ANALISIS VEGETASI, KARAKTERISTIK TANAH DAN KOLONISASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) PADA LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA
YANTI NOVERA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ”Analisis Vegetasi, Karakteristik Tanah dan Kolonisasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka” adalah benar hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2008
Yanti Novera G351060041
ABSTRACT YANTI NOVERA. Analysis of Vegetation, Soil Characteristics and Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) Colonization of Post Tin Mining Land in Bangka Island. Supervised by IBNUL QAYIM and NAMPIAH SUKARNO
Tin mining activity caused changing in physical, chemical and biological characteristics of the soils that were not suitable for growth of plants. Tin mining activity produced two types of soil e.g. tailing and overburden. Tailing is the soil containing 90% sand, whereas overburden is the soil resulted from stripping of soil layers during mining activity. The aim of this research was to study the composition and vegetation structure, and physical, chemical and biological soil properties after revegetation program of the post tin mining land in Bangka Island. Nine sites were selected in this experiment. Eight sites were post tin mining lands and a secondary forest land. Three stages of revegetated land, 3,16 and 28 years old, were used as revegetation program treatment. The secondary forest and nonrevegetated land were used as control treatments. Composition and vegetation structure were studied to analyse diversity of plants, soil textures were measured to analyze soil physical characteristics, whereas pH, C, N, C/N Ratio, P2O5, cation exchange capacity (CEC) were measured to analyze soil chemical characteristics. The biological characteristic studied was Arbusclar Mychorrizal Fungi (AMF) since this fungi is obiquitos in nature and assosiated with most of the plants in the world. The AMF analysis was carried out only for predominant trees grown in all sites tested. The results indicated that composition and vegetation structure were differed at all sites tested. Acacia mangium was predominant species on all revegetated land and secondary forest. Older revegetated land tended to have less sand, higher nutrient content and CEC. All plants except Melaleuca leucadendron and Eucalyptus urophyla were colonized by AMF. The AMF fungi isolated were Glomus, Gigaspora and Scutellospora. Glomus was predominant genera at all sites studied. Key Words : post mining tin land, revegetation, soil characteristic, arbuscular mycorrhizal fungi (AMF)
RINGKASAN YANTI NOVERA. Analisis Vegetasi, Karakteristik Tanah dan Kolonisasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka. Dibimbing oleh IBNUL QAYIM dan NAMPIAH SUKARNO
Kegiatan penambangan timah di Pulau Bangka dilakukan sejak zaman Belanda dengan cara tambang semprot. Kegiatan ini menyebabkab perubahan sifat fisika, kimia dan biologi tanah sehingga tanah tidak mendukung pertumbuhan vegetasi pada lahan tersebut. Tanah pada daerah pasca penambangan timah umumnya mengalami kerusakan yang sangat berat karena bahan tambang biasanya berada di bagian bawah tanah, sehingga untuk mendapatkannya dilakukan pengangkatan tanah yang berada di atasnya. Oleh karena itu penambangan timah menghasilkan lahan bekas tambang berupa hamparan pasir tailing dan overburden. Tailing ialah tanah sisa galian tambang yang berupa tumpukan pasir dan kerikil yang dibuang setelah mengalami pencucian. Lahan ini mengandung fraksi pasir lebih dari 90%. Overburden merupakan material yang dipindahkan pada waktu pengupasan (stripping) yang terdiri dari campuran tanah, bahan induk tanah, pasir, kerikil dan lain-lain. Lahan ini memiliki sifat heterogen dan tidak kompak. Tujuan penelitian ini ialah untuk mempelajari struktur dan komposisi vegetasi, sifat fisika, kimia dan biologi tanah pada lahan bekas tambang timah yang sudah direvegetasi selama 3, 16, dan 28 tahun. Lahan yang belum ditambang (hutan sekunder) dan lahan pasca penambangan yang belum direvegetasi digunakan sebagai kontrol. Analisis kuantitatif terhadap struktur dan komposisi vegetasi dilakukan pada dua puluh petak contoh (plot) dengan teknik pengambilan contoh menggunakan metode kuadrat. Komposisi vegetasi ditentukan oleh jumlah individu dan jumlah spesies tumbuhan. Struktur vegetasi dihitung dari kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif. Dominansi spesies tumbuhan untuk semua fase pertumbuhan vegetasi ditentukan dengan menghitung indeks nilai penting (INP). Berdasarkan INP selanjutnya dihitung indeks keanekaragaman spesies menggunakan indeks keanekaragaman Shanon. Sifat fisika tanah yang dianalisis ialah persentase kadar pasir, debu dan liat (tekstur tanah), sedangkan sifat kimia tanah meliputi pH tanah, kadar N, C, rasio C/N, P2O5, Ka, Ca, Na, Al dan kapasitas tukar kation (KTK). Analisis sifat biologi tanah dilakukan dengan cara mempelajari keragaman kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada tumbuhan fase pohon dan keragaman funginya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan struktur dan komposisi vegetasi pada semua lokasi penelitian. Acacia mangium merupakan spesies tumbuhan yang dominan pada semua lokasi penelitian, baik pada lahan bekas tambang yang sudah direvegetasi maupun pada hutan sekunder. Tanah pada lahan bekas tambang yang sudah direvegetasi selama 3, 16 dan 18 tahun masih merupakan lahan marginal. Peningkatan sifat fisika dan kimia tanah terjadi seiring bertambahnya usia revegetasi. Makin lama usia revegetasi fraksi pasir semakin kecil, kadar bahan organik dan KTK tanah makin tinggi.
Analisis kolonisasi FMA pada sembilan spesies tumbuhan menunjukkan semua spesies kecuali Melaleuca leucadendron dan Eucalypthus urophylla terkolonisasi FMA. Struktur kolonisasi FMA yang ditemukan pada akar tumbuhan A. mangium, Schima wallichii, Paraserianthes falcataria dan Hevea brasiliensis ialah tipe arum. Struktur kolonisasi yang ditemukan pada akar tumbuhan Bridelia tomentosa ialah tipe paris. Kombinasi kolonisasi tipe Arum dan tipe Paris ditemukan pada spesies Dyera costulata dan Breynia cernua. Pada ke dua spesies tumbuhan ini terdapat arbuskula yang terbentuk secara interkalar dari hifa yang tumbuh secara longitudinal pada ruang antar sel dan dari hifa koil. Fungi mikoriza arbuskula yang berhasil diidentifikasi terdiri dari tiga genus yaitu Glomus, Gigaspora dan Scutellospora. Glomus merupakan genus yang dominan pada semua lokasi penelitian. Kata kunci: lahan bekas tambang, revegetasi, karakteristik tanah, fungi mikoriza arbuskula (FMA)
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS VEGETASI, KARAKTERISTIK TANAH DAN KOLONISASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) PADA LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA
YANTI NOVERA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis
:
Nama NRP Departemen
: : :
Analisis vegetasi, Karakteristik Tanah dan Kolonisasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka Yanti Novera G351060041 Biologi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ibnul Qayim Ketua
Dr. Ir. Nampiah Sukarno Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biologi
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal ujian: 2 September 2008
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penelitian dan penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa sangatlah sulit untuk menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan setinggitingginya kepada: 1. Dr.Ir. Ibnul Qayim dan Dr. Ir. Nampiah Sukarno selaku pembimbing atas ilmu, waktu dan bimbingan yang diberikan kepada penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. 2. Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, selaku penguji atas kritik dan sarannya untuk kesempurnaan tesis ini. 3. Departeman Agama RI atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan. 4. Direktur dan seluruh karyawan PT Koba Tin atas kerjasamanya dalam penelitian ini. 5. Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati & Bioteknologi (PPSHB) IPB, Pusat Antar Universitas (PAU) IPB, Laboratorium Mikologi, dan Laboratorium Terpadu Biologi IPB atas fasilitas penelitian yang telah disediakan. 6. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) yang diberikan kepada Dr. Ir. Nampiah Sukarno atas bantuan dana untuk melaksanakan sebagian dari penelitian ini. 7. Herbarium Bogoriense-LIPI, Dr. Kartini Karmadibrata atas bantuan yang dalam penyelesaian tesis ini. 8. Suami tercinta Samsul Rizal SE, atas segala cinta, dorongan, doa dan pengorbanan yang diberikan. 9. Keluarga yang penulis banggakan Ibunda Haidar, Ayahanda H. Syahfiar saudaraku Buray, Cuniang, Itam atas segala kasih sayang yang senantiasa dilimpahkan dan doa yang selalu dikirimkan. 10. Rekan-rekan BUD Depag angkatan 2006 yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini. 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat, Amin Ya Rabbal Alamin.
Bogor, September 2008
Yanti Novera
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 29 November 1969 sebagai anak ke tiga dari lima bersaudara keluarga ayah H. Syahfiar dan ibu Haidar. Lulus pendidikan Sekolah Menengah Atas tahun 1988 di SMA Negeri Padang Panjang, dan pada tahun yang sama penulis menjadi mahasiswa di Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Padang. Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 1992. Tahun 1995 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil ditempatkan di Madrasah Aliyah Negeri Koto Baru Padang Panjang sebagai guru mata pelajaran Biologi. Tahun 2006 melalui beasiswa utusan daerah (BUD) DEPAG, penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xvii
PENDAHULUAN ....................................................................................... Latar Belakang ................................................................................... Kerangka Pemikiran........................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................... Hipotesis Penelitian............................................................................
1 1 2 4 4
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 5 Penambangan Timah dan Lahan Bekas Penambangan ....................... 5 Struktur dan Komposisi Vegetasi ...................................................... 6 Mikoriza............................................................................................ 9 Pengertian Mikoriza ................................................................... 9 Peranan Mikoriza ....................................................................... 9 Mikoriza Arbuskula.................................................................... 10 DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Geografis ............................................................................. Iklim dan Cuaca ................................................................................ Kabupaten Bangka Tengah dan PT Koba Tin .................................... Keadaan Tanah..................................................................................
15 16 16 17
METODOLOGI PENELITIAN................................................................. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. Bahan dan Alat.................................................................................. Metode Penelitian.............................................................................. Analisis Vegetasi dan Pengambilan Contoh Tanah ..................... Penyuburan (Trapping)............................................................... Pewarnaan Akar ......................................................................... Isolasi Spora ............................................................................... Identifikasi Spora ....................................................................... Jenis dan Sumber Data ...................................................................... Analisis Data Vegetasi ...................................................................... Analisis Kolonisasi FMA ..................................................................
18 18 18 19 19 21 21 22 22 22 22 22
HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................... Analisis Vegetasi............................................................................... Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi Relatif (DR)........................... Dominansi Relatif (DR) .................................................................... Indeks Nilai Penting (INP) ................................................................
24 24 25 29 30
Analisis sifat Fisika Tanah................................................................. Analisis Sifat Kimia Tanah................................................................ Analisis Kolonisasi (FMA)............................................................... Keragaman FMA...............................................................................
36 38 42 47
SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 53 Simpulan............................................................................................ 53 Saran.................................................................................................. 54 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 55 LAMPIRAN ................................................................................................ 61
DAFTAR TABEL Halaman 1 Lokasi analisis vegetasi dan pengambilan contoh tanah............................ 18 2 Nilai Kerapatan Relatif (KR) tertinggi berdasarkan usia revegatasi .......... 26 3 Nilai Frekuensi Relatif (FR) tertinggi berdasarkan usia revegetasi............ 28 4 Nilai Dominansi Relatif (DR) tertinggi berdasarkan usia revegetasi ......... 29 5 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada ROB-3 .................................................................................................... 30 6 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada RTL-3 ..................................................................................................... 30 7 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada ROB-16 .................................................................................................. 31 8 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada RTL-16 ................................................................................................... 31 9 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada ROB-28 .................................................................................................. 31 10 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada RTL-28 ................................................................................................... 32 11 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada R............................................................................................................. 32 12 Indeks Keanekaragaman Jenis pada tiap lokasi penelitian........................ 33 13 Jenis jenis tumbuhan bawah pada R ........................................................ 34 14 Jenis jenis tumbuhan bawah pada ROB-3............................................... 34 15 Jenis jenis tumbuhan bawah pada RTL-3 ................................................ 34 16 Jenis jenis tumbuhan bawah pada ROB-16............................................... 35 17 Jenis jenis tumbuhan bawah pada RTL-16................................................ 35 18 Jenis jenis tumbuhan bawah pada ROB-28............................................... 35 19 Jenis jenis tumbuhan bawah pada RTL-28................................................ 36 20 Hasil analisis tekstur tanah hutan sekunder (R) dan Tailing (RTL) ........... 37 21 Hasil analisis tekstur tanah overburden (ROB) ......................................... 37 22 Hasil analisis sifat kimia tanah hutan sekunder (R) dan tailing (RTL)....... 39 23 Hasil analisis sifat kimia tanah overburden (ROB) ................................... 40 24 Struktur kolonisasi FMA pada sembilan jenis tanaman............................. 44 25 Persen kolonisasi FMA pada tujuh jenis tanaman ..................................... 45
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................ 3 2 Peta kabupaten dan kota di Pulau Bangka................................................ 15 3 Desain unit contoh vegetasi...................................................................... 20 4 Komposisi vegetasi di semua lokasi penelitian ......................................... 25 5 Perbandingan fraksi pasi, debu dan liat tanah pada lokasi penelitian......... 38 6 Perbandingan C-organik, N total dan ratio C/N pada lokasi penelitian...... 40 7 Perbandingan nilai pH dan KTK tanah pada lokasi penelitian................... 42 8 Penyuburan FMA pada sapihan dari pohon dominan................................ 43 9 Beberapa struktur kolonisasi FMA ............................................................ 46 10 Glomus sp1 ............................................................................................ 48 11 Gomus sp2 .............................................................................................. 48 12 Glomus sp3 ............................................................................................. 48 13 Glomus sp4 ............................................................................................. 48 14 Glomus sp5 ............................................................................................. 49 15 Glomus sp6 ............................................................................................. 49 16 Glomus sp7 ............................................................................................. 50 17 Glomus sp8 ............................................................................................. 50 18 Glomus sp9 ............................................................................................. 50 19 Glomus sp10 ........................................................................................... 50 20 Gigaspora sp........................................................................................... 51 21 Scutellospora sp1 .................................................................................... 51 22 Scutellospora sp2 .................................................................................... 51
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada R ................................................. 61 2 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada R ....................................... 61 3 Nilai KR, FR, DR dan INP fase tiang pada R ........................................... 62 4 Nilai KR, FR, DR dan INP fase pohon pada R ......................................... 62 5 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada RTL-3 ......................................... 62 6 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada RTL-3 ............................... 62 7 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada ROB-3......................................... 63 8 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada ROB-3............................... 63 9 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada RTL-16 ....................................... 63 10 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada RTL-16 ............................. 64 11 Nilai KR, FR, DR dan INP fae tiang pada RTL-16................................... 64 12 Nilai KR, FR, DR dan INP fase pohon pada RTL-16 ............................... 64 13 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada ROB-16....................................... 64 14 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada ROB-16............................. 65 15 Nilai KR, FR, DR dan INP tiang pada ROB-16........................................ 65 16 Nilai KR, FR, DR dan INP fase pohon pada ROB-16............................... 65 17 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada RTL-28 ....................................... 66 18 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada RTL-28 ............................. 66 19 Nilai KR, FR, DR dan INP fase tiang pada RTL-28 ................................. 66 20 Nilai KR, FR, DR dan INP fase pohon pada RTL-28 ............................... 66 21 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada ROB-28....................................... 67 22 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada ROB-28............................. 67 23 Nilai KR, FR, DR dan INP fase tiang pada ROB-28................................. 68 24 Nilai KR, FR, DR dan INP fase pohon pada ROB-28............................... 68
PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambangan dan pengolahan mineral merupakan bidang-bidang utama dalam kegiatan ekonomi Indonesia. Saat ini industri pertambangan berperan dalam menghasilkan bagian yang cukup besar dalam penerimaan ekspor negara, dan peranan ini terus meningkat. Luas permukaan daratan Indonesia yang telah diizinkan untuk kegiatan pertambangan relatif kecil (1.336 juta ha atau 0.7 % dari area daratan total), bahkan luas areal total penambangan yang masih aktif dan sudah selesai ditambang lebih kecil lagi (36.743 ha atau 0.0019 dari area daratan total). Sekalipun areal total yang terusik secara nasional relatif kecil, kebanyakan kegiatan penambangan menerapkan teknik penambangan di permukaan (surface mining)
yang dengan sendirinya mengakibatkan usikan terhadap lanskap
setempat, areal-areal vegetasi yang ada dan habitat fauna menjadi rusak, dan pemindahan lapisan atas yang menutupi cadangan mineral menghasilkan perubahan yang nyata dalam topografi, hidrologi dan kestabilan lansekap (PKRLT. Fakultas Pertanian UGM 2006). Kegiatan penambangan umumnya menggunakan lahan yang luas, memanfaatkan sumberdaya tak terbarukan dan menghasilkan banyak limbah serta menciptakan lahan terdegradasi yang tidak produktif. Proses penambangan timah di Pulau Bangka dilakukan dengan cara tambang semprot. Kegiatan penambangan ini berdampak buruk terhadap kualitas lingkungan, mempengaruhi sifat fisika dan kimia tanah dan tanah menjadi terdegradasi dalam jangka panjang. Kegiatan penambangan timah juga menyebabkan perubahan komponen iklim mikro seperti suhu, air, kelembaban tanah dan aerasi tanah serta kandungan hara tanah. Selain itu juga menurunkan kesuburan tanah, mengurangi areal hutan, berkurangnya ketersediaan hasil hutan dan hilangnya vegetasi. Lahan bekas penambangan timah dapat berupa hamparan pasir tailing dan overburden. Tailing merupakan lahan yang mengandung fraksi pasir lebih dari 94%, fraksi liat kurang dari 3%, kandungan bahan organik kurang dari 2%, Corganik dan daya permiabilitas air sangat rendah. Overburden mempunyai sifat heterogen yang tidak kompak, merupakan material yang dipindahkan pada waktu pengupasan (stripping) yang terdiri dari campuran tanah, bahan induk tanah, pasir,
2
kerikil dan lain-lain. Kondisi lahan bekas tambang seperti ini akan sangat berpengaruh terhadap struktur dan komposisi vegetasi serta keragaman mikroba tanah termasuk fungi mikoriza yang ada di lingkungan itu. Adanya kegiatan pra penambangan, saat penambangan dan setelah penambangan menyebabkan hilangnya sejumlah besar vegetasi di areal penambangan. Suksesi yang berlangsung secara alami untuk mengembalikan lahan pada kondisi mendekati semula memerlukan waktu puluhan tahun. Elfis (1998) menyatakan dari analisis sifat fisika dan kimia tanah pada berbagai kelompok umur bekas penambangan timah di Pulau Singkep, pemulihan sifat fisika dan kimia tanah membutuhkan waktu 150 tahun agar terbentuk vegetasi kerangas. Revegetasi pada lahan bekas tambang timah dilakukan agar lahan ini dapat dimanfaatkan kembali. Revegetasi merupakan satu cara untuk mempercepat proses rehabilitasi pada lahan bekas tambang yang memiliki sifat fisika dan kimia tanah yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Revegetasi lahan bekas tambang diharapkan dapat memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah, sehingga tanah dapat menjadi media tumbuh yang kondusif bagi tumbuhan. Informasi tentang lahan bekas tambang timah yang sudah direvegetasi selama ini masih jarang didapatkan, karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan mempelajari struktur dan komposisi vegetasi, karakteristik tanah serta kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada lahan bekas tambang timah yang sudah direvegetasi selama 3, 16 dan 28 tahun. Kerangka Pemikiran Kegiatan penambangan timah, di samping menghasilkan bahan tambang yang bernilai ekonomi juga menyisakan lahan bekas tambang berupa pasir tailing dan overburden yang memiliki sifat-sifat yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Lahan bekas tambang merupakan lahan marginal dengan tekstur pasir, memiliki pori berukuran makro sehingga daya ikat terhadap air rendah. Selain itu lahan bekas tambang juga memiliki pH rendah, miskin unsur hara sehingga tidak mendukung bagi pertumbuhan tanaman sehingga lahan ini memiliki vegetasi dan mikroflora tanah yang rendah.
3 Keberhasilan revegetasi lahan bekas tambang dapat dilihat dari struktur dan komposisi vegetasi, sifat fisika, kimia dan biologi tanah serta mikroflora tanah setelah beberapa lama kegiatan ini dilaksanakan. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari struktur dan komposisi vegetasi, sifat tanah dan kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada lahan bekas tambang yang telah direvegetasi selama 3, 16 dan 28 tahun. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan pertimbangan untuk kegiatan revegetasi lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka (Gambar 1).
Kegiatan Penambangan
Produk Tambang
Hasil Tambang
Lahan Bekas Tambang
Bernilai ekonomi
Overburden dan Tailing
Penurunan keragaman vegetasi
Sifat fisika – kimia tanah rendah. Tanah tercemar logam berat
Mempengaruhi keragaman dan kolonisasi fungi mikoriza arbuskula
Analisis ekologi - analisis vegetasi - analisis tanah - analisis CMA
Menghasilkan data awal dan merekomendasikan jenis tumbuhan untuk revegetasi lahan bekas tambang timah Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
4
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mempelajari perbedaan struktur dan komposisi vegetasi pada tiga tingkat umur revegetasi lahan pasca penambangan timah. 2. Mempelajari perbedaan sifat fisika dan kimia tanah pada tiga tingkat umur lahan revegetasi pasca penambangan timah. 3. Mempelajari kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada tiga tingkat umur revegetasi lahan pasca penambangan timah. Lahan bekas tambang timah yang menjadi objek penelitian ini adalah tailing dan overburden yang belum direvegetasi, yang telah direvegetasi selama 3, 16 dan 28 tahun. Lahan bekas tambang timah yang belum direvegetasi dan hutan sekunder digunakan sebagai kontrol.
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : 1. Terdapat perbedaan struktur dan komposisi vegetasi pada beberapa tingkat umur revegetasi lahan bekas tambang timah. 2. Terdapat perbedaan tekstur, sifat fisika dan kimia tanah pada beberapa tingkat umur revegetasi lahan bekas tambang timah. 3. Terdapat perbedaan kolonisasi fungi mikoriza arbuskula pada beberapa tingkat umur revegetasi lahan bekas tambang timah.
TINJAUAN PUSTAKA Penambangan Timah dan Lahan Bekas Penambangan Kegiatan pertambangan pada berbagai bahan mineral mengakibatkan tanah menjadi rusak dan kehilangan kesuburannya, karena tanah harus disingkirkan terlebih dahulu untuk mendapatkan bahan yang ditambang. Lapisan atas dan lapisan bawah tanah (top soil dan sub soil) dibalik dan digusur sehingga bahan induk akan muncul di permukaan (Bradshaw dan Chadwick 1989, diacu dalam Kusumastuti 2005). Penambangan
mengakibatkan
keseimbangan
unsur
hara
terganggu
sedangkan kelarutan unsur yang bersifat racun meningkat. Tanah pada daerah pasca penambangan umumnya mengalami kerusakan yang hebat karena bahan tambang biasanya berada di bagian bawah tanah, sehingga untuk mendapatkan bahan yang dimaksud tanah harus disingkirkan terlebih dahulu (stripping) dan ditimbun / ditumpuk pada lokasi lain yang dipakai sebagai areal penimbunan sisa penggalian tambang (overburden dan tailing). Lapisan overburden (batuan limbah) adalah tanah atau batuan yang menutupi lapisan deposit mineral di bagian bawahnya. Tailing pada penambangan timah adalah sisa galian tambang yang berupa tumpukan pasir dan kerikil yang dibuang setelah mengalami pencucian (PT. Timah 1991). Saptaningrum (2001) dalam penelitiannya di pulau Bangka (Kota Pangkal Pinang dan Sungai Liat) mendapatkan sifat fisik dan kimia tanah yang rendah dalam menunjang pertumbuhan tanaman yang digunakan PT. Tambang Timah dalam upaya reklamasi. Tailing setelah penambangan mempunyai kadar pasir yang sangat tinggi, pH menjadi masam (3.8 – 4.3), peningkata kadar Al-dd, penurunan nilai KTK dan kadar C-organik tanah, kandungan P tersedia menurun drastis, basa-basa dalam tanah yang awalnya tergolong rendah juga mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tanah asli sebelumnya. Aktivitas pertambangan oleh manusia dapat berpengaruh destruktif terhadap lahan, tumbuhan dan hewan. Dalam pencarian mineral dan lain sebagainya, tidak hanya vegetasi, hewan dan tanah lapisan atas yang disingkirkan, tetapi juga sering bentuk lahan (landform) diubah. Ekosistem alami terganggu dan yang akan
6
tertinggal hanyalah lubang-lubang kosong, timbunan limbah atau keduanya (Bradshaw 1983, diacu dalam Ervayendri 2005). Sifat tailing yang merugikan bagi pertumbuhan tumbuhan adalah konsentrasi logam berat dan garam yang tinggi, kurangnya unsur hara penting dan mikroorganisme, sifat dan struktur tanah yang membatasi aerasi dan infiltrasi serta tingginya daya pemantulan sinar atau absorpsi panas (PT. Timah 1991). Lahan pasca penambangan umumnya mempunyai sifat fisika dan kimia yang tidak menguntungkan, bertesktur pasir, berkerikil atau berbatu, kemampuan menahan air kurang
dari 20%, kandungan unsur hara rendah, pH rendah,
kapasitas tukar kation rendah, kandungan logam berat seperti aluminium, besi dan mangan tinggi. Hasil penelitian Kusumastuti (2005) di Pulau Bangka menunjukkan bahwa kandungan logam berat pada tailing timah cukup tinggi yaitu: 3040 ppm Fe, 15.8 ppm Mn, 1.9 ppm Cu, 6.29 ppm Pb, 0.02 ppm Cd, 0.37 ppm Co, dan 1.43 ppm Cr pada tailing yang berumur satu tahun. Penelitian Amriwansyah (1990) pada tiga lokasi tambang di Pulau Bangka melaporkan bahwa aktivitas penambangan berpengaruh nyata meningkatkan persentase pasir dan menurunkan persentase debu, liat, bahan organik tanah, air tersedia, pH tanah, aluminium dapat ditukar, nitrogen total, fosfor tersedia, kalium tersedia serta kapasitas tukar kation.
Struktur dan Komposisi Vegetasi Dalam penyimpanan unsur hara, vegetasi di daeah tropis lebih penting daripada tanahnya yang hanya menyimpan 5-20% unsur hara yang ada, sedang di daerah beriklim sedang tanah merupakan tempat persediaan hara. Hal ini disebabakan karena tanah tropis sangat peka dan cepat berubah akibat adanya hujan, matahari dan angin yang dapat mengikis humus sebagai pembentuk tanah tersebut, sehingga kondisi fisiknya turun. Kebanyakan tanah di daerah tropis dapat berfungsi sebagai penyimpan unsur hara jika tanah tertutup terus menerus oleh tumbuhan (Neugabeur 1987). Struktur suatu vegetasi terdiri dari individuindividu yang membentuk tegakan di dalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuh-tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya.
7
Menurut Kershaw (1973), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu: 1.
Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun vegetasi.
2.
Sebaran horisontal spesies-spesies penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain.
3.
Kelimpahan (abundance) setiap spesies dalam suatu komunitas. Komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa
faktor, seperti: flora setempat, habitat (iklim, tanah dan lain lain), waktu dan kesempatan (Marsono 1999). Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan/komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan, termasuk juga sejarah vegetasi dan prediksi perkembangan vegetasi. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan (Growth form), stratifikasi dan penutupan tajuk (coverage) (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974). Analisis vegetasi
memerlukan
data-data
spesies,
diameter
dan
tinggi
untuk
menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. Berdasarkan tujuan, pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas spesies dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda; (2) menduga tentang keragaman spesies dalam suatu areal; dan (3) melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith 1983). Berbagai kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan menentukan komposisi spesies berbagai komunitas tumbuhan disebut faktorfaktor habitat. Kata habitat semula digunakan untuk menunjukkan macam tempat yang ditumbuhi oleh tumbuhan tertentu, tetapi sebagai istilah ekologi arti habitat telah berubah menjadi jumlah semua faktor yang menentukan
8 kehadiran suatu tumbuhan atau komunitas tumbuhan. Faktor-faktor ini mencakup kondisi fisik dan kimia berpengaruh terhadap
serta berbagai organisme
yang
komunitas tumbuhan (Loveless 1999). Menurut
Setiadi dan Muhadiono (2001) perubahan dan variasi kondisi lingkungan tertentu akan memberikan dampak bagi struktur dan komposisi spesies tumbuhan terutama dari segi kelimpahan, pola penyebaran, asosiasi dengan spesies lain serta kondisi pertumbuhan yang berbeda dengan spesies lainnya. Interaksi dari faktor-faktor lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator penduga sifat lingkungan yang bersangkutan. Perubahan
habitat
yang
terjadi
akibat
kegiatan
penambangan
menyebabkan revegetasi lahan bekas tambang relatif sulit, karena tanah di lahan pasca tambang menjadi marginal oleh pengupasan tanah lapisan atas saat penyiapan lahan operasi tambang. Kesulitan lain yang juga sering dihadapi di lahan bekas tambang adalah pencemaran oleh limbah yang dihasilkan atau akibat aktivitas tambang itu sendiri. Menurut Kustiawan (2001) di Kalimantan Timur tidak ada satupun spesies vegetasi yang tumbuh pada lahan satu tahun pasca tambang batubara. Adapun pada lahan tiga tahun pasca tambang batubara, kondisi tanah masih sangat keras, sangat sulit ditembus air, pH tanah sangat tinggi yaitu 8.51 dan hanya ditumbuhi oleh satu spesies tumbuhan saja, yaitu seri (Muntingia calambura) dari genus Tiliaceae. Kelimpahan
spesies
ditentukan
berdasarkan
besarnya
frekuensi,
kerapatan dan dominasi setiap spesies. Penguasaan suatu spesies terhadap spesies-spesies lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara 1998). Frekuensi suatu spesies menunjukkan penyebaran suatu spesies dalam suatu areal. Spesies yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya spesies-spesies yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas. Kerapatan dari suatu spesies merupakan nilai yang menunjukkan jumlah atau banyaknya suatu spesies per satuan luas. Makin besar kerapatan suatu spesies, makin banyak
9 individu spesies tersebut per satuan luas. Dominasi suatu spesies merupakan nilai yang menunjukkan peguasaan suatu spesies terhadap komunitas. Suatu daerah yang didominasi hanya oleh spesies-spesies tertentu saja, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah. Keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi, karena di dalam komunitas itu terjadi interaksi antara spesies yang tinggi. Lebih lanjut dikatakan, keanekaragaman merupakan ciri dari suatu komunitas terutama dikaitkan dengan jumlah spesies dan jumlah individu tiap spesies pada komunitas tersebut.
Keanekaragaman
spesies
menyatakan
suatu
ukuran
yang
menggambarkan variasi spesies tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah spesies dan kelimpahan relatif dari setiap spesies.
Pengertian Mikoriza Mikoriza adalah bentuk simbiosis yang menguntungkan antara akar tumbuhan dan fungi tanah. Fungi mikoriza (mikobion) untuk tumbuh dan berkembang memerlukan karbohidrat dari tumbuhan dan tumbuhan (fitobion) memerlukan unsur hara dan air dalam tanah melalui hifa fungi selama siklus hidupnya. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas, baik dalam hal tanaman inang, spesies fungi maupun penyebarannya. Mikoriza tersebar dari artiktundra sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan hujan yang melibatkan sekitar 80 - 90% spesies tumbuhan yang ada. Fungi pada umumnya memiliki ketahanan cukup baik pada rentang faktor lingkungan fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya berkembang pada tanah berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti pada padi sawah. Bahkan pada lingkungan yang tecemar limbah berbahaya fungi mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya.
Peranan Mikoriza Bagi tanaman inang, adanya asosiasi dengan fungi mikoriza dapat memberikan manfaat yang sangat besar, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara tidak langsung mikoriza berperan dalam perbaikan struktur tanah, meningkatkan kelarutan hara dan proses pelapukan bahan induk. Sedangkan secara langsung fungi mikoriza dapat meningkatkan serapan air, hara dan melindungi tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat (Killham 1994). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun
yang
diberikan
mikoriza
diduga
dapat
melalui
efek
filtrasi,
menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hifa fungi. Sieverding (1991) mengemukakan bahwa mikoriza berperan dalam hal : 1) penyerapan nutrisi (hara dan mineral terutama unsur P) bagi tumbuhan; 2) peningkatkan pertumbuhan tanaman pada kondisi tanah yang tidak cocok, tertekan (stress) oleh iklim seperti suhu tinggi dan kekeringan; 3) pemeliharaan interaksi antara berbagai spesies mikroorganisme tanah dan dapat mengendalikan mikroorganisme patogen; 4) perbaikan agregasi tanah dan 5) produksi hormon dan zat pengatur tumbuh tanaman. Selain itu mikoriza juga dapat membentuk sistem jembatan hifa yang berfungsi mengalirkan nutrisi dari tumbuhan inang ke anakan inang, sehingga dengan demikian mikoriza berperan dalam mendukung kelangsungan hidup tumbuhan. Finlay (2004) menyatakan dalam ekosistem mikoriza memiliki beberapa peran peting seperti peningkatan serapan unsur hara bagi tanaman, peningkatan toleransi tanaman terhadap faktor lingkungan yang ekstrim, mobilisasi N dan P dari senyawa-senyawa organik polimer, siklus karbon, berintegrasi dengan mikroorganisme lain serta mempengaruhi komunitas tumbuhan.
Mikoriza Arbuskula Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar (tipe) yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Pola asosiasi antara fungi mikoriza dengan akar tanaman inang menyebabkan terjadinya perbedaan morfologi akar antara ektomikoriza dan endomikoriza. Pada ektomikoriza jaringan hifa fungi tidak sampai masuk ke dalam sel tapi berkembang diantara sel kortek akar membentuk hartig net dan mantel di permukaan akar. Simbiosis ini biasanya terjadi pada akar
10
spesies-spesies pohon yang dapat dibedakan sistem perakarannya, yaitu tumbuhan yang memiliki akar panjang dan akar pendek. Akar yang dikolonisasi oleh fungi ektomikoriza sebagian mengalami perubahan dalam morfologi dan anatominya. Pada umumnya kolonisasi fungi pada ektomikoriza menyebabkan akar menjadi gemuk dan pendek. Ektomikoriza biasanya ditemukan pada akar melinjo (Gnetum gnemon) Pinus sp., Dipterocarpaceae dan Eucalyptus sp. Fungi ektomikoriza terdiri atas basidiomiset, askomiset dan satu anggota zigomiset yaitu Endogone (Brundrett et al. 1994). Pada endomikoriza kolonisasi fungi terjadi secara interseluler dan intraseluler. Pada mikoriza vesikula arbuskula, setelah penetrasi hifa ke dalam jaringan korteks akar akan membentuk struktur arbuskula yang merupakan percabangan dikotom yang intensif dari hifa intraseluler yang berperan dalam transfer nutrisi antara fungi dan tumbuhan inang. Kadang-kadang juga membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang disebut vesikula. Vesikula merupakan organ fungi yang berfungsi sebagai penyimpan makanan cadangan. Endomikoriza dibedakan menjadi enam kelompok, yaitu: ektendomikoriza, mikoriza arbuskula (MA), mikoriza arbutoid, mikoriza monotropoid, mikoriza ericoid, mikoriza anggrek (orchid) (Smith & Read 1997). Dari ke tujuh tipe mikoriza, MA merupakan mikoriza yang paling umum dijumpai. Sembilan puluh lima persen tumbuhan di dunia membentuk simbiosis mikoriza. Sebagian besar tumbuhan bermikoriza ialah mikoriza arbuskula. Mikoriza arbuskula terbentuk hampir pada semua spesies tumbuhan seperti: Bryophyta, Pteridophyta, Gymnospermae dan Angiospermae. Hanya beberapa tumbuhan yang tidak berasosiasi dengan fungi mikoriza arbuskula, terutama tumbuhan yang membentuk ektomikoriza (misalnya Pinaceae, Betulaceae) atau yang membentuk tipe endomikoriza lainnya (Harley & Smith 1983). Kolonisasi fungi mikoriza arbuskula ditandai oleh adanya struktur arbuskula, vesikula, hifa koil, hifa interseluler dan intraseluler yang tidak memiliki septat ( Harley & Smith 1983). Gallaud (1995) dalam Smith dan Read (1997) membagi struktur internal fungi mikoriza arbuskula menjadi dua kelompok yaitu tipe arum dan tipe paris. Perbedaan tipe arum dan tipe paris ditentukan oleh dominansi hifa interseluler dan arbuskula yang terbentuk. Pada tipe arum, arbuskula terbentuk secara terminal di dalam sel-sel korteks dari hifa yang tumbuh
11
secara longitudinal di antara sel-sel korteks, pada tipe paris arbuskula terbentuk secara interkalar pada hifa koil di dalam sel-sel kortek akar (Brundrett et al. 1995). Menurut Menoyo et al. (2007) tipe arum ditandai oleh hifa intersel, vesikula intersel atau intrasel dan arbuskula terminal pada cabang hifa intrasel. Tipe paris ditandai oleh hifa intrasel, vesikula intrasel, hifa koil intrasel dan arbuskul intrasel yang terbentuk dari hifa koil intrasel. Dickson (2004) menyatakan kolonisasi tipe arum terdiri dari hifa interseluler dan arbuskula, tipe paris terdiri dari hifa intraseluler, hifa koil dan arbuskula yang terbentuk dari koil. Menurut Cavagnaro et al.( 2001) pada tipe arum fungi membentuk hifa interseluler diantara sel-sel korteks dan arbuskula intraseluler di dalamnya, sedangkan pada tipe paris fungi membentuk hifa koil dan arbuskula koil dalam jaringan korteks, dan tidak terbentuk hifa interseluler pada fase kolonisasi. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) yang berasosiasi dengan akar tumbuhan termasuk dalam filum Glomeromycota yang terdiri dari ordo Glomerales, Diversisporales, Archaeosporales, dan Paraglomales (Redecker & Raab 2006). Berdasarkan analisis ribosomal RNA, FMA berkerabat dekat dengan Ascomycota dan Basidiomycota namun tidak monofiletik dengan Zygomycota karena tidak membentuk zigospora. Oleh sebab itu Schüβler et al. (2001) merevisi ordo Glomales menjadi filum Glomeromycota dan secara tata bahasa berdasarkan ketentuan Internasional Code of Botanical Nomenclature, nama ordo Glomales berubah menjadi Glomerales (Schüβler et al. 2001; Redecker & Raab 2006). FMA tergolong ke dalam filum Glomeromycota, kelas Glomeromycetes yang terdiri atas 4 ordo yaitu Glomerales, Paraglomales, Archaeosporales dan Diversisporales (Schüβler et al. 2001). Genus dari filum Glomeromycota diantaranya
ialah
Glomus,
Gigaspora,
Scutellospora,
Acaulospora,
Entrophospora, Pacispora, Diversispora, Archaeospora, dan Paraglomus (Redecker & Raab 2006). Fungi pembentuk mikoriza arbuskula merupakan fungi simbion obligat, dengan demikian fungi ini memerlukan bahan organik dari inang yang masih hidup. Adanya simbiosis mutualisma antara FMA dengan perakaran tanaman dapat membantu pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik, terutama pada tanah marginal. Hal ini disebabkan FMA efektif dalam peningkatan penyerapan unsur
12
hara, memperbaiki stabilitas atau struktur tanah, meningkatkan toleransi tanaman terhadap kekeringan dan faktor pengganggu lain seperti salinitas tinggi, logam berat dan ketidakseimbangan hara di dalam tanah. Pada akar tumbuhan yang hidup di lahan yang tercemar minyak bumi terdapat koloni fungi mikoriza arbuskula (Cabello 2001; Nicolotti & Egli 1998). FMA pada tempat berminyak mampu mendukung keberadaan spesies tumbuhan tingkat tinggi dan dapat memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologi tanahnya (Colgan et al. 2004). Khan (1993) menyatakan bahwa mikoriza arbuskula atau mikoriza vesikula arbuskula dapat terjadi secara alami pada tanaman pionir di lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Beberapa peran penting FMA adalah sebagai berikut: 1. Perbaikan nutrisi tanaman dan peningkatan pertumbuhan. Fungi ini memiliki kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% spesies tanaman dan telah terbukti mampu memperbaiki nutrisi dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman mampu meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara dan air. Posfat merupakan unsur hara utama yang dapat diserap oleh tanaman bermikoriza,
serta unsur-unsur
mikro sepeti Cu, Zn dan Bo (Sieverding 1991). Posfat adalah salah satu unsur hara esensial yang diperlukan dalam jumlah relatif banyak oleh tanaman, tetapi ketersediaannya terutama pada tanah-tanah masam menjadi terbatas, sehingga sering kali menjadi salah satu pembatas utama dalam peningkatan produktivitas tanaman. Kemampuan FMA dalam memperbaiki status nutrisi tanaman dapat dijadikan sebagai alat biologis untuk efisiensi penggunaan pupuk buatan, terutama posfat. 2. Sebagai pelindung hayati (bio-protection). Selain perbaikan nutrisi (terutama posfat), FMA juga mampu meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen tular tanah. FMA juga dapat membantu pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat, seperti pada lahan-lahan pasca tambang. Dengan demikian selain berfungsi sebagai bio-protection, FMA juga berfungsi penting sebagai bioremediator bagi
13
14
tanah yang tercemar logam berat. Selain itu fungi ini juga mampu meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan (Hetrick 1984). 3. Terlibat dalam siklus biogeokimia FMA di alam dapat mempercepat terjadinya suksesi secara alami pada habitat yang mendapat gangguan ekstrim (Allen & Allen 1992). Keberadaan FMA juga mutlak diperlukan karena berperan penting dalam mengefektifkan daur ulang unsur hara (nutrient cycle) sehingga dianggap sebagai alat yang paling efektif untuk mempertahankan stabilitas ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati. 4. Sinergis dengan mikroorganisme lain. FMA pada tanaman leguminosa diperlukan karena pembentukan bintil akar dan efektivitas penambatan nitrogen oleh bakteri Rhizobium/Bradyrhyzobium yang terdapat di dalamnya dapat ditingkatkan. FMA juga dapat bersinergis dengan mikroba potensial lainnya seperti bakteri penghambat N bebas dan bakteri pelarut posfat, serta sinergis dengan mikroba selulotik seperti Trichoderma sp. (Bethlenfavay 1992). Berdasarkan kemampuan tersebut, maka FMA dapat berfungsi meningkatkan biodiversitas mikroba potensial di sekitar perakaran tanaman atau rizosfir. 5. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan. FMA berperan penting dalam mempertahankan keanekaragaman tumbuhan dengan cara transfer nutrisi dari satu akar ke akar tanaman lain yang berdekatan melalui struktur yang disebut hyphal bridge (Allen & Allen 1992). Transfer nutrisis ini berlangsung dari induk ke anakan. Dengan demikian aplikasi FMA tidak hanya terbatas pada pola tanaman monokultur, tetapi dapat diintegrasikan dalam unit manajemen pola tanaman campuran (Setiadi 2003).
DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN PULAU BANGKA
Lokasi penelitian
Gambar 2 Peta kabupaten dan kota di Pulau Bangka (PT. Koba Tin 2004).
Kondisi Geografis Pulau Bangka terletak di sebelah pesisir Timur Sumatera Selatan, berbatasan dengan Laut Cina Selatan di sebelah utara, Pulau Belitung di sebelah timur dan Laut Jawa di sebelah selatan, yaitu 1° 20’- 3° 7’ Lintang Selatan dan 105° - 107° Bujur Timur, memanjang dari Barat Laut ke Tenggara sepanjang lebih kurang 180 km. Pulau ini terdiri dari rawa-rawa, daratan rendah, bukit-bukit dan pada puncak bukit terdapat hutan lebat, sedangkan pada daerah rawa terdapat hutan bakau. Rawa daratan pulau Bangka tidak berbeda jauh dengan rawa di pulau Sumatera, sedangakan keistimewaan pantainya dibandingkan dengan daerah lain adalah pantainya yang landai dengan hamparan batu granit. Wilayah Kabupaten Bangka Tengah memiliki luas lebih 215.677 ha. Secara administratif wilayah Kabupaten Bangka Tengah berbatasan langsung dengan daratan wilayah kabupaten/kota lainnya di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu dengan wilayah Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, dan Bangka Selatan.
16
Iklim dan Cuaca Menurut data Meteorologi Pangkalpinang pada tahun 1998, iklim di Pulau Bangka adalah iklim tropis tipe A dengan curah hujan 107.6 hingga 343.7 mm per bulan. Kemudian menurut Schmidt-Ferguson, pada tahun 1999 variasi curah hujan menjadi antara 70.10 hingga 384.50 mm per bulan. Dengan musim hujan rata-rata terjadi pada bulan Oktober sampai April. Musim penghujan dan kemarau di pulau Bangka juga dipengaruhi oleh dua musim angin, yaitu Muson Barat dan Muson Tenggara. Angin Muson Barat yang basah pada bulan November, Desember dan Januari banyak mempengaruhi bagian utara Pulau Bangka. Sedangkan angin Muson Tenggara yang datang dari laut jawa mempengaruhi cuaca di bagian selatan Pulau Bangka. Kabupaten Bangka Tengah beriklim Tropis Type A dengan variasi curah hujan antara 72.2 hingga 410.2 mm tiap bulan untuk tahun 2005, dengan curah hujan terendah pada bulan Februari. Suhu rata-rata daerah Kabupaten Bangka Tengah berdasarkan data dari Stasiun Meteorologi Pangkalpinang menunjukkan variasi antara 25.70 hingga 27.70 oC. Sedangkan kelembaban udara bervariasi antara 78 hingga 87% pada tahun 2005. Sementara intensitas penyinaran matahari pada tahun 2005 rata-rata bervariasi antara 19.0 hingga 57.3% dan tekanan udara antara 1008.9 hingga 1011.4 mb (Pemkab Bangka Tengah 2005). Kabupaten Bangka Tengah dan PT Koba TIN Kabupaten Bangka Tengah dibentuk berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003, merupakan Pemerintah Daerah Tingkat II dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dengan wilayah seluas 2 155.77 km2 memiliki potensi sumber daya mineral timah placer yang dapat diandalkan untuk penunjang utama pengembangan perekonomian otomi daerah. Terinventarisasi bahwa usaha penambangan di wilayah kabupaten ini dilakukan secara resmi terutama oleh PT. Koba Tin dan PT Timah Tbk. PT. Koba Tin berdiri tahun 1971 sebagai Perusahaan Modal Asing (PMA) dengan status Kontrak Karya I yang ditandatangani pada tahun 1973 dengan perioda tigapuluh tahun (1973-2003). Pada tahun 2002, PT Koba Tin sebagian besar (75%) dimiliki oleh Perusahaan Malaysia Smelting Corporation Bhd dan sisanya (25%) oleh PT Timah Tbk.
17
Perjanjian kontrak karya diperpanjang selama sepuluh tahun dari 2003 hingga 2013, dengan wilayah pertambangan seluas 41 680 hektar termasuk ke dalam Kabupaten Bangka Tengah dan Selatan. Keadaan Tanah Berdasarkan Peta Satuan Lahan dan Tanah Puslit Tanah dan Agroklimat Bogor (1990), Kabupaten Bangka Tengah memiliki bentuk wilayah (land form) berupa dataran dengan bahan induk tanah batuan sedimen kasar masam, relief datar sampai berombak (lereng < 8%) agak tertoreh. Spesies tanah di wilayah kabupaten ini terdiri dari Hapludox (50 – 75%), Kandiudult (25 – 50%), Dystropepts (< 10%) dan Tropohumods. Tanah di daerah Kabupaten Bangka Tengah mempunyai pH rata-rata di bawah 5, didalamnya mengandung mineral biji timah dan bahan galian lainnya seperti: Pasir Kwarsa, Kaolin, Batu Gunung dan lain-lain. Bentuk dan keadaan wilayah kabupaten Bangka Tengah adalah sebagai berikut: 1). Empat persen berbukit seperti Bukit Mangkol dengan spesies tanah perbukitan tersebut adalah Komplek Podsolik Coklat Kekuning-kuningan dan Litosol berasal dari Batu Plutonik Masam. 2). Lima puluh satu persen berombak dan bergelombang dengan spesies tanah Asosiasi Podsolik Coklat Kekuning-kuningan dengan bahan induk Komplek Batu pasir Kwarsit dan Batuan Plutonik Masam. 3). Dua puluh persen lembah/datar sampai berombak dengan spesies tanah asosiasi Podsolik berasal dari Komplek Batu Pasir dan Kwarsit. 4). Dua puluh lima rawa dan bencah/datar dengan spesies tanah
Asosiasi Alluvial Hedromotif dan Glei Humus serta
Regosol Kelabu Muda berasal dari endapan pasir dan tanah liat ( Pemkab Bangka Tengah 2005).
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di lahan
bekas tambang timah
yang sudah
direvegetasi oleh PT Koba Tin, Kabupaten Bangka Tengah, Propinsi Bangka Belitung (Tabel 1), laboratorium Ekologi dan Mikologi Departemen Biologi – IPB. Analisis sifat fisika dan kimia tanah di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor dan identifikasi tumbuhan di Herbarium Bogoriense – LIPI, Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 12 bulan (Agustus 2007 – Juni 2008).
Tabel 1 Lokasi analisis vegetasi dan pengambilan contoh tanah No.
Lokasi
1
Jongkong 5E Hutan sekunder
2 3 4 5 6 7 8 9
Jongkong 5E Overburden Jongkong 5 E Tailling Jongkong 24 overburden Jongkong 24 Tailling Jongkong 1 Overburden Jongkong 1 Tailling Nibung 2 Over burden Nibung 2 Tailling
Kode Lokasi
Usia Revegetasi
R
Ketinggian (m dpl)
Koordinat Geografis S 02° 32' 45.2"
7
ROB-0
0 tahun
7
RTL-0
0 tahun
7
ROB-3
3 tahun
5
RTL-3
3 tahun
4
ROB-16
16 tahun
9
RTL-16
16 tahun
7
ROB-28
28 tahun
5
RTL-28
28 tahun
5
E 106° 25' 32.9" S 02° 32' 44.5" E 106° 25' 38" S 02°32' 43.7" E 106°25' 40.0" S 02° 33' 05.4" E 106° 25' 43.3" S 02° 33' 07.2" E 106° 25' 38.8" S 02° 33' 39.8" E 106° 24' 07.7" S 02° 33' 37.6" E 106° 24' 15.5" S 02° 32' 21.8" E 106° 22' 46.4" S 02° 32' 21.9" E 106° 22' 57.6"
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah dan akar yang diambil dari hutan sekunder dan lahan bekas tambang timah di pulau Bangka, zeolit, PVLG, sukrosa 50% (b/v), alkohol 70% (v/v), anakan tumbuhan dari lapang, KOH 2.5% (b/v), 10% (b/v) dan 20% (b/v), H2O2 alkalin, gliserin 50% (v/v) dan pewarna biru tripan.
19
Alat yang digunakan adalah kompas, GPS, Clinometer, pita meteran, tali rafia, bor tanah, kantong plastik, saringan tanah bertingkat berukuran 500, 250, 90 dan 63 µm, sentrifus, mikroskop stereo dan mikoroskop binokuler, cawan petri, gelas objek, gelas penutup, pinset, pinset spora, tabung film dan tabung reaksi.
Metode Penelitian Secara garis besar penelitian dibagi menjadi dua bagian. Kegiatan di lapang meliputi analisis vegetasi, pengambilan contoh tanah dari rizosfir dan tumbuhan yang akan digunakan untuk biakan FMA dan analisa sifat fisika dan kimia tanah. Kegiatan di rumah kaca dan laboratorium meliputi analisis tanah, isolasi dan identifikasi FMA dengan menggunakan perbanyakan biakan pot dengan menggunakan anakan tanaman dari lapang sebagai inang.
Analisis Vegetasi dan Pengambilan Contoh Tanah Luas minimum area sebesar 0.2 ha ditentukan dengan kurva spesies area (Setiadi & Muhadiono 2001). Analisis kuantitatif terhadap stuktur dan komposisi vegetasi dilakukan pada dua puluh petak (plot) dengan teknik pengambilan contoh kuadrat (Cox 2002). Plot yang dibangun berbentuk bujur sangkar yang berlainan ukurannya untuk setiap fase pertumbuhan vegetasi dengan menggunakan metode plot bersarang (nested plot method). Plot berukuran 1 m x 1 m, 5 m x 5 m, 10 m x 10 m dan 20 m x 20 m berturut-turut digunakan untuk menghitung vegetasi fase semai (seedling), sapihan (sapling), tiang (poles) dan pohon (trees) (Kusmana 1997). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan semai adalah permudaan tingkat kecambah sampai setinggi < 1.5 m, sapihan adalah permudaan dengan tinggi > 1.5 m sampai pohon muda berdiameter <10 cm, tiang adalah pohon muda berdiameter 10 – 20 cm, dan pohon adalah pohon yang berdiameter > 20 cm. Tingkat keragaman vegetasi akan diuji dengan menggunakan indeks Shanon (Shanon CE 1948, diacu dalam Brower et al. 1990). Parameter yang diamati meliputi jenis, jumlah individu yang ada dan diameter batang untuk tingkat tiang dan pohon. Selain itu juga dilakukan pendataan terhadap herba sebagai tumbuhan bawah. Jenis-jenis vegetasi yang belum diketahui, bagian tumbuhan diambil untuk kemudian diidentifikasi.
20
Pengamatan di lapang juga meliputi kajian faktor edafik. Untuk faktor edafik dilakukan pengambilan contoh top soil untuk memperoleh data sifat fisika dan kimia tanah. Sifat fisika meliputi kadar pasir, kadar debu, kadar liat (tekstur tanah). Sedangkan sifat kimia mencakup pH tanah, KTK, kadar N total, kadar Corganik, CN ratio, P2O5, Ka, Ca, Mg, Na dan Al pada beberapa tingkat umur revegetasi lahan bekas tambang. Pengambilan contoh tanah dan tumbuhan mengikuti metoda kuadrat untuk analisis vegetasi. Tumbuhan yang digunakan untuk analisis kolonisasi FMA adalah tiga tumbuhan yang memiliki INP tertinggi pada fase
pohon, kecuali pada ROB-3 dan RTL-3. Pada ke dua lokasi ini
tumbuhan yang dianalisis FMA adalah tumbuhan pada fase sapihan. Nilai INP didapatkan dari hasil hasil analisis vegetasi yang dilakukan.
1
2
10 m
3 20m
20m Gambar 3 Desain unit contoh vegetasi.
d
c b a
Ket: a. Plot 1 m x 1m untuk semai dan tumbuhan bawah b. Plot 5 m x 5 m untuk sapihan. c. Plot 10 m x 10 m untuk tiang d. Plot 20 m x 20 m untuk pohon
arah transek
21
Contoh tanah yang dianalisis adalah satu contoh komposit untuk masingmasing petak contoh. Contoh komposit tersebut diambil pada lima titik dari setiap plot. Contoh tanah diambil rata dari permukaan atas sampai kedalaman 20 cm sebanyak 1 kg per tumbuhan per plot dicampur dengan contoh dari plot lain, dari hasil mencampur tersebut diambil 1 kg komposit untuk dianalisis.
Penyuburan (Trapping) Anakan yang diperoleh dari lapangan dengan cara diputar ditanam dalam pot berukuran 2 kg yang berisi zeolit steril. Selanjutnya tanaman dipelihara sekitar empat sampai enam bulan di dalam rumah plastik. Setelah berumur empat sampai enam bulan, dilakukan penyaringan spora dengan metode tuang saring basah bertingkat. Spora selanjutnya dihitung dan diidentifikasi menggunakan buku panduan identifikasi Shenck dan Peres (1990).
Pewarnaan Akar Akar yang dibawa dari lapang dan hasil biakan pot dibersihkan dan direndam dalam larutan alkohol
50%. Selanjutnya dibuat 20 potongan akar
dengan ukuran panjang 1 cm. Potongan-potongan akar diwarnai mengikuti metode pewarnaan biru tripan (Kormanik & McGraw 1982) yang dimodifikasi untuk mengetahui struktur koloni fungi mikoriza.
Pertama-tama potongan-
potongan akar direndam dalam KOH 2.5% dan dipanaskan sampai 90 °C selama 30 – 60 menit. Kemudian buang larutan KOH dan jika akar masih berwarna gelap tambahkan larutan alkalin H2O2. Setelah akar kelihatan jernih bilas dengan air lalu direndam dalam HCl 1% dan dipanaskan selama 15 menit pada suhu 70 °C Setelah itu HCl dibuang dan akar diwarnai pewarna biru tripan. Selanjutnya akar direndam dalam asam gliserol 50% untuk mengurangi kelebihan zat warna. Setiap potongan akar diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100-400 kali untuk melihat ada tidaknya struktur kolonisasi fungi mikoriza arbuskula. Adanya kolonisasi FMA ditandai minimal oleh satu struktur berikut: hifa internal, arbuskula, vesikula atau hifa koil.
22
Isolasi Spora Isolasi spora dilakukan dengan metode tuang saring basah dan dilanjutkan dengan metode sentrifugasi (Brundrett et al. 1994). Media dari biakan pot dicampur sampai homogen, kemudian 100 gr media disuspensikan dalam 1 liter air steril. Setelah itu disaring dengan saringan bertingkat. Saringan yang digunakan berdiameter 500, 250, 90 dan 63 µm. Media yang tertinggal pada saringan yang berukuran 250, 90 dan 63 µm dimasukkan ke dalam cawan petri, selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 2000 rpm. Supernatan dibuang dan pelet diresuspensikan ke dalam larutan sukrosa 50% (b/v) dan disentrifus selama 2 menit pada kecepatan 2000 rpm. Supernatan dituang ke dalam saringan 63 µm, dibilas dengan air mengalir dan spora hasil penyaringan dimasukkan dalam cawan petri lalu diamati di bawah mikroskop disekting untuk diidentifikasi. Spora yang lengkap struktur morfologinya diisolasi. Beberapa spora yang sudah diisolasi selanjutnya dibuat preparat untuk diidentifikasi. Isolasi spora juga dilakukan pada rizosfir yang dibawa dari lapang.
Identifikasi Spora Spora FMA dari hasil saringan diamati menggunakan mikroskop disekting. Spora yang baik dipilih dan diletakkan pada kaca objek dengan media polivinil asam laktat gliserol (PVLG). Identifikasi dilakukan berdasarkan kepada bentuk spora, warna spora, ukuran spora dan permukaan spora (Schenck & Perez 1988).
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari penelitian langsung di lapangan dan di laboratorium, sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber lain (PT Koba Tin, Pemda setempat, hasil penelitian lain, dan dari media massa).
23
Analisis Data Vegetasi Data vegetasi yang telah terkumpul kemudian dianalisis untuk mengetahui kerapatan jenis, kerapatan relatif, dominansi jenis, dominansi relatif, frekuensi jenis dan frekuensi relatif serta Indeks Nilai Penting menggunakan rumus sebagai berikut (Cox 2002) : Kerapatan jenis (K)
=
Jumlah individu suatu jenis Luas total petak contoh =
K. Relatif (KR)
K suatu jenis x 100% K total seluruh jenis
Dominansi (D)
=
Luas penutupan suatu jenis Luas petak contoh
D. Relatif (DR)
=
D suatu jenis x 100% D seluruh jenis
Frekuensi (F)
=
Jumlah petak yang diduduki jenis Jumlah seluruh petak contoh
=
F suatu jenis x 100 F seluruh jenis
F. Relatif (FR)
Indeks Nilai Penting atau INP = KR + DR + FR Nilai penting merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif yang berkisar antara 0 sampai 300 (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974). Untuk menentukan tingkat keanekaragaman jenis digunakan indeks Shannon dengan rumus sebagai berikut : (H) = - Σ Pi log Pi, dimana peluang kepentingan untuk tiap spesies (Pi)
=
INPi INP total
Analisis Kolonisasi FMA Persentase kolonisasi FMA pada akar dihitung dengan rumus sebagai berikut: % kolonisasi FMA =
Jumlah bidang pandang terkolonisasi x 100 % Jumlah seluruh bidang pandang
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Vegetasi Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan pada sembilan lokasi penelitian, tercatat 37 spesies tumbuhan pada fase semai, 30 spesies pada fase sapihan, 19 spesies pada fase tiang dan 17 spesies pada fase pohon. Analisis vegetasi terhadap jumlah spesies yang ada dalam berbagai fase pertumbuhan vegetasi menunjukkan bahwa komposisi vegetasi pada lahan bekas tambang yang telah direvegetasi tidak lagi mengikuti pola umum vegetasi hutan tropik. Hutan tropik memiliki komposisi vegetasi yang menggambarkan dinamika regenerasi yang terjadi secara alami, dimana vegetasi pada fase semai (seedling) memiliki jumlah spesies yang paling tinggi, selanjutnya jumlah spesies tersebut berkurang pada fase sapihan (sapling), tiang (poles) dan pohon (trees) (Ogawa et al. 1987 ;Yamada 1975). Pada lokasi ROB-3 dan RTL-3 tidak ditemukan vegetasi pada tingkat tiang dan pohon, sedangkan pada lahan bekas tambang yang belum direvegetasi baik overburden maupun tailing (ROB-0 dan RTL-0) tidak terdapat tumbuhan sama sekali. Hasil analisis vegetasi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1-24. Inventarisasi vegetasi dilakukan juga terhadap tumbuhan bawah. Terdapat perbedaan jenios tumbuhan bawah yang ditemukan pada setiap lokasi penelitian (Tabel 13-19). Komposisi spesies tumbuhan yang ditemukan pada setiap lokasi adalah bervariasi (Gambar 4). Spesies tumbuhan pada fase semai paling banyak ditemukan pada R (19 spesies), fase sapihan pada ROB-16 (20 spesies), fase tiang pada pada R (10 spesies) dan fase pohon pada R (9 spesies). Dari keseluruhan hasil analisis vegetasi yang dilakukan terlihat bahwa jumlah spesies tumbuhan pada hutan sekunder lebih tinggi dari lahan bekas tambang yang sudah direvegetasi. Jumlah spesies tumbuhan paling rendah terdapat pada lahan tailing. Perbedaan struktur dan komposisi vegetasi disebabkan adanya perbedaan karakter masing-masing tumbuhan. Selain itu variasi struktur dan komposisi tumbuhan dalam suatu komunitas dipengaruhi antara lain oleh fenologi tumbuhan, dispersal dan natalitas (Kimmins 1987).
25
Semai
Sapihan
Tiang
Pohon
JUMLAH JENIS
25 20 15 10 5 0 ROB-0
RTL-0
ROB-3
RTL-3
ROB-16
RTL-16
ROB-28
RTL-28
R
LOKASI
Gambar 4 Komposisi vegetasi di semua lokasi penelitian.
Keanekaragaman spesies yang tinggi merupakan indikator dari kemantapan atau kestabilan dari suatu lingkungan pertumbuhan. Menurut Odum (1971), kestabilan yang tinggi menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi, hal ini disebabkan terjadinya interaksi yang tinggi pula sehingga akan mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam menghadapi gangguan terhadap komponenkomponennya. Selanjutnya dikatakan bahwa di dalam lingkungan yang tidak menunjukkan adanya faktor khusus, maka komunitas yang menduduki lingkungan yang bersangkutan akan menunjukkan tingkat keanekaragaman spesies yang tingi.
Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi Relatif (FR) Nilai kerapatan setiap spesies pada masing-masing lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok (Tabel 2). Kerapatan adalah nilai yang menunjukkan jumlah individu dari spesies-spesies yang menjadi anggota dari suatu komunitas tumbuhan dalam luasan tertentu ( Setiadi et al.1989). Namun demikian nilai kerapatan belum dapat menggambarkan distribusi dan penyebaran tumbuhan pada suatu komunitas. Nilai yang menggambarkan derajat penyebaran spesies dalam komunitas disebut frekuensi. Nilai frekuensi diperoleh dari perbandingan jumlah petak contoh yang diduduki oleh satu spesies terhadap keseluruhan petak contoh yang dibuat dalam analisis vegetasi.
26
Tabel 2 Nilai Kerapatan Relatif (KR) tertinggi berdasarkan usia revegetasi Spesies Tumbuhan
ROB3
RTL3
Kerapatan Relatif (%) ROBRTLROB16 16 28
RTL28
R
Fase semai Betur (Callophyllum sp 1)
26.09
Bintangor (Callophyllum lanigerum)
18.84
Kayu Menulang (Cionanthus ramiflorus) Akasia (Acacia mangium)
13.04 94.12
Jelet (Bridelia tomentosa)
3.92
Pelaik (Dyera costulata)
1.96
Kayu Putih (Melaleuca leucadendron)
88
66.67
97.46
66.67
95.83
12
Pengengkang (Eleocarpus stipularis)
10.61
Samak (Eugenia sp)
6.06
Pevila (Eucalypthus urophylla)
1.69
Kenidae (Bridelia tomentosa)
16.67
Fase sapihan Merapin (Rhodamnia cinerea)
14.12
Pelangas (Aporosa actandra)
26.27
10.59
Pahala (Eurya acuminata) Akasia (Acacia mangium) Pevila (Eucalyptus urophylla)
14.12 55.56
54.67
19.35
10.67
11.11
66.15
44.44
Seru (Schima wallichii)
33.87
Ulas (Guioa pubescens )
4.84
Kenidae (Bridelia tomentosa)
15.56
Selampit (Eugenia lineata)
8.89
Jeled (Microcos tomentosa)
26.15
Akasia daun kecil (Acacia auriculiformis)
6.15
Fase Tiang Mensira (Ilex cymosa) Seru (Schima wallichii)
24.14 7.41
Akasia (Acacia mangium)
55.56
Karet (Hevea brasiliensis)
18.52
13.79 100
42.86
Kenidae (Bridelia tomentosa)
35.71
Kayuputih (Melaleuca leucadendron)
7.14
Akasia daun kecil (Acacia auriculiformis)
90
13.79
10
Fase Pohon Akasia (Acacia mangium)
76.6
Seru (Schima wallichii)
10.64
86.87
79.31
Pevila (Eucalyptus urophylla)
35.71 28.57
Pelaik (Dyera costulata) Karet (Hevea brasiliensis)
100
7.14 5.32 13.34
9.2
Sengon (Paraserianthes falcataria)
9.2
Kenidae (Bridelia tomentosa)
4.6
Terdapat perbedaan spesies-spesies tumbuhan dan nilai KR pada semua lokasi penelitian baik pada fase semai, fase sapihan, fase tiang, maupun pada fase pohon (Tabel 2). Spesies yang paling banyak ditemukan tertinggi.
memiliki nilai KR
27
Callophyllum sp 1 adalah spesies tumbuha yang memiliki KRtertinggi untuk fase semai pada R. Pada lokasi lainnya A. mangium merupakan spesies tumbuhan yang memiliki KR tertinggi. Spesies tumbuhan yang memiliki KR tertinggi pada fase sapihan R adalah R. cinerea dan E. Acuminata, pada pada ROB-28 spesies dengan KR tertinggi pada fase ini adalah A. actandra, pada RTL3, ROB-3, RTL-16, ROB-16 dan RTL-28 KR tertinggi dimiliki oleh A. mangium. I. cymosa merupakan spesies yang memiliki KR tertinggi untuk fase tiang pada R, dan A. mangium merupakan spesies dengan KR tertinggi pada RTL-16, ROB-16, RTL-28, ROB-28, sedangkan pada ROB-3 dan RTL-3 belum ditemukan vegetasi pada fase tiang. A. mangium merupakan tumbuhan dengan KR tertinggi untuk fase pohon pada semua lokasi penelitian, hal ini disebabkan spesies ini merupakan tumbuhan yang digunakan untuk merevegetasi lahan bekas tambang timah oleh PT Koba Tin. Penggunaan tumbuhan ini didasarkan pada sifatnya yang cepat tumbuh dan mampu beradaptasi pada lahan marginal. Nilai kerapatan, frekuensi, dan dominasi spesies
diekspresikan secara
mutlak atau relatif yang menunjukkan bahwa nilai spesies individu merupakan total untuk semua spesies. Nilai kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR) penting artinya dalam analisis vegetasi karena saling terkait satu dengan lainnya. Nilai frekuensi suatu spesies dipengaruhi secara langsung oleh densitas dan pola distribusinya. Walaupun merupakan informasi yang penting, nilai distribusi hanya bisa memberikan informasi tentang kehadiran tumbuhan tertentu dalam satu plot dan belum dapat memberikan gambaran tentang jumlah individu pada masing-masing plot (Greigh-Smith 1983). Seperti nilai KR, perubahan spesies dan nilai FR untuk tiap fase pertumbuhan juga terjadi pada lokasi penelitian. Perubahan spesies dan nilai FR terjadi karena adanya perubahan lingkungan pertumbuhan seperti terjadinya perubahan sifat fisika dan kimia tanah akibat kegiatan penambangan. Pada R spesies tumbuha yang memiliki nilai FR tertinggi pada fase semai adalah C. lanigerum, pada fase sapihan terdapat 3 spesies yang memiliki nilai FR yang sama yaitu R. cinerea, A. actandra dan E. acuminata. Tumbuhan dengan FR tertinggi untuk fase tiang pada lokasi ini adalah spesies I. cymosa dan untuk fase pohon FR tertinggi dimiliki oleh S. wallichii (Tabel 3).
28
Tabel 3 Nilai Frekuensi Relatif (FR) tertinggi berdasarkan usia revegetasi Spesies Tumbuhan ROB-3
RTL3
Frekuensi Relatif (%) ROBRTLROB16 16 28
RTL28
R
Fase semai
10.26
Betur (Callophyllum sp 1)
17.95
Bintangor (Callophyllum lanigerum)
10.26
Buah Merah (Psychotria viridoflora) Akasia (Acacia mangium)
14.29 84.62
66.67
33.33
80
Jelet (Bridelia tomentosa) Pelaik (Dyera costulata)
66.67
83.33
8.33
16.67
7.69
Kayu Putih (Melaleuca leucadendron)
33.33
Pengengkang (Eleocarpus stipularis) Samak (Eugenia sp)
9.52
Pevila (Eucalypthus urophylla) Kenidae (Bridelia tomentosa)
20 7.69
16.67
Fase Anakan Merapin (Rhodamnia cinerea)
10.67
Pelangas (Aporosa actandra )
25.93
10.67
Pahala (Eurya acuminata) Akasia (Acacia mangium) Pevila (Eucalyptus urophylla)
10.67 39.39
47.83
15.63
10.87
11.11
60.87
44.44
Seru (Schima wallichii)
21.88
Ulas (Guioa pubescensl)
3.13
Kenidae (Bridelia tomentosa)
11.11
Selampit (Eugenia lineata)
3.7
Jeled (Microcos tomentosa)
13.04
Akasia daun kecil (Acacia auriculiformis)
17.39
Fase Tiang Mensira (Ilex cymosa)
16.67
Seru (Schima wallichii)
7.41
Akasia (Acacia mangium)
55.56
Karet (Hevea brasiliensis)
18.52
12.5 100
40
Kenidae (Bridelia tomentosa)
30
Kayuputih (Melaleuca leucadendron)
10
Akasia daun kecil (Acacia auriculiformis)
56.52
16.67
43.84
Fase Pohon Akasia (Acacia mangium)
55.56
Seru (Schima wallichii)
16.67
81.82
55.56
Karet (Hevea brasiliensis)
26.32 26.32
Pelaik (Dyera costulata) Pevila (Eucalyptus urophylla)
100
10.53 11.11 18.18
Sengon (Paraserianthes falcataria)
19.44
Kenidae (Bridelia tomentosa)
8.33
Dibandingkan dengan hutan sekunder, pada lahan bekas tambang timah terjadi perubahan spesies dan nilai FR (Tabel 3). Umumnya tumbuhan yang memiliki nilai FR tertinggi pada lahan bekas tambang adalah A. mangium baik pada fase sapihan, fase tiang maupun pada fase pohon. Pada RTL-28 spesies ini
29
merupakan satu-satunya tumbuhan yang ada pada fase pohon, dengan nilai FR 100%. Spesies ini merupakan tanaman yang digunakan untuk revegetasi lahan bekas tambang, karena tumbuhan ini mampu beradaptasi pada lahan marginal. Selain itu tumbuhan ini juga bersifat hijau sepanjang tahun dan memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Pohon tanaman ini merupakan bahan dasar untuk produksi kertas.
Dominansi Relatif (DR) Indeks dominansi berguna untuk menggambarkan penguasaan tempat oleh suatu spesies dalam suatu komunitas. Secara teoritis nilai dominansi tertingi sama dengan seratus persen yang berarti bahwa komunitas dikuasai oleh satu spesies atau pola dominansi spesiesnya terpusat pada satu spesies saja. Sebaliknya semakin kecil nilai dominansi maka pola dominansi spesiesnya semakin tersebar pada beberapa spesies yang dominan. Nilai dominansi relatif (DR) spesies tertinggi masing-masing fase pertumbuhan untuk tiap-tiap lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai Dominansi Relatif (DR) berdasarkan usia revegetasi Dominansi Relatif (%) Tumbuhan R
ROB-3
RTL3
ROB16
RTL16
38.36
43.31
ROB28
RTL28
Fase semai Betur (Callophyllum sp 1) Bintangor (Callophyllum lanigerum) Kayu Menulang (Cionanthus ramiflorus) Akasia (Acacia mangium) Fase sapihan Merapin (Rhodamnia cinerea)
18.97
Pelangas (Aporosa actandra )
16.86
Pahala (Eurya acuminata)
11.11
Akasia (Acacia mangium)
0.23
Pevila (Eucalyptus urophylla)
50.23
43.31
Seru (Schima wallichii)
34.88
Ulas (Guioa pubescens)
3.42
Kenidae (Bridelia tomentosa)
29.07
Selampit (Eugenia lineata)
41.56
Jeled (Microcos tomentosa)
38.34
Akasia daun kecil (Acacia auriculiformis)
10.63
Fase Tiang Mensira (Ilex cymosa)
20.98
Seru (Schima wallichii)
21.41
2.99
Akasia (Acacia mangium)
12.50
72.29
100.00
0.03
89.58
11 30
Lanjutan Karet (Hevea brasiliensis)
14.73
Kenidae (Bridelia tomentosa)
99.96
Kayuputih (Melaleuca leucadendron)
0.01
Akasia daun kecil (Acacia auriculiformis)
10.42
Fase Pohon Akasia (Acacia mangium)
42.17
80.65
Seru (Schima wallichii)
25.02
8.74
Pelaik (Dyera costulata)
9.95
Karet (Hevea brasiliensis)
91.34
74.93
100.00
4.37
Pevila (Eucalyptus urophylla)
8.66
Sengon (Paraserianthes falcataria)
13.49
Kenidae (Bridelia tomentosa)
1.18
Indeks Nilai Penting (INP) INP merupakan besaran yang menunjukkan kedudukan suatu spesies di dalam suatu komunitas. Nilai dari indeks ini diturunkan dari nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif dari spesies-spesies yang menyusun komunitas. Besar INP berkisar antara 0-300%. Semakin besar INP suatu spesies berarti semakin besar peran spesies tersebut dalam komunitas. Penghitungan INP masing-masing spesies untuk tiap fase pertumbuhan menunjukkan perbedaan pada masing-masing lokasi penelitian (Tabel 5-11).
Tabel 5 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk setiap fase pertumbuhan pada ROB-3 Fase Pertumbuhan Semai
Sapihan
No 1 2 3 1 2 3
Nama Lokal Akasia Jeled Pelaik Akasia Kayu putih Katu hutan
Nama Ilmiah A. mangium B. tomentosa D. costulata A. mangium M. leucadendron Breynia cernua
INP (%) 178.73 11.61 9.65 112.40 15.00 10. 95
Tabel 6 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk setiap fase pertumbuhan pada RTL-3 Fase Pertumbuhan Semai
Sapihan
No 1 2 1 2 3
Nama Lokal Akasia Kayu putih Akasia Kayuputih Pevila
Nama Ilmiah A. mangium M. leucadenron A. mangium M. leucadendron E. urophyla
INP (%) 13.18 4.89 102.49 51.42 21.53
31
Tabel 7 Tiga tumbuhan dengn INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada Fase Pertumbuhan
No 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Semai
Sapihan
Tiang
Pohon
Nama Lokal Akasia Pengengkang Samak Seru Akasia Ulas Akasia Karet Seru Akasia Seru Karet
Nama Ilmiah A. mangium E. stipularis Eugenia sp S. wallichii A. mangium G. pubescens A. mangium H. barsiliensis S. wallichii A..mangium S. wallichii H. barsiliensis
ROB-16 INP (%) 103.59 15.85 11.44 90.62 73.33 11.38 154.67 40.56 34.78 212.8 36.04 20.79
Tabel 8 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada RTL-16 Fase Pertumbuhan
No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
INP (%)
1
Akasia
A. mangium
187.18
2
Pevila
E. urophylla
12.82
Sapihan
1 2
Kayuputih Pevila
M. leucadendron E. urophyla
138.07 132.2
Tiang
3 1
Akasia Akasia
A. mangium A. mangium
29.48 100.00
1
Akasia
A..mangium
259.82
2
Pevila
E. urophylla
40.18
Semai
Pohon
Tabel 9 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada ROB-28 Fase Pertumbuhan
Semai
Sapihan
Tiang
Pohon
No 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Akasia Kenidae Jelet
A. mangium B. tomentosa M. tomentosa
Kenidae Selampit Pelangas Kenidae Akasia Kayuputih Akasia Sengon Kenidae
B. tomentosa S. linetum A. actandra B. tomentosa A. mangium M. leucadendron A. mangium P. falcataria B. tomentosa
INP (%) 184.00 8.00 4.00 55.73 54.15 52.82 165.67 82.88 17.15 209.79 42.12 17.74
32
Tabel 10 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada RTL-28 Fase Pertumbuhan
No
Semai
Sapihan
Tiang Pohon
Nama Lokal
Nama Ilmiah
INP (%)
1
Akasia
A. mangium
2
Jeled
M. tomentosa
179.17 20.83
1 2
Akasia Jejed
A. mangium M. tomentosa
177.24 77.54
3
Akasia daun kecil
A. auriculaformis
34.17
1
Akasia
A. mangium
236.09
2 1
Akasia daun kecil Akasia
A. auriculaformis A. mangium
63.9 100
Tabel 11 Tiga tumbuhan dengan INP tertinggi untuk tiap fase pertumbuhan pada R Fase Pertumbuhan
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1
Betur
Calophyllum sp1
35.61
Semai
2
Bintangor
C. lanigerum
35.5
Sapihan
3 1 2 3 1
Kayu menulang Merapin Pelangas Pahala Mesira
Cionanthus ramiflorus Rhodamnia cinerea A. actandra Eurya acumunata I. cymosa
17.8 43.75 38.11 35.89 61.78
2 3
Seru Akasia
S. wallichii A. mangium
47.7 42.95
1
Akasia
A. mangium
104.19
2
Seru
S. wallichii
79.9
3
Pelaik/ Jelutung
D. costulata
27.61
Tiang
Pohon
No
Penghitungan INP pada semua lokasi menunjukkan
INP (%)
bahwa akasia
merupakan spesies tanaman yang termasuk kedalam tiga tumbuhan dengan INP tertinggi pada hampir semua
fase pertumbuhan vegetasi. Penggunaan akasia
sebagai tanaman revegetasi menyebabkan spesies ini menjadi dominan pada lahan bekas tambang, baik tailing maupun overburden. Lokasi hutan sekunder yang berdekatan dengan lahan bekas tambang yang direvegetasi memungkinkan akasia dengan mudah menyebar ke lokasi ini, dan karena merupakan spesies tanaman yang cepat tumbuh menyebabkan spesies ini juga menjadi salah satu spesies yang memiliki INP tertinggi pada hutan sekunder. S. wallichii dan D. costulata adalah dua spesies pohon pada hutan sekunder yang memiliki INP tertinggi selain akasia. Adanya ke dua spesies tersebut di lokasi ini disebabkan oleh lokasi penelitian (Pulau Bangka) merupakan salah satu daerah persebaran geografis dari spesies-spesies tersebut. S. wallichii secara geografis tersebar di Brunei, China, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Papua New Guinea, Philippines, Thailand, dan Vietnam (Rosdayanti 2004;
33
Salim 2005). Spesies lain yang memiliki INP tertinggi pada beberapa lahan bekas tambang adalah sengon, karet, kayu putih dan pevila. Spesies-spesies tersebut merupakan spesies tumbuhan yang ditanam pada lahan bekas tambang. Beberapa spesies rumput-rumputan
(alang-alang, rumput padi, rumput
merah, rumput miang) juga mendominasi lahan bekas tambang. Spesies-spesies ini merupakan spesies tumbuhan pionir yang mampu beradaptasi denga kondisi lahan bekas tambang yang bersifat marginal. Berdasarkan indeks nilai penting (INP) seluruh spesies selanjutnya dihitung indeks keanekaragaman spesies (H'). Indeks keanekaragaman spesies untuk masing-masing lokasi beragam, berkisar antara 0.00 – 1.41. ROB-16 memiliki indeks keanekaragaman spesies tertinggi untuk fase semai H'=1.41 (tergolong sedang). Indeks keanekaragaman tertingi untuk fase sapihan H'=1.14 (tergolong sedang), tiang H' = 0.84 (tergolong rendah) dan pohon H'=0.79 (tergolong rendah) terdapat pada R (Tabel 12).
Tabel 12 Indeks keanekaragaman spesies pada tiap lokasi penelitian Fase pertumbuhan Semai Sapihan Tiang Pohon
ROB-3 0.18 0.75
Keanekaragaman SpesiesVegetasi (H’) RTL-3 ROB-16 RTL-16 ROB-28 RTL-28 0.76 1.41 0.10 0.16 0.15 0.55 1.02 0.41 0.94 0.45 0.68 0.00 0.51 0.22 0.45 0.16 0.45 0.00
R 1.12 1.14 0.84 0.79
Indeks keanekaragaman terendah untuk fase pohon (H' = 0) terdapat pada RTL-28. Pada lokasi ini hanya ditemukan satu spesies tumbuhan pada fase pohon, yaitu akasia. Terjadinya kebakaran diduga menjadi penyebab tidak ditemukannya spesies lain untuk fase ini, sedangkan untuk akasia selain adaptif pada tanah yang marginal, kebakaran justru akan mempercepat perkecambahan biji, sehingga perkembang biakannya menjadi lebih cepat. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa tingkat keanekaragaman spesies pada semua lokasi penelitian termasuk kategori rendah (H' < 1) hingga sedang (H' = 1- 3). Rendahnya tingkat keanekaragaman tumbuhan pada lokasi penelitian diduga sebagai akibat dari sifat fisika dan kimia tanah yang tidak menyediakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.
34
Hasil analisis vegetasi terhadap tumbuhan bawah menunjukkan adanya perbedaan spesies pada setiap lokasi penelitian (Tabel 13-19). Tumbuhan bawah yang ditemukan pada umumnya merupakan spesies rumput-rumputan yang mampu beradaptasi pada lahan bekas tambang yang marginal. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan pionir pada lahan yang terdegradasi. Perbedaan spesies pada tiap-tiap lokasi diduga dipengaruhi oleh sifat fisika dan kimia masingmasing lahan bekas tambang dan lamanya usia revegetasi. Jumlah spesies tumbuhan bawah pada lahan bekas tambang lebih banyak dari lahan yang belum ditambang. Jumlah spesies tumbuhan bawah terbanyak ditemukan pada ROB 28 (15 spesies) dan yang paling sedikit pada R (2 spesies), hal ini diduga berkaitan dengan sifat tanah, dimana pada R kondisi tanah lebih baik dibanding lahan bekas tambang, sehingga dalam kompetisi dalam kompetisi untuk mendapatkan tempat dan nutrisi secara alami tumbuhan bawah akan dikalahkan oleh tumbuhan lain. Tabel 13 Tumbuhan bawah pada R No 1 2
Nama Spesies Lokal Rumput miang Rumput sesayat
Ilmiah Melhania incana Sceria pubescens
KR (%) 50 50 100.00
FR (%) 66.66 33.33 100.00
INP (%) 116.66 88.33 200.00
KR (%) 1.98 20.79 4.95 55.45 0.99 11.88 2.97 0.99 100.00
FR (%) 7.69 30.77 3.85 19.23 3.85 19.23 11.54 3.85 100.00
INP (%) 9.67 51.56 8.80 74.68 4.84 31.11 14.51 4.84 200.00
KR (%) 2.47 85.20 7.85 4.48 100.00
FR (%) 9.73 65.69 9.73 14.60 200.00
INP (%) 12.20 150.90 17.58 19.08 200.00
Tabel 14 Tumbuhan bawah pada ROB-3 No
Nama Spesies Lokal
1 2 3 4 5 6 7 8
Uber Keramunting Paku resam Rumput jarum Rumput kelulut Rumput miang Rumput sesayat Serunai
Ilmiah Melastoma malabathricum Gleichenia linearis Eleocharis sp M.incana S.pubescens Euopathorium pallescens
Tabel 15 Tumbuhan bawah pada RTL-3 No 1 2 3 4
Nama Spesies Lokal Alang-alang Rumput jarum Rumput merah Rumput miang
Ilmiah I. cylyndrica Eleocharis sp Eleocharis retroflexa M. incana
35
Tabel 16 Tumbuhan bawah pada ROB-16 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Spesies Lokal Akar tepelas Alang-alang Pakis Paku resam Rumput kemili Rumput merah Rumput miang Rumput sesayat Serunai
Ilmiah Tetracera indica Imperata cylindrica Adiantum sp Gleicenia linearis E. retroflexa M.incana S.pubescens E.pallescens
KR (%) 1.79 45.54 13.39 8.04 0.89 10.71 7.14 8.93 3.57 100.00
FR (%) 6.67 10.00 16.67 6.67 3.33 3.33 26.67 20.00 6.67 100.00
INP (%) 8.45 55.54 30.06 14.70 4.23 14.05 33.81 28.93 10.24 200.00
KR (%) 2.30 28.74 21.84 46.55 0.57 100.00
FR (%) 17.39 17.39 21.74 39.13 4.35 100.00
INP (%) 19.69 46.13 43.58 85.68 4.92 200.00
KR %) 0.40 0.79 3.95 38.74 1.19 6.72 1.19 0.79 5.93 12.25 1.98 1.58 0.40 6.32 17.79 100.00
FR %) 2.08 2.08 16.67 16.67 2.08 2.08 4.17 4.17 10.42 18.75 6.25 2.08 2.08 4.17 6.25 100.00
INP %) 2.48 2.87 20.62 55.40 3.27 8.80 5.35 4.96 16.35 31.00 8.23 3.66 2.48 10.49 24.04 200.00
Tabel 17 Tumbuhan bawah pada RTL-16 No 1 2 3 4 5
Nama Spesies Lokal Putri malu Rumput jarum Rumput miang Rumput padi Serunai
Ilmiah Mimosa pudica Eleocharis sp M.incana Eragrotis chariis E. pallescens
Tabel 18 Tumbuhan bawah pada ROB 28 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama Spesies Lokal Akar bebenar Akar sesayat Akar tepelas Alang alang Uber Kera munting Putri malu Rumput kemili Rumput miang Serunai Rumput gudo Akar hijau Kacang-kacangan Noname 1 Noname 2
Ilmiah Dioscorea pyrifolia S.pubescens Tetracerra indica I.cylindrica M. malabathrycum Mimosa pudica M.incana Eupatorium indica Pycnarrhena cauliflora Pueraria phaseoloides
36
Tabel 19 Tumbuhan bawah pada RTL-28 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Spesies Lokal Akar tepelas Keramunting Rumput gudo Rumput jarum Rumput kelulut Rumput merah Rumput miang Rumput tebu
Ilmiah Tetracera indica Melastoma malabathricum Eleocharis sp Eleocharis retroflexa M.incana Shorgum halapenses
KR (%) 0.63 9.87 0.21 76.47 2.52 8.19 1.89 0.21 100.00
FR (%) 5.26 13.16 2.63 47.37 5.26 13.16 10.53 2.63 100.00
INP (%) 5.89 23.03 2.84 123.84 7.78 21.35 12.42 2.84 200.00
Analisis Sifat Fisika Tanah Lahan pasca tambang memiliki karakteristik yang berbeda dari ekosistem aslinya. Lahan ini merupakan lahan marginal dengan karakteristik yang paling menonjol adalah tipisnya lapisan atas tanah (top soil). Lapisan ini merupakan sumber hara, bahan organik dan aktivitas mikroba yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Dibanding dengan lahan yang belum ditambang (hutan sekunder), lahan bekas tambang juga mengalami perubahan pada tekstur tanah. Kegiatan penambangan menyebabkan peningkatan persentase fraksi pasir pada lahan bekas tambang yang mengakibatkan tanah tidak mampu meresap dan menyimpan air pada musim hujan, sehingga aliran permukaan menjadi tinggi dan berdampak pada peningkatan laju erosi. Sebaliknya pada musim kering tanah menjadi padat dan keras, yang menyebabkan buruknya sistem tata air dan peredaran udara yang secara langsung dapat membawa dampak negatif terhadap perkembangan dan fungsi akar (Setiadi 2003). Salah satu sifat fisika tanah adalah tekstur tanah yang menunjukkan komposisi partikel tanah yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi relatif antara fraksi pasir (sand, berdiameter 2mm - 50µ), debu (silt, berdiameter 50µ 2µ) dan liat (clay berdiameter < 2µ) (Hardjowigeno 2003). Berdasarkan proporsi ketiga fraksi tersebut tekstur tanah dibedakan ke dalam 3 kelas, yaitu tanah betekstur kasar atau tanah berpasir, tanah bertekstur halus aatu berliat dan tanah bertekstur sedang atau tanah berlempung. Analisis sifat fisika dan kimia tanah dilakukan untuk mengetahui karakteristik tanah pada lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka. Berikut ini
37
disajikan hasil analisis terhadap sifat fisika dan kimia tanah yang dilakukan di laboratorium tanah Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor. Hasil analisis contoh tanah lahan pasca tambang timah di Pulau Bangka menunjukkan bahwa secara umum tekstur tanah di lahan tersebut didominasi oleh pasir, persentase pasir berkisar antara 89 hingga 96%. Jika dibandingkan dengan lahan yang belum ditambang (hutan sekunder), maka lahan bekas tambang timah memiliki fraksi pasir yang lebih tinggi. Fraksi pasir pada lahan yang belum ditambang adalah sebesar 68%. Ini berarti terjadi peningkatan fraksi pasir hingga 31%. Berdasarkan Segitiga Tekstur Soil Survey Manual, USDA (Soil Survey Staff 1990, dalam Hardjowigeno 2003), maka tanah pada lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka bertekstur pasir. Hasil analisis sifat fisika tanah pada hutan sekunder, tailing dan overburden disajikan pada Tabel 20 dan 21. Tabel 20 Hasil analisis tekstur tanah hutan sekunder (R) dan lahan tailing (RTL) Fraksi tekstur (%) Contoh tanah Pasir Debu Liat R 68 17 15 RTL-0 95 2 3 RTL-3 93 5 2 RTL-16 89 5 6 RTL-28 96 3 1 Tabel 21 Hasil analisis tekstur tanah pada lahan overburden (ROB) Fraksi tekstur (%) Contoh tanah Pasir Debu Liat ROB-0 76 14 10 ROB-3 86 9 5 ROB-16 72 4 24 ROB-28 76 8 16 Peningkatan kadar pasir pada lahan bekas tambang terjadi karena proses pencucian oleh hujan pada lahan tersebut sehingga terjadi pemisahan fraksi halus dan kasar. Tanah bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil, sehingga sulit menyerap dan menahan air dan unsur hara. Kondisi seperti ini mengakibatkan tanah kurang subur dan mempunyai pori-pori yang besar sehingga pada musim kemarau kandungan air yang ada dalam tanah sangat kecil. Hal ini
38
akan sangat mempengaruhi spesies tanaman yang tumbuh di tanah tersebut, terutama bagi tanaman yang mempunyai sistem perakaran yang panjang. Hasil analisis vegetasi menunjukkan lahan bekas tambang memiliki indeks keanekaragaman vegetasi yang rendah. Pada umumnya lahan bekas tambang didominasi oleh akasia yang merupakan spesies yang digunakan untuk revegetasi. Makin lama usia revegetasi maka persentase fraksi pasir akan semakin kecil, hal ini berkaitan dengan adanya vegetasi yang lebih banyak pada lahan tersebut. Namun dari tabel terlihat pada tailing yang sudah direvegetasi selama 28 tahun fraksi pasir lebih tinggi dari tailing yang sudah direvegetasi selama 3 dan 16 tahun. Tingginya kadar pasir pada lokasi ini disebabkan oleh adanya gangguan terhadap lahan yang sudah direvegetasi seperti kegiatan penambangan kembali oleh masyarakat dan terjadinya kebakaran di lahan tersebut. Perbandingan tekstur tanah pada hutan sekunder (lahan yang belum ditambang) dengan lahan bekas tambang disajikan pada Gambar 5.
Pasir
debu
liat
%pasir, debu, liat
120 100 80 60 40 20 0 ROB-0
RTL-0
ROB-3
RTL-3
ROB-16
RTL-16
ROB-28
RTL-28
R
Lokasi
Gambar 5 Perbandingan fraksi pasir, debu dan liat tanah pada lokasi penelitian.
Analisis Sifat Kimia tanah Hasil analisis sifat kimia tanah pada lokasi penelitian menunjukkan terjadinya perubahan sifat kimia tanah pada lahan bekas tambang timah. Perbedaan sifat lahan yang belum ditambang dengan lahan bekas tambang dapat dilihat pada Tabel 22 dan 23. Dari hasil analisis sifat kimia tanah didapatkan tanah pada hutan sekunder bersifat agak masam (pH = 5.6) dan pada lahan bekas tambang tanah menjadi bersifat masam (pH = 4.9 – 5.2 pada tailing dan 4.6 – 4.9 pada overburden).
39
Terjadinya penurunan pH pada lahan bekas tambang diduga disebabkan oleh pencucian basa dan perombakan bahan organik pada lahan tersebut. Tabel 22 dan 23 juga menunjukkan rendahnya kadar K, Ca, Mg dan Al. Rendahnya kadar unsur-unsur tersebut adalah akibat penambangan timah yang menyebabkan unsurunsur tersebut menjadi mudah larut dan terbuang. Hardjowigeno (1995) menyatakan unsur-unsur tersebut merupakan unsur hara yang diperlukan dalam jumlah yang sangat kecil untuk pertumbuhan tanaman, tetapi jika tidak ada dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Perubahan sifat kimia tanah juga dapat dilihat dari perbedaan perubahan status hara seperti persentase C organik, N total, C-N ratio, konsentrasi P2O5, KTK dan lain-lain. Pada lahan bekas tambang faktor- faktor tersebut umumnya menjadi lebih rendah dari tanah hutan. Pada tanah hutan
C-organik sebesar
2.11% (tergolong rendah), sedangkan pada lahan bekas tambang sebesar 0.14 0.24% pada tailing (sangat rendah). Pada overburden kadar C-organik lebih tinggi dari tailing, yaitu sebesar 0.23 sampai 2.83% (tergolong sangat rendah sampai rendah). Nilai N total juga mengalami penurunan dibandingkan dengan tanah hutan (0.12% tergolong rendah), pada tailing nilai N-total sebesar 0.02 - 0.03% (tergolong sangat rendah) sedangkan pada overburden sebesar 0.02 - 0.16% (tergolong sangat rendah sampai rendah).
Tabel 22 Hasil analisis sifat kimia tanah pada hutan sekunder dan tailing R Sifat Tanah pH (H2O)
RTL-0
RTL-3
RTL-16
RTL-28
Lab
Krit
Lab
Krit
Lab
Krit
Lab
Krit
Lab
Krit
5.6
AM
5
M
5.2
M
4.9
M
5.1
M
C(%)
2.11
S
0.14
SR
0.34
SR
0.6
SR
0.24
SR
N(%)
0.12
R
0.02
SR
0.02
SR
0.03
SR
0.02
SR
18
T
8
R
15
S
18
T
14
S
24
S
3
SR
20
S
7
SR
18
S
C/N P2O5 Bray1mg/kg K cmol(+)/kg
0.07
SR
0.05
SR
0.05
SR
0.05
SR
0.05
SR
Ca cmol(+)/kg
0.25
SR
0.32
SR
0.32
SR
0.4
SR
0.32
SR
Mg cmol(+)/kg
0.21
SR
0.06
SR
0.1
SR
0.1
SR
0.09
SR
Na cmol(+)/kg
0.07
SR
0.06
SR
0.06
SR
0.07
SR
0.06
SR
KTK cmol/(+)/kg
4.76
SR
0.76
SR
1.17
SR
1.42
SR
0.84
SR
13
SR
63
T
45
S
43
SR
61
T
1.97
SR
0.2
SR
0.16
SR
0.56
SR
0.16
SR
KB (%) Al cmol(+)/kg
Sumber : Data Primer, 2007.
40
Tabel 23 Hasil analisis sifat kimia tanah pada overburden ROB-0
Sifat Tanah Lab
ROB-3 Krit
Lab
ROB-16 Krit
ROB-28
Lab
Krit
Lab
Krit M
pH (H2O)
4.7
M
4.6
M
4.9
M
4.8
C(%)
0.23
SR
0.4
SR
2.83
S
1.61
R
N(%)
0.02
SR
0.02
SR
0.16
R
0.12
R
C/N
13
S
18
T
18
T
14
S
P2O5 Bray-1 mg/kg
3
SR
2
SR
3
SR
16
R
0.05
SR
0.07
SR
0.12
R
0.07
SR
K cmol(+)/kg Ca cmol(+)/kg
0.24
SR
0.32
SR
0.33
SR
0.49
SR
Mg cmol(+)/kg
0.06
SR
0.06
SR
0.17
SR
0.23
SR
Na cmol(+)/kg
0.07
SR
0.06
SR
0.09
SR
0.07
SR
KTK cmol(+)/kg
1.43
SR
0.5
SR
0.71
SR
3.36
SR
13
SR
1.75
SR
7.77
SR
25
R
0.89
SR
1.2
SR
5.47
SR
1.39
SR
KB (%) Al cmol(+)/kg
Konsentrasi (%)
Sumber : Data Primer, 2007. Keterangan : SR = Sangat Rendah R = Rendah S = Sedang Krit = Kriteria Lab = Laboratorium M = Masam AM = Agak masam
T = Tinggi.
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
C N C/N
R
ROB-0
RTL-0
ROB-3
RTL-3 ROB-16 RTL-16 ROB-28 RTL-28 Lokasi
Gambar 6 Perbandingan C-organik, N total dan Ratio C-N pada lokasi penelitian.
Semakin lama usia revegetasi kondisi tanah akan semakin baik (Badri 2004). Namun Gambar 6 menunjukkan adanya
penurunan sifat tanah pada usia
revegetasi yang lebih tua. Misalnya pada RTL-16 kadar C-organik sebesar 0.60% sedangkan pada RTL-28 sebesar 0.24%. Rendahnya kadar bahan organik pada lahan bekas tambang timah disebabkan oleh hilangnya lapisan atas tanah (top soil) pada tahap awal kegiatan penambangan. Akibatnya lapisan atas dan bawah tanah menjadi terbalik dan tertimbun oleh sisa bahan galian timah. Terbukanya lahan bekas galian timah juga
41
disebabkan oleh tidak adanya vegetasi yang bisa tumbuh pada lahan tersebut. Nilai N-total pada lahan pasca tambang umumnya sangat rendah sehingga tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Umumnya rasio C/N pada lahan bekas tambang timah juga menjadi lebih rendah dari hutan sekunder. Rasio C/N merupakan indikator yang menunjukkan proses mineralisasi-immobilisasi N oleh mikroba dekomposer bahan organik. Besar kecilnya rasio C/N dipengaruhi antara lain oleh curah hujan, suhu, mikroba dekomposer. Rasio C/N di daerah kering lebih rendah dari daerah basah, demikian pula daerah panas memiliki rasio C/N lebih tinggi dari daerah dingin. Kondisi lahan bekas tambang yang memiliki fraksi pasir yang lebih tinggi menyebabkan tanahnya memiliki daya mengikat air yang lebih rendah dan suhu tailing yang mencapai 42 °C diduga menyebabkan rendahnya rasio C/N pada lahan bekas tambang tersebut. Suhu mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik sebagai dampak pengaruhnya terhadap spesies mikroba yang dominan. Umumnya proses dekomposisi maksimum pada suhu 30 – 35 °C (Parr 1978, diacu dalam Hanafiah 2005). Tingginya rasio C/N pada RTL-16 dan ROB-16 diduga sebagai akibat dari tingginya dominansi vegetasi penutup (tumbuhan bawah) di kedua lokasi sehingga tanahnya menjadi lebih lembab. Hasil analisis vegetasi menunjukkan pada ke dua lokasi ini INP dari spesies tumbuhan bawah (rumput-rumputan) mencapai 30.76% pada ROB-16 dan 55.96% pada RTL-16. Sedangkan pada ROB-3 penggunaan kompos dalam usaha revegetasi diduga sebagai penyebab tingginya rasio C/N di lokasi ini Lahan bekas tambang memiliki kandungan P2O5 yang lebih rendah dari tanah hutan. Kandungan P2O5 terendah pada lahan bekas tambang terdapat pada ROB-3 senilai 2 ppm (tergolong sangat rendah) dan tertinggi pada RTL-28 senilai 18 ppm (tergolong sedang). Kandungan P2O5 tanah hutan sebesar 24 ppm (tergolong sedang). Pada umumnya lahan bekas tambang timah memiliki nilai KTK yang lebih rendah dari hutan sekunder (Gambar 7). Penurunan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada lahan bekas tambang disebabkan oleh adanya penurunan pH dan kadar bahan organik. Foth (1999), diacu dalam Hardjowigeno (2003) menyatakan
42
KTK dalam tanah sangat tergantung pada pH tanah. KTK merupakan sifat kimia tanah yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah, sebab tanah tidak akan mampu menyerap dan menyediakan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman apabila memiliki KTK yang rendah (Hardjowigeno 2003). Meskipun terjadi peningkatan KTK pada ROB-28, tetapi masih dalam kategori sangat rendah. Peningkatan Nilai KTK pada lokasi ini disebabkan oleh kandungan kation basa Ca dan Mg (yaitu sebesar 0.49 dan 0.23) yang lebih tinggi dari lahan bekas tambang lainnya. Selain itu persentase fraksi liat yang lebih tinggi juga menyebabkan peningkatan KTK pada lokasi ini. Tanah dengan kadar kation yang tinggi akan memiliki KTK yang tinggi. Selanjutnya dinyatakan bahwa tanah dengan fraksi liat yang lebih tinggi juga akan memiliki KTK yang tinggi ( Hardjowigeno 2003).
6
KTK dan pH
5 4 pH
3
KTK
2 1 0 R
ROB-0
RTL-0
ROB-3
RTL-3 ROB-16 RTL-16 ROB-28 RTL-28 Lokasi
Gambar 7 Perbandingan nilai pH dan KTK pada lokasi penelitian.
Berdasarkan kriteria kesuburan tanah, hasil analisis sifat kimia tanah pada lahan bekas tambang timah tidak ditemukan lapisan tanah yang subur, sehingga lahan ini dapat dikelompokkan ke dalam lahan sangat kritis.
Analisis Kolonisasi FMA Tumbuhan yang dianalisis untuk melihat ada tidaknya kolonisasi FMA adalah tiga spesies pohon dominan pohon pada lokasi R, RTL-28, ROB-28, RTL16 dan ROB-16. Sedangkan pada lokasi RTL-3 dan ROB-3 tumbuhan yang
43
dianalisis adalah tumbuhan dominan pada fase sapihan, karena pada ke dua lokasi ini tidak ditemukan tumbuhan pada fase tiang dan pohon. Pada R spesies pohon dominan terdiri dari A. mangium, S. wallichii dan D. costulata, pada RTL-28 adalah A. mangium, Pada ROB-28 A. mangium, P. falcataria dan B. tomentosa, pada RTL-16 spesies A. mangium dan E. urophylla, dan pada ROB-16 spesies A. mangium, P. falcataria dan H. brasiliensis Tumbuhan dominan pada fase sapihan pada RTL-3 terdiri dari spesiesspesies A. mangium, M. leucadendron, sedangkan pada ROB-3 terdiri dari A. mangium dan B. cernua. Dengan demikian terdapat sembilan spesies tumbuhan yang akan dianalisis kolonisasi FMA (Gambar 8).
(a)
(b)
(c) A)
(d) A)
(e)
(f)
(g)
(h)
Gambar 8
(i)
Penyuburan FMA pada sapihan dari pohon yang dominan: D. Costulata (a) A. mangium(b) B. tomentosa (c) H. brasiliensis (d) S. wallichii (e) M. leucadendron (f) B. cernua (g) E. urophylla (h) P. falcataria (i)
44
Hasil analisis kolonisasi terhadap sembilan spesies tumbuhan tersebut di atas menunjukkan bahwa tujuh spesies tumbuhan
terkolonisasi FMA. Hal ini
menunjukkan bahwa tumbuhan yang hidup pada lahan bekas tambang dan hutan sekunder ialah tanaman yang mikotrofik, yaitu tanaman yang memerlukan simbiosis mikoriza untuk mampu hidup pada lahan tersebut. Terdapat perbedaan struktur kolonisasi FMA yang ditemukan pada akar tumbuhan yang diamati. Struktur kolonisasi yang ditemukan pada akar A. mangium, S. wallichii, P. falcataria dan H. brasiliensis, terdiri dari titik penetrasi, hifa yang tumbuh secara longitudinal diantara sel-sel korteks, arbuskula yang terbentuk secara interkalar dan vesikula. Berdasarkan proses pembentukan arbuskula, maka kolonisasi FMA pada ke empat tumbuhan tersebut termasuk ke dalam kolonisasi tipe arum. Tipe paris ditemukan pada spesies B. tomentosa, pada akar tumbuhan ini struktur kolonisasi yang ditemukan terdiri dari titik penetrasi, hifa yang tumbuh membentuk koil (kumparan) di dalam sel-sel korteks, arbuskula yang terbentuk dari hifa koil dan vesikula. Kombinasi tipe arum dan paris ditemukan pada spesies D. costulata dan B. cernua. Pada ke dua tumbuhan ini arbuskula terbentuk secara interkalar dari hifa yang tumbuh secara longitudinal dan dari hifa koil (Tabel 24 dan gambar 9). Dua spesies tumbuhan M. leucadendron dan E. urophylla tidak terkolonisasi FMA. Menurut Brundrett et al. (1991) ke dua tumbuhan yang termasuk ke dalam famili Myrtaceae ini secara alami dapat membentuk ektomikoriza dan mikoriza vesikula arbuskula. Tidak ditemukannya kolonisasi FMA pada ke dua spesies tumbuhan ini diduga disebabkan rusaknya akar pada proses pewarnaan atau usia akar yang diambil terlalu tua. Tabel 24 Struktur kolonisasi FMA pada sembilan spesies tanaman No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Tumbuhan A.mangium S.walichii D. costulata P. falcataria B.tomentosa H.brasiliensis E. urophyla B. cernua M. leucadendron
Ket. (√): ada.
Struktur FMA yang teramati Hifa Hifa Hifa Intrasel Intersel Koil √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ -
(-) : tidak ada
Vesikula √ √ √ √ √ √ -
Arbuskula √ √ √ √ √ √ √ -
Tipe Kolonisasi Arum Arum Arum & Paris Arum Paris Arum Arum & Paris -
45
Tabel 25 Persen kolonisasi dan spesies FMA pada tujuh spesies tanaman Lokasi R
RTL-3 ROB-3 RTL-16 ROB-16
RTL-28 ROB-28
Tumbuhan A. mangium S. wallichii D. costulata A. mangium A. mangium B. cernua A. mangium
% Kolonisasi 2.38 21.21 60.48 10.6 3.84 89.2 15
A. mangium S. wallichii H. brasiliensis A. mangium A. mangium
8.4 40.74 6.76 2.38 3.84
P. falcataria B. tomentosa
8.66 9.52
Spesies FMA Glomus sp1., Glomus sp2. Glomus sp1., Glomus sp7. Glomus sp 2. ,Glomus sp4., Scutellospora sp1. Glomus sp 9., Scutellospora sp1. Glomus sp6., Scutellospora sp1. Scutellospora sp2. Glomus sp1., Glomus sp6., Scutellospora sp1., Scutellospora sp2., Gigaspora sp. Glomus sp7., Glomus sp10. Glomus sp4., Glomus sp6., Glomus sp9. Glomus sp1., Glomus sp6. Glomus sp1. Glomus sp3., Glomus sp4. Glomus sp1., Glomus sp5., Glomus sp6., Glomus sp8. Glomus sp1.
Hasil analisis kolonisasi FMA juga menunjukkan perbedaan kolonisasi FMA pada lokasi penelitian. Pada lahan tailing beberapa tumbuhan mikotropik yaitu M. Leucadendron (RTL-3) dan E. urophylla (RTL-16) tidak terkolonisasi FMA. Kolonisasi FMA pada tumbuhan mikotropik lainnya rendah. Kolonisasi maksimal (15%) yaitu pada A. mangium (RTL-16). Pada lahan overburden (ROB) semua tumbuhan terkolonisasi FMA. Persentase kolonisasi FMA di lokasi ini tidak berbeda jauh dengan R (Tabel 25). Dari keseluruhan hasil analisis kolonisasi FMA terlihat bahwa tumbuhan D. costulata merupakan tumbuhan fase pohon dengan persentase kolonisasi FMA tertinggi (60.48%) pada lahan yang belum di tambang (R), sedangkan untuk lahan bekas tambang persentase kolonisasi FMA tertinggi ditemukan pada tumbuhan S. wallichii sebesar 40.74% (ROB-16). B. cernua merupakan tumbuhan fase sapihan yang memiliki persentase kolonisasi tertinggi (89.2%) yang terdapat di lahan bekas tambang, yaitu pada ROB-3. Persentase kolonisasi FMA terendah ditemukan pada A. mangium (2.38%) yang terdapat di lahan yang belum ditambang (R). Perbedaan persentase kolonisasi FMA diduga disebabkan oleh tumbuhan dan sifat tanah pada masing-masing lokasi penelitian. Kebutuhan dan ketergantungan tumbuhan pada lahan bekas tambang terhadap mikoriza diduga lebih tinggi dari tumbuhan
yang terdapat di lahan yang belum ditambang.
Kondisi ini disebabkan oleh tingkat kesuburan lahan bekas tambang yang lebih
46
rendah dibanding lahan yang belum ditambang. Selain itu perbedaan persentase kolonisasi diduga juga dipengaruhi oleh spesies tumbuhan dan kepekaannya terhadap mikoriza. Menurut Mosse (1981) kolonisasi FMA dipengaruhi oleh kepekaan inang, iklim dan tanah. Struktur kolonisasi FMA yang teramati terdiri dari titik penetrasi, hifa koil arbuskula dan vesikula (Gambar 9).
b
a
600x
600x
d
c
400x
600x
f
e
600 x
600x
Gambar 9 Struktur kolonisasi FMA pada akar tumbuhan dengan pewarnaan biru tripan. Hifa penetrasi pada akar A. mangium dengan pembesaran 600x (a), hifa koil pada akar akar D. costulata dengan pembesaran 600x (b), arbuskula pada tipe arum pada akar P. falcataria dengan pembesaran 600x (c) dan pada akar S. wallichii dengan pembesaran 400x (d), arbuskula pada tipe paris pada akar B. tomentosa dengan pembesaran 600x (e), vesikula pada akar A. mangium dengan pembesaran 600x (f).
47
Keragamana FMA Identifikasi spora menghasilkan 13 spesies FMA yang terdiri dari 10 spesies dari genus Glomus, 2 spesies dari genus Scutellospora dan 1 spesies dari genus Gigaspora. Hasil identifikasi menunjukkan terjadinya perbedaan atau pergantian spesies FMA dari tanaman yang sama pada lokasi yang berbeda. (Tabel 24). Sifat tanah yang berbeda pada masing-masing lokasi diduga mempengaruhi keragaman FMA yang ditemukan. Satu spesies FMA dijumpai pada lebih dari satu spesies tumbuhan inang. Glomus merupakan genus yang paling luas penyebarannya. Genus ini ditemukan disemua lokasi dan semua spesies tumbuhan yang diamati, kecuali pada B. cernua. Dominasi penyebaran genus Glomus disebabkan genus ini memiliki spesies yang paling banyak pada filum Glomeromycota, hal ini didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya. Muliyawarman (1995) melaporkan bahwa pada rhizosfer beberapa kultivar rambutan penyebaran genus Glomus relatif tinggi dibanding genus Acaulospora dan Gigaspora. Penyebaran Glomus pada tanaman bambu di Kebun Raya Bogor juga cukup luas yaitu lebih dari 50% spesies yang terdapat pada dua belas lokasi (Setya 1995). Selanjutnya Mosse (1981) menyatakan bahwa secara alami genus Glomus memiliki penyebaran yang paling luas. Deskripsi spora masing-masing spesies FMA yang ditemukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Glomus sp1. Spora ditemukan tunggal, bentuk lonjong, warna kuning dan oranye. Ukuran 93.1 – 113.5 x 66.6 – 126.4 µm. Permukaan spora mulus tanpa perhiasan. Dinding spora terdiri dari dua lapis. Lapisan pertama yaitu dinding luar hyalin dan kadang-kadang luruh. Lapisan ke dua yaitu dinding dalam berwarna kuning hingga oranye. Tebal dinding keseluruhan 6.65 – 7.98 µm. Hifa berwarna kuning muda hingga kuning kecoklatan. Dinding hifa berlanjut dengan dinding spora dan membentuk pori pada dasar spora (Gambar 10).
2. Glomus sp2. Spora ditemukan tunggal dan agregat, berbentuk lonjong hingga bulat, warna kuning kuning kecoklatan. Ukuran 62.5 – 93.1 x 79.8 – 93.1 µm. Dinding spora terdiri dari dua lapis berwarna kuning kecoklatan. Tebal
48
keseluruhan dinding 10.64 µm. Hifa berwarna lebih muda drai spora dan membentuk pori yang jelas pada dasar spora (Gambar 11).
20µm
Gambar 10 Glomus sp1. (pembesaran 600x).
20µm
Gambar 11 Glomus sp2. (pembesaran 600x).
3. Glomus sp3. Spora ditemukan tunggal, berbentuk agak bulat, berwarna coklat gelap, ukuran 387.5 x 390 µm. Dinding spora tediri dari dua lapis. Dinding pertama yaitu dinding luar seperti gel berwarna coklat, dinding ke dua yaitu dinding dalam lebih gelap dari dinding pertama. Tebal dinding keseluruhan 14.63 µm. Dinding hifa berlanjut dengan dinding spora dan membentuk pori yang jelas pada dasar spora (Gambar 12).
4. Glomus sp4. Spora ditemukan tunggal atau dalam agregat, berbentuk bulat, berwarna kuning kecoklatan, ukuran 66.5 x 66.5 µm – 119 x 119 µm. Permukaan spora mulus. Dinding spora terdiri dari dua lapis. Dinding pertama yaitu dinding luar tipis, berwarna hyalin hingga kuning muda. Lapisan ke dua yaitu dinding dalam berwarna kuning. Tebal keseluruhan dinding 6.65 – 9.31 µm. Hifa berwarna sama dengan warna spora dan membentuk pori yang jelas pada dasar spora (Gambar 13).
100µm
Gambar 12 Glomus sp3. (pembesaran 150x).
20µm
Gambar 13 Glomus sp4. (pembesaran 600x).
49
5. Glomus sp5. Spora ditemukan tunggal, bulat, berwarna kuning, ukuran 85.1 x 85.1 µm. Terdapat 1 lapis dinding spora berwarna kuning. Tebal dinding spora 6.65 µm. Hifa berwarna kuning seperti warna spora dan tidak membentuk pori yang pada dasar spora (Gambar 14).
6. Glomus sp6. Spora ditemukan tunggal atau dalam agregat, bentuk bulat sampai lonjong, berwarna kuning, kuning kecoklatan hingga coklat, ukuran 59.8 – 106.4 x 66.5 - 165 µm. Permukaan luar dinding spora dikelilingi lemak. Dinding spora terdiri dari tiga lapis. Dinding pertama yaitu dinding luar hyalin kecoklatan, tebal dinding ± 1 µm. Dinding ke dua berwarna kuning sampai coklat, tebal dinding mencapai 10.6 µm. Dinding ke tiga berupa membran tipis (< 1 µm). Hifa berwarna kuning hingga kuning kecoklatan (Gambar 15).
20µm
Gambar 14 Glomus sp5. (pembesaran 600x).
20µm
Gambar 15 Glomus sp6. (pembesaran 150x).
7. Glomus sp7. Spora ditemukan dalam bentuk agregat, bentuk bulat hingga lonjong, berwarna kuning terang hingga kuning kecoklatan, ukuran 33.25 – 79.8 x 39.9 – 73.15 µm. Dinding spora terdiri dari satu lapis, berwarna kuning kecoklatan. Tebal dinding spora 3.99 – 6.65 µm. Hifa brewarna kuning hingga kuning kecoklatan. Dinding hifa berlanjut dengan dinding spora (Gambar 16).
8. Glomus sp8. Spora ditemukan tunggal, berbentuk lonjong berwarna kuning dengan permukaan kasar. Ukuran spora 106.4 x 90.4 µm. Dinding spora terdiri dari tiga lapis, berwarna kuning. Tebal keseluruhan dinding spora 11.97 µm. Hifa berwarna kuning dengan permukaan kasar seperti permukaan spora (Gambar 17).
50
20µm
20µm
Gambar 16 Glomus sp7. (pembesaran 600x).
Gambar 17 Glomus sp8. (pembesaran 600x).
9. Glomus sp9. Spora ditemukan tunggal, bulat, warna kuning sampai kuning kemerahan, ukuran
79.8 – 106.4 x 79.8 – 106.4 µm. Permukaan spora
diselubungi oleh lemak. Dinding spora terdiri dari 1 lapis berwarna coklat kemerahan. Tebal dinding spora 6.65 – 9.3 µm. Hifa berwarna hyalin hingga kuning dan tidak membentuk pori pada dasar spora (Gambar 18).
10. Glomus sp10. Spora ditemukan tunggal, bulat hingga lonjong, berwarna kuning kecoklatan, ukuran 106.4 – 127.7 x 109.1 – 106.4 µm. Dinding spora terdiri dari 1 lapis, berwarna kuning kecoklatan. Tebal dinding spora 6.65 µm (Gambar 19).
20µm
20µm
Gambar 18 Glomus sp9. (pembesaran 600x).
Gambar 19 Glomus sp10. (pembesaran 600x).
11. Gigaspora sp. Spora ditemukan tunggal, berwarna kuning kecoklatan, ukran 666.6 x 666.6 µm. Dinding spora terdiri dari 1 lapis berwarna kuning kecoklatan. Tebal dinding spora 6.7 µm. Bulbus suspensor berwarna kuning kecoklatan, berukuran 133 x 26.6 µm (Gambar 20).
51
12. Scutellospora sp1. Spora ditemukan tunggal, berwarna kuning muda, ukuran 465 x 465 µm. Dinding spora terdiri dari 2 lapis. Dinding pertama yaitu dinding luar berwarna kuning. Dinding ke dua hyalin berlekatan dengan dinding pertama. Tebal keseluruhan dinding spora 9.3 µm. Bulbus suspensor dan hifa pembawa berwarna kuning muda (Gambar 21).
100µm
100µm
Gambar 20 Gigaspora sp. (pembesaran 150x).
Gambar 21 Scutelospora sp1. (pembesaran 150x).
13. Scutellospora sp2. Spora ditemukan tunggal, berwarna coklat gelap kemerahan, bentuk bulat hingga lonjong, ukuran 496 – 1.240 x 651 – 1.240 µm. Dinding spora terdiri dari dua lapis berwarna coklat gelap, dinding ke dua menyatu dengan dinding pertama. Tebal dinding spora 6.7 µm. Bulbus suspensor berwarna kuning hingga coklat kemerahan (Gambar 22).
100µm
Gambar 22 Scutellospora sp2. (pembesaran 150x). Berdasarkan analisis vegetasi dan kolonisasi FMA didapatkan beberapa spesies tumbuhan selain akasia yang memiliki peluang dijadikan sebagai tumbuhan revegetasi lahan bekas tambang. Diantara tumbuhan yang dapat tumbuh dengan baik pada lahan bekas tambang ialah tumbuhan S. wallichii dan D. costulata. Ke dua jenis tumbuhan ini memiliki persentase kolonisasi FMA yang
52
cukup tinggi sehingga diduga mampu beradaptasi dengan lahan bekas tambang yang bersifat marginal. Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2008) mendapatkan ke dua jenis tumbuhan tersebut memiliki laju dekomposisi, keragaman cendawan dekomposer dan rizoplan yang cukup tinggi. Tingginya laju dekomposisi akan mempercepat pengembalian unsur- unsur hara ke dalam tanah sehingga dapat mempercepat perbaikan sifat tanah pada lahan bekas tambang. Dengan demikian tumbuhan lain juga akan dapat tumbuh setelah ke dua tumbuhan tersebut tumbuh pada lahan bekas tambang timah tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka dapat disimpulkan bahwa : 1. Akasia merupakan tumbuhan yang semua
mendominasi vegetasi hampir pada
fase pertumbuhan di semua lahan bekas tambang. Secara
keseluruhan indeks keanekaragaman vegetasi pada lahan bekas tambang tergolong rendah yang berarti proses suksesi pada lahan tersebut berjalan lambat, meskipun sudah dilakukan usaha revegetasi. 2. Lahan bekas tambang yang sudah direvegetasi selama 3, 16 dan 28 tahun masih merupakan lahan marginal. Karakterisik lahan bekas tambang tidak mendukung untuk pertumbuhan tanaman. 3. Analisis sifat tanah menunjukkan bahwa tanah di lahan bekas tambang didominasi oleh fraksi pasir dengan fraksi liat yang sangat rendah. Tingkat kesuburan
tanah
sangat rendah sehingga tidak dapat menjadi media
tumbuh yang baik bagi tanaman. 4. Lamanya usia revegetasi akan mempengaruhi sifat fisika dan kimia tanah, dimana sifat fisika dan kimia tanah akan membaik seiring berjalannya waktu. 5. Sebagian vegetasi fase pohon yang tumbuh pada lahan bekas tambang bersifat mikotrofik, yaitu bersimbiosis membentuk mikoriza arbuskula dengan tipe kolonisasi tipe arum dan tipe paris. 6. Keragaman FMA dipengaruhi oleh sifat fisika dan kimia tanah, persentase kolonisasi FMA pada akar dipengaruhi oleh sifat tanah dan kebutuhan atau ketergantungan tumbuhan terhadap FMA. 7. Ditemukan 13 spesies FMA, 10 spesies dari Glomus, 2 spesies dari Scutellospora dan 1 spesies dari Gigaspora. 8. Glomus merupakan genus yang paling dominan yang terdapat pada semua lahan bekas tambang.
55
Saran Beberapa hal yang dapat disarankan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Analisis fungi mikoriza pada fase semai, sapihan dan tiang perlu dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula pada lahan bekas tambang timah. 2. Penggunaan jenis akasia dalam merehabilitasi lahan bekas tambang perlu dipelajari dari aspek ekologi, karena hasil penelitian menunjukkan tidak terjadi peningkatan kesuburan tanah
yang cukup signifikan dengan
penggunaan tumbuhan ini dalam merevegetasi lahan bekas tambang. 3. Beberapa jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan sekunder dan lahan bekas tambang
(bukan tanaman
revegetasi) perlu
dipertimbangkan
untuk
merevegetasi lahan bekas tambang. Diantara jenis tumbuhan yang dimaksud adalah seru (Schima wallichii) dan pelaik (Dyera costulata).
DAFTAR PUSTAKA Allen EB, Allen MF. 1992. Development of mycorrhyzal patches in a successional arid ecosystem. Di dalam: Read DJ, Fitter AH, Alexander IJ, editor. Mycorrhizas in Ecosystem. Wallingford : CAB International. hlm. 164-170. Amriwansyah. 1990. Evaluasi dan deskripsi beberapa sifat fisik dan kimia tanah sebelum (kondisi alami) dan setelah (kondisi tanah kolong) proses aktivitas penambangan timah di tiga lokasi unit penambangan timah Bangka (tambang 25, 23 dan 45) wilayah produksi pulau Bangka-Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Badri LN. 2004. Karakteristik tanah, vegetasi dan air kolong pasca penambangan timah dan teknik rehabilitasi lahan untuk keperluan revegetasi (Studi kasus lahan pasca tambang timah Dabo Singkep) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Betlenfalvay GJ. 1992. Vesicular-arbuscular fungi in Nitrogen fixing legums: Prospect and problems. Di dalam: Norris JR, Read DJ, Varma AK. Methods in Microbiology. London: Academic Press. hal 375-389. Brower J, Zar J, Ende C. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Third Edition. USA: Wm. C. Brown Publisher. Brundreet M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1994. Working with Myccorrhizas In Forestry And Agriculture. CSIRO Forestry and Forest Products. CSIRO Centre for Mediterranean Agricultural Research Wembley, WA. Bernie Dell. Murdoch University. Murdoch, WA. Brundreet M, Melville L, Peterson RL. 1994. Practical Method in Myccorrhizal Research. Canada : Mycologue Publ. Brundrett C, Abbott LK. 1991. Roots of jarrah forest plant : Mycorrhyzal assosiation of shrubs and herbaceous plants. Australian Journal of Botany 39: 445-447 Cabello MN. 2001. Mycorrhizas and Hydrocarbons. Dalam Gadd GM, Penyunting. Fungi in Bioremediation. Cambridge, UK: Cambridge University. Cavagnaro TR, Gao LL, Smith FA, Smith SE. 2001 Morphology of arbuscular mycorrhyzas is influenced by fungal identity. New Phytologist 151 : 469 – 475.
57
Colgan W, Vavrek MC, Bolton J. 2004. revegetation of an Oil/Brine Spill : Interaction Between Plant and Mycorrhizal Fungi. http://ipec.utulsa.edu/Ipec/Conf 2002/colgan_vavrek_bolton_27.pdf [ Juni 2007] Cox GW. 2002. Laboratory Manual of General Ecology. Eight edition. Published by McGraw-Hill Higher Education. America. Dickson S. 2004. The Arum-Paris continuum of mycorrhyzal symbiosis. New Phytologist 163 : 469 – 475. Elfis 1998. Vegetasi kerangas pada daerah bekas penambangan timah di Pulau Singkep Kepulauan Riau [tesis]. Padang: Program Pascasarjana, Universitas Andalas. Ervayenri. 2005. Pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula dan tanaman indigenos untuk revegetasi lahan tercemar minyak bumi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Finlay RD. 2004. Mycorrhizal fungi and their multifunctional roles. J. Mycologist 18: 91-96. Greig-Smith, P. 1983. Quantitative Plant Ecology. Blackwell Scientific Publications. Oxford Hanafiah KA. 2005. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo Harley JL, Smith SE. 1983. Mycorrhizal Symbiosis. New York dan London: Academic Press. Hetrick BAD. 1994. Ecology of vesicular-arbuscular fungi. Di dalam: Powell CL, Bagyaraj DJ, edtor. Vesicular Arbuscular Mycorrhiza. Florida: CRC Press. hlm. 35-56 Kershaw KA. 1973. Quantitative and Dynamic Plant Ecology. Second Edition Butter dan Tanner, London. Khan AG. 1993. Occurrence and importance of mycorrhyzal in aquatic trees of New South Wales, Australia. Killham K.1994. Soil Ecology. Cambridge: Cambridge University Press. Kimmins JP. 1987. Forest Ecology. New York: Macmilan Publishing Company.
58
Kormanik PP, McGraw AC. 1982. Quantification of Vesicular-Arbuscular Mycorrhiza in Plant Root. St Paul: The American Phytopatology Society Kusmana C. 1997. Metode Survei Vegetasi. Bogor: PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Kustiawan W. 2001. Perkembangan vegetasi dan kondisi tanah serta revegetasi pada lahan bekas galian tambang batu bara di Kalimantan Timur. Rimba Kalimantan 6(2): 20-31. Kusumastuti E. 2005. Rehabilitasi lahan bekas penambangan timah di Pulau Bangka dengan amelioran bahan organik dan tanah mineral dengan tanaman indikator Jati ( Tectona grandis ) [ tesis ]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lestari ID. 2008. Potensi tumbuhan indegenous dan keragaman cendawannya sebagai tumbuhan revegetasi pada lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka [makalah seminar Pascasarjana]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Loveless AR. 1999. Prinsip Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik. Jakarta: PT. Gramedia. Marsono Dj. 1999. Visi dan Misi Konservasi Sumberdaya Alam di Indonesia, Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Menoyo E, Alejandra G. Becerra, Renison D. 2007. Mycorrhizal associations in Polylepis woodlands of Central Argentina. Can. J. Bot. 85: 526-531. Mosse B. 1981. Vesicula-Arbuscular Mycorrhyza Research for Tropical Agriculture. Hawai : Hawai Inst. Trop. Agric. Human Resources. Mueller- Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology, New York: John Wiley & Sons. Muliyawarman J. 1995. Mikoriza arbuskula pada rizosfer beberapa kultivar rambutan di Jakarta, Bogor dan Tanggerang [skripsi]. Bogor: Jurusan Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Neugabeur B. 1987. Peranan Hutan dalam Tata Guna Tanah di Daerah Tropis. Dalam Metzner J dan Daldjoeni N, Penyunting. Ekofarming Bertani Selaras Alam. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Nicoloti G, Egli S. 1998. Soil contamination by crude oil : impact on mycorrhyzosphere and on revegetation potential of forest trees. Environ. Poll. 99: 33-74. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Tokyo: Toppan Co, Ltd.
59
Ogawa H, Yoda K, Kira, Ogino K. 1987. Comparative ecological study on tree main type of forest vegetation in Thailand I structure and floristic composition. Nature and Life in Southeast Asia IV : 12-48 (Reprinted) Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah. 2005. http://www.bangkatengahkab.go.id/content.php?id_content = geografis. [25 Juni 2008]. PT Koba Tin. 2004. Pemaparan tentang kegiatan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan (KP) PT Koba Tin di Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. [PPAT] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1990. Peta satuan Lahan dan Tanah Lembar Bangka dan Belinyu Sumatera. Skala 1: 250 000. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. [PT Tambang Timah (Persero)]. 1991. Studi evaluasi lingkungan (SEL) Unit Penambangan dan Unit Peleburan Timah Pulau Bangka. Ringkasan Eksekutif, vol 1 – 4. Pangkal Pinang: PT. Tambang Timah Pangkal Pinang.
[PKRLT] Pusat Kajian rehabilitasi Lahan Tambang. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. 2006. Rehabilitasi lahan bekas tambang menuju pemanfaatan lahan yang berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Bekas Tambang. Yogyakarta : 11 Februari 2006. 2 hlm. http://pkrlt.ugm.ac.id/2006. [25 Februari 2006]. Redecker D, Raab P. 2006. Phylogeny of the Glomeromycota (arbuscular mychorrizal fungi) : recent developments and new gene marker. Mycologia 98(6) : 885-895. Rosdayanti H. 2004. Perbanyakan Jelutung Bukit (Dyera costulata) melalui kultur invitro [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Salim. 2005. Profil kandungan karbon pada tegakan Puspa (Schima wallichii Korth.). [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saptaningrum H. 2001. Karakteristik dan perubahan sifat fisik dan kimia tanah bekas galian tambang (tailing) dan dampaknya terhadap pertumbuhan vegetasi. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Schenck NC, Perez Y. 1988. Manual For The Identification of VA Mycorrhizal Fungi, 2nd edition. Gainesville: International Culture Collection of VA Mycorrhizal Fungi. Schüβler A, Schwarzott D, Walker C. 2001. A new fungal phylum, the Glomeromycota: phylogeny and evolution. Mycol Res 105:1413-1421.
60
Setiadi D, Muhadiono I. 2001. Penuntun Praktikum Ekologi. Bogor: Laboratorium Ekologi, Institut Pertanian Bogor. Setiadi D, Muhadiono I, Yusron A. 1989. Ekologi. Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Bogor: Pusat Antar
Setiadi Y. 1999. Pengembangan cendawan mikoriza arbuskula sebagai pupuk biologi dalam bidang kehutanan. Makalah disampaikan dalam work shop mikoriza ” Aplikasi Cendawan Mikoriza pada Tanaman Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan” 27 Desember-2 Oktober 1999 di Bogor. Setiadi Y. 2003. Rehabilitasi Lahan Hutan Terdegradasi. Teori dan Praktek Revegetasi Lahan Hutan. Bandung: PT Fiqri Jaya Manunggal. Setiadi Y, Mansur I, Budi SW, Achmad 1992. Petunjuk Laboratorium Mikrobiologi Tanah Hutan. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Setya AP. 1995. Mikoriza arbuskula pada tanaman manggis di Bogor [skripsi]. Jurusan Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Sieverding E. 1991. Vesicular-Arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical Agrosystems. Eschborn : Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Smith SE, Read DJ. 1997. Mycorrhizal Symbiosis, 2nd edition. Academic Press. California. US. Soerianegara I, Indrawan A. 1995. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan, Institut Pertanian Bogor. Yamada I. 1975. Forest ecological studies of the montane forest of Mt. Pangrango, West Java II stratification and floristic composition on the forest vegetation on the higher part of Mt. Pangrango. Tonan Ajia Kenkyu 13(4): 513-534 (Reprinted)
LAMPIRAN
62
Lampiran 1 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada R No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Nama Jenis Lokal Bebetut Betur Bintangor Isut-isut Jeled Kayu Menulang Kelimpuk / Trima Merapin Pahala Pelangas Pelawan Pengengkang Puley Rumput Miang Rumput Sesayat Samak Selampit Seru Spesies A Spesies B Ulas
Ilmiah Syzygium racemosum Calophyllum sp 1 Calophyllum lanigerum Syzygium claviforum Microcos tomentosa Cionanthus ramiflorus Commersonia bartramia Rhodamnia cinerea Eurya acuminata Aporusa actandra Tritanium sp Elaeocarpus stipularis Eurycoma longifolia Melhania incana Sceria purparascens Eugenia sp Syzygium lineatum Schima wallichii
KR (%)
FR (%)
INP(%)
3.62 26.09 18.84 1.45 1.45 13.04 1.45 6.52 2.9 2.17 1.45 2.17 2.17 1.45 1.45 1.45 1.45 7.25 0.72 2.17 0.72 100
2.38 9.52 16.67 2.38 4.76 4.76 2.38 7.14 4.76 4.76 4.76 4.76 2.38 4.76 2.38 2.38 2.38 9.52 2.38 2.38 2.38 100
6 35.61 35.51 3.83 6.21 17.81 3.83 13.66 7.66 6.94 6.21 6.94 4.55 6.21 3.83 3.83 3.83 16.77 3.11 4.55 3.11 200
Guioa pubescens
Lampiran 2 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada R No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Nama Jenis Lokal Bebetut Bintangor Jeled Kayu Batu Kendung Daun Lebar Merapin Mesira Pahala Pelangas Pelawan Pelempang Putih Pengengkang Samak Selampit Sempur Seru Sesapat Ulas
Ilmiah Syzygium racemosum Collophyllum sp 1 Microcos tomentosa Ilex cymosa Hellicia serrata Rhodamnia cinerea Ilex cymosa Eurya acuminata Aporosa actandra Tritanium sp Adinandra dumosa Elaeocarpus stipularis Eugenia sp Eugenia lineata Dillenia suffruticosa Schima wallichii Anisophylea disticha Guioa pubescens
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
3.53 7.65 2.35 1.76 2.94 14.12 12.94 14.12 10.59 1.18 1.18 3.53 4.71 4.12 0.59 9.41 1.76 3.53 100
6.67 4 5.33 4 5.33 10.67 9.33 10.67 10.67 2.67 1.33 4 5.33 5.33 1.33 5.33 2.67 5.33 100
1.35 2.77 2.12 1.75 2.84 18.97 12.03 11.11 16.86 1.88 1.63 2.95 4.42 2.06 0.12 10.3 1.34 5.5 100
11.54 14.42 9.8 7.51 11.11 43.76 34.3 35.9 38.11 5.72 4.14 10.48 14.46 11.51 2.04 25.04 5.77 14.37 300
63
Lampiran 3 Nilai KR, FR, DR dan INP fase tiang pada R No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Jenis Lokal Bebetut Kendung daun lebar Akasia Bintangor Merapin Pelangas Mensira Jeled Seru Cempedak
Ilmiah Syzygium racemosum Hellicia serrata Acacia mangium Collophyllum laginerum Rhodamnia cinerea Aporosa actandra Ilex cymosa Microcos tomentosa Schima wallichii Arthocarpus champeden
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
3.45 10.34 13.79 10.34 3.45 3.45 24.14 10.34 13.79 6.9 100
4.17 12.5 16.67 12.5 4.17 4.17 16.67 12.5 12.5 4.17 100
1.87 7.05 12.5 11.69 2.12 2.12 20.98 9.02 21.41 11.24 100
9.49 29.89 42.96 34.54 9.74 9.74 61.78 31.86 47.7 22.3 300
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
7.14 35.71 28.57 7.14 3.57 3.57 7.14 3.57 3.57 100
10.53 26.32 26.32 10.53 5.26 5.26 5.26 5.26 5.26 100
6.35 42.17 25.02 9.95 4.77 1.93 4.92 1.99 2.91 100
24.02 104.2 79.91 27.62 13.61 10.76 17.32 10.82 11.75 300
Lampiran 4 Nilai KR, FR, DR dan INP fase pohon pada R No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Jenis Lokal Bintangor Akasia daun lebar Seru Pelaik Isut- isut Mesira Cempedak Jeled Kayu pengikar
Ilmiah Collophyllum lanigerum Acacia mangium Schima wallichii Dyera costulata. Hook Syzygium claviforum Wall Ilex cymosa Arthocarpus champeden Microcos tomentosa
Lampiran 5 Nilai KR, DR dan INP fase semai pada RTL-3 No. 1 3
Nama Jenis Lokal Akasia Kayu putih
Ilmiah Acacia mangium M. leucadenron
KR (%)
FR (%)
INP (%)
4.67 0.64 100.00
8.51 4.26 100.00
13.18 4.89 200.00
Lampiran 6 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada RTL-3 No 1 2 3 4 5
Nama Jenis Lokal Akasia Kayu naga Kayu putih/gelam Kayu uba Pevila
Ilmiah Acacia mangium Calophyllum sp2 M. leucadenron Syzygium sp Eucalypthus urophyla
KR (%)
FR (%)
INP (%)
54.67 6.67 25.33 2.67 10.67 100.00
47.83 10.87 26.09 4.35 10.87 100.00
102.49 17.54 51.42 7.01 21.54 200.00
64
Lampiran 7 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada ROB-3 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Jenis Lokal Akar tepelas Akasia Alang-alang Jeled Katu hutan Keramunting Paku resam Pelaik Rumput jarum Rumput kelulut Rumput miang Rumput sesayat Serunai
Ilmiah Tetracera indica Acacia mangium I.cylyndrica Microcos tomentosa Breynia cernua Melastoma malabathricum Gleichenia linearis Dyera costulata Eleocharis sp Melhania incana Scleria purpurascen Eupathorium pallescens
KR (%)
FR (%)
INP (%)
0.44 21.15 32.60 0.88 0.88 9.25 2.20 0.44 24.67 0.44 5.29 1.32 0.44 100.00
2.00 22.00 20.00 2.00 4.00 16.00 2.00 2.00 10.00 2.00 10.00 6.00 2.00 100.00
2.44 43.15 52.60 2.88 4.88 25.25 4.20 2.44 34.67 2.44 15.29 7.32 2.44 200.00
Lampiran 8 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada ROB-3 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama Jenis Lokal Akar tepelas Akasia Bebetun Jeled Katu hutan Kayu putih Kayu uba Kemirai Leben Melangger Pelangas Samak Seru Simpur Telimpuk
Ilmiah Tetracera indica Acacia mangium Syzygium racemosum Microcos tomentosa B. cernua M. leucadendron Syzygium sp2 Trema orientalis Vitex pinnata Scoria blangeran Aporosa actandra Eugenia sp Schima wallichii Dillenia suffruticosa Commersonia bartremia
KR (%)
FR (%)
INP (%)
4.44 55.56 1.11 3.33 13.33 6.67 1.11 1.11 3.33 2.22 1.11 1.11 2.22 2.22 1.11 100.00
6.06 39.39 3.03 6.06 6.06 6.06 3.03 3.03 6.06 6.06 3.03 3.03 3.03 3.03 3.03 100.00
10.51 94.95 4.14 9.39 19.39 12.73 4.14 4.14 9.39 8.28 4.14 4.14 5.25 5.25 4.14 200.00
KR (%)
FR (%)
INP (%)
39.52 0.69 1.37 17.18 13.06 27.84 0.34 100.00
25.00 3.13 12.50 12.50 15.63 28.13 3.13 100.00
25.00 3.13 12.50 12.50 15.63 28.13 3.13 100.00
Lampiran 9 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada RTL-16 No. 1 2 3 4 5 6 7
Nama Jenis Lokal Akasia Pevila Putri malu Rumput jarum Rumput miang Rumput padi Serunai
Ilmiah A. mangium E. urophyla Mimosa pudica Eleocharis sp Melhania incana Eragrotis chariis Eupathorium pallescens
65
Lampiran 10 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada RTL-16 Nama Jenis
No 1 2 3
Lokal Akasia Kayu putih Pevila
Ilmiah A. mangium M.leucandron E. urophyla
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
11.11 44.44 44.44 100.00
11.11 44.44 44.44 100.00
7.27 49.42 43.31 100.00
29.49 138.31 132.20 300.00
Lampiran 11 Nilai KR, FR, DR dan INP fase tiang pada RTL-16 Nama Jenis
No 1
Lokal akasia
Ilmiah Acacia mangium
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
100.00
100.00
100.00
300.00
Lampiran 12 Nilai KR, FR, DR dan INP fase pohon pada RTL-16 Nama Ilmiah
No. 1 2
Lokal Akasia Pevila
Ilmiah A. mangium E. urophyla
KR (%)
FR (%)
86.67 13.33 100.00
81.82 18.18 100.00
DR (%)
INP (%)
91.34 8.66 100.00
259.82 40.18 300.00
KR (%)
FR (%)
INP (%)
1.01 22.22 25.76 1.01 0.51 1.01 0.51 0.51 0.51 8.08 0.51 7.58 4.55 3.54 0.51 6.06 4.04 5.05 2.02 1.01 2.02 1.52 0.51 100.00
3.33 11.67 5.00 1.67 1.67 3.33 1.67 1.67 1.67 10.00 1.67 8.33 3.33 3.33 1.67 1.67 13.33 10.00 3.33 1.67 3.33 5.00 1.67 100.00
4.34 33.89 30.76 2.68 2.17 4.34 2.17 2.17 2.17 18.08 2.17 15.91 7.88 6.87 2.17 7.73 17.37 15.05 5.35 2.68 5.35 6.52 2.17 200.00
Lampiran 13 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada ROB-16 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Nama Jenis Lokal Akar tepelas Akasia Alang-alang Bebetut Bintangor Katu hutan Kayu batu Kayu putih Kemirai Keramunteng Merapin Pakis Paku resam Pengengkang Rumput kemili Rumput merah Rumput miang Rumput sesayat Samak Seru Serunai Buah merah Daun bergerigi
Ilmiah Tetracera indica Acacia mangium Imperata cylindrica Syzygium racemosum Calophyllum laginerum Breynia cernua Symplocos cochinchinensis Melaleuca leucadendron Trema orientalis Melastoma malabathricum Rhodamnia cinerea Adiantum sp Gleicenia linearis Elaeocarpus stipularis E. retroflexa Melhania incana Scleria purparascens Eugenia sp Schiima waliichii Eupatorium pallescens Psychotria viridiflora Helicia robusta
66
Lampiran 14 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada ROB-16 Nama Jenis
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Lokal Akasia Bebetut Bintangor Cempedak Karet Kendung daun lebar Kenidae Medang Merapin Mesira Pelawan Pelempang hitam Pelempang putih Puley Samak Selampit Seru Batang berpulas Noname Ulas
Ilmiah Acacia mangium Syzygium racemosum Calophyllum lanigerum Arthocarpus champeden Hevea brasiliensis Helicia serrata Bridelia toentosa Lissea sp Rhodamnia cinerea Ilex cymosa Tritanium sp Gordonia excelsa Eurycoma longifolia. Eugenia sp Syzygium lineatum Schima wallichii Glochidion superbum Guioa pubescens
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
19.35 4.84 1.61 1.61 1.61 4.84 1.61 1.61 3.23 1.61 3.23 1.61 1.61 1.61 3.23 3.23 33.87 3.23 1.61 4.84 100.0 0
15.63 3.13 3.13 3.13 3.13 3.13 3.13 3.13 3.13 3.13 6.25 3.13 3.13 3.13 6.25 3.13 21.88 3.13 3.13 3.13
38.36 1.08 0.84 5.25 0.21 0.80 0.21 0.33 1.90 2.22 1.12 0.21 2.95 0.84 1.52 1.31 34.88 0.97 1.59 3.42
100.00
100.00
73.34 9.04 5.58 9.99 4.95 8.76 4.95 5.07 8.25 6.96 10.59 4.95 7.69 5.58 11.00 7.66 90.62 7.32 6.33 11.39 300.0 0
Lampiran 15 Nilai KR, FR, DR dan INP fase tiang pada ROB-16 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Jenis Lokal Akasia Jambu Mete Karet Kendung daun lebar Pelaik Samak Sengon Seru
Ilmiah Acacia mangium Hevea brasiliensis Hellicia serrata Dyera costulata Eugenia sp Paraserianthes falcataria Schima waliichii
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
55.56 3.70 18.52 3.70 3.70 3.70 3.70 7.41 100.00
26.83 2.44 7.32 2.44 12.20 12.20 12.20 24.39 100.00
72.29 1.16 14.73 2.12 1.16 1.92 3.64 2.99 100.00
154.68 7.30 40.56 8.26 17.05 17.82 19.54 34.78 300.00
Lampiran 16 Nilai KR, FR, DR dan INP fase pohon pada ROB-16 No. 1 2 3 4 5 6 7
Lokal Akasia Bebetun Karet Pelaik Samak Sengon Seru
Nama Jenis Ilmiah A.mangium Syzygium racemosum Hevea brasiliensis Dyera costulata Eugenia sp Paraserianthes falcataria Schima waliichii
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
76.60 1.06 5.32 3.19 1.06 2.13 10.64 100.00
55.56 2.78 11.11 8.33 2.78 2.78 16.67 100.00
80.65 0.70 4.37 3.11 0.77 1.66 8.74 100.00
212.80 4.54 20.80 14.64 4.61 6.56 36.05 300.00
67
Lampiran 17 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada RTL-28 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama jenis Ilmiah Tetracera indica Acacia mangium Microcos tomentosa Melastoma malabathricum
Lokal Akar Tepelas Akasia Jeled Keramunting Rumput gudo Rumput jarum Rumput kelulut Rumput merah Rumput miang Rumput tebu
Eleocharis sp E. retroflexa Melhania incana Paspalum scorbiculatum
KR (%)
FR (%)
INP (%)
0.60 4.60 0.20 9.40 0.20 72.80 2.40 7.80 1.80 0.20 100.00
4.55 11.36 2.27 11.36 2.27 40.91 4.55 11.36 9.09 2.27 100.00
5.15 15.96 2.47 20.76 2.47 113.71 6.95 19.16 10.89 2.47 200.00
Lampiran 18 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada RTL-28 No 1 2 3 4
Nama jenis Lokal Akasia Akasia daun kecil Jeled Kayuputih
Ilmiah Acacia mangium Acacia auriculaformis Microcos tomentosa M. leucadendron
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
66.15 6.15 26.15 1.54 100.00
60.87 17.39 13.04 8.70 100.00
50.23 10.63 38.34 0.80 100.00
177.25 34.18 77.54 11.03 300.00
Lampiran 19 Nilai KR, FR, DR dan INP fase tiang pada RTL-28 No 1 2
Nama jenis Lokal Ilmiah Akasia Acacia mangium Akasiadaun kecil Acacia auriculaformis
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
90.00 10.00 100.00
56.52 43.48 100.00
89.58 10.42 100.00
236.10 63.90 300.00
Lampiran 20 Nilai KR, FR, DR dan INP fase pohon pada RTL-28 No 1
Lokal Akasia
Nama jenis Ilmiah Acacia mangium
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
100 100
100 100
100 100
300 300
68
Lampiran 21 Nilai KR, FR dan INP fase semai pada ROB-28 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Nama jenis Lokal Akar Bebenar Akar sesayat Akar Tepelas Akasia Alang alang Jelet Katu Hutan Kenidae Kera Munting Pelangas Putri malu Rumput Kemili Rumput Miang Serunai Rumput gudo Akar hijau Rumput kacang Anonim Anonim
Ilmiah Dioscorea pyrifolia Scleria purpurascens Tetracerra indica A. mangium I.cylindrica M. tomentosa B. ceernua Bridelia tomentosa M. malabathrycum Aporosa sp Mimosa pudica Melhania incana Eupatorium indica Pycnarhena cauliflora Stachytarphyta indica Borreria laevis Borreria sp
KR (%)
FR (%)
INP (%)
0.33 0.66 3.30 15.18 32.34 0.33 0.99 0.66 5.61 0.33 0.99 0.66 4.95 10.23 1.65 1.32 0.33 5.28 14.85 100.00
1.67 1.67 13.33 13.33 13.33 1.67 1.67 3.33 1.67 1.67 3.33 3.33 8.33 15.00 5.00 1.67 1.67 3.33 5.00 100.00
2.00 2.33 16.63 28.51 45.68 2.00 2.66 3.99 7.28 2.00 4.32 3.99 13.28 25.23 6.65 2.99 2.00 8.61 19.85 200.00
Lampiran 22 Nilai KR, FR, DR dan INP fase sapihan pada ROB-28 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Lokal Merapin Leben Jeled Pelangas Kemeti Pahala Kenidae Selampit Akasia Seru Pelaik Pengengkang Kayuputih
Nama Jenis Ilmiah Rhodamnia Cinerea Vitex pubescens Microcos tomentosa Aporosa sp Syzygium spicatum. Bridelia tomrntosa Eugenia lineata Acacia mangium Schiima waliichii Dyera costulata Elaeocarpus stipularis Melaleuca leucadendron
KR (%) 2.22 2.22 8.89 26.67 2.22 2.22 15.56 8.89 11.11 8.89 2.22 2.22 6.67 100
FR (%) 3.7 3.7 14.81 25.93 3.7 3.7 11.11 3.7 11.11 7.41 3.7 3.7 3.7 100
DR (%) 0.01 0.03 0.03 0.23 0.01 0.01 29.07 41.56 28.85 0.1 0.02 0.03 0.05 100
INP (%) 5.93 5.96 23.73 52.83 5.94 5.93 55.74 54.15 51.07 16.4 5.95 5.96 10.42 300
69
Lampiran 23 Nilai KR, FR, DR dan INP fase tiang pada ROB-28 No 1 2 3 4 5
Lokal Akasia Kayuputih Kenidae Seru Anonim
Nama jenis Ilmiah Acacia mangium Melaleuca leucadendron Bridelia tomrntosa Schiima waliichii Ficus fistulata
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
42.86 7.14 35.71 7.14 7.14 100.00
40.00 10.00 30.00 10.00 10.00 100.00
0.03 0.01 99.96 0.00 0.00 100.00
82.88 17.15 165.67 17.15 17.15 300.00
Lampiran 24 Nilai KR, FR, DR dan INP fase pohon pada ROB-28 Nama jenis
No Lokal
Ilmiah
1
Akasia
2
Leben
3
Kenidae
4
Pelaik
5
Sengon
6
Seru
Acacia mangium Vitex pubescens Bridelia tomrntosa Blume Dyera costulata Hook Paraserianthes falcataria Schiima wallichii
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
79.31 2.30 4.60 2.30 9.20 2.30
55.56 5.56 8.33 5.56 19.44 5.56
74.93 3.36 4.81 2.22 13.49 1.18
209.80 11.22 17.74 10.08 42.13 9.03
100.00
100.00
100.00
300.00