Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899X
Negara dan Civil Society dalam Masalah Disintegrasi Bangsa Oleh: Yunizir Djakfar Abstract In storage of Indonesia, civil societies especially say that in post reformation discourse at 1998 envelope economic reformation, politic, sosial and culture. The incident at September, New York (WTC) becomes pioneer to global civil society power that come up new aware in most of authority’s country strictly increase of country safety. Because of terrorisms, that happening in New York is insult of human right. So that civil society is appears in the problem of nation integrity that become existence of manifests from individual. Key words: Civil society, nation integrity
Pendahuluan Konsep civil society tentu bukan penemuan abad 21, civil society yang kita ambil sampai hari ini terutama berdasarkan perkembangan yang rnutakhir, yaitu masa-masa sekitar runtuhnya blok sosialis dengan runtuhnya The Imperium Uni Soviet (Rusia) itu pada tahun 1989. Meskipun ada yang kemudian membenturkan konsep civil society dengan msyarakat madani di mana civil society dianggap berasal dari Barat, sementara masyarakat madani lahir dalam peradaban masyarakat Islam, akan tetapi yang dikedepankan dalam tulisan ini adalah bahwa, baik civil society maupun masyarakat madani, adalah sama-sama mendorong terwujudnya masyarakat yang hidup berdasarkan kaidah keilmuan, dibimbing oleh keinsafan terhadap nilai proporsionalitas, mandiri, demokratis, menjunjung tinggi moral dan terbuka terhadap kritik. Dalam perkembangan lebih lanjut, civil society dimengerti sebagai entitas yang berbeda dengan negara. Dalam khasanah ke-Indonesia-an, civil society terutama mengemukakan dalam diskursus pasca Reformasi 1998. Meliputi ide pembaruan ekonomi, politik, sosial hingga budaya. Adanya peristiwa 11 September, New York (WTC) lantas juga menjadi tonggak kekuatan civil society global yang juga mernbangkitkan kembali satu kesadaran baru di kalangan banyak penguasa-penguasa negara untuk lebih ketat dalam melakukan pengamanan negara. Karena terorisme seperti yang terjadi di New York tersebut merupakan bentuk penistaan terhadap hak hidup masyarakat. Maka civil society pun menapak pada persoalan kesatuan bangsa yang menjadi manifestasi eksistensi dari berbagai individu. Sebab berkenaan dengan hak hidup setiap manusia. Sementara kesatuan sebuah bangsa adalah komitmen sakral dan para anggotanya yang telah mengikat din dalam sebuah wadah dengan beraneka ragam latar belakang, dengan demikian upaya-upaya yang mengarah kepada tindakan memecah belah adalah juga merupakan bagian dari langkah-langkah merongrong sebuah penyatuan dari berbagai kelompok tersebut. Ancaman ini tentu saja harus diantisipasi secara lebih tegas, tidak hanya
Dekan FISIP Universitas Baturaja, Sedang Studi di MIP FISIP UNILA
36
Yunizir Djakfar; 36 - 40
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899X
oleh instrumen negara, tapi juga kalangan civil society sebagai golongan masyarakat yang cukup kuat dalam mencegah tirani politik, baik oleh negara maupun komunitas/komunal. Kontekstualisasi peran civil society dalam negara bangsa Indonesia tentu saja masih jauh panggang dari api. Salah satunya persoalan adanya ancaman disintegrasi bangsa yang tetap memiliki pendukung. Sifatnya yang laten ternyata semakin mebuktikan bahwa persoalan disintegrasi bangsa amatlah kompleks; selain melibatkan faktor sejarah saat awal mula terbentuk, faktor lainnya adalah munculnya ketidakpuasan secara nyata akibat dan kebijakan pemerintah yang kurang pro terhadap masyarakat. Ketiadaan sinkronisasi dan koordinasi peran masing-masing elemen dalam masyarakat juga ternyata masih kurang. Keberhasilan diplomasi penyelesaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM), belum menunjukkan tanda-tanda bisa terjadi dalam kasus Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Republik Maluku Selatan (RMS). Pada berbagai kasus, kecenderungan yang timbul adalah negara bergerak sendiri dalam penanganan kasus-kasus disintegrasi, sementara kalangan civil society belum mampu memperlihatkan peran-peran signifikan dalam hal ini. Ambil saja contoh tentang intervensi beberapa Anggota Kongres Amerika Serikat yang meminta dua orang tersangka anggota gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dibebaskan tanpa syarat. Hampir tidak diketemukan kritik-kritik mendalam dari kalangan civil society; biasanya direpresentasikan oleh golongan akademisi, pengamat dan ilmuwan. Adapun permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini yakni tentang bagaimana peran negara dan civil society dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa. Civil society Pemikiran tentang civil society sebenarnya bukanlah suatu konsep baru. Sebagai sebuah gagasan yang dipercaya lahir di Barat dan juga pernah terbentuk di jazirah arab, perwujudan civil society adalah terbentuknya pengelompokan-pengelompokan sosial yang mencakup mulai dari rumah tangga, organisasi-organisasi sukarela (termasuk partai politik), organisasi/asosiasi termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban dan juga kelompok-kelompok kepentingan yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh Negara. Bahkan, juga mencakup organisasi-organisasi yang mungkin awalnya dibentuk oleh Negara, tetapi keberadaannya melayani kepentingan masyarakat sebagai perantara dari Negara di satu pihak dan individu masyarakat di pihak lain. Acuan konseptual yang bisa ditarik dari keterangan di atas adalah bahwa civil society merupakan wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan, keswasembadaan dan keswadayaan, kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara dari ketertarikan dengan norma-norma dan nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya (Hikam dalam Culla, 2002: 122). Relevansi civil society dengan negara, apalagi negara dunia ketiga, seperti Indonesia tentu saja adalah, masyarakat yang merupakan bagian dari civil society hendaknya mampu secara sistemik dan kontinyu memberikan kontribusi positif bagi keberlangsungan sebuah negara, meskipun berada di luar struktur kenegaraan. Sebab, sebagaimana yang dijelaskan dalam teori pembangunan dan nasionalisme (Hertanto, 2006: 81), pembangunan diasosiasikan dengan nasionalisme terutama terkait dengan upaya membangun nasionalisme baru dengan mencari loyalitas politik umum karena heterogenitas bahasa, etnis dan agama melalui perjuangan untuk mernperoleh kemandirian dan lingkugan kebangsaan. Bahwa negara adalah integrasi dan kesatuan politik, ia adalah organisasi pokok dan kekuasaan politik (Budiardjo, 2001: 38). 37
Yunizir Djakfar; 36 - 40
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899X
Analisis Permasalahan Civil Society Terkait dengan Disintegrasi Bangsa Menilik pada adanya kasus penyampaian surat oleh beberapa anggota Kongres Amerika Serikat yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun surat itu ditandatangani oleh 40 orang anggota Kongres Amerika Serikat, namun isi surat yang meminta pembebasan tanpa syarat dua anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang ditahan oleh pihak berwajib Pemerintah Indonesia (Kompas, 09 Agutus 2008), adalah tindakan irasional dan sewenang-wenang. Bahkan merupakan intervensi terhadap martabat dan kedaulatan Bangsa Indonesia. Meskipun sikap reaktif bukanlah yang terpenting guna rnenanggapi hal tersehut, karena mengingat disintegrasi adalah isu lama yang telah hadir di masyarakat Indonesia, yang lebih dikedepankan tentu saja adalah penahanan persoalan ini harus ditempatkan dalam porsi otokritik dan penyadaran kembali komitmen berbangsa dan bernegara semua pihak. Sebagai negara kepulauan dengan ragarn etnis, bahasa, kultur dan bermacam latar belakang satu sama lain, mengelola Indonesia bukanlah perkara mudah. Keterpisahan jarak antar pulau, kesenjangan antar daerah dengan masing-masing potensinya, memang sangat rentan inhitrasi bermotif disintegrasi. Pengalaman seperti yang terjadi baru-baru di Negara Georgia, di mana salah satu provinsinya, Ossetia Selatan hendak memisahkan diri, cukuplah kiranya membuat kita wajib selalu terjaga bahwa keutuhan negara-bangsa (nation-state) Indonesia hampir tiap saat menghadapi ancaman fisik dan konfrontasi yang dapat berakibat fatal. Sudah saatnya pemerintah bersama-sama segenap entitas anak bangsa bersama bekerja untuk mengatasi persoalan mi. Peristiwa pengibaran bendera benang raja milik Republik Maluku Selatan (RMS) saat acara kenegaraan yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon beberapa waktu lalu, membuktikan penanganan gerakan separatis masih belum massif. Pemerintah belum bisa memformulasikan pola penyelesaian persoalan yang berakar pada karakter khas masyarakat setempat. Selain HAM, diakui bahwa pembangunan masih saja helum menyentuh segenap rakyat. Akan tetapi minimal pemerintah memiliki skala prioritas kebijakan yang dapat bersifat regional (Barat, Tengah, Timur). Apalagi menyangkut ketahanan dan keamanan nasional yang tidak hanya berpeluang muncul gangguan dari pihak luar, tapi juga dari pihak dalam. Sudah semestinya bila wilayah Indonesia yang luas ini dipertaharikan keutuhannya. Lebih mendalam lagi bila dicermati, pemerintah ternyata cenderung mengedepankan pendekatan militeristik ketimbang dialog yang solutif. Kalau Aceh diberikan jalan keluar secara komprehensif, sudah kewajaran bilamana daerah lain pun demikian. Tidak serta-merta melalui kebijakan sama, tapi yang penting adalah; serius, komprehensif melihat akar persoalan, integral dalam memberikan alternatif solusi dan tanggap atas aspirasi masyarakat setmpat. Terlebih seperti era sekarang dengan suburnya iklim demokrasi, rakyat sudah selayaknya diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kreasi dan daya ciptanya demi kemaslahatan. Jika dilihat seksama, pemerintah belum terlalu cukup untuk mengembangkan kondusivitas berintegrasi, didukung tumbuhnya semangat koeksistensi damai antar segenap elemen negara. Justeru di masa kebebasan seperti sekarang ini, masyarakat makin mudah tersulut emosi. Kekerasan, main hakim sendiri seolah makin akrab dalam keseharian masyarakat. 38
Yunizir Djakfar; 36 - 40
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899X
Ditambah lagi biaya begitu besar yang dikeluarkan guna mensukseskan perhelatan semacam pemilihan langsung pun tak berbanding lurus dengan kinerja pemimpin pro rakyat. Prosedur demokrasi yang telah ditata sedemikian rupa, pada akhirnya hanya diruntuhkan kembali lewat perilaku menyimpang para elit. Bila sudah sedemikian maka, nasionalisme akan sangat sulit berurat-berakar di masyarakat, lantaran terlalu banyak janji yang tidak ditepati. Selanjutnya, timbulnya riak-riak iri, kesal, kecewa, marah dan beraneka reaksi sejenis, sewaktu-waktu bisa meledak tak terkendali; berbentuk pengingkaran pada otoritas yang syah. Inilah pelestari ancaman disintegrasi paling menakutkan. Jangan sampai Indonesia menjadi seperti Yugoslavia yang kemudian hancur tercerai-berai menjadi satuan-satuan kecil negara merdeka yang tak kunjung pula berubah ke arah sejahtera. Pengamatan sederhana sebenarnya bisa menyimpulkan jika faktor klasik gesekan kebangsaan yang berujung niat memisahkan diri adalah karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap rakyatnya. Lebih parah lagi, pemerintahlah yang kini kian hari justeru terlihat meninggalkan masyarakatnya. Rakyat seningkali ditempatkan seolab komoditi bisu yang dengan rr&udah diatur, dipermainkan bahkan diperjualbelikan. Di sisi lainnya pemerintah pun belum serius menerapkan pninsip-prinsip good governance yang telah memberi rambu pengelolaan pemerintahan dengan secara bersama menempatkan pemerintah. swasta dan masyarakat sebagai mitra bersama yang saling menghargai, mendukung, melengkapi, mengkritisi dan berjalan seiring dalam rangka kemajuan bersama. Tak mengherankan bila kini kehidupan masyarakat masih seringkali didominasi oleh kooptasi pemerintah. Kewajiban sosial swasta terhadap pemberdayaan masyarakat sekitar pun amat minim dirasakan. Keberhasilan reformasi melahirkan pelaksanaan otonomi daerah bahkan status khusus bagi daerah-daerah tertentu, pada dasarnya memang sudah tepat, tetapi proses pengawasan dan pembinaan yang belum maksimal, mengakibatkan kebijakan ini pun banyak yang berjalan di tempat. Pemberian otonomi daerah yang diarahkan agar pengelolaan pembangunan masyarakat dapat berjalan sesuai dengan harapan, masih jauh dan ideal untuk menunjukkan fakta kemajuan yang berarti. Maka hal terpenting yang dibutuhkan adalah perhatian dari pihak-pihak berkompeten untuk melakukan pemberdayaan di segala bidang. Demokratisasi yang kini sedang digalakkan akan hanya menjadi omong kosong manakala integritas pemerintah jauh dan harapan. Begitupun kelompok civil society yang bungkam, adalah jalan buntu pemecahan persoalan bangsa. Yang paling dibutuhkan adalah konsistensi untuk menurunkan ide dan gagasan ke dalam bentuk sistematis implementatif. Apalagi civil society hakikatnya adalah menyiratkan keniscayaan adanya kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul dan menyuarakan pendapat serta kesempatan yang samadalam mempertahankan kepentingankepentingan di depan umum. Sehingga perjuangan membela kepentingan rakyat adalah tindak lanjut dari sikap kelompok civil society dengan tetap berpedoman pada kaidah aturan yang berlaku. Artinya penyimpangan terhadap peraturan juga bagian dari perjuangan, yakni penyadaran umat dan bangsa akan pentingnya kesatuan dan mempertahankan jatidiri kebangsaan melalui instrumen pengabdian di berbagai ranah. Bila peijuangan kalangan civil society telah diterjemahkan ke dalam berbagai program ke arah pemberdayaan, maka sudah barang tentu akan terjalin hubungan simbiosis dengan negara selaku pengambil kebijakan, dengan tetap berpijak pada prinsip penegakan peraturan dan kritis terhadap rezim. Bagaimanapun juga, hubungan antara negara dan civil society adalah jalinan yang begitu kompleks. Civil society tidak dengan sendirinya lebih demokratis dari negara, demikian pula 39
Yunizir Djakfar; 36 - 40
Volume 3, No. 5, Juni 2010
ISSN: 1979–0899X
sebaliknya. Selain itu demokrasi tidak harus dipaharni sebagai proses penguatan civil society, mengingat hubungan negara dan civil society juga tidak mutlak kontradiktif. Dernokrasi mungkin saja berpotensi untuk hadir melalui perilaku dan sikap para pembela demokrasi, para aktornyalah yang bisa berada pada domain negara maupun civil society. Intinya adalah, masyarakat membutuhkan realisasi pemberdayaan yang menyentuh pada desain mensejahterakan hingga masa mendatang, sementara masyarakat Indonesia yang lebih 200 juta sudah barang tentu memiliki berbagai perkara yang tak mudah diselesaikan, dalam hal ini disintegrasi, apalagi tak sedikit rakyat yang berada di daerah-daerah terluar, untuk itu peran civil society pun amat diperlukan guna mendukung langkah-langkah ini. Penutup Secara keseluruhan, paparan di atas menggambarkan kepada kita semua bahwa ancaman disintegrasi bangsa adalah keniscayaan bagi Negara sebesar, sepenting dan sekaya Indonesia. Antipati pihak-pihak asing atas peluang kebangkitan dan kemajuan Indonesia adalah fakta sejarah yang sulit diingkari. Pola infiltrasi yang juga bisa dilakukan melalui gerakan yang mengatas namakan kebebasan, demokrasi dan HAM. Makanya ditegaskan di awal bahwa civil society juga harus diarahkan pada persoalan kesatuan sebuah bangsa, karena merupakan wujud kebersatuan dan berbagai individu yang senasib sepenanggungan. Artinya, jangan sampai kalangan civil society hanya berhenti di aspek perdebatan, namun hendaknya juga mampu secara cerdas dan kongkret, memberikan sumbangsih pengahdian kepada masyarakat. Terutama terkait tema artikel ini adalah, rnemberdayakan potensi yang dimiliki guna mendukung langkah-langkah taktis dan strategis mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Sedangkan secara khusus, kesimpulan yang dapat diperoleh dan paparan di atas antara lain: Pertama, walaupun konsep civil society masih sering diperdebatkan, tetapi yang menjadi kata kunci dan perbedaan tersebut adalah, otonomi, kemandirian dan sikap kritis. Kedua, negara sebagai otoritas pengambil kebijakan hams membuat konseptualisasi pembangunan dan pemberdayaan berbasis potensi dan karakteristik lokal, disesuaikan dengan skala prioritas atas upaya penanganan masalah. Ketiga, civil society dan negara adalah partner yang saling melengkapi. Dan, keempat, Peran civil society dalam pemberdayaan riil mendukung keutuhan negara mestinya juga dilaksanakan, tidak hanya pada wilayah dialektika konseptual. DAFTAR PUSTAKA Budiardjo, Miriam. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Culla, Adi Suryadi. 2002. Masyarakat Madani. Jakarta: Rajawali Press. Hertanto. 2006. Teori-teori Politik dan Pemikiran Politik di Indonesia (Buku Ajar). Bandar Lampung: Universitas Lampung. Harian Kompas. Edisi Sabtu, Tanggal 09 Agustus 2008.
40
Yunizir Djakfar; 36 - 40