NATAPRAJA Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara Volume 4 Nomor 1 Tahun 2016
Halaman 91- 106
MENELISIK KINERJA GOVERNANCE DI DAERAH OTONOMI KHUSUS PAPUA BARAT Ivan Giddeon Fanggidae1, Hidayatul Fajri2, dan Pandhu Yuanjaya3
ABSTRACT The implementation of special autonomy in West Papua province aims to increase the development. Centralized development has brought the people of West Papua in a slump multidimensional. The purpose of this article describes the governance performance that the implementation of special autonomy in failure. This article used a qualitative approach. Source of data used comes from RKPD West Papua Province, Public Welfare Indicators (BPS), IGI (parnership), and TKED (The Asia Foundation). The main findings in this article was not prosperous West Papua still has even though the special autonomy fund and the exploitation of natural high. The main indicators are still at the education and welfare of the lowest rankings in Indonesia. Performance Governance and the worst is in the government bureaucracy. This led to the existing resources can not be the welfare of society as stalled in bureaucracy and government. Keywords: Special Autonomy Funds, Governance Performance, and West Papua
ABSTRAK Implementasi otonomi khusus di Provinsi Papua Barat bertujuan untuk meningkatkan laju pembangunan. Pembangunan yang sentralistis telah membawa masyarakat Papua barat dalam keterpurukan multidimensi. Tujuan artikel ini yaiu menggambarkan kinerja governance karena kenyataan bahwa implementasi otonomi khusus menemui kegagalan. Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data yang digunakan berasal dari RKPD Provinsi Papua Barat, Indikaor Kesejahteraan Rakyat (BPS), IGI (Parnership), dan TKED (The Asian Fondation). Temuan utama dalam artikel ini yaitu Papua Barat masih tidak sejahtera walupun telah emndapatkan dana otonomi khusus dan eksploitasi hasil alam yang tinggi. Indikator utama yaitu pendidikan dan kesejahteraan masih pada peringkat terbawah di Indonesia. Kinerja Governance terburuk ada pada birokrasi dan pemerintah. Hal ini menyebabkan sumberdaya yang dimiliki tidak dapat mensejahterakan masyarakat karena terhenti pada birokrasi dan pemerintah. Kata kunci: Dana Otonomi Khusus, Kinerja Governance, dan Papua Barat
Peneliti, Dedikasi Institute. email:
[email protected] Dosen, Universitas Aisyah Yogyakarta. email:
[email protected] 3 Dosen, Universitas Negeri Yogyakarta. email:
[email protected] 1 2
91
NATAPRAJA Vol. 4 No. 1, Mei 2016 PENDAHULUAN Implementasi dana otonomi khusus
menghasilkan dampak yang asymetris bila
di Provinsi Papua Barat telah berjalan
dibandingkan
selama tujuh tahun terakhir. Dengan
otonomi daerah di propinsi-propinsi lain.
begitu, berarti Provinsi Papua Barat telah
Masyarakat Papua Barat tetap hidup di
menerima dana mencapai Rp. 11,070
tengah konflik politik dan keterpurukan
triliun selama tahun 2009 hingga tahun
ekonomi sosial.
2015
(Badan
Pusat
Statistik,
2015;
sebenarnya menjadi kesempatan emas
Provinsi Papua Barat, 2016). Alokasi dana
bagi masyarakat papua untuk mengatur
tersebut merupakan amanat UU Nomor 35
diri sendiri (Joku, 2007). Hal ini karena
Tahun 2008 sebagai landasan hukum atas
masyarakat lokal bisa menentukan tujuan
pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi
bersama dengan proses bottom up seiring
Dana tersebut bertujuan
dengan
untuk memenuhi kebutuhan dan hak dasar
pada
terutama
hampir
dalam
semua
bidang
provinsi
sektor,
dan
mengurus
Provinsi
untuk
Papua
berbagai
semakin meningkatkan
masalah
kebijakan
ketergantungan
daerah dan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Pusat. Implikasinya jelas,
Barat.
kebijakan tersebut kurang merangsang
Dengan kata lain, otonomi khusus yang diimplementasikan
terutama
di
tersebut dalam implementasinya justru
setelah
belum banyak kemajuan berarti yang
ini
Papua
Ditengarai
sembilan tahun Otonomi Khusus berjalan,
selama
persoalan-persoalan
Webb-Gannon, 2014)
dasar masyarakat.
masyarakat
daerah,
bertujuan meredam konflik (Mollet, 2011;
sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak
dirasakan
bagi
kesejahteraan masyarakat, bukan hanya
kepentingan
kenyataanya,
juga
pemerintahan
menyelesaikan
masyarakat setempat menurut prakarsa
Dalam
tentu
otonomi khusus juga diharapkan dapat
juga menegaskan Provinsi Papua Barat
mengatur
dan
menguatkan
daerah lain (King, 2004). UU tersebut
khusus
yang
sebagai entry point yang strategis dalam
sosial politik antara daerah papua dengan
kewenangan
demokrasi
kabupaten/kota di Papua Barat, selain
pendidikan,
kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan
memiliki
penguatan
dilakukan. Begitu juga bagi pemerintah
sekaligus mengurangi kesenjangan yang terjadi
pelaksanaan
Diberlakukannya otonomi khusus
Keuangan Kementerian, 2014; APBD
Papua Barat.
dengan
semangat
justru
lepas
dari
kemiskinan,
masyarakat tertekan oleh tekanan nilai 92
Ivan Giddeon Fanggidae, dkk – Menelisik Kinerja Daerah Otonomi Khusus . . . tradisional namun terjebak dalam nilai
Pemerintah selama ini lebih banyak
modernisasi, serta kurang memperhatikan
dilihat
potensi dan kapasitas masyarakat lokal
diharapkan
sebagai
memperbaiki kondisi suatu masyarakat
pelaku
pembangunan.
Pada
sebagai
aktor
tunggal
banyak
pihak
dimana
tetap miskin, pembangunan dianggap
tersebut tidak sepenuhnya salah karena
gagal, birokrasi dianggap tidak mampu
memang masyarakat mengangggap bahwa
menciptakan pelayanan hak-hak dasar dan
pemerintah
kinerja yang baik bagi publik. Di sinilah
terbesar yang memiliki legitimasi, dana,
peranan governance secara teoritis dan
resources, otoritas, dan aparatur yang
praktis
sangat besar. Namun seiring dengan
dalam
rangka
adalah
berada.
organisasi
publik
prinsip
Konsep governance mendorong hubungan
pemerintah sebagai aktor tunggal telah
yang sinergis dan konstruktif antara
digeser oleh wacana governance (Jessop,
negara, sektor swasta dan civil society
2000). Sehingga artikel ini akan berfokus
(United Nations Development Program
pada
(UNDP), 1997). Secara tegas Milward dan
governance secara konseptual dengan
O'Toole (2009) memberikan interpretasi
praktiknya di Provinsi Papua Barat. Serta
governance
penting
juga melihat kinerja governance di Papua
yaitu: governance sebagai studi tentang
Barat di dalam mengelola dana otonomi
konteks struktural dari organisasi atau
daerah sebagaimana tujuan dari otonomi
institusi pada berbagai level (multi layered
daerah,
structural contex) dan governance sebagai
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
dua
aras
analisis
wacana
Hal
menciptakan aturan tata kelola yang baik.
dalam
demokrasi,
itu
untuk
akhirnya, banyak terjadi masyarakat yang
diperlukan
pemerintah
yang
perbandingan
khususnya
sebagai
peran
antara
upaya
studi tentang network yang menekankan pada peran beragam aktor sosial dalam
METODE
sebuah jejaring negosiasi, implementasi,
Penelitian ini merupakan penelitian
dan pembagian hasil. Peran pemerintah
kualitatif. Penelitian ini menggunakan
akan bergeser dari penyedia layanan dan barang
menjadi
terciptanya
lembaga
lingkungan
Sumber data diperoleh dari hasil laporan
pendorong
yang
pemerintah dan institusi resmi lainnya.
mampu
Data tersebut diantaranya:
memfasilitasi pihak lain di komunitas,
1. RKPD Provinsi Papua Barat 2016
atau pemerintah hanya sebagai katalisator.
yang membrikan data resmi dari Pemerintah Provinsi Papua Barat. 93
NATAPRAJA Vol. 4 No. 1, Mei 2016 2. Indikator
Kesejahteraan
Rakyat
HASIL DAN PEMBAHASAN
Provinsi Papua Barat 2014 (BPS,
Papua Barat: Masih Tertinggal dan
2015). Data ini sebagai sumber
Tidak Sejahtera
komprehensif
dalam
melihat
Banyak uang tetap miskin. Itulah
kesejahteraan masyarakat Provinsi
yang terjadi di Papua Barat. Otonomi
Papua Barat. 3. Indonesian
khusus justru menghasilkan dampak yang Governance
Index
asymetris bagi Papua Barat. Kemiskinan
yang
tetap ada pada rentang 250.000-an jiwa
atau
dari 828.000 jiwa masyarakat Papua
Kemitraan memiliki fokus yang
Barat, walupun dana otonomi khusus
sama dengan tulisan ini.
selalu meningkat tiap tahunnya (RKP
(Partnership,
2016).
dikeluarkan
4. Laporan
Data
Partnership
Tata
Kelola
Papua Barat, 2016). Namun, banyak juga
Ekonomi
yang menganggap Papua Barat telat di
Daerah (TKED) 2011, merupakan hasil
kerjasama
antara
perhatikan,
Komite
diperhatikan.
Pemantauan Pelaksanaan Otonomi
Sejak,
dulu Papua
tidak barat
rezim Suharto, presiden yang berkuasa
Foundation. data
sejak
bergabung dengan Indonesia tahun 1962,
Daerah (KPPOD) dan The Asia
Analisa
atau
selama 32 tahun, pemerintah pusat sangat adalah
kegiatan
fokus pada pembangunan ekonomi di
mengubah data hasil penelitian menjadi
wilayah barat Indonesia, dengan perhatian
informasi yang dapat digunakan untuk
kecil pada pembangunan wilayah timur
mengambil
terutama tanah Papua. Hal ini menjadi
kesimpulan
dalam
suatu
penelitian. Adapun analisis data yang
menyebabkan
digunakan
ini
pembangunan ekonomi, daerah seperti
dan
Jakarta menjadi maju dan sebaliknya yang
analisis komparasi berbagai data yang
terjadi di daerah lain. Pemerintah Suharto
digunakan. Analisis lebih fokus pada
juga
masalah kesehatan dan pendidikan yang
ekploitasi sumberdaya alam di Papua
menjadi urusan wajib dan memiliki
Barat dengan mengedepankan investasi
urgensi paling tinggi di wilayah tertinggal.
dan ekploitasi dari perusahaan asing.
menggunakan
dalam analisis
penelitian deskriptif
ketidakmerataan
memperkenalkan
Perusahaan-perusahaan
kebijakan
tersebut
memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan nasional, namun hanya
94
Ivan Giddeon Fanggidae, dkk – Menelisik Kinerja Daerah Otonomi Khusus . . . memberikan
dampak
kesejahteraan
minim
masyarakat
bagi
sumber
lokal.
daya
perairan
dengan
keanekaragaman hayatinya.
Kemiskinan di papua Barat sangat tinggi,
Ekonomi
yang miris bila dibandingkan dengan
Papua Barat
sebagian
besar berbasis eksploitasi terhadap sumber
daerah lain di Indonesia. Banyaknya
daya
migran ke Papua Barat juga membuat
alam.
Eksploitasi
dalam
pertambangan, gas, oli, dan perikanan
kesempatan bekerja bagi masyarakat lokal
telah dimulai sejak tahun 1970-an. Hal
sangat tipis.
tersebut seharusnya mendorong tingginya
Provinsi
Papua
Barat
memiliki
pertumbuhan
ekonomi,
kondisi geografi dan demografi yang unik,
penduduk,
dimana penduduknya berada di kawasan
terjadinya deversivikasi ekonomi di Papua
yang tidak mudah untuk
Barat
dijangkau.
tabungan
pertumbuhan
(McGibbon,
masyarakat
2004).
dan
Dalam
Dengan luas wilayah mencapai 97.024,27
kenyataanya masyarakat Papua Barat tetap
Km², jumlah penduduk Papua Barat tahun
hidup di tengah konflik politik dan
2013 hanya sebesar 828.293 jiwa atau
keterpurukan ekonomi sosial. Secara garis
berkontribusi sekitar 3,31 persen terhadap
besar, Papua Barat sampai saat ini seperti
total penduduk nasional. Hal tersebut
sangat sulit keluar dari lingkaran setan
berarti kepadatan penduduk hanya 8,54
kemiskinan dan jerat korupsi. Kondisi
jiwa/Km2
Paradoks Papua ini merupakan problem
dengan
sebaran
penduduk
menurut kabupaten/kota masih dominan di
yang
daerah perkotaan yaitu di Kota Sorong
keamanan dan politis bukan lagi solusi
(25,58%) dan Kabupaten Manokwari
yang tepat bagi masyarakat Papua Barat.
(18,13%). Disisi lain, pedesaan sebagai tempat
tinggal
Papua
Barat,
mayoritas
2003 menyebutkan bahwa Papua secara umum mempunyai sumber daya alam
94,51 persen dari total penduduk miskin
yang
sebesar 234,230 jiwa atau 26,67 persen
ekonomi
kontras bila dikorelasikan dengan sumber yang
dimiliki,
berlimpah.
Namun
demikian,
wilayahnya tidak bertumbuh dan aktivitas
total penduduk. Kondisi ini sangatlah
alam
pendekatan
penelitian yang dilakukan pada tahun
menjadi
penyumbang angka kemiskinan mencapai
daya
dimana
Blair dan Phillips (2003) dalam
masyarakat
ternyata
kompleks
yang
memberikan
seperti
pembangunan
komoditas hutan produksi baik kayu dan
dihasilkan
kontribusi
besar
ekonomi
belum pada yang
menguntungkan penduduk asli Papua.
non kayu, pertambangan dan energi, serta
Terlepas dari semua perbaikan pelayanan 95
NATAPRAJA Vol. 4 No. 1, Mei 2016 sosial sejak tahun 1960, sebagian besar
regulasi
penduduk asli Papua masih terlibat dalam
otonomi khusus memberikan kewenangan
aktivitas-aktifitas
nafkah
khusus yang diakui kepada Provinsi Papua
primitif termasuk berburu, memancing
Barat untuk mengatur dan mengurus
dan bertani. Perekonomian di wilayah
kepentingan masyarakat setempat menurut
perkotaan
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan
pencarian
Papua
hampir
seluruhnya
dikuasai oleh pendatang yang bukan
tersebut
juga
menjelaskan
hak-hak dasar masyarakat.
penduduk asli Papua.
Lebih lanjut, otonomi khusus bagi
Prinsip yang utama dari pemberian
Provinsi Papua Barat diharapkan dapat
otonomi khusus adalah untuk mengurangi
mewujudkan: (1) pengaturan kewenangan
kesenjangan antara Provinsi Papua Barat
antara Pemerintah Pusat dengan Provinsi
dengan provinsi lain, meningkatkan taraf
Papua yang ideal; (2) pengakuan dan
hidup masyarakat di Provinsi Papua Barat,
penghormatan hak-hak dasar orang asli
serta memberikan kesempatan kepada
Papua
penduduk asli Papua Barat untuk turut
strategis
serta berperan aktif di dalam pengelolaan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik
daerah
yang berbasis partisipasi, memperhatikan
dalam
skema-skema
memungkinkan. bermuara
yang
Prinsip-prinsip
pada
suatu
harapan
itu akan
pembangunan
Tahun
2008,
dalam
tertentu (Undang-Undang No 21 Tahun 2001), namun setelah sembilan tahun
belum
berjalan belum banyak kemajuan berarti yang dirasakan masyarakat Papua Barat.
kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya
hukum,
terwujudnya dan
menampakkan
belum
penegakan
Upaya
sepenuhnya
penghormatan
dan
asli Papua yang diberikan kewenangan
sepenuhnya memungkinkan tercapainya
mendukung
transparan
sebagai representasi kultural penduduk
penyelenggaraan
keadilan,
mengedepankan
yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua
sentralistik terdahulu belum sepenuhnya rasa
(3)
jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan
pemberian
pemerintahan dan pembangunan yang
memenuhi
yang
mendasar;
wewenang, tugas, dan tanggung jawab
otonomi khusus sebagai implikasi dari kebijakan
dan
secara
bertanggungjawab; (4) serta pembagian
Bila merujuk pada Penjelasan UU 35
pemberdayaannya
penduduk asli, dan
terwujudnya masyarakat yang sejahtera.
Nomor
serta
untuk
mensejahterakan
masyarakat berada dalam konteks yang
terhadap
universal karena berkaitan dengan hak-
Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam
hak hidup manusia, sebagaimana telah 96
Ivan Giddeon Fanggidae, dkk – Menelisik Kinerja Daerah Otonomi Khusus . . . dilaporkan
Word
umum terlihat bahwa pekerja di Papua
Summit for Social Development pada
Barat lebih dominan bekerja di sektor
Maret 1995 di Copenhagen. Masalah ini
informal yang mencapai 61,59 persen.
mencakup
UNDP
tujuh
menjelang
unsur
perlindungan
Peningkatan pendidikan di Provinsi
yakni: 1) Perlindungan ekonomi. 2)
Papua Barat tidak bisa dikatakan bagus,
Perlindungan makanan. 3) Perlindungan
wlaupun terus meningkat. Peningkatan
kesehatan. 4) Perlindungan lingkungan. 5) Perlindungan
sosial.
6)
Angka Partisipasi sekolah misalnya, data
Perlindungan
BPS Papua Barat (2014) menunjukkan
polusi dan 7) Perlindungan pendidikan.
Angka Partisipasi Sekolah (APS) murni
Sehingga dengan meningkatnya performa
yang tergolong baik adalah Sekolah Dasar
governance di Papua Barat cita-cita ini
sebesar 92,76 persen, sedangkan Sekolah
bisa dicapai di kemudian hari tanpa banyak
menghabiskan
Menangah Pertama (SMP) dan Sekolah
sumberdaya
Menangah Atas (SMA) hanya 62,29
ekonomi seperti yang terjadi tujuh tahun
persen dan 62,29 persen. Sedangkan
terakhir.
perguruan tinggi jauh lebih kecil hanya
Dampak
dana
otonomi
khusus
24,19
persen.
Lebih
Indeks
(IPM)
Papua
terhadap kesejahteraan masyarakat papua
Pembangunan
sebenarnya ada, seperti: peningkatan pada
Barat berada tahun 2013 pada urutan
angka partisipasi sekolah, angka melek
kedua terendah di Indonesia dengan nilai
huruf, rata-rata lama sekolah, penambahan
61,82. Nilai tersebut tergolong rendah bila
infrastruktur kesehatan dan tenaga medis,
dibandingkan dengan rata-rata provinsi di
serta
Indonesia sebesar 68,90.
penurunan
(Purwandanu,
penduduk
2013).
Namun,
miskin bila
Indeks
dibandingkan dengan rata-rata nasional seperti
yang
dijelaskan
seakan
dana
otonomi
bermanfaat
sedemikan
tidak
rupa
untuk
Pembangunan
Manusia
(IPM) Papua Barat berada tahun 2013
sebelumnya, khusus
Manusia
jauh,
pada urutan kedua terendah di Indonesia dengan
nilai
tergolong
mempercepat laju pembangunan di Papua
61,82.
rendah
bila
Nilai
tersebut
dibandingkan
dengan rata-rata provinsi di Indonesia
Barat. Berdasarkan data BPS Papua Barat
sebesar 68,90. IPM tersebut secara nyata
(2014), mayoritas penduduk yang bekerja
menunjukkan lemahnya tata pemerintahan
terserap di sektor pertanian sebesar 45,28
di
persen, di sektor industri 20,82 persen dan
Papua
Barat
yang
menyebabkan
kesejahteraan masyarakat Papua Barat
di sektor jasa sebesar 33,90 persen. Secara
juga rendah bila dilihat dari indikator IPM 97
NATAPRAJA Vol. 4 No. 1, Mei 2016 tersebut. salah
Rendahnya
satu
cermin
IPM
merupakan
beberapa
tahun
sebelumnya
masih
menunjukkan peningkatan rasio. Artinya
buruknya pembangunan sumber daya
terjadi coverage yang lebih buruk dalam
manusia
hal akan tertanganinya penduduk dengan
di
rendahnya
Papua
IPM
mengenai
periode
Barat.
tersebut
Kondisi
tentu
tidak
peningkatan jumlah dokter dimana jumlah
terlepas dari kurang optimalnya kinerja
penduduk juga mengalami peningkatan.
birokrasi pemerintah sebagai penyedia
Rasio penduduk terhadap dokter
pelayanan publik. Hal ini menunjukkan
tertinggi berada di Kabupaten Teluk
bahwa sejak dilaksanakan otonomi khusus
Bintuni, dimana seorang dokter harus
di Papua Barat, sedikit sekali perubahan
melayani
yang terjadi secara signifikan.
sekitar
14.149
penduduk.
Besarnya rasio tersebut jauh lebih besar
Kondisi palayanan kesehatan di
dibandingkan dengan Kabupaten Fakfak
Papua Barat juga masih memprihatinkan.
yang memiliki rasio terkecil yaitu sebesar
Hingga tahun 2013, belum semua daerah
4.431 penduduk per seorang dokter.
memiliki
yang
Kabupaten Raja Ampat juga memiliki
mencukupi. Terdapat beberapa kabupaten
rasio penduduk terhadap dokter tertinggi
seperti di Kabupaten Tambrauw dan
kedua. Coverage tanggungan seorang
Kabupaten Maybrat yang belum memiliki
dokter di Kabupaten Raja Ampat memang
rumah
besar,
fasilitas
sakit
kesehatan
(BPS,
2014).
jumlah
ditambah
dengan
kondisi
penduduk Papua Barat tahun 2013 dan
geografisnya yang merupakan wilayah
jumlah dokter yang tersedia, maka rasio
kepulauan akan semakin menyulitkan
jumlah penduduk terhadap jumlah dokter
masyarakat untuk menjangkau pelayanan
di Papua Barat adalah sebesar 7.599, atau
kesehatan. Sedangkan hanya Kabupaten
mengandung makna bahwa satu dokter
Tambrauw
rata-rata melayani sekitar 7.599 orang.
memiliki dokter dan memiliki karakter wilayah
Jumlah dokter di Papua Barat
akses
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
sementara menunjukkan rasio penduduk tahun
dengan
pelayanan kesehatan. Dampaknya adalah
tersebar dengan alokasi yang baik. Data
dokter
terpencil
yang tidak
seluruh wilayah tersebut dapat terjangkau
sebelumnya, distribusinya pun belum
jumlah
Maybrat
transportasi yang sulit pula sehingga tidak
mengalami penurunan dibandingkan tahun
terhadap
dan
oleh dokter harus menuju kabupaten
2013
terdekat yang memiliki dokter yaitu
meningkat menjadi 7.599 dibandingkan
Kabupaten
dengan 3.459 ditahun 2012, jika dilihat 98
Sorong.
Terpenuhinya
Ivan Giddeon Fanggidae, dkk – Menelisik Kinerja Daerah Otonomi Khusus . . . kebutuhan penduduk akan dokter dan
dibandingkan dengan provinsi lain atau
tenaga kesehatan lainnya tidak hanya
rata-rata nasional.
masalah jumlah, namun juga distribusinya
Cita-cita itu sejalan dengan suatu
merata disetiap kabupaten sampai ke
proposisi bahwa pemerintah bukanlah
wilayah terpencil sekalipun.
wahana yang mampu mengurusi urusanurusan publik yang sebegitu luas itu sendirian.
Kinerja Governance di Papua Barat:
melihat
suatu
praktisi bahwa perlunya perlibatan aktif
selain
dari stakeholder-stakeholder lain di luar
otonomi khusus di Papua Barat, setiap
pemerintah, yaitu organ masyarakat sipil
Gubernur memiliki beragam desain dan
dan institutsi swasta. Konsep itu kemudian
strategi
kondisi
dikenal dengan nama governance. Dengan
namun
memberikan peran yang sebegitu strategis
sebagian besar juga tidak berhasil (Mollet,
kepada governance sehingga penulis perlu
2001).
untuk
untuk
kehidupan
kebijakan
menjadi
kepercayaan dari kebanyakan pakar dan
Siapa Penyebab Kegagalan Kebijakan? Bila
Sehingga
meningkatkan
masyarakat
Padahal,
lokal,
kebijakan-kebijakan
mereview
kajian
teoritis
dari
khusus diarahkan untuk memperbaiki
governance itu terlebih dahulu. Rhodes
situasi terutama yang terkait dengan
(1996,1997) mengatakan bahwa banyak
kemiskinan
bentuk
dan
keterbelakangan,
pelanggaran HAM,
dan kinerja tata
pemerintahan,
seperti:
dari
“term”
governance
diantaranya; governance digunakan untuk
Pemekaran
menggambarkan kondisi minimal dari
Wilayah, Program Bantuan Langsung
pemerintah
Tunai (BLT), Beras untuk Keluarga
governance (Cadburry Report, 1992),
Miskin
(Raskin),
(Stoker,
1997),
corporate
Jaminan
Kesehatan
New Public Management (Osborne &
(Jamkesmas),
Bantuan
Gaebler, 1992), Good Governance (World
Operasional Sekolah (BOS), dan Program
Bank, 1992), Socio-cibernatic System
Keluarga
Harapan
(Kooiman,
Nasional
Pemberdayaan
Masyarakat
(PKH),
Program
1993a;
Kooiman,
1993b),
Masyarakat-
Network Governance (Kickert, 1993;
Mandiri (PNPM-Mandiri) dan Program
Metcalfe & Richards, 1990; Rhodes,
Kredit
(KUR)
1991), New Public Governance (Osborne,
(setneg.go.id). Hasilnya, kemiskinan di
2010), Multi-level Governance (Hooge &
Papua Barat masih cenderung stagnan
Marks, 1992), Governance Partnership
(seperti yang djelaskan sebelumnya) bila
(Glasbergen,
Usaha
Rakyat
99
2007),
Collaborative
NATAPRAJA Vol. 4 No. 1, Mei 2016 Governance
(Ansell,
2008),
Open
kekuasaan, atau bahasa (Bevir, 2012) atau
Government (yang semuanya dianggap
lebih
sebagai wujud dari apa yang disebut
(masyarakat
sebagai bentuk Deliberative Governance
governance tadi, apabila diambil simpul
(Dryzek,
Governance
persamaan, maka dapat didedahkan dalam
(Farazmand, 2004), ataupun Democratic
3 (tiga) prinsip utama, yaitu: transparansi,
governance (Bevir, 2010; March & Olsen,
partisipasi, dan kolaborasi (Rogers dan
1995).
Lindsey, 2012).
2010),
Sound
dikenal
dengan
civil
sipil).
society
Model
dari
Sehingga berbicara soal konsep
Paparan tentang definisi konseptual
governance atau pemerintahan adalah
itu akan menjadi suatu diskusi yang
bicara pada konsep yang belum seutuhnya
menghangat apabila dipaparkan dalam
selesai (Bevir, 2010, Peters & Pierre,
tradisi praktis. Di Papua barat yang
1998) dan memiliki banyak interpretasi
menjadi
(Rhodes, 1996; Rhodes 1997). Memiliki
memberikan
arti yang sama disatu sisi tetapi berbeda
governance memang belumlah selesai.
disisi lainnya sehingga menghadirkan sisi-
Sehingga pencarian model yang paling
sisi yang saling berkait kelindan (Jessop,
cocok adalah suatu bentuk usaha yang
1998). Meskipun tidak memiliki defenisi
simultan
ideal,
terhadap kondisi yang ada.
Rhodes
(1996)
mendefinisikan
governance sebagai suatu proses atau kegiatan governance
pemerintahan.
Selain
menunjukkan
sekaligus
dalam
refleksi
dari
Provinsi
itu,
artikel
bahwa
ini
konsep
perbaikan-perbaikan
Papua
Barat,
yang
merupakan daerah pemekaran, masih
adanya
kurang berhasil di dalam menjalankan
perubahan bentuk dan peran lembaga pemerintah
fokus
fungsi governance-nya. Hasil pengukuran
mempengaruhi
kinerja
reformasi dari sektor publik (Bevir,
tata
(governance)
Rhodes, & Weller, 2003). Sehingga,
kelola yang
pemerintahan dilakukan
oleh
Indonesia Governance Index (IGI) (2014)
governance bukan saja mengacu pada
di Provinsi Papua Barat yang meliputi
semua kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah, Birokrasi, Masyarakat Sipil,
pemerintah tetapi keterkaitan antara apa
dan Masyarakat Ekonomi menunjukkan di
yang dilakukan oleh pemerintah, pasar,
antara empat arena yang diukur, kinerja
dan network; yang melingkupi keluarga,
Masyarakat Sipil (5,56) dan Masyarakat
suku, organisasi formal atau informal baik
Ekonomi (5,19) masuk kategori Sedang,
yang didasari oleh hukum, norma-norma,
sementara yang termasuk dalam kategori 100
Ivan Giddeon Fanggidae, dkk – Menelisik Kinerja Daerah Otonomi Khusus . . . Cenderung
Buruk
adalah
Pemerintah
pemerintah
(4,33) dan Birokrasi (3,55).
dalam
dan
sinergitas
antara
sebagai
banyak
penyebab
yang
memprioritaskan
ada
utama
kegagalan
otonomi
pemerintah daerah.
pemangku
IGI
didalamnya
kesejahteraan
sendiri.
daerah di Provinsi Papua Barat adalah
suatu
kepentingan, maka sinergi antara berbagai pelaku-pelaku
itu
menjadi hal yang wajar jika dikatakan
kurang
memperhatikan aturan. Selain itu, dengan governance
pemerintah
sebuah tesis dalam artikel ini, maka
Provinsi Papua Barat, pemerintah masih kurang kontrol
diri
Sehingga, jika penulis mengupayakan
IGI itu dapat diintrepetasikan bahwa di
konsepsi
untuk
menssejahterakan masyarakat justru dari
Secara garis besar hasil pengukuran
berjalan
daerah
memperlihatkan
bahwa
performa sektor pemerintah (pemerintah
dan
dan birokrasi) nyaris rendah di dalam
keadilan masyarakat serta keinginan untuk
semua aspek pengukuran. Dari enam
memperbaiki situasi yang tidak kondusif
aspek yang diukur, sektor pemerintah
masih rendah. Lembaga-lembaga publik
hanya bagus di dalam efisensi sedangkan
di Papua Barat masih kurang optimal
partisipasi,
fairness,
dalam upaya mengartikulasikan partisipasi
transparansi,
dan
masyarakat ke dalam proses kebijakan
rendah.
publik sehingga perlu dibangun kemitraan
birokrasi,
antara Pemerintah dan masyarakat untuk
transparansi dan partisipasi berada pada
secara bersama-sama bertanggungjawab
posisi penilaian yang paling minimal
terhadap keberhasilan penyelenggaraan
(1.00).
pemerintahan dan pembangunan.
Begitu
akuntabilitas,
efektivitas juga
bahkan
sangat
dengan
lebih
sektor
parah,
pada
Tentu saja ini bukan kabar bagus
Pengukuran yang dilakukan IGI itu
dalam upaya mewujudkan pengelolaan
juga memperlihatkan bahwa diantara tiga
pemerintahan
sektor utama di dalam konsep governance
mensejahterakan kehidupan masyarakat.
(pemerintah, masyarakat sipil, dan swasta)
Sebab apabila pemerintah gagal, maka
maka sektor pemerintahlah yang memiliki
tidak akan ada ekonomi ekstraktif dan
point penilaian paling rendah; pemerintah
politik inklusif yang menjadi prasyarat
(4,33),
munculnya kesejahteraan (Acemoglu dan
dan
birokrasi
(3,55)
jika
yang
dibandingkan dengan dua sektor lainnya.
Robinson,
Hal
bahwa
masyarakat sipil dan swasta, tidak akan
upaya
mampu
ini
permasalahan
mengindikasikan terbesar
dalam
101
2014).
mampu
bekerja
Sektor
sendiri
lainnya,
di
dalam
NATAPRAJA Vol. 4 No. 1, Mei 2016 mewujudkan
kesejahteraan,
bahkan
dianggap menciptakan kesempatan yang
performa mereka pun perlahan-lahan akan
sama
tergerus.
kerjasama dengan pelaku usaha yang baik.
Selain
itu,
untuk
Bila
dilihat
Daerah
(TKED)
walaupun yakin pengurusan perizinan
kinerja
bersih, namun hanya 8 persen pelaku usaha
melalui
tentang
berpartisipasi dalam PPUS dibanding
Usaha, 4) Peraturan di Daerah, 5) Biaya
daerah lain, (d) sangat terkendala dalam
Transaksi, 6) Kapasitas dan Integritas
distribusi bahan baku dan hasil produksi.
Bupati/Walikota, 7) Interaksi Pemda, 8)
Padahal,
Program Pengembangan Usaha Swasta
empat
merupakan
(PPUS), 9) Keamanan dan Penyelesaian umum
mengetahui
pelaku usaha di Papua Barat peling sedikit
2) Infrastruktur Daerah, 3) Perizinan
secara
yang
keberadaan mekanisme pengaduan, (c)
sembilan indikator, yaitu: 1) Akses Lahan,
Konflik,
memiliki
infrastruktur, pelayanan yang lambat, (b)
pemerintah daerah dari Tata Kelola Ekonomi
dan
di Papua Barat, diantaranya: (a) tata kelola
performa pemerintah daerah Provinsi Barat.
pengusaha
Tetapi juga ditemukan banyak hal negatif
mendapatan
gambaran yang lebih proporsional tentang
Papua
oleh
faktor
faktor
inilah
urgent
yang untuk
menciptakan kesejahteraan. Secara umum,
Pemerintah
peringkat nilai keseluruhan dari TKED
Provinsi Papua Barat ternyata juga tidak
(2011) dari kabupaten/kota di Papua Barat
menunjukkan kinerja yang baik.
yang disurvei berturut-turut, yaitu: Kab.
Meskipun ada beberapa temuan
Sorong berada di peringkat 5, Sorong
positif dari survei ini diantaranya: (a)
Selatan (16), Fakfak (56), Manokwari
pelaku usaha 85 persen menganggap
(66), Kaimana (81), Kota Sorong (199),
pelayanan perizinan telah efisien, bebas
Teluk
pungli dan kolusi, (b) Bupati/walikota di
Bintuni (241) dari 245 kabupaten/kota di
Papua Barat menempati peringkat 20
Indonesia.
teratas mengenai kapasitas dan integritas,
mensejahterakan
terhadap bawahannya yang melakukan 90
Teluk
menjadi aspek yang sangat penting dalam
pelaku usaha juga menggap Bupati tegas
dan
dan
kinerja governance yang baik diyakini
oleh pelaku usaha (89 persen), 80 persen
korupsi,
(71,3),
Seperti yang sudah diuraikan ditas,
serta bupati/walikota sangat dipercaya
tindakan
Wondama
dan
persen
O'Toole
governance
menganggap Bupati memiliki karakter
masyarakat. (2009)
dalam
102
menginterpretasi
dua
yaitu governance sebagai
yang kuat, (c) Pemda Papua Barat
Milward
aras
penting
studi
tentang
Ivan Giddeon Fanggidae, dkk – Menelisik Kinerja Daerah Otonomi Khusus . . . konteks struktural dari organisasi atau
dengan lebih tepat sasaran. Inilah yang
institusi pada berbagai level (multi layered
coba
structural contex) dan governance sebagai
network governance. Konsep ini pada
studi tentang network yang menekankan
tataran
pada peran beragam aktor sosial dalam
komprehensif
sebuah jejaring negosiasi, implementasi,
menyelesaikan masalah publik melalui
dan pembagian hasil.
integrasi peran, serta layanan publik yang
dipaparkan
membuat
untuk
berkolaborasi
secara dalam
di dalam jaringan.
yang telah
mereka
berupaya
local
stakeholder lain untuk ikut berperan aktif
(Klijn, et. al, 2008). Tetapi kegagalan seperti
konsep
al, 2012). Hal ini membuka kesempatan
sangat ditentukan oleh kualitas network
lokal
ideal
oleh
diselenggarakan bersama-sama (Span, et.
Sehingga, kinerja pemerintah lokal
Pemerintah
ditawarkan
tidak
Gambar 1. berikut ini menjelaskan
memiliki kemampuan untuk mengelola
tiga karakteristik peran governance, yaitu;
berbagai
commisioner
stakeholder
yang
terlibat.
(top-down
Walaupun, network dapat dibangun dalam
facilitator
berbagai macam cara, tetapi pemerintah
coproducer (gabungan dari keduannya).
tetap menjadi
Tiga karakteristik tersebut dielaborasi
menentukan
stakeholder di
dalam
yang
dalam
konsep
begitu,
bukan
sembilan
process),
dimensi
yang
dan
akan
mengungkap aktor utama, pengendali
pemerintahan sebagai suatu network. Meskipun
(bottom-up
process),
mekanisme, penentuan aturan, keselarasan suatu
tujuan,
ketergantungan
antar
pihak,
pihak
yang
alasan menjadi pesimis. Dengan menukar
penentuan
titik tumpu pemahaman, maka koreksi
bertanggungjawab, mengambangkan misi,
terhadap suatu masalah bisa dilakukan
dan pengawasan hasil. Span et. al (2012)
tujuan,
Gambar 1. Tipologi Local Network Governance (Span et. al, 2012) 103
NATAPRAJA Vol. 4 No. 1, Mei 2016 menekankan pentingnya memperhatikan
kemiskinan multidimensi. Pendidikan dan
dimensi evolusi, ukuran dan keberagaman
kesejahteraan
network untuk menghasilkan kinerja yang
terbawah di Indonesia. Jumlah dana yang
tinggi.
terus bertambah tiap tahunnya belum Bila
menggunakan
masih
pada
peringkat
dapat mengubah kondisi tersebut. Kinerja
analisis
Governance terburuk ada pada birokrasi
tersebut diatas, jaringan di Papua Barat
dan pemerintah. Hal ini menyebabkan
dapat menggunakan tipe commissioner.
sumberdaya yang dimiliki tidak dapat
Pemerintah daerah melakukan semua
mensejahterakan
kegiatan dalam pembangunan daerah.
masyarakat
karena
terhenti pada birokrasi dan pemerintah.
Sebagai daerah hasil pemerkaran baru tahun 2009, evolusi jaringan masih muda
DAFTAR PUSTAKA
atau baru. Demikian dengan ukuran
Anonim. 2015. Kinerja Tata Kelola Provinsi Papua Barat. Indonesian Governance Index Partneship
jaringan, terlalu luas karena banyak yang ingin terlibat atau intervensinya tinggi, termasuk keberadaan Oganisasi Papua Merdeka
(OPM). Keberagaman
yang
Anonim. Indikator Kesejahteraan Rakyat Papua Barat 2015. BPS Papua Barat.
homogen seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik. Jika Pemerintah Papua Barat dapat
memanfaatkan
peran
Anonim. Lampiran Peraturan Gubernur Provinsi Papua Barat Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Rencana Kerja Pembangunan Daerah Tahun 2016
tersebut,
menurut Span, et. al (2012) akan memiliki performa tinggi. Tapi hal tersebut kembali bergentung
pada
pemerintah
daerah,
dalam kenyataannya lebih senang untuk
Anonim. Tata Kelola Ekonomi Daerah 2011. KPPOD dan The Asian Fondation.
mengurus sendiri walaupun kemampuan dan pengetahuan yang kurang.
Bevir, M. 2010. Democratic Governance. Princeton. NJ: Princeton University Press
SIMPULAN Kinerja Governance penting untuk
Bevir, M. 2012. Governance: A Very Short Introduction. Oxford, UK: Oxford University Press
dikaji lebih mandalam dalam praktik otonomi
daerah.
Pemberian
otonomi
khusus di Papua Barat masih belum menunjukkan Masyarakat
hasil
yang
masih
Bevir, M., Rhodes, R. A., & Weller, P. 2003. Traditions of Governance: Interpreting the Changing Role of
seharusnya. terbelenggu
104
Ivan Giddeon Fanggidae, dkk – Menelisik Kinerja Daerah Otonomi Khusus . . . the Public Sector. Administration, 1-17
Public
Lynn, & C. Pollitt (Eds.), The Oxford handbook of public management (pp. 257-281). Oxford, UK: Oxford University Press.
Cadbury Report. 1992. The Report of the Committee on the Financial Aspects of Corporate Governance. London: Gee & Co
Kooiman, J. 1993. Modern Governance: New Government-Society Interactions. London: Sage Publications
Dennis C. B dan David L. P. 2003. Komisi untuk Indonesia: Perdamaian dan Perkembangannya di Papua.
March, J. G., & Olsen, J. P. 1995. Democratic Governance. New York, NY: Free Press
Dryzek, J. (2010). Foundations and Frontiers of Deliberative Governance. Oxford: Oxford University Press.
Marin, B dan Mayntz, R. 1991. Policy Network. Boulder: Westview
Farazmand, A. 2004. Sound Governance: Policy and Administrative Innovation. In A. Farazmand (Ed.), Sound Governance in the Age of Globalization: A Conceptual Framework (pp. 120). Westport, CT: Praeger
Mollet, J.A. 2011. The Dynamics of Contemporary LocalGovernment Policies and Economic Development in West Papua. Development in Practice. 232-243
Jessop, B. 1998. The Rise of Governance and the Risks of Failure: The Case of Economic Development. International Social Science Journal, 50, 155, 29–4
Osborne, D., & Gaebler, T. (1992). Reinventing Government. Reading, MA: Addison Wesley Peters,
Joku, Franzalber. 2007. Problem and Procpectus of the Special Autonomy Law. University of Sydney.
G., & Pierre, J. (1998). Governance without Government? Rethinking Public Administration. Journal of Public Administration Research and Theory: J-PART, 8, 2, 223-243
King, Peter. 2014. West Papua and Indonesia Since Suharto: Independence, Autonomy, or Chaos?. UNSW Press
Rhodes, R. A. 1996. The New Governance: Governing without Government. Political Studies, 44, 4, 652–667.
Klijn,
Rhodes, R. A. 1997. Understanding Governance: Policy Networks, Governance, Reflexivity and Accountability. Philadelhia, PA: Open University Press
E. (2005). Networks and Interorganizational Management: Challenging, Steering, Evaluation and The Role of Public Actors In Public Management. In E. Ferlie, L. 105
NATAPRAJA Vol. 4 No. 1, Mei 2016 Span, et. al. 2012. The relationship Between Governance Roles and performasnce in Local Public Interorganizational Networks: A Conceptual Analysis. The American Review of Public Administration. 42 (2) 186-201. Sage. Stoker, G. (1997). Hearing but not Listening: The Local Government Review Process in West Sussex. Public Administration, 75, 35-48 Webb-Gannon, Camellia. 2014. Merdeka in West Papua: Peace, Justice and Political Independence. Antropoligica.
106