DEMOCRACY DAN CIVIL SOCIETY Oleh Abul Nizam Al-ZanZami/ 201310360311111 Dosen Pembimbing : Najamudin Tema : Demokrasi Dan Peranan Masyarakat Sipil Judul : Demokrasi Inggris Dari Monarki Absolut Menuju Monarki Parlementer
Demokrasi nampaknya telah mencatat kemenangan historis atas bentuk-bentuk pemerintahan yang lain. Dewasa ini hampir setiap orang mengaku sebagai seorang demokrat. Semua jenis rezim politik di seluruh dunia mengklaim sebagai rezim demokrasi. “legitimasi demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan telah meliputi seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir, mengalahkan ideologi-ideologi lain seperti monarki, fasisme, dan komunisme”. Lebih dari itu, demokrasi liberal merupakan “titik akhir evolusi ideologi umat manusia dan bentuk akhir pemerintahan dan karena itu merupakan akhir dari sejarah”. “tidak ada lagi pertentangan ideologi-ideologi besar dalam akhir sejarah”.(Fukuyama (ed.): 2004) Karena bentuk-bentuk pemerintahan sebelumnya mempunyai karakter kecacatan dan irasional yang mengakibatkan keruntuhan bentuk pemerintahan tersebut. Dalam sejarah terbentuknya negara demokrasi di dunia menandakan bahwasanya munculnya demokrasi bukan dari sebuah ruang yang kosong. Diperlukan suatu proses yang membutuhkan waktu, energi dan pemikiran kritis untuk memperkuat pilar-pilar demokrasi. Disamping itu, perbedaan karakteristik budaya, sosial, dan politik menuntut pula proses pembelajaran yang berkelanjutan dalam rangka penemuan bentuk dan sistem yang ideal. Dalam kerangka demokrasi tidak dapat terlepas dari peranan masyarakat sipil atau civil societ. Demokrasi dan masyarakat sipil (civil society) bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat ko-eksistensi. Dengan civil society yang kuat, demokrasi akan berjalan dengan baik. Dan dalam suasana negara yang demokratis, civil society akan berkembang dan tumbuh dengan kuat pula. Nurcholish Madjid atau Cak Nur bapak pembaruan intelektual Islam Indonesia membuat metafor yang cukup menarik, civil society adalah rumah persemaian demokrasi. Jadi demokrasi tidak hanya tercermin dalam pemilu yang bebas dan demokratis, tetapi juga diperlukan persemaian dalam rumah, yaitu civil society.
Perkembangan demokrasi yang terjadi dunia Barat saat ini tidak terlepas dari peranan civil society sebagai tonggak keberhasilan dari demokrasi itu sendiri. Konsep mengenai civil society berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Seperti yang diungkapkan (Adi: 1999) “Wacana civil society merupakan produk sejarah dan lahir di masyarakat arat modern, yang muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada saat terjadi transformasi dari masyarakat feodal menuju masyarakat barat modern. Dalam tradisi Eropa (sekitar pertengahan abad XVII), pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Akan tetapi pada paruh abad XVII terminologi ini mengalami pergeseran makna. State dan Civil Society dipahami sebagai dua buah entitas yag berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial (social formation) dan perubahan-perubahan struktur politik di Eropa sebagai pencerah (Enlight Enment) dan modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi”. Perkembangan demokrasi dan peranan masyarakat sipili (civil society) telah merasuk hingga diberbagai sendir-sendi kehidupan suatu Negara di berbagai belahan dunia saat ini. Hampir semua Negara di dunia ini telah menganut sistem demokrasi walaupun dalam penerapan bentuk dari demokrasi itu berbeda dengan bentuk demokrasi yang di berkembang di Athena sebagai kota awal mula perkembangan demokrasi yakni demokrasi yang terdiri dari sejumlah kecil warga Negara yang berkumpul dan mengatur pemerintahan sendiri. Begitu pula penerapan bentuk demokrasi murni Athena yang terjadi di Inggris adalah bentuk demokrasi parlementer yang mana sistem pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan dibantu para menteri. Ratu atau Raja hanyalah kepala negara yang berfungsi sebagai simbol kenegaraan (simbol kedaulatan, keagungan dan persatuan Negara). Negara Inggris atau biasa disebut United Kingdom merupakan negara kesatuan yang terdiri dari Skotlandia, Wales, Inggris, dan Irlandia Utara yang memiliki bentuk pemerintahan monarki atau kerajaan. Inggris dikenal sebagai ibu atau pencetus sistem pemerintahan parlementer sebab Inggris lah yang membuat sebuah sistem pemerintahan parlemen yang dapat diterapkan dengan baik untuk pertama kali. Sistem ini memberikan hak kepada masyarakat untuk
memilih wakilnya melalui pemilihan umum yang demokratis untuk dapat mengatasi persoalan sosial ekonomi kemasyarakatan sehingga tercipta kesejahteraan rakyat. Dalam sejarah demokrasi Inggris tidak dapat kita lepaskan dari proses perubahan bentuk pemerintahan inggris dari monarki absolut menuju monarki parlementer hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jhon Locke (1632-1704). Locke adalah salah seorang tokoh filsuf politik yang berasal dari Inggris. Berangkat dari sebuah penyederhanaan indera Locke, yang mana berasal dari pengalaman hidupnya yakni pada zaman kepimimpinan Raja Louis XIV, Gaarder (1991) berpendapat bahwasannya “pada masa itu Raja Louis XIV telah mengumpulkan seluruh kekuasaan ditangannya sendiri (monarki absolut) dengan kekuasaan yang tak kenal hukum dan sewenang-wenang”. Yang pada akhirnya membawa pemikiran Locke tentang konsep pembagian kekuaaan. Suhelmi (2007) mengatakan “kelahiran doktrin monarki absolut merupakan jawaban tehadap kekacauan social politik akibat perang saudara dan perang-perang agama. Monarki absolut dianggap jalan terbaik untuk mempersatukan kelompok-kelompok social yang bertikai dan menciptakan uniformitas agama. Monarki absolut didasarkan pada kepercayaan bahwa kekuasaan mutlak raja bersifat ilahiah, dan karena itu suci. Tuhan telah menganugerahkan kekuasaan itu kepada seorang Raja (wakil tuhan)”. Dengan demikian monarki absolut bertentangan dengan demokrasi dan prinsip civil society. Pangan ini juga yang menurut Suhelmi (2007) membuat “Locke dengan gigih menentang kekuasaan absolut di negaranya (Inggris) dan juga pembelaannya terhadap kebebasan dan civil society”. Buah dari penentangan kekuasaan absolut dan pembelaan terhadap kebebabasan civil society itu yang pada akhirnya melahirkan karya besar atas dorongan kebebasan berintelektual dan tolransinya yang juga merupakan handbook bagi sejarah perkembangan politik pemerintahan sampai saat ini yakni “Two Treatises of Government” dan “Essay Human Understanding” yang juga mempengaruhi perubahan sistem pemerintahan Inggris dari monarki absolut menuju monarki parlementer sebagai tanda arah demokrasi. Dalam perkembangan monarki parlementer di Inggris. Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri, yang dipegang oleh partai pemenang pemilihan umum. Namun demikian, ada partai oposisi sebagai pendamping. Secara keseluruhan, mereka bekerja untuk Raja atau Ratu.
Partai-partai yang memperebutkan kekuatan di parlemen adalah Partai Konservatif dan Partai Buruh (dwipartai). Parlemen Inggris terdiri atas dua kamar (bikameral), yaitu House of Commons yang diketuai Perdana Menteri, dan House of Lords. House of Commons atau Majelis Rendah adalah badan perwakilan rakyat (DPR) yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat di antara calon-calon partai politik. House of Lord atau Mejelis Tinggi adalah perwakilan yang berisi para bangsawan dengan berdasarkan warisan. House of Commons memiliki kekuasaan yang lebih besar dari House of Lord. Kabinet adalah kelompok menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Kabinet inilah yang benar-benar menjalankan praktek pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari House of Commons. Perdana Menteri adalah pemimpin dari partai mayoritas di House of Commons. Masa jabatan kabinet sangat tergantung pada kepercayaan dari House of Commons. Parlemen memiliki kekuasaan membubarkan kabinet dengan mosi tidak percaya. Partai yang menang dalam pemilu dan mayoritas di parlemen merupakan partai yang memerintah, sedangkan partai yang kalah menjadi partai oposisi. Para pemimpin oposisisi membuat semacam kabinet tandingan. Jika sewaktu-waktu kabinet jatuh, partai oposisi dapat mengambil alih penyelenggaraan pemerintah. Meski berbentuk kerajaan, demokrasi tetap tumbuh di Inggris karena berubahnya monarki absolut di Inggris menjadi monarki palementer. Dalam sistem monarki parlementer, Raja atau Ratu diberikan tempat terhormat, namun tidak lagi mempunyai kekuatan politik. Monarki parlementer memperkecil peranan Raja atau Ratu di bidang politik dan memperbesar kekuasaan Perdana Menteri dan parlemen. Parlemen Inggris dipilih oleh rakyat melalui pemilu yang demokratis. Sistem pemerintahannya didasarkan pada konstitusi yang tidak tertulis atau konvensi. Konstitusi Inggris tidak terkodifikasi dalam satu naskah tertulis, tapi tersebar dalam berbagai peraturan, hukum, dan konvensi. Sedangkan kekuasaan pemerintah daerah berada pada Council (dewan) yang dipilih oleh rakyat di daerah. Yang mana Inggris adalah negara kesatuan yang terdiri atas England, Scotland, Wales, dan Irlandia Utara. Dan kerajaan (monarki) Inggris yang terdiri dari England, Wales dan Greater London menganut sistem desentralisasi.
Dalam perkembangan yang digambarkan di atas ini telah membuktikan bahwasanya demokrasi yang kemudian berkembang dan dianut di Inggris adalah demokrasi parlementer atau disebutkan Held (2004) sebagai “demokrasi liberal atau demokrasi perwakilan yakni merupakan pembaruan kelembagaan pokok untuk mengatasi problem keseimbangan antara kekuasaaan memaksa dan kebebasan”. Dalam hal ini kebebasan dalam penalaran pemerintahan hukum dan kebebasan memilih hanya bias ditegaskan secara layak dengan mengakui kesamaan politik semua orang dewasa. Sedangkan dalam James Medison dalam filsafatnya mengatakan “demokrasi liberal atau demokrasi perwakilan dapat mengatasi permasalahan yang terjadi pada suatu pemerintahan (tidak toleran, tidak adil, dan tidak stabil), karena pemilihan yang teratur memaksa suatu klarifikasi terhadap persoalan persoalan publik, dan kelompok kecil yang terpilih, yang bisa bertahan terhadap proses-proses politik, mungkin cakap dan mampu melihat kepentingan negara mereka sesungguhnya”. Pandangan ini juga yang kemudian menjadi kritikan terhadap demokrasi yang berkembang di Athena tempat lahirnya demokrasi yang dalam penerapanya terdiri dari sejumlah kecil warga negara yang berkumpul dan mengatur pemerintahan sendiri. Dengan demikian, maka dalam proses demokrasi yang berkembang di Inggris merupakan sebuah bukti bahwasanya demokrasi lahir bukan dalam ruang yang kosong atau sama kosongnya seperti sebuah papan tulis sebelum guru atau dosen datang. Demokrasi di Inggris lahir akibat dari kekuatan civil society yang merasa adanya intoleran, ketidakadilan dan ketidakstabilan yang pada akhirnya membawa negara pada kehancuran seperti halnya terjadi di negara-negara lainnya yang menerapkan sistem monarki absolut yang pada akhirnya membendum legitimasi Raja atau Ratu dalam urusan politik. Dan kekuatan civil society di Inggris juga telah membuktikan bahwasanaya demokrasi tanpa civil society itu nihil dan sebaliknya civil society tanpa demokrasi itu konflik.
DAFTAR PUSTAKA BUKU
:
Culla, Adi Suryadi. 1999. Masyarakat Madani. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Fukuyama, Francis. (ed.). 2004. “The End of Histori : kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal” Edisi Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Qalam. Gaarder, Jostein. (ed.). 2013. Dunia Sophie. Bandung: Mizan Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.