Urgensi Keterlibatan Civil Society dalam Demokrasi1 David Efendi2
Pendahuluan Tema masyarakat sipil atau civil society sudah dibicarakan sejak abad ke-18. Terdapat juga catatan Cicero yang telah menggunakan kata ini pada tahun 106-43 SM. Masyarakat sipil mencakup beragam organisasi, formal dan informal yang meliputi asosiasi ekonomi, budaya, informasi dan pendidikan, kelompok kepentingan, organisasi pembangunan, dan dapat pula kelompok yang berorientasi isu, dan kewarganegaraan (Diamond, 2003). Ada pun karakter civil society ini, menurut Diamond, antara lain adalah terkait kepengaturan formal kelompok, tujuan dan metode, pelembagaan organisasi, dan pluralism. Karakter ini sangat dekat sebagaimana hasil penelusuran Pabottinggi mengenai sistem demokrasi. Sistem pemerintahan ini berpatokan pada kolektifitas, prinsip kebebasan, prosedural, menghargai hak, saling kontrol, pluralisme, dan konstitusionalisme. Topik ini masih relevan untuk didiskusikan dalam masyarakat kontemporer. Ketakutan akan ‘kagagalan’ demokrasi juga membawa pemikiran reflektif untuk kembali memperkerjakan praktik kehidupan civil society di berbagai masyarakat. Potensi keterlibatan masyarakat sipil dalam menjadi panawar dari persoalan defisit demokrasi di dunia kontemporer saat ini menduduki peran sentral (Steffek, Kissling, & Nanz, 2008). Hal ini bukan baru kalau kita menengok ke belakang gagasan Tocquiville mengenai pentingnya asosiasi yang berwatak volunterisme dan egalitarianisme—dimana situasi ini yang menjadikan demokrasi dapat bekerja dengan baik di Amerika (Tocqueville, 2005). Robert Putnam (2008) dalam bukunya ‘making democracy works’ menapak tilas jejak Tocquiville untuk melihat bagaimana demokrasi bekerja di Itali dan mendapatkan kesimpulan yang senada: demokrasi dapat bekerja di masyarakat yang partisipasi warganya kuat. Hal ini juga mampu mendorong tumbuhnya sektor pembangunan ekonomi. Pada saat civic virtue di Amerika mengalami kemunduruan, Putnam juga menuliskan buku yang cukup terkenal yaitu yang berjudul Bowling Alone. Selain di Eropa atau Amerika, entitas masyarakat sipil juga dianggap sangat penting keberadaan untuk menjadi mitra pemerintah di Jepang (Kingston, 2004), Malaysia (Weiss, 2009), dan Korea (Amstrong, 2002). Menurut Ernest Gellner, Civil Society merujuk pada mayarakat yang terdiri atas berbagai institusi non-pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk dapat
Makalah ini disiapkan untuk bahan diskusi dalam kegiatan “Pendidikan Politik Bagi Masyarakat” yang diselenggarakan oleh Kesbangpol DI Yogyakarta pada hari Rabu, tanggal 24 Mei 2017 di Yogyakarta. 2 Staf Pengajar Program studi Ilmu Pemerintahan, Fisipol, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Email:
[email protected] 1
2
mengimbangi Negara. Sementara Cohen dan Arato mendefinisikan sebagai awilayah interaksi sosial diantara wilayah ekonomi, politik dan negara yang didalamnya mencakup semua kelompok-kelompok sosial yang bekerjasama membangun ikatan-ikatan sosial diluar lembaga resmi, menggalang solidaritas kemanusiaan, dan mengejar kebaikan bersama (public goods). Civil society terbentuk karenanya adanya interaksi dengan negara karenanya disebut pula dengan istilah civil government oleh Jhon Locke. Ada pun syarat keberadaan civil society itu sendiri terdiri dari partisipasi politik, asosiasi, perlindungan hukum bagi individu. Aspek civil society terdiri dari pertanggungjawaban negara, keterbukaan informasi, pengakuan HAM, inklusifitas (Nordholt, 2002) Ada banyak adopsi civil society dengan pendekatan scholar di Indonesia dengan berbagai padanan seperti ‘masyarakat sipil’ atau ‘masyarakat madani.’ Kata madani berasal dari kata “madaniyah” yang berarti peradaban. Masyarakat madani adalah masyarakat yang merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad, sebagai masyarakat kota atau masyarakat berperadaban dengan ciri antara lain: egalitarian(kesederajatan), menghargai pluralsime, menghargai prestasi, keterbukaan, toleransi dan musyawarah (Nurcholis Madjid, 1999). Oleh karena itu masyarakat madani berarti masyarakat yang berperadaban. Selain itu masyarakat sipil merupakan situasi masyarakat yang mandiri dan demokratis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi norma, nilai-nilai, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan teknologi yang beradab, iman dan ilmu. Sedangkan, Syamsudin Haris mengatakan bahwa masyarakat madani adalah suatu lingkup interaksi sosial yang berada di luar pengaaruh negara dan model yang tersusun dari lingkungan masyarakat paling akrab seperti keluarga, asosiasi sukarela, gerakan kemasyarakatan dan berbagai bentuk lingkungan komunikasi antar warga masyarakat. Demokrasi dan Civil Society Demokrasi atau demokratisasi telah menjadi salah satu tema sentral dalam hasanah politik kontemporer, termasuk di Indonesia. Ada yang menekankan pada pendekatan atau masalah nilai dan budaya (Almond dan Verba, 1984; Harrison dan Huntington, 2000), model dan bentuk baru demokrasi (Held,1986 dan 1999; Dahl, 1999), masalah-masalah civil society (Diamond,1992), masalah civilian supremacy upon military (Huntington,1956; Diamond dan Plattner (ed.), 2000), tingkatan modernisasi demokrasi (Apter, 1987; Diamond, Linz, and Lipset (eds.), 1990; International IDEA, 2001), pilihan strategistrategi demokrasi (O’Donnell, Schmitter, dan Whitehead, 1993a, 1993b, 1993c, 1993d; O’Donnell dan Schmitter, 1993; Huntington, 1991), lembaga-lembaga demokratis (Linz and Valenzuela (eds.), 1994), dan lain sebagainya. Kontribusi dari semua ini adalah penampakan hubungan pasang surut antara negara dan masyarakat. Suatu kesmepatan negara menjadi paling dominan, kadang di masyarakat sipil dan kadang tidak menentu sebagai arena yang dinegosiasikan. Setelah sekian lama pergulatan ideologi politik global, demokrasi liberal berhasil memenangkannya (Fukuyama,2001). Namun, bukan berarti demokrasi liberal tanpa persoalan di perjalanannya. Krisis demokrasi liberal, disinyalir sangat kuat, bersumber dari obsesi berlebihan demokrasi liberal terhadap metode, prosedur dan institusi dalam memaknai dan menjelaskan arti penting pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Akibatnya model demokrasi liberal tidak peka pada isu-isu seperti partisipasi, keadilan atau budaya demokrasi. Tampaknya model ini percaya inklusi
3
politik, kesejahteraan dan civility akan datang dan terbentuk dengan sendirinya jika lembagalembaga sudah berhasil dibangun. Terbukti kemudian lembagalembaga selalu perlu diketuk agar benar-benar membunyikan demokrasi. Jika tidak, lembaga baru sekaliber pemilu yang jujur dan adil sekalipun akan terjebak konservatisme. Contohnya, pemilu sebagai metode seleksi pemimpin justru memperkuat posisi kekuatan-kekuatan anti-demokrasi. Keterpurukan ini disebabkan kegagalan mempraktikkan simbiosis antara demokrasi dan nasion dimana hal itu hanya memungkinkan dilakukan dengan ‘konsolidasi kebangsaan (Pabottinggi, 2013). Karenanya, penting untuk merenungkan statemen Mansour Fakih dalam (Bryson, 2001) berikut: “Salah satu pendekatan untuk menciptakan suatu masyarakat yang adil dan demokratis adalah dengan memberikan peluang dan ruang kepada setiap golongan untuk memperjuangkan cita-cita mereka secara demokratis.” Interaksi sosial-politik-ekonomi secara umum dapat dipahami sebagai interaksi antara wilayah state society, business society, dan civil society. Ketiga wilayah ini memiliki interest masing-masing. Kadang ada yang dapat diperjuangkan bersama-sama ada yang tidak, bahkan ada yang saling bertabrakan satu dengan lainnya. Situasi konfliktual ini juga kerapkali terjadi di negara-negara demokrasi baru dimana ruang kebebasan di salahpahami. Sebagai akibatnya, pertikaian politik gampang redah dan gampang kambuh tergantung cuaca politik dan keadaan ekonomi yang melingkupinya. Partisipasi politik di era demokrasi hari ini tidak dapat sepenuhnya terlepas dari kontribusi masyarakat sipil baik dalam kehidupan sehari-hari tata kelola pemerintahan atau pembangunan, juga sangat terasa pada saat kegiatan suksesi kekuasaan atau kepemimpinan baik di level lokal maupun nasional. Hubungan antara masyarakat sipil dan demokrasi itu sama seperti hubungan antara keberadaan borjuasi dan demokrasi itu sendiri sebagaimana adagium Barringtone Moore, ‘no bourgeoisie no democracy’. Sehingga, dapat dikatakan juga, kehadiran demokrasi tanpa partisipasi aktif masyarakat sipil hanya menjadi demokrasi yang dangkal—demokrasi yang lebih berat di prosedur ketimbang subtansi demokrasi itu sendiri: kesetaraan, kebebasan, keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan. Transisi politik yang diarahkan kepada tahap konsolidasi demokrasi dapat dilakukan oleh rezim penguasa (Share, 1987) atau oleh masyarakat sipil (Huntington, 1991), dan atau kolaborasi keduanya. Dalam hal keberhasilan mengelola transisi kepada konsolidasi ditentukan oleh kemunculan ‘elit yang bersatu secara konsensual’ dengan satu komitmen bersama terhadap aturan main demokrasi, yaitu seperangkat norma tentang aturan tingkah laku politik, dan struktur interaksi yang memupuk keakraban dan kepercayaan antar individu (Burton, Gunther, & Highley, 1992). Tidak bisa dipungkiri, demokrasi yang bermakna musti membutuhkan kondisi-kondisi awal yang memadai guna terwujudnya demokratisasi itu sendiri, yaitu: (1) adanya pemilihan umum yang bebas, adil, dan berkala; (2) kebebasan berpendapat; (3) adanya akses ke sumber-sumber informasi yang luas dan alternatif; (4) adanya otonomi asosiasional; (5) adanya lembaga perwakilan; dan (6) hak warganegara yang inklusif (Dahl, 1999). Lain dari itu, sistem politik yang demokratis pada hakikatnya memerlukan tiga prinsip dasar sebagai
4
institusionalisasi demokrasi itu sendiri, seperti: pertama, tegaknya etika dan moralitas politik sebagai landasan kerja sistem politik, ekonomi, dan sosial dalam horison bernegara dan berbangsa. Kedua, tegaknya prinsip konstitusionalisme secara tegas, melalui pelaksanaan (dan kepatuhan) terhadap supremasi hukum di masyarakat. Dan terakhir, ketiga, diberlakukan dan dilaksanakannya mekanisme akuntabilitas publik, yakni mekanisme yang memosisikan semua pemegang jabatan publik sebagai pemegang amanat dari warga masyarakat sehingga dapat dimintai pertanggunggugatannya (Agustinus, 2006). Menurut Neera Candoke (1995), masyarakat sosial berkaitan dengan wacana kritik rasional atau irrasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya infrastruktur demokrasi yang menggaransi kebebasan sipil. dalam kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu menjamin keberadaan masyarakat madani. Demokratisasi dirasa dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO), Pers yang bebas, supremasi hukum, kebebasan akademik di Perguruan Tinggi, maraknya Partai politik dan kehidupan toleransi. Sebagai ilutrasi, salah satu kasus yang dipotret di Malaysia adalah bahwa keberadaan kelompok civil society telah memberikan warna sangat kental bagi keberhasilan kelompok oposisi untuk melakukan bargaining politics yaitu dengan penyediaan informasi, kandidat politisi, kolaborasi dengan berbagai kekuatan, dan memberikan pilihan kepada masyarakat (Weiss, 2009). Keadaan yang mirip juga terjadi di Indonesia tahun 1997-1998, di Filipine dan Thailand secara bersamaan. Posisi dan Reposisi Civil Society Kebaradaan aktor non-negara dalam rentang sejarah negara-negara tidak semua mengandung konotasi positif. Banyak catatan sejarah yang memberikan stereotype negative terhadapnya, misalnya, sebagai kelompok anarkis atau oposisi. Keterlibatan gerakan kritis masyarakat sipil sangat beragam yang mengakibatkan mereka harus vis a vis negara yang cukup beresiko. Masyarakat sipil di dalam negara militeristik seringkali terlibat pada berbagai upaya advokasi menyuarakan keadilan, pembangunan yang manusiawi dan berkelanjutan, anti korupsi, anti perang, dan pembelaan terhadap hak asasi manusia. Mereka dapat berada dalam kelompok partai, kelompok agama, sosial, budaya, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan karakter keterbukaan dan juga pekerjaan beresiko bagi aktor-aktor di dalamnya. Optimisme yang dibangun adalah bahwa kontribusi sektor civil society adalah dalam rangkah untuk memastikan dan mengawal proses tranformasi sosial (Fakih, 2010). Jadi jelas, gerakan masyarakat sipil adalah gerakan yang memiliki watak pro-perubahan. Sementara definisi yang positif atau netral semakin meluas hari ini. Organisasi masyarakat sipil (disebut juga NGO, atau Civil Society Organization/CSO) didefinisikan sebagai kelompok-kelompok asosiasi yang berfungsi mengerem kekuasaan negara, menjadi perantara aspirasi masyarakat kepada negara, dan merupakan kelembagaan sosial yang saling berinteraksi internal dan eksternal yang dapat menjadi pendukung dan penghambat kerja-kerja negara (Chazan, 2003). Pemahaman lain mengarahkan pada kekuatan masyarakat sipil justru merepresentasikan kelas ekonomi dan politik tertentu sebagaimana teori Marxist pada umumnya yang membela masyarakat hanya menjadi dua kelas saja. Civil society sendiri secara luas dimengerti sebagai prasyarat bekerjasanya sistem demokrasi (Pridham, 2000). Hal ini sesuai dengan temuan Demos bahwa
5
aktor-aktor pro-demokrasi cenderung aktif dalam berbagai organisasi masyarakat sipil (Tornquist, 2005). Schimiter mempunyai pendapat sebaliknya yaitu akibat segmentasi dan eklusivisme kelompok civil society dapat menghambat konsolidasi demokrasi itu sendiri. Olle Tornquist sendiri tidak melihat otomasi kelompok masyarakat sipil mendukung ‘proyek’ demokratisasi padahal untuk mewujudkan demokrasi bermakna tidak cukup aktivisme kelompok masyarakat sipil saja. Demokrasi bermakna mensyaratkan beberapa hal antara lain: kesetaraan, kapasitas negara dan kelompok masyarakat sipil/individu dalam tata kelola alokasi sumber daya kehidupan. Dengan demikian, entitas masyarakat sipil, pasar, dan negara dapat hidup berdampingan secara damai—dengan menempatkan posisi secara proporsional dan saling ada penghargaan untuk memastikan demokrasi itu sendiri tidak menegasikan keberadaan entitas lain. Di zaman demokrasi, kekuatan civil society yang mandiri dapat bekerja lintas kelas dan mampu menjadi ‘pengerem’ tendensi intervensionis yang dilakukan negara (Cohen dalam Hikam, 1996). Negara mempunyai watak ‘memaksakan kehendak’ ini merupakan keadaan obyektif yang tidak terhindarkan—negara sebagai satu-satunya lembaga yang secara sah dapat menggunakan kekerasan dalam rangkah menegakkan ‘ketertiban’ menurut rasionalitasnya (Weber, 1978). Tidak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme menumbuhkan civil society berbasis kelas dan dapat mempromosikan demokrasi liberal (Lipset, 1959). Tentu saja, bukan tanpa konsekuensi. Lipset memberikan gambaran kompleksitas bagaimana bekerjanya pranata sosial dan hubungannya dengan demokrasi sebagaimana bagan di bawah ini:
Dalam lajur condition di atas memperlihatkan elemen-elemen masyarakat sipil yang mempunyai potensi besar mendorong bekerjanya demokrasi (tengah). Namun hal ini harus didukung oleh bekerjanya konsekuensi terhadap perubahanperubahan keadaan yang bertentangan dengan demokrasi seperti sistem sosial tertutup, birokrasi yang kaku untuk mengarah pada sistem yang lebih membuka ruang bekerjanya elemen non-negara. Jika gayung tidak bersambut, maka demokrasi akan mengalami involusi dan dalam jangka panjangnya akan mengakibatkan apa yang disebut ‘democracy deficit’ atau keadaan terburuknya, mengarah pada, ‘political decay’ (Huntington, Political Development and Political Decay, 1965);lihat juga Fukuyama, 2016). Situasi aktual hari ini menunjukkan masi lebarnya kesenjangan antara elite dan masyarakat walaupun ruang politik sudah terbuka lebar. Dengan kata lain, berbagai lembaga pemeringkat menempatkan DIY sebagai juara namun dirasakan secara subtansial, masih jauh panggang dari api misalnya jika ditengok dari kesenjangan ekonomi, akses
6
sumberdaya, dan tingkat kesejahteraan. Kehadiran berbagai organisasi masyarakat sipil/NGO di DIY sebenarnya cukup mewarnai dinamika demokrasi lokal dengan berbagai langgam gerakan masing-masing. Taruhlah sebagian kecil contoh, IRE, Satunama, Pusham UII, Muhammadiyah, NU, LSM Perempuan telah memberikan kontribusi sangat besar menjadi aktor demokrasi baik di lembaganya berkait dengan kiprah di masyarakat atau menjadi aktor di lembaga pemerintahan. Kesimpulan Masyarakat sipil melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara. Masyarakat sipil sebagai keterilbatan warga negara yang bertindak secara kolektif dalam ruang publik tertentu untuk mengekspresikan kepentingankepentingan, hasrat, pilihan dan ide mereka untuk bertuakar informasi, mencapai sasaran kolektif, mengajukan tuntutan negara, memperbaiki struktur dan fungsi negara dan ‘menuntut’ akuntabilitas negara. Tiga dasawarsa terakhir kajian civil society mengarah pada pembagian, pilihan, dan aliansi strategis dalam konteks kepentingan antar aktor. Sebagai negara post-autoritarian, kapasitas kelompok masyarakat untuk mengawal proses transisi dan konsolidasi ke arah demokrasi cukup diragukan (Tornquist, 2003). Ia menambahkan bahwa adanya kaitan yang lepas antara kerjakerja pemberdayaan warga di akar rumput (tetapi gagal membangun hubungan struktural micro politik-makro), dengan kerja-kerja gerakan masyarakat sipil yang berhasil membangun hubungan dengan banyak aktor sipil tetapi gagal membangun hubungan dengan warga di akar rumput. Kegagalan di level ini menyebabkan pendulum aktor demokrasi kembali diambil alih negara?. Dalam situasi ini perlu sekali memantapkan peran civil society yaitu dua hal yang menjadi pemikiran pokok Mansour Fakih yaitu agenda ideologi dan gerakan politik. Perjuangan ideologis dimaksudkan untuk membangun mekanisme internal dan eksternal untuk membuka seluas-luasnya pendidikan politik bagi masyarakat agar dapat memperjuangkan hak-haknya di dalam payung hukum. Thomas Metzger menyebut masyarakat sipil sebagai ‘the ideological marketplace’—mengalirkan ide-ide termasuk mengevaluasi dan mengkritik negara. Sementara agenda politik dimaksudkan untuk memulai kerja-kerja analisis sosial kritis untuk membangun kesadaran bersama akan posisi masing-masing di dalam struktur yang ada. Untuk mewujudkan agenda kedua, gerakan sosial sebagai ciri khas kiprah organisasi masyarakat sipil (Diani & Bison, 2004) nampaknya perlu dikreasi secara lebih segar, kreatif, dan produktif. Namun hal ini kerap kali menjadi agenda politik dari struktur kekuasaan dominan ketimbang agenda masyarakat luas. Politisasi masyarakat sipil sudah menjadi hal yang tidak rahasia lagi akhir-akhir ini. Dalam berbagai proses pemilu, situasi ini telah memadu menjadi satu sehingga cukup sulit untuk nalar dikotomi mana gerakan sosial ala civil society dan yang mana gerakan politiknya.
Referensi Amstrong, C. K. (2002). Korean Society Civil society, democracy and the state (second ed.). (C. K. Amstrong, Ed.) London and New York: Routledge.
7
Steffek, J., Kissling, C., & Nanz, P. (2008). Civil Society Participation in European and Global Governance A Cure for the Democratic Deficit? Transformations of the State.pdf. (J. Steffek, C. Kissling, & P. Nanz, Eds.) New York: PALGRAVE MACMILLAN. Weiss, M. L. (2009). Edging Toward a New Politics in Malaysia: Civil Society at the Gate? Asian Survey, 49(5), 741-758. Kingston, J. (2004). Japan’s Quiet Transformation Social change and civil society in the twenty-first century. New York: RoutledgeCurzon. Bryson, J. M. (2001). Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Weber, M. (1978). Economy and Society. California: University of California Press. Tocqueville, A. (2005). De Tocqueville : selections from democracy in America. New York: Barnes & Noble. Lipset, S. M. (1959). Some Social Requisities of Democracy: Economic Development and Political Legitimacy. The American PoliticalScience Review, 53(1), 69-105. Fakih, M. (2010). Masyarakat sipil untuk transformasi sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: InsistPress. Agustinus, L. (2006). Kilasan Singat Mengenai Demokrasi. Jurnal Mandatory, 2(1), 125-14. Dahl, R. (1999). On Democracy. New Haven: Yale University Press. Share, D. (1987). Transition to Democracy and Transition through Trasaction . Comparative Political Studies , 19(4), 201-222. Huntington, S. (1991). The Third Wave Democratization in the Late Twentieth Century . Norman and London: University of Oklahoma Press. Huntington, S. (1965). Political Development and Political Decay. World Politics, XVII(3), 386— 430. Tornquist, O. (2005). Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan Indonesia. Jakarta: Demos. Diamond, L. (2003). Developing democracy toward concolidation. Yogyakarta: IRE Press. Burton, M. G., Gunther, R., & Highley, J. (1992). Elite Transformation and Democratic Rezimes. In R. Gunther, & J. Highley, Elites and Democratic Concolidation in latin America and Southern Europe (pp. 295-307). Cambridge: Cambridge University Press. Pabottinggi, M. (2013). Kepemimpinan dan Demokrasi Kita: Akar akar kebangkrutan kepemimpinan di era reformasi dan jalan menuju kebangkitan. Majalah Prisma, 32, 3-27.