MEREDAM POTENSI KONFLIK KOTA SORONG (Analisis Interaksi Sosial Keagamaan Antar umat Beragama) Indria Nur/Hamsah1
Abstract: This paper try to raise the issue of potential conflicts Sorong analysis of
social interaction among religious. As the facts show that ethnic differences, ethnicity, race, culture, religion could trigger a conflict potential. Furthermore, this article outlines the problem of, how potential conflicts of Sorong, an analysis of the socioreligious interfaith interaction, namely: First: How to map the potential religious conflict between religious Sorong? Second: What is the role stakeholders to anticipate potential conflicts. The? Paper shows that, mapping the potential conflict between religious Sorong, turns ethnicity, race, religion, and culture potentially cause conflict in Sorong, anticipation potential conflicts. The end, stakeholders anticipate potential role conflict. Are: First, preachers, religious leaders, maximizing transfer universal moral values which can directly be practiced in real life, to benefit the wider community. Second, the government is positioning itself as protector of every citizen, not of skin color, race, religion, and belief, and give equal protection to the rights of citizens.
Key Words: Conflict, Social, Religious, Religious Community. Pendahuluan Perbedaan etnis, suku buadaya, ras, agama, di samping menyimpan potensi konlfik, juga dapat memunculkan sentimental primordial terutama dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Hal ini seringkali terlihat dalam dominasi etnis tertentu atas berbagai aktivitas sosial, sumber ekonomi ataupun pemerintahan dan kekuasaan. Dominasi tersebut tentunya melahirkan kesenjangan dan kecemburuan dari etnisetnis yang lain. Di sinilah akan muncul ketidaksukaan tersembunyi secara timbal balik (mutual dislike) yang berdasarkan perbedaan etnis. Selain masalah tersebut beberapa ahli juga berpendapat bahwa adanya kesenjangan ekonomi antara kaum lokal dengan penduduk pendatang (migran) juga termasuk pemicu berbagai konflik sosial. Kaum pendatang (migran) biasanya lebih berhasil dalam meraih kesempatan ekonomi maupun politik. Fakta ini banyak terlihat di daerah Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara dan termasuk Papua. Pada umumnya etnis pendatang yang masuk dan dominan di daerah tersebut adalah Jawa, Bugis, 1 Indrianur dan Hamsah Dosen STAIN Sorong Jurusan Tarbiyah dan Syari’ah. E-mail:
[email protected] dan
[email protected].
Madura, Cina dan beberapa etnis lainnya. Keberhasilan etnis pendatang pada aspek ekonomi dan politik berbanding terbalik dengan etnis lokal. Walaupun keberhasilan etnis pendatang dan ketidakberhasilan etnis lokal tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya pendidikan, budaya kerja, psikologi (semangat dan motivasi), kerja keras dan lain sebagainya. Tetapi tetap saja masalah kesenjangan ekonomi ini berpotensi konflik. Rendahnya kesadaran terhadap realita pluralitas masyarakat bukan saja mengganggu kehidupan bersama dalam masyarakat, tetapi juga mengandung potensi bagi kekerasan terhadap kemanusiaan. Kekerasan terhadap orang lain justru dimulai dari kekerasan fisik ataupun perlakuan yang diskriminatif terhadap sesamanya. Penelitian yang dilakukan di daerah-daerah konflik seperti Ambon, Poso, Sampit dll memperlihatkan peran yang signifikan dari para pemuka agama dalam mengorbankan semangat permusuhan terhadap kelompok lain. Oleh sebab itu, kiranya sangatlah urgen untuk membangun kesadaran terhadap realita pluralitas masyarakat yang akan melahirkan kesadaran untuk membangun kehidupan bersama yang saling menghormati dan menghargai berbagai perbedaan agama, kepercayaan, bahkan keyakinan, melainkan juga melahirkan suatu komitmen terhadap kehdupan bersama yang mengupayakan dan memperjuangkan perdamaian dan keadilan bagi masyarakat secara keseluruhan. Oleh sebab itulah yang menuntut kami, untuk melakukan penelitian secara mendalam tentang pemetaan potensi konflik interaksi antar umat beragama di Kota sorong.Secara teoritis telah dikemukakan bahwa keberagamaan agama dan pluralitas adalah salah satu faktor dominan yang dapat memicunya terjadi konflik, meskipun hingga saat ini kehidupan antar umat beragama di Kota Sorong secara kasat mata rukun dan toleran. Namun penelitian ini sangat diperlukan guna memahami serta mendalami pemetaan konflik interaksi antar umat beragama sebagai salah satu upaya mempertahankan kehidupan yang rukun dan harmonis pada saat ini. Selanjutnya, berawal daritersebut, artikel ini mencoba dirumuskan masalah pokok yaitu; Bagaimana potensi konflik antara umat beragama dapat dipetakan dalam mewujudkan kehidupan harmonis di Kota Sorong? Namun demikian untuk lebih fokusnya pembahasan dalam artikel ini, penulis memetakannya ke dalam beberapa submasalah, yaitu: Pertama; Bagaimana umat beragama memetakan potensi konflik
antara umat beragama di Kota Sorong? Kedua; Bagaimana peran stake holder mengantisipasi potensi konflik. Tersebut? Pemetaan Potensi Konflik Antarumat Beragama Kota Sorng 1. Kehidupan beragama di kota Sorong Kehidupan beragama di kota Sorong dapat dikatakan aman dan damai. Dikatakan aman dan damai, karena kondisinya setiap orang merasa tidak terganggu dan merasa aman dalam menjalankan aktivitasnya. Data jumlah pemeluk agama Islam 86,391 (44,32%) ; Kristen 93,609. (48.58%), Katholik 13,475 . (6,99%); Hindu 207 (0,11%); Budha 488. (0,25%).2 Sedangkan jumlah tempat ibadah, Masjid 88 buah, gereja kristen 261 buah, gereja katholik 23 buah. 3 Data yang diperoleh dari BPS Kota Sorong dan kementerian Agama Kota Sorong membuktikan bahwa terpautnya jumlah antar pemeluk agama dan tempat ibadah tidak menjadikan kondisi kota Sorong tidak aman. Sudah menjadi label kota Sorong bagi para pendatang domestik dan asing bahwa kota ini adalah kota Bhineka Tunggal Ika. Karena multikultural yang terjadi di Kota Sorong tidak menjadikan kota ini tidak aman. Bahkan berkumpulnya segala kultur dari Sabang sampai Merauke di Kota Sorong, tidak menjadikan kota ini tidak aman akan tetapi penuh kedamaian dan kerukunan antar umat beragama. Hal inipun menjadi pengakuan Bapak walikota Drs. Ec Lamberth Jitmau dalam sambutannya pada kegiatan acara Temu Konsultasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Tokoh Agama se Provinsi Papua Barat di tahun 2012 bahwa Kota Sorong merupakan pintu gerbang keluar masuk Papua dan Papua Barat, dan Kota Sorong merupakan Indonesia mini yang didiami oleh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Marauke walaupun masyarakatnya sangat heterogen dalam suku, bahasa, budaya dan agama, namun keamanan dan kedamaian selalu terjaga walaupun terdapat kerusuhan dimana-mana. Keamanan dan ketertiban masyarakat secara umum di wilayah Kota Sorong masih dalam tingkat kondusif dan sangat terkendali. Keadaan ini berlandaskan 2 3
Data BPS Prov. Papua Barat. tahun 2012 h. Ibid. Dan sumber data Kemenag Kota Sorong tahun 2012.
pada cara membangun koordinasi di wilayahnya. Koordinasi membentuk sistem dan ini berhubungan dengan keamanan, pihak keamanan, masyarakat dan peran tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat diberi peran positif sehingga ada fungsinya pada masyarakat. Pada sisi lain, masyarakat juga diberikan aktivitas atau kegiatan untuk mendapat peluang mereka hidup sehingga mereka tidak mengarahkan kegiatan pada hal-hal yang tidak kondusif. Kalau orang sudah sibuk, hidup baik, maka pikirannya tidak akan mengarah negatif terus. Sebaliknya, kalau seseorang hidup tidak wajar maka dia menjadi pribadi yang tidak percaya diri dan mampu menciptakan apa saja yang jadi peluang untuk mengancam atau mengacaukan stabilitas daerah sekitarnya. Kondisi kondusif ini juga terlihat dari tempat-tempat beribadah yang letaknya berdekatan dan tidak menjadi sesuatu yang di persoalkan. Semua saling menghargai termasuk pada hari raya masing-masing. Masyarakat bebas melakukan kegiatan beragama misalnya pada bulan puasa orang tidak melarang hiburan tetapi kegiatan agama mengatakan bahwa sebenarnya kalau mau melihat kebhinekaan yang ada di Pancasila terdapat di Papua, salah satunya ada di Kota Sorong. Hal ini terlihat dari banyak suku, ras dan agama yang ada di wilayah ini, dan rukun damai berkat toleransi dan pengertian kebersamaan yang kental. Agama merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan cara hidup. Perlunya pendekatan kepada tokoh agama sangat penting untuk membuat hubungan antara agama maupun antar kelompok terjalin baik. Jaminan hidup bermasyarakat seperti ini dibangun sudah sejak lama, bukan kebetulan terjadi, sehingga harmonisasi benar-benar nyata bukan hanya ucapan atau sekedar wacana. Masyarakat sudah memahami bahwa kehidupan beragama yang harmonis adalah salah satu modal utama untuk melangsungkan pembangunan disegala bidang baik pada skala regional maupun nasional. Demikian pula untuk menciptakan ketahanan nasional salah satu hal yang tak kalah penting adalah adanya dukungan dari seluruh umat beragama di Indonesia, selain peran dari aparat pemerintah. Artinya, menciptakan dan menjaga harmonisasi kehidupan antar umat beragama, dimana pun, menjadi tanggung jawab semua pihak. Prinsip inilah yang juga menjadi perhatian Pemerintah Kota Sorong dalam menciptakan kehidupan beragama yang aman dan damai.
Dalam menjaga kerukunan umat beragama pemerintah melakukan melalui dua kebijakan. Pertama; Strategi memberdayakan tokoh dan umat beragama untuk menyelesaikan masalah agama. Kedua; Memberi rambu-rambu dalam kerukunan beragama agar tidak terjadi kasus kekerasan agama. Salah satu kunci keharmonisan antarumat beragama di Kota Sorong adalah keterbukaan antarsesama pemeluk agama. Keharmonisan antarumat beragama dan saling mengharmati antarsesama pemeluk agama inilah yang membuat masyarakat Sorong tidak mudah terpancing konflik yang berbau SARA. 2. Pemetaan Potensi Konflik Indonesia memiliki persoalan krusial, yakni potensi konflik horisontal di tingkatan masyarakat akar rumput. Persoalan tersebut berwujud dalam bentuk kekerasan antarsuku, agama, ras, etnis, hingga aliran yang berbeda dari arus utama. Oleh karenanya, perlu diretas kembali pentingnya penelusuran akar-akar radikalisme yang makin akut dewasa ini. Hal tersebut dilakukan demi harmonisasi multikultural (baca: kebhinekaan) di bumi pertiwi. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang Bhinneka Tunggal Ika, terdapat pesan multikultural untuk membangun harmonisasi kehidupan yang selaras dengan tuntunan Al Quran. Yakni, manusia diciptakan berbangsa-bangsa, bersuku-suku dengan jenis kelamin berbeda. (Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT, ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal), QS. Al-Hujurat: 13. Ayat di atas menunjukkan betapa keragaman dan perbedaan yang dimiliki bangsa ini merupakan rahmat Tuhan yang patut disyukuri. Memaknai keragaman secara benar merupakan manifestasi rasa syukur tersebut. Pesan ini menjadi relevan dan kontekstual mengingat kekerasan dan disharmoni di hampir semua lini kehidupan masih mewarnai perjalanan bangsa kita. Sayangnya, kesalahan pemaknaan terhadap pluralitas acapkali melahirkan sikap egois sektoral nan radikal. Hal ini disebabkan pemahaman parsial, minus integral. Akibatnya,
ketidakadilan dan ketimpangan yang memicu konflik dalam relasi antaragama, antarkultur, dan antaretnis menjadi hal lumrah. Berbeda dengan kondisi Kota Sorong, walaupun masih dapat di kategorikan aman, damai dan sejahtera. Namun perlu pewasdaan bagi kita semua agar kondisi aman ini tidak berubah, kondisi potensi konflik horisontal dalm keberagaman budaya, etnis, strata sosial, dapat memicu kepada konflik agama. Selanjutnya, data kepolisian menunjukkan pemetaan potensi konflik di kota Sorong terdapat di lokasi Sorong Barat dan Sorong Timur. Pada tahun 2012, terdapat kasus yang berasal dari lokasi tempat ibadah yang saling berdekatan, namun kondisi ini tidaklah memanas.
4
Dan untuk mengantisipasi hal yang tidak di inginkan
kawasan Sorong Barat ini selalu menjadi fokus penjagaan pihak kepolisian. Berdasarkan hasil penelitian ini, pemetaan beberapa potensi konflik interaksi umat Islam dan non Muslim yang dapat terjadi di kota Sorong dapat di pilah menjadi beberapa hal, yaitu: a. Perbedaan suku ras dan budaya Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan budaya dapat memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras dan budaya dapat menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat. Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan. Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti: Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat. Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik. Namun sejauh ini perbedaan suku, ras dan budaya yang terdapat di Kota Sorong belum memberikan pola yang berarti untuk menjadi potensi konflik. Kalau ada 4
Rikwanto, Kadis Intel Polres kota Sorong, wawancara, Rabu 10 Juli 2013.
persinggungan, bukan karena perbedaan suku, budaya, dan agama, tetapi sebagian besar di lingkungan sesama masyarakat suku budaya papua, suku budaya buton, suku key Ambon. b. Perbedaan tingkat kebudayaan Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya modern. Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam - Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional: sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.
c. Kesenjangan pendidikan, ekonomi, Sikap masyarakat terhadap keberagaman agama di kota sorong nampaknya diterima sebagai sebuah keniscayaan yang harus dterima dengan tangan terbuka. Bahkan keberagaman ini dianggap sebagai kekayaan budaya dan pontensi yang harus dijaga, dirawat dan dipertahankan sepanjang masa. Namun demikian, muncul pengakuan yang agak kontradiktif dengan hal-hal tersebut di atas ketika beberapa masyarakat menjawab pertanyaan yang spesifik tentang apakah keberagaman agama akan menjadi ancaman bagi mereka. Sebagian besar merasa was-was dan khawatir dengan keberagaman itu. Alasan utama yang dikemukakan oleh mereka yang merasa terancam dan khawatir adalah fakta-fakta pertikaian yang terjadi di Indonesia yang banyak dipicu oleh masalah RAS. Mereka mengatakan bahwa banyak daerah yang tadinya masyarakatnya sangat harmonis, justru berubah saling membantai dan membunuh berdasarkan RAS. Di Ambon misalnya, meskipun kehidupan harmonis antar umat beragama telah berlangsung bertahun-tahun lamanya, tetapi peristiwa berdarah tetap saja tidak dapat dihindarkan, meskipun awal hanya dipicu hal-hal yang sangat
sepele. Menurut mereka, meskipun saat ini kehidupan masyarakat di kota sorong berlangsung sangat harmonis, tenang dan damai, tetapi tidak menutup kemungkinan peristiwa berdarah di daerah lain, juga tejadi di Sorong. Seorang nara sumber menyatakan bahwa “dinamika kehidupan masyarakat di kota sorong berlangsung cukup baik dan harmonis, hidup rukun dengan tetangga, saling hormat menghormati antara satu dengan yang lain meski beda agama dan suku. Perlu di ketahui kota sorong termasuk daerah rantauan, banyak perantau yang datang ke kota Sorong setiap tahun, mereka banyak yang berhasil di sini, ada yang jadi pedagang, pegawai, swasta, kerja serabutan, tukang ojek dll. Asal budaya mereka bermacam-macam, ada yang dari Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa tenggara, dan Sumatera. Agama mereka juga macam-macam, ada Islam, Kristen, Hindu, dll. Meskipun berbeda-beda tetapi kami telah berhasil menanam-kan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang harmonis, hidup rukun dan damai. Bahkan saat ini sorong di istilahkan sebagai kota Bhineka Tunggal Ika”. Selain itu, menurut pemaparan Ibu Jamilah mewakili aktifis perempuan Muslim Papua, bahwa terjadinya potensi konflik sebahagian besar terjadi karena adanya kesenjangan sosial antar suku Papua, dan kesenjangan pendapatan ekonomi.5 Namun walaupun secara umum kondisi tersebut tidak menjadi permasalahan yang berarti dari beberapa masyarakat, tetapi jika bertolok dari hasil diskusi tokoh agamawan muda lintas agama yang dilaksanakan di Sorong tahun 2012 dengan penyelenggara Lakpsdam NU Kota Sorong kerjasama P3M UIN Jogjakarta menyimpulkan bahwa faktor dominan yang dapat menimbulkan potensi konflik adalah kecemburuan dalam bidang aspek ekonomi antara pendatang dan penduduk asli, adanya perbedaan tingkat pendidikan sehingga menyatukan pemahaman antar budaya “keras” papua dan berbagai budaya pendatang membutuhkan toleransi dan pemahaman yang lebih arif.
Sebagai contoh
seringnya terjadi percekcokan tempat usaha di Pasar rakyat, seringnya terjadi “pertikaian” yang pada dasarnya berawal dari akibat minum minuman keras (kebanyakan masyarakat pribumi). 6 Jamilah Macap, Aktifis Perempuan Muslim Papua, wawancara, Agustus 2013. I Gusti, Ketua Forum Damai Lintas Agama (FORDALIA). Forum ini di bentuk sebagai tindak lanjut kegiatan Diskusi Agamawan Muda Lintas Agama di Kota Sorong, yang dilaksanakan oleh 5 6
Sejalan dengan pandangan Bapak Jusuf Kalla (JK) mantan Wapres, beliau menegaskan pada wartawan Republika, bahwa tak pernah ada konflik atas nama agama yang terjadi di Indonesia. Yang ada, kata dia, agama hanya dijadikan alat untuk menggalang solidaritas massa demi kepentingan tertentu dari konflik tersebut. Agama dijadikan alat dalam setiap perselisihan. Beliau mencontohkan apa yang terjadi di Indonesia, tercatat ada 15 konflik horisontal yang pernah terjadi di Indonesia. Dari semua itu, 10 konflik berakar pada ketidakadilan ekonomi. Sementara lima konflik terjadi karena kepentingan politik. Akan tetapi, lanjutnya, beberapa konflik yang terjadi tadi kemudian menggunakan alat agama untuk mendapatkan solidaritas massa. Maka yang terjadi adalah konflik melibatkan antarumat beragama. Padahal itu bukan berdasar pada agama. Oleh Karenanya, JK menekankan pentingnya pendidikan dan pemahaman agama yang menyeluruh kepada masyarakat. Ini agar masyarakat tidak gampang terprovokasi dengan berbagai isu yang tidak jelas kebenarannya. "Terlebih apabila mengandalkan agama sebagai alat untuk solidaritas massa," katanya.7 d. Perbedaan Pemahaman Keagamaan Kota Sorong dihuni oleh masyarakat yang menganut dua agama besar yaitu Islam dan Kristen. Agama Islam berkembang di Sorong selain karena penduduk setempat menganutnya, juga karena kebijakan transmigrasi yang dikembangkan pada jaman orde baru tahun 1973. Untuk penduduk asli dianut oleh suku Kokoda. 8 Untuk kelompok transmigrasi, mencakup kelompok masyarakat dari jawa timur
yang mayoritas beragama Islam didatangkan dalam program
transmigrasi dengan ditempatkan di daerah Kota Sorong yang sebelumnya masih wilayah administrasi Kabupaten Sorong Dewasa ini daerah transmigrasi telah mengalami
perubahan yang besar dengan menjadi kota baru. Kota baru
dimaksud, meliputi kompleks pemukiman Bumi Harapan Indah, dan sekitarnya. Kawasan Bumi Harapan Indah dan sekitarnya dan menjelma menjadi distrik Sorong Timur.
LpsDAm NU Kota Sorong. Yang anggotanya adalah perwakilan aktivis agama muda dari seluruh agama. 7 Lihat. Harian Republika, tanggal 23 April 2011 8 Muh. Rais Amin, Peneliti Soail Keagamaan, Wawancara, tgl. 4 September 2013.
Selain pola transmigrasi perantau yang datang dari luar Kota Sorong yang berupa suku-suku yang secara sosiologis dikenal dengan akronim BBM yaitu Bugis, Buton dan Makassar, juga berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di Kota Sorong. Suku dalam BBM ini mayoritas menganut agama Islam dan mereka ke Sorong dalam rangka peningkatan kesejahteraan atau merantau. Daya tarik mereka ke Kota Sorong, karena didorong oleh semangat kebersamaan di kalangan mereka.
Lalu, di kalangan mereka rasa “panggil
memanggil”
yang dalam
ungkapan bahasa bugis misalnya disebut sioliolli. Ungakapan ini diilhami dengan karakterisitik mereka yang
sebagai wujud dari falsafah mereka. Dalam falsafah
mereka dikenal istilah padaidi padaelo sipatuo sipatokkong.9 Dilihat dari sisi tingkat pemahaman keagamaan dari kalangan BBM atau kelompok pendatang, maka secara umum dapat dinyatakan bahwa mereka lebih memiliki tingkat pemahaman yang tinggi dibanding dengan penduduk asli. Pandangan ini didukung berbagai fakta. Dalam aspek dakwah misalnya, terdapat sejumlah masjid yang besar di Kota Sorong telah melakukan mendatangkan da‘i dari luar Papua untuk berdakwah selama sebulan pada bulan ramadhan. Selain dai, juga mendatangkan imam yang dipersiapkan imam tarawih. Masjid di Kota meliputi masjid Quba, al-Azhar, Raodah, Attaubah. 10 Pada umumnya mereka mendatangkan muballig dan imam dari kalangan suku BBM atau dari pesantren yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.11 Ormas Islam Kota Sorong, misalnya Nahdlatul Ulama telah mengembangkan pola dakwah yang berbasis pada humanistis dan menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan perbedaan secara tajam. 12 Di sinilah peran tokoh agama yang terangkum dalam pemberdayaan lembaga keagamaan untuk dapat selalu menanamkan kepada masyarakat pentingnya menghargai perbedaan pemahaman keagamaan. Hidup di tengah lingkungan yang multikultur, dibutuhkan kearifan menerima perbedaan yang muncul di tengah pergaulan antar kelompok yang heterogen. Kemudian, saling menerima, mengerti dan menghargai perbedaan adalah nilai sosial yang mutlak dimiliki menuju kehidupan ssosial yang harmonis, 9Hamzah
Hasan Khaeriyah, Akdemisi dari etbis Bugis, Wawancara, 1 Sept,mber 2013. Syamduddin Dato, Muballig, Wawancara, 1 September 2013 11 Syamsuddin Dato, Muballig, wawancara, 1 September 2013. 12 Wawancara dengan Ketua tanfiz NU Kota Sorong, tgl 12 Mei 2013. Jam 17.15. 10
di samping menghindari egoisme golongan tertentu. Sehingga kemampuan untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai yang ditanamkan sejak dini kepada masyarakat. Peran Stake Holder Mengantisipasi Potensi Konflik Di Kota Sorong Indonesia merupakan Negara yang plural. Hal tersebut menyebabkan rawan terjadi konflik. Meskipun konflik umumnya bukan semata-mata disebabkan faktor agama saja dan lebih dikarenakan faktor lain seperti politik dan ekonomi namun seringkali konflik inipun masuk ke ranah agama. Sehingga diperlukan upaya untuk harmonisasi kehidupan umat beragama. Demikian pula di Kota Sorong, kondisi pemetaan konflik yang terjadi di kota Sorong. Bukanlah permasalahan yang berasal dari agama, melainkan karena perbedaan kebudayaan, karakter dan pemikiran adanya perbedaan sosial dan ekonomi (kesenjangan). tetapi permasalahan yang pernah terjadi, dikhawatirkan (terkadang-daerah lain) dapat memicu kepada pertentangan antar agama. Olehnya stake holder dalam hal ini pemerintah, adat, tokoh agama, dan masyarakat beragama berperan dalam melakukan harmonisasi antarumat beragama:
Pertama, para da'i (penyeru agama), Tokoh agama, (alim ulama, ustadz, pendeta) Sebagai panutan umat, para da'i hendaknya memaksimalkan transfer nilai-nilai moral universal yang langsung dapat dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Nilai-nilai tersebut harus mampu memberi manfaat bagi masyarakat luas. Artinya, para da'i mampu menjadi motivator sekaligus inspirator lahirnya pengakuan atas keragaman di dalam diri sekaligus di luar dirinya, bukan hanya terbatas golongan seiman dan sealiran saja. Hal ini sejalan dengan kebijakan yang disosialisasikan oleh organisasi masyarakat Islam Nahdhatul Ulama. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Rais bahwa upaya yang mereka lakukan dalam mengantisipasi potensi konflik di Kota Sorong adalah menguatkan kajian keagamaan di setiap majelis zikir yang dilaksanakan setiap minggunya. Hal ini memberikan pemahaman keagamaan kepada warga NU Sorong untuk lebih demokrat cara berfikirnya dengan tetap mengembangkan sikap-sikap toleransi dan menyakini bahwa perbedaan itu sebagai rahmat. Sehingga harapannya semua warga NU dan seluruh masyarakat Muslim tidaklah mudah menyalahkan orang/
kelompok-kelompok tertentu, apakah karena perbedaan etnis dan budaya maupun karena paham keagamaan.13 Pada konteks ini menurut peneliti, seorang muslim perlu melihat orang lain dengan apa adanya, sehingga kehidupan ini dipandang sebagai suatu rajutan kompleks dari berbagai faktor, yang melaluinya harmoni dapat disulam satu sama lain. Kebersamaan dan kepedulian antar sesama secara universal semacam inilah yang akan menjadikan bangsa ini menjadi kuat. Pandangan ini dapat membantu kaum muslim untuk memahami bahwa antara keragaman internal dan eksternal sama kompleksnya. Sejalan dengan pandangan sesama Muslim, saudara kita pun yang dari Non Muslim membenarkan pernyataan tersebut. Menurut Lika seorang aktivis gereja katholik mengatakan, bahwa semua agama itu tidak ada yang mengajarkan kehancuran semuanya mengajarkan kedamaian. Adapun jika terdapat persenggolan terhadap agama lain – harapannya tidak terjadi di Kota Sorong – semua itu karena mereka tidak memahami kasih Tuhan, mereka tidak memahami agama dengan benar, dan tidak mengenal agama lain dengan baik.
Sehingga dia sangat menyambut baik
adanya dialog-dialog antar umat beragama, dialog antar tokoh-tokoh agama baik dari muslim, kristen, katholik, hindu dan budha. Agar mereka saling memahami antar agama satu dengan yang lain. Saling memahami bahwa semua agama mengajarkan kedamaian dan kasih Tuhan. Hal inipun sejalan dengan pernyataan I Gusti selaku Ketua Fordalia (Forum damai lintas Agama). Selaku ketua beliaupun berharap bahwa kedamaian yang sudah terjalin di kota ini bisa terus terjalin, terlebih lagi setelah terbentuknya forum agamawan muda lintas agama yang di harapkan dapat selalu mensosialisasikan kerukunan antar umat beragama.14 Pentingnya peranan tokoh agama dalam menyikapi kondisi kerukunan antar umat beragamapun sangat diakui sumbangsihnya oleh Bapak walikota Sorong, beliau menyatakan dalam dialog FKUB bahwa bahwa kerukunan di Kota Sorong dan Provinsi Papua Barat sangat baik. Hal ini dapat tercipta karena Peran Tokoh Agama yang setiap saat dapat menjaga dan meredam gejolak-gejolak yang timbul setiap saat. Beliau sangat mengapresiasi dan berterima kasih kepada tokoh Agama yang bersama13 14
2013.
Muhammad Rais Amin, Pengurus NU Kota Sorong, wawancara, Sorong, 30 Agustus 2013. Lika, Aktivis muda Gereja Katholik, dan I Gusti, Hindu, wawancara. Sorong, 12 Juni
sama menciptakan kerukunan di Tanah yang kita cintai ini yaitu Sorong.15 Pernyataan ini membuktikan peran aktif tokoh agama sebagai salah satu tokoh sentral dalam “menciptakan” kedamaian dan kesejahteraan serta kerukunan antar umat beragama.
Kedua, para pemeluk agama. Umat patut waspada dan kritis jika menemui tokoh yang menyeru kepada permusuhan atas nama agama. Apalagi dengan ekstrim berdalih demi membela Tuhan. Umat harus sadar bahwa Tuhan tidak butuh pembelaan manusia yang lemah lagi terbatas. Tuhan mencipta manusia di bumi bukan untuk berbuat kerusakan, apalagi sampai menyebabkan lenyapnya nyawa manusia. Keberadaan manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi justru untuk menjaga kelestarian alam semesta. Ketiga, pemerintah. Sebagai pemegang kendali negara, pemerintah wajib memposisikan diri sebagai pengayom bagi setiap warga. Tidak terjebak pada perbedaan warna kulit, ras, agama, dan keyakinan, dan pemerintah mesti memberi perlindungan yang sama terhadap hak-hak warga negara termasuk hak beragama dan berkeyakinan. Dari kutipan kata sambutan bapak walikota yang telah di jelaskan sebelumnya, dapat di yakini bahwa peran pemerintah Kota Sorong sangat menunjang penguatan aspek kerukunan antar umat beragama. Namun kebijakan dan peran pemerintah tentunya juga membutuhkan dukungan setiap aspek masyarakat, khususnya peran tokoh-tokoh agama. Seperti yang telah di jelaskan bahwa pemerintah Sorong, dalam menjaga kerukunan umat beragama dilakukan melalui dua kebijakan. Pertama, strategi memberdayakan tokoh dan umat beragama untuk menyelesaikan masalah agama. Disinilah peran lembaga organisasi keagamaan, seperti halnya Majelis Ulama Indonesia wilayah Sorong, Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Gereja Katolik Indonesia (GKI), Parsadha Hindu Dharama Indonesia (PHDI) wilayah Sorong dan Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI) kota Sorong dan Forum Kerukunan Umat Beragama. Dengan menciptakan dialog-dialog terbuka antar tokoh agama yang mewakili setiap lembaga keagamaan. Kedua, memberi rambu-rambu dalam kerukunan beragama agar tidak terjadi kasus kekerasan agama. Dan salah satu kunci keharmonisan antar umat beragama di Kota Sorong adalah keterbukaan antar sesama pemeluk agama. Keharmonisan antar umat beragama dan saling menghormati antar 15 Sambutan dalam kegiatan Temu Forum Kerukunan Umat Beragama Papua Barat di Sorong, 25 Oktober 2012. Arsip kota Sorong dan arsip Kemenag Papua Barat.
sesama pemeluk agama inilah yang membuat masyarakat Sorong tidak mudah terpancing konflik yang berbau SARA. Kebijakan yang di lakukan oleh pemerintah Sorong, dapat terlihat dari setiap lingkungan masyarakat. Hal ini terjadi, karena perhatian pemerintah tidak hanya sebagai wacana tetapi diwujudkan dalam berbagai bentuk. Mulai dari pembangunan tempat-tempat ibadah secara merata,
adanya sekolah keagaman, tidak hanya
mendorong kebersamaan dan keharmonisan hanya sebatas kata-kata, namun selalu dibuktikan dengan bentuk nyata. Selain itu pula selalu membuka ruang terbuka untuk membina komunikasi yang baik dengan para tokoh agama, pejabat, birokrat, dandim, kapolres, kementerian agama untuk bersama-sama membicarakan berbagai permasalahan di daerah Sorong. Sehingga dengan upaya real yang dilakukan oleh pemerintah, keharmonisan, rasa kebersamaan, dan kekeluargaan masyarakat kota Sorong selalu menciptakan kerukunan antarumat beragama. Sejalan dengan itu pula pemerintah kota Sorong telah berusaha mensosialisasikan kepada masyarakat melalui stakeholder, tokoh agama kebijakan
pemerintah
Indonesia yaitu desain kebijakan kerukunan sebagai salah satu agenda besar bangsa Indonesia saat ini dan ke depan. Yaitu sosialisai kebijakan Kementerian Agama lewat unit Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) telah membuat berbagai program dan strategi yang komprehensif untuk mewujudkan keharmonisan umat beragama. Yang hal inipun telah menjadi kebijakan bagi semua sistem pemerintah, begitu pula pada daerah Kota Sorong Papua Barat. diantaranya adalah: 1) Inovasi dan pemantapan program keharmonisan umat beragama. Sebagai contoh dengan melaksanakan program kegiatan Workshop yang dimaksud untuk memetakan program keharmonisan atau kerukunan umat beragama agar lebih memiliki output yang riil pada masyarakat akar rumput. Program ini disusun berdasarkan pada tugas pokok dan fungsi yang diemban PKUB, kebutuhan riil di lapangan, dan berbagai agenda jangka panjang. Penyusunan akan sesuai dengan kebutuhan nasional sekaligus kebutuhan spesifik di berbagai daerah karena potret permasalah keharmonisan umat dari masingmasing lokasi bisa berbeda. Sejalan dengan pernyataan ketua Forum Damai Lintas Agama, I gusti sebagai ketua menyampaikan bahwa Fordalia telah merencanakan berbagai
kegiatan sosial yang menggerakkan semua agamawan muda lintas agama. Walaupun kegiatan tersebut belum terlaksana, mengingat kesibukan semua pengurus. Namun dari interaksi selama ini dengan pengurus yang terjalin penuh persaudaraan dan kekeluargaan, meyakini bahwa fordalia dan segala rencana kegiatan dapat menjadi menjembatani dan memfasilitasi program harmonisasi di Kota Sorong. 2) Mengupayakan terbentuknya tenaga fungsional pemandu harmonisasi umat. Hal ini diupayakan mengingat paradigma berpikir pembinaan keharmonisan umat beragama mulai bergeser dari arah struktural ke arah fungsional. Arah fungsional dirasakan akan lebih menyentuh masyarakat akar rumput secara langsung, untuk itu maka sangat urgen sekali dibentuknya tenaga pemandu harmonisasi umat sebagai kader-kader penabur keharmonisan umat beragama. 3) Program pengembangan wawasan multikultural. Sejalan dengan pandangan Sosiolog UI Parsudi Suparlan, bahwa multikulturalisme adalah konsep yang mampu
menjawab
multikulturalisme
tantangan
merupakan
perubahan sebuah
zaman
idiologi
yang
dengan
alasan
mengagungkan
perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan agama yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Sehingga multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan, termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Senada dengan hal tersebut, PKUB memandang bahwa pendidikan multikultural merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya besar untuk menumbuhkan keharmonisan umat beragama dalam ruang kebangsaan. Untuk itu telah dan akan digulirkan berbagai program pengembangan wawasan multikultural, mulai dari pendidikan multikultural bagi anak-anak, penyiar agama, tokoh agama, guru agama, maupun berbagai pihak yang memiliki posisi strategis sebagai agen keharmonisan umat. Demikian pula di Kota Sorong, saat ini semakin di gencarkannya program pendidikan
multikultural dalam setaip proses pembelajaran di setiap tingkat sekolah, baik itu dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Mengingat pendidikan merupakan medium enkulturasi dan kohesi sosial. Dengan harapan, adanya pendidikan multikultural di sekolah dapat menjembatani rasa kesatuan akan fenomena keberagaman yang terdapat di Kota Sorong. 4) Menggali berbagai kearifan lokal penopang harmonisasi. Keharmonisan umat beragama yang dibangun antar berbagai kelompok salah satunya terwujud karena adanya kearifan lokal di masing-masing daerah di Indonesia berdasarkan
kesepakatan
anggota
masyarakat
dalam
menyelesaikan
perselisihan yang ada. Dalam berbagai kasus yang terjadi, ternyata kearifan lokal telah mampu menyelesaikan masalah secara lebih efektif guna terwujudnya harmonisasi yang mantap. Begitu pula dengan kearifan lokal yang ada di Kota Sorong Papua Barat. Kota Sorong yang di huni oleh berbagai macam suku oleh masyarakat pribumi Papua, sangat mengagungkan kearifan lokal budaya dan leluhur nenek moyang mereka dengan “persaudaraan” dan “kekeluargaan”. Kearifan lokal ini sangat menguatkan ikatan persaudaraan mereka sebagai satu suku. Menyadari besarnya kearifan lokal dalam menjaga harmonisasi umat beragama, PKUB telah dan akan terus mengadakan kegiatan penggalian dan reaktualisasi kearifan lokal yang dituangkan dalam program workshop faktor perekat kerukunan dan harmonisasi umat. 5) Pemberdayaan FKUB
melalui kemitraan aktif. Jalinan PKUB dengan
berbagai ormas keagamaan, Majelis agama, maupun tokoh-tokoh agama sudah terbentuk sedemikian baiknya. PKUB memandang bahwa tokoh agama maupun lembaga agama merupakan mitra strategis untuk menegakkan harmonisasi umat kota Sorong. FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) sebagai mitra kerja PKUB yang berada di seluruh provinsi Indonesia memiliki peran strategis untuk mengharmoniskan umat beragama sekaligus untuk memberdayakan umat beragama. Fungsi dan peran FKUB yang strategis tersebut perlu dioptimalkan dan didinamiskan supaya memiliki kontribusi nyata bagi keharmonisan umat beragama.
6) Pendekatan terhadap penganut faham radikal dan liberal. Berkembangnya berbagai pemikiran keagamaan radikal dan liberal di Indonesia akan mewarnai geliat keharmonisan umat beragama. Warna dan pengaruh yang dibawa dan ingin diterapkan di negara yang banyak didominasi kultur keagamaan moderat jelas akan menimbulkan berbagai perentangan. Mewaspadai hal tersebut maka PKUB memiliki tugas pokok dan fungsi baru untuk melakukan pendekatan terhadap pihak yang berhaluan pemikiran radikal dan liberal. 7) Optimalisasi media. Peran media baik cetak maupun elektronik dalam mengupayakan penyebaran suatu pemikiran, dan gagasan sangat vital. Oleh karena itu, FKUB akan terus menggunakan media dimaksud untuk menyebarkan berbagai program dan gagasan multikultural agar cepat "meruang" secara lebih luas. Media cetak yang digunakan adalah dengan secara rutin menerbitkan jurnal dan leaflet kerukunan, melakukan kerja sama aktif dengan sejumlah harian nasional dan daerah. sedangkan media elektronik telah melakukan kerja sama pengembangan wawasan multikultural dengan berbagai stasiun televisi diantaranya TVRI. Penutup Akhirnya apapun yang ingin dicapai melalui program-program peningkatan keharmonisan umat beragama sesungguhnya adalah suasana kondusif dalam suatu konteks berbangsa dan bernegara dalam realitas masyarakat yang plural. Agama apa pun yang dianut masyarakat akan berlaku pada kehidupan berbangsa dan bernegara bila memang pelaksanaan ajaran agama tersebut dijiwai dan diamalkan dengan benar. Sehingga
kebersamaan,
keharmonisan
dan
kerukunan
untuk
memajukan
kesejahteraan masyarakat lahir dan batin dapat selalu terjalin di Kota Sorong.
Daftar Pustaka Data BPS Prov. Papua Barat. tahun 2012. Data Kemenag Kota Sorong tahun 2012. Harian Republika, tanggal 23 April 2011 I Gusti, Ketua Forum Damai Lintas Agama (FORDALIA). Forum ini di bentuk sebagai tindak lanjut kegiatan Diskusi Agamawan Muda Lintas Agama di Kota Sorong, yang dilaksanakan oleh LAKPESDAM NU Kota Sorong. Jamilah Macap, Aktifis Perempuan Muslim Papua, wawancara, Agustus 2013. Lika, Aktivis muda Gereja Katholik, dan I Gusti, Hindu, wawancara. Sorong, 12 Juni 2013. Muhammad Rais Amin, Peneliti Soail Keagamaan, Wawancara, tgl. 4 September 2013. ------------------------------, Ketua LAKPESDAM NU Kota Sorong, “Wawancara”, di Sorong, tanggal 30 Agustus 2013. Hamzah Hasan Khaeriyah, Akdemisi dari etbis Bugis, Wawancara, 1 Sept,mber 2013. Rikwanto, Kadis Intel Polres kota Sorong, wawancara, Rabu 10 Juli 2013. Syamduddin Dato, Muballig, Wawancara, 1 September 2013 KH. Supran M.Rofiq,( Ketua tanfiz NU Kota Sorong) “Wawancara”, tanggal 12 Mei 2013.