Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
“DEMOKRATISASI” DALAM MASYARAKAT MADANI [caption id="attachment_237" align="alignleft" width="84"]
Asmuni Mth. MA[/caption] Muqaddimah Berbeda dengan para Nabi sebelumnya, kehadiran Muhammad dengan risalah Islamiyah yang dibawanya dimulai dari ardh al-harâm (Tanah Haram). Ardh al-harâm tidak identik dengan ardh muqaddasah (tanah yang disucikan), karena tanah yang disucikan yang lazim menjadi pusat dakwah para nabi bani Israil berimplikasi pada ke-nisbian nubuwat dan syari’ah yang menyertainya. Itulah sebabnya syariah-syariah para nabi itu disamping berlaku secara lokal, juga temporal.[1] Sedangkan ardh al-harâm meniscayakan kemutlakan kenabian Muhammad dan Kitab yang dibawanya yaitu al-Qur’ân. Kemutlakan dalam pengertian eksistensi kenabian Muhammad dan al-Kitab yang dibawanya yang dalam prespektif ini disebut muthlaqul Kauni. Dalam konteks muthlaqul Kauni[2] al-Qur’ân, Kitab terakhir ini bergerak pada tiga fungsi utama yaitu bahwa al-Qur’ân adalah sebagai mushaddiqan (fungsi tashdiq atau membenarkan) kitab-kitab terdahulu, bahwa al-Qur’ân berfungsi sebagai muhaiminan (batu ujian: baca korektor) terhadap kitab-kitab sebelumnya, dan bahwa al-Qur’ân berfungsi sebagai nasikhan (menghapus pemberlakuan) syariat yang dibawa oleh para nabi terdahulu. Ketiga fungsi ini bersifat integral. Kenabian Muhammad dan al-Qur’ân yang menyertainya bergerak dari al-ardh al-harâm (Mekah dan Madinah) seperti tersebut di atas mengarah ke berbagai penjuru dunia untuk membangun sistem globalisasi islami dalam konteks rahmatan li al-‘âlamîn yang diapresiasi setiap saat dengan pernyataan al-hamdulillâh Rab al-‘Âlamîn. Karena itulah kemutlakan al-Qur’ân dan ajaran Nabi Muhammad bersifat semesta dan berlaku sampai akhir zaman dengan karakter ummatan wasathan.
Ummatan Wasathan dalam Kemajemukan Istilah “politik islami” atau bahkan “negara Islam” kerap kita dengar. Jika direnungkan menunjukkan pada suatu struktur kekuasaan yang bertujuan untuk mengatur kehidupan politik[3] sesuai dengan prinsip-prinsip al-Kitâb atau Wahyu Islam. Dengan demikian maka istilah “politik” secara umum meliputi segala bentuk struktur politik yang muncul dalam sejarah
1 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
yang mengatur kehidupan politik masyarakat Muslim. Sedangkan signifikansi istilah “islami”, yang menjadi sifat dari “politik” tersebut, dapat dieksplisitkan bilamana memang semua dasardasar legalitas politik yang berlaku sudah dapat dikatakan sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai syari’ah, meski (dengan berbagai pertimbangan) tidak harus mengatasnamakan syari’ah secara langsung. Berdirinya sebuah negara islami memerlukan adanya komunitas penduduk yang komitmen terhadap prinsip-prinsip dan tujuan final dari Islam. Dengan kata lain, pernyataan “negara islami” meniscayakan adanya ummatan wasathan sebagai karakteristik umat Muslim pengemban syari’ah ini. Wasathan mengandung makna penengah, mirip dengan fungsi wasit dalam dunia olah raga. Ummatan wasathan harus berkarakter “adil” dan tidak memihak, lagi pula baik dalam berpikir dan bertindak. Mereka ini tidak dipengaruhi oleh persepsi pribadi atau kepentingan kelompok tertentu. Mereka hanya berpihak kepada kebenaran, sehingga fokus perhatian utama bagi mereka adalah “apa yang sebenarnya” meski hal tersebut bukan menjadi keinginannya. Pernyataan ayat tentang ummatan wasathan mengandung petunjuk ideal al-Qur’ân yang membentuk al-musawat atau kebersamaan hak dan kewajiban dalam kehidupan (karena hanya Allâh yang nomor satu, tidak boleh yang lain), tawadhu’ atau rendah hati dan tidak merasa ananiyah atau ego yang hanya tau benarnya sendiri, mengutamakan harmoni dan menghindari konflik dan eksploitasi (sebagai realisasi dari tanggung jawab fungsi strategis kemanusiannya yaitu khalifah Allâh di muka bumi), membuka diri untuk mau memahami yang berbeda dengan dirinya sekaligus menghadapi yang berbeda itu dalam kerangka berlomba untuk kebajikan, dan tidak membiarkan keinginan pribadinya maupun kepentingan kelompoknya, menghalangi pengungkapan kebenaran yang ditemukan secara adil. Dari perspektif sejarah, sistem politik islami merupakan pelopor dalam mengakui hakhak komunitas non-Muslim, baik dalam praktek ritual dan akidah, maupun pelestarian dan jaminan keamanan personal dan kelompok tersebut, baik dalam diri atau barang miliknya. Politik islami, juga, memperhatikan pembebasan kelompok non-Muslim dari penerapan Syari’at Islam, bahkan mengakui hak mereka dalam menerapkan syari’at mereka masing-masing. Politik islami pun menjadikan misi dakwah sebagai peran individu Muslim dan instansi-instansi non-pemerintah.[4] Akan tetapi, ijtihad-ijtihad para pemikir politik Muslim, dalam konteks negara Islam, lebih cenderung untuk mengaitkan konsep legalitas politik negara dengan penerapan hukum Syari’at Islam secara “kaffah” (untuk semua lapisan masyarakat) dan mendefinisikan misi negara sebagai penyebar Islam di tengah komunitas non-Muslim, bersikeras bahwa negara islami berhak menggunakan kekuatan untuk menundukkan negara-negara non-Muslim kedalam kedaulatan sistem islami. Ijtihad-ijtihad sejenis ini bersandar kepada pendapat-pendapat fiqih turats (klasik) dan praktek-praktek sejarah, seperti, dan yang paling menonjol, sikap keras generasi pertama sahabat Nabi terhadap gerakan pemurtadan, konflik antara kaum Yahudi di Madinah dan negara Islam yang baru muncul saat itu. Ijtihad-ijtihad tersebut, juga, bersandar kepada teori Dar al-harb dan Dar al-Islâm yang dikembangkan oleh sejumlah ulama Muslimin dan para faqih terdahulu pada masa perang.
2 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Sebuah pandangan cermat dan obyektif terhadap pemikiran politik islami seperti ini akan melahirkan wajah ganda yaitu: Pertama, berkaitan dengan sebuah kontradiksi antara dua sikap dasar yaitu: 1. Bahwa pada satu sisi sistem politik islami tidak hanya memperhatikan nasib warga Muslim, melainkan meliputi kelompok-kelompok beda agama. al-Qur’ân menegaskan kebebasan manusia dalam memilih akidah-akidahnya, mengajak kaum Muslimin untuk menghormati pilihan-pilihan kaum non-Muslim, dan mencari titik persamaan sebagai basis kerjasama untuk pencapaian tujuan bersama dalam suatu negara. 2. Bahwa pada sisi lain pemikiran politik islami, yang dominan masa kini, mengaitkan konsep legalitas politik dengan penerapan hukum Syari’at Islam atas segenap masyarakat, melakukan penyebaran Islam di tengah komunitas non-Muslim yang dipahami sebagai bagian dari misi negara islami, dan mempertegas hak negara tersebut dalam menggunakan kekuatan untuk menundukkan negara-negara non-Muslim. Kedua, berkaitan dengan penyelarasan antara dua hakikat yang permanent di dalam alQur’ân yaitu: (a). Bahwa sifat dasar risalah terakhir (Islam) ini adalah rahmatan lil ‘âlamîn, bukan hanya rahmat bagi sebuah kelompok manusia tertentu yang kebetulan menjadi penduduk Muslim pada daerah tertentu pula. (b). Bahwa beda agama yang terjadi di tengah masyarakat secara alami merupakan realitas wujud manusia sebagai ciptaan Allâh Subhanahu wa Ta’âla. Hal ini mengundang pertanyaan: bagaimanakah kerahmatan global Islam dapat tercapai jika masih terdapat orang-orang yang belum beriman? Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dengan cara menghadirkan kembali solusisolusi dan model-model masa lalu yang pernah dikembangkan oleh para ulama terdahulu. Bahkan, persoalan tersebut tidak dapat dipecahkan kecuali dengan merujuk standarisasi yang dibangun para ulama Muslim terdahulu. Standarisasi di sini meliputi kaidah-kaidah qur’ani yang komprehensif dan prinsip-prinsip politik Nabawi (yang bersumber dari pengalaman sejarah Nabi). Setelah memahami standarisasi (klasik), kemudian dijadikan titik tolak rekontruksi kaidahkaidah aksi politik ke depan yang lebih egalitarian, humanistic dan akomodatif terhadap berbagai kemaslahatan masyarakat tanpa melihat latar belakang agama mereka.
Prinsip-prinsip Komprehensif Sistem Politik Islami Melalui pencermatan yang mendalam terhadap al-khitâb al-Qur’âni (wacana qur’ani), dapat disimpulkan lima prinsip yang memiliki signifikansi politik yang diperlukan untuk membangun ‘demokrasi” perspektif islami, sebagai berikut: 1) Kemajemukan dalam beragama merupakan sesuatu yang alami dalam wujud manusia. 2) Menjamin kebebasan intlektual dan kebebasan menyatakan pendapat, sebagai prinsip qur’ani yang permanent, yang dimiliki masing-masing individu. 3)
Adanya kebebasaan berpolitik dan kebebasan berekonomi untuk mewujudkan
3 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
kesejahteraan dan keadilan yang tidak lain merupakan tujuan utama syari’ah.[5] 4) Adanya tekad yang baik untuk mentaati dan komitmen terhadap berbagai kesepakatan bersama (kalimatun sawa’), hal ini akan menjadi prinsip-prinsip komprehensif yang membentuk basis legalitas politik negara. 5) Kedaulatan negara terbatas pada mewajibkan individu untuk melakukan al-ma’rufat dan meninggalkan al-munkkarat.
Perbedaan Agama dan Keyakinan Jika ditelaah sejumlah ayat al-Qur’ân akan terlihat bahwa realitas kemajemukan umat manusia merupakan sesuatu yang alami sejak penciptaannya, berkaitan pula dengan pembentukan kultur, sosial, dan tujuan dari wujud manusia itu sendiri. Oleh karena itu, alQur’ân secara berulang-ulang mengingatkan kaum Muslimin, bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’âla mampu untuk menjadikan segenap manusia menjadi satu ummat saja, dan bahwa Dia mampu untuk mengeliminir perbedaan-perbedaan baik dari aspek aqidah maupun yang lainnya. Pun al-Qur’ân menjelaskan hikmah dibalik penciptaan manusia yang majmuk ini seperti disebutkan dalam QS al-Mâ’idah [5]:48). “48. Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur’ân dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[6] terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allâh turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu[7], kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allâh menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allâh hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allâh-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. Di dalam QS Hûd [11]:118-119, juga disebutkan yang artinya, “118. Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat., 119. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allâh menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) Telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” Dengan demikian, perbedaan antar manusia berkaitan, langsung, dengan tujuan akhir penciptaannya, dimana kebijaksanaan Allâh Subhanahu wa Ta’âla mengharuskan kehidupan manusia di dunia sebagai fase ujian dan cobaan (ibtila’). Melalui ujian tersebut akan diketahui sejauhmana komitmen para individu terhadap prinsip-prinsip kebenaran (al-haq), sejauhmana pula tekad mereka untuk menundukkan kecenderungan dan hawa nafsunya kepada prinsipprinsip mulia yang mengatur sistem wujud yang telah diterangkan oleh Syari’ah dan Risalah
4 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
kenabian Muhammad. Jadi, perbedaan antar kemauan manusia dalam mengatur diri sesuai dengan al-haq dan kebaikan yang diperintahkan Allâh Subhanahu wa Ta’âla. Perbedaan tersebut adalah salah satu sumber perbedaan antar komitmen akidah dan perspektif mereka. Lebih jelas lagi, di antara manusia ada yang memilih untuk menerima al-haq yang diterangkan oleh para Rasul dan menundukkan diri kepada nilai-nilai yang terkandung dalam risalah kenabian, dan ada pula mereka yang mengingkarinya. Meski adanya perbedaan itu, dalam kedua pilihan di atas, nasib individunya tidak dapat ditentukan secara jelas pada lingkup kehidupan dunia, karena keputusan kemenangan maupun kehinaan (al-sa’âdah dan al-siqayah), baik dan buruknya nasib seseorang hanya ditetapkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’âla semata.[8]
Misi Kenabian dan “Kepemimpinan” di Indonesia Sejarah mencatat bahwa sejak usianya yang masih kecil, Muhammad sudah memperlihatkan sikap yang santun, berani dan bertanggungjawab. Saat pertama kali memproklamirkan ajaran Islam sampai wafatnya pun selalu menempuh cara-cara yang santun, tidak dendam dan bahkan sedapat mungkin beliau menghindari jalan kekerasaan. Perang hanya dilakukan pada kelompok kafir yang menyerang dan mengancam hidup kaum muslimin saat itu. Saat di Madinah beliau juga telah meletakkan dasar-dasar bernegara[9] dan bermasyarakat yang maju dan beradab. Konsep Madinah al-Munawwarah yang kemudian di era sekarang dapat kita sebut sebagai tempat tinggalnya “masyarakat madani” yaitu masyarakat yang menghargai pluralitas, demokratis dan perimbangan kekuasaan antara eksekutif dengan civil society. Prinsip-prinsip penataan masyarakat multi cultural, perbedaan agama dan konsep integrasi antara Anshor (penduduk setempat) dengan Muhajirin (pendatang) telah dituangkan dalam sebuah kesepakatan yang sangat monumental, kita kenal dengan “Piagam Madinah”. Karya ini adalah sebuah konsep tata pemerintahan yang sangat maju pada jamannya, bahkan menjadi inspirasi bagi negara-negara Eropa sejak abad 16 dalam menata sistim control atas kekuasaan negara. Dengan demikian sungguh beliau telah membuat peradaban dan meletakkan konsep masyarakat yang berdab. Di sinilah pentingnya sistem politik islami tidak lain adalah refleksi untuk menginternalisasikan berbagai nilai ajaran yang telah diwariskannya kepada kita semua, bukan saja persoalan akidahmadhah (hablun min Allâh) akan tetapi harapan agar kita bisa hidup dalam suatu lingkungan social yang saling menghargai satu sama lain (hablun min an-nas) tanpa melihat perbedaan etnik, suku, status social, dan agama, sebagaimana harapan (missi kenabian) Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Relevansi Kepemimpinan Nabi dalam Konteks Ke-Indonesiaan “Menghadirkan” sifat-sifat kepemimpinan Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. sekarang ini, bagi bangsa Indonesia, menjadi urgen dan signifikan sekali. Hal ini mengingat masih banyak peristiwa sosial yang terjadi belakangan ini menimbulkan chaos justru telah
5 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
menciderai penegakan demokratisasi sebagai cita-cita reformasi belasan tahun silam. Tidak sedikit jumlah demonstrasi berujung kerusuhan di berbagai daerah, dan sebagainya. Belum lagi pekerjaan lama semisal penegakan supermasi hukum dan pemberantasan korufsi yang terkesan tebang pilih makin menyudutkan bangsa Indonesia menuju krisis multidimensional atau al-fasad dalam istilah Ibn Khaldun. Pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana demokrasi yang kita bangun ini dapat mengantarkan bangsa ini keluar dari krisis multidimensi. Karena kita tahu, sosok Muhammad telah lahir untuk mengubah, mereformasi, dan merevolusi Madinah ketika itu [yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan Indonesia] menjadi bangsa yang modern, bahkan terlalu modern. Untuk itu, bangsa ini saatnya melakukan pencerahan “demokrasi” yang berbelit-belit menuju demokrasi syura sebagai yang dibangun Rasûlullâh di Madinah.[10] Pencerahan berdemokrasi Nabi di Madinah tidak jauh berbeda dengan konsepsi Nabi dalam membangun masyarakat yang beradab [masyarakat madani]. Konsepsi tatanan kehidupan yang dibangun Rasûlullâh di Madinah terjalin dalam sebuah ikatan formal yang fenomenal sekali, yang dikenal sebagaimana disebutkan di muka dengan mitsaqul madinah atau Piagam Madinah (baca: Konstitusi Madinah). Konstitusi ini antara lain mengatur kehidupan di Madinah yang dihuni dalam berbagai suku, etnis, agama dan lain sebagainya. Perumusan Piagam Madinah mempunyai tujuan strategis bagi terciptanya keserasian politik dengan mengembangkan toleransi sosio-religius dan budaya seluas-luasnya. Substansi piagam itu menunjukkan bahwa konstitusi kesukuan telah batal dengan sendirinya. Dan negara Madinah merupakan contoh konkret tentang kerukunan hidup bernegara maupun beragama. Piagam Madinah telah mewariskan kepada kita prinsip-prinsip yang tahan banting dalam menegakkan masyarakat pluralistik yang harmonis. Terlebih lagi kepentingan konvergensi dan rekonstruksi sosial masyarakat agar mempunyai landasan moral religius yang kokoh dan anggun.[11] Piagam Madinah sebagai sumbangan terbesar Rasûlullâh karena piagam ini memberikan dasar penghormatan yang kokoh bagi sebuah kehidupan yang toleran dengan menjamin hak-hak kaum non-Muslim baik kehidupan dan harta bendanya. Konsep yang dibangun Nabi ini menjadi landasan bagi dunia modern dalam mewujudkan hak asasi manusia. Sebagai contoh, Rasûlullâh tidaklah memaksakan dakwahnya kepada umat agama lain. Kebebasan agama terjamin penuh dalam Madinah. Islam tidaklah mengintimidasi dan mengkonversi pemeluk agama lain, karena berdakwah dalam Islam adalah untuk meningkatkan kualitas ibadah umat bukan untuk persaingan mencari pengikut. Dan memang secara teologis Islam tidaklah memaksakan agama kepada orang lain (QS al-Baqarah [2]: 256) bagi Islam, silakan agama lain beribadah sesuai dengan keyakinannya dan kami Islam akan beribadah sesuai dengan tuntutan ajaran kami [tercermin dalam QS al-Kâfirûn]. Dalam konteks Indonesia, toleransi beragama merupakan pilar penting. Persoalan agama, apalagi setelah adanya stigma terorisme, membuat keberagamaan di negeri ini saling tuduh dan saling menyalahkan. Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat madani yang diwariskan Rasûlullâh berciri-ciri antara lain. Pertama, egalitarianisme. Sebuah sistem kemasyarakatan
6 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
yang selalu mengedepankan keadilan dan kebenaran. Nilai keadilan inilah yang mampu mengangkat citra sebuah negara. Kekuatan hukum yang dibangun Rasûlullâh tidaklah mendiskriminasikan warga negara, apakah orang kecil, orang jalanan, pejabat, bahkan keluarga dekat sendiri. Kedua, penghargaan seseorang berdasarkan prestasi bukan pada prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain. Dalam konteks ini, kemampuan individu untuk mendarmabaktikan segala ability, experience, dan motivasi perjuangannya untuk membangun bangsa menuju bangsa yang maju dan modern merupakan syarat mutlak bila bangsa ini ingin bangkit. Dengan hal ini, suatu negara harus mampu memberikan pendidikan sebaik-baiknya atau bahkan menggratiskan biaya pendidikan bila ingin mencetak SDM yang handal dan bervisi ke depan. Ketiga, keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat. Membangun masyarakat modern tidaklah lepas dari sebuah keterbukaan (inklusivisme). Dalam arti kemajuan suatu bangsa dapat terwujud bila bangsa itu mampu mengkonsolidasikan semua potensi yang ada dalam masyarakat. Negara harus merekrut kader-kader potensial bangsa untuk diajak bersamasama merumuskan agenda pembangunan ke depan yang mencerahkan. Berbagai langkah yang dilakukan Nabi di atas menjadikan Madinah menjadi negara yang pertama kali menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Sehingga tidaklah salah kalau Robert N Bellah (sosiolog agamawan terkemuka) mengkategorikan Madinah sebagai peradaban yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern bahkan terlalu modern. Karena kondisi riil Timur Tengah ketika itu belumlah siap menopang tatanan sosial yang dibangun Rasûlullâh. Melihat aspek-aspek penting yang dibangun Muhammad menempatkan beliau sebagai sosok perpaduan sakralitas wahyu dan profanitas dunia nyata: sebagai Nabi, negarawan, pembaharu, legislator, penyeru moral, ahli politik sekaligus ekonom. Di tengah hilangnya nilai kemanusiaan dan keadilan sekarang ini, perlu kiranya bangsa ini juga menengok apa yang terkandung nilai-nilai berdemokrasi yang diterapkan Rasûlullâh sudah saatnya kita suntikkan bagi para pemeluk agama agar bisa memahami satu sama lain dan sudah saatnya membuat aliansi bersama guna membendung berbagai isu yang meresahkan keberagamaan. Membangun masyarakat yang selalu mengedepankan keadilan dan kebenaran adalah keniscayaan. Nilai keadilan inilah yang mampu mengangkat citra sebuah negara. Kekuatan hukum yang dibangun Rasûlullâh tidaklah mendiskriminasikan warga negara, apakah kaum Muslim, Yahudi, Nasrani dan lain sebagainya atau apakah orang kecil, orang jalanan, pejabat, bahkan keluarga dekat sendiri. Semua di sisi hukum adalah sama. Sang putri Nabi, Fatimah pun bila mencuri maka yang akan memotong tangannya adalah Nabi sendiri. Umar bin Khattab, sang khalifah kedua, pun tidak segan-segan merajam putra tercintanya karena melakukan perzinaan dengan seorang gadis desa yang murahan. Tetapi apa yang terjadi di negara kita? Hukum hanyalah sebuah menara gading yang
7 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
selalu dibanggakan untuk menjerat orang yang tidak bersalah namun malah untuk melanggengkan kekuasaan para pengecut dan pengkhianat negara. Dengan bangganya para pejabat negeri ini mengatasnamakan dirinya sebagai pahlawan bangsa yang akan mengentaskan krisis bangsa ini sambil mengeruk kekayaan negara ke dalam kantong pribadinya. Pondasi masyarakat Madani yang dibangun Rasûlullâh demikian jelas. Demokrasinya tidak hanya meningkatkan taraf kemajuan Madinah tetapi (yang lebih penting) juga meningkatkan taraf religiusitas masyarakat Madinah. Sehingga terjadi harmoni yang elegan.[] Marâji’
Al-Baqi, Muhammad Fuad. 1422 H/ 2001 M. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz alQur’ân al-Karim. al-Qohirah: Dâr al-Hadis. Al-Doury, Qahthan Abd Rahman. 1976. al-Syura fi al-Fiqh al-Islami. Jama’iah Bagdad Irak. Al-Furjani, Muhammad al-Syarif. 2008. al-Siyasi wa al-Dini fi al-Majal al-Islami, Mansyurat Muqaddimat. Al-Gazali, AbuHamid. 1420 H/ 2000 M. Ihya’ Ulumuddin, al-Qohirah. Dâr al-Wasaiq, Cet. I. Al-Gomidi, Abdu al-Latif Ibn Sa’id 1421 H/ 2000 M. Huquq al-Insan fi al-Islam, al-Riyadh: Akademiyatu Nayif al-‘Arabiyah li al-‘ulum al-Amniyah, Cet. I. Al-Jami’ah al-Zeitouna al-Ma’had al-A’la li al-Hadharah al-Islamiyah. 2003-2004. al-Turats wa alTajdid fi al-Hadharah al-Islamiyah al-Yaum. al-sanah al-Jami’iyah. Al-Jâmi’ah al-Zeitouna. 2003. al-Misykat: MajAllâh ‘ilmiah Muhakkamah, al-‘adad al-Awwal. Al-Ishfahani. Tt. al-Mufradat fi Gharib al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Ma'rifah. tahqiq oleh Muhammad Sayyid Kailani. Arkoun, Mohammed. 1996. Rethinking Islam. Penerjemah: Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq. Yogyakarta: LPMI (Lembaga Penterjemah & Penulis Muslim Indonesia). Al-Khatib, Abd al-Karim. 1976. Nabi Muhammad Insaniyat al-Insaniyah wa Nabiyul Anbiya’, General Organization Of the Alexandria Library (GOAL). Al-Ma’had al-A’la Li Ushul al-Din, Jami’ah al-Zeitouna. 2007. al-Islam Wahidan wa Muta’addidan. Al-Na’im, Ahmad. 1990. Towards an Islamic Rerormation Civil Liberties, Human Rights, and International Law. Syracuse: Syracuse University Press.
8 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Al-Syawi, Taufiq. 1413 H/ 1992 M. Fiqh Syura wa al-Istisyarah. Mesir: Dar al-Wafa’. Al-Shobuni, Muhammad Ali. 1406 H/ 1986 M. Sofwah al-Tafasir. Beirut: ‘Alam al-Kutub, Cet. I. Al-Syahid, al-Sayyid Muhammad. 1421 H/ 2001 M. al-Masihiyah wa al-Islam min al-Jiwar ila alHiwar, (PDF), al-Qohirah: Dar al-Amin, Cet. I. Asad, Talal. 1993. Genealogies of Religion. London: The Johns Hopkins Press Ltd. Al-Usmani, Sa’duddin. 2009. al-Din wa al-Siyasah Tamyizun la Fasla. al-Dar al-Baidho’. Beirut: al-Markaz al-Saqofi al-‘Arabi. Cet. I. Al-Qurthubi. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’ân, tahqiq Muhammad Bayyumi wa Abdullah al-Mansyawi. al-Qohirah: Maktabah al-Iman, Cetakan tt. Al-Raisuni, Ahmad, al-Zuhaily, Muhammad. 1423 H. Huquq al-Insan Mihwaru al-Maqashid alSyari’ah (Kitab al-Ummah) PDF), al-Sanah al-Saniyah wa al-‘Isyrun. Kamil, Umar Abdullah, Adab al-Hiwar wa Qawa’id al-Ikhtilaf (PDF), Bahtsun Muqaddam ila alMu’tamar al-‘alami haula Mauqifu al-Islam min al-Irhab, Jami’ah al-Imam Muhammad Ibn Su’ud al-Islamiyah. Kholil, Hasan Muhammad. 1414 H/ 1994 M. Mauqifu al-Islam min al-‘Unuf wa al-‘Udwan wa Intihaku Huquq al-Insan. al-Qohirah: Dâr al-Sya’b. Kurzman, Charles, (ed), Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer teng su-isu Global, 2001, penerjemah: Bahrul Ulum dan lain-lain, Jakrta: Penerbit Paramadina. Parekh, Bhikhu. 2002. Rethingking Multiculturalism. Cambridge: Harvard University Press. Qonshu, Wajih 1428 H/ 2007 M. al-Ta’addudiyatu al-Diniyah fi Falsafati John Hick, al-Dar alBaidho’. Beirut: al-Markaz al-Saqofi al-‘Arabi, Cet. I. Rajab al-Hambali, Istikhraj al-Jadal min al-Qur’ân al-Karim, (PDF). Robithotu al-Jami’at al-Islamiyah. 1427 H/ 2006 M. al-Jami’ah al-Islamiyah, al-‘adad 40, Isyraf: Ja’far ‘Abdu al-Salam. Roel Meijer (ed), Global Salafism Islam’s New Religious Movement, London: Hurst & Company. Sammak, Muhammad. 1418 H/ 1998 M. Muqaddimah ila al-Hiwar al-Islami-al-Masihi, (PDF), Beirut: Dar al-Nafaes, Cet. I. Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr. Bahia G,Tahzib-Lie, (Editors), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? 2010, penejemah: Rafael Edy Bosko dan M. Rifa’I Abduh.
9 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Yogyakarta: Kanisius. Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahiya G. Tahzib-Lie (Editors), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, Martinus Nijhoff Publishers, 2004. Universitas Islam Indonesia.1995. al-Qur’ân al-Karim wa Tafsiruhu (al-Qur’ân dan Tafsirnya. Warqiyyah, Abdu al-Razzaq. 2006. al-Hiwar baina al-Umam fi al-Qur’ân al-Karim, usus, wasail wa maqashid. MajAllâh al-Minhal, al-‘adad. Hamad, Abu al-Gasem. 2004. Epistemologi al-Qur’âni al-Kauni. Pusat Kajian Filsafat Agama Bagdad. Shafi, Lua’y. 1999. al-‘Akidah wa al-Siyasah yang diterbitkan al-Ma’had al-‘alami li al-Fikr alIslami. Jamal al-Din Athiyah. 2001. Nahwa Taf’il Maqashid al-Syari’ah. Amman: al-Ma’had al-‘alami li al-Fikr al-Islami. Taimur, Mamud, al-Nabiyu al-Insan, Mesir: Maktabah al-Adab, tt. ‘Imarah, Muhammad. 1985. al-Islam wa Huquq al-Insan: Dharurat…la Huquq.‘Alam alMa’rifah. No.89 Sya’ban 1405. Majdi, Basalum.tt. Banat al-Afkar fi Adab al-Munaqasyah wa al-hiwar
* Dosen Prodi Hukum Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia
[1]Tentu saja implikas yang berkaitan dengan jurisdiksi dan intervensi langsung dari
10 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Tuhan
adalah
merupakan i
karakteristik rahmah sanga
lainnya
danmagfirah.
al-Qur’âni Filsafat Agama Bagdad pada taun 2004.
al-Kauni
oleh
Hamad,
diterbitkan
Epistemo oleh
[3]Lihat Lua’y Shafi, yang diterbitkan al-Ma’had al-‘alami li al-Fikr al-Islami, hlm. 45.al-‘Akidah wa al-Siyasah 1999,
Ibid.
[4]
Taf’il
[5] Nahwa Jama al-Syari’ah,
Maqashid
Ma’had al-‘alami li al-Fikr al-Islami), hlm. 73-89.
[6] Al-Qur’ân adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya.
hallallâhuammad‘alaihi
s wa
sallam
dan
[7] h Um umat-umat
11 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Maksudnya:
umat
Nabi hallallâhu Mu sallam dan umat-umat yang sebelumnya.
h
s ammad ‘alaihi
[8] Di dalam Surat (tentang Kiamat) disebutkan bahwa peristiwa itu akan membagi manusia menjadi dua aqi’ah kelompok besar yaitu ( rafi’ah) dan Kelompok Bawah (khafidhah). Meski demikian dalam berikutnya terdapat ash-hab pembgian lain yaitu al-Maimanah (golongan Kanan yang berbahagia) dan ash-hab al-Masy’amah (golongan Kiri yang sengsara), selain itu terdapat Kelompok Istimewa (al-Sabiqun al-Sabiqun) yaitu mereka yang tergolong di dekatkan kepada Allâh (al-m dari orang-orang terdahulu dan sebagian kecil dari kalangan orang-orang kemudian(stullatun minal awwalin wa qalilun minal ). Siapa yang berada di masing-masing ke tergantung pada keputusan Allâh SWT. Bagi seorang hamba hanya dituntut hidup mutadayyin (komitm ajaran terhadap agama) ajaran mukhlisin agama), (berbuat baik kepada sesama) termasuk kepada orang-orang yang beda agama.muhsinin dan
[9] Mengenai Nabi hal Muhammad Insaniyah wa Nabiyul Anbiya’, General Organization Of the Alexandria Library (GOAL).
[10]
Lihat Fiqh T Syura wa al-Istisyarah, Wafa’. Tentang wacana fiqh yang berhubungan dengan jumlah wakil rakyat di Parlemen (DPR) lihat karya guru kami Qahthan Abd Rahman al-Doury, 1976, Jamai’ah Bagdad Irak.al-Syura fi al-Fiqh al-Islami
12 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
al-Nabiyu [11] al-Insan, Mesir: Maktabah al-Adab, hlm. 59.
13 / 13 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)