DINAMIKA KOMUNIKASI INTERNAL DALAM AKTIVITAS YOGA MEMBENTUK PERILAKU SUSILA DI AMBARASHRAM, BANJAR NYUH KUNING, DESA MAS, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR Oleh: Made G. Juniartha Mahasiswa Program Studi Brahma Widya Pascasarjana IHDN Denpasar ABSTRACT Yoga teachings are universal. Yoga is a way to achieve harmony between the physical body, mind and soul or spirit as yoga movements can affect the physical and mental to be healthy, so that the soul is concentrated. In yoga activities, communication behavior to achieve the objectives expected by the yogic aspirant. When the communication occurred between the participants and the instructor or yoga teacher, there is a change in each participant. Changes are not only at physical level but also have a positive impact for the moral, mental and spiritual in the dynamics of the application or yoga practices that emphasize flexibility. The dynamics of internal communication in the activity of yoga can shape moral behavior of the participants in Ambarashram because of a verbal and nonverbal communication that lead to changes in both face to face communication, strengthen faith, increase self-introspection, and apply the teaching of tri kaya parisudha. By practicing yoga one can shape his or her moral behavior such as establishing calmness, speech control, and be kind to all creatures. The Dynamics of internal communication in yoga activities in Ambarashram shaped moral behaviors of its participants. It also provided a self-realization to the participants, for the purpose of yoga is to reach bliss by living harmoniously with other human being, human being and nature, and human being with God. Key words: dynamics, internal communication, yoga activities, moral behavior. I. PENDAHULUAN Komunikasi adalah prasyarat kehidupan manusia. Kehidupan manusia akan tampak “hampa” tidak ada kehidupan sama sekali apabila tanpa ada komunikasi. Karena tanpa komunikasi, interaksi antar manusia baik secara perseorangan, kelompok, ataupun organisasi tidak mungkin dapat terjadi. Bahkan komunikasi ini telah dilakukan terus-menerus oleh manusia sejak lahir ke dunia, komunikasi dapat dikatakan sebagai urat nadi kehidupan manusia. Aktivitas komunikasi terlihat dalam semua aspek kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung antara satu dengan yang lain. Berinteraksi untuk saling memenuhi kebutuhannya akan tetapi dalam melakukan aksi dan reaksi tentunya tidak sepenuhnya berjalan dengan mudah, terkadang karena situasi dan kondisi menyebabkan proses pentrasferan pesan mendapat hambatan. Keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam mencapai sesuatu yang diinginkan, banyak ditentukan oleh kemampuannya berkomunikasi yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia (Cangara, 2009: 3-4).
1
Di era globalisasi sekarang ini, berbagai fenomena terjadi dalam kehidupan manusia. Mulai hal-hal yang sifatnya menjerumuskan seperti penyalahgunaan obat-obatan psikotropika (narkoba dan lain-lain), minum-minuman keras (mabuk-mabukan), tawuran, tindakan kekerasan, seks bebas, perkosaan, pengianayaan hingga pembunuhan dan lain sebagainya yang sering kali kita dengar dan saksikan ditevisi. Kehidupan manusia semakin terjebak dalam hal-hal yang bersifat duniawi. Manusia cendrung sangat mudah diikat oleh harta, kekuasaan, dan ambisi yang begitu besar tanpan kendali. Sehingga kadang ada kekosongan dan kekurangan yang dirasa dalam dirinya. Hanya harta, kekuasaan dan ambisi dipandang mampu memenuhi emosi, egositas dan jasmani manusia, sementara hal terpenting yang harusnya diutamakan jarang mendapatkan perhatian, hal itu adalah jiwa dan kebutuhan rohani manusia. Manusia mesti mengingat unsur religius dalam dirinya sebagai fungsi kontrol sebagai makhluk individu dan sosial dari setiap tindakan yang dilakukan. Ajaran yoga bersifat universal. Yoga merupakan cara untuk mencapai keselarasan antara badan fisik, pikiran dan jiwa atau roh karena gerakan yoga dapat mempengaruhi fisik dan mental untuk menjadi sehat, sehingga jiwa terkonsentrasi. Dalam aktivitas yoga, prilaku komunikasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh penekun yoga. Ketika telah terjadi komunikasi antara peserta dengan instruktur atau guru yoga maka, terjadi perubahan pada setiap peserta. Perubahan tidak hanya menyentuh fisik namun memberikan dampak yang positif bagi moral, mental dan spiritual di tengah dinamika penerapan atau parktik-praktik yoga yang memiliki fleksibelitas. Menurut Riswandi (2009: 16) menyatakan bahwa dengan seseorang berkomunikasi menunjukkan bahwa dirinya eksis. Ketika berbicara atau berkomunikasi tentang ajaran yoga dengan orang lain secara internal, baik verbal maupun non-verbal, ini menunjukkan bahwa eksis atau ada. Hal ini perlu dikembangan pada umat Hindu, dengan munculnya kelompokkelompok dan lembaga spiritual, seperti Ashram, Yoga Centre, Pasraman dan lain sebagainya. Ambarashram adalah salah satu lembaga yang bergerak dalam pusat penyembuhan dan penyadaran diri yang berlokasi di Banjar Nyuh Kuning, Desa Mas, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Ambarashram dirintis pada Tahun 1995 oleh I Made Suambara. Aktivitas yoga di Ambarashram menyuguhkan 3 (tiga) bentuk program: Sehat Tanpa Obat, Diksha Suputra, dan Tapa Brata Yoga Samādhi. Dari ketiga program tersebut dalam aktivitas di Ambarashram yoga yang diterapkan yaitu happy yoga yang merupakan yoga modern yang diterapkan oleh I Made Suambara disamping metode-metode penyembuhan lainnya. Happy yoga meliputi unsur gerak, pernafasan dan tertawa. Hal ini sangat menarik dan metode ini tidak ada di ashram lain yang menjadi ciri khas Ambarashram dalam melakukan aktivitas yoga. Dinamika yoga yang terjadi di Ambarashram begitu fleksibel dan tidak keluar konsep yang dinyatakan dari tulisan kuno mengenai yoga oleh Pātañjali, ada definisi singkat yang menyebutkan “Sthiram sukham āsanam” (yoga sūtra II.46) yang berarti sikap badan (hendaknya) mantap dan nyaman (Saraswati, 2005: 292). Dengan aneka jenis tertawa dalam aktivitas yoga, terjadi sebuah komunikasi internal yang dinamis dalam diri yang memunculkan dampak/manfaat dalam membentuk perilaku susila sesuai dengan Tri Kaya Parisuhdha. Komunikasi internal yang terjadi di Ambarashram sebagai tempat aktivitas yoga dan, komunikasi yang terjadi di dalam diri peserta yoga dalam melaksanakan berbagai macam aktivitas yoga di Ambarashram baik secara verbal (secara lisan dan tulisan), maupun 2
non verbal (tidak percakapan berbentuk kata-kata tapi dalam bentuk intonasi suara, isyarat, gerak tubuh dan sebagainya). II. PEMBAHASAN 2.1. Aktivitas Yoga Di Ambarashram Aktivitas yoga di Ambarashram memiliki konsep penyembuhan dan penyadaran diri, yang tidak sama sekali di kenakan biaya atau gratis, hanya berupa punia seikhlasnya. Sehingga masyarakat mendapatkan kemudahan dalam mendapatkan kesembuhan selama mengikuti aktivitas yoga di Ambarashram. Aktivitas yoga di Ambarashram terbuka untuk semua kalangan, baik suku, adatistiadat, ras dan agama (SARA) dan jika dari umur tidak ada batasan, baik mulai dari anakanak sampai orang lanjut usia bisa mengikuti program-program yang telah ditawarkan di Ambarashram. Aktivitas yoga di Ambarashram menyuguhkan 3 (tiga) bentuk program: Sehat Tanpa Obat, Diksha Suputra, dan Tapa Brata Yoga Samādhi. Sehat Tanpa Obat adalah penyembuhan alternatif yang sama sekali tidak menggunakana obat-obatan. Penyembuhan ini mengkombinasikan antara Meditasi Bali Modren, Yoga dan Diksha. Diksha Suputra adalah program khusus diberikan kepada anak-anak dan remaja agar mereka menjadi anak yang hormat kepada leluhur, orang tua, rukun pada saudara, mampu meraih cita-cita serta menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, lingkungan serta nusa dan bangsa. Tapa Brata Yoga Semadhi adalah salah satu program yang dirancang agar mampu menemukan jati diri, meraih keharmonisan dalam keluarga, merasakan kebahagiaan serta hidup sejahtera. Setiap program memiliki metode/cara tersendiri dalam memberikan manfaat bagi peserta yang mengikuti, namun ada beberapa metode/cara yang juga dilaksanakan dalam program yang berbeda. Sesuai dengan teori perilaku sosial Max Weber, bahwa jika melihat dari sebuah perilaku dalam aktivitas yoga di Ambarashram akan muncul seperti, (1) Kelakuan yang diarahkan secara rasional kepada tercapainya suatu tujuan. Dengan kata lain dapat dikatakan sebagai kesesuaian antara cara dan tujuan; (2) Kelakuan yang berorientasi kepada nilai. Berkaitan dengan nilai – nilai dasar dalam masyarakat, nilai disini seperti keindahan (nilai estetika), kemerdekaan (nilai politik), persaudaraan (nilai keagamaan) dan seterusnya. (3) Kelakuan yang menerima orientasi dari perasaan atau emosi atau afektif. (4) Kelakuan tradisional bisa dikatakan sebagai tindakan yang tidak memperhitungkan pertimbangan rasional, sesuai klasifikasi perilaku sosial (Veeger, 1993: 172-174). Dari ke empat klasifikasi tersebut dalam aktivitas yoga secara otomatis mendapatkan perlakuan yang berbeda sesuai dengan tujuan dari apa yang ingin dicapai dalam suatu program. Manfaat yang baik di peroleh jika dalam aktivitas mampu dilakukan secara menyeluruh (holistic) dalam aktivitas yoga di Ambarashram. Termasuk pula bentuk-bentuk kelakuan itu yang oleh psikologi atau psikoanalisis disebut sebagai sublimasi (penghalusan) (Veeger, 1993: 174). Hal ini terlihat dalam berbagai aktivitas yoga yang dilaksanakan setiap program yang ada di Ambarashram. 2.2. Komunikasi Internal Dalam Aktivitas Yoga di Ambarashram Ketika kita mendengar kata komunikasi, pasti adalah dua orang atau lebih yang saling berbicara satu sama lain. Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau 3
perilaku, baik secara langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media (Effendy, 2008: 5). Dalam berkomunikasi ada komponen atau unsur yang menjadi persyaratan terjadinya komunikasi. Effendy (2008: 6) menyatakan, dalam bahasa komunikasi komponenkomponen tersebut adalah sebagai komunikator, pesan, komunikan, media dan efek. Teknik berkomunikasi adalah cara atau seni penyampaian suatu pesan yang dilakukan seseorang komunikator sedemikian rupa, sehingga menimbulkan dampak tertentu pada komunikan. Komunikasi sesuai dengan yang dikemukakan oleh Shannon dan Weaver (dalam Cangkara, 2009: 20) bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh memengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi bahasa verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi. Oleh karena itu, jika kita berada dalam suatu situasi berkomukasi, kita memiliki beberapa kesamaan dengan orang lain, seperti kesamaan arti dari simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi. Aktivitas yoga di Ambarashram, komunikasi internal menjadi sebuah tali penghubung antara guru/istruktur, peserta maupun dalam diri, baik bersifat horizontal maupun vertikal. Menurut Howard Giles (dalam West dan Turner, 2008: 217) sesuai dengan teori akomodasi komunikasi, berpijak pada premis bahwa ketika pembicara berinteraksi, mereka menyesuaikan pembicaraan, pola vokal, dan/atau tindak tanduk mereka untuk mengakomodasi orang lain. Mengingat bahwa akomodasi dipengaruhi oleh beberapa keadaan personal, situasional dan budaya maka dapat diidentifikasikan beberapa asumsi, (1) persamaan dan perbedaan berbicara dan perilaku terdapat di dalam semua percakapan; (2) cara dimana kita memersepsikan tuturan dan perilaku orang lain akan menentukan bagaimana kita mengevaluasi sebuah percakapan; (3) bahasa dan perilaku memberikan informasi mengenai status sosial dan keanggotaan kelompok; dan (4) akomodasi bervariasi dalam hal tingkat kesesuaian, dan norma mengarahkan proses akomodasi (West dan Turner, 2008: 219). Komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang. Lambang yang paling umum digunakan dalam komunikasi antar manusia adalah bahasa verbal dalam bentuk kata-kata, kalimat, angka-angka, atau tanda-tanda lainnya. Bahasa verbal yang digunakan untuk keperluan membujuk atau meminta tolong, tentunya akan berbeda dengan bahasa verbal yang digunakan untuk tujuan memerintah atau memaksa. Perbedaannya bukan hanya menyangkut kata-kata yang digunakan, tetapi juga pada tekanan nada atau notasinya. Selain bahasa verbal, juga ada lambang-lambang yang bersifat nonverbal yang dapat digunakan dalam komunikasi seperti gesture (gerak tangan, kaki atau bagian tubuh lainnya), warna, sikap duduk, berdiri, dan berbagai bentuk lambang lainnya. Penggunaan lambanglambang nonverbal ini lazimnya dimaksudkan untuk memperkuat makna pesan yang disampaikan sehingga terbentuk sebuah akomodasi komunikasi. Akomodasi komunikasi yang dimaksud bahwa sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodifikasi, untuk merubah sebagai daya pengembangan diri dan mengatur perilaku seseorang dalam responsnya. Sehingga terjadi perubahan baik secara psikologi, persepsi, evaluasi maupun adaptasi diri dalam aktivitas yoga. Sesuai dengan teori perilaku sosial Max Weber akan sebuah relasi sosial dan interaksi sosial dalam membentuk perilaku (Veeger, 1993: 174). Di Ambarashram, kaitannya dengan penjelasan beberapa teori di atas, bahasa verbal dan nonverbal sangat tercermin dalam berbagai aktivitas yoga yang dilaksanakan, baik pada 4
program Sehat Tanpa Obat, Diksha Suputra maupun Tapa Brata Yoga Samādhi. Unsur bahasa verbal dan nonverbal menjadi satu dan terjadi sebuah akomodasi komunikasi dalam memberikan manfaat kepada para peserta sehingga memperoleh kesembuhan dan pada akhirnya mampu membentuk perilaku susila sesuai dengan konsep Tri Kaya Parisudha. Bentuk komunikasi inilah yang terbentuk dalam aktivitas yoga di Ambarashram yaitu komunikasi verbal dan nonverbal. 2.2.1. Komunikasi Verbal dan Nonverbal di Ambarashram Secara umum, bentuk-bentuk komunikasi dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu verbal dan nonverbal. Walaupun keduanya memiliki definisi yang berbeda, dalam praktiknya justru saling mengisi dan melengkapi. Bentuk-bentuk komunikasi menjadi bagian yang cukup penting dalam bagaimana caranya berkomunikasi dengan baik apalagi dalam sebuah aktivitas yoga. Di luar bentuk-bentuk komunikasi itu sendiri, komunikasi adalah sebuah ilmu yang sangat luas cakupannya. Dengan menonton televisi, membaca koran pun sebenarnya kita tengah berkomunikasi. Tepatnya berkomunikasi dengan dunia luar. Meskipun tidak ada pembicaraan dua arah, tetap ada pesan yang tersampaikan ketika itu terjadi. Dan itu adalah pengertian komunikasi yang sesungguhnya. Komunikasi yang efektif menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia (dalam Rakhmat, 2011: 13), paling tidak menimbulkan lima hal, yaitu pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang semakin baik dan tindakan. Komunikasi verbal berarti komunikasi yang disampaikan secara lisan dan tulisan atau gambar. Berbicara dengan seseorang merupakan contoh komunikasi verbal yang paling mudah dimengerti. Selain itu, bentuk-bentuk komunikasi secara verbal lainnya ternyata tidak harus selalu menuntut adanya komunikasi dua arah. Mengirim surat, pesan singkat, menonton televisi, atau mendengarkan radio dapat juga dikategorikan sebagai komunikasi verbal. Kode verbal dalam pemakainnya menggunakan bahasa. Bahasa bisa diartikan sebagai seperangkat kata yang disusun secara berstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti/makna (Cangara, 2009:99; Riswadi, 2009: 59). Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (dalam Riswandi, 2009: 69), komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima. Secara sederhana, pesan noverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Tepuk tangan, pelukan, usapan, duduk, dan berdiri tegak adalah pesan nonverbal yang menerjemahkan gagasan, keinginan, atau maksud yang terkandung dalam hati kita (Rakhmat, 2011: 283). Hal yang menarik dari kode nonverbal adalah studi Albert Mahrabian (1971) (dalam Cangara, 2009: 103; Riswadi, 2009: 70) yang menyimpulkan sebagai berikut. “Tingkat kepercayaan dari pembicaraan orang hanya 7 persen berasal dari bahasa verbal, 38 persen dari vokal suara dan 55 persen dari ekspresi muka. Ia juga menambahkan bahwa jika terjadi pertentangan antara apa yang diucapkan seseorang dengan perbuatannya, orang lain cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat nonverbal”.
5
Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsifungsi, seperti yang disebutkan Riswadi (2009: 70) sebagai berikut. a. Perilaku nonverbal dapat mengulangi/repetisi perilaku verbal b. Memperteguh, menekankan, atau melengkapi perilaku verbal c. Perilaku nonverbal dapat menggantikan/substitusi perilaku verbal d. Perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal e. Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan (kontradiksi) dengan perilaku verbal. Melihat dari hal tesebut aktivitas yoga yang terjadi di Ambarashram dalam menyampaikan pesannya sudah tentu melewati sebuah alur dari komunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi verbal yang dilakukan di Ambarashram seperti berupa penyampaian materi secara langsung dari guru/instruktur dalam setiap program, yang secara jelas tampak disetiap aktivitas melalui bahasa baik berupa mantra, nyanyian, teriakan, tangisan maupun ketawa. Dan nonverbal yang tampak malah mendominasi secara psikis sebagai sumber informasi untuk membentuk persepsi kita tentang orang lain, seperti penggunaan simbol-simbol gerakan tangan (mundra), mimik, gerakan tubuh (asanas), berbicara dalam tubuh (rileksasi) maupun merenung (back to my self). Hal ini di pertegas oleh I Made Suambara yang menjelaskan sebagai berikut. “Komunikasi yang terbentuk dalam kegiatan aktivitas yoga di Ambarashram berupa tigal hal, yaitu senyum, tulus (suara hati) dan hormat (semua makhluk). Apalagi didalam melaksanakan Diksha merupakan cara untuk berkomunikasi dengan Tuhan, Dewa, Leluhur dan hal-hal lainnya. Sehingga ketemu Tuhan, melalui Diksha akan merasakan Tuhan. Tuhan ada dimana-mana untuk merasakan Tuhan di dalam diri dan mampu berkomunikasi menjadi orang yang sempurna yaitu menerima kelebihan dan kekurangan” (Wawancara tanggal, 6 Maret 2012). Dari uraian diatas, proses pemberiaan makna terhadap suatu komunikasi yang berlangsung melalui senyuman, tulus (suara hati), dan hormat (semua makhluk) dalam berkomunikasi aktivitas yoga, memunculkan pengaruh faktor perilaku, budaya, juga faktor psikologi, terutama pada saat pesan di-decode oleh penerima. Dengan berkomunikasi seseorang akan mampu untuk berbuat untuk dirinya. Menurut Wang dan Young (2011: 129) juga menjelaskan, dengan berkomunikasi secara tulus, jujur, dan niat yang baik, akan memasuki level berkomunikasi tingkat tinggi, yaitu teknik tanpa teknik. Teknik mengontrol pikiran orang lain paling sederhana, murah, dan mudah untuk di praktekan adalah cukup dengan tersenyum (Wang dan Young, 2011: 129). Hal ini sesuai dengan apa yang di sampaikan oleh I Made Suambara diatas. Sebuah pesan yang disampaikan baik itu dalam bentuk bahasa lisan atau tulisan (verbal) maupun melalui isyarat-isyarat tertentu (nonverbal) akan memberi dampak yang berbeda arti bilamana individu yang menerima pesan itu berbeda dalam kerangka berpikir dan kerangka pengalaman. Penggunaan komunikasi yang menyeluruh (holistic) dari verbal dan nonverbal akan membuat proses penyampaian ide atau gagasan lebih menarik dan informasi sampai dengan baik (Wang dan Young, 2011: 51). Karena berkomunikasi itu bukan sekadar verbal saja, 6
melainkan penting pula untuk diperhatikan komunikasi nonverbal. Penggunaan bentuk komunikasi nonverbal yang tepat akan membuat lawan bicara kita lebih nyaman. 1. Komunikasi Tatap Muka Komunikasi tata muka (komunikasi langsung) baik antara individu dengan individu, atau individu dengan keolmpok atau kelompok dengan kelompok, kelompok dengan masyarakat, maka pengaruh hubungan individu (interpersonal) termasuk di dalam pemahaman komunikasi (Bungin, 2006: 68). Komunikasi tatap muka komunikator tidak mungkin tidak mengetahui tanggapan komunikannya itu karena ia melihat dari komunikan seutuhnya. Bahkan komunikan yang berdiam diri ketika komunikasi itu berlangsung, bagi komunikator merupakan arus balik. Sehingga memiliki sifat dua arah timbal balik (two way reciprocal) dan menimbulkan arus balik seketika (Effendy, 2008: 9). Menurut Bungin (2006: 69-70) menyebutkan, prasyaratan yang harus ada dalam komunikasi tatap muka adalah antara komunikator dengan komunikannya harus langsung bertemu dan prosesnya dipengaruhi oleh emosi, perasaan (psikologi) di antara kedua pihak. Persyaratan “harus langsung ketemu” dalam komunikasi itu karena masing-masing pihak dapat memperoleh umpan balik dari proses komunikasi yang sedang terjadi. Mempertimbangkan motivasi dan konsekuensi yang mendasari dari apa yang terjadi ketika dua pembicara menyesuaikan gaya berkomunikasi mereka. Selama peristiwa komunikasi, orang akan berusaha untuk mengakomodasi atau menyesuaikan gaya bicara mereka dengan orang lain, yang memunculkan persepsi dan sensasi psikologi komunikasi yang memberikan effek terhadap komunikan. Bila diperhatikan, dalam psikologi, komunikasi mempunyai makna yang luas, meliputi segala penyampaian energi, gelombang suara, tanda di antara tempat, sistem atau organisme. Komunikasi sendiri dipergunakan sebagai proses, sebagai pesan, sebagai pengaruh, atau secara khusus sebagai pasien dalam psikoterapi (Rakhmat, 2011: 4). Dalam komunikasi tersebut, antara komunikator dan komunikan mulai membuka diri. Pengetahuan tentang diri akan meningkatkan komunikasi, dan pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi lebih dekat pada kenyataannya. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita , kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan-gagasan baru, lebih cenderung menghindari sikap defensif, dan lebih cermat memandang diri kita dan orang lain dalam situasi tatap muka. Di Ambarashram sendiri komunikasi tatap muka terjadi di setiap pertemuan baik antara guru/instruktur maupun sesama peserta dalam aktivitas yoga. Dari proses komunikasi menerangkan pengaruh komunikator bisa sangat besar terhadap komunikannya atau bisa sebaliknnya. Hal ini terkait pula dengan kredibilitas dari komunikator di mata komunikannya dan sebaliknya. Semakin mirip sikap dan menyakinkan dengan orang lain, makin tertarik kepada dan mengakomodasi orang lain tersebut. Di dalam bicara atau perilaku, orang membawa berbagai bidang pengalaman mereka dalam sebuah percakapan. Sehingga makin tinggi tingkat kepercayaannya, maka makin tinggi pengaruh komunikator dan/atau sebaliknnya memberikan effek. Komunikasi jenis ini sangat ampuh untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku komunikan secara psikologis, karena dengan mengetahui reaksi komunikan pada saat 7
komunikasi sedang berlangsung/dilancarkan, komunikator dapat mengatur komunikasi sehingga sebagaimana diharapkan. Ini sesuai dengan Teori Akomodasi Komunikasi yang berpijak pada keyakinan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan di antara para komunikator dalam sebuah percakapan (West dan Turner, 2008: 220). Dari hal tersebut dalam komunikasi tatap muka terjadi pengalaman-pengalaman dan latar belakang yang bervariasi dari setiap peserta dalam aktivitas yoga ini menentukan sejauh mana orang akan mengakomodasi orang lain. 2. Menguatkan Keimanan Aktivitas yoga yang merupakan nilai luhur bukan semata hanya untuk pribadi namun fisik, jiwa dan juga lingkungan. Terjadinya pergolatan dalam aktivitas yoga akan membentuk sebuah penyadaran akan sang diri dari hati. Hal ini memunculkan persepsi, sesuai dengan teori akomodasi komunikasi Howard Giles (1973) yang mengasumsikan cara dimana kita memersepsikan tuturan dan perilaku orang lain akan menentukan bagaimana kita mengevaluasi sebuah percakapan. Sehingga mementingkan bagaimana orang mempersepsikan dalam sebuah percakapan merupakan sebuah proses penguatan diri. Menurut Maramis (2005: 119) seorang ahli jiwa, persepsi ialah daya mengenal barang, kwalitas atau hubungan serta perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui dan mengartikan setelah panca-inderanya mendapat rangsang. Disamping itu, Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2011: 50). Persepsi inilah akan menguatkan keimanan peserta di Ambarashram. Keimanan atau keyakinan dalam ajaran agama Hindu disebut dengan śraddhā. Seperti dalam The Practical Sankrit-English Dictionary, karya V.S.Apte (dalam Titib, 1996: 166) Menjelaskan Sebagai Berikut. “Śraddhā : (1) kepercayaan, ketaatan, ajaran, keyakinan; (2) kepercayaan kepada sabda Tuhan Yang Maha Esa, keimanan agama; (3) ketenangan jiwa, kesabaran dalam pikiran; (4) akrab, intim, kekeluargaan; (5) hormat, menaruh penghargaan, (6) kuat penuh semangat; (7) kandungan ibu yang berumur lama. Śraddhālu : (1) kepercayaan, penuh keimanan; (2) kerinduan, keinginan terhadap sesuatu”. Di dalam bhagavadgīta (XVII.2-3) kita temukan tiga jenis śraddhā, yaitu śraddhā yang bersifat Sattvas, Rājas, dan Tamas sesuai dengan sifat manusia. Keyakinan tiap-tiap individu tergantung pada sifat (watak)nya. Manusia itu terbentuk oleh keyakinannya dan keyakinannya itu sesungguhnya dia. Śraddhā adalah keyakinan atau keimanan yang mendasar dalam agama Hindu. Keyakinan ini merupakan prinsip dasar yang dipegang teguh oleh setiap umat Hindu (Titib, 1996: 168). Prinsip-prinsip keimanan dalam agama Hindu dapat di bagi menjadi lima bagian disebut Pañca Śraddhā. (Pañca = lima; Śraddhā = keyakinan atau keimanan). Adapun pembagiannya yaitu; a. Widhi Tattwa atau Widhi Śraddhā, keimanan terhadap Tuhan yang Mahaesa dengan berbagai manifestasi-Nya. b. Ātmā Tattwa atau Ātmā Śraddhā, keimanan terhadap Ātmā yang menghidupkan semua makhluk. 8
c. Karmaphala Tattwa atau Karmaphala Śraddhā, keimanan terhadap kebenaran hukum sebab akibat atau buah dari perbuatan. d. Saṁsāra Tattwa atau Punarjanma Tattwa/Śraddhā, keimanan terhadap kelahiran kembali. e. Mokṣa Tattwa atau Mokṣa Śraddhā, keimanan terhadap kebebasan tertinggi bersatunya Ātmā dengan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa. Dengan memberikan dasar pemahaman keimanan peserta aktivitas yoga di Ambarashram seperti memberikan pencerahan melalui sebuah pesan komunikasi yang diberikan para tokoh spiritual baik lokal, nasional maupun mancanegara. Menurut I Made Suambara, keimanannya mulai terbangun dan keyakinan akan kesempurnaan itu ada yaitu ketika sebuah keseimbangan antara kelebihan dan kekurangan itulah orang sempurna (Wawancara tanggal, 6 Maret 2012). Dengan mampu mempersespsikan dalam pikiran untuk melatih kesabaran, keteguhan dan bisa menerima apapun yang kita lakukan dan peroleh itu sebenarnya yang utama dalam hidup. Mereka meyakini semuanya berawal dari Tuhan dan berakhir pula dari Tuhan. Pencerahan rohani yang peserta dapatkan dari para pakar-pakar spiritual yang dilaksanakan, memperkuat keimanan dan memberikan motivasi kehidupan spiritual dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Rasa syukur mereka panjatkan salah satunya bersembhayang di Pura Kalki Awatara di Ambarashram. 3. Meningkatkan Introspeksi Diri Aktivitas yoga memiliki tujuan yang penting bagi perubahan diri secara menyeluruh. Perubahan mulai terbentuk dari lahir melalui karakter bawaan semenjak lahir. Introspeksi diri dalam aktivitas yoga sangat diperlukan karena proses tidak selalu berjalan konstan. Pengalaman yang serupa tidak selalu memberi hasil yang sama. Selalu ada keterbatasan dan perbedaan sudut pandang. Tiap masalah memiliki titik kritis tersendiri. Sehingga sebuah evaluasi sangat penting dalam setiap perilaku, begitu pula dengan berkomunikasi yang merupakan proses menilai percakapan (West dan Turner, 2008: 220). Menguasai banyak teknik berbicara tidak akan ada hasilnya ketika tidak disatukan dengan kemampuan pengendalian yang baik (Wang dan Young, 2011: 28). Melalui introspeksi diri akan mampu menemukan makna dari setiap tujuan yang memiliki dan akan semakin memastikan, apakah tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya sudah terarah atau belum. Karena Sering melihat kesalahan orang lain bahkan mengkritik kesalahan yang dibuat orang lain, sadarkah bahwa siapapun sering berbuat salah, melalui cara intropeksi diri sendiri kita dapat memahami kekurangan dan kelebihan yang kita miliki. Hal inilah diajarkan di Ambarashram setiap kesempatan salah satu cara selain merenung, mencari ke dalam atau meditasi dasarnya adalah evaluasi diri. Introspeksi diri juga perlu dalam melihat jauh ke dalam diri, menanyakan langsung ke diri apakah sudah berhasil mencapai apa yang inginkan, apakah cita-cita sudah terlaksana, apakah diri sudah dalam track yang benar. Menemukan apa yang benar-benar kita inginkan memerlukan sebuah keheningan, suara hati barulah terdengar ketika pikiran kita tidak disibukkan dengan ketakutan akan masa depan atau hitungan untung rugi (Vashdev, 2009: 118-119). Kekurangan dalam diri bukanlah penghalang bagi kita untuk berbuat yang terbaik dalam hidup. Berkomunikasi dalam diri dan mendengarkan suara hati dan menjawab suara hati adalah sebuah introspeksi diri terdalam. Dengan introspeksi diri kita bisa mengetahui 9
apakah kita sudah melakukan sesuatu, melakukan perubahan yang lebih baik, menyadari tindakan kita sudah tepat. Introspeksi diri terkait pelaksanaan aktivitas yoga di Ambarashram I Wayan Nardayana menjelaskan sebagai berikut. “Dalam Hindu konsep ajaran Tri Kaya Parisudha sebagai salah satu introspeksi diri. Ini mesti praktek bukan saja hanya sebatas wacana. Praktek Tri Kaya Parisudha dimulai dari praktek pikiran yang baik, lalu perkataan (komunikasi) yang baik dan selanjutnya dengan perbuatan yang baik. Dengan mampu melaksanakan ketiga point penting tersebut evaluasi diri bukan lagi mustahil untuk dilakukan. Dengan niat yang tulus dan baik, kita menjadi lebih mudah membantu apa yang kita capai. Karena itu, setiap orang harus bisa mulat sarira, merenungkan segala perilaku sesuai ajaran wiweka (menimbang, memilah atau menentukan baik buruknya suatu perbuatan)” (Wawancara tanggal, 2 April 2012). Instropeksi diri adalah melihat ke dalam diri sendiri sesuai dengan refleksi astangga yoga pratyāhara, mengutip dari situs http://belajarpsikologi.com yang berjudul PengertianIntrospeksi-Diri, menyebutkan “Jujurlah pada diri sendiri, salah katakan salah, dan benar katakan benar, lakukan introspeksi untuk kebaikan diri anda bukan orang lain”. Pada waktu melihat diri sendiri inilah kita harus benar-benar jujur untuk menghasilkan introspeksi diri yang tepat. Dan setelah itu mulailah hidup baru perbaiki kesalahan lalu, berpikirkan ke depan dengan segala sesuatu yang baik. Maka jadikan hari ini sebagai momentum diri menjadi pribadi yang sukses dan benar dengan introspeksi diri menuju kebahagiaan. Dari hal itu, komunikasi yang baik dalam introspeksi diri diawali dengan seberapa besar kualitas dan kuantitas waktu yang dimanfaatkan dalam merefleksikan diri. 4. Mengamalkan Ajaran Tri Kāya Parisudha Melaui kata, pikiran, direalisasikan orang dan kemudian dikomunikasikan. Maka terjadilah tindakan dan akhirnya terjadilah sesuatu, sesuatu yang baik, sesuatu yang buruk, sesuatu yang diam, sesuatu yang bergerak. Berkomunikasi merupakan taraf beradaptasi. Sesuai dengan teori akomodasi komunikasi menyatakan bahwa dalam percakapan dalam percakapan orang memiliki pilihan. Percakapan yang melibatkan penggunaan bahasa atau sistem nonverbal yang sama, yang akan membedakan diri seseorang dengan dengan yang lain, atau akan berusaha untuk beradaptasi (West dan Turner, 2008: 222). Adaptasi merupakan cerminan dari pengamalan sebuah konsep. Aktivitas yoga merupakan konsep yang sangat universal memiliki dampak kesetiap aspek kehidupan. Di Ambarashram secara khusus konsep tri kāya parisudha sudah langsung masuk menjadi praktek keseharian setiap kegiatan di ashram. Karena untuk memperoleh manfaat praktis dan praktis yang mesti dilakukan, sejauh mana dipahami dan kemudian dilaksanakan Segala sesuatu yang dilakukan orang dapat berlangsung melalui trikāya, tiga anggota badan yaitu : kāya, wāk dan manah. Kāya ialah anggota badan, seperti tangan, kaki, punggung, mulut dan sebagainya, sedangkan wāk ialah kata-kata dan manah adalah pikiran (Sura, 2001: 94). Dengan tiga alat inilah manusia dapat berbuat sesuatu, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain, dan lingkungannya. Seperti tertuang dalam kitab Sārasamuccaya śloka 157 sebagai berikut. 10
Ikang kapātyaning sarwabhāwa, haywa jugenulahakēn, makasādhanang trikāya, nāng kāya, wāk, manah, kunang prihen ya ring trikāya; anugraha lawan dāna juga, apan ya ika cīla ngaranya, ling sāng paṇḍita. (Sārasamuccaya, 157) Terjemahan : Yang membuat matinya segala makhluk hidup, sekali-kali jangan hendaknya dilakukan dengan menggunakan trikaya, yaitu perbuatan, perkataan dan pikiran. Adapun yang harus diikhtiarkan dengan trikaya, hanyalah pemberian dan sedekah saja, sebab itulah disebut Sila (perbutan baik), kata orang arif. Tiga anggota badan itu dapat digunakan untuk tujuan-tujuan yang buruk dan dapat pula digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik, maka trikāya itu akan disebut trikāya parisudha artinya tiga anggota badan yang telah disucikan meliputi: 1). Kāyika parisudha Kāyika parisudha dapat dirumuskan sebagai segala perilaku yang berhubungan dengan badan yang disucikan. Dengan berbuat itu berarti kita telah membuat suatu karma yang akan menentukan hidup kita pada masa-masa yang akan datang. Karena kita mengharapkan hidup yang lebih baik pada hari yang akan datang, maka sekaranglah waktunya kita menanam karma yang baik dengan menghindar dari perbuatan-perbuatan yang buruk. Seperti tertuang dalam kitab Sārasamuccaya śloka 76 sebagai berikut. Nihan yang tan ulahakēna, syamātimāti mangahalahal, si paradāra, nahan tang tēlu tan ulahakena ring asing ring parihāsa, ring āpatkāla, ri pangipyan tuwi singgahana jugeka. (Sārasamuccaya, 76) Terjemahan : Inilah yang tidak patut dilakukan : membunuh, mencuri, berbuat zina; ketigannya itu jangan hendaknya dilakukan terhadap siapapun, baik secara berolok-olok, bersenda gurau, baik dalam keadaan dirundung malang, keadaan darurat dalam khayalan sekalipun, hendaknya dihindari saja ketigannya itu. 2). Wacika parisudha Berkata yang benar dan baik disebut orang wacika parisudha. Hampir setiap hari orang berkata-kata, bercakap-cakap atau berkomunikasi untuk menyampaikan isi hatinya kepada orang lain. Pengetahuan kita sebagian besar kita peroleh melalui kata-kata, baiksecara lisan maupun secara tulisan. Dengan demikian kata-kata mempunyai kedudukan dan peranan yang amat penting dalam hidup kita. Maka itu kita harus dapat mengendalikan diri pada waktu berkata-kata supaya kata-kata kita itu adalah kata-kata yang baik, benar dan berguna untuk hidup kita. Nyang tanpa prawṛttyaning wāk, pāt kwehnya, pratyekanya, ujar ahala, ujar aprgas, ujar picuna, ujar mithyā, nahan tang pāt singgahananing wāk, tan ujarakena, tan angēna-angēna, kojaranya. (Sārasamuccaya, 75) Terjemahan : 11
Inilah yang tidak patut timbul dari kata-kata, empat banyaknya, yaitu perkataan jahat, perkataan kasar menghardik, perkataan memfitnah, perkataan bohong (tak dapat dipercaya); itulah keempatnya harus disingkirkan, jangan diucapkan, jangan dipikirpikir akan diucapkan. 3). Manacika parisudha Manacika parisudha adalah berpikir yang baik dan benar (disucikan). Pikiran mendapatkan perhatian besar dalam ajaran yoga, karena pikiranlah sumber segala apa yang dikatakan orang. Bila pikiran menyuruh anggota badan diam, maka anggota badanpun diam, bila pikiran menyuruh mulut tak berkata, maka mulutpun diam. Pikiranlah yang menentukan segala perbuatan orang. Dengan demikian mengendalikan pikiran serta mengarahkan kepada hal-hal yang baik dan luhur maka berarti membina kepribadian sendiri secara keseluruhan dan akhirnya akan membawa diri kepada ketentraman dan kesucian. prawṛttyaning manah rumuhun ajarakēna, tēlu kwehnya, pratyekanya, si tan engine adēngkya ri drbyaning len, si tan krodha, ring sarwa sattwa, si mamituhwa ri hana ning karmaphala, nahan tang tiga ulahaning manah, kahṛtaning indriya ika. (Sārasamuccaya, 74) Terjemahan : Tindakan dari gerak pikiran terlebih dulu akan dibicarakan, tiga banyaknya, perinciannya : tidak ingin dan dengki pada kepunyaan orang lain, tidak besikap gemas kepada segala makhluk, percaya akan kebenaran ajaran karmaphala, itulah ketiganya perilaku pikiran yang merupakan pengendalian hawa nafsu. Menyimak tiga kutipan diatas yang berkenaan dengan tri kāya parisudha dapat dinyatakan bahwa Tri Kāya Parisudha sebagai sebuah konsep memberi tuntunan agar orang selalu berbuat baik dan benar, jujur, taat, patuh, suci, satya (sesuai hukum), seken/saja (sungguh-sungguh) dan seimbang antara pikiran, perkataan dan perbuatan. Dengan dilaksanakan sesuai konsep tri kāya parisudha pasti bisa tumbuh kehidupan yang jujur dan seimbang, sehingga membawa kehidupan kearah hidup yang harmonis dan damai, walaupun pesertanya heterogenitas di Ambarsahram. 2.2.2. Aktivitas Yoga Membentuk Perilaku Susila Sesuai dengan pemikiran Max Weber menyatakan kelakuan yang diarahkan secara rasional kepada tercapainya suatu tujuan, baik tujuan itu sendiri maupun segala tindak yang diambil dalam rangka tujuan itu, dan akibat-akibat sampingan yang akan timbul dipertimbangkan dengan otak dingin (Veeger, 1993: 173). Masalah manusia adalah masalah yang kompleks, masalah yang banyak seginya. Seperti segi ekonomi dan segi politik, kesehatan, agama, perilaku susila (etika), segi kemampuan mengendalikan diri dan sebagainya. Bagaimanapun bagusnya teori pengendalian diri itu dan kuatnya pribadi seseorang, bila faktor-faktor penunjang untuk itu lemah, sulit juga orang dapat mengendalikan diri dalam bentuk perilaku susila (Sura, 2001: 1). Mengendalikan pikiran dan berperilaku susila, tetapi mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan lainnya, maka tidak akan mendapatkan hasil yang diharapkan. Demikian pula 12
halnya seorang guru yang mengajarkan ajaran pengendalian diri dan perilaku susila yang hanya memandang manusia dari segi susila saja, maka tidak akan mendapatkan hasil. Manusia terdiri dari dua unsur yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Antara jasmani dan rohani terdapat hubungan yang sangat erat. Perubahan pada jasmani berpengaruh pada kejiwaan seseorang. Ide akan eratnya hubungan jasmani dan rohani itu terdapat dalam ajaran yoga. Melalui aktivitas yoga di Ambarashram secara menyeluruh (holistic) akan meliputi aspek fisik, pikiran dan jiwa. Seperti yogasanas yang mengajarkan gerakan badan dan prānayāma yang akan menyebabkan jiwa tenang. Dan sebaliknya ketenangan jiwa akan menyebabkan badan yang segar dan pada akhirnya mampu membentuk perilaku susila. Dengan disiplin melaksanakan ajaran yoga seseorang akan mampu di bentuk menjadi seseorang yang memiliki perilaku susila. Dan yang terpenting yang harus kita perbuat ialah berbuat (kayika), berkata (wacika) dan berpikir (manacika) yang baik, benar dan suci yang disebut Tri Kāya Parisudha. Perilaku susila adalah tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia. Menurut Ida Bagus Mantra (1993: 1) tujuan perilaku susila ialah sebagai berikut. “Untuk membina perhubungan yang selaras atau perhubungan yang rukun antara seseorang (jiwātmā) dengan makhluk hidup disekitarnya, perhubungan yang selaras antara keluarga yang membentuk masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, antara satu bangsa dengan bangsa lain dan antara manusia dengan alam sekitar. Selain dari pada itu susila juga menuntun seseorang untuk mempersatukan dirinya dengan makhluk sesamanya dan akhirnya menuntun mereka untuk mencapai keasatuan jiwātmānya (rohnya) dengan paramātmā (Hyang Widhi Wasa atau Brahmā)”. Disamping itu pula Ia harus mempunyai pikiran tenang yang percaya pada kata-kata gurunya, ia yang hidup dengan bersahaja, jujur menginginkan kebebasan saṁsāra, adalah yang cocok untuk disiplin yoga dan yang sudah menghapus keakuan, kekerasan, kesombongan, ketamakan, dan yang memiliki temperamen tenang, adalah orang yang sesuai menjadi sang Abadi (Kamajaya, 1998: 35). Dengan demikian, mengembangkan kebajikan, kejujuran, ketulusan dan bhakti pada guru, ahiṁsā (tanpa kekerasan), mengontrol nafsu, mengembangkan belas kasih, keseimbangan pikiran, mengabdi, tidak mementingkan diri, sabar, makan secukupnya, rendah hati, dan kebajikan-kebajikan lainnya adalah merupakan konsep ajaran yoga secara praktis membentuk perilaku susila yang luhur. Karena, jika kebajikan-kebajikan itu tidak ada di dalam sanubari, ia tidak dapat mencapai hasil dari aktivitas yoga yang holistic, meskipun ia berlatih dengan keras. Adalah penting untuk membuat hidup kita menjadi kreatif dan berdaya guna, akan tetapi sebelum melakukan hal itu, seseorang hendaknya melakukan kontak dengan kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya dengan mendisiplinkan diri dan mendapatkan kendali pikiran, perkataan dan perbuatan. Jika disiplin seperti yang diajarkan dalam biara atau pertapaan yang diajarkan oleh para ṛṣi dipraktekkan selama beberapa tahun, maka bunga kehidupan akan mengembang selama-lamanya. Seseorang yang telah mendapatkan kendali atas dirinya sendiri itu dengan mudah tinggal di dunia dan tetap tidak terpengaruh oleh segala goncangan dan masalah duniawi (Rama, 2005: 40-43). Disamping itu, yoga merupakan salah satu cara atau jalan serta obat dalam membentuk perilaku susila karena sudah diatur pengendalian baik dari pikiran, kata-kata dan 13
perbuatan. Untuk zaman sekarang tidak ada obat untuk menjadi susila jika tidak disiplin dalam yoga. Dari segi intelektual (pikiran), pengetahuan dan pemahaman tentang atma widya dan brahma widya. Perkataan disempurnakan dengan pengetahuan dan pengalaman sedangkan sisi sikap dan perilaku mampu meningkatkan budi pekerti yg luhur, maka perilaku susila akan terbentuk secara alamiah. 1. Berperilaku Tenang Perilaku tenang adalah sebuah kondisi yang tentram, damai dan harmonis yang jauh dari kegelisahan, kecemasan, kegundahan hati, ketakutan dan lain sebagainya. Perilaku tenang merupakan tercapainya kebijaksanaan dan keseimbangan pikiran dan jiwa, melalui aktivitas yoga dengan tekun, disiplin yang kuat, berupaya melakukan penyucian pikiran, perkataan dan perbuatan (Tri Kāya Parisudha). Menurut Sumadi (2011: 162) dalam bukunya Tuhan Di Sarang Narkoba, Weda Di Ruang Tamu menyebutkan, penghayatan dan pengamalan Tri Kāya Parisudha ibarat orang mengupas bawang. Perlu ketenangan, kejelian, dan kesabaran mengupas setiap kelopak, sampai akhirnya menemukan kelopak yang paling dalam, paling bersih dan jernih. Itulah filsafat orang bali sebuah perilaku tenang yang mendalam. Ketenangan seseorang berawal dari pikiran yang mampu dikendalikan. Karena sesuai yang terdapat dalam kitab Sārasamuccaya Śloka 80 menyebutkan. Apan ikang manah ngaranya, ya ika witning indriya, maprawṛtti ta ya ring śubhāśubhakarma, matangnya ikang manah juga prihen kahṛtanya sakareng. (Sārasamuccaya, 80) Terjemahan : Sebab yang disebut pikiran itu, adalah sumbernya nafsu, ialah yang menggerakkan perbuatan yang baik ataupun yang buruk; oleh karena itu, pikiranlah yang segera patut diusahakan pengekangannya/ pengendaliannya. Karena itu, pikiran dan hati nurani perlu diasah setiap saat agar semua yang kita kerjakan senantiasa diterangi oleh cahaya dharma. Di Ambarashram tujuan dari media penyadaran diri merupakan kebahagiaan. Kadang orang memiliki harta melimpah, kedudukan yang tinggi namun mencari ketenangan diri sangatlah sulit. Ini dikarenakan pikiran yang masih terbelenggu oleh sifat-sifat rajasika (kama, angkuh). Dengan mampu para peserta mengendalikan pikiran yang merupakan sumber segalanya, baik itu sakit, senang, iri hati dan bahagia dan lain sebagainya maka ketenangan dalam hidup mulai tumbuh yang diiringi oleh sifat-sifat satwam (sifat kedewataan) seperti yang di sampaikan I Gusti Ngurah Made Widiana (Wawancara tanggal, 7 Maret 2012). 2. Mengendalikan Perkataan Seperti pepatah yang sering kita dengar “mulutmu adalah harimaumu” dan dalam pesan-pesan orang Bali menyebutkan “layah tan petulang”. Maksudnya, dalam berkomunikasi kata-kata bisa menjadikan seseorang yang mengatakan tersohor atau malah sebaliknya yang bisa menjadi racun dalam hidupnya. Sehingga wacika parisudha sangatlah penting untuk di pahami dan dilaksanakan. Melalui katalah orang mengikatkan manusia satu 14
dengan yang lain, melalui kata orang mendapatkan suka dan duka, melalui kata tindakan terjadi. Hal ini disuratkan dalam Kakawin Nīti Śātra Sargah V.3, sebagai berikut: Waṣita minittanta manēmu laksmi, waṣita minittanta pati kapangguh, waṣita minittanta manēmu dukha, waṣita minittanta menēmu mitra. (Nīti Śātra, Sargah V.3). Terjemahan: Oleh perkataan engkau akan mendapatkan bahagia, oleh perkataan engkau mendapatkan kematian, oleh perkataan engkau mendapatkan kesusahan, oleh perkataan engkau mendapatkan sahabat. Dari penjelasan isi kakawin tersebut di atas dengan gamblang kita dapat menyimak akibat baik buruk dan ucapan/perkataan itu sendiri. Kata-kata merupakan simbol ide. Hilangnya sepatah kata berarti hilangnya sekeping ide dan bertambahnya kata bertambah pula ide. Dengan demikian kata adalah wujud alam pikiran manusia. Padanya termuatlah tenaga pikiran yang dapat menggetarkan tenaga alam untuk digunakan pada sasaran tertentu. Mengendalikan perkataan di Ambarashram sangat terlihat dari aktivitas-aktivitas yoga di setiap obrolan satu dengan obrolan yang lain tiap peserta tanpa ada hambatan atau hal-hal yang kurang baik. I Wayan Nardayana juga meyampaikan (Wawancara tanggal, 2 April 2012), bahwa dalam berkata kita mesti belajar dari Bima yang menjunjung nilai kebenaran (kejujuran, ketulusan, kesungguhan) yang disajikan dalam lakon-lakon cerita Mahabharata. Disamping itu, perilaku moralitas dari pesan ajaran yoga mematangkan seseorang dalam mengendalikan dirinya, baik itu dalam hal pikiran, perkataan dan perbuatan wajib dikendalikan di dalam latihan yoga. Sehingga seseorang mendapatkan kedamaian hidup, karena kedamaian itu datang dari apa yang kita lakukan dalam mendamaikan orang lain, seperti berkata-kata baik, tidak menyinggung maupun menghina orang lain dengan kata-kata atau ucapan kita. 3. Bersikap Hormat Kepada Semua Makhluk Sebagaimana kita sudah ketahui manusia tidak dapat hidup sendiri. Ia selalu hidup bersama orang lain bahkan dengan semua makhluk, karena satu dengan yang lain saling bertergantungan. Supaya hubungan antara seseorang dengan seseorang menjadi hubungan yang harmonis maka ia harus rela berkorban, yaitu bersedia menerima dan memberi dengan sesama hidup dan hormat kepada semua makhluk. Yoga mengajarkan hidup yang harmonis dan teratur, setahun sekali kita perlu berkunjung ke gunung, danau, dan sungai-sungai untuk melihat keindahan alam semesta dan pesan abadi yang selalu memberi inspirasi pada kita untuk menjadi seorang spiritual yang sesungguhnya dan pada akhirnya mampu merealisasikan kebenaran yaitu jiwa manusia kepada Tuhan alam semesta (Somvir, 2009: 2). Di Ambarashram hal ini tampak dari penerapan konsep ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagian) yaitu parhyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan manusia dengan sesamanya) dan pelemahan (hubungan manusia dengan alam lingkungannya). 15
Menurut I Made Suambara (Wawancara tanggal, 7 Maret 2012), dengan menjaga keharmonisan antar alam, manusia dan Tuhan akan muncul kebahagiaan dan tujuan hidup sejatinya adalah kebahagiaan. Lebih lanjut, dijelaskan, menghormati adalah sebuah kewajiban dan mejaga adalah tugas yang mulia, karena setiap ciptaan ada Tuhan kecil disetiap makhluk. Aktualisasi ajaran Tri Hita Karana yang dilakukan di Ambarashram seperti menjaga kebersihan dan kehindahan lingkungan yang terlihat di Ashram (pelemahan), selalu mengawali hari dengan senyuman dan ketemu dengan siapapun kita wajib untuk tersenyum (pawongan) dan mendekatkan diri melalui jalan spiritual dan penyadari diri (parhyangan). Aryadharma (2005: 15) mengemukakan, pentingnya memiliki rasa hormat karena, rasa hormat merupakan buah dari kebajikan dan kasih di dalam hati. Dewasa ini kebajikan agung ini terlihat kabur dan sangat tipis. Para siswa, pemuda dan orang tua sekalipun banyak menunjukkan sikap acuh tak acuh dan tanpa rasa hormat. Seorang siswa bukan hanya berkewajiban menghormati gurunya, tetapi juga orang tua dan orang yang lebih tua darinya, serta kepada semua makhluk mesti hormat. Berbicara dengan penuh rasa hormat kepada orang yang lebih tua dan semua makhluk. Untuk meraih rahmat Tuhan manusia harus menjunjung kebajikan dan rasa hormat. Manusia yang memiliki kelebihan dari ciptaan Tuhan yang lainnya tanpa rasa hormat dan rasa terimak kasih tidak memiliki moralitas. Hormatilah orang lain dengan sepantasnya. Sikap ini telah ditunjukkan oleh Avatara Agung Jaman Dwapara Yuga yakni Sri Rama. Beliau adalah Sri Visnu itu sendiri yang turun ke dunia untuk menegakkan kebajikan dan moralitas dan memberi contoh kepada manusia. Sri Rama menunjukkan rasa hormat yang luar biasa kepada Ibu Beliau, Ayah Beliau, Guru Beliau, Paman Beliau, bahkan kepada tukang kebun sekalipun. Beliau melakukan semua itu untuk memberikan teladan kepada manusia dalam menegakkan kebajikan walau berbagai kesulitan yang beliau alami, beliau tidak mengeluh (Aryadharma, 2005: 15). Sikap dan rasa hormat sesungguhnya tertata dengan baik pada budaya masyarakat Bali, dimana telah ditanamkan sejak kecil untuk memanggil kakak (Mbok, Beli) kepada orang yang lebih tua walau pertautan usia hanya bulan, minggu bahkan hari. Panggilan paman, bibi bahkan nenek tetap harus dilakukan walau usia mereka sama atau lebih muda. Begitu pula tampak di sela-sela aktivitas yoga di Ambarashram saat memanggil teman/sahabat sesama peserta. Ini sungguh moralitas yang luar biasa tertanam. Tapi sekali lagi, pergeseran selalu terjadi nilai-nilai mulia inipun semakin surut dikalangan masyarakat luas.
III. SIMPULAN Dalam komunikasi internal di Ambarashram, bahasa verbal dan nonverbal sangat tercermin dalam berbagai aktivitas yoga yang dilaksanakan, baik pada program Sehat Tanpa Obat, Diksha Suputra maupun Tapa Brata Yoga Samādhi. Unsur bahasa verbal dan nonverbal menjadi satu dan terjadi sebuah akomodasi komunikasi dalam memberikan manfaat kepada para peserta sehingga memperoleh kesembuhan dan pada akhirnya mampu membentuk perilaku susila sesuai dengan konsep Tri Kaya Parisudha. Komunikasi verbal dan nonverbal di Ambarashram secara internal mampu terjadinya komunikasi tatap muka yang komunikasi jenis ini sangat ampuh untuk mengubah sikap, 16
pendapat, dan perilaku komunikan secara psikologis, karena dengan mengetahui reaksi komunikan pada saat komunikasi sedang berlangsung, komunikator dapat mengatur komunikasi sehingga sebagaimana diharapkan. Disamping itu, komunikasi dapat menguatkan keimanan, menimgkatkan introspeksi diri serta dapat mengamalkan ajaran tri kaya parisudha dengan baik. Dalam komunikasi, penerapan tri kaya parisudha yang terjadi dalam aktivitas yoga dapat dan mampu membentuk perilaku susila. Tercerminnya berperilaku tenang, mampu mengendalikan perkataan dan bersikap baik kepada semua makhluk merupakan pesan dari ajaran yoga yang luhur. DAFTAR PUSTAKA Aryadharma, Ni Kadek Surpi. 2005. Melahirkan Generasi Berkarakter Dewata Kiat Sukses Siswa Menurut Hindu. Denpasar: Pustaka Bali Post. Bungin, H.M. Burhan, 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, Dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Cangara, Hafied. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Effendy, Onong Uchjana. 2008. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Kadjeng, I Nyoman dkk. 2005. Sārasamuccaya. Surabaya: Parāmita. Kamajaya, Gede. 1998. Yoga Kundalini (Cara Untuk Mencapai Siddhi dan Moksa). Surabaya: Parāmita. Mantra, Ida bagus. 1993. Tata Susila Hindu Dharma. Denpasar: Upada Sastra. Maramis, Willy F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. Rakhmat, Jalaluddin. 2011. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Rama, Swami. 2005. Hidup Dengan Para Ṛṣi Himalaya (Penerjemah: I Gede Oka Sanjaya). Surabaya: Pāramita. Riswandi. 2009. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu dan Universitas Mercu Buana. Saraswatī, Svāmī Satya Prakās. 2005. Pātañjali Rāja Yoga (J.B.A.F. Mayor Polak Penerjemah). Surabaya: Parāmita. Somvir. 2009. Yoga & Ayurveda Selalu Sehat dan Awet Muda. Denpasar: Bali-India Foundation. Sumadi, Ketut. 2011. Tuhan Di Sarang Narkoba, Weda Di Ruang Tamu Kumpulan esai fenomena religiusitas. Denpasar: Sari Kahyangan Indonesia dan Tri Hita Karana bali. Sura, I Gede. 2001. Pengendalian Diri dan Etika Dalam Ajaran Agama Hindu. Hanuman Sakti. Tim. 1987. Nīti Śāstra Dalam Bentuk Kekawin. Singaraja: Proyek Penerangan Bimbingan dan Da’wah/Khutbah Agama Hindu dan Budha Tahun 1986/1987. Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci (Pedoman Praktis Kehidupan). Surabaya: Parāmita. Vashdev, Gobind. 2009. Hapiness Inside. Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika) Veeger, KJ. 1993. Realitas Sosial: refleksi filsafat sosial atas hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wang, Efendi dan Young, Karen. 2011. T2UE Power of Comunication. Jakarta: Raih Asa Sukses. West, Richard dan Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Admin. 2010. Pengertian Introspeksi Diri. Jurnal Psikologi. (Online), (http://www.belajarpsikologi.com, diakses tanggal 12 April 2012).
17
18