PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BERBASIS EKONOMI BIRU DALAM POTENSI SDA KELAUTAN Oleh : Abd. Wahab Hasyim
Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah konsep pembangunan berdimensi jangka panjang, masa kini dan masa depan. Model pembangunan yang memiliki nafas dan roh yang peduli akan ketersediaan hidup ummat manusia planet bumi, baik secara ekonomi, sosial, dan ekologi (Iskandar, 2009; Komisi Brunland, 1987; Chua, 2006; WCED, 1987). Pembangunan berkelanjutan, merupakan suatu keniscayaan cetak biru (blue print) dengan menstream utama pemberlanjutan kehidupan biotik, abiotik dan keterjagaan planet bumi. Hampir semua pencinta lingkungan (environmentalis) percaya dan yakin bahwa pembangunan ekonomi yang telah berlangsung ber abad-abad dimotori dengan konsep ekonomi klasik yakni memburu keuntungan yang maksimal. Pendekatan mekanisme pasar (market economy) dengan ajaran dari ayat-ayat yang bersumber dari “mazhab“ kapitalisme. Sistem ekonomi komando (command economy) aplikasi mazhab komunis/sosialisme, juga telah gagal menghantarkan lingkungan beserta isinya tetap terjaga. Sistem ekonomi campuran (mixed economy), yang hadir sebagai penengah, juga terbukti hanya melahirkan para binatang ekonomi (animal economic). Sistem-sistem tersebut, telah gagal menahan laju deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan. Pembangunan berkelanjutan, sebagai model pembangunan alternatif, hadir dengan misi mengkoreksi aktifitas eksploitasi massal terhadap sumber daya alam dan lingkungan dengan pendekatan pengejaran pertumbuhan ekonomi (economic growth) masa lalu yang telah melampaui ambang batas ketersediaan SDA dan daya dukung (carryng capacity) lingkungan (Diesenderof, 2000; Djajadiningrat, 2001). Esensinya, pembangunan untuk kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, tidak merusak sistem alam, atmosfir, air, tanah, dan makhluk hidup, mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan, mengendalikan eksploitasi sumberdaya alam, dan berkeadilan (Firmanzah, 2012).
Dalam pandangan Serageldin & Steer (1994) cetak biru (blue prient) dari pembangunan berkelanjutan harus berisikan keberlanjutan secara ekonomi yang meliputi : 1. Pembangunan berbasis pertumbuhan, yakni segala eksploitasi sumberdaya alam terbarukan dan takterbarukan, harus memiliki dimensi pengembangan kemanfaatan masa kini, lebih-lebih untuk transgenerasi. Pengelolaan sumber daya takterbarukan, harus mampu memberi manfaat berlanjut pada pertumbuhan kegiatan lain, misalnya pendidikan, sosial, peningkatan kualitaas sumberdaya manusia, dan memberikan efek ganda (multiplier effect) pada kegiatan ekonomi lainnya. 2. Pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan secara efisiensi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan menjadi cadangan keberlanjutan bagi kebutuhan generasi masa depan. Pengelolaan secara massif
yang menyebabkan laju deplesi
meningkat harus dihindari. 3. Pembangunan dengan pertumbuhan untuk banyak orang dan tersedia bagi generasi sekarang dan tercukupi untuk generasi masa depan, yang dilaksanakan secara efisiensi, merupakan suatu keadaan untuk stabilitas pembangunan berkelanjutan.
Gambar 1: Pilar Pembangunan Berkelanjutan (Serageldin & Steer, 1994)
Secara environmental (ecologi), pembangunan berkelanjutan memiliki tiga agenda utama, yaitu : 1.
mempertahankan keterjagaan keanekaragaman hayati (biodevercity). Sebagai sumber bahan sandang, pangan, dan papan, serta bahan obat-obatan.
2.
Keberlanjutan sumber daya alam juga sangat ditentukan oleh keterjagaan/kelestarian lingkungan fisik. Tanah, air, sungai, dan laut, serta udara yang terjaga/lestari dan bestari, dapat menjamin tetap tersedianya natural resources. Lingkungan yang telah mati, degradasi dan deplesi, tidak akan mampu secara produktif menyediakan natural resources yang dibutuhkan manusia.
3.
Lingkungan yang hidup dan berlanjut, dapat memberikan kesejukan alam, menjamin kenyamanan hidup, bila lingkungan bebas dari polusi. Polusi bikinan manusia (pabrik, industri, kendaraan bermotor, sisa-sisa kosmetik, bahan beracun, sisa olahan pabrik, sampah rumah tangga masyarakat, dan lainnya, sangat mengganggu lingkungan fisik. Kawasan pemukiman, air, sungai, danau, laut, dan udara, adalah lingkungan yang harus tetap terjaga dari polusi, karena manusia melakukan aktifitas di situ. Secara sosial, pembangunan berkelanjutan memiliki tiga agenda utama, yaitu :
1.
Empowerment, perkuatan pada kapasitas manusia (pendidikan dan pelatihan) akan dapat meningkatkan kualitas manusia. Pemberkuasaan pada partisipasi manusia, dapat meningkatkan inovasi dan kreasi manusia. Elemen-elemen ini yang dibutuhkan pembangunan berkelanjutan bagi pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelolah sumber daya alam.
2.
Kelembagaan, meliputi lembaga formal maupun non formal. Kelembagaan non formal berbasis kearifan dan budaya lokal, sangat berperan dalam pembangunan berkelanjutan. Masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, perempuan, pemuda, dan sesepuh desa/kampung, adalah faktor-faktor kunci dalam pembangunan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam setempat.
3.
Hubungan dan kebersamaan hidup yang baik untuk para pemangku kepentingan dalam suatu wilayah, merupakan modal sosial utama bagi keberlanjutan sosial di wilayah tersebut.
Korelasi dan keterkaitan dimensi-dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial (emosi) dalam pembangunan berkelanjutan tersebut dapat bermuara pada tercapainya masyarakat yang sejahtera, bebas dari pengangguran dan kemiskinan, kebutuhan sandang, pangan, dan papan dapat terpenuhi. Pemerataan yang menjadi hambatan klasik distribusi sumber-sumber hidup, dapat tercipta dengan adanya korelasi keberlanjutan ekonomi, sosial, dan ekologi. Perubahan iklim, dan cuaca dapat diminimalisir menuju pada kondisi normal yang alami, manakala faktor ekologi selalu sejalan dengan faktor ekonomi dan sosial. Salah satu alternatif format pembangunan berkelanjutan berbasis sumber daya alam, adalah konsep ekonomi biru (blue economy).
Pembangunan Berbasis Ekonomi Biru Diskursus seputar ekonomi biru (blue economy) mewarnai setiap pertemuan para pemimpin dunia, terutama pejabat tinggi Asia-Pasifik Economic Coorperation (APEC). Konsep ini menjadi tema penting, karena mulai disadari bahwa konsep-konsep “sustainable development” yang diprakarsai komisi Brunland, tidak mampu menyelamatkan lingkungan fisik bagi masa depan ummat manusia. Demikian halnya, pada
ekonomi hijau (Green
economic) yang dipengaruhi aliran modernisasi ekologi, ternyata tidak mampu menahan laju deforestasi hutan tropis dunia. Laju deforestasi tak terkendali, dan green economic ternyata memiliki sejumlah kelemahan dan untuk itu perlu paradigma baru dalam pembangunan ekonomi yang tetap mempertahankan manfaat sisa dari setiap aktifitas ekonomi. Harapan untuk tetap mempertahankan keceriaan hidup masa depan generasi manusia, dan generasi sekarang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak, maka konsep ekonomi biru (blue economic) mencoba hadir ke panggung depan pembangunan ekonomi bangsa untuk memecahkan masalah tersebut. Meskipun begitu, Ekonomi biru bukan merupakan ilmu baru. Terminologi blue economy telah menjadi debat-diskusi banyak pihak di berbagai forum, substansinya lebih fokus pada manejemen berkesinambungan dan melestarikan sumber-sumber daya alam lebih khusus sumber daya kelautan. Tokoh yang paling menonjol dan menjadi konseptor utama ekonomi biru adalah Gunter Pauli (2010) setelah terinspirasi aliran ekologi-dalam (deep-ecology) hasil pemikiran
Arne Naess (1970). Pauli berusaha mengoreksi dan memperbaiki praktik green economic, yang selanjutnya mengembangkannya menjadi blue economic. Pauli memiliki visi, dimana kehidupan manusia harus selalu dikelilingi samudera yang biru dan astri, manusia selalu berada dibawah atap-atap langit biru dan menyejahterakan bagi manusia. Laut dan langit biru itulah simbol lingkungan yang bersih. Dalam pandangan Pauli, dengan melakukan efesiensi pada setiap pengelolaan sumber daya, proses pengelolaannya dilakukan dengan pendekatan nirlimbah (zero waste), inklusi sosial, pemerataan sosial dan kesempatan kerja bagi orang miskin, inovasi dan adaptasi serta efek ekonomi pengganda. Akan tercipta suatu keadaaan dimana masyarakat yang semula berada pada tatanan kelangkaan, bergeser menuju
kelimpahan dengan pertumbuhan produksi secara
berkelanjutan. Umumnya kelangkaan terjadi, karena manusia salah dalam memaknai bahwa, ekonomi hanyalah salah satu aspek dari keseluruhan ekologis, suatu sistem hidup yang terdiri dari manusia yang berinteraksi secara terus menerus dengan sumberdaya alam dan organisme hidup lainnya. Karena itu, alam dan ekosistemnya harus terus terjaga keasliannya sehingga dapat berkelanjutan. Ekonomi biru hadir sebagai alternatif kebijakan dengan tujuan mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak lingkungan. Ekonomi biru, mengharuskan setiap aktifitas ekonomi harus mampu menjamin terlindungnya lingkungan dari pengaruh sisa eksploitasi dan ekstraksi sumberdaya ekonomi, aktifitas perekonomian yang berlangsung harus berada pada level rendah karbon (low carbon economy) yang selama ini berorientasi pada perburuan maksimalisasi profit jangka pendek dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Sebagai dewa, ekonomi biru hadir untuk memperbaiki kelemahan dari ekonomi hijau yang merupakan “mazhab” modernisasi ekologi. Mazhab modernisasi ekologi, merupakan suatu faham sinergitas ekonomi dan lingkungan (biotik non biotik) dengan pendekatan linier positivistik. Pandangan ini menyatakan bahwa, proses sosial ekonomi dan ekologi yang terjadi selama ini, berlangsung secara linier dan universal mengikuti filosofi Cartesian dari konsep Newton-Descartes. Kelemahan pendekatan ini, walaupun setiap aktifitas ekonomi dari sumberdaya alam dan lingkungan telah diinjeksi dengan prinsip-prinsip kelestarian
lingkungan, namun outputnya cukup mahal (ekolabel). Impaknya, aspek keberlanjutan sosial yang berkeadilan tidak tercapai, karena produk ekolabel tidak mampu dijangkau lapisan masyarakat marginal yang juga memiliki keterbatasan kemampuan. Konsep Ekonomi biru memandang pentingnya melihat alam sebagai sebuah organisme hidup, sehingga tatanannya harus tetap dipertahankan dalam jangka panjang. Aktifitas pembangunan tidaklah harus memutus matarantai ekosistem sebagai suatu kesatuan dimana terjadi interaksi manusia dengan alam, dan alam dengan manusia. Aktifitas manusia harus kembali ke alam (back to nature). Akselerasi pembangunan berkelanjutan dapat dipacu dengan menggikuti aliran alam (logic of ecosystem). Karena itu, selain diperlukan pengetahuan dan teknologi terutama tekhnologi tepat guna yang ramah lingkungan, juga yang sangat penting adalah kearifan lokal (local wisdom). Salah satu contoh adalah Aplikasi untuk pengelolaan sumberdaya laut dan perikanan menuntut perlu adanya cutting-edge innovations yang bukan hanya dapat memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan, tetapi mampu menjamin produksi berlangsung dengan proses tanpa limbah. Dalam pandangan ini diterapkan, resep keseimbangan ekosistem dan lingkungan yang trophic level menjadi terabaikan. dimana ekonomi biru adalah ekonomi yang mementingkan keseimbangan dan ke aslian alam. Menurut Purwanto (2000) keseimbangan sistem (homeostatis) adalah kekuatan pengatur “perimbangan alam” atau the balance of nature. Siklus ekologi menjadi modal alam setiap aktifitas dan perubahan. Sebagi contoh, sekawanan sapi di padang rumput, setelah memakan rumput, sapi-sapi mengeluarkan kotoran yang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan rumput. Jika sapi-sapi tersebut keluar dari padang rumput tersebut, maka rumput-rumput akan mati, karena telah tumbuh pohon-pohon besar. Sapi dan rumput adalah sistem yang utuh dan seimbang, dan saling ketergantungan dalam hidup. Contoh lain, bagaimana meningkatkan budi daya perikanan lopster tanpa menggunakan pakan, karena spesies yang dibudidayakan memperhatikan trophic level dan lain sebagainya.
Elemen-elemen Ekonomi Biru
Walaupun dalam implementasinya, konsep ekonomi biru masih menjadi perbincangan di banyak negara, namun konsep ini sesungguhnya dapat dicapai manakala seluruh pihak dapat memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1.
Pengelolaannya dilakukan dengan mengikuti prinsip efisiensi alam (nature’s efficiency), yakni setiap pengelolaan sumberdaya alam akan terjadi proses “tanpa limbah” - tidak ada sisa untuk limbah dimana limbah dari satu proses menjadi bahan baku dari proses produksi yang lain.
2.
Kepedulian sosial (social capital and equity) dimana peningkatan pendapatan, lebih banyak hasil (multiple revenue), lebih banyak penyerapan tenaga kerja, lebih banyak peluang usaha bagi masyarakat.
3.
Inovasi dan kreativitas, dimana akan melahirkan bisnis inovatif dan kreatif untuk melipat-gandakan hasil, memperluas lapangan kerja, namun tidak merusak lingkungan. Paradigma ilmu ekonomi, sebagai sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhan manusia
secara individu, berkelompok, bermasyarakat, dan bernegara secara berkelanjutan, maka konsep ekonomi biru mengharuskan manusia dalam melangkah, membuat rencana, dan melakukan implementasi terhadap sumber daya alam harus diawali dengan konsep berpikir sistematik mengikuti cara bekerja alam dimana memeprhatikan keberlangsungan alam, seperti air mengalir dari hulu ke hilir. Selain masalah efisiensi yang menjadi agenda utama dari ekonomi biru, Pauli (2010) selanjutnya menekankaan pada empat prinsip pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya sebagai berikut: (1)
nirlimbah (zero waste), prinsip ini menekankan sistem siklikal dalam proses produksi sehingga tercipta produksi bersih. Setiap suatu proses produksi atau ekstraksi terhadap sumberdaya, selalu ada limbah atau sisa produksi. Limbah tersebut dapat menjadi bahan materaial (raw materials) atau sumber energi bagi produksi lanjutan dan tentunya diharapkan memiliki nilai ekonomis;
(2) inklusi sosial, hasil dari setiap pengelolaan sumberdaya alam harus mampu menciptakan rasa keadilan melalui pemerataan sosial dan menyediakan kesempatan kerja yang layak dan berkelanjutan bagi orang miskin;
(3)
inovasi dan adaptasi, yang memperhatikan prinsip hukum fisika dan sifat alam yang adaptif;
(4)
efek ekonomi pengganda, bahwa setiap ekstraksi terhadap bahan baku alam, mesti memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang berarti aktivitas suatu ekonomi dapat membangkitkan aktifitas ekonomi lanjutan yang berantai dan berdampak luas. Efek ekonomi pengganda memiliki pasar yang relatif aman dan tak rentan terhadap gejolak harga pasar. Ekonomi biru lebih berorientasi pada produk ganda sehingga tidak bergantung pada satu produk saja. Contoh ekonomi biru dalam bidang perikanan lainnya, seperti masyarakat dan petani
nelayan dapat memanfaatkan ikan untuk membuat beberapa jenis komoditi yang dapat memberi nilai ekonomi. Daging ikan dapat dibuat menjadi produk abon atau ikan kaleng. Limbah ikan berupa seperti tulang, sisik, kulit dan ekor dapat dijadikan tepung atau pakan ikan yang dapat memperkembangkan produksi ikan. Sedangkan sisa bagian dalam ikan, bisa menjadi bahan baku pembuatan kecap. Sehingga akan menjadi sistem yang selalu berhubungan. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dengan mengikuti model konsep ekonomi biru, sebenarnya
telah diterapkan pada berbagai negara. Pemerintah Maroko
misalnya dianggap berhasil dalam menerapkan prinsip ekonomi biru dengan tekhnologi yang diidealkan bersahabat dengan lingkungan. Implementasikan untuk menjadikan setiap pengelolaan sumber daya laut di Maroko, selalu diusahakan agar tercipta kegiatan produk tanpa-limbah atau selalu bermuara pada sisa usaha dengan nilai ekonomi. Para nelayan di Maroko, memanfaatkan energi gelombang, energi matahari, tenaga angin, arus laut, dan potensi tradisional lokal setempat, sebagai sarana dan bahan bakar menggerakan perahu dan motor untuk usaha eksploitasi sumber daya perikanan laut di Maroko. Usaha pemerintah Maroko tersebut, selain untuk mengendalikan laju (kecepatan) degradasi dan penghancuran lingkungan laut, ternyata mampu meningkatkan pendapatan nelayan dan penerimaan devisa negara. Di sisi pendapatan nelayan, yang mulanya berkisar pada US$ 2.000 per bulan, naik menjadi US$ 10.000 per bulan.
Selain itu, pemerintah juga menerapkan aturan yang ketat, sehingga prinsip inklusi sosial tetap terjaga, dan tidak ada dominasi penguasaan aset ekonomi kelautan untuk kelompok tertentu. Masyarakat pesisir Maroko dapat merasakan manfaat lebih dengan adanya penerapan program pengelolaan sumberdaya laut berbasis ekonomi biru. Model eksploitasi berlebihan melalui penggunaan sarana-prasarana bertekhnologi tinggi yang padat modal (capital intensive), yang sebelumnya telah menciptakan masyarakat nelayan pada klasklas ekonomi dengan kesenjangan sosial yang sangat tinggi, pada saat ini mulai terasa ada keseimbangan kesejahteraan kehidupan masyarakat.
Penerapan Prinsip Ekonomi Biru di Indonesia Implementasi pembangunan berbasis ekonomi biru, pada hakekatnya ytelah diterapkan di banyak daerah di Indonesia. Persoalan jarak dan komunikasi informasi yang kurang mengangkat keberhasilan daerah dan masyarakat dalam menerapkan konsep ekonomi nirlimbah pada pengelolaan sumberdaya alam. Sebagai contoh PT Great Giant Pineapple (PT GGP) di Lampung Tengah, telah merintis ekonomi biru dengan cara
membudidayakan
nanas, lalu selanjutnya mengolah menjadi aneka produk (kompas, 2013). Berawal dari keinginan untuk mempraktikkan ekonomi hijau, namun kemudian berkembang pada taraf memaksimalkan nilai tambah (value added) secara maksimal tanpa meninggalkan sisa (limbah) dari komoditas buah nenas. Limbah kulit nenas diperas sarinya menjadi jus. Selanjutnya limbah kulit dicampur dengan bebarapa jenis rumput menjadi pakan ternak. Lalu PT Great Giant Livestock, yang sebelumnya bergerak dibidang agrobisnis mengembangkan sayapnya pada usaha pengemukan ternak sapi. Dan berkembang pesat untuk melayani sekitar 30.000 ekor sapi. Limbah cair nanas kemudian diproses menjadi biogas. Yang ternyata kemudian dapat membantu mengurangi penggunaan batubara sekitar 5 persen. Perusahan dapat menyerap tenaga kerja di sekitar, dan rata-rata setiap hari mampu mengolah 2.000 ton nenas dari lahan 20.000 hektare. Ada 49 jenis produk utama dan sampingan yang bernilai ekonomi yang dihasilkan PT Great Giant Livestock dari komoditas
buah Nanas tersebut. Produk-produk tersebut menjadi permintaan lokal, regional, bahkan telah mampu menembus pasar ekspor di 50 negara (Kompas, 2013) . Provinsi Maluku Utara yang memiliki potensi sumberdaya tanaman sagu, pengelolaan secara tradisional tanaman sagu diberbagai daerah dapat dikatakan memberi nilai multiple cashflow, melalui beberapa kegunaan sebagai berikut: a. Tepung sagu, dapat menjadi bahan baku aneka kue dan (mie, soun, gula cair sarbitol); b. Aneka makanan tradisional (popeda, sagu lempeng, sinole), dan bahan baku pembungkus bakso; c. Daun sagu, dapat dimanfaatkan sebagai atap rumah; (d) pelepah daun sagu, dapat dimanfaatkan untuk dinding dan plafon rumah; e.. Batang pohon sagu, dapat dimanfaatkan menjadi papan untuk plafon dan dinding rumah; f. Ampas sagu, dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak, pupuk tumbuhan dan bahan baku budidaya jamur; g. Ujung pohon sagu yang belum diolah, dapat dimanfaatkan sebagai media budidaya ulat sagu (sabeta); h. Minyak sagu (bioetanol) dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku plastik yang dapat terurai dan obat-obatan
Ekonomi Biru Dalam Pembangunan Sumber daya Kelautan indonesia Indonesia ditakdirkan sebagai sebuah negara kepulauan (archipilego) dengan jumlah pulau kecil-besar sebanyak 17.508 buah pulau. Membentang dari Sabang (Pulau Sumatera) sampai Meuroke (Pulau Papua) dengan garis pantai terpanjang didunia setelah Kanada. Diperkirakan sekitar 40% arus pergerakan orang dan perdagangan barang-jasa bergerak masuk keluar melintasi perairan Indonesia. Sekitar 75% wilayah Indonesia adalah laut dan wilayah pesisir (coastal zone) dengan potensi sumber daya alam yang sangat berlimpah. Hal ini yang menjadikan, sektor kelautan menjadi fokus strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Terdapat 70% produksi minyak dan gas nasional berasal dari wilayah pesisir dan lautan. Sumber daya hidrokarbon, khususnya minyak dan gas yang tersedia di 60 titik
cekungan masih sangat besar sedangkan yang sudah dieksploitasi relatif masih sedikit. Minyak, tersedia 86,9 miliar barel, dan baru dicadangkan untuk dieksploitasi 9,1 miliar barel, sedangkan yang sudah diproduksi baru mencapai 0,387 miliar barel. Gas, tersedia 384,7 Trillion Standard Cubic Feet (TSCF), dan dicadangkan 185,8 TSCF, sedangkan yang sudah diproduksi hanya 2,95 TSCF (Firmanzah, 2012). Berbagai sumberdaya laut yang takterbarukan (non renewable resources) di atas, Indonesia juga memiliki sumber daya laut yang terbarukan (renewable resources) yaitu perikanan tangkap sebesar 6,817 juta ton pertahun, dan potensi lahan budidaya laut lebih dari 12 juta ha. Potensi sumberdaya ekonomi di sektor kelautan Indonesia ini, diperkirakan mampu mencapai US$ 1,2 triliun per tahun dengan penyerapan tenaga kerja berpotensi mencapai 40 juta orang. Potensi sumberdaya perikanan ini jika dioptimalkan pemanfatannya, sudah tentu akan mengurangi lebih dari 50 persen pengangguran yang terjadi saat ini berjumlah 87 juta orang pada tahun 2012. Dahuri (2010), membagi potensi sumber daya kelautan Indonesia menjadi menjadi 4 kelompok, yaitu: 1.
sumberdaya alam terbarukan (renewable resources) seperti perikanan, hutan bakau (mangrove), rumput laut (seaweed), padang lamun (seagrass) dan terumbu karang (coral reefs).
2.
Sumberdaya alam tak terbarukan (non renewable resources) yakni: minyak, gas bumi, timah, bauksit, biji besi, pasir kwarsa, bahan tambang, dan mineral lainnya.
3.
Energi kelautan berupa: energy gelombang, OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion), pasang surut dan arus laut.
4.
Laut sebagai environmental service dimana laut merupakan media transportasi, komunikasi, rekreasi, pariwisata, pendidikan, penelitian, pertahanan dan keamanan, pengatur iklim (climate regulator) dan sistem penunjang kehidupan lainnya (lifesupporting system). Potensi ekonomi sektor kelautan Indonesia diperkirakan mampu mencapai US$ 1,2 triliun per tahun dengan penyerapan tenaga kerja berpotensi mencapai 40 juta orang tenaga kerja pertahun. Dengan modal potensi kelautan tersebut, Indonesia
memandang laut dapat menjadi tumpuan pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berkeadilan (Firmanzah, 2012). Deskripsi sumber daya kelautan Indonesia di atas, masih merupakan potensi kekayaan alam laut dan samudera. Yang sesungguhnya masih jauh dari harapan untuk menyajikan wajah kesejahteraan bangsa. Realitas menunjukan, sampai saat ini pembangunan ekonomi kelautan Indonesia belum memberikan kontribusi yang signifikan atau optimal bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Sebagai bahan bandingan, ratio luas laut dan panjang pantai terhadap besarnya kontribusi bidang kelautan untuk total Produk Domestik Bruto (PDB) nasionalnya masih menunjukan wajah buram yang amat memiriskan. Sebagai gambaran, kontribusi sektor kelautan sebesar 22,42% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional pada tahun 2009. Aktifitas sektor kelautan Jepang, mampu mendongkrat ekonomi Jepang dengan kontribusi sebesar 48,4% bagi PDB nasionalnya (setara 17.552 miliar dolar AS). Korea Selatan sanggup menyumbang hingga 37% bagi PDB nasionalnya, dan Vietnam bidang kelautannya memberikan kontribusi hingga 57,6% bagi PDB nasionalnya. Padahal ketiga negara diatas, luas lautan dan panjang pantainya relatif jauh lebih kecil dari Indonesia. Dilihat dari share terhadap PDB Nasional, mengindikaskan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan bagi energi penggerak pembangunan ekonomi nasional, masih sangat kecil dibanding dengan potensi sumber daya yang tersedia. Banyak pakar sepakat, bahwa tidak maksimalnya kontribusi sektor kelautan terhadap PDB Nasional, karena walaupun berjalan, namun pengelolaannya sangat bersifat sektoral, parsial dan fragmented. Akibatnya, selalu muncul konflik kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaannya. Potret potensi sumber daya kelautan diatas, perlu mendapat sentuhan maksimal untuk menggerakan pembangunan ekonomi Indonesia. Upaya sebagai arus utama (mainstream) pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan (on a sustainable basic) didukung lima tujuan, yaitu: 1. Membangun jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia
2. Meningkatkan dan menguatkan sumber daya manusia di bidang kelautan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi 3. Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal yang terkait dalam kerangka pertahanan negara, 4. Membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan, dan 5. Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut. Berangkat dari tujuan pembangunan sumberdaya kelautan di atas, maka perlu diingat amanat dasar membangunan kelautan nasional harus melalui kebijakan dan strategi yang tepat, sistematik dan efektif, sehingga dapat terwujud cita-cita masyarakat sejahtera seperti yang diamanatkan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. 1.
Pembangunan kelautan nasional yang berpegang teguh pada prinsip kepentingan nasional, keadilan dan manfaat sebesar-besarnya untuk bangsa dan rakyat Indonesia.
2.
Pemanfaatan sumber daya kelautan yang seimbang, optimal, dan berkelanjutan sesuai potensi yang tersedia, baik secara spasial maupun temporal, serta sesuai dengan kaidahkaidah berlaku, baik tingkat regional maupun internasional.
3.
Tingkat pendapatan yang layak dan kualitas hidup yang baik bagi sumberdaya manusia kelautan.
4.
Sumberdaya manusia kelautan yang optimal, baik secara kuantitas maupun kualitas, dan bertaraf internasional.
5.
Penyerapan tenaga kerja nasional yang maksimal Perundangan dan peraturan yang kuat dibidang kelautan.
6.
Industri kelautan nasional yang efisien dan berdaya saing.
7.
Pembangunan kelautan yang sesuai dengan tata ruang dan berbasis kelestarian lingkungan.
8.
Jumlah prasarana dan sarana kelautan nasional mampu mendukung aktivitas ekonomi secara optimal dan memadai.
9.
Kontribusi yang maksimal dan signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) Nasional.
10.
Koordinasi kerjasama pembangunan kelautan nasional yang efektif, sinergis dan harmonis diantara tujuh kelautan dengan sektor lainnya.
Sektor Perikanan Perikanan merupakan sumberdaya esensial bagi kehidupan manusia. Sebagai unsur pangan, hampir setiap hari dibutuhkan beribu-ribu ton ikan untuk memenuhi permintaan masyarakat. Kebutuhan ikan, bukan hanya berasal dari dalam negeri, pasar regional, tetapi permintaan pasar global juga meningkat setiap tahun. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012), Indonesia memiliki potensi lestari sumberdaya ikan laut mencapai sekitar 6,4 juta ton/tahun atau 8% dari potensi lestari ikan laut dunia. Menurut Code of Conduct for Resposible Fisheries (FAO, 1995) jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch) adalah 80 persen dari total potensi lestari. Namun, dengan sarana dan prasarana penangkapan yang ada, Dahuri (2005) mengatakan kemampuan kita untuk mengelolanya baru mencapai 4,5 juta ton. Jika dibanding dengan China, tingkat produksi pertahun sebesar 17 juta ton; Peru, dengan produksi 10,7 juta ton; Jepang, dengan produksi 5 juta ton; dan Amerika Serikat sebesar 4,7 juta ton. Melihat potensi antara Indonesia dengan negara-negra tersebut, terbukti Indonesia masih sangat ketinggalan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Selisih sebesar 1,9 juta ton per tahun antara potensi sumberdaya ikan dan kemampuan tangkap, merupakan peluang yang memberikan manfaat dalam peningkatan devisa dan serapan tenaga kerja.
Gambar 2. Pengolahan ikan Asin.
Selain sumberdaya ikan, umumnya perairan laut dangkal di Indonesia mengandung potensi pengembangan budidaya laut (mariculture) untuk jenis rumput laut, teripang, mutiara, ikan kerapu, lobster, kakap, baronang dan lainnya diperkirakan seluas 24 juta Ha. Potensi laut dangkal ini belum dimanfaatkan dan
jika dimanfaatkan secara optimal
diperkirakan dapat menghasilkan komoditi laut yang bernilai ekonomi tinggi dengan nilai produksi sekitar 47 juta ton pertahun. Sementara itu diketahui juga bahwa perairan pesisir dan payau memiliki luas sekitar 1,5 Juta Ha, jika potensi ini dimanfaatkan secara optimal, diperkirakan mampu menghasilkan komoditi seperti udang, bandeng, kepiting, rajungan, rumput laut, dan biota lainnya sekitar 5 juta ton/tahun. Dari potensi yang tersedia bahwa, jumlah produksi budidaya pesisir dan tambak yang dicapai baru mencapai rata-rata sekitar 2,5 juta ton, maka Indonesia masih memiliki peluang besar untuk meningkatkan produk komoditi ini, meskipun segala sumberdaya yang diupayakan membutuhkan kreativitas dan inovasi termasuk sumberdaya manusia (SDM) di bidang perikanan yang akan dimanfaatkan secara optimal. Melihat potensi dan kandungan sumberdaya perikanan tersebut, sungguh sebuah deskripsi menakjubkan, bahwa Indonesia memiliki kedudukan penting di sektor perikanan. Total nilai ekonomi sumberdaya perikanan Indonesia ditaksir US$ 82,06 miliar (DKP, 2003). Potensi ini belum termasuk sumberdaya non ikan. Secara ekonomi, potensi tersebut berpeluang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan perolehan devisa negara terbesar dari sektor perikanan. Taksiran nilai ekonomi sumberdaya perikanan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1: Taksiran Nilai Ekonomi Perikanan Indonesia No Sub Sektor Potensi Lestari Perkiraan Nilai (1000 Ton) (US$ miliar) 1 Perikanan Tangkap 5.006 15,10 2 Perikanan Umum 357 1,07 3 Budidaya Laut 46.700 46,70 4 Budidaya Tambak 1.000 10,00 5 Budidaya air Tawar 1.039 5,19 6 Biotekhnologi 4,00 Jumlah 82,06
Saat ini pertumbuhan produksi makanan laut mencapai 7 persen pertahun. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu produsen makanan laut terbesar di Asia Tenggara. Sebagai contoh, untuk produksi ikan tuna, Indonesia menempati urutan ke tiga sebagai negara penghasil tuna terbesar di dunia.
Hal ini sejalan dengan semakin bertambah produksi
perikanan Indonesia dari tahun ketahun, yang masih didominasi perikanan tangkap. Total
produksi perikanan Indonesia tahun 2012 mencapai 12,03 juta ton yang berarti terjadi kenaikan sebesar 10, 31 persen dibandingkan tahun 2011 yang hanya sebesar 11, 58 juta ton.
13
Juta (ton)
11 9
9.82
8.86
7
5.00
5
3.84
5.11 4.71
10.83
5.35 5.48
12.03
11.58
5.84 5.64
6.11 5.92
3 1 2008 Perikanan Tangkap
2009
2010 Perikanan Budidaya
2011 2012 Total Produksi
Gambar 3. Produksi perikanan Indonesia
Indonesia sebagai sebuah negara besar, kini berada pada kategori negara berkembang baru (New development state) dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nomor dua tercepat di Asia Tenggara. Dari sisi pertumbuhan sektor perikanan, pada periode 2009-2010, produksi perikanan budidaya meningkat 16,34 persen, lebih tinggi dari produksi perikanan tangkap, yang meningkat 4,17 persen. Produksi terbesar diperoleh dari budidaya di laut, seperti disajikan pada tabel berikut (tabel 2). Walaupun peluang disektor perikanan ini cukup besar, tetapi ada beberapa tantangan yang perlu disikapi untuk mencapai perkembangan sektor perikanan yang bisa meningkatkan kontribusi sektor perikanan pada PDRB Indonesia maupun daerah.
Tabel 2. Produksi Perikanan Indonesia periode 2009-2010 Produksi Perikanan Tahun 2009 2010 Perikanan Tangkap 5.107.971 5.348.440 Perikanan laut 4.812.235 4.846.880
Kenaikan Rata-rata (%) 4,71 0,72
Perikanan Umum Perikanan Budidaya Budidaya laut Tambak Kolam Karamba Jaring Apung Sawah Total
259.736 4.708.563 2.820.083 907.123 554.067 101.771 238.606 86.913 9.816.534
501.560 5.478.062 3.385.552 990.403 627.643 117.860 272.705 83.900 10.826.502
69,60 16,34 20,05 9,18 13,28 15,81 14,29 -3,47 10,29
Sementara untuk laut dangkal jika dimanfaatkan dengan budidaya rumput laut, maka 1 juta hektar budidaya rumput laut, akan menghasilkan 16 juta ton rumput laut kering pertahun. Dengan asumsi harga saat ini dari rumput laut kering adalah 0,7 dolar Amerika per kg, maka budidaya rumput laut akan menghasilkan devisa sebesar 11,2 miliar dollar Amerika per tahun. Suatu nilai ekonomi yang sangat menggiurkan bagi
investor maupun pemerintah
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain nilai ekonomi yang tinggi, Melalui usaha budidaya rumput laut seperti ini diperkirakan dapat menyerap sekitar 3 juta tenaga kerja. Artinya bahwa sektor budidaya juga ikut membantu pemerintah dalam menyelesaikan tugas pemerintah dan swasta dalam penyerapan tenaga kerja yang selama ini menjadi masalah mendasar dalam setiap rezim pemerintahan. Penerimaan devisa negara menjadi lebih besar dan serapan tenaga kerja akan bertambah, jika bahan baku (raw materials) atau barang setengah jadi (good in process) digunakan sebagai input proses menghasilkan produk (output) yang memiliki nilai tambah (value added). Nilai tambah akan diperoleh jika komoditi rumput laut tersebut di ekstrak menjadi berbagai barang semi-refined products seperti (agar-agar, karaginan, alginat, makanan dan minuman) dan refined products (bahan pencampur coklat, milk shake, es krim, permen, pelembab, lotion, dan lainnya). Selain komoditas perikanan dan rumput laut, laut juga memiliki kekayaan lain, seperti: udang, ikan hias, kerang mutiara, teripang, cerax, dan abalone. Jenis-jenis sumberdaya laut ini, jika dikelola dalam kegiatan ekonomi lain. Dalam pandangan ekonomi, perikanan laut dalam, laut dangkal, pesisir pantai, dan usaha budidaya di Indonesia, merupakan sumberdaya primadona yang jika pengelolaannya dilakukan secara optimal dengan mengacu pada prinsip-prinsip sustainable, akan mampu mendongkrat Indonesia menjadi negara nomor satu penghasil devisa dari sektor kelautan dan
pesisir. Sebagai contoh, Dahuri (2005) menjelaskan potensi perikanan budidaya Indonesia diperkirakan mencapai 57,7 juta ton pertahun, sementara berdasarkan kemampuan pengelolaan, produksi yang dicapai saat ini baru mencapai 1,6 juta ton pertahun. Jika, political wiil pemerintah untuk lebih konsen pada pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, disertai dengan implementasi kebijakan dan program meningkatkan produksi perikanan (terutama perikanan budidaya) pada level 50 juta ton pertahun, maka Indonesia akan melampaui China yang produksinya 41 juta ton pertahun dan merupakan produksi puncak (saturation point) dan tidak dapat menambah lagi. Pencapaian pengelolaan yang masih jauh dari potensi ketersediaan sumberdaya, karena keterbatasan tekhnologi penangkapan, dan keahlian sumberdaya manusia. Potensi menjadi hasil maksimal bagi pembangunan masyarakat sekarang dan generasi mendatang, dibutuhkan keterlibatan aktif seluruh stakeholders, mendayagunakan seluruh potensi dan kemampuan, dengan tetap menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan lestari.
Pembangunan Perikanan di Maluku Utara Propinsi Maluku Utara merupakan salah satu dari tujuh propinsi Kepulauan yang ada di Indonesia. Luas wilayah Maluku Utara sebesar 140.255 kilometer persegi, yang terdiri dari daratan 33.278 kilometer persegi (23,72%) dan wilayah perairan seluas 106.977 kilometer persegi (76,28%). Letaknya terbentang Utara - Selatan sepanjang 770 Km dan Timur- Barat sepanjang 660 km, terdiri dari 805 buah pulau, dengan garis pantai sepanjangnn 3.104 Km. Dari jumlah pulau tersebut 64 pulau dihuni dan 741 pulau tidak dihuni. Kondisi topografi wilayah Maluku Utara sebagian besar bergunung-gunung dan berbukit-bukit dengan pulaupulau vulkanis dan pulau karang. Wilayah Maluku Utara yang berbatasan dengan Samudera Pasifik di Utara dan Laut Seram di Selatan ini, menyimpan potensi ikan dan hasil laut seperti tuna, cakalang, kakap, hiu, udang, tiram, teripang dan lainnya sekitar 135 juta ton per tahun, atau kurang lebih 3.32
ton per km. Jenis-jenis ikan yang banyak ditangkap masyarakat di wilayah ini, meleiputi: ikan pelagis besar (tuna, cakalang, marlin, tongkol, tenggiri dan cucut. Ikan pelagis kecil, seperti : layang, kembung, lemuru, selar dan tembang. Kelompok ikan karang konsumsi, sepert : kerapu, kakap, ekor kuning, beronang dan lancam. Sedangkan kelompok lobster, seperti udang karang, udang mangrove, kepiting dan barong. Umumnya pesisir pantai di Maluku Utara bersifat landai, namun pada beberapa bagian laut dangkal memiliki potensi besar dalam pengembangan dan budidaya ikan bandeng dan udang windu. Kondisi perairan Maluku Utara yang teduh dan jernih, terlindung dari pulau-pulau dan teluk, juga sangat berpotensi bagi pengembangan budidaya laut untuk berbagai jenis ikan, rumput laut dan kerang. Sebagai contoh, budidaya rumput laut yang dilakukan masyarakat Yoi dan Umera Pulau Gebe, budidaya ikan kerapu dan lobster (implementasi dana CSR Pascatambang PT ANTAM) telah mampu memberi kontribusi terhadap pendapatan nelayan di desa desa tersebut. Demikian halnya yang dilakukan di Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Tengah (Desa Loleo), dan beberapa spot di wilayah Maluku Utara, pada umumnya dapat membantu menambah pendapatan nelayan. Namun, keseluruhan potensi sumberdaya perikanan laut tersebut, sampai saat ini baru sekitar 25 persen yang telah direalisasikan. Berdasarkan laporan Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Utara (2011) produksi ikan pelagis besar, seperti : tuna, cakalang, tongkol, kakap dan tengiri sebanyak 211.590 ton per tahun. Selanjutnya, produksi ikan pelagis kecil (teri, kembung, selar, dan julung) mencapai 169.843 ton setiap tahunnya. Untuk ikan demersal, seperti : kakap merah, lencan, ekor kuning, dan baronang sebesar 1135.005 ton per tahun, ikan karang sebesar 97.801 ton per tahun, lobster sebesar 11.999 ton per tahun, cumi-cumi sebesar 35.072 ton per tahun, dan udang penied sebesar 26.545 ton per tahun. Untuk meningkatkan produksi ikan laut, juga telah dilakukan budidaya berbasis laut (marine based aquaculture), misalnya budidaya ikan kerapu menghasilkan panen hingga 38.484 ton per tahun; rumput laut sebanyak 16.387 ton per tahun;
ikan nila dan ikan mas sebanyak 19.682 ton per tahun, serta udang windu
sebanyak 3.556 ton per tahun.
Tabel 3. Produksi ikan di Provinsi Maluku Utara No Kabupaten/Kota Produksi Ikan (ton) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Halmahera Barat Halmahera Tengah Kepulauan Sula Halmahera Selatan Halmahera Utara Halmahera Timur Kota Ternate Tidore Kepulauan Kepulauan Morotai Total
2012 37.621,1 32.618,7 39.414,8 63.515,5 41.702,1 24.200,4 46.231,9 32.253,6 23.413,1 343.971,2
2011 36.553,6 31.551,6 38.224,6 59.492,2 40.616,6 24.101,3 45.186,2 31.194,4 22.334,7 328.255,2
2010 34.593,8 30.347,6 36.492,7 56.332,4 39.770,1 24.742,2 45.988,3 30.198,3 22.062,2 321.527,6
Secara agregat produksi perikanan tangkap Provinsi Maluku Utara pada tahun 2010 sampai dengan 2012 menunjukkan tren yang meningkat, yakni tahun 2011 sebesar 328.256 ton meningkat menjadi sebesar 343.971 ton. Produksi perikanan rata-rata di Maluku Utara menurut Kabupaten dan Kota disajikan pada Tabel 3 di atas.
Provinsi
Tabel tersebut
menunjukkan daari 9 Kabupaten dan Kota , produksi terbesar ada di Kabupaten Halmahera Selatan yaitu 63.516 ton, menyusul Kota Ternate sebesar 46.232 ton, Halmahera Utara 41.702 ton. Sementara produksi terendah berada di Kabupaten Kepulauan Morotai sebesar 23.413 ton, dan Halmahera Timur sebesar 24,200 ton.
Produksi terbesar di Kabupaten
Halmahera Selatan, selain karena pada wilayah ini memiliki potensial sumberdaya ikan yang menjadi incaran para nelayan, juga karena di Halmahera Selatan terdapat perusahaan Ikan yang melakukan investasi di daerah tersebut. Sementara untuk Kota Ternate dugaan produksi tertinggi karena merupaka daerah yang memiliki penduduk terpadat sehingga umumnya hasil tangkapan selalu didaratkan di Kota Ternate, disamping didukung dengan sarana prasarana yang cukup memadai bagi pengusaha dan nelayan. Walaupun potensi sumberdaya kelautan dan perikanan di Maluku Utara sangat besar, namun eksploitasinya masih sangat sedikit dibanding potensi lestari yang tersedia. Faktor yang sangat mendasar, karena produksi perikanan di daerah ini lebih didominasi aktifitas perikanan masyarakat, yang memiliki berbagai kendala (handicap). Keterbatasan tersebut seperti nelayan dengan perahu tanpa motor dan petani ikan dengan sistem budidaya tradisional. Sedangkan, keinginan untuk meningkatkan ekonomi sangat rendah, karena
minimnya infrastruktur, kurangnya modal dan investasi, terbatasnya tekhnologi penangkapan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia dibidang perikanan dan kelautan, dan rendahnya inovasi teknologi. Sementara menurut Hasan/Ayubar (2002), kebijakan ekonomi mikro, politik, hukum nasional, dan kelembagaan yang tidak kondusif yang terjadi di Indonesia terhadap pembangunan kelautan dan perikanan, adalah hambatan makrostruktural.
Ketersediaan Tenaga Kerja Sektor Perikanan Maluku Utara Pemanfatan sumberdaya perikanan yang optimal, dalam jangkap panjang akan terjadi efisiensi pemanfaatan. Selain itu juga dapat menyerap tenaga kerja tanpa mempengaruhi keberlanjutan (sustainable) Sumberdaya perikanan itu sendiri.
Pemanfaatan sumberdaya
yang optimal di Kota Ternate disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4. Ketersediaan tenaga kerja di sektor perikanan Kota Ternate Ikan
Cakalang
Tuna
Komo
Parameter h (ton) E (trip) ∏ (juta Rp) Armada/unit Tenaga Kerja/orang h (ton) E (trip) ∏ (juta Rp) Armada/unit Tenaga kerja/0rang h (ton) E (trip) ∏ (juta Rp) Aramada/unit Tenaga kerja/0rang
Pemanfaatan MEY 31,849.30 27,009.96 160,774.98
Aktual 7,052.37 10,333.14 8,539.12
5,210.64 3,688.16 20,100.33
1,815.21 5,507.00 7,215.90
1,849.57 1,130.04 5,983.35
3,274.53 2,522.93 4,020.46
Optimal 24,796.93 16,676.81 152,235.86 16.68 166.77 3,395.43 1,818.84 12,884.43 4.79 19.15 -1,424.95 -1,392.89 1,962.90 5.57 44.57
Sumber: Data olahan 2013
Kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan di Kota Ternate saat ini belum optimal, sehingga masih memungkinkan untuk penambahan effort atau upaya tangkap sebagaimana
disajikan pada tabel 4 diatas. Untuk upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal pada masing masing jenis ikan yakni perikanan Cakalang, Komo dan Tuna memungkinkan untuk penambahan effort atau upaya penangkapan (trip). Ikan Cakalang sebanyak 16.676 trip dengan nilai sekitar 152.235,8 juta pertahun, dari nilai effort jika dikonfersikan pada unit armada tangkap sebanyak 16,68 unit dan setiap unit armada tangkap membutuhkan 10 orang nelayan maka diperlukan 16 dapat menyerap tenaga kerja pada masing-masing jenis ikan yaitu ikan Cakalang sebanyak 166 nelayan setiap tahun. Sementara Ikan Tuna 4,7 unit dengan jumlah nelayan per unit armada 4 orang maka akan terjadi penambahan 19 orang nelayan dan Ikan Komo sebesar 5,57 unit armada akan membutuhkan sebanyak 44 orang tenaga kerja (nelayan). Berangkat dari asumsi di atas maka dengan adanya kegiatan optimalisasi pamanfaatan sumberdaya perikanan akan menyerap tenaga kerja di sektor perikanan. Selain itu juga perlu adanya
penyiapan sarana prasarana pendukung dan
pemberdayaan terhadap nelayan. Pemanfatan sumberdaya perikanan yang optimal, dalam jangka panjang selain akan terjadi efisiensi pemanfaatan, juga dapat menyerap tenaga kerja tanpa mempengaruhi keberlanjutan (sustainable) sumberdaya perikanan itu sendiri. Setiap wilayah Kabupaten dan Kota di Provinsi Maluku Utara memiliki prospek atau potensi sumberdaya perikanan, namun pemanfataan berbeda dalam jumlah dan jenis yang tersedia. Sebagai contoh potensi untuk pengembangan sumberdaya perikanan di Kota Ternate ada pada jenis perikanan Cakalang, Tuna dan Komo, tetapi untuk Kabupaten Halmahera Utara berada pada jenis perikanan Tuna, Cakalang dan Teri, begitu juga dengan wilayah lainnya.
Tabel 5. Ketersediaan Tenaga Kerja di Sektor Perikanan Halmahera Utara Ikan
Parameter h (ton)
MEY 18.357,37
Pemanfaatan Aktual 14.898,79
Optimal 10.001,74
E (trip) ∏ (juta Rp) Cakalang Armada/unit Tenaga Kerja/orang h (ton) E (trip) ∏ (juta Rp) Teri Armada/unit Tenaga kerja/0rang h (ton) E (trip) ∏ (juta Rp) Komo Aramada/unit Tenaga kerja/0rang Sumber: Data olahan 2013
24.900,52 126.370,25
18.356,57 37.161,53
8.982,80 7.107,72 56.759,91
3.888,64 6.062,14 14.593,75
6.459,02 7.359,43 43.060,77
833,24 683,01 4.205,71
6.543,95 39.174,70 18,18 181,78 5.094,16 1.045,57 26.968,20 6,53 26,14 5.625,78 6.676,41 20.910,01 25,68 205,43
Kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Halmahera Utara saat ini belum optimal, dan sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Dari kegiatan pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal akan menyerap tenaga kerja di bidang yang sama. Hasil penelitian BALITBANGDA Propinsi Maluku Utara menunjukkan bahwa dengan dioptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Halmahera Utara akan menyerap tenaga kerja 412 orang dengan sebaran masing –masing jenis ikan yakni untuk perikanan Cakalang 181 orang, Perikanan teri 26 orang dan Ikan Tongkol/Komo sebanyak 205 orang. Jumlah penyerapan tenaga kerja ini diasumsikan dari jumlah armada penangkapan yang masih di perbolehkan untuk melakukan penangkapan.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. 2008. Akselerasi Ekonomi Kelautan dan Perikanan menuju Negara Kepulauan yang Maju, Mandiri, Kuat dan Berbasiskan Kepentingan Nasional. FGD Strategi Pengembangan Ekonomi Negara Kepulauan, BAPPENAS-RI, Makassar. Djajadiningrat ST; Hendriani; Famiola, (2011). Ekonomi Hijau. Rekayasa Sains, Bandung. Diesendrof M, (2000). Sustainability and Sustainable Development. Dalam D Dunphy, J.Benveniste, A. Griffiths, dan P Sutton (eds), sustainability : the corporate challenge of the 21st Century. Sydney: Allen and Udwin Firmanzah. 2012. Ekonomi Biru Paradigma Baru Pembangunan. Universitas Indonesia. Jakarta Iskandar J, (2009). Ekologi Manusia Dan Pembangunan Berkelanjutan. Program Study Magister Ilmu Lingkungan Universitas Pajajaran Bandung Poerwanto H, (2000). Kebudayaan dan Lingkungan. Pustaka Pelajar Yogyakarta Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan [PKSPL-IPB]. 2004. Kajian Kontribusi Sektor Kelautan dan Perikanan. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Sunoto dkk. 2012. Term of Reference Blue Economy: Pembangunan Kelautan dan Perikanan Berkelanjutan untuk Kesejahteraan Masyarakat. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Zandian Aridyantie, A. 2011. Ekonomi Hijau, solusi dan Pembangunan ekonomi Berkelanjutan. Jakarta. Maluku Utara dalam Angka. Tahun 2012