Jurnal Sosiologi D I L E M A
PERKEMBANGAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA Ahmad Zuber Dosen Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 57126
Abstract This article describes little bite about the civil society, and also tries to explain the development of civil society in Indonesia. As Larry Diamond in “Developing Democracy toward Consolidation” says that Civil society is the realm of organized social life that is open, voluntary, self generating, at least partially self supporting, autonomous from the state, and bound by a legal order or set of shared rules. It is distinct from “society” in general in that it involves citizens acting collectively in public sphere to express their interest, passions, preferences, and ideas, to exchange information, to achieve collective goals, to make demands on the state, to improve the structure and functioning of the state, and to hold state officials accountable (Diamond, 1999, p.221). In Indonesia, since the Soekarno era until the Soharto’s rezim, the state could not create a good social and political sphere for constructing civil society. The state always tries to look for the way for getting the loyalty from the society through the political jargons which seem rational. In Soekarno era, a jargon of “Kontra Revolusioner” was created. While in Soeharto era, a jargon of “Anti Pembangunan and anti Pancasila” was created. Those two political jargons were given to them who were critical and who opposed the government. Therefore the development of civil society in Indonesia is still far from ideal. Kata Kunci : Civil Society
Sampai saat ini, negara sangat dirasakan sebagai sebuah organisasi yang memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan menundukkan rakyatnya melalui sebuah alat negara (terutama birokrasi dan Militer). Di sisi lain Rakyat dipahami oleh
52
negara sebagai sesuatu yang sangat lemah, tidak berdaya, tidak kreatif, sehingga negara perlu membe-rikan perlindungan, tuntunan, dan pengarahan, bahkan paksaan.
Ahmad Zuber “Perkembangan Civil Society di Indonesia”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 17 No. 1 Th 2004
A. Pengertian Civil Society Ketika kita berbicara tentang civil society, maka kita harus berbicara tentang negara. Artinya pembicaraan tentang civil society tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang negara. Meskipun antara civil society dan negara memiliki batas-batas sendiri. Namun diantara keduanya tidak perlu dijadikan lawan persaingan di dalam memperebutkan kepentingan/tujuannya masing-masing. Keduanya baik civil society maupun negara dapat saling menghargai sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sebuah artikel yang ditulis oleh Abdul Gafar Karim, M.A dapat memberikan gambaran yang cukup baik tentang perkembangan pemikiran makna civil society. Menurut Abdul Gafar Karim (2002, hal.1) dengan mendasarkan referensi Neera Chandoke (1995), Jean l. Cohen dan Andrew Arato (1992), Ernest Gelner (1995) dan Amalinda Savirani (2000), perkembangan pemikiran tentang civil society dapat dilacak dari tokoh pemikir Aristoteles (384-322 SM), Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755), Fergison di abad ke-18, Flegel (1770-1831), dan Tocqueville (1805-1883). Dalam pemikiran Aristoteles, civil society dapat ditemukan dalam suatu pemikiran politik koinonia (latin: societas civilis), suatu komunitas etis-politis yang terdiri dari warga negara yang bebas dan sejajar, dibawah suatu sistem hukum. Namun dalam pemikiran Aristotelis tersebut masih belum dibedakan antara negara dan masyarakat, juga antara masyarakat dan komunitas. Ide civil society dalam pemikiran Hobbes dapat ditemukan dalam pemikiran kontrak sosial yang produknya kekuasaan yang berdaulat akan memberi ikatan sosial bagi individu-individu yang betapapun rasionalnya mereka, secara natural asosial. Kontrak sosial melahirkan negara bukan masyarakat. Civil society dalam pemikiran Locke dapat dilacak dari pemikirannya Ahmad Zuber “Perkembangan Civil Society di Indonesia”
tentang kontrak sosial yang produknya adalah societas civilis dan societas politicus. Di sini Locke sudah membedakan secara tegas antara pemerintah dan masyarakat, sekaligus membedakan secara tegas antara kontrak sosial dan kontrak pemerintah. Pemikiran Montisquiue tentang civil society dapat dilacak dari penggabungan tradisi pemikiran tentang kontrak sosial dan kontrak pemerintahan dengan pembagian hukum Romawi atas civil law (mengatur hubungan antara warga) dan public atau political law (mengatur hubungan antara pemerintah dan masyarakat). Pemerintah: l’etat politique, dan masyarakat: l’etat civile. Kemudian Locke dan Montesquiue bersama-sama mengembangkan pemikiran tentang masyarakat yang dibedakan dari negara secara pesat. Pemikiran Ferguson tentang civil society dapat dilacak dari pemikirannya tentang civil society itu sendiri yang diartikan sebagai masyarakat yang memiliki lembagalembaga yang otonom yang mampu mengimbangi negara. Ferguson adalah orang pertama yang menggunakan istilah civil society yang kemudian dianut hingga saat ini. Pemikiran Hegel tentang civil society dapat dilacak dari pemikirannya tentang: (1) penggabungan tradisi natural law dengan ide Kant tentang universalitas individu sebagai pengusung hak dan sekaligus kesadaran moral. (2) Generalisir pembedaan negara dan masyarakat yang dikembangkan pada era pertengahan. (3) mengambil ide-ide Ferguson, serta suatu disiplin baru politik ekonomi yang melihat civil society sebagai lokus bagi peradaban materil. Pemikiran Tocqueville tentang pemikiran civil society dapat dilacak dari gagasannya tentang civil society itu sendiri yang secara sosiologis sebagai kehadiran asosiasi-asosiasi dalam masyarakat awal di New England (Amerika Utara). Formasi negara di Amerika memang diawali oleh kemunculan asosiasi, negara lahir belakangan. Tocqueville percaya bahwa 53
Jurnal Sosiologi D I L E M A kekuatan demokrasi di Amerika adalah adanya kehadiran asosiasi-asosiasi di tengah masyarakat. Apakah makna civil society dan bagaimanakah civil society dapat eksis di dalam masyarakat politik, tulisan Neera Chandoke dalam “State and Civil Society” (1995), dan Larry diamond dalam “Developing Democracy toward consolidation” (1999) memberikan pemahaman yang cukup baik. Menurut Neera Chandoke: “Civil society can be defined as the site at which society enters into relationship with the state. And the values of civil society are those of political participation, state accountability and publicity of politics. The institution of civil society are associational and representative forums, a free press and social associations (1995, p.9)”. Dalam kaitannya dengan peran negara, ia mengemukakan: “The civil society argument advocates the self management of this sphere, through the conscious creation of dense networks of association, self help bodies and social movement. Social movement in civil society simply reject the right of the state to intervene in their projects, and they oppose all effort of the state to control social life. So the goals of civil society are self limiting, the aim at the construction from below of highly articulated, organized autonomous and mobilizable civil society” (1995,p.30-32)
Selain hal yang disebutkan di atas, masih terdapat pemikiran yang sangat penting, menurut Chandoke, berkaitan dengan civil society, yaitu the civility of civil society: artinya dalam civil society mengembangkan dan menghargai tata tertib masyarakat. Dalam hal ini civil society mengembangkan nilai kerjasama dengan yang lain, dan tidak harus melawan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan hukum (1995, p.34-37). Pendapat Diamond tentang civil so-
54
ciety tidak jauh berbeda dengan pemikiran Chandoke, meskipun di dalam pemikiran Diamond ada hal-hal yang belum disinggung oleh Chandoke. Untuk itu dalam paper ini perlu saya kemukakan pemikiran diamond untuk mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap. Diamond dalam sub pokok bahasan “what civil society is and is not” mengemukakan: Civil society is the realm of organized social life that is open, voluntary, self generating, at least partially self supporting, autonomous from the state, and bound by a legal order or set of shared rules. It is distinct from “society” in general in that it involves citizens acting collectively in public sphere to express their interest, passions, preferences, and ideas, to exchange information, to achieve collective goals, to make demands on the state, to improve the structure and functioning of the state, and to hold state officials accountable (Diamond, 1999, p.221).
Oleh karena itu, menurut Diamond, civil society tidak harus membatasi kekuasaan negara tetapi justru memberikan legitimasi kewenangan negara ketika kewenangan negara didasarkan atas aturan hukum. Sedangkan berkaitan dengan karakteristik civil society yang demokratik, Diamond memberikan lima gambaran: The first, feature concerns how (indeed whether) an organization formally governs its own internal affairs. The second feature concerns the goals and methods of groups in civil society, especially organized association. The chances to develop stable democracy significantly improve if a society’s array of organizations and movements does not contain maximalist, uncompromising interest group with undemocratic goals and methods. The third feature of civil society is its level of organization institutionalization. As with political parties, institutionalized interest groups contribute to the stability, predictability, and governability of a democratic regime. The fourth feature of civil society is pluralism. Of course, some degree of pluralism is necessary by definition for civil society: no organization that is civil society can claim to represent all the interests of its members. The fifth and final feature is density. Civil society serves democracy best when it is dense in the sheer number of associations (Diamond, 1999, p.230).
Ahmad Zuber “Perkembangan Civil Society di Indonesia”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 17 No. 1 Th 2004
B. Civil Society di Indonesia Sebuah tulisan Ketut Suwondo yang berjudul “Negara dan Civil Society” dalam majalah Kritis, sangat menarik untuk disimak jika kita ingin berbicara perjalanan kehidupan civil society di Indonesia. Dalam tulisan tersebut Suwondo menjelaskan bahwa sejak pemerintahan Orde Lama hingga Orde Baru, civil society tidak dapat berkembang di Indonesia, karena negara Indonesia yang terlalu dominan terhadap masyarakat dengan menggunakan pendekatan stabilitas keamanan (security stability approach). Pendekatan tersebut mematikan kreatifitas dan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat terlalu takut dan cemas untuk bekreatifitas dan ingin memberdayakan dirinya, karena harus berhadapan dengan kegarangan negara. Untuk menggambarkan bagaimana civil society tidak berkembang secara kondusif di Indonesia, Suwondo menjelaskan dalam tulisannya terutama berkaitan dengan konsep hegemoni negara dan perkembangan kedaulatan rakyat (dalam Kritis, no 3-4, th IX hal 80-90). Suwondo dengan mengutip pendapat Budiman (1990) dan Chandoke (1995) mengemukakan bahwa pada mulanya konsep negara belum dikenal, yang dikenal adalah konsep “Natural Society”, yaitu suatu konsep tentang masyarakat yang hidup secara alamiah dan mendasarkan diri pada hukum alam, siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Untuk mengatasi adanya pertentangan antar kelompok atau antar individu, kemudian masyarakat menyerahkan hak kekuasaannya kepada suatu badan yang disebut negara. Kekuatan dan hukum alam, kemudian digantikan oleh kekuatan dan hukum politik yang kemudian dikenal sebagai ‘political society’. Menurut Suwondo, konsep negara kemudian mendapatkan banyak protes ketika negara bertindak secara absolut dan menindas masyarakat. Kritik Luther tahun 1517, yang Ahmad Zuber “Perkembangan Civil Society di Indonesia”
menentang kekuasaan negara geraja, sebagai salah satu penentang konsep di atas. Begitu juga dengan John Locke (1632-1704), seperti dikutip Suwondo bahwa manusia mempunyai suatu hak asasi yang tidak dapat diserahkan maupun dirampas oleh negara. Negara sebenarnya didirikan bukan untuk merempas kemerdekaan manusia, tetapi justru untuk melindungi kemerdekaan manusia. Di Indonesia, sejak pemerintahan Soekarno hingga Soehatro, negara tidak menciptakan iklim sosial politik yang baik dalam rangka untuk membentuk civil society. Negara selalu mencari-cari alat untuk mendapatkan kesetiaan dari masyarakat melalui jargon-jargon yang seakan-akan rasional. Di jaman Soekarno, diciptakan jargon politik ‘kontra revolosioner’ sebuah sebutan untuk mereka yang kritis dan tidak sehaluan dengan presiden saat itu, yaitu Soekarno. Sedangkan di jaman Soeharto diciptakan jargon politik “anti pembangunan dan anti Pancasila” untuk memberi predikat bagi mereka yang kritis terhadap negara dan penguasa. Semua cara-cara tersebut di atas digunakan dalam rangka mencari legitimasi masyarakat dan juga sebagi contoh pembentukan sistem ideologi yang hegemonic. Suwondo dengan mengutip pendapat Gramsci, hegemonic lebih diartikan sebagai dominasi kelas tertentu terhadap klas lain lewat kekuatan yang dipunyai lewat pemeliharaan kesetiaan. Kesetiaan itu diperoleh melalui serangkaian usaha reformasi dan kompromi ide-ide yang berasal dari group yang berbeda dan melalui suatu usaha. Untuk mempengaruhi pikiran atau ideologi massa. Dengan kata lain, bahwa konsep hegemoni yang dikonstruksi oleh negara Indonesia melalui usaha pembuatan jargon politik untuk mengelabui masyarakat, berpengaruh besar tehadap kerdilnya perkembangan civil society di Indonesia. Dalam kajian pendekatan birokrasi otorier, adanya keberhasilan di bidang 55
Jurnal Sosiologi D I L E M A pembangunan ekonomi di Amerika Latin (seperti Brasil, Chile, Argentina, Equador) dan bahkan di negara Asia (seperti Filipina (1986), Taiwan (1987), Pakistan (1988) dan Thailand) nampaknya dijadikan acuan atas pemikiran pendekatan birokrasi militer namun berhasil di bidang pembangunan ekonomi dan kemudian mampu menciptakan kelas menengah yang semakin kuat dan mampu melakukan bargaining power terhadap negara (Suwondo, 1998). Namun Arif Budiman (1991), seperti yang dikutip Suwondo, mengemukakan bahwa walaupun Indonesia dan Korea Selatan sama-sama merupakan negara birokrasi otoriter yang berhasil membangun ekonominya, namun proses demokratisasi di Indonesia tidak secepat di Korea Selatan. Sampai tahun 1996, Orde Baru masih merupakan regim yang terlalu kuat sedangkan masyarakat dapat dikatakan terlalu lemah. Salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya masyarakat adalah tidak munculnya kaum borjuis dan kelas menengah yang mandiri. Untuk memperjelas pendapat Budiman ini, Suwondo mengutip pendapat Richard Robinson yang menyatakan bahwa borjuis dan kelas menengan Indonesia sejak tahun 1978 sampai yang terakhir tahun 1996 sudah cukup mampu menghimpun kapital dalam jumlah besar, namun mereka itu tetap tidak mampu merubah kemampuan sosialekonominya untuk menjadi independen dari negara dan mampu menegakkan accountability terhadap negara. Hal ini disebabkan karena negara tetap menjadi sumber kekuatan sosial ekonomi utama, sehingga keberhasilan kelas menengah dan borjuis Indonesia sangat tergantung dari akses mereka terhadap sumber kekuatan sosial ekonomi negara seperti pekerjaan, kontrak, monopoli, dan lisensi. Dampak dari usaha untuk memperkuat korporatisasi negara melalui pendekatan birokrasi militer seperti di atas 56
dapat menyebabkan: (1) pada akhirnya massa lapisan bawah tidak dapat terus ditekan, (2) adanya penyempitan partisipasi yang akan melahirkan krisis lagitimasi negara dan (3) munculnya keresahan sosial politik, dimana demokratisasi menjadi tema sentral untuk dikritik (Suwondo, 1998). Dari gambaran di atas, tampak bahwa kekuasaan negara sangat besar sedangkan kekuatan rakyat sangatlah lemah, sehingga ada kesenjangan yang tajam antara kekuatan negara dan kekuatan masyarakat. Dengan demikan pemerintah (negara) dapat menentukan dan melaksanakan kegiatannya dengan semena-mena tanpa ada pertanggungjawaban kepada masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena hanya dengan adanya kedaulatan rakyat yang seimbang dengan kekuasaan negara sajalah maka pertanggungjawaban pemerintah (negara) di dalam melaksanakan kegiatannya dapat diminta oleh masyarakat (Suwondo, 1998). Sedangkan salah satu faktor yang dapat memberdayakan kedaulatan rakyat sampai mencapai posisi yang seimbang dengan kekuasaan negara adalah melalui pelembagaan dari kedaulatan rakyat. Secara teoritis pelembagaan kedalatan rakyat dapat dilakukan dengan tiga jalan, yaitu: Jalan yang digunakan oleh Plato. Sebagai filsuf Plato tidak mempersoalkan pelembagaan, tetapi baginya yang penting adalah bahwa pemimpin negara yang dipilih haruslah orang yang bijaksana sehingga akan dapat memimpin dengan baik dan benar. 1. Jalan yang digunakan oleh kaum pluralis. Kelompok ini mementingkan adanya Pemilu untuk menjunjung kedaulatan rakyat. Menurut kelompok ini, Pemilu dapat dipakai untuk mengoreksi jalannya pemerintahan. 2. Jalan yang dianut Montesquieu (19891755), yang memberi penekanan pada pembedaan kewenangan legislatif, yudikatif, dan eksekutif (yang dikenal Ahmad Zuber “Perkembangan Civil Society di Indonesia”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 17 No. 1 Th 2004
sebagai teori Trias Politica) (Hikam, dalam Suwondo 1998) Di Indonesia jalan pertama seakanakan telah ditempuh, yaitu dengan dipilihnya berulangkali pemimpin di jaman pemerintahan Soekarno dan Soeharto menunjukkan bahwa kepemimpinan mereka adalah cermin dari orang baik dan bijaksana. Namun dalam kenyataannya, masih sering dipertanyakan oleh masyarakat tentang bagaimana pandangan keanggotaan MPR/ DPR tersebut dalam memilih pemimpinpemimpinya. Jalan kedua juga telah dilakukan di Indonesia yaitu adanya pemilihan umum tiap lima tahun, namun dalam kenyataannya cara dan hasil perolehan wakil rakyat yang kemudian memilih para pemimpinnya masih sering dipertanyakan oleh masyarakat. Cara ketigapun seakan-akan telah dijalankan di Indonesia, namun kesan terlalu dominannya lembaga eksekutif di atas lembaga tinggi negara yang lain, membuat masyarakat selalu bertanya-tanya tentang konsep trias politika di Indonesia. Di Indonesia, kesan yang muncul di mata masyarakat bahwa semua proses politik yang dilakukan oleh negara terutama di era orde baru hanya semata-mata untuk mendapatkan legitimasi masyarakat, bukan untuk mengabdikan dan mewujudkan keberadaan civil society dan demokrasi itu sendiri. Kemudian bagaimanakan perkembangan civil society di tahun 2002? Saat ini civil society di Indonesia belum mampu dikatakan baik jika tidak mau dikatakan mati. Pertama, sebagaimana yang dikatakan Hegel, civil society adalah ruang bebas dari suatu kehidupan etis yang mempertemukan antara negara dengan individu atau keluarga dari suatu masyarakat. Atau sebagaimana yang dikatakan Diamond, civil society adalah kenyataan dari kehidupan sosial yang terorganisir dan bersifat sukarela swadaya dan terbebas dari tekanan negara, yang terikat oleh hukum yang berlaku. Kondisi Ahmad Zuber “Perkembangan Civil Society di Indonesia”
masyarakat di Indonesia saat ini masih jauh dari apa yang dikemukakan oleh Hegel dan Diamond seperti tergambar di atas. Kedua, civil society yang mampu menunjang dan membangun kehidupan yang demokratis, sebagaimana yang digambarkan oleh Diamond juga masih jauh dari kenyataan sosial dan politik yang terjadi di Indonesia. Konsep Diamond, tentang “How civil society promotes democratic development and consolidation”, di Indonesia masih jauh dari kenyataan. Diamond (1999) mengemukakan bahwa civil society yang kuat dapat membentuk demokrasi kearah perkembangan yang mendalam dan juga konsolidasi demokrasi dalam dua belas cara: The first and most basic democratic function of civil society is to provide “the basis for the limitation of state power, and the control of the state by society. The second is to supplement the role of political parties in stimulating political participation, increasing the political efficacy and skill of democratic citizens, and promoting an appreciation of the obligations as well as rights of democratic citizenship. The third, education for democracy has become explicit project in new democracies and also an international cause. The fourth is by structuring multiple channels, beyond the political party such as women and racial or ethnic minority, for articulating, aggregating, and representing interests. The fifth is by effecting a “transition from clientelism to citizenship” at the local level. The Sixth, a rich and pluralistic civil society, particularly in a relatively developed economy, tends to generate a wide range of interest that may cross-cut, and so mitigate, the principle polarities of political conflict. The seventh is recruiting and training new political leaders. Training emphasizes not only technical and administrative skills but also normative standards of public accountability and transparency. The Eight is by constructing explicitly democracy-building purpose. The ninth is by disseminating information and so empowering citizens in the collective pursuit and defense of their interests and values. The tenth is by playing that mobilization of new information and understanding are essential to the achievement of economic reform in a democracy. The eleventh, a growing number of civil society organizations (emanating especially from the religious and human rights communities) are de-
57
Jurnal Sosiologi D I L E M A veloping techniques for conflict mediation and resolution and offering these services. The twelfth, a vigorous civil society can strengthen the social foundations of democracy even when its activities focus on community development and have no explicit connection to or concern with political democracy per se.
Menurut saya, dua belas cara yang bisa dimainkan oleh civil society di atas untuk membentuk pemerintahan yang demokratis belum nampak di Indonesia, karena memang perjalanan civil society di Indonesia masih dalam taraf mencari bentuk. Dalam praktek politik, di Indonesia hubungan kepercayaan yang kuat tidak terletak pada akar horizontal yang merupakan fondasi bangunan terbentuknya civil society, tetapi pada akar vertikal antara pejabat dengan client yang saling tergantung membentuk budaya patron client yang ujung-ujungnya sebagai jaringan kolusi, korupsi dan juga nepotisme. Nampak sekali dari grass root society, middle class society dan borjuis kota di Indonesia sangat lemah sekali dihadapan negara. Mengingat betapa berat resiko perlawanan seperti apa yang digamarkan oleh Diamond (1994) untuk memperjuangkan terbentuknya civil cociety dan juga demokrasi. Kasus yang menimpa Dele Giwa, insan pers Nigeria, tercobak cabik tubuhnya oleh bom yang ditaruh pada kotak bingkisan untuknya, Guilermo Cano terbunuh pada bulan Desember 1986, Silvia Ducan pada bulan Februari 1990 keduanya dari Kolumbia. Evelio B. Javier dari Philipina tertembak mati dengan 24 butir peluru tersarang di tubuhnya dan kasusnya tidak pernah diajukan ke pengadilan, dan juga kasus Udin di Indonesia. Mereka adalah para suahada dan pahlawan demokrat dan civil society dunia.
58
Gambaran di atas bukan mengajak kita untuk berhenti menegakkan konsep civil society dan demokrasi, akan tetapi memberikan pelajaran yang amat penting pada kita yang tertarik untuk bergerak menegakkan civil society dan demokrasi untuk bersikap dan berbuat ekstra hati-hati dengan dilandasi strategi dan taktik yang sebaik mungkin untuk melawan kegarangan maupun kebodohan negara.
DAFTAR PUSTAKA Chandoke, Neera. State and Civil Society: Explanation in Political Theory. New Delhi: Sage Publication, 1995. Diamond, Larry. Developing Democracy to Ward Consolidation. London: The John Hopkins University Press, 1999. _____________. Pendahuluan, dalam Larry Diamond (ed), Revolusi Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. Karim, Abdul G. Perkembangan Pemikiran tentang Civil Society, Working paper di sampaikan dalam acara perkuliahan Program Magister Sosiologi FISIPOL Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Oktober 2002. Suwondo, Ketut. Negara dan Civil Society, dalam “Kritis” Jurnal Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, No. 3-4, th. IX, Januari – Juni 1998.
Ahmad Zuber “Perkembangan Civil Society di Indonesia”