Fatwa Keadilan Sosial: Tawaran Resolusi Konflik Horizontal ....
FATWA KEADILAN SOSIAL: TAWARAN RESOLUSI KONFLIK HORIZONTAL DALAM NEGARA MAJEMUK M. Sidi Ritaudin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan, Lampung
[email protected]
Abstract Social conflicts of ethnic backgrounds, religions, races, and intergroups often occurs in such pluralistic societies as Indonesia. Regretfully, suppression of the conflicts were often only temporary, that other powerful explosion of such conflicts remain potentially to happen. The main cause of such horizontal conflicts is allegedly the unjustice in the country due to the economic inequality. Admittedly, to realize national stability of the Republic it is an important to established conflict resolution. This paper proposes an academic concept of conflict resolution in a diverse country centered on the formulation of the fatwas of social justice derives from the Quran and Sunnah and the opinions of scholars (ulama) that are credible and acceptable. This fatwa of social justice formula puts spiritual values as the ethict foundation of conflict resolution. For the foundation of action, the author establishes the principle of tauh}i>diyyah as the belief that Allah is the Just only; which then translated into the social emancipation between common people, political elite and economic elite. Operationally, in the context of handling horizontal conflict in the country, the author manifests the fatwa formulation of social justice in the field of spiritual moral (religious spiritual and character), political, legal, economic, social and cultural rights. Abstrak Berbagai konflik sosial yang berlatar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) seringkali terjadi dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Peredaman konflik pun seringkali hanya bersifat sementara, dan tetap berpotensi untuk terjadinya ledakan yang lebih dahsyat. Arus utama penyebab konflik horizontal diduga kuat karena tidak tegaknya keadilan dalam Negara akibat ketimpangan ekonomi. Untuk mewujudkan stabilitas nasional NKRI, resolusi konflik penting ditegakkan. Tulisan ini menawarkan konsep akademis resolusi konflik dalam Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
341
M. Sidi Ritaudin
negara majemuk yang berporos pada perumusan fatwa-fatwa keadilan sosial yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta pendapat para ulama yang kredibel dan akseptabel. Rumusan fatwa keadilan ini meletakkan nilai spiritual sebagai landasan etik resolusi konflik. Sebagai landasan aksi, penulis menetapkan prinsip tauh}i>diyyah sebagai keyakinan bahwa Yang Mahaadil hanyalah Allah; yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk emansipasi sosial antara rakyat, elit politik, dan elit ekonomi. Secara operasional, Dalam konteks penangangan konflik horizontal dalam negara, penulis memanifestasikan rumusan fatwa keadilan sosial dalam lapangan moral spiritual (rohani dan akhlak), politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya. . Kata Kunci: keadilan sosial, konflik horizontal, emansipasi sosial, resolusi, fatwa.
A. Pendahuluan Negara yang adil dan makmur, kesejahteraan merata bagi rakyat merupakan cita-cita bersama (kontrak politik) seluruh rakyat Indonesia1 dalam mewujudkan kemerdekaan negeri ini. Gejolak sosial yang berujung pada konflik sosial yang kerap terjadi akhir-akhir ini merupakan sebuah indikasi bahwa dalam negara tersebut belum tegaknya keadilan sebagaimana tujuan sistem kenegaraan. Berbagai dimensi keadilan nampaknya sangat terasa oleh masyarakat belum menyentuh rasa keadilan, melainkan baru sebatas normatif. Keadilan di bidang hukum, masih tajam ke bawah dan tumpul ke bawah. Keadilan di bidang ekonomi, masih berpihak pada pemilik modal dan konglomerat, keadilan sosial, masih masih belum berpihak secara optimal kepada rakyat miskin. Perlakuan terhadap “wong cilik” oleh pemerintah masih sangat terasa di masyarakat, contoh pelayanan kesehatan, pendidikan, pedagang pasar tradisional dan lain-lain, betapa perbedaan sangat jauh di bidang-bidang tersebut, antara elite penguasa, si kaya dengan mereka (wong cilik).2 Lihat Pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan negara RI adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 2 Tugas pokok pemerintah, sebagai elitepenguasa, harus memahami dan peduli terhadap seluk beluk kehidupan sosial memasyarakatn dalam alam nyata dan dikaitkan dengan Islam sebagai tutunan Ilahi yang menyeluruh atau kaffa>h. Lihat, Fuad Amsyari, Masa Depan Umat Islam Indonesia: Peluang dan Tantangan (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1993), h. 125. Karena para konstituen yang telah memberi amanat itu memiliki ekpektasi kuat untuk dapat mewujudkan 1
342
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Fatwa Keadilan Sosial: Tawaran Resolusi Konflik Horizontal ....
Jika konflik sosial terlalu sering terjadi dan tidak ditangani secara cepat dan tuntas, maka ia dapat merongrong stabilitas nasional dan merugikan keamanan negara, baik secara nasional maupun politik luar negeri NKRI, bahkan bisa saja ditunggangi oleh kelompok-kelompok asing atau NGO, LSM yang tidak bertanggung jawab mengacau keamanan dan menyuburkan pemikiran dan aksi-aksi saparatisme3 yang dapat merusak sendisendi ketahanan nasional. Oleh karena akar persoalan berupa ketidakadilan sosial, maka perlu segera diberi solusi, baik berupa pemikiran maupun teknis tindakan nyata. Tulisan ini berupaya menyajikan wacana keadilan sosial sebagai salah satu upaya resolusi konflik dalam mengeliminir berbagai ketegangan hingga kerusuhan horizontal yang terjadi dalam negara. Dengan menggunakan pendekatan literatur, penulis memetaka pemikiran sejumlah intelektual muslim yang memiliki gagasan tentang wacana keadilan sosial. B. Paradigma Fatwa Keadilan Sosial Islam (baca: nilai-nilai spiritual atau hubungan vertikal manusia dengan Tuhan) dan realitas sosial kemasyarakatan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena Islam bagi umat manusia merupakan way of life; pedoman hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia yang menyangkut kegiatan ritual (membangun sinergisitas antara makhluk dengan Sang Khaliq) seperti shalat, puasa, dan berdo’a, maupun aktivitas non-ritual (merajut hubungan antarsesama makhluk, manusia dengan manusia kesejahteraan sosial bersama antara rakyat dan pemerintah. 3 Gerakan kelompok separatis yang berjuang melalui kekerasan untuk memisahkan rakyat dari NKRI telah memunculkan konflik horizontal secara politis, seperti GAM (Gerakan Aceh Merdeka), RMS (Republik Maluku Selatan, OPM (Organisasi Papua Merdeka), belum lagi gerakan-gerakan bawah tanah yang mungkin dapat digolongkan sebagai bentuk sparatisme, seperti NII (Negara Islam Indonesia), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), dan lain sebagainya. Adapun bentuk-bentuk aksi sparatisme yang dilakukan dapat berupa penculikan, penyanderaan, pembantaian, kerusuhan-kerusuhan, pengusiran terhadap pendatang (sperti di Aceh terhadap orang Jawa, Kalimantan Barat terhadap orang Madura, Papua terhadap orang Jawa). Lihat Moh Soleh Isre (ed), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer (Jakarta: Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Beragama Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2003), h. 191. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
343
M. Sidi Ritaudin
dan manusia dengan alam sekitarnya) seperti berdagang, berladang, berbudaya, berpolitik, berperang, berkompetisi, menuntut ilmu dan sebagainya.4 Dari hubungan vertikal dan horizontal inilah terbangun sistem nilai dalam Islam. Sistem nilai merupakan salah satu kemungkinan resolutif untuk mengatasi masalah konflik sosial. Nilai keadilan sosial yang sejatinya menjadi tujuan bersama dalam bernegara sulit diwujudkan selama para penyelenggara negara tidak menjiwai sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tauhid sebagai esensi Islam merupakan dasar bernegara dan berpolitik bagi sebagian besar aktivis politik Islam Indonesi.5 Pemahaman ini didukung temuan Hamid Enayat. Ia mengatakan : Secara tradisional, kaum Muslimin jarang mengkaji politik yang dipisahkan dari disiplin-disiplin terkait. Masalah-masalah semisal hakikat negara, keragaman pemerintahan, kualifikasi-kualifikasi penguasa, batasan kekuasaan mereka dan hak-hak orang-orang yang dipimpin dibahas sebagai bagian risalah yang komprehensif tentang fiqih dan ideologi – semuanya berada dalam koridor syari’ah yang tak terbantahkan.6
Dari pernyataan Enayat di atas terlihat jelas bahwa integrasi sitem pemerintahan dengan syariat Islam merupakan suatu aksioma yang solid, dan tidak terbantahkan dalam pandangan ulama tradisionalis,7 Pemerintahan Islam dapat menganut sistem apapun asal tetap melaksanakan syariat Islam. Karena itu, semua pemerintahan yang melaksanakan syariat Islam dapat disebut sebagai pemerintahan Islam, apapun bentuk dan corak pemerintahannya. Sebaliknya, pemerintahan yang tidak mengakui Ibid. Sayyid Qut}b, al-’Ada>lah al-Ijtima>’iyyah fi al-Isla>m, cet. ke-7 (Kairo: Da>r asy- Syuru>q,1981), h. 101-108. 6 Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought (London: MacMillan, 1982), h. 3. 7 Aksioma ini berlaku bagi NKRI, meskipun bentuk negara kesatuan sudah final dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, namun harus diakui bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah Umat Islam. Apa yang akan terjadi bila Indonesia tanpa Islam ? Pertanyaan ini diajukan oleh Seen Brink, sarjana Belanda, ahli sejarah Islam, yang mengatakan bahwa kesatuan nusantara adalah hasil dari perjuangan ulama, guru-guru agama, dan para santri, tapi kolonial Belandalah yang memecah belah persatuan Nusantara, dengan mengadu doma kalangan priyayi dan ulama. Lihat, “Fokus Utama” dalam Risalah Mujahidin, Edisi 11 Th. 1 Sya’ban 1428 H/ Agustus 2007 M. h. 13. 4 5
344
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Fatwa Keadilan Sosial: Tawaran Resolusi Konflik Horizontal ....
dan menjalankan syariat Islam, meskipun dilaksanakan oleh organisasi yang menamakan dirinya Islam atau mengggunakan label Islam, tetap tidak dapat dikatakan sebagai pemerintahan Islam.8 Dengan demikian, penerapan syariat Islam dalam negara merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar, sebagai asas identitas umat, guna pemecahan berbagai persoalan sosial dan konflik dalam negara. Menurut Nurcholish Madjid, dalam konteks kesejahteraan sosial, cita-cita di bidang ekonomi yang tersurat amat jelas dalam Kitab Suci adalah cita-cita tentang Keadilan Sosial.9 Dalam alQur’an ada larangan memanipulasi timbangan/ sukatan, tidak boleh memakan riba, tidak boleh menimbun harta/ spekulasi oleh pedagang guna mendapatkan keuntungan, larangan melakukan jual beli hasil pertanian/perkebunan yang belum jelas buahnya (sistem borongan) yang dianggap ijon. Melihat berbagai contoh kasus di atas, secara teoritis, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada dua konsep penting untuk memahami persepsi masyarakat mengenai masalah sosial, yaitu: fatalisme dan aktivisme. Yang pertama, merupakan sistem nilai yang percaya bahwa segala sesuatu sudah ditentukan nasibnya, tak dapat dihindarkan atau diubah dengan usaha manusia. Masyarakat yang menganut sistem nilai ini sangat terpaut dengan kepercayaan itu, di samping memang pengetahuan mereka tentang masalah sosial sangat terbatas, seperti penyimpangan, angka kematian dan penyebaran kemiskinan. Semua gejala itu dianggap semata-mata sebagai sesuatu yang wajar dan tidak perlu dipersoalkan.10 Sebaliknya, persepsi masyarakat yang berpaham aktivisme memandang bahwa segala sesuatu dapat dikendalikan oleh manusia. Mereka selalu berusaha mengubah keadaan, menurunkan angka kematian, mengurangi kemiskinan, menaikkan angka harapan hidup dan sebagainya. Dalam masyarakat demikian, banyak masalah mampu diselesaikan, sementara masyarakat Qut}b, al-’Ada>lah al-Ijtima>’iyyah, h. 101-108. Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1994), h. 101. 10 Paulus Tangdilintin, Masalah-Masalah Sosial Suatu Pendekatan Analisis Sosiologis (Jakarta: Universitas Terbuka, 2000), h. 126-127. 8 9
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
345
M. Sidi Ritaudin
yang berfaham fatalisme terus menghadapi banyak masalah laten, karena permasalahan yang ada tidak pernah menjadi persoalan bagi mereka.11 C. Keadilan Sosial sebagai Landasan Resolusi Konflik Keadilan sosial merupakan cita-cita atau ekpektasi umat Islam untuk menjamin kesejahteraan bersama yang menjadi tujuan bersama masyarakat, di mana komunitas ini akhirnya menjelma menjadi sistem negara. Di Amerika, perilaku kenegaraan yang benar sebagai pengejawantahan kesalehan pribadi didasarkan pada budaya keagamaan yang merangsang pertumbuhan kesalehan sosial. Maka, nilai spiritual dapat disepakati sebagai landasan etik resolusi konflik manakala kesalehan pribadi diimplementasikan dalam negara.12 Penerapan prinsip keadilan sosial (baca: syariat Islam) dalam negara dilatari oleh berbagai faktor. Pertama, justifikasi keagamaan untuk kewajiban penerapan syariat Islam.13 Sayyid Qut} b dan kalangan pemikir Muslim yang berpaham integrasi agama dan negara seperti Abu> al-A’la> al-Maudu>di, memandang bahwa penegakan syariat Islam merupakan kewajiban yang dibebankan Islam kepada pemeluknya. Dalam konteks ini, sebenarnya diperlukan kesatu-paduan visi antara pemerintah dengan rakyat.14 Akan tetapi, mazhab yang Ibid. Lihat David. C. Leege, Kenneth D. Wald dan Lymn A. Kellstedt, Agama dalam Politik Amerika, terj. Dobbie A. Lubis dan A. Zain Rofiq (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Kedutaan Besar Amereka Serikat dan Freedom Institute, 2006), h. 223. 13 NKRI masih kelihatan malu-malu untuk secara tegas mendasarkan negara pada Islam, sebab demi terwujudnya negara kesatuan yang masyarakatnya majemuk, maka disusunlah Pancasila, yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila pertama. Oleh Buya Hamka, yang dikutip oleh Nurcholish Madjid, bahwa analogi Panca sila itu seperti pecahan rupiah 10.000, di mana angka satu adalah sila pertama, sedangkan sila kedua sampai sila kelima adalah nol yang ada di belakang angka satu. Jika angka satunya dihilangkan maka tidak memilki arti apa-apa. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 178. Oleh karena itu nilai keadilan sosialuntuk mewujudkan kesejahteraan sosial sebagai amanat Undang-Undang Dasar 1945 tidak mungkin akan terwujud jika nilai ritual vertikal tidak dibumikan dalam bernegara. 14 Di kalangan kelompok Islam yang lebih radikal, sejumlah bagian alQur’an telah dijadikan sumber justifikasi untuk penegakan syariat Islam dalam negara. Mereka lebih menginginkan aplikasi hukum Islam yang lebih bersifat 11
12
346
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Fatwa Keadilan Sosial: Tawaran Resolusi Konflik Horizontal ....
berkembang di Indonesia tidak hanya melulu radikal, bahkan masih banyak mazhab-mazhab moderat yang menjadi panutan mayoritas umat Islam Indonesia, seperti NU, Mathla’ul Anwar, Persis, Muhammadiyah, dan sebagainya, yang memilki kesepakatan akademis (baik implisit maupun eksplisit) bahwa apapun sistem pemerintahan yang dianut negara, nilai-nilai ajaran Islam sejatinya dapat diimplementasikan dalam kehidupan bernegara. Kedua, pembaharuan sistem hukum pada era post-kolonial. Ketika Barat melakukan kolonialisasi di hampir seluruh dunia Islam, suatu kebijakan dilakukan untuk membatasi penerapan syariat Islam yang ketika itu dipraktekkan sebagai hukum yang hidup di koloni-koloninya. Sistem-sistem hukum non-syari’ah atau Barat diundangkan untuk menggantikan aspek-aspek tertentu praktek hukum Islam,15 tentu saja termasuk di Indonesia. Jadi, para aktivis politik, alim ulama dan pemerintah sepakat bahwa sistem hukum yang tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan demokrasi harus diperbaharui, tentu saja dalam konteks ini, nilai-nilai ajaran Islam memilki peluang besar untuk diakses. Ketiga, globalisasi. Salah satu aspek globalisasi adalah dampak negatif yang dianggap timbul dari proses tersebut terhadap budaya masyarakat Muslim. Dalam hal ini, nilai-nilai syariat Islam, atau ajaran Islam dari berbagai aspeknya, baik aspek tauhid, moral dan hukum, serta lembaga-lembaga, juga praktek masyarakat Muslim telah tercemari bahkan telah tergeser oleh budaya Barat akibat proses globalisasi tersebut. Ironisnya, isu-isu global dalam bidang politik; seperti demokrasi liberal, literal dan dalam kebanyakan kasus, lebih berorientasi kepada warisan fikih klasik. MMI dari Indonesia, Ikhwan al-Muslimin dari Mesir, Jama’at-I-Islami dari Pakistan, dan Taliban dari Afganistan, merupakan sebagaian dari yang berpandangan demikian. Penjelasan lebih lengkap, lihat Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Politik Syarit Islam dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), h. 169-170. 15 Kebanyakan imperialis Barat tidak langsung mengganti sistem hukum Islam secara menyeluruh, tetapi secara bertahap memperkenalkan hukum-hukum baru, diawali dengan hukum pidana, yang merupakan posisi terlemah dalam fluktuasi penerapan syari’ah, disusul hukum-hukum lainnya, serta membiarkan hukum kekeluargaan dan waris Islam sebagaimana adanya. Selepas dari cengkraman penjajah, di samping faktor-faktor lainnya, muncul tuntutan untuk mereformasi tatanan hukum peninggalan penjajah. Secara radikal, Sayyid Qut}b menginginkan semua tatanan hukum dirombak total dengan hukum syariat Islam. Lihat Qut}b, al-’Ada>lah, h. 101-108. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
347
M. Sidi Ritaudin
ideologi modern kapitalisme dan sosialisme, bahkan sekularisme telah merasuk ke negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, namun demikian mereka yang menerapkan ideologi “impor” ini telah gagal menuntaskan masalah-masalah mendasar di negeri Muslim.16 Nilai-nilai kesederhanaan, keadilan sosial, tawadhu, ketakwaan, agaknya disepakati dapat membendung dampak negatif arus globalisasi. Keempat, krisis ekonomi dan persoalan politik. Fenomena kemerosotan ekonomi dan melebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin terlihat jelas. Kehidupan yang sulit karena pengangguran, inflasi, krisis moneter, dan kesulitan memperoleh akses dan layanan kesehatan, semuanya menjadi faktor pemicu konflik sosial. Dalam kondisi ini, nilai-nilai kejujuran dalam berbisnis harus ditegakkan, dan pelanggar prinsip ekonomi, seperti perampokan uang negara (korupsi), riba, ijon, spekulasi dan lain-lain harus diberantas melalui sistem ekonomi syari’ah dan h}isbah. Prinsip Islam sebagai ad-di>n wa ad-daulah (agama sekaligus negara) dapat dipahami bahwa fungsionalisasi agama dalam negara merupakan suatu keniscayaan. Penerapan syariat Islam merupakan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pemimpin dan rakyat (kaum muslimin). Umat Islam mencakup kaidah kebangsaan dengan segenap keluasannya, yang meliputi semua umat Islam, kemudian umat menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin. Dengan begitu dia menjadi wakil dari umat dalam segala aspek perbuatannya. Dengan peranan kepemimpinan wakil dari umat17 tersebut, rakyat menyerahkan pekerjaan dan tugas 16 Eksperimen dengan kapitalisme dan sosialisme, yang pernah dilakukan di beberapa negeri Muslim, telah mempertegas ajakan kembali kepada syariat Islam. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi, kecenderungan pola hidup yang konsumtif, dan perubahan-perubahan gaya hidup masyarakat, penganagguran, kesenjangan sosial, telah menyebabkan masyarakat beralih kepada Islam sebagai jalan keluar. Dalam konteks inilah, Islam dan syariat Islam ditampilkan sebagai altrernatif dan jalan keluar, seperti tampak dari slogan gerakan-gerakan Islam seperti: “Kembali ke Islam”, atau “Islam adalah Solusi” (al-Isla>m huwa al-H{all). Lihat, Fauzi M. Najjar, “The Application of Syaria Laws in Egypt”, Middle East Policy, Vol. 1, No. 3 (1992), h. 63-64. 17 Umat diserap dalam bahasa Indonesia dari bahasa Arab Ummah, yang lazim diartikan sebagai rakyat, masyarakat atau bangsa, komunitas. Lihat,
348
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Fatwa Keadilan Sosial: Tawaran Resolusi Konflik Horizontal ....
kepada para menteri, gubernur, pejabat, hakim dan lain-lainnya, sehingga terbentuk suatu kepemimpinan yang menggambarkan secara riil tentang kehidupan politis dan syariat Islam. Masingmasing mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan di bawah aturan tertentu bagi umat Islam, sesuai dengan kaidah-kaidah yang dibuat dan disepakati bersama. Karena itu, semua pihak dalam bernegara harus mengetahui kewajiban dan tanggung jawab masing-masing, baik secara individu maupun sosial? Apa hak yang harus diterima pemimpin atas umat? Apa kewajiban dan tanggung jawab rakyat? Konsepsi ini dikembangkan dari sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abdulla>h ibn ‘Umar sebagai berikut: “Ketahuilah, setiap orang di antara kalian menjadi pemimpin dan setiap orang di antara kalian bertanggung jawab tentang apa yang dipimpinnya. Seorang amir menjadi pemimpin atas manusia dan dia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang lelaki menjadi pemimpin ats keluarganya dan dia bertanggung jawab atas mereka. Seorang wanita menjadi pemimpin atas rumah suaminya dan anaknya, dan dia bertanggung jawab terhadapmereka. Seorang budak menjadi pemimpin atas harta tuannya dan dia bertanggung jawab atas harta itu. Ketahuilah, setiap orang di antara kalian menjadi pemimpin dan setiap orang di antara kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari).18
Berangkat dari berbagai nas}s} syari’ah, memperhatikan apa yang ditetapkan oleh para fuqaha’ dalam masalah ini, serta menyimak gambaran praktis dan aplikatif tentang Negara Islam yang pertama kali pada zaman Rasulullah saw, dan al-Khulafa>’ arAntony Black, The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present (Edinburg: Edinburg University Press, 2001), h. 36, 44, 52. Abdul Rashid Moten melihat term Ummat ini sebagai konsep unik yang tidak mempunyai padanan istilah dalam bahasa Barat, karena pengertian ummat itu memiliki ciri komunitas tersendiri dan memiliki zauq makna yang khas dengan pengertian yang khas pula dalam Islam. Term yang mengacu pada ummat sebagai tatanan sosial Islam tersebar dalam berbagai ayat, sesuai konteksnya, dalam al-Qur’an, seperti ayat 2: 143; 40: 5; 49: 13; 7: 159; 28: 23; 10:19; 10: 47; 3:110; 7:168; 7:158. dan masih banyak lagi. Lihat Abdul Rashid Moten, Political Science: An Islamic Perspective (London: Macmillan Publishing, 1996), h. 77-99. 18 Lihat S{ah}i>h} al-Bukha>ri, Kita>b al-‘Itq, Ba>b Kara>hiyyah at-Tat{awwul ‘ala> ar-Raqi>q. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
349
M. Sidi Ritaudin
Ra>syidu>n yang menjadi rujukan utama praktik syariat Islam dalam negara, maka dapat ditegaskan bahwa seorang pemimpin muslim merupakan sebuah keharusan untuk melindungi umat/rakyat dari musuh, menjaga keamanan dan ketentramannya, menegakkan hukum perundang-undangan dan berbagai kewajiban dan tanggung jawab lainnya yang harus diemban seorang pemimpin.19 D. Penanganan Konflik Horizontal dalam Negara Penanganan konflik, baik konflik vertikal maupun konflik horizontal dalam negara merupakan tugas pemerintah. Meski NKRI bukan negara agama, penerapan nilai-nilai substansial agama tetap merupakan keniscayaan. Karena itu, dalam proses penanganan konflik perlu dilakukan beberapa hal di berbagai bidang kehidupan, antara lain: moral spiritual, hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya. 1. Bidang Moral Spiritual {Penanganan konflik horizontal dalam negara pada aspek moral spiritual dapat dilakukan melalui restorasi mental spiritual dengan memegang teguh konsep dan prinsip tauhid20 yang bersumber pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.21 Keadilan Bandingkan dengan pendapat S{a>lih} ibn Ga>nim as-Sadla>n, Wuju>b Tat} bi>q asy-Syari>‘ah al-Isla>miyyah fi Kulli ‘As}r, (Riyad: Da>r Balnasiyah, 1997), h. 5. 20 Kata “tauh{i>d” dimaksudkan sebagai paham me-Maha Esa-kan Tuhan, atau paham “Monotheisme”. Kata “tauh{i>d” merupakan kata benda kerja (verbal noun), infinitif, sebuah derivasi atau tashrif dari kata “wah{h{ada-yuwah{h{idutauh{i>d”, yang dibakukan dalam bahasa Indonesia menjadi tauhid, bermakna mempersatukan, misalnya tauhid al-ummah, yang berarti mempersatukan umat, menurut Sayyid Qut}b, meliputi kekuasaan atas hati nurani, kekuasaan atas perasaan, kekuasaan atas kenyataan hidup, kekuasaan atas harta, kekuasaan atas hukum dan kekuasaan atas jiwa dan raga. Lihat Muh}ammad Taqiy al-Mis}ba>h}, Ma‘a>rîf al-Qur’a>n (Bairut: ad-Da>r al-Isla>miyyah, 1990), h. 59. 21 Isi pokok ajaran Kitab Suci itu, yaitu ajaran tentang “me-Maha Esa-kan Tuhan”, bahkan kata “tauhid” juga secara tepat menggambarkan inti kandungan Kitab Suci al-Qur’ân, inti ajaran Islam dan inti ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan, yang mereka itu telah diutus untuk setiap kelompok manusia di bumi, sampai tampilnya Nabi Muhammad saw., yaitu ajaran “Ketuhanan Yang Maha Esa” Lihat, Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, cet. ke-4 (Jakarta: Paramadina, 2000), h.72-73. Dalam hal ini, “Setiap umat mempunyai rasul” (QS. Yu>nus [10]:47). “Dan tidaklah Kami (Tuhan) mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya 19
350
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Fatwa Keadilan Sosial: Tawaran Resolusi Konflik Horizontal ....
sosial sebagai landasan resolusi konflik hendaklah dimulai dari prinsip tauh}i>diyyah; yakni keyakinan bahwa yang Maha Adil itu adalah Allah swt. Mustahil elit politik akan berlaku adil jika kepemimpinannya tidak dijiwai oleh keyakinan tersebut. Akidah ini terangkum dalam dua bentuk; Pertama, kewajiban mengesakan Allah swt. dengan beribadah dan taat kepada-Nya. Kedua, kewajiban menyerah diri secara totalit kepada Allah swt. dalam seluruh detail kehidupan. Hakikat keimanan kepada Allah adalah menegakkan prinsip-prinsip tauhid dan meniadakan seluruh antitesisnya, yakni syirik. Keesaan Allah secara komprehensif diekspresikan dalam tiga aspek, yaitu: Pertama, tauh}i>d rubu>biyyah (Keesaan Ketuhanan), yakni keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Sang Pencipta sekaligus Pengatur langit, bumi dan seisinya.22 kedua, tauh}i>d alasma>’ wa as}-s}ifa>t (Keesaan Nama-Nama Allah dan Sifat-SifatNya), merupakan keyakinan bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagai media untuk melukiskan keadaan diri-Nya. Dalam bahasa Ibnu Taimiyyah, Allah swt. menyifati Diri-Nya dengan sifat yang telah disifatkan oleh Diri-Nya sendiri, atau disifatkan oleh Rasulullah saw., serta para generasi awal Islam yang tidak melebihi batas al-Qur’an dan Sunnah.23 Ketiga, tauh}i>d ulu>hiyyah (Keesaan Ibadah), yaitu penyembahan hanya kepada Allah swt. Ibnu Taimiyyah menyatakan: “Tidak ada kebahagiaan dan keselamatan bagi seorang hamba kecuali selalu mengikuti Rasulullah saw. Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ia akan dimasukkan ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Yang demikian itu adalah kemenangan yang sangat agung. Akan tetapi, siapa saja yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya serta melanggar ketetapan-ketetapan Allah, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka; ia akan mendapatkan siksa yang sangat pedih. Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk agar mereka bahwa tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu semua akan Daku”. (QS. Al-Anbiya>’ [21]:25). 22 Lihat QS. az-Zumar [39]: 3 dan 62; as}-S{a>ffa>t [37]: 96; at-Taga>bun [64]: 11; al-An‘a>m [6]: 1; Luqma>n [31]: 25; al-Mu’minu>n [23]: 84-85; S{a>d [38]: 5. 23 Imam Ibnu Taimiyyah, Majmu>‘ al-Fata>wa>> (Beirut: Da>r al-Kutub al‘Ilmiyyah, t.t.), III/16. Tentang ayat-ayat al-Qur’an yang membahas masalah ini, lihat QS. T{a>ha> []: 5; az-Zukhruf [43]: 82, 84-85; dan asy-Syu>ra> [42] :11. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
351
M. Sidi Ritaudin
menyembah (beribadah kepada)-Nya. Allah swt. berfirman: “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”(QS. Az\-Z|a>riya>t [51]: 56). Bentuk ibadah mereka kepada Allah adalah dengan cara menaati Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada ibadah kecuali apa yang telah diwajibkan dan diridhai oleh agama Allah”.24
Menurut al-Maudu>di>, pengakuan terhadap tauhid akan mempengaruhi kehidupan manusia. Secara rinci, ia memaparkan sebagai berikut: a) Tidak mungkin bagi seseorang yang beriman kepada Allah akan menjadi seorang yang mempunyai pandangan sempit, karena ia percaya kepada yang menciptakan langit dan bumi, memiliki seantero jagat. Pemberi rezki dan pendidik mereka. b) Iman kepada Allah melahirkan rasa bangga dan harga diri pada manusia. Ia mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Pemilik yang hakiki, tidak ada yang dapat memberi manfaat dan mudharat kecuali Dia. c) Iman kepada Allah akan menumbuhkan rasa rendah hati, bukan rendah diri, maka ia tidak akan pernah congkak dan sombong. Maka kalau ia menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan, ia sadar bahwa jabatan itu adalah amanah. d) Iman kepada Allah akan meyakini bahwa tidak ada jalan untuk mencapai keselamatan dan keberuntungan kecuali dengan kesucian jiwa dan amal saleh. e) Iman kepada Allah tidak mudah dihinggapi oleh rasa putus asa dan hilang harapan dalam keadaan bagaimanapun juga, karena ia bertawakkal kepada-Nya. f) Iman kepada allah mendidik manusia di atas suatu kekuatan yang besar dalam kebulatan tekad, keberanian, kesabaran, ketabahan dan tawakkal, dikala ia menghadapi perkara-perkara besar di dunia demi untuk mengharapkan kerelaan Allah Swt. g) Iman kepada Allah mengangkat derajat manusia dengan menjauhkan diri dari sifat-sifat buruk dan tercela serta perbuatan-perbuatan yang rendah, seperti melakukan tindakan KKN. Ibid., I/42. Perhatikan QS. Az\-Z|a>riya>t [51]: 56; al-‘Ankabu>t [29]: 61, 63; al-An‘a>m [6]: 57; al-Ma>’idah [5]: 3, 44, 48, 50; at-Taubah [9]: 31; anNisa>’ [4]: 60-61, 65; al-A‘ra>f [7]: 40. 24
352
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Fatwa Keadilan Sosial: Tawaran Resolusi Konflik Horizontal ....
h) Iman kepada Allah menjadikan manusia terikat kepada syari’at Allah dan patuh kepadanya. Dan ini merupakan rukun asasi yang terpenting dari ajaran Nabi saw.25 Pemaparan Abu> al-A’la> al-Maudu>di di atas agaknya memberikan penguatan konsepsional terhadap posisi syari’ah dalam negara. Spektrum pemikiran yang demikian itulah agaknya yang menjadi dasar pemikiran Sayyid Qut}b yang bersikukuh menginginkan kembalinya institusi kekhilafahan karena menurutnya, khilafah merupakan bentuk pemerintahan yang “dipesankan” wahyu, dan karenanya mesti diikuti dan ditegakkan. Bagi Qut}b, negara Islam adalah sebuah negara yang merepresentasikan al-h}a>kimiyyah lilla>ah. Identitas politik bagi negara Islam didasarkan kepada kesamaan akidah, bukan berdasarkan teritorial, kebangsaan atau etnisitas. Artinya, Qut}b menolak konsep nation state dengan semua variabel modernitasnya yang berarti juga menolak sekularisasi dan westernisasi.26 Terlepas dari benar tidaknya pendapat Qut}b, yang jelas NKRI sebagai negara bangsa tidak menganut sekularisme, meskipun tidak juga dapat disebut sebagai negara agama. NKRI adalah model nation state yang unik yang lebih mengakomodir nilai-nilai religius dapat dijalankan dalam negara ketimbang formalisasi agama dalam negara. Oleh karenanya, tidak hanya nilai-nilai geligius, tetapi juga nilai-nilai budaya bangsa yang baik dan sesuai dengan visi dan misi NKRI dapat dirumuskan dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia, ataupun peraturan-peraturan yang berlaku bagi seluruh warga negara Lebih lanjut, langkah penanganan konflik dalam negara pada aspek moral spiritual adalah mengukuhkan nilai-nilai moral yang mendasar pada petunjuk dari Kitab Allah dan Sunnah RasulAbu al-A’la al-Mawdudi, Prinsip-Prinsip Islam, terj. Abdullah Suhaili, cet. ke-2 (Bandung: Alma’arif, 1983), h. 77-83. Sejalan dengan penjelasan di atas, konsep h}a>kimiyyah merupakan poros pemikiran politik Mawdudi,, semua doktrin Islam mendasari sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang merupakan representasi hakimiyah Tuhan di muka bumi. Lihat, Abu> alA‘la> al-Maudu>di>, Naz}ariyya>t al-Isla>m as-Siya>siyyah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1388 H), h. 32-33. 26 Lihat Sayyid Qut}b, Ma‘a>lim fi at}-T{ari>q (Kairo: Da>r asy- Syuru>q, 1982), h. 118, 136-140. 25
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
353
M. Sidi Ritaudin
Nya, untuk membersihkan masyarakat dari pengaruh-pengaruh materialisme, egoisme, hawa nafsu dan lain-lainnya.27 Salah satu tugas pemerintah yang sangat mendasar untuk melindungi rakyatnya dan mengeliminir konflik horizontal adalah menghapus segala bentuk kebatilan, baik yang berkaitan dengan akidah, ibadah, taqlid maupun lainnya yang berhubungan dengan pemikiran atau perilaku secara umum. 28 2. Bidang Politik dan Hukum Dalam perspektif syari’ah, terdapat empat prinsip yang harus tercermin dalam suatu pemerintahan, yang akan menjamin tereliminasinya konflik sosial: Pertama, mengakui kedaulatan Tuhan, kedua, mengakui otoritas Nabi, ketiga, menempatkan diri dalam status perwakilan Tuhan, dan keempat, menggunakan musyawarah bersama (mutual consultation).29 Negara harus menjamin bahwa pemimpin negara merupakan figur teladan bagi rakyatnya, karena jabatan yang diberikan untuk mengangkat panji-panji perjuangan dalam sumpah jabatannya berdasar komitmen agama, juga dalam penghargaan dan penghormatan kepada para ulama, yang merupakan para pewaris Nabi.30 Dalam konteks ini, perlu dibangun harmonisasi antara ulama dan umara pada tataran elite, sehingga akar rumput 27 Nilai-nilai moral akan memberikan dampak positif terhadap karakter kepemimpinan. Hal itu amat bersesuaian dengan kriteria-kriteria pemimpin yang dikehendaki dalam persepsi Islam. Sifat-sifat pemimpin menurut wahyu Ilahi adalah: S{idq yaitu selalu bersikap benar, jujur dan dapat dipercaya) (QS. Maryam [19]:41, 50, 56). Ama>nah, yaitu selalu bersikap tanggung jawab dan tidak pernah mengingkari janji dan jauh dari sikap munafik dengan berkata bohong, tidak menepati janji dan suka berkhianat (QS. Asy-Syu‘ara>’ [26] :107; 28: 26). Tabli>g, yaitu memiliki kecenderungan untuk selalu mengajak, menyebarkan dan menyampaikan ajaran Islam (QS. Asy-Syu>ra> [42]: 48). Fat}an> ah, yaitu harus memiliki kecerdasan, memiliki wawasan keilmuan, ketrampilan memimpin dan bijaksana (QS. Al-An‘a>m [6]:80). 28 Dalam konteks pemikiran politik, Abu> H{ani>fah menganggap sebagai persoalan sosial (istilahnya bid’ah) terhadap pola hidup kumuh, berpaling dari kehidupan duniawi, dan menyerahkan seluruh urusan kepada partai berkuasa yang memeras, menindas dan sewenang-wenang. Lihat, ‘Abdurrah}ma>n asySyarqa>wi, A’immah al-Fiqh at-Tis‘ah (Kairo: Kita>b al-Yaum, 1403/1983), h. 6. 29 Lihat, Abu A’la al-Mawdudi, The Islamc Law and Constitution (Lahore: Islamic Publication, 1960), h. 225. 30 Bandingkan dengan Antony Black, The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to Present (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2001), h. 213.
354
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Fatwa Keadilan Sosial: Tawaran Resolusi Konflik Horizontal ....
dapat dijinakkan dan terkendali. Oleh karenanya, para pemimpin (umara) dan ulama (pewaris para Nabi) ini harus benar-benar memenuhi syarat, yakni mempunyai kualitas moral dan intelektual tertentu yang sangat diperlukan berdasarkan alasan agama, yakni pemimpin (ulil amri) yang betul-betul taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam arti ia adalah seorang pemimpin yang konsisten dan konsekuen melaksanakan syariat Islam.31 Suatu hal yang tidak boleh dilupakan oleh para elite pemimpin atau para pejabat negara dalam kerangka mewujudkan keadilan sosial dalam negara adalah mendudukkan hukum sebagai supremasi. Hukum harus tegas, tidak boleh tebang pilih atau pandang bulu. Semua warga negara, baik pemerintah maupun rakyat, semua memilki kedudukan yang sama di depan hukum. Artinya siapapun yang melanggar hukum harus dihukum. NKRI menjunjung tinggi supremasi hukum. Islam periode awal berkembang pesat hingga dapat melakukan ekspansi ke berbagai jazirah, karena sejak awal Islam menegakkan hukum. Sebut saja misalnya, sabda Rasulullah saw, “seandainya Fatimah mencuri, maka saya sendiri yang akan memotongnya”, ini menunjukkan bahw hukum itu tidak pandang bulu, harus dilaksanakan oleh penguasa seadil-adilnya, sehingga keadilan sosial dapat diwujudkan dalam NKRI. 3. Bidang Ekonomi Pada tataran ekonomi, hal pertama yang harus dibenahi dalam penanganan konflik adalah membangun perekonomian yang bersih (h}ala>lan t}ayyiban) berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan Sunnah,32 bebas dari unsur-unsur yang merugikan banyak orang dan hanya menguntungkan segelintir orang, seperti monopoli perdagangan, perjudian dan riba, percaloan dan sebaginya. Dalam konteks ini, ada beberapa hal konseptual yang bisa dijalankan untuk menyempurnakan bangunan ekonomi yang dapat menjamin keadilan sosial sebagai berikut:33 Lihat Enayat, Modern Islamic Political Thought, h. 136. Lihat Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>s\ ‘Ulu>muhu wa Must}alah}uhu (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), h. 46-50. 33 Sayyid Qut}b menulis pertama kali yang ia katakan dalam bukunya al-‘Ada>lah al-Ijtima>’îyyah fî al-Isla>m, adalah kata-kata berikut :”Dalam bidang ekonomi, seseorang tidak boleh memaksakan diri berhutang sebelum ia meninjau 31 32
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
355
M. Sidi Ritaudin
a. Menciptakan mata rantai jaringan ekonomi Islam yang bersih dari riba’,34 sehingga terjadi iklim yang kondusif untuk menunjang pergantian sistem riba’ menuju sistem non-riba berdasarkan syariat Islam. . b. Menciptakan pola ekonomi Islam,35 yang sesuai dengan terlebih dahulu kekayaan yang dimilikinya, masih cukupkah atau memang tidak tercukupi”. Dari sini dapat dimengerti jika perhatian Sayyid Quthb terhadap masalah ekonomi cukup besar, dan amat berperan dalam menciptakan suasana kondusif bagi masyarakat Islam yang dicita-citakan, yang menerapkan syariat Islam secara total. Lihat Sayyid Qut}b, al-‘Ada>lah al-Ijtima>’îyyah, h. 1. 34 Kata riba dalam bahasa Arab sesekali disebut pula dengan istila arrima>, makna asalnya ialah tambah, tumbuh dan subur seperti dalam firman Allah QS. Al-H{ajj (22): 5 dan Fus}s}ilat (41): 39. Adapun yang dimaksud dengan pengertian tambah dalam konteks riba yang umum dikenal oleh masyarakat luas ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit ataupun berjumlah banyak seperti diisyaratkan dalam QS. Al-Baqarah (2): 279. Semua agama samawi, khususnya Islam dan bahkan konon para filosof, semuanya mengharamkan praktek riba. Al-Qur’ân, sumber utama dan pertama hukum Islam, mengharamkan riba dan mengecam serta mengancam para pemakan riba. Orang-orang yang memakan riba, oleh al-Qur’an (QS. Al-Baqarah [2]: 275-279) dilukiskan laksana orangorang yang tidak sadarkan diri karena kesurupan setan; dan diakhirat kelak mereka akan mendapatkan siksaan yang sangat pedih. Dalam pada itu, para ulama Islam membedakan jenis riba ke dalam dua macam: riba> nasi>’ah dan riba> fad}l. Riba nasi’ah ialah tambahan (bunga) uang yang harus dibayar oleh si peminjam (kreditor) kepada yang memberi pinjaman (debitur) , yang disyaratkan ketika transaksi hutang piutang berlangsung sebagai imbalan dari tenggang waktu pembayaran uang. Sedangkan riba fad}l, adalah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar mata uang atau benda-benda yang sejenis seperti menukar satu geram emas dengan satu setengah geram emas. Berbeda dengan riba> nasi>’ah , yang hukum keharamannya telah disepakati oleh seluruh ulama Islam, riba fad}l atau riba yang tidak berlipat ganda hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang mengatakan tidak haram tetapi kebanyakan (jumhur) ulama mengharamkannya. Lihat Harun Nasution (Ketua) Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 812-813. Lihat juga, Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>mi wa Adillatuh, Jilid IV (Beirut: Da>r al-Fikr, 1985), h. 671-674. Bandingkan dengan Fuad Mohd Fachruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan & Assuransi, cet. ke-3 (Bandung: Alma’arif, 1983), h. 24-34. Tilik pula Muh Zuhri, Riba dalam alQur’an dan Masalah Perbankan (Sebuah Tilikan Antisipatif) (Jakarta: Badan Penerbitan Walisongo Press dan Radja Grafindo Persada, 1996), h. 1-3. 35 Dalam masalah harta, di sini dikemukakan pula pendapat alMadkhali, yang mengatakan bahwa dalam hak milik, baik karena warisan, perdagangan, ataupun menghidupkan tanah mati dan dalam hal membantu orang yang mazhlum dari orang-orang yang zalim serta urusan-urusan lain, yang di dalamnya ada penghormatan dan pemuliaan terhadap orang Islam. Semua itu, kata al-Madkhali, adalah merupakan urusan maknawiyah yang akan mengangkat kejiwaan seorang Muslim dan kehormatannya, sehingga ia akan menghina dunia, mengesampingkan perbedaan antara si kaya dan si miskin. Orang yang berpegang kepada agamanya akan tahu dengan akalnya, urusan-
356
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Fatwa Keadilan Sosial: Tawaran Resolusi Konflik Horizontal ....
perubahan zaman, sehingga tidak perlu ada perubahan yang menjurus kepada anarkisme dan kelemahan baginegara dan agar tidak menimbulkan keguncangan jaringan ekonomi. c. Menarik zakat dari setiap harta yang tampak dan yang tidak tampak.36 Hal ini dapat dilaksanakan para petugas yang dapat dipercaya. Hasil pengumpulan zakat ini dapat dimanfaatkan untuk mendanai jaminan sosial, mencipta-kan keadilan sosial, menghindari penumpukan harta, melawan penyimpanan harta dengan sistem riba, di samping manfaat-manfaat lainnya. 4. Bidang Sosial Budaya Pada tataran sosial budaya, hal pertama yang harus dibenahi adalah cara pandang terhadap kesatuan bangsa, yang sejatinya tidak boleh ada hegemoni satu golongan, suku, ras, budaya atau agama tertentu terhadap yang lainnya. Meski sudah menjadi trade mark bahwa ada hegemoni Kristen di Papua, Hindu di Bali, dan Islam di wilayah bagian Barat seperti Sumatera, Jawa dan Sulawesi, namun tetap tidak boleh ada diskriminasi atau penindasan dalam perlakuan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Indonesia sebagai negara majemuk merupakan perpaduan dari adat dan tradisi perbendaharaan lama dengan peradaban agama-agama, kemudian dirumuskan dalam satu landasan ideal, yaitu Pancasila sebagai dasar bernegara. Jika ini dipertahankan, maka kemudian tidak akan berlaku tesis Samuel P. Huntington yang mengatakan bahwa konflik di dunia dewasa ini disebabkan oleh adanya benturan antarperadaban.37 Menurut penulis, jika peradaban itu dibangun di atas pondasi vertikal, yaitu bersumber urusan itulah yang disyari’ahkan dan dijelaskan oleh Islam. Rabi’ bin Hadi alMadkhali, Sayyid Quthb Cela Shahabat Nabi?, terj. Munirul Abidin (Jakarta: Darul Falah, 1423 H / 2003 M), h. 271-272 36 Harta yang tampak ialah kekayaan berupa hewan ternak, pertanian dan zakat fitrah. Sedangkan harta yang tidak nampak ialah berupa uang kontan, deposito, investasi dan perniagaan. 37 Baca pernyataan Samuel P. Huntington, “The Clash of Civilization”, Foreign Affairs, Vol. 72, No. 4 (September-Oktober 1993). Baca juga Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order (New York: Simon and Schuster, 1996). Sebagai pembanding, baca Tariq Ali, Clash of Fundamentalisms: Crusades, Jihads, Modernity (New York: Verso, 2002). Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
357
M. Sidi Ritaudin
dari Yang Maha Pencipta peradaban, maka tidak akan terjadi benturan kultur sebagaimana disinyalir Huntington. Menurut pandangan penulis, agaknya tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa konflik paling fundamental adalah split personality yang terjadi pada diri manusia itu sendiri. Oleh karena itu pendekatan spiritual tidak dapat diabaikan dalam kerangka penanggulangan krisis atau konflik sosial, guna mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial secara merata di bumi NKRI. E. Penutup Sejatinya, dalam NKRI yang telah bulat menganut paham demokrasi, semua warga negara memilki kedudukan yang sama di depan hukum. Karenanya, negara wajib melindungi seluruh warga negaranya dari diskriminasi sosial. Jika supremasi hukum ditegakkan maka keadilan sosial dapat diwujudkan, selanjutnya kesejahteraan sosial yang merata akan dapat diperoleh dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekuatan NKRI berakar pada dua fondasi yang kokoh. Pertama, falsafah bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa (Pancasila), sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan kedua, religiusitas bangsa. Meskipun NKRI bukan negara agama, tetapi kehidupan agama dijamin oleh undang-undang dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata karena dilindungi oleh negara. Nilai-nilai luhur agama (apapun itu agamanya) semua memilki kontribusi positif bagi tegaknya peradaban yang tinggi bagi suatu bangsa yang terejawantahkan dalam keadilan sosial.
358
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Fatwa Keadilan Sosial: Tawaran Resolusi Konflik Horizontal ....
DAFTAR PUSTAKA Ali, Tariq, Clash of Fundamentalisms: Crusades, Jihads, Modernity, New York: Verso, 2002. Amal, Taufik Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean, Politik Syarit Islam dari Indonesia hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004. Amsyari, Fuad, Masa Depan Umat Islam Indonesia: Peluang dan Tantangan, Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1993. Black, Antony, The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present, Edinburg: Edinburg University Press, 2001. C. Leege, David., Kenneth D. Wald dan Lymn A. Kellstedt, Agama dalam Politik Amereka, terj. Dobbie A. Lubis dan A. Zain Rofiq Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Kedutaan Besar Amereka Serikat dan Freedom Institute, 2006. Enayat, Hamid, Modern Islamic Political Thought, London: Macmillan, 1982. Fachruddin, Fuad Mohd, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan & Assuransi, cet. ke-3, Bandung: Alma’arif, 1983. Huntington, Samuel P., dalam “The Clash of Civilization”,” Foreign Affairs, Vol. 72, No. 4 September-Oktober 1993. Huntington, Samuel P., The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order, New York: Simon and Schuster 1996. Isre, Moh Soleh (ed), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, Jakarta: Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Beragama Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2003. Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>s\ ‘Ulu>muhu wa Must} alah}uhu (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
359
M. Sidi Ritaudin
Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan, 1994. Madjid, Nurcholish, Islam, Doktrin dan Peradaban, cet. ke-4, Jakarta: Paramadina, 2000. Madkhali, Rabi’ bin Hadi al-, Sayyid Quthb Cela Shahabat Nabi ?, terj. Munirul Abidin , Jakarta: Darul Falah, 1423 H/2003 M. Mah}mu>d, ‘Ali> ‘Abd al-H{ali>m, Ma‘a al-Aqi>dah wa al-H{arakah wa al-Manhaj fî Khairi Ummatin Ukhrijat li an-Na>s, Mans} u>rah: Da>r al-Wafa>’, 1412 H/ 1992 M.
al-Mawdudi, Abu A’la, The Islamc Law and Constitution, Lahore: Islamic Publication, 1960. al-Maudu>di>, Abu> al-A‘la>, Naz}ariyya>t al-Isla>m as-Siya>siyyah, Beirut: Da>r al-Fikr, 1388 H. al-Maududi, Abu al-A’la, Prinsip-Prinsip Islam, terj. Abdullah Suhaili Bandung: Alma’arif, 1983. al-Mis}ba>h}, Muh}ammad Taqiy, Ma‘a>rîf al-Qur’a>n, Bairut: Da>r alIsla>miyyah, 1990. Moten, Abdul Rashid, Political Science ; An Islamic Perspective, London: Macmillan Publishing, 1996. Najjar, Fauzi M., “The Application of Syaria Laws in Egypt”, Middle East Policy, Vol. 1, No. 3, 1992. Nasution, Harun (Ketua) Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992. Palmquis, Stephen, Pohon Filsafat Teks Kuliah Pengantar Filsafat, terj. Muhammad Shodiq, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. al-Qarad}a>wi, Yu>suf, al-H{all al-Isla>mi>: Fari>d}ah wa D{aru>rah (Arab Saudi: Markaz al-Malik Fais}al li al-Buh}u>s\ wa ad-Dira>sa>t al-Isla>miyyah, t.t.
Qut}b, Sayyid, al-‘A
lah al-Ijtima>’iyyah fî al-Isla>m, cet. ke-7, Kairo: Da>r asy- Syuru>q, 1981. 360
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Fatwa Keadilan Sosial: Tawaran Resolusi Konflik Horizontal ....
Qut}b, Sayyid, Ma‘a>lim fi at}-T{ari>q, Kairo: Da>r 1982.
asy- Syuru>q,
Rachman, M. Fadjroel, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat Tentang Kebebasan, Demokrasi dan Negara Kesejahteraan, Depok: Penerbit Koekoesan, 2007. as-Sadla>n, S{a>lih} ibn Ga>nim,Wuju>b Tat}bi>q asy-Syari>‘ah alIsla>miyyah fi Kulli ‘As}r, (Riyad: Da>r Balnasiyah, 1997.
Syarqa>wi>, Abdurrah}ma>n al-, A’immah al-Fiqh at-Tis’ah, Kairo: Kita>b al-Yaum, 1403/1983. Taimiyyah, Imam Ibnu, Majmu>‘ al-Fata>wa>, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t. Tangdilintin, Paulus, Masalah-Masalah Sosial Suatu Pendekatan Analisis Sosiologis, Jakarta: Universitas Terbuka, 2000. az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, Beirut: Da>r al-Fikr, 1985. Zuhri, Muh, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan (Sebuah Tilikan Antisipatif), Jakarta: Badan Penerbitan Walisongo Press dan Radja Grafindo Persada, 1996.
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
361
M. Sidi Ritaudin
362
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012