KONFLIK BAHASA DI BELGIA: UPAYA PENGELOLAAN POTENSI DISINTEGRASI BANGSA Rizki Damayanti Abstract Language is one of the cultural elements that possessed by humans. Language diversity are usually also closely correlated with ethnic diversity. The ability or inability of a nation to manage multi-language condition will correlate with the achievement of integration or disintegration in the nation. The following article will begin by discussing the history of the multilanguage condition in Belgium, followed by an explanation of the relationship between political conflict with the language conflict. In the next section, this paper will explain the special efforts pursued by Belgium in preventing the disintegration of the nation as a result of language conflict. Keywords: language diversity, ethnic diversity, political conflict, language conflict, disintegration. Pendahuluan Belgia merupakan sebuah negara maju di kawasan Eropa Barat dengan sistem monarki konstitusional yang menjadikan Raja sebagai simbol negara dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahannya. Sebagai sebuah negara maju, Belgia tidak terlepas begitu saja dari konflik diantara penduduk. Konflik tersebut bukanlah konflik etnis yang mengakibatkan pertumpahan darah, melainkan sebuah konflik diantara penduduk Belgia yang berbahasa Belanda atau seringkali disebut Flemish dengan penduduk Belgia lainnya yang berbahasa Perancis atau disebut juga Waloon. Konflik bahasa tersebut secara signifikan muncul pasca Perang Dunia II dan terus berlangsung hingga saat ini, ditandai dengan terjadinya perpecahan yang melibatkan aktor-aktor penting negara Belgia yaitu elit politik dan partai serta tidak sedikit pula melibatkan penduduk sipil. Akibat dari konflik bahasa ini, pemerintah melakukan perombakan konstitusi dan hal tersebut memakan proses dan waktu yang cukup panjang. Konsekuensi dari hal ini kemudian menimbulkan adanya pembagian wilayah diantara region-region berdasarkan bahasa yang digunakan sehingga muncullah wilayah berbahasa Belanda, Perancis, dan Jerman. Ibukota negara Belgia, yaitu Brussels, ditetapkan sebagai wilayah netral di mana penduduknya bebas untuk menggunakan bahasa pengantar apa saja. Entah sampai kapan clash di antara masyarakat Belgia akan terus berlangsung, baik itu dalam lingkup pemerintahan ataupun masyarakatnya sendiri. Tulisan berikut akan berupaya untuk menelaah fenomena konflik bahasa di Belgia serta pengaruhnya terhadap konstitusi dan masyarakat antar wilayah bahasa. Di bagian akhir tulisan ini akan dijelaskan bagaimana konflik non–kekerasan ini, ternyata tidak menimbulkan efek disintegrasi sebagaimana yang terjadi di negara Cekoslovakia – yang
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 3 Desember 2013
terpecah menjadi dua negara yang berbeda – ataupun Bangladesh yang memisahkan diri dari Pakistan karena perbedaan bahasa yang digunakan oleh keduanya. Belgia memiliki karekteristik konflik bahasa yang berbeda dan menarik untuk diteliti lebih jauh. Sejarah Konflik Bahasa di Belgia Belgia merupakan sebuah wilayah di daratan Eropa yang semula merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Belanda hingga pada akhirnya memerdekakan diri pada tanggal 4 Oktober 1830 yang ditandai dengan kemunculan gerakan-gerakan separatis masyarakat Belgia. Gerakan separatis tersebut terutama muncul di wilayah Waloonia yaitu wilayah berbahasa Perancis yang sebagian besar penduduknya beragama Katolik – bukan Protestan seperti yang dianut oleh Kerajaan Belanda (Kohler, 2010: 58). Tidak hanya dari kawasan Waloonia, gerakan separatis juga dilakukan oleh kaum bangsawan di Brussels dan Flanders yang merasa tidak mendapatkan perwakilan yang berimbang dari Kerajaan Belanda. Pada tahun 1839 atau sembilan tahun setelah Belgia merdeka dari Belanda, Perancis mulai mendominasi setiap segi kehidupan masyarakat Belgia mulai dari konstitusi pemerintahan sampai pada sistem pendidikan di sekolah-sekolah. Penggunaan bahasa Perancis di Belgia melanda semua tingkatan sosial masyarakat. Bukan hanya digunakan oleh kaum proletar, tetapi bahasa Perancis bahkan digunakan oleh kaum bangsawan dan borjuis yang tinggal di kawasan Flemish yang notabene merupakan sebuah kawasan berbahasa Belanda di Belgia. Hal ini secara tidak langsung mengisolasi para Flemish dalam mempergunakan bahasanya terutama dalam bidang perpolitikan karena konstitusi Belgia saat itu menjadikan bahasa Perancis sebagai bahasa resmi dalam semua kegiatan termasuk dalam hal administrasi negara. Kondisi ini jelas sangat kontras dengan jumlah populasi warga Flemish di Belgia pada tahun 1880 yang mencapai 50% di Brussels (Kenneth: 1986: 73). Brussels sebagai ibukota negara memang merupakan target utama dalam upaya penghapusan penggunaan bahasa Belanda dari wilayah Belgia. Merasa menjadi orang asing di negara mereka sendiri, orang-orang Flemish mulai melakukan gerakan-gerakan kampanye penggunaan bahasa Belanda baik itu di tingkat sekolah, pemerintah, dan kalangan masyarakat luas. Gerakan kampanye bahasa Belanda ini dilakukan secara menyeluruh dengan target utama berupaya menyakinkan pemerintah Belgia mengenai akar kebudayaan mereka. Upaya ini ternyata tidak sia-sia. Pada tahun 1898, akhirnya pemerintah Belgia mulai melegalkan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi di Belgia. Orang Flemish kemudian semakin bersemangat mensosialisasikan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi Belgia dengan jalan membangun sekolah-sekolah dan sarana-sarana administrasi dalam bahasa Belanda demi menunjang upaya ini. Dalam perkembangannya, hal ini ternyata tetap tidak membatasi penggunaan bahasa Perancis sebagai bahasa yang banyak digunakan orang814
Rizki Damayanti Konflik Bahasa di Belgia: Upaya Pengelolaan Potensi Disintegrasi Bangsa
orang Belgia. Setiap pengajuan dokumen, petugas administrasi akan memberikan dokumen dua bahasa dan dalam setiap pengajuan urusan administrasi hal ini tetap berlaku meskipun bahasa Belanda juga telah dijadikan sebagai bahasa resmi di Belgia. Dari permasalahan perbedaan bahasa dan budaya ini kemudian memunculkan gerakan-gerakan separatis di antara kedua komunitas. Pada tahun 1921 pemerintah Belgia memutuskan untuk membagi kawasan menjadi empat kawasan bahasa yaitu Dutch speaking community (penduduk berbahasa Belanda) di sebelah utara, German speaking community (penduduk berbahasa Jerman) di sebelah timur, Francophone community (penduduk berbahasa Perancis) di sebelah selatan, dan ibukota Brussels dijadikan sebagai kawasan bilingual (Kenneth, 1986: 49). Tidak hanya terbagi ke dalam empat kawasan bahasa, tetapi pemerintah Belgia juga memutuskan untuk membagi Belgia ke dalam tiga wilayah federal yaitu Flanders region sebagai kawasan pemerintahan berbahasa Belanda, Waloonia region sebagai kawasan pemerintahan berbahasa Perancis, dan Brussels sebagai ibukota negara dengan mayoritas penduduknya berbahasa Perancis tetapi secara wilayah berada di kawasan Flanders. Pembentukan batas bahasa antara Flander, Wallonia, dan Brussels merupakan hasil dari 15 tahun penelitian dan perundingan politik, dimulai dengan dibentuknya Pusat Studi Harmel pada tahun 1948 dan akhirnya menghasilkan persetujuan parlemen pada 1962 (diimplementasikan pada tahun berikutnya). Batas bahasa itu secara efektif mengubah filosofi yang ada dibalik upaya meredam konflik regional (Allen, 2007: 61). Dengan diberlakukannya batas bahasa, pemerintah Belgia mulai mengkoordinasikan kebijakan baru yaitu dengan memperjelas batas-batas pemisahan antar kawasan. Delapan tahun kemudian, tepatnya di tahun 1970, pembagian Belgia ke dalam empat kawasan bahasa mulai ditetapkan dalam konstitusi dengan ketentuan-ketentuan yang jelas telah banyak dirubah sejak keputusan untuk membagi kawasan Belgia dicanangkan pada tahun 1921. Masing-masing regional diberikan dan dilengkapi dengan institusi yang dijalankan oleh pemerintah wilayah. Secara jelas dimuat di dalam konstitusi bahwa kawasan berbahasa Belanda terdiri atas empat provinsi yaitu Antwerpen, West Flanders, East Flanders, dan Limburg. Kawasan berbahasa Perancis juga terdiri dari empat provinsi yaitu Hainaut, Luxembourg, Namur, dan Liège. Begitu pula yang dilakukan pemerintah terhadap kawasan berbahasa Jerman yang terbagi ke dalam dua daerah dan dipisahkan oleh kawasan Waloonia. Kawasan berbahasa Jerman ini terbagi ke dalam sembilan sektor dan ke-9 sektor tersebut berada di dalam provinsi Liège. Berbeda dari mayoritas penduduk Belgia, wilayah ini mayoritas penduduknya beragama Protestan dan bukan Katolik Roma. Brussels sendiri sebagai ibukota negara dan kawasan bilingual terbagi ke dalam 19 sektor. Ketentuan tersebut bertahan hingga saat ini di mana Belgia menjadi salah satu negara paling maju di Eropa maupun di 815
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 3 Desember 2013
dunia dengan begitu banyak ethnic groups yang tinggal di wilayah ini (Scott, 2009: 36-37). Sistem Politik di Belgia Masa Kini Konflik antar pengguna bahasa di Belgia terus berkembang hingga saat ini dan bukan hanya terpusat pada permasalahan akibat ketidakadilan konstitusi dan sistem pemerintahan, tetapi terutama berkaitan dengan hak penggunaan bahasa. Akibat dari adanya konflik antara masyarakat Waloon dan Flemish telah ikut mempengaruhi keadaan perpolitikan Belgia. Pemerintah Belgia sendiri sebetulnya telah berupaya melakukan banyak perubahan konstitusi dalam upaya meminimalisir konflik bahasa yang terjadi. Secara umum, pemerintahan di Belgia merupakan pemerintahan federal yang menganut sistem bikameral atau sistem dua kamar, yaitu terdiri atas Senat dan Dewan Perwakilan. Satu hal yang membedakan konstitusi Belgia dibandingkan dengan konstitusi-konstitusi negara lain adalah pembedaan tempat antara para anggota konstitusi berbahasa Perancis dan Belanda (Bloom, 2006: 54-56). Masing-masing anggota konstitusi mendapatkan tempat terpisah di pemerintahan. Dengan demikian, pemerintahan Belgia terbentuk atas dasar komunitas budaya (bahasa) dan wilayah teritorial. Budaya dan bahasa lah yang menjadi dasar utama dalam setiap pembentukan kelompok golongan sekaligus berperan dalam setiap pengambilan keputusan konstitusi. Perbedaan bahasa juga mempengaruhi proses pembuatan dokumen setiap penduduk, di mana dalam setiap pengisian dokumen, akan mendapatkan sebuah dokumen dengan dua bahasa yang wajib mereka isi salah satunya yaitu dokumen dengan bahasa Belanda dan yang satunya merupakan dokumen berbahasa Perancis. Ancaman Disintegrasi dan Usaha Pencegahannya Sebuah negara yang memiliki tingkat keheterogenan yang tinggi tidak dapat dipungkiri akan memiliki ancaman disintegrasi yang lebih kompleks dan lebih besar bila dibandingkan dengan negara yang memiliki komposisi kelompok homogen. Ancaman disintegrasi ini juga terjadi di Belgia, di mana masyarakatnya terbagi ke dalam empat kawasan dan tiga komunitas bahasa yaitu Belanda (Flemmish), Perancis (Waloonia), dan Jerman (Wright, 1998: 29). Ancaman disintegrasi sebetulnya telah melanda Belgia sejak terjadinya ketimpangan ekonomi antara wilayah Flanders dan Waloonia. Waloonia yang dahulu merupakan sebuah economic powerhouse bagi Belgia, di mana kegiatan perindustrian seperti batu bara menjadi andalan dari wilayah tersebut, saat ini justru berubah menjadi sebuah wilayah yang hanya menggantungkan diri kepada subsidi dari kawasan Flanders. Tidak kurang dari enam milyar euro per tahun dikeluarkan oleh pemerintah Flanders untuk Waloonia dan bahkan dapat bertambah hingga dua kali 816
Rizki Damayanti Konflik Bahasa di Belgia: Upaya Pengelolaan Potensi Disintegrasi Bangsa
lipat. Pemberian subsidi dari pemerintah Flanders kepada pemerintah Waloonia yang telah berlangsung sejak abad ke-19 atau kurang lebih sejak Belgia baru saja memerdekan diri dari Belanda, terus berlangsung hingga saat ini. Hal ini menjadi awal pemicu terjadinya disintegrasi yang dicetuskan oleh pemerintah Flanders (Downing, 2005: 72-74). Permasalahan ini terus berlanjut sampai dengan munculnya sebuah isu di mana pemerintah Flanders mengajukan permintaan kepada pemerintah Belgia agar diberikan otonomi yang lebih luas serta diberlakukan pemotongan dukungan finansial terhadap pemerintah Waloonia. Pada bulan November 2007 pemerintah Flanders mengajukan opsi pembentukan pemerintah baru. Opsi ini sebetulnya tidak muncul begitu saja pada tahun 2007, tetapi satu tahun sebelumnya sebuah partai ekstrim pembela hak-hak masyarakat Flemmish yaitu Vlaams Blang yang juga merupakan salah satu partai nasionalis paling besar dan berpengaruh di Belgia, mangajukan opsi terkait kemungkinan kemerdekaan bagi dua kawasan mayoritas di Belgia yaitu Waloonia dan Flanders. Vlaams Blang pula lah yang menjadi pendorong awal kemunculan opsi keberatan atas kebijakan “pajak keuangan Flemmish” yang akan dijadikan sebagai dana keuangan nasional untuk didonasikan kepada mereka yang tinggal di kawasan Waloonia. Partai sosialis ini menginginkan kemerdekaan bagi wilayah Flanders dengan mengadopsi Brussels sebagai ibu kotanya. Opsi kemerdekaan wilayah Flanders yang disuarakan oleh partai Vlaams Blang ini kemudian ikut memicu potensi disintegrasi Belgia, disamping memang kompromi wilayah terkait kebahasaan yang rentan akan potensi konflik. Faktor-faktor berikut yang ikut berkontribusi pada disintegrasi Belgia adalah adanya kontradiksi kebahasaan, kontradiksi sosial-budaya, dan kontradiksi ekonomi. Kontradiksi Kebahasaan Survei bahasa ilmiah terkini membuktikan bahwa bahasa Perancis lebih solid berperan sebagai bahasa penghubung di Brussels ketimbang bahasa Belanda. Hal ini ditunjang oleh fakta bahwa penduduk pada umumnya (lebih dari 95%) mengklaim bisa berbahasa Perancis dengan (sangat) baik, sedangkan sejumlah penduduk yang menganggap diri mereka (sangat) fasih berbahasa Belanda merosot dari 33% menjadi 28% antara tahun 2000 dan 2006. Secara signifikan pula, bahasa Belanda (atau Flemish) dianggap telah kehilangan perannya sebagai bahasa kedua Brussels setelah bahasa Inggris. Hal ini ditandai oleh fakta bahwa jumlah penutur bahasa Inggris yang (sangat) fasih meningkat dari 33% menjadi 35% dalam periode yang sama (Kohler, 2010: 80-81). Tidak hanya itu, beberapa bahasa minoritas seperti Arab, secara perlahan menghilang karena keturunan para emigran (Eropa-Selatan, Afrika Selatan, dan Turki) pada umumnya beralih ke bahasa Perancis sebagai bahasa pilihan mereka. Perubahan terkait fakta kebahasaan ini, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari proses Eropanisasi Brussels, tampaknya mulai meruntuhkan satu unsur utama 817
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 3 Desember 2013
dari kompromi politik Brussels yaitu adanya kesetaraan bahasa antara bahasa Perancis dengan bahasa Belanda (Flemish). Upaya mewujudkan keseimbangan kekuatan antara dua bahasa utama di Belgia – yang merupakan sebuah obsesi tiada akhir dari para elit politik Belgia - menjadi sesuatu yang sulit diwujudkan karena adanya realitas sosial-bahasa yang muncul. Aturan hukum bahwa setiap keputusan pemerintah Brussels harus diambil berdasarkan kesetaraan bahasa (tiap kelompok bahasa harus secara formal setuju terhadap keputusan itu) menjadi kian tidak dapat dipertahankan karena relatif terpinggirkannya bahasa Belanda (Flemish) di Brussels. Kontradiksi Sosial-Budaya Kian terdapat disparitas antara kepedulian politik terhadap kesetaraan bahasa di Brussels dengan kehidupan sosial-budaya sehari-hari. Hal ini tercermin dari empat hal. Pertama, keterikatan bahasa ternyata bukanlah penanda identitas utama di kalangan warga Brussels. Survey tahun 2006 (Janssens, 2008: 35) yang menanyakan kepada warga Brussels mengenai identitas sosial-budaya apa yang paling terasosiasikan dengan kehidupan warga, mendapatkan fakta jawaban sebagai berikut. 1. Warga penutur bahasa Belanda (Flemish) di Brussels menyebut “Belgia” sebagai asosiasi utama, disusul dengan “Brussels”. “Penggunaan bahasa Belanda” hanya menempati urutan ke-3. 2. Warga penutur bahasa Perancis menyebut “Brussels” terlebih dahulu, disusul dengan “Belgia”, “Eropa” dan “penggunaan bahasa Perancis” di tempat ke-4. Menurut survei ini, hanya 17% yang menganggap bahwa hidup dengan orang yang berbeda bahasa sebagai suatu “masalah”. Bukti kuantitatif langsung ini menunjukkan kurang pentingnya isu antagonisme bilingual dalam kehidupan sehari-hari, dan juga kontradiksi antara realitas sosial-budaya dari kehidupan sehari-hari dengan agenda politisi nasional dan regional. Kedua, Brussels juga merupakan rumah bagi budaya non-Belgia berdasarkan warisan kolonialnya (misalnya kawasan Matonge di Brussels memiliki kekhasan Congo) dan yang paling mencolok, warisan “guest workers” yang telah memberikan banyak warna pada kota Brussels terutama ditandai dengan keberadaan Mediterania (Spanyol, Italia, Maroko, Turki (Kesteloot dan Mistiaen, 1997: 44). Keberadaan warisan budaya nonBelgia ini terbukti menentang kekhawatiran elit politik Brussels terkait konflik linguistik yang mungkin terjadi. Ketiga, proses gentrifikasi. Seiring dengan adanya upaya berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah Flemish untuk membiayai institusi budaya Flemish di Brussels, ikut membawa sekelompok kaum muda penutur bahasa Flemish berpendidikan tinggi ke pusat kota Brussels (Van Criekingen, 2003: 32-33). Kelompok ini, terlepas dari jumlah aktualnya, telah menciptakan dominasi Flemish yang kecil namun solid di 818
Rizki Damayanti Konflik Bahasa di Belgia: Upaya Pengelolaan Potensi Disintegrasi Bangsa
sekitar Rue Dansart, yang berpusat pada suasana kehidupan malam yang semarak berdasarkan institusi budaya dan bar, kafe, serta restoran Flemish. Keberadaan kelompok penutur bahasa Flemish yang jumlahnya kecil namun penuh percaya diri ini, sedikit demi sedikit mengikis pertentangan bahasa dengan memberikan makna yang lebih baru, lebih kualitatif bagi kehadiran Flemish di jantung kota Brussels. Keempat, keberadaan UE bersama dengan keberadaan kuat institusi internasional seperti kantor pusat NATO Eropa, telah mengubah Brussels dari ibu kota yang kecil menjadi satu dari pusat keputusan utama global, yang berujung pada cepatnya proses Eropanisasi pada unsur-unsur sosial-budaya kota Brussels (Beaten, 2001b, 2003: 27). Perubahan dinamis yang terjadi di Brussels, sekali lagi membuktikan bahwa landasan bilingual yang didengung-dengungkan oleh elit politik Brussels terlalu sulit untuk diwujudkan. Uni Eropa mempekerjakan sekitar 26.000 orang di Brussels pada tahun 2005, yang tersebar di hampir 58.000 lapangan pekerjaan (perusahan konsultan, media, hotel dan catering, security, dsb). Sekitar 13-14% dari total lapangan kerja ada di “sektor internasional” (Corijn dkk., 2009:48-52). Secara dinamis, beberapa perusahaan internasional merelokasi kantor pusat mereka ke Brussels dan kawasan sekitarnya, terutama karena karakter internasional yang melekat pada kota Brussels. Tidak disangsikan bahwa Eropanisasi Brussels telah ikut memberi kontribusi signifikan terhadap pesatnya kosmopolitanisasi kehidupan sosial budaya di Brussels yang ditandai dengan 28% warga Brussels bukanlah berkebangsaan Belgia melainkan sekitar setengah penduduknya diestimasikan memiliki latar belakang asing (DeBoosere, 2008: 66). Kondisi ini menempatkan Brussels sebagai salah satu kota dengan konsentrasi “keberadaan warga asing” terpadat di dunia. Di lain pihak, meskipun Brussels telah menjadi “Eropa”, tetapi hal ini bukan berarti bahwa kota Brussels bisa menampilkan diri sesuai citra ini—dan dengan tegas menggantikan konsep bilingualnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, elit-elit baru Eropa kurang memiliki kaitan dengan struktur politik, administratif, dan sosial budaya setempat (Swyngedouw and Baeten, 2001: 40-45). Kedua, menurut sudut pandang beberapa warga setempat, Eropanisasi Brussels tidak lebih dari kelanjutan “Brusselisasi” Brussels dan sekitarnya (Doucet, 2007: 32). Meluasnya penggunaan bahasa Inggris sebagai simbol internasionalisasi yang diiringi dengan meningkatnya pengaruh UE di Brussels merupakan harga mahal yang harus dibayar Brussels terkait kehadiran lembaga-lembaga UE. Sikap warga Brussels (dan juga Flemish dan Walloon) terhadap keberadaan UE pada umumnya bersifat ambigu yaitu meskipun ada pemahaman umum bahwa UE membawa kekayaan dan lapangan kerja kepada kota dan negara itu, ada juga yang tidak tahu atau tidak peduli terhadap institusi-institusi UE. Singkat kata, dapat dikatakan bahwa Eropanisasi Brussels memang dapat mengurangi tensitas konflik 819
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 3 Desember 2013
bahasa antara Flemmish dan Walloon, tetapi dipihak lain tetap tidak dapat memberikan visi alternatif yang layak bagi Brussels sebagai sebuah “ibu kota internasional”. Kontradiksi Ekonomi Belgia dikenal sebagai salah satu negara industri di kawasan Eropa, di mana Waloonia berperan sebagai pusat kekuatan ekonominya. Kondisi ini sangat bertolak-belakang dengan kondisi di kawasan utara yaitu kawasan Flemish, di mana sebagian besar penduduknya hidup dengan pertanian sebagai mata pencaharian utama mereka. Akibat dari semangat industrialisasi yang terjadi di Eropa pasca Perang Dunia II, Belgia diibaratkan sebagai sebuah kekuatan magnet besar bagi negara-negara di sekitarnya sehingga menimbulkan arus migrasi bagi kaum pendatang dari Flanders, Perancis, Jerman, dan Polandia. Maka, tidak mengherankan bila Belgia diibaratkan sebagai sebuah melting pot di kawasan Eropa bagi negara-negara tetangganya. Kondisi ini didukung oleh beberapa faktor. Pertama, kota Brussels memberikan lebih dari 600,000 lapangan kerja, tetapi lebih dari setengah atau 54% (beaten, 2001a: 52) populasi yang bekerja di Brussels tinggal di luar kota Brussels. Hal ini memberikan pengaruh negatif terhadap basis pajak pendapatan Brussels. Di lain pihak, ide memperluas “kawasan ibu kota Brussels” dengan cara memasukkan sebagian pemerintah daerah pinggiran kota, dianggap sama sekali tidak dapat diterima, terutama terkait segi kompromi bahasa yang disepakati sebelumnya. Perluasan Brussels dianggap oleh kalangan nasionalis Flemish sebagai “penyerahan” wilayah Flemish. Dampak buruknya dari kondisi ini adalah bahwa kawasan Brussels menjadi wilayah dengan PDB termiskin per kapita (Beaten, 2003: 73). Singkat kata, Brussels mengalami kesenjangan antara bahasa sebagai aset ekonomi, dan bahasa sebagai masalah politik, sosial, dan budaya. Konflik Bahasa di Negara-Negara Lain Bukan hanya Belgia yang mengalami situasi konflik terkait kondisi multi-bahasa yang dimilikinya. Beberapa negara lain diberbagai belahan dunia juga dihadapkan pada situasi yang sama. Konflik bahasa yang dialami ini biasanya merujuk pada situasi-situasi yang secara tradisional memang telah ada diantara penduduk mayoritas dan minoritas. Konflik seringkali muncul dalam situasi ketika kelompok bahasa minoritas tidak berada pada posisi berasimilasi. Tipe konflik ini dapat ditemukan, misalnya, di Eropa di sepanjang batas-batas bahasa Germanic-Romance dan Slavic-Germanic, dan di Kanada yang melibatkan sebuah kelompok minoritas berbahasa Perancis (Schmid, 2001: 62). Konflik-konflik bahasa kemudian menjadi problematis ketika ideologi pada salah satu pihak – bukan hanya mayoritas tetapi juga minoritas – digunakan untuk semakin membuat nyata perbedaan yang ada sehingga pada akhirnya koeksistensi damai di antara komunitas-komunitas 820
Rizki Damayanti Konflik Bahasa di Belgia: Upaya Pengelolaan Potensi Disintegrasi Bangsa
bahasa dapat dengan mudah terancam ketika identitas bahasa dikibarkan sebagai simbol yang mendefinisikan identitas suatu bangsa. Konflik yang terjadi antara Belfast (Irlandia Utara) dan Connemara (Bagian Utara dari Galway di Republik Irlandia), misalnya, sebetulnya bukan hanya terkait perbedaan bahasa tetapi lebih terkait kepada isu luasnya kesempatan kerja bagi penduduk di wilayah perkotaan (Belfast) yang didominasi oleh pemeluk agama Protestan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang dihadapi oleh mayoritas pemeluk agama Katolik yang tinggal di pedesaan (Connemara) dengan tingkat pengangguran yang tinggi. Jadi, sebetulnya isu perbedaan bahasa hanya salah satu bagian kecil dari perbedaan-perbedaan yang sebelumnya memang telah ada (Lakoff, 2001: 158). Situasi yang serupa juga terefleksi dalam semangat oposisi berlandaskan ideologi antara kelompok pengguna bahasa Afrika dan Inggris di Namibia (dan juga di Afrika Selatan). Sebagian besar penduduk Namibia, terlepas dari ras atau status sosialnya, berbicara atau setidaknya memahami bahasa Afrika. Sementara pada kenyataannya, bahasa resmi negara ini adalah bahasa Inggris, yang ditetapkan sebagai “bahasa kebebasan” (language of freedom), walaupun sebetulnya kurang dari 3% penduduk yang mampu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertamanya (Eadie, 2000: 134-135). Bahasa Afrika sendiri, yang awalnya dijadikan sebagai bahasa resmi dalam bidang pendidikan dan pemerintahan, justru ditempatkan sebagai “bahasa penindasan” ( language of oppression). Contoh lain yang juga mengemuka dari konflik bahasa adalah berkurangnya pengadopsian bahasa Rusia dikalangan negara-negara sesama bekas pecahan Uni Soviet. Permasalahan utama sebetulnya lebih terletak pada ketidakinginan negara-negara bekas pecahan Uni Soviet untuk memberikan jalan bagi dominasi ulang bangsa Rusia dalam bidang politik (Wright, 1998: 81-83). Maka, dengan tujuan tersebut, penggunaan bahasa Rusia diupayakan untuk diminimalisir atau bahkan dihapuskan penggunaannya dikalangan negara-negara bekas pecahan Uni Soviet. Penutup Tulisan ini menegaskan bahwa krisis negara Belgia muncul dari kontradiksi antara pembagian wilayah sosial, ekonomi, dan bahasa di satu sisi, dan penetapan secara baku terkait batas bahasa dan wilayah di sisi lain yang ditujukan untuk meredam konflik kebahasaan-kewilayahan sebelumnya. Penetapan secara tegas mengenai kawasan bilingual Brussels memainkan peran penting dalam proses perdamaian konflik bahasa Belgia yang memiliki kontradiksi dengan realitas sosial, budaya, dan ekonomi Brussels serta perekonomian Belgia. Brussels telah menjadi pengambil keputusan yang tepat dalam strategi kelangsungan hidup Belgia. Meskipun Brussels sendiri dihadapkan pada kontradiksi-kontradiksi terkait kebahasaan, sosial-budaya dan 821
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 10 No. 3 Desember 2013
ekonomi tetapi strategi Belgia untuk menjadikan Brussels sebagai wilayah bilingual, ternyata cukup efektif meredam konflik kebahasaan yang dapat berujung pada disintegrasi bangsa. ***** Daftar Pustaka Allen, Andre Hay, Colin and Anand Menon. 2007. European Politics. New York: Oxford University Press. Beaten, G (2001a), Clichés of Urban Doom. The Dystopian Politics of Metaphors for the Unequal City: a View from Brussels, in International Journal of Urban and Research Vol.25, No.1.
Regional
Baeten, G (2001b), The Europeanization of Brussels and the Urbanization of ‘Europe’. Hybridizing the City, Empowerment and Disempowerment in the EU District, European Urban and Regional Studies, Vol.8, No.2. Beaten, G (2003), Old Elites in a New City: Restructuring the Leopold Quarter and the Europeanization of Brussels, in F. Moulaert, A. Rodriguez, E. Swyngedouw (eds.), The Globalized City. Urban Redevelopment and Social Polarization in European Cities, Oxford University Press, Oxford. Beaten, G, E Swyngedouw (2001), Scaling the City: The Political Economy of 'Glocal' Development - Brussels' Conundrum, in European Planning Studies, Vol. 9, No. 7. Corijn, E, C Vander motten, J-M Decroly, E Swyngedouw (2009), Brussels as aA International City, Brussels Studies, Synopsis 13. Deboosere, P, T Eggerickx, E Van Hecke, B Wayens (2009), The Population of Brussels: A Demographic Overview, Brussels Studies, Synopsis 3 Doucet, I (2007), A vision for Brussels: Fuel to the Urban Debate, or, at last, An End to the Brussels Trauma? Footprint. Delft School of Design Journal, Autumn 2007. Eadie, William F. (2000). The Language of Conflict and Resolution. SAGE Publications. Janssens R (2008), Language use in Brussels and the position of Dutch. Some Recent Findings, Brussels Studies, No. 13 J.C.H. Blom. (2006). History of the Low Countries. Berghahn Books Press. John D. H. Downing and Charles Husband. 2005. Representing Race: Racisms, Ethnicity, and the Media. Sage Publications Ltd. Kesteloot C and P Mistiaen (1997), From Ethnic Minority Niche to Assimilation: Turkish Restaurants in Brussels, Area, Vol. 29, No. 4. Kohler, Manfred. (2010). Language Politics in Belgium and the Flemish-Walloon 822
Rizki Damayanti Konflik Bahasa di Belgia: Upaya Pengelolaan Potensi Disintegrasi Bangsa
Conflict: Reason for a State to Fail or Driving Force behind Federalism and Conciliation. VDM Verlag Dr. Müller. Lakoff, Robin Tolmach. 2001. The Language War. University of California Press. Rae, Kenneth. (1986). Conflict and Compromise in Multilingual Societies: Belgium (Politics of Cultural Diversity). Wilfrid Laurier University Press. Schmid, Carol L. (2001). The Politics of Language: Conflict, Identity, and Cultural Pluralism in Comparative Perspective. Oxford University Press. Scott, Kyle. (2009). Federalism: A Normative Theory and Its Practical Relevance. Continuum Press. Van Criekingen, M, J-M Decroly (2003), Revisiting the Diversity of Gentrification: Neighbourhood Renewal Processes in Brussels and Montreal, Urban Studies, Vol. 40, No. 12. Wright, (1998.) Language Contact and Conflict. Multilingual Matters Press.
823