Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
65 TAHUN DIRGAHAYU INDONESIA: BAYANG-BAYANG GELAP ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA NAIMAH
Naimah adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI. Perempuan kelahiran Bogor, 25 Oktober 1990 ini memulai studinya pada tahun 2007. Mahasiswa yang semasa sekolahnya di Bogor ini tertarik dalam bidang tulis menulis, bahkan karya tulisannya banyak diikutsertakan dalam berbagai lomba penulisan ilmiah. Salah satunya adalah “Managemen Isu dan Krisis: Analisis Terhadap Kasus PHK Buruh PT Djarum sebagai Publik Internal dan Dampaknya Terhadap Citra Perusahaan.” Judul tulisan tersebut diikutsertakan dalam Public Relation National Contest pada bulan Juli lalu. Untuk berkorespondensi dengan penulis, dapat melalui email
[email protected]
57
Volume 1, Desember 2010
58
65 TAHUN DIRGAHAYU INDONESIA: BAYANG-BAYANG GELAP ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA NAIMAH
Abstract Independence day on 17th August in every year, is one of the most hilarious celebration day in Indonesia. Celebrate its independence from the colonize era about 350 years long. But still, Indonesia has big trouble in facing some global issues; one of them is disintegration of our nation issue. Separation, insubordination, and huge gap in economy dimension are mostly caused conflict which is triggering the disintegration process. The writer uses the conflict theory to approach the threat of disintegration. In that theory, people are believed to get in a competition to survive by doing economical act, like doing trade or exchange goods. There are several reasons why Indonesia is caught by separate threat issues: economy, cultures, religions, different ideologies, ethics and social norms. Nevertheless, economy is playing an important role in causing separation. Based on the conflict theory, people tend to make their own needs as priority. If all of people think the same thing, the conflict could not be avoided; there is a conflict of interest. In the other hands, some small-to-big conflict was starting from different perspective of social norms. For one group of society being “Sissy” (trans-gender) is breaking the social norms, but for one another it’s not. So, the writer considers that economy and different social norms are the main points which caused the disintegration, besides culture, religions, and political’s issues. In conclusion, the writer gives some recommendation for several institutions, especially for university students in playing their role to decrease this potential disintegration’s issue.
Keywords: Konflik (Conflict); Kesenjangan Ekonomi (Economy gap); Norma Sosial (Social norms).
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
PENDAHULUAN “Quo desiderat pacem, praeparet pacem.” (Jika menginginkan kedamaian, persiapkan perdamaian). (Hadi, 2007) Multikulturalisme Indonesia, suatu frase yang amat sering dituturkan dalam buku-buku sejarah, budaya, dan sosial, memiliki makna yang lebih dalam dari sekedar ‘kemajemukan budaya’. Indonesia adalah negara kepuluan yang memiliki amat banyak identitas dimensi budaya dalam kehidupan sosial-masyarakat. Konsep masyarakat majemuk (plural societies) ini sudah diperkenalkan sejak zaman Hindia Belanda oleh Funivall, yakni masyakarat yang terdiri atas dua elemen atau lebih yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain dalam satu kesatuan politik (Furnivall, 1967: 446469). Multikulturalisme tidak akan sebegitu populernya jika kemajemukan ini “tidak seberapa”. Indonesia adalah negara republik yang memiliki keaneragaman budaya yang luar biasa dengan 17.508 pulau, 230 suku bangsa, 729 bahasa daerah yang masih digunakan hingga saat ini, maka tidak berlebihan jika Indonesia disebut sebagai bangsa yang multikultural (triyanifajriutami wordpress, 2009) . Menurut Bronislaw Malinowski, budaya dituangkan dalam empat unsur yakni sistem norma sosial, organisasi ekonomi, alat-alat dan lembagalembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan, serta organisasi kekuatan politik (Anthony, 1985). Unsur organisasi ekonomi atau pembagian kekayaan dapat berpotensi
untuk memecah belah bangsa. Hal ini karena motivasi bertahan hidup dengan melakukan kegiatan ekonomi adalah hal yang lahiriah yang ada dalam setiap insan yang hidup. Tentu kesamaan kepentingan ini berpotensi untuk mendatangkan konflik. Konflik kepentingan menjadi salah satu penyebab munculnya ancaman disintegrasi bangsa seperti yang saat ini terjadi. Namun, tidak hanya unsur konflik kepentingan dan ekonomi yang menarik perhatian penulis sebagai trigger potensi disintegrasi bangsa, tapi juga unsur budaya yang melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yakni sistem norma sosial. Norma sosial dapat dikatakan suatu kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Peraturan atau norma sosial umumnya tidak tertulis dan tidak mempunyai sanksi hukum yang jelas, namun memiliki sanksi sosial, yang dalam kehidupan bermasyarakat tentu sama beratnya secara psikologis dengan sanksi hukum, misalnya dikucilkan, diusir, atau digunjing. Indonesia adalah negara high-context culture yang masih menganut asas kolektif kekeluargaan serta kemasyarakatan yang tinggi. Itu berarti norma sosial masih diakui kekuatannya untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Semakin kuat kedudukan hukum nilai sosial di sebuah masyarakat, maka semakin kuat pula keinginan masyarakat untuk mematuhinya. Norma sosial akan menjadi alat pemersatu bangsa jika
59
Volume 1, Desember 2010
60
disepakati bersama sebagai norma pengikat masyarakat secara umum. Hal ini didukung oleh Talcot Parsons, yang menyatakan bahwa tidak kuatnya nilai-nilai umum yang disepakati bersama –sebagai alat pemersatu bangsa– juga menjadi salah satu motivasi ancaman disintegrasi bangsa (Nasikun, 2007: 80). Nilai-nilai umum inilah yang disebut sebagai konsensus nasional. Maka, apabila nilai-nilai tersebut tidak disepakati bersama akan menjadi pemecah belah bangsa. Pada akhirnya, keragaman yang sepantasnya membuat kita kaya budaya akan memancing ketidaksepahaman yang membutuhkan toleransi amat besar.
Bahasa Indonesia, konflik berasal dari kata kerja latin configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) yang salah satu pihaknya berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya (shvoong. com). Pada dasarnya penulis akan membahas dua motif yang berperan dalam pematangan isu disintegrasi bangsa, yakni motif ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi dan motif ketidaksepahaman akan norma sosial yang berlaku di masyarakat (minim konsensus nilai sosial).
TUJUAN PENULISAN Tujuan penulisan ini adalah menganalisis ancaman disintegrasi Indonesia dalam perspektif konflik ekonomi dan norma sosial.
Motif Ketidakmerataan Akses Sumber Daya Ekonomi Pendekatan yang digunakan oleh penulis untuk menganalisis permasalahan ini adalah pendekatan konflik. Pendekatan ini berlandaskan pada asumsi bahwa setiap masyarakat mengenal pembagian kewenangan atau otoritas secara tidak merata, sehingga adanya dua kelompok dalam masyarakat: mereka yang memiliki otoritas dan yang tidak memiliki otoritas (Dahendrof, 1959: 162). Masyarakat yang memiliki otoritas memiliki akses yang lebih luas terhadap berbagai sumber daya, termasuk sumber daya ekonomi, dibandingkan dengan kelompok yang tidak memiliki otoritas. Ketidak- merataan akses terhadap sumber ekonomi yang berujung pada kesenjangan ekonomi inilah yang pada akhirnya menjadi motif konflik dalam masyarakat. Terdapat dua macam tingkatan
METODE PENULISAN Metode yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data adalah studi literatur, yakni tinjauan pustaka dari buku, jurnal ilmiah, kamus, bahanbahan yang terpercaya dari website, serta observasi. PEMBAHASAN Keanekaragaman bangsa menuntut kesabaran dan pengertian yang luar biasa tinggi untuk dapat dipahami sebagai sebuah harmoni. Sebagai gantinya, apabila keanekaragaman ini dipandang sebagai sebuah ‘perbedaan’, maka hasilnya adalah ketidaksepahaman dengan potensi konflik di dalamnya. Berdasarkan Kamus Besar
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
konflik pada umumnya, yakni konflik pada tingkatan ideologis dan konflik yang berada pada tingkatan politis (Nasikun, 2007: 78). Konflik pada tataran ideologis mengarah pada konflik sistem nilai yang dianut serta menjadi ideologi dalam sebuah kesatuan sosial, sedangkan konflik pada tingkatan politis, lebih kepada pertentangan dalam pembagian kekuasaan, sumber daya alam, serta sumber-sumber ekonomi yang ada dalam masyarakat. Ancaman disintegrasi bangsa di Indonesia ini lebih banyak berada dalam tataran politis. Hal tersebut karena ketidakmerataan sumbersumber ekonomi dan kekuasaan. Penjelasan tersebut juga didukung oleh seorang ahli resolusi konflik, Burton, yang menyebutkan beberapa hal yang menjadi dasar (deep rooted) dari konflik, yakni keterkaitan resiprokal antara struktur sosial, institusi sosial, dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia ‘human basic needs’ (Nasikun, 2007: 78). Salah satu faktor yang penulis cermati adalah pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang menjadi kepentingan dalam proses bertahan hidup dan secara manusiawi akan diperjuangkan oleh manusia itu sendiri. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya mati-matian dalam melakukan program kerja yang bertujuan menyejahterakan rakyat. Namun dalam pembahasan ini, penulis lebih menitikberatkan pada konflik tingkatan ideologis yang terjadi gesekan antar kelompok karena perbedaan nilai dan sistem sosial budaya. Motif Akibat Minimnya Konsensus Norma Sosial dalam Masyarakat.
Sudut pandang lainnya terhadap konflik dapat dideskripsikan dengan pemilihan teori konflik identitas yang menyatakan bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan (jepits.wordpress, 2007). Artinya, semakin sekelompok orang merasa identitasnya terancam eksistensinya di masyarakat, maka konflik pun berpotensi muncul sebagai upaya defensif untuk mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat. Ditegaskan kembali oleh Maslow bahwa kebutuhan dasar manusia tidak hanya sandang, pangan, dan papan, namun juga eksistensi (keberadaan) (organisasi.org). Oleh karena itu, bukan hanya faktor ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi, namun juga faktor sosial-masyarakat. Dalam hal ini kebutuhan akan pengakuan atas identitas kelompok. Kebutuhan akan eksistensi inilah yang kerap kali bertabrakan dengan norma sosial yang menjadi bumerang bagi masyarakat, dalam bentuk potensi konflik di masyarakat. Ada kalanya karena terdorong untuk mempertahankan atau mendapat pengakuan atas keberadaan kelompoknya, mereka melakukan perbuatan diluar konteks norma sosial yang berlaku. Misalnya, kasus berikut ini: Contoh Kasus: Penulis mengamati dua contoh konflik akibat minimnya kesepakatan konsensus umum terhadap norma sosial di masyarakat. Konflik penyerangan jemaat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) dan konflik kelompok waria,
61
Volume 1, Desember 2010
62
preman, serta masyarakat. Konflik yang baru-baru ini terjadi dan mengundang perhatian masyarakat luas adalah tragedi penusukan salah satu jemaat gereja HKBP di Bekasi oleh sekelompok orang tidak dikenal. Jemaat HKBP yang saat itu sedang melakukan ibadah salat Jumat tiba-tiba diserang oleh 10 orang tidak dikenal. Jemaat HKBP tersebut sedang beribadat di sebuah lapangan yang konon akan dibangun gereja nantinya. Mereka mendapat penolakan keras masyarakat setempat. Salah seorang masyarakat yang diwawancarai menyatakan keberatannya terhadap rencana pembangunan gereja dan kegiatan jemaat HKBP di daerah sekitar mereka tinggal. “Mereka engga pernah ngobrol, orang kalo di sini mau buat kandang ayam aja diskusi dulu sama masyarakat.” Ujar salah seorang masyarakat di kawasan tersebut. Contoh lainnya adalah konflik yang diamati langsung oleh penulis. Tepatnya di daerah Pabaton, Bogor Tengah. Eksistensi kelompok waria, yang merupakan kaum minoritas, terancam karena perbedaan norma sosial dan agama dengan masyarakat sekitar. Kebutuhan akan eksistensi dan keinginan untuk berkumpul dengan kelompok inilah yang membuat kelompok waria menjadi sangat vulgar dalam menampakkan diri di tengah masyarakat, sehingga membuat resah masyarakat sekitar. Mungkin fenomena ini tidak hanya terjadi di daerah Bogor Tengah. Namun, yang menjadi sangat menonjol adalah konflik ini telah pecah menjadi konflik koersif antara waria dengan aparat kepolisian Bogor Tengah, dan ini bukan
yang pertama kalinya sejak lima tahun terakhir di Bogor. Kelompok waria ini terdiri dari 6-10 waria yang mangkal setiap malam hari (selepas pukul 21.00 WIB) di jalan Dewi Sartika, Bogor sejak tahun 2007 lalu. Kelompok ini tidak muncul secara serta merta, namun mereka telah ada sejak awal 1990-an. Tahun 1990-an mereka mangkal1 di Jalan Gedong Sawah, tidak jauh dari jalan Dewi Sartika. Namun karena diprotes keras oleh masyarakat sekitar, mereka pindah ke daerah Dewi Sartika yang hanya beberapa blok dari Gedong Sawah. Kebanyakan konflik yang terjadi karena sudut pandang kelompok waria dengan masyarakat yang berbeda. Dari sudut pandang agama, masyarakat Gedong Sawah yang kebanyakan beragama Islam dan kristen, memandang negatif dan mencela tindak kelompok waria tersebut. Sering kali adanya tindak koersif seperti saling cela antara kelompok satu dengan lainnya, yang biasanya berakhir dengan campur tangan aparat kepolisian setempat. Satu aktor lagi yang sangat dominan dalam masyarakat di daerah Dewi Sartika adalah preman pasar. Kawasan Dewi Sartika adalah pasar tradisional terbesar di kota Bogor. Kelompok preman yang mendominasi malam pernah terlibat konflik serius dengan kelompok waria yang menyebabkan bentrokan. Penyebabnya adalah karena dua kelompok tersebut sering berinteraksi dan terkadang memicu timbulnya konflik.
1
kosa kata bahasa Sunda, yang dalam bahasa Indonesia artinya kumpul satu kelompok untuk sekedar ‘berkumpul dan mengobrol’ atau bahkan menjajakan ‘diri’
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
Contohnya adalah pada akhir 2008 lalu terjadi bentrokan antara kelompok preman pasar dengan kelompok waria, yang menyebabkan beberapa anggota kedua kelompok mengalami luka cukup serius. Hal ini pun sempat mengundang perhatian media massa lokal. Contoh kasus lainnya terjadi pada akhir 2009 lalu, yakni terjadinya tindak kekerasan yang menyebabkan satu orang waria luka-luka. Hal ini terjadi akibat dari upaya masyarakat mengusir mereka di malam hari. Di balik upaya tersebut, kelompok waria berusaha melawan maka timbullah bentrok fisik antardua kelompok. Kembali pada pandangan masyarakat sebagai salah satu aktor dalam pemetaan konflik identitas ini. Masyarakat menilai bahwa waria adalah kelompok yang hina, tidak pantas berada dalam lingkungan sosial mereka, tidak jauh berbeda dengan pandangan masyarakat terhadap preman. Preman memandang kelompok waria sebagai kelompok inferior yang ‘menganggu’ serta mengusik kawasan mereka. Waria, sebagai pihak yang tersudut menyatakan sikap permusuhannya dengan tetap tinggal walau sudah diusir, bahkan menambah jumlah kelompok mereka menjadi lebih banyak. Apa yang dikomentari masyarakat sebagai ‘mangkinan wani’.2 Penulis melihat adanya potensi konflik yang dapat membesar dan menyebabkan disintegrasi lokal karena pertikaian antara kelompok waria, preman, dan masyarakat di daerah Dewi Sartika Bogor. Di lain hal, konflik jemaat HKBP
2
Kosa kata dalam bahasa Sunda yang artinya semakin berani.
dengan masyarakat adalah salah satu contoh konflik akibat tidak ada konsensus norma sosial antar masyarakat, musyawarah. Ditambah lagi kurangnya toleransi dalam memandang perbedaan, multikulturalisme dalam beragama. Konflik tersebut sama dengan konflik kelompok waria, preman, dan masyarakat di daerah Pabaton Bogor. Masingmasing kelompok mempunyai nilai sendiri-sendiri yang terlalu diagungkan, tanpa mau berkompromi dengan ke-multikulturalismean Indonesia. Disintegrasi lokal seperti kedua konflik di atas jika terjadi di banyak daerah dengan satu pola yang sama, akan mengancam disintegrasi bangsa dalam skala yang lebih besar. Kasus konflik akibat tidak adanya kesepakatan norma sosial, dalam bahasa sederhananya ‘toleransi’ terhadap kelompok lainnya terbukti menjadi motif dari berbagai konflik di Indonesia. Baik konflik antar kelompok agama (IslamKristen konflik Poso), suku-bangsa (Dayak-Madura konflik Sampit), atau masyarakat lokal-pemerintah pusat (RMS dan OPM)3. Kebanyakan alasan dari konflik-konflik tersebut adalah motif ekonomi dan minimin toleransi. KESIMPULAN Ancaman disintegrasi bangsa menjadi bayang-bayang gelap dirgahayu Indonesia yang ke 65 ini. Melalui pendekatan konflik, disintegrasi bangsa dilatarbelakangi oleh dua konflik dalam masyarakat, yakni konflik dalam tataran
3
RMS: Republik Maluku Selatan, OPM: Organisasi Papua Merdeka. Dua gerakan separatis yang masih ada sampai sekarang di Indonesia, dengan tuntutan ingin lepas dari Indonesia dan membentuk negara sendiri.
63
Volume 1, Desember 2010
64
ideologi dan konflik dalam tataran politis. Dalam tataran ideologis, misalnya konflik karena ketidaksepahaman norma sosial. Hal ini menyebabkan kurangnya toleransi antar kelompok masyarakat untuk melihat perbedaan sebagai kekayaan dibanding jurang pemisah yang besar, contohnya tragedi penyerangan jemaat HKBP dan konflik kelompok waria dengan preman dan masyarakat. Tataran politis disintegrasi bangsa didorong oleh kenyataan bahwa di Indonesia masih ada gap ekonomi yang besar antara kelompok yang memiliki otoritas ke akses ekonomi dan kelompok yang tidak (termarginalkan secara ekonomi). Ketidakadilan dan ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi inilah yang mendorong gerakan separatis seperti RMS di Maluku dan OPM di Papua Barat. Kemungkinan terburuk dari terusmenerus dan tidak berakhirnya konflik adalah disintegrasi bangsa, atau bahkan apa yang dikatakan sebagai failed state (Emmerson, 2000: 95). Konflik ini akan terus berlanjut jika tidak adanya saling pengertian dan toleransi diantara ketiga pihak yang terlibat langsung dalam konflik. Ada beberapa poin rekomendasi yang dibuat oleh penulis untuk ditujukan kepada pemerintah, NGOs, dan mahasiswa sebagai salah satu aktor preventif maupun kuratif konflik yang membawa Indonesia pada ancaman disintegrasi bangsa, yaitu: • Perlu adanya konsensus nasional, yakni nilai-nilai umum yang disepakati bersama oleh masyarakat, sebagai alat pemersatu bangsa. Yang mana nilai-nilai umum tertentu tidak hanya disepakati oleh masyarakat, namun
juga dihayati melalui proses sosialisasi yang persuasif dan komprehensif. Di sinilah peran mahasiswa dalam mensosialisasikan konsensus nasional, misalnya menularkan sikap positif dan menerima perbedaan sebagai kekayaan budaya tanpa kekerasan atau perasaan merendahkan. Mahasiswa bisa menulis di surat kabar lokal atau nasional untuk membuka wawasan tersebut, atau menulis populer di blog, update status di twitter atau media komunikasi massa lainnya. Atau bahkan yang lebih sederhana, mahasiswa bisa memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari dengan menghargai eksistensi kelompok marginal tanpa menggangunya. • Pada tahap Pra-Konflik, pemerintah harus dapat mengantisipasi dengan memberikan pelayanan dan kesejahteraan sosial, sehingga tidak ada konflik akibat gesekan kepentingan ekonomi-sosial-budaya. Pemerintah harus melakukan tindak antisipasi dengan melakukan dialog rutin dalam periode tertentu antar kelompok, berdasarkan deskripsi ‘kelompok’ yang dianggap penting oleh pemerintah, tanpa ada diskriminasi. Untuk mahasiswa sebagai aktor penting, dapat membuat diskusi terbuka atau kajian untuk saling bertukar pikiran sehingga wawasan lebih terbuka, dan bisa menularkannya pada sesama teman mahasiswa, atau masyarakat luas melalui tulisan di Koran, milis, notes, dsb. • Pada tahap ekskalasi konflik, penting bagi pemerintah untuk melibatkan pihak ketiga yang netral dan berasal dari golongan non-militer dalam tingkat ekskalasi konflik, misalnya NGOs (Widjajanto).
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
• Jika militer memang dibutuhkan untuk mencegah jatuh korban lebih banyak, paling tidak pemerintah melaksanakannya bersamaan dengan pendekatan sosial-budaya, sehingga tidak mengores luka lama Orde Baru. • Pada tahap Pasca-konflik, NGOs, mediator, internasional, atau insitusi keagamaan juga perlu dilibatkan dalam meredam dan sebagai tahap kuratif dan pasca konflik (Zartman & Touval), sedangkan mahasiswa bisa melakukan kegiatan sosial: psikologi motivasi, community development, atau kegiatan sosial lainnya untuk mengobati luka pasca konflik. • Bagi mahasiswa secara konkret dapat membuat konferensi atau forum diskusi nasional, dengan peserta dari seluruh provinsi di Indoensia, untuk duduk bersama dan membahas isu serta solusi permasalahan bangsa.
65
Volume 1, Desember 2010
66
DAFTAR ACUAN Burton, John. 1990. Conflict: Resolution and Prevention. London: Macmillan. Cohen, Anthony. 1985. The Symbolic Construction of Community. New York: Routledge. Dahendrof, Rudolf. 1959. Case and Class Conflict in Industria’ Society. California: Standford University Press. Donald, Emmerson. 2000. “Will Indonesia Survive?” dalam Foreign Affairs , May/June hlm. 95. Furnivall. 1967. Netherland India: A Study of Plural Economy. Cambridge: The Cambridge University Press. Hadi, Syamsu. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nasikun. 2007. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Anonim. 2007. Manajemen konflik, definisi, dan teori-teori konflik. http://jepits.wordpress.com/2007/12/19/manajemen-konflik-definisi-dan-teori-teorikonflik ( 28 Juni 2010 pukul 13.10 WIB). Anonim. Definisi konflik. http://google.co.id/definisikonflik (13 Agustus 2010 pukul 15.00 WIB). Anonim. Makna Konflik. http://id.shvoong.com/social-sciences/1838186-makna-konflik/ (13 Agustus 2010 pukul 15.00 WIB). Anonim. Teori Maslow. http://google.co.id/teorimaslow (14 Agustus 2010 pukul 13.00 WIB). Anonim. Teori Hierarki Kebutuhan Maslow. http://organisasi.org/teori_hierarki_kebutuhan_ maslow_abraham_maslow_ilmu_ekonomi (14 Agustus 2010 pukul 13.00 WIB) Anonim. Kemajemukan Indonesia (Bahasa Daerah dan Jumlah Pulau). http://.google. co.id/kemajemukanindonesiabahasadaerah-jumlahpulau (15 Agustus 2010 pukul 15.00 WIB). Fajriutami, Triyani. 2009. Ragam Bahasa di Indonesia. http://triyanifajriutami.wordpress. com/2009/08/08/ragam-bahasa-di-indonesia/ (15 Agustus 2010 pukul 15.00 WIB).