446
Hukum dan Pembangunan
DEMOKRATISASI KEHIDUPAN POLITIK DI INDONESIA MENYONGSONG PEMILU 1992 DAN SIDANG UMUM MPR 1993 Oleh : Satya Arinanto Banyak hal yang menarik untuk dikaji lebih mendalam dalam rangka mendemokratisasi kehidupan poUtik di Indonesia di era tahun 90- an. Adanya pergeseran pemahaman dan berbagai dinamika polilik yang terus berkembang dalam masyarakat dan perlu mendapat perhatian dalam menyambut Pemilu 1992 dan Sidang Vmum MPR 1993. Dalam tulisan ini Penulis mencoba memaparkan tiga hal, yakni Telaah penyelenggaraan Pemilu, Kebebasan Akademik dan Kebebasan Pel'S dalam rangka menciptakan kehidupan demokratis kehidupan poUlik di Indonesia. "Dalam mempertahankan orde, vrijheid harus diperhatikan, jangan sampai vrijheid dilanggar semau-maunya. Het gezag zal de orde handhaven. Ada planning for freedom. Ingat militantie demokratie : demokrasi harus menjalankan planning bukan maksudnya untuk onderdrukken, untuk menindas individu akan tetapi untuk melindungi persoonlijke vrijheid. Negara harus menjalankan geleide planning ... " (Prof. DjokoSoetono) Dalam kepustakaan Hukum Tata 'Negara dan IImu Politik, kita menjumpai ban yak sekali pengertian ten tang demokrasi dan politik. Dari berbagai pengertian yang diberikan oleh para sarjana tersebut, penulis menilai bahwa pengertian yang dikemukakan oleh Prof. C. F. Strong, seorang ahli ketatanegaraan Inggris, cukup representatif untuk
447
Demokratisasi
dikemhangkan dalam tulisan ini. • Dalam hukunya Modern Political Constitution: An Introduction to The Comparative Study of Their History and Existing form, Prof. Strong memherikan pcngcrtian mcngcnai demokrasi politik sehagai herikut : " ... That government shaIl rest on the consent of the governed; that is to say, the consent or dissent of the people shall have real outlets fur expressions at elections, on the platform, in the Press, and so furth . ") Dari pcngertian yang dikemukakan oleh Prof. Strong terschut, kita hisa melihat adanya penekanan pada tiga unsur pcnopang kehidupan kctatanegaraan dari suatu negara yang dcmokratis, schagai prasyarat untuk mewujudkan demokrasi politik. Ketiga unsur terschut mcliputi : (1) Kehehasan mcnyat.1kan pcndapat dalam pcmilihan umum, (2) kehehasan mimhar dan (3) kehchasan pers. Ketiga unsur terschut akan menjadi pokok hahasan utama dalam tulisan ini. Kebebasan Pemilihan Umum Dalam perspektif teotitis, kita tclah memahami hahwa pemilihan ' umum (pemilu) merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). 2 Dalam masa Orde Baru, ketentuan·ketentuan mengcnai pemilu terschut ant.1ra lain tertuang didalam Undang-Undang No. 15 tahun 1969, yang kemudian diuhah dengan UU . No.4 tahun 1975, UU. No.2 tahun 1980, dan tcrakhir dengan UU. No.1 tahun 1985. Untuk pelaksanaan pemilu 1992, ternyata telah ada kesepakatan bahwa tidak akan terjadi peruhahan undang-undang pemilu, hal ini merupakan fenomena pert.1ma dalam masa Orde Baru, bahwa menjelang pemilu tidak diadakan perubahan undang-undang. Hal yang SCOla cam ini helum pcrnah terjadi didalam pemilihan umum-pcmilihan umum sehelumnya, dimana selalu ditctapkan undang·undang yang haru untuk penyelenggaraanya.
1) C.P.Strong. Modern Political Constitution: An Introduction to tbe Comparative Study of Their History and Existing Fonn (london: Sidqwick & Jack.son Limited, 1963). ha l. 18.
2) L;bat Pa",11 ayat (2) UUD 1945.
Olaober 1991
448
Hukum dan Pembangunan
Dalam membicarakan mengenai demokrasi di Indonesia, Prof. R. William Liddle, Guru Besar I1mu Politik pada Ohio University; memulai dengan uraian ten tang pergeseran dari gel om bang demokrasi di dunia ketiga. Menurut Prof. Liddle, pergeseran itu disebabkan oleh dua faktor atau kombinasi antara keduanya. 3 Pertama, krisis legitimasi diatas, dimana kebijaksanaan pokok pemerintah otoriter dianggap oleh umum telah gagal mencapai tujuannya. Kedua, dorongan dari bawah, dimana sebagaian masyarakata yang makin hari makin besar dan kuat, mendesak pemerintah otoriter agar rakyat diberi hak partisipasi politik: Argentina dan Brazil mungkin merupakan contoh yang pertama, sedangkan Thailand, Taiwan dan Korea Selatan merupakan contoh faktor kedua. 01 Philipina dan Pakistan, dorongan dari bawah dan kegagalan dari atas nampakoya 4 bertemu ditengah Dalam pandangan Prof. Liddle untuk kondisi di Indonesia pada saat ini faktor pertama dan kedua belum ken tara. Dengan keberhasilan berbagai kebijaksanaan ekonomi sejak 1983, termasuk penggalakkan pajak dan ekspor non migas, pemerintah orde baru masih bisa mengklaim legitimasi politik tinggi. Di masyarakat belum ada gerakan politis berarti' di luar lembaga-Iembaga resmi. Bahkan, dalam pengamatan Prof. Liddle, tanda-tanda paling awal-pun kearah pembentukkan kekuatan baru belum kelihatan di cakrawala politik. Masalah suksesi, yang sampai ramai dibicarakan dan tentu saja berakibat luas, sekarang scakan -akan sudah kembali kepada status semula : sebagai persoalan masa depan dan masa · . 5 k Inl.
Kemudian Prof. Liddle menyimpulkan bahwa ia masih percaya pada penggolongan politik masyarakat Indonesia melalui garis-garis agama, suku bangsa dan stratifikasi sosial. Akan tetapi Prof. Liddle tidak lagi bcrpcnliapat, bahwa satu-satunya sistem kepa rtaian yang cocok dengan pcnggolongan ini adalah sistem PKI-PNI-NU-MASYUMI serta partaipartai kccil seperti Parkindo, Partai Katholik, PSI dan scterusnya. Prof Liddle masih menaruh harapan yang cukup besar -pada kemungkinan perekayasaan dari at.1S yang tepat dimasa peralihan nanti. 6 3)
R. William Liddle.
4)
Ibid.
5) Ibid. 6) Ibid.
~Merekayasa
Demokrasi di Indonesia", Kompas, 6 rcbnJari 1990, bal. 4.
449
Demokratisasi
Pendapat Prof. Liddle mengenai "perekayasaan dari atas· tersebut, dimana ia menarub barapan yang cukup besar pada kemungkinan terjadinya perekayasaan dari atas yang tepat dimasa peraliban nanti, ditafsirkan Prof. Ismail Suny, Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI, sebagai adanya kemungkinan untuk mengubab Undang-Undang Pemilihan Umum ( UU. No.1 tabun 1985) yang berlaku untuk pemiliban umum 1987, dan yang nantinya akan diberlakukan pula didalam pemiliban umum 1992. Menurut Prof. Suny, " •..sebenarnya sudab ada maksud dari Menteri Dalam Negeri Rudini dengan minta pertimbangan LIPI untuk peninjauan Undang-Undang Pemilu. Tetapi karena ketiga Orsospol sudab secara musik koor saja menyetujui status UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, termasuk UU Parpol dan Golkar tentunya, yang berlaku sekarang ini, maka kita dewasa ini tidak dapat berbieara ban yak tentang usaba-usaba orsospol untuk mendemokratisasi orsospol sendiri. "7 Dalam pasal 1 ayat (2) UU. No. 1 tabun 1985 tentang Pemilihan Umum ditegaskan, babwa pemiliban umum diselenggarakan berdasarkan demokrasi Pancasila dengan mengadakan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas dan rabasia. Hal ini agak berbeda dengan asasasas pemilihan umum pertama yang diselenggarakan di Indonesia pada tabun 1955, yang pelaksanaannya berdasarkan Un dang-Un dang Dasar Sementara (UUDS) 1950 dan UU. No.7 tabun 1953 (LN· 1953 No.29). Dalam pasal 35 UUDS 1950 tersebut ditegaskan bahwa : "kemauan rakyat adalab dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam pemiliban berskala yang jujur dan yang dilakukan menurut bak pilib yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rabasia ataupun menumt eara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara."8 Dalam pembabasannya Prof. Soepomo menguraikan babwa pasal ini adalab sarna dengan pasal 34 Konstitusi Republik Indonesia Serikat tabun 1949, banya kata-kata bak pilih sedapat mungkin bersifat umum diganti dengan kata-kata bak
7) Ismail Suny, RProspek. parpol dan Golkar Ditinjau dari Sudul Hukum Tala Negara", (Makalab yang disampaikan dalam rangka Bulan Kajian keilmu3n II, yang dilaksanakan oleb Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UI, depok, 22 Maret 19Q(). bal. 6.
8) Supomo, UOdang-UDdang Dasar Semeotara Repuhlik Indonesia. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1974). bal. 41.
Ok/ober 1991
Hukum dan Pembangu1IIln
450
pilih yang bersifat umum. Hal ini berarti bahwa kata-kata sedapat mungkin dihilangkan. Pasal ini sesuai dengan pasal 21 ayat (3) Universal Declaration of Human Rights.9 PerbCdaan utama dalam asas-asasnya antara pemilu 1971, 1977, 1982 dan 1987 (bahkan juga 1992) ialah tidak adanya asas berkesamaan sebagaimana ditegaskan dalam UUDS 1950 tersebut. Sebagaimana kita ketahui, didalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang mengatur mengenai pemilihan umum. Arti dari berkesamaan disini ialah bahwa semua wakil rakyat di DPR dan DPRD harus dipilih melalui pemilihan umum. Dengan sendirinya setiap warga negara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan berhak memilih dan dipilih. Tidak ada sebagaian rakyat yang menienuhi syarat-syarat yang ditentukan, namun tidak boleh mernilih atau dipilih. Atau dengan perkataan lain tidak ada anggota DPR dan DPRD yang diangkat, kecuali bagi golongan tertentu yang setelah mengikuti pernilihan umum tidak dapat mencapai imbangan suara yang ditentukan, maka untuk mereka dapat diangkat wakil-wakil yang akan duduk di
mLW
.
Penggunaan asas berkesamaan tersebut penulis pandang cukup penting untuk dicantumkan kembali dalam Undang-Undang Pemilu yang akan datang, walaupun tampakoya hal itu masih sulit untuk dilaksanakan, tanpa adanya political will dari pemerintah untuk menghapuskan pengangkatan anggota ABRI di DPR sebanyak 100 orang, yang berarti tidak kurang dari 20 % dari jumlah keseluruhan anggota DPR tersebut. Sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 11 jo pasal 14 UU No. 1 1985, anggota-anggota ABRI tidak menggunakan hak memilih dan hak dipilih. Jadi proses pengisian jabatan anggota-anggota DPR dari kalangan ABRI ialah melalui pengangkatan. Hal ini dapat dipandang bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menganut asas equality before the law, yang berarti bahwa seharusnya tidak ada pembedaan kedudukan antara ABRI dengan rakyat. Apabila kita tinjau dari segi historis, bahwa dalam masa-masa revolusi kemerdekaan Indonesia, lahimya ABRi justru bersumber dari rakyat. 9)
Ibid.
10) Mob. Kusoatdi dan Harmaily Ibrahim, P...gaular Hokum To .. Neg.... Indoo ..ia (Jakaru : Pusar Studi Hukum Tala Negara fliUI. 1983). bal. 343-344.
I)pnoia;atispsi ,< ,\
,~.u~"l\
nllm,Q.~glPl.Ql'm.ikia!\',jelas
bahwa'lkedudukan kBR:lltidjikllrIJlllllbih,'tinggi dappadllqlak,ya\;<J 'mdainkan- fjustenr: rllefupakjUnl bagianl)il3I1i .Iifa!Qya liiu 'SllJldiri,;'Dengan Aemikian •.dapat Igisimpulkan,{bahw be'i:'dasarkaIJlhUOO 1945, apapun dalihnya, pengangkatan 100 anggota ABiU 'dirIDPR" tidakl3.b fwbel\lU~3!! , P.engangka!!m. den'liki~ hanya\ahlbisa difullngkiitkan-ui MPR, ,b!!.kan djlD.lllt, ~palagi. jik1\, ditinjau; K9mposisglkearlggota,an -MPR seCara .ke:;llluptll.ap; ·ca.lqm , jelll,slah bahwl! ~anggota·r.yang!J qiahgkatlilebih "besar AlIti.p.l!c;la yl\llg,r djpilib. ,Hal ,.ini jel3S=jelas rbertentanganJ<'dengan lirsas kedau)a!;PI. rakyat Yang ,ditegaskan dal3lmpasaH1 a;yat:(2i) U.UJ1)nl!'l451dan jelils-jelas mengarah · kepada 'pahrun kedaulatanJiliifa!Cyatg (sUfafsouvereiniteit).11 ", . n~·\. .P, mcl"~ "n8,( .il!l;l:lVi I,,;; Otl!b];karena,itl;', dlIlam rangka mendemokralisasi"kehiduparl Jfolitik'ili Irr!lonesia, ketentuan-.ke,tentuan mengenai pengangkatan anggota';ABRI di DPR .p.f;rlu d,itinjau.,kembal.i...pada mas3-masa yang akan dauirig . I Billl~clp ,a"tI1l .dtadjik_aILpengangkatan. dari anggota ~ABRI; p.engangkatan1tersebut seQai.knyaJ hanya l dilaku~an .di MPR, dan bukannya .di PPIt; karena! se§uai dengan namanya, Dewan tersebut adalah tempat perwakilan rakyat, dan bukannya peogangkatan rakyat. Bila tetap ada anggota-ariggota yang diaogkat, maka penulis mengusulkan agar nama Dewan tersebut' diubah menjadi Dewan Perwakilan Dan Pengangkatan Rakyat. Permasalahan .lain yang berkaitan dengan pemilihan umum yang beperap.1\ Wll!ctu , yang , Ialu sempat diramaikan media' maSSll"!adalah ~lq,tualis~i ja,,}jida.nji y;mg dikemukakan 'oL~h ,para'juru kllifi¥anye (jtitkafi\) dalam pemiliban umum. Hal ini sehubungan dengan janj~ 'jtirUI kamJfruiye Y~l!g ·jJlga ..fungsionarislGolkar, prof: nR\i ~,B!~Sumaj:lin da/:an! DIrnh{~anye perpilu 1987 yang lalu;l ~abwa Golkar akan terus membaffgUh rs"iltan1i L llar.3na pe,J;huQunga!\ seperti 'lalan, jembatani (lan fetryl i1enyt;b'erahgafl-lhiitat .pJlJau di 1:'I)l~l\Tenggara llimurl~ , , ,',,,n,,1! lcrJ'Jt1~J J)lJ~g .<:>: .. 'I &1cq 'u e.Lla!!Jb~a;lam pemilu ;.Jl98J..,yang •.d,ipertanyak9n k'emliali!'li'ar{l-lilirllff irtl\ t'l~yata ki)mlldian 'dibanta,hl,oleh ,wapreS Soedhgrmonlw(.yang 8e1:l"~~mDya menjabat ketlla DPP Golkar), bahwa 1.B. Sumarlin tidak per
1_", ,'.
tj'
""j
~ ~j
•
I
i', ,
J(
,;,!"
~':>;J',I- '
. ,1'
", -,
.• ')"
l.
ri
i~
It>b ~ 'lilufl
1~"I~q I"·J:;-,~!jl nl ";.d-Uh.,,,U (~i
-.:;~,~"i{l;
",}
,1i ·':J1
r"~!Hl:):
(:.fr,llu::.r
ii';f" ,
rl: '~I
£'U>i:j!)Y'i f>Jf;T
rH
:J
~!lI(Jl.1 (?, I
!'~tPen~~r~l _ !anrm~, ~mpds~~ 'K.e;,:,Uotaan ~Jj~liS}!~rmusr~~~r:~!ao~ I}a~y~~, Y;~Qg.. ~i~p,k.!l~~t ioi '''lkring di~emu1takan oteb pror. Ismail Suny da am berbagai ~ese,mpatan , ."),' ~'Ii 'T' !"~'I.."."q{!-;l~ fm"!r!b':~¥'J1 (11:;.1>10:,),,1 .1>.,'.s'(J" J I-- rk ,h". ) "-"V I ,.11, .u>!lI.j;Jr 1.2),.JtoR;1_P~ S Mty'et... 19fr7. ! ',;-)f' i~V~!"'n ~n' v •• r l ~1J':"J-!!.n~l(J J£ll. i::,iJ. M ·1"JHf;~' lltill.
t. .
13) Kompas. 26 Maret,1991.
.n u;(.,llllt, ,j~'f.IJl'I·{n.q rod
Olaober 1991
452
,~
Hukum
dan Pembangunan
tentunya patut dipertanyakan, karena menurut catatan penulis sebagaimana dimuatdalam Kompas tanggal25 Maret 1987tersebut,juru kampanyeJ.B. Sumarlin dari Golkar memang menjanjikan seperti itu kepada rakyat Nusa · 14 T enggara T lmur. Karena itu, maka dalam pemilu-pemilu yang akan datang perlu ada satu lembaga yang bertugas mengawasi dan mengontrol janji-janji yang dikemukakan oleh para juru kampanye dari ketiga kontestan, agar janjijanji tersebut benar-benar diwujudkan bila kontestan tersebut memenangkan pemilu. Hal ini bisa dilakukan dengan mengaktifkan Lembaga Pemilihan Vmum yang berada dibawah Oepartemen dalam Negeri, yang selam ini berkesan menganggur setelah pelaksanaan pemilu. Didalam lembaga tersebut bisa dibentuk satu komisi yang beranggotakan ketiga kontestan, agar obyektifitasnya dapat dijaga. Jika hal ini tidak dilakukan, dikuatirkan bahwa lama-lama rakyat akan memandang sinis terhadap janji-janji para juru kampanye tersebut atau dengan kata lain pengobralan janji-janji tersebut tidak lain sebagai usaha untuk menipu rakyat. Terakhir, berkenaan denan pemilihan umum yangbebas, perlu' ditinjau kembali kebijaksanaan Dewan Pimpinan Pusat (OPP) Golkar yang menggunakan sistem vote-getter dalam pemilu-pemilu sebelumnya, termasuk dalam pemilu 1992 yang akan datang. Sebaiknya, pencantuman nama para tokoh dalam daftar Calon Tetap OPP Golkar benar-benar diikuti dengan masuknya calon yang bersangkutan dalam keanggotaan OPR apabila ia terpilih. Selama ini ada kecenderungan .bahwa pencantuman nama-nama mereka hanyalah sekedar sebagai pemancing suara agar para pemilih cenderung untuk memilih Golkar. Padahal sesuai dengan namanya fungsi para vote- getter tersebut hanyalah pemancing suara, karena' mereka memang merupakan orang-orang terpandang yang mempunyai pengaruh di masyarakat, terutama dengan kualnya budaya patemalistik di rnasyarakat kita. 15 14) Bahao·bahan tersebut penulis bimpun dari data kepustakaao yang terdapat di Pusat Studi Hutum Tala Negara Fakultas Hulcum Universitas Indonesia. 15) Uomlt. uraian Icbm laojut meogeaai vote adkr in~ Imatlab tulisan Satya ArinanlO, "Janjt-jaoji Kampanye Pemilu ciao Realisasinya", dalam Hukum cUD Demokrasi (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tala Negara FHUl, 1991), bal. 36-42. Biasanya yang menjadi vote-pUa- ini iatah para Meoteri atau Manlo Mcnteri, atav orang-orang lain yang mempunyai peogarub besar di masyarakat tempat kampaoyetenebul dilakukao.
Demokratisasi
453
Kebebasan Mimbar Perbincangan mengenai kebebasan mimbar di tanah air kita, khususnya yang berlaku di lingkungan pendidikan(akademik), menghangat kembali sekitar tabun 1988, yaitu pada saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian menjadi Undang-Undang No:2 tahun 1989. Perbincangan kita menghangat ketika membahas mengenai istilahistilah kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan. Kebebasan ini adalah bagianyang lebih terperinci (species) dari kebebasan mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan (genus) sebagaimana ditegaskan dalam pasal28 UUD 1945. 16 Dalarn pasal tersebut ditetapkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dantulisan sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang. Oleh karena penjelasan pasal 28 UUD 1945 tersebut memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan, makapenafsiran kebebasan mimbar dan kebebasan mimbar akademik adalah bagian yang lebih terperinci dari kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, · terutama dalarn hubungannya dengan hak warga negara untuk mendapatkan pengajaran (pasal 31 UUD 1945) dan kewajiban pemerintah untuk memajukan kebudayaan nasional (pasal32 UUD 1945). Penafsiran analogis diatas diperkuat lagi dengan dasar hukum yang dipergunakannya kata-kata dan sebagainya setelah menyebutkan hak-hak asasi manusia : kemerdekaan berserikat, kemerdekaan . berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dalam pasal 28 itu, sebagai hal yang memungkinkan ditetapkannya perundangundangan yang mengatur mengenai kebebasan-kebebasan lainnya. Dalam hal ini Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1973, UU No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi dan Keputusan Deputy Menteri Perguruan Tinggi No. 1 tabun 1966 telab mengatur lebih lanjut mengenai kebebasan ilmiab dan kebebasan mimbar.
16) Ismail Suny, MeDeari KeadilaD (Jak.arta: Ghalia Indonesia, 1982). hal. 327-328.
Oktober 1991
454
Hukum dan Pembangunan
Pengaturan berilrutnya terdapat dalam UU No.2 tabun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang merupakan undang-undang pertama yang mengatur mengenai pendidikan nasional sebagimana diamanatkan UUD 1945. Salah satu pasal-pasal Imdang-undang tersebut yang banyak dipolemikkan adalah pasal 22, yang menegaskan sebagai berilrut : Dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengembangan i1mu pengetabuan pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan (ayat 1). Sedangkan dalam ayat 2 nya ditegaskan babwa : Perguruan Tinggi memiliki otonomi dalam pengelolaan lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi dan penelitian i1miab, terakhir dalam ayat 3 nya dinyatakan . babwa : pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peratutan pemerintab. Dalam sidang-sidang pembahasan RUU Sistem Pendidikan Nasional tersebut di DPR pada waktu itu, perumusan pasal 22 itu menjadi bahan perdebatan yang hangat, hingga kalangan di luar DPR, terutama para mahasiswa ban yak mengomentarinya. Tiga dari empat fraksi pansus (panitia khusus) di Dewan Perwakilan Rakyat mempermasalahkan istilah kebebasan mimbar, kebebasan mimbar akademik dan otonomi perguruan tinggi dan kebebasan mahasiswa terutama dalam kaitannya dengan rancangan pasal 22 tersebut. 17 Menanggapi berbagai pertanyaan dari berbagai fraksi tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Fuad Hasan mengemukakan bahwa masalah kebebasan akademik memang meliputi seluruh civitas akademika dalam arti murni yalrui dosen dan mahasiswa. Sistem perlruliahan harus timbal balik dan disini telah terjadi kesempatan untuk menggunakan kebebasan akademik, sedangakan mengenai kebebasan mimbar akademik sejak dulu memang tidak pemah dimiliki oleh mahasiswa melainkan menjadi milik para Guru Besar. Mengenai otonomi, Fuad Hasan ingin mendudukkan kembalipada kesan semula. Istilah otonomi yang ada ialah otonomi keilmuan, dan ini bukan merupakan monopoli kampus atau universitas. Istilah ini, menu rut Fuad, sering dirancukan dengan otonomi kampus, yang dikaitkan dengan
17) Kompas, I Desember 1988, bal l dan 5.
Demokratisasi
455
kebebasan kampus. Padahal hal ini keliru. Sedangkan mengenai otonomi universitas, hal ini memang ada, dalam arti universitas sebagai lembaga yang mengelola keilmuan. Dalam penjelasan UU No.2 tahun 1989, uraian mengenai istilahistilah dalam pasal 22 tersebut memang telah diberikan dengan jelas. Dijelaskan bahwa kebebasan akademik dimiliki oleh sivitas akademika yang terdiri dari staf akademik dan mahasiswa untuk melakukan pengajaran ilmu kepada dan antara sesama warganya serta melakukan studi, penelitian, pembahasan dan penerbitan ilmiah.18 Sedangkan kebebasan mimbar akademik sebagai bagian dari kebebasan akademik merupakan hak dan tanggung jawab seseorang yang memiliki wewenang dan wibawa keilmuan guna mengutarakan pikiran dan pendapatnya dari mimbar akademik. Sedangkan otonomi keilmuanpada hakekatnya berarti bahwa kegiatan keilmuan berpedoman pada norma keilmuan yang harus ditaati oleh para ilmuwan dan calon ilmuwan. 19 Dalam uraiannya mengenai The Rule of Law dalam bukunya yang terkenal ten tang The Law and The Constitution, Prof. Ivor Jennings berpendapat bahwa .... the existence of a free system of government creates an atmosphere of freedom which is more easily felt than analysed; but which excludes, for instance, the use of unconscionable means of obtaining evidence, spying, unnecessary restrictions upon freedom of movement and of speech, and above all, any attempt to restrict freedom of thought. .20 Dengan berpangkal pada penegasan Prof. Ivor Jennings tersebtrt, jelaslah bahwa kebebasan mirnbar sebagai bagian dari kebebasan mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan merupakait salah satu prasyarat esensil dari suatu negara yang ingin menegakkan rule of law, dalam rangka demokratisasi kehidupan politik di Indonesia, tidak diperbolehkan adanya penangkapan-penangkapan dan penahananpenahanan terhadap seseorang berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakannya didalam suatu forum ilmiah dengan d;l!ih membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan subversif. 21 18) Liliat penjelasan pasa122 UU No.2 Tahun 1989.
19) Ibid. 20) lvor jennings, The Law and The Constitution (London: University of London, 1946), bal. 60. 21) HaJ semacam ini pemah menimpa berbagai cendikiawan dan budayawan dan tokob-tokob lainnya di Indonesia, seperti Hamka, SUlan Syahrir, mochlar Lubis. H.R. Dbarsono dan bahkan Prof. Ismail Suny.
Oktober 1991
456
Hukum dan Pembangunan
Kebebasan Pers Mengenai permasalahan ini penulis tidak akan menguraikan secara panjang lebar, karena didalam majalah Hukum dan Pembangunan, penulis telah pernah mambahasnya dengan tuntas. 22 Permasalahan utama dalam topik ini ialah penggunaan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang diatur dalam Peraturan Menteri Penerangan No. 01/Per!Menpen/1984 sebagai sarana untuk membreidel pers. Padahal dari segi kategori hukum pers, ketentuan SIUPP tersebut termasuk dalam kategori code of enterprise, yang tidak berkaitan dengan kebebasan mengeluarkan pendapat melalui pers. Yang sebenamya berkaitan dengan ketentuan mengenai SIT (Surat Izin Terbit) yang kini telah dicabut, yang dalam kategori hukum pers termasuk dalam code of publication. Kerancuan ini setidak-tidaknya telah mengakibatkan jatuhnya dua korban yakni harian Sinar Harapan dan Prioritas. Korban ketiga telah menimpa tabloid Monitor, yang walaupun pencabutan SIUPP nya atas permintaan kbalayak ramai, namun dari segi hukum pers tetap tidak dapat dibenarkan. Dari rumusan yang dihasilkan oleh The Commission on the freedom of The Press, setidak-tidaknya ada tiga syarat agar pers dapat memiliki kebebasannya, yaitu : 1. Free from compulsins from whatever source, governmental or social, external or internal; 2. Free for the expressions of opinion in all its phases; 3. Free to all who have something worth saying to the public, since the esensial object for which a free press is valued .is that ideas deserving a public hearing shall have a public hearing?3
Untuk tercapainya unsur-unsur minimal yang dikemukakan oleh Komisi tersebut, diperlukan perjuangan dan perjalanan yang panjang. Hal ini dikarenakan di Indonesia diterapkan konsep kebebasan yang bertanggung jawab, dimana unsur tanggung jawab-nya lebih ditekankan
22) Liliat Satya Arinanto.
~Pembreidelan
Pers di Indonesia Pasca Pencabutan Pembatalan SIUPP:
Hukum dan Pembangu •• o, I (Februari, 1991) hal. 36-47.
23) William Ernest Hocking, Freedom of 1M Press: A Framework of Principle (Chicago: The Unwersity ofOicago Press, 1947), hal. 228.
Demokratisasi
457
daripada unsur kebebasan-nya. Bahkan, seringkali terjadi, pengertian tanggung jawab tersebut disalah artikan, dan ditafsirkan semata-mata berdasarkan pandangan pemerintah. Hal ini tentu merugikan bagi perkembangan kehidupan pers di Indonesia. Akibatnya, dalarn melakukan penulisan artikel-artikelnya, selalu diusahakan mempergunakan bahasa yang sehalus mungkin, · bahkan berusaha memanipulir beberapa data dan unsur yang ada, demi tidak timbulnya kecurigaan dan rasa kemarahan dari pihak pemerintah, yang bisa mengakibatkan pencabutan SIUPP secara sepihak oleh pemerintah. Karena jika hal ini terjadi, maka keseluruhan unsur pers itu -- dari pemirnpin umum hingga para karyawan, bahkan para pedagang pengecer di jalanjalan -- akan mengalami kerugian. Banyak orang akan kehilangan pekerjaan, kondisi ini tentu menimbulkan fen omena yang rawan bagai kehidupan dan masa depan pers di Indonesia. Dalam ruang liogkup yang lebih luas, hal ini sarna sekali tidak mendukung usaha-usaha untuk mendemokratisasi kehidupan polilik ketatanegaraan sebagairnana yang sering dihembus-hembuskan oleh kalangan pemerintah, bahkan niat ini dipertegas oleh presiden Soeharto sendri dalarn Pidato Kenegaraan di depan Dewan Perwakilan Rakyat tanggal16 Agustus 1990.24 Langkah terdekat yang bisa dilaksanakan ialah dengan mengadakan penmJauan kembali terbadap Peratuaran Menteri Penerangan No.Ol/Per/Menpen/1984 yang telah menimbulkan kerancuan dalarn bal ini. Sebarusnya, dari segi ilmu perundang-undangan, ketentuan tersebut ditingkatkan menjadi suatu Peraturan Pemerintab (PP), karena. untuk melaksanakan ketentuan dalarn undang-undang yakni UU No.ll tabun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagairnana "telab diubab dangan UU no. 4 tahun 1967 dan dengan UU no. 21 tahun 1982, seharusnya dengan PP. Dengan mengadakan peninjauan kembali terbadap peraturan tersebut, dibarapkan pers Indonesia dapat lebih bebas di kemudian bari. Babkan angan-angan agar pers dapat menjadi pilar demokrasi disuatu negara diharapkan akan terwujud di Indonesia.
24) Satya ArioanlO. loc. cit.
Oktober 1991
Hukum dan Pembangunan
458
Penutup Melalui suatu Keputusan Presiden yang dikeluarkan belum lama berselang, telab. d\.~tall\<;.an banwa llemi.\ihan umum yang akan datang diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992. Hal ini masih menimbulkan permasalahan dikalangan umat Islam, karena bertepatan waktunya dengan pelaksanaan ibadah hajL Walaupun sudah ada kesepakatan bahwa mereka akan bisa mempergunakan hakoya melalui pos, namun masih diperlukan pemantaun akan pelaksanaannya agar tidak timbul kecurangankecurangan. Para anggota OPR terpilih ditambah dengan anggota-anggota MPR akan dilantik pada tanggal 1 Oktober 1992, dan akan melangsungkan sidang umumnya pada bulan Maret 1993.25 Oalarn sidang umumnya tabun 1988 lalu, telah dihasilkan tujuh ketetapan, ketetapan-ketetapan yang penting diantaranya ialah tentang Garis~Garis Besar Haluan Negara (Tap MPR No. II/MPR/1988), tentang Pemilihan Umum (Tap MPR No. III!MPRl1988), dan tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang kepada Presiden!Mandataris MPR dalam rangka Pensuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional (Tap MPR No. VIIMPRl1988). Sebagaimana diketahui ketetapan yang penulis sebutkan terakhir oleh sementara kalangan dinilai telah memberikan kekuasaan yang berlebihan kepada presiden. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 2 nya, yang melimpabkan wewenang kepada PresidenIMandataris MPR untuk mengambil langkab-Iangkab yang perlu demi penyelamatan dan terpelibaranya persatauan dan kesatuan bangsa serta tercegabnya dan tertanggulanginya gejolak-gejolak sosial dan babaya terulangnya G30S PKI dan babaya subversi lainnya yang pada bakekatnya ada lab penyelamatan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila ·dan kebidupan demokrasi Pancasila serta menyelamatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 26
25) Biasanya dilangsungkao pada tanggall sampai dengao 11 Maret. Penggunaan tanggal-tanggal ini mungkin dlkaitkamn dengan sejarah lahimya Orde Baru.
26) Sekrclariat lenderal MPR-RI, Ketdapao-«etetapan Majclis Penousyawaratao Rakyal Repuhlik Indonesia Maret 1988 (Jakarta, 1988). ba1118.
DemolcTatiSasi
459
Menurut pandangan penulis, ketetapan ini perlu ditinjau kembali, karen a mengani wewenang presiden tersebut, materinya sudah tercakup didalam ketetapan No. V/MPR/1988 ten tang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia, yang didalamnya sudah sesuai dengan ketentuan UUD 1945, yakui tentang Kedudukan Presiden sebagai Mandataris MPR dan Masa Jabatan Presiden selama masa 5 tahun terhitung sejak diucapkannya sumpah atau janji dihadapan rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. 27 Demikianlah beberapa pokok pikira,n dalam rangka mendemokratisasi kehidupan politik di Indonesia untuk menyongsong Pemilihan Umum 1992 dan Sidang Umum MPR 1993. DAFI'AR PUSTAKA
Al Rasid, harun. Hukum Tala Negara Indonesia (Himpunan Kuliah-kuliah Prof. Mr. DjokoSoetono). Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982. Arinanto, Satya. "Himpunan Peraturan Tata Negara untuk Perkuliahan Hukum Tata Negara dan Lembaga Kepresidenan. Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1991. ----------------. Hukum dan Demokrasi. Jakarta Tata Negara FHUI dan P.T. Ind Hill co, 1991.
Pusat Studi Hukum
----------------. "Pembreidelan Pers di Indonesia Pasca Pencabutan Pembatalan SIUPP", Hukum dan Pembangunan No.1 Februari 1991. Dicey, A. V. An Introduction to The Study of The Law of Constitution. London: Macmillan & Co,. Ltd, 1968. Hocking, William Ernest. Freedom of The Press: A Framework of Principle. Chicago: The University of Chicago Press, 1947. Jennings, Ivor. The Law and The Constitution. London: University of London Press, 1946.
27) Liliat pasaJ 1 "dan pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. V/MPR/1988 tentan Pengaitgkatan Presiden Republik Indonesia.
OJaober 1991
460
Hukum dan Pembangunan
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1988. Liddle, William R. "Merekayasa Demokrasi di Indonesia", Kompas, 6 Februari 1990. Sekretariat Jenderal MPR-RI. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Maret 1988. Jakarta, 1988. Strong, C. F. Medern Political Constitution: An Introduction ti Comparative Study of Their History and Existing Form. London: Sidqwick & Jackson Limited, 1963. Suny, Ismail. "Prospek Parpol dan Golkar Ditinjau dari Sudut Hukum .,Tata Negara", Makalah yang disampaikan dalam rangka Bulan Kajian LK2 FHUI, tanggal22 Maret 1990. -------------. Mencari Keadilan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Supomo, Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1974.
•••
-.iKami ~ neen,1an/u antrtz.--..,. ANDA MEMBUTUHKAN BUKU DAN PENERBITAN HUKUM? Kebelulan Buku alau penerbilan yang dimaksud tidak ada di kOla anda. padahal anda amal memerlukannya. Hubungi kami dengan sural danlSerlakan perangk() balasan didalamnya. Kami akan segera membanlu anda Tala Usaha Majalah
IDIDI..
PlIII4NGDN4I JI. Cirebon STeip. (021) 33S432 Jakana Pusal.