I Made Candiasa
Program Studi PEP Program Pascasarjana Undiksha 2012
PRAKATA
Pengantar pendidikan merupakan mata kuliah pengantar untuk mengadaptasikan mahasiswa terhadap profesi kependidikan. Buku ini disusun dengan tujuan membantu mahasiswa untuk mempelajari perkembangan anak, teori belajar, dan beberapa pendekatan pendidikan dengan memanfaatkan teknologi. Mahasiswa atau pembaca lainnya yang ingin memperdalam diri di bidang pendidikan dipersilakan membaca buku sumber yang tercantum dalam daftar pustaka. Pembahasan dalam buku ini lebih mengutamakan pada pengalaman praktis yang disepadan kan dengan teori yang sudah ada. Pendekatan heuristik diterapkan dalam pembahasan buku, sehingga pembahasan dapat mulai dari teori atau dari contoh. Bila mulai dari teori, maka pembahasan akan diakhiri dengan contoh penerapan yang relevan. Bila mulai dari contoh, maka pembahasan akan diakhiri dengan teori yang mendukung. Melalui pendekatan heuristik seperti ini diharapkan mahasiswa memiliki pemahaman yang lebih terintegrasi. Akhirnya, dengan terlebih dahulu memanjatkan puji sukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, buku ini dipersembahkan kepada pembaca yang budiman, semoga bermanfaat bagi dunia pendidikan. Singaraja, Desember 2012 Penulis
DAFTAR ISI PRAKATA
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II PERKEMBANGAN ANAK
3
BAB III TEORI BELAJAR
18
BAB IV PROSES BELAJAR
36
BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES BELAJAR
48
BAB VI DOMAIN HASIL BELAJAR
63
BAB VII ALAT KOGNITIF
90
BAB VIII PENDIDIKAN BERAGAM
110
BAB IX E-PEMBELAJARAN (E-LEARNING)
125
DAFTAR PUSTAKA
135
BAB I PENDAHULUAN
Standar Kompetensi Mahasiswa me memiliki wawasan tentang pengantar pendidikan Kompetensi Dasar 1) Mahasiswa memahami pengantar pendidikan 2) Mahasiswa memahami bidang terkait dengan pengantar pendidikan Indikator 1) Mendeskripsikan pengantar pendidikan selintas pandang 2) Mendeskripsikan beberapa bidang yang terkait dengan pengantar pendidikan Tujuan 1) Melalui kolaborasi mahasiswa mampu mendeskripsikan pengantar pendidikan selintas pandang 2) Melalui kolaborasi mahasiswa mampu mendeskripsikan beberapa bidang terkait dengan pengantar pendidikan
Materi Proses perkembangan individu dan proses belajar merupakan topik yang tidak henti-hentinya menarik kuriositas para ahli ilmu pengetahuan, baik ahli psikologi, ahli psikologi, ahli biologi, ahli kedokteran, dan ahli-ahli lainnya. Sejak jaman dahulu hingga pada saat ini dan tentu sampai di masa mendatang pengkajian perkembangan individu dan proses belajar terus dilakukan. Tujuan utamanya adalah menemukan pola pembinaan individu agar menjadi individu yang berkualitas dan unggul dalam upaya meningkatkan kualitas hidup individu itu sendiri. Jarang dan bahkan mungkin tidak ada orang yang memiliki visi dan misi untuk menjadi manusia yang tidak berguna dalam hidupnya di masyarakat. Sebaliknya, dalam hidupnya manusia ingin menjadi manusia unggul sesuai bidang yang ditekuni. Bila mereka terjun di bidang teknologi informasi dan komunikasi, maka mereka ingin menjadi orang ahli teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Apabila mereka terjun di dunia politik, maka mereka ingin menjadi manusia tokoh
dunia. Apabila mereka menekuni bidang Fisika, maka mereka ingin menjadi orang seperti tokoh fisika, seperti Albert Einstein. Begitulah semestinya visi manusia, ingin menjadi yang terbaik dalam hidupnya. Dalam konteks ini, tepat sekali ungkapan proklamator dan sekaligus presiden pertama Republik Indonesia yang kita cintai ini,
dengan menyatakan gantungkanlah cita-citamu setinggi
langit. Pengetahuan manusia tentang manusia (dirinya sendiri) memang masih sangat terbatas. Semakin dalam berbagai aspek kehidupan manusia itu dipelajari, semakin banyak pula rahasia-rahasia di sekitar manusia yang belum diketahui.
BAB II PERKEMBANGAN ANAK
Standar Kompetensi Mahasiswa memahami dan memiliki wawasan tentang perkembangan anak Kompetensi Dasar 3) Mahasiswa memahami teori perkembangan anak 4) Mahasiswa memahami beberapa teori belajar Indikator 3) Mendeskripsikan beberapa teori perkembangan anak 4) Mendeskripsikan penerapan teori perkembangan anak dalam pembelajaran 5) Mendeskripsikan teori beberapa teori belajar 6) Mendeskripsikan penerapan teori belajar dalam pembelajaran Tujuan 3) Melalui kolaborasi mahasiswa mampu mendeskripsikan beberapa teori perkembangan anak 4) Melalui kolaborasi mahasiswa mampu mendeskripsikan penerapan teori perkembangan anak dalam pembelajaran 5) Melalui kolaborasi mahasiswa mampu mendeskripsikan teori beberapa teori belajar 6) Melalui kolaborasi mahasiswa mampu mendeskripsikan penerapan teori belajar dalam pembelajaran
Materi TEORI PERKEMBANGAN Antropologi, Sosiologi, Fisiologi, Psikologi, Biologi dan banyak cabang ilmu yang lain sudah berkembang untuk mempelajari hakikat, pertumbuhan, perkembangan, dan hal-hal lain yang terkait dengan individu atau manusia. Bahkan belakangan ini Ilmu Kimia, Ilmu Fisika juga turut memberikan sumbangan pada pengkajian tentang manusia. Ahli-ahli pikir atau lebih populer dengan sebutan filsuf dari Yunani misalnya sudah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang gejala perkembangan individu. Pertumbuhan embryo misalnya, sudah dikaji oleh salah satu filsuf Yunani yakni Aristoteles yang hidup sekotar tahun .... sebelum masehi. Aristoteles menyebutkan adanya entelechie dalam embryo. Entelechie dapat diartikan sebagai gabungan antara material prima dan forma substantialis yang telah mengandung tujuan di dalamnya. Jadi pertumbuhan embryo memang sudah dirancang sedemikian rupa lengkap dengan tujuannya. Sel-sel kelamin mempunyai sifat dan mengandung élan vital secara totipotent. Ketajaman pengamatan dan daya penalaran aristoteles tidaklah dapat diragukan. Meskipun teori entelechie pada mulanya dianggap sangat spekulatif, tetapi ternyata tidak jauh bedanya dengan pendapat para ahli ilmu pengetahuan modern. Jacques Monod, seorang ahli biologi, pemenang hadiah nobel yang pernah menjabat sebagai direktur Institute Pasteur di paris dalam bukunya Chance and Necessity menyatakan, bahwa perkembangan individu ditandai oleh adanya sifat invariance (keekaan) dan teleonomic (bertujuan). Molekul-molekul makroprotein, terutama DNA dan RNA mempunyai sifat selft-reproduksi (invariance) serta bertujuan guna menjaga homeostasis (teleonomic). Dasa warsa pertengahan abad kesembilanbelas, dunia ilmu pengetahuan alam disibukkan oleh perdebatan tentang faham atau aliran atau teori tentang perkembangan individu. Perdebatan terjadi antara para ahli yang menganut teori pre-formasi versus para ahli yang menganut teori epigenesist. Teori pre-formasi juga populer dengan sebutan teori nativisme, sedangkan teori epigenesist juga populer dengan sebutan teori emperisme.
Menurut teori epigenesist atau teori emperisme, perkembangan individu semata-mata dipengaruni oleh faktor-faktor dari lingkungan. Sel telur dan sel sperma yang menjadikan individu dianggap homogen dan tidak mengandung apaapa. Filosuf John Locke misalnya, sampai mengemukan teori tabularasa, yang berarti bahwa bayi yang baru dilahirkan dapat disamakan dengan sehelai kertas putih yang kosong. Tabularasa sendiri berarti sekeping lilin tempat mencetakkan huruf. Jadi anak yang baru lahir dianggap benar-benar kosong, seperti kertas putih yang siap ditulisi apapun. Tulisan-tulisan atau goresan-goresan yang dihasilkan dari pembinaan bayi tersebut akan menentukan karakteristik dari bayi tersebut setelah dewasa. Apabila pembinaan terhadap bayi itu baik, maka bayi itu akan menjadi orang dewasa yang baik. Sebaliknya, bila bayi itu memperoleh pembinaan yang jelek, maka bayi itu akan berkembang mejadi orang dewasa yang jelek. Para ahli penganut teori pre-formasi atau teori nativisme berpendirian sebaliknya. Mereka beranggapan bahwa segala sifat individu sudah terdapat secara lengkap di dalam sel kelamin. Bahkan dengan lebih ekstrim dibayangkan bahwa sel kelamin mengandung miniatur manusia (homonculuc). Karakter yang dimiliki manusia merupakan karakter atau sifat bawaan, bukan diakibatkan oleh pengaruh lingkungan. Manusia yang pintar bukanlah diakibatkan oleh pembinaan yang baik, namun disebabkan sifat bawaan manusia tersebut yang cenderung pintar. Sebaliknya, manusia yang bodoh bukan disebabkan oleh pembinaan yang jelek, melainkan disebabkan oleh sifat bawaan manusia tersebut yang cenderung menjadikannya bodoh. Saupenhauer adalah salah satu ahli yang menganut teori pre-formasi. Ahli-ahli ilmu pengetahuan yang menganut aliran vitalisme sangat cenderung kepada paham pre-formasi, sedang golongan yang percaya kepada pahan mekanisme atau materialisme lebih condong kepada paham epigenesist. Sampai beberapa tahun perbedaan pendapat tentang faktor-faktor yang memegang peranan pada perkembangan individu atau pribadi masih belum mereda. Di tengah-tengah perdebatan tersebut muncul teori baru yang merupakan negosiasi dari teori pre-formasi dan teori epigenesist yang disebut teori konvergensi. Para ahli penganut teori konvergensi mengakui bahwa bayi yang baru lahir sudah membawa sifat-sifat genetik atau sering disebut sifat-sifat
bawaan. Akan tetapi di lain sisi, mereka juga mengakui bahwa perkembangan sifat-sifat bawaan tersebut juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Apabila sifatsifat genetik yang dibawa oleh seorang bayi yang baru lahir baik dan kemudian bayi tersebut mendapat pembinaan dari lingkungan yang baik, maka bayi itu akan berkembang menjadi manusia dewasa yang amat baik. Manusia dewasa yang sedang-sedang bisa saja terjadi dari bayi yang memiliki sifat genetik bawaan yang baik tetapi mereka mendapatkan pembinaan yang tidak baik, atau dari bayi yang mendapat pembinaan yang baik tetapi memiliki sifat genetik bawaan yang tidak baik. Sudah barang tentu, menurut teori konvergensi bahwa bayi yang memiliki sifat genetik bawaan yang kurang baik ditambah lagi mendapat pembinaan dari lingkungan yang kurang baik, bayi tersebut akan berkembang menjadi orang dewas yang kurang baik kalau bukan jelek. Ahli yang menganut teori konvergensi anatar laian adalah William Stern. Banyak cabang ilmu pengetahuan telah ikut memberikan sumbangan untuk memberikan jawaban atas faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan individu. Memang, kehidupan manusia tidak mungkin hanya dipelajari dari segi biologisnya saja, dari sudut sifat sosiologis-psikologisnya saja, ataupun dari segi tingkah lakunya saja. Bahkan, biofisika dan biokimia telah ikut melebur kedalaman ilmu pengetahuan yang mempelajari perkembangan sosial manusia. Oleh karena itu, sesuai dengan anjuran Adolf Mayer, perkembangan individu yang dikaji dalam catatan singkat ini mungkin lebih tepat dinamakan Psikobiososial. Bagan ilmu tingkah laku manusia dan kaitannya dengan ilmu pengetahuan lainya.
Fisiologi TINGKAH LAKU MANUSIA
Antropologi Psikologi
Sosiologi
Hampir dalam setiap literature yang membahas tingkah laku mahluk hidup, terdapat pertanyaan, manakah yang lebih penting nature (faktor intrinsic) atau nurture (faktor extrinsic). Konrad Lorenz, seorang ahli tingkah laku ada juga pemenang hadiah nobel sangat gigih mempertahankan teori ethologinya. Menurut teori ethologi semua tingkah laku organisma, termasuk juga tingkah laku manusia, sudah terdapat didalam tubuh oarganisma itu sendiri, dalam bentuk pola aksi yang tetap (innate idea). Adapun ekspressinya yang dapat kita amati dalam bentuk tingkah laku diidentifikasikan berdasarkan ethogram, adalah akibat dari pada rangsangan. (innate releasing stimuli). Hebb mengusulkan suatu resolusi yang merupakan kompromi antara teori ethologi dan teori lingkungan. Menurut Hebb, perkembangan dan tingkah laku individu dipengaruhi oleh substrak genetik yang diekspresikan di dalam lingkungan sebagai medium. Selanjutnya Hebb mengkategorikan lima macam faktor : 1. Faktor genetic, yaitu sifat-sifat feal sel kelamin yang membentuk zygote yang bersangkutan.
2. faktor kimiawi pre-natal, yakni pengaruh zat-zat makanan dan atau zatzat toksis selama dalam kandungan. 3. Faktor kimiawi post-natal, yaitu makanan dan zat-zat kimia lainnya yang terdapat di alam. 4. Faktor sensoris yang konstan, pengalaman-pengalaman selama pre dan post-natal yang bersifat mutlak bagi species. 5. Faktoe sensoris yang bervariasi, pengalaman yang berbeda bagi setiap individu. Bobot pengaruh faktor-faktor tersebut mungkin berbeda dari masa ke masa selama proses perkembangan itu berlangsung. Dari uraian pendahuluan ini dapat kita menarik kesimpulan bahwa perkembangan individu adalah fungsi interaksi antara faktor genetic, faktor waktu yang merupakan kontinum dan faktor lingkungan. Peranan waktu sangatlah penting, sebab ekspresi genetic tidak sama bagi semua faktor. Perlu kiranya ditambah, bahwa lingkungan dalam hal ini tidak hanya terbatas kepada lingkungan luar atau lingkungan sosial, melainkan juga lingkungan internal yang ada dalam tubuh. Komposisi ion-ion sel tubuh, kadar proteinnya dan enzyme-enzyme di dalam sel, serta berbagai zat yang bertugas sebagai mediator, harus ikut di klasifikasikan sebagai lingkungan. Fungsi interaksi itu dapat di rumuskan sebagai berikut. I
= f (K,W,L …)
I
= Individu
f
= fungsi
k
= faktor keturunan
W
= faktor waktu
L
= Lingkungan
Titik-titik berikutnya adalah faktor lain yang mungkin kelak baru diketemukan.
PERKEMBANGAN
PERSONALITAS
MENURUT
TEORI
PSIKO-
ANALITIK Apakah yang kita madsudkan dengan personalitas (kepribadian)? Dalam ungkapan sehari-hari kita sering mendengar orang mengatakan bahwa si A kepribadianya adalah begini, sedang si B adalah begitu. Tentu yang dimadsud dalam hal ini hanyalah sikap yang mungkin secara incidental kita saksikan. G.Allport, memberikan definisi sebagai berikut : personalitas ialah organisasi dinamik sistim psiko-fisik didalam individu yang menentukan proses penyesuaian dirinya secara khas terhadap lingkungannya. Meskipun sejak dahulu kala banyak para ahli ilmu pengetahuan yang menaruh minat kepada personalitas, akan tetapi Sigmund Freud adalah orang pertama
yang
menerapkan
pendekatan
psikologis
dalam
membahas
perkembangan personalitas. Ia menekankan pentingnya peranan masa kanakkanak sebagai indicator dalam membentuk personalitas dewasa. Freud, yang mengembangkan teorinya pada masa berseminya filsafat determinisme (segala kejadian di alam raya, ditentukan oleh sebab yang mendahuluinya), merumuskan konsepnya atas dasar psikik determinisme. Itu berarti kejadian yang bersifat psikis, tentu mengikuti urutan sebab dan akibat. Menurut Freud, jika manusia (The human mind) terdiri atas tiga bagian, yaitu : sadar (the conscious), pra-sadar ( the preconcious) dan tak sadar (the unconscious). Jiwa bayi yang baru lahir, hanyalah terdiri dari tak sadar atau instinct. Setelah bayi itu mengalami kontak dengan kenyataan diluar dirinya (ibu dan anggota keluarga yang lain), barulah secara perlahan-lahan berkembang jiwa sadar dan jiwa pra-sadarnya. Jiwa tak sadar atau instinc mempengaruhi aktivitas yang berhubungan dengan segala kebutuhan dasar manusia, misalnya rasa lapar, rasa haus dan nafsu sexualitas. Hasrat yang semata-mata dipengaruhi oleh instinct dinamakan libido. Konflik dan frustasi yang terjadi pada tingkat libidinal inilah yang menjadi sumber kelainan personalitas pada orang dewasa. Pra sadar, merupakan batas antara sadar dan tak sadar. Dengan demikian jiwa sadarlah yang menangani segala proses hubungan individu dengan lingkungan hidupnya.
Selanjutnya, ditinjau dari sikap individu terhadap lingkungan sosial, Freud mengemukakan adanya tiga aspek personalitas, yakni : 1. Ego, yang mendorong keinginan-keinginan berdasarkan logika, akal sehat, penalaran, sesuai dengan realitas. 2. Super-ego, adalah kombinasi antara kesadaran kanak-kanak dan ego ideal (orang tua, atau tokoh yang ingin ditiru ). 3. Id, ialah gabungan antara instinct dan sifat kekanak-kanakan yang ditandai oleh keinginan untuk mengejar kesenangan, tindakan yang hanya mementingkan diri sendiri, tidak menggunakan logika serta tidak berdasarkan kenyataan yang ada. Kecuali ketiga aspek personalitas tersebut diatas, masih terdapat aspek pengendali atau sensor yang bertugas mengendalikan diri dan mengontrol nafsu yang berasal dari desakan id.
Sadar Ego
Pra-sadar
Superego Sensor
Id Tak sadar
FASE-FASE PERKEMBANGAN PERSONALITAS. Menurut teori psiko-analitik, perkembangan individu dapat dibagi atas beberapa fase, yang masing-masing ditandai oleh seperangkat ekspressi yang menonjol. 1. Sejak baru dilahirkan, bayi sudah memiliki hasrat libido,; meskipun daerah erogenik ( daerah yang menimbulkan kepuasan ) masih tersebar diseluruh permukaan kulit tubuh. Karena itu, bila diusap-usap dengan lemah lembut, akan merupakan rangsangan yang menghasilkan kepuasan pada bayi. 2. Apabila bayi sudah berusia beberapa hari, maka akan menyusul fase oral. Pada fase ini mengisap-isap akan menjadikan bayi itu merasa puas. Jari tangan, ujung selimut, atau benda-benda lain yang dapat diraihnya, akan dimasukkanya kedalam mulutnya. Setelah giginya mulai tumbuh, maka menggigit akan memberikan kepuasan baginya 3. Fase anal. Setelah anak itu dapat duduk dan mulai belajar merangkak maka lokalisasi libidonya berpindah dari mulut ke anus. Kegiatan buang air besar dan melihat fasenya yang lembut dan berwarna kuning itu, memberikan kepuasan kepadanya. Menjelang berakhirnya fase anal, tidak jarang anak itu berusaha menahan rangsangan buang air besar. Hal ini acap kali mengakibatkan konstipasio. 4. Fase genital. Menginjak usia 4 tahun fase anal akan diganti oleh fase genital ; fase ini disebut juga fase phllic. Pada masa fase genital, alat kelaminnyalah yang menjadi tempat libido yang paling berkesan. Anak-anak pria akan merasa bangga, karena ia berhasil membuat air mancur ketika buang air seni, dan anak wanita pada umumnya senang melihat hasil karyanya yang berupa sebuah cangkir dari debu yang dicetak dengan air kencingnya. Pada fase genital anak akan “jatuh cinta” kepada orang tuanya yang berlawanan jenis. Oleh karena itu fase ini disebut juga masa Oedipus kompleks. Anak itu suka mengintip (kamerniewsgirigheid), karena ia ingin tahu, apakah gerangan yang diperbuat oleh ayah dan ibunya, ketika bersamaan berada di dalam kamar.
Dalam keadaan normal, Oedipus kompleks ini cepat dapat diatasi; melalui proses sublimasi. Anak itu akan mengalihkan perhatiannya kepada kegiatan bermain dengan teman-temannya yang sejenis. Akhirnya fase genital itu akan berangsur-angsur berkurang dan disusul oleh keinginan untuk meniru orang tuanya. Anak itu akan mengagumi dan ingin meniru tingkah laku orangtuanya (fader/moeder adolatie) 5. Fase latent. Menjelang usia masuk sekolah (5 sampai 6 tahun ), ekspressi libidinalnya makin berkurang lagi, sebagai akibat suppresi latent ialah kesibukannya bermain-main dengan teman-temannya. Dunia anak fase latent adalah dunia permainan, sehingga proses belajar untuk anak-anak pada usia sekolah identik dengan bermai. Pernakah anda memperhatikan reaksi anak usia 7 - 8 tahun terhadap hewan-hewan seperti ayam, burung, anjing, lebih-lebih pada saat hewan itu sedang berkelamin? Secara sepontan anak itu akan melempari atau menyiksa hewan yang sedang berkelamin itu. Gejala ini merupakan ekspresi fase sadis, yang perlu mendapat perhatian dari orang tua dan guru. Masa adolescensi adalah merupakan fase yang mempunyai corak tersendiri bagi anak muda, baik pria maupun wanita. Perubahan fisik yang mereka alami (pertumbuhan bulu, mammae, pubis, perubahan suara) adalah seperangkat tanda-tanda kelamin sekonder yang menyebabkan anak itu mengalami dis-orientasi. Produksi hormon kelamin (coba sebutkan contoh-contohnya) mempengaruhi perubahan- perubahan anggota badan dan secara tidal langsung mempunyai efek kepada jiwa anak muda. Tanda yang paling menonjol pada usia adolesensi atau puber ialah sifat lethargic. Sifat ini ditandai oleh tidak tetapnya pendirian terhadap sesuatu masalah. Anak itu cepat memberikan reaksi kepada apa saja yang menyangkut keadaan kelompoknya. Ia cepat merasa sedih setengah mati, tetapi cepat pula gembira setinggi langi. Mereka suka bergerombol, membentuk kelompok-kelompok dan sangat setia akan kelompoknya. Biasanya mereka mempunyai tokoh pujaan dan mengidentifikasikan dirinya dengan
tokohnya. Hasrat sexualitasnya sudah mengarah kepada sifat heterosexual, meski cinta bagi adolesensi tidak lebih dari pada cinta erotik saja.
PERKEMBANGAN REMAJA (ADOLESCENCE) Secara psikologik perkembangan individu dapat dibagi atas : 1. Masa kanak-kanak 2. Masa remaja 3. Dewasa
Yang masing-masing ditandai oleh perangkat psikologis yang khas. Catatan ini akan khusus membahas problematic perkembangan remaja dengan pendekapsikoanalitik. Sengan sengaja dihindari penggunaan istilah pemuda, karena pengertian pemuda mempunyai konotasi yang lain dari pada remaja. Perubahan yang menonjol pada individu yang menginjak usia remaja ialah : A. PERUBAHAN FISIK. Sebagai akibat sekresi kelenjar endokrin timbullah perubahan fisik yg relative berlangsung amat cepat, jika dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada masa kanak-kanak, hormone gonatropin, andrenocortikotropin, epinephrine, thyroxin, dan hormone yang dihasilkan oleh kelenjar kelamin (progestin pada wanita dan testosterone pada pria ) merangsang pertumbuhan : Pada wanita
:
Mammae Pelvic atau lemak Jaringan lemak Pertumbuhan bulu Penghasilan sel telur (ovulasi-mentruasi)
Pada pria: Bahu dan dada Perubahan timbre tali suara Pertumbuhan bulu Makin nampaknya jakun
Produksi sel kelamin yang ditandai dengan pollution nocturalis (mimpi dimalam hari yang diikuti oleh pengeluaran mani). Pertumbuhan fisik yang begitu cepat mengakibatkan sang remaja mengalami disorientasi. Pakaiannya banyak yang tidak cocok lagi, anggota-anggota badannya dirasakan mengganggu geraknya dan ia mulai membanding-bandingkan dirinya dengan orang-orang di sekelilingnya. Tidak jarang ia berdiri didepan cermin berlama-lama untuk lebih mengenal dan mencintai dirinya. Gejala ini dikenal dengan istilah narcism. (jatuh cinta kepada diri sendiri) Seandainya tidak ada hal-hal yang ekstreem, artinya tidak mengalami cemoohan dari orang-orang sekelilingnya, tak ada cacat bedaniah, maka fase ini akan dilaluinya dengan normal.
B. PERUBAHAN PSIKOLOGIK 1. PRE-ADOLESENSIA. Perubahan psikologik yang terjadi pada masa ini ialah timbulnya rasa kesepian, rasa terasing, karena sang remaja dihadapkan kepada lingkungan sosial yang sangat komple. Apa yang boleh dilakukan ketika masa kanakkanak, sekarang menjadi larangan. Ia dihadapkan kepada seperangkat norma, mores,tabu,aturan,hokum,untuk dapat bergaul dengan masyarakat sekitarnya. Keinginan untuk mendapatkan gratifikasi, tidak lagi dengan mudah diperolehnya. Ia ingin berpartisipasi dalam memecahkan masalahmasalah keluarga, tetapi tidak di ikut sertakan, karena dianggap masih anak-anak.
Semua
itu
mengakibatkan
sang
remaja
mengalami
disekuillibrium. Ia kehilangan keseimbangan psikologis, sebab banyak hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh karena itu tanda yang paling menonjol pada diri ramaja pada fase ini ialah kebutuhan akan hubungan interpersonal. Ia membutuhkan seorang atau lebih teman dekat yang intim, sebagai rempat untuk mencurahkan perasaanya. Sifat intimasinya ditujukan kepada teman sejenis atau isophilic (iso= sama, phileo= cinta ), masyarakat remaja tidak lain dari pada sekelompok anak pria atau sekelompok anak wanita yang kita kenal dengan nama gang, dengan
nama-namanya yang khas. Setiap individu dalam kelompok remaja rela mengorbankan kepentinganya demi memuaskan keinginan teman intimnya atau kelompoknya .tidak heran kalau kita mendengar adanya perkelahian antar gang, oleh karena hidup matinua remaja tergantung kepada sukses gagalnya ia mengabdi kepada kelompoknya. Setiap anggota gang menumbuhkan fanatisme yang sulit diterima oleh akal sehat. Seorang pendidik yang mengalami jiwa remaja, diharapkan mampu untuk bukan saja memahami, melainkan juga memanipulasi dan mengarahkan kelompok remaja kea rah usaha-usaha yang bermanfaat. 2. ADOLESENSIA. Sebagai tindak lanjut dari pada fase genital (yang untuk sementara memang berhasil ditekan kebawah sadar pada fase laten) , dan ditambah dengan pengalaman sexual orgasm (ketika mimpi malam hari ), maka terjadilah perubahan arah dalam kebutukan akan teman intim. Jika pada pre-adolesensia kebutuhan itu bersifat isophilic (kepada teman sejenis yg menyerupai diri ) maka remaja adolesensia mengarahkan kebutuhannya terhadap teman intim yang berlawanan jenis. Pada fase inilah remaja menghadapi suatu barrier cultural (norma, cita-cita masyarakat, persiapan hidup ), sehingga tidak jarang merupakan dilemma baginya. Secara serentak terdapat tiga dorongan pada diri remaja, yaitu : a. kebutuhan akan teman intim (the need for personal intimacy) b. kebutuhan akan rasa tenteram, harga diri, bebas dari keresahan (the need for security) c. kebutuhan untuk memuaskan nafsu (the need for lustful satisfaction). Sungguh, tidaklah mudah untuk memusyawarahkan ketiga kebutuhan tsb karena satu sama lain dalam kenyataanya memang controversial. Tidak heran, mengapa kaum remaja dalam fase ini banyak mengadakan tindakan yang bersifat trial and error. Saya harapkan anda sudah pernah mengalami, bagaimana beratnya penderitaan pada saat kesepian, bagaimana beratnya menahan nafsu, dan bagaimana sedihnya kehilangan haega diri (self-esteem).
Norma, mores, tabu yang hidup dimasyarakat dan bekerjanya menyerupai lampu lalu-lintas di perempatan jalan, mengakibatkan terjadinya perbenturan antara need yang satu dengan need lainya. Pertama : perbenturan antara nafsu dan harga diri. Rasa malu, ragu-ragu, sangat berhati-hati menyebabkan sang remaja menahan nafsu dan menyelubungi dirinya. Ekses dari pada sikap tsb. Akan mengakibatkan genital phobia, terutama adalah akibat bawaan dari masa kanakkanak. Sejak kecil anak itu dilarang mengetahui fungsi alat genitalianya. Alat itu harus ditutup rapat, tidak boleh membicarakannya, bahkan dianggap bukan bagian dari badannya, bila orang tua berhasil dalam usahanya yang keliru ini, maka sang remaja akan mengalami gangguan personalitas. Disatu pihak ia menderita dorongan nafsu, tetapi dipihak lain ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Kedua : Perbenturan antara kebutuhan teman intim dan harga diri. Pada masa pre-adolesensia, tidaklah banyak hambatan yang dialami, karena teman-teman intimnya terdiri dari jenis yang sama. Bila kebutuhan akan intiminasi heterophilic timbul, maka terjadilah perbenturan. Sebabnya terutama karena sikap orang tua dan orang sekeliling, yang acap kali mencemooh, melarang dan membatasi dengan ketat gerak bebas sang remaja. Untuk menyelamatkan diri dari cemoohan, larangan, remaja sering lari kea lam lamunan. Atau ia hanyut ke dunia narkotika. Bahkan tidak sedikit yang menjadi agresif.
Ketiga : perbenturan antara nafsu dan hubungan intim. Kebutuhan untuk memuaskan nafsu, tidaklah sama dengan kebutuhan akan hubungan intim. Teman intim ialah seorang gadis yang baik, tempat mencurahkan isi hati dan cita-cita, tempat menumpukan kepercayaan. Sebaliknya untuk memuaskan nafsu, diperlukan orang lain, yang sekedar melepaskan ketegangan libido sexual saja. Sifat kebutuhan yang dikhotomis ini akan diperkuat lagi oleh ketidak percayaan kepada diri sendiri . berbagai reaksi akan dapat kita saksikan sebagai presedent dari perbenturan kebutuhan ini. Ada remaja yang berhasil mengembangkan coping behaviour melalui proses assimilasi dan
akomodatif/sosialisasi, tetapi tidak sedikit yang mengembangkan defensive behaviour (agresif, autism,rasionalisasi). Apakah dorongan nafsu dapat diobati dengan mengunjungi tempat-tempat WTS ? ataukah dengan terpaksa harus menempuh cara dengan masturbasi? Pertanyaan tsb dapat kita pecahkan bersama dalam suatu diskusi bersama. Untuk mengarahkan pergaulan remaja di sekolah saya terkesan dengan nasihat Bapak Prf. Slamet Iman Santosa. Beliau menyarankan, agar anak-anak puteri memanggil “Dik” kepada anak pria disekolah. Argument beliau adalah : calon suami anak-anak puteri adalah pria yang sudah duduk di universitas atau sudah bekerja di lembaga swasta-pemerintahan. Sedangkan calon isteri anak-anak pria adalah mereka yang duduk di bangku sekolah Dengan demikian dapatlah dibina pergaulan yang wajar, yang intim serasi, namun tetap menjaga adanya distensi atau status quo.
Evaluasi 1) Jelaskan contoh empirik penerapan perkembangan anak menurut teori Piaget di kelas 2) Jelaskan contoh empirik penerapan perkembangan anak menurut teori Psiko Analitik dalam kehidupan anak sehari-hari 3) Jelaskan kenapa pada usia 7-8 tahun anak cenderung suka menganiaya binatang.
BAB III TEORI BELAJAR
Standar Kompetensi Mahasiswa memahami dan memiliki wawasan tentang belajar Kompetensi Dasar 1) Mahasiswa memahami teori belajar 2) Mahasiswa memahami teori belajar behaviorisme 3) Mahasiswa memahami teori belajar gestalt 4) Mahasiswa memahami teori belajar kognitif Indikator 1) Mendeskripsikan teori belajar 2) Mendeskripsikan teori belajar behaviorisme 3) Mendeskripsikan teori belajar gestalt 4) Mendeskripsikan teori belajar kognitif 5) Mendeskripsikan penerapan teori belajar dalam pembelajaran Tujuan Melalui kolaborasi mahasiswa mampu: 1) mendeskripsikan teori belajar, 2) mendeskripsikan teori belajar behaviorisme, 3) mendeskripsikan teori belajar gestalt, 4) mendeskripsikan teori belajar kognitif, 5) mendeskripsikan penerapan teori belajar dalam pembelajaran.
Materi PROSES BELAJAR Personalitas adalah hasil proses belajar selama bertahun-tahun. Oleh karena itu
sejumlah ahli ilmu jiwa mengkhususkan pandangannya kepada
pendekatan teori belajar. Bagi calon guru, justru bagian pengetahuan ini memegang peranan sangat penting, sebab secara langsung mempunyai kaitan dengan profesi seorang guru. Dengan mengenal teori belajar dapat diharapkan bahwa guru dapat memilih metoda penyajian bidang studi secara tepat serta melalukan bimbingan kepada anak didik. Bimbingan tidak mungkin dapat dilakukan tanpa pengenalan anak didik secara utuh, karena bimbingan kegiatan bimbingan lebih dekat kepada aspekaspek therapeutic. Yang menjadi focus teori belajar ialah, berusaha menjawab pertanyaan : Bagaimanakah seseorang memperoleh pengetahuan ? proses apakah yang terjadi pada diri seseorang yang sedang belajar? Bagaimana seseorang merubah tingkah lakunya secara permanent sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang terus berubah serta mengubah lingkunganya ? Belajar dalam pengertian ini bukan saja belajar di sekolah, melainkan semua proses interaksi antara individu dengan lingkungannya sejak lahir hingga meninggal. Dalam konteks ini akan jelas, bahwa konsepsi belajar seumur hidup sama sekali bukan gagasan baru, karena manusia selama hidupnya terus menerus mengadakan kontak dan interaksi dengan lingkungannya, sehingga secara natural harus memberikan respond dan mengubah tingkah lakunya agar serasi dengan lingkungan hidupnya. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila kita mengatakan bahwa belajar merupakan kebutuhan yang paling hakiki, selama manusia ingin mempertahankan eksistensinya.
PROSES BELAJAR MENURUT TEORI BEHAVIOURISME Belajar menurut teori behaviorism adalah the acquisition of knowledge. Tingkah laku atau behaviour ialah segala kegiatan yang dilakukan oleh individu sebagai respons terhadap adanya stimulus (rangsangan ). Proses belajar, menurut teori behaviouristik tidak lain dari pada mekanisma stimulus --- respons.
Refleks bersayarat = conditioned reflex = classical conditioning. Ivan P. Pavlov, seorang ahli ilmu faal bangsa rusia berpendapat bahwa tingkah laku manusia tidak lebih dari gerak reflek bersyarat. Penelitiannya yang terkenal dilakukan dengan menggunakan anjing sebagai hewan percobaan. Apabila pada saat yang sama anjingnya diberi makan dan ia membunyikan bel, atau memberi makan sambil menyalakan suatu sinar lampu tertentu, maka sesudah berulang kali dilakukan, anjing itu akan menghasilkan air liur, sekalipun hanya mendengar bunyi bel saja, atau melihat sinar lampu saja. Pavlov menerangkan peristiwa itu, sebagai respons anjing terhadap stimulus, karena bunyi bel atau sinar lampu pada waktu yang lampau berpasangan dengan datangnya makanan. Demikian pula halnya dengan proses belajar. Setiap respon yang kita buat, tidak lain dari pada gerak reflek, sebab stimulus yang sedang dihadapi hamper serupa atau setaraf dengan stimulus yang sudah pernah dialami. Seorang anak yang takut kepada nyala api misalnya, dapat diterangkan, karena mungkin pada masa yang lampau ia pernah merasakan panasnya bara api yang mengenai bagian tubuhnya. Jadi classical conditioning, adalah makin kuatnya respons terhadap stimulus baru, karena stimulus itu bersesuaian dengan stimulus di masa lampau. (berilah beberapa contoh refleks bersyarat yang anda alami dalam kehidupan sehari-hari).
TEORI OPERANT (INSTRUMENTAL) CONDITIONING Meskipun Pavlov adalah pelopor teori refleks bersyarat, akan tetapi teori behaviorism justeru berkembang dengan luasnya di Amerika Serikat. Teori belajar yang paling besar pengaruhnya sekitar tahun 1950-1960 ialah teori operant conditioning yang dikembangkan oleh B.F. Skinner. Operant conditioning ialah proses makin bertambah kuatnya respons, oleh karena respons itu diikuti oleh reinforcement (ganjaran), secara kasarnya dapat dilukiskan, bahwa proses belajar adalah mekanisma : stimulus ganjaran/hukuman.
respons –
Reinforcement adalah kejadian yang memperkuat dan memelihara kelanggengan respons, sehingga reinforcement dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Sekalipun prinsip antara gerak refleks bersyarat dan operant conditioning adalah sama, namun terdapat perbedaan yang nyata. Operant conditioning tidak memerlikan syarat dan respons (operant) yang diperkuat oleh reinforcement itulah yang menjadi kuncinya. Classical conditioning
: S1 --------S2 --------R
Operant conditioning
: S1 -------- R ---------S2
Bagi seorang guru, mengetahui dan dapat menerapkan reinforcement dengan tepat, sangatlah penting dalam kegiatan mengajar-belajar. Thorndike, misalnya, menganjurkan agar anak didik secepatnya mengetahui hasil evaluasi proses belajarnya (The Law of effect). Makin cepat sang pelajar tahu hasilnya, makin mudahlah keinginan belajarnya digalakkan. Kini pengetahuan tentang hasil belajar, kita namakan umpan balik atau feed back. Skinner kemudian mengembangkan teaching machine sebagai pengganti guru yang didasarkan kepada hukum belajar sebagai berikut : 1. Melatih respons yang benar (hukum latihan atau ulangan ) 2. Mengetahui hasil belajar (hukum akibat) 3. Penundaan pemberian reinforcement yang minimal. 4. Penyajian bahan pelajaran secara setapak demi setapak, agar probabilitas jawaban yang benar makin bertambah besar. Pembaharuan metoda penyajian dalam bentuk programmed instruction, sebagian besar didasarkan kepada prinsip behaviourrisme, meskipun dalam menyusun rancangannya banyak menggunakan teori kognitif.
PROSES BELAJAR MENURUT TEORI ILMU JIWA GESTALT Gestalt dapat diterjemahkan secara arfiah dengan bentuk. Menurut ilmu jiwa Gestalt (koffka, koler ), individu mempunyai kemampuan (insight) untuk menanggapi atau perceiving objek yang ada diluar dirinya. Insight berfungsi untuk mengasimilasikan objek yang sedang diamati, sehingga diterima oleh individu menjadi bentuk yang utuh. Insight tidak dapat dianalisis secara
fragmentaris menjadi mekanisma stimulus-respons. Individu tidak menanggapi bentuk keseluruhan. Sedang bagian, tidak memberi apa-apa kepada individu. Hal itu sesuai dengan hukum pragnas, yang menyatakan bahwa individu cenderung menanggapi stimulus sebagai bentuk yang sempurna, yang baik, atau paling sedikit, sempurna menurut persepsi individu yang bersangkutan. Seandainya kita melihat lingkaran yang garisnya terputus misalnya, maka kita cenderung menanggapinya sebagai sebuah lingkarang yang lengkap. Efek Gestalt yang dinamakan phi-phenomenom, banyak dapat kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Bila kita menyaksikan film dilayar putih atau dilayar televisi, maka kita tidak mengamati gambar-gambar yang terpotong atau titik-titik yang diam, melainkan gambar-gambar yang lengkap dan bergerak. Teori Gestalt banyak persamaannya dengan teori kognitif, karena apa yang dinamakan insight oleh teori Gestalt pada hakikatnya sama dengan struktur kognitif. Aplikasi teori Gestalt dalam proses belajar mengajar ialah, agar bahan pelajaran tidak disajikan secara sepotong-sepotong. Satuan pelajaran hendaknya merupakan satu pokok bahasan secara utuh dan terpadu dengan bahasan lain yang ada kaitannya. Bahan pelajaran yang disajikan secara fragmentaris akan mudah dilupakan. Menurut teori gestalt, lupa ialah proses disintegrasi secara autonom yang terjadi pada lintasan (trace) objek yang pernah dipelajari.
PROSES BELAJAR MENURUT TEORI KOGNITIF. Sudah menjadi kebiasaan dalam setiap presentasi suatu topic, dimulai dengan
memberikan
definisi,
dengan
madsud
untuk
membatasi
atau
mengisolasikan masalah yang dibahas ke dalam pengertian yang lebih sempit. Berhubung pengertian kognitif mencangkup kegiatan manusia yang sangat luas dan kompleks, maka memberikan definisi akan menggandung resiko yang mengarah
kepada
pedangkalan
permasalahan
bahasan
bahkan
mungkin
mengaburkan pengertian kita. Menurut teori kognitif, segala aktivitas manusia yang dilakukan dengan sadar adalah bersumber pada, dan digerakkan oleh kognitif, sehingga secara
operasional dapat dikatakan bahwa cognition sama deheuristic thinking atau problem solving. Aktivitas kognitif meliputi segala aspek kegiatan : mulai dari menyadari adanya masalah, mengidentifikannya, merumuskan hipotesa, mengumpulkan imformasi/data, mengambil kesimpulan termasuk strategi untuk mencapai tujuan. Teori behaviouristik dianggap terlalu menyederhanakan proses belajar, dimana aspek-aspek simbolik, kreativitas, originalitas dan imaginasi kurang mendapat proporsi yang sebenarnya. Justeru unsure inilah yang telah membawa manusia ketaraf kebudayaan dan teknologi yang tinggi. Pusat kognitif terletak di dalam susunan syarat pusat, dengan kemampuan untuk mengolah dan menyimpan informasi yang hampir tidak terbatas. Bekerjanya kognitif dapat disamakan dengan fungsi sebuah prosesor informasi.
TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF MENURUT JEAN PIAGET. Perbedaan intelegensi anak dengan orang dewasa tidak hanya terletak pada kurangnya daya piker dan logika dipihak anak, akan tetapi memang terdapat perbedaan yang bersifat kualitatif. Piaget, membedakan 4 macam periode perkembangan kognitif pada manusia yang terentang mulai dari bayi sampai masa adolesensia. Dari satu period eke periode yang berikutnya terdapat tingkatan hierarkis. Tingkat perkembangan kognitif menurut piaget. Bersifat konstan, meskipun jenjang usia dapat berbeda, tergantung kepada pengalaman belajar masing-masing anak serta kecepatan proses maturasinya. Adapun perubahan bentuk dan isi kognitif yang terjadi selama proses perkembangan berlangsung, disebabkan oleh dua fungsi invarians, yakni : 1) Assimilasi : secara biologis berarti bahwa organisma merubah berbagai bentuk elemen yang ada di sekitarnya, sehingga elemen-elemen itu dapat berfungsi ke dalam system organisma itu. Seseorang mengasimilasikan konsep atau objek yang baru, agar sesuai dengan struktur kognitif yang sudah ada dalam dirinya. Melalui proses assimilasi itu, anak memberikan respons terhadap stimulus.
2) Akomodasi : secara biologis berarti, perubahan pada diri anak sehingga dapat menyerap informasi baru, agar dapat mengadakan adaptasi dengan lingkungan baru. Dengan demikian pengalamannya makin kaya dan struktur kognitifnya mengalami perubahan yang permanen. Perkembangan kognitif menurut piaget, lebih menekankan proses re organisasi dan integrasi internal. Keempat periode perkembangan tersebut adalah sebagai berikut : a. Periode sensori motorik ( usia 0-2 tahun ). Periode ini dimulai pada saat anak mengakhiri gerak-gerak reflek yang tak terkoordinir (menggaruk, mengepalkan tangan ). Gerakan demian diulangulang tanpa ada perhatian terhadap keadaan sekeliling dan tampa ada tandatanda kesengajaan. Respon ini, yang dinamakan reaksi sirkuler primer, makin lama makin terkonsolidasikan. Dengan bertambahnya usia dan maturasi (4-8 bulan ) timballan kegiatan yang disebut reaksi sirkuler tertsier sekonder. Gerakan-gerakan yang baru makin lama berlangsungnya, makin sering diulang dan menimbulkan kepuasan. Pada usia 12-18 bulan mulai tampak reaksi sirkuler tertsier, dalam fase ini anak tidak saja mengulang pola gerakangerakan, tetapi juga merubahnya, sehingga tampak adanya variasi. Hal itu dimadsudkan untuk mendapat informasi tentang keadaan sekelilingnya . Perubahan yang dapat diamati mulai dari fase sirkuler primer sampai sirkuler tertsier ialah, secara perlahan organisma itu meninggalkan self- centerednya (tanpa acuh dengan keadaan luar ), menjadi anak yang aktif mencari pengetahuan dengan jalan mengubah-ubah pola responsnya. Periode sensori motorik juga sudah menunjukan adanya gejala interkoordinasi (misalnya antara gerak tangan dengan gerak mulut ). Bila mulutnya terbuka, maka ia memasukan ibu jari ke dalam mulutnya juga akan nampak adanya koordinasi antara penglihatan dan pendengaran dan antara pengliatan dengan gerakan meraba/memegang. Bila anak itu menginginkan sesuatu objek, maka ia berusaha menghilangkan rintangan-rintangan. Hal ini adalah satu manifestasi dari keinginan untuk mencapai tujuan yang jauh. Pada periode ini anak juga mulai mengembangkan pengertian tentang ruang dan kualitas. Mula-mula ia menanggapi objek dalam
kaitannya dengan tempatnya. Ia belum mampu mengisahkan antara objek dan tempatnya. Kemudian barulah objek tersebut dipahami sebagai sesuatu yang terlepas dengan tempatnya. b. Periode pre-operasional (2-7 tahun). Perkembangan yang mula-mula nampak pada periode ini ialah kemampuan anak untuk menggunakan symbol (symbolic function). Ia tidak lagi hanya terikat kepada objek yang hadir disekitarnya. Namun demikian, simbolisasi anak masih terbatas kepada objek-objek eksternal. Banyak teori lain menekankan, bahwa perkembangan berbicara sangat penting peranannya bagi perkembangan berpikir. Piaget tidak sependapat dengan teori itu, karena justeru pengertian simbolik sudah berkembang, sebelum anak itu dapat berbicara. Pada hal tingkah laku simbolik merupakan fase awal dari perkembangan berpikir. Bahasa anak mula-mula bersifat idiosinkratik, karena mungkin mewakili beberapa arti atau madsud. Pada fase berikutnya barulah bahasa anak mewakili objek yang dilihatnya. Disamping bersifat egosentrik, penalarannya masih bersifat transduktif. Artinya ia memahami objek-objek atas dasar hubungan langsung, dan tidak atas dasar pertimbangan deduktif atau induktif. c. Periode operasional konkrit ( 7-11 tahun ). Pada usia 7 sampai 11 tahun anak mengembangkan sistim kognitifnya guna mengorganisasikan dunia luar yang ada disekitarnya. Pikiran dan tingkah lakunya sudah mampu memecahkan seperangkat logika –matematika. Hal ini dimungkinkan karena anak sudah menguasai problema konservasi bilangan dan hitungan dan sanggup untuk mengadakan klasifikasi, hubungan antara subordinasi dan supra-ordinasi. Ia mampu mengadakan pendekatan terhadap masalah., tidak hanya terbatas kepada apa yang dilihat, tetapi pemecahan berdasarkan konsep. Pengertian tentang jarak dan ruang, tidaklah mudah dicernakan oleh anak berusia 3 atau 4 tahun. Perkembangan kognitif mengenai konsep ruang baru mencapai bentuknya pada saat anak menginjak periode operasional konkrit. d. Periode operasional formal (11 tahun ke atas )
Meskipun periode operasional kongkrit mencapai perkembangan kognitif yang pesat ( jika dibandingkan dengan periode sebelumnya ), akan tetapi masih juga terdapat gap (jurang ) di antara struktur kognitif anak usia 11 tahun dengan struktur kognitif yang akan dicapai pada tahun-tahun berikutnya. Pada periode operasional formal, anak sudah membebaskan diri dari objek-objek yang tampak, serta sanggup berpikir abstrak. Ia lebih bersifat hipotetik dari pada usia sebelumnya. Anak itu sudah dapat membedakan antara pernyataan dan kenyataan dan dapat mengemukakan argumentasi untuk menunjang
kenyataan.
Keinginan
pertimbangan-pertimbangan
untuk
logika
mulai
membuktikan
hipotesa
berkembang.
dan
Kemampuan
menghayati (comprehension) adalah merupakan ciri yang menonjol pada periode ini. Ia mampu untuk menguasai system yang lebih kompleks sehingga pengertian tentang korelasi, tranformasi, negasi, pembuktian (justification ) terhadap apa yang diamati, dapat dipahami.
Semenjak dasawarsa 1960 an struktur kognitif telah menjadi objek studi di Negara-negara industeri yang maju. Greenfield dan Tornick, yang bekerja di Center for
Cognitive
Studies
di
boston membuat
daftar cirri-ciri
perkembangan kognitif sebagai berikut : 1. The active organism ; Itelegensi manusia adalah aktif dan selalu ingin mencari. Oleh karena itu diperlukan lingkungan yang menyokong sifat tersebut. 2. Effort after meaning ; Pencaharian arti dan keteraturan sudah dimulai semenjak lahir. Usaha mencari arti berlangsung terus untuk dapat disimpan dan dipelihara. 3. Intentionality ; kegiatan untuk mencari arti dituntun oleh perhatian. 4. Pace ; setiap jenjang usia mempunyai irama sendiri-sendiri. 5. Receptivity and state ; dalam perkembangan kognitif terdapat saat dalam keadaan siap sedia untuk menerima sesuatu. Kesiapan ini dinamakan kesiapan kognitif.
6. Cycles of competence ; setiap keterampilan baru mempunyai siklus yang mulai dengan penampilan yang kasar dan kaku, kemudian makin halus dan akhirnya mencapai tingkat variasi. 7. Prerequisites ; setiap jenis keterampilan, membutuhkan prasyarat, yang juga berupa keterampilan. Kesempatan untuk menguasai prasyarat hendaknya mendapat bantuan yang cukup. 8. Principles of the interprise ; kegiatan kanak-kanak bersifat sementara. Makin bertambah usia, kegiatan akan berubah menjadi usaha yang bertujuan. 9. Principle of representation ; memori akan lebih kuat dan lebih baik organisasinya, jika apa yang pernah diingat mendapat kesempatan untuk penyaluran dan mengutarakannya. 10. Analysis and synthesis ; memecahkan masalah biasanya dimulai dengan memisahkan
bagian-bagian
dan
kemudian
menyatukan
kembali
pemecahan yang utuh. 11. Time perspective ; setiap orang menyusun masa depannya masing-masing dengan jalan menyelesaikan hal-hal yang akan direncanakan dimasa dating. 12. Principles of attachment ; seorang anak, sangat tertarik kepada tokoh yang dapat memahami dan memperhatikan kebutuhannya. Interaksi dengan tokoh itu (caretaker) sangat penting artinya, lebih-lebih tokoh yang senantiasa terbuka.
NAMA- NAMA PENGIKUT TEORI KOGNITIF. Berikut ini disajikan nama-nama tokoh pendidikan yang menganut teori kognitif. Sekalipun landasan teori mereka bersamaan, namun terdapat juga perbedaan nuansa, sehingga penekannya serta implikasinya dalam proses belajarmengajar, cukup berarti.
1) JEROME BRUNER. Bruner termasuk salah seorang pelopor pembaharuan pendidikan yang menganjurkan
proses
belajar
discovery
learnin.
Menurut
bruner,
perkembangan individu tidak berlangsung secara pasif melalui hokum stimulus – respons, tetapi adalah secara aktif mencari informasi dan pengalaman baru. Seseorang memperoleh pengetahuan dengan jalan proses psikologik yang aktif, menelaah informasi yang baru, lalu menghubungkan dengan yang sudah ada dalam struktur kognitifnya. Belajar menurut Bruner. Adalah proses berpikir heuristic yang menganut dasar-dasar ekonomi. Sifat ekonomis inilah yang diabaikan aleh ahli-ahli ilmu jiwa. Sifat lain dari kognitif ialah kemampuan mengantisipasikan, atau going beyond the information given. Satu hal, yang jarang kita dengar dari kalangan ahli pendidik barat ialah, bahwa Bruner menganjurkan penerapan instuisi. Tepatnya ialah disciplined intuition. Intuisi yang berdisiplin dapat dikatakan sebagai titik awal atau acuan dari pada penemuan baru. Tetapi ia juga menganjurkan agar keputusan yang diambil secara instuisi, segera diadakan evaluasi, apabila data yang menyokong keputusan itu sudah tersedia. Ia menganjurkan agar guru menerapkan sebanyak mungkin projek individual.
2) DAVID P. AUSUBEL. Sebagai ahli ilmu jiwa yang menganut teori kognitif, ia tidaklah terbius oleh discovery learning. Sepanjang belajar secara verbal yang menjadi praktek di dalam kelas, ia masih tetap bertahan, bahwa belajar reseptif (reception learning ) tidak dapt dianggap semata-mata menghapal. Yang penting, menurut ausubel ialah mempelajari sesuatu yang secara potensial mempunyai arti (meaningful learning). Kelemahan discovery learning adalah terlalu banyak memakan waktu, pada hal materi yang harus dipelajari makin besar jumlahnya. Tambahan pula, discovery dalam hal kegiatan belajar, tidak lebih dari re-discovery. Karena apa yang dipelajari, sudah diketemukan pada masa yang lampau. Bagian kognitif yang paling penting peranannya ialah apa yang ia namakan
organisator
(cognitive
organizer),
yang
bertugas
untuk
menghubungkan materi yang sedang dipelajari dengan konsep yang sudah ada
dalam struktur kognitif. Agar proses belajar itu secara potensial mempunyai arti, maka ia menganjurkan : a) Bahan pelajaran hendaknya disusun sedemikian rupa, sehingga bersifat non-arbitraris. Ini berarti bahwa konsep yang diajarkan mempunyai kaitan dengan idea pelajar yang sudah ada dalam struktur kognitifnya. b) Bahan yang diajarkan bersifat substantive atau non verbatim. Artinya, apa yang dipelajari tidak terikat kepada kalimat dan kata-kata, melaikan idea, prinsip dan konsep yang terkandung dalam bahan pelajaran. Dengan kata lain, mempelajari konseplah yang lebih penting dari pada pernyataanpernyataan diskrit. Apabila
kedua
syarat
itu
terpenuhi,
maka
tidak
ada
alasan
untuk
mengesampingkan proses belajar reseptif.
3) ABRAHAM MASLOW. Ia adalah seorang psikologis yang menganut paham humanisma. Perkembangan personalitas menurut Maslow, dituntun oleh seperangkat motif yang menjadi tujuan individu yang bersangkutan. Setiap individu tidak dapat melepaskan diri dari tujuan yang inheren dalam pribadiny. Tujuan atau kebutuhan itu mempunyai hierarki. Yang paling esensial kebutuhan physiologis dan hasrat-hasrat yang berhubungan dengan proses biologis. Kalau keperluan physiologis sudah terpenuhi, maka akan menyusul kebutuhan berikutnya yang didorong oleh motif sekonder. Menurut paham humanistic, setiap individu berusaha menemukan identitasnya, karena penemuan identitas diri sendiri akan memberi jalan kearah penemuan pelbagai pekerjaan dan peranan dalam masyarakat. Karena itu ia menganjurkan agar pendidikan mengarahkan anak didik kepada selftactualization. (kurt Goldstein). Secara operasional, self-aktualisasi berarti, kemampuan individu untuk menginternalisasikan realitas secara otentik, sehingga ia dapat mengembangkan dirinya untuk memenuhi kebutuhankebutuhan phisiologis, mempunyai rasa tenteram, mendapat kesempatan untuk mencintai dan dicintai, memiliki harga diri dan akhirnya dapat berperan dilingkungan sosial dimana ia hidup.
Bagaimanakah
implementasi
proses
pendidikan,
agar
dapat
mengembangkan self-aktualisasi pada anak didik ? hal ini berarti bahwa setting atau penataan proses belajar mengajar perlu diperbaharui, agar memberi kesempatan kepada setiap anak didik untuk tumbuh sendiri. Guru dan murid, hendaknya secara kooperatif berusaha menemukan indentitas masing-masing dengan penuh keterbukaan. Orientasi pendidikan agar tidak hanya ditunjukan kepada hal-hal yang bersifat ekstrinsik, melainkan lebih diarahkan kepada keperluan intrinsic, yaitu menghumanisasikan anak didik.
4) CARL ROGERS. Ia seorang psikiatris yang besar minat dan sumbangan pikirannya terhadap masalah pendidikan. Metoda pengobatannya yang juga dianjurkan untuk diterapkan oleh setiap pembimbing pendidikan ialah metoda clientcentered psychotherapy atau dikenal dengan metoda membimbing nondirective. Metoda ini didasarkan kepada hipotesa, bahwa : a) Setiap individu memiliki kapasitas yang latent, untuk memahami faktorfaktor yang ada pada dirinya yang menyebabkan ia tidak bahagia. b) Seandainya dokter jiwa, atau pembimbing dapat membina hubungan yang akrab dengan pasiennya, maka kapasitas tersebut akan sangat efektif, sehingga tidak banyak yang harus dilakukan oleh dokter jiwa atau pembimbing. Dalam suasana yang intim, hangat, akrab,tanpa tekanan, sang pasien akan mulai menyadari dirinya serta menanggapi realitas diluar dirinya.cara itu ternyata jauh lebih berhasil dari pada segala bentuk intervensi yang dengan sengaja dimanipulasikan oleh pembimbing. Rogers menganjurkan, agar metoda dan pengalaman psikoterapinya dapat miranya diterapkan didunia pendidikan. Berhubung setiap individu pada hakekatnya mempunyai kapasitas untuk belajar, maka proses pendidikan hendaknya menciptakan suatu suasana yang memungkinkan setiap anak didik, bebas untuk belajar. Freedom to learn, demikianlah semboyan yang dianjurkan oleh rogers.
Mengenai teori belajar, yang erat hubungannya dengan perencanaan rancangan belajar mengajar, rogers menunjukan beberapa prinsip sbb : 1. Manusia mempunyai potensi alamiah untuk belajar. Hasrat dan kuriositasnya untuk berkembang dan belajar bersifat ambivale. Alasan ambivalensi itu adalah, karena setiap kegiatan belajar yang agak berarti, akan membawa rasa sakit/ beban, baik sakit yang berhubungan dengan belajar itu sendiri, maupun sakit karena terhentinya proses belajar dimasa yang lampau. Contoh ambivalensi itu dapat kita amati pada seorang anak kecil yang baru mulai belajar berjalan. Anak itu tentu merasa sakit, karena berulang-ulang jatuh dan terantuk dan bangun lagi. Akan tetapi semua penderitaan itu ditebus oleh perkembangan potensinya. 2. Belajar secara bersungguh-sunguh baru akan terjadi, apabila bahan pelajaran itu relevan dengan tujuan siswa. Kalau bahan pelajaran yang disajikan tidak langsung menyentuh kepentingan pribadi siswa, maka mereka akan belajar karena terpaksa, atau sekedar untuk memenuhi syarat supaya lulus saja. 3. Belajar yang melibatkan perubahan persepsi siswa terhadap dirinya sendiri, cenderung untuk ditentang oleh siswa. Kalau hal itu terpaksa dilakukan, maka agar diusahakan, supaya ancaman eksternal sekecil mungkin. 4. Belajar yang digerakkan oleh inisiatif siswa sendiri, dan mengikut sertakan seluruh pribadinya (intelek dan perasaan ), akan bersifat langgeng. 5. Kebebasan, kreativitas, kepercayaan kepada diri sendiri, akan meningkat, apabila self-assessment lebih dipentingkan dari pada penilaian yang dilakukan oleh orang lain.
5) TEORI HUMAN INFORMATION PROCESSING ( Lindsay dan Norman ). Salah satu karateristik yang menonjol pada perkembangan manusia ialah masa kanak-kanak yang relative panjang jika dibandingkan dengan hewanhewan lainnya. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan susunan syaraf sentral
sangat kompleks, sehingga manusia mampu untuk menerima, mengolah dan menyimpan informasi yang hamper tak terbatas. Dengan penemuan dan makin meluasnya pemakaian computer, maka banyak ahli ilmu pengetahuan menganalogikan fungsi susunan syaraf sentral manusia manusia dengan sebuah model information processor. Untuk memahami teori information processing, kita perlu kembali mengulangi fungsi susunan syaraf, yang secara sederhana dapat dilukiskan sebagai berikut. Input, yang berupa stimulus (informasi) dari lingkungan, diterima oleh alat dria atau register sensoris. Melalui serabut syaraf sensoris stimulus diteruskan ke otak. Selanjutnya didalam otak terjadilah pemrosesan. Hasil dari pada processing, mungkin disimpan, atau mungkin berupa respons yang dikeluarkan melewati serabut syaraf motoris. Singkatnya kegiatan yang panjang itu hanyalah mekanisma input-processing-output. Bagan berikut ini adalah model yang sederhana tentang teori belajar menurut human information processing.
Kontrol eksekutif O U T P U T
I N P U T
Harapan
Respon Generator
Register Sensoris
Ingatan Jangka Pendek
INGATAN JANGKA PANJANG
Register sensoris bukan hanya menerima informasi, tetapi juga mencatat dan memberi kode, mengadakan indentifikasi. Proses ini berlangsung sangat
singkat (hamper kurang dari satu detik). Ketika memasuki pusat ingatan jangka pendek, informasi itu sekali lagi diberi kode, sehingga tidak lagi berbentuk rangsangan seperti sedia kala, melainkan dirubah menjadi konsep. Bila kita membaca kalimat “Pantai Kuta” misalnya, maka yang diterima dalam pusat ingatan bukanlah kalimatnya, tetapi konsep tentang pantai kuta, dengan segala hangar bingarnya kehidupan sekuler. Sesuai dengan namanya, pusat ingatan jangka pendek hanya menyimpan informasi untuk sementara saja. Kalau diperlukan, konsep itu dapat diulang, agar menjadi lebih jelas . informasi yang perlu untuk disimpan lebih lama, lalu diteruskan ke pusat ingatan jangka panjang. Ditempat inilah informasi itu dilestarikan. Apabila kelak, kita ingin mengingat kembali, maka sebagian informasi itu ada yang kembali melalui pusat ingatan jangka pendek. Proses ini yang biasanya kita namakan menghapal atau working memory. Sebagian lagi, tidak melalui pusat ingatan jangka pendek, melainkan langsung menuju ke respons generator. Faktor yang amat penting pada proses belajar, ialah cara tersimpanya informasi di dalam pusat ingatan jangkan panjang. Informasi yang tersimpan secara serampangan, tidak teratur, tak membentuk konsep yang terintegrasikan, cenderung untuk sukar diingat kembali. Sebaliknya informasi yang disimpan dengan rapi, sistematiknya teratur, lengkap dengan kode-kodenya yang jelas, laksana sebuah perpustakaan modern, maka proses mengingat kembali akan jauh lebih mudah. Dalam hal penyimpanan informasi inilah peranan organisator kognitif (ausubel) sangat penting. Disamping itu, harapan individu yang sedang belajar juga besar pengaruhnya, terutama terhadap register sensoris. Demikian juga halnya control eksekutif, yang juga disebut strategi kognitif. Strategi kagnitif mengatur semua upaya dan siasat penyimpanan dan penggunaan informasi itu dengan tepat. Strategi kognitif memilih alternative yang paling efisien , mulai dari fase memusatkan perhatian , memilih alternative dalam mengambil keputusan dan tindakan yang optimal. Kapabilitas strategi kognitif, tidaklah sama untuk semua orang. Oleh karena itu acapkali kita membaca ungkapan, bahwa belajar adalah urusan urusan pribadi setiap individu, karena
struktur kognitif dan strategi kognitif bersifat individual. Berdasarkan teori inilah, maka dewasa ini sedang dikembangkan metoda pebgajaran individual dalam bentuk programmed instruction.
Di bawah ini disajikan model system memori dalam bentuk block diagram yang lebih sederhana.
Pusat Memori Jangka Pendek
Input
Pusat Simpanan Sensoris
Sentral Prosesor
Pusat Memori Jangka Panjang
Substansi apakah yang mengatur memori di dalam sel-sel susunan syaraf pusat ? kita mengetahui bahwa tranmisi rangsangan sepanjang serabut syaraf, disebabkan oleh adanya perbedaan potensi listrik, sebagai akibat perubahan ionion natrium dan ion-ion kalium. Sejak beberapa tahun yang lampau, penelitian biokimiawi tentang belajar dan memori sudah banyak dilakukan pada hewan-hewan. Arganoff dan Matties mengemukakan, bahwa pada ikan-ikan gurami, ingatan jangka panjang dipengaruhi oleh proses sitensa protein dalam sel-sel saraf pusat. Apakah proses belajar dan memori pada manusia, kelak dapat diatur dengan zatzat kimia, hanya waktulah yang akan menentukan. Advertensi obat-obat dalam berbagai merek, yang katanya dapat meninggikan fungsi otak, banyak
output
diperdagangkan di pasaran bebas. Bagaimana tentang kebenaran advertensi itu? Semoga.
Evaluasi 1) Jelaskan perbedaan perlakuan di kelas antara penerapan teori belajar behaviorisme, gestalt, dan kognitif 2) Jelaskan kenapa sebelum mengajar guru harus membuat RPP 3) Buat skenario pembelajaran yang menerapkan teori belajar behaviorisme 4) Buat skenario pembelajaran yang menerapkan teori belajar gestalt 5) Buat skenario pembelajaran yang menerapkan teori belajar kognitif
BAB IV PROSES BELAJAR
Standar Kompetensi Mahasiswa memahami dan memiliki wawasan tentang proses pembelajaran Kompetensi Dasar 1) Mahasiswa memahami aktivitas yang terjadi dalam belajar 2) Mahasiswa memahami berbagai teknik transfer belajar 3) Mahasiswa mampu menerapkan teknik transfer belajar Indikator 1)
Mendeskripsikan kegiatan yang terjadi dalam belajar
2)
Mendeskripsikan teori transfer belajar
3)
Memilih teknik transfer yang tepat dengan materi pembelajaran
4) Merancang kegiatan pengayaan yang cocok dengan prestasi anak 5) Merancang kegiatan remidi yang cocok dengan kesulitan anak Tujuan Setelah berpatisipasi dalam kegiatan bahasan ini, mahasiswa diharapkan mampu: 1) Mendeskripsikan kegiatan yang terjadi dalam belajar 2) Mendeskripsikan teori transfer belajar 3) Memilih teknik transfer yang tepat dengan materi pembelajaran 4) Merancang kegiatan pengayaan yang cocok dengan prestasi anak 5) Merancang kegiatan remidi yang cocok dengan kesulitan anak
Materi PROSES BELAJAR Menurut teori behavioristik, belajar dapat dirumuskan sebagai proses yang menimbulkan perubahan tingkah laku pada individu. Tingkah laku atau respons itu dapat diamati dan dapat diukur. Perubahan tingkah laku sebagai akibat proses belajar bersifat langgeng dalam sejarah kehidupan individu yang bersangkutan. Contoh sederhana: Apabila seorang anak yang belum tahu benda yang bernama paper clip, disuruh mengambilkan benda itu, ia tidak dapat mengerjakan. Lalu kepadanya di tunjukkan benda yang bernama paper clip serta kegunaanya dalam kehidupan sehari- hari . kelak…….jika ia disuruh menganbil paper clip, ia akan dapat mengerjakan tugas itu. Tingkah laku anak tersebut telah berubah. Proses belajar dapat disederhanakan dalam bentuk diagram di bawah ini.
Lingkungan memberikan stimulus
Stimulus diproses di dalam pusat kognitif.
Terjadi perobahan respons atau tingkah laku yang langgeng
PERISTIWA ATAU EVENTS APAKAH TERJADI PADA INDIVIDU YANG SEDANG BELAJAR? Meskipun proses yang berlangsung di dalam otak belum dapat diungkapkan, kegiatan belajar dapat dianalisis menjadi beberapa fase. Masing-masing fase mempunyai proses sendiri. Berikut ini dikutipkan fase belajar menurut Gagne (1974).
MOTIVATION FHASE Expectancy APPREHENDING PHASE Attention, Selective Perception. ACQUISITION PHASE Coding : Storage entry RETENTION PHASE Memory Storege RECHALL PHASE Retrieval GENERALIZATION PHASE Transfer PERFORMANCE PHASE Responding FEEDBACK PHASE Reinforcement.
TRANSFER OF LEARNING. Apabila kita ditanya, apakah tujuanya mempelajari sesuatu ? jawabanya kita mungkin : 1. Sekedar ingin tahu, memenuhi dorongan kuriositas. 2. Untuk memenuhi harapan orang lain. (orang tua, guru, teman ). 3. Guna membantu orang lain, ingin menjadi guru. 4. Agar mampu memecahkan masalah-masalah baru yang di hadapi dalam kehidupan sekarang dan dalam kehidupan kelak. 5. Untuk ……… silakan lengkapi sendiri.
Dari sejumlah tujuan tersebut, tujuan no. 4 yang terpenting bagi seseorang. Sebanyak ialah , situasi yang akan dihadapi di dalam masyarakat tidak sama dengan situasi ketika masih duduk di bangku sekolah. Kemampuan untuk menerapkan ( Mengelaborasi, mengekstrapolasi, memanipulasi) konsep dan keterampilan yang telah pernah dipelajari, guna memecahkan masalah-masalah baru, disebut transfer of learning.
MACAM-MACAM TRANSFER. Transfer of learning dapat di bedakan atas : a. Transfer Vertikal. b. Transfer Lateral. c. Transfer Negatif. d. Transfer Positif. 1. Tanpa melihat catatan, buatlah definisi transfer of learning dengan kata-kata sendiri. 2. Berilah contoh2 ke-empat macam transfer tersebut diatas.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TRANSFER OF LAERNING. A.
Faktor Stimulus Makin besar persamaan situasi, makin mudah terjadinya transfer positif.
Seseorang anak yang sudah dilatih mengikatkan tali sepatu sebelah kanan.karena simulus dan situasinya sama. Tetapi mungkin anak itu belum dapat mengikatkan tali bantal guling, apalagi mengikatkan dasi di leher dengan benar. B.
Faktor Respons Apabila situasi berbeda, sedangkan stimulus sama, maka pada saat
permulaan akan terjadi transfer negatif. Kalau anda biasa melekatkan vulpen di saku baju, dan pada suatu hari anda memakai baju T- Shirt tanpa saku, maka besar kemungkinan anda akan merabaraba saku baju untuk mencari vulpen. Jelaslah bawa transfer negative tidak akan memecahkan masalah.
TEORI TRANSFER OF LEARNING. 1. Teori disiplin formal (Formal-discipline theory). Kawasan psikis manusia terdiri dari unsure-unsur ingatan, perhatian, penalaran, kemauan, motivasi. Dengan jalan melatih memecahkan masalah abstrak, ingatan akan bisa di disiplinkan sehingga transper lebih mudah terjadi. Oleh karena itu, sebelum tahun 1930, mata pelajaran abstrak seperti : Bhs latin, Bhs yunani, Logika , IPA, Matematika, merupakan core-curriculum bagi semua jenis lembaga pendidikan. Menguasai bahasa asing, meningkatkan kemampuan menalar dan mempermudah memahami bidang studi lainya. Pada dewasa ini hamper di semua sekolah lanjutan terdapat keharusan mempelajari salah satu bhs. Asing. 2. Teori unsure-unsur identik (Identical element theory). Makin besar persamaan antara situasi belajar dengan situasi yang baru, makin besar kemungkinan transfer. 3. Teori Keterkaitan (Transposition theory).atau kesinambungan Adanya kaitan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain, konsep mudah proses transper. 4. Teori generalisasi (generalization theory ). Dengan jalan menarik prinsip-prinsip umum atau garis-garis besar persoalan yang dipelajari, transper akan sangat di permudah 5. Teori kognitif Menurut David P, Ausubel, 1977 (Educational Psychology), proses belajar yang bermakna meaningful learning, adanya Advance organizer, bahan pelajaran yang diorganisasikan secara sekuensial, pendekatan heuristic terhadap masalah, semuanya akan membantu mempermudah transfer of learning.
Survey test Berilah alasan, mengapa : 1. Guru diharuskan membuat satuan pelajaran ?
2. IPA di SMP disajikan secara integral (tidak terdiri dari biologi dan fisika ) ? 3. Kurikulum 1975 bersifat fleksibel ? 4. Semua siawa SMP belajar bahasa Inggris ?
MENGINDENTIFIKASIKAN KESULITAN BELAJAR Mampukah guru bidang studi mengidentifikasikan kesulitan belajar siswa ? apa sebab beberapa siswa menjawab semua semua pokok uji dalam seperangkat test dengan benar, sebagian siswa hanya separuh yang benar dan sisanya mungkin hanya seperempat jumlah pokok uji yang di jawab benar ? Mengapa ada siswa yang rajin mengerjakan tugas-tugas , P>R> dengan rapi, sedang yang lain hanya mengutip P.R temanya? Dan bahkan ada yang tidak menyentuh P.R. nya sama sekali ? Oleh karena variable yang mempengaruhi prestasi belajar hamper tidak terbatas banyaknya, tidaklah mungkin bagi guru untuk mengidentifikasikan dengan tepat faktor APA yang menyebabkan nyoman transistorini, putu karboksil, made kambiun dan anak agung rai elektroningsih mengalami kesulitan belajar. Dan kalau ada 10 mata pelajaran dalam kurikulum , sedang kita menghadapi kelas yang jumlah siswanya 35 maka kombinasi faktor-faktor yang menyebabkan kesuliatan balajar menjadi tak terhingga banyaknya. Oleh karena itu, agar apa yang kita pelajari mempunyai nilai kelayakan (feasible), saya ingin membatasi kesulitan belajar dengan jalan mempersempit ruang lingkupnya, yakni kesulitan belajar di kelas (classroom learning). Banyak teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kesulitan belajar siswa di kelas. 1. Dengan pengamatan di kelas ; secara intuitif dan berdasarkan pengalaman guru akan mengetahui siapa siswa yang sudah menguasai materi pelajaran yang sedang dibahas, siapa yang masih setengahsetengah dan siapa yang sama sekali tidak menangkap apa-apa. 2. Dengan pengamatan di lab. Respon siswa terhadap tugas-tugas lab. Keterampilanya memanipulasi alat-alat. Caranya menyusun hipotesa dan
menarik kesimpulan merupakan ekpresi, apakah siswa memahami konsep materi pelajaran atau belum. 3. Dengan memberikan test (diognostik-formatif).
Pokok uji test formatif sebagai intrumen mengidentifikasikan kesulitan siswa dalam memahami satuan bahasan. Saya
menganjurkan
evaluasi
formatif
sebagai
intrumen
mengidentifikasikan kesulitan siswa (blom, airasian) karena sifat dan kedudukan test formatif terpadu (built in) dengan satuan pelajaran
INDIKATOR
TEST AWAL
PENGALAMAN BELAJAR
TEST FORMATIF
UMPAN BALIK KEPADA SISWA DAN GURU
Test khusus digunakan untuk melacaki prestasi siswa/kesulitan belajar siswa adalah test diagnostic. Dalam praktek (ingat test diagnostic bulan desember 1978), menyusun pokok uji serta menganalisis hasilnya tidak mungkin dikerjakan oleh guru secara sendiri sendiri karena terlalu banyak menyita waktu. Tambahan pula test diagnostic jarang diterapkan hanya untuk satu siswa kelas. Tetapi kalau anda bersikeras menamakan test formatif itu sebagai test diagnostic, silahkan. What is in a name ? Pedoman serta tahap-tahap menyusun test formatif, pada prinsipnya sama dengan tahap-tahap menyusun test hasil belajar. 1. Susun hierakhi satuan pelajaran secara terperinci mulai dari prasyarat, konsep-konsep dasar, terus sampai masalah yang kompleks. 2. Susun jenjang kemampuan (Taxomi Bloom), mulai dari domain yang paling sederhana sampai dengan yang paling tinggi. 3. Tentukan format pokok uji yang akan diterapkan.
4. Buatlah table spesifikasi atau kisi-kisi dan tentukan jumlah pokok uji untuk tiap kelomponya. 5. Susun pokok uji secara berturutan, mulai dari prasyarat sampai dengan kemampuan yang tertinggi. Beberapa catatan tentang test formatif. 1. Oleh karena test formatif itu terpadu dengan satuan pelajaran, hendaknya test itu singkat sehingga tidak memerlukan waktu yang khusus diluar jam pelajaran yang sudah terjadwal. 2. Pokok uji langsung diturunkan dari TIK dan satu kansep diukur dengan sekelompok (beberapa nomor ) pokok uji. 3. Test formatif diberikan setiap akhir satuan pelajaran atau akhir satuan konsep. Bukan setiap akhir satuan waktu pertemuan tatap muka. 4. Hasil test formatif hendaknya TIDAK diperhitungkan untuk menetapkan nilai dalam buku rapor. Juga tidak diperhitungkan dalam menentukan rangking siswa dikelas. 5. Sebagai konsekuensi butir 2, test formatif adalah content-refelenced atau objective-refelenced test. Penilainya dengan sendirinya menggunakan criterion-referenced judgment. 6. Beberapa persenkah jawaban yang benar dianggap sudah menguasai? Patokan ini biasanya ditetapkan secara arbitrair. Karena itu dianjurkan untuk mengadakan musyawarah dengan guru bidang studi sejenis. Criterion referenced test biasanya mengambil patokan 70 sampai 80 persen dari jumlah pokok uji yang dijawab benar sebagai patokan paling rendah. 7. Kertas pekerjaan siswa dapat diperiksa sendiri oleh siswa. Tetapi sebaliknya diperiksa oleh guru. 8. Kertas jawaban siswa tidak perlu di bubuhi skor. Sebagai gantinya ditulisi catatan (reinforcement) yang bersifat spesifik. Misalnya : “ Kamu sudah menguasai bahasan ini. “ Baca kembali definisi osmose. “ Ulangi mengadakan percobaan sifat-sifat gas CO2. “ Lihat preparat penampang arteria.
“ Pelajari kembali buku halaman sekian sampai sekian. “ Pelajari kembali buku halaman sekian sampai sekian. “ Diskusikan kembali hasil pengamatan tanggal sekian halaman sekian. “ diskusikan kembali hasil pengamatan tanggal sekian jangan hanya mencatumkan catatan bersifat umum seperti “Baik”, “Cukup”, “Kurang”, “Belajar lebih giat” dan sebagainya. Catatan yang bersifat spesipik akan benar-benar berfungsi sebagai umpan balik kepada siswa. Mereka akan tau apa yang sudah dikuasai, apa yang belum dipahami dan dimana mencari penjelasan dia perlukan. Atau apa yang dia harus kerjakan supaya paham. 9. Memeriksa hasil test formatif tidak hanya sekedar menghitung beberapa jawaban siswa benar dan berapa salah. Melainkan menganalisis, mengapa siswa sampai salah menjawabnya. Kalau pokok uji itu format MCQ hendaknya dianalisis, mengapa siswa milih distraktor dan bukan kuncinya? Dengan demikian guru memperoleh informasi (umpan balik), konsep mana yang belum dikuasai siswa, bagaimana siswa tersebut membuat generalisasi, prinsip apa yang salah diterapkan, dsb.
MEMBERIKAN PENGAJARAN REMIDI Hasil test formatif menunjukan bahwa sebagian siswa sudah dan sebagian lagi belum memahami pembahasan yang kita sajikan. Tindakan apa yang harus kita lakukan ? jika anda seorang guru yang dedicated, seorang guru yang memang mendapat “panggilan” atau roeping untuk menjadi guru, siswa yang mendapat kesulitan memahami pelajaran anda harus Bantu dengan memberikan pengajaran remidi. Bukan dengan menyarankan mengambil privaat less dirumah anda. Bukan dengan menyarankan mengambil privaat les dirumah anda. Privaat less sama sekali tidak sama dengan pengajaran remidi. Bimbingan test masuk, juga sama sekali tidak mirip dengan pengajaran remidi. Pengajaran remidi sama dengan proses mengobati orang yang sakit. Setelah kita tahu penyakitnya (melalui formatif test) maka tiba saatnya proses pengobatan.
Mungkin istilah mengobati kurang tepat sebab dalam bahasa inggrisnya remedial teaching itu dijelaskan sebagai learning correctives. Mengoreksi cara belajar. Secara teoritis pengajaran remedi hendaknya bertitik tolak dari data siswa yang mencangkuo : Inteligensi, personalitas, cognitive style, motivasi, aspirasi dan harapan, latar belakang siswa, faktor sosial ekonomi, jenis kelamin dan ………masih banyak lagi. Kalaupun guru mempunyai data tentang keadaan siswa, dalam kondisi dan jadwal waktu yang ditetapkan oleh kurikulum, tidaklah mungkin untuk memperhitungkan faktor-faktor tersebut. Saya lebih tertarik kepada pendekatan yang sederhana, dapat diterapkan dalam setting klasikal dengan bekal kemauan saja, dari pada teori yang muluk, tetapi
hanya
anda
hapalkan
untuk
lulus
tentamen
saja.
Saya
ingin
memperkenalkan rumus belajar menurut John B. Carroll serta saran-saran Bloom dan Airasian dalam menyusun rancangan pengajaran remedi. (Janes H. Block, Mastery Learning, 1971). Lengkapnya rumus belajar Carroll adalah sebagai berikut.
Degree of School Learning -- )
1. Time Allowed 2. Perseverance = (-------------------------------------------------3.Aptitude 4. Quality of Intruction 5. Ability to understand instruction
Dari rumus di atas , butir 2 dan 3 sukar dijangkau oleh guru bidang studi. Butir 1, butir 4 dan butir 5 dapat diusahakan, bahkan memang menjadi tugas seorang guru profesional. Pengajaran remedi di dalam kelas dapat mengkombinasikan bentuk-bentuk kegiatan dibawah ini : 1. Sessi pemecahan masalah kelompok- kelompok kecil . (Small group problem session) diskusi kelompok beranggotakan 3 atau 4 orang siswa. Didalam kelompok kecil itu mereka dapat memecahkan masalah yang belum dipahami dengan cara saling mengajar (saling asah ), bergiliran. 2. Tutorial secara individual.
Siswa yang sudah menguasai pokok bahasan, ditugaskan untuk menjadi tutor, menjelaskan hal-hal yang belum dipahami oleh teman-temanya. Sesungguhnya mereka yang sudah menguasai bahan pelajaran, perlu mendapat pengayaan. Tetapi dengan menugaskan untuk mengajar temannya, ia akan memperoleh pengertian yang lebih mendalam. 3. Gunakan sumber belajar yang lain. (Alternative learning materials). Dengan menggunakan sumber-sumber belajar yang lain, yang tersedia disekolah atau yang sekiranya dapat diusahakan oleh murid dan oleh guru. 3.1
Dengan mengganti buku test. Meskipun buku paket ditetapkan menjadi buku pegangan guru dan siswa, ada baiknya siswa dicoba untuk mempelajari buku lain. Mungkin buku paket bahasanya sukar dipahami oleh siswa, gambar-gambarnya kurang jelas, tipografinya kurang menarik sehingga pergantian buku pelajaran akan berpengaruh dalam proses pengajaran remedi. Seandainya bahan yang tercetak sukar didapat, guru dapat membuatkan ikthisar yang lebih mudah. Guru yang terampil ialah guru yang sanggup membuat masalah yang kompleks menjadi sederhana. Dan bukan sebaliknya.
3.2
Buku tugas kegiatan. Beberapa siswa sulit memahami infoemasi verbal yang abstrak. Bagi mereka melakukan kegiatan, seperti : koleksi, pengamatan, percobaan di lab. Pada umumnya membantu memahami konsepkonsep yang harus dipelajari.
3.3
Menggunakan media audio-visual. Meskipun media pengajaran masih sangat langka bagi kebanyakan sekolah, tetapi alat-alat sederhana dapat dibuat sendiri oleh guru bersama murid yang agak terampil.
3.4
Teka-teki dan permainan akademik. Dalam setiap permainan, terdapat motivasi untuk keluar sebagai pemenang. Permainan cerdas-cepat, teka-teki silang, atau bentuk lainya dapat diterapkan sebagai metoda pengajaran remedi.
3.5
Mengajarkan kembali (Re-teaching). Kalau lebih dari 40 persen dari jumlah siswa di kelas belum menguasai bahan pelajaran, sebaliknya guru menerangkan kembali seluruh materi pelajaran. Sudah tentu dengan menerapkan pendekatan yang lain. Artinya, strategi penyajian harus diubah.
Evaluasi 1) Jelaskan kenapa dalam pembelajaran harus ada latihan 2) Setujukah anda jika dalam pembinaan anak hanya dilakukan tes saja, jelaskan. 3) Jelaskan kenapa hasil ujian anak harus dikembalikan. 4) Apa makna pengayaan danremidial dalam pembelajaran. 5) Jelaskan kenapa harus ada tes awal dalam pembelajaran.
BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES BELAJAR
Standar Kompetensi Mahasiswa memahami dan memiliki wawasan faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar Kompetensi Dasar 1) Mahasiswa memahami faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi belajar 2) Mahasiswa memahami faktor-faktor sosiologis yang mempengaruhi belajar 3) Mahasiswa memahami faktor-faktor ekonomis yang mempengaruhi belajar 4) Mahasiswa
memahami
teknik
pengendalian
faktor-faktor
yang
mempengaruhi proses belajar 5) Mahasiswa mampu mengadaptasikan pembelajaran dengan faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar
Indikator 1) Mendeskripsikan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi belajar 2) Mendeskripsikan faktor-faktor sosiologis yang mempengaruhi belajar 3) Mendeskripsikan faktor-faktor ekonomis yang mempengaruhi belajar 4) Mendeskripsikan pengendalian faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar 5) Mendeskripsikan teknik mengadaptasikan pembelajaran dengan faktorfaktor yang mempengaruhi proses belajar
Tujuan Setelah berpatisipasi dalam kegiatan bahasan ini, mahasiswa diharapkan mampu: 1) Mendeskripsikan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi belajar 2) Mendeskripsikan faktor-faktor sosiologis yang mempengaruhi belajar 3) Mendeskripsikan faktor-faktor ekonomis yang mempengaruhi belajar 4) Mendeskripsikan pengendalian faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar
5) Mendeskripsikan teknik mengadaptasikan pembelajaran dengan faktorfaktor yang mempengaruhi proses belajar
Materi Ambillah sehelai kertas. Tuliskan pada kertas itu semua faktor yang mempengaruhi prestasi belajar yang anda dapat ingat. Kalau sudah selesai selipkan kertas itu dalam catatan ini. Hampir tidak terbatas jumlah faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap hasil belajar seseorang. Bahkan satu individu pun senantiasa mengalami perubahan baik dalam irama atau dalam kemampuanya memahami suatu bidang studi. Dalam catatan ini akan disajikan beberapa faktor saja, terutama yang mungkin dengan mudah dapat diindentifikasikan dan dapat dikontrol oleh guru. Faktor yang diluar kemampuan guru untuk mengontrolnya, sekedar hanya disinggung saja.
1. Faktor kognitif
1.1 Inteligensi 1.2 Style belajar atau Cognitive style. 1.3 Kreativitas. 1.4 Modalitas sensoris. 1.5 Tahap
perkembangan
(J.Piaget)
2. Faktor personalitas
2.1 Self-concept 2.2 Motivasi 2.3 Tingkat aspirasi 2.4
3. Faktor guru 4. Faktor social-ekonomi 5. Faktor fasilitas dan sumber belajar 6. Faktor nilai-nilai masyarakat (culturalbehavior). 7. Faktor……..silakan isi sendiri
kognitif
Faktor-faktor manakah yang dapat kita tingkatkan agar dapat membantu menaikan prestasi belajar siswa ? dan mana yang diluar kemampuan guru ?
GAYA BELAJAR atau COGNITIVE STYLE Tidak banyak diperlukan waktu untuk memperdebatkan lagi, bahwa intelegensi adalah faktor terpenting yang mempengaruhi prestasi belajar. Iteligensi akan kita bahas dialaman lain, pada saat mengklasifikan kemampuan. Namun demikian, faktor yang tidak kurang pentingnya ialah style belajar. Cognitive style adalah pola perilaku yang tetap, yang menjadi cirri khas seseorang dalam memberikan responnya kepada tugas-tugas intelektual. Justeru faktor ini lebih mudah dijangkau oleh guru dalam merancang kegiatan belajar sehari-hari. Cobalah menganalisis style belajar anda sendiri dengan jalan menjawab pertanyaan dibawah ini. Umpama anda akan menempuh tes PBM ini minggu yang akan dating, bagaimana style belajar anda ? 1. Apakah anda belajar bersama teman, atau sendiri saja ? 2. Apakah anda belajar selama minggu ini (satu jam setiap hari ), ataukah anda simpan dulu sampai sampai malam hari menjelang test. 3. Apakah anda membuat catatan sambil belajar, ataukah cukup dengan membubuhkan garis bawah dengan pensil berwarna pada kalimat yang penting ? 4. Apakah anda belajar dengan memperhitungkan format pokok uji, misalnya MCQ, benar-salah, essay, atau tidak ? 5. Apakah anda memerlukan suasana tenang, atau boleh berisik sedikit, atau dengan iringan lagu pop kesayangan anda ? 6. apakah anda belajar hanya kalau ada test (paksaan) atau tidak ? seandainya tidak akan ada test atau tentamen, apakah anda juga belajar sebanyak itu ? Coba bandingkan cognitive style anda dengan teman-teman lainya. Kesimpulan apa yang dapat anda buat ? Menurut Kogan, Siegel dan Coop (Dalam buku Miron H, dembo, Teaching for Learning, 1977) cognitive style dapat dibagi atas 2 dimensi.
-Impulcive Dimensi Pertama : -Reflective
-Field-dependent (field-sensitive) Dimensi kedua : -Field-independent
Menurut David P. Ausubel : -Particularizer -Generaliser
Menurut Gordon Pask :
-Serialist -Holist.
Anda akan lebih mudah memahami berbagai dimensi cognitive style dengan jalan mencoba mengadakan flash-back, mengenang kembali pengalaman, ketika masih menjadi siswa di S.D dan Sek. Lanjutan. Mungkin anda dapat mengingat beberapa teman sekelas yang dengan cepat memberikan respon kepada pertanyaan atau peryataan guru, meskipun sebagian besar jawabanya ternyata salah. Mereka ini tergolong kedalam cognitive style (impulsive). Demikian juga halnya pada saat menempuh ulangan atau ujian. Siswa yang impulsive akan lebih cepat mengumpulkan pekerjaanya dan pergi meninggalkan kelas. Ulangan dianggap suasana yang kurang menyenangkan. Tidak perduli apakah jawabanya benar atau salah. Dalam pelajaran membaca, siswa impulsive lebih banyak membuat kesalahan dari pada cognitive style yang lain.
Kebalikan style impulsive ialah cognitive style reflective. Style ini ditandai oleh reaksinya yang lambat dalam menjawab pertanyaan guru. Anak reflective
biasanya lamban mengambil keputusan. Ia merenungkan lebih lama lagi, kendatipun jawaban itu sudah ada dalam pikiranya. Apabila guru menerapkan metoda Tanya-jawab, siswa reflective acapkali mengalami kesukaran. Sementara mempertimbangkan, apakah jawabannya benar atau salah (yang memakan waktu agak lama ) guru mengira bahwa anak itu memang tidak tahu jawaban yang benar. Guru lalu mengalihkan pertanyaan itu kepada anak yang lain. Pada hal anak itu tahu jawaban yang benar, tetapi ia terlalu lama mengkaji jawaban yang salah. Survey test. 1. Pendekatan penyajian manakah yang lebih tepat untuk : a. Siswa dengan cognitive style impulsive. b. Siswa dengan cognitive style reflective .
2. Siswa dengan cognitive style yang bagaimanakah yang akan anda pilih untuk mewakili sekolah dalam kontes cerdas-cermat dan kontes cepattepat ? apa alasan anda ? 3. Jika anda akan memberikan ulangan kepada siswa, apakah anda akan memilih a. Speeded test. b. Power test. Apa alasan anda ? Dimensi Field-independent dan field-dependent adalah suatu ukuran, sampai berapa jauh, seseorang yang sedang mencoba membedakan aspek-aspek yang relevan dalam satu situasi, mampu mengatasi akibat unsure-unsur yang menggangu. Unsure-unsur atau latar belakang itulah yang disebut the field. Makin bebas seseorang terhadap unsure-unsur yang menggangu, makin analitik sifatnya dan makin field-independentlah dia. Sebaliknya makin terikat/ terpengaruh oleh unsure-unsur penggangu, makin global sifatnya dan makin fielddependent-lah dia. Dimensi cognitive style ini banyak menarik perhatian para peneliti. Wiktin dan Moore (1974), menglasifikasikan orientasi individu atas field-dependent dan field-independent.
Orang
yang
orientasinya
field-dependent
sangat
memperhatikan masalah-masalah social. Mereka memperhatikan orang-orang di sekitarnya apabila hendak menentukan sikap dan kepercayaanya. Mereka memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Memilih lapangan pekerjaan yang banyak bergaul dengan orang. Sebaliknya orang yang orientasinya field-independent akan memilih lapangan pekerjaan yang tidak banyak berhububgan dengan orang (abstract impersonal). Bagaimanakah implikasi cognitive style itu terhadap proses belajarmengajar ? apabila guru tidak menyusun organisasi bahan pelajarannya,kelompok siswa
yang
tergolong
field-independent
lebih
mampu
menyerap
dan
mengorganisasikan bahan pelajaran itu sendiri. Dan kelompok field-dependent akan kehilangan jejak, tidak dapat, tidak dapat membedakan mana yang penting, mana yang sekedar sebagai ilustrasi saja. Pola orientasi siswa juga berpengaruh terhadap cara pemberian reinforcement. Mereka yang orientasinya fielddependent lebih peka kepada kritik, nasihat dan bentuk reinforcement secara verbal.
MODALITAS SENSORIS Interaksi dengan alam sekitar berlangsung melalui system modalitas sensoris, yaitu : penglihatan (visual atau spatial), pendengaran (auditory atau verbal), rabaan (kinesthetic), penciuman (olfactory) dan pengecapan (gustatory). Anak yang masih duduk di taman kanak-kanak dan kelas-kelas permulaan S.D indera kinesthetic yang menjadi alat penerima informasi yang paling peka. Makin meningkat usia anak, peranan indera kinesthetic dan indera visual digantikan oleh indera verbal. Justru karena itulah bruner membagi proses belajar atas yiga tahap : 1. Enactive learning ……. Belajar dengan melakukan kegiatan 2. Econic learning……… belajar melalui respresentasi dan peragaan. 3. Symbolic learning ……. Belajar dengan perantaraan symbol/ verbal .
Usia, kepekaan alat indera siswa dan prefensinya terhadap berbagai stimuli perlu mendapat perhatian guru. Justeru untuk tujuan inilah pentingnya variasi stimulus dalam PBM. Guru dihadapkan mampu untuk menerapkan macam-macam metoda penyajian, sesuai dengan modalitas sensoris para siswanya. Pembagian cognitive style Gordon Pask dan Ausubel menekankan kepada cara atau metodologi seseorang dalam mempelajari sesuatu masalah, cognitive style serialist (Gordon Past) dan particularizer (ausubel) menerapkan pendekatan selangkah demi selangkah dalam mempelajari suatu konsep, kelompok ini lebih menitik beratkan kepada bagian-bagian atau detail dari pada memahami keseluruhan masalah. Hipotesa yang disusun pada umumnya bersifat sederhana dan liniar (tidak bercabang). Style holist (Gordon Past) dan generaliser (ausubel) menyusun hipotesa yang lebih yang lebih kompleks sifatnya. Kelompok ini mempelajari sesuatu dengan cara mencari sifat-sifat umum dan lebih mampu menyusun hierarkhi konsep dan prinsip-prinsip yang disajikan secara tak terorganisasi. Jika individu yang termasuk style serialist di tugaskan untuk mengajarkan bahasan yang telah dipelajari, sebaliknya orang yang memiliki style holist mampu untuk mengadakan improvisasi dan menciptakan urutan sendiri.
Self-check. Siapakah diantara kalian yang merasa bosan dan tidak sabar mendengan teman yang menceritakan sesuatu kejadian dengan amat mendetail ? Dan siapa di antara kalian yang tidak mampu mengedit catatan kuliahnya, setelah menghadiri kuliah yang di sajikan secara tak terorganisasi ?
FAKTOR GURU. Saya rasa kita tidak perlu membahas peranan guru dalam PBM. Hanya saya ingin mengulangi beberapa kalimat yang sudah kerap kali kita kutip.
Menurut Mc. Luhan :” The Medium the Massege” . dan guru adalah salah satu medium yang terdekat dengan siswa. Apapun yang dilakukan guru, pasti berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Pertanyaan : Setelah lonceng berbunyi, guru masuk kelas, duduk di kursi, diam, tidak melakukan apa-apa. Apakah guru yang tidak melakukan apaapa mempunyai pengaruh terhadap siswa ?
FAKTOR SOSIAL EKONOMI. Sampai seberapa jauhkah faktor sosial ekonomi orang tua, berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa ? kini giliran anda untuk menjawabnya. Tugas : Mengadakan survey ke sekolah-sekolang. Data yang diperlukan : 1. Kedudukan sosial ekonomi orang tua siswa. 2. prestasi belajar siswa Buat kesimpulan tentative untuk acuan berdiskusi.
FAKTOR KEBUDAYAAN 1. Apakah aspirasi masyarakat ? 2. Nilai-nilai apa yang sedang berkembang di masyarakat 3. Maba yang lebih dihargai : a. Prestasi akademik, kejujuran, bekerja keras, hidup sederhana, altruistic, bersedia memikul tanggung jawab atau b. Lekas kaya material, hidup santai, pola konsutif tidak usah jujur, tidak usah prestasi akademik. Setelah menjawab pertanyaan ini, anda akan menyadari mengapa ada orang membeli ijasah palsu, menyuap supaya lulus ujian dan ….. menyontek pada waktu test tentamen.
KLASIFIKASI KEMAMPUAN. Apakah yang dimadsud kemampuan (human abilities) dan apa pula yang disebut inteligensi ? jika anda belum berhasil merumuskan definisi yang operasional, hal itu adalah pertanda yang baik. Sebab, sudah sejak puluhan tahun para ahli berdebat tentang hal yang belum banyak dapat diungkapkan, paling
banyak mengundang pendapat-pendapat yang controversial dan paling menarik untuk didiskusikan. Ilustrasi dibawah ini akan membantu kita untuk menyadari, betapa rumitnya masalah intelegensi itu. Ayu adalah siswa SMA IPA kalas II, usianya menginjak 17 tahun. Tingkah laku yang dapat diamati antara lain sebagai berikut. 1. Dapat mendefinisikan secara verbal dengan tepat: Elektron Gaya, Massa, Segitiga sama sisi, Stomata, Potositensis, Demokrasi, Pahlawan, Waktu, Planet, Introvert Ph,….. 2. Trampil mengendarai sepeda motor di jalan yang ramai, sambil bercakap-cakap dengan teman yang diboncengnya. 3. Dapat menjawab dengan benar soal-soal matematika, fisika,kimia dan mata pelajaran lain yang diberikan oleh guru. 4. lincah bergaul dengan teman-temanya, sanggup mengorganisasikan kelompok siswa untuk mengumpulkan sumbangan bencana alam. 5. dapat berkomonikasi dalam bahasa inggris dengan wisatawan asing yang sedang mengunjungi kampungnya. 6. Mampu meramalkan situasi ekonomi dengan jalan hidup hemat dan berusaha untuk menabung. 7. Ia termasuk anggota kelompok teater yang sering mementaskan drama di acara-acara T.Y. 8. Sudah beberapa kali membalas surat-surat cinta, menolak dengan halus atau memberi harapan dalam bentuk puisi.
Dapatkah sekarang kita merumuskan kemampuan yang dimiliki Ayu? Bagaimanakah kira-kira inteligensinya ? atau berapa kira-kira IQ-nya ? dan bagaimana menyusun klasifikasi kemampuanya ? Kemampuan seseorang adalah produk proses belajar. Kemampuan bersifat langgeng. Ruang lingkup kemampuan lebih umum sifatnya dari pada keterampilan. Kemampuan dipelajari dengan metoda faktor analisis. Artinya, faktor apa yang terlibat pada saat seseorang mengerjakan satu tugas yang dapat diamati. Jadi
kemampuan dipelajari secara empiris. Mengidentifikasi kemampuan, berarti menganalisis faktor-faktornya. Faktor-faktor apakah yang terlibat pada saat anda membaca halaman ini ? Kemampuan belajar, kemampuan kognitif umum, potentiality educational itulah yang disebut inteligensi.
STRUKTUR INTELIGENSI Apakah inteligensi itu faktor tunggal (unitary trait) ataukah gabungan banyak faktor (multiple factors) ? pertanyaan ini akan merangsang kita untuk berkenalan dengan teori tentang struktur inteligensi. Spearman (1927) berpendapat bahwa inteligensi menyangkut kemampuan umum tingkat tinggi. Intelek terdiri faktor umum (U) yang menjadi dasar segala aktivitas mental. Disamping faktor umum terdapat sejumlah faktor khusus (K) yang berkaitan dengan tugas-tugas yang khusus, atau situasi-situasi tertentu. Setiap faktor khusus berkaitan dengan, bahkan tumpang tindih dengan faktor umum. Bagian yang tumpang tindih itulah yang disebut faktor umum. Seorang anak yang lebih inteligen dari anak yang lain, disebabkan oleh perbedaan faktor khusus.
Bagan struktur inteligensi Menurut Spearman
Berhitung
Membaca
Thorndike (1927), berpendapat bahwa inteligensi adalah jumlah dari pada kemampuan-kemampuan khusus yang kedudukanya sama satu dengan lainya. Thorndike mengidentifikasikan inteligensi sebagai : 1. Kemampuan abstrak ……… yang berhubungan dengan idea dan symbol.
2. Kemampuan mekanik …….. yang bersangkut paut dengan keterampilan senso-motoris 3. Kemampuan Sosial ………… yang menyangkut pergaulan dengan sesame.
Thurstone (1938), juga tidak setuju dengan teori Sperman. Tidak ada faktor umum. Thrustone menganggap inteligensi sebagai sejumlah kemampuan mental primer. Kemampuan mental dapat digolongkan ke dalam 7 faktor, yaitu : bilangan (number), lancer dalam menggunakan kata-kata (word fluency), memahami arti kata kerja (verb meaning), mengingat hubungan (associative memory), penalaran (reasoning), ruang (space),kecepatan persepsi (perceptual speed). Guilford (1959), mengidentifikasikan kemampuan dengan dengan jalan menyusun model struktur intelek berbentuk tiga dimensi. Dimensi pertama ialah materi yang diproses (content processed) yang mempunyai 4 subkategori : Dimensi kedua adalah prose situ sendiri atau operationalnya, mengandung 5 subkategori. Dimensi ketiga merupakan hasil pemrosesan itu atau produk, dengan 6 sub kategori. Dimensi pertama (content) : 1. Figural 2. Symbolic 3. Semantic 4. Behavioral
Dimensi kedua (Operations) : 1. Cognition 2. Memory 3. Divergent Thinking 4. Covergent Thinking 5. Evaluation.
Dimensi ketiga (Products) : 1. Units
2. Classes 3. Relations 4. Systems 5. Tranformations 6. Implications
Secara teoritis, kombinasi ketiga dimensi tersebut menghasilkan 4 x 5 x 6 = 120 faktor dan kemampuan.
Buatlah sebuah kubus yang sisi-sisinya : 4 cm, 5cm, dan 6cm. masukan subkategori masing-masing dimensi ke sisi-sisinya. Dengan melengkapi garisgarisnya anda mendapatkan 120 kubus.
Vernon (1960), tidak hanya mengidentifikasikan kemampuan tetapi ia juga menyusun hierarkhinya. Bagan dibawah ini adalah hierarkhi kemampuan menurut Vernon. Dikutip dari buku karangan R.L. Thorndike dan E.P. Hagen, Measurement and Evaluation in Psychologi and Education, 1977
Perceptual
Mechanical
Spatial
Reasoning
PRATICAL ABILITY
Numerical
ACADEMIC ABILITY
GENERAL ABILITY
Verbal
MENGUKUR INTELIGENSI. Intelegensi atau kemampuan kognitif umum diukur dengan alat test inteligensi. Pionir yang menerapkan test inteligensi ialah Alfred Binet di paris dalam tahun 1905. skala binet-simon mengukur perkembangan mental (mental age) anak-anak. Anak yang berhasil melampaui skala Binet-simon (mampu mengerjakan dengan benar pokok uji dalam test Binet-simon) dinyatakan mempunyai mental age yang maju. Sedang yang tidak berhasil dianggap mental age-nya terlambat. Henry H. Gorddart menterjemahkan test Binet-simon ke dalam bahasa inggris dan dalam tahun 1908 diterapkan kepada anak-anak amerika. Dalam tahun 1912 Lewis Madison terman dari universitas Stanford, mengadakan revisi test Binet-simon sgar lebih sesuai dengan keadaan anak-anak di amerika. Tahun 1916 test itu diterbitkan untuk pertama kali dan sejak itu dikenal dengan Stanford-Binet intelligence test. Karena perkembangan mental sangat erat hubungannya dengan usia, (ingat teori perkembangan kognitif J.Piaget), maka William Stern mengusulkan agar hasil test inteligensi dinyatakan dalam ukuran rasio antara usia mental (mental age = MA ) dan usia dalam satuan kalender (Chronological age = CA). untuk menghindari pecahan, hasil bagi itu dikalikan 100. Hasil test inteligensi seorang anak dinyatakan dengan angka yang diperoleh dari rumus berikut MA I Q = 100
________ CA
Anak yang berumur 8 tahun, hasil tesnya ekuivalen dengan mental age anak berumur 6 tahun ( MA = 6 dan CA = 8 ) maka IQ= 75. Semenjak tahun 1960, Stabford-Binet test tidak lagi menggunakan rumus diatas. Hasil test diinterprestasikan dengan berpatokan kepada kurva normal. Untuk kelompok umur tertentu skor rata-rata (Mean) ditetapkan 100 dengan deviasi standar 16. 1.
Buatlah kurva normal dengan Mean =100 dan SD = 16.
2.
Jika hasil test (IQ) Budhi= 106 dan Anita = 95 bagaimanakah perbedaan prestasi akademik kedua siswa itu disekolah?
Kecuali Stanford-Binet test (test verbal) terdapat banyak test lain yang sudah dipublikasikan. David Wechsler dari rumah sakit Bellevue di new york city (1939) menyusun test inteligensi yang dikenal dengan nama Wechsler-Bellevue test (verbal dan non verbal ) Untuk memperoleh kesan, bagaimana perkembangan test inteligensi di amerika serikat, dapat kita amati banyaknya tipe-tipe test yang di publikasikan. Beberapa diantaranya : California Short Form Test of Mental Maturity (CTMM). Cognitive Ability Test (CAT) Columbia mental naturity Scale. Cooperative School and College Ability Test (scat) Kuhlmann-Anderson Intelligence test (K-A) Short Form Test of Academic Aptitude (SFTAA) dan ….masih banyak yang lain . Catatan : Teori yang dijelaskan semua berdasarkan buku-buku terbitan di Amerika. Apakah di Indonesia tercinta ini sudah terdapat test inteligensi yang khusus untuk anak-anak Indonesia. Pokok uji yang mengukur kemampuan apa yang dicantumkan untuk anak-anak batak, anak dari keluarga sunda, jawa tengah, bali, toraja, timtim dan …Papua. Bagaimana menyusun test inteligensi yang merefleksikan pancasila ?
Bahan untuk diskusi. 1. Apakah inteligensi itu lebih banyak ditentukan oleh gen atau oleh lingkungan ? mana yang lebih penting nature atau nurture ? 2. Di amerika serikat terdapat kelompok orang-orang yang bermasud memperdagangkan sperma para pemenang hadiah nobel. Apakah mereka termasuk golongan Geneticist atau Environmentalist.
Evaluasi 1) Jelaskan kejadian empirik di lapangan yang merupakan implementasi dari adaptasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi belajar 2) Terkadang seorang guru meminta siswa secara sukarela menjawab pertanyaan dan terkadang menunjuk siswa untuk menjawab pertanyaan. Upaya apa yang dilakukan guru, jelaskan. 3) Buat skenario pembelajaran yang memuat upaya adaptasi terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi belajar. 4) Sekarang ini ada beasiswa bidik misi, sasaran apa yang ingin dicapai, jelaskan. 5) TIK dapat menjembatani faktor-faktor yang mempengaruhi belajar, jelaskan.
BAB VI DOMAIN HASIL BELAJAR
Standar Kompetensi Mahasiswa memahami domain hasil belajar Kompetensi Dasar 1) Mahasiswa memahami domain hasil belajar menurut Gagne 2) Mahasiswa memahami domain hasil belajar menurut Bloom 3) Mahasiswa memahami perbedaan domain hasil belajar menurut Gagne dan domain hasil belajar menurut Bloom 4) Mahasiswa memahami penerapan domain hasil belajar Gagne secara tepat 5) Mahasiswa memahami penerapan domain hasil belajar Bloom secara tepat Indikator 1) Mendeskripsikan domain hasil belajar menurut Gagne 2) Mendeskripsikan domain hasil belajar menurut Bloom 3) Mendeskripsikan perbedaan domain hasil belajar menurut Gagne dan domain hasil belajar menurut Bloom 4) Mendeskripsikan penerapan domain hasil belajar Gagne secara tepat 5) Mendeskripsikan penerapan domain hasil belajar Bloom secara tepat
Tujuan 1) Melalui kolaborasi mahasiswa mampu mendeskripsikan domain hasil belajar menurut Gagne 2) Melalui kolaborasi mahasiswa mampu mendeskripsikan domain hasil belajar menurut Bloom 3) Melalui kolaborasi mahasiswa mampu mendeskripsikan perbedaan domain hasil belajar menurut Gagne dan domain hasil belajar menurut Bloom 4) Melalui kolaborasi mahasiswa mampu mendeskripsikan penerapan domain hasil belajar Gagne secara tepat
5) Melalui kolaborasi mahasiswa mampu mendeskripsikan penerapan domain hasil belajar Bloom secara tepat
Materi Hasil Belajar Menurut Gagne Gagne menggunakan istilah kemampuan untuk menyatakan karaktersitik umum dari berbagai variasi kinerja yang bisa dihasilkan dari belajar (Gagne, 1975). Kinerja yang dapat diobservasi sebagai hasil belajar dan tersimpan secara internal pada diri pebelajar disebut kemampuan (Gagne, Briggs and Wager, 1992). Istilah itu digunakan mengingat terdapat banyak kemampuan yang bisa dihasilkan dari belajar, yaitu sebanyak kinerja yang bisa dilakukan manusia. Selain itu juga terdapat berbagai tingkatan organisasi kemampuan. Daripada harus menggunakan istilah kemampuan untuk setiap kinerja yang dipelajari maka lebih baik menggunakan istilah kemampuan secara umum. Gagne mengidentifikasikan ada lima kategori kemampuan yang dihasilkan dari belajar, yaitu ketrampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, kemampuan motorik, dan sikap (Gagne, 1975). Kelima kategori kemampuan tersebut diharapkan komprehensif. Berbagai kemampuan yang bisa dipelajari, seperti kemampuan di bidang matematika atau kemampuan di bidang ekonomi memiliki karakteristik di antara satu atau lebih dari kelima kategori kemampuan tersebut.
1) Kemampuan Intelektual Kemampuan intelektual memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan lingkungannya melalui simbol-simbol atau konseptualisasi. Belajar kemampuan intelektual berarti belajar bagaimana melakukan sesuatu dari satu jenis intelektual, yang biasa disebut pengetahuan prosedural.
Ada beberapa
variasi ketrampilan intelektual, yaitu diskriminasi, konsep konkrit, konsep terdefinisi, aturan, dan aturan tingkat tinggi.
a) Diskriminasi Diskriminasi adalah kemampuan membedakan respon terhadap stimuli yang berbeda satu sama lain menurut satu atau lebih dimensi fisik. Diskriminasi yang paling sederhana adalah kemampuan individu untuk memberi respon yang menunjukkan apakah dua stimuli sama atau berbeda.
b) Konsep Konkrit Konsep konkrit adalah kemampuan yang memungkinkan individu untuk mengidentifikasikan stimulus merupakan anggota dari satu kelas yang memiliki beberapa karakteristik yang sama, sekalipun stimuli tersebut tampak berbeda. Konsep konkrit mengidentifikasikan sifat-sifat atau ciri-ciri obyek, seperti warna, bentuk atau posisi.
c) Konsep Terdefinisi Individu dikatakan sudah mempelajari konsep terdefinisi bila dapat menunjukkan arti dari beberapa kelas obyek,
kejadian, atau relasi. Konsep
terdefinisi hanya bisa difahami berdasarkan definisi, bukan dengan cara menunjuk seperti pada konsep konkrit.
d) Aturan Bila individu mampu merespon tentang hubungan antara beberapa kelas dari obyek atau kejadian maka individu tersebut sudah mempelajari aturan. Konsep terdefinisi sebetulnya adalah tipe khusus dari aturan yang bertujuan mengklasifikasikan obyek atau kejadian. Akan tetapi aturan mencakup banyak kategori lain selain klasifikasi, seperti hubungan sama dengan, lebih besar dari, kurang dari, sebangun, di atas, di bawah, di sebelah kiri, di sebelah kanan, sebelum, atau sesudah. Sebagian besar dari materi pembelajaran berkaitan dengan aturan. Rumus-rumus matematika, fisika, kimia dan bidang lainnya merupakan aturan. Hukum keturunan secara genetikdalam biologi, penyusunan paragraf dalam bahasa, dan komposisi not musik juga merupakan aturan.
e) Aturan Tingkat Tinggi Aturan tingkat tinggi adalah aturan yang lebih kompleks yang diciptakan untuk tujuan pemecahan masalah-masalah praktis. Pemecahan masalah sebetulnya adalah tujuan utama dari proses pembelajaran. Terdapat banyak sekali masalah, dan terdapat kemungkinan penyelesaian yang jauh lebih banyak. Bila individu menemukan penyelesaian dari suatu masalah maka ia mencapai kemampuan baru, yang dapat digeneralisasikan pada masalah-masalah lain yang memiliki karakteristik yang sama. Kinerja yang diinginkan adalah penciptaan dan penggunaan aturan kompleks untuk mencapai penyelesaian masalah baru bagi individu. Jika aturan tingkat tinggi sudah dikuasai maka semestinya individu bersangkutan mampu menunjukkan penerapannya pada masalah yang berbeda secara fisik tetapi dalam situasi yang sama. Jadi aturan tingkat tinggi yang dipelajari menunjukkan transfer belajar. Wickelgren (dalam Gagne, Briggs dan Wager, 1992) menyatakan bahwa beberapa strategi yang umumnya digunakan dalam pemecahan masalah yang dinyatakan
secara
verbal
adalah:
1)
mengambil
kesimpulan
dengan
mentransformasikan konsep-konsep yang diberikan, 2) mengklasifikasikan rangkaian aksi daripada memilihnya secara random, 3) memilih aktivitas pada beberapa tahap pemecahan masalah untuk mendekati penyelesaian, 4) mengidentifikasi kontradiksi untuk membuktikan bahwa tujuan tidak bisa dicapai berdasarkan persyaratan yang diberikan, 5) memecah tujuan menjadi bagianbagian, dan 6) bekerja mundur mulai dari tujuan. 2) Strategi Kognitif Strategi kognitif adalah proses kontrol, yaitu preoses internal yang menunjukkan bagaimana individu memilih dan memodifikasi caranya dalam belajar, mengingat, dan berpikir. Pembelajaran strategi kognitif dapat dianggap sebagai pembelajaran cara belajar. Strategi kognitif sangat bermanfaat dalam penyelesaian masalah. Misalnya, siswa sudah memiliki kemampuan tertentu yang memungkinkannya untuk mampu mengingat inti dari satu topik pembelajaran atau
sudah memiliki teknik tertentu untuk pendekatan penyelesaian masalah. Strategi kognitif merupakan prosedur mental yang terbentuk dari ketrampilan intelektual, sehingga bisa tersusun sebagai prosedur yang dinyatakan dalam bentuk pernyataan bersyarat. Strategi kognitif merupakan ketrampilan yang terorganisir secara internal, sehingga harus ada kesanggupan internal untuk mengerjakan. Apabila yang dipelajari adalah strategi yang melibatkan fakta maka siswa mesti memiliki daftar kategori yang sudah dipelajari sebelumnya dan dapat dipanggil kembali. Apabila yang dipelajari adalah strategi berpikir yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah maka siswa harus memiliki aturan yang bersesuaian yang sudah dipelajari sebelumnya. Strategi kognitif tidak bisa dipelajari atau diterapkan tanpa materi tertentu, dengan kata lain harus ada sesuatu untuk dikerjakan. Dalam pembelajaran strategi kognitif sering mendapat perhatian penting, khususnya berkaitan dengan perannya dalam penyelesaian masalah-masalah baru.
3) Informasi Verbal Informasi verbal adalah jenis pengetahuan yang dapat dinyatakan, sehingga disebut juga sebagai pengetahuan deklaratif. Nama hari, kota, negara, bilangan, kejadian-kejadian, bentuk negara, prestasi dalam bidang teknologi, dan komponen-komponen ekonomi adalah contoh dari informasi verbal. Informasi verbal sangat penting bagi setiap orang antara lain sebagai pengetahuan umum, membantu dalam mempelajari bidang lain yang terkait, dan sebagai pengetahuan khusus.
4) Ketrampilan Motorik Ketrampilan
motorik
adalah
ketrampilan
yang
secara
sederhana
memungkinkan terjadinya kinerja gerakan. Individu dikatakan menguasai ketrampilan motorik bila gerakan-gerakan yang dilakukan terorganisir untuk menghasilkan aksi total dengan lancar, reguler, dan tepat waktu. Kelancaran dan ketepatan waktu dalam melakukan ketrampilan motorik menunjukkan bahwa
ketrampilan tersebut sudah memiliki organisasi internal tingkat tinggi, sehingga kelancaran bisa ditingkatkan melalui latihan kontinyu dalam jangka waktu panjang.
5) Sikap Sikap didefinisikan sebagai keadaan internal yang mempenga-ruhi pilihan aksi yang dilakukan individu. Sikap memiliki komponen afektif (emosional), aspek kognitif, dan konsekuensi perilaku. Sikap bisa berasal dari ketidaksesuaian antara keyakinan dan ide atau muncul dari keadaan emosional. Umumnya sikap ditekankan pada efek perilaku, yaitu pada pilihan aksi yang dilakukan individu. Keadaan internal yang mempengaruhi aksi-aksi tersebut bisa merupakan aspek intelektual atau aspek emosional. Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah keadaan berlangsung lama yang menyebabkan individu mampu melakukan kinerja tertentu. Istilah kemampuan digunakan untuk menyatakan karaktersitik umum dari berbagai variasi kinerja yang bisa dihasilkan dari belajar. Ada lima kategori kemampuan hasil belajar, yaitu ketrampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, gerak, dan sikap. Kelima kategori kemampuan itu diharapkan komprehensif. Domain Hasil Belajar Menurut Bloom Bloom
(1956)
mengelompokkan
hasil
belajar
menjadi
tiga
kawasan/ranah/domain, yaitu kawasan (1) kognitif, (2) afektif, (3) psikomotor. Benyamin S. Bloom mengkosentrasikan pada domain kognitif, sementara domain afektif dikembangkan oleh Krathwohl (1992), dan domain psikomotor dikembangkan oleh Simpson (1966). Kawasan Kognitif Beberapa terminologi yang menggambarkan kawasan kognitif adalah sebagai berikut: (1) mendefinisikan istilah teknis dengan memberikan atribut, sifat, atau relasi, (2) kemampuan untuk membedakan referens untuk kata-kata dan
membangun batasan agar istilah biologis memiliki arti, (3) keakraban dengan sejumlah besar kata-kata dalam rentangan maknanya, (4) pengetahuan tentang perbendaharaan kata tentang seni yang bisa dibaca dan dikonversikan dengan cermat, (5) mengakui pengertian perbendaharaan kata dalam pemikiran kuantitatif, (6) pengetahuan tentang istilah-istilah akuntansi yang penting, (7) penguasaan tentang istilah-istilah untuk bekerja dalam bidang ilmu pengetahuan, (8) memahami pengertian terminologi berkaitan dengan bangun-bangun geometrik (Bloom, 1956). Kawasan Kognitif adalah kawasan yang membahas tujuan pembelajaran berkenaan dengan proses mental yang berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang lebih tinggi yakni evaluasi. Kawasan kognitif ini terdiri dari 6 tingkatan yang secara hirarkis berurut dari yang paling rendah (pengetahuan) sampai ke yang paling tinggi (evaluasi) dan dapat dijelaskan sebagai berikut: Tingkat Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan di sini diartikan sebagai kemampuan sese-orang dalam menghafal atau mengingat kembali atau mengulang kembali pengetahuan yang pernah diterimanya. Tingkat Pemahaman (Comprehension) Pemahaman di sini diartikan sebagai kemampuan sese-orang dalam mengartikan, menafsirkan, menerjamahkan atau menyatakan sesuatu dengan caranya sendiri tentang pengetahuan yang pernah diterimanya. Tingkat Penerapan (Application) Penerapan di sini diartikan sebagai kemampuan sese-orang dalam menggunakan pengetahuan dalam meme-cahkan berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat Analisis (Analysis)
Penerapan di sini diartikan sebagai kemampuan sese-orang dalam menggunakan pengetahuan dalam meme-cahkan berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.
Tingkat Sintesis (Synthesis) Sintesis di sini diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh. Tingkat Evaluasi (Evaluation) Evaluasi di sini diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam membuat perkiraan atau keputusan yang tepat berdasarkan kriteria atau pengetahuan yang dimilikinya .
Kawasan Afektif (Sikap dan Perilaku) Bloom (dalam Krathwohl dkk., 1972) menyatakan bahwa domain afektif, sama halnya dengan domain kognitif, tersusun dalam urutan hirarkis sedemikian sehingga masing-masing kategori prilaku akan diasumsikan merupakan hasil dari kategori prilaku di bawahnya. Akan tetapi tidak tampak bahwa domain afektif didasari oleh prinsip dari sederhana ke kompleks atau prinsip dari konkrit ke abstrak, seperti pada domain kognitif. Beberapa susunan tambahan lain ditemukan di sini. Analisis tujuan afektif dilakukan untuk menentukan karakteristiknya yang unik. Harapannya adalah untuk menemukan faktor-faktor yang diperlukan agar domain afektif menjadi kontinum. Melalui pengkombinasian dengan struktur domain kognitif, diharapkan struktur domain afektif mulai dengan perilaku sederhana, konkrit, dan tidak terlalu rumit dengan beberapa karakteristik yang belum teridentifikasi. Tingkat perilaku ini akan menjadi bangunan dasar dari perilaku yang kompleks, abstrak, dan rumit dengan jauh lebih banyak karakter
yang tidak teridentifikasi. Masalahnya sedkarang adalah mendefinisikan perilaku yang belum teridentifikasi dan menemukan prinsip yang menyatakan bahwa perilaku tersebut kontinum. Kawasan afektif adalah satu domain yang berkaitan dengan sikap, nilainilai interes, apresiasi (penghargaan) dan penye-suaian perasaan sosial. Tingkatan afeksi ini ada lima, dari yang paling sederhana ke yang kompleks adalah sebagai berikut. Kemauan menerima Kemauan menerima merupakan keinginan untuk memper-hatikan suatu gejala atau rancangan tertentu, seperti keinginan membaca buku, mendengar musik atau bergaul dengan orang yang mempunyai ras berbeda. Kemauan Menaggapi Kemauan menaggapi merupakan kegiatan yang menunjuk pada partisipasi aktif dalam kegiatan tertentu, seperti menyelesaikan tugas terstruktur, mentaati peraturan, mengikuti diskusi kelas, menyelesaikan tugas di laboratorium atau menolong orang lain. Berkeyakian Berkeyakinan dimaksud adalah berkenaan dengan kemau-an menerima sistem nilai tertentu pada diri individu. Seperti me-nunjukkan kepercayaan terhadap sesuatu, apresiasi (Pengharga-an) terhadap sesuatu, sikap ilmiah atau kesungguhan (Kemitmen) untuk melakukan suatu kehidupan sosial.
Mengorganisasi Pengorganisasian berkenaan dengan penerimaan terhadap berbagai sistem nilai yang berbeda-beda berdasarkan pada suatu sistem nilai yang lebih tinggi. Seperti menyadari pentingnya keselarasan antara hak dan tanggung
jawab, bertanggung jawab terhadap hal yang telah dilakukan, memahami dan menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri, atau menyadari peranan perencanaan dalam memeh\cahkan suatu permasalahan. Tingkat Karakteristik/Pembentukan Pola Ini adalah tingkatan afeksi yang tertinggi. Pada tarap ini individu yang sudah memiliki sistem nilai selalu menyelaraskan perilakunya sesuai dengan sistem nilai yang dipegangnya. Seperti bersikap objektif terhadap segala hal.
Kawasan Psikomotor Simson (1966) menyebutkan bahwa domain prikomotor meliputi enam domain mulai dari tingkat yang paling rendah, yaitu persepsi sampai pada tingkat ketrampilan tertinggi, yaitu penyesuaian dan keaslian,, meskipun demikian Simson masih mempertanyakan satu tingkat
terakhir yaitu
penyesuan dan keaslian. Olehkarena itu Simson belum memasukkan secara sistematik dalam klasifikasinya. Secara lengkap domain psikomotor adalah : Persepsi Persepsi berkenaan dengan penggunaan indra dalam melakukan kegiatan. Seperti mengenal kerusakan mesin dari suaranya yang sumbang, atau menghubungkan suara musik dengan tarian tertentu. Dimensi dari persepsi adalah sebagai berikut. 1) Sensori stimulasi, adalah sensori yang berkaitan dengan sebuah stimuli yang berkaitan dengan organ tubuh, yaitu : a). auditori b). Visual c). Taktile (“ancang-ancang” untuk bertindak) d). Taste (Rasa)
e). Smell (Bau) f). Kinestetik 2) Seleksi isyarat: Menetapkan terhadap isyarat mana orang harus merespon untuk melakukan
tugas tertentu dari suatu kinerja.
Pemilihan isyarat meliputi identifikasi isyarat dan mengasosiasikannya dengan tugas yang akan dilakukan. Selain itu pemilihan isyarat juga mencakup pengelompokan isyarat-isyarat dalam bentuk pengalaman dan pengetahuan masa lalu. Isyarat yang relevan dengan situasi dipilih sebagai panduan untuk melakukan gerakan, sedangkan isyarat yang tidak relevan diabaikan atau dihilangkan. 3) Translasi: Berhubungan dengan persepsi terhadap aksi dalam membentuk gerakan. Ini merupakan proses mental dalam menentukan arti dari isyarat yang diterima untuk aksi. Translasi meliputi translasi simbolik, yaitu memiliki image atau menjadi teringat terhadap sesuatu, memiliki ide, sebagai hasil dari isyarat yang diterima. Translasi juga mencakup insight yang amat esensial dalam pemecahan masalah dengan mencari faktor-faktor esensial yang berhubungan dengan penyelesaian. Translasi sensori merupakan satu aspek dari level ini. Translasi sensori meliputi umpan balik, yaitu pengetahuan tentang efek dari suatu proses. Translasi merupakan bagian kontinyu dari gerakan yang sedang dilakukan. Kesiapan Kesiapan perilaku persiapaan atau kesiapan untuk kegiatan atau pengalaman tertentu. Termasuk di dalamnya mental set (Kesiapan mental), physical set (kesiapan fisik) atau emotional set (kesiapan emosi perasaan) untuk melakukan suatu tindakan. Gerakan terbimbing
Gerakan terbimbing adalah gerakan yang berada pada tingkat mengikuti suatu model dan ia lakukan dengan cara meniru model tersebut dengan cara mencoba sampai dapat menguasai benar gerakan itu. Gerakan terbiasa Gerakan terbiasa adalah berkenaan dengan penampilan respon yang sudah dipelajari dan sudah menjadi kebiasaan, sehingga gerakan yang ditampilkan menunjukkan suatu kemahiran. Seperti menulis halus, menari atau mengatur/menata laboratorium Gerakan yang komplek Gerakan yang komplek adalah suatu gerakan yang berada pada tingkat ketrampilan yang tinggi. Ia dapat menampilkan suatu tindakan motorik yang menuntut pola tertentu dengan tingkat kecermatan dan atau keluwesan serta efisiensi yang tinggi. Penyesuaian dan keaslian Pada tingkat ini individu sudah berada pada tingkat yang terampil sehingga ia sudah dapat menyesuaikan tindakannya untuk situasi-situasi yang menuntut persyaratan tertentu. Individu sudah dapat mengembangkan tindakan/ketrampilan baru untuk memecahkan masalah-masalah tertentu. Hierarki hasil belajar menurut Bloom dapat disajikan secara rinci lengkap dengan jenis perilaku, kemampuan internal, dan indikator kinerjanya seperti pada tabel berikut ini.
Domain
Kategori Jenis
Kemampuan Internal
Indikator
Mengetahui……….
Menyusun/Menata
Misalnya:
Mendefenisikan
- Istilah
Menyalin
- Fakta
Menunjuk (nama benda)
- Aturan
Mendaftar
- Urutan
Menghafalkan
- Metode
Menyebutkan
Perilaku Kognitif
Pengetahuan
Mengurutkan Mengenal Menghubungkan Mengingat kembali Mereproduksi
Domain
Kategori Jenis
Kemampuan Internal
Indikator
Menterjemahkan
Mengklasifikasikan
Menafsirkan
Menggambarkan
Memperkirakan
Mendiskusikan
Menentukan …….
Menjelaskan
Misalnya:
Mengungkapkan
- Metode
Mendefenisikan
- Prosedur
Menunjukkan
Memahami ………
Mengalokasikan
Misalnya:
Melaporkan
- Konsep
Mangakui
- Kaidah
Menjatuhkan
- Prinsip
Mengkajiulang
- Kaitan antar fakta
Memilih
- Isi pokok
Menyatakan
Mengartikan/Meng-
Menterjemahkan
Perilaku Pemahaman
interpretasikan ….. Misalnya: - Tabel - Grafik - Bagan
Domain
Kategori Jenis
Kemampuan Internal
Indikator
Memecahkan masalah
Menerapkan
Membuat bagan dan
Memilih
grafik
Mendemonstrasikan
Menggunakan
Mendramatisir
Perilaku Penerapan
…………… Mengerjakan Misalnya: Membuat ilusi - Metode/prosedur Menginterpretasikan - konsep Mengoperasikan - kaidah Melatih - prinsip Menyusun jadual Membuat sktesa Memecahkan Mengakui
Domain
Kategori Jenis
Kemampuan Internal
Indikator
Mengenali kesalahan
Menganali
Membedakan …….
Mengira-ira
Misalnya:
Menghitung.
Fakta dari interpretasi
Mengkategorikan
data dari kesimpulan
Membandingkan
Perilaku Analisis
Melawankan Mengkritik Membuat diagram Membedakan Memperlakukan lain Menguji Mencoba Menginventaris Menanyakan Mengetes Membuat lain (dari yang lain)
Domain
Kategori Jenis
Kemampuan Internal
Indikator
Menghasilkan
Mengatur (sesuai
…………………
dengan)
Misalnya:
Merangkum
Klasifikasi
Mengumpulkan
Karangan
Mengatur komposisi
Kerangka teoritis
Membangun
Menyusun
Menciptakan
Perilaku Sintesis
……………………….
Merancang
Misalnya:
Merumuskan
Rencana
Mengatur
Skema
Mengorganisasi
Program Kerja
Merencanakan Menyiapkan Mengusulkan Menyusun Menulis
Domain
Kategori Jenis
Kemampuan Internal
Indikator
Menilai berdasarkan
Menduga-duga
norma internal
Membuat argumentasi
Perilaku Evaluasi
……………. Mengoreksi Misalnya: Melampirkan Hasil karya seni Memilih Mutu karangan Membandingkan Mutu Ceramah Mempertahankan Program penataran Mengestimasi Memutuskan Menilai berdasarkan norma eksternal
Mengira-ira
………….
Menganggap
Misalnya:
Memberi nilai (score)
Hasil karya seni
Memilih
Mutu Karangan
Mendukung
Mutu Pekerjaan
Menilai
Mutu Ceramah
Mengevaluasi
Program penataran
Mempertimbangkan ………….. Misalnya: Baik buruknya Pro-kontranya Untung-ruginya
Domain
Kategori Jenis
Kemampuan Internal
Indikator
Menunjukkan
Menerima.
Perilaku Afektif
Penerimaan
………………
Menantang/Tantangan
Misalnya:
Mendengar
Kesadaran
Menanyakan
Kemauan
Memilih
Perhatian
Mengikuti Menjawab
Mengakui
Melanjutkan
…………………….. Memberi Misalnya: Menyatakan Kepentingan Menempatkan Perbedaan
Domain
Kategori Jenis
Kemampuan Internal
Indikator
Mematuhi
Mempertahankan
Perilaku Partisipasi
…………………….
Memperdebatkan
Misalnya:
Bergabung
Peraturan
Melaksanakan
Tuntutan
Membantu
Perintah
Menawarkan diri Menyambut
Ikut serta secara aktif
Menolong
………. Mendatangi Misalnya: Melaporkan Di Laboratorium Menyumbangkan Dalam diskusi Menyesuaikan diri Dalam Kelompok Berlatih Tentir Menampilkan Membawakan Mendiskusikan Menyelesaikan Menyatakan persetujuan Mempraktekkan
Domain
Kategori Jenis
Kemampuan Internal
Indikator
Penilaian/
Menerima suatu hal
Memutuskan
Penentuan
…………
Sikap
Menyukai
Memuji.
Menyepakati
Berpendapat
Menghargai
Menunjukkan
Perilaku
Menawarkan
………………… Melaksanakan Misalnya: Menyatakan pendapat Karya seni Mengikuti Sumbangan ilmu Mengambil prakarsa Pendapat Memilih Bersikap (positif atau negatif) Mengakui
Ikut serta Menggabungkan diri Mengundang Mengusulkan Membela Menuntun Membenarkan Menolak Mengajak
Domain
Kategori Jenis
Kemampuan Internal
Indikator
Membentuk sistem
Merumuskan.
nilai
Membagi.
Menangkap relasi
Mendukung
Perilaku Organisasi
antara nilai Mengintegrasikan Bertanggungjawab Menghubungkan Mengistegrir nilai Mengaitkan Menyusun Mengubah Melengkapi Menyempurnakan Menyesuaikan Menyamakan Mengatur Memperbandingkan Mempertahankan Memodofikasikan
Domain
Kategori Jenis
Kemampuan Internal
Indikator
Pembentukan
Menunjukkan
Mengunjungi
pola
……………….
Perilaku
Berbuat sukarela
Misalnya:
Bersikap konstan
Kepercayaan diri
Bertindak
Disiplin pribadi
Menyatakan
Kesadaran
Memperlihatkan
Mempertimbangkan
Mempraktekkan
Melibatkan diri
Melayani Mengundurkan diri Membuktikan Menunjukkan Bertahan Mempertimbangkan Mempersoalkan
Psikomotor
Persepsi
Menafsirkan
Memilih
rangsangan
Membedakan
Peka terhadap
Mempersiapkan
rangsangan Menyisihkan Mendiskriminasikan Menunjukkan Mengidentifikasikan Menghubungkan
Domain
Kategori Jenis
Kemampuan Internal
Indikator
Berkonsentrasi
Memulai
Menyiapkan diri (fisik
Mengawali
dan mental)
Bereaksi
Perilaku Kesiapan
Mempersiapkan Memprakarsai Menanggapi Mempertunjukkan Gerakan terbimbing
Meniru contoh
Mempraktekkan Memainkan Mengikuti Mengerjakan Membuat Mencoba Memperlihatkan Memasang Membongkar
Domain
Kategori Jenis
Kemampuan Internal
Indikator
Gerakan
Berketerampilan
Mengoperasikan
Mekanism
Berpegang pada pola
Membangun
Perilaku
Memasang Membongkar Memperbaiki Melaksanakan Mengerjakan Menyusun Menggunakan Mengatur Mendemonstrasikan Memainkan Menangani
Domain
Kategori Jenis
Kemampuan Internal
Indikator
Perilaku Respon yang
Berketerampilan secara Mengoperasikan
Kompleks
……
Membangun
Misalnya:
Memasang
Lancar
Membongkar
Luwes
Memperbaiki
Supel
Melaksanakan
Gesit
Mengerjakan
Lincah
Menyusun Menggunakan Mengatur Mendemonstrasikan Memainkan Menangani
Penyesuaian
Menyesuaikan diri
Mengubah
dan Keaslian
Bervariasi
Mengadaptasikan Mengatur kembali Membuat variasi
Evaluasi
1) Jelaskan domain kemampuan verbal pada domain hasil belajar Gagne, kenapa tergolong domain yang tinggi. 2) Ambil kasus dalam materi matematika untuk menjelaskan semua domain hasil belajar Gagne. 3) Ambil kasus dalam materi matematika untuk menjelaskan semua domain hasil belajar Bloom. 4) Jelaskan perbedaan domain hasil belajar Gagne dan Bloom. 5) Jelaskan persamaan domain hasil belajar Gagne dan Bloom.
BAB VII ALAT KOGNITIF
Standar Kompetensi Mahasiswa memahami alat kognitif dalam pembelajaran
Kompetensi Dasar 1) Mahasiswa memahami alat kognitif 2) Mahasiswa memahami beberapa wujud alat kognitif 3) Mahasiswa memahami manfaat alat kognitif dalam pembelajaran
Indikator 1) Mendeskripsikan alat kognitif 2) Mendeskripsikan beberap wujud alat kognitif 3) Mendeskripsikan manfaat alat kognitif 4) Menyusun skenario pembelajaran dengan menerapkan jaringan kognitif 5) Menyusun jaringan semantik dalam pembelajaran matematika 6) Menyusun rencana pembelajaran dengan menerapkan jaringan semantik
Tujuan Setelah perkuliahan berlangsung, melalui kolaborasi mahasiswa mampu: 1) Mendeskripsikan alat kognitif 2) Mendeskripsikan beberap wujud alat kognitif 3) Mendeskripsikan manfaat alat kognitif 4) Menyusun skenario pembelajaran dengan menerapkan jaringan kognitif 5) Menyusun jaringan semantik dalam pembelajaran matematika 6) Menyusun rencana pembelajaran dengan menerapkan jaringan semantik
Materi ALAT KOGNITIF Alat kognitif untuk membantu
dapat diartikan sebagai alat yang digunakan oleh siswa merepresentasikan dan menyatakan apa yang diketahui.
Beberapa alat yang dapat dijadikan alat kognitif antara lain jaringan semantik atau sering disebut peta konsep, jaringan kognitif, serta media pembelajaran dalam berbagai wujud. Sejalan dengan perkembangan teknologi, belakangan ini media komputer sangat banyak digunakan sebagai alat kognitif. Siswa dalam hal ini bertindak selaku desainer, menggunakan komputer untuk menganalisis fakta, mengakses
informasi,
menginterpretasikan
dan
mengorganisasikan
pengetahuannya sendiri, dan menyatakan apa yang diketahuinya kepada temannya. Pemanfaatan komputer sebagai alat kognitif dalam lingkungan belajar siswa sudah dikembangkan menjadi partner intelektual untuk memfasilitasi proses berpikir kritis dan proses berfikir tingkat tinggi. Ada beberapa alasan penggunaan komputer sebagai cognitive tools, antara lain: 1) pemanfaatan komputer sebagai cognitive tools sangat mendukung teori belajar konstruktivisme, 2) memacu siswa untuk merepresentasikan sendiri pengetahuan dan komunikasi pendidikannya merupakan pengalaman belajar yang amat berguna, 3) kemampuan komputer untuk meningkatkan hasil belajar hanya disadari bila komputer dimanfaatkan sebagai
cognitive tools
daripada
menerimanya secara pasif sebagai tutor, 4) penggunaan komputer sebagai cognitive tools memungkinkan siswa untuk menyimpan ingatan yang tidak produktif pada komputer, sehingga siswa dapat berfikir lebih produktif. Pemanfaatan komputer sebagai alat kognitif bisa dilakukan melalui beberapa teknik, antara lain: bahasa pemrograman, hypermedia/multimedia, semantic networkings, sistem pakar, basis-data, dan pengolah angka.
1) Bahasa Pemrograman Sebagai Alat Kognitif Bahasa pemrograman yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah bahasa pemrograman tingkat tinggi, seperti BASIC, Pascal, C, Prolog, atau LOGO. Bahasa pemrograman tingkat rendah dan menengah tidak termasuk dalam konteks ini karena lebih berorientasi kepada pengembangan teknologi komputer, bukan
kepada aplikasinya. Bahasa pemrograman sederhana, seperti LOGO amat berguna untuk memperkenalkan bangun-bangun geometri kepada anak. Pada tingkat berfikir yang lebih tinggi, misalnya perhitungan aritmatika atau masalah sederhanan lainnya, bahasa pemrograman BASIC bisa digunakan. Mengingat strukturnya yang kurang baik maka untuk memecahkan masalah-masalah yang lebih kompleks BASIC kurang baik. Sebagai gantinya bisa digunakan bahasa pemrograman yang lebih terstruktur, seperti Pascal atau C. Lahirnya bahasa pemrograman berorientasi obyek, seperti Eiffel atau SMALTALK, serta bahasa pemrograman untuk inteligensia buatan, seperti LISP, lebih menguatkan posisi bahasa pemrograman sebagai alat kognitif.
2) Pemrograman Hypermedia/Multimedia Sebagai Alat Kognitif Hypermedia adalah komputer yang mampu menyajikan hypertext yang mengintegrasikan grafik, animasi, audio, dan video dengan menggunakan teks. Hypertext adalah metode non-linier dan non-sequensial untuk mengorganisasikan dan menyajikan teks. Hypermedia pada dasarnya adalah cuplikan-cuplikan teks, grafik, audio, video, atau kombinasinya. Belajar melalui hypermedia berarti mengakses siswa mengakses informasi menurut keperluannya melalui node yang disediakan. Beberapa hypermedia memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan modifikasi. Beberapa penelitian sudah dilakukan terhadap penggunaan hypermedia. Lehrer (1993) misalnya, menemukan bahwa baik siswa yang berkemampuan tinggi maupun rendah menjadi berorientasi pada tugas, sehingga siswa menjadi lebih mandiri dan percaya diri. Penelitian lainnya dilakukan oleh Hays dkk. (1993) menemukan bahwa siswa bisa berbuat lebih banyak melalui hypertext karena pemahamannya tentang ide lebih baik. Selanjutnya, proyek American Culture in Context: Enrichment for Secondary School (ACCESS) tahun 1994 menemukan bahwa ketrampilan mengorganisasikan konsep yang diperoleh melalui hypermedia cukup kuat untuk mendukung siswa dalam menggeneralisasikan materi yang diperoleh dari sumber yang lain.
3) Semantic Networkings Sebagai Alat Kognitif Semantic networks adalah representasi dari struktur memori manusia. Teori kognitif yang mendasari semantic networks menyatakan bahwa memori diorgainsisr secara semantik, yaitu berdasarkan hubungan yang berarti antara ideide dalam memori.
Program semantic networkings adalah program berbasis
komputer untuk memvisualisasikan alat yang menggambarkan semantic networks. Teori semantic networks yang paling banyak digunakan adalah active structural networks dari Quillian. Menurut teori ini struktur mental digambarkan dengan titik-titik dan sambungan-sambungan yang menghubungka titik-titik tersebut. Titik-titik
menggambarkan
konsep
sedangkan
sambungan
digunakan
menggambarkan hubungan antar konsep. Semantic network meningkatkan mutu proses pembelajaran dengan meminta siswa untuk menganalisis struktur dari ide-ide yang dipelajari. Proses menyusun semantic networks mengajak siswa untuk menganalisis struktur pengetahuannya, yang akan membantunya untuk memadukan ide baru dengan ide yang sudah ada. Sebagai hasilnya, pengetahuan yang diperoleh dapat digunakan dengan lebih akurat. Kegunaan semantic networks dan peta konsep sangat baik untuk menunjukkan hubungannya dengan bentuk berfikir tingkat tinggi lainnya. Selain itu semantik networks juga bisa menyiapkan alat evaluasi yang berguna untuk mengukur
pemahaman
pengetahuan.
Semantic
networks
diyakini
dapat
memperkuat, memperluas, dan meningkatkan pengetahuan manusia. Beberapa agenda riset dalam psikologi difokuskan pada pembedaan semantic networks antara ahli dengan orang baru. Riset menunjukkan bahwa selama proses, struktur pengetahuan siswa dapat menyerupai struktur pengetahuan instruktur-nya, di mana derajat kesamaan merupakan prediktor yang baik bagi hasil belajar. Para peneliti juga sudah menemukan bahwa semantic networks dengan hasil belajar siswa. Memperhatikan itu maka peluang riset yang bisa dikerjakan adalah mengkaji hubungan antara penyusunan semantic networks dengan kemampuan kognitif lainnya, bukan hanya hasil tes. Peluang riset potensial lainnya yang masih terbuka untuk dikerjakan dalam semantic networks meliputi struktur kognitif siswa menurut domain hasil belajar.
Mengingat semantic networks juga membantu siswa untuk memetakan struktur kognitifnya maka terbuka pula peluang untuk mengkaji penggunaan semantic networks sebagai alat untuk menguji efek belajar yang lain.
4) Sistem Pakar (Expert Systems) Sebagai Alat Kognitif Sistem pakar adalah alat berbasis komputer yang didesain untuk berfungsi sebagai pemberi bantuan kepintaran dalam pengambilan keputusan dalam tugas. Salah satu contoh sistem pakar adalah MYCIN untuk mendiagnosis infeksi karena bakteri tertentu dan PROSPECTOR untuk mendeteksi mineral. Sistem pakar dikembangkan dalam bidang inteligensia buatan, yaitu bidang perpaduan dari ilmu komputer dengan ilmu kognitif untuk menghasilkan perang-kat keras dan perangkat lunak yang mampu belajar, mengerti, dan menalar. Sekalipun pada mulanya sistem pakar digunakan dalam bisnis, industri, dan kedokteran, namun belakangan ini pemanfaatannya juga sudah dikembangkan dalam bidang pendidikan. Misalnya, sudah dikembangkan sistem pakar untuk membantu guru untuk mengidentifikasikan pembelajaran untuk siswa yang cacat, sistem pakar untuk membimbing penyusunan desain pembelajaran, dan dan sistem pakar untuk membantu siswa memilih pengujian statistik yang tepat. Para ahli, seperti Jonassen meyakini bahwa pengembangan sistem pakar menghasilkan pemahaman yang lebih dalam karena melibatkan domain pengetahuan, mendukung pemecahan masalah, dan memonitor penguasaan pengetahuan. Pengembangan sistem pakar melibatkan identifikasi pengetahuan deklaratif, pengetahuan struktural, dan pengetahuan prosedural. Penelitian yang melibatkan pemanfaatan sistem pakar dalam bidang pendidikan antara lain adalah penggunaan sistem pakar oleh mahasiswa untuk memilih teknik analisis statistik yang tepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilihan teknik analisis statistik dengan sistem pakar lebih akurat dibandingkan dengan menggunakan PBK tradisional. Melalui penelitian yang lain, Gabringer dan Pollock menggunakan sistem pakar untuk memandu siswa mengevaluasi tugasnya sendiri. Ditemukan bahwa siswa yang menemukan sendiri umpan balik atau jawaban dengan bantuan sistem pakar menghasilkan lebih banyak kriteria pemecahan masalah. Bidang kajian lain yang masih terbuka untuk diteliti adalah
pemberian kesempatan kepada siswa untuk memberikan argumentasi terhadap sistem pakar untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
5) Basis-data Sebagai Alat Kognitif Basis-data adalah komputerisasi sistem pembukuan yang didesain untuk mengganti sistem akses informasi manual. Basis-data terdiri dari satu atau lebih file, yang masing-masing terdiri dari informasi dalam bentuk record, dan masingmasing record terdiri dari field. Sistem manajemen basis-data memiliki kemampuan untuk mengatur, mencari, dan mengurutkan informasi dalam sistem basisdata. Fungsi basis-data yang paling penting adalah organisasi alat dalam basisdata yang dapat digunakan untuk membantu pemakai dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Keberadaan basis-data yang terorganisir dan terdefinisi dengan baik dapat memfasilitasi koleksi informasi dan analisis isinya dengan memisahkan informasi menjadi bagian-bagian yang terpilih.
Oleh karena itu basis-data dapat
dimanfaatkan sebagai alat kognitif. Pemanfaatan basis-data memberi peluang kepada siswa untuk menentukan inforrmasi mana yang harus dikumpulkan dan diorganisir, sehingga bisa menghasilkan informasi yang berarti. Ada beberapa aktivitas dasar yang bisa dilibatkan dalam pemanfaatan basis-data pengetahuan untuk bidang pendidikan, yang masing-masing memiliki kombinasi proses kognitif yang berbeda. Aplikasi yang paling sederhana adalah mengisi basis-data dengan mencari informasi yang sesuai dengan struktur data. Sebagai contoh, membandingkan keadaan sosial ekonomi antara dua negara akan melibatkan beberapa field seperti pendapatan per kapita, besar penduduk, tingkat kelahiran, dan sebagainya. Siswa harus mencari sumber informasi untuk melengkapi basis-data. Efek dari pemanfaatan basis-data dalam pendidikan terhadap beberapa variabel pembelajaran merupakan riset yang potensial untuk dilakukan. Peluang riset lainnya adalah pengkajian apakah pemberian kesempatan kepada siswa untuk membangun basis-data memiliki efek yang sama terhadap pembelajaran dibandingkan dengan jika siswa hanya mengakses informasi dari basis-data.
Pada keasempatan ini lebih banyak dibahas pemanfaatan jaringan semantik (semantics networks) sebagai alat kognitif. Pertimbangannya adalah karena pembelajaran matematika sangat banyak memerlukan jaringan semantik atau peta konsep. Materi pembelajaran yang hierarkis sangat memerlukan jaringan semantik agar siswa memiliki pemahaman yang komprehensif. Selain itu, pembelajaran matematika sekarang lebih ditekankan pada penerapan sangat memerlukan jaringan semantik agar siswa memahami dimana penerapan konsep yang sedang dipelajari.
JARINGAN SEMANTIK Hakikat Jaringan Semantik Idealnya pembahasan materi pembelajaran matematika berlangsung secara berantai. Keterkaitan antartopik harus tampak jelas oleh mahasiswa dalam berbagai bentuk hubungan. Untaian topik dengan beraneka ragam hubungan akan sangat membantu meningkatkan kebermaknaan pembelajaran. mahasiswa akan lebih memahami kaitan antarmateri, serta yang lebih penting lagi, mereka akan memahami untuk apa mereka mempelajari materi tersebut. Pemahaman terhadap relevansi materi yang dipelajari dengan kepentingan dirinya akan sangat meningkatkan motivasi belajar mahasiswa. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa tidak mudah mengaitkan antar topik dalam pembalajaran matematika, khususnya untuk aplikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini tidak lepas dari sifat materi matematika yang abstrak. Tidak jarang materi pembelajaran tampak saling lepas, khususnya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mahasiswa tidak tahu untuk apa belajar materi tersebut. Akibatnya, mahasiswa sudah apriori menyatakan
kurang
berminat
mempelajari
matematika,
sehingga
kesan
matematika sebagai pelajaran yang sulit terus melekat. Ungkapan saya benci matematika masih sering terdengar di kalangan mahasiswa dari berbagai jenjang pendidikan. Selama ini, keterkaitan antarmateri dalam pembelajaran matematika memang sudah sering diusahakan. Paling tidak, keterkaitan antar topik sudah tampak dari urutan pembahasannya. Bahkan lebih jauh lagi, saat membahas satu
topik para dosen telah terlebih dahulu menyebutkan prasyarat dari topik tersebut, serta menunjukkan pada topik mana topik tersebut akan digunakan. Harus diakui cara seperti ini mampu memberikan gambaran kepada mahasiswa tentang keterkaitan antartopik, serta mampu meningkatkan kebermaknaan pembelajaran matematika. Akan tetapi, untuk menuju pembelajaran matematika yang lebih bermakna, yang keterpaduan antartopik tampak jelas oleh mahasiswa, masih diperlukan suatu model yang mampu menggambarkan keterkaitan antartopik dalam berbagai wujud relasi.
Pada kesempatan ini, akan dikaji bagaimana
jaringan semantik dapat membentuk jaringan pengetahuan untuk memadukan materi pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran matematika, untuk memfasilitasi pembelajaran berbantuan komputer. Pengalaman menggunakan jaringan semantik sebagai representasi pengetahuan deklaratif sangat mendukung perkembangan pemanfaatan jaringan semantik dalam pembelajaran. Selanjutnya, perkembangan
komputer
desain
yang
memberi
kemudahan
untuk
mengimplementasikan jaringan semantik dengan media komputer telah memacu perkembangan pemanfaatan jaringan semantik dalam pembelajaran berbantuan komputer. Jaringan semantik adalah representasi dari struktur memori manusia (Jonassen, 1988). Teori kognitif yang mendasari jaringan semantik menyatakan bahwa memori diorganisir secara semantik, yaitu berdasarkan hubungan yang bermakna antara ide-ide dalam memori.
Alat ini memungkinkan mahasiswa
untuk menghubung-hubungkan ide-ide yang dipelajari dalam bentuk jaringan konsep
multidimensional.
Secara
lebih
operasional,
Danenberg
(1988)
menyebutkan bahwa jaringan semantik meliputi usaha memodelkan bagaimana pengetahuan disimpan dan dipanggil kembali dalam ingatan manusia. Tujuan pembuatan jaringan semantik adalah untuk merepresentasikan organisasi dari ide-ide dalam materi pembelajaran agar dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu pembelajaran.
Dengan mengajak mahasiswa menganalisis
struktur ide-ide yang dipelajari, berarti membantu mahasiswa untuk menganalisis struktur pengetahuannya, yang akan membantunya untuk memadukan ide baru
dengan ide yang sudah ada. Jadi pengetahuan yang diperoleh lebih utuh dan dapat digunakan dengan lebih akurat. Jaringan semantik menggambarkan apa yang diketahui mahasiswa. Menyusun jaringan semantik berarti mengubah struktur memori karena terjadi perpaduan antara ide lain yang sudah dimiliki mahasiswa dengan ide baru yang sedang dipelajari. Dengan kata lain, jaringan semantik juga menunjukkan terjadinya pemahaman pengetahuan baru oleh mahasiswa.
Oleh karena itu,
jaringan semantik juga dapat digunakan sebagai alat evaluasi dengan cara mengakses perubahan memori pada diri mahasiswa (Preece dalam Jonassen, 1998). Apabila terjadi kemajuan penguasaan ide,
berarti mahasiswa sudah
mengalami kemajuan dalam belajar. Pengetahuan individu dapat disederhanakan, diperluas, atau ditingkatkan dengan menggunakan jaringan semantik. Semua itu tidak lepas dari manfaat jaringan semantik yang dapat mereorganisasi pengetahuan individu sesuai kepentingannya, tentunya dengan berpedoman pada deskripsi dan interrelasi dalam struktur pengetahuan.
Jaringan semantik juga dapat digunakan untuk
meningkatkan kualitas memori sehingga lebih mudah untuk diakses kembali, serta memudahkan penerapan pengetahuan pada situasi yang baru. Selain itu, jaringan semantik juga mampu menghubungkan konsep yang telah dimiliki dengan konsep baru sehingga melengkapi pengetahuan yang sudah dimiliki.
Representasi Jaringan Semantik Jaringan semantik adalah representasi deklaratif dari pengetahuan yang terdiri atas hubungan beberapa topik. Teori jaringan semantik yang paling banyak digunakan adalah jaringan struktural aktif dari Quillian (1966). Menurut teori ini, struktur mental digambarkan dengan titik-titik serta sambungan-sambungan yang menghubungkan titik-titik tersebut. Titik-titik menggambarkan konsep sedangkan sambungan menggambarkan hubungan antarkonsep. Simbol yang paling tepat untuk jaringan semantik adalah graf, yang topik-topiknya digambarkan dengan titik, dan relasi antartopik digambarkan dengan garis. Jaringan semantik dapat dipahami sebagai representasi graf dari topik-topik dengan relasi antara topiktopik tersebut. Contoh sederhana tampak pada Gambar 6.1, yang menggambarkan
sebuah keluarga terdiri atas empat anggota, ayah bernama Raka, ibu bernama Wati, dan dua anak, yaitu Budi dan Tini. Pada graf tersebut, ada empat titik, yaitu Raka, Wati, Budi, dan Tini, dengan dua belas hubungan. Suami Raka
Wati Istri
Putra
Ibu
Putri
Ayah Ayah
Ibu Putri Putra Saudara Laki
Budi
Tini Saudara Perempuan
Gambar 6.1 Cara membaca jaringan semantik adalah dengan menuruti arah tanda panah, misalnya Wati adalah ibu Tini
atau Tini adalah putri Wati. Secara
keseluruhan, titik-titik dan hubungan di antara titik-titik membentuk jaringan semantik, yang menggambarkan pengetahuan tentang keluarga tersebut. Jaringan semantik yang sederhana yang menggambarkan hal yang sama dengan Gambar 6.1 adalah seperti tampak pada Gambar 6.2. Pada gambar ini, ada empat titik juga, tetapi hanya ada tiga relasi; dua diantaranya simetris, yaitu pasangan dan saudara; dan satu lagi inversi, yaitu orang tua-anak. Apabila titik A adalah orang tua dari titik B, maka sebagai implikasinya titik B adalah anak dari titik A. Poin penting di sini adalah adanya beberapa pilihan bentuk jaringan semantik. Mengenai struktur mana yang akan digunakan tergantung keperluan dan keadaan. Pasangan Raka
Wati
Orang tua-anak
Saudara
Orang tua-anak
Budi
Tini Gambar 6.2
Jenis Jaringan Semantik Danenberg (1988) menjelaskan adanya tujuh jenis relasi dalam jaringan semantik, yaitu umum-khusus, teknik-aplikasi, prasyarat-kelanjutan, sistemkomponen, sinonim, perbedaan, dan berhubungan. 1) Umum-khusus, yaitu hubungan yang bersifat inversi, di mana umum menyatakan kategori yang abstrak sedangkan khusus menyatakan kategori yang lebih konkrit. Contoh: B
A
Lingkaran ---------- umum ------------- Kurva
A
B
Kurva --------- khusus ------------ Lingkaran 2) Teknik – Aplikasi, yaitu hubungan yang merupakan pasangan inversi, di mana teknik menyatakan pengetahuan pokok atau kumpulan ketrampilan teknis dan metode yang digunakan untuk tujuan khusus atau aplikasi. Jika topik A adalah teknik yang digunakan dalam aplikasi topik B maka topik B adalah aplikasi dari topik A. Contoh:
A
B
Program linier ----------- Teknik --------------- Metode grafik
A
B
Sistem persamaan -------- Aplikasi ----------- Program linier
3) Prasyarat-kelanjutan, pasangan relasi inversi, di mana prasyarat menunjuk pengetahuan atau ketrampilan tertentu yang harus dikuasai sebelum
mahasiswa boleh mempelajari kelanjutannya. Jika topik A adalah prasyarat untuk topik B maka topik B adalah kelanjutan dari topik A. Contoh:
A
B
Diferensial ----------------- Prasyarat ------------------ Integral
A
B
Integral ---------------------- Kelanjutan ---------------- Diferensial
4) Sistem-Komponen, pasangan relasi inversi, di mana sistem adalah kumpulan komponen yang interdependen sedemikian sehingga tiap komponen memiliki pengaruh terhadap setiap komponen lainnya
dan secara keseluruhan
komponen-komponen itu membentuk sistem. Jika topik A adalah sistem yang memuat komponen B maka topik B adalah komponen dari topik A. Contoh:
A
B
Persamaan ------------ Sistem ----------------- Model matematika
B
A
Model matematika ---------- Komponen ------------ Persamaan
Untuk membedakan contoh ini dengan pasangan umum-khusus, bisa disebutkan bahwa umum dari persamaan adalah kalimat terbuka. Contoh:
B
A
Persamaan ---------------- umum ----------------- Kalimat terbuka
5) Sinonim adalah relasi simetrik yang menyatakan kesamaan atau ekivalensi antara dua topik. Jika topik A sinonim dengan topik B maka topik B adalah sinonim dengan topik A. Contoh:
A
B
Fungsi ------------------- Sinonim --------------------- Pemetaan
6) Perbedaan adalah relasi simetrik yang mensuplai informasi dengan contoh berlawanan
dan
mengakibatkan
dua
topik
cukup
berbeda
untuk
dipertimbangkan sebagai antonim satu dengan lainnya. Jika topik A berbeda dengan topik B, maka topik B berbeda dengan topik A. Contoh:
A
B
Persamaan -------------- Berbeda -------------- Pertidaksamaan
7) Berhubungan adalah relasi simetrik yang digunakan jika terdapat hubungan antara dua topik tetapi belum bisa dinyatakan. Selanjutnya, hubungan bisa diidentifikasikan sebagai relasi berhubungan. Jika topik A berhubungan dengan topik B, maka topik B berhubungan dengan topik A. Contoh:
A
B
Pemecahan masalah ------ Berhubungan ------ Soal cerita matematika
Contoh Jaringan Semantik dalam Pembelajaran Matematika Dosen matematika yang baik harus mengajarkan kepada mahasiswa apa itu matematika dan kegunaannya. mahasiswa harus diyakinkan bahwa dengan menguasai matematika banyak keuntungan yang akan diperoleh, sebaliknya banyak hambatan yang akan ditemui bila mengabaikan matematika. Sedapat mungkin, setiap materi yang dipelajari harus diarahkan di mana materi tersebut akan diterapkan. Pemahaman terhadap kegunaan materi yang akan dipelajari dapat meningkatkan motivasi belajar mahasiswa sehingga sekaligus akan meningkatkan prestasi belajarnya.
Belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan strukturstruktur matematika, serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika tersebut.
Kompetensi yang diharapkan dikuasai
mahasiswa setelah mempelajari satu topik adalah: a) menguasai semua konsep yang ada dalam topik tersebut, b) menguasai hubungan-hubungan antarkonsep dalam topik tersebut, c) menguasai hubungan-hubungan antarkonsep dari topiktopik yang berbeda, dan d) menguasai penerapan konsep-konsep yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, materi matematika akan dikuasai mahasiswa secara utuh, sehingga mahasiswa memahami makna dari belajar matematika. Jaringan materi pembelajaran tampak jelas memegang peranan yang amat penting dalam starategi pembelajaran matematika. Tanpa memahami keterkaitan antartopik pembelajaran, mahasiswa akan tidak memahami arah pembelajaran. mahasiswa akan merasakan bahwa topik-topik pembelajaran akan tampak sebagai cuplikan-cuplikan materi yang saling lepas. Dalam pembelajaran matematika, jika keterkaitan antartopik tidak ditampakkan dengan jelas maka mahasiswa akan tidak mampu melihat arah pembelajaran. Setiap topik terlihat sebagai bagian yang tuntas. Topik dijelaskan oleh dosen, kemudian diberikan contoh, selanjutnya mahasiswa mengerjakan tugas, dan akhirnya evaluasi. Akibatnya, masing-masing topik tampak seperti berdiri sendiri dan tidak tampak kegunaannya. Agar topik-topik pembelajaran tidak terkesan saling lepas, keterkaitan antartopik harus ditampakkan. Salah satu teknik untuk menampakkan keterkaitan antartopik adalah desain jaringan semantik. Desain jaringan semantik sekaligus menampakkan prasyarat dan kelanjutan suatu topik, aplikasi suatu topik, serta bentuk hubungan antartopik lainnya. Dengan demikian, proses pembelajaran menjadi lebih terpadu. Keterpaduan bukan hanya terjadi antartopik dalam mata pelajaran bersangkutan melainkan juga dengan topik-topik pada mata pelajaran lain, dan bahkan dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Jaringan semantik dengan N titik dan R relasi dapat memiliki NR(N-1) asosiasi yang mungkin.
Oleh karena itu perlu dicari metode untuk mencari
struktur yang efektif agar tidak terkesan menjejali mahasiswa dengan informasi yang terlalu banyak. Daripada menyajikan seluruh jaringan semantik dengan
relasi dua arah, jaringan semantik sebaiknya hanya menunjukkan struktur di sekitar titik untuk satu saat. Sebagai contoh, jika mahasiswa ingin melihat topiktopik
yang berkaitan
dengan persamaan,
maka bisa
ditunjukkan kepada
mahasiswa penjelasan seperti tampak pada Gambar 6.3 berikut.
Kesamaan
Prasyarat Himpunan
Berhubungan
Penyelesaian
Aplikasi Persamaan
Soal Cerita Matematika
Umum
Kalimat Terbuka Gambar 6.3 Selanjutnya jika mahasiswa ingin melihat struktur di sekitar topik yang tidak sentral, seperti bilangan cacah, maka bilangan cacah harus ditempatkan di pusat, seperti tampak pada Gambar 6.4 berikut. Bilangan Asli Prasyarat Bilangan Prima Menghitung
Berhubungan
Bilangan Cacah
Umum
Aplikasi
Bilangan Bulat
Gambar 6.4 Melalui cara seperti ini mahasiswa dapat melihat semua topik dalam bilangan cacah dan semua relasi di antaranya. Mekanisme penampilannya sama dengan menyoroti seluruh jaringan semantik yang ada di dalam bilangan, tetapi mahasiswa hanya dapat melihat sorotan pada salah satu topik dan topik-topik terkait disekitarnya. Contoh desain jaringan semantik yang lebih kompleks adalah seperti tampak pada gambar di bawah ini. Desain jaringan semantik tersebut secara jelas menunjukkan topik-topik apa saja yang harus dipelajari sebelum mempelajari topik program linier. Selain itu desain juga menunjukkan metode apa saja yang bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan program linier. Desain dapat dilengkapi dengan topik-topik yang berhubungan dengan program linier, serta pada topik-topik apa saja program linier digunakan. Dengan demikian, mahasiswa akan memiliki gambaran utuh tentang program linier.
KALIMAT TERBUKA umum
PERSAMAAN
umum
PERTIDAKSAMAAN
Prasyarat
Prasyarat
SISTEM PERSAMAAN PERTIDAKSAMAAN
SISTEM
Aplikasi
Aplikasi
DIAGRAM KARTESIUS Aplikasi
METODE SIMPLEKS
Teknik
PROGRAM LINIER
Teknik
METODE GRAFIK
Pemilihan strategi pembelajaran diharapkan membantu mahasiswa dengan jalan menciptakan pengalaman belajar yang lebih menghargai secara personal, bernilai, memotivasi dan menyenangkan. Dalam konteks ini, pembelajaran yang lebih bermakna
bisa difasilitasi dengan membiarkan mahasiswa secara aktif
memilih dan mengontrol sendiri alur pembelajaran melalui jaringan semantik. mahasiswa dapat menggunakan desain jaringan semantik sebagai peta dari pengetahuan dalam kurikulum dan menggunakan peta tersebut untuk memahami topik-topik pembelajaran mulai dari topik yang diminati. Jaringan semantik dalam konteks ini amat berguna sebagai alat untuk mengeksploitasi dan mencari pengetahuan. mahasiswa akan merasa puas karena melihat relevansi pembelajaran dan memiliki peluang untuk mengontrol pembelajaran, sehingga motivasinya akan meningkat. Representasi jaringan semantik amat menarik sebab titik dan relasi bisa ditukar dengan mudah. Topik dinyatakan sebagai titik sedangkan keterkaitan dinyatakan dengan relasi antara titik, yang secara keseluruhan membentuk jaringan semantik yang utuh. Relasi dan titik dapat ditukar tanpa menyebabkan adanya informasi yang hilang. Titik dan relasi dalam jaringan semantik dapat diletakkan secara bebas menurut keperluan. Satu hal yang harus diperhatikan adalah keterpaduan antara titik-titik dengan relasi yang menghubungkannya harus tetap terpelihara. Fleksibilitas dalam merepresentasikan desain semantik memberi peluang yang lebih besar untuk dapat mengakomodasi perbedaan mahasiswa secara individu. mahasiswa berbeda secara individu dalam gaya kognitif, gaya belajar, minat, sikap, motivasi, dan gejala psikologis lainnya, yang bermuara pada perbedaan dalam pengantisipasi proses pembelajaran. Sungguh sangat tidak menguntungkan kalau perbedaan individu mahasiswa tersebut diasumsikan homogen, sehingga diberlakukan pendekatan pembalajaran yang sama. Hasil belajar yang jauh lebih optimal akan diperoleh apabila perbedaan mahasiswa secara individu diakomodasi dalam pendekatan pembelajaran.
Pengetahuan awal yang dimiliki masing-masing mahasiswa sangat berbeda, baik disebabkan oleh latar belakang pendidikan sebelumnya, latar belakang keluarga, atau perbedaan lainnya. Oleh karena itu, kecepatan mahasiswa dalam mengasimilasi dan mengakomodasi informasi juga berbeda. Agar terhindar dari keterpaksaan, titik awal untuk memulai pembahasan materi pembelajaran semestinya ditentukan oleh mahasiswa itu sendiri. Demikian pula, arah pembahasan selanjutnya juga harus diatur oleh mahasiswa sendiri, agar sesuai dengan daya asimilasi dan daya akomodasi masing-masing. Dengan demikian, mahasiswa akan tumbuh dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan tanpa unsur paksaan. Perkembangan komputer desain yang amat pesat membuka peluang untuk mengimplementasikan jaringan semantik dalam komputer untuk memfasilitasi pembelajaran berbantuan komputer. Implementasi jaringan semantik dalam komputer desain akan membuat pembelajaran matematika lebih menarik. Tampilan materi melalui kombinasi teks dan gambar dengan variasi warna akan meningkatkan motivasi mahasiswa. Animasi gambar dapat memberi ilustrasi pada konsep-konsep yang abstrak sehingga mahasiswa mampu memahaminya dengan baik. Perbedaan mahasiswa secara individu akan lebih terakomodasi karena mahasiswa mempunyai hak akses sendiri-sendiri sehingga dapat mengatur pembelajaran sesuai dengan kepentingannya. Di lain pihak, peluang untuk dapat mengakses ringkasan jaringan semantik sewaktu-waktu dapat membimbing mahasiswa untuk tetap berada pada lingkungan jaringan semantik. Akibatnya, mahasiswa tetap bisa memahami materi pembelajaran secara utuh dalam kecepatan belajar yang bervariasi, sesuai dengan kemampuan awal yang dimiliki masing-masing.
Hiperteks Sebagai Implementasi Jaringan Semantik Hiperteks (hypertext) adalah teks yang disusun dalam potongan-potongan teks sebagai titik (node), serta hubungan-hubungan antar potongan-potongan teks tersebut (McKnight dkk., 1988). Jonassen (1988) menambahkan bahwa hiperteks
adalah fasilitas komputer yang memungkinkan teks dan grafik dapat diakses dengan urutan yang sepenuhnya diatur oleh pemakai. Hiperteks merupakan teks yang tidak berurutan dalam rangkaian titik-titik, yang memberi peluang kepada pemakai untuk mengeksplorasi teks dengan urutan yang sesuai dengan pengetahuan awal yang dimiliki siswa dan tujuan akhir yang ingin dicapai. Hiperteks dapat menciptakan banyak alternatif pencabangan, sehingga pemakai dapat secara leluasa berpindah dari satu titik ke titik lainnya. Pemakai juga dapat merangkai teks agar lebih bermakna. Landow (dalam Duffy dan Cunningham, 1988) menyebutkan bahwa hiperteks dapat digunakan untuk memotivasi siswa untuk memandang teks dari sudut yang baru, dalam upaya meningkatkan cara berpikir multi-arah. Selanjutnya, Landow dalam Kibby (1996) menetapkan beberapa ketentuan yang dipenuhi dalam penyusunan hiperteks, yaitu: 1) terdapat hubungan yang signifikan antara materi-materi yang terkoneksi, sehingga memenuhi harapan siswa. 2) Penekanan pada koneksi antar materi mendorong kebiasaan berpikir siswa. 3) Koneksi yang gagal diusahakan sekecil mungkin. 4) Bila ada koneksi ke grafik, diusahakan agar disertai teks, sehingga tampak keterkaitan antara kondisi awal dengan kondisi akhir siswa.
Fasilitas
internet
berupa
HTML
dapat
dimanfaatkan
untuk
mengembangkan bahan ajar berbasis web. Fasilitas hyperlink yang dimiliki HTML sangat bermanfaat untuk menghubungkan satu informasi dengan informasi lainnya yang terkait. Selain itu, fasilitas hyperlink juga dapat dimanfaatkan untuk menjalankan video. Ini berarti, apabila materi pembelajaran terkait dengan proses kerja, seperti proses pergerakan lahar pada gunung berapi, maka siswa dapat diberikan peluang untuk melihat visualisasi lewat video. Fasilitas jendela banyak (multy windows) yang dimiliki sistem operasi windows sangat membantu proses tersebut. Banyak paket program yang dapat digunakan untuk mengembangkan bahan ajar berbasis web, antara lain Macromedia Dreamweaver dan Macromedia Flash, Microsoft Power Point, Microsoft Word 97 ke atas, FrontPage, Robohelp2000,
ASP, atau JSP. Asalkan paket program tersebut memiliki fasilitas hyperlink, berarti paket program tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan bahan ajar berbasis web. Tentu saja hasilnya akan sangat bervariasi, dari yang sangat sederhana sampai dengan yang sangat canggih. Bahan pendukung bahan ajar juga harus dikembangkan dengan paket program yang lain, seperti Adobe Premiere untuk video editing, Corel Draw untuk membuat desain, excel untuk pengolahan angka atau SQL untuk basis-data. Agar informasi yang tersusun dalam wujud hiperteks dapat diakses, diperlukan penyaji (browser), seperti internet explorer atau netscape navigator.
Evaluasi 1) Susun jaringan semantik materi pembelajaran penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan materi terkait lainnya. 2) Buat hiperteks yang menggambarkan salah satu jaringan semantik.
BAB VIII PENDIDIKAN BERAGAM
Standar Kompetensi Memiliki pemahaman tentang pemberagaman pembelajaran
Kompetensi Dasar 1) Memahami pemberagaman pembelajaran 2) Memahami berbagai faktor sebagai dasar pemberagaman pembelajaran 3) Memahami berbagai pendekatan pemberagaman pembelajaran 4) Menyusun persiapan pembelajaran beragam
Indikator 1) Mendeskripsikan pemberagaman pembelajaran 2) Mendeskripsikan berbagai faktor dasar pertimbangan pemberagaman pembelajaran 3) Mendeskripsikan berbagai pendekatan pemberagaman pembelajaran 4) Menyusun rencana pembelajaran dengan pendekatan insentif 5) Menyusun rencana pembelajaran dengan pendekatan konteks 6) Menyusun rencana pembelajaran dengan pendekatan kepadatan 7) Menyusun rencana pembelajaran dengan pendekatan urutan
Tujuan Setelah mengikti perkuliahan mahasiswa dapat: 1) Mendeskripsikan pemberagaman pembelajaran 2) Mendeskripsikan berbagai faktor dasar pertimbangan pemberagaman pembelajaran 3) Mendeskripsikan berbagai pendekatan pemberagaman pembelajaran 4) Menyusun rencana pembelajaran dengan pendekatan insentif 5) Menyusun rencana pembelajaran dengan pendekatan konteks 6) Menyusun rencana pembelajaran dengan pendekatan kepadatan 7) Menyusun rencana pembelajaran dengan pendekatan urutan
Materi Kontekstualisasi Pembelajaran Kontekstualisasi atau individualisasi pembelajaran adalah terminologi yang digunakan dalam upaya pemberagaman pendidikan agar dapat diadaptasikan dengan karakteristik peserta didik yang beragam. Ide tersebut muncul setelah adanya kesadaran bahwa peserta didik memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan harus diakomodasi dalam pembelajaran, agar diperoleh hasil belajar yang optimal. Psikologi dengan berbagai cabangnya telah mengidentifikasi sangat banyak variabel yang mengindikasikan perbedaan individu dan mempengaruhi proses belajar, seperti kecerdasan, keberbakatan, gaya kognitif, gaya berpikir, daya adopsi, ketahanmalangan, dan kemampuan awal. Kecerdasan sudah sejak lama menjadi bahan pertimbangan dalam pembelajaran. Teori faktor tunggal dari Binet-Simon mendeskripsikan kecerdasan dalam satu skor umum tunggal (overall single score) yang disebut intelligence quotient (IQ), sedangkan Spearman dengan teori dua faktor mendeskripsikan kecerdasan menjadi dua faktor kemampuan yang berdiri sendiri, yaitu faktor umum (general) dan faktor khusus (spesific) (Aiken, 1997). Sekalipun teori faktor tunggal dan teori dua faktor memungkinkan penyeragaman proses pembelajaran, namun akan lebih baik jika individu dengan IQ yang berbeda mendapatkan layanan pembelajaran yang berbeda. Pemberagaman pembelajaran akibat perbedaan kecerdasan menguat setelah Thurstone mendeskripsikan kecerdasan dan keberbakatan (aptitude) menjadi beberapa faktor kemampuan yang dikenal dengan faktor ganda (multiple factors), yaitu kemampuan verbal (verbal comprehension), kemampuan berhitung (number), kemampuan geometris (spatial relation), kelancaran kata (word fluency), ingatan (memory), dan penalaran (reasoning) (Anastasi, 1997). Selanjutnya, tuntutan keberagaman pembelajaran lebih tampak lagi pada teori kecerdasan ganda (multiple intelligence) dari Gardner (1993). Teori kecerdasan ganda menyatakan bahwa kecerdasan dan keberbakatan manusia terdiri dari tujuh komponen yang semi otonom, yaitu kecerdasan musik (musical intelligence), kecerdasasan bodi-kinestetik (bodily-kinesthetic intelligence), kecerdasan logikamatematika (logical-mathematical intelligence), kecerdasan ruang (spatial
intelligence),
kecerdasan
interpersonal
(interpersonal
intelligence),
dan
kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence). Agar diperoleh hasil belajar yang optimal, kecerdasan yang berbeda harus mendapatkan layanan pembelajaran yang berbeda pula. Selain kecerdasan, gaya kognitif juga cukup kuat pengaruhnya terhadap proses pembelajaran. Witkin (1977) membedakan individu berdasarkan gaya kognitifnya menjadi individu field independent dan individu field dependent. Individu field independent cenderung berpikir analisis, mereorganisasir materi pembelajaran
menurut
kepentingan
sendiri,
merumuskan
sendiri
tujuan
pembelajaran secara internal dan lebih mengutamakan motivasi internal. Di lain pihak, individu field dependent cenderung berpikir global, mengikuti struktur materi pembelajaran apa adanya, mengikuti tujuan pembelajaran yang ada dan lebih mengutamakan motivasi eksternal. Gejala psikologis lain yang dapat membedakan individu dalam proses belajarnya adalah gaya berpikir. Gaya berpikir erat kaitannya dengan fungsi belahan otak. Koestler sependapat dengan Clark (dalam Semiawan, 1997) bahwa belahan otak kanan lebih bersifat lateral dan divergen, sedangkan belahan otak kiri lebih bersifat vertikal dan konvergen. Masing-masing belahan otak bertanggung jawab terhadap cara berpikir, dan masing-masing mempunyai spesialisasi dalam kemampuan-kemampuan tertentu, walaupun ada beberapa persilangan dan interaksi tertentu (DePorter & Hernacki, 1992). Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linier, dan rasional, sedangkan proses berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, divergen, dan holistik. Daya adopsi individu juga berbeda dan juga berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Rogers (1997) membedakan individu berdasarkan daya adopsinya menjadi empat kelompok, yaitu adopter, mayoritas awal (early majority), mayoritas akhir (late majority), dan pembelot (laggard). Individu yang masuk kelompok adopter selalu mempelopori penerimaan inovasi. Kelompok mayoritas awal memerima inovasi apabila sudah sekitar 30 persen individu lainnya menerima. Kelompok individu mayoritas akhir bersedia
menerima inovasi setelah 60 persen individu lainnya. Kelompok individu pembelot adalah kelompok individu yang paling sukar menerima inovasi. Berawal dari kegagalan individu cerdas dan berbakat dalam usahanya, ditemukan variabel ketahanmalangan (adversity) yang dapat mempengaruhi aktivitas individu, termasuk belajar. Ketahanmalangan adalah daya tahan individu untuk menghadapi tantangan. Stoltz (1997) membedakan individu berdasarkan ketahanmalangan yang dimiliki menjadi tiga kelompok, yaitu penjelajah (climber), penunggu (camper), dan penyerah (quitter). Individu penjelajah selalu ingin maju seberapapun hambatan yang dialami. Individu penunggu, untuk berbuat sesuatu selalu menunggu keberhasilan individu lainnya. Individu penyerah adalah individu yang tidak berusaha untuk maju dan cenderung menyerah sebelum berusaha. Kemampuan awal peserta juga harus mendapat pertimbangan dalam proses pembelajaran. Kemampuan awal mengekspresikan seberapa banyak siswa sudah memahami topik yang akan dipelajari dan topik-topik yang lainnya yang terkait (Carrier & Jonassen, 1988). Kemampuan awal sangat dipengaruhi oleh pengalaman individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh karena itu, perbedaan lingkungan dapat mengakibatkan perbedaan kemampuan awal. Perbedaan kemampuan awal mengakibatkan perbedaan kemampuan untuk mengelaborasi informasi baru untuk membangun struktur kognitif. Manajemen
perubahan
menuntut
setiap
individu
harus
berpikir,
merasakan, dan mengerjakan sesuatu yang berbeda, agar terjadi perubahan dalam organisasi (Collins & Porras, 1998). Rupanya, dalam belajar juga dituntut individualisasi agar diperoleh hasil belajar yang optimal. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana mengakomodasi perbedaan karakteristik individu dalam
pembelajaran.
Permasalahan
berikutnya
adalah
komponen-komponen
pembelajaran yang mana saja dapat diadaptasikan dengan karakteristik individu yang amat beragam. Pada kesempatan ini dicoba dikaji pembelajaran adaptif yang mengadopsi
konsep
matematika
bernama
program
dinamik
(dynamic
programming) dan diimplementasikan dalam pembelajaran bermedia komputer dengan memanfaatkan teknologi hipermedia. Di awal abad ke-20, pendidikan individual sudah dimulai oleh beberapa tokoh, seperti Rabinranatah Tagore dan Maria Montessori (Djumhur & Danasuparta, 1976). Pendidikan “mengatur diri” (selfgovernment) dari Tagore berangkat dari prinsip bahwa anak dalam usahanya harus memiliki kebebasan untuk mengatur diri sendiri dalam sekolah sebagai satu republik. Sementara itu, prinsip yang digunakan Montessori adalah anak memiliki daya untuk mendidik diri sendiri, sehingga harus diberi kesempatan untuk mencoba dan menemukan sendiri di bawah observasi pendidik. Teori belajar modern yang muncul belakangan lebih mengacu kepada pembelajaran adaptif. Rogers dengan teori fenomenologis berpendapat bahwa individu memiliki kapasitas untuk menemukan arah hidupnya (Hjele & Ziegler, 1992). Individu bebas untuk memutuskan bagaimana kehidupan yang mesti dilakoni dalam konteks kemampuan dan keberbakatan. Freedom to learn merupakan semboyan Rogers dalam belajar. Intinya, dalam pembelajaran, peserta didik diharapkan mendapat layanan yang relevan dengan kondisi internal maupun eksternal dirinya, sehingga dapat belajar secara optimal. Apabila ingin dilakukan pengelompokan, maka pengelompokan harus didasarkan pada kesamaan karakteristik individu dalam kelompok. Pribam dengan teori
holografis juga dianggap sebagai pelopor
pembelajaran individual (Semiawan, 1997). Disebutkan di sana, teori holografis beranjak dari postulat bahwa akal manusia tergambar sebagai otak yang menyimpan semua informasi tentang berbagai aspek kehidupan. Artinya, otak ibarat pencatat berbagai informasi yang dialami masing-masing individu. Perbedaan pengalaman masing-masing individu sebagai akibat interaksi dengan lingkungannya membuat perbedaan hasil rekaman pada masing-masing otak. Oleh
karena itu, layanan belajar seyogyanya sesuai kebutuhan individu masing-masing (Clark dalam Semiawan, 1997). Teori belajar kuantum (quantum learning) juga sangat memperhatikan perbedaan individu dalam pembelajaran. Penulis buku belajar kuantum, Dryden & Vos (1999) menyatakan bahwa, sekarang kita tahu bahwa setiap orang memiliki gaya belajar, gaya bekerja, dan gaya berpikir yang unik. Oleh karena itu, pembelajaran mandiri harus menjadi kunci utama. Ditambahkan juga bahwa, riset Profesor Gardner adalah titik permulaan yang brillian untuk mendesain sekolah yang melayani berbagai kemampuan dan gaya belajar yang berbeda. Sebagai pendukung, Dryden & Vos mengutip pernyataan Prashing bahwa orang-orang dari segala usia sebenarnya dapat belajar apa saja jika mereka melakukannya dengan gaya unik mereka dan dengan kekuatan mereka sendiri.
Pendekatan Pemberagaman Pembeajaran Ada beberapa pendekatan yang dapat diterapkan dalam pembelajaran adaptif untuk mengakomodasi perbedaan karakteristik siswa, antara lain pendekatan insentif, pendekatan konteks, pendekatan kepadatan (density), dan pendekatan urutan (sequence).
a. Pendekatan Insentif Pendekatan insentif secara sistematis menyesuaikan kelengkapan dan kuantitas sajian terhadap kemampuan peserta didik secara individu. Pendekatan insentif didasarkan pada pikiran bahwa setiap individu memiliki kemampuan awal dan kecerdasan yang berbeda. Peserta didik yang memiliki kemampuan kurang akan menerima penyajian dari tutorial, contoh, kemudian latihan. Sementara itu, peserta didik yang lebih mampu mungkin tutorial sedikit saja, langsung contoh dan latihan. Peserta didik yang lebih mampu lagi langsung melihat contoh dan mengerjakan latihan. Bahkan, peserta didik yang sangat mampu mungkin langsung mencoba latihan. Sistematika pembahasan materi juga dapat divariasikan mengikuti pendekatan insentif. Peserta didik dengan kemampuan kurang perlu diberikan pembahasan materi semuanya secara rinci, bila perlu diawali dengan materi
prasyarat. Peserta didik yang lebih mampu dapat melompati beberapa materi awal untuk sampai ke materi inti dan penerapan. Di lain pihak, peserta didik yang sangat mampu cukup membahas garis-garis besar materi saja, kemudian langsung membahas materi penerapan. Pendekatan insentif juga dapat dilakukan dengan membedakan kuantitas dan kualitas contoh, latihan, dan tes. Peserta didik yang kurang mampu menerima contoh, latihan, dan tes lebih banyak daripada peserta didik yang mampu. Kualitas, yang dalam hal ini dapat diartikan dengan tingkat kesukaran juga harus dibedakan. Peserta didik yang kurang mampu semestinya diberikan contoh, latihan, dan tes dengan tingkat kesukaran yang lebih beragam, dari yang mudah sampai yang sukar. Selaras dengan peningkatan kemampuan peserta didik, keberagaman tingkat kesukaran contoh, latihan, dan tes dapat direduksi, sehingga untuk peserta didik yang sangat mampu dapat langsung diberikan contoh, latihan, maupun tes yang sukar.
b. Pendekatan Konteks Pendekatan konteks didasarkan atas pemikiran bahwa peserta didik secara individu memiliki latar belakang kehidupan, bakat, minat, hobi, atau cita-cita yang berbeda. Konteks materi pembelajaran, contoh, dan latihan disesuaikan dengan latar belakang kehidupan peserta didik, bakat, minat, cita-cita atau hobinya. Peserta didik dari kalangan nelayan akan menerima penyajian materi pembelajaran yang berbeda dengan peserta didik yang berasal dari kalangan petani atau industri. Begitu juga, peserta didik yang bercita-cita atau berminat ke bidang industri mesti menerima penyajian yang berbeda dengan peserta didik yang bercita-cita atau berminat ke bidang ekonomi. Pembedaan penyajian dapat dimulai dari penggalian materi prasyarat untuk menyelaraskan kemampuan awal peserta didik. Pada langkah berikutnya, pembedaan penyajian dapat dilakukan pada pemberian ilustrasi-ilustrasi untuk sampai ke materi utama. Apabila diperlukan pemecahan masalah, maka masalahmasalah yang disajikan harus pula dibedakan sesuai konteks yang dipilih peserta didik. Akhirnya, untuk materi-materi yang bersifat terapan, penyesuaian contohcontoh penerapan dengan konteks yang akrab dengan kehidupan peserta didik
juga perlu diupayakan. Penelitian Reed, Ayersman & Liu (1996) menemukan bahwa, bila pembelajaran diapdaptasikan dengan konteks, maka siswa dapat menyebutkan jaringan semantik dan peta konsep yang lebih banyak dibandingkan dengan bila pembelajaran tidak diadaptasikan dengan konteks Pendekatan konteks memerlukan observasi terhadap latar belakang kehidupan peserta didik, minat, hobi atau cita-citanya. Observasi yang paling sederhana dilakukan dengan menampilkan menu pilihan di awal pembelajaran, kemudian arah pembelajaran akan ditentukan oleh pilihan masing-masing peserta didik. Selanjutnya, automatisasi persiapan pembelajaran dan administrasi pembelajaran harus dipersiapkan dengan baik untuk mengantisipasi perubahan konteks yang terjadi.
c. Pendekatan Kepadatan Pendekatan kepadatan didasarkan atas pertimbangan bahwa peserta didik memiliki daya antispasi yang berbeda terhadap kepadatan sajian. Perbedaan tersebut, selain dapat terjadi akibat perbedaan kemampuan, gaya berpikir, dan gaya kognitif, juga dapat terjadi akibat perbedaan ketahanmalangan. Peserta didik yang tergolong individu penjelajah akan berusaha memahami sajian, sekalipun disajikan dengan kepadatan informasi yang amat tinggi. Kondisi sebaliknya terjadi untuk peserta didik yang tergolong individu penunggu atau penyerah yang hanya berusaha kalau sajian informasi tidak terlalu padat disertai banyak ilustrasi. Sajian mesti dibuat bervariasi dipandang dari sudut kepadatan informasi. Banyaknya variasi yang harus dibuat tergantung kemampuan, fasilitas dan waktu penyiapan. Variasi pertama, misalnya penyajian dengan teks yang sangat padat informasi dengan ilustrasi gambar atau animasi yang sangat minim. Variasi kedua, kepadatan informasi dalam teks dikurangi, disertai dengan peningkatan kuantitas dan kualitas ilustrasi gambar atau animasi. Dalam variasi ketiga, informasi teks sangat minim, akan tetapi ilustrasi gambar dan animasi sangat banyak, dan bila perlu
dilengkapi
ilustrasi
dengan
video.
Dengan
demikian,
sekalipun
pembelajaran berjalan dengan perbedaan kemampuan dan ketahanmalangan, kesiapan belajar peserta didik tetap dapat diupayakan.
d. Pendekatan Urutan Pendekatan urutan yang dapat dijadikan alternatif adalah urutan heuristik dan urutan algoritmik. Urutan algoritmik menyajikan materi dengan urutan yang logis dan sistematis tahap demi tahap mengikuti jaringan materi (Landa, 1984; Dansereau, 1985; Gabringer, Jonassen & Wilson, 1992). Contoh dan latihan umumnya dilakukan secara terbimbing yang didasarkan pada konsep latihan perubahan berasosiasi (associative shifting) dari Thorndike (Lefrancois, 1995). Di sisi lain, urutan heuristik tidak logis dan tidak sistematis, melainkan dapat meloncat-loncat menurut kemampuan dan pengalaman peserta didik (Amstrong, 1994; Vaughan & Hogg, 1995; Wilson & Cole, 1996; Banathy, 1996). Bahkan, urutan heuristik dapat berbalik, yakni mulai dari akhir materi dan berakhir di awal materi (Romiszowsky, 1984). Contoh dan latihan umumnya diberikan secara analogi. Pendekatan urutan utamanya dilakukan atas pertimbangan perbedaan gaya kognitif dan gaya berpikir. Urutan heuristik yang suka meloncat-loncat dan tidak sistematis memang lebih cocok dengan karakteristik individu yang suka menyusun materi sendiri atau berpikir acak dan holistik. Berbeda halnya dengan urutan algoritmik yang logis dan sistematis lebih cocok untuk individu yang suka mengikuti sistematika materi seperti yang disajikan atau suka berpikir linier. Oleh karena itu, urutan heuristik lebih menarik bagi individu dengan gaya kognitif field independent atau individu dengan gaya berpikir divergen. Urutan algoritmik lebih menarik bagi individu dengan gaya kognitif field dependent atau individu dengan gaya berpikir konvergen. Model persekolahan yang telah ada sekarang ini amat sulit untuk mengimplementasikan pendidikan individual seperti yang dilakukan Tagore atau Montessori. Sekolah yang ada sekarang dengan prinsip yang oleh Gardner (1993) disebut dengan penyeragaman pendidikan kurang mendukung pelaksanaan pendidikan individual seperti itu. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, persekolahan dengan penyeragaman pendidikan masih tampak dominan. Bahkan, di Amerika sebagai negara maju, Gardner (1993) melaporkan bahwa sampai dengan tahun delapan puluhan penyeragaman pendidikan masih dominan, namun
belakangan
keadaan
sudah
berbalik,
yang
mana
kontekstualisasi
dan
individualisasi pendidikan sudah menjadi konsep yang amat dipertimbangkan. Implementasi secara langsung pembelajaran adaptif di sekolah-sekolah yang masih dirancang untuk penyeragaman pendidikan juga amat sulit. Pembelajaran sinkronus secara klasikal dengan tatap muka yang dilakukan selama ini
sangat
sulit
untuk
melakukan
adaptasi
pembelajaran
agar
dapat
mengakomodasi perbedaan karakteristik peserta didik. Dalam satu kelas, sulit bagi guru untuk melayani beberapa kelompok dengan penyajian materi yang berbeda. Apabila tiap kelompok dilayani secara terpisah, maka akan diperlukan penambahan sarana dan pra-sarana, sumber daya manusia, serta waktu, yang akhirnya bermuara pada peningkatan biaya pendidikan. Implementasi yang mungkin dilakukan adalah memanfaatkan bantuan teknologi, yang dalam terminologi McLuhan disebut sebagai perpanjangan tangan manusia. Sekolah atau kampus yang telah ada dilengkapi dengan teknologi yang dapat membantu pembelajaran untuk melayani kelompok atau bahkan individu. Di sini, pembelajaran akan didominasi oleh pemanfaatan teknologi untuk mendukung peserta didik dapat belajar secara individu atau berkelompok berdasarkan kesamaan karakteristik. Apabila diperlukan, baik secara terjadwal maupun secara spontan, pembelajaran klasikal dengan tatap muka masih bisa dilakukan. Teknologi
yang dapat
dimanfaatkan
untuk
mengimplementasikan
pembelajaran adaptif adalah hipermedia. Hipermedia adalah media yang mampu menampilkan multimedia dan hiperteks secara terintegrasi (McKnight dkk., 1996). Jika multimedia mampu mengintegrasikan grafik, animasi, audio, dan video, maka hipermedia mampu mengintegrasikan grafik, animasi, audio, video dan hiperteks. Hiperteks sendiri adalah metode non-sekuensial dan non-linier untuk mengorganisasikan dan menyajikan teks (Jonassen & Reeves, 1996). Jadi, hiperteks berupa teks yang tersusun dari potongan-potongan teks yang tidak berurutan dalam rangkaian titik-titik, yang memberi peluang kepada pemakai untuk mengeksplorasi teks dengan urutan yang sesuai dengan pengetahuan awal yang dimiliki dan tujuan akhir yang ingin dicapai.
Integrasi hiperteks dengan grafik, animasi, audio, dan video menjadikan hipermedia sebagai media dinamis dan tidak linier, yang mana konsep-konsep yang berkaitan dapat saling dihubungkan dengan penuh makna. Konsep-konsep atau ide-ide dapat disajikan dalam berbagai bentuk, seperti teks, grafik, animasi, audio, maupun video. Selanjutnya, ide-ide yang berkaitan dapat dibuat terhubung dalam berbagai bentuk hubungan. Dengan demikian, hipermedia dapat dijadikan sebagai media untuk memandang konsep atau ide dari berbagai sudut pandang untuk meningkatkan cara berpikir multi-arah (Landow dalam Duffy & Cunningham, 1996). Walster (1996) merumuskan bahwa sistem informasi berbasis hipermedia memiliki dua fungsi, yaitu: (1) mengintegrasikan basis-data dan manajemen informasi ke dalam satu model dan (2) menerapkan hipermedia sebagai antarmuka presentasi informasi. Basis-data yang memuat materi pembelajaran diintegrasikan dengan manajemen informasi. Fleksibilitas dalam cara mengakses basisdata dapat dimanfaatkan untuk membuat teknik penyajian materi secara bervariasi menurut keperluan. Keterkaitan antar materi yang tersimpan pada basisdata diatur dengan menciptakan hubungan-hubungan (hyperlink) dengan memperhatikan makna hubungan antar konsep. Fleksibilitas dalam cara pembuatan hubungan-hubungan antarkonsep untuk membentuk jaringan semantik juga memberi peluang penelusuran dan penyajian materi secara bervariasi. Hipermedia sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai antarmuka (interface) dari presentasi materi. Fasilitas sebagai antarmuka dapat dimanfaatkan untuk membuat berbagai bentuk pencabangan penyajian materi, dalam upaya memenuhi keperluan individu-individu yang berbeda. Kemampuan hipermedia untuk menciptakan banyak alternatif pencabangan membuat peserta didik dapat secara leluasa berpindah dari satu konsep ke konsep lainnya, sehingga peserta didik juga dapat merangkai konsep dengan caranya sendiri agar lebih bermakna bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, hipermedia memberi peluang kepada peserta didik untuk mengeksplorasi konsep berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki dan tujuan akhir yang ingin dicapai. HyperText MarkUp Language (HTML) merupakan bahasa pemrograman yang sangat handal untuk mendesain hipermedia. Banyak paket program yang
dilengkapi dengan fasilitas HTML untuk mendesain hipermedia, seperti Macromedia Dreamweaver dan Macromedia Flash, Microsoft Power Point, Microsoft Word 97 ke atas, FrontPage, Robohelp2000, Active Server Page (ASP), atau Java Server Page (JSP). Asalkan paket program tersebut memiliki fasilitas hyperlink, berarti paket program tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan hipermedia. Hasilnya tentu akan sangat bervariasi, dari yang sangat sederhana sampai dengan yang sangat canggih. Bahan pendukung hipermedia, harus dikembangkan dengan paket program yang lain, seperti Adobe Premiere untuk video editing, Corel Draw untuk membuat desain, Excel untuk pengolahan angka atau SQL untuk basis-data. Beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam penyusunan hipermedia pembelajaran, antara lain: (1) terdapat hubungan yang signifikan antara materimateri yang terkoneksi, sehingga memenuhi harapan peserta didik; (2) koneksi antara materi-materi dibuat untuk mampu mendorong kebiasaan berpikir siswa; (3) koneksi yang gagal diusahakan sekecil mungkin; (4) bila ada koneksi ke grafik, animasi atau video, maka harus disertai teks, agar tampak keterkaitan antara kondisi awal dengan kondisi akhir peserta didik (Landow dalam Kibby, 1996). Apabila semua ketentuan di atas dipenuhi, maka hipermedia akan dapat memfasilitasi pembelajaran multi-awal, multi-arah, dan multi-akhir. Sebagai contoh implementasi, Kurhila & Sutinen (1999) mengembangkan sebuah sistem pembelajaran berbasis hipermedia yang diberi nama Ahmed (Assistive and adaptive HiperMedia in Education). Ahmed merupakan sistem pembelajaran yang autonomus, reaktif, berorientasi tujuan, dan secara kontinyu mendukung usaha siswa belajar secara individu melalui tugas-tugas yang ditempatkan pada sumber belajar berwujud basis-data. Pengembangan Ahmed berawal dari asumsi bahwa materi pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi individu peserta didik. Ternyata, komputer dinilai mampu menyediakan lingkungan belajar yang berbeda
untuk beberapa jenis variasi materi
pembelajaran. Nickerson & Zodhiates (1988) dalam mengimplementasikan peran teknologi komputer dalam konteks, tujuan, materi, dan metode pembelajaran berkesimpulan bahwa kelompok-kelompok siswa tertentu akan lebih baik jika
diberikan informasi secara bervariasi, baik teknis maupun non teknis. Di tempat lain, Yang (1999) dalam mengimplementasikan hiperteks untuk pembelajaran menemukan bahwa hiperteks dapat menghubungkan pengalaman dengan informasi yang sedang dipelajari, kemudian membawanya ke penalaran generatif dan penarikan hipotesis secara inferensial. Hipermedia dapat dipasang di internet, intranet, atau diproduksi menjadi compact disk (CD) interaktif. Sejak diperkenalkan hipermedia, dikenal istilah baru dalam pembelajaran, yakni pembelajaran berbasis web, karena bentuk dan cara kerjanya meniru situs-web (website) di internet. Observasi yang dilakukan O’Hanlon (1999) menemukan bahwa pembelajaran berbasis web sangat populer di kalangan mahasiswa yang senang menjadwal perkuliahan secara fleksibel. Bila modul berbasis web dipasang pada server intranet atau internet, maka peserta didik dapat mengakses modul tersebut melalui workstation masing-masing. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran dengan modul berbasis web (Candiasa, 2004). Fasilitas komunikasi pada hipermedia yang terpasang di internet atau intranet juga dapat dimanfaatkan sebagai fasilitas evaluasi hasil belajar. Fasilitas chatting dapat dimanfaatkan untuk evaluasi lisan. E-mail dapat digunakan sebagai fasilitas evaluasi yang memerlukan proses pengerjaan cukup lama, seperti tes uraian dan beberapa tes yang termasuk kategori tes kinerja. Permasalahan diberikan melalui e-mail dan peserta didik juga merespon melalui e-mail. Arah komunikasi melalui internet atau intranet dapat diatur sesuai keperluan. Oleh karena itu, penampilan instrumen evaluasi juga dapat diatur agar sesuai dengan perbedaan
karakteristik
peserta
didik.
Sebagai
contoh,
Chou
(1999)
mengembangkan Computer Logging of User Entries (CLUE). Keunggulan hipermedia sebagai fasilitas evaluasi sangat tampak pada evaluasi berbasis web. Website dinamik dapat dimanfaatkan untuk menyajikan instrumen evaluasi, dan peserta didik memberikan respon dari workstation. Fleksibilitas pengaturan web dapat dimanfaatkan untuk menyajikan instrumen evaluasi yang bervariasi kepada peserta didik dengan mempertimbangkan perbedaan karakteristik. Fleksibilitas pelaksanaan evaluasi dapat diatur dalam
bentuk pembedaan banyak butir soal, pembedaan urutan butir soal, pembedaan tingkat kesukaran butir-butir, atau pembedaan bentuk penyajian butir soal. Komputer dapat dimanfaatkan sebagai bank soal (Linden, 1996). Beberapa perangkat tes yang masing-masing terdiri dari sejumlah butir tes di simpan pada basisdata pendukung web. Fasilitas pencarian (searcing) dan pengurutan (sorting) yang dimiliki komputer sangat mendukung pemilihan butir tes untuk mendapatkan seperangkat tes sesuai dengan keperluan. Keperluan dimaksud mencakup pertimbangan materi, waktu, kemampuan peserta, latar belakang peserta, atau tempat penyelenggaraan. Setelah memilih butir tes sesuai keperluan, komputer kemudian menyajikan butir tes kepada peserta didik sesuai urutan dan alokasi waktu yang diinginkan. Selain variasi penyajian butir tes, beberapa keuntungan lain dapat diberikan oleh evaluasi berbasis hipermedia. Pertama, penyajian butir tes dapat dibuat lebih variatif dengan menambahkan grafik, animasi atau video. Kedua, khusus untuk tes berbentuk obyektif, hipermedia memberi peluang pemeriksaan dan pemberian skor secara otomatis, sehingga umpan balik dapat diberikan dengan lebih cepat. Ketiga, untuk tes kecepatan (speed test) yang sangat terikat waktu, penghentian pelaksanaan tes dapat dilakukan dalam waktu yang tepat, konstan, dan serentak. Apabila evaluasi menerapkan teori skor (item respons theory), maka hipermedia dapat didesain untuk menganalisis kemampuan peserta didik berdasarkan respon yang diberikan pada evaluasi sebelumnya. Selanjutnya, hipermedia dapat didesain untuk menyajikan instrumen evaluasi sesuai kemampuan peserta didik yang dikenali. Respon yang diberikan peserta didik dianalisis dan hasilnya dijadikan pedoman pemberian evaluasi selanjutnya. Demikian mekanisme kerja evaluasi berulang-ulang, sehingga peserta didik mendapat layanan secara individu menurut perkembangan belajar yang dicapai masing-masing. Modus asinkronus, yakni kemampuan menyajikan materi dengan konteks dan urutan yang berbeda, serta memberi peluang kepada peserta didik untuk mengakses dari lokasi yang berbeda dan dalam waktu yang berbeda pula merupakan keunggulan utama pembelajaran berbasis hipermedia atau berbasis
komputer secara umum. Kontrol dari peserta didik (learner control) dalam proses pembelajaran benar-benar mendapat prioritas. Jadi, hipermedia dapat menciptakan kelas maya (virtual clasroom) untuk melengkapi kelas yang telah ada, sehingga pembelajaran dapat berlangsung secara sinkronus maupun asinkronus. Kelas maya dapat melatih peserta didik untuk belajar mandiri. Di masa mendatang penekanan pendidikan adalah pada kemampuan untuk terus membelajarkan diri secara individu dan autonomus (Evans & Nation, 2000). Selain itu, kelas maya juga dapat meningkatkan kemampuan peserta didik untuk menguasai teknologi komputer. Kemampuan menguasai teknologi komputer diperlukan baik untuk mendukung pembelajaran lebih lanjut maupun untuk bersaing mendapatkan peluang kerja di era informasi. Evans & Nation (2000) mengisyartkan bahwa perguruan tinggi harus menyiapkan lulusannya untuk hidup di masyarakat informasi, sehingga mampu bekerja pada perusahaan, organisasi, atau proyek yang tergabung dalam ekonomi maya (virtual economy).
Evaluasi 1) Pilih salah satu materi pembelajaran matematika di SMP atau SMA. Buat rencana pembelajaran materi tersebut dengan variasi pendekatan urutan (algoritmik dan heuristik). 2) Pilih salah satu materi pembelajaran matematika di SMP atau SMA. Buat rencana pembelajaran materi tersebut dengan variasi pendekatan insentif sesuai kemampuan siswa yang dikategorikan menjadi tinggi, sedang, dan rendah. 3) Pilih salah satu materi pembelajaran matematika di SMP atau SMA. Buat rencana pembelajaran materi tersebut dengan variasi pendekatan kepadatan sesuai kemampuan siswa yang dikategorikan menjadi tinggi, sedang, dan rendah.
BAB IX E-PEMBELAJARAN (E-LEARNING)
Standar Kompetensi Memiliki pemahaman tentang e-pembelajaran Kompetensi Dasar 1) Memahami e-pembelajaran 2) Memahami peran hipermedia dalam e-pembelajaran 3) Memahami peran internet dalam e-pembelajaran
Indikator 1) Mendeskripsikan e-pembelajaran 2) Mendeskripsikan hiperteks 3) Menyusun hiperteks 4) Medeskripsikan hipermedia 5) Menyusun bahan dasar hipermedia 6) Mengembangkan hipermedia 7) Memanfaatkan internet dalam e-pembelajaran
Tujuan Setelah mengikti perkuliahan mahasiswa dapat: 1) Mendeskripsikan e-pembelajaran 2) Mendeskripsikan hiperteks 3) Menyusun hiperteks 4) Medeskripsikan hipermedia 5) Menyusun bahan dasar hipermedia 6) Mengembangkan hipermedia 7) Memanfaatkan internet dalam e-pembelajaran
E-pembelajaran E-pembelajaran
merupakan
terjemahan
dari
istilah
e-learning.
Kementerian Pendidikan Nasional sudah menggunakan istilah e-pembelajaran, antara lain dalam rencana strategisnya. Ada beberapa istilah lain yang umum digunakan untuk mengganti istilah e-pembelajaran, seperti pembelajaran berbasis komputer atau pembelajaran berbasis TIK. Ada pula pihak yang memaknai epembelajaran sebagai pembelajaran berbasis web karena materi pembelajaran didesain dalam wujud situs web dan ditempatkan di internet atau intranet. Onno W. Purbo (2002) menjelaskan bahwa istilah “e” atau singkatan dari elektronik dalam e-pembelajaran digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet. Namun di lapangan, materi pembelajaran yang disebarkan melalui CD, DVD atau flash disk juga dikategorikan e-pembelajaran. Dalam penelitian ini, epembelajaran dimaknai sebagai pembelajaran yang memanfaatkan media internet. Materi pembelajaran disajikan dalam wujud web pembelajaran dinamik dan komunikasi pembelajaran dilakukan melalui surat elektronik (e-mail) dan chatting. Web pembelajaran yang sering disebut modul berbasis web dikategoirikan sebagai model e-pembelajaran buatan guru karena memberi peluang kepada guru untuk mengembangkan sendiri bahan ajar dan menempatkannya pada portal. Bahan ajar yang dikembangkan guru menjadi kecenderungan e-pembelajaran saat ini karena bahan ajar yang dikembangkan guru lebih akurat dan lebih menarik daripada bahan ajar yang dikembangkan secara klinis oleh para ahli (Auvinen, 2009). Guru dan siswa tidak hanya menjadi pemakai e-pembelajaran, namun sekaligus sebagai pencipta dan pengembang bahan e-pembelajaran. Web pembelajaran dapat digunakan ulang (reusable), sehingga amat menguntungkan karena proses pembuatan desain pembelajaran pada beberapa bagian hanya terjadi sekali saja. Penggunaan ulang desain pembelajaran dapat diartikan sebagai penggunaan secara keseluruhan atau penggantian dokumen, baik lingkungan belajar, aktivitas, peran atau metode (Diana & Mohan, 2009).
Web pembelajaran disusun dari hiperteks, yaitu teks yang disusun dalam potongan-potongan teks sebagai titik (node), serta hubungan-hubungan antar potongan-potongan teks tersebut (McKnight dkk., 1988).
Jonassen (1988)
menambahkan bahwa hiperteks adalah fasilitas komputer yang memungkinkan teks dan grafik dapat diakses dengan urutan yang sepenuhnya diatur oleh pemakai. Hiperteks merupakan teks yang tidak berurutan dalam rangkaian titiktitik, yang memberi peluang kepada pemakai untuk mengeksplorasi teks dengan urutan yang sesuai dengan kepentingannya.
Sejalan dengan perkembangan
teknologi browser, hiperteks saat ini sudah mampu mengkoneksikan teks, gambar, diagram, grafik, animasi, atau video. Oleh karena itu, modul hiperteks sudah mampu mengkoneksikan informasi yang tersusun dengan teks disertai ilustrasi gambar, diagram, grafik, animasi atau bahkan video. Akibatnya, modul hiperteks mampu meningkatkan pemahaman peserta didik akan materi pembelajaran. Agar mampu mengasimilasikan bahan ajar dalam e-pembelajaran, siswa mengembangkan serangkaian proses psikologis, seperti persepsi, perhatian, pemahaman, motivasi, memori, dan pikiran. Oleh karena itu, dalam epembelajaran perlu dikembangkan situasi
belajar
yang efektif
dengan
mengembangkan desain pembelajaran yang efektif mulai dari merumuskan tujuan pembelajaran sampai dengan menyusun assesmen pembelajaran untuk membantu kenyamanan belajar siswa. Sebagai desain pembelajaran digital, ada beberapa elemen disain yang harus dipenuhi oleh e-pembelajaran, baik disain visual maupun disain pedagogis, seperti pengaturan halaman, sistematika materi, ilustrasi, dan pewarnaan. Secara pedagogis, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam desain pembelajaran digital adalah sebagai berikut. 1) Secara simultan diikuti dengan pengembangankompetensi dan transmisi pengetahuan. 2) Mampu memfasilitasi struktur materi yang independen, baik untuk pembelajaran terstruktur maupun pembelejaran tidak terstruktur. 3) Mampu mengantisipasi perkembangan strategi berpikir yang efektif. 4) Mampu mengantisipasi tingkat perkembangan mental yang bervariasi (Istrate, 2009). Kesinambungan materi dalam wujud teks, grafik, namimasi, atau video membantu terbentuknya koneksi antarkonsep untuk membentuk konsep baru. Dalam pembelajaran kontruktivis, kemampuan untuk membuat pengetahuan baru
yang dapat diakses dan diperbaharui menjadi komponen yang amat penting. Selanjutnya, kemampuan untuk membuat sintesa dan membangun koneksi merupakan kemampuan yang amat diperlukan dalam zaman teknologi informasi. Proses belajar seperti itu disebut connect learning (Steiner & Ehlers, 2010). Salah satu media yang efektif digunakan untuk memfasilitasi connet learning adalah web pembelajaran. Steiner & Ehlers (2010) menjelaskan bahwa, connect learning berbasis konektivisme, konstruktivisme, dan pendekatan pembelajaran situasional lebih pada mengkonsolidasikan konsep yang dapat membantu memenuhi kebutuhan belajar pada skenario pembelajaran baru terorganisir, berorientasi pada pebelajar, komunikatif, serta bersifat sosial, emosional, dan situasional. Koneksi hiperteks dengan video lebih menggairahkan perkembangan epembelajaran. Ilustrasi melalui animasi sangat membantu mengkonkritkan konsep-konsep yang abstrak. Video mampu menampilkan kejadian yang sebenarnya, sehingga sangat membantu menciptakan proses pembelajaran kontekstual dan situasional. Visualisasi, kontekstualisasi, dan situasionalisasi dalam pembelajaran sangat membantu meningkatkan hasil belajar. Kurz, Batarelo & Middleton (2009) menemukan bahwa pembelajaran lewat video dapat membantu calon mahasiswa keguruan untuk memperoleh gambaran tentang kebutuhan belajar sebagai calon guru saat mereka belajar di perguruan tinggi. Pengalaman pembelajaran melalui video menjadikan calon mahasiswa keguruan memiliki solusi pragmatik untuk mengelola pembelejaran. Mereka pemahaman
tentang
membuat
persiapan
pembelajaran,
memiliki
mengakomodasi
karakteristik siswa yang sangat beragam, dan membimbing siswa. Ada beberapa keuntungan lain yang dapat diperoleh dari e-pembelajaran, apalagi modul tersebut diproduksi oleh guru. 1) Pembelajaran dapat terjadi setiap waktu dan di mana saja, tidak mesti di dalam kelas dan tidak tergantung pada konteks. 2) Pebelajar turut serta dalam pengorganisasian pembelajaran. 3) Belajar menjadi aktivitas sepanjang hayat dalam beberapa episode dan tidak hanya terkait dengan institusi pendidikan. 4) Pembelajaran terjadi dalam komunitas belajar, yang mana pebelajar belajar secara formal namun identik dengan belajar secara informal. 5) Belajar dapat terjadi secara informal dan non-formal, di rumah, di tempat kerja, di tempat liburan, dan tidak lagi terikat pada guru atau institusi
pendidikan. Ada beberapa paket yang dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mengembangkan bahan ajar e-pembelajaran, antara lain blogs. Kondisi di atas membuka peluang kepada siswa untuk belajar dari berbagai sumber. Aaron & Chigubu (2006) menyarankan bahwa siswa harus dibelajarkan dalam situasi yang aktif dan menyenangkan untuk mendapatkan ketrampilan untuk unggul dengan cara menyiapkan mereka sumber-sumber belajar yang tepat. E-pembelajaran juga membuka peluang kepada siswa maupun guru untuk belajar atau bahkan hidup dalam komunitas on-line. Komunitas belajar on-line adalah kelompok belajar yang didasari oleh komitmen dan kepentingan bersama untuk belajar secara kolaboratif dengan difasilitasi lingkungan belajar maya (Ke & Hoadley, 2009). Pembelajaran on-line terjadi pada lingkungan maya (virtual), sehingga terlepas dari komunikasi tatap muka. Sofos & Kostas
(2009)
menemukan bahwa proses keterlibatan dalam komunitas on-line secara praktis telah
mampu
pembelajaran,
meningkatkan sehingga
kemampuan
memenuhi
Sebelumnya, Sofos & Kostas
kriteria
guru web
dalam
mengelola
pembelajaran
web
standar.
(2009) menemukan sangat sedikit web
pembelajaran yang dapat memenuhi kriteria fungsional, edukasional, dan didaktikal. Hal ini terjadi karena guru hanya memahami web sebagai media pembelajaran, sehingga guru belum mengintegrasikan web pada pembelajaran di kelas, melainkan memanfaatkannya secara sporadis.
Selain itu, guru lebih
menekankan pada isi bahan ajar dan relevansinya dengan program pembelajaran, sehingga kurang memperhatikan aspek lain seperti fleksibilitas penampilan, ergonomi, atau variabilitas modus pembelajaran. Siswa dapat mengakses materi dari berbagai situs secara simultan, baik berupa teks, audio, atau video. Siswa dapat berinetraksi dengan guru dan siswa dari berbagai cara. Siswa dapat secara mandiri mengatur pembelajarannya dan guru dapat meningkatkan kemampuannya untuk mengelola pembelajaran melalui kolaborasi dengan koleganya. Beberapa siswa berpengalaman mengungkapkan kesulitan belajarnya dan bahkan mengajukan pertanyaan kepada kolega dari sekolah lain yang belum pernah mereka kenal. Jadi siswa memiliki kesempatan untuk mengakses materi dari lingkungan yang lain, bukan hanya dari lingkungan lokal mereka untuk memperluas wawasan. Penelitian Anderson (2006) tentang e-
pembelajaran menemukan bahwa siswa belajar dengan nyaman dengan berkomunikasi satu sama lain secara on-line. Website, Hiperteks, dan Hipermedia World Wide Web (WWW) merupakan aplikasi di internet yang paling banyak digunakan. WWW dapat menghasilkan tampilan yang sangat indah karena didukung oleh antar muka berbasis grafik (Graphical User Interface) yang cukup baik dan bersifat multimedia. Adanya WWW menjadikan banyak sekali sistem basis-data tersebar berbentuk situs web (web-site atau home page) yang dapat diakses di internet. Informasi perusahaan, informasi sekolah, informasi perguruan tinggi, informasi LSM, jurnal-jurnal, surat kabar, majalah, dan banyak informasi lainnya disajikan dalam bentuk basis data (situs) di internet, dan dapat diakses melalui WWW. Saat ini sangat banyak institusi dan bahkan perorangan telah menempatkan home page-nya di internet. Mencari informasi di internet dengan fasilitas WWW bukanlah pekerjaan yang rumit, dengan sekali diberitahu orang akan bisa mengerjakannya. Di lain pihak untuk bisa menyajikan informasi di internet dengan fasilitas WWW, pengguna internet harus mengetahui tata cara penulisan khusus yang disebut HTML. Persiapan penyajian informasi di internet dimulai dari merancang informasi. Informasi-informasi yang akan ditampilkan dirancang sedemikian rupa dalam bentuk basisdata. Basisdata yang diimplementasikan dalam bentuk file bisa ditempatkan
pada
satu server
atau
pada beberapa server yang
berlainan. File-file di dalam server yang sama dapat disusun dalam bentuk diagram pohon, sedangkan file-file yang berada pada server yang lain dapat dihubungkan dengan menunjuk alamat. Tatacara hubungan antara file yang satu dengan file yang lain, baik pada server yang sama maupun pada server yang berbeda dilakukan dengan hyperlink. Hyperlink akan menghubungkan kata pada suatu file ke informasi di suatu WWW server. File teks yang memuat hyperlink dinamakan hiperteks (hypertext). Website dibangun memanfaatkan teknologi hiperteks. Secara konseptual, hiperteks adalah teks yang disusun dalam potongan-potongan teks sebagai titik (node), serta hubungan-hubungan antar potongan-potongan teks tersebut (McKnight dkk., 1988). Jonassen (1988) menambahkan bahwa hiperteks adalah fasilitas komputer yang memungkinkan teks dan grafik dapat diakses dengan urutan yang sepenuhnya diatur oleh pemakai.
Hiperteks dapat menciptakan
banyak alternatif pencabangan, sehingga pemakai dapat secara leluasa berpindah
dari satu titik ke titik lainnya. Pemakai juga dapat merangkai teks agar lebih bermakna. Selain teks, hiperteks juga mampu merangkai gambar, grafik, animasi, dan video. Oleh karena itu, website yang tampil sekarang di internet sudah menampilkan kombinasi dari semua bentuk informasi di atas. Hubungan antarteks, antara teks dengan grafik, antara teks dengan animasi, antara teks dengan video, antara gambar dengan video, atau hubungan yang lain dibangun dengan hyperlink. Jadi hiperteks dan hyperlink merupakan satu kesatuan dalam membangun website. Teknologi hiperteks sudah diadopsi dalam dunia pembelajaran. McKnight dkk (1988) menyatakan bahwa media yang mampu menampilkan multimedia dan hiperteks secara terintegrasi dinamakan hypermedia. Jadi hipermedia mampu mengintegrasikan informasi berupa hiperteks, video dan audio. Hipermedia merupakan
media dinamis dan tidak linier, di mana konsep-konsep yang
berkaitan saling dihubungkan dengan penuh makna. Konsep-konsep atau ide-ide terkait saling terhubung dalam berbagai bentuk hubungan. Materi pembelajaran yang tersusun dengan komposisi seperti itu akan mampu memberi peluang kepada siswa untuk belajar mengikuti gaya belajar yang mereka miliki masing-masing. Menurut teori belajar kognitif, siswa belajar berarti membuat peta antara informasi yang sudah diketahui dengan Teknologi
hipermedia
mampu
informasi yang sedang dipelajari.
memfasilitasi
pemetaan
tersebut,
karena
hipermedia mampu mengilustrasikan ikatan antar konsep. Oleh karena itu hipermedia akan mampu meningkatkan hasil belajar karena hipermedia memfokuskan diri pada keterkaitan antara konsep-konsep atau ide-ide, bukan mengisolasi konsep. Pemahaman siswa terhadap keterkaitan antara konsep-konsep atau antara ide-ide akan meningkatkan motivasi siswa karena mereka paham mengapa materi tersebut harus dipelajari. Sistem informasi berbasis hipermedia memiliki dua fungsi, yaitu: (1) mengintergrasikan basis-data dan manajemen informasi ke dalam satu model dan (2) menerapkan hipermedia sebagai antar-muka presentasi informasi (Walster, 1988). Dalam hipermedia, basis-data yang memuat materi pembelajaran diitegrasikan dengan manajemen informasi. Keterkaitan antar materi diatur dengan hubungan-hubungan (hyperlink) yang sengaja diciptakan, dengan
memperhatikan makna hubungan antar konsep. Selain itu, hipermedia juga sekaligus merupakan antar muka dari pesentasi materi. Hiperteks mampu menampilkan teks dengan berbagai koneksi. Basis-data mampu menyimpan dan menyajikan informasi dengan berbagai komposisi. Perpaduan antara teknologi hiperteks dan teknologi basis-data menjadikan komputer mampu menampilkan informasi dengan tampilan yang beragam, baik dari segi komposisi, kepadatan, atau konteksnya. Oleh karena itu, teknologi hiperteks dan teknologi basis-data mampu menciptakan materi pembelajaran yang dapat mengakomodasi perbedaan karakteristik siswa, baik dari segi kecerdasan, minat, hobi atau karakteristik lainnya. Hal ini sudah banyak dikaji melalui penelitian antara lain oleh Mackay (1984) dan Jonassen (1988). Hiperteks merupakan teks yang tidak berurutan dalam rangkaian titiktitik, yang memberi peluang kepada pemakai untuk mengeksplorasi teks dengan urutan yang sesuai dengan pengetahuan awal yang dimiliki siswa dan tujuan akhir yang ingin dicapai. Landow (dalam Duffy dan Cunningham, 1988) menyebutkan bahwa hyperteks dapat digunakan untuk memotivasi siswa untuk memandang teks dari sudut yang baru, dalam upaya meningkatkan cara berpikir multi-arah. Selanjutnya, Landow dalam Kibby (1996) menetapkan beberapa ketentuan yang wajib dipenuhi dalam penyusunan hiperteks, yaitu sebagai berikut. 1)
Terdapat hubungan yang signifikan antara materi-materi yang terkoneksi, sehingga memenuhi harapan siswa.
2)
Penekanan pada koneksi antar materi mendorong kebiasaan berpikir siswa.
3)
Koneksi
yang
gagal
diusahakan
sekecil mungkin. 4)
Bila ada koneksi ke grafik, maka diusahakan agar disertai teks, sehingga tampak keterkaitan antara kondisi awal dengan kondisi akhir siswa.
Portal Web (Web Portal) Internet dengan layanan WWW (World Wide Web) mengalami banyak pengembangan dari isi dan teknologinya, diantaranya adalah web portal. Seperti
sebuah web, portal tak ubahnya sebuah web biasa tetapi memiliki kelebihan pada isinya. Dalam suatu portal web akan banyak dijumpai fasilitas yang jarang kita jumpai pada web pribadi atau web sekelasnya. Portal web mulai populer sejak tahun 1999 dan menjadi aplikasi internet yang hangat untuk diperbincangkan pada tahun 2000. Saat mulai dirintis, komunitas IT sudah kenal dengan portal kecil atau "micro portal" seperti slashdot (www.slashdot.org) dan proyek weblog, yang didalamnya menyajikan berbagai informasi dan link yang terkait yang dibuat dengan struktur dan anatomi web yang khas. Micro portal itulah yang kemudian menjadi cikal bakal tumbuhnya portal sekarang ini dengan dukungan teknologi yang besar dan content yang melimpah serta maraknya gerakan open source di dunia. Secara fisik portal dapat diasumsikan sebuah gerbang atau pintu masuk untuk menuju ke suatu tempat. Adapun berbagai definisi yang ada, portal secara umum dapat diartikan sebuah website yang menjadi pintu masuk untuk menuju ke sebuah situs lain di internet. Berdasarkan fungsionalnya, portal dibagi menjadi beberapa jenis yaitu: 1. Portal Informasi (news, weblogs, customer support) 2. Portal Transaksi (sales) 3. Portal Kolaborasi (weblogs, news) + discussion Sebuah portal mempunyai kelebihan-kelebihan, yang mana kelebihan ini merupakan perbedaan utama dari web biasa, kelebihan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Mudah, administrasi portal berbasis web hanya membutuhkan pengalaman menggunakan komputer yang minimal untuk mengelola isi sebuah portal web. 2. Pengaturan layout yang fleksibel, perubahan layout (tampilan, ukuran) web tanpa harus mengubah keseluruhan halaman yang ada. 3. Isi yang interaktif, pengunjung portal web dapat mengirimkan komentar, artikel, pengumuman dan weblink. 4. Halaman yang bisa mengimpor atau ekspor headline berita dari web portal yang lain (via RSS/RDF imports). 5. Halaman tambahan untuk informasi, pada halaman utama pengunjung hanya dapat melihat bagian (sinopsis) dari berita atau informasi tersebut. Untuk
melihat lebih lanjut, pengunjung cukup mengklik link, misal link "more details". 6. Adanya survey atau jajak pendapat yang menyediakan quick view, dimana kita dapat langsung melihat hasil survey atau polling tersebut. 7. Fasilitas untuk upload atau download file 8. Adanya
fasilitas
multibahasa
sehingga
memungkinkan
pengunjung
menyesuaikan dengan bahasa negara mereka.
Evaluasi 4) Pilih salah satu materi pembelajaran matematika di SMP atau SMA. Buat hiperteks yang menggambarkan materi tersebut secara algoritmik dan heuristik. 5) Pilih salah satu materi pembelajaran matematika di SMP atau SMA. Buat hiperteks yang menggambarkan materi tersebut sesuai kemampuan siswa yang dikategorikan menjadi tinggi, sedang, dan rendah. 6) Pilih salah satu materi pembelajaran matematika di SMP atau SMA. Buat hiperteks yang menggambarkan materi tersebut sesuai tingkat kepadatan materi yang dikategorikan menjadi tinggi, sedang, dan rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Aaoron, Ashley & Mercy Tsiwo-Chigubu, Present Day Students a.k.a Victims of Standardized Testing, National Forum of Teacher Educational JournalAaoron, Ashley & Mercy Tsiwo-Chigubu, Present Day Students a.k.a Victims of Standardized Testing, National Forum of Teacher Educational Journal-Electronic, Volume 16, Number 3, 2006 Amstrong, Thomas, Multiple Intelligences in the Classroom. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development, 1994 Anastasi, Anne and Susana Urbina, Psychological Testing. Upper Saddle River: Prentice Hall, Inc., 1997 Andersson, Aneka, Seven Major Challenges for e-learning in Developing Countries, Education Journal of Education and Development Using ICT, Volume 2, Number 4, 2006, ISBN 1814-0556 Auvinen, Ari-Matti, 2009, The Challenge of Peer Production eLearning Content, eLearning Papers, www.elearningpapers.eu, No 17, December 2009, ISSN 1887-1542 Banathy, Bela H. , “Syatem Inquiry and Its Aplication in Education,” Handbook of Research for Educational Communications and Technolog, ed. David H. Jonassen, New York: Simon & Schuster Macmillan, 1996 Bhukuvhani, Crispen dkk., 2010, Pre-service Teachers’ use of improvised and virtual laboratory experimentation in Science teaching, International Journal of Education and Development using Information and Communication Technology (IJEDICT), 2010, Vol. 6, Issue 4, pp.27-38. Cavano, J.P. and J.A. McCall, 1991, “A Framework for The Measurement of Software Quality”, dikutip langsung oleh Pankaj Jalote, An Integrated Approach to Software Engineering, New York: Springer Verlag Depdiknas, 2010, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2010-2014, Jakarta: Depdiknas.go.id Evans, Terry & Daryl Nation, Changing University Teaching: Reflection on Creating Educational Technologies, London: Kogan Page Limited, 2000
Gabringer, R.Scott, David Jonassen and Brent G. Wilson, “The Use of Expert System”, Handbook of Human Performance Problems in Organization, San Francisco: Joseey-Bass Publishers, 1992 Gardner, Howard, Multiple Intelligence The Theory in Pactice, New York: BasicBooks, 1993 Ghezzi, Carlo, Mehdi Jazayeri and Dino Mandrioli, 1991, Fundamentals of Software Engineering. Englewood Cliffs: Prentice-Hall International, Inc. Glass, Gene V. and Kenneth D. Hopkins, Statistical Methods in Education and Psychology, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1984 Goldstein, Kenneth M. and Sheldon Blackman, Cognitive Style: Five Approachs and Relevant Research. New York: John Wiley & Sons, 1978 Good, Thomas L. and Jere E. Brophy, Educational Psycholog. New York: Longman, 1990 Istrate, Olimpus, 2009, Visual and Pedagogical Design of eLearning Content, eLearning Papers, www.elearningpapers.eu, No 17, December 2009, ISSN 1887-1542 Jonassen, David. H., Instructional Design For Microcomputer Courseware, New York: Lawrence Erlbaum Associates Publisher, 1988 Hovland, Carl I., “Social Communication”, dikutip langsung oleh Onong Uchjana Efendi, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999 Ke, Fengfeng & Christopher Hoadley, Evaluating Online Community Learning, Education Tech Research Dev (2009) 57:487-491 DOI 10.1007/s11423009-9120-2. Published online 28 February 2009 by Association for Educational Communications and Technology (2009). Kotrlik, Joe W. & Donna H. Redmann, 2009, Technology Adoption for Use in Instruction by Secondary Technology Education Teachers, Journal of Technology Education Vol. 21 No. 1, Fall 2009
Kurz, Terry L., Ivana Batarello & James A. Middleton, Examining Elementary Preservice Teacher’ Perspectives Concerning Curriculum Themes for Video Case Integration, Education Tech Research Dev (2009) 57:461485 DOI 10.1007/s11423-009-9111-4. Published online 28 February 2009 by Association for Educational Communications and Technology (2009). Landa, Lev.N., “The Algo-Heuristic Theory Of Instruction,” ed. Charles M. Reigeluth, Instructional-Design Theories and Models: An Overview of their Current Status. Hillsdale: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 1983 Lasswell, Harold, “The Structure and Function of Communication in Society”, dikutip langsung oleh Onong Uchjana Efendi, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999 Lefrancois, Guy R., Theories of Human Learning. Kro: Kro’s Report, 1995 Light, Daniel, 2010, Multiple factors supporting the transition to ICT-rich Learning environments in India, Turkey, and Chile, International Journal of Education and Development using Information and Communication Technology(IJEDICT), 2010, Vol. 6, Issue 4, pp.39-51. 14(1), 19-28. Liu, Yuliang and Dean Ginther, “Cognitive Styles and Distance Education, ” http://www.westga.edu/ ~distance/liu23.html Mabry, Joette Stefl, Michael Radlick & William Doane, 2010, Can You Hear Me Now? Student voice: High school & middle school students’ perceptions of teachers, ICT and learning, International Journal of Education and Development using Information and Communication Technology (IJEDICT), 2010, Vol. 6, Issue 4, pp.64-82. Markwood, Richard A., 1994, “Computer Tools for Distance Education”, Distance Education Strategies and Tools, ed. Barry Willis, Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications McKnight, Cliff dkk., 1988, “User-Centered Design of Hypertext/Hypermedia for education”, Educational Communications and Technology, ed. David H. Jonassen, London: Prentice Hall International
Meyer, Bertrand , 1988, Object-Oriented Software Construction, New York: Prentice Hall Moore, David M. & C. David Taylor, 1996, Student Participation, Interaction, and Regulation in A Computer Mediated Communication Environment, Journal of Computing research, Vol. 14(3) Pusat Informasi dan Humas Depdiknas, 2010, Mendiknas Buka Rembuk Pendidikan Nasional 2010, Jakarta: Diknas.go.id 3 Maret 2010 Ragbir, Diana & Permanand Mohan, Creating Reusable Lesson Plans for Elearning using the IMS Learning Design Specification, Education Journal of Education and Development Using ICT, Volume 5, Number 4, 2009, ISBN 1814-0556 Rogers, Everet M., Diffusion of Innovations, New York: The Free Press, 1995 Romiszowski, A.J., 1994, Producing Instructional Systems. London: Kogan Page Romiszowski, A.J., Producing Instructional Systems. London: Kogan Page, 1984 Seels, Barbara B. and Rita C. Richey, Instructional Technology: The Definition and Domain of the Field. Washington D.C.: Association for Educational Communication and Technology, 1994 Semiawan, Conny R., Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Jakarta: Grasindo, 1999 Shneiderman, Ben, Software Psychology. Cambridge, MA.: Winthrop Publishers, Inc., 1980 Sofos, Alivisos & Appostolos Kostas, 2009, Pedagogically-Oriented Evaluation Criteria for Web Resources, eLearning Papers, www.elearningpapers.eu, No 17, December 2009, ISSN 1887-1542 Steeples, Christine, 1996, Technological Support for teaching and Learning: Computer Mediated Communication in Higher Education, Computer education, Vol. 26, No. 1 Steinert, Anne & Ulf-Daniel Ehlers, 2010, ConnetLearning – an Answer for the New Challenges, eLearning Papers, www.elearningpapers.eu, No 18, Februari 2010, ISSN 1887-1542
Stoltz, Paul G., Adversity Quotient, New York:Holt & Rinehart, 1997 Trenholm, Sarah, Human Communication Theory, Engglewood Cliffs: Prentice Hall, 1991 Vaughan, Graham and Michael Hogg, Introduction to Social Psychology. Sydney: Prentice Hall, 1995 Walster, Dian, 1988, “Technologies for Information Access in Library and Information Centers”, Educational Communications and Technology, ed. David H. Jonassen, London: Prentice Hall International Wilson, Brent G. and Peggy Cole, “Cognitive Teaching Models,” Handbook of Research for Educational Communications and Technology, ed. David H. Jonassen, New York: Simon & Schuster Macmillan, 1996 Witkin, H.A., et.al., “A.Field-Dependent and Field-Independent Cognitive Style and Their Educational Implications,” Review of Educational Research, Vol. 47, 1977 Yang, Shu Ching, Divulging Intertextual Processes in The Problem Solving of Hypermedia, Journal of Interactive Learning Research Volume 10 Number 1, 1999