RUANG KAJIAN
PERANAN CIVIL SOCIETY DALAM NEGARA BIROKRATIK OTORITER Siti Nuraini Abstract This paper talks about the role of civil society in Indonesia, from the Old Order until the New Order, especially to analyze their role in the bureaucratic authoritarian state. The result found that civil society in Indonesia is different from his colleagues in Western countries, such as different from how they grew up, different from how their influences in political society, and many more. Kata Kunci: Civil society, Negara, Birokratik, Otoriter
Pendahuluan Civil society suatu istilah yang digunakan untuk pertama kalinya oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan sebutan societes civilis. Namun sebagai sebuah konsep, civil society muncul dan berkembang pada masyarakat barat. Bangsa Eropa secara turun temurun sampai abad ke-18 mengartikan civil society identik dengan pengertian negara (the state) yaitu suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok lain. Sehingga istilah koinonia politike, societas civilis, societe civile, buergerliche gesellschaft, dan civil society digunakan secara bergantian dengan istilah polis, civitas, etat, staat, state 1 dan stato . 1
Muhammad As Hikam,Demokrasi dan CiviSociety,LP3ES,Jakarta,1999, hal 1
Beranjak dari hal tersebut maka beberapa pemikir politik seperti JJ. Rousseau menggunakan istilah societes civile sama dengan pengertian negara yang memiliki salah satu fungsi untuk menjamin hak milik, kehidupan, dan kebebasan para anggotanya. Istilah John Locke political state (negara) sama artinya dengan civil society. Demikian pula halnya Henningsen mengartikan civil society sama artinya dengan constitutive condition dari political society, sehingga kedua istilah tersebut dapat dipertukarkan. Pemahaman istilah civil society sama halnya dengan negara pada paruh kedua abad ke-18 mengalami perubahan, sebagai akibat proses pembentukan sosial (social formation) dan perubahan struktur politik yang terjadi di Eropa sebagai akibat pencerahan dan modernisasi yang kedua hal ini juga merupakan faktor pen-
dorong keruntuhan rezim-rezim absolut. Perbedaan pemahaman istilah civil society dengan negara (political society/state) dipelopori pemikir-pemikir politik seperti Hegel, Marx, Gellner, Cohen, Arato yang menganggap dua istilah tersebut memiliki dua entitas yang berdiri sendiri atau sebagai dua domain sosial politik yang berbeda. Demikian pula halnya para filsuf pencerahan Skotlandia yang dimotori oleh Adam Ferguson, para pemikir Eropa seperti Johan Forster, Tom Hodgkins, Emmanuel Sieyes, dan Tom Paine. Dengan demikian menurut Hegel civil society tidak bisa dibiarkan tanpa terkontrol dan diperlukan aturan-aturan dan pembatasan-pembatasan serta penyatuan dengan negara lewat kontrol hukum, administratif dan politik. Civil society menurutnya sama dengan buergerliche gesellschaft belakangan mendapat dukungan yang kuat termasuk dukungan dari Karl Marx. Konsepsi Hegelian dan Marxian tentang civil society yang bercorak sosiologis menimbulkan persoalan karena mengabaikan dimensi kemandirian yang menjadi intinya. Penyebabnya terutama pada Hegel, posisi negara dianggap sebagai ukuran terakhir dan pemilik ide universal. Hanya pada tataran negara politik dianggap bisa berlangsung secara murni dan utuh, sehingga posisi dominan negara menjadi bermakna positif. Jika civil society kehilangan dimensi politiknya dan akan bergantung terus kepada manipulasi dan intervensi negara. Konsep Hegelian mendapatkan kritik dari pemikir-pemikir modern seperti Robert Mohl, JS. Mills, Anne De Stael dan Alexis de Tocqueville. Mereka menganggap kemandirian
dan pluralitas perlu dikembalikan dalam civil society. Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan civil society yang menjadikan demokrasi di Amerika bertahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di dalam civil society maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kemampuan negara. Jika Marx meletakkan civil society pada daratan basis material dari hubungan produksi kapitalis oleh karenanya, disamakan dengan kelas borjuasi, sedangkan Gramsci melihatnya sebagai super struktur dimana proses perebutan posisi hegemonik terjadi. Jadi dalam civil society menurut Gramsci ada sifat kemandirian dan politik yang harus diperhatikan para cendekiawan yang merupakan aktor utama dalam perubahan sosial dan politik. Namun pada instansi terakhir ia juga amat dipengaruhi oleh basis material (ekonomi). Civil society dengan mengacu pada pendapat Tocqueville adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), dan keswadayaan (self supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Sebagai ruang politik, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere) dimana tran73 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
1.
saksi komunikasi yang bebas dapat 2 dilakukan oleh warga masyarakat . Dari pengertian civil society di atas maka, wujud civil society terdapat pada organisasi/asosiasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara. Misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban dan juga kelompok-kelompok kepentingan (interest groups). Namun tidak semua dari kelembagaan civil society yang kuat dalam kemandiriannya ketika berhadapan negara atau mampu mengambil jarak dari kepentingan ekonomi, oleh karena kondisi civil society juga mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Jika dikaitkan dengan pengertian di atas, maka civil society dimulai ketika proses transformasi dampak modernisasi terjadi dan menghasilkan pembentukan sosial baru yang berbeda dengan masyarakat tradisional. Dari penjabaran sejarah dan pengertian civil society di atas, civil society memiliki arti yang penting dalam kajian ilmu politik. Civil society telah dikaji dan menjadi topik dalam ilmu politik sejak abad ke-18 hingga saat ini. Untuk itu makalah ini akan membahas topik signifikasi civil society dalam kajian ilmu politik, dengan judul “Peranan civil society dalam Negara Birokratik Otoriter“
2. 3.
Kerangka Teori Civil society diterjemahkan dengan berbagai macam pengertian seiring dengan perkembangan politik dan ilmu pengetahuan. Ada yang mengartikan civil society sebagai masyarakat madani, masyarakat kewargaan atau masyarakat warga, masyarakat sipil, masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya 3. Di Indonesia sendiri civil society identik dengan masyarakat madani, masyarakat kewargaan, masyarakat warga atau masyarakat sipil. Masyarakat madani identik dengan “masyarakat beradab” karena istilah madani diambil dari kata “madinah” berasal dari bahasa Arab “madaniyah” yang berarti peradaban atau kota sehingga dapat diartikan juga masyarakat madani sebagai masyarakat kota. Dalam sejarah tercatat, pemikiran masyarakat madani sejak awal di Barat disebabkan karena tumbuhnya masyarakat kota atau negara-kota (city-state) sebagai bentuk masyarakat beradab. Pada perkembangannya kemudian masyarakat madani dikaitkan dengan munculnya golongan borjuasi pada masyarakat-masyarakat industri, lalu kemudian masyarakat madani menunjukkan pada ada-
Permasalahan Makalah ini dibatasi pada kasus Indonesia di era Orde baru, ada beberapa permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, yaitu: 2
3
Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, 2002, hal 3
Ibid, hal 3 74
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
Bagaimana perkembangan civil society di Indonesia (awal hingga Orde Lama)? Bagaimana konsep negara birokratik otoriter Orde Baru? Bagaimana peranan civil society dalam negara Birokratik Otoriter Orde Baru?
nya kelompok-kelompok sosial yang otonom terhadap negara. Kelompokkelompok sosial yang terdapat pada organisasi/asosiasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban dan juga kelompok-kelompok kepentingan (interest groups). Civil society sebagai salah satu unsur ancaman pada negara-negara otoriter birokratik, karena dapat mempengaruhi proses politik. Negara takut atau khawatir terhadap politik massa rakyat, oleh sebab itu negara tampil sebagai sebuah kekuatan politik yang dominan untuk melakukan pengawasan yang kuat terhadap civil society untuk mencegah massa rakyat di bawah dari keterlibatan politik yang terlampau aktif agar tidak mengganggu akselerasi industrialisasi. Dampaknya negara tumbuh berkembang menjadi kekutan raksaksa yang terpadu, dinamis menyebar, represif, birokratis dan teknokratis. Seluruh kehidupan masyarakat baik sosial-budaya, politik formal, ekonomi di seluruh wilayah negara sampai pada inidividu-individu dipengaruhi dan diawasi oleh negara dengan berbagai cara sampai dengan caracara kekerasan dan mekanisme korporatisasi negara, yaitu suatu sistem penyingkiran sektor massa lewat pengawasan-pengawasan, depolitisasi serta tekanan-tekanan yang memungkinkan terciptanya stabilitas jangka pendek dan kemungkinan stabilitas jangka panjang yang dapat diprediksi pada hubungan-hubungan sosial yang diperlukan oleh pola-pola baru dalam menunjang pertumbuhan ekonomi.
Negara Otoriter Birokratik menurut O.Donnell muncul karena adanya hubungan dialektis antara tiga aspek yang sangat penting dalam proses modernisasi di wilayahwilayah kapitalis pinggiran. Aspekaspek tersebut terdiri dari industrialisasi, pengaktifan massa di bawah dan tumbuhnya peranan ”kerja teknokratik” dalam birokrasi-birokrasi publik maupun swasta. 4 Pembahasan 1. Perkembangan civil society di Indonesia (periode awal Orde L ama) Civil society di Indonesia muncul ketika proses transformasi akibat modernisasi terjadi dan terbentuknya sosial baru yang berlainan dengan masyarakat tradisional. Civil society terbentuk pada masa pemerintahan Hindia Belanda ketika terjadi perubahan sosial ekonomi saat kapitalisme merkantilis diperkenalkan oleh Belanda, yang mendorong munculnya perubahan sosial lewat proses industrialisasi, urbanisasi dan pendidikan modern. Dampaknya adalah antara lain dengan munculnya kesadaran baru pada kaum elite pribumi yang lalu mendorong terbentuknya organisasi-organisasi sosial modern awal abad ke 20. Sehingga saat itu dianggap awal terbentuknya civil society di Indonesia. Pada masa pasca revolusi tahun 1950-an civil society menunjukan perkembangan yang baik, dimana organisasi-organisasi sosial dan po litik dibiarkan tumbuh dan berkembang serta memperoleh dukungan yang besar dari masyarakat yang 4
Op.cit, hal 14
75 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
baru merdeka. Hal tersebut dimungkinkan karena belum memiliki kecendrungan intervensionis karena kelompok elit penguasa memiliki citacita untuk mewujudkan sistem demokrasi parlementer. Namun disayangkan pertumbuhan civil society dalam perkembangan selanjutnya mengalami hambatan dan penyusutan terus menerus. Banyak faktor yang menyebabkannya seperti dampak krisis-krisis politik pada level negara, kebangkrutan ekonomi pada skala massif, organisasi-organisasi masyarakat dan lembaga-lembaga sosial berubah menjadi alat bagi merebaknya politik aliran dan pertarungan berbagai ideologi. Kemandekan dan kemunduran yang dialami civil society terus berlangsung sampai pada puncaknya pada masa rezim Soekarno (Demokrasi Terpimpin). Pada masa Demokrasi Terpimpin, politik Indonesia didominasi oleh penggunaan mobilisasi massa sebagai alat legitimasi politik, usahausaha yang dilakukan oleh anggota masyarakat untuk mencapai kemandirian dianggap sebagai kontra revolusi.
struktur patron-klien yang bersifat pribadi dan tersusun secara vertikal. Dampak melekatnya pengaruh kultur budaya Jawa ini pemerintahan Orde Baru tidak dapat mengambil tindakan yang diperlukan guna mencapai tujuan modernisasi yaitu mewujudkan otonomi, pertumbuhan ekonomi dan rasionalisasi birokrasi. Kelas menengah yang ada terlalu lemah untuk menghilangkan hubungan-hubungan vertikal patron-klien. Kepolitikan birokrasi masa rezim Orde Baru memiliki tiga ciri yaitu: 1. Lembaga politik yang dominan adalah birokrasi; 2. Civil society seperti kelompok-kelompok kepentingan (interest group) dan lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik berada dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuasaan birokrasi; 3. Massa di luar birokrasi secara politik adalah pasif, yang sebagian merupakan kelemahan partai-partai politik. Dengan struktur kekuasaan seperti ini persaingan politik sebagian besar terbatas pada manuver dan kontra manuver dalam elite birokrasi itu sendiri, antara fraksi-fraksi dan pribadi-pribadi yang bersaingan dan yang keberhasilan dan kegagalannya tidak tergantung pada dukungan dari luar birokrasi.5 Militer mendominasi dalam sistem politik yang berlangsung, jabatan strategis dalam struktur pemerintahan banyak dipegang/didudukinya. Pemerintah Daerah tidak memiliki kewenangan untuk menjalankan pemerintahannya sesuai dengan situasi maupun kondisi daerahnya, karena semua diatur dan menjadi kewenang-
2. Konsep Negara Birokratik Otoriter Orde Baru Secara garis besar inti pemerintahan Rezim Orde Baru yang berkuasa mulai tahun 1965 – 1998 pemerintahannya kental dengan patrimonial warisan budaya Jawa, menurut Liddle faktor kultur inilah yang membentuk perilaku politik para pejabat atau elit birokrasi dan identitas, struktur kelompok-kelompok politik dan hakikat konflik politik ditentukan oleh hubungan politik yang bersifat patrimonial, yaitu struktur-
5
Manuel Kaisiepo,Jurnal Ilmu Politik 1, hal 24 26 76
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
an Pemerintah Pusat. Dengan kondisi demikian pemerintahannya disebut cenderung otoriter birokratik. Kolusi, korupsi dan nepotisme berkembang meluas ke segala lapisan pemerintahan maupun masyarakat baik di tingkat Pusat maupun Daerah.
dan elit penguasa. Kelas menengah yang muncul masih terbentuk oleh keterkaitan primordial. Hal ini berdampak pada adanya pembedaanpembedaan atau pemilahan kelas menengah seperti pribumi dan nonpribumi, muslim dan non-muslim dan sebagainya. Lembaga-lembaga Masyarakat (LSM) dan Organisasiorganisasi Masyarakat (Ormas) sangat lemah ketika akan berhadapan dengan kekuasaan negara. Ormas yang ingin survive harus bergabung dengan kooptasi negara. Pers tidak diberikan ruang kebebasan yang akan menstimulir wacana kreatif dan dialog-dialog bebas bagi warga masyarakat. Sehingga civil society pada masa rezim Orde Baru tetap lemah dan tidak dapat menjadi kelompok kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara.
3. Peranan civil society dalam Negara Birokratik Otoriter Orde Baru Civil society memiliki peran yang penting dalam proses maupun perubahan sistem politik. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru terjadi proses rekstrukturisasi politik, ekonomi dan sosial mendasar yang berdampak pada perkembangan civil society. Pada sektor sosial ekonomi, akselerasi pembangunan melalui industrialisasi dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong terjadinya perubahan pada struktur sosial masyarakat yang ditandai dengan tergesernya pola-pola kehidupan masyarakat agraris. Kelaskelas sosial baru dalam masyarakat bermunculan, terutama pada munculnya kelas menengah yang ada di wilayah urban. Tingkat pendidikan masyarakat meningkat sehingga tuntutan terhadap perbaikan kualitas kehidupan meningkat pula. Pada sektor politik, rezim Orde Baru juga memperkuat posisi negara di segala bidang. Partisipasi dan kemandirian politik anggota masyarakat tidak diterapkan. Tidak ada kebebasan berpolitik. Hal tersebut berdampak pada kondisi civil society yang tidak berkembang sebagaimana mestinya. Kelas menengah yang muncul sangat bergantung kepada negara, seperti kelas kapitalis yang perkembangannya karena faktor kedekatan dengan negara
Penutup Dari uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut: Civil society merupakan topik penting dari kajian negara sejak zaman Yunani Kuno hingga saat ini dan konsep civil society telah mengalami perubahan dan perkembangan; Pada negara -negara berkembang atau negara-negara pasca kolonial civil society tidak tumbuh dan berkembang kuat sebagai penyeimbang kekuatan negara. Karena negara menciptakan kekuatan dalam segala bidang kehidupan masyarakat dan menekan adanya partisipasi dari rakyat. Oleh karenanya civil society tidak dapat tumbuh kuat dan berkembang memberikan 77 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007
Daftar Pustaka
kontribusi pada perubahan sistem politik karena dihambat oleh kekuatan negara; Civil society yang tumbuh pada masa Orde Baru tidak identik dengan civil society di negara Barat, karena faktor ketergantungan dengan negara sangat kuat bagi civil society di Indonesia. Pertumbuhan dan perkembangannyapun karena campur tangan negara.
Culla, Adi Suryadi, Masyarakat Madani, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 Hikam, Muhammad AS.,Demokrasi dan Civil society, LP3ES, Jakarta, 1999 Manuel Kaisiepo, Jurnal Ilmu Politik, AIPI, 1999
78 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2007