perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERAN DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LIBYA SEBAGAI PELAKSANAAN FUNGSI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN DAN KEAMANAN INTERNASIONAL
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh: LISA KARISMAWATIE NIM: E0008057
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama : Lisa Karismawatie NIM
: E0008057
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: PERAN DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LIBYA SEBAGAI PELAKSANAAN FUNGSI PEMELIHARAAN PERDAMAIAN DAN KEAMANAN INTERNASIONAL adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Agustus 2012 yang membuat pernyataan,
Lisa Karismawatie NIM. E0008057
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Lisa Karismawatie, E0008057. Peran Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik Libya sebagai Pelaksanaan Fungsi Pemeliharaan Perdamaian dan Keamanan Internasional. Penulisan Hukum (Skripsi). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya dan menjelaskan tindakantindakan yang telah dilakukan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya sebagai upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Penulisan hukum ini termasuk dalam penulisan hukum normatif yang bersifat preskriptif. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan adalah Piagam PBB, Konvensi Den Haag IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil, dan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan terhadap Korban Konflik Bersenjata Internasional tahun 1977. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku, junal-jurnal dan perdapat para sarjana yang berkaitan dengan kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah dengan mengkaji bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik analisis yang digunakan dengan metode deduksi. Hasil penelitian menyatakan bahwa keterlibatan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya merupakan hal yang legal. Hal ini dikarenakan konflik Libya dikategorikan sebagai situasi yang mengganggu perdamaian dan keamanan internasional. Tindakan pertama dalam penyelesaian konflik Libya, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1970, yang berisikan tentang pengajuan penyelesaian konflik kepada Mahkamah Pidana Internasional sekaligus pemberian sanksi ekonomi kepada Libya. Tindakan kedua dalam penyelesaian konflik Libya, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1973, sebagai sanksi ekonomi dan juga keputusan untuk memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil. Kata Kunci: Konflik Libya, Dewan Keamanan PBB, Penyelesaian Sengketa
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Lisa Karismawatie, E0008057. The Role of UN Security Council on The Settlement of Libya Conflict as Implementation of The Function as The Maintanance of International Peace and Security. Legal Writing. Law Faculty of Sebelas Maret University. 2012. The aim of this research are to describe the authority of UN Security Council on the settlement of Libya conflict and to explain enforcement measures of UN Security Council on the settlement of Libya conflict as effort to maintain international peace and security. This research is a normative legal research which is prescriptive in nature. The law materials are primary and secondary. The primary materials are United Nation Charter, Convention (IV) Respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex : Regulation Concerning the Laws and Customs of War on Land, Geneva Convention (IV) Relative to the Protection of Civilians Persons in Time of War, and Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949 and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts. The secondary materials are books, journals, and doctrine related with authority of UN Security Council on the settlement of conflict. The technique of collecting data is reviewing primary and secondary of law materials. The technique of analyzing data is deductive method. The result of research shows involvement of UN Security Council on the settlement of Libya Conflict is legal, because Libya conflict is categorized as a threat situation to the international peace and security. As the first enforcement measure, UN Security Council adopted Resolution 1970 as economic sanction and referral Libya conflict to International Criminal Court. As the second enforcement measure, UN Security Council adopted Resolution 1973 as economic sanction and protection to civilians. Keywords: Libya Conflict, UN Security Council, Dispute Settlement
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Allah tidak akan memaksakan sesuatu kepada seseorang, kecuali kekuatan yang ada padanya. (Q.S Al Baqarah :286)
Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah (Thomas Alva Edison)
People are successful have learned to make themselves do things to be done when it had be done, whether they like it or not (Aldus Huxley)
Just keep dreaming, doing, fighting, and praying.
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan dan kebanggaan hati, saya persembahkan skripsi ini kepada: Ayahku Hasil Abdul Rais dan Mamahku Kartini sebagai orang tua terhebat Kakak-kakak dan keponakan-keponakanku tersayang yang tidak bisa disebutkan satu-persatu Para pembimbing skripsiku yang telah membimbing Sahabat-sahabat serta Almamaterku Pihak yang telah membantu penulisan penelitian ini
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke-hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “PERAN DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LIBYA SEBAGAI PELAKSANAAN FUNGSI
PEMELIHARAAN
PERDAMAIAN
DAN
KEAMANAN
INTERNASIONAL” ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam setiap proses penyelesaian penulisan hukum (skripsi) ini tidak akan terlaksana dengan lancar tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih dengan segala kerendahan hati, dan semoga kebaikan pihak-pihak yang telah membantu akan dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Terima kasih saya haturkan kepada: 1.
Ibu Prof. Dr. Hartiwingsih, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah mengorbankan segenap tenaga dan pikiran demi kemajuan Fakultas Hukum UNS;
2.
Bapak Sutapa Mulya Widada, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memotivasi penulis agar selalu bersemangat memperbaiki prestasi akademik;
3.
Ibu Sri Lestari Rahayu, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum UNS dan Pembimbing I Penulisan Hukum (skripsi) yang telah memberikan ilmu, tenaga, dan waktu untuk diskusi, membimbing, dan memotivasi penulis dalam proses penyelesaian penulisan hukum ini;
4.
Ibu Sasmini, S.H., LL.M. Selaku Pembimbing II Penulisan Hukum (skripsi) yang telah memberikan motivasi, waktu diskusi, dan bimbingan sehingga penulis memperoleh banyak pengetahuan baru terkait penulisan ini;
5.
Dosen-dosen Fakultas Hukum UNS atas segala ilmu, wawasan, dan pelajaran yang telah diberikan kepada penulis; commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
6.
digilib.uns.ac.id
Ayah dan Mamah sebagai orang tua terhebat atas semua doa, motivasi, dan limpahan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.
7.
Kakak–kakakku dan keponakan-keponakanku tersayang yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas doa, motivasi, dan limpahan kasih sayang selama ini. Especially for Disa Masnasiltie, Thank you so much for your help !
8.
Sahabat-sahabat terbaikku Deyandri, Ilma, Fanny, Fatia, Fafa, Muti, Siska, Puspa, Rizka, Uci, Meis atas semua doa, motivasi dan persahabatan yang terjalin selama ini.
9.
Teman-teman magang Kementrian Luar Negeri dan teman seperjuangan skripsi Mba dina, Ali, Aci, Ira, Putri, Rani, Shelma, Tumar, just keep moving and fighting guys !
10. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum UNS 2008 especially for Agnane, Very, Radit, Dedi, Dimas, Upi, Guntur thank you for everything. 11. Keluarga besar Kos Puspa Asri dan DP 2 Isna, Sharin, Haris, Lia, Lintang, Mba Iyah, Ayu, Wulan, Lindut, Mayang atas semua motivasi dan kesediaannya untuk mendengar semua keluh kesah skripsiku. 12. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis selama penulis menyelesaikan pendidikan di Solo. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya tulis ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Surakarta, Agustus 2012
Penulis
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ..............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................
iii
PERNYATAAN....................................................................................................
iv
ABSTRAK ............................................................................................................
v
ABSTRACT ..........................................................................................................
vi
HALAMAN MOTTO ...........................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...........................................................................
viii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
ix
DAFTAR ISI .........................................................................................................
xi
DAFTAR BAGAN ...............................................................................................
xiii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
1
B. Perumusan Masalah ........................................................................
4
C. Tujuan Kegiatan ..............................................................................
5
D. Manfaat Kegiatan ............................................................................
5
E. Metode Penelitian............................................................................
6
F. Sistematika Penulisan Hukum ........................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori................................................................................
11
1. Tinjauan Umum Tentang PBB ......................................................
11
a. Sejarah PBB ..............................................................................
11
b. Tujuan dan Prinsip PBB ...........................................................
12
c. Organ Utama PBB ....................................................................
13
2. Tinjauan Umum Dewan Keamanan PBB .....................................
17
3. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional ...
23
a. Pengertian Sengketa Internasional ............................................ commit to user
23
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Cara-cara Penyelesaian Sengketa Internasional .......................
24
4. Konflik Bersenjata di Libya ..........................................................
29
a. Pengertian Konflik Bersenjata ..................................................
29
b. Pengaturan Konflik Bersenjata .................................................
32
c. Konflik Libya 2011 ..................................................................
34
B. Kerangka Pemikiran ........................................................................
37
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik Libya ..............................................................................................
39
1. Status Konflik Bersenjata di Libya.................................................
39
2. Kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik Libya .……………………………………..………….
48
B. Tindakan Nyata Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik Libya ..................................................................................
54
BAB V PENUTUP A. Simpulan .........................................................................................
64
B. Saran ................................................................................................
65
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
66
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR BAGAN Bagan 1 …………………………………………………………………………
commit to user xiii
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Konflik Libya merupakan konflik
yang muncul karena adanya
pertentangan antara keinginan rakyat dengan pemerintah untuk menurunkan Moamar Qaddafi sebagai Presiden Libya. Keinginan rakyat untuk menurunkan Moamar Qaddafi disebabkan oleh tindakan semena-mena Moamar Qaddafi selama 42 tahun menjadi Presiden Libya, yaitu sejak tahun 1969-2011. Tindakan semena-mena tersebut menimbulkan kebencian mendalam rakyat Libya terhadap Moamar Qaddafi. Konflik Libya telah menambah catatan panjang krisis yang melanda dua negara di timur tengah sebelumnya yaitu Tunisia dan Mesir. Gerakan pemberontakan di Tunisia dimulai pada Desember 2010. Pemberontakan ini dimaksudkan untuk menurunkan Ben Ali yang telah menjabat sebagai Presiden selama 24 tahun. Selama kepemimpinannya yang berlangsung sejak tahun 1987 berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi. Selain banyaknya pelanggaran HAM, Tunisia menjadi negara yang dilanda krisis pangan dan lapangan pekerjaan yang sulit (Abdul Syukur, 2011: 93). Tunisia menjadi negara yang tidak memiliki kebebasan berserikat. Organisasi masyarakat Tunisia, media cetak maupun elektronik tidak mempunyai kewenangan untuk menyampaikan pendapat atau kritik kepada pemerintah (Maria Cristina Paciello, 2011: 1). Berbagai permasalahan yang melanda Tunisia menjadi faktor utama terjadinya pemberontakan di Tunisia, yang berujung mundurnya Ben Ali dari kursi pemerintahan. Sedangkan pemberontakan rakyat Mesir dimulai pada akhir Januari 2011. Selama kepemimpinannya, Hosni Mubarak menumpuk kekayaan di tengah krisis yang melanda Mesir. Berdasarkan catatan situs Daily Telegraph, kekayaan Hosni Mubarak ditaksir mencapai 20 miliar poundsterling atau sekitar 287 miliar rupiah, yang disimpan disejumlah bank di Swiss, Amerika Serikat dan Inggris (Abdul commit to user Syukur, 2011: 98). Kemiskinan, pengangguran, korupsi yang merajalela,
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
pemerintahan yang otokrasi dan masa kepemimpinan Hosni Mubarak yang terlalu lama membuat rakyat Mesir melakukan pemberontakan untuk mendapatkan perubahan. Selain faktor-faktor tersebut, pemberontakan rakyat Mesir juga dipicu oleh gerakan pro demokrasi pada tahun 2005 yang dipimpin oleh Kefaya (Sundhus Balata, 2011: 61). Setelah hampir 18 hari Mesir mengalami pergejolakan, akhirnya Hosni Mubarak memilih untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Keberhasilan Tunisia dan Mesir untuk munurunkan Ben Ali dan Hosni Mobarak dari jabatannya sebagai Presiden memotivasi rakyat Libya untuk bangkit melawan rezim pemerintahan Moamar Qaddafi. Selain hal itu, keberadaan Tunisia dan Mesir yang berbatasan langsung dengan Libya langsung mendorong Libya untuk melakukan pemberontakan (Apriadi Tamburaka, 2011: 271). Hal ini dikenal dengan teori domino, yaitu fenomena perubahan berantai berdasarkan prinsip geopolitik dan geo-strategis (Apriadi Tamburaka, 2011: 271). Moamar Qaddafi telah memimpin Libya selama 42 tahun, yaitu sejak tahun 1969-2011. Selama kepemimpinannya, ia dan keluarga menguasai berbagai sektor ekonomi strategis. Selain itu kebijakan totaliter yang ia keluarkan dinilai melecehkan demokrasi dan kebebasan (Abdul Syukur, 2011: 106-107). Kemiskinan dan tidak adanya kebebasan untuk mengeluarkan pendapat menimbulkan rasa benci yang mendalam terhadap Moamar Qaddafi. Hal inilah yang menjadi faktor utama timbulnya pemberontakan di Libya. Konflik Libya dimulai pada pertengahan Februari 2011, tepatnya pada 15 Februari 2011 di Bhegazi, Libya. Konflik ini dimulai dengan demonstrasi oleh sekitar 200 orang di depan markas polisi Bhegazhi yang bertambah hingga mencapai 500 sampai 600 orang (Apriadi Tamburaka, 2011: 227). Pihak oposisi berhadapan langsung dengan pihak pro Moamar Qaddafi yang memiliki kekuatan persenjataan. Pada awal konflik kekuatan antara pihak oposisi dengan pihak pro Moamar Qaddafi tidak seimbang. Pihak pro Moamar Qaddafi memiliki persenjataan canggih untuk melawan pihak oposisi. Seperti yang dilaporkan oleh beberapa media dan LSM bahwa pemerintah sebagai pihak pro Moamar Qaddafi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
menggunakan tank, senapan mesin, dan seorang penembak jitu untuk melawan pihak oposisi (Mehrdad Payandeh, 2011: 18). Pihak oposisi terus menuntut agar Moamar Qaddafi turun dari jabatannya sebagai Pressiden Libya, tetapi Moamar Qaddafi terus melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan jabatannya. Moamar Qaddafi mulai mempekerjakan tentara bayaran Afrika yang sebagian besar dari Chad untuk mendukung pasukannya. Selain itu, pihak pro Moamar Qaddafi menembaki para demonstran anti pemerintah (Apriadi Tamburaka, 2011: 229). Tindakan tersebut menimbulkan korban baik dari pihak oposisi, pro Moamar Qaddafi, dan penduduk sipil. Berdasarkan data Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia, korban konflik Libya pada Maret 2011 mencapai 3000 jiwa (Apriadi Tamburaka, 2011: 237). Serangan radikal terhadap pihak oposisi membuat para pejabat pemerintahan Libya memilih untuk mengundurkan diri dari kekerasan rezim Moamar Qaddafi. Tindakan tersebut juga diikuti oleh para pasukan militer yang menolak untuk menyerang penduduk sipil (Mehrdad Payandeh, 2011: 18). Para pendukung Moamar Qaddafi memilih mundur dari peperangan melawan pihak oposisi, dan lebih memilih mendukung pihak oposisi untuk melawan Moamar Qaddafi. Dunia internasional mendesak Dewan Keamanan PBB untuk melakukan tindakan sebagai upaya perlindungan penduduk sipil. Perlunya tindakan dari Dewan Keamanan PBB dalam konflik Libya, dikarenakan konflik Libya telah mengganggu stabilitas perdamaian dan keamanan dunia. Tindakan nyata Dewan Keamanan PBB sebagai upaya untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional serta penyelesaian konflik adalah dengan mengeluarkan resolusi. Terkait dengan konflik Libya, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1973 pada 17 Maret 2011. Resolusi 1973 merupakan keputusan yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB mengenai larangan terbang di atas wilayah Libya sebagai upaya perlindungan penduduk sipil. Larangan terbang di atas wilayah Libya dikecualikan untuk penerbangan kemanusiaan atau evakuasi warga negara asing. Selain penetapan larangan terbang di atas wilayah Libya, paragraph 4 commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Resolusi 1973 menetapkan kepada negara-negara anggota untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi penduduk sipil. Resolusi
1973
yang
dikeluarkan
oleh
Dewan
Keamanan
PBB
mengakibatkan adanya keterlibatan pihak asing masuk konflik Libya. Adanya keterlibatan pihak asing dalam konflik Libya disebabkan oleh ketentuan dari Resolusi 1973 yang menetapkan kepada negara-negara anggota PBB untuk melakukan tindakan perlindungan penduduk sipil. Bentuk perlindungan penduduk sipil yang dilakukan oleh negara-negara barat adalah dengan pemberian bantuan persenjataan kepada pihak oposisi. Pada 19 Maret 2011 negara-negara barat mulai memberikan bantuan persenjataan kepada pihak oposisi. Selain itu, negara-negara barat mulai melucurkan rudal pada sistem pertahanan udara Libya dan unit-unit militer Libya di luar Beghazi (Mehrdad Payandeh, 2011: 25). Berdasarkan uraian di atas diperlukan sebuah kajian mendalam mengenai peran Dewan Keamanan PBB dalam konflik Libya adalah sebagai organ utama PBB yang mempunyai kekuatan lebih dibandingkan dengan organ utama lainnya, Dewan Keamanan PBB mempunyai tugas dan fungsi untuk membuat rekomendasi penyelesaian sengketa secara damai dan mengambil tindakan terhadap kegiatan yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Sehingga keterlibatan Dewan Keamanan PBB dibutuhkan dalam penyelesaian konflik Libya sebagai konsekuensi dari tanggung jawab utamanya untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Bertolak dari pemaparan, penulis telah menyusun dan mengkaji lebih mendalam mengenai peran Dewan Keamanan PBB dalam konflik Libya melalui penulisan hukum yang berjudul: “PERAN DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN KONFLIK LIBYA SEBAGAI PELAKSANAAN FUNGSI
PEMELIHARAAN
PERDAMAIAN
DAN
KEAMANAN
INTERNASIONAL”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang, masalah yang diajukan dalam commit to user penelitian ini adalah:
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Apakah kewenangan yang dimiliki
Dewan Keamanan PBB dalam
penyelesaian konflik Libya? 2. Tindakan-tindakan apakah yang dilakukan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya sebagai upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional?
C. Tujuan Penelitian Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, yaitu : 1. Tujuan Objektif a. Mendeskripsikan kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian sebuah konflik negara khususnya Libya. b. Menjelaskan tindakan-tindakan yang telah dilakukan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya sebagai upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. 2. Tujuan Subjektif a. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang Hukum Internasional khususnya tentang peran Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik suatu negara. b. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar S1 dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan di bidang ilmu pengetahuan itu sendiri ataupun ilmu pengetahuan lainnya. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain : 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada ilmu pengetahuan di bidang hukum secara umum dan hukum humaniter internasional secara khusus. commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan mengenai peran Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya serta dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006:35). Sisi normatif dari penelitian ini adalah menemukan norma/aturan dasar yang mengatur mengenai kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam menjalankan fungsi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, serta peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB sebagai tindakan dalam penyelesaian konflik Libya. 2. Sifat Penelitian Penelitian hukum ini bersifat preskriptif. Penelitian hukum preskriptif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 35). Sifat preskriptif dalam penelitian ini adalah untuk menghasilkan argumen tentang peran Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik suatu negara khususnya konflik yang melanda Libya. 3. Pendekatan Penelitian Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-dotrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrindoktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti untuk membangun suatu argumentasi dalam memecahkan isu yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2006: 95). Pendekatan konseptual digunakan untuk mengkaji kategorisasi konflik Libya menurut Hukum Humaniter Internasional. Pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki,2006:93). Pendekatan perundang-undangan melalui Piagam PBB digunakan untuk mengkaji kewenangan dan tindakan nyata Dewan Keamanan PBB sebagai upaya penyelesaian konflik Libya. 4. Sumber Penelitian Hukum Penelitian hukum ini menggunakan dua bahan hukum yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas, yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2006:141). a. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) United Nation Charter (Piagam PBB) 2) Convention (IV) Respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex: Regulations Concerning the Laws and Customs of War on Land (Konvensi Den Haag IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat) 3) Geneva Convention (IV) Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War (Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan terhadap Penduduk Sipil) 4) Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I/1977) (Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949, tentang
Perlindungan
terhadap
Internasional tahun 1977) commit to user
Korban
Konflik
Bersenjata
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah bukubuku, jurnal-jurnal, pendapat para sarjana yang berkaitan dengan kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik suatu negara. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum penelitian ini adalah studi kepustakaan. Pada penelitian ini penulis mengkaji dan mempelajari Piagam PBB, Konvensi Den Haag IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan terhadap Penduduk Sipil, dan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949, tentang Perlindungan terhadap Korban Konflik Bersenjata Internasional tahun 1977 sebagai bahan hukum primer. Penulis juga mengkaji dan mempelajari bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku, jurnal-jurnal, serta pendapat para sarjana yang berkaitan dengan kewenangan dan tindakan nyata Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik suatu negara. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode deduksi. Penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor yakni aturan-aturan hukum yang kemudian diajukan premis minor yakni fakta-fakta hukum, yang kemudian ditarik suatu kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2006:47). Premis mayor dalam penelitian ini adalah Piagam PBB sebagai norma atau aturan dasar yang mengatur mengenai kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam menjalankan fungsi untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Premis minor dalam penelitian ini adalah kewenangan dan tindakan nyata Dewan Keamanan PBB sebagai upaya penyelesaian konflik Libya. Kemudian kedua premis tersebut ditarik kesimpulan mengenai peran Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya.
commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup serta dilengkapi daftar pustaka. Ada pun sistematika penulisan hukum sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang penulisan hukum terkait dengan munculnya konflik Libya yang telah mengganggu perdamaian dan keamanan internasional dan perlunya dilakukan sebuah penelitian terkait peran Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik tersebut. Bab ini juga menguraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menjelaskan bahan kepustakaan yang digunakan berupa teori-teori pendukung penelitian dan pembahasan masalah penelitian. Bab ini dibagi ke dalam dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kajian teoritis dalam tinjauan pustaka meliputi : (1) Tinjauan Umum tentang PBB, yang terdiri dari sejarah PBB, tujuan dan prinsip PBB, dan organ-organ utama PBB ; (2) Tinjauan Umum tentang Dewan Keamanan PBB; (3) Tinjauan Umum tentang Penyelesaian Sengketa Internasional yang terdiri dari pengertian sengketa internasional dan cara-cara penyelesaian sengketa internasional ; dan (4) Konflik Bersenjata di Libya, yang terdiri dari pengertian konflik bersenjata, pengaturan konflik bersenjata, dan konflik Libya 2011.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menyajikan jawaban dari rumusan masalah berupa hasil penelitian sekaligus pembahasan terkait kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya, dan tindakan nyata Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya. commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV
: PENUTUP Bab ini menjelaskan simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh dari analisis yang bersumber pada hukum internasional maupun konsep dalam hukum humaniter internasional. Bab ini juga berisikan saran yang dapat diambil dari simpulan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang PBB a. Sejarah PBB Perserikatan internasional
yang
Bangsa-Bangsa dibentuk
(PBB)
akibat
merupakan
organisasi
ketidakmampuan
organisasi
pendahulunya yakni Liga Bangsa-Bangsa (LBB) untuk menjaga dan memelihara perdamaian dan keamanan dunia. Pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914-1919 merupakan saat-saat yang penting bagi tumbuhnya organisasi internasional. Pasca Perang Dunia I muncul gagasan untuk mendirikan organisasi internasional yang dapat menyelesaikan persoalanpersoalan masyarakat internasional yang timbul pada waktu Perang Dunia I. Gagasan ini diajukan oleh pemikir-pemikir dari Inggris dan Amerika Serikat. Akhirnya pada tanggal 10 Januari 1920 lahirlah konvenen LBB sekaligus perjanjian perdamaian untuk mengakhiri Perang Dunia I (Sri Setianingsih Suwardi, 2004: 237). Berdirinya LBB sebagai organisasi internasional untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia, tidak menjadikan keadaan dunia benarbenar aman. Sebaliknya, di mata negara-negara anggota LBB tidak memiliki wibawa. Pekerjaan LBB tidak berjalan lancar, yang pada akhirnya pecahlah Perang Dunia II pada tahun 1939-1945 (Safril Djamain, 1993: 5-7). Beberapa peristiwa menunjukan ketidakefektifan LBB untuk mencegah terjadinya Perang Dunia II, seperti invansi yang dilakukan Jepang ke Manchuria pada 18 September 1931 yang kemudian berlanjut kepada China pada 7 Juli 1937. Selain itu serangan Italia ke Ethiopia pada 2
Oktober
1935,
juga
memicu
pecahnya
(http://www.ushmm.org/, diakses 14 Agustus 2012). commit to user
11
Perang
Dunia
II
perpustakaan.uns.ac.id
12 digilib.uns.ac.id
Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945 tidak menjadikan keadaan dunia menjadi lebih aman dan damai. Dunia mulai dihadapkan dengan kehidupan manusia yang mengenaskan akibat pecahnya Perang Dunia II. Keadaan ini membuat para pemikir untuk mendirikan organisasi internasional yang lebih sempurna yang bersifat universal. Sebagai perwujudannya lahirlah Piagam Atlantik yang berisi pokok-pokok rumusan perdamaian, yang sekaligus mendasari Deklarasi Bangsa-Bangsa sedunia. Deklarasi Bangsa-Bangsa sedunia memerlukan penyempurnaan, yang akhirnya melahirkan Piagam PBB (Safril Djamain, 1993: 9-10). Piagam PBB disusun menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Piagam PBB disusun oleh 50 wakil negara yang mengadakan pertemuan dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai organisasi internasional di San Fransisco pada 25 April – 26 Juni 1945. Pada 26 Juni 1945, Piagam PBB dicetuskan dan ditandatangani oleh 50 negara yang ikut dalam konferensi (PBB, 1995: 4). Pengesahan Piagam PBB secara resmi terjadi pada tanggal 24 Oktober 2945, yang dinyatakan juga sebagai hari lahirnya PBB (Safril Djamain, 1993: 9-10). b. Tujuan dan Prinsip-prinsip PBB Sebagai organisasi internasional sudah pasti PBB mempunyai tujuan dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan dan prinsip-prinsip tersebut dimuat dalam Pasal 1 dan 2 Piagam PBB (Sri Setianingsih Suwardi, 2004: 269-270): Pasal 1 Piagam PBB memuat tujuan PBB, yaitu: 1) Memelihara perdamaian dan keamanan internasional; 2) Mengembangkan hubungan persahabatan antarbangsa berdasarkan prinsip-prinsip persamaan derajat; 3) Mencapai kerja sama internasional dalam memecahkan persoalan internasional di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan serta masalah kemanusiaan, hak-hak asasi manusia; dan 4) Menjadi pusat bagi penyelenggaraan segala tindakan-tindakan bangsacommit user bangsa dalam mencapai tujuantobersama.
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 2 Piagam PBB memuat prinsip-prinsip PBB, yaitu: 1) PBB berdasarkan asas persamaan kedaulatan semua anggotanya; 2) Kewajiban untuk memenuhi kewajiban-kewajiban sesuai dengan apa yang tercantum dalam Piagam; 3) Setiap perselisihan harus diselesaikan secara damai agar perdamaian dan keamanan tidak terancam; 4) Mempergunakan
kekerasan
terhadap
intergritas
wilayah
atau
kemerdekaan politik suatu negara harus dihindarkan; 5) Kewajiban untuk membantu PBB terhadap tiap kegiatan yang diambil sesuai dengan Piagam dan larangan membantu negara dimana negara tersebut oleh PBB dikenakan tindakan-tindakan pencegahan dan pemaksaan; 6) Kewajiban bagi negara bukan anggota PBB untuk bertindak sesuai dengan Piagam apabila dianggap perlu untuk perdamaian dan kemanan internasional; dan 7) PBB tidak akan ikut campur tangan dalam masalah persoalan dalam negeri dari negara anggotanya. c. Organ Utama PBB 1) Majelis Umum (General Assembly) Majelis Umum merupakan organ utama PBB dimana semua negara anggotanya menjadi wakilnya, dimana setiap negara anggota dapat mengirimkan wakilnya di Majelis Umum tidak boleh melebihi lima orang. Ketentuan ini dimuat dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) Piagam PBB (Sri Setianingsih Suwardi, 2004:280). Tugas dan kewenangan Majelis Umum diatur dalam Bab IV Pasal 10-17 Piagam PBB. Majelis Umum mempunyai tujuh komite utama yang bertugas untuk membahas agenda-agenda internasional. Setiap negara anggota PBB mempunyai hak untuk mengirimkan wakilnya untuk menempati salah satu komite tersebut (David Cushman Coyle, 1969:175). commit to user Ketujuh komite tersebut antara lain Komite Perlucutan Senjata dan
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Masalah Keamanan Internasional Terkait, Komite Politik Khusus, Komite Masalah Ekonomi dan Keuangan, Komite Masalah Sosial, Kemanusiaan, dan Kebudayaan, Komite Masalah Dekolonisasi, Komite Masalah Adminitratif dan Anggaran, serta Komite Masalah Hukum (PBB, 1995: 12). 2) Dewan Keamanan PBB Dewan Keamanan PBB merupakan organ utama PBB yang beranggotakan 15 negara anggota, yang terdiri dari 5 negara tetap dan 10 negara tidak tetap. Lima negara tetap ini adalah Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris, dan Prancis. Kelima negara tersebut memilki hak untuk membatalkan atau menolak suatu keputusan yang disebut dengan hak veto (Safril Djamain, 1993: 20). Dewan Keamanan PBB memiliki tugas dan kewenangan yang diatur dalam Bab VII Pasal 3951 Piagam PBB, yang secara rinci akan dibahas pada tinjauan umum tentang Dewan Keamanan PBB. 3) Sekretariat Sekretariat merupakan organ utama PBB yang dikepalai oleh seorang Sekretariat Jenderal (Sekjen). Tugas dan wewenang Sekretaris Jendral menurut Piagam PBB antara lain (Sri Setianingsih Suwardi, 2004: 300-303) : a) Sebagai kepala sekretariat PBB, Sekjen mempunyai tugas untuk mempersiapkan tugas-tugas kesekretariatan yang penting dan diperlukan
untuk
sidang-sidang
Majelis
Umum,
Dewan
Keamanan PBB, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwalian, dan Badan-Badan Khusus yang dibentuk oleh PBB. Selain itu, sekretariat mempunyai tugas untuk membuat laporan tahunan hasil kerja PBB ke Majelis Umum. b) Sebagai kepala eksekutif, Sekjen PBB mewakili PBB dalam hubungan dengan negara anggota. Selain itu, Sekjen juga menerima tugas-tugas khusus dari Majelis Umum atau Dewan commit user dalam resolusi-resolusi. Keamanan PBB PBB yangtotertuang
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Sebagai
koordinator
dalam
tugas-tugas
PBB,
Sekjen
melaksanakan tugas dan mengkoordinasikan kegiatan dan kebijakan yang telah ditetapkan PBB. d) Sekjen dapat meminta perhatian Dewan Keamanan PBB mengenai
suatu
hal
yang
menurut
pendapatnya
dapat
membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Sekjen dapat juga berperan sebagai mediator atau dengan secara harfiah dapat diartikan peran jasa baik atas kapasitas Sekjen PBB dalam penyelesaian konflik internasional. Keberhasilan tugas dan fungsi Sekjen sangat banyak tergantung pada kepemimpinan, intelekrualitas, dan berani mengambil keputusan yang sulit sekalipun serta tidak dekat dengan realitas kekuasaan politik (Ade Maman Suherman, 2003:117). 4) Dewan Ekonomi dan Sosial Dewan Ekonomi dan Sosial merupakan organ utama PBB yang dibentuk atas dasar masalah kehidupan ekonomi dan sosial dapat mempengaruhi perdamaian dan keamanan dunia (Sri Setaningsih Suwardi, 2004: 306). Dewan Ekonomi dan Sosial merupakan organ utama yang bekerja untuk memajukan standar kehidupan, kesehatan, penghormatan hak asasi manusia, dan kerja sama dalam hal pendidikan dan kebudayaan (David Cushman Coyle, 1969:177). Tugas dan kewenangan Dewan Ekonomi dan Sosial terdapat dalam Bab X Pasal 62-66 Piagam PBB, yaitu (Safril Djamain, 1993:24) : a) Menyelidiki dan melaporkan keadaan ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kesehatan, dan lainnya yang berhubungan dengan masalah ekonomi sosial dan menyampaikannya dalam sidang Majelis Umum, maupun dalam badan-badan PBB lainnya dan anggota-anggota PBB; commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Menyelenggarakan dan melaksanakan keputusan-keputusan sidang Majelis Umum, serta melaksanakan pekerjaan atas permintaan anggota atau organisasi khusus dengan persetujuan Majelis Umum; c) Meminta laporan organisasi khusus negara anggota; d) Memberikan komentar dan pendapat tentang laporan organisasiorganisasi khusus PBB dan membicarakannya di dalam Sidang Majelis Umum; e) Mengusulkan segala sesuatu yang perlu untuk memperkuat hak asasi manusia serta kebebasan dasar bagi setiap orang; f) Mengadakan konferensi-konferensi internasional tentang hal-hal yang ditanganinya, dengan persetujuan organisasi khusus yang harus disahkan dalam sidang Majelis Umum; dan g) Memenuhi permintaan Dewan Keamanan PBB. Dewan Ekonomi dan Sosial juga berperan aktif dalam menjembatani masalah kesenjangan di bidang teknologi informasi (Ade Maman Suherman, 2003:121). 5) Dewan Perwalian Dewan ini mempunyai tugas untuk membawahi negara-negara yang diberi nama non-self governing territory. Wilayah-wilayah tersebut ada dalam naungan PBB dalam proses dekolonisasi (Ade Maman
Suherman,
2003:
118).
Dewan
Perwalian
bertindak
berdasarkan wewenang dari Majelis Umum, atau dalam hal “wilayah strategis” di bawah wewenang Dewan Keamanan PBB (PBB, 1995: 20). Fungsi dan kewenangan Dewan Perwalian diatur dalam Bab XIII Pasal 87 dan 88 Piagam PBB. 6) Mahkamah Internasional Mahkamah internasional merupakan institusi internasional yang mempunyai tugas menyelesaikan sengketa melalui judicial settlement.
Semua
anggota
PBB
adalah
anggota
Mahkamah
Internasional. Negara yang bukan anggota PBB dapat ikut serta atas commit to PBB. user Mahkamah Internasional terdiri rekomendasi Dewan Keamanan
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari 15 orang hakim yang dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB untuk masa jabatan 9 tahun dan dapat dipilih kembali, yang memberikan suara secara independen (PBB, 1995: 22). Setiap anggota PBB harus tunduk pada keputusan Mahkamah Internasional.
Bila
para
pihak
yang bersengketa
tidak
mau
melaksanakan keputusan, dengan bantuan Dewan Keamanan PBB dapat diupayakan pemaksaan dalam pelaksanaannya (Safril Djamain, 1993: 30).
2. Tinjauan Umum Tentang Dewan Keamanan PBB Dewan Keamanan PBB merupakan salah satu organ utama PBB yang memiliki kekuatan lebih dibandingkan dengan organ utama lainnya. Dewan Keamanan PBB terdiri dari lima anggota tetap dan 10 anggota tidak tetap. Anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dipilih oleh Majelis Umum untuk masa jabatan dua tahun (Safril Djamain, 1993: 18). Lima anggota tetap ini adalah Amerika Serikat, Prancis, China, Rusia, dan Inggris. Kelima anggota tetap ini memiliki hak istimewa untuk membatalkan atau menolak suatu keputusan (Safril Djamain, 1993: 20). Dewan Keamanan PBB mempunyai beberapa tugas dan kewenangan yang terdapat dalam Bab VI dan Bab VII Piagam PBB. Tugas dan kewenangannya antara lain membuat rekomendasi untuk penyelesaian sengketa secara damai yang tercantum dalam Bab VI Pasal 36 Piagam PBB, mengambil tindakan terhadap kegiatan yang mengancam perdamaian, mengganggu perdamaian, dan tindakan agresi yang tercantum dalam Bab VII Pasal 41 dan Pasal 42 Piagam PBB, memerankan peranan yang sangat penting dalam pengembangan operasi penjaga perdamaian (Ade Maman Suherman, 2003:107). Suatu permasalahan yang menimpa negara-negara tertentu dapat dibawa pada Dewan Keamanan PBB untuk menemukan cara penyelesaiannya. Pilihan pertama dan sederhana yang akan disarankan Dewan Keamanan PBB commit to adalah user pada pihak-pihak yang bersengketa agar mereka menyelesaikan
perpustakaan.uns.ac.id
18 digilib.uns.ac.id
permasalahan tersebut dengan salah satu cara penyelesaian secara damai (Sumaryo Suryokusumo, 1987: 9). Jika terdapat gerakan kekuatan bersenjata yang bersifat mengancam atau serangan militer yang cenderung memperburuk situasi, Dewan Keamanan PBB dapat datang kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk memberikan langkah-langkah sementara dengan suatu pertimbangan (James Barros, 1990: 12). Dewan Keamanan PBB sebagai salah satu organ utama PBB mempunyai kebebasan untuk menentukan langkah-langkah yang akan diambil untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Dewan Keamanan PBB dapat menyerukan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengambil langkah-langkah sementara dan dapat memerintahkan ke seluruh arah dalam mengambil tindakan bersama (Sumaryo Suryokusumo, 1987: 16). Langkahlangkah yang mungkin digunakan Dewan Keamanan PBB ini bergeser mulai dari interupsi hubungan-hubungan ekonomi berdasarkan Pasal 41 Piagam PBB hingga pada penggunaan kekuatan-kekuatan darat, laut, dan udara berdasarkan Pasal 42 Piagam PBB (James Barros, 1990:13). Dewan Keamanan PBB mempunyai peran yang dominan dalam upaya menciptakan perdamaian dan keamanan dunia, terutama dalam hal penyelesaian sengketa internasional yang melanda negara-negara dunia. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB adalah dengan mengirimkan pasukan penjaga perdamaian. Piagam PBB tidak secara jelas memberikan kewenangan kepada Dewan Keamanan PBB untuk membentuk pasukan penjaga perdamaian, tetapi Mahkamah Internasional menyatakan bahwa pembentukan dan pengiriman pasukan penjaga perdamaian ke Kongo (ONUC) tidak melanggar kewenangan yang telah diberikan kepada Dewan Keamanan PBB. Piagam PBB tidak memberikan larangan kepada Dewan Keamanan PBB untuk membentuk pasukan penjaga perdamaian yang didasarkan pada Pasal 29 Piagam PBB yang menyatakan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat membentuk suatu organ pendukung jika memang dianggap perlu (International Court of Justice, 1962: 177). Sejak tahun 1948, to user PBB telah menugaskan 56 kalicommit penugasan pasukan penjagaan perdamaian, dan
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
41 diantaranya ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB dalam waktu 12 tahun terakhir (Ade Maman Suherman, 2003: 108). Dewan Keamanan PBB mempunyai hak untuk mendesak pasukan penjagaan perdamaian untuk mengambil tindakan pencegahan perang sipil di dalam suatu negara. Hal ini terjadi dalam kasus Kongo pada tahun 1960. Dewan Keamanan PBB memberikan perintah kepada para pasukan penjagaan perdamaian untuk mengambil segala tindakan untuk pencegahan perang saudara di Kongo. Seperti yang ditulis oleh Christian Pippan (2011: 162) : A notable exception was the case of Congo (now DRC). In 1960, after the killing of Patrice Lumumba and other Congolese leaders in the course of a coup against the country’s first elected government, the Council declared the situation a threat to international peace and urged a UN peacekeeping force to take “all appropriate measures to prevent the occurrence of civil war in the Congo … including the use of force, if necessary. Selain tugas dan kewenangan tersebut, Dewan Keamanan PBB mempunyai beberapa fungsi sebagai kunci dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia, yang antara lain (PBB, 1995: 14-15): a. Menjaga perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan prinsip dan tujuan PBB; b. Menyelidiki pertikaian apa saja, atau keadaan yang dianggap bisa menyebabkan pertentangan internasional; c. Memberikan
rekomendasi
mengenai
metode-metode
penyelesaian
pertikaian atau ketentuan-ketentuan penyelesaian; d. Memformulasikan rencana pembentukan satu sistem untuk mengatur persenjataan; e. Menentukan adanya ancaman terhadap perdamaian atau tindakan agresi dan merekomendasikan tindakan apa yang harus diambil; f. Menyerukan kepada negara-negara anggota untuk melaksanakan sanksisanksi ekonomi dan tindakan lain tanpa menggunakan kekerasan untuk mencegah atau menghentikan agresi; g. Mengambil tindakan militer terhadap agressor; commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
h. Merekomendasikan diterimanya anggota baru dan jangka waktu dimana negara bisa menjadi pihak dari Statuta Mahkamah Internasional; i. Melaksanakan fungsi perwalian dari wilayah-wilayah strategis PBB; dan j. Merekomendasikan kepada Majelis Umum pengangkatan Sekretaris Jendral, dan bersama-sama dengan Majelis Umum, memilih para hakim Mahkamah Internasional. Pasal 34 menetapkan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat menjalan suatu penyelidikan untuk tujuan memutuskan apakah sebuah perselisihan atau situasi tersebut cukup serius atau tidak (James Barros, 1990: 47). Dewan Keamanan PBB akan menganjurkan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perselisihan untuk mencari permufakatan melalui cara damai. Di dalam beberapa hal, Dewan Keamanan PBB sendiri akan melakukan penyelidikan dan perundingan (PBB, 1995: 16). Dalam menjalankan tugasnya untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia, Dewan Keamanan PBB dibantu oleh beberapa panitia, yaitu Panitia Staf Militer, Panitia Perlucutan Senjata, dan Pasukan PBB (Safril Djamain, 1993: 20). Panitia Staf Militer (Military Staff Comitte) mempunyai kewajiban untuk membantu Dewan Keamanan PBB dalam
merumuskan
rencana-rencana pembentukan pengaturan persenjataan yang kemudian diajukan kepada anggota-anggota organisasi (James Baros, 1990: 13). Dewan Keamanan PBB mempunyai kewenangan untuk memberikan rekomendasi kepada Majelis Umum dalam hal penerimaan negara menjadi anggota PBB (James Baros, 1990: 42). Negara yang akan menjadi anggota PBB haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu, termasuk kemauan dan kesanggupan menjalankan kewajiban-kewajiban keanggotaan. Oleh karena itu, keanggotaan PBB tidaklah bersifat otomatis. Hal ini juga berlaku untuk pengeluaran negara dari keanggotaan PBB. Suatu negara yang terus-menerus melanggar prinsip-prinsip yang tercantum di dalam Piagam bisa dikeluarkan dari PBB oleh Majelis Umum berdasarkan rekomendasi Dewan Keamanan PBB (PBB, 1995: 16). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
Dewan Keamanan PBB dapat mengambil tindakan-tindakan tertentu untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Dewan Keamanan PBB dapat mengeluarkan perintah penghentian tembak-menembak bila sengketa telah menjurus kepada peperangan dan mencegah kemungkinan meluas pada daerah lain, melakukan tindakan pemaksaan, pengenaan sanksi ekonomi, embargo atau lainnya, serta mengirim pasukan pemeliharaan perdamaian ke daerah sengketa (Safril Djamain, 1993: 19). Dewan Keamanan PBB mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi terhadap negara-negara anggota PBB. Penjatuhan sanksi oleh Dewan Keamanan PBB didasarkan pada tiga hal yang tercantum dalam Pasal 39 Bab VII Piagam PBB. Pertama, jika negara itu mengadakan tindakan-tindakan yang mengancam perdamaian dunia. Kedua, jika melanggar perdamaian. Ketiga, jika negara itu melancarkan suatu agresi terhadap negara lain (Sumaryo Suryokusumo, 1997: 21). Sanksi yang dijatuhkan Dewan Keamanan PBB dapat berupa dua hal, yaitu sanksi ekonomi dan sanksi militer. Sanksi ekonomi ini dimaksudkan agar negara yang bersangkutan tidak dapat memperoleh kebutuhan-kebutuhannya, sehingga mau tidak mau harus menuruti keputusan Dewan Keamanan PBB. Sanksi militer merupakan upaya akhir jika sanksi ekonomi tidak membuat negara yang bersangkutan menuruti keputusan Dewan Keamanan PBB (Sumaryo Suryokusumo, 1997: 21-22). Secara langsung, Dewan Keamanan PBB belum pernah memerintahkan penggunaan langkah-langkah militer untuk dijatuhkan terhadap suatu negara. Perintah pengunaan tindakan militer hampir terjadi pada saat krisis Kongo (James Baros, 1990: 53). Dewan Keamanan PBB mempunyai peranan dalam penunjukan Sekretaris Jendral PBB. Piagam PBB memberikan Sekretaris Jendral tanggung jawab politik. Peranan Dewan Keamanan PBB dalam penunjukkan Sekretaris Jendral ini dikaitkan dengan alasan adanya keterkaitan dengan pertimbanganpertimbangan perdamaian dan keamanan yang merupakan bagian dari tugas Sekjen (James Barros, 1990: 43). Selain peranan dalam penunjukan Sekretaris commitPBB to user Jendral PBB, Dewan Keamanan juga mempunyai peranan dalam
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemilihan para hakim Mahkamah Internasional. Kewenangan dalam pemilihan para hakim Mahkamah Internasional ini diamanatkan oleh Statuta kepada Dewan Keamanan PBB yang dilakukan bersama-sama dengan Majelis Umum (James Baros, 1990: 44). Keputusan Dewan Keamanan PBB dibedakan menjadi dua hal, yaitu keputusan untuk permasalahan prosedural dan permasalahan non-prosedural. Pengambilan keputusan untuk masalah prosedural ditetapkan dengan suara sembilan anggota. Untuk masalah non-prosedural pengambilan keputusan ditetapkan dengan suara sembilan anggota termasuk suara anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Masalah non-prosedural adalah masalah yang menyangkut penyelesaian sengketa dan tindakan untuk kekerasan (Sri Setianingsih Suwardi, 2004: 293). Keputusan Dewan Keamanan PBB yang menyangkut penyelesaian sengketa
secara
damai,
dapat
menimbulkan
dua
kemungkinan.
Kemungkinannya adalah keputusan Dewan Keamanan PBB tersebut akan dipatuhi oleh para pihak terkait atau sebaliknya. Seperti yang dituliskan oleh Derek Bowet dalam The Impact of Security Council Decisions on Dispute Settlement Procedures, “There are two possible situations: a Security Council decisions is either irrebutable, or rebutable. The merits, or demerits, of these alternatives need to be examines separately” (Derek Bowet, 1994: 90). Berdasarkan tinjauan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Dewan Keamanan PBB sebagai organ utama PBB mempunyai kewenangan untuk mengambil segala tindakan dalam konteks menjaga perdamaian dan keamanan dunia dan memberikan rekomendasi kepada Majelis Umum untuk pengangkatan Sekretaris Jendral serta penganggakatan hakim Mahkamah Internasional. Tindakan Dewan Keamanan PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia dapat berupa penyelidikan terhadap suatu pertikaian, pemberian rekomendasi penyelesaian kepada pihak-pihak yang bertikai, membentuk pasukan perdamaian untuk pertikaian tertentu yang dialami oleh suatu negara, serta memberikan sanksi baik secara ekonomi atau militer commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kepada pihak-pihak yang tidak tunduk kepada keputusan yang telah dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB.
3. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional a. Pengertian Sengketa Internasional Sengketa merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh setiap orang. J.G Starke memberikan pengertian sengketa internasional sebagai sengketa yang bukan hanya mencakup sengketa antar negara, melainkan juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup internasional (J.G Starke, 2001: 645). Sengketa internasional juga dapat diartikan sebagai perselisihan yang terjadi antara negara dengan negara, negara dengan individu-individu, atau negara dengan badan atau lembaga internasional (http://isfanl.blogspot.com/ diakses 4 Juli 2012). Dalam studi hukum internasional publik dikenal dua macam sengketa internasional, yaitu sengketa hukum dan sengketa politik. Sengketa politik merupakan sengketa dimana suatu negara mendasarkan tuntutannya atas pertimbangan non yuridik. Sedangkan sengketa hukum merupakan sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum internasional (Boer Mauna, 2011: 195). Terdapat tiga doktrin yang berkembang mengenai gambaran mengenai sengketa hukum dan politik, yaitu (Huala Adolf, 2004: 4-5) : 1) Friedmann memberikan konsepsi mengenai sengketa hukum, yang antara lain: a) Sengketa hukum adalah perselisihan antarnegara yang mampu diselesaikan oleh pengadilan dengan menerapkan aturan-aturan hukum yang ada atau sudah pasti. b) Sengketa hukum bersifat mempengaruhi kepentingan negara seperti integritas wilayah dan kehormatan atau kepentingan lainnya dari suatu wilayah. commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Sengketa hukum adalah sengketa dimana penerapan hukum internasional yang ada, cukup menghasilkan suatu putusan yang sesuai dengan keadilan antarnegara dengan perkembangan progresif hubungan internasional. d) Sengketa
hukum
adalah
sengketa
yang
berkaitan
dengan
persengketaan hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum yang telah ada. 2) Waldock tidak memberikan konsepsi secara khusus mengenai sengketa hukum dan sengketa politik. Ia hanya menyatakan bahwa penentuan suatu sengketa sebagai sengketa hukum atau politik bergantung sepenuhnya kepada para pihak yang terlibat dalam sengketa. 3) Oppenheim dan Kelsen tidak memberikan pembenaran ilmiah dan dasar kriteria objektif yang mendasari pembedaan antara sengketa politik dan hukum. Menurut mereka setiap sengketa memiliki aspek politis dan hukumnya. Berdasarkan pengertian mengenai sengketa internasional di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sengketa internasional merupakan perselisihan yang terjadi antara subjek-subjek hukum dalam lingkup internasional. b. Cara- Cara Penyelesaian Sengketa Internasional Secara umum terdapat dua metode penyelesaian sengketa internasional, yaitu: 1) Penyelesaian sengketa secara damai, yaitu apabila para pihak telah menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat (J.G Starke, 2001: 646). Penyelesaian sengketa secara damai dapat ditempuh dengan berbagai cara, seperti melalui jalur diplomatik, arbitrase internasional, pengadilan internasional, dan organisasi internasional. Berikut penjelasan mengenai cara-cara penyelesaian sengketa secara damai : a) Penyelesaian sengketa melalui jalur diplomatik, yang dapat commit tocara, useryaitu (Huala Adolf, 2004: 26-38) : ditempuh dengan beberapa
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1) Negoisasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. (2) Pencari fakta adalah cara penyelesaian sengketa secara damai dengan cara para pihak yang bersengketa menunjuk suatu badan independen untuk menyelidiki fakta-fakta yang menjadi sebab sengketa. (3) Jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui atau dengan bantuan pihak ketiga. Dalam jasa baik, pihak ketiga tidak ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan, tetapi hanya menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar negara-negara yang bersengketa bertemu satu sama lain dan merundingkan sengketanya (Boer Mauna, 2011: 198). (4) Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga, yang disebut sebagai mediator. Mediator dapat berupa negara, organisasi internasional atau pun individu. Dalam hal mediasi, pihak ketiga mempunyai suatu peran yang lebih aktif dan ikut serta dalam perundingan, namun usulan-usulan yang diberikan oleh pihak ketiga tidak mengikat para pihak yang bersengketa (J.G Starke, 2001: 672). (5) Konsiliasi adalah penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi tersebut disebut dengan komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi tidak hanya bertugas untuk mempelajari fakta-fakta akan tetapi juga harus mempelajari sengketa dari semua segi agar dapat merumuskan suatu penyelesaian (Boer Mauna, 2011: 212). b) Penyelesaian melalui Arbitrase Internasional Publik Mahkamah arbitrase tetap didirikan pada tahun 1990 yang commitKonvensi to user Den Haag 1907. Pengertian berkesesuaian dengan
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
arbitrase itu sendiri adalah penyerahan sengketa kepada orangorang tertentu yang disebut sebagai arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memutuskan sengketa tanpa terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum (J.G Starke, 2011: 647). Pengadilan arbitrase dapat berbentuk pengadilan dengan hakim tunggal atau tribunal kolegial (D.J Harris, 1998: 987). c) Penyelesaian melalaui Pengadilan Internasional Pengadilan internasional dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu pengadilan internasional permanen dan ad hoc. Contoh dari pengadilan
internasional
permanen
adalah
Mahkamah
Internasional. Mahkamah internasional terdiri dari 15 orang hakim yang dipilih berdasarkan suara mayoritas mutlak dalam suatu pertemuan secara bersamaan tetapi terpisah di Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum (Huala Adolf, 2004: 64). Berdasarkan Pasal 36 ayat 1 Statuta, yurisdiksi pengadilan internasional mencakup seluruh sengketa yang diserahkan oleh para pihak dan semua persoalan yang ditetapkan dalam Piagam PBB yang dituangkan dalam perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional yang berlaku. d) Penyelesaian melalui organiasi internasional Penyelesaian sengketa melalui organisasi dapat dilakukan dalam lingkup regional maupun internasional. Salah satu contoh penyelesaian
sengketa
melalui
organisasi
penyelesaian
melalui
Association
Southeast
regional
adalah
Asian
Nation
(ASEAN). Penyelesaian
melalui
organisasi
global
juga
dapat
dilakukan melalui PBB atau organisasi internasional lainnya. PBB mendorong agar sengketa dapat diselesaikan melalui cara-cara damai. Bab VI Piagam PBB menguraikan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Dalam upaya untuk commit to dan user keamanan internasional PBB menciptakan perdamaian
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memiliki empat kelompok tindakan, yang antara lain (Huala Adolf, 2004: 95-97) : (1) Preventive Diplomacy, yaitu suatu tindakan untuk mencegah timbulnya suatu sengketa diantara para pihak, mencegah meluasnya
suatu
sengketa,
atau
membatasi
perluasan
sengketa. (2) Peace Making, yaitu tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa untuk saling sepakat, khususnya melalui cara-cara damai seperti dalam Bab VI Piagam PBB. (3) Peace Keeping, yaitu tindakan untuk mengerahkan kehadiran PBB dalam pemeliharaan perdamaian dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan. (4) Peace Building, yaitu tindakan untuk mengidentifikasi dan mendukung struktur-struktur yang ada guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu konflik yang telah didamaikan berubah kembali menjadi konflik. Selain empat kelompok tindakan PBB diatas, terdapat satu istilah tindakan PBB yang diperkenalkan oleh seorang sarjana Amerika Latin, Eduardo Jimenez De Arechaga. Istilah tersebut dikenal dengan peace enforcement, yaitu wewenang Dewan Keamanan PBB berdasarkan Piagam PBB untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman terhadap perdamaian atau adanya suatu tindakan agresi. 2) Penyelesaian sengketa secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan (J.G Starke, 2001: 646). Penyelesaian sengketa secara paksa atau dengan cara kekerasan dapat ditempuh dengan berbagai cara yang antara lain (J.G Starke, 2001: 679-685) : a) Perang dan tindakan bukan perang Istilah perang disamakan dengan konflik bersenjata. Perang commityang to user merupakan pertikaian terjadi antara dua pihak atau lebih,
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dimana masing-masing pihak mengangkat senjata. Sedangkan Tindakan
Bersenjata
Bukan
Perang
merupakan
adanya
penggunaan kekerasan senjata akan tetapi belum sampai kepada ketegori perang. b) Retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina. Restorsi dapat berwujud pemutusan hubungan diplomatik, pencabutan hak-hak istimewa diplomatik. penarikan konsesi pajak/tarif, penghentian bantuan ekonomi. c) Reprisal (tindakan pembalasan) adalah metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang bersifat pembalasan atau tindakan pembalasan yang dilakukan oleh suatu negara yang melanggar hukum dalam suatu sengketa. Repisal dilakukan dengan syarat bahwa sasaran reprisal adalah negara yang telah melakukan pelanggaran hukum internasional. Kemudian negara yang melakukan pelanggaran diminta terlebih dulu untuk memenuhi ganti rugi atas tindakannya dan telah diperingatkan. d) Blokade damai adalah suatu tindakan yng dilakukan pada waktu damai dan kadang digolongkan sebagai suatu pembalasan ada beberapa manfaat nyata dalam penggunaan blokade secara damai. Tindakan ini merupakan cara tindakan yang jauh dari kekerasan dibanding dengan perang. Pada umumnya blokade dilakukan di pelabuhan, blokade kota, bandar penerbangan, yang bertujuan untuk memaksa negara yang pelabuhan, kota, atau bandar udaranya diblokade untuk menaati permintaan ganti rugi commit to user atas kerugian yang diderita negara yang memblokade.
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e) Intervensi merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Intervensi merupakan hal yang dilarang, hal tersebut secara jelas dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 7 Piagam PBB. Namun Pasal 2 ayat 7 Piagam PBB memberikan pengecualian terhadap penerapan tindakan Dewan Keamanan PBB yang dicantumkan dalam Bab VII Piagam PBB. Menurut Hyde yang dijelaskan oleh Mahkamah Pidana Internasional, intervensi tidak dilarang jika campur tangan
yang dilakukan oleh negara lain tidak
bertentangan dengan kepentingan negara terkait (J.G. Starke, 2001: 136).
4. Konflik Bersenjata di Libya a. Pengertian Konflik Bersenjata Istilah konflik bersenjata merupakan istilah baru sebagai pengganti istilah perang. Oppenheim Lauterpacht memberikan pengertian, War is contention between two or more states thought their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such conditions of peace as the victor pleases (Fadilah Agus, 1997: 2). Pernyataan tersebut memberikan memberikan pengertian bahwa perang adalah pertentangan yang terjadi antara dua negara atau lebih, dimana masing-masing pihak menggunakan kekuatan bersenjata dengan tujuan untuk menentukan pemenang dari pertentangan tersebut. Secara tradisional perang adalah penggunaan kekerasan yang terorganisasi oleh unit-unit politik dalam sistem internasional. Perang akan terjadi apabila negara-negara dalam situasi konflik dan saling bertentangan merasa bahwa tujuan eksklusif mereka tidak bisa dicapai (Ambarwati, Denny Ramdhani, dan Rina Rusman, 2010: 2). Geoffrey Best memberikan pengertian, perang adalah penggunaan kekerasan yang tinggi yang dapat menyebabkan pembataian dan penghancuran masyarakat, dan setiap orang commit to user maupun negara selalu ingin menghindarinya (Geoffrey Best,1994: 253).
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pernyataan tersebut memberikan pengertian bahwa perang adalah tindakan dalam bentuk kekerasan yang mengakibatkan penghacuran terhadap masyarakat secara keseluruhan, yang sebaiknya harus dihindari. Berdasarkan pengertian konflik bersenjata di atas, maka dapat ditarik kesimpulan konflik bersenjata adalah konflik dengan menggunakan kekuatan bersenjata di dalam suatu wilayah dimana penggunaan kekuatan bersenjata sangat tinggi. Konflik bersenjata dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: 1) Konflik Bersenjata Internasional (International Armed Conflict) Konflik bersenjata internasional dinyatakan dalam ketentuan yang bersamaan dari Pasal 2 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 sebagai sengketa bersenjata yang melibatkan dua negara atau lebih, baik sebagai perang yang diumumkan maupun apabila pernyataan perang tersebut tidak diakui oleh salah satu dari mereka (Ambarwati, Denny Ramdhani, dan Rina Rusman, 2010: 56-57). Pasal 1 ayat 4 Protokol Tambahan I 1977 menetapkan situasi yang disamakan dengan sengketa bersenjata internasional sebagai berikut: The situations reffered to in the preceding paragraph include armed conflict in which peoplea are fighting against colonial domination and alien occupation and against racist regime in the exercise of their right of self determination, as enshrined in the Charter of the United Nations and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Realtions and Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations (Fadillah Agus, 1997: 4-5). Ketentuan dari pasal tersebut menetapkan bahwa perlawanan terhadap pendudukan asing dan dominasi kolonial merupakan situasi yang disamakan dengan konflik bersenjata internasional. Selain dua situasi diatas, internasionalisasi konflik internal (internationalized armed
conflict)
juga
disamakan
dengan
konflik
bersenjata
internasional. Internasionalisasi konflik internal merupakan konflik to user internal yang diberikancommit unsur internasional. Keadaan tersebut termasuk
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam konflik internal antara dua pihak dimana masing-masing pihak didukung oleh negara-negara yang berbeda dan konflik bersenjata yang melibatkan intervensi asing untuk mendukung pemberontak melawan pemerintah (James G. Stewart, 2003: 315). Situasi yang demikian disebut juga dengan konflik bersenjata internasional semu. 2) Konflik Bersenjata Non-Internasional (Non-international Armed Conflict). Tidak ada definisi yang disepakati oleh negara-negara mengenai konflik bersenjata non internasional dalam kententuan Konvensi Jenewa 1949 maupun Protokol II/1977. Pada Protokol II/1977 hanya memberikan kriteria konflik bersenjata non-internasional. Sengketa bersenjata non-internasional yang dimaksud dalam Protokol II/1977 adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata negara dengan pasukan bersenjata pemberontak atau dengan kelompok bersenjata terorganisasi yang
berada
di
bawah
komando
yang
bertanggungjawab,
melaksanakan kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan kelompok tersebut melakukan operasi militer serta menerapkan aturan Hukum Humaniter Internasional (Ambarwati, Denny Ramdhani, dan Rina Rusman, 2010: 60). Selain dua klasifikasi konflik bersenjata di atas, dikenal juga istilah gangguan dan ketegangan dalam negeri (internal disturbances and tension). Pengertian gangguan dan ketegangan dalam negeri tidak dimuat dalam konvensi-konvensi hukum humaniter internasional, karena menurut hukum humaniter internasional gangguan dan ketegangan dalam negeri tidak termasuk dalam konflik bersenjata. Robert Kogod Goldman (1993: 54) dalam “International Humanitarian Law: American Watch’s Experience In Monitoring Internal Armed Conflicts” memberikan contoh gangguan dan ketegangan dalam negeri sebagai berikut : commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
example of tension and disturbances are riots, such as demonstrations without a concerted plan from the outset; isolated sporadic acts of violence, as opposed to military operations carried out by armed force or armed groups; and other acts of a similar nature, including, in particular, large scale arrests of persons for their activities or opinions. Gambaran secara umum mengenai gangguan dan ketegangan dalam negeri dimuat dalam Commentary Protocol II/1977 sebagai berikut (Fadillah Agus, 1997:10-11) : As regards internal tensions, these could be said to include in particular situations of serious tension (political, religious, racial, social, economic, etc), but also the sequels of armed conflict or of internal disturbances. Such situation have one or more of the following characteristics, if not all at the same time: a) Large scala arrests; b) A large number of political prisoners; c) The probable existence of ill treatment or inhume condition of detention; d) The suspension of fundamental judicial guaranties, either as part of the promulgation of a state of emergency or simply as a matter of fact; e) Allegation of disappeareances. b. Pengaturan Konflik Bersenjata 1) Hukum Den Haag Hukum Den Haag merupakan aturan tentang alat dan cara berperang. Hukum Den Haag dihasilkan pada tahun 1907 sebagai penyempurnaan konferensi perdamaian pertama pada tahun 1899 (Haryomataram, 2007: 45-46). Pada garis besarnya Hukum Den Haag menetapkan bahwa para pihak yang terlibat dalam peperangan tidak mempunyai kebebasan mutlak
dalam
memenangkan
peperangan.
Karenanya
dalam
menggunakan alat senjata yang menghancurkan pihak lawan ada pembatasan-pembatasan tertentu (Masyhur Effendi, 1994: 30-31). Dalam konferensi Den Haag 1907 dihasilkanlah 13 konvensi dan satu deklarasi, yang antara lain (Haryomataram, 2007: 47-48) : commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Konvensi
I
tentang
Penyelesaian
Damai
Persengketaan
Internasional; b) Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Hutang yang Berasal dari Perjanjian Perdata; c) Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan; d) Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, dilengkapi dengan Peraturan Den Haag; e) Konvensi V
tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga
Negara Netral dalam Perang di Darat; f) Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada Saat Permulaan Peperangan; g) Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang; h) Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut; i) Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang; j) Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut; k) Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut; l) Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan; dan m) Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. Dan satu deklarasi yang dihasilkan yaitu Declaration XIV Prohibiting the Discharge of Projectiles and Explosives from Baloons. 2) Hukum Jenewa 1949 Hukum Jenewa 1949 merupakan aturan tentang perlindungan korban perang, yang disebut juga dengan konvensi-konvensi Palang Merah. Konvensi ini terdiri dari empat buku, yaitu (Haryomataram, commit to user 2007: 48):
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat; b) Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam; c) Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlakuan Tawanan Perang; dan d) Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang. Pada prinsipnya Hukum Jenewa merupakan lanjutan serta menambah atau melengkapi ketentuan-ketentuan Hukum Den Haag (Masyhur Effendi, 1994: 34). 3) Protokol Tambahan 1977 Protokol
Tambahan 1977 merupakan penambahan dan
penyempurnaan dari ketentuan Konvensi Jenewa 1949. Protokol Tambahan 1977 terdiri dari dua buku, yaitu (Haryomataram, 2007: 4950) : a) Protokol Tambahan I, yang mengatur konflik bersenjata yang bersifat internasional; dan b) Protokol Tambahan II, yang mengatur konflik bersenjata yang bersifat non-internasional. Penambahan tersebut dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap perkembangan
pengertian
sengketa
bersenjata,
pentingnya
perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit, dan korban
dalam
suatu
peperangan,
serta
antisipasi
terhadap
perkembangan mengenai alat dan cara berperang (Arlina Permanasari, 1999: 33). c. Koflik Libya 2011 Libya adalah sebuah negara yang terletak di bagian utara Afrika. Secara geografis, Libya berbatasan dengan Laut Tengah di bagian utara, Mesir di bagian timur, Sudan di bagian tenggara, Chad dan Niger di commit to user bagian selatan, serta Aljazair dan Tunisia di bagian barat. Pada awal
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terbentuk tahun 1951 Libya adalah sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja Idris I. Pada tahun 1969, Moamar Qaddafi melakukan kudeta terhadap pemimpin Libya, Raja Idris I. Semula kudeta berdarah yang dilakukan Moamar Qaddafi adalah rencana para perwira senior yang berniat untuk menggulingkan Raja Idris I. Namun, Moamar Qaddafi dan temantemannya berhasil untuk menangkap para perwira senior tersebut dan mengambil alih rencana tersebut (Abdul Syukur, 2011: 109). Tindakan kudeta ini membuat Moamar Qaddafi berhasil menjadi pemimpin Libya yang menguasai istana Raja Idris I, kantor-kantor pemerintahan, stasiun radio dan TV, serta surat kabar. Moamar Qaddafi menerapkan sistem sosialisme-islam dalam menjalankan pemerintahannya. Ia menjadikan Libya sebagai negara antibarat radikal.
Terbukti ia mendukung penuh perjuangan Palestina
melawan Israel (Apriadi Tamburaka, 2011: 219). Selain itu, ia mendukung kelompok teroris, termasuk kelompok IRA di Irlandia Utara, The Black Panther and The Nation of Islam, dan Carlos the Jackal di Amerika Serikat (Abdul Sykur, 2011: 110). Hal ini menjadikan hubungan Libya dengan negara barat seperti Amerika Serikat memburuk. Libya yang terkenal dengan kekayaan minyak, tidak membuat rakyat Libya hidup dengan kemakmuran dan kesejahteraan. Sebaliknya rakyat Libya dilanda kemiskinan berkepanjangan. Sekitar 50% dari total penduduk usia produktif sulit untuk mencari pekerjaan yang seperlima lapangan pekerjaan dipegang ekspariat dari sejumlah negara, dan sekitar 88% dari total penduduk yang hidup di perkotaan hidup di bawah garis kemiskinan (Apriadi Tamburaka, 2011: 221). Selain itu, selama 42 tahun memimpin Libya, Moamar Qaddafi sibuk untuk memperkaya diri dengan cara menguasai berbagai sektor ekonomi strategis. Kajian diplomatik yang dimuat di Financial Times menjelaskan Moamar Qaddafi beserta keluarganya menguasai sektor industri, mulai dari telekomunikasi, commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
infrastruktur, hotel, media, dan ditribusi kebutuhan produk-produk rumah tangga (Abdul Syukur, 2011: 106-107). Tindakan Moamar Qaddafi untuk memperkaya diri sendiri adalah satu diantara tiga alasan terjadinya konflik Libya. Moamar Qaddafi melaksanakan kebijakan totaliter yang bertentangan dengan kebebasan dan demokrasi. Ia memblokir media, memperketat layanan SMS dan internet, dan melarang wartawan menyiarkan berita yang berkenaan dengan pemerintahan (Abdul Syukur, 2011: 107). Pemerintah memegang kontrol langsung terhadap kehidupan media baik milik pemerintah atau swasta. Kemiskinan dan kekangan pemerintah yang terus-menerus menimbulkan kebencian rakyat Libya terhadap Moamar Qaddafi. Berbagai upaya pernah dilakukan untuk menggulingkan Moamar Qaddafi dari jabatannya. Pada tahun 1993 beberapa tentara Libya melakukan upaya pembunuhan terhadap Moamar Qaddafi. Selain itu, terbentuk beberapa kelompok politik yang menentang Moamar Qaddafi seperti Konferensi Nasional Oposisi Libya, Fron Nasional untuk Keselamatan Libya, dan Komite Aksi Nasional Libya di Eropa (Apriadi Tamburaka, 2011: 225). Upaya-upaya tersebut terus-menerus gagal. Keberhasilan Tunisia dan Mesir untuk menggulingkan rezim pemerintahan dalam negeri dengan melakukan pemberontakan memotivasi Libya untuk melakukan hal yang sama dengan dua negara tersebut. Pemberontakan pertama terjadi pada 15 Februari 2011 di Bheghazi, Libya. Awal pemberontakan ditandai dengan demontrasi oleh pihak oposisi. Pemberontakan ini dihadang oleh kekuatan militer pihak pro Moamar
Qaddafi.
Tindakan
tersebut
terus
berlangsung,
yang
mengakibatkan banyak korban berjatuhan baik dari pihak oposisi, pro Moamar Qaddafi, dan penduduk sipil. Tindakan Moamar Qaddafi untuk melawan pemberontak secara radikal, membuat ia ditinggal oleh beberapa pendukungnya. Selain ditinggalkan oleh beberapa pendukungnya, tindakan Moamar Qaddafi commit toBan userKi Moon, Sekretaris Jendral PBB, dikecam oleh dunia internasional.
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengungkapkan kemarahannya terhadap tindakan Libya yang memerangi pemberontak secara radikal. Organisasi internasional seperti United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Liga Arab, Uni Eropa juga mengecam tindakan Moamar Qaddafi (Mehrdad Payandeh, 2011: 19-22). Dunia internasional mengecam tindakan Moamar Qaddafi, karena tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, tindakan Moamar Qaddafi telah menyalahi aturan konflik bersenjata khususnya Konvensi Jenewa IV tentang perlindungan dan larangan penyerangan terhadap penduduk sipil. Kecaman dunia internasional terhadap tindakan Moamar Qaddafi disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB. Dunia internasional mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan sebagai penyelesaian konflik dan perlindungan penduduk sipil. Desakan dunia internasional berhasil, yang akhirnya dikeluarkan Resolusi 1970 dan Resolusi 1973 sebagai bentuk penyelesaian konflik Libya dan upaya perlindungan bagi penduduk sipil.
B. Kerangka Pemikiran
2. Konflik Libya 2011 Pelanggaran Ketentuan Konflik Bersenjata
Mengganggu Perdamaian dan Keamanan Dunia
Peran Dewan Keamanan PBB PBB Bagan 1. Kerangka Pemikiran
commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan : Konflik Libya 2011 merupakan konflik yang berlangsung lebih lama dan lebih rumit dibandingkan dengan negara-negara sebelumnya yang telah melakukan pemberontakan seperti Tunisia dan Mesir. Konflik yang dimulai pada pertengahan Februari 2011 terjadi akibat keinginan rakyat agar Moamar Qaddafi turun dari jabatannya sebagai Presiden Libya 2011. Namun keinginan tersebut ditolak oleh Moamar Qaddafi dan ia lebih memilih untuk memerangi rakyatnya sendiri demi mempertahankan posisinya. Selama berlangsung konflik, banyak korban yang berjatuhan. Korban yang berjatuhan tidak hanya dari pihak oposisi atau pro Moamar Qaddafi, tetapi juga dari penduduk sipil. Sebagai organ utama PBB, Dewan Keamanan PBB mempunyai tugas dan fungsi untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional.
Berdasarkan
tugas dan fungsi yang dimiliki Dewan Keamanan PBB, keterlibatan Dewan Keamanan PBB dibutuhkan dalam penyelesaian konflik Libya sebagai konsekuensi dari tanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Dewan Keamanan PBB mempunyai kewenangan untuk mengambil segala tindakan sebagai upaya untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia. Tindakan nyata yang dapat dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB adalah dengan mengeluarkan sebuah resolusi yang sifatnya mengikat bagi pihak-pihak terkait. Jika pihak yang terkait dengan resolusi tidak bersedia untuk menjalankan ketentuan yang ditetapkan di dalam resolusi, maka Dewan Keamanan PBB mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi, baik sanksi ekonomi atau sanksi militer.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik Libya Konflik yang melanda Libya pada 2011 lalu melibatkan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai keterlibatan dan kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai kategori konflik Libya, apakah masuk dalam kategori konflik bersenjata internasional, konflik bersenjata non internasional atau hanya situasi ketegangan yang terjadi di dalam negeri. Kategori ini ditujukan untuk mengetahui legal atau tidaknya keterlibatan Dewan Keamanan PBB dalam konflik Libya. 1. Status Konflik Bersenjata di Libya Secara umum konfik bersenjata internasional merupakan konflik bersenjata yang melibatkan dua negara atau lebih. Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 tidak memberikan pengertian secara rinci mengenai konflik bersenjata internasional namun dapat diketahui bahwa pihak yang terlibat dalam konflik adalah negara. Dalam hal ini, konflik Libya tidak dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata internasional, karena tidak semua pihak yang terlibat dalam konflik berstatus sebagai negara. Konflik yang melanda Libya hanya terjadi antara penduduk sipil dengan pemerintah dalam upaya untuk menurunkan Moamar Qaddafi dari jabatannya sebagai Presiden Libya. Konflik bersenjata non internasional secara umum merupakan konflik bersenjata yang melibatkan negara dengan satuan pihak bukan negara. Tidak ada pengertian secara tegas dan rinci mengenai konflik bersenjata non internasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 hanya memberikan pernyataan bahwa konflik bersenjata non internasional merupakan sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Dalam commit to user IV diusulkan beberapa kriteria Pasal 3 Commentary Geneva Convention
39
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
oleh para pihak dalam konferensi diplomatik mengenai pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional, yang antara lain (ICRC, 1958: 35-36) : a. Bahwa pihak yang memberontak terhadap pemerintah de jure memiliki suatu kekuatan militer yang terorganisir, pimpinan yang bertanggung jawab atas perbuatannya, yang bertindak dalam suatu wilayah tertentu dan mempunyai sarana untuk menghormat melaksanakan konvensi; b. Bahwa pemerintah wajib meminta bantuan kepada para angkatan militer yang sah (tentara) dengan tujuan untuk melawan para pemberontak (belligerent); c. Bahwa pemerintah de jure telah mengakui pemberontak sebagai belligerent; d. Bahwa pertikaian tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan PBB atau Majelis Umum karena dianggap sebagai suatu ancaman terhadap perdamaian internasional, melanggar perdamaian dan tindakan agresi; e. Bahwa penguasa sipil dari pemberontak menjalankan kekuasaan de facto atas suatu wilayah tertentu; dan f. Bahwa terikat pada ketentuan konvensi dan bersedia untuk mematuhi kebiasaan hukum perang. Protokol Tambahan II 1977 juga tidak memberikan pengertian secara eksplisit. Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977 hanya memberikan penjelasan bahwa ketentuan dalam Protokol berlaku bagi semua konflik bersenjata yang tidak termasuk di dalam ketentuan Pasal 1 Protokol Tambahan I 1977 dan tidak diterapkan di dalam situasi ketegangan dalam negeri. Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977 memberikan kriteria-kriteria tertentu yang menunjukan bahwa suatu konflik termasuk dalam konflik bersenjata non internanasional. Kriteria-kriteria tersebut antara lain: a. Pertikaian terjadi di dalam wilayah Peserta Agung; b. Pertikaian terjadi antara pihak Peserta Agung dengan pihak commit to user pemberontak;
perpustakaan.uns.ac.id
41 digilib.uns.ac.id
c. Pihak pemberontak dipimpin dibawah satu komando yang bertanggung jawab; d. Pihak pemberontak mengusai sebagian wilayah negara dan mampu untuk melaksanakan operasi militer berkelanjutan; dan e. Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan dalam Protokol Tambahan II 1977. Kriteria yang dicantumkan dalam Commentary Geneva Convention dan Protokol Tambahan II 1977 menunjukan bahwa konflik bersenjata non internasional merupakan konflik yang terjadi antara negara dengan kelompok pemberontak, dimana kelompok pemberontak berstatus sebagai belligerent. Untuk dapat dikatakan sebagai belligerent maka harus memenuhi kriteria-kriteria yang tercantum dalam lampiran Konvensi IV Den Haag. Pasal 1 Konvensi IV Den Haag menyatakan bahwa hukum, hak dan kewajiban perang tidak hanya berlaku bagi tentara, tetapi juga berlaku bagi milisi dan korps sukarela yang memenuhi syarat-syarat berikut : a. Dipimpin oleh satu komando yang bertanggung jawab atas bawahannya; b. Mempunyai tanda pengenal yang melekat, yang dapat dilihat dari jauh; c. Membawa senjata secara terbuka; dan d. Melakukan operasinya sesuai dengan hukum kebiasaan perang. Selain kriteria yang dicantumkan dalam Pasal 1 Konvensi IV Den Haag, para pakar hukum juga merumuskan kriteria yang objektif yang harus dipenuhi oleh belligerent. Pada umumnya ada empat unsur yang harus dipenuhi, yaitu (I Wayan Parthiana, 1990: 87) : a. Kaum pemberontak harus terorganisasikan secara teratur dan rapi di bawah pimpinan yang jelas; b. Kaum pemberontak harus menggunakan tanda pengenal yang jelas yang menunjukkan identitasnya; c. Kaum pemberontak harus sudah menguasai sebagian wilayah secara efektif berada di bawah kekuasaannya; dan commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Kaum pemberontak harus mendapat dukungan dari rakyat di wilayah yang didudukinya. Kriteria-kriteria mengenai belligerent yang dicantumkan di dalam Pasal 1 Konvensi IV Den Haag maupun yang dirumuskan oleh para pakar hukum perlu dipahami lebih lanjut, untuk menentukan status kelompok perlawanan dalam konflik Libya : a. Dipimpin oleh satu komando yang bertanggung jawab atas bawahannya. Seorang komandan mempunyai peran penting dalam sebuah gerakan
perlawanan
terorganisir.
Komandan
dalam
gerakan
perlawanan terorganisir mempunyai kompetensi yang sama dengan komandan militer dalam angkatan bersenjata. Kompetensi ini mencakup tiga hal, yaitu pencegahan pelarangan secara umum, penyebarluasan hukum humaniter, serta pengambilan tindakan terhadap bawahan/anak buah yang melakukan pelanggaran. Hal yang menjadi dasar untuk pertanggungjawaban seorang komandan adalah bahwa seorang komandan mampu untuk menegakkan hukum konflik bersenjata atas dasar dua hal, yaitu : 1) Bahwa konflik bersenjata merupakan pilihan terakhir dan untuk tujuan yang benar; dan 2) Penggunaan kekuatan bersenjata dalam peperangan atas dasar prinsip proporisonalitas dan diskriminasi. Dalam hal konflik Libya, pihak oposisi bersama-sama dengan mantan anggota rezim Moamar Qaddafi membentuk Dewan Transisi Nasional sebagai wakil organ yang sah Libya dan sebagai upaya mencari pengakuan internasional bahwa pihak oposisi adalah pemberontak. Di dalam struktur organisasi Dewan Transisi Nasional dipimpin oleh ketua yang bertindak sebagai Presiden sementara Libya, yaitu Mustafa Abdul Jalel. Dalam menjalankan kepemimpinannya Mustafa Abdul Jalel dibantu oleh beberapa staf, seperti wakil ketua user sekaligus juru bicara commit DewantoTransisi Nasional yaitu Abdul Hafiz
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ghoga, Perdana Menteri yaitu Mahmoud Jibril, kepala staff militer yaittu Abdul Fatah Younis, kepala komite politik yaitu Fatih Baja, kepala komite eksekutif yaitu Ali Tarhouni, dan kepala komite hukum yaitu Salwa Fawzi El-Dhagi. Dilihat
dari
pertanggungjawaban
seorang
komandan,
pemberontakan Libya memenuhi salah satu unsur, yaitu bahwa pemberontakan merupakan cara terakhir yang dapat digunakan oleh penduduk sipil beserta pihak-pihak yang membenci Moamar Qaddafi untuk menurunkan Moamar Qaddafi dari bangku kepresidenan. Karena sebelum pemberontakan ini berlangsung telah ditempuh berbagai cara untuk menurunkan Moamar Qaddafi dari kursi kepresidenan. Namun untuk unsur kedua yaitu penggunaan prinsip proporsionalitas dan diskriminasi dalam konflik bersenjata belum dapat terpenuhi oleh pihak oposisi. Meskipun pihak oposisi Libya memiliki pemimpin yang jelas dan terstruktur, pihak oposisi belum dapat dikatakan sebagai belligerent. Para pemimpin pihak oposisi belum mampu untuk memenuhi unsur dasar pertanggungjawaban seorang komandan. b. Mempunyai tanda pengenal yang melekat, yang dapat dilihat dari jauh. Belligerent harus menggunakan lambang pembeda yang dapat dikenali dari kejauhan. Hal ini dicantumkan di dalam Pasal 1 ayat 2 Konvensi Den Haag 1907. Tidak terdapat ketentuan yang pasti mengenai bentuk lambang pembeda yang harus digunakan oleh belligerent. Commentary Geneva Convention 1949 menyatakan belligerent dapat menggunakan bentuk-bentuk lambang pembeda seperti armedband, topi, jaket, dan bentuk lainnya yang menunjukan pembedaan dan dapat terlihat dari kejauhan. Dalam konflik Libya, pihak oposisi menggunakan bendera tiga warna yaitu merah, hitam, hijau dengan lambang bulan sabit dan bintang di bagian tengahnya. Bendera tiga warna tersebut merupakan commit to user bendera yang digunakan pada rezim pemerintahan Raja Idris I.
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bendera tersebut dikibarkan di wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh pihak oposisi. Selain dikibarkan di wilayah yang dikuasai pihak oposisi, bendera tersebut dipasang di kendaraan milik pihak oposisi. Namun berdasarkan foto-foto yang ada di media cetak dan elektronik, pihak oposisi tidak secara terus-menerus menggunakan bendera tersebut. Selain itu, pihak oposisi juga tidak mengenakan pakaian khusus yang dapat dikenali oleh pihak pro Moamar Qaddafi. Hal ini yang membuat sulit untuk membedakan antara pihak oposisi dengan penduduk sipil biasa. c. Membawa senjata secara terbuka. Sebuah situasi dapat dikatakan sebagai konflik bersenjata adalah ketika para pihak yang terlibat dalam konflik sudah menggunakan senjata secara terang-terangan. Penggunaan senjata secara terang-terangan sangat penting, yaitu untuk mengenali pihak yang terlibat dalam pertempuran sebagai kombatan. Dalam konflik Libya, pihak oposisi secara terang-terangan menggunakan senjata untuk melawan pihak pro Moamar Qaddafi. Meskipun pada awal pertempuran kekuatan persenjataan antara pihak oposisi dan pro Moamar Qaddafi tidak seimbang. d. Melakukan operasinya sesuai dengan hukum kebiasaan perang. Hukum Den Haag, Hukum Jenewa, beserta Protokol Tambahan Konvensi Jenewa merupakan aturan yang harus ditaati oleh para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata. Dalam konflik Libya, pihak oposisi masih melakukan beberapa pelanggaran terhadap aturan tersebut. Pihak oposisi sering mempersulit kinerja International Committee Red Cross (ICRC) untuk memberikan pertolongan kepada korban akibat konflik bersenjata. Direktur Jendral ICRC harus sampai memohon kepada pihak oposisi untuk membiarkan tenaga kerja ICRC untuk dapat menjalankan pekerjaannya dengan aman. commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. Penguasaan sebagian wilayah oleh kaum belligerent. Dalam konflik Libya, pihak oposisi berhasil untuk menguasai sebagian wilayah Libya. Pada awal perlawanan, pihak oposisi berhasil untuk menguasai Bheghazi, yang kemudian dilanjutkan dengan menguasai Al Jazeera, Tobruk, Zawiyah, Berga, dan Sirte. Selain berhasil menguasai kota-kota penting di Libya, pihak oposisi juga berhasil untuk menguasai pelabuhan Ra’Lanuf, bandara, dan pangkalan militer Libya (Apriadi Tamburaka, 2011: 233-237). f. Terdapat dukungan dari penduduk di wilayah yang diduduki oleh kelompok belligerent. Gerakan perlawanan di Libya merupakan gerakan perlawanan yang berasal dari warga negara Libya yang sudah tidak menginginkan Moamar Qaddafi menduduki kursi kepresidenan. Namun tidak semua warga negara Libya mendukung gerakan perlawanan ini, masih ada beberapa warga negara yang mendukung Moamar Qaddafi untuk tetap menjadi Presiden Libya. Berdasarkan pemaparan di atas, pihak oposisi Libya belum dapat dikatakan sebagai kelompok belligerent. Hal ini dikarenakan pihak oposisi belum dapat memenuhi kriteria kelompok belligerent secara utuh baik yang dicantumkan di dalam Pasal 1 Konvensi Den Haag 1907 atau pendapat pakar hukum, yaitu mengenai pertanggungjawaban seorang komando, penggunaan tanda pengenal yang dapat terlihat dari kejauhan, ketaatan terhadap kebiasaan hukum perang, dan dukungan dari rakyat di wilayah yang diduduki oleh seorang belligerent. Meskipun tidak terdapat ketentuan yang menyebutkan bahwa seluruh kriteria harus terpenuhi namun kriteria tersebut bersifat kumulatif, dimana antara kriteria yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Dengan demikian, status yang tepat untuk diberikan kepada pihak oposisi Libya adalah insurgent. Sejumlah negara seperti Prancis dan Amerika Serikat memberikan pengakuan terhadap keberadaan Dewan Transisi Nasional sebagai organ commityang to user pemberontak dan wakil Libya sah, namun ini tidak memberikan
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
status hukum pihak oposisi Libya sebagai belligerent. Pengakuan negara barat terhadap pemberontak bertujuan agar pemerintah pusat dapat memperlakukan pemberontak sesuai dengan tuntutan perikemanusiaan (Sefriani, 2010: 178). Dengan tidak terpenuhinya kriteria belligerent oleh pihak oposisi, maka konflik Libya tidak dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata non interansional. Karena konflik bersenjata non internasional hanya terjadi antara negara dengan satuan pihak bukan negara yang berstatus sebagai belligerent. Dalam hukum humaniter internasional, terdapat sebuah situasi yang tidak dapat diketegorikan sebagai konflik bersenjata, situasi ini dikenal dengan situasi ketegangan dalam negeri (internal disturbances and tension). Situasi ketegangan dalam negeri dicontohkan dalam bentuk kerusuhan, tindakan-tindakan sporadik yang bertentangan dengan operasi militer yang dilakukan oleh angkatan bersenjata. Commentary Additional Protocol II 1977 memberikan gambaran bahwa situasi ketegangan dalam negeri dapat dikatakan sebagai ketegangan serius dalam hal politik, agama, ras, sosial, atau ekonomi. Dalam hal ini koflik Libya, memenuhi gambaran situasi ketegangan dalam negeri. Bahwa konflik Libya yang terjadi antara pihak oposisi dengan pihak pro Moamar Qaddafi hanyalah ketegangan dan kekerasan dalam negeri seperti huru-hara, dan gerakan yang bersifat terisolir dan sporadis. Walaupun pada akhirnya pihak oposisi Libya secara terang-terangan mengangkat senjata, keadaan ini tidak dapat dikatakan sebagai konflik bersenjata. Tindakan pihak oposisi untuk mengangkat senjata secara terang-terangan hanyalah tindakan untuk melindungi diri dari serangan sepihak yang dilakukan oleh pihak pro Moamar Qaddafi. Dalam pemberontakan antara pihak oposisi dengan pihak pro Moamar Khadafi, pihak oposisi mendapat bantuan persenjataan dari Prancis, Inggris dan Amerika Serikat. Bantuan persenjataan yang diberikan oleh Prancis, Inggris dan Amerika Serikat merupakan bentuk commit1973 to user pelaksanaan ketentuan Resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
PBB. Selain Prancis, Inggris dan Amerika Serikat, organisasi North Atlantic Treaty Organization (NATO) secara langsung membantu pihak oposisi dengan melakukan serangan kepada pihak pro Moamar Qaddafi. Adanya keterlibatan Prancis, Inggris, Amerika Serikat, dan NATO setelah dikeluarkannya Resolusi 1973 memberikan unsur internasional ke dalam konflik Libya. Pemberian unsur internasional ke dalam konflik disebut juga dengan internasionalisasi konflik internal (Internasionalized Armed Conflict). Terhadap hal tersebut, menurut Pasal 1 ayat 4 Protokol Tambahan I 1977, keadaan yang demikian disamakan dengan konflik bersenjata internasional. Dengan demikian, konflik Libya juga bisa disebut sebagai konflik bersenjata internasional, yang dilihat dari keterlibatan pihak luar yaitu Prancis, Amerika Setikat, dan NATO di dalam pertempuran melawan pihak pro Moamar Khadafi. Berdasarkan hal di atas, maka konflik Libya memiliki dua status konflik yang berbeda. Perbedaan yang mendasar dari kedua status konflik dapat dilihat dari para pihak yang terlibat dalam konflik serta hukum yang berlaku. Konflik Libya bisa disebut sebagai situasi ketegangan dalam negeri dilihat dari pihak yang terlibat yaitu pihak oposisi dan pemerintah, serta hukum yang berlaku adalah hukum nasional Libya. Konflik Libya bisa disebut sebagai konflik bersenjata internasional dilihat dari pihak yang terlibat yaitu Prancis, Inggris, Amerika Serikat, dan NATO melawan pemerintah Libya, serta hukum yang berlaku adalah hukun Den Haag dan hukum Jenewa. Terlepas dari status konflik Libya sebagai situasi ketegangan dalam negeri atau konflik bersenjata internasional, dari hari ke hari keadaan konflik Libya semakin memburuk. Korban konflik khususnya korban yang berasal dari penduduk sipil semakin banyak. Konflik Libya mengarah menjadi suatu kejahatan terhadap kemanusiaan, karena penyerangan yang dilakukan oleh pihak pro Moamar Qaddafi kepada pihak oposisi yang juga mengenai penduduk sipil dilakukan secara sistematik dan meluas. commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik Libya Dewan Keamanan PBB merupakan salah satu dari enam organ utama
PBB
yang
mempunyai
fungsi
sebagai
pemegang
kunci
pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dewan Keamanan PBB terdiri dari 15 negara anggota yang terbagi dalam 5 negara anggota tetap dan 10 negara anggota tidak tetap. Secara khusus Dewan Keamanan PBB diberikan kewenangan untuk terlibat dan menggunakan tindakan pemaksaan ke dalam sebuah kasus sebagai upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Keterlibatan dan tindakan pemaksaan Dewan Keamanan PBB hanya
diperbolehkan
terhadap
keadaan
yang
mengancam
atau
membahayakan perdamaian, melanggar perdamaian serta tindakan agresi. Kewenangan ini tercantum dalam Bab VII Piagam PBB. Istilah keadaan yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional memiliki pengertian yang sangat fleksibel dan luas yang digambarkan melebihi ancaman antara satu negara dengan negara lain serta situasi yang terjadi dalam negeri seperti perang sipil yang berakibat internasional. Sedangkan istilah pelanggaran perdamaian dan tindakan agresi hanya digambarkan sebatas situasi penggunaan kekuatan bersenjata antar negara (J.G. Merrills, 2005: 264). Pasal 39 Piagam PBB menyatakan Dewan Keamanan PBB dapat menyatakan bahwa suatu keadaan telah mengancam perdamaian dan keamanan internasional, dan Dewan Keamanan PBB harus membuat rekomendasi atau keputusan mengenai tindakan apa yang harus diambil. Pasal ini tidak memberikan ketentuan yang jelas mengenai batas suatu keadaan yang dikatakan sebagai keadaan yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Penilaian terhadap suatu keadaan yang mengancam
perdamaian
dan
keamanan
internasional
merupakan
kewenangan Dewan Keamanan PBB. Oleh karena itu, Dewan Keamanan commituntuk to usermenyelidiki suatu kasus untuk PBB diberikan kewenangan
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
menentukan apakah kasus tersebut dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional yang tercantum dalam Pasal 34 Piagam PBB. Pada Resolusi 1973 yang dikeluarkan pada 17 Maret 2011, pada bagian pertimbangan resolusi Dewan Keamanan PBB menyatakan bahwa konflik Libya merupakan konflik yang telah mengganggu perdamaian dan keamanan interanasional. Pada bagian pertimbangan tersebut Dewan Keamanan PBB juga menyatakan bahwa konflik Libya mungkin menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dikarenakan penyerangan terhadap penduduk sipil dilakukan secara sistematik dan meluas. Selain penyerangan dilakukan secara sistermatik dan meluas, pihak pro Moamar Qaddafi juga menyerang pihak oposisi secara membabi buta. Pasal 51 Protokol Tambahan I menyatakan yang dimaksud dengan serangan membabi buta adalah : a. Serangan yang tidak ditujukan kepada objek militer; b. Serangan dengan menggunakan cara atau alat bertempur yang tidak dapat ditujukan kepada objek militer tertentu; dan c. Serangan dengan menggunakan cara atau alat bertempur yang efeknya tidak dapat dibatasi seperti yang ditentukan dalam protokol. Haryomataram memberikan contoh dari apa yang dimaksud dengan serangan membabi buta. Menurut Haryomataran, serangan membabi buta merupakan serangan yang dilakukan dengan pemboman, dengan cara atau alat apapun, yang memperlakukan sebagai satu objek militer, yang terletak di dalam suatu kota, dusun, atau wilayah, dimana terdapat pula konsentrasi penduduk sipil dan objek sipil, dan serangan yang dapat diharapkan akan menimbulkan korban jiwa penduduk sipil, kerusakan objek sipil yang berlebihan (Haryomataram, 1984: 148). Dengan demikian pengertian serangan membabi buta adalah serangan yang dilakukan oleh pihak dalam konflik bersenjata tanpa menerapkan prinsip pembedaan. Prinsip pembedaan adalah salah satu prinsip dalam hukum to user humaniter internasional commit yang membedakan antara pihak yang boleh
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
diserang (kombatan) dengan penduduk sipil. (Ambarwati, Denny Ramdhani, Rina Rusman, 2010: 43). Selain membedakan pihak yang boleh diserang dan tidak, prinsip pembedaan juga membedakan antara objek yang boleh diserang dan tidak boleh diserang di dalam konflik. Untuk objek yang boleh diserang disebut dengan objek militer, sedangkan untuk objek yang tidak boleh diserang disebut dengan objek sipil. Pasal 52 ayat 1 Protokol Tambahan I 1977 memberikan pengertian bahwa objek sipil adalah semua objek yang bukan didefinisikan sebagai objek militer. Pada ayat 2 dijelaskan bahwa yang dikatakan sebagai objek militer adalah semua objek yang karena sifatnya, lokasi, tujuan, dan penggunaannya dapat memberikan kontribusi pada operasi militer, dan apabila objek tersebut dihancurkan, dikuasai, atau dinetralisir baik sebagian atau seluruhnya, maka dapat diperkirakan akan memberikan keuntungan militer secara nyata. Bentuk objek sipil yang harus dilindungi dicantumkan di dalam Pasal 25 dan 27 Konvensi Den Haag 1907. Pasal 25 menjelaskan bahwa serangan yang dilakukan terhadap pedesaan, perkotaan, tempat tinggal atau bangunan untuk pertahanan merupakan hal yang dilarang. Pasal 27 menjelaskan bahwa bangunan yang didedikasikan untuk keagamaan, kesenian, ilmu pengetahuan, monumen bersejarah, rumah sakit merupakan bangunan yang tidak boleh dijadikan sebagai tujuan militer. Pasal 3 ayat 1 Konvensi Jenewa IV menyatakan bahwa yang dikatakan sebagai penduduk sipil adalah orang-orang yang tidak mengambil bagian dalam konflik, termasuk anggota pasukan bersenjata yang meletakkan senjata mereka dan mereka ditempatkan sebagai hors de combat. Pasal 3 ayat 2 Konvensi Jenewa menyatakan bahwa ada beberapa tindakan yang dilarang dilakukan terhadap orang-orang yang termasuk dalam katagori Pasal 3 ayat 1. Tindakan tersebut antara lain : a. Kekerasan terhadap jiwa orang, terutama pembunuhan, pengurungan, perlakuan kejam, dan penganiayaan; commit to user b. Penyanderaan;
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Perkosaan, pelakuan yang menghina dan merendahkan martabat; dan d. Penghukuman
dan
pelaksanaan
putusan
tanpa
putusan
yang
diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang dilakukan secara lazim yang memberikan jaminan hukum yang diakui karena sangat dibutuhkan oleh semua bangsa yang beradab. Konflik bersenjata merupakan hal yang diperbolehkan, tetapi didalam pelaksanaanya tetap harus menghormati dan menjunjung nilainilai kemanusiaan. Penghormatan nilai-nilai kemanusian dapat dilakukan dengan cara menerapkan prinsip pembedaan terhadap penduduk dan objek sipil sesuai dengan ketentuan yang telah dijelaskan di atas serta memperlakukan korban konflik secara manusiawi. Prinsip pembedaan harus tetap diterapkan meskipun konflik tersebut berstatus sebagai situasi ketegangan dalam negeri. Kenyataan yang ada dalam konflik Libya adalah ketentuan prinsip pembedaan terhadap penduduk dan objek sipil tidak diterapkan. Berikut beberapa contoh tindakan nyata tidak diterapkannya prinsip pembedaan dalam konflik Libya (Apriadi Tamburaka, 2011: 238264) : a. Seorang saksi mata menggambarkan hujan peluru di atas kota Libya yang mengakibatkan perempuan dan anak-anak terbunuh serta beberapa keluarga terjebak di dalam rumah mereka dengan rasa ketakutan dan tidak aman. b. Pemerintah (Moamar Qaddafi) mengerahkan penembak jitu di sepanjang jalan luar kota untuk menembaki orang-orang yang berpergian. c. Direktur Jendral ICRC harus meminta kepada pihak pro Moamar Qaddafi dan pihak oposisi agar memperbolehkan pertugas kesehatan untuk melakukan pekerjaan dengan aman. Selain itu, tidak tercukupinya bahan makanan dan obat-obatan yang diperlukan bagi para korban konflik. d. Pihak pro Moamar Qaddafi menyerang kota Zhawiyah dengan commit to user menggunakan roket dan hampir menghancurkan isi kota. Fasilitas-
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
fasilitas umum seperti mesjid, rumah sakit, saluran listrik dan generator hancur akibat serangan dari pihak pro Moamar Qaddafi. e. Pihak pro Moamar Qaddafi melakukan penculikan terhadap aktivisaktivis Libya. Contoh diatas membuktikan bahwa prinsip pembedaan tidak diterapkan di dalam konflik Libya. Padahal prinsip pembedaan merupakan prinsip yang penting untuk diterapkan, karena prinsip pembedaan bertujuan untuk melindungi penduduk sipil dari konflik bersenjata. Tidak diterapkannya prinsip pembedaan dalam konflik bersenjata mengakibatkan penduduk sipil ikut menjadi korban konflik. Untuk menghindari meningkatnya jumlah korban konflik Libya, Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk terlibat dalam penyelesaian konflik Libya. Keputusan ini sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil serta menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Keterlibatan negara atau organisasi internasional sebagai pihak luar dalam suatu permasalahan negara lain masih sering menimbulkan perdebatan. Perdebatan tersebut menyangkut permasalahan kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara. Kedaulatan merupakan kebebasan negara untuk mengelola urusan dalam atau luar negeri tanpa campur tangan dari pihak lain. Piagam PBB secara jelas mencantumkan prinsip kedaulatan negara dalam tujuan dan prisip PBB yang terdapat dalam Pasal 1 dan 2 Piagam PBB. Pasal 1 ayat 2 Piagam PBB menyatakan bahwa PBB bertujuan untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri. Hal ini menunjukan bahwa PBB menghormati dan menjunjung kedaulatan yang dimiliki oleh negara-negara anggota PBB. Pasal 2 ayat 7 menetapkan bahwa tidak ada dalam ketentuan Piagam PBB yang memberikan kewenangan PBB untuk
ikut campur dalam
permasalahan dalam negeri anggota-anggota PBB, tetapi ketentuan ini tidak mengurangi penerapan penegakan langkah-langkah berdasarkan Bab commit to userlangkah-langkah berdasarkan Bab VII Piagam PBB. Penerapan penegakan
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
VII Piagam PBB adalah penerapan penegakan oleh Dewan Keamanan PBB terhadap situasi
yang mengganggu perdamaian, melanggar
perdamaian, dan tindakan agresi. Menurut Hyde suatu negara atau organisasi internasional dilarang untuk ikut campur tangan dalam suatu permasalahan negara yang disertai dengan bentuk tindakan untuk mengganggu kemerdekaan politik negara yang bersangkutan (J.G. Starke, 2001: 136). Sedangkan menurut keputusan Mahkamah Internasional dalam kasus Nikaragua dengan Amerika Serikat, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa campur tangan dari negara luar atau organisasi internasional dilarang apabila campur tangan tersebut berkaitan dengan masalah-masalah dimana setiap negara diperbolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas dalam hal politik, ekonomi, atau politik luar negerinya sendiri, dan campur tangan tersebut meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa (International Court of Justice, 1986: 108). Hal ini menunjukkan bahwa sebuah campur tangan negara lain atau organisasi internasional ke dalam suatu negara diperbolehkan apabila campur tangan tersebut bukan tindakan campur tangan untuk keputusan negara dan tindakan mengganggu kemerdekaan negara. Dengan demikian, sebagai suatu negara yang berdaulat Libya mempunyai kewenangan untuk menolak keterlibatan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya. Hal ini didasarkan pada prinsip dan tujuan PBB yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 2 dan Pasal 2 ayat 7 Piagam PBB. Namun karena keterlibatan Dewan Keamanan PBB bukan menyangkut permasalahan politik, ekonomi, ataupun politik luar negeri Libya, melainkan menyangkut tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Libya sebagai pihak pro Moamar Qaddafi terhadap penduduk sipil, maka Dewan Keamanan PBB dapat menggunakan kewenangannya untuk terlibat ke dalam penyelesaian konflik. Berdasarkan
pemaparan di atas, Dewan Keamanan PBB commit user ikut terlibat dalam penyelesaian mempunyai kewenangan yang sahtountuk
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konflik Libya. Keterlibatan ini didasarkan pada penilaian Dewan Keamanan PBB bahwa konflik Libya telah mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Keterlibatan Dewan Keamanan PBB bukan hanya sebatas terlibat dalam penyelesaian konflik, tetapi keterlibatan Dewan Keamanan PBB merupakan keterlibatan yang disebabkan oleh tanggung jawab yang diemban Dewan Keamanan PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
B. Tindakan Nyata Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik Libya Dewan Keamanan PBB merupakan salah satu organ utama PBB. Dewan Keamanan PBB memiliki tugas dan kewenangan yang berhubungan dengan upaya menciptakan dan menjaga perdamaian dan keamanan internasional seperti membuat rekomendasi untuk penyelesaian sengketa secara damai, mengambil tindakan terhadap kegiatan yang mengancam perdamaian,
mengganggu
perdamaian,
dan
tindakan
agresi,
serta
memerankan peranan yang sangat penting dalam pengembangan operasi penjaga perdamaian. Selain tugas dan kewenangan tersebut, Dewan Keamanan PBB memiliki beberapa fungsi sebagai kunci dalam menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, seperti : 1. Menjaga perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan tujuan dan prinsip PBB; 2. Menyelidiki konflik yang dianggap dapat menimbulkan pertentangan internasional; 3. Memberikan rekomendasi penyelesaian konflik; 4. Memformulasikan
rencana
pembentukan
satu
sistem
untuk
persenjataan; 5. Menentukan adanya ancaman terhadap perdamaian, tindakan agresi, serta tindakan yang perlu diambil; dan 6. Menyerukan kepada negara-negara anggota untuk melaksanakan commitPBB. to user keputusan Dewan Keamanan
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dewan Keamanan PBB mempunyai peran dominan dalam upaya menjaga perdamaian dan keamanan internasional, terutama dalam penyelesaian konflik internasional yang melanda negara-negara di dunia, baik negara anggota PBB maupun bukan negara anggota PBB. Peran dominan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik suatu negara merupakan tanggung jawab atas tugas dan kewenangan yang diberikan kepada Dewan Keamanan PBB. Keterlibatan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik suatu negara baru diperbolehkan jika negara tersebut melakukan tindakantindakan yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional, melanggar perdamaian serta tindakan agresi. Keterlibatan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik suatu negara dapat diminta oleh para pihak yang bersengketa, negara anggota PBB lainnya dan bukan negara anggota PBB. Hal tersebut dicantumkan dalam Pasal 35 Piagam PBB yang menyatakan bahwa baik negara anggota PBB dan bukan negara anggota PBB dapat membawa suatu sengketa atau situasi yang dapat menyebabkan gesekan internasional atau menimbulkan perselisihan yang kemudian
cenderung
membahayakan
perdamaian
dan
keamanan
internasional ke hadapan Dewan Keamanan PBB. Dalam konflik Libya, permintaan perhatian Dewan Keamanan PBB terhadap konflik tidak diajukan oleh para pihak yang bersengketa, melainkan oleh organisasi Liga Arab, Uni Afrika, serta Sekretaris Jendral Organization of The Islamic Conference (OIC). Ketiga organisasi tersebut merasa prihatin atas situasi yang melanda Libya serta mengencam tindakan radikal pihak pro Moamar Khadafi yang ditujukan kepada pihak oposisi yang juga mengancam keselamatan penduduk sipil Libya. Ketiga organisasi tersebut meminta Dewan Keamanan PBB untuk ikut terlibat dalam penyelesaian konflik sebagai bentuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, karena konflik Libya dianggap akan menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan yang bersifat meluas dan sistematik (Resolusi 1970, 2011: 1). commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mekanisme penyelesaian konflik melalui Dewan Keamanan PBB dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui penyelesaian secara damai dan melalui tindakan yang tercantum dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Piagam PBB. Dua mekanisme penyelesaian konflik tersebut perlu dilihat pada kenyataan penyelesaian konflik di Libya. 1. Mekanisme Penyelesaian Konflik Libya secara Damai Dalam penyelesaian konflik yang dihadapkan kepada Dewan Keamanan PBB, terlebih dahulu Dewan Keamanan PBB akan memberikan rekomendasi penyelesaian secara damai. Penyelesaian secara damai yang dimaksud adalah cara-cara penyelesaian yang tercantum dalam Pasal 33 ayat 1 Piagam PBB, yaitu negoisasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan, menyerahkan permasalahan kepada organisasi-organisasi regional, atau cara-cara damai yang dipilih oleh para pihak. Penyelesaian konflik secara damai melalui negoisasi, penyelidikan, mediasi dan konsiliasi disebut juga sebagai penyelesaian konflik secara damai melalui jalur diplomatik. Sedangkan penyelesaian secara damai melalui arbitase dan pengadilan, disebut juga sebagai penyelesaian konflik secara hukum. Dalam konflik Libya, Dewan Keamanan PBB memberikan penyelesaian konflik secara damai yang tercantum dalam paragraph 4 Resolusi 1970, yaitu dengan merujuk penyelesaian konflik Libya kepada Mahkamah Pidana Internasional. Pada penyelesaian konflik Libya Dewan Keamanan PBB tidak memberikan penyelesaian konflik melalui jalur diplomatik, melainkan memberikan penyelesaian konflik secara hukum. Keputusan Dewan Keamanan PBB untuk merujuk konflik Libya kepada Mahkamah Pidana Internasional merupakan hal yang dibenarkan dan sesuai dengan Pasal 37 Piagam PBB. Bahwa jika Dewan Keamanan PBB merasa konflik yang dihadapkan kepada dirinya akan mengganggu perdamaian dan keamanan internasional, Dewan Keamanan PBB dapat merujuk konflik tersebut kepada Mahkamah Internasional. Dikarenakan to kejahatan user konflik Libya cenderungcommit menjadi terhadap kemanusiaan yang
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bersifat sistemik dan meluas, dan Mahkamah Pidana Internasional yang mempunyai kewenangan untuk mengadili persoalan tersebut, maka konflik Libya dirujuk kepada Mahkamah Pidana Internasional. 2. Mekanisme Penyelesaian Konflik Berdasarkan Pasal 41 dan Pasal 42 Piagam PBB Jika penyelesaian konflik secara damai tidak dapat tercapai, dan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu memperparah konflik sehingga mengancam perdamaian dan keamanan internasional, Dewan Keamanan PBB dapat menggunakan kewenangannya untuk melakukan tindakan yang dicantumkan dalam Pasal 41 dan 42 Piagam PBB. Pasal 41 Piagam PBB menyatakan bahwa Dewan Keamanan dapat memutuskan untuk tidak menggunakan kekuatan bersenjata di dalam keterlibatannya. Tindakan yang dilakukan hanyalah berupa pemutusan hubungan ekonomi, komunikasi dan juga bisa pemutusan hubungan diplomatik. Tindakan tersebut dimaksukan agar negara yang bersangkutan kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhannya. Tindakan ini disebut juga dengan pemberian sanksi ekonomi. Piagam 42 Piagam PBB menyatakan bahwa Dewan Keamanan dapat memutuskan untuk menggunakan kekuatan bersenjata di dalam keterlibatannya. Penggunaan kekuataan bersenjata ini dapat dilakukan dengan cara blokade dan operasi militer yang dilakukan oleh anggota-anggota PBB. Tindakan ini disebut juga dengan pemberian sanksi militer. Sebagai tindak lanjut dalam upaya penyelesaian konflik Libya, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan dua buah resolusi. Resolusi merupakan instrumen hukum umum untuk organ PBB untuk membuat rekomendasi atau pernyataan, mengingat fakta, pernyataan pendapat, atau hal lain (Justin S. Gruenberg, 2009: 481). Resolusi pertama yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB adalah Resolusi 1970. Setelah resolusi tersebut dikeluarkan dan tidak memberikan perubahan terhadap konflik Libya, Dewan Keamanan PBB kembali mengeluarkan resolusi commit to user yaitu Resolusi 1973. Dikeluarkannya dua resolusi tersebut menunjukkan
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dewan Keamanan PBB telah menerapkan tindakan peace enforcement, yaitu tindakan nyata berupa penerapan sanksi ekonomi atau militer terhadap
situasi
yang
mengancam
perdamaian
dan
keamanan
internasional. Berikut penjelasan mengenai dua resolusi tersebut. a. Resolusi 1970 Resolusi 1970 dikeluarkan pada tanggal 26 Februari 2011. Latar belakang dikeluarkannya Resolusi 1970 adalah keprihatinan dan kecaman Dewan Keamanan PBB terhadap kekerasan yang ditujukan kepada penduduk sipil, serta untuk menanggapi kecaman Liga Arab, Uni Afrika, dan Sekretaris Jendral OIC terhadap konflik Libya. Dipaparkan sebelumnya bahwa ketentuan Resolusi 1970 berisikan mengenai penyelesaian konflik Libya secara damai melalui jalur pengadilan dengan merujuk konflik Libya kepada Mahkamah Pidana Internasional. Disisi lain Resolusi 1970 juga merupakan keputusan Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Libya. Dikatakan sebagai penjatuhan sanksi ekonomi, karena pada salah satu ketentuan resolusi dinyatakan bahwa
Dewan
Keamanan
PBB
melarang
adanya
pasokan
persenjataan kepada Libya yang disebut juga sebagai embargo senjata. Dengan adanya embargo senjata ke dalam wilayah Libya, maka pemerintah Libya akan kesulitan memenuhi kebutuhan persenjataan untuk melawan pihak oposisi. Ketentuan embargo senjata ke dalam wilayah Libya dikecualikan terhadap persenjataan yang digunakan untuk perlindungan kemanusiaan, pakaian pelindung termasuk jaket anti peluru dan helm militer yang akan digunakan oleh personil PBB, perwakilan media, serta pekerja lembaga bantuan medis dan kemanusiaan, serta pasokan persenjataan yang terlebih dahulu disetujui oleh Komite Dewan Keamanan PBB. Selain berisikan ketentuan mengenai embargo senjata dan commit to user rujukan penyelesaian konflik Libya melalui Mahkamah Pidana
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Internasional, Resolusi 1970 juga mengatur beberapa ketentuan pokok lainnya, yaitu : 1) Permintaan kepada pemerintah Libya untuk menghormati HAM dengan cara memastikan keselamatan semua warga asing yang berada di Libya dan memfasilitasi keberangkatan mereka untuk meninggalkan Libya, serta menjamin keselamatan pekerja lembaga bantuan kemanusiaan dan medis. 2) Larangan bagi negara-negara anggota PBB untuk menerima atau mengizinkan pihak-pihak yang dimaksud dalam Lampiran I Resolusi 1970 untuk masuk kedalam wilayah negara anggota atau transit melalui wilayah negara anggota. 3) Pembekuan terhadap aset dan sumber daya ekonomi yang berada di wilayah negara anggota PBB, yang dimiliki baik secara langsung atau tidak langsung oleh anak-anak Moamar Qaddafi. 4) Membentuk Komite Dewan Keamanan yang terdiri dari seluruh anggota Dewan Keamanan PBB untuk memantau pelaksanaan upaya penyelesaian konflik Libya. Pelaksanaan ketentuan Resolusi 1970 tidak berjalan dengan semestinya. Keadaan Libya semakin memburuk dan korban dari penduduk sipil semakin meningkat. Tidak terlaksananya ketentuan Resolusi 1970 disebabkan Moamar Qaddafi tidak menghiraukan Resolusi 1970 dan mengganggap Resolusi 1970 sebagai resolusi yang cacat. Masyarakat internasional semakin mengecam tindakan pihak pro Moamar Khadafi dan meminta kepada Dewan Keamanan PBB untuk segera melakukan tindak lanjut terhadap keadaan tersebut. b. Resolusi 1973 Resolusi 1973 dikeluarkan pada 17 Maret 2011. Resolusi ini merupakan tindak lanjut kedua dari Resolusi 1970 serta sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil dari akibat konflik yang commit to user Resolusi 1973 memuat beberapa semakin hari semakin memburuk.
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ketentuan pokok yang sama seperti ketentuan pokok Resolusi 1970, yaitu ketentuan pokok mengenai embargo senjata, larangan transit bagi pihak-pihak yang dimaksud dalam Lampiran I Resolusi 1970, serta pembekuan aset dan sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang dimaksud di dalam Lampiran II Resolusi 1970. Selain ketentuan di atas, Resolusi 1973 memuat mengenai ketentuan tambahan yang bertujuan untuk melindungi penduduk sipil, yang antara lain : 1) Memberikan kewenangan kepada negara-negara anggota PBB untuk bertindak secara nasional maupun secara regional dan bekerja sama bersama-sama dengan Sekretaris Jendral untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi penduduk sipil meskipun menyimpang dari paragraf 9 Resolusi 1970, yaitu larangan penjualan pasokan persenjataan ke dalam wilayah Libya. 2) Adanya zona larangan terbang di atas wilayah Libya dengan tujuan untuk melindungi penduduk sipil. Zona larangan terbang ini dikecualikan bagi penerbangan yang bertujuan untuk kemanusiaan seperti pemberian bantuan obat-obatan, makanan, serta bantuan yang terkait dengan evakuasi warga negara asing dari Libya. Sebagai bentuk pelaksanaan Resolusi 1973 sejumlah negara seperti Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat, serta organisasi pertahanan NATO ikut terlibat ke dalam konflik Libya. Keterlibatan ketiga negara tersebut bersama-sama dengan NATO merupakan keterlibatan untuk memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil. Bentuk keterlibatan Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat adalah dengan memberikan bantuan persenjataan kepada pihak oposisi untuk melawan pemerintah sebagai pihak pro Moamar Qaddafi. Sedangkan bentuk keterlibatan organisasi pertahanan commit to user langsung dalam pertempuran NATO adalah dengan berkontribusi
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
melawan pihak pro Moamar Khadafi. Keterlibatan ketiga negara tersebut bersama-sama dengan NATO bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada penduduk sipil. Dewan Keamanan PBB tidak meminta secara khusus kepada salah satu negara anggota PBB untuk ikut serta dalam melindungi penduduk sipil. Pada paragraf 4 Resolusi 1973, Dewan Keamanan PBB menyatakan memberikan kewenangan bagi semua negara anggota PBB untuk bertindak secara nasional maupun regional dan bekerja sama dengan Sekretaris Jendral untuk melindungi penduduk sipil. Berdasarkan ketentuan ini, Inggris, Prancis, Amerika Serikat dan NATO memilih untuk ikut terlibat dalam konflik Libya. Sejauh ini keikutsertaan ketiga negara tersebut bersama-sama dengan NATO dalam konflik Libya merupakan tindakan yang tidak bertentangan dengan ketentuan Piagam PBB. Pasal 2 ayat 7 Piagam PBB menyatakan bahwa negara anggota tidak diperbolehkan untuk intervensi dalam permasalahan dalam negeri negara lain, namun apabila hal tersebut dimaksudkan untuk penerapan langkah-langkah hukum oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan kewenangan yang tercantum dalam Bab VII Piagam PBB, maka intervensi tersebut diperbolehkan. Ketiga negara tersebut bersama-sama dengan NATO hanya melaksanakan keputusan dari Dewan Keamanan PBB. Keputusan yang telah dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB mempunyai kekuatan mengikat bagi negara-negara anggota PBB, termasuk bagi negara-negara yang secara nyata menolak ketika pengambilan keputusan berlangsung, dan bagi negara-negara yang tidak termasuk dalam keanggotaan Dewan Keamanan PBB (Marko Divac Oberg, 2006: 885). Kekuatan mengikat dari keputusan Dewan Keamanan PBB secara tegas dicantumkan dalam Pasal 48 Piagam PBB. Pasal 48 ayat 1 Piagam PBB menyatakan semua negara anggota PBB harus mengambil tindakan untuk melaksanakan keputusan Dewan Keamanan PBB. Pasal 48 ayat 2 Piagam PBB menyatakan bahwa keputusan tersebut harus dilaksanakan oleh negara anggota PBB baik commit to user dilaksanakan secara langsung maupun bekerja sama dengan badan-badan
perpustakaan.uns.ac.id
62 digilib.uns.ac.id
internasional lainnya. Meskipun tidak bertentangan dengan ketentuan Piagam PBB, keterlibatan negara-negara tersebut dan NATO bertolak belakangan dengan tujuan Resolusi 1973 untuk memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil. Hal ini disebabkan keterlibatan ketiga negara tersebut bersama-sama dengan NATO dalam konflik Libya menimbulkan korban penduduk sipil yang lebih banyak (http://jaringnews.com/, diakses 4 Juli 2012). Keterlibatan Dewan Keamanan PBB dalam konflik Libya bukan lagi dinilai sebagai keterlibatan biasa. Keterlibatan ini dinilai sebagai tanggung jawab untuk melindungi atau “Responsibility To Protect (R2P)” terhadap penduduk sipil. R2P adalah sebuah konsep untuk intervensi yang dilakukan oleh komunitas internasional terhadap suatu negara yang tidak ingin dan tidak mampu untuk menghentikan dan mencegah terjadinya pemusnahan masal, termasuk genosida, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya (Vijay Mehta, 2009: 2). R2P baru bisa dilaksanakan ketika sebuah negara tidak mempunyai keinginan dan kemampuan untuk menghentikan dan mencegah tindakan-tindakan pelanggaran HAM seperti genosida, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya. Ketika negara tidak mempunyai keinginan dan kemampuan untuk menghentikan dan mencegah tindakan-tindakan pelanggaran HAM, maka masyarakat internasional melalui Dewan Keamanan PBB mempunyai tanggung jawab langsung untuk menghentikan dan mencegah tindakan-tindakan pelanggaran HAM. Konsep R2P telah diterima oleh Dewan Keamanan PBB yang ditegaskan melalui Resolusi 1674 mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil dalam konflik bersenjata (Vijay Mehta, 2009: 8). Dalam hal konflik Libya, secara nyata Moamar Qaddafi sebagai pemimpin Libya tidak mempunyai keinginan dan kemampuan untuk menghentikan pelanggaran ketentuan perang yang berakibat langsung pada penduduk sipil. Tidak adanya kemampuan dan keinginan dari Moamar commit to user Qaddafi untuk menghentikan pelanggaran HAM yang semakin luas,
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membuat masyarakat internasional yang diwakili oleh Dewan Keamanan PBB berkewajiban untuk terlibat dalam konflik Libya. Keterlibatan ini merupakan tanggung jawab untuk melindungi penduduk sipil sebagai bentuk penghormatan HAM dan tanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Berdasarkan pemaparan di atas, dalam penyelesaian konflik Libya Dewan Keamanan PBB telah memberikan keputusan penyelesaian secara damai melalui jalur hukum dengan menyerahkan penyelesaian konflik Libya kepada Mahkamah Pidana Internasional. Keputusan penyelesaian secara damai tersebut berjalan seiring dengan penjatuhan sanksi ekonomi kepada Libya melalui Resolusi 1970 dan 1973. Selain sebagai upaya penyelesaian konflik Libya, kedua resolusi tersebut juga merupakan upaya untuk menghentikan pelanggaran HAM terhadap penduduk sipil Libya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab III, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik Libya Keterlibatan Dewan Keamanan PBB dalam penyelesaian konflik Libya merupakan hal yang dibenarkan dan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki Dewan Keamanan PBB. Hal ini dikarenakan konflik Libya dikategorikan sebagai situasi yang mengganggu perdamaian dan keamanan internasional. 2. Tindakan Nyata Dewan Keamanan PBB dalam Penyelesaian Konflik Libya a. Tindakan pertama dalam penyelesaian konflik Libya, Dewan Keamanan mengeluarkan Resolusi 1970, yang berisikan tentang pengajuan penyelesaian konflik kepada Mahkamah Pidana Internasional sekaligus pemberian sanksi ekonomi berupa embargo senjata kepada Libya. b. Tindakan kedua dalam penyelesaian konflik Libya, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1973, yang berisikan tentang pemberian sanksi ekonomi dan juga seruan kepada negara-negara anggota PBB untuk ikut terlibat dalam melindungi penduduk sipil Libya.
B. Saran Keterlibatan Prancis, Inggris, Amerika Serikat, dan NATO dalam konflik Libya merupakan bentuk pelaksanaan Resolusi 1973 Dewan Keamanan PBB, tetapi keterlibatan ketiga negara tersebut bersama-sama dengan NATO bertolak belakang dengan tujuan resolusi untuk melindungi penduduk sipil. Berdasarkan hal ini, seharusnya Dewan Keamanan PBB dapat membentuk ketentuan suatu keputusan
commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
dengan jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dari tiap negara yang ingin melaksanakan keputusan Dewan Keamanan PBB.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Syukur. 2011. Para Koruptor Kelas Wahid Dunia. Yogyakarta: Flashbooks. Ade Maman Suherman. 2003. Oganisasi Internasional & Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Ambarwati, Denny Ramdhani, Rina Rusman. 2010. Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: Rajawali Pers. Apriadi Tamburaka. 2011. Revolusi Timur Tengah. Yogyakarta: Penerbit NARASI. Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadilah Agus, Achmad Rosman, Supardan Mansyur, Michael G. Naingolan. 1999. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: ICRC. Boer Mauna. 2011. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni. David Coyle Cushman. 1969. The United Nations and How It Works. Columbia University Press. Derek Bowet. 1994. The Impact of Security Council Decisions on Dispute Settlement Procedures. EJIL. D.J Harris. 1998. Cases And Materials On International Law. London: Sweet and Maxwell Limited. Fadilah Agus. 1997. Hukum Humaniter : Suatu Prespektif. Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter FH Univ Trisakti. Geoffrey Best. 1994. War & Law Since 1945. New York: Oxford University Press Inc. Haryomataram. 1984. Hukum Humaniter. Jakarta: Rajawali Pers ____________. 2007. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Huala Adolf. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
commit to user 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
ICRC. 1958. Commentary IV Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War. Geneva: ICRC. I Wayan Parthiana, 1990. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju. International Court of Justice. 1962. Certain Expanses of The United Nations (Article 17, Paragraph 2, of The Charter) Advisory Opinion of 20 July 1962. International Court of Justice. International Court of Justice. 1986. Case Concerning Military and Paramilitary Activities in and Against Nicaragua (Nicaragua v. United States of America) Judgment of 27 June 1986. International Court of Justice. James Barros. 1990. PBB Dulu Kini Dan Esok. Jakarta: Bumi Aksara. James G. Stewart. 2003. Towards a Single Definition of Armed Conflict in International Humanitarian Law: a Critique of Internationalized Armed Conflict. IRRC Vol. 85. Jaring News. 2012. NATO Harus Bertanggung Jawab Untuk Ketidakstabilan Libya. http://jaringnews.com/, diakses 4 Juli 2012 pukul 19.40. J.G. Merrils. 2005. International Dispute Settlement. Cambridge University Press. J.G Starke. 2001. Pengantar Hukum Internasional Jilid 1 Terjemahan Bambang Iriana Edisi 10. Jakarta: Sinar Grafika. ________. 2001. Pengantar Hukum Internasional Jilid 2 Terjemahan Bambang Iriana Edisi 10. Jakarta: Sinar Grafika. Justin S. Gruenberg. 2009. An Analysis of United Nations Security Council Resolutions are All Countries Treated Equally. Case Western Reserve Journal of International Law Marko Divac Oberg. 2006. Legal Effects of Resolution of The UN Security Council and General Assembly in the Jurisprudence of the ICJ. The European Journal of International Law Vol. 16 no.5 © EJIL Maria Cristina Paciello. 2011. Tunisia: Changes and Challenges of Political Transition. MEDPRO (Mediteranian Prospect). Masyhur Effendi. 1994. Hukum Humaniter Internasional. Surabaya: Usaha Nasional. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
Merhdad Payandeh. 2011. The United Nations, Military Intervention, and Regime Chage in Libya. Virginia Journal of International Law. Vol.52 (2011). PBB. 1995. Pengetahuan Dasar Mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jakarta: Kantor Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIC). Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Robert Kogod Goldman. International Humanitarian Law: American Watch’s Experience In Monitoring Internal Armed Conflicts. AM. U. J. INT'L L. & POL'Y. VOL.9:1 Safril Djamain. 1993. Mengenal Lebih Jauh PBB dan Negara-Negara di Dunia. Klaten: PT. Intan Pariwara. Sefriani. 2010. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press Schoolpedia.
2012.
Sengketa
Internasional.
http://isfanl.blogspot.com/2012/02/sengketa-internasional.html
diakses
20
Juni 2012 pukul 14.16 WIB. Sri Setianging Suwardi. 2004. Pengantar Hukum Organisasi Internasional. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Sumaryo
Suryokusumo.
1987.
Organisasi
Internasional.
Jakarta:
Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press). ___________________. 1997. Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional. Bandung: P.T. Alumni. Sundhus Balata. 2011. The Egytian Uprising a Movement In The Making. Kanada: I & I Vol. 4 No. 1. United Nation Charter (Piagam PBB) United Nation Holocaust Memorial Museum. 2012. World War II: Timeline. http://www.ushmm.org/, diakses 14 Agustus 2012 pukul 19.20 WIB.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
Vijay Mehta. 2009. Diskusi The UN Doctrine on the Responsibility to Protect, Can it be enforces to prevent wars, genocides, and crimes against humanity. Kendal: South Lakeland & Lancaster United Nation Association.
commit to user