.15
7.31
9.74
14.72
40.56
3.70 3.70 3.70
0.05 0.25 0.25
2.43 12.19 12.19
1.40 0.76 1.27
2.12 1.15 1.92
8.26 17.05 17.82
5
3.70
0.25
12.19
2.40
3.63
19.53
10 135
7.40 100
0.5 2.05
24.39 100
1.97 66.19
2.98 100
34.78 300
Lampiran 14 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Jongkong 1 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
18
19 20
Nama Jenis Ilmiah Acacia mangium Syzygium Bebetut racemosum Collophyllum Bintangor lanigerum Cempedak Arthocarpus integer Karet Havea brosiliensis Kendung daun lebar Hellicia serrata Kenidae Bridelia tomentosa Medang Litsea sp Merapin Rhodamnia cinerea Mesira Ilex cymosa Pelawan Tristanium sp Pelempang hitam Adinandra dumosa Pelempang putih Gordonia excelsa Puley Eurycoma longifolia Samak Eugenia sp Eugenia lineata Selampit Seru Schiima walliichii Spesies batang berpulas Anonim Spesies daun Glochidion berbulu superbum Ulas Guioa pubescens Lokal Akasia
K 240
KR (%) 19.35
60
F 0.25
FR (%) 15.62
4.83
0.05
20 20 20
1.61 1.61 1.61
60 20 20 40 20 40
D 2.32
DR (%) 38.35
INP 73.33
3.12
0.06
1.07
9.03
0.05 0.05 0.05
3.12 3.12 3.12
0.05 0.31 0.01
0.83 5.24 0.21
5.57 9.98 4.94
4.83 1.61 1.61 3.22 1.61 3.22
0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.1
3.12 3.12 3.12 3.12 3.12 6.25
0.04 0.01 0.01 0.11 0.13 0.06
0.80 0.20 0.32 1.90 2.21 1.11
8.76 4.94 5.06 8.25 6.95 10.59
20
1.61
0.05
3.12
0.01
0.21
4.94
20 20 40 40 420
1.61 1.61 3.22 3.22 33.87
0.05 0.05 0.1 0.05 0.35
3.12 3.12 6.25 3.12 21.87
0.17 0.05 0.09 0.07 2.11
2.95 0.83 1.52 1.31 34.87
7.69 5.57 10.99 7.66 90.62
40
3.225
0.05
3.12
0.05
0.97
7.32
20 60 1240
1.61 4.83 100
0.05 0.05 1.6
3.12 3.12 100
0.09 0.20 6.06
1.58 3.42 100
6.32 11.38 300
Lampiran 15 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Jongkong 1 No 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 14 15
Lokal Akasia Bebetut Bintangor Katu hutan Kayu batu Kayu putih / gelam Kemirai Merapin Pengengkang Samak Seru Spesies buah merah Spesies daun lebar bergerigi
Nama Jenis Ilmiah Acacia mangium Syzygium racemosum Collophyllum lanigerum Breynia cernua Ilex cymosa
22000 1000 500 1000 500
KR (%) 62.86 2.86 1.43 2.86 1.43
Rhodamnia cinerea Elaeocarpus stipularis Eugenia sp Schiima walliichii
500 500 500 3500 2000 1000
Psychotria viridiflora
Melaleuca leucadendron
Helicia robusta
K
F 0.35 0.05 0.05 0.10 0.05
FR (%) 29.17 4.17 4.17 8.33 4.17
INP
1.43 1.43 1.43 10.00 5.71 2.86
0.05 0.05 0.05 0.10 0.10 0.05
4.17 4.17 4.17 8.33 8.33 4.17
5.60 5.60 5.60 18.33 14.05 7.02
1500
4.29
0.15
12.50
16.79
500 35000
1.43 100
0.05 1.20
4.17 100
5.60 200
92.02 7.02 5.60 11.19 5.60
Lampiran 16 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Jongkong 1 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Jenis Lokal Akar tepelas Serunai Kera munteng Pakis/Adengadeng Alang-alang Paku resam Rumput kemili Rumput merah jarum Rumput miang Rumput sesayat
1000 2000
KR (%) 1.56 3.13
8000
Stenochlaena palustris Imperata cylindrica Gleichenia linearis Anonim Eleocharis retroflexa Melhania incana Scleria purpurascens
Ilmiah Tetracera pallescens Eupatorium pallescens Melastoma malabathricum
K
F
INP
0.10 0.10
FR (%) 5.56 5.56
12.50
0.30
16.67
29.17
7500 25500 4500 500
11.72 39.84 7.03 0.78
0.25 0.15 0.10 0.05
13.89 8.33 5.56 2.78
25.61 48.18 12.59 3.56
6000 4000 5000 64000
9.38 6.25 7.81 100
0.05 0.40 0.30 1.80
2.78 22.22 16.67 100
12.15 28.47 24.48 200
7.12 8.68
Lampiran 17 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Jongkong 24 No 1 2 3 ² 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Nama jenis Ilmiah Acacia mangium Anonim Microcos tomentosa Breynia cernua (Blume)
Lokal Akasia Bebetun Jeled Katu hutan Kayu putih/Gelam Kayu uba Kemirai Leben Melangger Pelangas Samak Seru Simpur Telimpuk
Melaleuca leucadendron Syzygium sp Trema orientalis Vitex pubercens Scoria blangeran Aporosa sp Eugenia sp Schiima walliichii Dillenia suffruticosa Commersonia bartremia
K 1000 20 60 240
KR (%) 58.14 1.16 3.49 13.95
120 20 20 60 40 20 20 40 40 20 1720
6.98 1.16 1.16 3.49 2.33 1.16 1.16 2.33 2.33 1.16 100
F 0.65 0.05 0.10 0.10
FR (%) 41.94 3.23 6.45 6.45
INP 10008 4.39 9.94 20.41
0.10 0.05 0.05 0.10 0.10 0.05 0.05 0.05 0.05 005 1.55
6.45 3.23 3.23 6.45 6.45 3.23 3.23 3.23 3.23 3.23 100
13.43 4.39 4.39 9.94 8.78 4.39 4.39 5.55 5.55 4.39 200
FR
INP
Lampiran 18 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Jongkong 24 No 1 2 3 4
Lokal Akasia Jeled Katu hutan Pelaik
Nama jenis Ilmiah Acacia mangium Microcos tomentosa Breynia cernua Dyera costulata
K
KR
F
24000 1000 1000 500 26500
90.57 3.77 3.77 1.89 100
0.55 0.05 0.10 0.05 0.75
73.33 6.67 13.33 6.67 100
163.90 10.44 17.11 8.55 200
Lampiran 19 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Jongkong 24 No
Nama jenis
1
Lokal Akar tepelas
2 3 4 5 6 7 8 9
Kera munteng Alang-alang Paku resam Rumput jarum Rumput kelulut Rumput miang Rumput sesayat Serunai
Ilmiah Tetracera indica Melastoma malabathricum Imperata indica Gleichenia linearis Anonim Anonim Melhania incana Scleria purpurascens Eupatorium pallescens
K 500
KR (%) 0.57
10500 37000 2500 28000 500 6000 1500 500 87000
12.07 42.53 2.87 32.18 0.57 6.90 1.72 057 100
F
INP
0.05
FR (%) 2.86
0.40 0.50 0.05 0.25 0.05 0.25 0.15 0.05 1.75
22.86 28.57 2.86 14.29 2.86 14.29 8.57 2.86 100
34.93 71.10 5.73 46.47 3.43 21.18 10.30 3.43 200
3.43
Lampiran 20 Luas penutupan tajuk (T) dan luas bidang dasar pohon (B) yang digunakan Lokasi
HS NB2 JK1
Dyera costulata T B 1.7 0.12 2.2 0.12 2.1 0.13
Schima wallichii T B 1.5 0.03 1.4 0.04 1.8 0.05
Acacia mangium T B 3.1 0.12 2.4 0.07 2.5 0.17
Calophyllum lanigerum T B 2.4 0.05
Vitex pubenscens T B
Paraserianthe s falcataria T B
3.3
4.7
0.12
0.38
Lampiran 21 Hasil dekomposisi serasah pohon di hutan sekunder No
Tumbuhan
1 2 3
Dyera costulata Schima wallichii Acacia mangium Calophyllum 4 lanigerum BK: Berat kering
Minggu 1 BK LDS 6.75 0.06 8.11 0.03 4.97 0.09
1/k 17.86 33.31 10.03
BK 6.28 6.51 4.37
Minggu 2 LDS 1/k 0.03 30.09 0.03 32.66 0.06 16.92
9.16 0.01 80.13 8.79 LDS: Laju dekomposisi serasah
0.01
109.29
BK 6 6.38 4 8.58
Minggu 3 LDS 1/k 0.02 41.11 0.02 46.73 0.04 22.92 0.01
Lampiran 22 Hasil dekomposisi serasah pohon di Nibung 2 No
Tumbuhan
1 2 3 4
Dyera costulata Schima wallichii Acacia mangium Vitex pubenscens Paraserianthes 5 falcataria BK: Berat kering
BK 4.28 8.27 8.87 7.47
Minggu 1 LDS 1/k 0.12 8.25 0.03 36.91 0.02 58.39 0.04 23.95
BK 4.12 8.05 8.74 5.31
Minggu 2 LDS 1/k 0.06 15.77 0.02 64.45 0.01 103.86 0.05 22.11
5.37 0.09 11.24 5.19 0.05 LDS: Laju dekomposisi serasah
BK 3.90 7.35 7.37 4.8
21.38
4.84
Minggu 3 LDS 1/k 0.04 22.31 0.01 68.21 0.01 68.81 0.03 28.61 0.03
28.94
Lampiran 23 Hasil dekomposisi serasah pohon di Jongkong 1 No
Tumbuhan
1 Dyera costulata 2 Schima wallichii 3 Acacia mangium BK: Berat kering
Minggu 1 BK LDS 1/k 5.32 0.09 11.08 5.78 0.08 12.77 7.69 0.04 26.59 LDS: Laju dekomposisi serasah
BK 4.83 5.26 7.21
Minggu 2 LDS 0.05 0.05 0.02
1/k 19.24 21.79 42.79
137.02
Lampiran 24 Bentuk kanopi tumbuhan pada fase pohon yang digunakan saat pengukuran produksi dan laju dekomposisi serasah
Dyera costulata
Acacia mangium
Schima wallichii
Callophyllum lanigerum
Paraserianthes falcataria Vitex pubescens
Lampiran 25 Jenis cendawan yang diisolasi dari Hutan sekunder menggunakan media CMC Asal Isolat Rhizosfer
Dyera costulata Trichoderma sp1 Penicillium sp1 Penicillium sp4 Curvularia sp Aspergillus niger Volutella sp Basidiomycetes isolat 2
Schima wallichii Trichoderma sp2 Paecilomyces sp3 Coelomomyces Dematiaceae
Aspergillus niger Fusarium sp3 Miselia sterilia 1
Miselia sterilia 2
Coelomycetes
Trichoderma sp1 Fusarium sp1
Trichoderma sp1
Trichoderma sp1 Miselia sterilia 1
Trichoderma sp1
Trichoderma sp1 Miselia sterilia 3
Fusarium sp1
Trichoderma sp1
Trichoderma sp1
Serasah minggu ke 2
Dematiaceae
Fusarium sp1 Dematiaceae
Acremonium sp Trichoderma sp2
Acremonium sp
Serasah minggu ke 3
Trichoderma sp1
Trichoderma sp1
Trichoderma sp2
Trichoderma sp1
Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 0 Serasah minggu ke 1
Acacia mangium Trichoderma sp1 Penicillium sp
C. lanigerum Miselia sterilia 1 Penicillium sp1 Penicillium sp Penicillium sp2 Cladosporium sp
Lampiran 26 Jenis cendawan yang diisolasi dari Nibung 2 menggunakan media CMC Asal Isolat Rhizosfer
Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 0
Serasah minggu ke 1 Serasah minggu ke 2
Serasah minggu ke 3
Dyera costulata Trichoderma sp2
Paecilomyces sp2 Aspergillus sp 1
Basidiomycetes sp3 Miselia sterilia 2
Schima wallichii Paecilomyces sp3 Paecilomyces sp4 Paecilomyces sp5 Penicillium sp4 Fusarium sp1 Paecilomyces sp5 Paecilomyces sp2 Paecilomyces sp3 Dematiaceae
Acacia mangium Trichoderma sp1 Paecilomyces sp3
Vitex pubescens Trichoderma sp1 Miselia sterilia 3
Trichoderma sp1 Fusarium sp1
Aspergillus sp 1 Paecilomyces sp1
Fusarium ps3
Dematiaceae
Phoma sp
Coelomycetes
Phoma sp
P. falcataria Trichoderma sp1
Penicillium sp4 Fusarium sp1
Aspergillus niger
Miselia sterilia 2
Trichoderma sp1 Acremonium sp Paecilomyces sp1
Paecilomyces sp1 Fusarium sp1
Paecilomyces sp1
Paecilomyces sp1
Trichoderma sp1
Basidiomycetes isolat 3 Gliocladium sp
Paecilomyces sp1
Paecilomyces sp1
Paecilomyces sp1
Fusarium sp1
Acremonium sp
Fusarium sp1
Trichoderma sp1 Acremonium sp
Fusarium sp1 Paecilomyces sp1 Curvularia sp
Fusarium sp3
Trichoderma sp1 Trichoderma sp2 Aspergillus niger
Trichoderma sp1
Trichoderma sp1 Trichoderma sp2
Trichoderma sp1
Trichoderma sp1
Lampiran 27 Jenis cendawan yang diisolasi dari Jongkong 1 menggunakan media CMC Isolat Rhizosfer
Akar
Daun segar Serasah minggu ke 0 Serasah minggu ke 1 Serasah minggu ke 2
Dyera costulata Trichoderma sp1 Aspergillus sp 1 Penicillium sp1 Coelomyces Penicillium sp4 Cladosporium sp Dematiaceae Basidiomycetes isolat 1 Miselia sterilia 2 Trichoderma sp1 Paecilomyces sp1 Miselia sterilia 3 Trichoderma sp1 Miselia sterilia 1
Schima wallichii Paecilomyces sp4
Acacia mangium Aspergillus sp 1 Miselia sterilia 3
Paecilomyces sp2 Aspergillus sp 1 Penicillium sp3
Paecilomyces sp2
Miselia sterilia 1
Coelomycetes Miselia sterilia 2 Paecilomyces sp1 Aspergillus niger Trichoderma sp1 Trichoderma sp2
Trichoderma sp1 Paecilomyces sp1 Aspergillus niger Miselia sterilia 1 Trichoderma sp1
Lampiran 28 Jenis cendawan yang diisolasi dari Hutan sekunder menggunakan media Alkali lignin Asal Isolat
Dyera costulata
Schima wallichii
Rhizosfer
Miselia sterilia 3
Miselia sterilia 3
Akar
Volutella sp Fusarium sp1 Acremonium sp Basidiomycetes isolat 2 Basidiomycetes isolat 3
Miselia sterilia 1
Basidiomycetes isolate 2
Acacia mangium Paecilomyces sp1 Miselia sterilia 3 Dematiaceae Verticillium sp Miselia sterilia 1 Basidiomycetes isolat 3
Basidiomycetes isolat 2
Basidiomycetes isolat 3 Syncephalastrum sp
Basidiomycetes isolat 1 Basidiomycetes isolat 3
Basidiomycetes isolat 2
Fusarium sp1 Miselia sterilia 1
Basidiomycetes isolat 2 Penicillium sp1
Miselia sterilia 1
Miselia sterilia 1
Serasah minggu ke 2
Miselia sterilia 1
Miselia sterilia 1
Miselia sterilia 1 Cunninghamella sp Miselia sterilia 2
Miselia sterilia 1
Serasah minggu ke 3
Miselia sterilia 1
Miselia sterilia 1
Fusariumsp 2 Curvularia sp
Fusarium sp1 Fusarium sp2
Daun segar
Serasah minggu ke 0
Serasah minggu ke 1
C. lanigerum Miselia sterilia 3 Acremonium sp Miselia sterilia 1 Miselia sterilia 2 Basidiomycetes isolat 3
Lampiran 29 Jenis cendawan yang diisolasi dari Nibung 2 menggunakan media Alkali lignin Asal Isolat Rhizosfer
Dyera costulata Miselia sterilia 3
Akar
Fusarium sp1 Dematiaceae
Schima wallichii Miselia sterilia 3
Verticillium sp Miselia sterilia 1
Daun segar
Basidiomycetes isolat 3
Basidiomycetes isolat 1 Basidiomycetes isolat 2 Basidiomycetes isolat 3
Serasah minggu ke 0
Basidiomycetes isolat 2
Basidiomycetes isolat 3
Acacia mangium Paecilomyces sp2 Miselia sterilia 3 Acremonium sp Fusarium sp1 Fusarium sp3 Miselia sterilia 3 Basidiomycetes isolat 3
Basidiomycetes isolat 1
Vitex pubescens Miselia sterilia 3
Acremonium sp Fusarium sp1 Miselia sterilia 3
Basidiomycetes isolat 2 Basidiomycetes isolat 3
Fusarium sp1
Basidiomycetes isolat 1 Basidiomycetes isolat 2
P. falcataria Miselia sterilia 1 Miselia sterilia 3 Fusarium sp1 Fusarium sp3
Penicillium sp1
Basidiomycetes isolat 2 Basidiomycetes isolat 3 Fusarium sp1
Serasah minggu ke 1
Basidiomycetes isolat 3
Basidiomycetes isolat 3
Basidiomycetes isolat 3
Curvularia sp
Basidiomycetes isolat 2 Fusarium sp2
Serasah minggu ke 2
Miselia sterilia 1
Basidiomycetes isolat 3
Basidiomycetes isolat 3
Curvularia sp
Basidiomycetes isolat 1 Curvularia sp
Serasah minggu ke 3
Penicillium sp1
Penicillium sp1
Cunninghamella sp
Cunninghamella sp
Fusarium sp1
Basidiomycetes isolat 3 Miselia sterilia 1
Curvularia sp Miselia sterilia 1 Dematiaceae
Lampiran 30 Jenis cendawan yang diisolasi dari Jongkong 1 menggunakan media Alkali lignin Isolat Rhizosfer Akar
Daun segar
Serasah minggu ke 0
Dyera costulata Miselia sterilia 1 Miselia sterilia 3 Verticillium sp Acremonium sp
Schima wallichii Miselia sterilia 3
Acacia mangium Miselia sterilia 3
Miselia sterilia 1
Acremonium sp Penicillium sp1 Miselia sterilia 2 Dematiaceae Basidiomycetes isolat 1 Basidiomycetes isolat 2 Basidiomycetes isolat 3 Basidiomycetes isolat 1 Basidiomycetes isolat 3 Basidiomycetes isolat 3 Curvularia sp
Basidiomycetes isolat 2 Basidiomycetes isolat 3
Basidiomycetes isolat 1 Basidiomycetes isolat 3
Basidiomycetes isolat 2
Basidiomycetes isolat 1 Basidiomycetes isolat 2 Basidiomycetes isolat 3
Serasah minggu ke 1
Basidiomycetes isolat 2 Curvularia sp
Serasah minggu ke 2
Curvularia sp
Basidiomycetes isolat 1 Basidiomycetes isolat 3
Penicillium sp1