PERSPEKTIF
ISSN : 2085 – 0328
POTENSI KONFLIK HORIZONTAL DI KOTA MEDAN Indra Muda Email :
[email protected] Jl. Kolam No. 1 Medan Estate. Program Studi Administrasi Negara FISIPOL Universitas Medan Area Diterima 16 Agustus 2013/ Disetujui 30 Agustus 2013 Abstract Metropolitan city of Medan as the 3rd largest in Indonesia inhabited by multy ethnic, although the Malays are the original parts, but not a majority of the tribes, even a majority of the tribes are Javanese. This distinction if not carefully addressed can be at the root of conflict. Potential conflicts in Medan pretty wide open if all parties do not respond to it carefully. This study examines the potential for horizontal conflict in Medan by using a type of descriptive qualitative research. The results of this research note the appearance of the seeds of conflict in the city of Medan in part due to a conflict of interest between the various tribes that inhabit it, then linked to the problem of ethnic, tribal, class and even the beliefs or religion. Recommended for controlling conflict, Citizens as national defense fort should be aware of the provocateurs who wish to destroy the livelihood of the people of Medan conducive. Keywords: Potential, horizontal conflicts. Abstrak Kota Medan sebagai kota metropolitan terbesar ke-3 di Indonesia dihuni multi etnis, walaupun suku Melayu merupakan suku aslinya namun tidak menjadi suku mayoritas, bahkan yang menjadi suku mayoritas adalah suku Jawa. Perbedaan ini apabila tidak disikapi secara seksama dapat menjadi akar terjadinya konflik. Potensi konflik di Kota Medan cukup terbuka lebar apabila berbagai pihak tidak menyikapinya secara seksama. Penelitian ini bertujuan melihat potensi konflik horizontal di Kota Medan dengan menggunakan jenis penelitian kulitatif deskriptif. Hasil dari penelitian ini diketahui munculnya bibit-bibit konflik di Kota Medan sebagian diakibatkan benturan kepentingan antara berbagai suku yang mendiaminya, kemudian dikaitkan dengan masalah etnik, suku, golongan dan bahkan dengan keyakinan atau agama yang dianutnya. Untuk mengendalikan konflik disarankan, Warga masyarakat sebagai benteng ketahanan nasional sebaiknya lebih awas terhadap provokator yang berkeinginan untuk merusak tatanan kehidupan masyarakat Kota Medan yang kondusif. Kata kunci: Potensi, konflik horizontal.
PENDAHULUAN Kota Medan sebagai kota metropolitan terbesar ke-3 di Indonesia dihuni banyak etnis multy etnis, walaupun suku Melayu merupakan suku aslinya namun tidak menjadi suku mayoritas, bahkan yang menjadi suku mayoritas adalah suku Jawa. Namun demikian walaupun suku jawa sebagai suku mayoritas, mereka tidak lagi mengamalkan budaya Jawa secara ketat, mereka dapat berbaur dengan budaya Melayu, budaya Batak, demikian juga dengan suku-suku lainnya. Namun demikian,
PERSPEKTIF/ VOLUME 6/ NOMOR 2/ OKTOBER 2013
dalam pemakaian simbol-simbol dan ciri khas masing-masing suku tetap mengemuka ke permukaan misalnya, adanya perkumpulan berdasarkan suku, marga, kesatuan agama dan lain-lain. Perbedaan ini apabila tidak disikapi secara seksama dapat menjadi akar terjadinya konflik, terutama apabila ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya baik untuk kepentingan politik memperoleh suara dalam Pemilu maupun untuk kepentingan sosial ekonomi.
138
ISSN : 2085 – 0328
PERSPEKTIF Apabila dilihat dari struktur penduduk yang mendiami Kota Medan, potensi konflik dapat berasal dari 3 (tiga) sumber. Menurut Subanindyo Hadiluwih (2010 : 78) yaitu, Pertama. Konflik antara kalangan pribumi dengan non pribumi. Hal ini berkaitan dengan keturunan non pribumi yang ada di Kota Medan umumnya terdiri dari keturunan India, Pakistan, Arab, Cina dan lain-lain. Namun konflik yang cukup tajam yang sering muncul adalah konflik dengan keturunan Cina. Kedua. Konflik yang terjadi antar suku yang dianggap sebagai putera daerah misalnya antara Batak dengan Melayu yang sama-sama merasa sebagai penduduk asli Sumatera Utara. Hal ini juga acapkali dikaitkan dengan masalah agama. Suku Melayu mayoritas adalah beragama Islam sedangkan suku Batak terutama dari tapanuli Utara pada umumnya adalah menganut agama Keristen. Ketiga. Konflik antara sesama pribumi yang dianggap sebagai putra daerah dengan kumpulan pendatang. Masalah yang timbul berkenaan dengan kedudukan sosial ekonomi dari pada kumpulan pendatang yang pada umumnya berubah menjadi lebih baik, kumpulan pendatang ini ada yang berasal dari Jawa, Minangkabau, Aceh dan lain-lain.
saja sebagian disebabkan semakin banyaknya orang-orang dari desa yang datang menuju Kota Medan yang tidak memiliki keterampilan tertentu untuk bersaing memperoleh pekerjaan sesuai dengan tuntutan jaman sehingga persaingan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan semakin ketat. Dengan persaingan hidup yang semakin tajam, tidak jarang menimbulkan konflik etnis, konflik antar agama, konflik antar golongan dalam usaha mempertahankan existensi diri dan kegiatan usaha yang dilakoninya. Menurut Soerjono Soekanto (1990 : 173), sebab-sebab orang desa meninggalkan tempat tinggalnya secara umum adalah sebagai berikut: 1.
2.
3. TELAAH PUSTAKA Keadaan Demografis Kota Medan 4. Kota Medan sebagai pusat pemerintahan Sumatera Utara ternyata banyak mengundang minat penduduk dari berbagai daerah untuk mendiaminya. Dengan kondisi ini menyebabkan terjadinya arus migrasi atau mobilitas penduduk, sehingga kota Medan yang sebelumnya didominasi suku Melayu menjadi kota yang dihuni Multy Etnis. Masalah kependudukan yang kian pelik, kemacetan lalu lintas yang semakin padat menjadi pemandangan rutin, tingkat kriminilitas semakin tinggi dan tingkat pengangguran yang kian tinggi, menjadi masalah serius di Kota Medan. Hal ini tentu
PERSPEKTIF/ VOLUME 6/ NOMOR 2/ OKTOBER 2013
5.
Di desa lapangan kerja paeda umumnya kurang. Yang dapat dikerjakan adalah pekerjaan yang kesemuanya menghadapi berbagai kendala seperti, irigasi yang tidak memadai atau tanah yang kurang subur serta terbatas. Keadaan tersebut mengakibatkan pengangguran tersamar disguised unemployment. Penduduk desa, terutama kaum muda mudi, merasa tertekan oleh adapt-istiadat yang mengakibatkan cara hidup yang monoton. Untuk mengembangkan pertumbuhan jiwa banyak yang pergi ke kota. Di desa tidak banyak kesempatan untuk menambah pengetahuan. Oleh sebab itu orang ingin maju, kemudian meninggalkan desa. Rekreasi yang merupakan salah satu factor penting di bidang spiritual kurang sekali dan kalu juga ada perkembangannya sangat lambat. Bagi penduduk desa memiliki keahlian lain selain bertani seperti kerajinan tangan tentu menginginkan pasaran yang lebih luas bagi hasil produksinya. Ini tidak mungkin didapatkan di desa.
Sehubungan dengan faktor-faktor yang mendorong penduduk desa untuk melakukan mobilitas tersebut, maka faktor yang menjadi daya penarik di daerah perkotaan, menurut Soerjono Soekanto (1990 : 174) dapat dikemukakan sebagai berikut:
139
PERSPEKTIF 1.
2.
3. 4.
5.
6.
Penduduk desa kebanyakan mempunyai anggapan, bahwa di kota banyak pekerjaan serta banyak penghasilan (uang). Oleh karena sirkulasi uang di kota jauh lebih cepat, lebih besar dan lebih banyak maka secara relative lebih mudah mendapatkan uang dari pada di desa. Di kota lebih banyak kesempatan mendirikan perusahaan industri dan lainlain. Hal ini disebabkan lebih mudahnya didapatkan izin terutama kredit Bank. Kelebihan modal lebih banyak di kota dari pada di kota. Pendidikan (terutama pendidikan lanjutan) lebih banyak tersedia di kota dan dengan sendirinya lebih mudah didapat. Kota merupakan suatu tempat yang lebih menguntungkan untuk mengembangkan jiwa dengan sebaik-baiknya dan seluasluasnya. Kota dianggap memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tingkat pergaulan dengan segala macam orang dari segala lapisan.
Dengan demikian, walaupun kemiskinan di pedesaan menjadi salah satu faktor yang menyokong penduduk meninggalkan tanahnya gerakan keluar itu sifatnya sangat selektif dan kemiskinan itu sendiri tidak merupakan alasan yang cukup untuk berimigrasi. Muchtar Naim (1981 : 23), “dorongan merantau di kalangan suku Minangkabau tak hanya berdasarkan analisis faktor pendorong dan penarik saja. Faktor adat terutama pemilikan tanah dan harta lebih memaksa lelaki Minangkabau pergi merantau”. Selanjutnya Mohd. Taib Hj. Dora dan Mohd. Razali Agus (1998 : 25) mengemukakan, “membahas perihal kemiskinan dari perspektif peminggiran sosial antara lain bahwa dalam kebanyakan kupasan tentang kemiskinan sering ditekankan fenomena kekurangan pendapatan ataupun berada di kelas bawah dalam masyarakat”. Urbanisasi yang terlampau pesat dan tidak teratur, dapat menyebabkan beberapa keadaan yang merugikan kota. Penduduk desa yang berbondong-bondong mencari pekerjaan di kota, menjumpai kekecewaan yang besar, PERSPEKTIF/ VOLUME 6/ NOMOR 2/ OKTOBER 2013
ISSN : 2085 – 0328 karena besarnya jumlah mereka yang mencari pekerjaan, maka timbul persaingan antara mereka sendiri yang ditambah pula dengan persaingan yang dating dari penduduk kota itu sendiri. Orang-orang desa tidak mengerti bahwa, mereka harus berjuang sendiri, di kota tidak ada orang lain yang mau membantu. Cita-cita yang muluk akhirnya terhambat, lalu timbul pengangguran yang pada akhirnya mengakibatkan meningkatnya tuna karya. Persoalan tuna karya sesungguhnya sangat pelik, oleh karena mempertajam perbedaan antara golongan yang punya dengan yang tidak punya, kalau di desa hal ini tidak begitu jelas kelihatan. Persoalan meningkatnya tuna karya secara korelatif mengakibatkan meningkatnya tuna susila, meningkatnya kriminilitas. Kriminilitas yang mula-mula di dorong oleh rasa lapar, dapat berubah menjadi suatu pekerjaan tetap, sehingga timbul organisasi penjahat yang sangat sukar untuk dicegah. Gejala semacam ini banyak kita jumpai di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan kota Medan. Pertambahan penduduk kota yang pesat juga akan dapat mengakibatkan persoalan pemukiman. Orang-orang tinggal bersempit-sempitan dalam rumah-rumah yang tidak memenuhi persyaratan social maupun kesehatan. Keadaan demikian tentu memberikan akibat negative dalam bidang kesehatan dan yang lebih penting lagi adalah dalam rangka pendidikan generasi penerus bangsa. Tunas bangsa tersebut mempunyai daya atau kegairahan yang kuat sekali untuk meniru tingkah laku tunas-tunas muda kota yang tidak selamanya baik, dikarenakan proses disintegrasi kekeluargaan di kota-kota besar, terutama yang menyangkut lapisan masyarakat atas dan menengah atas. Gejala tersebut menyebabkan timbulnya masalah kenakalan anak-anak dan lebih lagi persoalan kejahatan anak-anak. Terutama dalam waktu belakang ini, bagaimana kita menyaksikan kekerasan yang dilakukan oleh Geng Motor di beberapan kota di Indonesia, hal ini tentu dapat menjadi aksi atau contoh negatif yang disaksikan oleh
140
PERSPEKTIF
ISSN : 2085 – 0328
tunas-tunas penerus bangsa di negeri ini terutama di wilayah kota.
kedudukan hukum diantara orang-orang Eropa, Orang Timur Asing dengan bumiputra.
Konflik Kelas Sosial
Persaingan diantara pelaku ekonomi adalah hal yang biasa dilakukan secara terbuka. Akan tetapi sesama etnik lokal Indonesia pun biasa bersaing secara kolektif. Secara sepintas merupakan pemahaman ikhwal persaingan dan bukan konflik tentu tidak jadi masalah, akan tetapi ketika ia memasuki pemahaman konflik serta mengajak serta kaumnya, ia boleh menjadi masalah, bukan persaingan secara individual akan tetapi berubah menjadi kumpulan secara refresentatif. Perubahan ini boleh merosokkan keharmonisan dan keserasian. Oleh karena sesungguhnya keadaan perseorangan diantaranya tak serupa maka persaingan individual yang dihubungkan dengan persoalan etnik sebagai representasi kaum, mengundang potensi konflik etnik. Di Jakarta orang Minang bersaing dengan orang Sunda, Batak dan Jawa. Di Bali orang setempat bersaing dengan pendatang yang pada umumnya datang dari Pulau Jawa.
Golongan miskin merupakan golongan yang terpinggirkan dalam kebanyakan aspek kehidupan, malah termasuk juga golongan penganggur, pelacur dan tuna wisma. Golongan ini selalu terpinggirkan dalam pembangunan, kehidupan mereka serba kekurangan, dianggap hina, tidak mempunyai rumah dan sering dikaitkan dengan berbagai gejala-gejala negatif yang muncul di tengahtengah masyarakat. Namun demikian, apabila mereka yang melakukan migrasi tidak dapat mencapai kehidupan sejahtera sesuai dengan yang diinginkannya sangat mudah dipengaruhi pihak-pihak tertentu baik untuk melakukan kejahatan, maupun bertindak anarkis yang mengarah kepada terjadinya konflik, baik konflik etnis, golongan maupun konflik antar pemeluk agama. Konflik etnik yang sering terjadi di Indonesia terutama pasca era reformasi juga menimpa Kota Medan. Subanindya Hadiluwih (2010 : 80), Potensi konflik terjadi pada kumpulan keturunan”. Meskipun kumpulan keturunan yang terdapat di Indonesia terdiri dari antara lain, keturunan Arab, India dan China, namun untuk keturunan Arab dan India bukan hanya tak terjadi konflik terbuka, tapi juga dirasakan tak ada potensi terjadinya konflik secara serius. Sebaliknya dengan keturunan China potensi konflik amat dirasakan, bahkan konflik secara terbuka beberapa kali dirasakan. Konflik yang khas dengan keturunan China, ternyata konsep yang selama ini dikenal dalam bentuk benturan kepentingan antara kumpulan bumiputra dan pendatang, yang akhirnya berpusar kepada masalah sosioekonomi, tak seluruhnya benar. Bahkan ada yang berpendapat bahwa, ia merupakan hasil politik yang dilakukan oleh kolonialis Belanda pada saat menjajah Indonesia devide et impera. Paling tidak melalui konsep
PERSPEKTIF/ VOLUME 6/ NOMOR 2/ OKTOBER 2013
Sesungguhnya demikian pula yang terjadi di Medan, misalnya antara orang Minang, Batak, Mandailing dan Karo. Secara khas persaingan juga terjadi dengan keturunan China. Unggulnya kalangan China dalam memenangkan persaingan ekonomi memberikan dampak yang mengundang kecemburuan dan kebencian pada hampir semua pesaing dari berbagai etnik dan aksesnya adalah melahirkan prasangka yang berkembang kepada kehidupan sosial lainnya. Mulai dari pada kecemburuan sosial sampai kepada kebencian yang ujung-ujungnya melahirkan sikap-sikap mengeluarkan terhadap orang China dari pada ke Indonesiaan. Subanindyo Hadiluwih (2010 : 81) menyebutkan, “Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) atas terjadinya peristiwa kerusuhan Mei 1998 menyebutkan dua akar sosial penyebab rusuh Pertama. Sentimen
141
PERSPEKTIF rasial terhadap golongan etnik China, Kedua adalah adanya kesenjangan sosial ekonomi”. Masih banyak masyarakat pribumi yang menganggap orang keturunan China adalah kumpulan pendatang karena tidak satupun daerah di Indonesia yang diakui sebagai wilayah asal suku bangsa ini. Hal ini menjadi faktor yang mempercepat beralihnya persoalan kekalahan dalam persaingan ekonomi menjadi kecemburuan dan kebencian. Hal semacam ini pula yang sering kali menjadi akar pemicu terjadinya konflik atau kerusuhan sosial. Masih kuatnya stigma-stigma sosial, pandangan dari pada masyarakat terhadap keturunan China dan ketimpangan ekonomi yang dihadapi Bangsa Indonesia khususnya di Kota Medan selalu menjadi pemicu kerusuhan dengan sasarannya warga negara keturunan China. PEMBAHASAN Potensi konflik di Kota Medan cukup terbuka lebar apabila berbagai pihak tidak menyikapinya secara seksama, terutama Pemko Medan sebagai pemegang otorita pemerintahan. Konflik ini bisa saja terjadi antara penduduk asli (Melayu, Batak) dengan para perantau/pendatang (Minangkabau, Jawa, Aceh dan lain-lain) maupun antara penduduk asli dan pendatang dengan keturunan Cina ataupun India. Namun konflik yang paling sering muncul kepermukaan adalah dengan keturunan Cina. Dalam kegiatan sosial masyarakat Kota Medan sangat mudah kita temukan kelompok atau perkumpulan-perkumpulan suku yang mengatas namakan daerahnya. Misalnya, Pujakesuma (Putra Jawa Keturunan Sumatera), Pandawa Lima, HIKMA (Himpunan Keluarga Mandailing), Minang Saiyo, Seribu Minang, Aceh Sepakat, Merga Silima (komunitas Marga Karo) dan lain-lain. Perkumpulan ini tentu sangat positif apabila disinergikan di bawah wadah Konsep Bhinneka Tunggal Ika, namun apabila diantara perkumpulan tersebut saling
PERSPEKTIF/ VOLUME 6/ NOMOR 2/ OKTOBER 2013
ISSN : 2085 – 0328 mencemooh dan mendiskreditkan kelompok atau komunitas etnis lainnya, dapat menjadi sumber perpecahan dan konflik yang sulit dibendung. Peristiwa Keutapang, kerusuhan di Poso, Maluku, Sampang Madura adalah berasal dari konflik sosial berkepanjangan tanpa penanganan serius. Dalam kehidupan sosial masyarakat Kota Medan sangat sering kita mendengar kata-kata yang mendiskriditkan suatu suku atau etnis, misalnya Aceh Pungo ditujukan kepada orang-orang komunitas yang berasal dari Aceh, Manipol (Mandailing Politik) ditujukan kepada orang-orang yang berasal dari daerah Angkola/Mandailing, BTL (Batak Tembak Lansung), Batak berekor ditujukan kepada orang-orang yang berasal dari tanah Batak Toba, Lagak Melayu ditujukan kepada orang-orang Melayu, Padang Kare, Padang Pancilok, Cirik Barandang ditujukan kepada orang Minangkabau, Putar Keling, Cina mindering, Karbus (Karo Busuk) dan lain-lain sebutan lainnya. Apabila sebutan ini diucapkan oleh suatu suku kepada suku yang berbeda tentu dapat menjadi akar konflik baik secara perorangan maupun secara kelompok etnisnya. Manakala memasuki kancah politik seperti Pilkada Provinsi/Kotamadya, Pilpres dan Pemilu Legislatif, kelompok-kelompok etnis yang ada di Kota Medan sering dikaitkan dengan kepentingan orang yang menjadi calon Walikota/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur, dan Calon anggota legislatif tersebut. Untuk menjatuhkan saingan politiknya tidak jarang seorang calon Walikota/Wakil Walikota, Calon Gubernur/Wakil Guburnur dan calon anggota legislatif membuka dan mengangkat aib etnis saingan politiknya baik yang menyangkut dengan kesukuannya, etnisnya maupun kedudukannya sebagai warga negara pribumi dan non pribumi. Hal ini dapat kita lihat ketika Sofyan Tan mencalonkan diri menjadi Walikota Medan, ketika Mudiono mencalonkan diri menjadi Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1988 yang berasal dari Suku
142
PERSPEKTIF Jawa. Dengan mengangkat suku dan etnis untuk kepentingan politik tentu akan dapat menjadi sumber penyebabkan perpecahan diantara pendukung baik yang mengatas namakan etnisnya maupun yang mengatasnamakan partai politiknya. Dalam lapangan ekonomi, persaingan diantara pelaku ekonomi adalah hal yang biasa dilakukan secara sehat, manakala persaingan ini dilakukan secara etnis untuk menjatuhkan atau menyingkirkan etnis lainnya, maka ia akan dapat berubah menjadi sumber masalah. Fenomena sistem perekonomian yang kita lihat di Kota Medan yang terjadi adalah, persaingan antara orang Melayu dengan orang Batak, dengan orang Minangkabau, dengan orang Jawa, dengan orang Aceh, dengan orang Karo, dengan orang Mandailing, dengan keturunan India dan keturunan Cina. Persaingan ini pada dasarnya dimenangkan oleh keturunan Cina, sehingga dengan mudah kita saksikan, pelaku ekonomi yang berada di pusat Kota umumnya dikuasai oleh keturunan Cina. Superioritas dan keunggulan keturunan Cina memenangkan persaingan ekonomi melahirkan kecemburuan dan kebencian hampir semua suku yang menghuni Kota Medan. Hal ini berakibat negatif terhadap prasangka negatif terhadap etnis Cina dalam kehidupan sosialnya. Centimen rasial terhadap etnis Cina-pun semakin meluas. Pada sisi lain, kesenjangan ekonomi yang semakin melebar antara etnis asli dan pendatang dengan keturunan Cina melahirkan gap yang semakin tajam. Sikap keturunan etnis Cina menyikapi kesenjangan ini dapat dikatakan tidak responsif, karena dalam pergaulannya seharihari sangat jarang keturunan etnis Cina bergaul dengan etnis lainnya, bahkan apabila diantara keturunan Cina menikah dengan etnis yang berlainan dengannya tidak jarang mereka dikeluarkan dari anggota keluarganya dan tidak mendapat warisan keluarga. Apabila memandang dari aspek keagamaan, penduduk Kota Medan terdiri dari PERSPEKTIF/ VOLUME 6/ NOMOR 2/ OKTOBER 2013
ISSN : 2085 – 0328 penganut agama Islam, Keristen Protestan, Khatolik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Informasi yang pernah menguap ke permukaan yang menyatakan bahwa, ada usaha-usaha tertentu untuk memperebutkan jemaah. Sekolah dengan missi keagamaan tertentu sangat ramai dilaksanakan. Mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, diantara lembaga pendidikan ini ada yang membawa dan menjunjung agama tertentu misalnya, Prime one school, Perguruan Soetomo, Mikroskil dan lain-lain identik dengan agama Budha, Perguruan Immanuel, Methodist, dan lain-lain identik dengan Keristen, Hikmatul Fadhillah, An-Nizam, UISU, UMSU, identik dengan agama Islam walaupun sebenarnya diantara tenaga pengajarnya ada yang menganut agama yang berbeda. Ketika Rudolf Pardede menjabat Gubernur Sumut Pasca meninggalnya Rizal Nurdin sempat berhembus issuadanya upaya mencantumkan gambar Tuhan Jesus pada sampul buku cetak dan buku tulis yang dibagikan kepada murid-murid TK dan SD di beberapa lembaga pendidikan. Informasi ini sempat menjadi issu central yang mengundang amarah dari berbagai kalangan terutama penganut agama Islam. Pada waktu belakangan ini, kegiatan pengajian juga dilakukan non muslim yang diselenggarakan pada malam Jum’at, mereka juga mengenakan busana yang terkesan Islami. Gerakan-gerakan yang dilakukan sebagian pengikut kristani yang gencar dalam kegiatan misionaris, khotbah-khotbah yang terlalu bersemangat di Gereja dan sikap yang ditunjukkan oleh penceramah muslim yang gencar dan bersemangat melalui khotbahkhotbahnya dengan menggunakan pengeras suara dari Masjid juga dapat mengakibatkan terjadinya konflik antar umat beragama. Upaya untuk memecah toleransi antar umat beragama di Kota Medan sebenarnya sudah beberapa kali terjadi misalnya dengan peledakan bom di beberapa gereja. Namun karena umat kristiani tidak yakin pelakunya adalah umat agama lain,
143
ISSN : 2085 – 0328
PERSPEKTIF maka masalahnya berkepenjangan.
tidak
sampai
PENUTUP Kesimpulan Sehubungan dengan hasil pembahasan diatas, kesimpulan dapat dikemukakan sebagai berikut: 1.
2.
3.
Kota Medan merupakan kota yang dihuni oleh multy etnic dan tidak ada suku yang merasa mayoritas. Suku Melayu sebagai suku asli Kota Medan tidak merasa suku yang memiliki status social lebih tinggi terhadap sukusuku lainnya. Munculnya bibit-bibit konflik di Kota Medan sebagian diakibatkan benturan kepentingan antara berbagai suku yang mendiaminya, kemudian dikaitkan dengan masalah etnik, suku, golongan dan bahkan dengan keyakinan atau agama yang dianutnya.
Saran Sehubungan dengan kesimpulan yang dikemukakan diatas, sebagai saran dapat dikemukakan: 1.
2.
3.
misalnya meningkatkan fungsi dan peranan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), merangkul dan mengaktifkan Forum Komunikasi Lintas Adat (FORKALA) dan lembaga-lembaga lainnya yang berkaitan dengan keyakinan, kesukuan maupun Paguyuban untuk menjembatani perbedaan antar pemeluk agama, antar suku dan etnis.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachim, Iih, (1986), Pengantar Masalah Penduduk, Alumni Bandung. Hadiluwih, Subanindyo, (2010), Konflik Etnik di Indonesia, USU Press, Medan. Mohammad Taib Hj. Dora dan Mohammad Razali Agus (1998), Peminggiran Sosial dan Kemiskinan Melayu Bandar, Kuala Lumpur, University Malaya. Muchtar, Naim, (1981), Mobilitas Penduduk dan Permasalahannya, Gunung Aung, Jakarta. Soekanto, Soerjono, (1990), Sosiologi Suatu Pengantar, Universitas Indonesia, Jakarta.
Dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di tengah-tengah masyarakat, supaya diselesaikan warga secara rasional dan tidak dengan jalan anarkis emosional. Warga masyarakat sebagai benteng ketahanan nasional sebaiknya lebih awas terhadap masuknya provokator yang berkeinginan untuk merusak tatanan kehidupan masyarakat Kota Medan yang tergolong kondusif pada masa pemerintahan Orba. Untuk menciptakan Kota Medan yang kondusif, aman, dan tenteram Pemko Medan harus jeli melihat perbedaan yang ada diantara penduduknya dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul diantara mereka sampai ke akarakarnya. Hal ini dapat dilakukan,
PERSPEKTIF/ VOLUME 6/ NOMOR 2/ OKTOBER 2013
144