METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Bawaan sumber daya fisik seperti kekayaan sumber daya alam (natural resource endowment), sumber daya manusia dan sumber daya buatan manusia tidak lagi mencukupi untuk menjelaskan terjadinya perbedaan hasil-hasil pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia.
Diperlukan pengetahuan
mengenai keterkaitan berbagai konsep sumber daya fisik dan non-fisik untuk menjelaskan perbedaan tersebut. Sesungguhnya, modal pembangunan tidak hanya mencakup modal yang bersifat material seperti natural capital, real capital, human capital, financial capital dan foreign capital, namun juga modal yang bersifat non-material seperti social capital (modal sosial) (Bourdieu, 1980;1986, Gylvason, 2002). Modal sosial tidak terlepas dari modal ekonomi (economic capital) dan modal budaya (cultural capital) namun juga bukan merupakan bagian daripadanya. Modal sosial tertambat (embedded) dalam struktur sosial masyarakat yang bersifat mikro (individu), meso (institusi sosial) maupun makro (stratifikasi sosial) sehingga mempengaruhi rasionalitas individu dalam setiap tindakannya. Kecenderungan individu untuk memaksimalkan keuntungan selalu dibatasi oleh norma-norma sosial dalam masyarakat (Bourdieu, 1986; Lawang, 2005). Beugelsdijk dan Smulders (2003), menggambarkan fungsi utilitas individu sebagai kombinasi kepuasan dari upaya untuk menghasilkan barang konsumsi dan kepuasan yang dihasilkan saat membangun interaksi sosial. Semua pihak yang berinteraksi diasumsikan memiliki kekuatan yang sama sehingga fungsi utilitas individu tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: u = U(c,s)
Uc, Us > 0,
dimana c adalah usaha untuk menghasilkan barang konsumsi dan s adalah usaha untuk membangun interaksi sosial melalui partisipasi dalam jaringan kerja sosial sedangkan Uc dan Us berturut-turut adalah marginal utility dari barang konsumsi dan interaksi sosial. Keterbatasan individu dalam penguasaan dan pemilikan sumber daya yang harus dialokasikan untuk tujuan ekonomi dan sosial akan teratasi apabila
43 individu tersebut mampu membangun jaringan kerja ekonomi dan sosial. Jaringan kerja sosial merupakan sumber modal sosial yang dibedakan atas modal sosial mengikat (Bonding social capital, f) dan modal sosial menyambung (bridging social capital, v). Masing-masing jaringan kerja memiliki interaksi sosial yang spesifik sehingga dalam keadaan keseimbangan keduanya akan bersifat substitutif dan saling melengkapi yang dapat dinyatakan sebagai berikut: s = S (ƒ,ν),
Sƒ , S ν > 0,
ƒ(ν) menyatakan intensitas partisipasi dalam jaringan kerja f (untuk intensitas partisipasi dalam jaringan kerja v tertentu) yang diukur dari curahan waktu untuk masing-masing jaringan kerja. Diasumsikan fungsi tersebut merupakan constant elasticity of substitution function. Insting manusia untuk berkumpul dan berinteraksi secara intensif (faceto-face relationship) akan menimbulkan eksternalitas bagi dirinya maupun kelompoknya.
Eksternalitas positif dari interaksi sosial tersebut dinyatakan
sebagai modal sosial yang dapat memberi pengaruh positif dan negatif terhadap pembangunan. Pengaruh positif akan terjadi apabila interaksi yang terbangun mampu menekan perilaku negatif (rent-seeking dan oportunistik) dan memperkuat sistem kontrol sehingga mengurangi biaya transaksi. Sebaliknya pengaruh negatif disebabkan oleh adanya trade-off sumber daya untuk aktivitas ekonomi dan sosial. Sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun modal sosial akan mengurangi ketersediaan sumber daya untuk aktivitas ekonomi. Individu harus memutuskan seberapa besar dia melakukan konsumsi yang dibatasi oleh pendapatannya dan seberapa besar dia dapat membangun modal sosial melalui interaksi sosial. Pilihannya dibatasi oleh waktu maupun dana yang dimilikinya. c = ( n0 – ƒ – ν ) w + x, ............................................(1) dimana n0 adalah total waktu yang tersedia untuk bekerja dan berinteraksi sosial, ƒ dan ν adalah waktu yang tercurah untuk berinteraksi sosial dalam jaringan kerja yang bersifat bonding (ƒ) maupun bridging (ν), w adalah upah individu dan x adalah transfer yang bisa bernilai positif maupun negatif dan dapat dinyatakan sebagai selisih dari manfaat aktual perilaku rent-seeking dan biaya yang harus
44 ditanggungnya.
Persamaan ini menunjukkan bahwa terdapat trade off antara
konsumsi material dan interaksi sosial yang dapat menghambat aktivitas ekonomi. Untuk membahas dampak potensial modal sosial yang bersifat positif terhadap ekonomi maka diasumsikan bahwa interaksi sosial pada jaringan kerja tertentu mempengaruhi derajat perilaku oportunistik. Partisipasi dalam jaringan kerja yang terbuka akan menghindari perilaku rent-seeking seperti korupsi, pemerasan, sikap tidak bertanggung jawab dan tidak dipercaya. Secara ringkas tujuan individu adalah memaksimalkan utilitasnya dan dapat dinyatakan sebagai berikut: Memaksimalkan:
u = U(c,s) .............................................(2)
dengan kendala:
s = S (ƒ,ν) −
−
c = ( 1 – ƒ – ν - z ) w + ( 1- ν ) [ B(z) w − D ( z ) w ] _
dimana z adalah waktu yang tercurah untuk perilaku rent-seeking. B(z) w adalah _
manfaat (benefit) yang diharapkan dari perilaku rent-seeking sedangkan w adalah upah rata-rata. Individu yang tidak memiliki bridging social capital, v, akan berpeluang dimanfaatkan oleh individu lain sehingga manfaat aktual yang _
_
dimilikinya sebesar (1-v) B (z) w , sedangkan (1-v) D (z) w adalah kerugian (damaged) yang ditimbulkan oleh perilaku rent-seeking. First-order condition untuk maksimisasi dapat dinyatakan sebagai berikut: _
(1-ν) Bz (z) w = w ..............................................................(3) ⎡ _ ⎤ ⎢ sv ( f , v ) w⎥ = 1 − ⎢ D( z ) − B( z ) ⎥ .............................................( 4) S f ( f , v) w⎥ ⎢ ⎣⎢ ⎦⎥ U c (c, S ( f , v )) S f ( f , v ) = ......................................................(5) U s (c, S ( f , v )) w Persamaan (3) menunjukkan kondisi untuk optimal rent seeking yang menyatakan bahwa tambahan manfaat dari rent-seeking harus sama dengan marginal opportunity cost. Persamaan (4) menentukan trade off optimal antara dua tipe interaksi jaringan kerja, dimana sisi kiri menunjukkan jumlah waktu maksimum yang dicurahkan untuk membangun bridging sosial capital akan sama
45 dengan partisipasinya sedangkan sisi kanan menunjukkan bonding social capital. Menghabiskan waktu dengan teman akan memiliki biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan menghabiskan waktu dengan jaringan kerja yang lebih luas apabila kerugian yang disebabkan oleh rent-seeking sangat tinggi. Persamaan (5) menentukan trade off optimal antara konsumsi material dan interaksi sosial dalam jaringan kerja yang bersifat bonding. Modal sosial bukan merupakan modal yang tersedia tanpa usaha dan bersifat statis. Oleh karena itu harus diciptakan dan selalu dipelihara. Usaha untuk menjaga kelangsungan modal sosial sangat dipengaruhi oleh atmosfir politik dan dapat dilakukan dengan cara membangun interaksi dan kerjasama. Poulsen dan Svendsen (2003) menganalisis akses kerjasama dalam one-shot prisoner’s dilemma game di suatu wilayah dimana individu yang selalu berinteraksi dengan lainnya secara acak akan berhadapan dengan dua pilihan yaitu bekerjasama (Cooperative atau C) atau tidak bekerjasama (Defect atau D). Ganjaran dari permainan dilema tahanan digambarkan dalam Tabel 6 berikut: Tabel 6 Ganjaran (Payoff ) bagi Pelaku dalam Permainan Dilema Tahanan Strategi Pelaku
Bekerjasama (C)
Tidak Bekerjasama (D)
Bekerjasama (C)
1,1
b,a
Tidak Bekerjasama (D)
a,b
0,0
dimana a > 1 dan b < 0.
Jika individu hanya memaksimalkan ganjaran untuk
dirinya maka pilihan yang diambil adalah (D) dan hasil akhirnya adalah masingmasing individu tidak memperoleh manfaat.
Ada tiga kelompok norma sosial
yang bersifat tertambat (embedded) dalam preferensi individu. Pertama, norma sosial resiprokal (R) yaitu perilaku individu yang sangat tergantung dari apa yang dilakukan oleh individu lain. Apabila orang lain memilih untuk bekerjasama (C) maka ia akan bekerjasama (C), sebaliknya jika pihak lain memilih untuk defect (D) maka ia juga akan melakukan hal yang sama (D). Individu yang melakukan resiprokal ini tidak selalu memaksimalkan penghasilannya. Kedua, selfish (S) yaitu individu yang selalu memilih untuk defect (D). Individu yang bersifat selfish tidak pernah percaya pada orang lain, tidak pernah memberi, tidak tersenyum walaupun saat memperoleh pertolongan.
Terakhir, altruism (A)
46 dimana individu yang mengikuti norma ini selalu memilih untuk bekerjasama (C). Tipe altruism akan selalu memperlakukan orang lain seperti apa dia ingin diperlakukan. Ganjaran (Payoff) dapat digambarkan melalui matriks berikut: Tabel 7 Ganjaran bagi Pelaku Berdasarkan Norma Altruism, Resiprokal dan Selfish Strategi berdasarkan Norma Sosial
Altruism
Resiprokal
Selfish
Altruism
1
1
b
Resiprokal
1
1
0
Selfish
a
0
0
Orang yang altruism akan dapat memaksimumkan ganjaran hanya bila bertemu orang yang bersifat altruism atau resiprokal tetapi tereksploitasi oleh orang yang bersifat selfish. Orang yang bersifat selfish tidak akan memperoleh ganjaran bila bertemu orang resiprokal atau sesama selfish. Sedangkan individu yang resiprokal akan selalu diuntungkan.
Peluang individu yang altruism
memperoleh ganjaran sama dengan individu yang resiprokal, namun peluang altruism untuk dieksploitasi berbeda dengan resiprokal.
Peluang selfish
memperoleh ganjaran lebih kecil, yaitu hanya jika bertemu orang yang bersifat altruism. Svendsen dan Svendsen (2004) menyatakan bahwa modal sosial meningkatkan
sistem
kontrol
terhadap
perilaku-perilaku
pembonceng (free rider) dan pencari rente (rent seeking).
oportunistik,
Individu memang
cenderung berperilaku oportunistik, mementingkan diri sendiri dan hanya akan berusaha untuk mewujudkan tujuan bersama apabila tujuan-tujuan individunya terpenuhi. Kecenderungan tersebut akan mampu ditekan apabila terbangun modal sosial yang kuat karena sistem kontrol yang terbangun dari modal sosial tersebut akan meningkatkan tambahan biaya untuk berperilaku oportunistik (MCsc) sehingga tambahan manfaat yang diperolehnya (MB) tidak lagi memadai seperti dijelaskan pada Gambar 7. Oleh karena itu, besar kecilnya jumlah individu yang berperilaku oportunistik seringkali dijadikan sebagai indikator kuat lemahnya modal sosial masyarakat.
47
Rp/Unit
MCsc MC
MB
A
Sumber: Svendsen dan Svendsen, 2004
Opportunism
Gambar 7 Peran Modal Sosial dalam Menekan Perilaku Oportunistik Modal sosial yang terbangun dari adanya rasa saling percaya, jaringan kerja dan norma yang kondusif akan mengurangi biaya kontak, kontrak dan kontrol sehingga dapat meniadakan biaya transaksi yang tinggi. Selanjutnya, rasa saling percaya juga memudahkan terbangunnya jaringan kerja yang efisien dan memberi manfaat pada proses produktif dalam pembangunan ekonomi wilayah. Interaksi sosial yang didasari oleh rasa percaya yang kuat akan memiliki nilai ekonomi dan sekaligus menjadi alat peredam konflik. Kemampuan modal sosial dalam meredam konflik menambah arti penting modal sosial bagi pembangunan di Indonesia mengingat keberagaman etnis dan budaya yang ada berpotensi menjadi sumber-sumber konflik. Saat ini, masyarakat cenderung hanya memiliki mekanisme penyelesaian konflik seperti perangkat hukum dan aturan-aturan yang menjamin adanya perlakuan yang adil terhadap semua kelompok (Narayan dan Pritchett, 1999). Sesungguhnya strategi terbaik adalah menghindari terjadinya konflik dengan cara membangun rasa percaya melalui interaksi sosial (weak ties) dalam ruang-ruang publik (public space) seperti taman kota yang aman, sarana transportasi umum yang berkualitas, fasilitas olah raga dan rekreasi. Interaksi dalam setiap aktivitas sosial mendorong masyarakat untuk memiliki ikatan sosial antar kelompok (weak ties) sehingga terjadi keseimbangan dengan ikatan yang terbangun dalam keluarga (strong ties). Kedua ikatan tersebut (weak ties dan strong ties) berperan penting dalam upaya membangun rasa
48 percaya dan stabilitas sosial ekonomi. Frijters, Bezemer dan Dulleck (2003) membangun model yang mempertimbangkan pentingnya ikatan-ikatan (weak ties dan strong ties) sebagai sumber terbangunnya relational capital (RC) dalam suatu proses produktif. Model tersebut dinyatakan sebagai berikut: y t = y ( At , H t − H trc , R C t , K t )
...........................................(6) dimana yt adalah produksi yang terjual di pasar pada waktu t; H t adalah angkatan kerja; H t − H trc adalah input tenaga kerja bersih yang digunakan untuk produksi; H trc adalah tenaga kerja yang tercurah untuk menghasilkan RCt (relational capital); At adalah parameter teknologi sedangkan Kt adalah kapital fisik. yt adalah fungsi yang bersifat constant return to scale. Perekonomian terdiri dari sejumlah individu sehingga dimungkinkan untuk mengaggregatkan model tersebut menjadi model pertumbuhan ekonomi makro standar sebagai berikut:
yt = y( At f ( H t − H trc , RCt ), K t ) .....................................(7) dimana At f ( H t − H trc , RCt ) adalah kombinasi input yang terdiri dari At adalah produktivitas dari kombinasi tenaga kerja dan jumlah kontak. Masing-masing individu dan rumah tangga menentukan jumlah tenaga kerja dan kapital pisik dan investasi dalam RC dengan mengalokasikan tenaga kerja sejumlah H trc . Sejalan dengan pemikiran tersebut, Beugelsdijk dan Smulders (2003) melakukan koreksi terhadap tenaga kerja efektif (H) yang dinyatakan sebagai berikut: H = N [(1-v)(1-ζB)-f-z] h, ............................................................(8) dimana N adalah jumlah pelaku dalam pertumbuhan ekonomi, h adalah tenaga kerja berkualitas yang tersedia, (1-v-f-z) h adalah tenaga kerja efektif yang tersedia pada tingkat upah w, sedangkan (1-ζB(z))h adalah tenaga kerja yang tercurah untuk aktivitas rent seeking.
Perkembangan penelitian modal sosial
ternyata masih memiliki berbagai keterbatasan. Paling tidak ada tiga keterbatasan utama yang masih menjadi perdebatan, yaitu: (1) keterbatasan yang berkaitan dengan analisis keterkaitan antara modal sosial dengan indikator hasil-hasil pembangunan ekonomi wilayah seperti indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemiskinan (IKM) dan keadilan sosial (equity); (2) keterbatasan yang
49 berkaitan dengan analisis penentuan indikator modal sosial yang dominan, dan (3) keterbatasan mengenai arah hubungan modal sosial dan kesejahteraan, baik pada tingkat mikro maupun makro. Perdebatan pandangan mengenai keterkaitan antara indikator modal sosial dan indikator pembangunan ekonomi menjadi landasan utama penelitian ini. Hubungan
saling
mempengaruhi
antar
indikator
modal
sosial
dengan
kesejahteraan rumah tangga dan pembangunan menyebabkan penggunaan analisis
ordinary least square (OLS) tidak lagi memadai karena akan menghasilkan penduga parameter yang bias dan bersifat spurious. Penelitian ini juga mengembangkan pemikiran mengenai investasi bersama yang seharusnya dilakukan oleh semua pelaku pembangunan dalam membangun modal sosial. Pemikiran tersebut didasarkan pada kekhawatiran akan terjadinya proses pelemahan modal sosial yang disebabkan oleh ketiadaan insentif untuk melakukan pemeliharaan hubungan ataupun jaringan kerja antar individu, individu dengan pemerintah daerah atau antar pemerintah kabupaten dan provinsi. Kerangka pemikiran yang dikembangkan tersebut dijelaskan pada Gambar 8.
Hipotesis Berdasarkan berbagai kajian mengenai modal sosial dan pembangunan ekonomi wilayah serta kerangka pemikiran penelitian yang telah dibangun maka dapat dinyatakan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Komponen modal sosial yang dominan dan memberi kontribusi terbesar adalah rasa percaya. 2. a.
Modal sosial menyambung (bridging social capital) berpengaruh positif terhadap PDRB, sebaliknya modal sosial mengikat (bonding social
capital) berpengaruh negatif terhadap PDRB. b.
Terdapat hubungan saling mempengaruhi (keterkaitan) antara modal sosial dengan kesejahteraan rumah tangga, pembangunan ekonomi wilayah (IPM), kemiskinan (IKM), output (PDRB), pertumbuhan ekonomi wilayah (Laju PDRB) dan total faktor produktivitas (TFP).
3. Strategi terbaik bagi pemerintah kabupaten, provinsi dan masyarakat dalam upaya merevitalisasi modal sosial adalah bekerjasama (cooperative).
50
Bonding social capital
Modal Sosial
Tujuan Pembangunan Ekonomi Wilayah
General Trust Thin Trust Thick Trust Kepercayaan thp inst. Formal/informal
T R U S T
Indeks Kepadatan jaringan kerja Indeks Partisipasi Jumlah Teman
N E T W O R K
Meningkatkan Akses Masyarakat
Meningkatkan Pendapatan
Bridging social capital
Pekerjaan Akses pendidikan, kesehatan, rasa aman Partisipasi Menekan free rider, rentseeking dan inequality
Pendapatan RT IPM IKM Rasio Gini Laju PDRB PDRB perkapita TFP
Analisis Two Stage Least Square
STRATEGI Menekan Kesenjangan
Bantuan Uang dan Fisik Perilaku Free Rider
N O R M
Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Analisis Model Persamaan Struktural
P E M P R O v
P E M K A B
Analisis Game
Gambar 8 Kerangka Pemikiran Analisis Modal Sosial
M A S Y A R A K A T
51
Metode Penentuan Daerah Penelitian Penentuan Provinsi Bali sebagai daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan indikator pertumbuhan maupun pembangunan ekonomi wilayah dan indikator kultural. Saat ini, Bali menghadapi dilema yang mengarah pada konflik kepentingan antara pelestarian budaya (kelompok inward looking) dan peningkatan keterbukaan (kelompok outward
looking) dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah melalui sektor pariwisata. Penentuan kabupaten juga dilakukan secara sengaja (purposive) melalui beberapa pertimbangan indikator sosial dan ekonomi wilayah.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka ditentukan Kabupaten Jembrana, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Karangasem sebagai daerah penelitian. Dua kecamatan di masing-masing kabupaten dipilih melalui stratifikasi berdasarkan lokasi kecamatan terhadap ibukota kabupaten yaitu kecamatan yang memiliki lokasi terdekat dan terjauh. Penentuan lokasi desa juga didasarkan pada lokasi terdekat dan terjauh dari ibukota kecamatan. Faktor jarak terhadap pusat pemerintahan kabupaten dan kecamatan dipertimbangkan sesuai dengan tujuan untuk memperoleh gambaran modal sosial dalam masyarakat yang belum berkembang dan masyarakat maju. Selain itu, pendekatan ini juga dilakukan untuk memberikan gambaran modal sosial dalam kelompok masyarakat seperti masyarakat yang memiliki mata pencaharian di sektor pertanian dan pariwisata sebagai sektor dominan di Bali.
Metode Penentuan Responden Responden yang diteliti adalah kepala rumah tangga yang bertempat tinggal di desa penelitian, anggota subak, anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), serta anggota Asita (Asosiasi Perjalanan Wisata) dan PHRI (Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia). Rumah tangga dipilih secara acak dari masing-masing desa penelitian yang telah ditetapkan. Jumlah responden ditentukan melalui kuota sebanyak 25 orang pada masing-masing desa dengan pertimbangan homogenitas populasi.
52 Berdasarkan metode stratified random sampling yang digunakan, maka responden dapat dikelompokkan atas: (1) responden yang bertempat tinggal jauh dari pusat pemerintahan (pusat kota) umumnya merupakan daerah perdesaan. (2) responden yang bertempat tinggal dekat dengan pusat pemerintahan (pusat kota) umumnya merupakan daerah perkotaan. Proses penentuan daerah penelitian dan pengambilan responden dalam penelitian ini digambarkan pada Gambar 9. Unit analisis pada tingkat meso adalah institusi sosial seperti organisasi pertanian (Subak), pariwisata (HPI, Asita dan PHRI) dan organisasi adat (Banjar Adat). Masing-masing dua kelompok subak ditentukan secara acak di wilayah maju (Kabupaten Badung dan Gianyar) dan wilayah belum berkembang (Kabupaten Jembrana dan Karangasem), sedangkan organisasi kepariwisataan hanya ada di tingkat provinsi.
Informasi dikumpulkan dari masing-masing
anggota subak dan anggota HPI, Asita dan PHRI yang ditentukan secara acak proposional sebesar lima persen dari jumlah anggota masing-masing kelompok. Provinsi Bali 8 Kabupaten dan 1 Kota Purposive Sampling
Kabupaten Jembrana, Badung, Gianyar , Karangasem
Stratified Sampling
Jarak dari pusat kabupaten dan kecamatan 2 Kecamatan di masing-masing kabupaten dan 2 desa di masingmasing kecamatan Random Sampling
400 responden
Gambar 9 Kerangka Pemilihan Sampel (sampling frame)
53
Metode Pengumpulan dan Pengukuran Data Data yang dikumpulkan dan dianalisis dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan selama bulan Maret hingga September 2005. Selain itu, dikumpulkan pula informasi dari responden kunci yang ditentukan secara purposive sesuai dengan informasi yang ingin diperoleh seperti Bendesa, Bendesa Adat, Klian Subak, Penyuluh Pertanian serta Pakar. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data primer mengenai komponen modal sosial di tingkat individu dan kelompok adalah kuisioner yang terbagi atas 5 kelompok pertanyaan, yaitu: (1) pertanyaan mengenai kelompok dan jaringan kerja; (2) rasa percaya dan solidaritas; (3) kegiatan bersama dan kerjasama; (4) informasi dan komunikasi, dan (5) pendapatan rumah tangga.
Pengukuran Indikator (Peubah Manifes) Modal Sosial di Tingkat Mikro Identifikasi modal sosial di tingkat mikro dilakukan dengan analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap respons yang diberikan oleh responden melalui jawaban kuisioner.
Unit analisis adalah rumah tangga.
Analisis kualitatif
dilakukan terhadap data yang bersifat nominal dan ordinal seperti tingkat pendidikan, kesehatan, rasa percaya (trust), kesediaan memberi bantuan. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk data yang bersifat interval dan rasio seperti besarnya keluarga, pengeluaran rumah tangga, indeks partisipasi, indeks heterogenitas, kepadatan organisasi, jumlah teman dan tingkat kontribusi anggota. Modal sosial dalam penelitian ini merupakan variabel laten endogen yang ditentukan oleh variabel laten eksogen. Komponen modal sosial yang merupakan variabel laten eksogen adalah jaringan kerja, rasa percaya dan norma. Variabel laten eksogen tersebut akan diukur melalui berbagai indikator (peubah manifes) yang berbeda beda di tingkat mikro, meso dan makro. Tabel 8 menggambarkan peubah manifes dari variabel laten eksogen, notasi yang digunakan dalam pembahasan selanjutnya, serta pertanyaan dalam kuisioner yang digunakan untuk mengukur masing-masing peubah manifes tersebut di tingkat mikro.
54 Pengukuran modal sosial berkaitan erat dengan pengukuran tentang sikap seseorang terhadap orang lain atau kelembagaan yang ada dalam masyarakat dimana dia berada. Kesalahan dalam penetapan indikator seringkali menimbulkan bias yang mempengaruhi hasil analisis data.
Oleh karenanya, penelitian ini
mencoba menekan adanya bias-bias yang mungkin muncul dalam pengumpulan data dan penetapan indikator dengan cara melakukan konfirmasi ulang terhadap jawaban yang diberikan oleh responden. Tabel 8 Definisi Variabel Modal Sosial di Tingkat Mikro serta Pertanyaan dalam Kuisioner
Variabel
Rasa percaya (Trust)
Jaringan kerja (Network)
Norma Altruism (Norm)
Definisi
Notasi dalam Persamaan
Persentase responden yang menyatakan mereka percaya pada sesama etnis (thick trust), etnis lain (thin trust), pengelola pemerintah, pekerja profesional (respons alternatif: mereka tidak mempercayai tetangga)
Aware (Kesadaran berhati-hati) GN Trust (Rasa Percaya) DT (Dinamika Rasa Percaya) TAE (Thick Trust) TBE (Thin Trust) PEMKAB (Trust terhadap pemerintah kabupaten) PEMPROP (Trust terhadap pemerintah provinsi ) POLISI (Trust terhadap polisi ) GURU (Trust terhadap Guru)
Rata-rata keanggotaan dalam berbagai organisasi formal dan informal, lokal dan regional yang diikuti Persentase responden yang menyatakan bahwa akan selalu membantu kegiatan yang bermanfaat bagi banyak orang walau tidak menguntungkan diri sendiri (respons alternatif : tidak membantu atau hanya memikirkan diri sendiri)
DN (Kepadatan jaringan kerja) SEXP(Pengeluaran sosial) EMPL (Jumlah anggota keluarga yang bekerja) FRIEND (Jumlah teman) HN (Kesediaan saling Bantu) BNTFSK (kemudahan memperoleh Bantuan Fisik) CC (Kemudahan menitipkan anak) CHL (Jumlah anak yang sekolah) FR (Jumlah free rider)
Pertanyaan dalam Kuisioner* 2.1 2.2A 2.4 2.3J 2.3I 2.3D 2.3E 2.3F 2.3G 1.1 5.4 5.6 1.24; 1.28 2.2C, D; 2.5 2.6 1.27 1.28 2.2 B
Disarikan dari Putnam (1993), Grootaert et al. (2004) (cetak biru) dan pemikiran peneliti. * Lampiran 1
Di tingkat mikro, rasa percaya diukur melalui indikator (peubah manifes) rasa percaya sosial (general trust atau GN Trust ), kesadaran untuk bersikap hatihati (aware), dinamika trust (DT) dan Partisipasi dalam setiap kegiatan
55 (PARTSP). Jaringan kerja diukur melalui peubah manifes kepadatan jaringan kerja (NW), pengeluaran sosial (SEXP) dan jumlah teman yang diajak berkeluh kesah (FRIEND). Norma diukur melalui peubah manifes kesediaan menjaga anak-anak tetangga, kerabat maupun teman (CC), jumlah orang yang bersikap sebagai free rider (FR) dan kesediaan membantu secara fisik (BNTFSK).
Indikator (Peubah Manifes) Modal Sosial di Tingkat Meso Modal sosial di tingkat meso mengukur rasa percaya antar anggota maupun rasa percaya anggota terhadap pemimpinnya, kepatuhan pada normanorma bersama serta ikatan-ikatan antar kelompok yang memberi manfaat bagi anggota kelompok yang bersangkutan. Tabel 9 Definisi Variabel Modal Sosial di Tingkat Meso serta Pertanyaan dalam Kuisioner Variabel
Rasa percaya (Trust)
Jaringan Kerja (Network)
Definisi Rasa percaya organisasi tertentu terhadap organisasi lain Rasa percaya terhadap pemimpin kelompok Hubungan dengan organisasi sejenis di wilayah yang sama Hubungan dengan sejenis di wilayah lain
Kepatuhan anggota terhadap Norma (Norm)
Notasi dalam Persamaan
organisasi
DN
Pertanyaan dalam Kuisioner* 1.15
LEADERSP
1.16
Bonding1
1.17 1.18
Bonding2
Hubungan dengan organisasi lain di wilayah yang sama
Bridg1
Hubungan dengan organisasi lain di wilayah lain
Bridg2
1.19 1.20
Kesediaan membayar dana kelompok untuk setiap aktivitas
DANAKEL
Kesediaan membayar dana awal
DANAWL
1.21 1.22
Disarikan dari Grootaert et al. (2004); Miguel, et al. (2002); Brata (2004) (cetak biru) dan dikembangkan berdasarkan pemikiran peneliti. * Kuisioner tersedia pada Lampiran 1
56 Rasa percaya diukur melalui indikator (peubah manifes) kepadatan jaringan kerja dan kepemimpinan, jaringan kerja diukur dari keterkaitan organisasi dengan organisasi lain sedangkan norma diukur berdasarkan kesediaan menanggung pembiayaan organisasi. Pengukuran modal sosial di tingkat meso lebih mencerminkan karakteristik kelompok yang dalam penelitian ini dibedakan atas tiga kelompok sebagai unit analisis, yaitu: (1) Komunitas Subak; (2) Komunitas Pariwisata dan (3) Komunitas Desa Pakraman.
Secara rinci,
pengukuran peubah manifes di tingkat meso disajikan pada Tabel 9.
Indikator (Peubah Manifes) Modal Sosial di Tingkat Makro Pengukuran indikator modal sosial di tingkat makro sedikit berbeda dengan pengukuran indikator modal sosial di tingkat mikro dan meso, karena menggunakan data panel dari seluruh kabupaten dan kota di Bali selama jangka waktu lima tahun sejak tahun 1999 hingga tahun 2004. Indikator-indikator yang digunakan pada penelitian ini, didasarkan atas indikator yang telah digunakan oleh peneliti terdahulu (Putnam, 1993; Collier, 1998, Knack dan Keefer, 1997). Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Biro Pusat Statistik, Dinas Pariwisata, Dinas Kebudayaan, Biro Ekonomi dan Bappeda mencakup Data Bali Membangun, Kabupaten Dalam Angka, PODES, pola konsumsi dan distribusi pendapatan serta SUSENAS. Pada tingkat makro, modal sosial dibedakan pula atas bonding social
capital (modal sosial mengikat) dan bridging social capital (modal sosial menyambung). Modal sosial yang berdasarkan ikatan yang mengikat (bonding) terbangun
dalam
organisasi
yang
memiliki
homogenitas
tinggi
dalam
keanggotaannya yaitu desa pakraman. Semakin banyak jumlah desa pakraman per-1000 penduduk menunjukkan adanya interaksi yang semakin intensif yang membangun bonding social capital (SCbnd). Sebaliknya, indikator yang menggambarkan terbangunnya bridging social capital (SCbrd) adalah jumlah organisasi lain per-1000 penduduk. Komponen modal sosial yang dipertimbangkan dalam analisis di tingkat makro ini adalah rasa percaya (trust), norma (norm) dan jaringan kerja (network). Rasa saling percaya akan menjadi landasan yang kuat untuk membangun
57 kerjasama sehingga peluang terjadinya konflik dalam kerjasama tersebut menjadi semakin kecil. Tabel 10 Variabel Laten dan Indikator (Peubah Manifes) Modal Sosial
Tingkat/Unit Analisis
Variabel Laten
Indikator (Peubah Manifes)
Mikro / Rumah Tangga
Rasa Percaya (Trust) Jaringan Kerja (Network) Norma (Norm)
1. Rasa Percaya (Fukuyama, Miguel et al.) 1.1 Rasa percaya umum 1.2 Rasa kehati-hatian 1.3 Thick trust 1.4 Thin trust 2. Jaringan kerja (Putnam, Grootaert, Brata) 2.1 Kepadatan jaringan kerja 2.2 Partisipasi 2.3 Jumlah teman 2.4 Dinamika partisipasi 3. Norma 3.1 Kesediaan membantu fisik, uang dan perhatian 3.2 Jumlah free rider
Meso / Kelompok
Rasa percaya (Trust) Jaringan Kerja (Network) Norma (Norm)
1. Rasa Percaya (Miguel et al.; Brata) 1.1 Kepadatan jaringan kerja 1.2 Leadership 2. Jaringan kerja (Coleman,Putnam) 2.1 Keterkaitan antar organisasi sejenis (Bonding) 2.2 Keterkaitan dengan organisasi lain (Bridging) 3. Norma 3.1 Kepatuhan membayar iuran kelompok 3.2 Kesediaan membayar dana awal
Makro / Wilayah
Rasa percaya (Trust) Jaringan Kerja (Network) Norma (Norm)
1.
2.
3.
Rasa Percaya (Collier) 1.1 jumlah konflik 1.2 jumlah desa adat 1.3 Kepadatan penduduk Jaringan kerja (Putnam) 2.1 Jumlah organisasi pemuda 2.2 Jumlah organisasi seni dan olah raga 2.3 Jumlah organisasi wanita Norma 3.1 jumlah organisasi sosial
Sumber : Disarikan dari penelitian terdahulu dan kerangka pemikiran peneliti Nama dalam ( ) adalah peneliti terdahulu yang telah menggunakan variabel tersebut
58 Di Bali, frekwensi kegiatan bersama (collective action) masih sangat tinggi terutama berkaitan dengan aktivitas desa dan banjar pakraman seperti membersihkan lingkungan rumah, tempat peribadatan (pura) dan upacara adat serta keagamaan. Namun demikian, kegiatan bersama saja tidak cukup menjadi indikasi terbangunnya rasa percaya karena kegiatan bersama tersebut didasari oleh adanya sanksi sosial yang kuat. Proksi rasa percaya antar masyarakat yang lebih memadai untuk kondisi di Bali adalah adanya konflik antar masyarakat yang diselesaikan di lembaga formal. Indikator norma diproksi dari jumlah lembaga sosial formal dan informal yang ada di suatu wilayah sedangkan jaringan kerja diproksi dari jumlah organisasi profesi di wilayah tersebut. Pada Tabel 10 disajikan secara rinci keterkaitan antara variabel laten dan indikator (peubah manifes) yang digunakan pada berbagai tingkat analisis. Variabel laten yang digunakan dalam penelitian ini meliputi rasa percaya (trust), jaringan kerja (network) dan norma (norm) dengan indikator (peubah manifes) yang berbeda-beda di masing-masing tingkat (unit) analisis. Beberapa indikator (peubah manifes) merupakan indikator pada penelitian terdahulu, sedangkan sebagian lainnya disarikan dari berbagai pustaka modal sosial dan hanya digunakan dalam penelitian ini.
Metode Analisis Data Uji Beda Rataan Indikator Modal sosial Di Wilayah Maju dan Wilayah Belum Berkembang Data primer dianalisis dengan menggunakan analisis non-parametrik agar dapat dideskripsikan secara terinci mengenai hubungan antar masing-masing indikator yang membangun variabel rasa percaya, jaringan kerja dan norma. Hipotesis tentang hubungan antar indikator tersebut diuji berdasarkan nilai korelasi Spearman. Selain itu, dilakukan pula uji beda dua sampel yang tidak berhubungan untuk mengetahui apakah dua populasi memiliki sifat-sifat yang identik. Adapun hipotesis yang diuji dapat dirumuskan sebagai berikut:
H 0 : μ M = μ BB H1 : μ M ≠ μ BB
59 dimana:
μM μ BB
= rata-rata populasi di wilayah maju = rata-rata populasi di wilayah belum berkembang Hipotesis awal (H0) menyatakan bahwa rata-rata populasi di wilayah
belum berkembang identik dengan rata-rata populasi di wilayah maju sedangkan hipotesis alternatifnya adalah rata-rata populasi di daerah belum berkembang tidak identik dengan rata-rata populasi di wilayah maju. Hipotesis tersebut digunakan untuk masing-masing indikator modal sosial yang diamati. Dasar pengambilan keputusan: Jika probabilitas lebih besar dari (>) α, maka H0 diterima Jika probabilitas lebih kecil dari (<) α, maka tidak terdapat cukup bukti untuk menerima H0. Metode analisis data disesuaikan dengan tujuan penelitian yang diinginkan dan sifat data yang diperoleh.
Alur pemikiran penelitian yang
mengaitkan antara tujuan penelitian, jenis data yang diperlukan, sumber data, metode analisis serta proses pengolahan datanya dijabarkan secara rinci pada Gambar 10. Analisis terhadap seluruh variabel secara bersama-sama dilakukan melalui uji nilai tengah multi variate (peubah ganda). Pengujian yang digunakan adalah statistik T2 Hotelling yang tersedia dalam program SPSS. Analisis ini bertujuan menguji hipotesa berikut: H0: Semua indikator modal sosial di wilayah berkembang sama dengan wilayah maju (μ = μ0) H1: Setidak-tidaknya ada satu indikator modal sosial yang berbeda antara wilayah maju dan wilayah belum berkembang (μ ≠ μ0) Kriteria pengambilan keputusan adalah: Jika probabilitas lebih besar dari (>)α, terima H0. Jika probabilitas lebih kecil dari (<)α, tidak terdapat cukup bukti untuk menerima H0.
60
Tujuan Umum
Mempelajari Modal Sosial dan Mengetahui Keterkaitannya dengan Kesejahteraan Rumah Tangga, Pertumbuhan, Kemiskinan dan Pembangunan ekonomi wilayah serta menganalisis strategi pelaku dalam pembangunan modal sosial
Tujuan Khusus
Jenis Data
Mengidentifikasi faktor-faktor dominan modal sosial di tingkat mikro dan meso
Data primer dan Sekunder
Menganalisis keterkaitan modal sosial dan pendapatan rumah tangga
Menganalisis keterkaitan modal sosial dan pertumbuhan, kemiskinan serta pembangunan ekonomi wilayah
Analisis strategi pemerintah provinsi, kabupaten dan masyarakat dalam revitalisasi modal sosial
Data primer
Sumber Data 400 responden di 4 Kabupaten Jembrana, Badung, Gianyar, Karangasem dan 3 kelompok komunitas Subak, Banjar, HPI, PHRI dan Asita
400 responden di 4 Kabupaten Jembrana, Badung, Gianyar dan Karangasem
Metode Analisis
Output analisis
Structural Equation Model
Indikator modal sosial yang nyata di tingkat mikro dan meso
Two Stage Least Square
Data Panel
Data Panel dari 8 kabupaten dan 1 kota tahun 1999 – 2004 meliputi PDRB, PAD, pertumbuhan output, Tenaga kerja, modal fisik dan data sosial kependudukan
Two Stage Least Square
Data Primer dan Sekunder
Data Pengeluaran sosial masyarakat, bantuan pemda untuk aktivitas sosial
Extensive Game
Hubungan saling mempengaruhi antara modal sosial di tingkat mikro dengan kesejahteraan rumah tangga
Hubungan saling mempengaruhi antara modal sosial di tingkat makro dengan indikator pembangunan ekonomi wilayah
Strategi terbaik menguatkan modal sosial tingkat meso di Bali
Gambar 10 Alur Pemikiran dan Proses Penelitian Modal Sosial di Bali
Kajian dan Pembahasan
Sintesis mengenai keterkaitan modal sosial dengan kesejahteraan dan pembangunan ekonomi wilayah serta kajian komparatif terhadap teori-teori dan hasil penelitian terdahulu
61
Identifikasi Faktor-Faktor Dominan Modal Sosial: Pendekatan Pemodelan Persamaan Struktural (Structural Equation Modelling) Untuk mengetahui signifikansi indikator yang membangun modal sosial digunakan analisis pemodelan persamaan struktural (structural equation
modelling atau SEM). SEM adalah analisis yang sangat umum dan merupakan teknis analisis ragam ganda (multivariate) yang sangat kuat (powerful). Asumsi yang diterapkan sangat fleksibel dan menggunakan analisis faktor penegasan (confirmatory factor analysis atau CFA) untuk mengurangi kesalahan yang disebabkan oleh pengukuran. SEM memungkinkan untuk mengatasi masalah autokorelasi pada data rangkai waktu (time series), data yang tidak terdistribusi secara normal maupun data yang tidak lengkap. Selain itu, SEM memungkinkan untuk mengukur dampak langsung maupun tidak langsung. Model SEM secara statistik dapat dinyatakan sebagai: DATA = MODEL + GALAT. Analisis ini dapat menggambarkan bagaimana indeks modal sosial terbentuk dari beberapa indikator atau membangun gugus indikator baru yang lebih tepat karena adanya sifat mengelompok dari gugus yang dibangun semula. SEM sudah digunakan secara luas dalam mengukur perilaku. SEM juga dikenal dengan nama model struktur ragam bersama (covariance structur models) karena menggambarkan struktur kovarian antar variabel yang dipandang sebagai kombinasi dari analisis faktor dan regresi. Penggunaan SEM sebagai alat analisis data kuantitatif bertujuan melihat hubungan antara modal sosial dengan trust,
network dan norm melalui variabel yang diamati seperti rasa percaya antar etnis (thick trust), rasa percaya terhadap etnis lain (thin trust), kepadatan organisasi (network density), partisipasi serta norma saling bantu (altruisme). Ukuran goodness of fit (GoF) model dapat dilihat dari nilai Chi-square,
goodness of fit index (GFI), adjusted goodness-of-fit index (AGFI), root mean square residual (RMSR or RMR), standardize root mean square residual, standardized RMR (SRMR), centrality index (CI), noncentrality index, relative non-centrality index, comparative fit index, incremental fit index dan normed fit index. Beberapa peneliti menyatakan bahwa ukuran GoF tersebut tidak mutlak harus dipenuhi secara total. Terpenuhinya beberapa kriteria saja sudah cukup
62 untuk memutuskan apakah model tersebut cocok atau tidak cocok.
Kriteria
statistik dari kebaikan model sangat sensitif dengan ukuran sampel dan seluruh GoF merupakan beberapa fungsi dari Chi-square dan derajat bebas. Sebagian besar indeks kecocokan tersebut tidak hanya mempertimbangkan kebaikan model namun juga kesederhanaannya. RMSE adalah ukuran goodness of fit yang harus diperhatikan
apabila
(approximations).
tujuan
permodelan
untuk
melakukan
pendugaan
Nilai RMSE harus memiliki nilai yang relatif kecil (<0.05).
Model memiliki kecocokan yang sempurna apabila indeks kebaikan (GFI) sama dengan satu. Namun Hair et al. (1998) dan Bollen (1989) menyatakan bahwa model dapat diterima bila P-value >0.05 dengan RMSE ≤ 0.08 . Terdapat beberapa kriteria yang berkembang berkaitan dengan efek dari masing-masing variabel laten terhadap indikator (peubah manifes), salah satunya adalah kriteria Kline (1998) yang menyatakan bahwa ada dua kategori untuk mengukur efek variabel laten terhadap indikator (peubah manifes).
Kategori
pertama dibedakan atas (1) <0.2 tidak nyata ; (2) 0.2 – 0.5 kecil; (3) 0.5 – 0.8 sedang dan (4) >0.8 besar.
Kategori kedua mendefinisikan efek atas tiga
kelompok yaitu (1) <0.1 kecil; (2) mendekati 0.3 dikategorikan sebagai medium dan (3) mendekati 0.5 dikategorikan besar. Ukuran kecocokan model ditentukan dari p-value nilai Chi-square, Goodness of Fit Index (GFI), adjusted goodness-of-
fit index (AGFI), root mean square residual (RMSR atau RMR) dan standardized root mean square residual (SRMR). Salah satu program SEM yang popular adalah Linear Structural Relation (LISREL) yang diperkenalkan oleh Jöreskog dikembangkan awal tahun 1970-an merupakan program yang sangat berguna untuk menentukan model persamaan struktural dan multilevel data pengamatan yang bersifat lintang waktu (cross-
section). Model LISREL dibangun dalam tiga persamaan matriks yaitu (1) model pengukuran variabel laten eksogen x = λxξ + δ; (2) model pengukuran variabel laten endogen y = λyη + ε, dan (3) model persamaan struktural η = Вη + Гξ +ζ, dimana :
η ξ ζ В Г
= = = = =
vector galat dari peubah laten endogenus m x 1 vector galat dari peubah laten eksogenus n x 1 vector galat bagi persamaan struktural berukuran m x 1 matriks koefisien dari η berukuran m x m matriks koefisien dari ξ berukuran m x n
63
x y
= = = = = = =
λx λy
δ ε e
vektor indikator peubah laten eksogenus q x 1 vektor indikator peubah laten eksogenus p x 1 matriks koefisien regresi (loading) x terhadap ξ berukuran q x n matriks koefisien regresi (loading) y terhadap η berukuran p x m vektor galat pengukuran dari x berukuran q x 1 vektor galat pengukuran dari y berukuran p x 1 error e-AWARE AWARE
λ
ε
e-PARTSP
PARTSP
λ
SC
e-DT
DT
Trust
γ
e-GNTRUST
GNTRUST
Norm
Network
λ
CC
e-CC
FR
e-FR e-BNTFSK
BNTFSK
e-NW
NW
(1)
e-SEXP
SEXP
e-FRIEND
FRIEND
e-DN
λ
DN
e-LEADERSP
LEADERSHIP
e-BONDING1
BONDING1
e-BONDING2
BONDING2
e-BRIDG1
BRIDG1
e-BRIDG2
BRIDG2
e-DANAAWL
DANAAWL
e-DANAKEL
DANAKEL
Trust ξ1
γ Modal Sosial
Network ξ2
λ
ε
γ Norm ξ3
(2)
Gambar 11 Model Persamaan Struktural Modal Sosial di Tingkat Mikro (1) dan Meso (2) Signifikansi dari model LISREL terletak pada terintegrasinya model pengukuran analisis faktor dan model persamaan struktural ekonometrik. Jöreskog dan Sörbom (1999) memperkenalkan dua indeks kecocokan suatu model yaitu Goodness of Fit Index (GFI) dan adjusted goodness of fit index (AGFI) yang menggambarkan tingkat kompleksitas dari model.
Indeks lain adalah Tucker
Lewis Index (TLI) yang lebih dikenal sebagai Non-Normed Fit Index atau NNFI
64 dan Normed Fit Index (NFI). Hasil simulasi menunjukkan bahwa indeks sangat dipengaruhi oleh besarnya sampel. Hipotesis dapat dinyatakan sebagai berikut : H0: Model Cocok (model sudah sesuai dengan data empiris) H1: Model Tidak Cocok (model belum sesuai dengan data empiris) Kriteria penerimaan hipotesis nol: Apabila nilai p-value lebih besar dari 0.05 maka terima H0 atau dikatakan model telah cocok (tidak cukup bukti untuk menolak H0) sedangkan jika p-value kurang dari 0.05 maka tolak H0 atau model tidak cocok (tidak terdapat kesesuaian antara model dan data).
Analisis Keterkaitan antara Modal Sosial dan Kesejahteraan: Pendekatan di Tingkat Mikro dan Makro Analisis Keterkaitan antara Modal Sosial dan Kesejahteraan Rumah Tangga Ibanez et al. (2002), mengembangkan model analisis modal sosial individu i di wilayah j yang dinyatakan dengan SCij ditentukan oleh karakteristik individu, karakteristik rumah tangga atau komunitas, gugus dari kontrol wilayah, gugus dari kontrol etnis ETij dan faktor galat, εij. Menurutnya, modal sosial dapat diukur melalui dua cara yaitu (1) keanggotaan dalam kelembagaan formal dan informal dan (2) melalui pengukuran interdependensi informal yang berdasarkan pada keterlibatan individu dalam aktivitas bersama. Analisis modal sosial dalam penelitian ini memodifikasi model Ibanez, yang secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :
sexp ij = β 0 + β 1tm n ij + β 2 inc ij + β 3 w ilij + ε ij ................................(9) dimana: sexpij = modal sosial individu i di wilayah j yang diproksi dari pengeluaran sosial
tmnij
= jumlah teman individu ke i di wilayah ke j.
incij
= tingkat pendapatan rumah tangga dari individu ke i di wilayah ke j.
wilij
= variabel dummy dari wilayah. 0 untuk wilayah belum berkembang dan 1 untuk wilayah maju.
εij
= sisaan (error term)
65 Modal sosial individu yang menetap di suatu wilayah ditentukan oleh luasnya jaringan kerja informal yang dibangunnya, besarnya pendapatan rumah tangganya serta karakteristik wilayah dimana dia menetap. Luasnya jaringan kerja informal yang umumnya memiliki keanggotaan yang lebih heterogen, memberi peluang yang lebih besar untuk memperoleh informasi yang lebih beragam.
Pendapatan menjadi faktor penting yang dipertimbangkan dalam
menganalisis modal sosial mengingat pembentukan jaringan kerja dan asosiasi seringkali memerlukan biaya dalam konteks membutuhkan waktu dan sumber daya lainnya. Oleh karenanya, individu atau rumah tangga dengan pendapatan yang lebih tinggi akan mencurahkan sumber daya lebih banyak dalam pembentukan jaringan kerja agar pembentukan tersebut menjadi lebih mudah. Indeks modal sosial dihitung berdasarkan pada indeks kepercayaan, indeks altruisme, indeks kepadatan organisasi dan indeks partisipasi dalam pengambilan keputusan. Penghitungan indeks dilakukan dengan cara sebagai berikut : Indeks modal sosial =
(nilai teramati − nilai terendah) ( nilai tertinggi − nilai terendah)
Dampak modal sosial terhadap kesejahteraan di tingkat mikro (rumah tangga) dianalisis menggunakan model reduced form seperti yang digunakan oleh Grootaert (1999) dengan beberapa modifikasi. Model analisis yang digunakan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
incij = α 0 + α1Sexpij + α 2 empij + α 3 nwij + α 4 part + ε ij ............................(10) dimana : incij = pendapatan rumah tangga ke i di wilayah j
sexpij = pengeluaran sosial rumah tangga ke i di wilayah j empk = jumlah anggota yang bekerja dari rumah tangga i di wilayah j nwij
= kepadatan jaringan kerja
partij = partisipasi dalam pengambilan keputusan kelompok
ε
= error term Analisis peran modal sosial terhadap kesejahteraan individu maupun
rumah tangga berkaitan erat dengan peran modal sosial dalam menciptakan peluang untuk meningkatkan pendapatan dan memperbaiki dimensi kesejahteraan
66 seperti kesehatan dan pendidikan.
Analisis ini dapat dilakukan dengan
mengasumsikan bahwa modal sosial adalah salah satu modal yang dimiliki individu atau rumah tangga selain aset fisik seperti tanah, rumah, dan sawah. Modal sosial pada persamaan (10) diproksi dengan menggunakan pengeluaran sosial. Asumsi lain yang perlu diperhatikan secara hati-hati adalah asumsi bahwa modal sosial merupakan limpahan aset yang bersifat eksogen, yaitu aset yang menentukan pendapatan dan konsumsi, padahal sebaliknya, pendapatan juga menentukan modal sosial.
Dalam terminologi ekonometrika, modal sosial
dikatakan sebagai faktor endogen sehingga estimasi menggunakan Ordinary Least
Squares (OLS) akan menghasilkan koefisien penduga yang bias. Pemecahan masalah endogenitas ini dilakukan dengan menggunakan penduga variabel instrumen yaitu variabel yang menentukan modal sosial tetapi tidak menentukan kesejahteraan (tidak ditentukan oleh kesejahteraan rumah tangga). Model yang menggunakan penduga variabel instrumen tersebut kemudian dianalisis dengan
Two Stage Least Square (TSLS). Analisis Keterkaitan antara Modal Sosial dan Pertumbuhan, Kemiskinan, Pembangunan Ekonomi Wilayah dan Total Factor Productivity Peran modal sosial dalam kinerja perekonomian dianalisis melalui model pertumbuhan dengan memasukkan modal sosial sebagai salah satu input dalam proses produksi. Dalam menganalisis peran modal sosial ini, diasumsikan bahwa modal sosial adalah benar-benar merupakan modal (Grootaert, 1999) yang bila tidak dilakukan reinvestasi akan mengarah pada kerusakan dan memperburuk kinerja ekonomi. Berdasarkan pada hasil penelitian Glaeser et al. (2001), dapat ditunjukkan bahwa individu yang melakukan investasi dalam sumber daya manusia untuk meningkatkan kapabilitasnya juga melakukan investasi dalam modal sosial. Pernyatakan tersebut berimplikasi bahwa pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui tambahan output akan dicapai bila terjadi pula peningkatan dalam stok modal sosial.
67 Penelitian ini menggunakan pola pikir pertumbuhan standar. Pertumbuhan ekonomi dijelaskan oleh sejumlah variabel ekonomi penting seperti initial level of
income serta proksi untuk modal fisik dan manusia. Model yang dibangun dapat dinyatakan sebagai berikut: Yt = F (Kt, HCt, At, SCt) ....................................................................(11) dimana : Kt, HCt, SCt berturut-turut adalah kapital fisik, modal manusia dan modal sosial sedangkan At adalah faktor produktivitas pengelolaan ekonomi pemerintahan yang diukur dari laju PDRB. Ht mencakup tingkat pendidikan dari angkatan kerja. Model yang dibangun dalam penelitian ini dikembangkan berdasarkan pada teori pertumbuhan baru (New Growth Theory) yang dikombinasikan dengan model Heliwel dan Putnam (2000), Knack dan Keefer (1997) serta Beugeldijk dan Smulder (2003). Variabel terikat (dependent variable) tidak saja meliputi indikator pertumbuhan tetapi juga indikator pembangunan ekonomi dan kemiskinan (IPM dan IKM). Sedikit berbeda dengan model pertumbuhan, maka model pembangunan ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan atas pertimbangan adanya keterkaitan (sifat simultan) antar modal sosial dan indikator hasil-hasil pembangunan. Indikator atau variabel bebas ditentukan dengan berbagai pertimbangan dari hasil penelitian terdahulu. Putnam (1993) berpendapat bahwa pemerintahan dengan rasa saling percaya yang lebih baik akan mampu menyediakan jasa-jasa yang lebih efektif bagi masyarakatnya. Knack dan Keefer (1997) menyatakan bahwa masyarakat yang saling percaya tidak saja mampu memperoleh insentif untuk melakukan inovasi dan mengakumulasi modal fisik namun juga modal manusia.
Pendapat Beugeldijk dan Smulder (2003) juga menjadi salah satu
pertimbangan sehingga variabel bebas dalam model penelitian ini meliputi juga jaringan kerja yang bersifat mengikat (bonding) maupun menyambung (bridging),
net enrollment ratio selain indikator rasa percaya dan norma. Keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya mempertimbangkan ketersediaan faktor fisik (HCt) namun juga faktor non-fisik seperti modal sosial (SCt) dan keadaan yang berkeadilan (Eqt) yang sangat bergantung pada distribusi
68 pendapatan penduduknya. Total faktor produktivitas (At) juga seringkali memberi pengaruh yang nyata terhadap indikator pertumbuhan dan pembangunan. Kondisi sumber daya alam di Bali relatif homogen di setiap kabupaten sehingga ketersediaan faktor fisik yang dipertimbangkan hanyalah ketersediaan tenaga kerja. Secara rinci, spesifikasi model yang digunakan adalah sebagai berikut: Y jt ( SD ) = F ( Eq jt , HC jt , A jt , SC jt )........................................................(12 ) Eq jt = E ( PdGK
jt
HC jt = H ( NERSD
)......................................................................................(13 ) jt
, NERSMP , NERSMA , YK jt )..............................(14 ) jt jt
SC jt = S ( Tr jt , Nm jt , Nw jt , Y jt )................................................................(15 )
dimana :
Yjt(sd) Eqjt HCjt Ajt PdGkjt NER SDjt NER SMPjt NER SMAjt SCjt SCbndjt SCbrdjt Trjt Nmjt Nwjt PADjt Ykjt j t
: Output pada sustainable development (IPM, IKM, PDRB, PAD) : Indeks Equity diproksi dari gini ratio : Sumber daya manusia diproksi berdasarkan jumlah tenaga kerja berkualitas : Produktivitas pengelolaan pemerintahan diukur berdasarkan total factor productivity (TFP) : Jumlah KK Miskin : Rasio pendaftaran neto (Net enrollment ratio) tingkat SD : Rasio pendaftaran neto (Net enrollment ratio) tingkat SMP : Rasio pendaftaran neto (Net enrollment ratio)tingkat SMA : Modal sosial yang diproksi dari persentase etnis non-Bali : Bonding social capital diproksi dari jumlah desa adat per-1000 penduduk : Bridging social capital diproksi dari etnis non-Bali per-1000 penduduk : Rasa saling percaya diproksi dari jumlah kasus (konflik) per-1000 penduduk : Norma saling bantu diproksi dari jumlah organisasi sosial per1000 penduduk : Jaringan kerja diproksi dari jumlah organisasi profesi per-1000 penduduk : Pendapatan Asli Daerah : PDRB per kapita : Wilayah ke j : Tahun ke t
Keadilan adalah keadaan yang bersifat normatif.
Dalam konteks
penelitian ini, keadilan diartikan sebagai suatu keadaan dimana tidak terdapat kesenjangan pendapatan yang tinggi antar golongan.
Keadaan ideal yang
69 diharapkan adalah tercapainya angka gini ratio yang semakin rendah. Keadilan dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin atau semakin sedikit jumlah penduduk miskin maka semakin rendah gini ratio. Sumber daya manusia ditunjukkan oleh jumlah tenaga kerja berkualitas yang ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh besarnya penduduk usia produktif yang masih bersekolah (net enrollment ratio atau NER). Semakin tinggi NER menunjukkan bahwa semakin kecil jumlah penduduk usia sekolah yang bekerja. Hal tersebut berarti pula bahwa tenaga kerja yang tersedia adalah tenaga kerja usia produktif yang sudah menyelesaikan sekolahnya atau paling tidak menamatkan sekolah lanjutan atas sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi NER semakin tinggi kualitas sumber daya manusia di wilayah tersebut. Modal
sosial
adalah
faktor
produksi
yang
sebelumnya
tidak
dipertimbangkan dalam model-model pertumbuhan ekonomi maupun model pembangunan ekonomi wilayah. Dalam penelitian ini, modal sosial diproksi dari jumlah etnis lain yang ada dalam suatu komunitas lokal. Adanya perbedaan etnis akan membangun modal sosial yang mampu menciptakan keuntungan-keuntungan ekonomi dalam proses produktif (Beugeldijk dan Smulder, 2003) sebaliknya homogenitas dalam suatu kelompok atau komunitas hanya akan membangun
inward looking yang bersifat negatif misalnya selalu menyalahkan orang lain atau kelompok lain atas kegagalan atau ketidaknyamanan yang terjadi (Grootaert (1999); Dwipayana (2005)). Narayan dan Pritchet (1999)1 menyatakan masyarakat yang heterogenous akan lebih mampu membangun sistem kontrol dan menghindari perang saudara (civil war). Indikator keberhasilan pembangunan yang digunakan adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang merupakan suatu indeks komposit mencakup tiga bidang mendasar dari proses pembangunan manusia terdiri atas usia hidup (longetivity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent living).
Secara umum, metode
penghitungan IPM yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan metode yang digunakan the United Nations Development Programme (UNDP) maupun Badan Pusat Statistik (BPS). 1
Lihat Narayan dan Pritchett (1999) Cents and Sociability: Household Income and Social Capital in Rural Tanzania
70 Usia hidup diukur melalui indikator angka harapan hidup waktu lahir (life expectancy birth) yang mencakup data rata-rata anak yang dilahirkan hidup dan rata-rata anak yang masih hidup per wanita usia 15–49 tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan data tiga hingga empat tahun sebelum survei yang diperoleh dari dua sumber data yaitu Sensus Penduduk, Survei Penduduk antar Sensus dan Survei Sosial Ekonomi Nasional. Pengetahuan diukur menggunakan angka melek huruf (literacy rate) penduduk 15 tahun ke atas dan rata-rata lama sekolah (mean years of schooling). BPS mengganti rata-rata lama sekolah dengan indikator partisipasi sekolah dasar, menengah dan tinggi. Angka melek huruf diperoleh dari kemampuan membaca dan menulis. Komponen terakhir adalah standar hidup layak yang diukur dari PDRB riil per-kapita yang telah disesuaikan. Angka maksimum dan minimum masing-masing indikator disesuaikan dengan standar global dari UNDP seperti tercantum pada Tabel 11. Tabel 11 Nilai Minimum dan Maksimum Indikator Komponen IPM
Indikator (1) Angka Harapan Hidup (thn) Angka Melek Huruf (thn) Rata-rata lama sekolah (thn) Konsumsi per kapita yang disesuaikan (Rp)
Nilai Maksimum (2) 85
Nilai Minimum (3) 25
100
0
15
0
1 332 720
900 000
Sumber : UNDP dan BPS, 2003
Analisis Strategi Revitalisasi Modal Sosial: Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Masyarakat Memfungsikan kembali modal sosial dalam masyarakat tidak dapat dilakukan melalui aggregasi modal sosial individu maupun rumah tangga walaupun keputusan investasi dalam modal sosial ditentukan oleh individu. Modal sosial di tingkat meso akan terbangun bila kelompok-kelompok dalam masyarakat saling berhubungan. Ada tiga kelompok pengambil keputusan dalam membangun modal sosial di tingkat meso yang memiliki hirarki vertikal yaitu
71 pemerintahan provinsi (pemprov), pemerintahan kabupaten/kota (pemkab) dan masyarakat (swasta) itu sendiri.
Hirarki vertikal seringkali memberi dampak
negatif terhadap modal sosial bila hubungan yang terbangun bersifat substitusi, namun sebaliknya bila hubungan yang terbangun bersifat komplemen maka hirarki vertikal akan menguatkan modal sosial tersebut.
Hubungan antara
pemerintah dan masyarakat dalam merevitalisasi modal sosial bukanlah hubungan searah melainkan hubungan dua arah yang saling menguatkan (mutually
reinforcing relations). Sifat komplemen memungkinkan terbangunnya hubungan yang saling menguntungkan melalui proses difusi pengetahuan dan rasa saling percaya. Rasa percaya inilah yang menjadi komponen utama penguatan modal sosial di tingkat meso. Strategi masing-masing pemain dalam proses memfungsikan kembali modal sosial dapat berupa sikap altruisme (A atau selalu mementingkan kesejahteraan pihak lain), resiprokal (R atau mementingkan pihak lain bila pihak lain juga melakukan hal yang sama), dan selfish (S atau sikap yang selalu mementingkan diri sendiri). Masing-masing pihak memiliki kewenangan untuk memutuskan norma sosial yang akan dipilih antara sifat altruism, resiprokal atau egois (selfish).
Interaksi antar pengambil keputusan ini akan mempengaruhi
investasi modal sosial yang bersifat penting bagi perkembangan ekonomi wilayah.
Pay-off masing masing pemain diukur dari biaya investasi yang harus dikeluarkan untuk membangun modal sosial baik melalui pendidikan, kesehatan, maupun untuk membangun jaringan kerja. Apabila pemain bersifat altruisme maka biaya tersebut ditanggung sendiri, sebaliknya jika bersifat selfish maka tidak mau menanggung biaya sama sekali sedangkan bersifat resiprokal berarti pay-off ditanggung dan dirasakan bersama. Melalui diagram pohon (tree diagram) dapat dijelaskan seperti pada Gambar 12. Analisis peran ini akan menggunakan Extensive Norm-game yang merupakan perluasan dari tiga pemain dalam prisonner’s dilemma game (Axelrod 1997). Untuk analisis norm-game, asumsi rasionalitas yang merupakan asumsi standar dalam game theory, diabaikan. Analisis ini termasuk dalam co-operative
games dimana masing-masing pemain mengetahui strategi yang dimiliki pemain
72 lainnya. Pemilihan strategi oleh masing-masing pemain bergantung pada harapan dan tingkat rasa saling percaya yang dimilikinya. Berdasarkan ganjaran optimum yang ingin dicapai maka dapat ditentukan keseimbangan yang dikenal dengan nama Nash Equilibrium yaitu sekelompok strategi, satu untuk setiap pelaku (pemain) sedemikian sehingga tidak ada pemain yang memiliki insentif untuk mengubah strategi secara sepihak. Pemain berada dalam keseimbangan (equilibrium) jika perubahan strategi yang dilakukan oleh salah satu dari mereka mengarahkannya pada ganjaran yang lebih buruk dibandingkan dengan mempertahankan strategi sebelumnya.
A
Masyarakat Masyarakat
R
Masyarakat
S
P E M K A B
A
Pemprov R
S
Pemprov
Pemprov
Analisis Game antara pemerintah kabupaten dan provinsi
Analisis Game antara pemerintah kabupaten dan masyarakat
Gambar 12 Interaksi antar Stake Holder dalam Pembangunan Modal Sosial Secara rinci, Extensive Norm-game dalam penelitian ini akan dikembangkan dengan tiga pelaku dan dua strategi, yaitu bekerjasama (cooperative)
atau
tidak
bekerjasama
(non-cooperative).
Bekerjasama
membangun modal sosial di Bali akan memberi keuntungan berupa terciptanya keadaan yang aman sehingga masyarakat maupun pemerintah dapat melaksanakan proses produksinya dengan baik. Sebaliknya keputusan untuk tidak bekerjasama akan melemahkan sistem kontrol dan memungkinkan terjadi keadaan yang tidak aman untuk melakukan proses produktif. Selama ini masyarakat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota telah melakukan investasi modal sosial namun terkesan tanpa koordinasi sehingga masyarakat di Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar memperoleh
73 bantuan yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten lainnya.
Kesenjangan ini
tentunya akan berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat membangun modal sosialnya. Secara sederhana, interaksi dua pemain (masyarakat dan pemkab) dalam membangun modal sosial digambarkan pada Tabel 12. Tabel 12 Ganjaran Pemerintah Kabupaten dan Masyarakat Berdasarkan Alokasi Bantuan Dana Sosial untuk Masing Masing Desa Adat di Bali, Tahun 2005
Pemerintah Kabupaten Tidak Bekerjasama
Bekerjasama Masyarakat
Bekerjasama
Jembrana (18979.23 ; 347.870) Karangasem (37000 ; 83100) Badung (56097.07 ; 516.540) Gianyar (34440.31 ; 233.90)
Jembrana (630 ; 347.870) Karangasem (1850 ; 83100) Badung (11900 ; 516.540) Gianyar (3192 ; 233.90)
Tidak Bekerjasama
Jembrana (18979.23 ; 99.045) Karangasem (37000 ; 81) Badung (56097.07 ; 190.059) Gianyar (34440.31 ; 114.157)
Jembrana (630 ; 99.045) Karangasem ( 1850 ; 81) Badung (11900 ; 190.059) Gianyar ( 3192 ; 114.157)
Sumber: Data Primer 2005 dan Data Bali Membangun, 2005 Cetak Biru adalah ganjaran (payoff ) pemerintah kabupaten
Masyarakat dan pemerintah kabupaten (pemkab) atau provinsi (pemprov) masing-masing hanya memiliki dua strategi yaitu bekerjasama (C) atau tidak bekerjasama (NC) dengan ganjaran tertentu. Apabila pemkab memilih bermain dengan strategi X2 (NC) maka masyarakat akan berespons dengan strategi Y2 (NC). Hal tersebut akan menyebabkan kedua pemain berada dalam kondisi Nash
Equilibrium dimana masing-masing pemain tidak memiliki insentif untuk merubah strategi permainannya. Penilaian ganjaran dapat dilakukan secara endogen dan eksogen. Ganjaran yang ditentukan secara endogen sangat bergantung pada perilaku masing-masing pihak, dimana ganjaran satu pihak akan dipengaruhi oleh ganjaran pihak lawan. Ganjaran (payoff) pada kasus membangun modal sosial ditentukan secara eksogen berdasarkan pada biaya sosial yang dikeluarkan serta penerimaan masing-masing pihak.
Keputusan masing-masing pihak untuk membangun
kerjasama berarti bersedia menanggung biaya sosial yang diperlukan dalam
74 membangun interaksi tersebut. Keputusan masing-masing pemain untuk bersikap altruism akan memberikan tambahan pendapatan, sebaliknya keputusan untuk tidak bekerjasama (selfish) akan menyebabkan ketiadaan informasi yang simetris dan timbunya rasa saling mencurigai sehingga menghambat terbangunnya modal sosial serta berkembangnya konflik sehingga menimbulkan rasa ketidaknyaman yang akhirnya menekan aktivitas ekonomi wilayah maupun rumah tangga.
KINERJA PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DI PROVINSI BALI
Provinsi Bali terdiri atas delapan kabupaten dan satu kota, merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki luas wilayah relatif kecil yaitu hanya 0.29 persen dari seluruh luas wilayah Indonesia. Luas wilayah masingmasing kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Bali berturut-turut adalah Kabupaten Buleleng dengan luas terbesar yaitu 1365.88 km2 atau 24.25 persen dari luas provinsi, diikuti oleh Jembrana 841.80 km2 (14.94 %); Tabanan 839.30 km2 (14.90%) dan Karangasem 839.54 km2 (14.90%), sedangkan wilayah lainnya adalah Kabupaten Badung 418.52 km2, Gianyar 368 km2, Klungkung 315 km2, Bangli 520.81 km2 dan Kota Denpasar 123.98 km2; dengan luas total kelima wilayah tersebut sebesar 31.01 persen dari luas provinsi. Sebagai daerah tujuan wisata, Provinsi Bali menghadapi ancaman berkaitan dengan dampak negatif dari akulturasi budaya yang dibawa oleh wisatawan luar negeri. Upaya menekan dampak negatif tersebut sesungguhnya dapat dilakukan sejak awal dengan memetakan terlebih dahulu keadaan sosial budaya saat ini dan perubahan yang telah terjadi. Pemetaan tersebut diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan dalam penetapan kebijakan pembangunan dan memberi arah yang jelas terhadap tujuan pembangunan yang ingin dicapai di masa yang akan datang. Karakteristik sosial budaya serta norma masyarakat tentunya tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor seperti letak geografis, topografis serta sejarah terbangunnya masyarakat tersebut. Bali Utara dan Bali Selatan dipisahkan oleh pegunungan yang membentang di tengah-tengah Pulau, memanjang dari barat ke timur. Berdasarkan perbedaan topografis, Bali dapat dibagi atas wilayah datar (0-2%) seluas 106 775 hektar, bergelombang (diatas 2-15%) seluas 124051 hektar, curam (diatas 15-40%) seluas 171932 hektar dan sangat curam (di atas 40%) seluas 160908 hektar (Profile Daerah Bali, 2003). Letak geografis dan topografis wilayah berkaitan erat dengan mata pencaharian utama penduduk yang menetap di wilayah tersebut. Sebagian besar perdesaan dan perkotaan di Bali terletak di dataran dengan topografis datar. Keberagaman lokasi perdesaan dan perkotaan menyebabkan mata pencaharian
76 masyarakat menjadi sangat beragam sesuai dengan potensi sosial, ekonomi dan budaya wilayahnya. Mata pencaharian utama penduduk di Bali adalah pegawai negeri sipil, petani, penyedia jasa pariwisata, nelayan, pedagang, maupun pekerja seni. Meskipun Bali dikenal mancanegara karena kepariwisataannya tetapi sektor pertanian masih merupakan sektor andalan bagi sebagian besar masyarakat. Hal ini disebabkan oleh (1) tingginya nilai sosial lahan yang membatasi pemilik lahan untuk menjual seluruh lahannya; (2) keterikatan dan tanggung jawab yang tinggi terhadap keberadaan sanggah1 yang berada di desa asal; dan (3) sanksi moral bagi individu yang menjual lahan warisan. Bagi masyarakat di Bali, lahan pertanian merupakan warisan turun temurun yang harus dijaga karena memiliki nilai-nilai religius. Selain itu, tingginya produktivitas lahan menjadi alasan lain yang menyebabkan masih berperannya sektor pertanian.
Keberhasilan
pembangunan pertanian di Bali tidak terlepas dari peran subak serta tersedianya prasana dan sarana transportasi yang memudahkan proses pemasaran produk pertanian (Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 1999). Sebesar 79.45 persen desa di Provinsi Bali masih menjadikan pertanian tanaman pangan sebagai sumber mata pencaharian utama dan hanya 9.18 persen desa bergantung pada aktivitas jasa pariwisata yang terkonsentrasi di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Perbedaan mata pencaharian utama masingmasing desa, cenderung mendorong munculnya ketimpangan pendapatan antar golongan masyarakat maupun antar wilayah kabupaten/kota sebagai contoh kesenjangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di berbagai kabupaten (Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar dibandingkan dengan Kabupaten Bangli, Karangasem dan Jembrana) (Gambar 13). Berdasarkan data Tabel Input-Output Bali tahun 1998, backward effect sektor pariwisata di Bali memang relatif tinggi terutama kemampuannya menyerap produk-produk pertanian dan industri makanan minuman, namun di sisi lain terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) yang tinggi pula.
Upaya
penyediaan komoditas pendukung kepariwisataan tersebut belum maksimal, ditunjukkan dari banyaknya produk pertanian yang dihasilkan di luar wilayah 1
Tempat persembahyangan keluarga batih yang beragama Hindu
77 Provinsi Bali terutama Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat ataupun impor luar negeri (Dinas Perdagangan Provinsi Bali, 2004). Salah satu penyebab rendahnya penyerapan hasil-hasil pertanian Bali di sektor pariwisata adalah
Kontribusi PAD (%)
rendahnya mutu produk dan kurangnya diversifikasi produk pertanian di Bali.
70 60 50 40 30 20 10 0 0.00
Badung
Denpasar
Gianyar Klungkung
20.00
40.00
60.00
Tabanan Karangasem Buleleng JembranaBangli 80.00
100.00
120.00
% Desa/Kota dengan Mata Pencaharian Pertanian Jembrana
Tabanan
Badung
Gianyar
Bangli
Karangasem
Buleleng
Denpasar
Klungkung
Jumlah KK Miskin per 1000 Penduduk
Gambar 13a Kontribusi PAD dan Persentase Perdesaan/Perkotaan dengan Mata Pencaharian Pertanian, Tahun 2004 100 Karangasem
80 60
Jembrana Buleleng Klungkung Tabanan Gianyar Bangli Badung
40 20 0 0
5
10
Denpasar 15
20
25
30
35
40
Jum lah Perkotaan per 100 km 2 Luas Wilayah Jembrana
Tabanan
Badung
Gianyar
Bangli
Karangasem
Buleleng
Denpasar
Klungkung
Sumber: Statistik Potensi Desa Provinsi Bali, 2003; Bali Membangun 2005
Gambar 13b Banyaknya Perkotaan dan Jumlah Kemiskinan di Bali, Tahun 2004 Transformasi struktur perekonomian Bali ternyata tidak disertai dengan transformasi struktur ketenagakerjaan.
Oleh karenanya terdapat ketimpangan
struktur ketenagakerjaan. Sektor kepariwisataan tidak mampu menyerap seluruh tenaga kerja sektor pertanian karena karakteristik tenaga kerja yang dibutuhkan di sektor kepariwisataan sangat berbeda dengan karakteristik tenaga kerja pertanian.
78 Norma dan budaya yang berkembang di sektor pertanian sangat terkait dengan ajaran Agama Hindu sedangkan di sektor pariwisata berkaitan dengan nilai-nilai global dan relatif kurang menyerap nilai-nilai tradisional sebagai salah satu keunikan Bali. Hal tersebut menjadi satu faktor penghambat berjalannya proses transformasi ketenagakerjaan.
Akhirnya, pengembangan kawasan wisata di
daerah pertanian mendorong terjadinya pengangguran dan mempercepat proses pemiskinan bagi kelompok-kelompok tertentu. Berbeda dengan wilayah kabupaten, Kota Denpasar tidak lagi memiliki kawasan perdesaan dan seluruh wilayahnya merupakan perkotaan padahal wilayah kabupaten lain masih didominasi oleh wilayah perdesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian. Masyarakat di Kota Denpasar memiliki mata pencaharian yang lebih beragam seperti pedagang besar dan eceran, jasa pariwisata maupun industri pengolahan. Perbedaan mata pencaharian tidak saja mempengaruhi kondisi ekonomi tetapi juga kehidupan sosial, kehidupan berorganisasi dan berkelompok dari masing-masing masyarakat di Bali. Karakteristik Sosial Karakteristik sosial menekankan pada kehidupan sosial masyarakat yang mencakup aktivitas masyarakat dalam organisasi sosial kemasyarakatan, kelompok profesi, kelompok seni dan olah raga yang tumbuh dan berkembang di Bali. Karakteristik sosial ini berkaitan erat dengan berkembangnya modal sosial dan berpengaruh pula pada proses pembangunan ekonomi wilayah. Beberapa organisasi sosial kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang di Bali adalah desa adat, subak, subak abian serta sekaa (sekehe) kesenian dan olah raga. Kelompok-kelompok yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat menjadi wadah untuk berinteraksi bagi anggota masyarakat. Interaksi yang intensif dan berulang-ulang tersebut dapat menekan terjadinya Prisonner’s dilemma (dilema tahanan) yaitu keadaan saling mencurigai yang mengarah pada pengambilan keputusan-keputusan yang merugikan semua pihak.
Oleh karena
itu, pembahasan kelompok menjadi penting dalam analisis modal sosial, terutama dalam kaitannya dengan pengukuran modal sosial masyarakat yang mencakup keterlibatan masyarakat dalam kelompok tersebut.
79 Di Bali terdapat perbedaan bentuk dan fungsi antara desa dinas dan desa pakraman yang kemudian terbagi dalam struktur yang lebih kecil yaitu banjar dinas dan banjar pakraman. Desa dan banjar dinas berkaitan dengan semua aktivitas administrasi kependudukan sedangkan desa dan banjar pakraman berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Luasan wilayah desa atau banjar dinas dapat saja tidak sama dengan desa dan banjar pakraman.
Desa dan banjar
pakraman juga seringkali dikenal dengan sebutan desa dan banjar adat. Desa pakraman memiliki ciri-ciri sebuah desa dan berperan seperti sepasang suami-istri dengan desa dinas. Desa pakraman terdiri atas satu atau beberapa banjar pakraman. Pimpinan desa pakraman dikenal dengan nama bendesa adat dan dipilih oleh krama desa pakraman. Kekuasaan tertinggi berada pada sangkep (paum, parum)2. Perbedaan mendasar antara desa dinas dan desa pakraman adalah anggota desa pakraman merupakan penyungsung (anggota) pura kahyangan tiga yang sama, sedangkan anggota desa dinas tidak memiliki keterikatan tersebut. Keterikatan dalam desa/banjar pakraman umumnya terjadi karena garis keturunan patrilineal, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya keanggotaan desa pakraman yang disebabkan oleh tempat domisili (krama tamiu). Desa pakraman telah dibangun sejak jaman Bali Kuna, tepatnya sejak kedatangan Mahayogi Markandya Purana yang diperkirakan terjadi pada abad ke8. Kata keraman dalam Prasasti Bwahan tahun 916 Çaka3 diartikan sebagai kelompok masyarakat yang mendiami suatu wilayah tertentu. Pola kehidupan masyarakat yang disebut pakraman ini lebih dimantapkan oleh Mpu Kuturan yaitu seorang rohaniawan yang juga ahli tatanegara. Mpu Kuturan menata kehidupan masyarakat dalam desa pakraman dan memperkenalkan kelompok-kelompok yang lebih kecil sesuai dengan profesinya seperti banjar, subak maupun sekaasekaa lainnya. Desa ataupun banjar pakraman berperan dalam membina umat Hindu terkait dengan aktivitas (upakara-upakara) adat dan keagamaan. Dalam pemahaman modal sosial, interaksi intensif antar individu dalam desa/banjar pakraman akan membangun modal sosial mengikat (bonding social capital) karena desa/banjar pakraman merupakan kelompok yang homogen 2 3
Rapat anggota desa pakraman Tahun Çaka berbeda 79 tahun dari tahun Masehi.
80 ditinjau dari nilai dan norma yang dianutnya.
Semakin banyak waktu yang
tercurah untuk membangun modal sosial dalam desa adat (bonding social capital) akan mengurangi kesempatan untuk membangun modal sosial dengan kelompok lain yaitu modal sosial menyambung (bridging social capital).
Jumlah Desa Dinas dan Desa Pakraman Tahun 2004 Jumlah Desa Pakraman
400 350
Tabanan
300 Gianyar
250 200
Karangasem
Buleleng
Bangli
150 Badung
100 50
Klungkung
Jembrana
Denpasar
0 0
20 Jembrana
40 Tabanan
Badung
60 80 100 Jumlah Desa Dinas Gianyar
Klungkung
Bangli
120
Karangasem
Buleleng
140
160
Denpasar
Sumber: Data Bali Membangun, 2005
Gambar 14 Jumlah Desa Dinas dan Desa Pakraman di Bali, Tahun 2004 Organisasi lain yang juga berkembang di Bali, khususnya dalam masyarakat pertanian adalah subak. Keberadaan subak sangat bergantung pada ketersediaan lahan pertanian. Subak dibedakan atas subak di lahan sawah dan tegalan. Organisasi subak yang telah dikenal secara luas adalah subak yang ada di lahan sawah, sedangkan subak di tegalan (lahan kering) dikenal dengan nama subak abian, namun kedua organisasi tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu meningkatkan hasil pertanian. Nilai-nilai dalam subak telah diakui keefektifannya dalam mengelola sumber daya air untuk aktivitas pertanian. Anggota subak adalah petani yang mengolah lahan pertanian dalam satu aliran pengairan.
Nilai-nilai bersama
(collectivism) mengikat anggota subak dengan tujuan bersama yaitu memelihara kelestarian sistem pengairan tersebut. Permasalahan ataupun konflik yang terjadi antar anggota subak ini diselesaikan sesuai dengan awig-awig maupun sima yang berlaku. Jumlah organisasi subak terbesar ada di Kabupaten Gianyar (515 subak),
81 sedangkan Kabupaten Tabanan, yang dikenal sebagai ”lumbung padi” di Bali, hanya memiliki 278 organisasi subak. Tingginya jumlah subak dapat mendorong terbangunnya interaksi yang intensif antar petani sehingga terjadi arus informasi yang lebih merata. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi jumlah subak (per 1000 ha lahan sawah), maka semakin tinggi tingkat produktivitas lahan sawah, kecuali di wilayah Kabupaten Buleleng (Bali Utara) yang memiliki tingkat kesuburan lahan sawah relatif lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten lain yang berada di Bali
Produktivitas Lahan Sawah
Selatan.
61 60
Gianyar
59
Denpasar
58 57
Karangasem
Badung
56
Klungkung Jembrana
55 54
Tabanan
53 52
Bangli
51 50 0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
Buleleng 12.00
14.00
16.00
18.00
Jumlah Subak per 1000 Ha Lahan Sawah Jembrana
Tabanan
Badung
Denpasar
Gianyar
Klungkung
Bangli
Karangasem
Buleleng
Sumber: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2005
Gambar 15 Jumlah Subak per 1000 Ha Lahan sawah dan Produktivitas di Kabupaten/Kota di Bali, Tahun 2004 Selain subak, organisasi yang masih aktif di Bali khususnya di perdesaan adalah sekaa yaitu kelompok orang yang memiliki aktivitas bersama, baik bersifat temporer maupun permanen, seperti sekaa tari, sekaa gong dan sekaa gaguritan serta banyak lainnya yang memiliki aktivitas kesenian; sekaa nyamuh, sekaa semal, sekaa nandur, sekaa nampah yang bersifat sosial produktif berkaitan dengan aktivitas menjaga kelestarian lingkungan.
Aktivitas sekaa di bidang
budaya dan kesenian bersifat formal sehingga memperoleh bantuan dana dari pemerintah melalui Dinas Kebudayaan sebaliknya dengan sekaa yang bersifat informal dimana sebagian besar anggota sekaa ini merupakan anggota dadia4. 4
Tempat persembahyangan bersama dalam lingkup keluarga besar.
82
Jumlah per 1000 penduduk
Jumlah Organisasi per 1000 Penduduk di Bali, 2004
5 4 3 2 1 0 Jembrana
Tabanan
Badung
Gianyar
Klungkung
Bangli
Karang Asem
Buleleng
Kota Denpasar
Tipe organisasi di masing-masing Kabupaten/kota Total Organisasi Sosial per 1000 penduduk
Jumlah Desa Adat Per 1000 penduduk
Sumber: Data Bali Membangun, 2005
Gambar 16 Jumlah Organisasi Sosial dan Desa Pakraman per 1000 penduduk di Bali, Tahun 2004 Pada umumnya, sekaa yang bersifat formal memperoleh pembinaan dari pemerintah kabupaten maupun provinsi.
Kelompok kesenian paling banyak
berkembang di Kabupaten Gianyar, daerah kesenian dan kebudayaan paling terkenal di Bali, sedangkan kelompok olah raga berkembang pesat di dua kabupaten yaitu Tabanan dan Buleleng. Kabupaten Jembrana merupakan wilayah dengan organisasi seni per 1000 penduduk yang terendah (0.83) sedangkan Kota Denpasar merupakan wilayah dengan jumlah organisasi kepemudaan (Karang Taruna) yang paling rendah. Secara umum, kepadatan organisasi di Denpasar adalah yang terkecil. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh banyak masyarakat yang berstatus pendatang dari kabupaten maupun provinsi lain yang telah terikat dengan organisasi di wilayah asalnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Knack dan Keefer (1997) di 29 negara-negara Eropa yang menyatakan bahwa migrasi merupakan faktor yang berpengaruh terhadap modal sosial terutama kepadatan organisasinya.
Modal sosial di wilayah yang didominasi
pendatang (migran) relatif lebih lemah. Bali tidak terlepas pula dari masalah kesejahteraan sosial masyarakatnya. Pertumbuhan PDRB yang relatif tinggi ternyata disertai dengan peningkatan masalah sosial seperti penyalahgunaan narkoba, pekerja seks komersial, tuna wisma
serta
kriminalitas.
Terbatasnya
kemampuan
pemerintah
untuk
83 menanggulangi masalah sosial tersebut menyebabkan masalah sosial terus menerus bertambah dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu lima tahun sejak tahun 1999 hingga 2003, pertambahan jumlah keluarga miskin cukup signifikan yaitu 147.24 persen sedangkan pertumbuhan penduduk sebesar 10.92 persen dan
Jumlah KK Miskin per 1000 Penduduk
pertumbuhan PDRB sebesar 124 persen (Data Bali Membangun, 2004).
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Karangasem
Jembrana
Buleleng Klungkung
0
10
20
30
40
Gianyar
Badung
Tabanan Kota Denpasar
Bangli
50
60
70
80
90
Pengeluaran untuk Jasa Publik (%) Jembrana
Tabanan
Badung
Gianyar
Bangli
Karang Asem
Buleleng
Kota Denpasar
Klungkung
Sumber: Bali dalam Angka dan Bali Membangun, 2004
Gambar 17
Persentase Pengeluaran untuk Jasa Publik dan Jumlah KK Miskin per Kabupaten di Bali, Tahun 2004
Kemiskinan adalah fenomena yang terjadi di setiap wilayah. Grootaert (1999) menyatakan bahwa peluang terjadinya kemiskinan dapat ditekan melalui modal sosial terutama adanya jaringan kerja yang kuat antar masyarakat. Terbangunnya jaringan kerja meningkatkan akses seseorang terhadap lembagalembaga keuangan baik formal maupun informal dan juga meningkatkan akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan yang akhirnya memutus rantai kemiskinan melalui peningkatan kualitas hidup. Bagaimanapun, jaringan kerja yang efektif akan mampu mengatasi kemiskinan apabila terbangun rasa percaya dan norma yang kuat. Collier (1998) menyatakan padatnya penduduk di suatu wilayah akan meningkatkan interaksi antar mereka sehingga terbangun modal sosial yang kuat. Sebaliknya, rendahnya interaksi dapat melemahkan fungsi sistem kontrol sosial masyarakat. Namun kenyataan di Kota Denpasar bertentangan dengan pendapat Collier. Kota Denpasar memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Bali namun
84 disertai pula oleh tingginya angka kriminalitas per 1000 penduduk yang menunjukkan lemahnya sistem kontrol.
Jumlah tindakan kriminalitas tertinggi
adalah pencurian diikuti dengan penganiayaan termasuk pencurian benda-benda yang disakralkan oleh umat Hindu. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan hasil penelitian Knack dan Keefer (1997).
Jumlah Konflik per 1000 Penduduk
4
Kota Denpasar
3.5 3 2.5 2 1.5
Buleleng
1
Bangli Tabanan Badung Karang Asem Gianyar Klungkung
Jembrana
0.5 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
Organisasi Sosial per 1000 Penduduk Jembrana
Tabanan
Badung
Gianyar
Klungkung
Bangli
Karang Asem
Buleleng
Kota Denpasar
Sumber: Data Bali Membangun, 2005
Gambar 18 Jumlah Konflik dan Organisasi Sosial per 1000 Penduduk di Bali, Tahun 2004 Indikator lain yang dapat menunjukkan modal sosial di suatu wilayah adalah kuantitas konflik yang terjadi di wilayah tersebut.
Konflik yang
diselesaikan melalui lembaga formal seperti pengadilan menunjukkan bahwa peran sosial pemimpin masyarakat mulai melemah. Di Bali, konflik tidak hanya terjadi antar masyarakat namun juga antara masyarakat dengan pemerintah, antar banjar adat, antar partai politik maupun antar kelompok etnis. Hingga tahun 2007, ada kecenderungan peningkatan jumlah konflik dan kriminalitas seperti terjadinya dua kali pemboman tahun 2002 dan 2004 dan konflik antar kelompok agama yang berbeda bahkan ada konflik antar desa adat yang memuncak sehingga terjadi pengrusakan rumah pada saat hari raya Nyepi tahun 2005 - 2007. Sesungguhnya sistem keamanan lingkungan di Bali tidak saja dilakukan oleh pemerintah tetapi juga dilakukan oleh desa pakraman yang dikenal dengan istilah pecalang. Keikutsertaan desa pakraman menjaga keamanan di Bali melalui keberadaan pecalang tersebut diharapkan dapat meningkatkan sistem kontrol
85 terhadap seluruh aktivitas penduduk. Hubungan antara jumlah desa pakraman dan jumlah konflik yang terjadi di seluruh kabupaten/kota di Bali Tahun 2004 disajikan pada Gambar 19. Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi jumlah desa pakraman semakin rendah jumlah konflik yang terjadi.
Selama ini,
pembentukan desa pakraman memang didasarkan atas keberadaan pura Khayangan Tiga yang pada umumnya lebih banyak terdapat di kabupatenkabupaten yang belum berkembang di bandingkan dengan wilayah yang telah berkembang.
Jumlah Konflik
Jumlah Desa Pakraman dan Jumlah Konflik 2000 Denpasar 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 Bangli 400 Badung 200 Jembrana Klungkung 0 0 50 100 150
Buleleng Karangasem Gianyar 200
250
300
Tabanan 350
400
Jumlah Desa Pakraman Jembrana
Tabanan
Badung
Gianyar
Klungkung
Bangli
Karangasem
Buleleng
Denpasar
Gambar 19 Jumlah Desa Pakraman dan Jumlah Konflik di Bali Tahun 2004 Karakteristik Ekonomi Kinerja perekonomian digambarkan melalui karakteristik ekonomi wilayah yang telah dicapai hingga tahun 2004, meliputi Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pendapatan Domestik Regional Bruto Belanja Pemerintah untuk Pelayanan Publik khususnya modal pembangunan. Kinerja pemerintah juga digambarkan oleh rataan pendapatan penduduk serta persentase pendapatan yang dapat dinikmati oleh 40 persen penduduk berpendapatan terendah, 40 persen penduduk pendapatan menengah serta 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi.
86 Sumber pembiayaan pembangunan Provinsi Bali adalah pendapatan asli daerah (PAD) yang terdiri atas pajak, retribusi dan pendapatan perusahaan daerah. Kontribusi PAD provinsi terhadap penerimaan daerah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi PAD kabupaten.
Kontribusi PAD terhadap
penerimaan kabupaten yang tertinggi terjadi di Kabupaten Badung sedangkan terendah di Kabupaten Bangli. Hal ini berkaitan erat dengan sumber penerimaan pajak. Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar memperoleh penerimaan dari pajak hotel dan restoran yaitu aktivitas yang sangat berkaitan dengan perkembangan jasa kepariwisataan. Sebaliknya dengan kabupaten-kabupaten lain yang lebih mengandalkan sektor primer seperti pertanian, perikanan dan perkebunan. Tabel 13 Kabupaten/Kota
Karakteristik Ekonomi Wilayah Bali, 2004 Kontribusi PAD (%)
Pengeluaran (000 Rp)
Jembrana
4.70
237 008 548
Persentase Pengeluaran Jasa Publik (%) 31.39
Tabanan
13.60
363 824 562
29.05
Badung
57.90
652 953 580
62.65
Gianyar
16.65
353 748 753
70.75
Klungkung
6.47
199 019 168
81.30
Bangli
4.06
202 700 708
68.32
Karangasem
7.80
282 930 390
76.99
Buleleng
5.64
372 711 068
84.96
Denpasar
26.00
397 450 647
32.51
Bali
69.39
840 372 564
51.70
Sumber: Bali dalam Angka, 2005
Pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat adalah pengeluaran untuk pelayanan publik. Kabupaten Jembrana, Tabanan dan Kota Denpasar hanya mengalokasikan sejumlah kecil penerimaannya untuk pelayanan publik dan lainnya untuk biaya pegawai padahal sesungguhnya diharapkan bahwa belanja pelayanan publik seharusnya dapat lebih ditingkatkan dari keadaan sekarang. Ketersediaan jasa pelayanan publik yang memadai akan menjadi salah satu indikator terbangunnya modal sosial yang kuat seperti dinyatakan Putnam (1995).
87 Karakteristik Kesejahteraan Karakteristik kesejahteraan masyarakat diukur dari indikator tingkat pendapatan dan distribusi pendapatan di masing-masing wilayah penelitian. Masyarakat di Kabupaten Karangasem memiliki rataan pendapatan terendah dibandingkan dengan ketiga kabupaten lainnya selama lima tahun terakhir. Sebaliknya Kabupaten Badung selalu memiliki rataan pendapatan tertinggi tidak saja dibandingkan dengan ketiga kabupaten yang merupakan wilayah penelitian tetapi juga di Bali.
Tingginya rataan pendapatan masyarakat di Kabupaten
Badung berkaitan dengan produk jasa yang dihasilkan oleh sebagian besar masyarakat mengingat Kabupaten Badung memang telah terkenal di seluruh mancanegara sebagai daerah tujuan wisata yang paling diminati di Bali maupun di Indonesia.
Gini Ratio di Wilayah Penelitian 0.4 0.35
Gini Ratio
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun Jembrana
Tabanan
Badung
Denpasar
Bangli
Klungkung
Buleleng
Karangasem
Gianyar
Sumber: BPS, 2005
Gambar 20 Gini Ratio Kabupaten/Kota di Bali, Tahun 2005 Seluruh kabupaten di Provinsi Bali memiliki distribusi pendapatan yang relatif merata. Kabupaten Badung, sebagai kabupaten terkaya dengan rataan pendapatan penduduk tertinggi ternyata memiliki tingkat pemerataan yang terendah.
Dengan kata lain, 40 persen penduduk berpenghasilan terendah di
Kabupaten Badung menikmati persentase terkecil dari jumlah pendapatan yang ada. Keadaan tersebut menjadi ironis mengingat Kabupaten Badung memiliki bawaan sumber daya alam dan sumber daya fisik buatan manusia yang relatif
88 berlimpah. Adanya kesenjangan yang tinggi antar golongan masyarakat penghasilan rendah, sedang dan tinggi menunjukkan bahwa telah terjadi pengelolaan pemerintahan dan pembangunan yang bias pada daerah, kelompok dan golongan tertentu. Salah satu faktor yang menyebabkan kesenjangan pendapatan adalah perbedaan jenis mata pencaharian penduduk. Pendapatan penduduk yang memiliki mata pencaharian di sektor pertanian relatif lebih rendah dibandingkan dengan sektor jasa mengingat nilai produk pertanian memang lebih rendah. Selain itu, sebagian besar petani di Bali hanya mengusahakan tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan secara tradisional. Di sisi lain, keterkaitan pertanian tanaman pangan dengan pariwisata relatif lemah akibat rendahnya kualitas produk pertanian yang dihasilkan masyarakat sehingga tidak mampu memenuhi standar kualitas yang disyaratkan oleh sektor pariwisata. Karakteristik Spesifik Wilayah Penelitian Wilayah penelitian dikelompokkan atas: (1) wilayah yang belum berkembang dan (2) wilayah maju, didasarkan atas karakteristik ekonomi yang telah dicapai, namun masing-masing kabupaten tetap memiliki karakteristik spesifik yang berbeda dengan kabupaten lainnya. Karakteristik spesifik tersebut berkaitan erat dengan keadaan geografis, topografis maupun lokasinya terhadap pusat pemerintahan Kabupaten Jembrana Daerah penelitian di Kabupaten Jembrana meliputi kecamatan Mendoyo dan Kecamatan Negara. Dua desa di Kecamatan Negara yang dipilih sebagai desa penelitian dalah Dauh Waru dan Sangkar Agung sedangkan dua desa lainnya di Kecamatan Mendoyo adalah Yeh Embang dan Yeh Embang Kangin. Secara geografis, kondisi wilayah penelitian di Kabupaten Jembrana seluruhnya merupakan dataran rendah, dimana dua desa terletak di daerah pantai sedangkan dua desa lainnya bukan pantai. Mata pencaharian utama penduduk Kabupaten Jembrana sebagian besar di sektor pertanian. Oleh karena itu, organisasi yang dominan di kabupaten ini adalah organisasi tradisional subak. Jumlah subak di Kecamatan Negara sebanyak 37
89 dengan jumlah anggota 4608 orang sedangkan di Kecamatan Mendoyo 17 subak dengan anggota sejumlah 3819. Komoditi yang dihasilkan sangat beragam sesuai dengan ketersediaan air. Secara umum, petani menanami lahannya sebanyak satu hingga dua kali setahun kemudian menyelinginya dengan sayur-sayuran atau palawija. Namun di beberapa tempat di desa Yeh Embang dan Yeh Embang Kangin hanya menanam padi satu hingga dua kali setahun dan setelah itu dibiarkan bero. Tabel 14 Karakteristik Wilayah Penelitian di Kabupaten Jembrana, 2005 Karakteristik Kondisi Daerah
Letak Desa (km)
Jumlah penduduk (org)
Jumlah Rumah Tangga (KK)
Total area 2 (km )
jarak dari Ibukota Kecamatan
Kecamatan
Desa
Negara
Dauh Waru
Dataran rendah
Bukan pantai
6920
1752
10.76
0
Sangkaragung
Dataran rendah
Bukan pantai
4227
1058
5.27
5
Yeh Embang
Dataran rendah
pantai
6775
1787
35.49
3
Yeh Embang Kangin
Dataran rendah
pantai
3665
1004
45.79
5
Mendoyo
Sumber: Monografi Desa, 2004; Hasil wawancara dengan Bendesa, 2005
Kebijakan pertanian dilakukan pemerintah kabupaten melalui Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Dinas Perkutut). Ada dua kebijakan yang ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan dan direspons positif oleh petani yaitu kebijakan penetapan harga dasar dan kebijakan penanaman tanaman alternatif (beras ketan) yang memiliki nilai jual lebih tinggi. Selain itu, juga diberlakukan kebijakan bebas biaya pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat di Kabupaten Jembrana.
Bagaimanapun,
kebijakan-kebijakan
populer
yang
ditetapkan
pemerintah tersebut ditujukan untuk meningkatkan rasa percaya masyarakat terhadap para penyelenggara pemerintahan di tingkat kabupaten. Di daerah penelitian, fasilitas publik yang tersedia untuk masyarakat perdesaan maupun perkotaan meliputi prasarana dan sarana transportasi yang memadai hingga seluruh desa dapat dicapai dengan moda transportasi mobil dan motor, prasarana dan sarana kesehatan seperti puskesmas terdapat di Dauh Waru sedangkan puskesmas pembantu terdapat di Sangkar Agung dan Yeh Embang.
90 Kantor pos terdapat di Dauh Waru, penerangan dengan listrik sudah tersedia di seluruh desa, sedangkan media informasi (radio, televisi, surat kabar) dan telekomunikasi juga telah tersedia di seluruh daerah penelitian. Partisipasi masyarakat dalam setiap aktivitas bersama masih tinggi karena takut menanggung sanksi sosial dan sanksi adat yang dikenakan apabila tidak berpartisipasi.
Aktivitas bersama yang rutin dilakukan adalah ayahan yaitu
kegiatan untuk menjaga kelestarian saluran irigasi dan ketersediaan air pertanian. Selain itu, gotong royong untuk menjaga kebersihan lingkungan juga rutin diadakan, sedangkan partisipasi terhadap keluarga yang mengalami musibah kematian dilakukan melalui peturunan5 berupa sumbangan beras, kelapa dan di beberapa tempat berupa upakara untuk pembakaran mayat. Kabupaten Badung Kabupaten Badung adalah kabupaten dengan PAD dan PDRB tertinggi di Bali. Berbeda dengan kabupaten lainnya, tiga wilayah kecamatan dipilih untuk menjadi sampel karena karakteristik geografis, topografis, demografis dan sosial ekonomi Kabupaten Badung sangat bervariasi yaitu Kecamatan Kuta Selatan, Kuta dan Petang.
Dua kecamatan pertama merupakan dataran rendah yang
terletak di daerah pantai sedangkan kecamatan terakhir merupakan dataran tinggi dan terletak di daerah pegunungan.
Karakteristik geografis dan topografis
kecamatan yang berada di daerah pantai memang relatif sama namun mata pencaharian utama masyarakat di Kecamatan Kuta adalah
jasa pariwisata
sedangkan masyarakat di Kecamatan Kuta Selatan selain di sektor jasa juga sebagai nelayan. Berdasarkan data SUSENAS tahun 2002 dan 2003, jumlah penduduk yang memiliki lapangan usaha utama pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan meningkat 8.70 persen, sedangkan lapangan usaha lain menunjukkan penurunan, kecuali keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan.
Tingkat
partisipasi angkatan kerja (TPAK) juga mengalami penurunan dari 66.31 persen menjadi 64.67 persen. Hal ini berkaitan dengan terjadinya tragedi bom pertama yang sempat melumpuhkan perekonomian Bali pada Oktober 2002. Penurunan 5
Peturunan adalah sumbangan wajib bagi setiap rumah tangga di Bali
91 TPAK diikuti oleh meningkatnya jumlah perkara kejahatan ataupun pelanggaran yang dilaporkan pada tahun 2003 sebesar 131.97 persen dibandingkan tahun 2002. Di antara ketiga kecamatan sampel, Kecamatan Kuta Selatan memiliki wilayah terluas dengan jumlah penduduk terpadat. Desa dan kelurahan yang menjadi sampel ditentukan sesuai dengan kriteria lokasi dari ibukota kabupaten dan kecamatan, yaitu Kelurahan Jimbaran (Kuta Selatan), Legian (Kuta) serta Desa Pelaga (Petang). Seperti halnya kepadatan di tingkat kecamatan, kepadatan penduduk di desa/Kelurahan juga tertinggi di Kelurahan Jimbaran dibandingkan dengan Legian dan Pelaga. Tabel 15 Karakteristik Wilayah Penelitian di Kabupaten Badung, 2005 Karakteristik Kondisi Daerah
Letak Desa (km)
Jumlah penduduk (Org)
Jumlah Rumah Tangga (KK)
Total area 2 (km )
jarak dari Ibukota Kabupaten
Kecamatan
Desa/Kelurahan
Kuta
Legian
Dataran rendah
pantai
3329
766
3.05
9.6
Kuta Selatan
Jimbaran
Dataran rendah
pantai
19268
3791
20.5
18.3
Pelaga
Dataran Tinggi
Bukan pantai
5083
1061
39.25
30
Petang
Sumber: Monografi Desa, 2004 ; Hasil wawancara dengan Bendesa, 2005
Seluruh wilayah penelitian dapat dijangkau karena memiliki sarana transportasi yang memadai untuk moda transportasi motor dan mobil. Kondisi jalan dalam keadaan baik dengan fasilitas penerangan listrik di semua desa. Fasilitas telekomunikasi dan media informasi seperti telepon, surat kabar, radio serta televisi tersedia bagi masyarakat. Fasilitas kesehatan seperti puskesmas telah terbangun di setiap desa/kelurahan. Kelembagaan tradisional6 yang bertujuan untuk saling tolong menolong masih terjaga dengan baik. Kegiatan bersama (collective action) wajib diikuti oleh semua kepala keluarga. Kompensasi ketidakhadiran dikenakan dalam bentuk
6
Kelembagaan tradisional yang masih terjaga seperti sekaa resik, gotong royong dan paktu. Sekaa resik adalah kelompok untuk membersihkan lingkungan di pura atau tempat-tempat persembahyangan sedangkan gotong royong adalah aktivitas bersama yang dilakukan masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan di tempat umum atau saat melakukan aktivitas pembangunan sarana publik. Paktus adalah aktivtas untuk saling membantu pada saat salah seorang anggota masyarakat mengalami musibah kematian.
92 denda uang.
Kelembagaan modern juga berkembang pesat seperti lembaga
keuangan desa yang dikenal dengan Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Perkembangan yang pesat terutama terjadi pada pemilikan sisi aset organisasi. Jumlah LPD di Kecamatan Kuta Selatan, Kuta dan Petang berturut-turut masingmasing 9 (sembilan), 6 (enam) dan 15 (lima belas) unit, dengan modal hampir seratus kali lebih besar dibandingkan LPD di kabupaten lain. Hal ini disebabkan oleh modal awal yang lebih besar dan kinerja unit simpan pinjam yang lebih efisien. Secara umum, kondisi sosial ekonomi Kelurahan Jimbaran merupakan yang terbaik dibandingkan dengan wilayah penelitian lainnya. Kabupaten Gianyar Kabupaten Gianyar memiliki jumlah penduduk 375631 jiwa, terdiri atas 188499 laki-laki dan 187132 perempuan, dengan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan yang berimbang di setiap desa/kelurahan yang dipertegas dengan angka sex ratio berkisar antara 95.50 hingga 107.60 pada tahun 2003.
Sebaran
penduduk antar desa/kelurahan dan kecamatan mengalami ketimpangan dengan kecamatan terpadat adalah Kecamatan Gianyar (1427 jiwa per Km2) sedangkan Kecamatan Payangan hanya 460 jiwa per Km2. Sama halnya dengan kabupaten lainnya, wilayah penelitian di Kabupaten Gianyar dapat dijangkau dengan moda transportasi mobil dan motor karena kondisi jalan dalam keadaan sedang hingga baik. Sarana telekomunikasi tersedia di semua wilayah penelitian walaupun terkonsentrasi di Kelurahan Gianyar. Demikian pula dengan fasilitas listrik, radio, televisi dan surat kabar. Fasilitas kesehatan tersedia di puskesmas maupun puskesmas pembantu untuk seluruh masyarakat. Fasilitas pelayanan pos terdapat di seluruh kecamatan namun di Kecamatan Payangan hanya tersedia 1 kantor pos pembantu berbeda dengan Kecamatan Ubud, Sukawati dan Gianyar. Kelembagaan gotong royong (bentuk collective action) masih terpelihara terutama untuk menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, kantor maupun lokasi persembahyangan bersama. Norma saling bantu tetap terbangun dalam ikatan banjar maupun banjar adat terutama terutama saat adanya kematian serta
93 pengabenan seperti ngejot7, arisan, paktus8 dimana masing-masing anggota (krama) mengeluarkan beras, kelapa, gula serta uang sesuai dengan kesepakatan mereka. Besaran yang disepakati oleh masing-masing desa ataupun banjar berbeda-beda disesuaikan dengan keadaan ekonomi anggotanya. Sekaa dalam bidang kesenian berkembang pesat demikian pula sekaa resik, subak dan subak abian. Tabel 16 Karakteristik Wilayah Penelitian di Kabupaten Gianyar, 2005 Karakteristik Kondisi Daerah
Letak Desa (km)
Jumlah penduduk (Org)
Jumlah Rumah Tangga (KK)
Total area 2 (km )
jarak dari Ibukota Kecamatan
Gianyar
Dataran rendah
pantai
9929
2339
2.07
0
Petak kaja
Dataran Tinggi
Bukan pantai
5183
790
3.25
10
Melinggih Kelod
Dataran rendah
Bukan pantai
2708
1008
4.02
2.5
Buahan kaja
Dataran Tinggi
Bukan pantai
3776
865
10.75
7
Kecamatan
Desa
Gianyar
Payangan
Sumber: Hasil Wawancara dengan Bendesa/Lurah, 2005
Seperti halnya di Kabupaten Badung, sektor perdagangan, hotel dan restoran memberi kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Gianyar. PDRB per kapita di Kecamatan Payangan (Rp 6685439.05) ternyata lebih besar dibandingkan dengan Kecamatan Gianyar (Rp 5827791.25). Selain itu, Kecamatan Payangan memiliki pertumbuhan PDRB tertinggi dibandingkan kecamatan lainnya.
Lapangan usaha penduduk terkonsentrasi pada industri
pengolahan makanan dan minuman (33.22 persen) diikuti dengan pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan serta perdagangan besar, eceran dan rumah makan. Permodalan masyarakat dibantu oleh lembaga-lembaga keuangan formal dan non-formal. Salah satu kembaga keuangan formal yang dimiliki oleh desa adalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang terdapat hampir di setiap desa dengan sumber dana dari APBD pemerintah kabupaten.
Jumlah LPD di
Kecamatan Gianyar 39 unit sedangkan di Payangan 40 unit. 7 8
Menyampaikan makanan berupa nasi, beragam jajanan, buah dan lauk iuran beras, kelapa dan uang saat ada kematian
Selain LPD,
94 pendanaan masyarakat juga difasilitasi oleh KUD, Bank Pembangunan Daerah, Bank Rakyat Indonesia dan lembaga perbankan swasta lainnya. Jumlah kriminalitas yang dilaporkan terbanyak terjadi di Kecamatan Gianyar. Sebagai ibukota kabupaten, Kecamatan Gianyar semakin rentan terhadap tindak kriminalitas terutama penganiayaan, pencurian dan penggelapan. Jumlah keluarga prasejahtera di Kecamatan Gianyar lebih besar dibandingkan Kecamatan Payangan walaupun bukan jumlah tertinggi. Secara umum, ketersediaan fasilitas pelayanan publik terlengkap terdapat di Kecamatan Gianyar dan sebaliknya terdapat di Kecamatan Payangan. Kabupaten Karangasem Kabupaten Karangasem adalah Kabupaten di ujung timur Pulau Bali. Kondisi ekonomi wilayah memiliki kesamaan dengan Kabupaten Jembrana yang didominasi oleh sektor pertanian. Sebagian besar penduduk memiliki pekerjaan utama di sektor pertanian sehingga kontribusi pendapatan terbesar berasal dari sekot pertanian. Berbeda dengan kabupaten lain, jumlah penduduk yang memiliki mata pencaharian di sektor pertanian berkurang 31.18 persen pada tahun 2003, sedangkan di sektor industri dan perdagangan naik masing masing sebesar 8.63 persen dan 10.75 persen.
Fakta tersebut menunjukkan adanya transformasi
ketenagakerjaan dari sektor primer ke sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa perdagangan). Tabel 17 Karakteristik Wilayah Penelitian di Kabupaten Karangasem, 2005 Karakteristik Kondisi Daerah
Letak Desa (km)
Jumlah penduduk (Org)
Jumlah Rumah Tangga (KK)
Total area 2 (km )
jarak dari Ibukota Kecamatan
Manggis
Dataran rendah
pantai
5911
1187
9.85
0
Nyuh Tebel
Dataran rendah
pantai
6416
1502
4.65
7
Bebandem
Dataran tinggi
Bukan pantai
8110
1933
15
0
Sibetan
Dataran Tinggi
Bukan pantai
8269
1838
11.25
3
Kecamatan
Desa
Manggis
Bebandem
Sumber: Hasil Wawancara dengan Bendesa, 2005
95 Sebagai kabupaten termiskin di Bali, Kabupaten Karangasem memang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi terendah yang diikuti pula oleh tingkat pembangunan ekonomi9 yang rendah. Rendahnya indikator kesejahteraan tersebut ternyata tidak disertai dengan buruknya indikator distribusi pendapatan yang ditunjukkan oleh indikator gini ratio yang rendah, artinya tidak terdapat kesenjangan pendapatan yang lebar. Sayangnya, pemerataan tersebut terjadi pada standar hidup yang rendah atau dengan pernyataan lain, di Kabupaten Karangasem terjadi pemerataan keadaan kemiskinan. Bantuan pemerintah kabupaten untuk pembangunan masing-masing desa pakraman sebesar 7.5 juta rupiah sedangkan bantuan pemerintah provinsi 25 juta rupiah per tahun. Bantuan tersebut sebagian besar digunakan untuk membiayai upakara10 dalam persembahyangan bersama yang dilakukan setiap 7 bulan sekali ataupun setahun sekali. pembangunan fisik.
Selain itu, bantuan tersebut juga dialokasikan untuk
Sayangnya, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk
investasi di bidang sosial seperti membangun rasa saling percaya antar anggota, membangun jaringan kerja antar desa adat dalam suatu wilayah maupun melakukan revisi terhadap norma-norma yang kurang relevan dalam kehidupan masa kini ataupun antisipasi terhadap kehidupan di masa yang akan datang. Aktivitas kelompok masih terbina melalui kegiatan bulan bakti oleh banjar dinas, kematian dan pengabenan oleh banjar adat. Partisipasi masyarakat masih tetap tinggi walaupun sanksi uang (bakatan) yang dikenakan sangat kecil hanya sebesar Rp 500 ,- per sekali ketidakhadiran. Tingginya partisipasi masyarakat di Bali memang diakui oleh banyak pihak berkaitan dengan sanksi sosialnya.
Hal ini juga terjadi di Kabupaten
Karangasem. Masyarakat merasa sangat ketakutan apabila dikenai sanksi sosial seperti kesepekang, dikucilkan oleh masyarakat atau diperlakukan tidak wajar ketika melaksanakan upacara adat dan keagamaan. Prasarana dan sarana transportasi di Kabupaten Karangasem dalam kondisi sedang hingga baik sehingga dapat dilalui oleh mobil dan motor ke seluruh desa. Bebandem adalah desa dengan fasilitas publik terlengkap dimana tersedia sebuah 9 Indikator pembangunan ekonomi yang rendah ditunjukkan oleh IPM rendah, IKM tinggi, tingkat kemiskinan tinggi serta pendapatan per-kapita rendah. 10 Alat-alat yang diperlukan dalam upacara adat
96 puskesmas, satu kantor pos serta pelanggan media cetak dan listrik terbanyak. Di Desa Manggis dan Nyuh Tebel terdapat puskesmas pembantu sedangkan di Sibetan belum terbangun.
Di kedua kecamatan tidak terdapat lahan sawah yang
beririgasi teknis dan sebagian besar lahan kering merupakan perkebunan, kecuali di Bebandem terdapat lahan hutan negara seluas 1 055 000 Ha. Jumlah kepala keluarga (KK) yang tergolong Pra KS dan KS I masingmasing sebesar 14 047 KK dan 16 432 KK. Jumlah ini lebih terkonsentrasi di Kecamatan Karangasem, Abang dan Bebandem sedangkan di Kecamatan Manggis relatif rendah. Selama ini, bantuan untuk KK miskin (Pra KS maupun KS I) berupa beras 20 kg serta kemudahan memperoleh jaminan kesehatan dengan menggunakan kartu askes. Wilayah Belum berkembang Dua kabupaten yaitu Kabupaten Jembrana dan Karangasem termasuk wilayah
belum
berkembang.
Kriteria
utama
yang
digunakan
dalam
pengelompokan tersebut adalah pendapatan asli daerah (PAD) dan pendapatan domestik regional bruto (PDRB).
Karakteristik lain adalah kontribusi sektor
pertanian dalam pendapatan regional serta jumlah masyarakat yang bekerja di sektor pertanian. Berdasarkan hasil penelitian karakteristik responden di wilayah belum berkembang menunjukkan bahwa telah tersedia sarana komunikasi seperti kantor pos yang dapat dicapai rata-rata dalam jangka waktu 15 - 30 menit perjalanan dari tempat tinggal mereka.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sarana untuk
berkomunikasi melalui media surat hanya tersedia di tempat-tempat tertentu saja. Sarana komunikasi lain seperti telepon tersedia pada jarak yang relatif lebih dekat, dapat dicapai dalam waktu kurang dari 15 menit. Rataan frekwensi responden membaca koran hanya sekali dalam seminggu.
Frekwensi responden menonton televisi lebih tinggi dibandingkan
dengan memperoleh informasi dari radio. Mereka menonton televisi setiap hari dan mendengar radio hanya beberapa kali dalam seminggu.
Sebagian besar
responden menyatakan bahwa tidak terdapat dinamika yang berarti dalam komunikasi, dengan kata lain komunikasi tetap sama dibandingkan dengan
97 keadaan lima tahun sebelumnya, sedangkan sarana transportasi selalu dalam keadaan baik sepanjang waktu. Wilayah Maju Dua kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Badung dan Gianyar temasuk dalam kelompok wilayah maju. Kedua wilayah tersebut memiliki pendapatan asli daerah (PAD) dan pendapatan regional domestik bruto (PDRB) yang tinggi. Tingginya pendapatan tersebut disebabkan oleh tingginya nilai produk yang dihasilkan yaitu produk jasa pariwisata. Jumlah sarana akomodasi bagi wisatawan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Bali. Hasil penelitian mengenai karakteristik responden di wilayah maju menunjukkan bahwa responden rata-rata harus menempuh 15–30 menit perjalanan untuk mencapai kantor pos. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelayanan publik untuk aktivitas membangun jaringan kerja dan komunikasi melalui surat sama dengan di wilayah belum berkembang yaitu hanya tersedia di tempat tertentu saja. Sarana komunikasi melalui telepon dapat dicapai dalam jarak kurang dari 15 menit.
Sarana informasi melalui media cetak tersedia di setiap desa dengan
jumlah terbatas dan frekwensi responden membacanya relatif tinggi yaitu beberapa kali dalam seminggu. Frekwensi responden menonton televisi lebih tinggi dibandingkan dengan mendengarkan radio maupun membaca koran. Dinamika komunikasi menuju kekeadaan yang lebih baik dan sarana prasarana transportasi baik sepanjang waktu. Uji beda rataan dari dua sampel yang bebas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara karakteristik responden di wilayah belum berkembang dan wilayah maju kecuali pada ketersediaan kantor pos.
Uji
signifikansi dilakukan pada taraf kepercayaan 95 persen. Responden di wilayah maju memiliki frekwensi yang lebih tinggi dalam membaca koran, mendengarkan radio maupun menonton televisi. Ketersediaan sarana telekomunikasi lebih baik dan interaksi ke daerah lainpun lebih tinggi. Hasil analisis deskriptif tersebut menunjukkan bahwa akses dan dinamika masyarakat di wilayah maju lebih baik dibandingkan dengan wilayah belum berkembang.
98 Tingginya mobilitas responden di wilayah maju merupakan akibat dari: (1) jenis mata pencaharian. Pekerjaan di sektor non-pertanian membutuhkan interaksi yang lebih intensif dengan daerah lainnya yang mengharuskan responden untuk memiliki mobilitas yang tinggi; (2) migrasi. Responden di wilayah maju sebagian besar merupakan penduduk pendatang yang berasal dari wilayah yang belum berkembang. Kewajiban terhadap organisasi adat dan keluarga membuat mereka harus tetap menjaga interaksi dengan daerah asal. Hasil analisis deskriptif mengenai karakteristik masyarakat di wilayah maju dan belum berkembang menunjukkan pula bahwa proses pembangunan di Bali mengalami bias pada daerah tertentu yaitu pembangunan yang cenderung lebih mengutamakan daerah berbasis pariwisata dibandingkan dengan daerah pertanian. Keadaan tersebut sangat memprihatinkan mengingat Bali termasuk daerah subur dan terkenal karena kekuatan budaya di bidang pertanian. Tabel 18 Independent Samples Test Sarana Informasi dan Komunikasi di Wilayah Belum Berkembang dan Wilayah Maju, 2005 df
Sig. (2-tailed)
Jarak ke pos
347
.107
Perbedaan Rataan 0.11
Frekwensi baca koran
344
.000
1.15
Frekwensi dengar radio
348
.001
0.55
Frekwensi nonton tv
348
.000
0.13
Sarana komunikasi
348
.000
0.65
Dinamika Komunikasi
346
.039
0.14
Dinamika Sarana transportasi Interaksi ke daerah lain
346
.000
0.24
344
.000
-0.51
Sumber: Data Primer, 2005
Masyarakat di daerah maju, menyatakan bahwa komunikasi dalam lima tahun terakhir tetap sama sedangkan masyarakat di wilayah belum berkembang semakin baik. Di daerah maju, kondisi prasarana transportasi selama lima tahun terakhir tetap sama, selalu dalam keadaan baik sedangkan di wilayah belum berkembang tetap buruk, hanya dapat dilalui sewaktu-waktu.
Hal tersebut
menunjukkan bahwa pembangunan di wilayah belum berkembang mengalami kelambatan dibandingkan dengan pembangunan wilayah maju di Bali.
KARAKTERISTIK MODAL SOSIAL DI EMPAT KABUPATEN DI BALI: Rasa Percaya (Trust), Jaringan Kerja (Network) dan Norma (Norm)
Tingginya stok modal sosial masyarakat dicirikan oleh adanya rasa percaya, tingginya kepadatan jaringan kerja, ikatan masyarakat yang kuat, pertukaran informasi, tingginya frekwensi kegiatan bersama, serta kepatuhan terhadap norma bersama untuk mewujudkan harapan bersama dan menghindari sifat oportunistik individu. pembangunan
yang
Modal sosial mendorong terjadinya suatu proses
beretika
dan
bermoral
yang
bertujuan
mencapai
keseimbangan melalui distribusi hasil-hasil pembangunan yang merata dan berkelanjutan. Selain indikator tersebut, tingginya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan bersama, tingkat toleransi, tingkat heterogenitas etnis dan tingkat kriminalitas juga merupakan indikator modal sosial dalam suatu masyarakat (Stone, 2001). Saat ini di Indonesia, terdapat indikasi terjadinya pelemahan modal sosial masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan intensitas dan frekwensi kerusuhan antar warga masyarakat dalam satu wilayah baik antar etnis, suku, agama maupun antara masyarakat dan aparat pemerintahan, rendahnya partisipasi masyarakat
terutama
dalam pemeliharaan
hasil-hasil
pembangunan
munculnya penolakan-penolakan terhadap kebijakan pemerintah.
dan
Dharmawan
(2002) menyatakan bahwa reformasi di Indonesia memang diikuti oleh pemiskinan rasa percaya yang mengganggu stabilitas ekonomi. Membangun rasa percaya membutuhkan biaya dan waktu namun menghancurkannya dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Paling tidak ada dua cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rasa percaya, yaitu: (1) membangun interaksi intensif yang berulang-ulang; dan (2) memahami dengan baik wakil–wakil (representasi) populasi di suatu wilayah, insentif yang mereka terima serta latar belakang populasi tersebut. Sebaliknya, melemahnya rasa percaya masyarakat akan terjadi apabila kemauan baik untuk melakukan kegiatan bersama semakin menipis dan masyarakat memiliki kecenderungan bertindak asosial. Berita media cetak di Bali (Bali Post, Nusa dan DenPost) edisi April hingga Oktober 2006, menunjukkan berbagai indikator melemahnya modal sosial.
100 Salah satunya adalah reaksi penolakan terhadap berbagai kebijakan pemerintah di Kabupaten Jembrana, Gianyar, Bangli dan Karangasem hingga tingkat desa. Indikasi melemahnya rasa percaya antar kelompok juga ditunjukkan melalui tindakan pengeroyokan masyarakat terhadap anggota satuan polisi pamong praja, melemahnya koalisi antar partai, perusakan rumah warga oleh kelompok lainya, bentrokan antar warga masyarakat, perusakan sarana-sarana pelayanan publik. Melemahnya rasa percaya yang diikuti pula oleh melemahnya jaringan kerja ditunjukkan melalui penurunan partisipasi dalam aktivitas bersama, kesediaan saling tolong menolong serta berkurangnya peran pimpinan kelompok dan teman, terutama dalam penyebaran informasi (Majalah Hindu Raditya, 1988). Selain itu, aturan-aturan yang rigid (kaku) dalam desa pakraman tidak mampu lagi menekan terjadinya pelanggaran dan pembangkangan terhadap aturan adat. Ketidaktaatan masyarakat terhadap aturan adat dan agama serta melemahnya kontrol masyarakat terhadap orang lain ditunjukkan oleh meningkatnya kasus bunuh diri, pencurian pratima (benda-benda keagamaan yang disakralkan) serta konflik antar warna (kasta) yang disertai dengan pelanggaran hak pada hari raya Nyepi, pada saat umat seharusnya mampu menekan hawa nafsunya (Bali Post, Maret 2007 mengenai konflik di Desa Tusan, Klungkung). Konflik-konflik antar kelompok terus terjadi pada empat tahun terakhir ini. Secara keseluruhan, bab ini mencoba untuk menggambarkan
setiap
komponen modal sosial di Bali secara spesifik. Pembahasan dilakukan terhadap: (1) modal sosial individu yang bertempat tinggal di perdesaan dan perkotaan, pengelompokkan yang didasarkan pada jarak tempat tinggal ke ibu kota kabupaten dan kecamatan, serta ketersediaan fasilitas pelayanan publik; dan (2) modal sosial individu yang berada di wilayah belum berkembang dan wilayah maju. Pembahasan mengenai pembentukan modal sosial tidak terlepas dari pemahaman mengenai struktur sosial masyarakat. Struktur sosial pada tulisan ini merujuk pada organisasi sosial dan hubungan sosial antar aktor dalam organisasi tersebut. Bourdieu (1986) menyatakan bahwa terdapat keeratan hubungan antara tindakan sosial seseorang dengan hasil ekonomi yang diperoleh.
Pemikiran
tersebut menjadi dasar pemaparan struktur sosial di Bali sebelum membahas mengenai komponen modal sosial.
101 Struktur Sosial dalam Pembentukan Modal Sosial di Bali Struktur sosial masyarakat di Bali sangat beragam dan dapat dibedakan atas struktur sosial tradisional dan modern. Struktur sosial tradisional berkaitan erat dengan perkembangan Agama Hindu di Bali dan aktivitas masyarakat pertanian di perdesaan sedangkan struktur sosial modern terkait dengan jenis pekerjaan dan hobi (kesenangan) yang berkembang pesat di perkotaan. Berdasarkan proses pembentukannya, struktur sosial tradisional dikelompokkan sebagai struktur sosial objektif yang diterima begitu saja dari satu generasi sebelumnya melalui sosialisasi. Struktur sosial modern seringkali muncul dari interaksi sosial antar subyek karena adanya makna (meaning) bersama, maupun karena penghargaan sosial atau penghargaan ekonomi yang diperoleh (Lawang, 2005). Struktur sosial tradisional yang ada saat ini sesungguhnya dibangun oleh Mpu Kuturan saat pertama kali datang ke Bali dengan tujuan untuk menyebarkan Agama Hindu1. Oleh karena itu, keanggotaannya relatif lebih homogen terutama ditinjau dari sisi agama yang dianut anggotanya.
Struktur sosial tradisional
dibangun berdasarkan sistem kasta (Catur Warga) dan tingkatan hidup manusia (Catur Asrama). Sistem kasta mengelompokkan masyarakat berdasarkan statusnya seperti pemuka agama (brahmana), pelaksana pemerintahan (ksatria), pedagang (waisya) dan kelompok buruh (sudera). Saat ini, struktur sosial tersebut semakin samar karena adanya penyimpangan pemahaman mengenai kasta yang lebih banyak diartikan sebagai klan. Struktur sosial di Bali juga dibedakan atas kelompok usia, yaitu (1) Brahmacarya (usia sekolah), (2) Grahasta (usia kerja), (3) Wanaprasta (usia menyepi untuk mendekatkan diri dengan Tuhan), dan (4) Moksa (saat jiwa (atman) bersatu dengan pencipta-Nya). Setiap individu akan melewati setiap tahapan tersebut sehingga organisasi sosial yang diikutinya pun disesuaikan dengan kelompok usianya. Kentalnya pengaruh agama dalam struktur sosial tradisional memang menyebabkan hubungan sosial kemasyarakatan yang relatif kaku (rigid) sehingga 1
Mpu Kuturan melakukan perjalanan suci ke Bali bersama beberapa pengikutnya. Sepanjang perjalanan tersebut terjadi interaksi dengan penduduk asli sehingga terjadi perkawinan yang kemudian berkembang menjadi berbagai kelompok masyarakat yang membangun struktur sosial di Bali (Ardhana, 1994; Couteau, 1995).
102 seringkali dinyatakan sebagai struktur sosial yang kurang mampu menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Kekakuan tersebut mengakibatkan terjadinya benturanbenturan antara kebutuhan sosial dan kebutuhan ekonomi.
Sesungguhnya
dikotomi tersebut tidak perlu terjadi karena dalam Agama Hindu sendiri sudah diatur melalui ajaran Catur Asrama, dimana setiap manusia melalui beberapa tingkatan dalam proses kehidupannya, sehingga tujuan yang ingin dicapai pada masing-masing tahapan tidak berbenturan. Berdasarkan luasan cakupannya, struktur sosial di Bali dibedakan atas keluarga batih, dadia (mikro), banjar pakraman dan desa pakraman (meso) dan makro (kelompok masyarakat dalam wilayah kabupaten).
Rigiditas dalam
hubungan dalam struktur sosial tradisional mendorong terbentuknya modal sosial yang mengikat (bonding social capital) terutama yang dilandasi oleh rasa percaya antar sesama kelompok yang kuat. Narayan dan Pritchett (1999) dan Grootaert (2001), menyatakan bahwa modal sosial yang berkembang di suatu wilayah memang ditentukan oleh derajat homogenitas antar anggota masyarakatnya. Ditinjau dari sisi agama dan etnis, derajat homogenitas dalam struktur sosial tradisional di Bali tergolong tinggi, karena hampir seluruh anggota berasal dari etnis dan agama yang sama.
Namun sesungguhnya, modal sosial tersebut
terbangun pula dalam derajat heterogenitas yang tinggi ditinjau dari sisi kasta (warna). Secara umum, hubungan antar kasta memiliki struktur yang horisontal namun di beberapa wilayah, kasta Brahmana dan Ksatria masih dianggap sebagai kasta yang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan dua kasta lainnya. Saat ini, modernisasi seringkali menimbulkan benturan-benturan antar kasta tersebut. Keterikatan masyarakat dalam suatu organisasi tradisional (seperti banjar pakraman atau desa pakraman dan subak) tampaknya lebih disebabkan oleh ketaatan terhadap agama serta sanksi sosial daripada kuatnya rasa percaya sosial dalam masyarakat tersebut.
Hal ini harus diantisipasi karena dapat menjadi
sumber terbangunnya konflik laten. Organisasi yang tidak dibangun atas rasa saling percaya melainkan hanya norma-norma, akan tumbuh menjadi organisasi yang memiliki fondasi yang lemah untuk dapat dikelompokkan sebagai modal sosial dan berperan dalam mengatasi konflik-konflik yang mungkin timbul di masa yang akan datang, apalagi sanksi-sanksi yang disepakati tidak diterapkan
103 secara konsisten terhadap semua pihak. Knight (1992) dalam Pretty dan Ward (2001) menyatakan bahwa masyarakat dapat saja terorganisasi dengan baik (memiliki kelembagaan yang kuat dan mekanisme resiprokal) tanpa didasarkan atas rasa percaya, melainkan rasa takut dan kekuatan namun akan mendorong terwujudnya eksploitasi antar golongan. Struktur sosial modern berkembang dalam masyarakat di Bali seiring dengan berkembangnya berbagai mata pencaharian dan kebutuhan akan pengakuan masyarakat terhadap profesi tertentu yang mendorong seseorang untuk berkumpul dan membentuk organisasi formal (Fukuyama, 1999). Struktur sosial modern tentunya harus mampu menjadi komplemen dari struktur sosial tradisional yang telah terbangun, bukan menjadi pesaing yang dapat meniadakan nilai-nilai tradisional yang arif dan bijak (indigenous knowledge). Struktur sosial modern tidak saja bersifat horisontal namun juga bersifat vertikal.
Struktur sosial yang bersifat vertikal seringkali kurang mampu
membangun rasa percaya dan kerjasama dibandingkan dengan struktur sosial yang bersifat horisontal karena keanggotaan dalam jaringan kerja vertikal memiliki tujuan yang sangat beragam. Sebaliknya, jaringan kerja horisontal, umumnya terbentuk karena adanya tujuan dan kepentingan yang bersifat resiprositas. Jaringan kerja horisontal di Bali meliputi kelompok seni, kelompok olah raga, kelompok arisan tetangga dan yang sejenisnya. Aldridge et al. (2002) menyatakan bahwa struktur sosial dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah migrasi atau mobilitas penduduk. Migrasi di Bali tidak saja dilakukan oleh penduduk antar kabupaten di Bali, namun juga oleh masyarakat dari luar Pulau Bali seperti Pulau Jawa dan Madura, Pulau Lombok dan lain sebagainya. Wilayah-wilayah yang menjadi pusat pengembangan pariwisata merupakan daerah tujuan migrasi seperti terjadi di Sanur, Kuta dan Nusa Dua yang dikenal sebagai segitiga emas pengembangan pariwisata di Bali. Keterbukaan suatu wilayah akan meningkatkan heterogenitas. Narayan dan Pritchett (1999) juga menyatakan bahwa menjaga keheterogenan masyarakat dapat menghindari terjadinya perang saudara (civil war) di suatu wilayah. Grootaert (2001) dan Dwipayana (2005) mempertegas dengan menyatakan bahwa derajat homogenitas dalam kelompok akan
104 menentukan cara pandang masyarakat terhadap masalah yang dihadapinya. Masyarakat yang homogen akan memiliki inward looking yang kurang bermanfaat bagi pembangunan dan outward looking yang selalu memandang dunia luar sebagai penyebab kehancuran, kerusakan dan ketidakberhasilan dalam membangun diri sendiri. Modal Sosial di Empat Wilayah Kabupaten di Bali: Jembrana, Badung, Gianyar dan Karangasem Pandangan Putnam (1993), Fukuyama (2000) dan Grootaert (2002) menjadi dasar rujukan utama dalam kajian ini. Bali memiliki karakteristik yang unik yaitu perpaduan antara daerah wisata dan daerah pelestarian budaya. Di satu sisi, pemerintah mendorong pembangunan berbagai sarana pariwisata untuk menarik jumlah wisatawan yang tinggi namun di sisi lain pemerintah tetap menginginkan pelestarian seni dan budaya masyarakat (Ajeg Bali). Dua hal yang bersifat saling bertentangan, karena seni dan budaya sangat dipengaruhi oleh intensitas interaksi antar individu, kecuali masyarakat Bali memiliki rasa percaya yang tinggi terhadap orang lain sekaligus memiliki norma yang kuat untuk membentengi dirinya dari kebudayaan luar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat (83.35 persen) di Bali menyatakan selalu berhati-hati terhadap orang lain dan hanya 16.65 persen menyatakan bahwa mereka percaya dan tidak perlu berhati-hati terhadap orang lain. Perjalanan sejarah masyarakat Bali menunjukkan bahwa sikap kehati-hatian orang Bali telah terjadi sejak dahulu yang ditunjukkan oleh adanya komunitas penduduk asli yang hingga kini bersifat tertutup seperti masyarakat di Trunyan dan Tenganan. Kalaupun terjadi peleburan antara komunitas penduduk asli dengan pendatang, maka hal tersebut hanya terjadi dalam jumlah yang relatif kecil dan sanksi dari peleburan tersebut umumnya berupa hilangnya hak dalam kelompok. Rasa Percaya (Trust), Jaringan kerja (Network) dan Norma (Norm) Individu di Perkotaan dan Perdesaan Rasa percaya boleh jadi bersifat sangat individual (Erikson, 1950; Allport, 1961; Cattell, 1965; Rosenberg, 1956; 1957 dalam Delhey dan Newton, 2002),
105 namun mungkin juga merupakan karakteristik suatu sistem sosial (Putnam, 2000). Rasa percaya sosial merupakan bagian dari karakteristik individu, yang mencakup optimisme, keyakinan pada kerjasama, bahwasanya individu dapat menerima perbedaan dan hidup bersama dengan penuh kedamaian. Namun ada keraguan terhadap hubungan antara rasa percaya dan interaksi antar individu: penyebab ataukah akibat? Apakah rasa percaya yang tumbuh antar individu mendorong individu-individu tersebut untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama ataukah interaksi yang menyebabkan tumbuhnya rasa percaya? Ambiguitas tersebut tidak akan menimbulkan masalah bila kedua komponen memperoleh perhatian yang sebanding dalam upaya membangun modal sosial. Hasil analisis non-parametrik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara sikap kehati-hatian masyarakat perkotaan dan perdesaan di Bali. Masyarakat
perdesaan
memiliki
sikap
kehati-hatian
yang
lebih
tinggi
dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Rataan indikator rasa percaya juga menunjukkan bahwa rasa percaya masyarakat di perdesaan terhadap etnis lain relatif rendah dibandingkan dengan rasa percaya masyarakat perkotaan. Sikap kehati-hatian dan rendahnya rasa percaya terhadap etnis lain tersebut dapat mempengaruhi interaksi sosial yang seharusnya terbangun.
Rasa percaya
masyarakat perkotaan menyebabkan mereka lebih terbuka terhadap orang lain sehingga akses menjadi lebih luas. Keadaan ini mempertegas pendapat Fukuyama (1995), yang menyatakan rasa percaya (trust) akan meningkatkan kekuatan dan daya saing ekonomi serta memungkinkan terjadinya proses pertukaran tanpa rasa takut akan terjadinya kecurangan (Levi, 1996). Terdapat perbedaan yang nyata antara dinamika rasa percaya yang dirasakan oleh masyarakat perdesaan dan perkotaan. Individu yang menetap di perdesaan menyatakan bahwa rasa percaya yang mereka miliki saat ini sama saja dengan rasa percaya pada tahun-tahun sebelumnya, sedangkan individu yang menetap di perkotaan menyatakan bahwa rasa percaya yang mereka miliki saat ini semakin buruk dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya. Dampak berbagai krisis kurang dirasakan oleh masyarakat perdesaan sebaliknya krisis ekonomi dan gangguan keamanan menjadi alasan utama mengapa rasa percaya masyarakat perkotaan semakin buruk.
% masyarakat perkotaan yang menyatakan percaya thp orang lain
106
30 Gianyar
25
Badung Karangasem
20 15 10
Jembrana
5 0 0
5
10
15
20
% masyarakat perdesaan yang menyatakan percaya thp orang lain Jembrana
Badung
Gianyar
Karangasem
Sumber : data primer, 2005 % responden yang menjawab “sebagian besar orang dapat dipercaya” untuk pertanyaan ” Secara umum apakah sebagian besar orang dapat dipercaya?”
Gambar 21 Pemetaan Wilayah Berdasarkan Persentase Masyarakat Perdesaan dan Perkotaan yang Memiliki Rasa Percaya terhadap Orang Lain di Bali, Tahun 2005 Komponen lain dari modal sosial yang diamati dalam penelitian ini adalah jaringan kerja formal dan informal. Jaringan kerja informal ditunjukkan oleh jumlah teman dekat yang dipercayai untuk berkeluh kesah maupun dimintai pendapat dan pandangannya mengenai berbagai hal. Setiap individu di perkotaan memiliki jumlah teman yang lebih banyak dibandingkan dengan yang di perdesaan. Jumlah teman dapat menjadi jaringan sosial yang memberi jaminan bahwa ada orang lain yang setiap saat bersedia membantu. Jaringan kerja formal merupakan jaringan kerja dalam organisasi. Ketergantungan masyarakat perkotaan di Bali terhadap satu organisasi, tidak nampak dalam kehidupan bermasyarakatnya yang ditunjukkan oleh beragam jenis organisasi terpenting bagi kehidupannya, seperti: banjar pakraman, subak, PKK, pengajian, kelompok agama, posyandu, olah raga, arisan maupun organisasi modern yang bergerak dalam profesi tertentu.
Sebaliknya, sebagian besar
masyarakat perdesaan menyatakan bahwa organisasi tradisional subak dan banjar pakraman merupakan kelompok terpenting yang berkaitan langsung dengan tingkat kesejahteraannya. Keragaman organisasi yang tumbuh dan berkembang dalam suatu wilayah berkaitan dengan kemampuan serta keahlian yang dimiliki oleh anggota masyarakat di wilayah tersebut. Misalnya di Bali, perkembangan kelompok olah
107 raga tidak sepesat kelompok seni.
Kelompok seni berkembang pesat di
Kabupaten Badung dan Gianyar serta wilayah-wilayah
kota di Kabupaten
Karangasem. Fenomena tersebut dapat dipahami mengingat perkembangan seni sangat memerlukan bakat dan ketrampilan untuk menekuninya. Tabel 19 Keanggotaan Masyarakat dalam Berbagai Organisasi di Bali, 2005 Kabupaten
Kelompok Sosial (%)
Desa Kota Desa Badung Kota Desa Gianyar Kota Karangasem Desa Kota Sumber : data primer, 2005 Jembrana
Ada
kecenderungan
Kelompok Olah Raga (%)
Kelompok Seni (%)
Kelompok Profesi (%)
0 6.25 13.16 48.00 75.00 51.11 0 36.36
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 5.26 16.00 16.67 4.44 0 22.73
berkembangnya
kelompok-kelompok
100.00 93.75 81.58 36.00 8.33 44.45 100.00 40.91
kesenian
berkaitan dengan perkembangan pariwisata seperti di Kabupaten Badung dan Gianyar serta di perkotaan Kabupaten Karangasem. Seni adalah pekerjaan yang memancar dari hati, tidak berkembang bila hanya mengandalkan ketekunan. Masyarakat akan mampu membangun dan meningkatkan ekspresi keseniannya ke tingkat yang lebih tinggi apabila kebutuhan pokoknya (sandang, pangan dan papan) telah terpenuhi. Oleh karenanya, peluang berkembangnya kesenian akan semakin tinggi di wilayah maju dimana tingkat penghasilan dan kesejahteraannya relatif lebih tinggi. Namun hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena seringkali terjadi sebaliknya, tingginya nilai jual produk seni mendorong masyarakat untuk semakin giat mengembangkan keseniannya. Komponen ketiga dari modal sosial yang diamati dalam penelitian ini adalah norma saling bantu.
Kehidupan sosial masyarakat tradisional di Bali
dibatasi oleh norma-norma yang tersusun dalam suatu aturan adat (awig-awig) tertulis maupun tidak tertulis. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sikap saling bantu di perdesaan maupun di perkotaan.
108 Pemetaan Wilayah Berdasarkan Kepadatan Organisasi Sosial
Pemetaan Wilayah Berdasarkan Kepadatan Organisasi Profesi
Kepadatan Organisasi di Perkotaan
Kepadatan Organisasi di Perkotaan
60
Gianyar
50
Badung
40
Karangasem
30 20 10
Jembrana
100 Jembrana
80 60
Badung 20 0 0
0 0
10
20
30
40
50
60
70
Karangasem
Gianyar
40
20
80
40
60
80
100
120
Kepadatan Organisasi di Perdesaan
Kepadatan Organisasi di Perdesaan Jembrana
Badung
Gianyar
Jembrana
Karangasem
Badung
Gianyar
Karangasem
Sumber: Data Primer, 2005
Gambar 22 Pemetaan Wilayah Berdasarkan Kepadatan Jaringan Kerja Profesi dan Jaringan Kerja Sosial di Bali, Tahun 2005 Bantuan fisik dan keuangan mudah diperoleh dalam masyarakat perdesaan maupun perkotaan. Perbedaan yang nyata terdapat pada indikator kemudahan menitipkan anak dan rumah, terutama saat orang tua atau pemilik rumah harus bertugas ke luar kota. Demikian pula dengan indikator pembonceng (free rider) yang menunjukkan adanya individu asosial yang memanfaatkan orang lain demi keuntungan sendiri. Menitipkan anak lebih mudah di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan.
Hal ini mungkin berkaitan dengan sikap kehati-hatian
masyarakat perkotaan yang lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat perdesaan.
Pemetaan Wilayah Berdasarkan Kesediaan Memberi Bantuan Fisik
Pemetaan Wilayah Berdasarkan Kesediaan Memberi Bantuan Uang
90
Karangasem
80
Gianyar
Jembrana
70
Badung
60 50 40 30 20 10 0 84
86
88
90
92
94
96
98
100
% Masyarakat Perdesaan yang bersedia memberi bantuan fisik
Jembrana
Badung
(a)
Gianyar
Karangasem
102
%Masyarakat Perkotaan yang bersedia memberi bantuan uang
% Masyarakat perkotaan yang bersedia memberi bantuan fisik
100
35 Karangasem
30 Gianyar 25 20
Badung
Jembrana 15 10 5 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
%Masyarakat perdesaan yang bersedia memberi bantuan uang Jembrana
Badung
(b)
Gianyar
Karangasem
109 Pemetaan Wilayah Berdasarkan Jumlah Free rider
%Masyarakat Perkotaan yang menyatakan ada free rider
10
Jembrana
9 8
Karangasem
7 6 5 4 3 2
Gianyar
Badung
1 0 0
10
20
30
40
50
60
% Masyarakat Perdesaan yang menyatakan ada free rider Jembrana
Badung
Gianyar
Karangasem
Sumber: data primer, 2005 (c)
Gambar 23 Pemetaan Wilayah Berdasarkan Indikator Free Rider di Bali, Tahun 2005 Nilai korelasi spearman menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif yang kuat antara kesediaan individu membantu secara fisik, menitipkan anak, partisipasi dalam organisasi, kepadatan jaringan kerja serta rasa percaya dengan jumlah pembonceng (free rider) yang ada di wilayah tersebut artinya semakin banyak jumlah pembonceng (free rider) dapat memperlemah norma saling bantu baik secara fisik, kemungkinan menitipkan anak pada tetangga, melemahkan rasa percaya, menurunkan kepadatan jaringan kerja maupun partisipasi dalam organisasi. Korelasi antara bantuan fisik dan jumlah pembonceng (free rider) ditunjukkan dalam Gambar 24.
jml yang bersedia mem bantu (%)
Korelasi antara Bantuan Fisik dan Adanya Free Rider 100 80 60 40 20 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17
Bantuan Fisik (%)
Jml yang merasa ada Free Rider (%)
Linear (Bantuan Fisik (%))
Sumber: analisis data primer, 2005
Gambar 24 Korelasi Bantuan Fisik dan Jumlah Free Rider di Bali, Tahun 2005
110 Pembonceng adalah fenomena yang melemahkan partisipasi, rasa percaya dan reciprocal norm. Oleh karena itu, pihak berwenang seperti pemerintah, swasta maupun pemimpin masyarakat harus dapat menetapkan kebijakan untuk menekan tumbuhnya pembonceng dalam masyarakat.
Beberapa penelitian terdahulu
menyatakan bahwa adanya pembonceng dapat diatasi melalui penetapan iuraniuran wajib seperti compulsary contribution maupun pengenaan pajak oleh pemerintah. Saat ini, sanksi yang diberlakukan bagi anggota masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam organisasi terutama dalam organisasi tradisional di Bali adalah sanksi moral. Sanksi moral yang berkaitan dengan hubungan manusia dangan penciptanya memang masih relevan dan efektif bagi masyarakat di Bali saat ini, namun perkembangan teknologi dan kemajuan peradaban harus mulai dipertimbangkan agar faktor-faktor yang dapat menghancurkan modal sosial di Bali dapat dihindarkan. Nominal denda yang ditetapkan relatif kecil berkisar Rp 500 hingga Rp 1000 untuk setiap ketidakhadiran dalam aktivitas bersama. Rendahnya sanksi tersebut mungkin menjadi salah satu alasan berkembangnya perilaku pembonceng di Bali. Tabel 20 Uji Beda Rataan Indikator Modal Sosial Individu di Perdesaan dan Perkotaan di Empat Kabupaten, 2005 Indikator Modal Sosial
Desa
Pendapatan Rumah Tangga 922. 012 (000 Rp/bln) Rasa Percaya (GN Trust) 2.30 Kehati-hatian (Aware) 1.95 Kepadatan jaringan kerja (DN) 3.27 Jumlah Teman (Friend) 3.15 Partisipasi (PARTS) 2.47 Pengeluaran Sosial (000 Rp/bln) 142.870 (SEXP) Menitipkan anak (CC) 1.33 Pembonceng (Free Rider atau FR) 3.90 Memberi Bantuan Fisik 1.93 Memberi Bantuan Uang 2.99 Sumber : Analisis Data Primer, 2005
Kota
P-Value
2087.533
(Mann-Whitney) 0.000
2.75 1.91 3.13 3.52 2.20 151.011
0.573 0.005 0.000 0.018 0.000 0.000
1.46 3.81 1.91 2.88
0.026 0.000 0.114 0.365
Lokasi tempat tinggal juga dipertimbangkan sebagai faktor yang mempengaruhi terbangunnya modal sosial individu.
Hasil analisis non-
parametrik menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa kesejahteraan rumah tangga, jumlah teman, pengeluaran sosial dan kemudahan menitipkan anak
111 di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan. Sebaliknya, sikap kehati-hatian, kepadatan jaringan kerja, partisipasi masyarakat perdesaan dan jumlah pembonceng lebih tinggi di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan, sedangkan rasa percaya sosial (general trust atau GN Trust), kemudahan memberi bantuan fisik dan uang tidak berbeda nyata. Rasa Percaya (Trust), Jaringan kerja (Network) dan Norma (Norm) Individu di Wilayah Belum Berkembang dan Wilayah Maju Sebagian besar indikator modal sosial merupakan sikap seseorang atau kelompok orang terhadap orang atau objek tertentu seperti rasa percaya, tolong menolong, kesetiakawanan, rasa aman, dan jaringan kerja.
Rasa percaya,
kesediaan menjalin jaringan kerja dan mematuhi norma yang berlaku merupakan respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Penelitian ini mencoba mengukur modal sosial sebagai variabel laten (variabel konsepsional) melalui variabel terukur (indikator) rasa percaya, jaringan kerja dan norma. Pretty dan Ward (2001), menyatakan bahwa rasa percaya adalah pabrik yang menghasilkan kerjasama.
Fukuyama (1995) mendefinisikan rasa
percaya sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kooperatif yang muncul dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada normanorma yang dianut bersama oleh anggota komunitas tersebut. Salah satu upaya membangun rasa percaya dapat dilakukan melalui aktivitas yang bersifat resiprokal yang memungkinkan terjadinya pertukaran. DeFilippis (2001), menyatakan bahwa pembangunan ekonomi tidak sekedar membutuhkan adanya koneksi atau ikatan-ikatan (bonding maupun bridging capital) namun lebih pada tingkat partisipasi anggota yang terlibat dalam ikatan-ikatan tersebut. Ketiadaan partisipasi dalam suatu jaringan kerja sosial yang kuat, tidak saja mengurangi bahkan dapat meniadakan rasa percaya sehingga modal sosialpun kurang terbangun (Coleman, 1990). Semakin banyak ikatan akan menunjukkan stok modal sosial yang semakin baik. Namun demikian, ikatanikatan tersebut harus selalu dapat diperbaharui untuk menyesuaikan dengan kemajuan teknologi dan tuntutan zaman. Selain itu, ikatan-ikatan tersebut akan semakin baik apabila hubungan yang terbangun didalamnya merupakan ikatan yang bersifat dua arah, bukan searah.
112 Pada beberapa kasus, ketiadaan ikatan atau keterisolasian seseorang atau suatu komunitas memang memberikan manfaat namun sebagian besar keterisolasian menyebabkan terhambatnya proses pembangunan dan proses peningkatan kesejahteraan individu dan wilayah. Lin (2001), menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi luasnya jaringan kerja dan tingkat rasa percaya seseorang adalah adanya kelompok sosial, budaya dan agama. Indikator rasa percaya adalah jawaban dari pertanyaan ”seberapa besar seseorang mempercayai orang lain yang berasal dari etnis yang sama (thick trust) dan etnis lain (thin trust)”(Gambetta, 1998; Fukuyama (1995) dalam Pretty dan Ward, 2001). Indikator sikap kehati-hatian diukur dari rataan terhadap jawaban pertanyaan ”apakah kita dapat percaya terhadap orang lain ataukah kita harus selalu berhati-hati”. Pemetaan terhadap hasil pengukuran kedua indikator tersebut ditunjukkan pada Gambar 25.
Rasa Percaya (General Trust)
Pemetaan Wilayah Berdasarkan Sikap Kehati-hatian dan Rasa percaya (General Trust) 2.8
Wilayah Maju
2.7 2.6 2.5 2.4
Wilayah Belum Berkembang
2.3 2.2 1.8186
1.8187
1.8188
1.8189
1.819
1.8191
1.8192
1.8193
1.8194
Sikap Kehati-hatian Wilayah Belum Berkembang
Gambar 25
Wilayah Maju
Pemetaan Wilayah Berdasarkan Sikap Kehati-hatian dan Rasa Percaya di Bali, Tahun 2005
Indikator-indikator tersebut merupakan indikator yang digunakan oleh Putnam (1993) maupun Grootaert (1999) dalam penelitian modal sosial sebelumnya. Hasil uji beda rataan berbagai indikator modal sosial di wilayah belum berkembang dan wilayah maju menunjukkan bahwa indikator rasa percaya, kepadatan organisasi dan norma saling bantu berbeda secara nyata di kedua wilayah tersebut. Hasil analisis ini mendukung hasil analisis Putnam (1993), Fukuyama (1995) dan Grootaert (1999).
Rasa percaya masyarakat di wilayah
113 maju lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah belum berkembang, demikian pula dengan kesediaan menjaga anak. Tingginya rasa percaya dan sikap saling bantu merupakan indikasi kuatnya modal sosial. Namun kepadatan organisasi di wilayah belum berkembang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah maju (sejalan dengan Knack dan Keefer, 1997). Tabel 21 Uji Beda Rataan Indikator Modal Sosial Individu di Wilayah Belum berkembang dan Wilayah Maju di Bali, 2005 Indikator
Wilayah Maju
Rasa Percaya Kemudahan Menitipkan anak (Norma saling bantu) Kepadatan jaringan kerja (Network Density) Sumber : Analisis Data Primer, 2005
Wilayah Belum Berkembang
P-Value (Mann-Whitney)
2.76 1.46
2.30 1.33
0.00 0.09
3.13
3.27
.000
Rasa Percaya dan Dinamikanya Di Bali terdapat lembaga adat yang hingga saat ini memiliki peran untuk menjaga budaya Bali dan mengikat kuat anggotanya melalui penerapan sanksi moral.
Eksistensi lembaga adat (desa/banjar pakraman) ini tetap terjaga
mengingat fungsi yang dijalankannya berhubungan erat dengan aktivitas keagamaan. Tingginya frekwensi aktivitas yang dilakukan menyebabkan tingginya intensitas interaksi antar individu dari etnis yang sama dan mengurangi intensitas interaksi dengan etnis lain. Hasil analisis menunjukkan bahwa rasa percaya antar sesama etnis (thick trust) lebih tinggi dibandingkan dengan rasa percaya terhadap etnis lain (thin trust). Uji beda dua sampel yang independent menunjukkan bahwa thick trust di wilayah belum berkembang lebih kuat dibandingkan dengan di wilayah maju, sedangkan thin trust tidak berbeda nyata. Terdapat hubungan nyata yang negatif antara rasa percaya terhadap sesama etnis (thick trust) dengan rasa percaya terhadap etnis lain (thin trust) artinya semakin kuat rasa percaya terhadap sesama etnis cenderung diikuti oleh melemahnya rasa percaya terhadap etnis lain. Lemahnya rasa percaya terhadap etnis lain (thin trust) harus diwaspadai mengingat dampaknya terhadap kerukunan antar etnis, kelompok maupun golongan yang cenderung semakin heterogen di
114 Bali. Rendahnya thin trust akan berpengaruh terhadap interaksi antar kelompok masyarakat lokal dengan kelompok masyarakat pendatang, wisatawan maupun pencari kerja. Rendahnya thin trust cenderung akan mengurangi pula sikap keterbukaan (openness behaviour) yang merupakan salah satu komponen penting dalam pengembangan kepariwisataan Bali.
Level Thick dan Thin Trust Masyarakat di Bali, 2005 20.40
21.55
Sangat rendah 18.39
Rendah 10.92
20.00
Sangat rendah
rendah
sedang
tinggi
0.29
2.01
Sangat Tinggi 0.29
0.29
2.87 0.86
0.29
0.29
1.44
1.44
5.75
0.00
Sedang Tinggi
1.44
5.00
1.72
10.00
7.18
15.00
2.59
Thick Trust
25.00
sangat tinggi
Thin Trust
Gambar 26
Keterkaitan antara Rasa Percaya Individu terhadap Individu Sesama Etnis maupun Beda Etnis di Bali, Tahun 2005
Ada kemungkinan rendahnya thin trust masyarakat di Bali disebabkan oleh rendahnya intensitas interaksi antar penduduk lokal dengan pendatang karena sesungguhnya masyarakat Bali merupakan masyarakat yang sangat toleran, mudah beradaptasi dengan sistem yang terbuka (Artadi (1993) dalam Robinson (1995)). Seperti telah diketahui secara luas, padatnya aktivitas dalam desa/banjar pakraman dapat menjadi penyebab rendahnya intensitas interaksi antar penduduk lokal dan pendatang. Selain itu, beragam pengalaman baik dan buruk yang pernah dialami masyarakat Bali akan membentuk sikap dan rasa percaya mereka. Tabel 22 Hasil Analisis Beda Rataan (Uji Mann-Whitney) Rasa Percaya Di Bali, Tahun 2005 Indikator Rasa Percaya (General Trust) Rasa Percaya antar Sesama Etnis (Thick Trust) Rasa Percaya Terhadap Kinerja Polisi Sumber : Analisis Data Primer, 2005
Wilayah Belum Berkembang 2.30 3.32
Wilayah Maju 2.76 3.13
P-Value (Mann-Whitney) .000 .063
3.00
2.49
.000
115 Rasa percaya masyarakat di wilayah belum berkembang dan di wilayah maju terhadap kinerja aparat keamanan juga berbeda nyata.
Masyarakat di
wilayah belum berkembang memiliki rasa percaya yang lebih tinggi terhadap aparat keamanan (polisi) dibandingkan dengan masyarakat di wilayah belum berkembang. Kinerja aparat adalah faktor utama yang dapat membangun rasa percaya masyarakat. Masyarakat akan memiliki rasa percaya yang tinggi kepada aparat apabila kinerjanya baik dan bersih, yang dicerminkan dari kemampuannya mewujudkan keamanan dan ketenteraman bagi masyarakat. Rasa percaya bersifat dinamis yang dinamikanya dipengaruhi oleh faktorfaktor intensitas interaksi, kebudayaan, pengalaman dan institusi (Azwar, 2005). Masyarakat mengakui bahwa rasa percaya mereka bersifat dinamis tidak statis. Sebanyak 59.41 persen masyarakat di wilayah maju menyatakan bahwa rasa percaya mereka telah berubah dalam lima tahun terakhir, 30 persen menyatakan rasa percaya mereka semakin baik sedangkan 29.41 persen merasakan rasa percaya yang semakin melemah.
Sebaliknya di wilayah belum berkembang,
sebagian besar masyarakat (63.01 persen) menyatakan tidak terjadi perubahan rasa percaya. Hanya 19.18 persen merasakan adanya perubahan ke arah yang semakin baik, sedangkan sisanya (17.81 persen) menyatakan rasa percaya yang semakin memburuk.
Persentase Jml Masy
80 63.01
60 40
30
40.59 29.41
S e ma k i n Kua t
19.18 17.81
20
S e m a k i n Le m a h Te t a p
0 Maju
Belum Berkembang
Su mb e r : D a t a P r i me r , 2 0 0 5
Wilayah
Gambar 27 Dinamika Rasa Percaya dan Lokasi Tempat Tinggal, Tahun 2005 Di wilayah belum berkembang, norma-norma kebersamaan masih mengikat kuat sehingga mampu menjadi benteng pertahanan yang menahan masuknya berbagai nilai-nilai baru yang tidak dikehendaki bersama.
Secara
116 umum, di Bali dikenal konsep menyamabraya yang masih berakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Konsep tersebut menyiratkan bahwa keluarga tidak hanya berarti keluarga batih tetapi juga tetangga maupun anggota banjar lainnya. Menyamabraya berarti saling bantu dalam menghadapi masalah yang bersifat material maupun non material. Kekuatan norma tersebut tentunya harus dilandasi oleh sikap saling percaya dan bersifat resiprokal. Rasa percaya tidak saja memelihara keberlangsungan norma-norma yang mengandung nilai kearifan namun juga mendasari keputusan seseorang untuk bergabung dalam suatu kelompok maupun sebaliknya memisahkan diri dari kelompok yang telah diikuti sebelumnya.
Dinam ika Rasa Percaya berdasarkan Tingkat Kehati-Hatian Masyarakat
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
51.71 49.02 29.41 24.71
Semakin Baik
21.5723.57
Semakin Buruk
Tetap
Dinam ika Rasa Percaya Dapat Dipercaya
Perlu Hati-Hati
Gambar 28 Dinamika Rasa Percaya Berdasarkan Tingkat Kehati-hatian Masyarakat di Bali, Tahun 2005 Suatu kelompok atau komunitas yang masing-masing anggotanya memiliki rasa percaya yang tinggi dikatakan kaya akan modal sosial.
Ahli
sosiologi, antropologi dan ilmu politik menyatakan bahwa rasa percaya memiliki peran penting berkaitan dengan pelaksanaan aktivitas bersama (colective action). Kuat lemahnya modal sosial dalam suatu masyarakat dapat diukur melalui tinggi rendahnya tingkat rasa percaya antar masyarakat yang juga tergambarkan melalui partisipasi masing-masing anggota dalam aktivitas bersama dan intensitas kegiatan tersebut. Oleh karena itu, seringkali pula dikatakan bahwa rasa percaya atau modal sosial adalah barang publik (public good), setiap anggota memiliki kesempatan memanfaatkannya namun seringkali merasa tidak berkewajiban untuk
117 memeliharanya. Salah satu upaya untuk menjaga modal sosial adalah melalui sikap tolong menolong antar anggota masyarakat. Semua masyarakat yang memiliki rasa percaya tinggi bersedia memberikan bantuan namun hanya 23.53 persen selalu membantu, 47.36 persen menyatakan hampir selalu membantu dan 29.11 persen menyatakan kadangkadang membantu. Sebaliknya, ada sebagian kecil masyarakat yang memiliki kepercayaan rendah atau kelompok masyarakat yang selalu berhati-hati menyatakan jarang bahkan tidak pernah membantu orang lain (2.26 persen) dan sisanya selalu memberi bantuan pada orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung, masyarakat di Bali selalu berupaya untuk menjaga hubungannya dengan pihak lain dengan cara selalu bersikap saling bantu membantu (menyamabraya). Menjaga hubungan sosial tersebut dalam pengertian lain berarti menjaga modal sosial dalam masyarakat. Sikap hati-hati yang mereka miliki tidak mengurangi sikap saling bantu. Sikap tolong-menolong masyarakat di Bali lebih bersifat resiprokal yang terpelihara
karena adanya kepercayaan
terhadap norma yang dikenal dengan hukum karma (karma pahala)1.
Kesediaan Memberi Bantuan Fisik
Keterkaitan Indikator Kemudahan Memperoleh Bantuan Fisik dan Sikap Kehati-hatian 1.94
Wilayah Belum Berkembang
1.935 1.93 1.925 1.92 1.915 1.91 1.8186
Wilayah Maju 1.8187
1.8188
1.8189
1.819
1.8191
1.8192
1.8193
1.8194
Sikap Kehati-hatian Wilayah Belum Berkembang
Wilayah Maju
Gambar 29 Kesediaan Membantu Orang Lain Berdasarkan Tingkat Kehati-hatian Masyarakat di Bali, Tahun 2005
1
Dikenal dengan Karma Pala, diyakini bahwa setiap perbuatan akan membuahkan hasil
118 Jaringan Kerja dan Partisipasi Kepadatan jaringan kerja masyarakat adalah jumlah organisasi yang ada dalam suatu masyarakat dimana seseorang terlibat di dalamnya. Rataan kepadatan jaringan kerja tertinggi terdapat di Kabupaten Gianyar sedangkan yang terendah di Kabupaten Jembrana.
Sedikitnya ada dua organisasi yang diikuti oleh
masyarakat di Kabupaten Jembrana dan Karangasem (banjar pakraman dan subak), sedangkan di Kabupaten Badung dan Gianyar ada sejumlah anggota masyarakat yang hanya ikut dalam satu organisasi saja, yaitu banjar pakraman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepadatan jaringan kerja masyarakat di Bali relatif rendah (3.19) jika dibandingkan dengan hasil penelitian Grootaert (1999) di tiga provinsi lainnya yaitu Jambi (3.7), Jawa Tengah (6.0) dan Nusa Tenggara Timur (6.5). Di Bali, kepadatan jaringan kerja di wilayah belum berkembang hanya 3.27 sedangkan di wilayah maju lebih rendah yaitu 3.13.
Hasil penelitian
menunjukkan pula bahwa organisasi yang terpenting bagi sebagian besar masyarakat di Bali adalah banjar pakraman. Tidak terdapat hubungan antara rasa percaya dan kepadatan jaringan kerja. Kedua hasil penelitian tersebut mempertegas bahwa keikutsertaan masyarakat dalam suatu organisasi bukan didasarkan atas rasa percaya.
Kenyataannya, keikutsertaan seseorang dalam
organisasi banjar/desa pakraman memang bukan didasarkan atas rasa percaya terhadap pemimpin atau anggota lain dalam organisasi tersebut melainkan keharusan (sanksi adat).
Keterkaitan Kepadatan Jaringan Kerja dan Partisipasi
Partisipasi
2.8
Wilayah Maju
2.75 2.7 2.65
Wilayah Belum Berkembang
2.6 2.55 3.14
3.16
3.18
3.2
3.22
3.24
3.26
3.28
3.3
3.32
3.34
Kepadatan Jaringan Kerja Wilayah Belum Berkembang
Wilayah Maju
Gambar 30 Pemetaan Wilayah Berdasarkan Tingkat Partisipasi Masyarakat dan Kepadatan jaringan kerja di Bali, Tahun 2005
119 Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa rasa percaya tidak berkaitan dengan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Masyarakat yang memiliki tingkat rasa percaya yang rendah maupun tinggi tetap saja memberi partisipasi dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kelompok. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah masyarakat yang berpartisipasi aktif dalam setiap aktivitas kelompok baik pada tingkat rasa percaya rendah maupun tinggi. Analisis ini memang masih dilakukan secara umum tanpa melakukan pengelompokan, sehingga hasil yang diperoleh mungkin saja belum dapat menggambarkan
% Jml Masyarakat yang Berpartisipasi
spesifikasi karakteristik wilayah atau kelompok.
56.86
60.00
51.89
50.00 40.00 20.00 10.00
25.38
23.53
30.00 7.84
11.76
11.74
10.98
0.00 Tinggi
Rendah Rasa percaya
Pemimpin
sangat aktif
kadang-kadang aktif
tidak berpartisipasi
Gambar 31 Keterkaitan Rasa percaya dan Partisipasi Masyarakat di Bali, Tahun 2005 Norma dan Awig-Awig Ketaatan pada norma-norma yang berlaku dalam organisasi banjar pakraman mendorong setiap anggota untuk memberikan kontribusi sesuai dengan ketetapan yang telah disepakati. Norma yang bersifat resiprokal menjadi alasan lain yang mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan banjar pakraman.
Pengeluaran untuk kegiatan sosial merupakan indikator lain
yang digunakan untuk memproksi modal sosial dalam penelitian ini.
Hasil
analisis menunjukkan terdapat korelasi yang nyata antara pengeluaran sosial dengan
kepadatan jaringan kerja, partisipasi serta jumlah pembonceng (free
rider). Di wilayah belum berkembang, semakin tinggi pengeluaran sosial berkorelasi positif dengan kepadatan jaringan kerja, berkorelasi negatif dengan
120 partisipasi dan jumlah pembonceng artinya semakin tinggi kepadatan jaringan kerja seseorang, maka semakin banyak pengeluaran yang harus dikeluarkan. Penduduk di wilayah belum berkembang sebagian besar merupakan petani, pedagang kecil dan pengusaha industri rumah tangga.
Anggota
masyarakatnya dibedakan atas anggota aktif dan tidak aktif. Umumnya, anggota tidak aktif adalah penduduk asli yang melakukan migrasi ke wilayah lain namun tetap terikat dengan keberadaan tempat pemujaan leluhurnya. Kewajiban anggota tidak aktif untuk berpartisipasi dalam kegiatan bersama dapat diganti dengan denda (dedosan). Oleh karena itu, mereka umumnya harus menanggung lebih banyak pengeluaran sosial, sehingga besarnya pengeluaran sosial akan berkorelasi dengan rendahnya partisipasi fisik. Namun demikian, dedosan dapat menjadi media yang mendorong munculnya individu-individu yang bersikap sebagai pembonceng, terutama bila besarnya denda relatif kecil dan dapat dilakukan tanpa alasan yang kuat. Di wilayah maju, pengeluaran sosial memiliki korelasi positif yang nyata dengan partisipasi dan berkorelasi negatif dengan kepadatan jaringan kerja dan jumlah pembonceng.
Semakin tinggi partisipasi semakin tinggi pengeluaran
sosial. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam pemahaman mengenai partisipasi di wilayah maju dan belum berkembang. Berbeda dengan wilayah belum berkembang, partisipasi di wilayah maju diukur pada nilai nominal yang dikeluarkan oleh setiap anggota masyarakat. Pada umumnya, pimpinan kelompok di wilayah maju adalah individu yang telah memiliki kemapanan finansial sedangkan pimpinan kelompok di wilayah belum berkembang adalah individu yang memiliki curahan waktu lebih besar. Simpulan Akhir Bab Pembahasan bab ini menekankan pada analisis komponen modal sosial seperti rasa percaya, jaringan kerja dan norma. Indeks rasa percaya individu di empat kabupaten di Bali berada dalam kategori rendah. Hal ini ditunjukkan oleh sikap kehati-hatian yang tinggi terhadap individu lainnya. Persentase individu yang menyatakan percaya terhadap individu lain hanya 16. 38 persen.
Hal
tersebut berada dibawah Cina (59.63 %), Jepang (37.59 %), Korea Selatan (33.57
121 %), India (31.15 %) bahkan Afrika Selatan (26.63 %). Kepadatan jaringan kerja individu dalam kategori sedang (3.19) namun lebih rendah dibandingkan kepadatan jaringan kerja individu di Jambi (3.7), Jawa Tengah (6.0) maupun Nusa Tenggara Timur (6.5) yang dihasilkan dari penelitian Grootaert (1999). Norma saling bantu berada dalam kategori tinggi.
Komponen norma merupakan
indikator yang belum diamati oleh peneliti lainnya. Analisis deskriptif menunjukkan bahwa modal sosial individu di wilayah belum berkembang lebih rendah dan berbeda nyata dibandingkan dengan modal sosial di wilayah maju.
IDENTIFIKASI FAKTOR DOMINAN MODAL SOSIAL DI EMPAT KABUPATEN DI BALI: Pendekatan Pemodelan Persamaan Struktural (Structural Equation Modelling) Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat rasa percaya, kepadatan jaringan kerja dan norma saling bantu masyarakat di wilayah belum berkembang dan wilayah maju.
Hasil analisis
tersebut sesuai dengan pendapat Knack dan Keefer (1997) yang menyatakan bahwa modal sosial memang sangat bervariasi dan berbeda-beda antar wilayah demikian pula dengan dampaknya. Oleh karenanya, keterkaitan modal sosial tidak dapat diberlakukan secara umum dan menjadi blue print bagi seluruh wilayah. Peranan modal sosial, khususnya rasa percaya, akan lebih dirasakan oleh masyarakat di wilayah-wilayah miskin (Rothstein, 2004). Bab ini mencoba melakukan kajian empiris terhadap komponen dominan yang membangun modal sosial di Bali.
Secara rinci struktur bab ini
menggambarkan hal-hal sebagai berikut: (1) penentuan indikator modal sosial dominan di tingkat individu (tingkat mikro) yang bertempat tinggal di wilayah belum berkembang (undeveloped) dan wilayah maju (developed region), serta (2) penentuan indikator modal sosial dominan di tingkat kelompok (tingkat meso) terutama pada komunitas pertanian (subak), banjar/desa pakraman dan kepariwisataan (PHRI, Asita dan HPI).
Pengelompokan tersebut dilakukan
dengan pertimbangan bahwa keragaman karakteristik antar berbagai komunitas maupun antar wilayah akan berpengaruh terhadap modal sosial. Seperti telah dinyatakan dalam bab metodologi penelitian, indikator kebaikan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai chi square, root mean square residual (RMSE) dan adjusted goodness of fit index (AGFI). Hasil analisis komponen dominan modal sosial yang dibangun berdasarkan model umum untuk Bali, menunjukkan bahwa model tersebut cukup valid (nilai RMSE lebih kecil dari 0.08 dan nilai AGFI lebih besar dari 0.8). Namun, nilai chi square nyata (lebih kecil dari 0.05) menunjukkan model kurang fit (kurang sesuai) dengan data empiris. Kekurangsesuaian model dengan data membutuhkan sikap kehati-hatian dalam pengambilan kesimpulan mengenai kontribusi masing-masing variabel tersebut.
Salah satu penyebab kekurangsesuaian model dengan data
123 empiris adalah keragaman karakteristik sosial ekonomi di wilayah penelitian sehingga nilai masing-masing indikator akan cenderung saling meniadakan. Berdasarkan model umum tersebut, rasa percaya ternyata merupakan satusatunya variabel yang nyata. Secara umum, Putnam (1995) dan Fukuyama (1999) memang menyatakan bahwa rasa percaya adalah bagian terpenting dari modal masyarakat untuk berdemokrasi secara sehat. Di Bali, seluruh indikator (peubah manifes) rasa percaya memberi pengaruh nyata kecuali thin trust. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa semakin kuat rasa percaya pada sesama etnis (thick trust), rasa percaya pada pengelola pemerintahan, rasa percaya pada penyelenggara keamanan dan rasa percaya pada penyelenggara pendidikan, akan memperkuat variabel laten rasa percaya dan akhirnya memperkuat modal sosial. Komponen Modal Sosial di Tingkat Mikro: Modal Sosial Individu di Wilayah Belum Berkembang dan Wilayah Maju Uji signifikansi terhadap pengaruh indikator modal sosial secara keseluruhan dilakukan dengan analisis peubah ganda (analisis multivariate). Hasil analisis
menunjukkan bahwa nilai T2 Hotelling nyata (F = 1421.688,
probabilitas = 0.000) yang berarti secara keseluruhan, nilai indikator modal sosial di wilayah maju lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan wilayah belum berkembang. Putnam (1993), Beugelsdijk dan van Schaik (2003) dan Iyer et al. (2005) memang menyatakan bahwa modal sosial bervariasi, sesuai dengan letak geografis, tingkat pendapatan rumah tangga maupun keragaman etnisnya. Untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai komponen dominan modal sosial kemudian dilakukan analisis SEM di masing-masing wilayah belum berkembang dan wilayah maju melalui dua tahap yaitu: (1) menentukan kontribusi masing-masing indikator (peubah manifes) terhadap variabel laten eksogen (rasa percaya, jaringan kerja dan norma); (2) menentukan kontribusi variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen (modal sosial). Hasilnya adalah sebagai berikut:
124 Modal Sosial Individu di Wilayah Belum Berkembang Wilayah belum berkembang dalam penelitian ini meliputi Kabupaten Jembrana dan Karangasem yang terletak masing-masing di ujung barat dan timur Provinsi Bali. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa P-value 0.11671 (lebih besar dari 0.05) adalah tidak nyata, artinya ada kesesuaian model dengan data empiris (model fit). Nilai Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) 0.821 lebih besar dari 0.8 sehingga model dianggap cukup baik untuk menggambarkan keterkaitan antar variabel laten dan indikatornya (peubah manifes). Modal sosial di wilayah belum berkembang ditentukan secara nyata oleh variabel rasa percaya, jaringan kerja dan norma. Norma merupakan variabel yang memberi kontribusi paling dominan. Variabel rasa percaya ditentukan secara nyata oleh indikator rasa percaya sosial (general trust), dinamika rasa percaya dan partisipasi. Kontribusi terbesar untuk variabel laten rasa percaya berasal dari partisipasi artinya semakin tinggi rasa percaya ditunjukkan oleh semakin tingginya partisipasi individu dalam organisasi. Pertimbangan memasukkan partisipasi ke dalam variabel laten rasa percaya didasarkan pendapat Azwar (2005), yang menyatakan bahwa sikap seseorang tidak cukup jika dinilai hanya melalui penanyaan langsung namun juga harus disertai dengan observasi terhadap perilaku. Partisipasi adalah perilaku yang dapat diobservasi berkaitan dengan pernyataan tentang rasa percaya seseorang. Individu yang memiliki rasa percaya yang tinggi terhadap pimpinan maupun lembaga tertentu akan berpartisipasi dalam setiap aktivitas bersama. Semua indikator (peubah manifes) jaringan kerja memberi kontribusi yang nyata terhadap variabel laten jaringan kerja (network).
Namun, kontribusi
terbesar berasal dari indikator jumlah teman. Semakin tinggi kepadatan jaringan kerja, semakin banyak teman dan semakin tinggi pengeluaran untuk kegiatan sosial akan menguatkan jaringan kerja individu tersebut. . Variabel laten norma ditentukan secara nyata oleh indikator jumlah pembonceng (free rider), kemudahan menitipkan anak oleh tetangga, dan kesediaan memberi bantuan fisik. Semakin berkurangnya perilaku free rider, semakin mudah menitipkan anak pada tetangga serta memperoleh bantuan fisik
125 maka semakin kuat norma individu. Indikator dominan yang memberi kontribusi terbesar adalah kemudahan menitipkan anak. Tabel 23 Variabel Laten dan Signifikansi Masing-Masing Indikator terhadap Variabel Laten Modal Sosial di Wilayah Belum Berkembang di Bali, 2005 Variabel laten Rasa Percaya*
Indikator (kesadaran percaya –
untuk kehati-
t-hit
-0.081
-1.128
0.2330
3.015*
-0.176
-2.371*
0.741
3.640*
0.399
3.018*
-0.376
-2.497*
3. Bantuan fisik
0.264
3.353*
Jaringan Kerja*
1. Kepadatan jaringan kerja
0.295
2.918*
(0.431)
2. Pengeluaran sosial
0.263
2.295*
3. Jumlah teman Sumber : Hasil analisis data primer, 2005 * nyata pada tingkat 5 persen
0.306
3.353*
(0.402)
1. Aware bersikap hatian)
Koefisien
2. General trust 3. Dinamika trust 4. Partisipasi Norma*
1. Titip anak
(0.454)
2. Jumlah free rider
Ketiga variabel laten memberi kontribusi yang nyata dan positif terhadap pembentukan modal sosial. Hasil tersebut menunjukkan bahwa membangun atau menguatkan modal sosial di wilayah belum berkembang tidak dapat dilakukan hanya melalui perbaikan salah satu komponen saja karena ketiganya memberi kontribusi yang nyata.
Penguatan modal sosial harus dilakukan melalui
peningkatan rasa percaya, peningkatan partisipasi, menekan peluang munculnya individu yang bersikap sebagai pembonceng, menjaga keberlangsungan norma saling memberi bantuan fisik dan memperluas jaringan kerja (kehidupan berorganisasi). Norma merupakan variabel laten eksogen yang memberi konrtibusi paling dominan terhadap variabel laten endogen modal sosial.
Hasil tersebut
menunjukkan bahwa norma masih mengikat kuat terhadap kehidupan sosial masyarakat di wilayah belum berkembang. Perubahan norma yang kecil saja akan berdampak besar terhadap perubahan modal sosial.
Oleh karena itu, upaya
126 terpenting menjaga modal sosial dapat dilakukan melalui penguatan norma saling bantu dan tidak memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi (menekan adanya pembonceng). Modal Sosial Individu di Wilayah Maju Wilayah maju dalam penelitian ini adalah kabupaten Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar. Hasil analisis persamaan struktural (SEM) menunjukkan bahwa model yang dibangun memiliki nilai p (P-Value) yang lebih besar dari 0.05 yang menunjukkan bahwa model modal sosial yang dibangun memiliki kesesuaian dengan data, valid dan dapat diterima. Demikian pula dengan nilai RMSE yang lebih kecil dari 0.08 dan nilai AGFI lebih besar dari 0.8 yaitu 0.942. Berdasarkan kriteria kecocokan model, dapat dinyatakan bahwa secara statistik, model persamaan struktural yang diperoleh memiliki validitas yang tinggi. Tabel 24 Variabel Laten dan Signifikansi Masing-Masing Indikator di Wilayah Maju di Bali, 2005 Variabel laten Rasa Percaya*
Indikator (kesadaran percaya –
untuk kehati-
t-hit
0.448
4.383*
0.477
4.509*
0.245
3.024*
0.253
2.997*
0.027
0.403
-0.549
-7.238*
3. Bantuan fisik
0.733
6.248*
Jaringan Kerja
1. Kepadatan jaringan kerja
0.363
5.160*
(-0.101)
2. Pengeluaran sosial
-0.532
-5.409*
-0.254
-4.001*
(0.453)
1. Aware bersikap hatian)
Koefisien
2. General trust 3. Dinamika trust 4. Partisipasi Norma
1. Titip anak
(0.104)
2. Jumlah free rider
3. Jumlah teman Sumber : Hasil analisis data primer, 2005 * nyata pada tingkat 5 persen
Variabel laten rasa percaya menjadi satu-satunya komponen dominan modal sosial yang memberi kontribusi nyata di wilayah maju. Variabel rasa percaya tersebut ditentukan secara nyata oleh indikator (peubah manifes) sikap kehati-hatian (aware), rasa percaya umum (general trust), dinamika rasa percaya dan partisipasi.
127 Hasil analisis tahap kedua menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang kuat dan positif antara rasa percaya dan jaringan kerja (0.914), sebaliknya dengan norma. Jaringan kerja memiliki keterkaitan negatif yang kuat dengan norma yaitu -0.90, artinya semakin kuat norma yang berlaku akan membatasi masyarakat Bali yang ada di wilayah maju untuk membangun jaringan kerja. Berbeda dengan wilayah belum berkembang, membangun maupun menguatkan modal sosial di wilayah maju hanya efisien bila dilakukan melalui upaya memperkuat rasa percaya (trust).
Upaya tersebut ditentukan secara
dominan oleh rasa percaya sosial (general trust) sehingga harus memperoleh perhatian terbesar. Selain itu, sikap kehati-hatian, partisipasi dan dinamika rasa percaya juga dapat memperkuat rasa percaya masyarakat (Tabel 24).
Komponen Modal Sosial di Tingkat Meso: Modal Sosial Kelompok Tradisional dan Modern Berdasarkan sistem pengelolaannya, organisasi kemasyarakatan di Bali dibedakan atas organisasi tradisional dan modern sedangkan berdasarkan proses pembentukannya dibedakan atas organisasi formal dan non-formal.
Pada
umumnya, organisasi non-formal terbentuk dari adanya hubungan keluarga maupun kekerabatan.
Sebaliknya, organisasi formal memiliki karakteristik
anggota yang sangat beragam sesuai dengan jenis dan tujuan organisasi (Gambar 32). Masyarakat di Bali, terikat dalam organisasi tradisional formal maupun non-formal seperti sekaa, dadia, subak dan desa/banjar adat. Sekaa dan dadia merupakan organisasi tradisional non-formal karena keanggotaannya tidak mengikat dan umumnya tidak memiliki awig-awig tertulis, sedangkan subak dan desa/banjar adat adalah organisasi tradisional formal yang keanggotaannya mengikat serta memiliki awig-awig tertulis maupun tidak tertulis. Anggota sekaa umumnya bersifat temporal dan memiliki hubungan kekerabatan yang kuat dan terbentuk sesuai dengan tujuan aktivitasnya seperti sekaa manyi, sekaa nandur, sekaa gong, sekaa suling dan lainnya. Dadia adalah kelompok keluarga (extended family) yang memiliki hubungan patrilineal. Jumlah anggota sekaa dan dadia umumnya lebih kecil dibandingkan dengan subak dan desa/banjar adat. Ikatan
128 yang terbangun antar anggota sekaa maupun dadia didasarkan atas rasa kebersamaan dan resiprositas. Setiap anggota dalam kelompok tradisional tidak akan bersikap ragu-ragu untuk memberikan bantuan kepada anggota lainnya karena adanya rasa percaya (trust), bahwa kelak, pada saat yang diperlukan, anggota lain pasti akan mengulurkan tangan untuk membantu mereka (hukum karma). Modern
Klub olah raga, arisan, dan hobbi
Organisasi Profesi, Institusi Pemerintahan
Non-Formal
Formal Sekaa dan Dadia
Kelompok adat dan Subak Tradisional
Sumber : Data Primer, 2005
Gambar 32 Klasifikasi organisasi di Bali berdasarkan proses pembentukan dan Sistem pengelolaannya, 2005 Organisasi sosial tradisional yang mengkoordinasikan segala kegiatan administratif masyarakat dikenal dengan nama banjar. Khusus untuk masyarakat yang beragama Hindu, organisasi sosial yang mengordinasikan segala aktivitas berkaitan dengan kegiatan sosial dan keagamaan disebut banjar pakraman. Setiap anggota masyarakat yang beragama Hindu memiliki kewajiban yang sama dalam banjar pakraman. Sesuai dengan pembentukannya, anggota organisasi tradisional umumnya merupakan penduduk yang telah menetap lama sehingga memiliki kehidupan bertetangga dan keluarga (extended family) yang lebih erat. Mereka umumnya mengelola tanah warisan yang telah berlangsung secara turun temurun. Sebaliknya, anggota organisasi modern sebagian besar merupakan kelompok
129 pendatang di kota atau daerah-daerah yang menjadi pusat pengembangan sarana kepariwisataan. Iyer et al. (2005) menyatakan bahwa perbedaan karakteristik wilayah atau komunitas berkaitan erat dengan modal sosial yang terbangun. Masyarakat di wilayah tertentu mampu membangun modal sosial menyambung (bridging social capital) yang kuat sedangkan masyarakat di wilayah lain akan lebih mampu membangun modal sosial mengikat (bonding social capital). Individu tertentu hanya percaya terhadap individu-individu yang telah dikenal sejak lama (strong thin trust), sedangkan individu lain mudah mempercayai orang yang baru dikenalnya (strong thick trust). Kekentalan hubungan dalam suatu jaringan kerja apabila tidak disertai dengan kekentalan antar kelompok dalam suatu wilayah, akan memudahkan terjadinya penolakan-penolakan atau penghancuran terhadap orang-orang yang ada di luar kelompok tersebut.
Hal tersebut akan meningkatkan frekwensi
pergesekan-pergesekan antar kelompok seperti perkelahian antar banjar adat, kelompok masyarakat, dan penolakan-penolakan terhadap berbagai kebijakan lembaga eksekutif dan legislatif yang ditetapkan di suatu wilayah. Organisasi non-formal dan tradisional umumnya menerapkan sanksi moral sedangkan organisasi formal modern tidak mengenal sanksi moral.
Proses
pembentukan organisasi formal modern lebih disebabkan oleh desakan kebutuhan ekonomi daripada sosial. Oleh karena itu, organisasi modern seringkali tidak mampu mengikat anggotanya secara emosional namun lebih pada rasionalitas keinginan-keinginan pribadi (individual interest). Modal Sosial dalam Subak Struktur masyarakat Bali sedang mengalami perubahan secara gradual. Masyarakat agraris berubah dan bermigrasi ke kota menjadi masyarakat pariwisata. Komposisi etnis penduduk menjadi berubah, kasta dan wargapun menjadi alat untuk mencapai tujuan politis.
Perubahan-perubahan tersebut
menyebabkan fungsi-fungsi sosial kelembagaan tradisional menjadi berkurang. Kerjasama dan rasa aman yang merupakan produk dari terjaganya kelembagaan
130 tradisional menjadi barang langka dan membutuhkan biaya tinggi untuk memperolehnya. Saat kontribusi sektor pariwisata melemah yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal, masyarakat mulai mempertimbangkan untuk kembali memfungsikan sektor pertanian seperti menjadi buruh tani. pembangunan
yang
selama
ini
cenderung
memihak
Namun bias
sektor
pariwisata
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dalam luasan yang besar dan secara otomatis telanjur meniadakan organisasi subak yang keberadaannya berkaitan erat dengan ketersediaan lahan pertanian di banyak daerah di Bali. Subak adalah organisasi pengelola air untuk aktivitas pertanian yang telah terbangun sejak dahulu dan hingga saat ini masih berperan penting dalam keberhasilan usaha pertanian di Bali. Selama ini, tidak ada sistem kontrak formal yang dilakukan oleh masing-masing anggota subak. Pembagian air dilakukan dengan landasan sikap saling percaya antar anggota subak sesuai dengan aturan yang telah ditentukan turun-temurun. Norma-norma dalam subak disepakati serta ditaati oleh para anggota. Keanggotaan subak bukan disebabkan oleh lokasi tempat tinggal tetapi lokasi lahan sawah yang dikelolanya. Oleh karena itu, seringkali anggota subak tidak saling bertetangga, bahkan mereka bertempat tinggal dalam wilayah desa administratif maupun desa adat yang berbeda. Oleh karenanya, interaksi antar anggota subak hanya terjadi saat-saat proses produksi maupun upacara keagamaan.
Rendahnya kuantitas interaksi tersebut dapat menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi modal sosial dalam komunitas subak. Namun hasil analisis non-parametrik menunjukkan bahwa perbedaan lokasi tempat tinggal tidak menyebabkan anggota subak memiliki rasa percaya (trust) yang rendah terhadap sesamanya. Thick trust anggota subak lebih tinggi dibandingkan dengan thin trust-nya. Rasa percaya secara umum, memiliki hubungan positif yang nyata dengan partisipasi anggota terhadap organisasinya. Implikasinya, peningkatan rasa percaya cenderung akan diikuti dengan meningkatnya partisipasi dalam organisasi tersebut. Dinamika partisipasi anggota subak-pun menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara dinamika partisipasi dengan thick trust anggota.
131 Pada tingkat kepercayaan 80 persen dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif yang nyata antara rasa percaya dengan jumlah pembonceng (free rider) artinya semakin banyak jumlah anggota yang bersikap sebagai pembonceng cenderung akan melemahkan rasa percaya antar anggota. Di sisi lain, dapat disimpulkan pula bahwa terdapat hubungan negatif yang nyata antara jumlah anggota yang bersikap sebagai pembonceng dengan kesediaan anggota memberi bantuan fisik terhadap orang lain artinya, semakin tinggi jumlah pembonceng cenderung akan memperkecil kesediaan anggota memberi bantuan fisik terhadap sesamanya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa anggota subak
cenderung bersikap resiprokal dibandingkan dengan altruisme. Variabel laten modal sosial kelompok subak terdiri dari variabel laten rasa percaya (trust), jaringan kerja (network) dan norma (norm). Namun berbeda dengan indikator teramati dalam modal sosial individu, indikator teramati dalam modal sosial kelompok adalah kepadatan jaringan kerja, kepemimpinan, keterkaitan dengan organisasi lain yang memiliki tujuan sama dalam satu wilayah (bonding 1) dan wilayah lain (bonding 2), keterkaitan dengan organisasi lain yang memiliki tujuan berbeda dalam suatu wilayah (bridg 1) dan wilayah lain (bridg 2), apresiasi terhadap dana kelompok maupun dana awal yang harus ditanggung anggota tersebut. Nilai Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) model adalah 0.914 menunjukkan bahwa model modal sosial subak dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antar variabel laten endogen, variabel laten eksogen dan indikator yang teramati (peubah manifes). Namun, nilai chi-square nyata dan RMSE lebih besar dari 0.08 menunjukkan bahwa model tidak fit (kurang sesuai) dengan data yang menuntut peneliti untuk berhati-hati dalam mengambil kesimpulan. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa variabel laten rasa percaya tidak memberi kontribusi yang nyata terhadap variabel modal sosial.
Sebaliknya
variabel laten jaringan kerja (network) dan norma (norm) memberi kontribusi yang nyata. Sebagian besar indikator jaringan kerja memiliki tanda yang negatif, kecuali indikator keterkaitan organisasi subak dengan organisasi lain yang memiliki tujuan yang berbeda di wilayah lain (Bridg 2), namun indikator tersebut
132 tidak nyata.
Implikasinya, jaringan kerja subak akan semakin baik apabila
anggota subak mengurangi interaksinya dengan organisasi lain, yang sejenis (sesama subak) maupun organisasi yang tidak sejenis, yang ada di satu wilayah maupun wilayah lain. Tabel 25
Variabel Laten dan Signifikansi Masing-Masing Indikator terhadap Variabel Laten Modal Sosial dalam Komunitas Subak di Bali, 2005
Variabel laten
Indikator
Rasa Percaya
1.
Kepadatan (DN)
2.
Leadership
Jaringan Kerja*
1.
(0.580)
Koefisien 0.346
4.534*
0.893
7.768*
Bonding (1)
-0.109
-4.162*
2.
Bonding(2)
-3.881
-44.596*
3.
Bridging(1)
-0.075
-2.861*
4.
Bridging (2)
0.044
Norma*
1.
Dana Kelompok
0.827
8.430*
(0.216)
2.
Dana Awal
-1.187
-8.871*
(0.078)
jaringan
kerja
t-hit
1.705
Sumber : Hasil analisis data primer, 2005 *nyata pada tingkat 5 persen
Variabel laten norma memberi pengaruh nyata dan positif. Indikator kesediaan menanggung dana untuk aktivitas kelompok berpengaruh positif, sedangkan indikator dana awal berpengaruh negatif. Subak adalah organisasi yang
tidak
berorientasi
ekonomi
melainkan
berorientasi
keberlanjutan
ketersediaan air untuk produksi padi di lahan sawah. Sebagian norma bersifat tidak tertulis dan sebagian lainnya sudah tertulis. Semakin kuat norma yang mengikat anggota maka semakin besar partisipasi anggota pada setiap aktivitas kelompok yang berkaitan dengan penyediaan upakara untuk menjaga keselamatan dan keberhasilan usaha pertanian mereka. Hal tersebut tentunya berdampak pada semakin tinggi biaya-biaya yang harus ditanggung oleh anggota.
Kesediaan
anggota memberi kontribusi pada setiap kegiatan bersama yang dilaksanakan oleh organisasi dapat menjadi indikator kuatnya rasa memiliki dan tanggung jawab anggota terhadap keberlangsungan organisasi. Saat ini, pemerintah menyediakan berbagai bantuan dana yang berkaitan dengan keikutsertaan subak dalam lomba subak. Campur tangan pemerintah yang besar tersebut berpeluang mengurangi
133 rasa memiliki anggota subak, yang akhirnya dapat melemahkan kontrol sosial anggota subak terhadap keberadaan organisasi subak tersebut. Dalam komunitas subak, upaya membangun modal sosial dapat dilakukan melalui penguatan jaringan kerja dan norma dimana kontribusi jaringan kerja lebih besar dibandingkan dengan norma. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa modal sosial subak dapat ditingkatkan melalui jaringan kerja dan penguatan norma-norma tradisional yang memiliki kearifan dan melibatkan seluruh anggota. Modal Sosial dalam Organisasi Kepariwisataan Komunitas pariwisata terdiri dari beberapa kelompok yang dibedakan atas lapangan pekerjaannya yaitu kelompok pramuwisata (HPI), pemilik hotel dan restoran (PHRI) serta pemilik biro perjalanan wisata (Asita). Ketiga kelompok tersebut memiliki karakteristik yang relatif sama yaitu merupakan organisasi yang dikelola secara modern dan bersifat formal.
Seluruh anggotanya memiliki
pekerjaan di sektor pariwisata dengan standar kualitas pendidikan formal yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota subak. Analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang nyata antara thick trust dan thin trust. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi rasa percaya terhadap orang yang dikenal, maka semakin tinggi pula rasa percaya terhadap orang yang tidak dikenal. Hasil analisis indikator norma menunjukkan bahwa kesediaan memberi bantuan fisik berkorelasi nyata dan negatif dengan jumlah pembonceng (free rider). Semakin banyak jumlah individu yang bersikap sebagai pembonceng maka semakin lemah norma saling bantu sehingga mengurangi kesediaan individu untuk memberi bantuan fisik kepada individu lainnya. Kesejahteraan berkorelasi nyata dan positif dengan pengeluaran sosial dan sikap kehati-hatian, namun berkorelasi negatif dengan thick trust dan thin trust. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan seseorang maka semakin besar pengeluaran sosial yang harus ditanggungnya dan semakin besar sikap kehati-hatiannya.
Selanjutnya, semakin tinggi tingkat
kesejahteraan individu, semakin rendah rasa percaya terhadap individu lain.
134 Berdasarkan kriteria kebaikan model maka model struktural modal sosial untuk komunitas pariwisata merupakan model yang valid karena sebagian besar kriteria kebaikan model dipenuhi seperti nilai chi-square tidak nyata (P>0.05), nilai AGFI adalah 0.804 dan RMSE kurang dari 0.08. Modal sosial dipengaruhi secara nyata hanya oleh variabel rasa percaya sedangkan jaringan kerja dan norma tidak nyata. Membangun atau menguatkan modal sosial dalam komunitas pariwisata hanya dapat dilakukan melalui peningkatan rasa percaya antar individu maupun kelompok yang terlibat dalam aktivitas kepariwisataan tersebut. Selanjutnya, membangun rasa percaya sebaiknya dilakukan melalui peningkatan kepadatan jaringan kerja masing-masing anggota sehingga dapat diharapkan terjadi interaksi yang semakin intensif yang sangat berguna untuk membangun rasa saling mempercayai atau menghilangkan rasa saling mencurigai. Tabel 26 Variabel Laten dan Signifikansi Masing-Masing Indikator terhadap Variabel Laten Modal Sosial dalam Komunitas Pariwisata di Bali, 2005 Variabel laten Rasa Percaya* (0.522)
Indikator 1.
Kepadatan jaringan (DN) 2. Leadership Jaringan Kerja 1. Bonding (1) (0.291) 2. Bonding(2) 3. Bridging(1) 4. Bridging (2) Norma 1. Dana Kelompok (0.479 2. Dana Awal Sumber : Hasil analisis data primer, 2005 *nyata pada tingkat 5 persen
Koefisien kerja
t-hit
2.672 0.081
12.732* 1.369
0.158 0.503 0.917 0.265 0.438 -0.183
1.215 3.026* 3.398* 1.992* 1.250 -1.183
Selain itu, interaksi yang intensif dapat pula terjadi jika frekwensi kegiatan bersama semakin ditingkatkan yang sekaligus dapat berfungsi sebagai media interaksi untuk membangun rasa percaya.
Ada hubungan yang tidak dapat
dijelaskan secara sederhana antara rasa percaya dan kerjasama. Rasa percaya adalah pabrik yang menghasilkan kerjasama, selanjutnya kerjasama akan memungkinkan rasa percaya menjadi semakin kuat atau sebaliknya, melemah. Sektor pariwisata adalah sektor jasa yang harus dikelola dengan biaya promosi yang tinggi. Upaya promosi tidak lepas dari rasa percaya yang harus dibangun
135 artinya membangun rasa percaya di sektor pariwisata selain akan menguatkan modal sosial juga akan menjadi upaya penting untuk mempromosikan kepariwisataan Bali. Penguatan modal sosial dalam komunitas pariwisata akan menyebabkan semakin menguatnya rasa percaya.
Rasa percaya tersebut akan melandasi
terbangunnya kerjasama sehingga jaringan kerja pariwisata tersebut menjadi semakin luas. Kerjasama formal yang berlandaskan atas rasa percaya tersebut sangat berperan dalam pengembangan usaha kepariwisataan terutama menekan biaya-biaya transaksi dan biaya komunikasi.
Hasil analisis sekali lagi
menekankan bahwa sektor pariwisata adalah sektor yang harus mengutamakan kerjasama antar individu dalam satu organisasi maupun antar organisasi. Kebutuhan akan jaringan kerja yang luas menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Bali tidak dapat berdiri sendiri. Modal Sosial dalam Banjar/ Desa Pakraman Proses modernisasi telah terjadi di Bali.
Namun dalam deras arus
modernisasi tersebut, masyarakat Bali tetap memiliki keyakinan religi yang relatif kuat walaupun kehidupan dan nilai-nilai tradisional semakin berubah. Masyarakat di Bali semakin heterogen tidak saja dalam hal sistem kepercayaan tradisional dan sistem kekerabatannya namun juga dalam agama dan budaya yang berpengaruh terhadap pola pikir dan pola perilakunya. Bali, sebagai tujuan wisata internasional, menghadapi berbagai tantangan dan cobaan yang bersifat internal maupun eksternal yang merupakan konsekwensi logis dari majunya pariwisata dan proses global. Salah satu upaya untuk menghadapi ancaman eksternal dilakukan melalui pemberdayaan desa adat. Desa adat atau desa pakraman adalah lembaga desa yang bergerak di bidang sosial budaya dan keagamaan. Sangat sulit untuk membedakan antara kegiatan budaya dan keagamaan di Bali karena telah menyatu ibarat kain dengan motif-motifnya yang saling memperindah keberadaannya. Masyarakat desa di Bali yang terintegrasi dalam proses modernisasi akan mengalami ancaman dalam kekompakan sosial dan kelestarian lembaga-lembaga adatnya akibat adanya monetisasi (Couteau, 1995). Modal sosial diharapkan dapat melindungi
136 masyarakat di Bali, perdesaan maupun perkotaan, dari ancaman disintegrasi tersebut. Model persamaan struktural modal sosial dalam komunitas desa adat memiliki beberapa kriteria kebaikan model yaitu nilai chi-square yang tidak nyata (>0.5), RMSE lebih kecil dari 0.08 dan nilai AGFI lebih besar dari 0.8. Nilai chisquare yang tidak nyata menunjukkan bahwa ada kesesuaian antara model dan data sehingga model dapat diterima dan valid digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Tabel 27 Variabel Laten dan Signifikansi Masing-Masing Indikator terhadap Variabel Laten Modal Sosial dalam Komunitas Banjar/Desa Pakraman di Bali, 2005 Variabel laten Rasa Percaya* (0.380)
Jaringan Kerja* (0.391)
Norma (0.073)
Indikator
Koefisien
t-hit
1.101
1.586
0.230
1.368
Bonding (1)
0.867
4.233*
2.
Bonding(2)
0.267
2.608*
3.
Bridging(1)
0.600
3.492*
4.
Bridging (2)
0.294
2.454*
1.
Dana Kelompok
0.232
1.745*
-0.717
-1.794*
1.
Kepadatan (DN)
2.
Leadership
1.
jaringan
kerja
2. Dana Awal Sumber : Hasil analisis data primer, 2005 *nyata pada tingkat 5 persen
Hasil analisis menunjukkan bahwa modal sosial dipengaruhi secara nyata oleh variabel rasa percaya dan jaringan kerja. Rasa Percaya memberi kontribusi nyata terhadap variabel laten endogen modal sosial namun tidak ada indikator yang dapat menjelaskan secara nyata bagaimana rasa percaya tersebut dibangun. Berbeda halnya dengan kontribusi variabel laten eksogenus jaringan kerja yang memiliki nilai lebih besar dan juga nyata. Membangun Jaringan kerja dapat dilakukan dengan membangun hubungan baik terhadap semua organisasi yang ada dalam wilayah yang sama maupun di luar wilayah. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa indikator dari variabel laten rasa percaya adalah kepadatan jaringan kerja dan pola kepemimpinan namun kedua indikator tersebut tidak signififan. Selanjutnya, seluruh indikator dari variabel
137 laten jaringan kerja memiliki kontribusi nyata yang meliputi interaksi antar organisasi desa adat dalam satu wilayah (bonding 1) maupun wilayah lain (bonding 2) serta interaksi antar organisasi yang berbeda tujuan di wilayah yang sama (bridging 1) maupun berbeda (bridging 2). Pada tingkat kepercayaan yang lebih rendah, seluruh indikator dari variabel norma juga berpengaruh nyata. Simpulan Akhir Bab Modal sosial tertambat pada struktur sosial yang terbangun dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, komponen dominan modal sosial berbeda-beda sesuai dengan karakteristik struktur sosial ekonominya (Putnam (1993), Beugelsdijk dan van Schaik (2003), dan Iyer et al. (2005)). Di Bali, komponen dominan modal sosial di wilayah maju adalah rasa percaya sedangkan komponen modal sosial di wilayah belum berkembang adalah rasa percaya, jaringan kerja, dan norma yang kontribusinya sangat dominan. Komponen dominan modal sosial dalam organisasi modern (komunitas pariwisata) adalah rasa percaya.
Jaringan kerja merupakan komponen yang
memberi kontribusi paling dominan terhadap modal sosial dalam organisasi tradisional (komunitas subak dan komunitas banjar pakraman). Selain jaringan kerja, komponen modal sosial yang memberi kontribusi nyata dalam komunitas subak adalah norma sedangkan dalam komunitas banjar pakraman adalah rasa percaya. Hasil analisis komponen dominan modal sosial tersebut menunjukkan bahwa membangun modal sosial individu di suatu wilayah maupun membangun modal sosial kelompok dalam suatu komunitas tidak dapat dilakukan melalui suatu pola yang sama. Ketertambatan modal sosial dengan struktur sosialnya harus menjadi pertimbangan utama.
ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DAN KETERKAITANNYA DENGAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN: Analisis di Tingkat Mikro dan Makro Pemahaman pembangunan ekonomi seringkali diartikan sama dengan pertumbuhan ekonomi padahal keduanya merupakan hal yang berbeda. PDRB, PAD serta laju PDRB merupakan indikator pertumbuhan ekonomi wilayah sedangkan indikator pembangunan ekonomi wilayah selain mencakup indikator pertumbuhan ekonomi juga mempertimbangkan indikator sosial dan kelembagaan termasuk distribusi kesejahteraan. Seringkali, tingginya pertumbuhan ekonomi diikuti oleh terjadinya peningkatan ketimpangan pendapatan antar wilayah maupun antar kelompok masyarakat yang keduanya dapat menjadi pemicu konflik dan ketidakamanan. Pembangunan di Bali sejak dulu dijiwai oleh agama Hindu yang diperkaya oleh kebhinekaan nilai-nilai budaya seluruh daerah di Indonesia. Interaksi yang terbangun antara penduduk lokal dan pendatang, tidak saja memberi dampak pada kehidupan ekonomi namun juga perubahan kehidupan sosial. Bali sesungguhnya telah mengalami pengaruh luar sejak jaman Kerajaan Majapahit. Salah satu bukti adanya pengaruh luar tersebut adalah pengelompokan masyarakat berdasarkan kasta. Ardhana (1994) menyatakan bahwa kelompok Bali asli (Bali Aga) tidak mengenal istilah kasta, artinya kelompok masyarakat Bali yang berkembang saat ini dan terikat dalam sistem kasta bukanlah penduduk asli Bali. Menurutnya kekawin Jawa, Nagarakrtagama, menguatkan fakta bahwa kebudayaan Jawa sangat mendominasi Bali sejak abad ke 14. Pengembangan kebudayaan Jawa di Bali dimulai sejak adanya pusat-pusat kerajaan di setiap kabupaten
yang
menyerupai galaksi mengelilingi Bali kecuali di Kabupaten Jembrana.
Pusat
Galaksi tersebut terdapat di Klungkung (Artadi, 1993). Pengaruh negara asing juga telah terjadi sejak masuknya pedagang Portugis tahun 1586 yang kemudian diikuti oleh misi Belanda tahun 1597. Hubungan yang terbangun lebih bersifat hubungan penjualan orang-orang Bali sebagai budak yang didorong oleh tekanan masalah sosial bukan masalah ekonomi. Kerajaan Karangasem adalah kerajaan pertama yang meminta pertolongan pihak luar terutama untuk meningkatkan kekuatannya agar mampu
139 memperluas kekuasaannya di Lombok. Upaya ini diikuti oleh Kerajaan Klungkung dan Badung. Perjanjian yang mereka tandatangani menyetujui bahwa kerajaan-kerajaan tersebut berada di bawah kekuasaan Belanda dan saat itu menjadi pertanda mulai masuknya pengaruh budaya asing di Bali (Couteau, 1995). Interaksi dalam perdagangan juga mendorong masuknya pengaruh budaya daerah lain dalam budaya masyarakat di Bali saat ini, terutama dalam hal pembangunan pemukiman serta tatacara berbusana. Pitana (1994) menyatakan bahwa perubahan dan dinamika merupakan suatu yang hakiki dalam masyarakat dan kebudayaan tak terkecuali perubahan dalam masyarakat Bali. Perubahan memang seringkali menimbulkan rasa kekhawatiran terhadap kelestarian kebudayaan Bali namun tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan membawa nilainilai positif yang dapat meningkatkan kesejahteraan manusia. Perubahan dalam suatu masyarakat tidak saja meliputi perubahan nilainilai, norma-norma dan pola-pola perilaku sosial tetapi juga susunan kelembagaan masyarakat dan struktur sosial (Artadi, 1993). Perubahan bukan merupakan suatu masalah apabila membawa kebaikan bagi semua pihak, sebaliknya akan menjadi masalah jika perubahan tersebut hanya menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan kelompok lain, membangun satu sektor melalui peniadaaan sektor lain, atau memajukan satu wilayah dengan cara mencuci sumber daya daerah lain (backwash).
Menurut Sujana (1994), proses industrialisasi di Bali telah
menghasilkan manusia-manusia Bali yang majemuk, sangat berambisi menguasai status, materi dan uang.
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa
komponen modal sosial yang dominan di Bali sangat beragam sesuai dengan karakteristik wilayah dan komunitasnya. Bab ini ditujukan untuk menganalisis keterkaitan modal sosial dan pembangunan ekonomi wilayah.
Hasil analisis
diharapkan dapat menjawab apakah modal sosial berperan terhadap kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi di Bali dan sebaliknya apakah kesejahteraan
masyarakat
dan
pembangunan
ekonomi
berperan
dalam
pembangunan modal sosial. Analisis keterkaitan di tingkat mikro didasarkan atas data modal sosial di empat kabupaten yaitu Kabupaten Jembrana, Kabupaten
140 Karangasem, Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar, sedangkan analisis di tingkat makro didasarkan atas data panel dari seluruh kabupaten/kota di Bali. Struktur Perekonomian Bali Perkembangan pesat di sektor pariwisata menyebabkan terjadinya loncatan dari sektor primer ke sektor tersier dalam perekonomian Bali.
Transformasi
sektoral tersebut dapat dilihat dari dominasi kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran menggantikan dominasi sektor pertanian dalam produk regional domestik
bruto
(PDRB)
Provinsi
Bali.
Sesungguhnya,
perkembangan
kepariwisataan di Bali sangat didukung oleh sektor pertanian mengingat icon kepariwisataan di Bali adalah pariwisata budaya dengan keindahan alam termasuk pemandangan lahan sawah dan terasering yang dibangun oleh masyarakat pertanian di perdesaan.
Sayangnya, perkembangan kepariwisataan diduga
menjadi penyebab terjadinya alih fungsi lahan produktif ke penggunaan nonproduktif yang secara tidak langsung mengancam keberadaan sektor pertanian dan menghilangkan beberapa kelembagaan pertanian yang sudah mapan seperti subak (rata-rata 1675 ha/tahun lahan sawah yang terkonversi pada periode tahun 1999 – 2004). Hampir seluruh usaha pertanian di Bali merupakan usaha pertanian tradisional (berupa usahatani padi dan palawija, vanili, cengkeh, kopi serta tanaman hortikultura), tidak ada perkebunan besar, baik milik negara (BUMN) maupun swasta.
Posisi tawar petani lemah dan upaya pemerintah provinsi
maupun kabupaten untuk memperkuat posisi tawar ini belum optimal. Luasan lahan pertanian yang diusahakan oleh rumah tangga petani relatif sempit. Sebaliknya, sektor pariwisata adalah sektor modern yang pengelolaannya dilakukan secara profesional.
Perkembangan pesat di sektor pariwisata telah
menjadi faktor penarik bagi tenaga kerja produktif yang berada di sektor pertanian dan mendorong sebagian petani untuk menjual lahan mereka, pindah berusaha di sektor jasa karena bekerja di sektor pertanian tidak lagi menarik. Berbeda dengan peran pemerintah di sektor pertanian, peran pemerintah dalam memperkuat kepariwisataan relatif lebih besar. Pada saat kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran melemah dan berada pada keadaan paling
141 tertekan di tahun 2003, pertumbuhan sektor ini turun hingga mencapai angka 0.46 yang disebabkan oleh terjadinya keadaan tidak aman (ledakan bom) pada Oktober 2002, pemerintah terus menerus menggiatkan aktivitas promosi ke berbagai pasar wisata di dalam dan luar negeri. Sebagai daerah tujuan wisata nasional dan internasional, gangguan keamanan memang sangat mempengaruhi jumlah kunjungan wisata dan lama tinggal wisatawan di Bali.
35 30 25 20 15 10 5 0 1996*
1997*
1998*
1999*
2000*
2001*
2002*
2003*
2004**
P ertumbuhan P DRB P ertanian P ertumbuhan P DRB P erdagangan, Ho tel dan resto ran Distribusi persentase P DRB P ertanian Distribusi persentase P DRB P erdagangan, Ho tel dan Resto ran
Sumber: Data Bali Membangun Tahun 1999 – 2004 ∗ Berdasarkan harga konstan 1993 ** Berdasarkan harga konstan tahun 2000
Gambar 33 Perkembangan Pertumbuhan dan Kontribusi Sektoral terhadap PDRB Bali Tahun 1996 – 2004 Salah satu kebijakan pemerintah dalam menciptakan keamanan dilakukan dengan melibatkan organisasi tradisional seperti desa pakraman dengan harapan dapat meningkatkan kontrol terhadap lingkungannya.
Sistem kontrol yang
dikembangkan mengadopsi aturan dan norma dalam desa pakraman tersebut yang sebagian besar dijiwai Agama Hindu.
Aturan dan norma-norma yang
mengatur tata cara berperilaku dan melaksanakan aktivitas sosial dan keagamaan tersebut memang tidak bersifat kaku (rigid) karena masyarakat Bali mengenal adanya desa, kala, patra1. Fleksibilitas tersebut merupakan salah satu faktor yang mendukung upaya untuk mewujudkan kerukunan antar etnis dan pemeluk agama yang berdomisili di Bali. Kerjasama dan kerukunan antar umat akan mewujudkan
1
Bersifat lokal dan sangat berbeda dari desa satu ke desa lainnya
142 kondisi yang kondusif bagi perkembangan kepariwisataan yang selama ini merupakan sektor andalan dalam perekonomian di Bali. Tabel 28 Struktur Perekonomian Bali, Tahun 2004 SEKTOR
Tingkat Tenaga kerja (%)
Pertumbuhan PDRB*
Kontribusi Sektoral (%)*
2002 32.2
2004 37.13
2002 3.67
2004 3.66
2002 22.26
2004 22.07
0.5
1.02
2.00
4.38
0.64
0.65
14.50
10.38
5.00
3.71
9.55
9.58
0.1
0.44
16.82
3.76
1.51
1.47
7.9
5.69
4.14
5.09
3.97
3.90
24.2
26.69
-0.08
4.65
30.18
30.63
5.1
4.69
4.54
5.17
10.80
10.28
1.2
1.17
3.60
7.97
7.24
7.32
14.3
12.79
2.50
4.02
13.84
14.10
1715452 1835165 3.04 4.62 (100) (100) Sumber: Bali dalam Angka, 2005; Data Bali Membangun, 2005 * Berdasarkan harga konstan tahun 2000
18423860 juta
19963243 juta
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Bali (total)
Norma yang fleksibel dan bersifat universal2 karena didasarkan atas desa, kala, patra, ternyata memberi peluang bagi sekelompok kecil masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang mementingkan kelompok atau golongannya. Dominasi kelompok atau golongan tertentu terhadap kelompok atau golongan lain seringkali menimbulkan kesenjangan, konflik dan perlawanan dari kelompok minoritas yang berpeluang menciptakan keadaan yang tidak aman. Collier (1998) menyatakan bahwa semakin tinggi kepadatan penduduk maka interaksi sosial semakin intensif karena jarak tidak lagi menjadi penghambat untuk membangun interaksi tersebut. Aktivitas bersama yang dihasilkan dari adanya interaksi sosial yang intensif tersebut dapat meningkatkan produktivitas ekonomi. Sesungguhnya, pendapat Collier tersebut tidak sepenuhnya sesuai di setiap wilayah karena tingginya kepadatan penduduk seringkali disertai dengan adanya peningkatan konflik dan kriminalitas. Kepadatan penduduk yang tinggi 2
Adanya komersialisasi Ngaben Ngerit, komersialisasi Banten atau penggunaan tanah Laba Pura.
143 seharusnya disertai dengan penguatan norma-norma dan penetapan sanksi apabila norma-norma tersebut tidak dipatuhi. Di Bali, perakitan dan peledakan bom justru terjadi di daerah pariwisata paling padat di Bali yaitu Denpasar dan Kuta. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingginya kepadatan penduduk di wilayah maju disertai dengan melemahnya norma dan sanksi sehingga sistem kontrol sosial masyarakat terhadap aktivitas orang lain semakin melemah dan tidak efektif. Pendapatan, Pemerataan Pendapatan dan Kemiskinan di Bali Modal sosial berperan penting dalam upaya mengurangi jumlah kemiskinan (Woolcock, 2000). Adanya hubungan yang erat antar individu dalam suatu kelompok masyarakat, yang disebut modal sosial mengikat (bonding social capital), menjadi aset penting untuk mengatasi risiko terutama ketika terjadinya goncangan (shock) dalam perekonomian dan sering kali ia menjadi jaminan kredit dan asuransi bagi si miskin. Sementara semakin banyak jaringan kerja yang terbina antar wilayah dan antar karakteristik penduduk yang berbeda (modal sosial menyambung atau bridging social capital) berperan mengurangi ketidakmerataan distribusi pendapatan (Alesina dan La Ferara, 2000).
Menurut Granovetter
(1973), modal sosial menyambung (bridging social capital) yang dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja sosial ekonomi bukan modal sosial mengikat. Masyarakat dalam suatu komunitas kecil lebih mampu membangun interaksi dan komunikasi personal yang intensif sehingga dapat memilih individuindividu yang dapat dipercaya. Norma bersama dan resiprositas yang terbangun dalam komunitas mendorong terjadinya pengelolaan sumber daya bersama (common resource ) secara lebih efisien seperti terpeliharanya sistem irigasi dan tanah desa (Ostrom dalam North, 1990). Norma dapat pula menjadi penghambat ketika kelompok tersebut mengisolasi anggotanya dari pengaruh eksternal maupun mengurangi akses individu lainnya untuk masuk dalam kelompok tertentu seperti terjadi di Italia Selatan (Putnam, 1993). Menurut Knowles (2005), modal sosial tidak hanya berperan positif dalam pembangunan ekonomi, namun dapat pula berperan sebagai rem yang membatasi perkembangan teknologi dan ide-ide baru.
144 Di Bali, ada indikasi peningkatan jumlah kemiskinan. Hingga tahun 2004, jumlah keluarga (KK) miskin per 1000 penduduk terus meningkat. Pada periode tahun 1998 hingga 2001, peningkatan jumlah KK miskin tersebut diikuti dengan penurunan tingkat penggangguran sedangkan tahun 2002 dan 2004 terjadi sebaliknya, peningkatan jumlah penduduk miskin diiringi dengan peningkatan tingkat pengangguran. Hal ini disebabkan karena menurunnya jumlah kedatangan wisatawan ke Bali sehingga banyak industri pariwisata yang melakukan
Jumlah penduduk Miskin
pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya.
60000
2004
2003
50000
2002
2001
40000
2000
30000
1999 1998
20000 10000 0 0
1
2
3
4
5
Tingkat Pengangguran di Bali (%) 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Sumber: Bali Membangun, 2005
Gambar 34 Tingkat pengangguran dan Jumlah Penduduk Miskin Di Bali Tahun 1998 - 2004 Di sisi lain, pada periode tahun 1998 hingga tahun 2000, angka Gini ratio terus menerus menurun yang menunjukkan bahwa distribusi pendapatan semakin baik. Periode tersebut merupakan periode krisis di Indonesia. Pendapatan per kapita mengalami tekanan dan berada pada kondisi stagnan. Tahun 2001, terjadi peningkatan pendapatan per kapita yang tajam namun disertai pula dengan distribusi pendapatan yang semakin memburuk (Gini ratio meningkat tajam). Pada periode tahun 2001 hingga tahun 2004, saat terjadi peledakan bom di Bali, pendapatan perkapita kembali stagnan walaupun berada pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode 1998-2000.
Distribusi pendapatan tahun
2004 kembali membaik dibandingkan dengan tahun 2001.
Keadaan tersebut
145 mengindikasikan bahwa membaiknya sektor pariwisata di Bali akan menyebabkan pendapatan per kapita meningkat sebaliknya dstribusi pendapatan memburuk. Dapat dinyatakan bahwa perbaikan sektor pariwisata hanya dinikmati oleh kelompok tertentu.
0.24
Gini Ratio
0.235
2002
1998
2001
0.23 0.225 0.22
2003
1999
2004
0.215 0.21 2000
0.205 0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
Pendapatan Per Kapita Rp000 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Sumber: Data Bali Membangun, 2005
Gambar 35
Distribusi Pendapatan Penduduk (Gini Ratio) dan Jumlah Keluarga Miskin di Bali, Tahun 2004
Indeks Pembangunan dan Indeks Kemiskinan Manusia di Bali Indikator keberhasilan pembangunan di suatu wilayah diukur berdasarkan indeks pembangunan manusia (IPM) yang terdiri atas komponen daya beli, indeks harapan hidup dan indeks pendidikan. Pada Tabel 29 ditunjukkan bahwa Badung merupakan kabupaten dengan kinerja ekonomi terbaik di Bali ditinjau dari kemampuannya mencapai pendapatan asli daerah (PAD) maupun pendapatan per kapita tertinggi. Namun, indeks pembangunannya lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar. Tingginya pendapatan wilayah ternyata tidak serta merta diikuti oleh kemampuan wilayah tersebut mencapai tingkat pembangunan yang tinggi maupun menekan kemiskinan. Tingginya angka harapan hidup di Kabupaten Badung merupakan konsekwensi logis dari tingginya tingkat pendapatan per kapita penduduk. Angka harapan hidup tersebut diukur berdasarkan dua komponen yaitu rata-rata bayi yang lahir hidup dan rata-rata anak yang hidup dari ibu yang berusia 15-49 tahun. Sebaliknya, Kabupaten Karangasem yang memiliki tingkat pendapatan per kapita
146 terendah juga memiliki angka harapan hidup terendah. Rendahnya angka harapan hidup dapat disebabkan oleh tekanan faktor kemiskinan yang menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan serta keadaan gizi ibu dan anak di wilayah tersebut. Tabel 29 Indikator Keberhasilan Pembangunan di Bali, 2004 Kabupaten/ Kota Jembrana
7 949 226 000
PDRB Per kapita (Juta Rupiah) 6 056.07
71.9
23.5
Angka Harapan Hidup 68.60
Tabanan
33 970 626 324
5 019.78
70.4
16.8
68.30
Badung
114 056 502 993
12 593.26
70.1
15.4
72.85
Gianyar
43 958 660 000
6 763.53
67.7
18.2
68.27
Klungkung
10 276 421 541
6 709.84
64.6
17.9
64.40
6 400 114 949
4 910.15
66.7
19.4
69.23
Karangasem
23 228 140 850
3 959.81
59.3
25.7
63.43
Buleleng
19 697 819 000
4 917.03
63.9
17.4
69.37
Denpasar
85 840 426 925
8 964.74
74.9
12
71.03
Bangli
PAD
IPM
IKM
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Bali, 2005; BPS, 2005
Indeks pembangunan manusia mempertimbangkan pula komponen pengetahuan yang salah satu pengukurannya dilakukan melalui tingkat partisipasi murni (Net Enrollment atau NER). Pada setiap strata pendidikan (SD, SMP dan SMU), tingkat partisipasi murni di Kabupaten Badung berada dibawah Kabupaten Tabanan. Tabel 30 Tingkat Partisipasi Murni di Provinsi Bali, 2004 Kabupaten/Kota
NER-SD
NER-SMP
NER- SMA
Jembrana
100.05
80.26
35.53
Tabanan
109.81
77.36
40.43
Badung
107.30
69.73
34.57
Gianyar
95.89
75.62
27.17
Klungkung
98.43
62.62
41.40
Bangli
88.73
55.23
17.40
Karangasem
100.85
57.07
29.23
Buleleng
88.83
53.49
31.02
Denpasar
83.15
72.75
50.84
Sumber : Data Bali Membangun, 2005
147 Ukuran NER memang seringkali bias. dijangkau
karena
prasarana
dan
sarana
Suatu wilayah yang mudah transportasi
yang
memadai,
memungkinkan mobilitas penduduk yang tinggi khususnya untuk mengikuti pendidikan yang lebih berkualitas di wilayah lain seperti terjadi di Kabupaten Badung.
Rendahnya NER-SMP dan NER-SMA di Kabupaten Badung
dibandingkan Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar, tidak selalu menunjukkan rendahnya minat masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tingginya minat masyarakat di Kabupaten Badung untuk bersekolah di sekolah-sekolah menengah yang ada di Kota Denpasar atau di Kabupaten Tabanan karena mutu proses pendidikannya memang lebih baik dibandingkan dengan sekolah menengah di Kabupaten Badung, terutama bagi masyarakat Badung yang memiliki pendapatan tinggi. Berdasarkan komponen indeks pembangunan manusia dapat diketahui, bahwa rendahnya indeks pembangunan manusia di Bali disebabkan oleh relatif rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Bali tahun 2002 berada pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1996, walaupun lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1999. Penurunan tersebut dapat disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat yang ditunjukkan oleh indikator melemahnya pengeluaran riil per kapita. Berbagai krisis, yang dimulai sejak tahun 1997, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan melemahnya daya beli masyarakat tersebut.
Krisis yang
terjadi tidak saja berupa krisis ekonomi, namun juga krisis kepercayaan dan kepemimpinan sehingga proses pemulihan ekonomi berjalan sangat lambat. Perbandingan nilai IPM dan IKM dan berbagai komponennya disajikan pada Tabel 31. Tahun 1996, konsumsi riil per kapita di Bali mencapai angka tertinggi di Indonesia namun angka melek huruf yang mampu dicapai hanya 79.4 persen setingkat diatas Irian Jaya, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Timor Timur, dan Jawa Timur (Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 1996). Demikian pula dengan rata-rata lama sekolah hanya 6.3 menunjukkan bahwa ratarata pendidikan yang dicapai masyarakat hanya setingkat sekolah dasar (SD).
148 Seperti halnya dengan pembangunan manusia tahun 1996, komponen pembangunan manusia tahun 1999 di Provinsi Bali mampu mempertahankan daya beli per kapita yang tinggi (rangking 3 di Indonesia) namun persentase penduduk yang melek huruf tetap rendah. Rata-rata lama pendidikan hanya 6.8 tahun, relatif rendah bila dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Nilai tertinggi di Indonesia untuk komponen rata-rata lama pendidikan mencapai 9.7 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa hingga tahun 1999, investasi masyarakat di bidang pendidikan masih relatif rendah yang akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Windia (2003) menyatakan bahwa tingginya tingkat pengeluaran masyarakat Bali memang relatif lebih banyak tercurah untuk kegiatan konsumtif dan upacara keagamaan. Tabel 31
Komponen Indeks Pembangunan Manusia di Bali, 1996 – 2002 Komponen
1996
1999
2002
71.0
65.7
67.5
Usia Harapan Hidup (Tahun)
69.7
69.5
70.0
% Melek Huruf
79.4
82.7
84.2
Rata-rata Lama Pendidikan
6.3
6.8
7.6
609.0
587.9
596.3
18.5
18.7
17.3
Penduduk yang tidak mencapai usia 40 thn
8.2
11.7
9.5
Angka buta huruf dewasa
21.0
17.3
15.8
Penduduk tanpa akses pada air bersih
36.0
34.2
27.8
IPM
Pengeluaran Per kapita (ribu rupiah) IKM
4.2 14.9 Penduduk tanpa akses pada fasilitas sarana kesehatan Sumber: Indeks Pembangunan Manusia, 1996; Laporan Pembangunan Manusia, 2004
19.8
Komponen pengukuran kemiskinan menunjukkan terjadinya peningkatan persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 pada tahun 1999 dibandingkan dengan tahun 1996. Keadaan perekonomian yang belum stabil dan diwarnai oleh krisis ekonomi, berpeluang menjadi faktor penyebab tekanan hidup sehingga meningkatkan persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 serta menurunkan usia harapan hidup masyarakat. Komponen lain yang menunjukkan terjadinya penurunan kualitas hidup adalah meningkatnya jumlah penduduk yang
149 tidak memiliki akses terhadap kesehatan. Komponen ini menjadi indikator bahwa kesehatan menjadi barang langka yang hanya bisa diperoleh dengan biaya tinggi. Masalah kemiskinan bukanlah masalah yang sederhana. Namun, Pemerintah daerah seringkali menyederhanakan permasalahan tersebut dan mendefinisikannya sebagai keadaan yang tidak berkecukupan. Sesungguhnya ada aspek sosial yang melekat dalam kemiskinan tersebut.
Aspek sosial yang
berkaitan dengan kemiskinan tersebut meliputi empati, sikap saling bantu, kemampuan membangun jaringan kerjasama, rasa percaya, yang semuanya merupakan indikator terbangunnya modal sosial. Analisis Modal Sosial Tingkat Mikro di Empat Kabupaten Model yang dikembangkan untuk menganalisis keterkaitan modal sosial di tingkat rumah tangga (tingkat mikro) dinyatakan seperti pada persamaan (10) dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan keadaan sosial budaya setempat. Modal sosial diproksi dengan besarnya pengeluaran sosial masingmasing rumah tangga (sexp). Sementara tingkat kesejahteraan rumah tangga diproksi dengan besarnya pendapatan (inc) yang diperoleh keluarga. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa modal sosial di tingkat mikro di Bali dipengaruhi secara nyata (berdasarkan uji F) oleh tingkat kesejahteraan rumah tangga (inc), tingkat kemajuan ekonomi wilayah (wil), dan kepadatan jaringan kerja (nw). Namun dari ketiga variabel tersebut, hanya tingkat kesejahteraan rumah tangga (inc) dan tingkat kemajuan ekonomi wilayah (wil) yang berpengaruh nyata. Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin kuat modal sosial yang mereka miliki. Meningkatnya pendapatan rumah tangga sebesar satu rupiah akan meningkatkan modal sosial sebesar 0.04, ceteris paribus. Relatif rendahnya dampak peningkatan pendapatan rumah tangga terhadap peningkatan modal sosial tampaknya berkaitan erat dengan kuatnya norma yang berlaku sehingga semua kegiatan menjadi beban bersama. Dengan kata lain, jumlah pembonceng relatif rendah. Tingkat kemajuan ekonomi wilayah memberi kontribusi positif terhadap pembentukan modal sosial berarti modal sosial di wilayah belum berkembang lebih rendah dibandingkan dengan modal sosial di wilayah maju.
Hal ini
150 memperkuat hasil analisis deskriptif yang telah dilakukan pada bab sebelumnya dan sejalan dengan hasil penelitian Putnam (1983) di Italia. Lebih jauh, tingkat kesejahteraan rumah tangga (inc) dipengaruhi secara nyata oleh modal sosial (sexp), jumlah anggota keluarga yang bekerja (emp), partisipasi dalam organisasi terpenting (part) dan kepadatan jaringan kerja (nw). Namun dari keempat variabel tersebut, hanya tiga variabel yaitu jumlah anggota keluarga yang bekerja (emp), partisipasi dalam organisasi terpenting (part) dan modal sosial (sexp) yang berpengaruh nyata. Variabel jumlah anggota keluarga yang bekerja tampak berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang bekerja maka semakin sejahtera rumah tangga tersebut. Variabel modal sosial (sexp) ternyata juga berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga. Meningkatnya pengeluaran untuk modal sosial sebesar satu rupiah akan meningkatkan pendapatan rumah tangga sebesar 2.366 rupiah, ceteris paribus. Tabel 32 Hasil Analisis Keterkaitan antara Berbagai Variabel Modal Sosial dan Pendapatan Rumah Tangga Variabel Konstanta Jumlah anggota rumah tangga yang bekerja (emp) Kepadatan jaringan kerja (nw) Partisipasi dalam pengambilan keputusan kelompok (part) Modal sosial (sexp) Dummy wilayah (wil) Pendapatan (inc)
Koefisien regresi dengan TSLS Pendapatan (inc) Modal Sosial (sexp) -223092.9 (33847)
136352.7 (186217)
117195.2** (64066) 13092.18 (37242)
-3381.959 (55275)
419808.9*** (76696) 2.388** (1.277) 70173.84*** (22439) 0.040402*** (0.017)
Sumber: Analisis Data Primer, 2005 Angka dalam ( ) menunjukkan simpangan baku (standard deviation) ***nyata pada 5 persen ** nyata pada 10 persen *nyata pada 20 persen
Hasil analisis pada Tabel 32 menunjukkan adanya sifat saling mempengaruhi antara modal sosial dan tingkat kesejahteraan rumah tangga
151 sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tingkat mikro, ada keterkaitan yang nyata antara modal sosial dan kesejahteraan rumah tangga.
Hasil penelitian ini
memperkuat hasil penelitian peneliti sebelumnya yang dilakukan secara parsial seperti hasil penelitian Grootaert (2001) dan Brata (2004) yang menyatakan bahwa partisipasi menyebabkan akses masyarakat terhadap sumber finansial menjadi lebih besar sehingga dapat meningkatkan kesejahteraaan. Analisis Modal Sosial di Tingkat Makro Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa modal sosial di tingkat makro tidak hanya memberi dampak positif namun juga negatif.
Salah satu
komponen modal sosial di tingkat makro dinyatakan sebagai ketersediaan organisasi olah raga dan budaya (Putnam, 1993). Modal sosial tertambat dalam struktur sosial masyarakat. Di Bali, struktur sosial masih relatif kuat dan terjaga hingga saat ini. Struktur sosial tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah migrasi penduduk. Struktur sosial yang bersifat terbuka memberi peluang yang lebih besar bagi individu untuk masuk ke suatu wilayah atau sebaliknya meninggalkan wilayah tersebut. Oleh karenanya, penelitian ini menggunakan persentase jumlah pendatang terhadap penduduk lokal sebagai indikator modal sosial sesuai pendapat Glaeser, et al. (2002), Beugelsdijk dan Smulders (2003), dan metode pengukuran modal sosial yang diusulkan Australian Institute of Family Studies (2002). Semakin besar persentase jumlah etnis lain terhadap penduduk lokal menunjukkan bahwa wilayah tersebut memiliki tingkat keterbukaan yang tinggi. Keragaman etnis yang tinggi juga menunjukkan telah terbangunnya modal sosial antar individu dan organisasi yang heterogen. Collier (1998) menyatakan bahwa modal sosial dapat diproksi dengan tingkat kepadatan penduduk. Menurutnya, kepadatan penduduk yang tinggi akan meningkatkan interaksi sosial dan akhirnya menumbuhkan rasa saling percaya. Wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi akan memiliki modal sosial masyarakat yang semakin kuat pula. Masyarakat yang memiliki modal sosial yang kuat dicirikan oleh adanya ikatan yang kuat, kepadatan jaringan kerja yang tinggi, kerjasama, rasa percaya dan resiprositas serta norma saling berbagi yang sangat efektif untuk menekan adanya sikap oportunis. Rasa percaya ditentukan
152 oleh homogenitas, komposisi populasi dan tingkat ketidaksamaan (inequality). Rasa percaya yang tinggi ditemukan pada wilayah dengan ras dan komposisi populasi yang homogen serta tingkat inequality yang rendah. Tabel 33 Karakteristik Sosial Demografi Wilayah Bali, 2004 Kabupaten/Kota
Kepadatan Penduduk Jiwa/km2
% jumlah Etnis nonBali3
Jembrana
263
Tabanan
26.33
Jumlah Desa pakraman per 100000 penduduk4 25
Organisasi Sosial per 100000 penduduk5 26
474
4.12
67
23
Badung
853
5.75
34
22
Gianyar
1030
0.92
64
16
Klungkung
540
4.28
60
42
Bangli
403
2.00
91
40
Karangasem
464
4.84
59
20
Buleleng
445
8.01
27
25
Denpasar
3599
16.14
9
15
Sumber : Bali Dalam Angka, 2005
Berbeda dengan pendapat Collier (1998), kepadatan penduduk di berbagai wilayah kabupaten/kota di Bali ternyata tidak disertai dengan tingginya kepadatan organisasi. Pesatnya pembangunan berbagai sarana kepariwisataan dan tingginya tingkat kesejahteraan penduduk di Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar menjadi faktor penarik bagi penduduk dari kabupaten atau provinsi lain untuk melakukan migrasi ke daerah-daerah tersebut sehingga kepadatan penduduk di Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar sebagai daerah tujuan migrasi, mencapai empat hingga sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya (Tabel 33). Namun kepadatan jaringan kerja di ketiga wilayah tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya di Bali. Sekali lagi dapat ditunjukkan bahwa kuatnya keterikatan penduduk dengan daerah asalnya, menghambat terbangunnya jaringan kerja baru di daerah tujuan migrasi di Bali.
3
Digunakan sebagai indikator mengukur modal sosial (social capital) Merupakan indikator modal sosial mengikat (bonding social capital) 5 Merupakan indikator norma saling bantu 4
153 Variabel respons terdiri atas beberapa indikator pembangunan dan pertumbuhan ekonomi wilayah meliputi indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemiskinan manusia (IKM), laju pendapatan domestik regional bruto (laju PDRB), pendapatan domestik regional bruto (PDRB) serta pendapatan asli daerah (PAD). Modal Sosial dan Kemiskinan Badan Pusat Statistik (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori per kapita per hari. Kemiskinan bersifat sangat majemuk yang meliputi rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan, kelaparan dan kekurangan gizi, rendahnya tingkat kesehatan, keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan pokok lainnya, kondisi tidak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat, kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan yang tidak aman serta diskriminasi dan keterasingan sosial. Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya. Seseorang bisa saja memiliki pendapatan yang telah memenuhi kebutuhan minimum namun bila pendapatan tersebut jauh lebih rendah dari keadaan masyarakat maka orang tersebut dalam keadaaan miskin. Kemiskinan dapat pula dibedakan atas gejala ekonomi dan sosial.
Gejala ekonomi dari kemiskinan
penduduk ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan sedangkan gejala sosial ditunjukkan oleh tingginya jumlah kekurangan gizi, buta huruf, penyakit, lingkungan hidup yang kotor, tingginya kematian bayi, rendahnya harapan hidup. Indikator kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah indeks kemiskinan manusia (IKM). Analisis keterkaitan modal sosial dan kemiskinan telah pula mempertimbangkan adanya sifat endogenitas antara kedua variabel tersebut. Oleh karena itu, metode analisis data yang digunakan sama dengan analisis keterkaitan modal sosial dan pembangunan yaitu metode two stage least squares (TSLS).
Peluang F-statistik sangat nyata (0.00).
Nilai R2 0.5451
menunjukkan bahwa 54.51 persen variasi (keragaman) variabel tak bebas (IKM)
154 dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas dalam model, yaitu: pendapatan wilayah (PAD), tingkat keadilan (Eq), indeks pembangunan manusia (IPM), modal manusia (HC) dan modal sosial (SC). Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut: IKM = 57.681* - 6.90E-06 PAD + 10.33 Eq – 0.591IPM*** - 1.21E-05 HC** + 0.106 SC (7.80) (8.36E-06) (11.45) (0.12) (6.56E-06) (0.07) Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan simpangan baku (standard deviation) ***nyata pada 5 persen, ** nyata pada 10 persen
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kemiskinan di Bali dipengaruhi secara nyata oleh tingkat pembangunan (IPM) dan modal manusia (HC). Kedua variabel tersebut memberi pengaruh yang negatif artinya semakin tinggi tingkat pembangunan dan semakin banyak jumlah tenaga kerja berkualitas maka jumlah kemiskinan akan semakin menurun. Meningkatnya indeks pembangunan sebesar satu satuan akan menurunkan indeks kemiskinan sebesar 0.591 sedangkan meningkatnya kualitas modal manusia sebesar satu satuan akan menurunkan indeks kemiskinan 1.21E-05. Pada tingkat kepercayaan yang lebih rendah (85 persen) dapat dinyatakan bahwa modal sosial memberi pengaruh terhadap keadaan kemiskinan di suatu wilayah (Lampiran 13). Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pembahasan mengenai keterkaitan modal sosial dengan pertumbuhan ekonomi wilayah diawali dengan pembahasan mengenai keterkaitan modal sosial dengan produktifitas faktor total. Selain tenaga kerja dan modal fisik, total factor productivity (TFP) diyakini memiliki peran yang nyata terhadap pencapaian pertumbuhan yang tinggi.
Harris (2002) dalam Knowles (2005) menyatakan
bahwa ada 13 faktor yang berkaitan dengan TFP mencakup laju pajak marjinal, laju inflasi, kesenjangan pendapatan, mobilitas tenaga kerja dan ukuran sektor publik.
Namun Denison dalam Hayami (2000) berusaha menguraikan sisaan
(residual) dalam fungsi produksi dan menyatakan bahwa sisaan (residual) dalam fungsi produksi yang selama ini dipahami sebagai total factor productivity (TFP) tidak hanya mencakup perubahan teknologi namun juga aspek lain seperti pendidikan, umur dan jenis kelamin. Berdasarkan pemikiran yang berkembang
155 mengenai sisaan tersebut, maka pelitian ini mencoba mengembangkan pengertian TFP tersebut dengan mempertimbangkan indikator modal sosial dalam penghitungan sisaan fungsi produksi tersebut. Hasil analisis regresi di Bali menunjukkan bahwa TFP dipengaruhi oleh modal sosial menyambung (SCbrd), modal sosial mengikat (SCbnd), tingkat kemajuan ekonomi wilayah (wil), dan kepadatan jaringan kerja (Nw).
Dari
keempat variabel tersebut, hanya modal sosial menyambung (SCbrd), modal sosial mengikat (SCbnd), dan tingkat kemajuan ekonomi wilayah (wil) yang berpengaruh nyata. Secara matematis, hasil analisis dapat dirumuskan sebagai berikut: TFP
= -0.11 + 0.008 SCbrd*** + 2.13 SCbnd* + 0.41 wil* -1.69 Nw
(R2 =15%)
(1.01) (0.032)
(1.38)
(0.41)
(2.58)
Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan simpangan baku (standard deviation) *** nyata pada 5 persen ** nyata pada 5 ≤ p <10 persen *nyata pada 10 ≤ p <20 persen
Nilai R2 yang relatif kecil (0.15) menunjukkan rendahnya kemampuan model menjelaskan keragaman TFP. Knowles (2005) menyatakan bahwa faktorfaktor yang berkaitan dengan TFP memang sebagian besar merupakan indikator ekonomi bukan indikator sosial. Bagaimanapun, model yang dibangun tersebut memiliki nilai F yang nyata artinya model cukup valid untuk menjelaskan bahwa secara bersama-sama variabel sosial yang dipertimbangkan dalam model berpengaruh nyata terhadap TFP. Bagaimanapun hanya indikator modal sosial menyambung (bridging social capital atau SCbrd) yang berpengaruh positif dan nyata terhadap TFP. Semakin kuat interaksi masyarakat etnis Bali dengan nonBali (yang dikenal dengan weak ties) dapat meningkatkan TFP. Keterkaitan modal sosial dengan output (PDRB) dianalisis melalui model double log terhadap output wilayah (PDRB) maupun output per kapita (PDRB per kapita). Hasil analisis menunjukkan bahwa output wilayah (PDRB) dipengaruhi secara nyata oleh variabel modal sosial mengikat (SCbnd), modal sosial menyambung (Scbrd), kepadatan jaringan kerja (Nw), norma saling bantu (Nm) dan tingkat kemajuan ekonomi (wil).
Sedangkan output (PDRB) per kapita
156 dipengaruhi secara nyata oleh modal sosial mengikat (SCbnd) dan Jaringan kerja (Nw). Hasil analisis yang diperoleh dinyatakan pada Tabel 34. Tabel 34 Hasil Analisis Variabel Modal Sosial terhadap Output dan Output per kapita di Bali, Tahun 2005 (pendekatan Model Double Log) Variabel Terikat Variabel Bebas
Output (PDRB)
PDRB per kapita 5.26*** (0.22) 0.05 (0.09)
Modal sosial menyambung (SCbrd) yang didasari oleh thin trust
13.83*** (0.91) 0.003 (0.086) 0.01 (0.107) 0.121 (0.16) - 0.387** (0.207)
Modal sosial mengikat didasari oleh thick trust
-0.516
(0.377)*
-1.21*** (0.34)
Konstanta Total faktor produktivitas (TFP) Pertumbuhan tenaga kerja (PTK) Pertumbuhan modal tetap (PMT)
Norma (Nm)
(SCbnd) yang
-0.36 (0.68)
0.469***
(0.21) Jaringan Kerja (Nw)
-0.889**
(0.44) Dummy Wilayah (wil)
-0.499* (0.38)
0.502**
(0.29) Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan simpangan baku (standard deviation) ***nyata pada 5 persen, ** nyata pada 10 persen, *nyata pada 20 persen Variabel Dummy bernilai 0 untuk wilayah belum berkembang; 1 untuk wilayah maju
Kepadatan jaringan kerja (Nw), modal sosial mengikat (SCbnd) yang didasari oleh thick trust dan modal sosial menyambung (SCbrd) yang didasari oleh thin trust, memberi pengaruh yang negatif artinya ada trade off antara tingkat modal sosial dan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Hal ini
sesungguhnya bertentangan dengan konsep modal sosial yang berkembang. Modal sosial di Bali kelihatannya menjadi suatu anomali namun Beugelsdijk dan Smulders (2003) menjelaskan bahwa dampak jaringan kerja pada ekonomi dapat bersifat positif atau negatif tergantung pada dominasi antara dampak negatif crowding out waktu kerja dan dampak positif berupa proteksi terhadap perilaku rent-seeking. Di Bali, ada indikasi bahwa ikatan-ikatan dalam organisasi adat
157 maupun non-adat telah menyebabkan kuatnya dampak crowding out sehingga terjadi substitusi antara tenaga kerja untuk aktivitas produktif ke aktivitas sosial. Sanksi moral yang ketat seringkali menyebabkan masyarakat di Bali memilih untuk mengorbankan waktu kerja efektif mereka. Hal tersebut dilakukan agar mereka dapat berpartisipasi dalam kegiatan adat. Oleh karenanya, semakin luas jaringan kerja yang bersifat bonding maupun bridging akan berimplikasi secara langsung terhadap pengurangan waktu kerja efektif yang akhirnya akan berdampak terhadap output yang dapat dihasilkan. Sebaliknya, norma saling bantu memberi pengaruh positif dan nyata. Norma saling bantu menjadi jaminan sosial yang selalu tersedia saat dibutuhkan. Kuatnya norma saling bantu tersebut akan menekan perilaku oportunistik seperti rent-seeker dan free rider (pembonceng).
Nilai koefisien determinasi
menunjukkan 65 persen keragaman PDRB dapat dijelaskan oleh variabel-variabel dalam model. Hasil analisis terhadap keterkaitan berbagai komponen modal sosial dan output per kapita (PDRB per kapita) menunjukkan bahwa modal sosial menyambung (SCbrd) tidak lagi berpengaruh nyata, hanya modal sosial mengikat (SCbnd) dan kepadatan jaringan kerja (Nw) yang berpengaruh nyata. Namun demikian, pengaruh variabel modal sosial menyambung (SCbrd), modal sosial mengikat (SCbnd) maupun kepadatan jaringan kerja (Nw) tetap saja negatif. Nilai R2 menjadi lebih kecil yaitu 0.53 artinya hanya 53 persen keragaman output per kapita yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas dalam model tersebut. Hasil analisis keterkaitan modal sosial dengan indikator pertumbuhan ekonomi wilayah menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB hanya dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran riil per kapita masyarakat.
Semakin tinggi
pengeluaran riil, semakin besar konsumsi sehingga semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di Bali. Variabel lain seperti keadilan (Eq), modal manusia (HC) dan modal sosial (SC) tidak berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan tersebut. Pertumbuhan PDRB = 1.325385 + 1.013045Eq + 0.007921Yk*** - 7.76E-7HC - 0.01920 SC
(1.92)
(10.45)
(0.003)
(4.5E-6)
Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan simpangan baku (standard deviation) ***nyata pada 5 persen
(0.02)
158
Modal Sosial dan Pembangunan Wilayah Dua model dikembangkan untuk mengetahui peran modal sosial terhadap pembangunan wilayah (IPM). Model pertama mempertimbangkan PAD sebagai indikator kesejahteraan wilayah sedangkan model kedua mempertimbangkan pendapatan per kapita (Yk) sebagai indikator kesejahteraan wilayah. Perbedaan tersebut
dilakukan
dengan
pertimbangan
bahwa
PAD
adalah
manfaat
produktivitas pengelolaan yang dinikmati oleh komunitas sedangkan pendapatan per kapita merupakan manfaat produktivitas pengelolaan yang dirasakan oleh individual. Hasil analisis menggunakan metode two stage least square pada program SAS menunjukkan bahwa modal sosial di Bali memberi kontribusi yang positif dan nyata terhadap tingkat pembangunan. Variabel keadilan (Eq), sumber daya manusia (HC) dan modal sosial (SC), hanya mampu menggambarkan 12 - 13 persen dari variasi pembangunan di Bali. Kecilnya nilai R2 umumnya disebabkan oleh jenis data panel yang digunakan dan menunjukkan bahwa masih banyak faktor lain yang mempengaruhi pencapaian tingkat pembangunan manusia. Secara terinci, hasil analisis dinyatakan pada Tabel 35. Model pertama mempertimbangkan PAD sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi modal sosial. Hasil analisis regresi model pertama menunjukkan bahwa tingkat pembangunan dipengaruhi secara nyata oleh modal sosial (SC) dan tingkat keadilan (Eq) di wilayah tersebut. Sumber daya manusia (HC) ternyata tidak berpengaruh secara nyata terhadap pembangunan di suatu wilayah. Semakin tinggi tingkat keadilan dan modal sosial maka semakin tinggi pembangunan ekonomi di Bali. Sebesar 69 persen variasi modal sosial dapat dijelaskan oleh rasa percaya (Tr), norma (Nm), jaringan kerja (Nw) dan pendapatan wilayah (PAD). Keempat variabel tersebut memberi pengaruh nyata. Variabel rasa percaya (Tr), kepadatan jaringan kerja (Nw) dan pendapatan wilayah (PAD) memberi pengaruh negatif sedangkan norma saling bantu (Nm) berpengaruh positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin kuat rasa percaya, yang ditunjukkan oleh semakin
159 rendahnya jumlah konflik, akan menyebabkan semakin kuatnya modal sosial di Bali. Tabel 35
Hasil Analisis Keterkaitan Modal Sosial dan Pembangunan Wilayah di Bali, Tahun 2005
Variabel
Konstanta Tingkat keadilan (Eq) Sumber daya manusia (HC) Modal Sosial (SC) Rasa percaya sesama etnis (Tr) Norma (Nm) Jaringan Kerja (Nw) Pendapatan wilayah (PAD)
Model 1
Model 2
Variabel Terikat IPM SC -4.79E12*** 13.41*** (7.79) (2.98) 1.87E13** (39.47) 344731 (0.00) 4.01E10*** (0.097) -13.71*** (5.82)
Variabel Terikat IPM SC 61.36*** 13.28*** (7.79) (4.39) 8.31** (39.43) 7.76E-6 (0.0.00) 0.22*** (0.096) -21.26*** (7.05)
268.95*** (61.73) -17.93*** (12.91) -0.00006*** (0.00)
Pendapatan per kapita (Yk)
166.33*** (66.24) 2.31 (13.71)
-105E-14 (1.49E-12)
Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan simpangan baku (standard deviation) ***nyata pada 5 persen, ** nyata pada 10 persen, *nyata pada 20 persen
Hasil analisis mengindikasikan bahwa semakin tinggi PAD maka semakin lemah modal sosial. Dampak penurunan modal sosial akibat meningkatnya PAD tersebut relatif kecil yaitu 0.00006. Namun hal tersebut tidak dapat diabaikan. Penurunan modal sosial di wilayah-wilayah kaya dan maju berkaitan erat dengan semakin banyaknya public space yang diprivatisasi sehingga mengurangi fasilitas untuk berinteraksi seperti disewakannya banjar menjadi tempat berdagang, taman kota menjadi mal dan ruko, privatisasi pantai oleh pemilik hotel, ketiadaan sarana transportasi yang memadai, dan berkurangnya fasilitas olah raga. Menurut Narayan (1999), public space merupakan tempat melakukan aktivitas sosial yang mendorong masyarakat untuk memiliki weak ties. Beberapa faktor penyebab yang mendorong terjadinya pengalihan public space tersebut adalah: (1) rendahnya komitmen pemerintah yang ditunjukkan pula oleh rendahnya alokasi
160 pendapatan daerah yang digunakan untuk pembangunan sosial dan budaya (4.55%); (2) tingginya biaya imbangan (opportunity cost) untuk membangun public space. Jaringan kerja (Nw) juga memberi kontribusi yang negatif terhadap modal sosial di suatu wilayah. Semakin banyak jaringan kerja per 1000 penduduk berarti interaksi sosial penduduk semakin intensif. Hal tersebut dapat meningkatkan sistem kontrol masyarakat sehingga wilayah tersebut menjadi semakin ekslusif, semakin sulit bagi pendatang untuk menetap di daerah tersebut. Dampak negatif tersebut berupa menguatnya modal sosial mengikat relatif terhadap modal sosial menyambung. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat yang menetap di suatu wilayah di Bali semakin kuat hambatan bagi pendatang untuk menetap di wilayah tersebut.
Hambatan tersebut berupa tingginya biaya hidup, ketatnya seleksi
administrasi dan sebagainya. Data menunjukkan bahwa keterbukaan wilayah belum berkembang memang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah maju yang ditunjukkan oleh tingginya persentase etnis non-bali terhadap etnis bali di wilayah belum berkembang seperti Kabupaten Jembrana dan Karangasem. Berbeda dengan variabel rasa percaya antar etnis (Tr), jaringan kerja (Nw) dan pendapatan wilayah (PAD), variabel norma (Nm) memberi kontribusi yang positif terhadap modal sosial. Semakin kuat rasa saling bantu yang ditunjukkan oleh semakin banyaknya organisasi sosial akan meningkatkan modal sosial. Organisasi sosial umumnya memiliki satu tujuan yang sama (collective goals) yaitu membantu golongan yang lemah dan miskin tanpa membedakan usia, golongan, kasta, jenis kelamin, agama maupun suku. Oleh karena itu, norma saling bantu yang kuat tidak saja membangun rasa percaya yang semakin kuat namun juga menjadi jaminan sosial. Berbeda dengan model 1, pendapatan riil per kapita (Yk) pada model 2 tidak berpengaruh nyata terhadap modal sosial. Modal sosial hanya dipengaruhi secara nyata oleh rasa percaya (Tr) dan norma (Nm). Kedua model menunjukkan hasil yang relatif sama, yaitu bahwa pembangunan dipengaruhi secara nyata hanya oleh modal sosial (SC) dan distribusi pendapatan (Eq). Konsistensi hasil tersebut menggambarkan bahwa modal sosial berpengaruh secara positif dan nyata terhadap pembangunan. Kontribusi tenaga kerja (HC)
161 yang tidak nyata dapat disebabkan oleh pemilihan variabel instrumen maupun pengukuran yang kurang sesuai. Simpulan Akhir Bab Di tingkat mikro, modal sosial berkaitan secara positif dan nyata, dengan pendapatan rumah tangga. Semakin sejahtera rumah tangga semakin besar kemampuannya untuk membangun modal sosial. Sesuai dengan Putnam (1993), modal sosial dapat menjadi jaminan sosial bahwa seseorang akan memberi bantuan saat dibutuhkan sehingga modal sosial yang kuat menunjukkan besarnya peluang individu untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pula.
Menurut
Bourdieu (1986), modal sosial juga mampu menjelaskan mengapa modal ekonomi (economi capital) dan modal budaya (cultural capital) yang sama dapat menghasilkan keuntungan yang berbeda. Modal sosial individu di wilayah maju lebih tinggi dibandingkan dengan modal sosial individu di wilayah belum berkembang Di tingkat makro, modal sosial di Bali memiliki keterkaitan nyata dengan indeks pembangunan manusia (IPM). Modal sosial yang kuat akan mendorong tercapainya pembangunan manusia yang lebih tinggi (sesuai dengan hasil penelitian Sabatini, 2005).
Namun modal sosial tidak berkaitan dengan
kemiskinan maupun pertumbuhan ekonomi wilayah (pertumbuhan PDRB). Modal sosial yang dibedakan atas modal sosial mengikat (bonding social capital) dan modal sosial menyambung (bridging social capital) hanya memiliki hubungan searah dengan output wilayah (PDRB) maupun output per kapita. Hasil analisis menunjukkan bahwa modal sosial mengikat (bonding social capital), modal sosial menyambung (bridging social capital) dan kepadatan jaringan kerja (Nw) memberi kontribusi negatif terhadap output wilayah maupun output per kapita. Hal ini tidak sepenuhnya bertentangan dengan pendapat Putnam (1993) maupun Beugelsdijk dan Smulder (2003) namun juga tidak sepenuhnya mendukung. Menurut Putnam (1993), modal sosial menyambung (bridging social capital) memang seharusnya memberi kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah sebaliknya modal sosial mengikat (bonding social capital) menekan pertumbuhan ekonomi wilayah.
Namun, Beugelsdijk dan Smulder
162 (2003) serta Bartolini dan Bonati (2004) meyakini bahwa kontribusi negatif modal sosial menyambung (bridging social capital) terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah dapat terjadi disebabkan oleh besarnya dampak crowding out waktu kerja melebihi dampak positif yang berasal dari pengurangan biaya transaksi dan biaya pengawasan terhadap perilaku rent-seeking. Bagaimanapun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa modal sosial menyambung (bridging social capital) berpengaruh positif terhadap total faktor produktivitas (TFP).
STRATEGI REVITALISASI MODAL SOSIAL DI EMPAT KABUPATEN DI BALI
Modal Sosial: Dasar Penentuan Strategi Dale dan Onyx (2005) menyatakan bahwa keterkaitan pembangunan ekonomi wilayah dan modal sosial sulit untuk dipahami. Namun demikian, peran modal sosial dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dapat dijelaskan melalui beberapa mekanisme. Modal sosial memfasilitasi terjadinya proses adopsi yang lebih cepat dan juga menekan biaya-biaya transaksi dalam proses produksi. Penggunaan modal sosial yang tepat akan meningkatkan akses setiap orang untuk memperoleh pengetahuan, pendidikan, kesehatan, rasa aman dan lapangan kerja sehingga lebih sejahtera. Hasil analisis terdahulu menunjukkan bahwa rasa percaya masyarakat di Bali berada dalam kategori relatif lemah dibandingkan beberapa negara lainnya di dunia, kepadatan organisasi pada kategori sedang dan norma pada kategori kuat. Di Bali, modal sosial mengikat (bonding social capital) dan modal sosial menyambung (bridging social capital) memberi pengaruh negatif terhadap pertumbuhan (PDRB). Modal sosial mengikat (bonding social capital) yang berlandaskan atas rasa percaya terhadap sesama etnis (thick trust), berbeda nyata dan lebih kuat dibandingkan dengan modal sosial menyambung (bridging social capital) yang berlandaskan atas rasa percaya terhadap etnis lain (thin trust). Perbedaan tersebut perlu memperoleh perhatian mengingat kuatnya ikatan bonding tidak selalu memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi wilayah (Iyer et al, 2005). Rendahnya rasa percaya terhadap etnis lain (thin trust) akan menimbulkan sifat saling mencurigai dan berpotensi menimbulkan konflik antar etnis padahal konflik-konflik yang bersifat potensial maupun laten, harus dihindari mengingat Bali sebagai daerah tujuan wisata yang memerlukan keamanan dan kenyamanan. Oleh karenanya, keseimbangan antara thick trust dan thin trust tersebut harus terus dijaga. Alesina dan La Ferrara (2000), menyatakan bahwa melemahnya rasa percaya dapat disebabkan oleh pengalaman yang menimbulkan traumatis. Indeks dari berbagai komponen modal sosial ditunjukkan pada Tabel 36.
164
Tabel 36 Indeks Rasa Percaya, Kepadatan Jaringan Kerja dan Norma di Empat kabupaten di Bali, Tahun 2005 Komponen
Nilai paling Nilai tidak diharapkan diharapkan
Rata-Rata
Indeks
2
1
1.16
0.16
1. Bonding (Thick Trust)
5
1
3.21
0.55
2. Bridging (Thin Trust)
5
1
1.81
0.16
3. Pemerintah kabupaten
5
1
2.48
0.37
4. Pemerintah provinsi
5
1
2.27
0.32
5. Polisi
5
1
2.71
0.43
6. Guru
5
1
3.35
0.59
7
1
3.19
0.37
4
1
3.51
0.84
2. Partisipasi
4
1
2.68
0.56
Norm individu
5
1
4.09
0.77
1. Titip anak
4
1
3.60
0.95
2. Free rider
5
1
3.85
0.71
Rasa Percaya individu
Kepadatan Jaringan Kerja individu 1. Jumlah Teman
Sumber : Analisis Data Primer, 2005
Di antara berbagai profesi yang ada, profesi guru memperoleh rasa percaya tertinggi dari masyarakat Bali.
Secara umum, rasa percaya terhadap semua
profesi berada pada kategori sedang. Rasa percaya masyarakat terhadap kinerja pegawai provinsi memiliki indeks terendah sedangkan rasa percaya terhadap kinerja pegawai kabupaten setingkat lebih tinggi.
Rendahnya rasa percaya
tersebut dapat menjadi faktor penghambat bagi upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam program-program pembangunan. Partisipasi anggota masyarakat di Bali dalam kegiatan bersama berada pada kategori sedang. masyarakatnya.
Demikian pula kepadatan jaringan kerja (organisasi)
Partisipasi merupakan faktor penting dalam proses difusi
informasi dan kelekatan sosial. Indikator-indikator tersebut dan tingginya indeks jumlah teman dekat menunjukkan bahwa intensitas hubungan sosial di Bali relatif kuat. Norma yang masih mengikat kuat dalam masyarakat Bali adalah norma saling memberi bantu fisik terutama saat adanya kegiatan adat. Selain itu, gotong royong untuk menjaga lingkungan masih sering dilakukan. Menitipkan anak dan
165 rumah pada tetangga, relatif masih mudah dilakukan. Namun demikian, hal yang tidak diharapkan sudah mulai tumbuh dalam masyarakat yaitu adanya individu individu yang bersikap sebagai pembonceng (free rider). Indeks free rider di Bali termasuk kategori tinggi. Sebagian besar masyarakat merasa ada yang telah memanfaatkan kebaikan yang mereka berikan pada pihak lain. Dengan kata lain, sudah mulai tumbuh jiwa asosial dalam masyarakat Bali. Salah satu faktor yang dapat diduga menyebabkan hal tersebut adalah lemahnya sanksi yang dikenakan terhadap anggota dalam suatu organisasi yang melalaikan tugasnya. Sanksi moral yang dahulu sangat efektif karena malu dan takut bila dikucilkan, saat ini mulai melemah. Menurunnya keefektifan sanksi moral disebabkan oleh munculnya alternatif untuk menghindari sanksi tersebut seperti berdomisili pada dua desa pakraman maupun membeli ayahan1. Gejala tumbuhnya pembonceng tersebut seharusnya ditekan sejak awal, jika tidak, akan memberi dampak negatif terhadap keberadaan modal sosial masyarakat. Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan pula bahwa rasa percaya, yang menjadi dasar untuk membangun kerjasama, merupakan faktor yang memberi kontribusi nyata terhadap variabel modal sosial dan pertumbuhan ekonomi di Bali. Namun hasil analisis menunjukkan pula bahwa indeks rasa percaya masyarakat terhadap etnis lain, pegawai pemerintah provinsi maupun kabupaten, relatif rendah.
Oleh karenanya, diperlukan suatu sikap politik yang mampu
menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat terutama berkaitan dengan upaya-upaya meningkatkan investasi di bidang sosial (revitalisasi modal sosial), terutama dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Berkaitan dengan upaya membangun modal sosial, muncul pertanyaan mengenai strategi apakah yang harus dipilih oleh masyarakat dan pemerintah di Bali untuk merevitalisasi modal sosial? Bekerjasama ataukah tidak bekerjasama? Bekerjasama seringkali merupakan hasil dari terbangunnya rasa percaya. Williamson (1988) dalam Casson dan Godley (2000), menyatakan bahwa rasa percaya tidak dapat ditumbuhkan oleh salah satu sumber saja. Seringkali rasa saling percaya tumbuh berdasarkan hubungan yang setara antara masyarakat dan pemerintahnya. 1
Oleh karenanya, keputusan untuk bekerjasama berarti semua
Ayahan adalah kewajiban masyarakat untuk memberi bantuan fisik maupun finansial kepada tetangga atau kelompok pada saat dilaksanakan kegiatan adat.
166 pihak harus membangun kesetaraan dan
menanggung biaya sosial secara
bersama-sama. Berapa besar ganjaran (payoff) yang diperoleh setiap aktor atau stakeholder pembangunan di Bali jika mereka memilih strategi bekerjasama atau tidak bekerjasama? Apakah strategi tersebut dapat menghasilkan suatu keadaan keseimbangan Nash (Nash Equilibrium) yaitu keadaan dimana tidak ada peluang bagi masing-masing pihak untuk mengubah strateginya karena strategi yang telah dipilih merupakan strategi terbaik? Strategi Membangun Modal Sosial: Bekerjasama (cooperative) atau Tidak Bekerjasama (non-cooperative) Bekerjasama adalah salah satu cara untuk menguatkan modal sosial. Kerjasama sesungguhnya telah mencakup ketiga komponen dalam modal sosial yaitu rasa percaya, jaringan kerja dan norma. Namun membangun kerjasama untuk memelihara dan menguatkan modal sosial yang merupakan common pool resources membutuhkan kemauan politis (political will) yang besar. Sekelompok orang tidak akan dapat membangun kerjasama jika tidak ada organisasi yang mewadahi mereka. Prasyarat terbangunnya organisasi adalah adanya rasa percaya dan norma yaitu aturan yang mengatur cara mereka berperilaku dalam organisasi tersebut. Membangun dan menguatkan modal sosial di Bali tidak hanya dapat dilakukan oleh masyarakat saja. Paling tidak, ada tiga aktor (player) yang terlibat dalam upaya penguatan modal sosial di Bali yaitu pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi dan masyarakat.
Secara teoritis, Schubick (1995)
menyatakan bahwa bekerjasama hanya akan menguntungkan apabila memenuhi kriteria berikut: ν (S∪T) ≥ ν (S) + ν(T) ; dimana: ν
=
ν (S∪T) ν (S) ν(T) S,T
= = = =
adalah fungsi karakteristik (characteristic function) yang diformulasikan oleh John von Neuman. manfaat yang diperoleh apabila bekerjasama manfaat yang diperoleh individu S bila memutuskan bekerja sendiri manfaat yang diperoleh individu T bila memutuskan bekerja sendiri aktor yang terlibat dalam interaksi
167 Perilaku setiap aktor dalam suatu organisasi dapat digambarkan dengan baik oleh Axelrod (1984) melalui Teori Permainan (Game Theory). Permainan (Game) adalah suatu situasi strategis dimana terdapat keterkaitan antar dua atau lebih aktor yang membuat keputusan. Masing-masing aktor memperoleh penghargaan (reward) atas keputusannya. Nilai dari penghargaan (reward) yang diperoleh tergantung pada keputusan yang dibuat oleh pihak lain (Kimbrough, 2002). Analisis permainan ini menjadi penting, mengingat perilaku ekonomi masyarakat di Bali masih terikat kuat pada norma-norma bersama (collective norms). Sebagai contoh keterikatan masyarakat dengan daerah asalnya karena adanya sanggah kemulan1. Seringkali masyarakat di Bali mengorbankan waktu kerja agar dapat berpartisipasi dalam kegiatan bersama (collective action) yang berkaitan dengan adat dan agama di daerah asalnya. Keputusan rumah tangga dan individu dalam membentuk kelompok dan berorganisasi pun masih dipengaruhi oleh struktur sosial tradisional (sistem kasta). Batasan-batasan norma tersebut menyebabkan keputusan masyarakat dan individu tidak hanya didasarkan oleh rasionalitas.
Perilaku pemain tidak lagi mengarah pada sikap altruism namun
menuju sikap yang resiprokal karena sikap tersebut menghindarkan mereka dari tindakan tereksploitasi oleh pihak lain (pembonceng). Tabel 37 Bantuan Dana per Tahun untuk Desa Pakraman di Empat Kabupaten di Bali, Tahun 2004 Pengeluaran Sosial
Jembrana
Badung
Gianyar
Karangasem
Provinsi
25 000 000
25 000 000
25 000 000
25 000 000
Kabupaten
10 000 000*)
100 000 000
12 000 000
10 000 000
Masyarakat per 100 pddk
9 904 400
19 005 900
11 415 700
8 100 000
Sumber : Data Primer, 2005 *) bukan bantuan rutin, nominalnya bergantung pada kebutuhan desa pakraman
1
Tempat masyarakat Hindu Bali memuja Tuhan dan leluhurnya.
168 Selama ini, pemerintah kabupaten dan provinsi melakukan investasi sosial yang bertujuan untuk memelihara dan menjaga keberlangsungan aktivitas sosial dalam organisasi sekaa, desa pakraman dan subak. Besarnya investasi sosial tersebut ditetapkan secara eksogen berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah bukan berdasarkan hasil kajian teoritis terhadap optimasi biaya sosial yang dibutuhkan (Tabel 37). Kabupaten yang memiliki PAD tinggi memberikan dana operasional yang tinggi pula kepada masing-masing desa pakraman dan organisasi lain yang ada di wilayahnya, sebaliknya kabupaten yang memiliki PAD rendah memberi bantuan jauh lebih rendah, sesuai dengan kemampuannya. Hingga saat ini, ada kecenderungan bahwa sebagian besar dana tersebut digunakan untuk biaya operasional dan pemeliharaan bangunan fisik (tempat persembahyangan bersama) sedangkan investasi sosial untuk membangun dan menguatkan modal sosial melalui aktivitas bersama relatif diabaikan. Proksi
yang
digunakan
sebagai
ukuran
keterlibatan
masyarakat,
pemerintah kabupaten dan provinsi dalam membangun modal sosial dalah besarnya kontribusi masing-masing pihak dalam aktivitas sosial yang dinyatakan dengan istilah pengeluaran sosial (social expenditure).
Semakin tinggi
pengeluaran sosial berarti semakin tinggi investasi yang dialokasikan untuk aktivitas sosial sehingga dapat diharapkan bahwa semakin tinggi pula stok modal sosial dalam kelompok tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dapat ditentukan besarnya ganjaran (payoff) dari modal sosial di masing masing kabupaten.
Ganjaran masing-masing aktor dalam analisis permainan untuk
membangun modal sosial di Bali ditunjukkan pada Tabel 12 (Bab Metodologi Penelitian). Sesungguhnya terdapat beberapa strategi yang dapat dipilih oleh masingmasing aktor yang berperan dalam proses pembangunan modal sosial, yaitu bersikap altruism, resiprokal ataupun selfish. Namun dalam penelitian ini, ketiga sikap tersebut dikelompokkan atas dua strategi, yaitu: (1) tidak bekerjasama; dan (2) bekerjasama. Memilih bekerjasama berarti aktor harus bersedia saling bantu dalam membangun modal sosial dengan cara (1) pemerintah provinsi dan kabupaten memfasilitasi terbangunnya modal sosial seperti penyediaan fasilitas fisik dan bantuan dana; (2) masyarakat menjaga hubungan sosialnya dengan
169 menjaga norma saling bantu dan interaksi (silahturahim) dengan sesamanya. Ketiga aktor yakni pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan masyarakat harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membangun modal sosial karena modal sosial tidak akan terbangun secara sepihak. Modal sosial yang tidak terjaga dan terpelihara akan menyebabkan adanya situasi dan kondisi tidak aman yang menekan produktivitas kerja masyarakat di semua sektor perekonomian, terutama sektor kepariwisataan sebagai sektor dominan di Bali.
Ketidakamanan akan berakibat pada menurunnya jumlah
wisatawan dan lama tinggal wisatawan di Bali. Apabila pemerintah kabupaten dan masyarakat bekerjasama, maka ganjarannya akan berupa peningkatan pendapatan rumah tangga dan regional. Sebaliknya, keputusan masyarakat untuk tidak bekerjasama berarti bertindak selfish atau masing-masing individu tidak membangun modal sosialnya yang berimplikasi pada rendahnya pengeluaran untuk aktivitas sosial masyarakat. Keputusan untuk tidak bekerjasama memang akan melemahkan pengawasan terhadap orang lain sehingga memungkinkan munculnya berbagai konflik yang memicu rasa ketidakamanan dan situasi yang tidak kondusif untuk melaksanakan aktivitas produktif.
Situasi yang tidak
kondusif tersebut akan menyebabkan hilangnya sebagian pendapatan masyarakat karena menekan perkembangan industri pariwisata seperti turunnya kunjungan wisata dan semakin pendeknya length of stay wisatawan. Analisis terhadap upaya membangun modal sosial di Bali dilakukan melalui extensive game analysis, yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) ada pemain-pemain dalam permainan (player), (2) masing-masing pemain bergerak sesuai dengan informasi yang dimilikinya (strategy), dan (3) ganjaran (payoff) yang diterima oleh masing-masing pemain untuk setiap kombinasi gerakan-gerakan yang dipilih oleh para pemain (Anwar, 2002).
Penentuan
pemerintah kabupaten sebagai aktor utama disesuaikan dengan pertimbangan adanya kebijakan otonomi daerah yang memberi otonomi kepada pemerintah kabupaten untuk bertindak sebagai penentu kebijakan. Setiap keputusan yang diambil oleh masing-masing aktor dapat dinyatakan sebagai berikut:
170
δij
ij ≠ ji
dimana: δ ij = B = Sexp = i,j =
⎧ Bekerjasama (cooperative), Jika B≥Sexp ⎫ =⎨ ⎬ Tidak Bekerjasama (non-cooperative), jika B< Sexp ⎩ ⎭
keputusan yang diambil oleh aktor i terhadap aktor j keuntungan (benefit) yang diterima dari interaksi sosial yang terbangun biaya sosial (social expenditure) yang harus ditanggung oleh aktor aktor dalam interaksi sosial
Analisis permainan dilakukan melalui Program Gambit. Hasil analisis tersebut dibagi dalam dua kelompok yaitu: (1) permainan yang menganalisis interaksi antara pemerintah kabupaten dan masyarakat, dan (2) permainan yang menganalisis interaksi antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. Hasil analisis permainan menunjukkan bahwa terdapat dua keseimbangan Nash (Multiple Nash Equilibria) dalam setiap interaksi antara pemerintah kabupaten dan masyarakat, dan antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. Nash Equilibrium adalah keadaan dimana setiap peserta dalam permainan memilih strategi terbaik bilamana strategi pihak lain diketahui (Anwar, 2002). Secara lebih spesifik dapat dinyatakan bahwa Nash Equilibrium adalah suatu keseimbangan dimana setiap pemain tidak dapat lagi mengubah strategi permainannya dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungannya.
Gambar 36 Ganjaran bagi Pemerintah dan Masyarakat Kabupaten Jembrana dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005 Adanya dua keseimbangan Nash ( Nash Equilibrium) yang terjadi dalam setiap interaksi yang dianalisis menunjukkan bahwa interaksi antar aktor pembangunan di wilayah berkembang dan wilayah maju tidak berbeda dan akan
171 menghasilkan outcome yang sama, yaitu Dua Nash Equilibrium. Keseimbangan tersebut tercapai apabila pemerintah kabupaten memilih strategi untuk bekerjasama, baik dengan masyarakat maupun dengan pemerintah provinsi. Demikian pula halnya dengan strategi masyarakat dan pemerintah provinsi, yaitu bekerjasama dengan pemerintah kabupaten. Pilihan untuk bekerjasama memiliki konsekwensi menanggung bersama-sama biaya untuk membangun modal sosial. Apabila pemerintah Kabupaten Jembrana memilih untuk bekerjasama dengan masyarakat maka ganjaran yang diperoleh sebesar Rp 1 879.23 juta per tahun dan masyarakat memperoleh rataan peningkatan pendapatan riil sebesar Rp 3 478 700 per kapita per tahun.
Rataan biaya sosial yang dikeluarkan oleh
masyarakat adalah sebesar Rp 99 044 per bulan untuk membangun modal sosial individu. Pihak pemerintah kabupaten harus mengalokasikan dana sebesar Rp 630 juta rupiah per tahun untuk investasi modal sosial yang merupakan biaya untuk membangun atau memelihara prasarana dan sarana yang dapat digunakan untuk melakukan aktivitas bersama.
Gambar 37 Ganjaran bagi Pemerintah dan Masyarakat Kabupaten Badung dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005 Strategi pemerintah daerah Kabupaten Badung untuk bekerjasama dengan masyarakatnya dalam membangun modal sosial juga menghasilkan ganjaran yang berupa rataan peningkatan pendapatan wilayah sebesar Rp 56 097 juta per tahun, dan rataan peningkatan pendapatan riil bagi masyarakat sebesar Rp 6 198 480 per kapita per tahun atau Rp 516 540 per kapita per bulan.
172
Gambar 38 Ganjaran bagi Pemerintah dan Masyarakat Kabupaten Gianyar dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005 Keseimbangan Nash dalam interaksi antara pemerintah daerah (pemda) di Kabupaten Gianyar dan masyarakat juga berjumlah dua yaitu bila pemda bekerjasama dan masyarakat juga bekerjasama. Ganjaran untuk pemda Gianyar berupa rataan peningkatan pendapatan wilayah (PDRB) sebesar Rp 34 440.31 juta per tahun sedangkan ganjaran bagi masyarakat berupa rataan peningkatan pendapatan rumah tangga sebesar Rp 233 930 per bulan .
Gambar 39 Ganjaran bagi Pemerintah dan Masyarakat Kabupaten Karangasem dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005 Sama halnya dengan pemerintah daerah (pemda) lainnya, strategi dominan bagi pemda Karangasem adalah melakukan kerjasama dengan menyediakan fasilitas bagi masyarakat untuk berinteraksi dalam kelompok dengan cara melakukan investasi modal sosial. Strategi tersebut akan memberikan ganjaran sebesar Rp 37 000 juta per tahun kepada pemerintah daerah dan rataan peningkatan pendapatan rumah tangga sebesar Rp 83 100 per bulan.
173 Secara umum, dapat dinyatakan bahwa keputusan pemerintah kabupaten untuk bekerjasama dengan masyarakatnya dalam membangun dan menguatkan modal sosial akan memberikan tambahan pendapatan bagi wilayah danrumah tangga. Tambahan pendapatan yang diperoleh jauh melebihi tambahan pendapatan masing-masing pihak apabila memilih strategi tidak bekerjasama (noncooperative) sesuai dengan Schubick (1995). Analisis
permainan
antara
pemerintah
kabupaten
dan
provinsi
dikelompokkan atas: (1) pemerintah kabupaten di wilayah maju (Badung) dengan pemerintah provinsi; (2) pemerintah kabupaten di wilayah belum berkembang (Karangasem) dengan pemerintah provinsi. Hasil analisis menunjukkan hal yang sama dengan hasil analisis permainan antar pemerintah kabupaten dan masyarakat. Strategi terbaik yang harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten di wilayah belum berkembang dan di wilayah maju terhadap pemerintah provinsi adalah bekerjasama.
Demikian pula sebaliknya, pemerintah provinsi harus
mengambil kebijakan-kebijakan yang mampu membangun kerjasama dengan pemerintah kabupaten.
Gambar 40 Ganjaran bagi Pemerintah kabupaten di Wilayah Maju dan Pemerintah Provinsi Bali dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005 Secara keseluruhan, hasil analisis game menunjukkan bahwa kerjasama adalah strategi terbaik yang harus dipilih oleh masyarakat, pemerintah kabupaten maupun provinsi. Implikasi hasil penelitian ini menunjukkan krusialnya upaya untuk menekan egoisme regional yang tumbuh seiring dengan penetapan kebijakan otonomi daerah sejak 2001.
Kebijakan-kebijakan kabupaten yang
bersifat mementingkan wilayah sendiri dan bersikap non-cooperative sudah seharusnya dihentikan. Demikian pula dengan kebijakan pemerintah Provinsi
174 Bali yang bersifat bias kepada wilayah atau pusat-pusat pengembangan pariwisata sebaiknya ditiadakan lagi.
Gambar 41 Ganjaran Pemerintah kabupaten di Wilayah Belum Berkembang dan Pemerintah Provinsi Bali dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005 Hasil penelitian ini juga mendukung pendapat Coleman (1988) yang menekankan pentingnya struktur yang bersifat tertutup (closure) untuk mengefektifkan norma.
Struktur sosial yang bersifat closure dapat dibangun
melalui organisasi-organisasi yang bersifat antar wilayah. Organisasi tersebut tidak hanya melibatkan partisipasi masyarakat namun juga para eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, norma di satu kabupaten tidak akan bertentangan dengan norma di kabupaten lainnya.
Bentuk closure yang dimaksud adalah
sebagai digambarkan pada Gambar 42 berikut:
Pemerintah kabupaten A
Pemerintah kabupaten B
Organisasi Ai
Pemerintah kabupaten A
Pemerintah kabupaten B
Organisasi Bj Organisasi Ai
Masyarakat A
Organisasi Bj
Masyarakat B Masyarakat A
(a)
Masyarakat B
(b)
Gambar 42 Perbedaan antara struktur sosial yang bersifat non-closure (a) dan struktur sosial yang bersifat Closure (b)
175 Kegiatan bersama lebih mudah diorganisasikan di wilayah yang relatif homogen. Namun di sisi lain, heterogenitas merupakan alat peredam terjadinya pemberontakan antar masyarakat sipil (perang saudara) dengan pemerintah karena keragaman etnis akan menumbuhkan sistem kontrol yang baik antar etnis tersebut. Oleh karena itu, keragaman etnis tidak harus dihindari melainkan harus dipertahankan melalui kebijakan-kebijakan yang inklusif dan berkeadilan. Simpulan Akhir Bab Modal sosial merupakan modal yang terbangun dari interaksi sosial. Oleh karenanya, seringkali terjadi konflik kepentingan antar individu yang terlibat di dalam interaksi tersebut yang penyelesaiannya hanya dapat dilakukan melalui interaksi yang berulang-ulang. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat dua keseimbangan Nash dalam setiap interaksi yang dibangun antara masyarakat dan pemerintah kabupaten, yaitu (1) pada saat pemerintah kabupaten memutuskan untuk memilih strategi bekerjasama (cooperative) dan masyarakat merespons dengan memilih strategi bekerjasama (cooperative) pula, dan (2) saat pemerintah kabupaten memutuskan untuk tidak bekerja sama (non-cooperative) yang direspons oleh masyarakat dengan sikap non-cooperative pula. Namun ganjaran tertinggi hanya akan dicapai apabila semua pihak memilih strategi untuk bekerjasama. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. Singkatnya, adanya biaya sosial yang harus bersedia ditanggung oleh masing-masing aktor dalam strategi bekerjasama ternyata jauh lebih rendah daripada manfaat sosial. Apalagi jika diperhitungkan pemanfaatan ruang sosial yang menyertainya yang menambah suburnya demokratisasi.