NATAPRAJA Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara Volume 3 Nomor 1 Tahun 2015
Halaman 73-88
ANALISIS PEMANFAATAN DEFINISI KONSEP DALAM UU APARATUR SIPIL NEGARA (TINJAUAN DARI ASPEK PREDIKSI MUNCULNYA PROBLEM IMPLEMENTASI) Argo Pambudi1
ABSTRACT Multi-factor interpretation of the concept that is used in every public policy often becomes the cause of problems in implementation. This problem arises when there are different interpretations among those who involve in the implementation phase. Problems will be bigger when the differences in interpretation can not be compromised. Therefore improper definition variable of the concept-to be the root causes of this phenomenon of multiple interpretations.Meanwhile, the different perception variable, different interests, different socio-cultural settings and other differences in society are variables that strengthen the foundation of the emergence of these differences. The logical consequence that must be faced in every public policy is that the use of the definition of the concept of right-of-use is a demand that must be met in order to prevent the emergence of various implementation issues derived from the variables mentioned above. This article was written to gain a deep understanding of the right-to aspects related to the use of the definition of the concept in Law No. 5 of 2014 on the Civil State Apparatus. The goal is that it can assert potental material that raises issues of the implementation of the law and can also be used as an academic paper refinement and consideration for the development of policies and / or regulations to implement the Act. Kata kunci: public policy, civilian state apparatus, concept definition ABSTRAK Faktor multi-tafsir atas konsep yang dipakai setiap kebijakan publik sering menjadi penyebab munculnya problem implementasi. Masalah akan membesar ketika perbedaan penafsiran tersebut tidak bisa dikompromikan. Oleh karena itu variabel definisi konsep yang tidak tepat-guna menjadi akar penyebab munculnya fenomena multi-tafsir ini. Sementara itu variabel perbedaan persepsi, perbedaan kepentingan, perbedaan setting sosial-budaya dan perbedaan-perbedaan lain dalam masyarakat merupakan variabel yang memperkuat landasan munculnya perbedaan penafsiran ini. Artikel ini ditulis untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam aspek tepat-guna terkait dengan pemanfaatan definisi konsep dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Tujuannya adalah dapat menegaskan materi yang berpotensi memunculkan persoalan implementasi UU tersebut dan dapat pula dimanfaatkan sebagai naskah akademik untuk penyempurnaan dan bahan pertimbangan penyusunan kebijakan dan/atau peraturan pelaksana UU tersebut. Keywords: kebijakan publik, aparatur sipil negara, definisi konsep
1
Staf Pengajar, Jurusan
[email protected]
Ilmu
Administrasi
73
Negara
Fakultas
Ilmu
Sosial,
UNY,
email:
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015 adalah
PENDAHULUAN
kenyataan
empiris
yang
Penafsiran ganda atas konsep yang
keberadaannya tidak dapat dibantah lagi.
dipakai dalam setiap kebijakan publik –
Oleh karena itu pemanfaatan definisi
seperti
Pemerintah,
konsep yang tepat, lengkap, substansial
Keputusan Presiden, dan lain sebagainya–
dan tidak multi-tafsir merupakan suatu
adalah
munculnya
keharusan demi tercapainya tujuan yang
implementasi.
dimaksud oleh si pembuat kebijakan
konsep
publik yang bersangkutan. Sudah banyak
UU,
Peraturan
penyebab
berbagai Penafsiran
utama
problem ganda
atas
yang
dipakai dalam setiap kebijakan itu lebih
kasus
sering terjadi tidak secara kebetulan,
statemen ini, baik terjadi pada kasus besar
sering disengaja, dan bahkan sering
maupun kecil. Tiga kasus di antaranya
dijadikan
yang bisa dijadikan contoh adalah :
celah
kepentingan
masuknya
subyektif
berbagai
membuktikan
kebenaran
yang
1. Berawal dari rumusan yang tidak
berpotensi merusak fungsi ideal kebijakan
lengkap atas pasal 7 UUD 1945
publik itu sendiri. Fungsi regulasi negara,
mengakibatkan presiden Soeharto
fungsi proteksi, fungsi distributif dan
bisa berkuasa selama lebih dari 32
sebagainya
tahun.
yang
lain
yang
dikandung
setiap
kebijakan publik bisa rusak karenanya. Masalah
implementasi
Pasal tersebut berbunyi:
"Presiden dan Wakil Presiden
berawal
memegang
jabatannya
selama
ketika terjadi perbedaan penafsiran di
masa lima tahun, dan sesudahnya
antara mereka yang terlibat. Terlebih bila
dapat dipilih kembali". Rumusan
perbedaan penafsiran itu berlanjut menjadi
ini
perbedaan pendapat yang tidak bisa
substansial yang berisiko
sangat
dikompromikan pada tahap implementasi.
mudah
secara
Disamping itu, perbedaan kepentingan,
berbeda oleh pihak-pihak yang
perbedaan
memiliki
perbedaan
setting tingkat
sosial-budaya, kesejahteraan
perbedaan-perbedaan masyarakat
Indonesia
mengandung
kelemahan
dinterpretasikan
kepentingan
berbeda.
dan
Pada akhirnya pihak yang paling
dalam
berkuasalah yang menentukannya.
yang majemuk
Perlu diingat bahwa pada saat
lain
menjadi faktor yang memperkuat landasan
UUD
perbedaan penafsiran tersebut. Bahkan
diamandemen Presiden Soeharto
perbedaan
perbedaan
beserta kelompok pendukungnya
pendapat itu bisa terjadi di antara aparatur
adalah pihak yang paling berkuasa
negara sendiri. Perbedaan-perbedaan itu
dan bahkan memegang monopoli
penafsiran
dan
74
1945
itu
belum
Argo Pambudi - Analisis Pemanfaatan Definisi Konsep Dalam UU ASN . . . kebenaran atas interpretasi segala
pada
hal. Hampir tidak ada ruang dialog
ketercapaian tujuan UU tersebut.
untuk mediasi perbedaan pendapat
Banyak
pada saat itu. Bahkan, aspirasi
penegakan hukum versi kepolisian
yang
itu
dilandasi
perbedaan
penurunan
kalangan
tidak
rasa
masyarakat.
Aksi
keadilan
itu dianggap subversif dan selalu
"balas
direspon dengan tindakan represif.
"kriminalisasi"
kesalahan
ataupun
menilai
menimbulkan
interpretasi atas pasal 7 UUD 1945
2. Contoh lain yang disebabkan oleh
tingkat
di
dendam"
dan
sangat
mudah
dilakukan pihak kepolisian atas
kekurang-
nama penegakan hukum karena
sempurnaan rumusan pasal-pasal
kelemahan substansial pasal-pasal
dalam
tertentu dalam KUHP.
UU
itu
adalah
kasus
rivalitas dan konfrontasi KPK-
3. Pasal 32 Ayat (2) UU Nomor 30
Polri yang memuncak pada tahun 2015.
Rivalitas
ini
–
Tahun
diakui
2002
tentang
Pemberantasan
Komisi Korupsi
maupun tidak diakui – tercermin
menyebutkan bahwa : "Dalam hal
dalam aksi yang bernuasa "balas-
Pimpinan Komisi Pemberantasan
dendam"
dan
"kriminalisasi"
Korupsi menjadi tersangka tindak
terhadap
para
pejabat
pidana kejahatan, diberhentikan
komisioner KPK. Nuasa
dan "balas-
sementara
dendam" dan "kriminalisasi" ini
Ketentuan
secara empiris sulit untuk dibantah
Ketentuan itu tidak menyebutkan
keberadaannya. Aksi Cicak-Buaya
pengecualian
I (2009)
bentuk
dan Cicak-Buaya II
dari itu
jabatannya". terlalu
apapun
kejahatan
yang
umum.
tentang bisa
(2015) jelas memiliki atribut balas
disangkakan pada pimpinan KPK.
dendam
Jadi terkait
dan
kriminalisasi
tindak kejahatan
dibantah
apapun – walau dengan tindak
oleh para petinggi kepolisian dan
pidana ringan sekalipun – polisi
pejabat
lain
“dapat memberhentikan pimpinan
balas
KPK” hanya dengan menetapkan
"bukan
komisioner KPK tersebut sebagai
walaupun
dengan
berkali-kali
pemerintah label
dendam" kriminalisasi",
yang
"bukan dan namun
murni
tersangka.
Demikianlah,
sebagai aksi penegakan hukum.
tujuan
Fenomena ini tentu saja berujung
kepolisian terakomodasi atas nama 75
balas
dendam
maka oknum
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015 penegakan hukum yang menjadi
perancang UU itu sendiri. Di satu sisi
tugas resmi mereka.
analisis kebijakan
Demikianlah
fenomena
ini bisa dimaknai
yang
sebagai aktivitas mencari-cari kesalahan
melatar-belakangi penulisan artikel ini.
dan menafsirkannya ke arah yang contra-
Analisis
productive.
kebijakan
ini
berusaha
Dengan
demikian
mendapatkan pemahaman yang mendalam
dimaknai
terkait
definisi
antagonis, oposan, waton suloyo, waton
konsep dalam UU Nomor 5 Tahun 2014
ngeyel, asal beda, dan lain sebagainya atas
tentang
agar
peraturan per-UU-an yang berlaku di
kesalahan-
Indonesia. Namun di sisi lain analisis
kesalahan pemanfaatan konsep untuk
kebijakan semacam ini bisa dipandang
mengantisipasi munculnya masalah di
sangat penting, yaitu manakala dimaknai
kemudian hari.
sebagai langkah antisipasi munculnya
dengan
pemanfaatan
Aparatur
diketahui
Sipil
sedini
Analisis
Negara
mungkin
ini
bertujuan
ingin
problema
sebagai
di
kegiatan
bisa
ranah
yang
implementasi
di
mendapatkan pemahaman yang mendalam
kemudian hari. Pengalaman banyak kasus
sedini
dengan
maupun pustaka teoritis tentang kebijakan
pemanfaatan definisi konsep dalam UU
publik menunjukkan bahwa masalah di
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
ranah implementasi kerap muncul berawal
Sipil Negara. Sasarannya adalah dapat
dari kesalahan penggunaan konsep di
menemukan
dalam substansi kebijakan yang terkait.
mungkin
aspek
terkait
multi-tafsir
dari
definisi konsep yang dipakai. Aspek
Konsep
multi-tafsir pada umumnya disebabkan
pengertiannya menimbulkan penafsiran
oleh pemakaian definisi konsep yang
yang
salah sehingga menimbulkan ketidak-
memunculkan
kreativitas
jelasan makna (vagueness, obscurity),
yang
terarah.
kemuskilan (abstruseness), keragu-raguan
digunakan
(doubtfulness),
mengembangkan instrumen pemahaman
ketidak
pastian
(uncertainty, dubiety), bermakna ganda
beragam
tidak
tidak
atau
untuk
jelas
(vague)
multi-tafsir
dan
implementor
Pustaka
membangun
yang dan
UU ASN ini terangkum sebagai berikut:
(ambivalence), dan sebagainya. Kriteria pemahaman definisi konsep itu difokuskan pada ketepatan (validity)kesesuaian/ketidak-sesuaian
yang
definisi
konsep yang dipakai dengan substansi tujuan dan apa yang dimaksud oleh si 76
Argo Pambudi - Analisis Pemanfaatan Definisi Konsep Dalam UU ASN . . .
Ketepatan Penggunaan Definisi Konsep
Problema Implementasi Kebijakan
Perbedaan Penafsiran
Perbedaan Kepentingan Perbedaan Persepsi Perbedaan Setting Sosial-Budaya
Gambar 1. Rangkuman variabel Kebijakan (Adaptasi dari Grindle (1980) dan Mazmanian & Sabatier (1983 : 22)) Sebagian besar data pendukung METODE Artikel ini membahas materi UU
artikel ini dikumpulkan dengan studi
ASN dengan metode content analysis atas
dokumentasi oleh peneliti dengan dibantu
data yang ada. Berawal dari konsepsi
mahasiswa peserta mata kuliah Analisis
teoritik-akademik
Kebihjakan
yang
kemudian
Publik.
Wawancara
juga
dibuktikan kebenarannya dengan fakta
dilakukan untuk melengkapi data yang
empiris
diobservasi,
kurang jelas dan konfirmasi terhadap hasil
wawancara). Logika yang dipakai adalah
observasi yang dirasa meragukan. Antara
logika
teknik observasi dan wawancara tidak
lapangan
deduktif
bergantian
(hasil
dan
untuk
pengambilan
induktif penafsiran
kesimpulan.
secara dan
dilakukan
Produk
kebenaran
kesimpulan
yang
namun
dan saling melengkapi.
masih terbuka kesempatan untuk diuji Walaupun
terpisah,
dimungkinkan dilakukan secara simultan
akhirnya berupa kesimpulan tentatif yang
kebenarannya.
secara
Hasil
demikian
analisis
tersebut
menghasilkan pola tertentu yang disusun
diambil
dalam
uraian
tentang
karakteristik
tersebut secara metodologis sudah cukup
pemanfaatan definisi konsep UU No. 5
feasible untuk digunakan sebagai dasar
Tahun 2014. Tidak ada fomula khusus
penyusunan naskah akademik untuk revisi
untuk menangkap pola temuan. Namun
UU
hanya
ASN
dan/atau
kebijakan
pelaksananya.
mengandalkan
kemampuan
intelektual, kemampuan berfikir logis, kepekaan dan kreatifitas tim. Namun
77
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015 demikian untuk memperkuat validitas
No.
5
Tahun
2014
ini.
Bahkan
temuan, dilakukan pembandingan dengan
pengambilan hikmah untuk feed back
konsep, model dan pola pikir (paradigma)
bahan revisi-pun biasanya sudah terlambat
yang pernah ada.
dilakukan. Itu semua bisa terjadi karena langkah "mencari-cari kesalahan" itu sering dianggap tidak pantas dan tabu
HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan semacam
ini
analisis sering
kebijakan sebagai
Makna dan pengertian penggunaan
kegiatan "mencari-cari kesalahan" yang
definisi konsep yang dinilai tidak tepat
berkonotasi negatif. Namun demikian
dan diprediksi berpotensi memunculkan
tidak selalu demikian faktanya, penilaian
masalah implementasi ini diderivasi dari
sebagai
"mencari-cari
kajian literatur diawal. Oleh karena itu
kesalahan" tidak selamanya benar, namun
fokusnya berkisar pada telaah kualitas
tergantung dari tujuan, sudut pandang dan
materi
bagaimana cara melihatnya. Dari sudut
dalam UU No. 5 Tahun 2014 yang tidak
pandang seorang analis kebijakan publik –
menunjukkan fungsi idealnya. Secara
yang idealnya berada di luar arena
lebih kongkrit bisa diidentifikasi dalam
pergulatan kepentingan– manfaat hasil
beberapa
analisis semacam ini sangat besar, karena
berikut :
kegiatan
dinilai
untuk dibahas secara terbuka.
mampu mengantisipasi dan memprediksi
dan
ketepatan
indikator
1. Ketidak-jelasan
berbagai bentuk persoalan yang potensial
penggunaannya
variabel
sebagai
makna
(vague,
clarity)
muncul di kemudian hari. Selanjutnya,
2. Kesesuaian atau relevansi antara
akan sangat terasa makna dan urgensinya
materi peraturan dengan tujuan
ketika
yang hendak dicapai.
pemangku
nyata-nyata
kepentingan
dihadapkan
sudah pada
3. Teori dan logika hubungan sebab-
permasalahan kongkrit yang sulit mereka pecahkan.
Ujung-ujungnya,
akibat yang dipakai.
tidak
4. Kontradiksi antara kebijakan awal
ditemukan langkah yang bisa dilakukan
atau kebijakan kunci (policy studs)
untuk menghindar dari persoalan itu
dengan UU No. 5 Tahun 2014.
kecuali harus membayar risiko kerugian
Baik kebijakan terdahulu yang
materiil
yang
digantikannya maupun kebijakan
menjadi konsekuensi logis atas kekurang-
lain yang se-level yang mengatur
sempurnaan sebuah kebijakan publik,
hal yang sama.
maupun
non-materiil
sebagaimana yang dijelaskan dalam UU 78
Argo Pambudi - Analisis Pemanfaatan Definisi Konsep Dalam UU ASN . . . 5. Spesifikasi prosedur untuk proses
pelaksanaan
diperlukan
implementasinya.
mengakomodasi
Eksistensi kesemua indikator itu
komparatif
untuk
perbedaan-perbedaan
yang
khas
di
setiap
bisa tersurat maupun tersirat dalamnya.
daerah/wilayah, di setiap bidang yang
Beroperasi secara parsial maupun secara
memerlukan keahlian khusus dan di setiap
simultan, terintegrasi dalam bentuk yang
level
tidak menentu. Hal yang paling penting
bervariasi. Dengan kata lain, di tingkat
adalah bahwa fakta pemakaian definisi
pelaksanaan di masing-masing wilayah
konsep
bisa
dan pada masing-masing bidang tugas
yang
serta masing-masing level bidang tugas
bertentangan dengan tujuan UU ini ketika
memerlukan aturan yang lebih khusus,
dibuat.
lebih
yang
memunculkan
tidak
tepat
interpretasi
itu lain
yang
kebutuhan
spesifik
dan
empirisnya
tidak
tertutup
kemungkinan berbeda-beda baik dari sisi substansi
Konsep yang Terlampau Operasional Kebijakan publik se-level UU itu pada
umumnya
mauun
prosedur
pelaksanaannya. Dengan demikian aturan
untuk
dengan definisi konsep yang terlampau
kepentingan publik di seluruh wilayah
operasional atau yang sudah terdefinisi
NKRI yang bersifat general, mayor dan
dengan ketat tidak cocok diterapkan di
strategis di tingkat nasional. Cakupan
sini. Pejabat publik di tingat pelaksanaan
wilayah implementasinya begitu luas dan
akan menghadapi persoalan delimatis
dituntut tidak diskriminatif – kecuali
antara harus melaksanakan aturan yang
ditentukan lain oleh UU itu juga dan/atau
ketat
oleh kebijakan publik lain minimal se-
masalah empiris yang menuntut diatur
level UU tersebut. Oleh karena itu definisi
dengan cara lain. Melaksanaan peraturan
konsep yang digunakan harus memiliki
per-UU-an yang terlampau operasional
tingkat abstraksi yang sepadan dengan
seperti
cakupan wilayah kerjanya (nasional). Jadi
diskresi
penggunaan
pelaksanaan tidak lagi bisa difungsikan.
terlampau
ditujukan
peraturan
definisi operasional
konsep akam
yang
dengan
itu
kebutuhan
kewenangan
pejabat
publik
pemecahan
pembuatan di
tingkat
banyak
Fakta membuktikan bahwa UU
menimbulkan masalah karena menutup
No. 5 Tahun 2014 tentang tentang
ruang kebebasan aktor legislasi tingkat
Aparatur Sipil Negara memuat beberapa
pelaksanaaan dan diskresi pemecahan
substasi
masalah oleh pejabat publik tingkat
operasional seperti terurai di atas, antara
lapangan. Kebebasan legislasi tingkat 79
regulasi
yang
terlampau
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015 lain adaah regulasi yang terkait dengan
membuat ketentuan itu bisa langsung
Batas Usia Pensiun (BUP) PNS.
dilaksanakan
tanpa
harus
menunggu
Regulasi BUP yang dituangkan
terbitnya peraturan pelaksananya. Dengan
dalam UU No. 5 Tahun 2014 merupakan
kata lain format aturan BUP dalam UU itu
kebijakan publik level negara namun
memberikan ruang gerak yang lebih
definisi
terbatas bagi para pelaksananya ketika
konsep
terlampau
yang
operasional
digunakannya dan
terlampau
mereka harus membuat keputusan yang
teknis. Pasal 90 UU itu mengatur BUP
“berbeda” dengan definisi ketat aturan UU
dengan cara sangat teknis – sampai
itu.
dengan menyebut angka BUP secara
pelaksanaan yang bisa ditemui. Tidak ada
definitif, yaitu : 58 (lima puluh delapan)
lagi "tawar-menawar" dan kompromi di
tahun bagi Pejabat Administrasi, 60 (enam
tahap implementasi – walau mungkin ada
puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan
pertimbangan lain yang lebih urgent. Di
Tinggi dan sesuai dengan ketentuan
satu sisi ketentuan hukum yang ketat ini
peraturan
lebih baik karena menciptakan kepastian
per-UU-an
bagi
Format
pengaturan
Fungsional.
Pejabat yang
Tidak
hukum
ada
yang
lagi
variasi
seragam
dan
aturan
mudah
definitif bagi Pejabat Administrasi dan
dilaksanakan, namun di sisi lainnya sistem
Pejabat Pimpinan Tinggi dalam UU ini
regulasi menjadi tidak flexible. Mandul
kurang tepat, karena menutup peluang
ketika menghadapi kasus unik atau khas,
diskresi untuk penyelesaian persoalan
di luar prediksi para pembuat kebijakan
khusus atau unik dan persoalan-persoalan
publik itu. Fakta empiris persoalan yang
lain
berkembang di lapangan itu bisa tidak
yang
unpredictable
yang
membutuhkan ketentuan di luar batas
seragam,
definisi konsep ketentuan tersebut. Oleh
tersendiri. Menghadapi keanekaragaman
karena
berpotensi
persoalan lapangan yang seperti ini, pola
memunculkan masalah implementasi di
pengaturan yang detail akan tidak berdaya
lapangan
dan bahkan kontra-produktif, dan bisa jadi
itu
dan
pasal
ini
mendorong
munculnya
bisa
memiliki
pelanggaran terhadap substansi pasal 90
memunculkan
itu sendiri.
pengaturan yang detail dalam UU itu tidak
Dibandingkan dengan UU No. 8
masalah
ke-khas-an
baru.
Pola
memberikan keleluasaan bagi pejabat
Tahun 1974, norma BUP dalam UU No. 5
pelaksananya
Tahun 2014 menggunakan batasan yang
mengambil keputusan khusus (discretion)
lebih ketat dan lebih operasional. Batasan
bilamana harus
yang lebih ketat dan operasional ini
publik yang urgent dan membutuhkan 80
di
lapangan
untuk
mengatasi persoalan
Argo Pambudi - Analisis Pemanfaatan Definisi Konsep Dalam UU ASN . . . penanganan khusus pula. definitif
ketat
Rumusan
tentang
BUP
bahwa UU No. 8 Tahun 1974 itu masih
bisa
memberikan alternatif keputusan lain yang
ditemukan dalam Pasal 87 ayat (1) UU
dianggap
No. 5 Tahun 2014 – dibandingkan dengan
berwenang,
Pasal 23 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1974
pertimbangan yang lebih urgent pada
sebagai berikut:
tahap implementasinya (discretion).
“Pasal 87 – UU No. 5 Tahun 2014 : (1) PNS diberhentikan dengan hormat karena: 1. Meninggal dunia; 2. Atas permintaan sendiri; 3. Mencapai batas usia pensiun; 4. Perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau 5. Tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban.”
perlu
oleh
yaitu
pejabat
yang
bilamana
ada
Penggunaan Teori Hubungan SebabAkibat yang Tidak Tepat Secara teoritis, penerapan teori hubungan sebab-akibat yang tidak tepat dalam setiap kebijakan publik selalu berdampak pada menurunnya validitas logika
hubungan
sebab-akibat
dimanfaatkannya.
yang
Penerapan teori yang
tidak tepat ini terjadi juga dalam UU No.
Bandingkan dengan dengan:
5 Tahun 2014. Hal ini diprediksi akan berujung
“Pasal 23 – UU No. 8 Tahun 1974 : (1) Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat, karena : 1. Permintaan sendiri; 2. Telah mencapai usia pensiun; 3. Adanya penyederhanaan organisasi Pemerintah; 4. Tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankankewajiban sebagai Pegawai Negerl Sipil.”
pada
menurunnya
tingkat
ketercapaian tujuan yang diinginkan – si pembuat – UU tersebut. Analisi ini menemukan beberapa fakta empiris yang sejalan dengan pemikiran teoritis tersebut. Pasal 87 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara menentukan bahwa
PNS diberhentikan
dengan hormat karena terpenuhinya salah
digunakannya
satu dari 5 alasan, yaitu: (a) meninggal
kata "dapat" dalam pasal 87 UU No. 5
dunia; (b) atas permintaan sendiri; (c)
Tahun 2014 tersebut. Bandingkan hal
mencapai
yang sama dengan pasal 23 UU No. 8
perampingan organisasi atau kebijakan
Tahun 1974 tersebut. Dalam pasal 23 UU
pemerintah yang mengakibatkan pensiun
No. 8 Tahun 1974 itu didapati ketentuan
dini; (e) tidak cakap jasmani dan/atau
yang
(option).
rohani sehingga tidak dapat menjalankan
Penggunaan kata “dapat" menunjukkan
tugas dan kewajiban. Di antara alasan-
Perhatikan
sifatnya
tidak
pilihan
81
batas
usia
pensiun;
(d)
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015 alasan pemberhentian dengan hormat
PNS kiranya bertentangan dengan maksud
tersebut, alasan mencapai batas usia
dan tujuan membangun profesionalisme
pensiun adalah satu-satunya alasan yang
aparatur
tidak terkait secara langsung dengan
ditentukan dalam diktum pertimbangan
efektivitas pelaksanaan tugas pekerjaan
diterbitkannya UU ini. Aturan BUP itu
PNS yang bersangkutan. Artinya, bisa saja
pada hakekatnya tidak terkait secara
PNS yang sudah memasuki BUP namun
langsung dengan efektivitas pelaksanaan
secara jasmani dan rohani masih cakap
tugas PNS karena faktor kemampuan
bekerja, tidak ada perampingan organisasi
SDM PNS dan efektivitas pelaksanaan
atau
yang
tugas PNS itu tidak selalu berkorelasi
mengakibatkan pensiun dini, masih sehat
langsung dengan faktor usia, namun lebih
dan masih sanggup bekerja. Selanjutnya
banyak ditentukan oleh faktor lain, seperti
pada Pasal 90 batas usia pensiun (BUP)
faktor kesehatan, faktor motivasi dan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87
semangat kerja, dan lain sebagainya. Jadi
ayat (1) huruf c itu ditentukan secara
bisa saja seorang PNS itu sudah mencapai
definitif 58 (lima puluh delapan) tahun
BUP
bagi Pejabat Administrasi, 60 (enam
dibutuhkan, sebaliknya ada pula seorang
puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan dan
PNS berusia relatif muda, masih jauh dari
sesuai
peraturan
BUP namun sakit-sakitan sehingga tidak
Pejabat
mampu lagi bekerja dengan cakap. Oleh
Fungsional. Dengan aturan definitif itu
karena itu, dihadapkan pada persoalan
maka
seperti ini UU No. 5 Tahun 2014 itu akan
kebijakan
dengan
pemerintah
ketentuan
perundang-undangan
tertutup
bagi
kemungkinan
sipil
negara
namun
masih
pemberlakuan BUP di luar ketentuan
menghadapi
umur
implementasinya.
tersebut kecuali ditentukan lain
dengan peraturan yang setingkat atau yang
pelaksanaan
lebih tinggi. Minimal harus menggunakan
konsisten
PERPU atau UU yang lain. Selanjutnya,
peningkatan
PNS
pelaksanaan
yang tidak menduduki jabatan
sebagaimana
produktif
masalah
pada
tahap
Ujung-ujungnya
peraturan tidak
dan
BUP
secara
berdampak
pada
efektivitas
dan
substansi
efisiensi
tugas-tugas
tertentu sebagai Pejabat Administrasi,
pemerintahan dan pembangunan. Namun
Pejabat Pimpinan dan Pejabat Fungsional
hanya sekedar melaksanakan peraturan
tidak diatur dalam UU ASN ini.
yang bersifat prosedural saja. Oleh karena
Batas
Usia
Pensiun
yang
itu
terdefinisi secara ketat dan dijadikan dasar
peningkatan
pemerintahan
hukum tunggal untuk memberhentikan 82
kinerja
(birokrasi)
organisasi tidak
bisa
Argo Pambudi - Analisis Pemanfaatan Definisi Konsep Dalam UU ASN . . . diharapkan dari pelaksanaan
ketentuan
No. 5 Tahun 2014, maka berakibat
BUP ini.
terjadinya dublikasi pengaturan.
Selanjutnya, pelaksanaan regulasi
Disamping UU Nomor 5 Tahun
BUP semacam ini bisa pula dikategorikan
2014 masih ada beberapa UU lain yang
bertentangan
kaidah
juga mengatur aparatur sipil negara.
produktif
Sebagai contoh kasus Peraturan batas usia
setiap orang itu berbeda-beda, tergantung
pensiun untuk PNS. Secara langsung
faktor kesehatan –baik kesehatan fisik
ataupun tidak langsung BUP PNS di
maupun
dan
Indonesia
selama
ini
yang
peraturan
ganda
(overlap).
profesionalisme
dengan PNS.
Usia
mental–
kesanggupan/komitmen
PNS
diatur
dengan Sebelum
bersangkutan untuk bekerja. Jadi dengan
lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 BUP PNS
asumsi ini bukan alasan tepat menetapkan
telah diatur dalam beberapa UU, namun
pemberhentian PNS berdasarkan faktor
masing-masing tidak saling berhubungan.
usia sebagai standar tunggal. Seharusnya
Ketika dicermati secara lebih dalam
perlu
faktor
diktum
tugas
“memperhatikan”
dipertimbangkan
kemampuan
pula
melaksanakan
“menimbang” semua
dan UU
yang
pekerjaan secara simultan. Apa urgensi
mengatur obyek BUP PNS itu ternyata
ditetapkannya batas usia pensiun itu
semuanya
secara definitif? pertanyaan ini tidak
keterkaitan atau kebersamaan mengatur
pernah terjawab dari sisi kebutuhan
(juncto). Hal ini menunjukkan bahwa
empiris organisasi. Persoalan yang disasar
regulasi/peraturan BUP PNS tersebut
oleh penetapan BUP secara definitif
selama ini tidak terkoordinasi, tidak
dalam UU ini tidak jelas.
membentuk satu kesatuan sistem regulasi
tidak
memasukkan
unsur
yang terintegrasi, namun substansinya Definisi Aparatur Sipil Negara Sasaran
overlap satu sama lain. Fenomena ini bisa
UU No. 5 Tahun 2014
terjadi karena definisi konsep aparatur
Telaah terhadap kelompok sasaran
sipil negara yang dipakai dalam UU no. 5
UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Tahun 2014 tidak pasti batas-batasnya.
Sipil Negara bisa dikatakan tidak jelas
Selanjutnya, oleh karena ketidak-
batas-batasnya (vague). Hal ini dibuktikan
jelasan batasan aparatur sipil negara
dengan keberadaan beberapa UU lain
dalam UU itu mengakibatkan tidak jelas
yang ternyata mengatur obyek yang sama.
pula dimana posisi UU ASN ini dalam
Dengan kata lain, oleh karena tidak jelas
sistem regulasi ASN di Indonesia. Apakah
batasan ASN yang menjadi sasaran UU
UU ASN ini menjadi UU pokok (lex 83
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015 generalis) yang berfungsi
memayungi
pangkat dan jabatan, (d) pengembangan
UU yang lain, ataukah UU ASN ini hanya
karier, pola karier, promosi, mutasi, (e)
sekedar sebagai aturan pelengkap saja.
penilaian kinerja, (f) penggajian dan
Disamping UU No. 5 Tahun 2014 yang
tunjangan, (g) penghargaan, (h) disiplin,
mengatur Aparatur Sipil Negara terdapat
(i) pemberhentian, (j) jaminan pensiun dan
pula beberapa UU yang sama-sama
jaminan hari tua, dan (k) perlindungan.
mengatur keberadaan aparatur negara
Sementara
yang lain, yaitu : UU No. 16/2004 tentang
ditentukan hanya meliputi : (a) penetapan
Kejaksaan Republik Indonesia, UU No.
kebutuhan, (b) pengadaan, (c) penilaian
3/2006 tentang Peradilan Agama, UU No.
kinerja, (d) gaji dan tunjangan, (e)
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
pengembangan kompetensi, (f) pemberian
UU
penghargaan, (g) disiplin, (h) pemutusan
No.
12
Pendidikan
Tahun
Tinggi.
2012
Harus
tentang dipahami
hubungan
itu
manajemen
perjanjian
bahwa jaksa, hakim pengadilan agama,
perlindungan.
guru PNS dan dosen PNS juga termasuk
Dalam
kerja,
ketentuan
itu
PPPK
dan
(i)
terdapat
aparatur sipil negara yang juga menjadi
perbedaan antara keduanya. Persoalan
sasaran
pangkat
UU
ASN
ini.
Selanjutnya,
dan
jabatan,
pengembangan
kesemua UU tersebut seolah-olah berjalan
karier, pola karier, promosi, mutasi,
sendiri-sendiri untuk mencapai tujuan
jaminan pensiun dan jaminan hari tua
sektoralnya
masing-masing,
tanpa
tidak diatur dalam manajemen PPPK.
kepentingan
sektor
Sementara itu persoalan pengembangan
lainnya. Sebagai bukti, dalam diktum
kompetensi tidak diatur dalam manajemen
menimbang dan mengingat dalam UU No.
PNS namun diatur dalam manajemen
5 Tahun 2014 tidak dicantumkan ke
PPPK. Pertanyaannya : Mengapa terdapat
semua
perbedaan ini ? Hal ini berpotensi
memperhatikan
UU
yang
juga
mengatur
keberadaan UU ASN ini.
memunculkan
persoalan
di
tingkat
implementasi. Persoalan
Lain
yang
Menonjol:
Spesifikasi Ketentuan Regulasi Dalam
penjelasan
UU
Status Informal ASN Terkait dengan ASN
Partai Politik.
dijelaskan bahwa manajemen PNS dan
Dalam alenia tiga penjelasan UU
PPPK didefinisikan bahwa manajemen
No. 5 Tahun 2014 disebutkan bahwa :
PNS meliputi : (a) penyusunan dan
"Dalam upaya menjaga netralitas ASN
penetapan kebutuhan, (b) pengadaan, (c)
dari pengaruh partai politik dan untuk 84
Argo Pambudi - Analisis Pemanfaatan Definisi Konsep Dalam UU ASN . . . menjamin keutuhan, kekompakan, dan
Selain itu, ASN berhak memperoleh
persatuan ASN,serta dapat memusatkan
jaminan sosial."
segala perhatian, pikiran, dan tenaga
Pertanyaannya:
Bagaimana
padatugas yang dibebankan, ASN dilarang
menjabarkan konsep gaji yang adil dan
menjadi anggota dan/atau pengurus partai
layak sesuai dengan beban kerja, tanggung
politik." Ketentuan ini hanya mengatur
jawab, dan resiko pekerjaannya ?
sebagas
statusnya
sebagai
anggota
partai
politik.
Konsep gaji yang adil dan layak
Pertanyaannya adalah bagaimana kalau
sesuai dengan beban kerja, tanggung
ASN
jawab, dan resiko pekerjaan sangat riskan
dan/atau
pengurus
itu
menjadi
kader,
Pembahasan :
menjadi
simpatisan atau menjadi sponsor?
terhadap munculnya interpretasi yang
Pembahasan:
justru menjauh dari rasa keadilan. Contoh
Upaya menjaga netralitas yang
aktual : tunjangan kinerja (renumerasi)
terdefinisi
dalam
ketentuan
pegawai pajak. Untuk pejabat eselon I
anggota
mencapai Rp. 117 juta rupiah/bulan,
dan/ataupengurus partai politik kiranya
melebihi gaji seorang menteri. Adil
terlalu sederhana dan terlalu formal untuk
ditinjau dengan tanpa standar tertentu
larangan
bentuk
menjadi
mampu mencegah seorang pegawai ASN bersikap
netral.
ketergantungan
Persoalan yang
struktur
informal
Asas Kepastian Hukum
dan
Dalam Penjelasan Pasal 2 Huruf a
kepentingan yang tersembunyi kiranya
UU No. 5 Tahun 2014 disebutkan : "Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah dalam setiap penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN, mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan."
lebih dominan mempengaruhi.
Aspek Keadilan di Kalangan Aparaatur Sipil Negara Alenia empat Penjelasan UU No. 5 Tahun
2014
meningkatkan
berbunyi
:
produktivitas
"Untuk
Pembahasan :
dan
Persoalan kepatutan dan keadilan
menjamin kesejahteraan ASN, dalam
kiranya tidak tepat dimasukkan dalam
Undang-Undang ini ditegaskan bahwa
penjelasan
ASN berhak memperoleh gaji yang adil
memisahkan
dan layak sesuai dengan beban kerja,
ini.
Penjelasan –dan
yang
kemudian
menyandingkan– konsep kepatutan dan
tanggung jawab, dan resiko pekerjaannya.
keadilan itu dengan asas kepastian hukum,
85
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015 sebagaimana tertulis dalam penjelasan itu,
Saran:
sangat membingungkan dan bahkan bisa
Pada
hakekatnya
konsepsi
menyesatkan. Karena di dalam norma
kepatutan dan keadilan itu secara normatif
hukum itu sudah terkandung konsep
sudah masuk dalam ranah peraturan
kepatutan dan keadilan. Hukum dibuat
hukum yang sudah dilegitimasi dan
untuk menciptakan keadilan di masyarakat
diratifikasi. Oleh karena itu sebaiknya
dan sudah barang tentu hukum itu patut
penjelasan
untuk
ditegakkan. Tidak ada aturan
kepastian hukum" itu cukup dengan: "...
hukum yang tidak patut untuk ditegakkan.
setiap penyelenggaraan kebijakan dan
Asas kepastian hukum itu adalah
manajemen ASN harus berlandaskan pada
terhadap
konsep yang objektif, sementara konsep
peraturan
kepatutan
undangan yang berlaku."
dan
keadilan
itu
terlalu
peraturan
makna
"asas
perundang-
subyektif dalam kontek ini. Artinya setiap orang atau kelompok masyarakat mudah sekali
berbeda
pendapat
Netralitas Aparatur Sipil Negara
dalam
Penjelasan Huruf f UU No. 5
memandang kepatutan dan keadilan ini tergantung
pada
permasalahan
Tahun 2014: "Yang dimaksud dengan ‘asas netralitas’ adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun."
yang
dihadapi, kondisi sosial ekonomi dan bahkan latar belakang sosial budaya-nya. Persoalan kepatutan dan keadilan itu selalu memiliki dimensi perasaan yang
Pembahasan:
subjektif, dan tidak memiliki standar
Penjelasan ini terasa terlalu naif
obyektif untuk menentukan kebenarannya. Satu-satunya
standar
obyektif
atau lugu, namun tidak realistis. Artinya,
yang
dengan dasar asumsi kebenaran teori
memiliki potensi kontroversi minimum
sosiologi bahwa perilaku itu adalah fungsi
adalah aturan hukum itu sendiri. Dengan
kepentingan, maka tidak akan ada perilaku
kata lain hukum yang ditegakkan dengan benar
sudah
dengan
yang tidak memiliki kepentingan tertentu,
sendirinya
termasuk perilaku birokrat atau ASN ini.
merefleksikan ditegakkannya kepatutan
Oleh karena itu ASN, disadari atau tidak,
dan keadilan itu. Jadi tidak ada norma
pasti harus
hukum yang bertentangan dengan norma
memihak pada kepentingan
tertentu yang sejalan dengan kepentingan
kepatutan dan norma keadilan yang
yang diperjuangkannya. Dalam kontek ini
hakiki.
kepentingan yang harus diperjuangkan
86
Argo Pambudi - Analisis Pemanfaatan Definisi Konsep Dalam UU ASN . . . ASN adalah kepentingan umum dan
terhadap privacy pegawai ASN yang
kepentingan
bersangkutan, asas praduga tidak bersalah,
menyelesaikan
persoalan
persoalan-
kemasyarakatan
serta
asas
perlindungan
terhadap
rahasia
kepentingan birokrasi itu sendiri. Ini
negara, dan lain sebagainya yang sama-
adalah fakta yang tidak bisa dihindari
sama dilindungi UU.
keberadaannya. Rekomendasi:
Asas Non Diskriminatif
Jadi ASN ini harus memihak pada siapa?
--tentu
kepentingan
harus
publik
menyelesaikan
memihak dan
Penjelasan Huruf j "Yang dimaksud dengan “asas nondiskriminatif” adalah bahwa dalam penyelenggaraan Manajemen ASN, KASN tidak membedakan perlakuan berdasarkan jender, suku, agama, ras, dan golongan”
pada
kepentingan
persoalan-persoalan
kemasyarakatan.
Oleh
karena
itu
ketentuan bahwa "setiap Pegawai ASN tidak boleh berpihak dari segala bentuk
Pembahasan:
pengaruh manapun dan tidak memihak
Mengapa hanya perlakuan KSAN
kepada kepentingan siapapun" adalah
saja yang diatur? –padahal asas non-
ketentuan yang tidak realistis. Seharusnya
diskriminatif
ketentuan itu secara tegas diarahkan
ini
bersifat
universal.
Pengaturan terkait dengan penerapan asas
langsung pada "tidak boleh memihak pada
ini terlampau sempit.
partai politik peserta pemilu". SIMPULAN Asas Keterbukaan
Demikianlah
Penjelasan Huruf i Yang keterbukaan”
dimaksud adalah
penyelenggaraan
hasil
analis
ini.
Kesimpulan yang bisa ditarik adalah dengan
“asas
bahwa
dalam
Manajemen
ASN
bahwa hasil analsis dan pembahasanya menunjukkan bahwa pemanfaatan definisi konsep yang tidak tepat tidak tersebar di
bersifat terbuka untuk publik.
dalam semua materi regulasi UU No. 5
Pembahasan:
Tahun 2014, akan tetapi hanya terdapat
Tidak realistis. Bagaimana publik
pada
bisa mengakses proses manajemen ASN
beberapa
berpotensi
ini? –apakah akses bisa dilakukan secara
tingkat
terus-menerus? –apakah asas keterbukaan
pasal
memuncukan pelaksanaan.
saja
namun
masalah
di
Ketidak-tepatan
pemakaian konsep tersebut berpola : (1)
ini tidak bertentangan dengan asas-asas
terlampau operasional, (2) penggunaan
yang lain, seperti asas perlindungan 87
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015 logika teori hubungan sebab-akibat yang
Jurnal Ilmu Administrasi, Volume X,
tidak sesuai dengan tujuan dan (3) makna
No. 2. STIA LAN Bandung.
yang terkandung dalam difinisi konsep
Kimberly A.
Neuendorf.
2002.
The
yang tidak tepat kebanyakan bersifat
Content Analysis Guidebook. Thousand
vague atau tersamar tidak tidak tegas
Oaks. CA: Sage.
sehingga bisa menimbulkan penafsiran
Miftah Thoha. 2003. Birokrasi dan Politik
ganda di mata mereka yang memiliki
di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
kepentingan yang berbeda. Oleh karena
Ripley, Randall B. 1985. Policy Analysis
itu
bagian-bagian
tersebut
perlu
in Political Science. Chicago: Nelson-
mendapatkan perhatian ekstra di tingkat
Hall Publishers.
implementasi agar tidak menjilma menjadi
Singarimbun, Masri., dan Sofian Effendi.
masalah nyata di kemudian hari.
(1981),
Metode
Penelitian
Survai.
Jakarta: LP3ES. Spradley, James P. 1980. Participation
DAFTAR PUSTAKA Agus Dwiyanto, dkk. 2000. Reformasi Birokrasi
Publik
di
Indonesia.
Yogyakarta:
Pusat
Studi
Kependudukan
dan
Observation., Florida: Holt, Rinehart and Winston, Inc. _____________
Kebijakan
Rinehart and Winston.
Babbie, Earl R. 1979. The Practice of Research.
California:
2nd
Wadsworth
Sudrajat, Tatang. 2015. Selamat Datang
Edition.
Komisi
Publishing
H.
Resource
John.
2010.
Human
Tantangan
Negara, dan
Management:
an
Jurnal Ilmu Administrasi. Volume XI No. 3, STIA LAN Bandung.
Companies. Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Organisasi Manajemen
Sumber
Daya
Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta Hendrikus Triwibawanto Gedeona. 2013. Birokrasi
Sipil
Harapan untuk Reformasi Birokrasi.
Experiential Approach. Mc. Graw Hill
dan
Aparatur
Permasalahan,
Company Inc. Bernardin,
The
Ethnographic Interview. Florida: Holt,
Universitas Gadjah Mada
Social
(1979),
dalam
Praktiknya
di
Indonesia: Netralitas atau Partisan?.
88