METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Disparitas pembangunan antar wilayah merupakan fenomena universal yang terjadi di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hanya saja yang terjadi di negara maju tidak begitu mengkhawatirkan, karena tingkat disparitas pembangunannya tidak terlalu lebar. Berbeda dengan negara berkembang, disparitas pembangunan antar wilayah cukup nyata dan kompleks. Kondisi disparitas tersebut diperparah dengan adanya kebijakan sentralistik sektoral dan lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi semata. Proses pembangunan yang dilakukan dengan pendekatan sektoral secara tersentralisasi dari pemerintah pusat dalam berbagai kebijakan investasi serta pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya bagi pencapaian sasaran utama pertumbuhan ekonomi makro yang tinggi, tanpa diimbangi dengan distribusi secara proporsional, telah memicu disparitas pertumbuhan yang amat lebar antar wilayah di Indonesia. Daerah-daerah di Pulau Jawa relatif mengalami perkembangan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan daerah-daerah diluar Pulau Jawa. Kawasan Barat Indonesia (KBI) relatif lebih maju dibandingkan dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Daerah kota lebih cepat berkembang dibandingkan dengan daerah perdesaan. Kesenjangan tersebut apabila tidak dieleminir secara hati-hati dalam kebijaksanaan proses pembangunan saat ini dan ke depan dapat menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks (seperti masalah kependudukan, sosial, ekonomi, politik dan lingkungan) dan dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai suatu bangsa yang utuh. Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu pemahaman mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas pembangunan antar wilayah. Faktor-faktor tersebut antara lain meliputi faktor biofisik/karakteristik wilayah (sumberdaya alam), sumberdaya buatan (ketersediaan sarana dan prasarana sosial-ekonomi), sumberdaya manusia, sumberdaya sosial, karakteristik struktur ekonomi wilayah, dan kebijakan pemerintah daerah.
41
Dengan
mengetahui
faktor-faktor
penyebab
terjadinya
disparitas
pembangunan antar wilayah tersebut, maka akan dapat membantu dalam proses penyusunan kebijakan pembangunan daerah khususnya dalam mengurangi tingkat disparitas serta dalam rangka mewujudkan pembangunan wilayah yang merata dan berimbang. Atas dasar pemahaman tersebut dibangun kerangka pikir penelitian seperti terlihat pada Gambar 4. Kondisi Eksisting Kab. Sambas : Biofisik wilayah beragam. PDRB per kapita tidak merata. Kebijakan pembangunan daerah. Sarana dan prasarana sosialekonomi tidak merata.
Paradigma pembangunan masa lalu: Mengutamakan pertumbuhan ekonomi tinggi. Sentralistik. Sektoral.
Terjadinya Disparitas Pembangunan Antar Wilayah Implikasi: Masalah sosial politik. Masalah Kependudukan (migrasi/urbanisasi). Menimbulkan potensi konflik. Struktur hubungan antar wilayah yang saling memperlemah. Disintegrasi bangsa dan stabilitas nasional.
Diperlukan Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah Untuk Mengetahui Faktor Penyebab Disparitas
Faktor Biofisik Wilayah
Sektor Unggulan Wilayah
Karakteristik / Tipologi Wilayah
Tingkat Perkembangan / Hirarki Wilayah
Tingkat Disparitas Pembangunan Antar Wilayah
Faktor Penyebab Disparitas Pembangunan Antar Wilayah
Gambar 4 Kerangka pikir penelitian
Faktor Kebijakan Pembangunan
42
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sambas dengan letak geografis diantara 2°08'-0°33' Lintang Utara dan 108°39'-110°04' Bujur Timur. Kabupaten Sambas memiliki luas wilayah 6.395,70 km2 dan terletak di bagian paling Utara Propinsi Kalimantan Barat yang terbagi atas 17 kecamatan dan 183 desa serta merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia (Sarawak). Penelitian ini dilaksanakan selama 4 (empat) bulan, mulai bulan Juni hingga September 2008.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder yakni melakukan studi kepustakaan dari publikasi data-data statistik BPS, dokumen perencanaan yang dikeluarkan oleh Pemda Kabupaten Sambas dan sumber-sumber pustaka lain yang relevan dengan topik penelitian. Selain itu juga digunakan peta administrasi wilayah Kabupaten Sambas, peta kelas kemiringan lereng, peta penggunaan lahan tahun 2002, peta jaringan jalan dari Bappeda Kabupaten Sambas, citra landsat 5 TM path/row 121/059 dan 122/059 tahun 2006 dari BTIC-Biotrop, Bogor. Adapun rincian dari tujuan, metode, data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.
43
Tabel 3 Matrik tujuan, metode, data dan sumber data dalam penelitian Variabel/ Parameter
Tujuan
Metode Analisis
Data dan Sumber Data
Menentukan karakteristik biofisik wilayah.
Analisis Peta Citra Landsat dengan Metode Terbimbing dan Tumpang Susun (Overlay).
Pengunaan Lahan (hutan dan non hutan), Kelas Kemiringan lereng.
Citra Landsat ETM 5 path/row 121/059 dan 122/059 tahun 2006 (BIOTROP), Peta Kelas Kemiringan lereng, Peta Administrasi(Bappeda Kab.Sambas).
Menentukan sektor unggulan
LQ dan ShiftShare Analysis (SSA)
PDRB per sektor
PDRB Kecamatan, Kabupaten Dalam Angka Tahun 2006 (BPS Kab. Sambas)
Menentukan tingkat hirarki dan perkembangan wilayah
Analisis Skalogram, Indeks Entropi, dan Tipologi Klassen
Jumlah sarana dan prasarana wilayah, PDRB Kecamatan, PDRB per kapita kecamatan, laju pertumbuhan ekonomi kecamatan.
PODES Tahun 2000, 2003 dan 2006 (Lab. Bangwil Dept. ITSL IPB Bogor), PDRB Kecamatan, Kabupaten Sambas Dalam Angka Tahun 2006 (BPS Kab.Sambas)
Membuat tipologi wilayah berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dan fisik wilayah.
Principal Components Analisis (PCA), Cluster dan Discriminat Analysis.
Indikator Pembangunan dan Potensi Fisik Wilayah per Kecamatan
PODES 2006 (Lab. Bangwil Dept. ITSL IPB Bogor), Hasil Analisis Citra dan Kelas Kemiringan lereng, (Bapeda Kab.Sambas)
Menghitung tingkat disparitas pembangunan antar wilayah
Indeks Williamson dan Theil Indeks
PDRB Kecamatan, Jumlah Penduduk per Kecamatan
PDRB Kecamatan, Kabupaten Sambas Dalam Angka Tahun 2006 (BPS Kab.Sambas)
Menentukan faktor penyebab disparitas pembangunan antar wilayah
Analisis Regresi Berganda dan Deskriptif
Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK), PDRB per kapita, Produktivitas lahan, Factor Score.
Hasil Analisis Skalogram, PCA, Produktivitas lahan, dan PDRB per kapita (BPS Kab. Sambas).
Metode Analisis Analisis Biofisik Wilayah Analisis faktor fisik wilayah bertujuan untuk mengetahui luas tutupan lahan (hutan dan non-hutan) dan kelas kemiringan lereng pada suatu wilayah yang selanjutnya akan digunakan sebagai variabel dalam analisis PCA. Data yang digunakan untuk analisis tutupan lahan adalah Citra Landsat 5 TM path/row 121/059 dan 122/059 tahun 2006 (lampiran 3), sedangkan untuk koreksi hasil analisis digunakan peta penggunaan lahan tahun 2002. Selanjutnya hasil analisis
44
ditumpang susun (overlay) dengan peta administrasi untuk mengetahui luas hutan di tiap wilayah kecamatan. Alur Analisis tutupan lahan (hutan dan non-hutan) adalah sebagai berikut:
Citra Landsat 5 TM Tahun 2006
Persiapan Citra: 1. Komposit Citra dengan Band 542. 2. Koreksi Geometrik. 3. Mosaic Citra. 4. Mengcroping Citra dengan peta Administrasi
Klasifikasi Citra (Metode Terbimbing): 1. Membuat training area. 2. Melakukan Pre-klasifikasi dengan metode maximum likelihood. 3. Melakukan Klasifikasi penggunaan lahan. 4. Melakukan Recoding-clump-eleminite dengan minimum pixel 444 (skala1:100.000) dan filtering (majority).
Peta Tutupan Lahan Per Wilayah Kecamatan
Peta Tutupan Hutan
Menghitung akurasi pengklasifikasian.
Tidak
Sesuai (Kappa > 80%)
Peta Administrasi
Konversi Raster ke Vektor dan Menghitung luas area (hutan dan nonhutan).
Ya
Gambar 5 Alur analisis tutupan lahan Pada penentuan luas kelas kemiringan lereng tiap wilayah kecamatan, digunakan peta kelas kemiringan lereng yang ditumpang susun (overlay) dengan peta administrasi seperti terlihat pada Gambar 6. Peta Kelas Kemiringan Lereng Peta Administrasi
Peta Kelas Kemiringan lereng per Wilayah Kecamatan
Gambar 6 Tumpang susun peta kelas kemiringan lereng dan peta administrasi
45
Hasil analisis luas hutan dan non-hutan serta kelas kemiringan lereng tiap wilayah selanjutnya digunakan sebagai variabel dalam penentuan tipologi wilayah dengan principal component analysis (PCA). Analisis Perkembangan Wilayah Metode Skalogram Analisis perkembangan wilayah dengan metode Skalogram digunakan untuk menentukan hirarki relatif tiap wilayah kecamatan di Kabupaten Sambas. Data yang digunakan adalah data Potensi Desa tahun 2000, 2003 dan 2006, dengan parameter yang diukur meliputi jumlah dan jenis sarana dan prasarana bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian dan aksesibilitas. Secara rinci, jenis data yang dipergunakan dalam analisis skalogram terlihat pada lampiran 1. Selanjutnya hasil analisis dipetakan pada peta administrasi untuk dianalisis secara spasial. Dalam penelitian ini digunakan metode skalogram berbobot. Prosedur kerja penyusunan hirarki relatif suatu wilayah menggunakan Skalogram berbobot adalah sebagai berikut: a. Dilakukan pemilihan terhadap data Podes sehingga yang tinggal hanya data yang bersifat kuantitatif; b. Dilakukan seleksi terhadap data-data kuantitatif tersebut sehingga hanya yang relevan saja yang digunakan; c. Dipisahkan antara data aksesibilitas dengan data fasilitas. d. Rasionalisasi data dilakukan terhadap data aksesibilitas dan fasilitas. Data aksesibilitas diinverskan dengan rumus: baru dan
dimana y adalah variabel
adalah data aksesibilitas j di wilayah i. Untuk nilai y yang tidak
terdefinisikan
(
=
0),
maka
nilai
y
dicari
dengan
persamaan:
. Selanjutnya Data fasilitas
diubah menjadi data kapasitas dengan cara data jumlah fasilitas j di wilayah i dibagi dengan jumlah penduduk di wilayah i. e. Pembobotan dilakukan terhadap data kapasitas dengan cara data kapasitas j dibagi dengan bobot fasilitas j, dimana bobot fasilitas j = jumlah total kapasitas j dibagi dengan jumlah wilayah yang memiliki fasilitas j.
46
f. Dilakukan seleksi terhadap data-data hasil rasionalisasi hingga diperoleh variabel untuk analisis skalogram yang mencirikan tingkat perkembangan kecamatan di Kabupaten Sambas; g. Standardisasi data dilakukan terhadap variabel-variabel baru dari data aksesibilitas dan fasilitas (berbobot) dengan menggunakan rumus: –
dimana: yij adalah variabel baru untuk wilayah ke-i dan jenis fasilitas atau aksesibilitas ke-j. xij adalah jumlah sarana untuk wilayah ke-i dan jenis sarana atau aksesibilitas ke-j. Min(xj) adalah nilai minimum untuk jenis sarana atau aksesibilitas ke-j. sj
adalah simpangan baku untuk jenis sarana atau aksesibilitas ke-j.
h. Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) untuk tingkat wilayah kecamatan dan Indeks Perkembangan Desa (IPD) untuk tingkat wilayah desa ditentukan dengan cara menghitung jumlah hasil standarisasi sarana dan aksesibilitas pada suatu wilayah. Kemudian nilai IPK atau IPD diurutkan nilainya dari yang terbesar sampai terkecil untuk ditentukan kelas hirarkinya. Pada penelitian ini, IPK dan IPD dikelompokkan ke dalam tiga kelas hirarki, yaitu hirarki I (tinggi), hirarki II (sedang), dan hirarki III (rendah). Penentuan kelas hirarki didasarkan pada nilai standar deviasi (St Dev) IPK atau IPD dan nilai rataannya, seperti terlihat pada tabel berikut ini : Tabel 4 Nilai selang hirarki IPK dan IPD Hirarki
Nilai Selang (X)
Tingkat Perkembangan
I
X > [rataan +(1,5*St Dev IPK)]
Tinggi
II
rataan ≤ X ≤ (1,5*St Dev)
Sedang
III
X < rataan
Rendah
Indeks Entropi Indeks Entropi juga digunakan untuk melihat hirarki wilayah yaitu mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah dan melihat sektor-sektor yang
47
dominan (yang berkembang) pada wilayah tersebut. Data yang dianalisis adalah Data PDRB Per Kecamatan terhadap PDRB Kabupaten Tahun 2006. Analisis entropy model merupakan salah satu konsep analisis yang dapat menghitung tingkat keragaman (diversifikasi) komponen aktivitas. Keunggulan dari konsep ini karena dapat digunakan untuk: 1) memahami perkembangan suatu wilayah; 2) memahami perkembangan atau kepunahan keanekaragaman hayati; 3) memahami perkembangan aktivitas perusahaan; dan 4) memahami perkembangan aktivitas suatu sistem produksi pertanian dan lain-lain (Saefulhakim 2006). Prinsip pengertian indeks entropi ini adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah, yang berarti wilayah tersebut semakin berkembang (S
= tingkat perkembangan ).
Persamaan umum entropi ini adalah sebagai berikut: n
n
S
Pij LogPij i 1 j 1
Dimana:
S adalah Tingkat Perkembangan Pij adalah proporsi kegiatan i (sektor, komoditas) di wilayah j, yang dihitung dari persamaan: Pij = Xij/ Xij
Sedangkan Indeks Entropi (IE) diperoleh dengan membagi nilai entropi (S) dengan nilai entropi maksimumnya, yang dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut: IE
,
dimana S adalah nilai entropi dan Smax adalah nilai entropi maksimum, dengan nilai IE antara 0 dan 1. Jika IE = 1, berarti tingkat keragaman (diversifikasi) suatu komponen aktivitas merata/berkembang, begitu pula sebaliknya. Analisis ini digunakan untuk mengetahui perkembangan sektor-sektor perekonomian antar kecamatan di Kabupaten Sambas, sehingga dapat dibandingkan perkembangan perekonomian antar kecamatan tersebut. Jika IE semakin tinggi maka tingkat perkembangan wilayah semakin meningkat. Tipologi Klassen Alat analisis Tipologi Klassen (Klassen Typology) dapat digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-
48
masing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah seperti yang diutarakan oleh Sjafrizal (2008). Melalui analisis ini diperoleh empat karateristik pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang berbeda, yaitu daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh (high growth and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah berkembang cepat (high growth but low income), dan daerah relatif tertinggal (low growth and low income). Kriteria yang digunakan untuk membagi daerah kecamatan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh (Kuadran I). Kuadran ini merupakan kuadran daerah kecamatan dengan laju pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan daerah kabupaten (g) dan memiliki pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita daerah kabupaten (gk). Klasifikasi ini dilambangkan dengan gi>g dan gki>gk.
2.
Daerah maju tapi tertekan (Kuadran II). Daerah kecamatan yang berada pada kuadran ini memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB daerah kabupaten (g), tetapi memiliki pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita daerah kabupaten (gk). Klasifikasi ini dilambangkan dengan gi
gk.
3.
Daerah berkembang cepat (Kuadran III). Kuadran ini merupakan kuadran untuk daerah kecamatan yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB daerah kabupaten (g), tetapi pertumbuhan PDRB per kapita daerah kecamatan tersebut (gki) lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB per kapita daerah kabupaten (gk). Klasifikasi ini dilambangkan dengan gi>g dan gki
4.
Daerah relatif tertingggal (Kuadran IV). Kuadran ini ditempati oleh daerah kecamatan yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) dan pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB (g) dan pertumbuhan PDRB per kapita daerah kabupaten (gk).
49
Klasifikasi ini dilambangkan dengan gi
Di atas Rata-Rata
Di bawah rata-rata
Di Atas RataRata
Kuadran I Daerah Maju gi>g, gki>gk
Kuandra II Daerah Maju Tapi Tertekan gigk
Di bawah rata-rata
PDRB Per Kapita
Laju Pertumbuhan Ekonomi
Kuadran III Daerah Berkembang Cepat gi>g, gki
Kuadran IV Daerah Relatif Terbelakang gi
Gambar 7 Klasifikasi tipologi Klassen pendekatan daerah Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah rata-rata laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2001–2006 dan rata-rata PDRB per kapita tahun 2006 tiap kecamatan di Kabupaten Sambas. Identifikasi Sektor Unggulan Untuk mengetahui sektor unggulan masing-masing wilayah kecamatan di Kabupaten Sambas dilakukan analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Location Quotion (LQ) Analisis dengan model LQ ini digunakan untuk melihat sektor basis atau non basis pada suatu wilayah perencanaan dan dapat mengidentifikasi sektor unggulan atau keunggulan komparatif suatu wilayah. Metode analisis LQ pada penelitian ini menggunakan data PDRB kecamatan dengan 9 sektor (pertanian; pertambangan & penggalian; industri pengolahan; listrik & air bersih; bangunan; perdagangan, hotel & restoran; pengangkutan & komunikasi; keuangan, persewaan & jasa perusahaan; dan Jasa-jasa) di Kabupaten Sambas. Data yang digunakan bersumber dari BPS Kabupaten Sambas tahun 2006. Metode LQ dirumuskan sebagai berikut:
50
Dimana: LQij Xij Xi. X.j X..
: : : : :
Indeks kuosien lokasi kecamatan i untuk sektor j. PDRB masing-masing sektor j di kecamatan i. PDRB total di kecamatan i. PDRB total sektor j di Kabupaten Sambas. PDRB total seluruh sektor di Kabupaten Sambas.
Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis adalah jika nilai indeks LQ lebih besar atau sama dengan satu (LQ≥1), maka sektor tersebut merupakan sektor basis, sedangkan apabila nilainya kurang dari satu (LQ<1), berarti sektor yang dimaksud termasuk ke dalam sektor non basis pada kegiatan perekonomian wilayah Kabupaten Sambas. Shift Share Analysis (SSA) Shift Share Analysis merupakan salah satu dari sekian banyak teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas) dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil analisis SSA juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas. Dari hasil analisis SSA akan diperoleh gambaran kinerja aktivitas di suatu wilayah. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis, yaitu (Panuju dan Rustiadi 2005): 1. Komponen Laju Pertumbuhan Total (komponen share).
Komponen ini
menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah. 2. Komponen
Pergeseran
Proporsional
(komponen
proportional
shift).
Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah. 3. Komponen Pergeseran Diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas
51
tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ ketakunggulan) suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain. Persamaan analisis SSA adalah sebagai berikut :
a dimana : a
b
c
= komponen share
b
= komponen proportional shift
c
= komponen differential shift, dan
X.. = Nilai total aktivitas dalam total wilayah X.i = Nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah Xij = Nilai aktivitas tertentu dalam unit wilayah tertentu t1 = titik tahun akhir t0 = titik tahun awal Metode analisis SSA pada penelitian ini menggunakan data PDRB Kecamatan atas dasar harga konstan tahun 2000 dengan sembilan sektor di semua kecamatan Kabupaten Sambas. Data yang digunakan bersumber dari BPS Kabupaten Sambas tahun 2000–2003 dan 2003-2006. Berdasarkan hasil kedua analisis tersebut, sektor yang memiliki nilai LQ>1 (sektor yang memiliki keunggulan komparatif) dan sektor yang memiliki nilai differential shift lebih besar dari 0 (sektor yang memiliki keunggulan kompetitif) ditetapkan sebagai sektor unggulan. Analisis Tipologi Wilayah Analisis Tipologi Wilayah dimaksudkan untuk mengelompokan wilayah berdasarkan kesamaan karakteristiknya. Analisis ini didasarkan pada indikatorindikator yang terkait dengan perkembangan suatu wilayah, meliputi: karakteristik sosial ekonomi dan potensi fisik wilayah. Dalam penelitian ini tipologi wilayah Kabupaten Sambas dianalisis dengan metode: Principal Components Analysis (PCA), Cluster Analysis dan Discriminant Analysis.
52
Principal Components Analysis (PCA) Analisis PCA digunakan untuk mengelompokkan variabel-variabel penentu tingkat perkembangan wilayah menjadi beberapa faktor-faktor utama yang lebih sedikit dari jumlah variabel awalnya, namun masih memuat sebagian besar varian/informasi dari data aslinya. Data yang digunakan dalam analisis adalah data Podes tahun 2006 yang bersifat kuantitatif melalui proses rasionalisasi yaitu variabel variabel yang dapat mencirikan tipologi wilayah kecamatan di Kabupaten Sambas,
diantaranya:
varibel-variabel
bidang
kependudukan,
keuangan,
komunikasi dan informasi, kesehatan, pendidikan, ekonomi, aksesibilitas serta faktor-faktor fisik wilayah. Secara rinci, variabel yang dipergunakan dalam analisis PCA, terlihat pada lampiran 2. Untuk melakukan perhitungan metode PCA
ini digunakan aplikasi statistica. Adapun maksud dari analisis komponen utama ini adalah untuk mengelompokkan beberapa variabel yang memiliki kemiripan untuk dijadikan satu faktor, sehingga dimungkinkan dari beberapa atribut yang mempengaruhi suatu komponen variabel dapat diringkas menjadi beberapa faktor utama yang jumlahnya lebih sedikit (Suliyanto 2005). Menurut Saefulhakim (2006) ada dua tujuan dasar dari PC, yaitu: Ortogonalisasi Variabel: mentransformasikan suatu struktur data dengan variabel-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan variabel-variabel baru (yang disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor) yang tidak saling berkorelasi. Penyederhanaan Variabel: banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh lebih sedikit dari pada variabel asalnya, tapi total kandungan informasinya (total ragamnya) relatif tidak berubah. Teknik ekstraksi data dengan PCA pada dasarnya adalah dengan memaksimalkan keragaman dalam 1 (satu) variabel/faktor yang baru dan meminimalkan keragaman dengan variabel/faktor yang lain, menjadi variabel yang saling bebas (independent). Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis ini adalah : 1.
Ortogonalisasi Variabel
53
Tujuannya adalah membuat variabel baru Z ( =1,2,...,q p) yang memiliki karakteristik:
2.
(1)
satu sama lain tidak saling berkorelasi, yakni: r
(2)
nilai rataan masing-masing, tetap sama dengan nol, dan
(3)
nilai ragam masing-masing Z sama dengan
’
= 0,
0, dimana
= p.
Penyederhanaan jumlah variabel Mengurutkan masing-masing faktor/komponen utama (F ) yang dihasilkan, dari yang memiliki eigenvalue ( ) tertinggi hingga terendah, yakni : a. memilih faktor-faktor atau komponen-komponen utama yang memiliki 1, artinya faktor atau komponen utama yang memiliki kandungan informasi (ragam) setara dengan informasi yang terkandung dalam satu variabel asal, b. membuang faktor atau komponen utama yang mempunyai eigenvalue antar dua faktor atau komponen utama yang berdekatan/tidak begitu signifikan, jika ( -
(
- 1))<1,
sebagai alternatif lain digunakan juga
metode The Scree Test yang diperkenalkan oleh Catell dimana dari hasil scree plot yang dipilih adalah yang paling curam, c. menentukan faktor-faktor atau komponen-komponen utama yang memiliki koefisien korelasi nyata minimal satu variabel asal. Kriteria yang digunakan adalah | r j| 0.7 Hal ini dimaksudkan agar setiap faktor atau komponen utama yang terpilih, paling tidak memiliki satu penciri dominan dari variabel asalnya. Hasil PCA antara lain: Akar ciri (eigen value) merupakan suatu nilai yang menunjukkan keragaman dari peubah komponen utama dihasilkan dari analisis, semakin besar nilai eigen value, maka semakin besar pula keragaman data awal yang mampu dijelaskan oleh data baru. Component/factor score adalah nilai yang menggambarkan besarnya titik-titik data baru dari hasil komponen utama dan digunakan setelah PCA. PC loading menggambarkan besarnya korelasi antar variable awal dengan komponen ke-i. PC scores ini yang digunakan jika terjadi analisis lanjutan setelah PCA. Factor Loadings (L ) adalah sama dengan Factor Score Coefficients (C ) kali Eigenvalue Faktor atau Komponen Utamanya ( ).
54
Cluster Analysis Analisis
klaster
(gerombol)
pada
prinsipnya
digunakan
untuk
mengelompokkan objek atau merupakan proses untuk meringkas sejumlah objek menjadi lebih sedikit dan menamakannya sebagai klaster (Supranto 2004). Dalam analisis klaster tidak ada variabel bebas maupun variabel tergantung. Dasar pengelompokan yang digunakan dalam analisi klaster adalah kesamaan (similarity) atau jarak (distance) ketidaksamaan (dissimilarity). Objek
yang
berada dalam satu klaster relatif memiliki kemiripan dibandingkan dengan objek yang berada pada klaster yang lain. Analisis klaster juga sering disebut analisis klasifikasi (classification analysis) (Supranto 2004; Suliyanto 2005). Hasil analisis klaster yang diharapkan adalah adanya perbedaan yang tinggi antara satu klaster dengan klaster yang lain, sehingga jelas adanya perbedaan karakteristik antar klaster yang terbentuk, dan memiliki kesamaan yang tinggi antar anggota dalam satu klaster, sehingga dalam satu klaster akan berisi objek yang sama. Secara umum terdapat dua metode pengelompokan dalam analisis klaster (gerombol) yaitu : (1) metode berhirarki (hierarchical clustering method) dan (2) metode tak berhirarki (non hierarchical clustering method) (Supranto 2004; Suliyanto 2005; Saefulhakim 2006). Metode tak berhirarki merupakan metode pengelompokan dimana jumlah kelompok yang terbentuk sudah diketahui sebelumnya. Misalnya orde pembangunan wilayah secara umum diketahui berjumlah 5 (lima), yaitu: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah, atau 3 (tiga) yaitu: tinggi, sedang dan rendah. Pengklasifikasian selanjutnya akan dilakukan berdasarkan jumlah yang kita inginkan tersebut. Unit-unit analisis yang dikelompokkan
akan
bergerombol
sesuai
dengan
kedekatan/kemiripan
karakteristiknya masing-masing. Salah satu metode tak berhirarki (non hierarchical clustering method) yang sering digunakan adalah K-Mean Cluster. Sedangkan pada hierarchical cluster jumlah kelompok yang terbentuk belum diketahui.
Pengelompokan
selanjutnya
dilakukan
terhadap
seluruh
unit
berdasarkan seluruh karakteristik yang diamati. Selanjutnya berdasarkan kenampakan
hasil
pengklasteran/penggerombolan
seberapa banyak klaster yang akan digunakan.
ditentukan
pemotongan
55
Sebelum melakukan penggabungan data perlu dihitung terlebih dahulu jarak antara dua data atau jarak antara dua klaster data dengan ciri yang serupa. Untuk dapat dilakukan penggerombolan diperlukan suatu skala pengukuran yang sama. Jika skala data tidak sama maka data perlu ditransformasikan dalam suatu bentuk skor tertentu yang disebut jarak baku. Dalam analisis klaster terdapat beberapa ukuran jarak antara lain : jarak mahalanobis, jarak eucledian, jarak kuadrat eucledian, jarak manhattan (city-block), jarak chebycev, power distance, dan percent disagreement. Ukuran jarak yang sering digunakan adalah jarak eucledian (eucledian distance). Persamaan penghitungan jarak eucledian antara dua titik atau dua klaster atau gerombol adalah : 1/ 2
p D=
i 1
Xi Y j
2
Nilai D merupakan jarak antara titik data/ gerombol X dan Y. Makin kecil nilai D makin besar kemiripan data X dan Y. Asumsi yang harus dipenuhi dalam penggunaan jarak eucledian ini adalah bahwa antar variabel tidak terjadi multicollinearity atau variabel-variabel yang ada saling tegak lurus (ortogonal). Karena pada umumnya pengkelasan suatu wilayah didasarkan pada karakteristik (variabel)
dalam
jumlah
cukup
besar,
maka
kemungkinan
terjadinya
multicollinearity cukup besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan teknik antara dengan menghilangkan kondisi tersebut melalui transformasi analisis komponen utama (Principal Components Analysis).
Dengan transformasi PCA tersebut
variabel-variabel yang digunakan akan saling ortogonal satu dengan yang lain. Pada tahap selanjutnya, dalam teknik penggerombolan, dilakukan amalgamasi antar gerombol sesuai dengan kedekatan jaraknya. Terdapat banyak teknik amalgamasi diantaranya: single linkage, complete linkage, unweighted pair group-average, weighted pair-group average, unweighted pair-group centroid, weighted pair-group centroid, dan ward’s. Dalam penelitian ini digunakan metode Ward’s. Penggabungan antara dua klaster atau gerombol data berdasarkan Metode Ward’s dilakukan berdasarkan penghitungan jumlah kuadrat jarak dari kedua klaster hipotetis tersebut. Metode ini sangat efisien, namun demikian, umumnya metode ini cenderung membentuk ukuran gerombol yang kecil.
56
Dalam penelitian ini, analisis klaster bertujuan mengelompokan wilayah berdasarkan faktor-faktor utama yang mempengaruhi tingkat perkembangan wilayah.
Pengelompokan
wilayah-wilayah
menjadi
beberapa
kelompok
didasarkan pada pengukuran variabel-variabel yang diamati, sehingga diperoleh kemiripan wilayah dalam kelompok yang sama dibandingkan antara wilayah dari kelompok yang berbeda. Sedangkan metode yang digunakan adalah K-Mean cluster (Non-hierarchical cluster) dengan jumlah pengelompokan sebanyak 4 klaster menggunakan data factor score dari hasil analisis PCA. Discriminant Analysis Analisis diskriminan (discriminant analysis) merupakan salah satu analisis multivariabel untuk menentukan variabel mana yang membedakan secara nyata dengan kelompok-kelompok yang telah ada secara alami, sehingga digunakan untuk menentukan variabel mana yang merupakan penduga terbaik dari pembagian kelompok-kelompok yang ada. Pada prinsipnya, penentuan dalam analisis diskriminan ini berbalikan dengan metode analisis klaster.
Jika analisis klaster (khususnya klaster unit)
menentukan klaster dari ciri-ciri yang diduga mirip, maka analisis diskriminan ini menentukan dengan kelompok yang sudah tentu yang terbentuk secara alamiah ingin ditentukan variabel yang mana yang sebenarnya secara nyata membedakan kelompok-kelompok tersebut. Selain itu analisis diskriminan juga dapat dilakukan untuk menguji ketepatan pengelompokan wilayah hasil analisis pengelompokan yang lain, yaitu pengelompokan berdasarkan hasil analisis tipologi Klassen dan pengelompokan berdasarkan wilayah pengembangan (WP) yang dibentuk Bappeda Kabupaten Sambas. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis ini antara lain (Saefulhakim 2006): a. Data contoh merupakan data multivariabel yang menyebar normal. Walaupun demikian, jika syarat penyebaran normal ini tidak dipenuhi, perbedaan hasil pengujian tidak ”fatal”. Artinya hasil pengujian masih layak untuk dipercaya; b. Matriks ragam (variances) atau peragam (covariances) variabel antar kelompok bersifat homogen. Jika terdapat deviasi kecil masih bisa diterima. Oleh karena itu, akan lebih baik jika sebelum menggunakan hasil pengujian
57
terlebih dahulu dilihat lagi nilai korelasi dan ragam variabel dalam setiap kelompoknya; c. Tidak terdapat korelasi antara nilai tengah variabel antar kelompok dengan nilai ragam atau standar deviasinya; d. Variabel yang digunakan tidak bersifat ”redundant”. Jika kondisi ini tidak terpenuhi maka matrik tersebut disebut ”ill-condition”.
Matriks yang ill-
conditioned tidak dapat diinverskan; e. Nilai toleransi seharusnya tidak mendekati 0. Di dalam analisis diskriminan akan dilakukan pengujian terhadap keadaan redundant yang diharapkan tidak terjadi. Pengujian ini disebut dengan pengujian nilai toleransi. Nilai toleransi ini dihitung dengan persaman 1-R2. Jika kondisi redundant terjadi, maka nilai toleransi akan mendekati nol. Fungsi yang terbentuk sebenarnya mirip dengan fungsi regresi. Dalam hal ini variabel bebas (Y) adalah resultan skor klasifikasi. Sedangkan variabel tak bebasnya (X) adalah variabel-variabel yang digunakan sebagai penduga. Skor = a +b1X1 + b2X2+ ......+bnXn Variabel dengan nilai koefisien regresi terbesar merupakan variabel yang mempunyai peranan terbesar dalam membedakan kelompok-kelompok yang ada. Hasil pengolahan statistik ini (hasil analisis multivariat yang meliputi analisis PCA, klaster dan diskriminan) akan menghasilkan tipologi wilayah yang kemudian dibuat peta tipologinya. Analisis Tingkat Disparitas Untuk melihat tingkat disparitas wilayah digunakan indeks Williamson, sedangkan untuk mendekomposisi disparitas wilayah digunakan Theil indeks. Indeks Williamson Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah. Williamson pada tahun 1975 mengembangkan indeks kesenjangan wilayah yang diformulasikan sebagai berikut (Rustiadi et al. 2007):
58
dimana: = Indeks kesenjangan Williamson = PDRB per kapita kecamatan ke –i = Rata-rata PDRB per kapita kecamatan = fi/n, dimana fi jumlah penduduk kecamatan ke i dan n adalah total penduduk kabupaten. Indeks kesenjangan Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika
maka akan dihasilkan indeks = 0, yang berarti
tidak adanya kesenjangan ekonomi antar daerah.
Indeks lebih besar dari 0
menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah. Semakin besar indeks yang dihasilkan semakin besar tingkat kesenjangan antar kecamatan di suatu kabupaten. Dalam analisis ini data yang digunakan adalah PDRB perkapita dan jumlah penduduk tiap kecamatan Tahun 2000 s.d 2006, sehingga dihasilkan perkembangan indeks kesenjangan Williamson dari tahun 2000 s.d 2006. Indeks Theil Indeks Theil (Theil 1967, dalam Fujita dan Hu 2001) berguna untuk mendekomposisi total disparitas menjadi disparitas antar wilayah dan dalam wilayah. Persamaan Indeks Theil dituliskan sebagai berikut (Fujita dan Hu 2001):
Dimana: I = Total disparitas (Indeks Theil). = PDRB kecamatan i / PDRB kabupaten. = Penduduk kecamatan i / penduduk kabupaten. Karena wilayah Kabupaten Sambas dibagi dalam empat wilayah pengembangan (WP), maka total disparitas wilayah dapat didekomposisi menjadi disparitas antar wilayah pengembangan dan disparitas dalam wilayah pengembangan, dengan persamaan berikut:
59
Dimana :
= disparitas antar wilayah pengembangan.
Dari hasil dekomposisi Indeks Theil tersebut dapat diperoleh prosentase disparitas
antar
wilayah pengembangan dan disparitas
dalam
wilayah
pengembangan. Dengan demikian dapat diketahui sumber utama disparitas, apakah berasal dari disparitas antar wilayah pengembangan atau dalam wilayah pengembangan. Dalam analisis ini data yang digunakan adalah PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000, PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000 dan jumlah penduduk tiap kecamatan tahun 2000 sampai dengan tahun 2006, sehingga dihasilkan kecenderungan sumber disparitas dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2006. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Disparitas Analisis Regresi Berganda Analisis regresi berganda dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas pembangunan antar wilayah. Karena disparitas antar wilayah dapat dilihat dari indeks perkembangan, tingkat perkembangan ekonomi dan produktivitas suatu wilayah, maka uji regresi dilakukan antara indeks perkembangan kecamatan (IPK), PDRB per kapita dan produktivitas lahan/ wilayah sebagai variabel tujuan (dependent) terhadap variabel (independent), yaitu: sarana dan prasarana sosial-ekonomi, aksesibilitas dan kondisi biofisik fisik wilayah. Adapun persamaan umumnya adalah sebagai berikut: Y= f (X1, X2, X3.... Xk.) dimana: = variabel tujuan (dependent) = Variabel bebas Sedangkan model regresi berganda dapat diturunkan menjadi:
60
dimana: = IPK / PDRB per kapita Kecamatan / produktivitas wilayah Kecamatan = Variabel bebas = Koefisien fungsi regresi = variabel pengganggu (residual) Y adalah variabel tujuan yang nilainya tergantung dari k variabel bebas x1,.....,xk. Diasumsikan bahwa nilai variabel bebas diketahui dan nilai , belum
,..........
diketahui. Untuk menghasilkan model yang dapat digunakan
sebagai penduga yang baik maka beberapa asumsi yang harus dipenuhi, yaitu: (1) residual ( ) berdistribusi normal dengan rata-rata mendekati 0 (E ( i) = 0); (2) tidak ada korelasi antar variabel; (3) varian dari variabel pengganggu sama (E (
2
i
adalah
)= σ2) (Nachrowi & Usman 2006; Widarjono 2007).
Variabel (yang sudah distandarisasi) dengan nilai koefisien regresi terbesar merupakan variabel yang mempunyai peranan terbesar dalam mempengaruhi tingkat perkembangan wilayah. Variabel yang dipergunakan untuk pengolahan data analisis regresi merupakan factor score dari hasil analisis PCA. Sehingga variabel bebas dalam persamaan regresi berganda di atas adalah
=
, dimana
adalah factor score atau faktor utama ke-i. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif ini merupakan salah satu bentuk analisis yang bertujuan memberikan deskripsi data yang meliputi tabulasi, peringkasan dan penyajian dalam bentuk grafis dan gambar-gambar serta menghitung ukuran-ukuran deskripsinya. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan, menguraikan, menggambarkan,
menganalisis,
mensintesis
dan
menjabarkan
fenomena-
fenomena yang diperoleh dari hasil analisis lainnya, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih objektif terhadap keadaan yang sebenarnya. Dalam tulisan ini, analisis deskriptif dilakukan terhadap kebijakan pembangunan pemerintah daerah dan hasil-hasil analisis untuk mengambarkan faktor-faktor penyebab disparitas antar wilayah dan memberikan alternatif rekomendasi untuk mereduksi disparitas tersebut. Secara garis besar, alur penelitian dapat dijelaskan dalam kerangka penelitian seperti terlihat pada Gambar 8.
Wilayah Kabupaten sambas
Kondisi / Potensi Wilayah: SDA, SDM, SD Buatan, Sosial-Ekonomi Wilayah
Data Spasial (Citra landsat, Peta Adm, Lereng)
Analisis Citra dan Peta Kemiringan Lereng
Kebijakan Pembangunan Pemerintah Daerah
Data-Data Statistik (PODES, Sambas Dlm Angka, PDRB Kecamatan)
Penentuan Tipologi Wilayah (PCA), Cluster dan Discriminant Analysis
Identifikasi Sektor Unggulan (LQ, Shift-Share Analysis)
Analisis Tingkat Disparitas (Indeks Williamson, Indeks Theil)
Dokumen Rencana dan Kebijakan Pembangunan
Analisis Tingkat Perkembangan/ Hirarki Wilayah (Skalogram, Indeks Entropi, Tipologi Klassen)
Analisis Kebijakan Pembangunan Daerah
Tingkat Perkembangan /Hirarki Wilayah
Deskripsi Kebijakan
Peta Penggunaan Lahan dan Kelas Kemiringan lereng
Karakteristik / Tipologi Wilayah
Tingkat Disparitas Pembangunan Antar Wilayah
Analisis Penyebab Disparitas (Regresi dan Deskriptif)
Gambar 8 Kerangka analisis penelitian 61