MODUL DIKLAT ANALIS KEPEGAWAIAN
PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN DIKLAT PNS
Penulis: 1. Aris Mutoyo, SH 2. Dr. Herman, M.Si
PUSAT PEMBINAAN JABATAN FUNGSIONAL KEPEGAWAIAN BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA JAKARTA, 2014
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Salah satu persyaratan kompetensi yang harus dimiliki oleh Analis Kepegawaian Keahlian adalah kemampuannya melakukan analisis terhadap berbagai permasalahan manajemen kepegawaian. Kemampuan melakukan analisis ini hakikatnya merupakan wujud nyata dari tuntutan kemampuan Analis Kepegawaian Ahli di bidang pengembangan sistem manajemen kepegawaian. Kemampuan analisis pengembangan sistem inilah yang membedakan dengan seorang Analis Kepegawaian Keterampilan, yang tugas pokoknya lebih banyak fokus pada penyelenggaraan administrasi kepegawaian. Kemampuan melakukan analisis di bidang perencanaan dan pengembangan pendidikan dan pelatihan (diklat), tentu merupakan salah bagian kompetensi yang melekat pada Jaatan Analis Kepegawaian Keahlian. Hal ini berarti bahwa seorang Analis Kepegawaian Ahli harus mampu menyusun perencanaan dan desain pengembangan diklat. Dalam rangkaian manajemen diklat, perencanaan dan pengembangan diklat merupakan
komponen
yang
sangat
penting
dalam
menentukan
keberhasilan
penyelenggaraan sebuah diklat. Diklat yang direncanakan dengan baik akan memberikan dampak positif bagi keberhasilan diklat. Perencanaan dalam hal ini tentu meliputi persiapan yang matang, baik dari aspek substansi diklat seperti kurikulum, modul, pengajar dan sebagainya maupun dari aspek administrasi diklat. Persiapan dan perencanaan diklat yang telah dirancang sedemikian rupa tentu merupakan acuan dasar yang harus dilakukan dalam proses penyelenggaraan diklat. Begitu pula dengan pengembangan diklat. Pengembangan substansi diklat seperti kurikulum, modul, pengajar/fasilitator dan metode yang disesuaikan dengan perkembangan tuntutan kebutuhan organisasi dan adaptasi terhadap perkembangan mutakhir di bidang pelatihan SDM, akan memberikan dampak signifikan terhadap keberhasilan penyelenggaraan diklat. Rangkaian dua hal ini, yaitu perencanaan dan pengembangan diklat, dipandang sebagai
substansi pokok dari kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pejabat
Analis Kepegawaian Keahlian. Keuntungannya, di samping memberikan bekal 1
kemampuan bagaimana merencanakan dan mengembangan sebuah diklat, juga akan sangat bermanfaat dalam pengembangan karier sebagai seorang Analis Kepegawaian Keahlian, karena dapat membuat kajian atau telaahan di bidang pengembangan sistem. Sebagai seorang Analis Kepegawaian Tingkat Ahli, kemampuan di bidang melakukan analisis, telaahan dan kajian terhadap permasalahan kepegawaian khususnya di bidang kediklatan, merupakan kompetensi pokok yang harus melekat dalam menjalankan tugas pokok jabatannya. Bukan sekedar menyelenggarakan aspek administrasi kepegawaian, seperti menyusun nota usulan kenaikan pangkat, mempersiapkan memo dinas misalnya yang bersifat sangat administratif, melainkan kemampuan berpikir analisis (analitis thinking) dan berpikir konseptual (conseptual thinking) yang ditopang oleh seperangkat metode dan instrumen yang secara akademiki dapat dipertanggungjawabkan.
B. Deskripsi Singkat Modul ini dibuat dalam periode transisi diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, namun kebijakan dan peraturan tentang kediklatan masih mengacu pada UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sampai peraturan pelaksanaannya selesai disusun dan diberlakukan. Secara garis besar, modul ini ditulis dalam kerangka tiga rangkaian aktivitas program pokok manajemen pelatihan, yaitu analisis/penilaian kebutuhan diklat (training need analysis/assessment), perancangan program diklat (training design) dan evaluasi program diklat (training evaluation).
C. Tujuan Pembelajaran Kompetensi umum yang diharapkan setelah membaca dan mengikuti pembelajaran melalui diklat/pelatihan ini, peserta diklat memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan mempersiapkan, melaksanakan dan mengevaluasi program diklat.
D. Materi Pokok dan Submateri Pokok Modul ini didesain dengan mengacu pada tahapan program diklat PNS yang saat ini berlaku, juga dalam beberapa hal diadaptasi dengan konsep UU ASN yang mulai berlaku tahun 2014, serta mengadopsi beberapa perkembangan mutakhir dalam konsep pelatihan pegawai. Diharapkan dengan modul ini dapat membantu peserta diklat dalam memahami 2
dan merancang disain perencanaan dan pengembangan diklat berikut beberapa area yang biasa dicakup dalam tahap evaluasi diklat. Materi pokok modul mencakup hal-hal berikut: 1.
Memahami Hakikat Diklat, mencakup hakikat diklat, tujuan diklat, dan jenis diklat PNS.
2.
Analisis Kebutuhan Diklat, mencakup tujuan Analisis Kebutuhan Diklat, tahapan analisis kebutuhan diklat, dan hasil analisis kebutuhan diklat.
3.
Merancang Program Diklat, mencakup proses perancangan program diklat dan diklat berbasis kompetensi.
4.
Evaluasi Program Diklat, mencakup pentingnya evaluasi diklat, level evaluasi diklat dan langkah evaluasi diklat.
3
BAB II MEMAHAMI HAKIKAT DIKLAT Bab ini membahas tentang hakikat pelatihan/diklat. Learning outcomes yang diharapkan setelah membaca bab ini adalah peserta mampu (1) menjelaskan hakikat pelatihan/diklat, (2) menjelaskan tujuan diklat, dan (3 menguraikan jenis diklat yang berlaku bagi PNS.
A. Hakikat Diklat Terminologi yang saat ini digunakan dalam konteks manajemen PNS maupun dalam UU ASN adalah pendidikan dan pelatihan (diklat). Terminologi ini mengandung dua kata, yakni pendidikan (education) dan pelatihan (training). Dalam beberapa literatur, istilah diklat lebih dikenal dengan istilah training and development. Walau secara konseptual beberapa ahli membedakan pengertian pendidikan, pelatihan dan pengembangan, modul ini tidak bermaksud mempertentangkan istilah tersebut. Dalam tataran praktis, istilah diklat dapat dimaknai sebagai pelatihan, dan dalam modul ini digunakan secara bergantian yang menunjukkan arti yang sama. Sebagai klarifikasi pemahaman, pada bagian di bawah ini dijelaskan beberapa konsep yang berkaitan dengan istilah dimaksud. Pelatihan bisa diartikan sebagai proses terencana untuk memudahkan belajar sehingga orang menjadi lebih efektif dalam melakukan berbagai aspek pekerjaannya (Suryana, 2006: 2). Dalam organisasi, investasi dalam pelatihan ditujukan untuk menghasilkan peningkatan efektivitas di tempat kerja. Pelatihan bisa juga diartikan sebagai setiap aktivitas formal dan informal yang memberikan kontribusi pada perbaikan dan peningkatan tingkat pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap pegawai (attitude). Dengan demikian, perubahan yang diinginkan dari pelatihan atau diklat tidak hanya pengetahuan dan keterampilan pegawai, tetapi juga menyangkut aspek sikap dan perilaku (Bernardine, 2003). Sebab dalam praktik, pengetahuan dan keterampilan tidak akan berguna dalam meningkatkan pegawai apabila sikap dan perilaku yang mendukung penerapan pengetahuan dan keterampilan baru yang diperolehnya tidak berubah.
4
Pelatihan adalah proses pembelajaran yang membuat seorang pegawai dapat memperoleh keterampilan dan pengetahuan untuk membantu pencapaian tujuan (Mathis dan Jackson, 1994: 265). Pelatihan adalah aktivitas mendidik dan melatih pegawai untuk meningkatkan kompetensi pegawai sesuai dengan kebutuhan organisasi (Purwanto, 2007). Pelatihan sebenarnya melibatkan lebih dari sekedar pembelajaran. Pelatihan mencakup pembelajaran untuk melakukan sesuatu dan jika berhasil, maka hasilnya terlihat dalam melakukan sesuatu secara berbeda (Suryana, 2006: 2). Mengingat proses pembelajaran sangat mendukung tujuan organisasi, pelatihan dapat dipandang secara lebih luas atau terbatas. Pada konteks yang lebih terbatas, training provides employees with spesific, serta dapat mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan untuk digunakan pada pekerjaan saat ini. Pelatihan dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan kinerja saat ini dan kinerja di masa mendatang (Rivai & Sagala, 2009:212). Kadang terdapat perbedaan antara pelatihan dan pengembangan. Pengembangan dianggap lebih luas dalam lingkup
dan fokusnya pada pencapaian pengetahuan baru.
Development dianggap memiliki fokus dalam keterampilan yang lebih berguna bagi individu, baik untuk pelaksanaan pekerjaan saat ini maupun yang akan datang. Sementara pendidikan menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2002:204) adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan biasanya jangka waktunya relatif lebih lama. Mudah-mudahan Anda tidak bingung dengan beragam pengertian tersebut. Cara mudah untuk mengartikan pelatihan adalah dengan mengetahui apa yang bukan termasuk pelatihan. Jadi pelatihan bukanlah ((Suryana, 2006: 2):
Sebuah upaya remedial bagi semua masalah kinerja. Pelatihan terbaik di dunia sekalipun mungkin tidak akan mampu mengubah pegawai yang tidak mampu atau tidak mau menjalankan suatu tugas.
Sebuah alat bagi seorang pegawai untuk menyempurnakan kinerja tugas. Dalam sesi pelatihan yang efektif, pegawai harus belajar mengoreksi cara menjalankan suatu tugas, mendapatkan jawaban atas pertanyaan mereka, dan peluang untuk bereksprimen dengan pengetahuan dan keterampilan. Mereka bisa mengasah dan menyempurnakan teknik kerja ketika trainer mendukung mereka.
5
Sebuah pengganti atas buruknya supervisi. Pelatihan bukanlah perlengkapan dalam wilayah supervisi atau pengawasan.
Sesuatu yang mudah. Pelatihan yang baik memerlukan perencanaan dan pemikiran yang matang. Ini tidak bisa dilakukan seperti memecahkan kinerja dalam waktu yang cepat. Anda boleh mengacu pada pendapat siapapun. Sebagai penjelas akhir dalam awal modul
ini, pendapat dari Reid dan Barrintong layak untuk diketengahkan bahwa pelatihan adalah sebuah proses terencana untuk memodifikasi sikap, pengetahuan dan keterampailan tertentu melalui pengalaman belajar untuk mencapai kinerja yang efektif dalam sebuah aktivitas atau beberapa aktivitas kerja (Aryani, 2012).
A. Tujuan Diklat Ada sejumlah faktor pendorong dibalik pelatihan pegawai, yaitu: Perubahan adalah faktor konstan di dunia kerja saat ini. Teknologi bergerak begitu cepat bagai tak terbendung. Globalisasi, meningkatnya akses pasar, dan pertumbuhan kompetisi internasional Supervisor dan manajer membutuhkan pengetahuan yang lebih dalam untuk mengelola tenaga kerja yang lebih terdidik dan beragam. Nilai-nilai keyakinan dunia saat ini terus berubah. Supervisor bertanggungjawab membantu dalam mengenalkann kepada pegawai
baru
kultur dan praktik organisasi. Kegiatan diklat pada dasarnya dilaksanakan untuk menghasilkan perubahan tingkah laku dari orang-orang yang mengikuti pelatihan. Perubahan tingkah laku yang dimaksudkan adalah dapat berupa bertambahnya pengetahuan, keterampilan, perubahan sikap dan perilaku. Oleh karena itu, sasaran atau tujuan diklat dapat diketegorikann ke dalam beberapa tipe tingkah laku yang diinginkan, yaitu: 1. Kategori psikomotorik, meliputi pengontrolan otot-otot sehingga orang dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu secara tepat. Sasarannya adalah agar orang tersebut memiliki keterampilan fisik tertentu. 2. Kategori afektif, meliputi perasaaan, nilai, dan sikap. Sasaran pelatihan adalah untukm membuat orang mempunyai sikap tertentu. 6
3. Kategori kognitif, meliputi proses intelektual seperti mengingat, memahami, dan menganalisis. Sasaran pelatihan adalah untuk membuat orang mempunyai pengetahuan dan keterampilan tertentu. Pada dasarnya pelatihan mencakup beberapa aspek dari ketiga kategori tersebut. Sebagai contoh untuk mencapai tingkat psikomotorik tertentu diperlukan belajar pada kategori afektif dan kognitif. Demikian pula halnya pada aspek kognitif menjadi perhatian utama, belajar pada kategori psikomotorik dan afektif turut berperan.
B. Diklat PNS Sesuai dengan PP Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, Diklat Jabatan PNS adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan PNS. PP tersebut sebenarnya telah mengatur tata kelola pelaksanaan diklat aparatur. Secara jelas disebutkan bahwa Instansi Pembina Diklat adalah Lembaga Administrasi Negara (LAN), sementara Instansi Pengendali diklat adalah Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sebagai instansi pengendali diklat, tugas BKN bertanggungjawab atas pengembangan dan pengawasan standar kompetensi jabatan, serta pengendalian pemanfaatan lulusan diklat. Sementara LAN memiliki tugas: (1) penyusunan pedoman diklat, (2) bimbingan dalam pengembangan kurikulum diklat, (3) bimbingan dalam penyelenggaraan diklat, (4) standardisasi dan akreditasi diklat, (5) pengembangan sistem informasi diklat, (6) pengawasan terhadap program dan penyelenggara diklat, dan (7) pemberian bantuan teknis melalui konsultasi, bimbingan di tempat kerja, kerjasama dalam pengembangan, penyelenggaraan dan evaluasi diklat. Jenis diklat PNS teridiri atas: (1) diklat Prajabatan yang diperuntukkan bagi CPNS, (2) diklat dalam jabatan. Diklat dalam jabatan mencakup (1) diklat kepemimpinan, (2) diklat fungsional, dan (3) diklat teknis. 1. Diklat Prajabatan Diberikan kepada pegawai baru (CPNS) dengan tujuan memberikan untuk meningkatkan keterampilan dalam pelaksanaan tugas pekerjaan di kemudian hari. Materi yang diberikan bersifat umum, terutama berkaitan dengan hal-hal dengan pekerjaan, peraturan, dan kebijakan yang berlaku dalam organisasi. Diklat Prajabatan meliputi diklat prajabatan Golongan I, diklat prajabatan Golongan II, dan diklat 7
prajabatan Golongan III (bandingkan dengan diklat prajabatan sesuai aturan kepala LAN yang baru). 2. Diklat Kepemimpinan Dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi kepemimpinan aparatur pemerintah sesuai dengan jenjangnya, yaitu diklatpim IV, diklatpim III, diklatpim II dan diklatpim I. 3. Diklat Fungsional Diperuntukkan bagi pejabat atau calon pejabat fungsional, dengan tujuan untuk mencapai persyaratan kompetensi yang sesuai dengan jenis dan jenjang fungsional masing-masing. Jenis dan jenjang diklat fungsional untuk masing-masing jabatan fungsional ditetapkan oleh instansi pembina jabatan fungsional. 4. Diklat Teknis Dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas PNS pada masing-masing pekerjaan/jabatan. Diklat teknis dapat dilakukan secara berjenjang yang ditetapkan oleh instansi yang bersangkutan. Diklat teknis pada hakikatnya merupakan diklat pengembangan untuk masing-masing jenis dan jenjang jabatan tertentu. Meskipun menurut PP Nomor 101 Tahun 2000, jenis diklat dan siapa yang bertanggungjawab
dalam
penyelenggaraan
diklat
telah
diatur,
namun
dalam
implementasinya tidaklah selalu mudah. Jika dipetakan, persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan diklat aparatur paling tidak terkait dengan beberapa hal, yaitu: (1) persoalan kewenangan penyelenggaraan diklat, (2) persoalan kualitas penyelenggaraan diklat, (3) persoalan pemanfaatan alumni diklat, (4) persoalan anggaran diklat (Purwanto, 2007). Ini menandakan bahwa diklat sebagai instrumen untuk meningkatkan kompetensi SDM belum terlalu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Indikator lain tentang hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain adalah belum adanya analisis kebutuhan diklat yang terintegrasi antara bagian organisasi kepegawaian dan bagian diklat yang bertanggungjawab menyelenggarakan diklat, serta masih lemahnya metode, materi dan tenaga WI yang bertanggungjawab menyampaikan materi. Sudah saatnya pemerintah mengambil suatu terobosan untuk memperbaiki diklat (Purwanto, 2007), salah satunya melalui strategi peningkatan manajemen diklat, khususnya pada aspek perencanaan dan pengembangan diklat. 8
Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Pengertian ini menunjukkan bahwa pegawai ASN terdiri atas pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Secara eksplisit dalam pasal 70 UU tersebut dinyatakan bahwa setiap pegawai ASN memiliki hak dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi. Pengembangan kompetensi antara dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Dengan demikian, seorang analis kepegawaian sebagai bagian dari jabatan fungsional sebagaimana diatur dalam UU tersebut harus memiliki seperangkat kemampuan (kompetensi) untuk menjalankan tugas pokok jabatannya. Salah satunya adalah kemampuan untuk melakukan analisis perencanaan dan pengembangan diklat. Hal ini sangat sesuai dengan tugas pokok seorang analis kepegawaian ahli khususnya yang harus memiliki kemampuan di bidang pengembangan sistem manajemen kepegawaian.
9
BAB III ANALISIS KEBUTUHAN DIKLAT Bab ini membahas tentang bagaimana melakukan analisis kebutuhan diklat. Oleh karena itu, learning outcomes yang diharapkan setelah membaca bab ini adalah peserta mampu: (1) menjelaskan tujuan analisis kebutuhan diklat, (2) mengidentifikasi proses analisis kebutuhan diklat, dan (3) menggambarkan hasil analisis kebutuhan diklat.
A. Tujuan Analisis Kebutuhan Diklat Tidak
semua
pelatihan
pekerjaan
membutuhkan
pelatihan
atau
diklat.
Pekerjaan/tugas yang sederhana dan mudah dilakukan tidak membutuhkan pelatihan formal. Selama hasil pekerjaan memuaskan dan pegawai berperilaku kerja sesuai yang diharapkan, maka tidak dibutuhkan lagi pelatihan. Pada banyak pekerjaan sederhana, pembekalan pengetahuan kerja hanya berbentuk pengarahan tentang bagaimana melakukan pekerjaan serta pengawasan langsung dari atasan misalnya. Namun demikian, pengamatan atas kinerja individu tidak menjamin tidak diperlukannya pelatihan. Pelatihan dilaksanakan ketika terdapat kebutuhan pembekalan kompetensi yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi sebenarya. Kondisi tersebut bukan hanya pada kendala kinerja pada tingkat individu, tapi juga pada tingkat unit kerja/jabatan bahkan tingkat organisasi keseluruhan. Pada
dasarnya
kebutuhan
diklat/pelatihan
adalah
memenuhi
kekurangan
pengetahuan, meningkatkan keterampilan atau sikap dengan masing-masing kadar yang bervariasi. Kebutuhan dapat digolongkan menjadi: 1.
Kebutuhan memenuhi tuntutan sekarang. Kebutuhan ini biasanya dapat dikenali dari kinerja pegawai yang tidak sesuai dengan standar hasil kerja yang dituntut oleh jabatan itu. Meskipun tidak selalu penyimpangan, ini dapat dipecahkan melalui pelatihan.
2.
Memenuhi kebutuhan tuntutan jabatan lainnya. Pada tingkat hierarki manapun pada organisasi, sering dilakukan rotasi jabatan. Alasannya bermacam-macam, ada yang menyebutkan untuk mengatasi kejenuhan, ada juga yang menyebutkan untuk membentuk orang generalis. Seorang kepala biro keuangan, sebelum dipromosikan 10
menjadi sekretaris utama atau sekretaris daerah misalnya, tentunya perlu melewati jabatan lainnya. 3.
Untuk memenuhi tuntutan perubahan. Perubahan , baik intern (perubahan sistem, struktur organisasi) maupun ekstern (perubahan teknologi, perubahan tugas pokok organisasi lain) sering memerlukan adnya tambahan baru. Meskipun pada saat ini tidak ada persoalan antara kemampuan orangnya dengan tuntutan jabatannya, tetapi dalam rangka menghadapi perubahan tersebut dapat diantisipasi dengan perubahan adanya pelatihyan yang bersifat potensial. Analisis kebutuhan pelatihan (Training Need Analysis) atau juga sering disebut
Training Need Assessment (TNA) merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dala manajemen pelatihan. TNA merupakan proses menentukan kebutuhan pelatihan yang dilakukan secara sistematis dan objektif. TNA sebagai bagian dari proses terencana merupakan langkah awal yang penting untuk mengidentifikasi kesenjangan atau gap antara kinerja saat ini dengan kinerja yang diharapkan sebagai dasar penentuan kebutuhan agar dapat menyelenggarakan kebutuhan pelatihan sesuai dengan tujuan dan strategi organisasi. Fokusnya adalah pada perbedaan antara (1) apa yang diharapkan terjadi oleh organisasi dan apa yang benar-benar terjadi, (2) kinerja yang diharapkan dengan kinerja yang terjadi, dan (3) kompetensi yang diharapkan dengan kompetensi yang kini terjadi. Hasil TNA memungkinkan manajer/pengelola diklat menyusun sasaran pelatihan dengan menjawab dua pertanyaan dasar, yaitu: siapa saja yang membutuhkan pelatihan dan pelatihan apa saja yang dibutuhkan. Sejatinya, TNA dilakukan pada tiga level, yaitu: analisis organisasional, analisis tugas/jabatan, dan analisis individu (Benardin dan Russel, 1993). Ketiga analisis ini memiliki peran yang sangat penting untuk mengiventarisasi dan mengidentifikasi kebutuhan pelatihan sesungguhnya. Sebab di dalam pelatihan diharapkan mampu menjawab ketiga level kebutuhan tersebut (Sulistiyani dan Rosidah, 2009: 223). 1. Analisis organisasional mencoba menjawab permasalahan mengenai penekanan pelatihan yang seharusnya dilakukan dan faktor-faktor yang memengaruhi. Analisis organisasi dilakukan untuk mengetahui di bagian mana dalam organisasi memerlukan pelatihan. Dengan kata lain, analisis organisasional berusaha melakukan analisis
11
efektivitas organisasi dan menetapkan di mana pelatihan dibutuhkan dan dalam kondisi apa pelatihan dilaksanakan. 2. Analisis jabatan/pekerjaan/tugas mencoba memecahkan permasalahan mengenai apa yang seharusnya dipelajari dalam pelatihan sehingga para peserta pelatihan dapat menjalankan tugasnya dengan memuaskan. Dengan kata lain, analisis tugas memberikan data tentang sebuah/sekelompok jabatan dan pengetahuan, keahlian, perilaku, dan kemampuan yang diperlukan untuk meraih kinerja optimal. Sumber data melakukan analisis ini antara lain: uraian jabatan (job description), analisis KSA (knowledge, skill, attitude/abilities) secara detil yang dibutuhkan pemangku jabatan, dan standar kinerja (performance standard), yaitu sasaran tugas jabatan dan standar penilaian. 3. Analisis
individu
berusaha menjawab permasalahan mengenai
siapa
yang
membutuhkan pelatihan dan jenis pelatihan yang dibutuhkan. Dengan kata lain, analisis individual menganalisis seberapa bak seorang pegawai melaksanakan pekerjaannya dan menentukan pegawai mana yang membutuhkan pelatihan dan jenis pelatihannya. Sumber data untuk melakukan analisis individual antara lain: hasil evaluasi kinerja, permasalaha terkait kinerja, observasi perilaku & hasil dari perilaku, wawancara dengan manajer, kuesioner dan survey perilaku.
A. Tahap Analisis Kebutuhan Diklat Analisis kebutuhan diklat mengidentifikasi kendala, permasalahan, kebutuhan implementasi program, pengembangan bisnis serta kebutuhan peningkatan kinerja yang membutuhkan pembekalan kompetensi melalui diklat/pelatihan. Peningkatan kompetensi dapat mengatasi kendala, permasalahan dan meningkatkan kinerja pegawai yang berdampak pada meningkatnya hasil unit kerja dan tercapainya sasaran organisasi. Tahap melakukan analisis kebutuhan diklat meliputi mencari sumber potensial kebutuhan pelatihan, mengumpulkan data, menentukan kebutuhan kompetensi dan mengusulkan diklat (Aprinto & Arisandy, 2013: 309-317). 1. Sumber Potensial Kebutuhan Diklat Analisis kebutuhan diklat dilakukan dengan mengumpulkan dan melakukan analisis terhadap data dan informasi sehingga diperoleh kebutuhan pengetahuan, keterampilan
12
dan sikap kerja pegawai pada jabatan tertentu. Data dan informasi analisisi kebutuhan diklat bisa didapatkan dari berbagai sumber.
a. Visi, Misi, Nilai-nilai dan Strategi Organisasi Kebutuhan pelatihan dapat diidentifikasi dari seberapa jauh visi, misi, nilai-nilai dan strategi organisasi telah terinternalisasi ke dalam kompetensi pegawai. Apakah perilaku kerja pegawai sudah mencerminkan misi dam nilai-nilai organisasi serta mendukung pencapaian strategi organisasi. Kompetensi inti (core competency) adalah sekumpulan kompetensi yang memungkinkan sebuah organisasi mempunyai keunggulan bersaing untuk menghasilkan nilai yang jauh lebih tinggi bagi pelanggan. Kompetensi inti memberikan identitas dan ciri pada perilaku pegawai sebuah organisasi. Pegawai sebuah organisasi perlu memiliki perilaku kerja sesuai kompetensi inti organisasi. Misalnya memiliki sikap melayani dan berintegritas merupakan ciri pegawai BKN yang dibangun melalui diklat service excelllent dan diklat nilai-nilai integritas.
b. Laporan Permasalahan Unit Kerja Kumpulan permasalahan dalam unit kerja, misalnya menurunnya tingkat produktivitas dan adanya kendala dalam bisnis proses. Permasalahan yang timbul akibat kurangnya KSA pegawai dapat diatasi melalui pelatihan. Permasalahan terlait dengan sarana dan system umumnya tidak dapat diatasi dengan pelatihan, hanya saja terkadang kendala sarana dan system juga dapat ditimbulkan karena kurangnya kompetens atau dapat diatasi dengan dikuasainya kompetensi tertentu. Misalnya, menurunnya tingkat produktivitas pegawai diakibatkan oleh penggantian suatu mesin produksi, Pegawai di bagian produksi ternyata kurang memahami pemanfaatan optimal kemampuan mesin produksi. Maka kebutuhan pelatihannya adalah pelatihan menggunakan mesin produksi.
c. Implementasi Sistem Implementasi suatu sistem dalam organisasi membutuhkan dukungan pelatihan. Bagian terkait dalam organisasi perlu memaham system, proses bisnis, aplikasi IT hingga program kerja agar dapat melaksanakan dan memanfaatkannya sesuai dengan
13
peran masing-masing dalam system tersebut. Dalam hal ini, organisasi membutuhkan pelathan guna sosialisasi dan menggunakannya. Misalnya, dalam rangka melakukan implementasi sistem diklat PNS yang baru, maka BKKN
melaksanakan
diklat
sistem
penyelenggraan
diklatpim
(Training
of
Facilitator/(TOF) kepada seluruh fasilitator BKN.
d. Job Description Kebutuhan pelatihan dapat diidentifikasi dari tugas-tugas jabatan pada job description dan persyaratan jabatan yang mencantumkan persyaratan pelatihan. Misalnya salah satu pelatihan pada persyaratan jabatan Kepala Bidang Penyelenggaraan Diklat disebutkan perlu mengikuti diklatpim III. Apabila belum disebutkan dalam persyaratan jabatan, maka bisa dipelajari tugas-tugas yang dikerjakan dalam
job description.
Untuk dapat mengerjakan tugas secara optimal diidentifikasi kompetensi yang perlu dimiliki. Kemudian setelah diketahui kompetensi yang dibutuhkan dapat diidentifikasi pelatihan yang diperlukan agar pegawai memiliki kompetensi tersebut. Misalnya, jabatan Kabid Penyelenggaraan Diklat BKN salah satu tugasnya adalah melakukan presentasi program kerja bidang diklat. Kompetensi yang diperlukan yaitu keterampilan penyusunan program dan presentasi. Pelatihan yang diperlukan antara lain adalah teknik penyusunan program kerja dan teknik presentasi efektif.
e. Penilaian Kinerja Penilaian kinerja dapat menunjukkan kesenjangan kompetens dari yang diharapkan dengan yang dimiliki pegawai. Dalam penilaian kinerja dapat dianalisis penyebab tidak tercapainya kinerja, atau karena kurangnya kompetensi pegawai. Misalnya, pada penilaian kinergja Kabid Penyelengaraan Diklat BKN, terdapat target penyelenggaraan diklat yang tidak tercapai. Setelah dilakukan pengumpulan data dan informasi diperoleh penyebabnya karena tidak pahamnya pegawai tersebut terhadap sistem penyelenggaraan diklat dan proses penyelenggaraan diklat. Dalam hal ini, pegawai tersebut membutuhkan pelatihan tentang sistem penyelenggaraan diklat yang baru dan proses penyelenggaraan diklat.
14
f. Catatan Pegawai Dengan melihat catatan pegawai yang meliputi rekaman karier, pendidikan, pelatihan dan catatan lainnya, dapat diidentifikasi kompetensi yang dimilliki pegawai beserta kekurangannya. Kekurangan kompetensi yang belum dimiliki dari catatan tersebut dapat dipenuhi dengan pelatihan. Misalnya, Kepala Biro SDM baru dipromosikan, yang sebelumnya adalah bagian bagian keuangan. Karena belum memiliki pengalaman menangani bidang SDM, maka perlu dibekali dengan pelatihan manajemen SDM.
g. Hasil Asesmen Kompetensi Suatu jabatan dipersyaratkan menguasai tingkat kemairan kompetensi tertentu sesuai dengan kebutuhan jabatan. Untuk mengukur tingkat kompetensi yang dimiliki pegawai dilakukan asesmen kompetensi. Asesmen kompetensi dapat dilakukan pada periode penilaian kinerja atau dalam rangka pemetaan personil arau dalam rangka seleksi pegawai yang akan dipromosikan. Apabila hasil asesmen kompetensi menunjukkan tingkat kemahiran kompetensi lebih rendah dibandingkan dengan kompetensi yang dharapkan, ini berarti terjadi kesenjangan. Kesenjangan kompetensi dipenui melalui berbagai aktivitas pembelajaran dan pelatihan. Misalnya, dalam assessment center dilakukan penilaian kompetensi pegawai dengan hasil terjadinya kesenjangan pada kompetensi pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Maka pegawai yang bersangutan perlu dibekali pelatihan analisis pemecatan masalah dan metode pengambilan keputusan pada bidang tugasnya pada tingkata kompetensi yang sesuai.
2. Pengumpulan Data Untuk mendapatkan informasi kebutuhan pelatihan, perlu dilakukan pengumpulan data dari sumber potensial. Metode pengumpulan data yang dapat dilakukan antara lain: rapat dengan unit kerja terkait, surve dengan kuesioner, wawancara, pengamatan langsung di lapangan, meminta usulan pelatihan dari berbagai unit kerja, melakukan FGD, mengumpulkan dokumen laporan organisasi, mengumpulkan data penilaian kinerja dan mengumpulkan hasil asesmen kompetensi.
15
3. Menentukan Kebutuhan Kompetensi Setelah mengumpulkan data dan informasi terkait sumber-sumber potensial kebutuhan pelatihan, maka data diidentifikasi penyebab berbagai kendala dan permasalahan kinerja yang terjadi di dalam organisasi. Permasalahan dan kendala kinerja dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab, antara lain tidak tersedianya sarana yang dibutuhkan, rusaknya fasilitas pendukung, krisis ekonomi, kuragnya modal atau oleh permasalaha kinerja pegawai. Pelatihan hanya dapat mengatasi kinerja pegawai yang terjadi akibat kesenjangan kompetensi (KSA) yang perlu dimiliki pegawai. Jika ini penyebabknya, maka orang yang bersangkutan dan jabatan yang terkait ditentukan kompetensi yang dibutuhkan. Misalnya, tidak tercapainya target pelayanan kepegawaian oleh BKN di bidang kenaikan pangkat dan pensiun akibat pegawai yang menangani bidang tersebut tidak mengetahui bagaimana mengaplikasikan sistem pelayanan kepegawaian berbasis IT/internet. Maka pegawai tersebut membutuhkan kompetensi pengetahuan dan keterampilan sistem informasi kepegawaian berbasis IT.
4. Mengusulkan Solusi Diklat Pada langkah sebelumnya kompetensi yang dibutuhkan pegawai untuk mengatasi permasalahan dan kendala kinerja telah berhasil ditentukan. Untuk memenuhi kebutuhan kompetensi tersebut pegawai membutuhkan pelatihan. Setiap pelatihan yang mungkin dapat secara efektif memenuhi kompetensi tersebut perlu diidentifikasi dan dipelajari. Alternatif usulan pelatihan dapat disusun prioritasnya. Penyuusuna prioritas bukan hanya didasarkan aspek efektivitasnya, melainkan juga efisiensnya. Pelatihan yang efisien mampu membekali peserta dengan kompetensi yang dibutuhan dengan waktu dan biaya minimal. Pelatihan yang diprioritaskan adalah pelatiha tekns yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah kerja yang dihadapi pegawai. Perioritas selanjutnya baru pelatihan yang bersifat umum. Pelatihan yang bersifat umum dapat mencapai sasaran pengembangan kompetensi, namun tidak memberikan solusi langsung terhadap permasalahan dan kendala. Misalnya, permasalahan tidak tercapainya target penjualan produk kreatif hasil pengusaha kecil dan menengah oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, disebankan oleh kurangnya kompetensi di bidang pemasaran (marketing). Untuk meningkatkan kompetensi marketing dibutuhkan pelatihan teknik marketing, pelatihan teknik komunikasi dan pelatiha
16
teknik motivasi. Pelatihan motvasi bersifat umum, artinya seluruh pegawai bisa mengikutinya, Apabila hanya pelatihan motivasi yang dijalankan, maka masalah kurangnya keterampilan di bidang marketing tidak tersentuh.
Program
pelatihan
yang
cukup
efektif
memberikan
pembekalan
secara
komprehensif untuk meningkatkan kompetens orang-orang pada suatu jabatan yang terkait langsung dengan permasalahan yang terjadi. Oleh karena itum kurikulum pelatihan
diarahkan
untuk
memenuhi
berbagai
kompetensi
yang
ingin
dikembangkan pada orang yang menduduki jabatan tersebut. Jika misalnya mengacu pada contoh di atas, maka diuat program pelatihan bidang marketing/penjualan dengan peserta para pegawai yang bertugas/menduduki jabatan bidang penjualan dengan kurikulum terdiri atas misalnya filosofi marketing, dasar-dasar marketing, dan teknik marketing.
Sasaran pelatihan harus sesuai dengan pesertanya, sehingga materi pelathan bermanfaat bagi seluruh peserta, apakah berasal dari suatu bidang, antar bidang, suatu level atau antar level maa]najmen. Program pelatihan harus berguna bagi kebutuhan jabatannya sehingga meningkatkan kontribusi jabatan bagi organisasi, bukan hanya sekedar menambah wawasan. Dalam sistematika yang agak berbeda, dikemukakan pula oleh Sedarmayanti (2011: 175) bahwa menentukan kebutuhan pelatihan dengan analisis di tingkat organisasi, jabatan/tugas dan individu dapat menggunakan pendekatan berikut: 1. Performance Analysis Menganalisis untuk menjawab kinerja jabatan apa yang dibutuhkan. Pertanyaan ini untuk menetapkan langkah dalam menentukan: a. Kinerja yang dibutuhkan b. Titik kritis keluaran yang diharapkan dari jabatan. c. Tugas yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kinerja jabatan. d. Kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas dengan baik. e. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kinerja jabatan, seperti desain jabatan, sumber daya.
17
f. Skala prioritas kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan guna merumuskan kurikulum pelatihan. g. Rekomendasi memperbaiki kekuarangan yang terjadi. 2. Task Analysis Menganalisis untuk menjawab pertanyaan tugas apa yang dibutuhkan. Pertanyaan ini untuk menetapkan langkah dalam menentukan: a. Tugas yang harus dilaksanakan guna mewujudkan kinerja jabatan b. Kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan guna mengerjakan ugas dengan baik. c. Skala prioritas kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan guna merumuskan kurikulum pelatihan. 3. Competency Study Pendekatan ini menganalisis untuk menjawab pertanyaaan kompetensi apa yang dibutuhkan. Pertanyaan ini untuk menentukan: a. Kompetensi apa yang harus dimiliki pegawai sesuai jabatannya b. Kemampuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan agar memiliki kompetensi tersebut. c. Skala prioritas tentang kemampuian dan keterampilan yang dibutuhkan guna merumuskan kurikulum pelatihan. 4. Training Need Survey Menganalisis untuk menjawab pertanyaan kemampuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan. Pertanyaan ini untuk menentukan: a. Kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan guna melaksanakan tugas jabatannya b. Skala prioritas tentang kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan guna merumuskan kurikulum pelatihan.
18
B. Hasil Analisis Kebutuhan Diklat Ketiga level di atas memiliki keterkaitan satu sama lain. Data dari setiap level sangat penting untuk menyusun hasil TNA yang komprehensif dan akurat. Artinya, program pelatihan yang akan dijalankan untuk mengisi gap kompetensi pada level individual benar-benar berguna untuk mewujudkan sasaran, tujuan atau target organisasi. Praktik umum dalam organisasi saat melakukan TNA adalah dengan menetapkan standar kompetensi jabatan, yang berisikan jenis dan level kompetensi apa saja yang harus dimiliki seseorang untuk berhasil menjalankan jabatan serta melakuka asesmen kompetensi terhadap pemilik jabatan tersebut terkait dengan kompetensi yang dipersyaratkan. Kalau terdapat gap, maka gap kompetensi tersebut menjadi dasar penetapan kebutuhan pelatihan dari yang bersangkutan (HC Journal, No. 13 Tahun II, 15 Juli-15 Agustus 2012, halalaman 7-9). Tingkat akurasi TNA berbasis kompetensi sangat ditentukan seberapa tepat kamus kompetensi (competency dictionary) dan profil (standar) kompetensi jabatan (job competency profile) disusun dan ditetapkan. Standar kompetensi jabatan seyogyanya memasukkan berbagai kompetensi yang dipersyaratkan, termasuk kompetensi teknis, kompetensi perilaku, kompeteni manajerial, dan kompetensi sosial budaya. Biasanya profil kompetensi perilaku dan manajerial lebih mudah didefinisikan, walaupun pengukuran level kompetensi jabatan juga bukanlah yang mudah. Sebaliknya, kendatipun seri dianggap mudah, penetapan profil kompetensi teknis kebih rumit karena membutuhkan keterlibatan dari pihak yang berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaaan di berbagai level dalam organisasi. Namun dari sisi asesmen, kompetensi teknis jauh lebih mudah diukur untuk menetapkan level kompetensi seseorang. Salah satu cara yang paling akurat untuk menentukan TNA adalah mengacu pada capaian kinerja (key performance indicator/KPI) seseorang. Bilamana seorang pegawai sudah memiliki KPI, maka ketidaktercapaian target KPI kemungkinan besar disebabkan oleh kompetensi yang kurang. Sebuah target KPI yang terlalu sering tidak tercapai boleh jadi mengindiksikan terdapatnya gap kompetensi yang membutuhkan pelatihan. Tidak selalu kompetensi yang dibutuhkan bersifat teknis, bisa jua kompetensi perilaku (soft competencies). Melalui diskusi atasan-bawahan yang postifm kebutuhan training akan lebih akurat bila menggunakan data capaian KPI. Hasil TNA dari seluruh pegawai dan unit kerj kemudian dikonsolidasikan dan dipertajam sesuai kebutuan, prioritas, strategi dan sasaran organisasi serta sumber daya yang tersedia. Hasilnya adalah berbegai 19
kebutuhan pelatihan yang mampu menjawab 4 W (who, what, when, why) dan 1 H (how) sebuah pelatihan. Dengan demikian, bagi pihak yang berurusan dengan manajemen pelatihan dan pengembanan, keahlian TNA mutlak dikuasai dengan baik.
20
BAB IV MERANCANG PROGRAM DIKLAT Bab ini membahas tentang dua hal pokok, yaitu proses merancang program diklat dan penjelasan umum pelatihan berbasis kompetensi. Oleh karena itu, kompetensi khusus yang merupakan learning outcomes yang diharapkan setelah membaca bab ini adalah peserta mampu (1) menjelaskan proses merancang program diklat, dan (2) menggambarkan diklat berbasis kompetensi.
A. Proses Perancangan Program Diklat TNA telah mendefinisikan kesenjangan kompetensi pegawai beserta usulan topik/jenis pelatihan. Topik pelatihan diarahkan untuk mencapai sasaran pengembangan kompetensi dan memberikan solusi terhadap permasalahan serta kendala kinerja pegawai dan organisasi. Topik pelatihan kemudian dikembangkan menjadi suatu program pelatihan melalui aktivitas perancangan pelatihan (training design). Perancangan pelatihan dilakukan untuk membuat program yang terstruktur guna memenuhi sasaran kesenjangan kompetensi pegawai. Sasaran pemenuhan kesenjangan kompetensi tersebut menentukan kriteria peserta pelatihan. Program pelatihan terdiri atas aktivitas-aktivitas pembelajaran peserta yang saling terkait. Topik pelatihan yang dijabarkan pada kurikulum dibagi atas pokok-pokok bahasan yang membangun pemahaman atau penguasaan kompetensi pada suatu topik. Pokok bahasan menentukan isi materi, metode pelatihan, tata letak kelas dan sarana pelatihan. Hubungan antara aktivitas-aktivitas pada perancangan pelatihan dapat dipahami melalui model pada gambar di bawah ini (Aprinto dan Jakob, 2013: 321-333).
21
PELATIHAN Berdasarkan Topik Pelatihan
Berdasarkan Kebutuhan Jabatan
Pelatihan Eksternal
Pelatihan Internal Tujuan Pelatihan Sasaran Pelatihan
Kriteria Peserta
Kurikulum
Pengajar
Seleksi Peserta
Sesi & Topik
Persyaratan Pengajar Tugas Pengajar
Sasaran Pembelajaran
Pembuatan Modul Materi
Pokok Bahasan Konsumsi & Coffee Break
Alokasi Waktu
Ruang & Layout Kelas
Metode Pengajaran Alat Bantu Pelatihan
Modul Materi
Model Inti Perancangan Pelatihan Sumber : Aprinto dan Jakob, 2013: 321)
Penjelasan dari model di atas sebagai berikut: 1. Pelatihan Berdasarkan Topik atau Jabatan Pelatihan dapat mengambil satu topik untuk membangun kompetensi tertentu atau satu rangkaian kompetensi yang diperlukan untuk menjalankan suatu pekerjaan. Pelatihan untuk membangun satu topik misalnya adalah pelatihan analisis jabatan untuk pengelola unit SDM. Sedangkan pelatihan pengelola unit SDM adalah pelatihan yang mencakup serangkian topik untuk membangun serangkaian kompetensi yang diubutuhkan oleh seseorang dalam menjalankan pekerjaaannya sebagai pengelola unit SDM. Materi yang diberikan dapat mencakup analisis jabatan, perencanaan SDM, rekrutmen dan seleksi, pengembangan karier dan kompetensi, dan sebagainya. Program pelatihan yang terdiri atas satu topik memungkinkan penyerapan dan implementasi materi lebih fokus. Peserta dapat 22
juga dicampurkan dari berbagai jabatan dengan waktu pelatihan yang singkat. Sebaliknya, membekali berbagai topik sekaligus yang dibutuhkan suatu jabatan, membuat peserta memahami keseluruhan lingkup tanggungjawabnya namun dapat menganggu operasional karena selama beberapa hari peserta tidak menangani pekerjaannya. Pelatihan yang diselenggarakan dengan mengirimkan ke pihak eksternal biasanya suatu topik tertentu saja, kecuali pelatihan sertifikasi profesi yang memberikan materi bidang profesi secara lengkap. Sedangkan bila pelaksanaan pelatihan oleh internal, pembekalan materinya dapat dilaksanakan. Namun apapun mekanismenya yang dibuat perlu menjawab hasil TNA.
2. Penyelenggara Pelatihan Setelah menentukan tujuan, sasaran dan peserta pelatihan, maka organisasi dapat memili apakah menggunakan lembaga pelatihan eksternal atau menyelenggarakan pelatihan internal. Faktor utama pemilihan alternatif penyelenggara pelatihan adalah tersedianya pengetahuan yang dibutuhkan dari dalam organisasi serta jumlah pegawai. Bila suatu organisasi berukuran besar dalam hal aset, pendapatan, anggaran dan jumlah pegawai, serta telah memiliki pengetahuan
yang dibutuhkan, organisasi tersebut dapat
mengorganisasi pelatihan sendiri melalui bagian pelatihan. Namun apabila tidak memiliki pengetahuan yang dibutuhkan sesuai hasil TNA, maka akan lebih efektif mengirimkan pegawai ke lembaga pelatihan yang sudah berpengalaman.
3. Tujuan Pelatihan Program pelatihan yang efektif memiliki tujuan yang jelas mengenai apa yang akan dipelajaru dan manfaatnya bagi peserta.Tujuan menjelaskan secara singkat maksud pelaksanaan pelatihan seta menjawab pertanyaan untuk apa pelatihan diselenggarakan. Tujuan pelatihan juga meliputi penentuan sasaran dan peserta pelatihan. Misalnya tujuan pelatihan kode etik dan disiplin PNS adalah memberikan pengetahuan dan teknik penjatuhan disiplin bagi pengelola kepegawaian di instansi pusat dan daerah.
a. Sasaran Pelatihan Setelah tujuan pelatihan ditetapkan, selanjutnya dijabarkan sasaran pelatihan, yaitu hasil-hasil yang dapat dilakukan setelah peserta mengikuti pelatihan tersebut. Sasaran 23
menjelaskan secara spesifik perilaku yang dapat dilakukan yang mewakili kompetensi yang dimiliki peserta. Tujuan dan sasaran sering disusun tertukat namun yang terpenting adalah dapat menggambarkan arahan dan hasil akhir pelatihan. Tujuan dan sasaran pelatihan merupakan dasar penyelenggaraan diklat. Misalnya, sasaran pelatihan kode etik dan disilin PNS adalah setelah mengikuti pelatihan: Peserta akan memiliki jiwa disiplin Peserta mampu menunjukkan sikap perilaku etis dan disiplin
Mampu menerapkan etika dan kedisiplinan b. Peserta Pelatihan Tujuan dan sasaran pelatihan memberikan arah pembekalan kompetensi kepada peserta pelatihan. Penunjukan peserta pelatihan sesuai dengan tujuan dan sasaran pelatihan. Peserta pelatihan yang ditetapkan sebaiknya pegawai yang membutuhkan pembekalan kompetensi untuk mengatasi permasalahan dan kendala organisasi sesuai TNA. Untuk memilih peserta umumnya dibuat suatu kriteria persyaratan sesuai dengan tjuan dan sasaran pelatihan. Kriteria peserta antara lain pegawai suatu jabatan tertentu, menangani pekerjaan/tugas tertentu, pegawai yang baru direkrut, pegawai yang harus menerima sosialisasi, pegawai pada tingkat manajerial tertentu, atau pegawai yang memiliki kendala dan permasalahan tertentu dalam pekerjaannya. Sebagai contoh, bila pelatihan bersifat teknis, maka peserta pelaihan dapat dipilih dari orangorang dengan jabatan teknis yang sama. Misalnya diklat teknis analisis jabatan bagi pegawai yang menangani analisisi jabatan.
Faktor lain pemilihan peserta adalah kemampuan pembelajaran peserta, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki sebelumnya, motivasi dan sikao positif terhadap pelatihan. Pelatihan yang diselenggarakan bertingkat mensyaratkan peserta telah memilki pengalaman, pengetahuan da keterampilan pada suatu bidang atau tingkatan tertentu. Misalnya, suatu instansi mengadakan pelatihan kepemimpinan tingkat II yang mensyaratkan peserta minimal sudah menduduki jabatan setingkat eselon II. 4. Sesi Perancangan diklat/materi membagi judul materi menjadi beberapa sesi materi yang membangun materi tersebut. Pembagian sesi pelatihan membuat materi yang disampaikan sesuai dengan prosedur tahapan dengan pembagian waktu yang efisien. Pembuatan sesi pelatihan menjadi panduan pegajar dalam menyampaikan materi pengajaran. 24
Misalnya pelatihan kode etik dan disiplin terbagi atas dua sesi materi. Pada sesi pertma peserta akan mempelajari tentang kode etik dan pada sesi kedua peserta akan praktik membuat simulasi penjatuhan disiplin.
5. Topik Setiap sesi pelatihan membuat sautu topik. Topik pelatihan sesuai dengan pembagian sesi pelatihan. Dengan pembagian topik, maka suatu kurikulum pelatihan dapat dikelompokkan dan disusun secara sistematis. Misalnya pelatihan kode etik dan disiplin terbagi atas dua sesi materi dengan topik pertama yaitu kode etik PNS dan topik kedua yaitu disiplin PNS
6. Sasaran Pembelajaran Setiap topik memiliki sasaran pembelajaran. Penjabaran topik materi pelatihan perlu memiliki sasaran yang jelas. Tanpa sasaran yang jelas, materi yang disampaikan dapat berputar-putar tanpa arah dan konsep materi disampaikan tanpa memandang apakah materi tersebut relevan. Misalnya, topik kode etik PNS memiliki sasaran pembelajaran: Memahami pengertian dan jenis kode etik PNS Memahami jenis pelanggaran kode etik dan sanksi
7. Pokok Bahasan Setiap topik dijabarkan atas beberapa pokok bahasan. Pokok bahasan inilah yang disusun untuk mencapai sasaran pembelajaran. Tugas pengajar adalah menjelaskan tentang pokokpokok bahasan sesuai dengan lingkup dan alokasi waktu yang disediakan. Misalnya topik kode etik PNS terdiri atas pokok bahasan: Pengertian Kode Etik dan Perilaku Jenis Etika Perilaku Jenis pelanggaran dan sanksi kode etik PNS
8.
Metode Pengajaran Metode pengajaran merupakan cara membekali kompetensi kepada peserta pelatihan. Metode pelatihan membantu peserta mempelajari materi pelatihan, melatih, mendorong kesadaran peserta dan membantu agat tetap termotivasi, tertarik dan terlibat dalam proses pembelajaran. Berbagai metode pembelajaran dalam kelas meliputi: ceramah, presentasi, diskusi kelompok, praktik, studi kasus, membaca, demonstrasi, penugasan, dan simulasi.
25
Setaip pokok bahasan dapat disampaikan menggunakan suatu metode atau kombinasi beberapa metode pengajaran Misalnya pokok bahasan jenis pelanggaran dan sanksi kode etik disampaikan dengan menggunakan metode ceramah dan diskusi kelompok.
9.
Alokasi Waktu Penyampaikan setiap pokok bahasan dibatasi oleh alokasi waktu. Begitu pula penggunaan metode pembelajaran mempengaruhi alokasi waktu yang tersedia. Alokasi tidak kaku, tetapi fleksibel terhadap kebutuhan pemahaman peserta. Misalnya alokasi waktu untuk pokok bahasan pada topik jenis pelanggaran dan sanksi disiplin PNS sebagai berikut: Pengertian Disiplin (30 menit) Jenis Disiplin (60 menit) Jenis pelanggaran dan penjatuhan sanksi disiplin PNS (90 menit)
10. Alat Bantu Pelatihan Alat bantu pelatihan membantu kelancaran proses pelatihan sesuai dengan metode yang digunakan. Alat bantu pelatihan yang umum digunakan yaitu laptop, LCD, layar dan sound system berupa microphone, wireless mic dan speaker. Alat bantu audiovisual lainnya antara lain OHP, music dan video. Misalnya adalah perancangan pelatihan kode etik dan disiplin PNS yang menggabungkan secara keseluruhan seluruh aspek perancangan pelatihan Judul Pelatihan
:
Kode Etik dan Disiplin PNS
Tujuan
:
Memberikan pengetahuan dan teknik penjatuhan disiplin PNS
Waktu
:
1 (satu hari)/10JP
Peserta
:
Pengelola Kepegawaian Instansi Pusat dan Daerah
Sasaran Pelatihan
:
- Peserta akan memiliki jiwa disiplin - Peserta mampu menunjukkan sikap perilaku etis dan disiplin - Mampu menerapkan etika dan kedisiplinan
Sesi I – Topik
:
Kode Etik PNS
Sasaran Pembelajaran
:
- Memahami pengertian dan jenis kode etik PNS - Memahami jenis pelanggaran kode etik dan sanksi
26
Pokok Bahasan Pengertian Kode Etik
Metode Pengajaran ceramah
Waktu (menit)
Alat Bantu Pelatihan
30
LCD + Layar
60
LCD + Layar
90
LCD + Layar+ kertas
dan Perilaku Jenis Etika Perilaku
Ceramah
&
diskusi
kelompok Jenis pelanggaran
Ceramah & studi kasus
dan sanksi kode etik PNS
Sesi II – Topik
:
Disiplin PNS
Sasaran Pembelajaran
:
- Memahami pengertian dan jenis disiplin PNS - Memahami jenis pelanggaran disiplin dan penjatuhan sanksi
Pokok Bahasan
Metode Pengajaran
Pengertian Disiplin
ceramah
Jenis Disiplin
Ceramah
&
diskusi
Waktu (menit)
Alat Bantu Pelatihan
30
LCD + Layar
60
LCD + Layar
90
LCD + Layar+ kertas
kelompok Jenis pelanggaran
Ceramah & studi kasus
dan sanksi disiplin PNS
11. Pengajar Pengajar merupakan ujung tombak pembelajaran dalam pelatihan. Penunjukkan pengajar secara umum didasarkan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan mengajar. Faktor lain seseorang dipercaya sebagai pengajar yaitu integritas. Inilah penyebab utama organisasi tidak mempercayai anggotanya sendiri meminta pengajar dari luar untuk menyampaikan materi yang seharusnya disampaikan oleh pegawai internal. Kualifikasi yang dibutuhkan dari seorang pengajar antara lain adalah: Memiliki kemampuan bekerja sama, kepemimpinan dan teknis komunikasi yang baik Memiliki pengakuan dan kualifikasi profesional yang relevan dengan materi Mengerti kode etik profesi di bidangnya 27
Memiliki pengalaman di dalam pekerjaan yang sesuai dengan materi Mampu melakukan pendekatan pemecahan masalah di dalam menanggapi berbagai permasalahan Mengikuti perkembangan dan isu-isu terbaru yang berkaitan dengan materi, dengan menghadiri seminar dan konferensi Spesifikasi lainnya bergantung pada materi yang dibawakan. 12. Ruang dan Layout Kelas Fungsi ruang kelas adalah menciptakan suasana untuk pembelajaran. Dalam hal ini terkait dengan luas ruangan yang memadai, pencahayaan, dan layout kelas sesuai jumlah peserta dan metode pengajaran. Secara umum, layout ruangan dikelompokkan menjadi 3 jenis utama, yaitu class room, U shape dan round table. Layout class room, bangku dan tempat duduk berjajar seperti ruangan kelas atau teater bioskop. Kegunaan utama memudahkan metode presentasi dengan jumlah peserta banyak, lebih dari 20 orang. Layout U shape, bangku dan tempat duduk peserta membentuk huruf U setengah mengelilingi pengajar dengan variasainya membentuk huruf V untuk layout V shape. Kegunaan utama memudahkan interaksi pengajar dan peserta berhadapan satu persatu dan mendorong diskusi seluruh peserta. Jumlah peserta lebih baik kurang dari 20 orang. Layout round table atau konferensi terdiri atas meja berbentuk bundar yang setiap meja terdapat 4 – 6 orang peserta, biasanya dalam satu ruangan kelas minimal terdapat 4 round table.
Kegunaan utama mendorong diskusi peserta serta penugasan
kelompok dalam satu meja. 13. Bahan Materi Pelatihan Setiap pengajar berbeda-beda dalam memberikan bahan materi. Ada yang memberikan handout materi berupa power point presentasi materi, ada yang memberikan buku teks/modul, berbentuk buku lembar kerja atau berbentuk handout denga isian yang harus diisi peserta selama pelatihan.
28
14. Komsumsi dan Coffee Break Konsumsi bukan merupakan bagian dari pelatihan, namun memengarui kesan peserta terhadap pelatihan. Dalam umpan balik penyelenggaraan pelatihan, konsumsi mendapat perhatian yang tinggi dari peserta. Tipsnya, hindari konsumsi yang terlalu sederhana dan juga tidak perlu terlalu mewah dan lengkap. Coffee break merupakan waktu istirahat sejenak bagi peserta umumnya selama 15 menit untuk menikmati kopi, teh dan snack. Coffee break berguna meningkatkan kembali daya serap dan perhatian kepada pelatihan setelah kira-kira 2 jam proses pembelajaran. Coffee break diberikan sekitar jam 10 pagi dan 3 sore, serta bila malam hari dilaksanakan mulai pukul 19.00, maka coffee break diberikan sekitar pukul 12.00.
B. Diklat Berbasis Kompetensi Diklat atau pelatihan berbasis kompetensi (Competency Based Training - CBT) adalah suatu pendekatan pelatihan yang penekanan utamanya berada pada apa yang dikerjakan seseorang sebagai hasil dari pelatihan (Fuad & Ahmad, 2009: 80). Dengan katan lain, CBT adalah salah satu pendekatan dalam pengembangan SDM yang berfokus pada hasil akhir (outcome). Dengan demikian, CBT merupakan proses diklat yang dirancang untuk mengembangkan kemampuan & keterampilan secara khusus, untuk mencapai hasil kerja berbasis target kinerja (performance target). Kompetensi sendiri secara sederhana diartikan sebagai spesifikasi pengetahuan, keterampilan & sikap yang dimiliki seseorang serta penerapannya dalam pekerjaan sesuai dengan standar kinerja di organisasi. Dengan kata lain, kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan & sikap kerja yang dibutuhkan seseorang untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan tuntutan standar yang berlaku. Implementasi CBT didasakan pada adanya fakta bahwa masih terdapat kesenjangan kompetensi yang dirumuskan organisasi dengan apa yang dimiliki pegawai. Untuk mengatasi kesejangan tersebut, diklat atau pelatihan adalah sebuah pilhan strategis yang paling tepat untuk mengatasinya (Fuad & Ahmad, 2009: 80). Tujuan CBT adalah (1) menghasilkan standar kompetensi yang ditentukan , (2) penilaian kompetensi yang telah dicapai, dan (3) hasil CBT hendaknya dihubungkan dengan kebutuhan, khususnya dalam kaitan dengan standar kompetensi yang diberikan, program diklat didasarkan atas job description, kebutuhan multi-skilling, dan alur karier (career path). Sementara sistem penilaian yang digunakan dalam CBT adalah sistem 29
penilaian yang didasarkan pada patokan (criterion reference assessment), bukan didasarkan pada norma (norm reference assessment). Oleh karena itu, penting bagi program pelatihan berbasis kompetensi terlebih dahulu membuat kriteria dan indikator kompetensi sebagai sebuah standar yang harus dimiliki oleh setiap jabatan. Komponen CBT secara umum seperti tampak pada gambar berikut (Sullipan, 2007:3).
Standar Kompetensi
Pengetahuan & keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan suatu pekerjaan
Pengujian
Proses untuk menilai apakah seseorang memiliki pengetahuan & keterampilan yang dibutuhkan
Strategi & Materi Pembelajaran
Bagaimana cara seseorang mendapatkan pengetahuan & keterampilan
Kerangka Kualifikasi
Sistem untuk pengakuan pengetahuan & keterampilan yang dikuasai
CBT
Standar kompetensi menjelaskan kompetensi yang dibutuhkan untuk kinerja yang efektif dan berperan sebagai patokan bagi pengujian. Pengujian dilakukan dalam rangka menelusuri tingkat pengetahuan dan keterampilan seseorang. Melalui pengujian, akan diketahui apakah seseorang telah memiliki suatu kompetensi yang dipersyaratkan dalam pekerjaannya atau belum. Setidaknya ada empat jenis pengujian yang digunakan pada CBT ( Fuad & Ahmad, 2009,83). 1. Pengujian Kerja Nyata Dilakukan di tempat kerja yang sesungguhnya dan berada di antara masalah-masalah yang terjadi sehari-hari di tempat kerja. Masalah sehari-hari memiliki situasi, peralatan, perlengkapan dan system yang sudah ada di tempat kerja. 2. Pengujan Simulasi Kerja Tidak berbeda jauh dengan pegujian di tempat kerja, tetapi tidak dilakukan di tempat kerja. Ini dilakukan jika pengujian kerja nyata tidak memungkinkan karena berbahaya, biaya mahal, atau saat pengujian dilangsungkan, jenis pekerjaan yang seseuai dengan kompetensi tersebut tidak mungkin dilakukan.
30
3. Pengujian Tertulis Pengujian tertulis digunakan untuk melihat seberapa jauh pengetahuan mereka yang mendasari kompetensi tertentu. 4. Pengujian Lisan Dilakukan ketika peserta pelatihan bebicara dengan jelas tentang apa yang tercakup dalam tugasnya. Pengujian ini berhubungan dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi, atau menjelaskan suatu keterampilan dalam pekerjaan yang dilakukannya dalam ujian. Untuk menyampaikan CBT yang fleksibel, pengajar diharapkan mampu bermain dalam tiga peran utama dalam penyajian pelatihan, yaitu instruktur, fasilitator, dan pembentuk mekanisme. Pembelajaran dalam CBT dapat dilakukan secara klasikal, individual, kelompok atau kombinasi dari ketiga jenis metode tersebut. Sedangkan prinsip dasar sertifikasi kompetensi yang harus dijadikan tolak ukur dalam setiap proses pengembangan program adalah (1) terukur (mengacu pada standar kompetensi), (2) objektif (tidak terjadi konflik kepentingan), (3) tertelusuri (seluruh proses terdokumentasi dan terkendali), (4) acceptable (dapat diterima semua stakeholders), dan accountable (tanggungjawab dan tanggunggugat).
31
BAB V EVALUASI PROGRAM DIKLAT Bab ini membahas secara garis besar cara melakukan evaluasi program pelatihan/diklat, yang cakupan bahasannya terdiri atas pentingnya evaluasi diklat, level evaluasi diklat, dan langkah pelaksanaan evaluasi diklat. Oleh karena itu, kompetensi khusus yang merupakan learning outcomes yang diharapkan setelah membaca bab ini adalah peserta mampu (1) menjelaskan pentingnya evaluasi program diklat, (2) menggambarkan level evaluasi diklat, dan (3) menjelaskan langkah implementasi evaluasi diklat.
A. Pentingnya Evaluasi Diklat Sebuah pelatihan atau diklat bisa dikatakan berhasil bila para peserta dapat menerima dan mengalami peningkatan pengetahuan, keterampilan maupun perilaku yang tepat guna pencapaian kinerja/kompetensi pegawai. Hal ini hanya dapat diketahui bila dilakukan evaluasi pelatihan secara berkelanjutan dan terprogram. Dengan demikian, tujuan evaluasi pelatihan untuk menguji dan menilai apakah program pelatihan yang telah dijalani, secara efektif mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pada umumnya sasaran evaluasi dilaksanakan untuk dua tujuan (Satriono & Andree, 2008: 6), yaitu: 1. Mengetahui tingkat efektivitas dari pelatihan yang diselenggarakan Setiap pelatihan yang diselenggarakan dapat dikatakan efektif bila sasaran penyelenggaraan pelatihan tercapai dan dapat diukur melalui pelatihan yang diselenggarakan. 2. Continuous Improvement (Perbaikan Berkelanjutan) Evaluasi pelatihan yang dilakukan secara kontinyu dan terprogram dapat menemukan kekuatan maupun kelemahan dalam setiap penyelenggaraan pelatihan. Hal ini dapat dijadikan acuan untuk lebih meningkatkan kualitas pelatihan yang diselenggarakan oleh sebuah organisasi. Dapat dikatakan bahwa tujuan dilakukannya evaluasi pelatihan adalah untuk mengukur pencapaian sasaran suatu program pelatihan. Evaluasi pelatihan berguna untuk menentukan efektivitas pelatihan, meningkatkan dan memperbaiki program pelatihan serta meningkatkan motivasi belajar peserta pelatihan. Bagi organisasi, pelatihan harus 32
dapat mengubah kinerja pegawai dan meningkatkan “profit” (kompetensi) organisasi. Bagi peserta, pelatihan harus menarik, memotivasi dan menyenangkan. Untuk mencapai tujuan/sasaran yang diharapkan, efektivitas pelatihan diukur melalui evaluasi pelatihan. Inilah yang membedakan program pelatihan dengan pendidikan formal. Dampak pelatihan harus terlihat segera melalui hasil-hasil yang nyata, sedangkan pendidikan formal lebih membentuk sikap, pola pikir dan perilaku yang memberikan hasil jangka panjang.
Peserta
diklat
setelah
selesai
mengikjuti
diklat
diharapkan
dapat
mengimplementasikan kompetensi yang diperolehnya di tempat kerja. Meskipun perlu disadari bahwa hasil di pekerjaan merupakan kaitan dari berbagai faktor, bukan hanya dari faktor pelatihan, seperti lingkungan kerja, rekan kerja, tim kerja, imbalan kerja, sarana dan terutama juga atasan (Aprinto & Jakob, 2013, 337).
B. Level Evaluasi Diklat Menurut Phillips dan Stone sebagaimana dikutip Satriono & Andree (2008: 6), evaluasi pelatihan/diklat dapat dilakukan dalam lima tingkatan/level sebagai berikut: Level I: Evaluasi Reaksi (Reaction) Evaluasi pelatihan pada tingkat ini mengukur bagaimana reaksi kepuasan peserta pelatihan terhadap program pelatihan yang diikuti berdasarkan persepsi dan apa yang dirasakan oleh peserta. Evaluasi reaksi dilakukan dengan memberikan umpan balik pada pelaksanaan pelatihan sesegera mungkiin setelah suatu materi pelatihan disampaikan. Evaluasi reaksi umumnya dinilai oleh peserta pelatihan, dalam beberapa kasus dinilai juga oleh pengamat pelatihan dan organisasi apabila materi yang diberikan baru atau pengajar baru. Penyelenggara pelatihan biasanya menyediakan formulir yang menjadi feedback penyelenggaraan pelatihan untuk menilai pengajar, materi pelatihan dan sarana. Level II: Evaluasi Pembelajaran (Learning) Di tingkat ini diukur mengenai seberapa jauh dampak dari program pelatihan yang diikuti peserta dalam hal peningkatan pengetahuan, keterampilan dan perilaku mengenai suatu hal yang dipelajari dalam pelatihan. Dengan kata lain, evaluasi ini mengukur seberapa baik peserta memahami konsep, teori, kebijakan dan peraturan, ide sera fakta yang disampaikan dalam materi pelatihan. Pengajar menyampaikan materi dengan berbagai metode dan gaya penyampaikan dengan tujuan memberikan pemahaman pengetahuan kepada peserta. Tingkat pemahaman pengetahuan peserta inilah yang 33
diukur dengan evaluasi pembelajaran. Metode pengukuran evaluasi pembelajaran yang umum digunakan antara lain pretest - postest, ujian akhir, presentasi, ujian praktik dan simulasi. Level III: Evaluasi Perilaku (Application/Behaviour) Di tingkat ini evaluasi pelatihan dilakukan sebagai usaha untuk mengetahui apakah keahlian, pengetahuan atau sikap yang baru sebagai dampak dari program pelatihan, benar-benar dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan di dalam perilaku kerja sehari-hari dan berpengaruh secara signifikan terhadap pencapaian sasaran kerja individu dan organisasi. Dengan kata lain, evaluasi ini mengukur perubahan perilaku kerja peserta diklat sesuai dengan sasaran materi pelatihan. Perilaku yang terkait dengan kebutuhan pekerjaannya sendiri akan lebih mudah diaplikasikan dibandingkan dengan perilaku yang terkait dengan interaksi lingkungan kerja. Contoh, perilaku pelayanan kepegawaian bagi pengelola kepegawaian lebih mudah diaplikasikan dibandingkan perilaku menyebar nilai-nilai integritas kepada lingkungan kerja. Evaluasi perilaku lebih efektif bila dilakukan setelah peserta kembali ke tempat kerja, sehingga dapat diketahui korelasi antara peningkatan kompetensi peserta dengan perilaku kerjanya. Metode yang dapat dilakukan antara lain penilaian pekerjaan, penilaian on-the job training, umpan balik multirater, observasi dan critical incident. Level IV: Evaluasi Hasil (Result/Business Impact) Tingkat ini mengukur keberhasilan program pelatihan dari sudut pandang bisnis dan organisasi. Bagaimana hasil pelatihan berpengaruh terhadap bisnis atau lingkungan kerja yang disebabkan oleh adanya peningkatan kinerja peserta pelatihan. Dengan kata lain, evaluasi ini merupakan hasil yang dicapai karena peserta mengikuti program pelatihan. Hasil-hasil yang memberikan manfaat bagi organisasi meliputi pencapaian sasaran kinerja individu, hasil-hasil bisnis hingga hasil tingkat organisasi (perusahaan) seperti peningkatan produktivitas, efisiensi biaya, penurunan tingkat absensi, penurunan tingkat kecelakaan kerja, dan lain-lain. Alat ukur yang biasa dipakai adalah kuantitas, kualitas, waktu, habit, cost dan customer satisfaction yang berhasil ditingkatkan/diturunkan oleh peserta pelatihan.
34
Level V: Evaluasi Pengembalian Investasi Pelatihan (Return On Training Investment) Evaluasi Return On Training Investment (ROTI) ini serupa dengan evaluasi hasil. Perbedaannya adalah dalam teknik ROTI, dilakukan penghitungan biaya kuantitatif biaya yang dikeluarkan pelatihan dengan hasil bisnis yang diperoleh sebagai dampak dari pelatihan. Pengukuran evaluasi pelatihan level ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengembangan investasi yang telah dikeluarkan untuk pelatihan dengan formulasi perhitungan sebagai berikut:
Benefit - Cost
ROTI (%) =
X 100
Cost
Benefit
= Total Keuntungan
Cost
= Total Biaya
C. Langkah Evaluasi Diklat Untuk memudahkan peserta pelatihan memahami mempraktikkan pengukuran efektivitas tiap level evaluasi pelatihan, dalam bab ini digunakan pendekatan lima langkah praktis pada pelaksanaan evaluasi pelatihan. Kelima langkah praktis tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Goals Mendeskripsikan setiap sasaran pengukuran pada setiap level evaluasi pelatihan guna memperjelas mengapa evaluasi pelatihan perlu dilakukan. 2. Data Memberikan secara rinci data apa saja yang perlu dikumpulkan serta bagaimana metode pengumpulan datanya dilengkapi dengan form-form terlampir. 3. Measure Membuat suatu pedoman pengukuran yang dapat dijadikan panduan dalam melakukann analisis data setiap level evaluasi pelatihan
35
4. Analyze Menjelaskan langkah–langkah dalam melakukan analisis data pada setiap level evaluasi pelatihan berdasarkan hasil dari rekapitulasi data yang telah berhasil didapatkan. 5. Result Hasil dan kesimpulan dari analisis data yang dapat dijadikan informasi bagi pihakpihak yang membutuhkan.
36
BAB VI PENUTUP
A. Ringkasan Ringkasan ini secara umum berhubungan dengan learning outcomes yang diidentifikasi pada setiap bab. 1. Pelatihan/diklat adalah sebuah proses terencana untuk memodifikasi sikap, pengetahuan dan keterampailan tertentu melalui pengalaman belajar untuk mencapai kinerja yang efektif dalam sebuah aktivitas atau beberapa aktivitas kerja. Tujuan/sasaran diklat dapat diketegorikann ke dalam beberapa tipe tingkah laku yang diinginkan, yaitu kategori psikomotorik, kategori afektif, dan kategori kognitif. Jenis diklat yang berlaku bagi PNS
saat ini teridiri atas: diklat Prajabatan yang
diperuntukkan bagi CPNS, diklat dalam jabatan. Diklat dalam jabatan mencakup (1) diklat kepemimpinan, (2) diklat fungsional, dan (3) diklat teknis. 2. Analisis kebutuhan pelatihan (Training Need Analysis) atau juga sering disebut Training Need Assessment (TNA) merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam manajemen pelatihan. Tujuannya untuk mengidentifikasi kesenjangan atau gap antara kinerja saat ini dengan kinerja yang diharapkan sebagai dasar penentuan kebutuhan agar dapat menyelenggarakan kebutuhan pelatihan sesuai dengan tujuan dan strategi organisasi. TNA dilakukan pada tiga level, yaitu: analisis organisasional, analisis tugas/jabatan, dan analisis individu.Tahap melakukan analisis kebutuhan diklat meliputi mencari sumber potensial kebutuhan pelatihan, mengumpulkan data, menentukan kebutuhan kompetensi dan mengusulkan diklat.Hasil TNA digunakan untuk menyusun, program pelatihan secara komprehensif dan akurat dari seluruh pegawai dan unit kerja kemudian dikonsolidasikan dan dipertajam sesuai kebutuan, prioritas, strategi dan sasaran organisasi serta sumber daya yang tersedia. Hasilnya adalah berbegai kebutuhan pelatihan yang mampu menjawab 4 W (who, what, when, why) dan 1 H (how) sebuah pelatihan.
37
3. Perancangan program pelatihan merupakan suatu hal yang harus dilakukan oleh setiap pengelola pelatihan untuk membuat program yang terstruktur guna memenuhi sasaran kesenjangan kompetensi pegawai. Program pelatihan terdiri atas aktivitas-aktivitas pembelajaran peserta yang saling terkait, yang secara umum meliputi penentuan jenis pelatihan, penyelenggara pelatihan, tujuan pelatihan, sasaran pelatihan, peserta, kurikulum, sesi dan topik, sasaran pembelajaran, pokok bahasan, metode pengajaran, alokasi waktu, alat bantu pelatihan, pengajar, ruang dan layout kelas, bahan materi pelatihan, termasuk konsumsi dan coffee break. Pelatihan berbasis kompetensi adalah suatu pendekatan pelatihan yang penekanan utamanya berada pada apa yang dikerjakan seseorang sebagai hasil dari pelatihan atau salah satu pendekatan dalam pengembangan SDM yang berfokus pada hasil akhir (outcome). Komponen pokok pelatihan berbasis kompetensi secara umum mencakup penentuan standar kompetensi (pengetahuan & keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan suatu), pengujian (proses untuk menilai apakah seseorang memiliki pengetahuan & keterampilan yang dibutuhkan), strategi dan materi pembelajaran (Bagaimana cara seseorang mendapatkan pengetahuan & keterampilan), serta kerangka kualifikasi (sistem untuk pengakuan pengetahuan & keterampilan yang dikuasai).
4. Sebuah pelatihan/diklat bisa dikatakan berhasil bila para peserta dapat menerima dan mengalami peningkatan pengetahuan, keterampilan maupun perilaku yang tepat guna pencapaian kinerja/kompetensi pegawai. Evaluasi program pelatihan dilaksanakan dengan tujuan mengetahui tingkat efektivitas dari pelatihan yang diselenggarakan dan untuk continuousimprovement (perbaikan berkelanjutan).Evaluasi pelatihan/diklat dapat dilakukan dalam lima tingkatan (level), yaitu: Level 1: Reaction, Level 2: Learning, Level 3: Application/Behaviour, Level 4: Result/Business Impact, dan Level 5: ROTI (Return On Training Investment). Lima langkah praktis pada pelaksanaan evaluasi pelatihan, yaitu penentuan tujuan (goals), pengumpulan data (data), pengukuran (measure), analisis data (analyze), dan menyimpulkan hasilnya (result).
38
B. Test Formatif Salah satu bentuk evaluasi kelulusan terhadap peserta diklat fungsional analisis keahlian adalah penguasaan substansi materi diklat. Berikut ini adalah beberapa soal sederhana yang menjadi substansi dari materi diklat ini. Saudara diminta untuk memilih salah satu jawaban yang paling benar, dan kemudian cocokkan dengan kunci jawaban yang tersedia. 1. Dalam pasal 70 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (ASN)
dinyatakan bahwa setiap pegawai ASN memiliki hak dan kesempatan untuk: a. Mengembangkan jabatan b. Mengembangkan kompetensi c. Mengembangkan pendidikan d. Mengembangkan pengetahuan e. Mengembangkan keterampilan 2. Aktivitas mendidik dan melatih pegawai untuk meningkatkan kompetensinya sesuai dengan kebutuhan organisasi disebut: a. Diklat b. Seminar c. Kursus d. Penataran e. Workshop 3. Tujuan Diklat yang meliputi proses intelektual seperti mengingat, memahami dan menganalisis sehingga membuat orang mempunyai pengetahuan dan keterampilan tertentu, termasuk dalam kategori sasaran: a. Psikomotorik b. Afektif c. Evaluatif d. Kognitif e. Informatif
39
4. Tujuan Diklat yang meliputi aspek pengontrolan otot-otot sehingga orang dapat melakukan gerakan-gerakan secara tepat agar memiliki keterampilan fisik tertentu, termasuk dalam kategori sasaran: a. Kognitif b. Psikomotorik c. Afektif d. Evaluatif e. Informatif 5. Tujuan Diklat yang meliputi aspek perasaaan, nilai, dan sikap sehingga membuat orang mempunyai sikap tertentu, termasuk dalam kategori sasaran: a. Kognitif b. Psikomotorik c. Afektif d. Evaluatif e. Informatif 6. Diklat PNS yang khusus diperuntukkan bagi pejabat struktural pada umumnya dikenal dengan sebutan: a. Diklat Prajabatan b. Diklat Kepemimpinan c. Diklat Fungsional d. Diklat Teknis e. Diklat Teknis-Fungsional 7. Diklat yang dilakukan bagi PNS yang akan menduduki jabatan fungsional tertentu pada umumnya dikenal dengan sebutan: a. Diklat Prajabatan b. Diklat Kepemimpinan c. Diklat Fungsional 40
d. Diklat Teknis e. Diklat Teknis-Fungsional 8. Diklat PNS yang dilakukan untuk mengembangkan kemampuan bidang teknis tertentu pada umumnya dikenal dengan sebutan: a. Diklat Prajabatan b. Diklat Kepemimpinan c. Diklat Fungsional d. Diklat Teknis e. Diklat Teknis-Fungsional 9. Instansi Pemerintah yang bertanggungjawab atas pengembangan & pengawasan jabatan serta pengendalian pemanfaatan lulusan Diklat adalah: a. Kemenenterian PAN dan RB b. Kementerian Dalam Negeri c. Badan Kepegawaian Negara d. Lembaga Administrasi Negara e. Badan Kepegawaian Daerah 10. Instansi Pemerintah yang bertanggungjawab atas pembinaan diklat seperti melakukan standardisasi dan akreditasi diklat adalah: a. Kemenenterian PAN dan RB b. Kementerian Dalam Negeri c. Badan Kepegawaian Negara d. Lembaga Administrasi Negara e. Badan Kepegawaian Daerah 11. Tahapan diklat pada umumnya meliputi urutan aktivitas sebagai berikut: a. Need Asessment- Development - Evaluation b. Need Assessment- Evaluation - Development c. Development - Evalution - Need Assessment 41
d. Evaluation - Need Assessment- Development e. Evaluation – Development - Need Assessment 12. Proses penentuan kebutuhan diklat yang dilakukan secara sistematis dan objektif dengan tujuan mengumpulkan informasi untuk menentukan kebutuhan atau tidaknya program diklat disebut: a. Program Diklat b. Penilaian Kebutuhan Diklat c. Implementasi Diklat d. Evaluasi Diklat e. Manajemen Diklat 13. Analisis Kebutuhan Diklat (Training Need Assessment) pada umumnya dilakukan pada area berikut: a. Analisis Lingkungan- Analisis Jabatan-Analisis Beban Kerja b. Analisis Individu-Analisis Pribadi-Analisis Kepekaan c. Analisis Operasional-Analisis Teknis-Analisis Fungsional d. Analisis Organisasional -Analisis Operasional -Analisis Individu 14. Analisis Kebutuhan Diklat (Training Need Assessment) yang secara umum sering dilakukan adalah dengan cara: a. Menganalisis permasalahan pribadi pegawai b. Menganalisis catatan pribadi c. Membandingkan uraian jabatan/pekerjaan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki pegawai/calon pegawai d. Menganalisis laporan keuangan e. Meminta pendapat semua pegawai 15. Informasi kebutuhan diklat dapat digali dengan cara berikut, kecuali: a. Musyawarah Mufakat b. Observasi lapangan 42
c. Tes tertulis d. Diskusi kelompok e. Kuesioner 16. Perencanaan kebutuhan diklat PNS seharusnya dilakukan dengan melibatkan unit terkait, yaitu: a. Pengelola Diklat b. Pengelola Kepegawaian c. Pengelola Anggaran d. Tim Seleksi Peserta Diklat Instansi e. Semuanya benar 17. Tahapan diklat yang bertujuan merancang lingkungan dan metode pelatihan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan pelatihan, disebut: a. Pengembangan Program Diklat b. Penilaian Kebutuhan Diklat c. Implementasi Diklat d. Penyelenggaraan Diklat e. Evaluasi Diklat 18. Evaluasi diklat yang bertujuan untuk mengetahui kepuasan peserta terhadap materi, fasilitator dan fasilitas diklat, merupakan evaluasi pada level: a. Learning b. Application/Behaviour c. Result/Business Impact d. Reaction e. Return on Training Investment 19. Langkah praktis mengimplementasikan level evaluasi diklat secara berurutan adalah: a. Goals-Data-Analyze-Measure-Result b. Goals-Measure-Result-Data-Analyze 43
c. Goals-Data-Measure-Analyze-Result d. Data-Analyze-Goals-Measure-Result e. Data-Analyze-Result-Goals-Measure 20. Diklat berbasis kompetensi adalah salah satu pendekatan dalam pengembangan SDM yang berfokus pada: a. kecerdasan b. tujuan c. sasaran d. strategi e. outcome C. Kunci Jawaban No
Jawaban
1
b
2
a
3
d
4
b
5
c
6
b
7
c
8
d
9
c
10
d
11
a
12
b
13
d
14
c
15
a
16
e
17
a
18
d
19
c
20
e 44
DAFTAR PUSTAKA
Aryani, Debira, Trainining Need Analysis, HC Journal, No.13, Tahun II, 15 Juli-15 Agustus 2012, MKI Corporate University. Aprinto, Brian & Arisandy, Fenny, 2013, Pedoman Lengkap Profesional SDM Indonesia, PPM, Jakarta. Benardin, John H., and Russel, Joyce E.A., 1993, Human Resource Management, Mc.Graw Hill Companies, USA. Fuad, Noor, Ahmad, Gofur, 2009, Integrated HRD, Human Resources Development, Grasindo, Jakarta Harsono, 2010, Perencanaan Kepegawaian, Fokus Media, Jakarta. Mathis, Robert L., and Jackson, john H., 1994, Human Resource Management, West Publishing Corporation 610 Opperman Drive, St., Paul, MN, USA. Rivai, Veithzal, dan Sagala, Ella Jauvani, Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan, dari Teori ke Praktik, 2009, Rajawali Pers, Jakarta. Satriono, Teguh, dan Andree, 2008, How to Measure 5 Levels of Training Evaluation, Intellectual Capital Publishing, Jakarta. Sedarmayanti, 2011, Manajemen Sumber Daya Manusia, Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Refika Aditama, Jakarta. Sulistiyani, Ambar Teguh, Rosidah, 2009, Manajemen Sumber Daya Manusia, Konsep, Teori dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik, Graha Ilmu, Jakarta. Suryana, Agus, 2006, Panduan Praktis Mengelola Pelatihan, EDSA Mahkota, Jakarta. UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara UU Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian PP Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil
45