4 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Agroindustri merupakan bagian dari dunia bisnis yang dalam pelaksanaannya sangat erat dengan risiko ketidakpastian (uncertainty risk) dan kompleksitas, baik risiko yang berasal dari internal maupun eksternal perusahaan yang berimplikasi pada meningkatnya biaya produksi dan pada akhirnya menurunkan dayasaing produk kopi itu sendiri. Manajamen rantai pasok sebagai metode baru yang mengintegrasikan proses-proses pada setiap level dalam sistem rantai pasokan yang berguna untuk menjamin kelancaran dari suatu proses produksi sampai ke pengguna akhir. Basis kerangka pemikiran penelitian dimulai dari kondisi terkini (current status) keberlanjutan RPGBKG, jika tidak atau kurang berlanjut dimensi dan elemen apa yang belum mencerminkan keberlanjutan serta tindakan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kinerja keberlanjutan RPGBKG. Berkaitan dengan objek penelitian ini yaitu komoditi kopi arabika yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo Provinsi Aceh, sampai saat ini masih terlihat jelas bahwa nilai transaksi bisnis belum optimal bagi petani, sebaliknya nilai terbesar justru berada di pihak eksportir. Jika dilihat dari besarnya risiko, maka risiko terbesar berada pada petani akibat dari faktor budidaya dan lingkungan tanaman kopi tersebut seperti serangan hama dan penyakit, kesuburan lahan, ketersediaan pupuk dan perubahan iklim global. Selain itu masalah mutu kopi biji dari petani patut menjadi perhatian karena menyebabkan rantai pengolahan menjadi panjang. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu konsep yang aplikatif, atau setidaknya pada dimensi ekonomi. Sistem yang dibangun dapat menggeser nilai keuntungan (fairness distribution) transaksi bisnis, dari pihak eksportir ke arah hulu (upstream) yaitu petani, selain itu pada dimensi ini juga mengkaji manajemen pengendalian risiko pada masing-masing pelaku, melalui mekanisme harga kesepakatan. Pada dimensi sosial mencatat aspek pola hubungan keterkaitan antar pelaku yang diwujudkan dalam penciptaan pola hubungan keterkaitan, sedangkan pada indikator lingkungan difokuskan pada pemanfaatan pulp (kulit kopi) dan efisiensi air saat proses produksi. Kerangka pemikiran penelitian dirumuskan atas dasar pencarian keunggulan nilai dan produktivitas dalam RPGBKG. Kedua keunggulan ini dapat dicapai melalui penerapan aspek berkelanjutan rantai pasok yang bercirikan efektif, efisien dan ramah lingkungan dalam dimensi ekonomi, sosial, lingkungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pada masing-masing dimensi dikaji beberapa aspek yaitu distribusi keuntungan berkeadilan, analisis dan mitigasi risiko pada dimensi ekonomi. Analisis pola hubungan keterkaitan antar pelaku untuk dimensi sosial. Pemanfaatan limbah kulit kopi, budidaya organik dan efisiensi penggunaan air untuk dimensi lingkungan. Pada bagian akhir dilakukan simulasi untuk mengetahui sejauh mana sistem yang dibangun dapat meningkatkan indeks berkelanjutan RPGBKG. Secara lengkap ilustrasi kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 19.
40 Kompleksitas RPGBKG berkelanjutan Penentuan indeks RPGBKG berkelanjutan
Petani
Pengepul
Agroindustri
Dimensi Ekonomi (1): Profit pelaku, Analisis dan mitigasi risiko, distribusi keuntungan berkeadilan Dimensi Sosial (3): Pola keterkaitan antar Keterampilan pelaku
Eksportir
Dimensi Lingkungan (2): Pendekatan eco-eficiensi: Organic farming, efisiensi penggunaan air dan pemanfaatan limbah kulit kopi (pulp)
pelaku.
Simulasi nilai indeks keberlanjutan
Tidak
Indeks Keberlanjutan Terpenuhi Ya
RPGBKG Berkelanjutan
Gambar 19 Kerangka pemikiran penelitian Tata laksana penelitian Tahapan penelitian Langkah-langkah kajian rancang bangun RPGBKG berkelanjutan adalah: identifikasi indeks berkelanjutan untuk mengetahui kondisi berkelanjutan terkini (existing condition) pada RPGBKG dengan menggunakan teknik multidemensional scaling (MDS). Dimensi ekonomi terdiri dari analisis dan mitigasi risiko mutu menggunakan teknik F-AHP, distribusi keuntungan berkeadilan dengan teknik heuristik dan interpolasi liner. Dimensi lingkungan membahas pemanfaatan limbah pengolahan kulit kopi menjadi pupuk organik yang dianalisis dengan B/C rasio dan nilai tambah, efisiensi penggunaan air dianalisis rasio efisiensi antara sebelum dan sesudah aplikasi teknologi serta dihitung B/C rasio masing-masing teknologi. Dimensi sosial mengkaji masalah pola hubungan keterkaitan antar pelaku dan dianalisis dengan ANP. Secara lengkap tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 20.
41
Studi literatur
Latar belakang, perumusan masalah dan kondisi awal lingkup kajian Perumusan tujuan penelitian Analisis kebutuhan stakeholder RPGBKG berkelanjutan Multi-demensional scaling (MDS)
Identifikasi RPGBKG berkelanjutan terkini
Dimensi ekonomi
Dimensi sosial
Dimensi lingkungan
Analisis dan mitigasi risiko: F-AHP,FIS
Pola keterkaitan antar pelaku: ANP
Efisiensi penggunaan air: B/C ratio
Pemanfaatan limbah padat: B/C ratio, spesifikasi teknis
Distribusi keuntungan: Heuristik, interpolasi non linear
Prediksi berkelanjutan
Verifikasi dan validasi model: pengujian logika komputasi, face-validity
Rancangan RPGBKG berkelanjutan
Gambar 20 Tahapan penelitian Pengumpulan data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung ke lapangan dan wawancara langsung dengan para pakar yang sesuai dengan topik penelitian, alat bantu yang digunakan adalah kuesioner dan alat bantu rekam. Jumlah narasumber yang terlibat 5 orang, dengan kualifikasi akademisi, peneliti dan praktisi. Lembaga asal narasumber antara lain: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh, Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala dan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Aceh Tengah. Data sekunder diperoleh dari kajian pustaka, laporan teknis dari dinas terkait, lembaga penelitian dan penyuluhan. Pemilihan lokasi dan pelaku rantai pasok dilakukan secara Purposive. Lokasi pengumpulan data dilakukan di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah Provinsi Aceh. Jumlah petani yang terlibat 33 orang yang berasal dari Kecamatan Kebayakan, Jagong Jeget, Ketol, Atu Lintang, Timang Gajah, Permata, Bandar, Bukit dan Wih Pesam. Agroindustri adalah Koperasi Baitul Qirad (KBQ) Baburayaan. Secara lengkap data yang dikumpulkan dalam penelitian ini serta metode yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8.
42 Tabel 8 Tujuan, Jenis dan metode penggalian data Tujuan
Data yang diperlukan
Metode penggalian dan pengolahan
Mengetahui kondisi terkini substansi penelitian saat ini (aspek berkelanjutan pada RPGBKG
Pola aliran RPGBKG termasuk pelaku dan aktivitas
Survei lapang, Analisis deskriptif
Mengetahui indeks berkelanjutan pada RPGBKG
Skor berkelanjutan pada dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan
Wawancara pakar, Multi dimensional scaling (MDS)
Mengetahui bobot risiko dan skenario mitigasi risiko RPGBKG
Menilai bobot risiko RPGBKG.
Wawancara pakar, FuzzyAHP, FIS
Menentukan nilai distribusi keuntungan yang berkeadilan antar pelaku RPGBKG
Pola distribusi nilai tambah antar pelaku RPGBKG.
Model distribusi keuntungan (revenuesharing) berkeadilan.
Menentukan pola hubungan keterkaitan antar pelaku RPGBKG
Hubungan keterkaitan antar pelaku RPGBKG.
Wawancara pakar, ANP
Meningkatkan efisiensi penggunaan air dalam proses produksi
Efisiensi penggunaan air dalam proses produksi
Aplikasi teknologi pengolahan semi basah, B/C rasio
Melakukan pengendalian limbah kulit kopi (pulp)
Pengendalian limbah kulit kopi (pulp) melalui proses pengolahan menjadi kompos Skor dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan
Aplikasi teknologi pengolahan kompos dan B/C rasio
Mengetahui indeks berkelanjutan pada RPGBKG
Mengetahui validitas dari Keluaran sistem sistem yang berkelanjutan pada dikembangkan RPGBKG
Survei lapang, sistem dinamis, if-then rule, what if analysis MDS. Pengujian kesesuaian antara input dan output (opersional),Wawancara pakar (face validity)
Analisis data dan teknik-teknik yang digunakan Data-data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan teknik yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Penentuan indeks keberlanjutan secara aggregate dengan menggunakan teknik Multi-demensional scaling (MDS), analisis leverage dan montecarlo. Pada analisis ini dimensi yang teliti mencakup dimensi ekonomi yang terdiri dari elemen: Distribusi keuntungan berkeadilan, net provit, analisis dan mitigasi risiko, Dimensi sosial mencakup skills pelaku, pemenuhan hak-hak dasar, dan pola hubungan keterkaitan antar pelaku,
43 sedangkan dimensi lingkungan terdiri dari pengendalian limbah kulit kopi (pulp) dan efisiensi penggunaan air dengan pendekatan yang digunakan adalah ekoefisiensi. Pada analisis dan mitigasi risiko menggunakan teknik F-AHP dan FIS, data yang dikumpulkan melalui survey pakar, untuk menentukan bobot faktorfaktor risiko dan mitigasi yang dapat dilakukan. Pola hubungan keterkaitan antar pelaku dilakukan dengan teknik ANP, untuk menentukan wujud pola hubungan keterkaitan pelaku dalam menjalankan bisnisnya. Pada sisi pengendalian limbah kulit kopi (pulp) dan efisiensi penggunaan air, analisis yang digunakan adalah B/C rasio, sedangkan pada bagian akhir dilakukan simulasi keberlanjutan pada RPGBKG dengan menggunakan sistem dinamis dan logika aturan (if-then rule) untuk mentransformasi output nilai numerik pada sistem dinamis ke ordinal pada teknik MDS. Verifikasi model dilakukan dengan pengujian logika konseptual dan komputasi, Validitas model dengan teknik face-validity (Sargent 1997), yaitu evaluasi berdasarkan pendapat para pakar yang memiliki pengetahuan mumpuni bidang rantai pasok dan manajemen agroindustri kopi Gayo. Pemodelan sistem Pemodelan sistem adalah kegiatan merancang bangun model RPGBKG berkelanjutan secara virtual. Secara umum, tahapan yang harus dilakukan dalam membangun sistem pada RPGBKG berkelanjutan adalah: menganalisis kebutuhan pengguna (user) atau pelaku (aktor) yang ditinjau dari kebutuhan setiap pelaku dan formulasi masalah yang dihadapi. Dalam kajian ini Pemodelan sistem yang dibangun mencakup konseptualisasi model, model basis data, dan model matematis (formulasi model) sebagai solusi permasalahan yang dihadapi, verifikasi, validasi model dan implementasi,. Konseptualisasi model adalah tahapan melakukan identifikasi peubahpeubah yang relevan dengan kajian dan selanjutnya dilakukan pembatasan masalah dalam sistem (system boundary). Tahap ini diwujudkan dalam diagram input-output, kausal (causal loop diagram) dan diagram alir. Tahap ini merupakan aktivitas kritis karena mempengaruhi kehandalan (reliability) sistem yang dibangun dan mencakup aktor (pelaku) dan aktivitas. Tahap selanjutnya adalah formulasi model yaitu proses pewujudan model konseptual ke dalam model matematik (kuantitatif). Pada tahap ini proses penyelesaian masalah dilakukan. Secara rinci penelitian mencakup formulasi model yang terdapat dalam dimensi ekonomi berupa analisis dan mitigasi risiko, model distribusi keuntungan berkeadilan (revenue-sharing) dalam skala bisnis pada masing-masing tier pada rantai kopi Gayo. Dimensi sosial mencakup analisis pola hubungan keterkaitan antar pelaku. Dimensi lingkungan dengan menggunakan pendekatan eco-efisiensi yaitu pengurangan (efisiensi) penggunaan air dalam proses produksi, pengendalian limbah kulit kopi (pulp). Kemudian untuk melihat indeks berkelanjutan dilakukan agregasi dengan menggunakan alat bantu (software) Rap-coffee yang dimodifikasi dari Rap-fish. Verifikasi dan validasi model Kredibilitas sebuah model ditentukan oleh aksesibilitas model dihadapan para pengguna. Model yang telah dibangun dapat diterima oleh para pengguna, jika model tersebut memiliki kehandalan (reliability) yang telah teruji. Salah satu
44 tahapan yang harus dilakukan dalam proses pemodelan sistem adalah proses verifikasi dan validasi. Proses ini bertujuan untuk membuktikan kebenaran model dan penerimaan pengguna terhadap kemampuan dari model. Proses ini mencakup seluruh rangkaian dalam menghasilkan model yaitu mulai dari pemuatan elemen sistem nyata, pembangunan logika dan penulisan program komputer dengan bahasa pemrograman tertentu diperiksa konsistensinya terhadap konsep dan teori yang digunakan (Sargent 2010). Verifikasi model menurut Carson (2002) dimaksudkan untuk menjamin bahwa program komputer dan implementasinya telah dilakukan dengan benar. Proses verifikasi model dilakukan melalui pengujian logika, kesesuaian konseptual dan kerja komputasi. Model diverifikasi melalui pengujian apakah program untuk model tersebut telah dapat berjalan dengan benar. Jika model telah bekerja dengan benar, baru kemudian dilakukan validasi. Validasi model ditujukan untuk memperbaiki tingkat keyakinan bahwa berdasarkan kondisi yang diasumsikan, model yang dikembangkan dapat mewakili sistem yang sebenarnya. Pada kajian ini validasi model dilakukan dengan dua tahapan yaitu validasi construct dan validasi hasil. Teknik yang digunakan pada tahapan validasi adalah face-validity (Sargent 1997). Wujud dari teknik ini berupa merumuskan pertanyaan dan rekapitulasi jawaban narasumber yang bertujuan untuk mendapatkan kecocokan bahwa model telah mengandung semua elemen, kejadian, dan relasi dari sebuah sistem keberlanjutan RPGBKG. Pada teknik ini diperlukan bantuan pakar yang memahami tentang aspek keberlanjutan sistem RPGBKG, untuk mengkaji apakah logika model dan hasil yang dicapai telah dianggap mewakili sistem nyata yang ada. Pakar yang terlibat dalam proses validasi berjumlah 2 orang yang berasal dari Kebun Percobaan (KP) Gayo, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Aceh dan Balai Besar Penelitian Pasca Panen Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Pada tahap ini dimungkinkan terjadinya perbaikan-perbaikan secara simultan yang bertujuan untuk mendapatkan model RPGBKG yang efektif.
5 ANALISIS SISTEM Sistem merupakan suatu kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan, sedangkan pendekatan sistem adalah metode penyelesaian masalah yang dimulai dengan identifikasi dan analisis kebutuhan sistem serta diakhiri dengan hasil sistem yang dapat beroperasi secara efektif dan efisien (Eriyatno 1999; Jackson 2003; Wasson 2006; Parnell et al. 2011). Pendekatan sistem merupakan suatu metode penyelesaian masalah yang pada tataran aplikasinya menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin 2004). Pendekatan sistem ini dicirikan dengan adanya metodologi perencanaan atau pengelolaan kegiatan yang bersifat multi-disiplin dan terorganisir, penggunaan model matematika, mampu berfikir kuantitatif, penggunaan teknik simulasi dan optimasi, serta diaplikasikan dengan bantuan komputer (Jackson 2003). Analisis situasional Gambaran umum lokasi penelitian Dataran Tinggi Gayo merupakan suatu lokasi yang terdapat di Pegunungan Bukit Barisan. Secara administratif dataran ini termasuk ke dalam Provinsi Aceh, secara detail dataran Tinggi Gayo terdiri dari tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Jarak ibu kota Kabupaten Aceh Tengah (Takengon) dengan ibu kota Provinsi Aceh (Banda Aceh) adalah 325 km, jarak Redelong (ibu kota Kabupaten Bener Meriah) dengan Banda Aceh adalah 315 km, sedangkan antara Banda Aceh dengan Blangkejren (ibu kota Kabupaten Gayo Lues) adalah 450 km (Profil Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian hanya pada Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, dengan justifikasi kedua kabupaten ini yang merupakan penghasil utama kopi arabika Gayo. Berdasarkan ketinggian, Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah berada di atas 1 000 meter di atas permukaan laut (m dpl), dengan suhu rata-rata antara 16-210 C sehingga sangat cocok untuk pertumbuhan kopi arabika yang mensyaratkan pertumbuhan di atas 1 000 m dpl dengan suhu sekitar 200 C. Berdasarkan kepemilikan lahan, semua perkebunan merupakan milik rakyat dengan jumlah petani mencapai 47 000 kepala keluarga (KK), sedangkan luas rata-rata kepemilikan adalah 1-2 ha per KK, dan mampu menyumbang penghasilan antara 50-90 %, sedangkan penghasilan lain umumnya berasal dari pertanian seperti sayur-mayur, buah-buahan dan tanaman pangan. Kebanyakan petani menanam kopi arabika Gayo secara monokultur dengan tanaman penaung lamtoro, sebagian kecil petani menanam dengan pola tumpang sari, biasanya dengan Jeruk (sebagai penaung), Alpukat (batas kebun) dan Kayu manis untuk pematah angin (Puslit Kopi dan Kakao 2008). Pola aliran bahan baku Aliran bahan komoditas kopi Gayo di mulai dari para petani hingga pembeli (buyer) di negara tujuan ekspor seperti Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru dan Uni Eropa. Dalam struktur rantai pasok,
46 aktor yang terlibat mencakup petani, pedagang pengumpul, agroindustri, eksportir, pengusaha transportasi dan buyer. Secara lengkap aktor yang terlibat dan jenis kopi dalam RPKG dapat dilihat pada Gambar 21. Petani Kopi cherry
Audit sertifikasi oleh NCBA, NTz, SCAL
Pedagang pengumpul Kopi HS
Uji mutu
Agroindustri Kopi Biji
Eksportir Kopi Biji
Buyer Kopi Biji
Pengusaha transportasi
Gambar 21 Aktor dalam pola RPGBKG sistem sertifikasi Berdasarkan gambar 21, terlihat bahwa pemasok kopi Gayo adalah para petani yang tersebar di dua Kabupaten yaitu Bener Meriah dan Aceh Tengah. Secara sistem budidaya terdapat dua kelompok petani yaitu yang mengusahakan secara organik dan organik. Pada usaha sistem organik, setiap tahun berjalan dilakukan audit sistem organik yang dilakukan oleh auditor yang telah ditentukan oleh masing-masing pembeli (buyer) sesuai dengan tempat pembeli berasal. Untuk tujuan ekspor ke Amerika Serikat, audit dilakukan oleh NCBA, sedangankan Uni-Eropa umumnya dilakukan oleh NTz, SCAL (Belanda). Insentif yang didapat petani yang mengikuti sistem ini adalah adanya jaminan harga dan insentif lain berupa pemberian pupuk dan kebutuhan hidup utama (sembako) yang diberikan setahun sekali. Untuk petani yang tidak mengikuti sistem budidaya organik, pedagang pengumpul langsung membeli dan melakukan pengolahan primer berupa sortasi, fermentasi dan pengeringan sampai kepada kopi HS, dan selanjutnya di jual ke pedagang pengumpul besar untuk dijual ke kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Dalam hal transaksi harga, pada sistem organik sertifikasi umumnya sudah dilaksanakan kontrak pembelian yang dilakukan satu tahun sebelum kontrak berjalan, akan tetapi kontrak ini hanya terjadi antara agroindustri yang umumnya juga sebagai eksportir seperti KBQ Baburayaan. Isi kontrak mencakup kualifikasi mutu, jumlah, time-delivery dan harga ($). Sebelum dilakukan pengiriman sesuai kontrak, pihak buyer terlebih dahulu melakukan uji kualifikasi mutu (kadar air sekitar 12%, cacat fisik kurang dari 10%, jika dibandingkan dengan SNI-01-2907, 2008 maka masuk dalam kualifikasi mutu I/premium) dan kemasan dengan karung goni, jika sesuai maka dilakukan pengiriman melalui pelabuhan Belawan kota Medan, dengan menggunakan truk kapasitas 20 ton, pada tahun 2011, kontrak KBQ Baburayaan dengan buyer mencapai 1000 ton dengan harga mencapai $ 6-8/kg. Pada sistem non sertifikasi, petani umumnya menjual ke pedagang pengumpul kecil (kecamatan) yang kemudian melakukan pengolahan primer (sortasi, pulping, fermentasi dan pengeringan). Setelah kadar air mencapai sekitar
47 20%, biji kopi HS dikemas dalam karung plastik dijual ke pedagang pengumpul besar yang jumlahnya mencapai 20 perusahaan di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Kemudian pedagang pengumpul besar melakukan pengolahan lanjutan (sekunder) berupa sortasi, hulling, dan pengeringan sampai dengan kadar air mencapai 12%, kemudian dikemas dengan karung goni dan siap di kirim ke kota Medan untuk selanjutnya diperdagangkan baik lokal maupun ekspor. Pada sistem ini tidak ada kontrak baik antara buyer di luar negeri ataupun pembeli lokal. Harga jual sistem ini umumnya lebih rendah $ 1-2 dari sistem sertifikasi. Secara lengkap ilustrasi umum alur sistem RPKG tanpa sertifikasi dapat dilihat pada Gambar 22. Petani Kopi gelondongan Uji mutu dan transaksi harga
Pedagang pengumpul kecil Kopi HS Pedagang pengumpul besar Kopi Biji
Eksportir Medan
Pembeli lokal dan ekspor
Pengusaha transportasi
Gambar 22 Aktor dalam pola RPGBKG sistem tanpa sertifikasi Analisis kebutuhan sistem Pada proses pemodelan RPKG berkelanjutan, hal yang harus diketahui atau dikenali adalah hubungan antara kebutuhan pelaku dengan permasalahan yang telah diidentifikasi, untuk itu diperlukan satu tahapan yang dapat mengakomodir hal tersebut yaitu analisis kebutuhan sistem. Analisis ini merupakan mata rantai hubungan antara pernyataan-pernyataan kebutuhan pelaku dalam sistem dengan permasalahan yang telah di identifikasi dan diformulasi. Wujud dari analisis kebutuhan sistem adalah dalam bentuk tabel yang menghubungkan antara pelaku dan kebutuhan masing-masing pelaku dalam sistem RPGBKG. Diagram lingkar sebab akibat pada prinsipnya menggambarkan hubungan antara komponen di dalam sistem manajemen risiko rantai pasok produk agroindustri. Hubungan antar komponen tersebut dapat bernilai positif atau negatif, dapat berlangsung searah dan dapat juga bersifat timbal balik. Diagram sebab akibat ini digunakan sebagai dasar pengembangan model (Marimin 2007). Pada tataran manajerial, rancangan RPGBKG berkelanjutan harus bersifat operasional dalam artian dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan masingmasing aktor. Model ini hanya melibatkan pelaku utama dalam sistem RPGBKG yaitu petani, pedagang pengumpul, agroindustri dan eksportir, sedangkan pelaku pendukung seperti pemasok karung, saprodi, lembaga keuangan dan pemerintah tidak dilibatkan. Pendekatan yang digunakan untuk melakukan analisis kebutuhan sistem adalah metode bottom-up, di mana keberlanjutan RPGBKG dimulai dengan menganalisis kebutuhan pihak-pihak utama yang terlibat
48 secara langsung dalam sistem keberlanjutan RPGBKG melalui wawancara mendalam (in depth interview) dan observasi langsung di lapangan. Kebutuhan pelaku utama dalam sistem RPGBKG berkelanjutan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Kebutuhan pelaku dalam sistem RPGBKG No. Pelaku (aktor)
Kebutuhan
1.
Petani
a. b. c. d. e.
2.
Pedagang pengumpul
a.
kecil
b.
c. d.
e. 3.
Pedagang pengumpul besar
a. b.
c. d. 4.
Agroindustri
a. b. c. d.
5.
Eksportir
e. f. a. b. c. d.
Meningkatnya produktivitas Harga jual kopi gelondongan yang baik Harga saprodi yang terjangkau Ketersediaan bibit unggul (klon) Pola hubungan dagang yang saling menguntungkan dengan pedagang pengumpul. Kualifikasi mutu bahan baku yang sesuai standar SNI-01-2907 2008. Pola hubungan dagang yang saling menguntungkan dengan pedagang pengumpul besar. Kontinutitas bahan baku. Peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung kinerja tata niaga, seperti jalan, telekomunikasi dan tempat penjemuran. Bantuan keuangan dari lembaga keuangan mikro. Kualifikasi mutu yang sesuai standar SNI01-2907 2008. Pola hubungan dagang yang saling menguntungkan dengan agroindustri dan eksportir. Kontinutitas bahan baku. Bantuan keuangan dari lembaga keuangan mikro. Kontinuitas bahan baku. Mutu bahan baku yang sesuai standar, minimal SNI-01-2907 2008. Kontrak yang kontinyu dengan buyer. Pemberlakuan insentif sertifikasi (organik, indikasi geografis dan fair-trade) yang sesuai dengan persyaratan global trading. Peningkatan Skills pekerja. Pinjaman lunak dari lembaga keuangan. Kontinuitas bahan baku. Mutu bahan baku yang sesuai standar, minimal SNI-01-2907 2008. Kontrak yang kontinyu dengan buyer. Pemberlakuan insentif sertifikasi (organik, indikasi geografis dan fair-trade) yang
49 sesuai dengan persyaratan global trading. e. Adanya pinjaman lunak dari lembaga keuangan. Identifikasi permasalahan Identifikasi permasalahan adalah suatu pernyataan yang dibangun berdasarkan adanya gap antara kebutuhan pelaku dengan tujuan yang ingin dicapai saat membangun sistem. Pada RPGBKG berkelanjutan, permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku adalah sebagai berikut: a. Terdapat perbedaan terhadap mutu, jumlah dan kontinuitas (time-delivery) pasokan bahan baku (kopi Arabika Gayo) akibat ketergantungan sektor pertanian terhadap musim. Adanya variasi ini menyebabkan harga bahan baku berfluktuasi, mutu bahan baku di bawah standar (SNI-01-2907 2008) dan ketersediaannya tidak kontinyu. Sehingga terjadi penurunan harga disaat panen raya yang akan merugikan petani disatu sisi, di lain pihak terjadi penurunan mutu yang akan merugikan perusahaan agroindustri dan eksportir. b. Terdapat variasi mutu bahan baku, salah satunya sebagai akibat dari petani tidak memberlakukan petik merah saat panen yang menimbulkan variasi mutu produk pada tier pedagang pengumpul, sehingga produk akhir agroindustri (kopi biji) mempunyai nilai jual yang rendah dan tidak dapat bersaing di pasar global. c. Banyak terdapat tanaman tua yang persentasenya telah mencapai 20-30%, dimana produktivitasnya sangat rendah dan mutu biji gelondongan yang juga rendah (tidak bernas). d. Ketersediaan bibit unggul (klon) yang sangat terbatas sehingga petani kesulitan untuk peremajaan tanaman tua. e. Terjadinya distorsi informasi dalam RPGBKG sehingga menimbulkan tidak stabilnya harga bahan baku dan produk agroindustri karena tingginya tingkat penggudangan dan biaya penyimpanan. f. Berlakunya kontrak dagang antara eksportir dengan buyer di negara tujuan yang hanya pertahun, sehingga diperlukan negosiasi ulang untuk kontrak pengiriman tahuan selanjutnya (tidak ada kepastian dalam jangka panjang). g. Kontrak dagang yang terjadi hanya pada tier buyer di negara tujuan ekspor dan eksportir, akan tetapi tidak mencakup petani dan pedagang pengumpul sehingga kedua tier ini tidak memiliki akses dalam penentuan harga komoditas. h. Posisi tawar petani dalam menentukan harga kopi Gayo cherry yang rendah sehingga petani tidak mempunyai daya tawar dalam menentukan harga karena akses informasi dan teknologi yang kurang. i. Tidak proporsionalnya distribusi risiko dan keuntungan antar pelaku dalam jaringan RPGBKG, misalnya para petani yang menghadapi risiko dan ketidakpastian usaha yang lebih tinggi yang disebabkan oleh gangguan alam, cuaca, hama dan penyakit, sedangkan marjin keuntungan petani jauh lebih rendah dibandingkan dengan agroindustri atau eksportir. j. Terbatasnya modal yang dimiliki oleh petani dalam mendapatkan kridit komersial, karena usaha pertanian dan agroindustri dianggap memiliki risiko yang. Berhubungan dengan konteks penelitian ini, petani mengalami kesulitan untuk meremajakan tanaman tua karena diperlukan dana yang besar untuk pengolahan lahan, bibit unggul (klon) dan pemeliharaan sampai menghasilkan.
50 Identifikasi sistem Identifikasi sistem adalah tahapan yang bertujuan mengenali sistem, menetapkan batasannya (boundary), menganalisis perilaku sistem dan pola hubungan antar pelaku sistem serta komponen lainnya dalam mencapai tujuan yang ditetapkan (Eriyatno 1999; Jackson 2003; Marimin 2007). Selain itu, identifikasi sistem juga bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap sistem keberlanjutan RPGBKG dalam bentuk diagram. Diagram yang digunakan adalah diagram kausal (causal loop diagram) yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk diagram input-output. Diagram kausal merupakan penggambaran sistem keberlanjutan RPGBKG serta berbagai komponennya yang saling terkait, selanjutnya adalah interaksi yang menjelaskan perilaku hubungan sebab akibat antar komponen sistem dalam mencapai tujuan. Secara lengkap diagram kausal sistem keberlanjutan RPGBKG secara makro disajikan pada Gambar 23. Pola hubungan yang terjadi antara dimensi dengan pencapaian keberlanjutan pada RPKG adalah hubungan positif. Artinya, apabila status keberlanjutan pada dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan meningkat, maka peningkatan tersebut akan mempengaruhi kepada peningkatan keberlanjutan RPGBKG.
Gambar 23 Diagram makro causal-loop RPGBKG berkelanjutan Berdasarkan Gambar 16, dapat dijelaskan bahwa keberlanjutan sistem RPGBKG dapat dicapai apabila keberlanjutan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dapat dicapai yang direpresentasikan pada elemen daya dukung lahan, kesejahteraan pelaku dan produktivitas lahan. Pada causal loop, dimensi ekonomi
51 direpresentasikan oleh elemen net profit dari pelaku (petani, pedagang pengepul dan agroindustri atau eksportir), dimensi sosial digambarkan oleh elemen kesejahteraan pelaku, sedangkan dimensi lingkungan oleh daya dukung lahan (carrying capacity). Masing-masing dimensi memiliki pola hubungan dengan sub sistem masing-masing. Pada dimensi ekonomi, keuntungan pelaku sangat dipengaruhi oleh tingkat volume produksi dan harga jual produk. Untuk meningkatkan volume produksi, diperlukan peningkatan produktivitas tanaman kopi Gayo yang dipengaruhi oleh daya dukung lahan, dalam penelitian ini, faktor daya dukung lahan dipengaruhi oleh tingkat efisiensi penggunaan air saat proses produksi, dan hasil pengolahan limbah padat (pulp) yaitu kompos serta aktivitas budidaya organik, selain itu dimensi ini juga dipengaruhi oleh mutu produk yang dipengaruhi oleh keterampilan pelaku (loop). Keberlanjutan pada dimensi sosial, ditentukan oleh tingkat kesejahteraan pelaku, yang dipengaruhi oleh tingkat keuntungan proses bisnis kopi Gayo, yang looping dengan dimensi ekonomi. Pada penelitian ini tingkat kesejahteraan pelaku dipengaruhi oleh tingkat keuntungan bisnis dan keterampilan pelaku, keterampilan pelaku berhubungan dengan mutu produk yang dihasilkan, serta adanya jumlah penggunaan air yang digunakan selama proses produksi. Keterampilan pelaku sangat dipengaruhi oleh investasi SDM oleh pelaku, yang dipengaruhi oleh tingkat keuntungan bisnis pihak agroindustri, dalam bentuk pembayaran pajak kepada pemerintah daerah (pemda), dan selanjutnya pemda menginvetasikannya dalam bentuk pelatihan-pelatihan teknis untuk meningkatkan keterampilan pelaku. Di lain pihak, keberlanjutan dimensi lingkungan sangat dipengaruhi daya dukung lahan, pengolahan limbah padat (pulp) dan efisiensi penggunaan air. Daya dukung lahan pada konteks penelitian ini dipengaruhi oleh sistem budidaya yang digunakan oleh petani, dalam hal ini sistem budidaya organik yang akan meningkatkan daya dukung lahan, sistem ini juga didukung dengan pengolahan limbah padat (pulp) menjadi pupuk organik (kompos), sementara itu, dengan peningkatan efisiensi penggunaan air dalam proses produksi, pada masing-masing pelaku rantai pasok diharapkan akan meningkatkan keberlanjutan dimensi lingkungan pada sisi daya dukung lahan. Selanjutnya, rancang bangun RPGBKG berkelanjutan dirancang berdasarkan input (masukan) dan output (keluaran), dari sistem yang dibangun. Wujud dari pernyataan ini adalah, dalam bentuk diagram input-output, yang mereflekasikan adanya transformasi input menjadi output melalui suatu kotak hitam (black-box), yang sebenarnya adalah sekumpulan metode yang disesuaikan dengan input dan tujuan yang ingin dicapai (Eriyatno 1999). Input sistem terbagi menjadi dua, yaitu input yang berasal dari luar sistem atau input lingkungan, dan input yang berasal dari dalam sistem. Input dari dalam sistem merupakan peubah yang diperlukan oleh sistem, dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan keluaran yang dikehendaki. Pada dasarnya, input dari dalam suatu sistem terdiri dari input terkendali dan input tidak terkendali. Input terkendali dapat meliputi aspek manusia, bahan atau material, energi, modal dan informasi. Input terkendali ini dapat bervariasi selama pengoperasian sistem tersebut, untuk mencapai kinerja sistem atau output yang dikehendaki. Input tidak terkendali tidak cukup penting peranannya dalam mengubah kinerja sistem, tetapi berada dalam sistem tersebut. Input terkendali dari model yang dikembangkan meliputi nilai investasi, sistem sosial, sistem
52 budidaya, jenis produk dan bahan baku, daya dukung lahan serta risiko rantai pasok. Pengendalian input terkendali menjadi titik kritis keberhasilan sistem dalam mencapai output yang diinginkan, sekaligus untuk mengurangi output yang tidak dikehendaki. Input ini menjadi perhatian utama, karena input terkendali merupakan input yang dapat dikelola agar keluaran sistem sesuai dengan yang diharapkan. Input tidak terkendali dalam sistem meliputi persaingan usaha, tingkat suku bunga, nilai tukar rupiah, permintaan dan selera konsumen (buyer) serta perubahan kebijakan terhadap penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Input tidak terkendali ini juga mempengaruhi sistem secara keseluruhan. Keluaran dari sistem terdiri dari dua jenis yaitu output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Keluaran yang dikehendaki umumnya dihasilkan dari hasil pemenuhan kebutuhan yang ditentukan secara spesifik pada saat dilakukan analisis kebutuhan sistem. Keluaran yang dikehendaki dari sistem yang dimodelkan meliputi keberlanjutan pada dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Keluaran yang tidak dikehendaki merupakan dampak yang ditimbulkan secara bersama-sama dengan keluaran yang dikehendaki. Keluaran yang tidak dikehendaki pada penelitian ini meliputi adanya kemungkinan kredit bermasalah (macet), biaya produksi meningkat, mutu tidak terpenuhi dan meningkatnya tingat kerawanan sosial dan menurunya daya dukung lahan. Keluaran tidak dikehendaki ini perlu dikendalikan melalui manajemen pengendalian terhadap input yang terkendali, sehingga kinerja sistem dapat berjalan seperti yang diharapkan. Diagram masukan-keluaran dari rancangan berkelanjutan pada RPGBKG secara lengkap dapat diperlihatkan pada Gambar 24. Penentuan indikator berkelanjutan pada RPGBKG Secara operasional, sistem keberlanjutan rantai pasok pada RPGBKG memiliki kompleksitas karena melibatkan beberapa pelaku dan aktivitas yang secara normal memiliki kepentingan masing-masing. Berhubungan dengan penelitian yang dilaksanakan, kompleksitas tersebut dapat dilihat dalam penentuan indikator yang mencerminkan aspek keberlanjutan pada RPGBKG. Dalam penelitian ini proses penentuan indikator keberlanjutan ditentukan berdasarkan penelusuran literatur yang relevan dengan substansi penelitian. Hasil dari penelusuran literatur tersebut didiskusikan dengan beberapa pakar yang memiliki kapabilitas terhadap proses bisnis kopi Gayo. Dalam penelitian ini, dimensi keberlanjutan terdiri dari ekonomi, sosial dan lingkungan. Pada dimensi ekonomi terdiri dari elemen net profit, analisis dan mitigasi risiko rantai pasok, akses pasar serta distribusi keuntungan yang berkeadilan. Dimensi sosial berupa pola hubungan keterkaitan antar pelaku, keterampilan pekerja, kelembagaan dan pemenuhan hak-hak dasar, dimensi lingkungan terdiri dari efisiensi penggunaan air saat proses produksi, pemanfaatan limbah kulit kopi (pulp) dan aktivitas budidaya organik serta daya dukung lahan. Dimensi sumberdaya terdiri dari ketersediaan dan kecukupan bahan baku serta mutu bahan baku Secara lengkap proses penentuan indikator keberlanjutan pada RPGBKG dapat dilihat pada Gambar 25, sedangkan indikator keberlanjutan pada Tabel 10.
53 Input tak terkendali: a. Tingkat inflasi b. Nilai tukar rupiah c. Harga ekspor d. Keinginan konsumen
Input lingkungan: a. Kebijakan pemerintah b. Perubahan iklim c. Kondisi keamanan
Keluaran yang dikehendaki: a. Keberlanjutan dimensi ekonomi b. Keberlanjutan dimensi sosial c. Keberlanjutan dimensi lingkungan
Rancang Bangun RPGBKG Berkelanjutan Input terkendali: a. Analisis dan mitigasi risiko b. Pemanfaatan limbah kulit kopi (pulp) menjadi kompos c. Efisiensi penggunaan air d. Pola hubungan keterkaitan antar pelaku e. Distribusi keuntungan berkeadilan
Output tidak dikehendaki: a. Kredit usaha macet b. Mutu produk tidak terpenuhi c. Potensi konflik antar pelaku masing-masing tier. d. Biaya produksi meningkat e. Daya dukung lahan menurun
Manajemen pengendalian Gambar 24 Diagram input-output berkelanjutan pada RPGBKG
Studi literatur
Wawancara mendalam dengan pakar
Indikator keberlanjutan pada RPGBKG Kategori berkelanjutan pada RPGBKG Gambar 25 Proses penentuan indikator dan kategori berkelanjutan
54 Tabel 10 Indikator berkelanjutan pada RPGBKG No Dimensi Indikator I. Ekonomi Net profit Risiko rantai pasok Distribusi keuntungan berkeadilan Akses pasar II Sosial Pola hubungan keterkaitan antar pelaku Keterampilan pelaku Kelembagaan Hak-hak dasar III Lingkungan Budidaya organic Efisiensi penggunaan air Pemanfaatan limbah padat (pulp) Ketersediaan bahan baku IV Sumberdaya Kecukupan bahan baku Mutu bahan baku Daya dukung lahan
Dimensi ekonomi Dalam perspektif keberlanjutan, pencapaian keberlanjutan pada dimensi ekonomi bermakna bahwa, dalam melaksanakan proses bisnis, masing-masing pelaku berpatokan pada pencapaian keuntungan sehingga turut berperan dalam pembangunan kawasan. Berdasarkan hasil wawancara dengan para pakar, pada dimensi ekonomi, indikator utama (main driver) pada sistem RPGBKG adalah net profit pada masing-masing pelaku, kemampuan pelaku dalam menganalisis dan memitigasi risiko rantai pasok, distribusi keuntungan yang berkeadilan serta akses pasar. Berdasarkan hasil observasi lapang menunjukkan bahwa elemen net profit pada masing-masing pelaku adalah indikator yang mencerminkan tingkat pencapaian keuntungan pelaku, dan dapat juga menggambarkan sebagian kinerja pelaku dalam rantai pasok saat menjalankan proses bisnisnya. Pada pelaku petani, net profit usaha tani rata-rata adalah Rp28 820 108/ha/tahun, atau Rp2 401 675/ha/bulan. Nilai ini didapat dari produktivitas rata-rata usaha tani kopi Gayo yang hanya 0.79 ton/ha. Demikian juga pelaku pedagang pengepul yang mendapatkan keuntungan usaha sebesar Rp4 687 500/bulan, di lain pihak keuntungan usaha agroindustri mencapai Rp147 766 000/bulan. Dari sisi aspek pasar, elemen ini mengacu kepada agroindustri. Selama ini agroindustri dalam proses pemasaran sangat tergantung kepada pihak importir yang menentukan secara pihak proses pembelian dalam hal waktu, jumlah dan harga. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa tingkat pendapatan petani Gayo dan pedagang pengepul masih sangat rendah, peningkatan pendapatan dapat dilakukan dengan peningkatan produktivitas, harga jual dan keterampilan serta distribusi keuntungan yang berkeadilan melalui mekanisme penyeimbangan risiko. Zsidisin dan Ritchie (2009) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan sistem rantai pasok, faktor risiko harus dikelola secara bersama oleh seluruh aktor yang terlibat, yaitu dalam strategi rantai pasok. Selain fokus kepada profit, para juga mencermati masalah keadilan dalam proses bisnis kopi Gayo, yang dinyatakan ke
55 dalam indikator distribusi keuntungan yang berkeadilan, sesuai dengan skala bisnis masing-masing pelaku. Chopra dan Meindl (2007), berpendapat jika salah satu partner dalam suatu sistem rantai pasok tidak mendapatkan keuntungan yang sesuai, maka mengakibatkan kegagalan sistem secara keseluruhan, sehingga sangat diperlukan suatu alat (model) yang dapat mengakomodir masalah ini. Dimensi lingkungan Indikator-indikator pada dimensi lingkungan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengukur dampak proses produksi kopi Gayo terhadap lingkungannya dalam perspektif rantai pasok. Secara umum, proses produksi kopi Gayo, dimulai dari aspek budidaya sampai pada pengiriman ke negara tujuan ekspor. Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa pemanfaatan pulp masih sangat rendah, umumnya pulp hanya dibiarkan disekitar lokasi proses pulper dilakukan. Dengan produksi cherry pertahun yang mencapai 100 000 ton/tahun, produksi pulp mencapai 53 000 ton/tahun, jumlah yang sangat besar dan jika tidak dikelola tentunya akan memberikan dampak serius pada lingkungan, terutama adalah cemaran bau bagi masyarakat sekitar. Dari sisi penggunaan air, hasil observasi menggambarkan bahwa penggunaan air saat proses produksi masih sangat tinggi, yaitu mencapai 20 M3/ton. Nilai ini masih sangat tinggi jika dibandingkan hasil penelitian Novita (2012) yang menggunakan air sebesar 5-6 M3/ton dengan aplikasi teknologi semi basah. Di lain pihak elemen penting lainnya pada dimensi ini adalah budidaya organik, karena elemen ini merupakan wujud nyata dari perspektif pembagunan keberlanjutan. Hasil observasi lapang menggambarkan bahwa pelaksanaan budidaya kopi Gayo secara organik telah dilaksanakan,walapun tidak semua petani ikut serta. Pelaksanaan kegiatan budidaya organik terkendala beberapa hal, seperti harga jual kopi organik dan non organik yang hampir sama, insentif dari eksportir yang kurang memadai, pelaksanaan yang agak rumit dibandingkan dengan budidaya non organik, karena harus mengikuti kaidah sistem budidaya organik yang ditetapkan oleh assessor, serta hasil yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan budidaya non organik. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa dari sisi dimensi lingkungan, pelaksanaan pembangungan berkelanjutan pada persfektif rantai pasok belum berjalan dengan baik. Sehingga sangat penting untuk dilaksanakan penelitian secara mendalam terhadap ketiga aspek tersebut. Pada penelitian ini, indikator efisiensi penggunaan air dan pengendalian limbah kulit kopi yang diolah menjadi kompos dilakukan pada pelaku pedagang pengepul, walaupun ada sebagian petani yang melakukannya. Dimensi sosial Indikator dimensi sosial pada sistem RPGBKG bertujuan untuk mengukur manfaat sosial yang ditimbulkan, karena keberadaan bisnis kopi Gayo yang dilakukan oleh pelaku dalam sistem rantai pasok yaitu petani, pedagang pengepul dan agroindustri atau eksportir di kawasan dataran tinggi Gayo. Berdasarkan hasil obseravasi lapang dan wawancara mendalam dengan beberapa narasumber dinyatakan bahwa pada dimensi sosial dalam sistem RPGBKG terdapat beberapa indikator yang harus dikaji, yaitu pola hubungan keterkaitan antar pelaku,
56 keterampilan pelaku, kelembagaan dan pemenuhan hak-hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Pola hubungan keterkaitan antar pelaku mengacu kepada hubungan personal yang terjadi antar pelaku (petani dengan pedagang pengepul, pedagang pengepul dengan agroindustri atau eksportir). Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian, pola hubungan ini sangat kental terjadi dan hal ini mencerminkan level hubungan sosial yang sangat kuat, akan tetapi belum secara organisasi atau kelembagaan sehingga sangat diperlukan kajian mendalam tentang hal ini. Marimin dan Maghfiroh (2010) menyatakan bahwa salah satu tujuan dari pengelolaan rantai pasok adalah bagaimana membangun saling percaya antar pelaku (trust bulding) sehingga fungsi koordinasi dalam sistem rantai pasok berjalan dengan efektif. Indikator lain pada dimensi sosial adalah aspek keterampilan pelaku rantai pasok (SDM). Purnomo (2012) menyatakan bahwa, indikator keterampilan pelaku sangat penting pada dimensi sosial disebabkan indikator ini mempunyai pengaruh nyata, terhadap kinerja RPGBKG secara keseluruhan. Karakteristik keterampilan bertumpu pada keterampilan para pelaku dalam menjalankan proses bisnis kopi Gayo, keterampilan pelaku mengacu kepada aktivitas masing-masing. Pelaku petani berhubungan erat dengan keterampilan aspek budidaya dan proses panen, pedagang pengepul mengacu kepada proses transformasi dari cherry ke kopi HS, sedangkan agroindustri lebih menitikberatkan pada aspek manajerial. Dengan meningkatnya keterampilan pelaku dalam pengelolaan sistem rantai pasok, diharapkan akan meningkatkan indeks berkelanjutan sistem RPGBKG. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian, aspek keterampilan pelaku dapat dikatakan belum sesuai dengan aspek keberlanjutan. Pada pelaku petani, pengelolaan hama dan penyakit belum mengaplikasikan pengelolaan hama dan penyakit secara terpadu, sehingga tingkat serangan hama dan penyakit masih tinggi, terutama pada ketinggian 800-750 m dpl. Teknik panen yang masih secara stripping dan belum sepenuhnya memenuhi aspek petik merah. Pada pelaku pedagang pengepul, hal yang paling penting adalah teknik penjemuran yang belum menggunakan para-para sehingga mutu kopi HS kurang baik, sedangkan pada pelaku agroindustri lebih kepada aspek manajerial. Dimensi sumberdaya Indikator dimensi sosial pada sistem RPGBKG bertujuan untuk mengukur keberlanjutan dari sumberdaya yang mencakup aspek ketersediaan, kecukupan dan mutu bahan baku serta daya dukung lahan. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan pakar, didapatkan bahwa pada aspek ketersediaan dan kecukupan bahan baku dari sisi jumlah (kuantitas) mencukupi, akan tetapi dari sisi kesesuain mutu belum sepenuhnya terpenuhi, sehingga banyak produk yang dikategorikan sebagai kopi asalan Sehingga menurunkan nilai jual sampai 50% dari kopi kualitas ekspor. Dari sisi daya dukung lahan, berdasarkan pengamatan di lapang dapat dikatakan bahwa kondisi lahan relatif cukup baik dari sisi tingkat kesuburam, walaupun telah terjadi peningkatan suhu yang sangat signifikan dalam 10 tahun terakhir sebesar 3-5oC (Anhar 2013).
57
6 PEMODELAN SISTEM Pemodelan sistem adalah tahapan untuk merancang bangun sistem RPGBKG keberlanjutan, setelah tahapan analisis sistem (Eriyatno 1999; Wasson 2006; Parnell et al. 2011). Berdasarkan pokok bahasan pada bab sebelumnya, yaitu analisis sistem akan digunakan sebagai input dalam pemodelan sistem. Pemodelan sistem pada kajian ini terdiri dari empat aktivitas utama, yaitu konseptualisasi sistem, formulasi model dan pengujian model. Sistem yang dibangun terdiri dari sub model RPGBKP berkelanjutan terkini, sub model ekonomi, sub model sosial, sub model lingkungan dan sub model simulasi berkelanjutan pada RPGBKP. Tahap awal pemodelan sistem pada kajian ini, di isi dengan penentuan asumsi dari model dan ruang lingkup model yang dibangun, asumsi digunakan dalam pemodelan RPGBKP berkelanjutan dikarenakan keterbatasan dari model yang dibangun dalam hal mengabstraksi dunia nyata (sesuai dengan konteks penelitian) ke dalam model. Selanjutnya dilakukan formulasi model dengan menggunakan beberapa teknik yang disesuaikan dengan input data dan tujuan yang ingin dicapai, pada bagian akhir dilakukan verifikasi dan validasi model (Sargent 2010). Asumsi model Asumsi yang digunakan pada pemodelan sistem RPGBKP berkelanjutan adalah sebagai berikut: 1) Buah kopi (coffee cheery) yang dihasilkan petani seluruhnya dimanfaatkan oleh pelaku dalam RPGBKP. 2) Kopi HS yang diproduksi pedagang pengumpul seluruhnya dapat ditampung oleh agroindustri/eksportir. 3) Kopi biji (green bean) yang diproduksi oleh agroindustri/eksportir seluruhnya dibeli oleh buyer di negara tujuan. 4) Model dinamis yang dibangun hanya berdasarkan proses bisnis kopi Gayo. Ruang lingkup model Pada kajian ini, model-model yang dirancang bangun pada sistem RPGBKP berkelanjutan memiliki ruang lingkup (boundary research) yaitu: 1) Pada dimensi ekonomi, model analisis dan mitigasi risiko dibangun berdasarkan risiko budidaya, pasokan, permintaan, mutu dan harga. Model distribusi keuntungan berkeadilan dibangun berdasarkan nilai tambah pada masing-masing pelaku. 2) Pada dimensi sosial, model hanya membahas pola hubungan keterkaitan antar pelaku dalam melaksanakan proses bisnis kopi Gayo, yang diwujudkan pada alternatif wadah berbisnis yaitu mitra strategis, kontrak tani berbasis revenue sharing dan mitra bisnis. 3) Pada dimensi lingkungan (ekologi), model yang dirancang berbasis penelitian lapangan, yaitu efisiensi penggunaan air saat proses produksi dan pemanfaatan limbah padat (pulp) menjadi kompos. 4) Model simulasi berbasis sistem dinamis yang bersifat spesifik sehingga jika di aplikasikan pada komoditi kopi Arabika lain di Indonesia diperlukan penyesuaian yaitu pada produktivitas tanaman, rendemen dan harga jual produk.
58 Sebelum masuk kepada sub-sub model, diperlukan analisis dan perancangan berbasis objek yang bertujuan untuk memahami dekomposisi objek. Dengan metode ini perancang model dapat membuat model dengan menggunakan notasi. Dalam analisis dan perancangan berbasis objek istilah yang umum dikenal adalah Unified Modeling Language (UML). Visualisasi UML dapat dilihat pada Gambar 26. Struktur diagram
Diagram perilaku
Diagram paket
Diagram use case
Diagram kelas
Diagram aktivitas
Diagram komponen
Diagram status mesin
Diagram penyebaran Diagram objek Diagram struktur komposisi
Diagram interaksi Diagram status mesin
Diagram komunikasi
Diagram status mesin
Diagram waktu
Gambar 26 Diagram analisis dan perancangan berbasis objek (Booch et al. 2007) Sub model identifikasi keberlanjutan RPGBKP Sub model kondisi terkini RPGBKP digunakan untuk mengetahui keadaan RPGBKP yang dihubungkan dengan indikator-indikator berkelanjutan. Dengan diketahuinya kondisi berkelanjutan RPGBKP, maka dapat dilakukan rekayasa yang bertujuan untuk meningkatkan indeks berkelanjutan RPGBKP dimasa yang akan datang. Sub model ini dianalisis dengan teknik multi-dimensional scaling (MDS), perangkat lunak yang digunakan adalah Raf-coffee yang dimodifikasi dari Rap-fish (Purnomo 2012). Pakar yang terlibat berjumlah 5 orang yang terdiri dari akademisi, praktisi, peneliti dan penyuluh pertanian. Tahapan penyusunan sub model ini berupa: 1) Penentuan indikator keberlanjutan berdasarkan analisis kualitatif interpretatif dengan pemangku kepentingan (stakeholder), 2) Melakukan penilaian keberlanjutan sesuai indikator berdasarkan diskusi, dengan responden, survei lapangan dan studi literatur, 3) Analisis keberlanjutan menggunakan teknik MDS dan simulasi Monte Carlo serta analisis titik ungkit (laverage) yang terintegrasi dalam software Rap-Coffee yang merupakan modifikasi dari Rap-fish. Secara
59 lengkap tahapan penyusunan sub model kondisi RPGBKP terkini dapat dilihat pada Gambar 27. Mulai Penentuan atribut keberlanjutan dimensi
Penentuan skor keberlanjutan atribut
Penentuan ordinasi dalam analisis MDS atribut
Simulasi montecarlo
Analisis laverage
Indeks berkelanjutan pada RPGBKP Selesai Gambar 27 Indeks berkelanjutan RPGBKP Tahap selanjutanya adalah melakukan rekapitulasi kategori indeks masingmasing atribut. Secara lengkap rekapitulasi kategori indeks masing-masing atribut dapat dilihat pada Tabel 11. Penentuan dimensi dan atribut dimensi pada model identifikasi kinerja keberlanjutan terkini (current status) RPGBKP didasarkan pada hasil obervasi langsung di lapangan yang telah disampaikan secara mendalam pada bab sebelumnya, selain itu juga di analisis secara tinjauan akademik. Novita (2012) menentapkan dimensi dan atribut dimensi ekonomi mencakup net profit usaha, peluang pasar, mutu dan manajemen usaha tani. Dimensi lingkungan terdiri dari manajemen sumberdaya air dan lingkungan, pengurangan emisi dan daur ulang limbah, sedangkan dimensi lingkungan membahas kesehatan dan keamanan pelaku, upah tenaga kerja, hak-hak dasar dan hubungan sosial. Sub Model Dimensi Ekonomi Sub model ekonomi digunakan untuk menentukan nilai indikator berkelanjutan dimensi ekonomi pada RPGBKP. Nilai ini dibentuk dari beberapa sub model ekonomi yang selanjutnya diagregasi. Indeks keberlanjutan ekonomi (IKE) merupakan fungsi dari indikator dari sub model yang ada didalamnya yang dinyatakan dalam persamaan: IKE = f (DKB, AR) .......................................................................................(4) Ket: DKB = Distribusi keuntungan berkeadilan, AR = Analisis dan mitigasi risiko.
60 Tabel 11 Kategori indikator berkelanjutan pada RPGBKP Dimensi 1. Ekonomi
2. Sosial
3. Lingkungan
Atribut A. Distribusi keuntungan
B.
Net profit
C.
Analisis dan mitigasi risiko rantai pasok
D.
Akses pasar
A.
Kategori criteria Sangat tidak adil (STA) Agak adil (AA) Adil (A) Cukup adil (CA) Sangat adil (SA) Merugi (M) Sangat kecil (SK) Sedang (SD) Cukup besar (CB) Sangat besar (SB)
Selang penilaian Baik Buruk 5 1
5
1
Sangat rendah (SR) Rendah (R) Sedang (S) Tinggi (T) Sangat tinggi (ST) Sangat rendah (SR) Agak rendah (AR) Sedang (S) Cukup tinggi (CT) Sangat tinggi (ST)
5
1
5
1
Pola hubungan keterkaitan antar pelaku
Sangat baik (SB) Baik (B) Agak baik (AB) Kurang baik (KB) Jelek (J)
5
1
B.
Keterampilan (skills) pekerja
Sangat tidak terampil (STT) Agak terampil (AT) Sedang (S) Cukup terampil (CT) Sangat terampil (ST)
5
1
C.
Kelembagaan
5
1
D.
Hak-hak dasar
Sangat baik (SB) Baik (B) Agak baik (AB) Kurang baik (KB) Jelek (J) Sangat baik (SB) Baik (B) Agak baik (AB) Kurang baik (KB) Jelek (J) Sangat jelek (SJ) Agak jelek (AJ) Sedang (S) Cukup baik (CB) Sangat baik (SB) Sangat jelek (SJ) Agak jelek (AJ) Sedang (S) Cukup baik (CB) Sangat baik (SB) Sangat boros (SB) Agak boros (AB) Sedang (S) Cukup efisien (CE) Sangat efisien (SE)
5
1
5
1
5
1
5
1
A. Pemanfaatan limbah pulp
B. Budidaya organik
C. Efisiensi penggunan air
61 Analisis dan mitigasi risiko rantai pasok Dalam proses bisnis, risiko merupakan suatu hal yang sangat sulit untuk kendalikan, karena menyangkut variabel-variabel yang bersifat tidak pasti yang dapat menyebabkan kerugian. Borje (2001) mendefenisikan kemungkinan terjadinya sesuatu hal yang tidak baik (kerugian). Dalam RPGBKP, risiko menyangkut aspek budidaya, permintaan, pasokan, harga dan mutu. Untuk menggelola risiko rantai pasok diperlukan analisis yang sangat mendalam pada seluruh pelaku. Tujuan dari analisis ini adalah melakukan identifikasi risiko-risiko apa saja yang menonjol dalam sistem bisnis kopi Gayo dan selanjutnya menentukan alternatif mitigasi yang dapat diambil oleh para pelaku. Metode yang digunakan tahap ini adalah logika fuzzy. Secara lengkap tahapan analisis risiko dan mitigasi dapat dilihat pada Gambar 28. Dalam analisi ini teknik yang digunakan adalah F-AHP dan fuzzy inference system (FIS). F-AHP digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang terdapat pada sistem RPGBKP. Keluaran dari tahap ini adalah bobot faktor-faktor risiko pada masing-masing pelaku dan bobot seluruh elemen pada struktur hirarki seperti tujuan penentuan alternatif mitigasi risiko yang terdiri dari pemenuhan mutu, jumlah dan time-delivery. Elemen pelaku yang terdiri dari petani, pedagang pengepul dan agroindustri atau eksportir. Tahap awal dari teknik ini adalah menentukan fungsi keanggotaan (membership function) fuzzy. Fungsi keanggotaan adalah kurva yang menunjukkan pemetaan nilai input ke dalam nilai-nilai keanggotaan, dalam hal ini dengan interval antara 0 dan 1 (Kusumadewi 2003). Untuk memetakan nilai-nilai keanggotaan tersebut dapat dilakukan dengan melalui suatu fungsi. Dalam penelitian ini fungsi keanggotaan fuzzy yang digunakan adalah triangular fuzzy number (TFN). Secara lengkap fungsi keanggotaan fuzzy TFN dirumusakan sebagai berikut: Risiko RPGBKP belum terkelola Mengidentifikasi skala prioritas faktor-faktor risiko
Fuzzy-AHP
Menganalisis interelasi pelaku dalam menggelola risko
Deskriptif
Menganalisis tingkat risiko pelaku
FIS, Mamdani
Risiko RPGBKP terkelola
Gambar 28 Analisis risiko dan mitigasi RPGBKP
62
μ(x)=
0 (x-a)/(b-a) = (c-x)/(c-b)
jika; x≤a atau x≥c jika; a≤x ≤b otherwise ; ..........................................................(5)
Selanjutnya adalah melakukan fuzzyfikasi nilai input dengan menggunakan triangular fuzzy numbers (TFN). TFN dipilih karena memiliki nilai keanggotaan penuh yaitu satu yang tunggal pada puncak segitiga untuk nilai batas tengah (BT), sedangkan pada nilai-nilai lainnya fungsi keanggotaannya lebih kecil dari satu untuk batas bawah (BB) dan nol pada nilai batas bawah (BB) dan batas atas (BA). Dengan demikian maka “keraguan” responden diarahkan kepada “keyakinan” pada di nilai BT. Tiga nilai batas pada skala yaitu BB, BT dan BA dari tiap data masukan mengikuti Kulak & Kahraman (2005), secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Skala TFN dalam F-AHP No. Skala linguistik fuzzy berpasangan 1. 3. 5. 7. 9.
Kedua faktor sama pentingnya terhadap tujuan Salah satu faktor sedikit lebih penting dari yang lain Salah satu faktor lebih penting dari yang lain Salah satu faktor sangat lebih penting dari yang lain Salah satu faktor mutlak lebih penting dari yang lain
Skala TFN (1,1,3)
Resiprokal TFN (1/3,1,1)
(1,3,5)
(1/5,1/3,1)
(3,5,7)
(1/7,1/5,1/3)
(5,7,9)
(1/9,1/7,1/5)
(7,9,9)
(1/9,1/9,1.7)
Sumber : Kulak & Kahraman (2005)
Berdasarkan Tabel 12, terlihat bahwa pada skala TFN (1,1,3) memiliki nilai resiprokal (1/3,1,1) yang merepresentasikan suatu nilai dalam fungsi keanggotaan fuzzy. Resiprokal mencerminkan perbandingan terbalik dari nilai tersebut, dalam hal ini nilai keanggotan fuzzy bergerak dari nilai kecil ke besar (0-10). Selanjutnya adalah melakukan Agregasi yaitu proses penyatuan skor dari beberapa input untuk mencapai suatu nilai tunggal, dalam hal ini input dari beberapa pakar. Agregasi dilakukan dengan pembobotan rata-rata (geo-mean) untuk batas bawah, batas tengah dan batas atas dari ketiga kelompok masukan (Bozbura et al. 2007). Luaran (output) langkah ini masih berupa nilai fuzzy. Tahap akhir adalah melakukan defuzzifikasi yakni penentuan satu nilai tunggal (crisp) dari nilai fuzzy hasil inputan tahap sebelumnya. Pada penelitian ini teknik yang digunakan adalah centroid, yaitu nilai tunggal dari variabel output yang dihitung dengan menemukan nilai variabel dari center of gravity yaitu suatu fungsi keanggotaan untuk nilai fuzzy (Mikhailov 2004; Alavi 212). Setelah tahap identifikasi risiko selesai dilakukan, tahap selanjutnya adalah menyusun alternatif mitigasi risiko pada masing-masing pelaku.Teknik yang digunakan adalah FIS. Teknik ini digunakan karena kemampuannya melakukan agregasi untuk generalisasi dari suatu nilai fuzzy dalam suatu nilai tunggal (crips) melalui sistem operasi fuzzy dengan menggunakan logika jika-maka (if-then rule).
63 Pada penelitian ini penalaran yang digunakan dalam FIS adalah Mamdani yaitu berupa max-min operation, sedangkan proses defuzzyfikasi dengan metode centroid. Jumlah aturan yang dikembangkan untuk masing-masing pelaku berjumlah 81. Contoh aturan (if-then rule) penelitian diwujudkan kepada pelaku pedagang pengepul disajikan pada Tabel 13, yang didapatkan dari kombinasi variabel (input) yaitu risiko mutu, budidaya, permintaan dan pasokan, ke dalam variabel output, berupa besaran risiko yang dipetakan ke dalam skala rendah, sedang dan tinggi, untuk masing-masing faktor risiko (risiko harga, budidaya, permintaan, pasokan), begitu juga untuk pelaku, yaitu dengan skala (0,0.2,0.4) rendah, (0.2,0.45,0.6) sedang dan (0.6,0.8,1) untuk tinggi. Tabel 13 Contoh aturan (if-then rule) mitigasi risiko pedagang pengepul No. Mutu (if) Harga (and) Pasokan (and) Permintaan (and) Risiko (then) 1
RMR
RHR
RPR
RPtR
Risiko Rendah
2
RMR
RHR
RPR
RPtS
Risiko Rendah
3
RMR
RHR
RPR
RPtR
Risiko Rendah
4
RMR
RHR
RPR
RPtT
Risiko Rendah
...
...
...
...
...
....
...
...
...
...
...
....
80
RMT
RHT
RPT
RPtS
Risiko Tinggi
81
RMT
RHT
RPT
RPtT
Risiko Tinggi
Keterangan:
RMR : risiko mutu rendah RMT : risiko mutu tinggi RHR : risiko harga rendah RHT : risiko harga tinggi RPR : risiko pasokan rendah RPT : risiko pasokan tinggi RPtR : risiko permintaan rendah RPtS : risiko permintaan sedang RPtT : risiko permintaan tinggi Model distribusi keuntungan berkeadilan Pemodelan distribusi keuntungan (revenue-sharing contract) merupakan komponen penting untuk menjamin distribusi keuntungan untuk masing-masing pelaku dalam RPGBKP. Tujuan analisis ini adalah terjaminnya sistem RPGBKP, karena jika salah satu pelaku mengalami kerugian secara bisnis, maka akan berakibat gagalnya sistem rantai pasok tersebut (Chopra & Mendl 2007). Umumnya petani tidak memiliki posisi tawar dalam penentuan harga, sehingga mereka harus menanggung semua risiko dibandingkan dengan yang lain. Selain itu, harga tukar pada tingkat petani cenderung berfluktuasi secara signifikan. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme untuk negosiasi harga yang mendistribusikan keuntungan yang seimbang untuk setiap pelaku dalam rantai pasok. Selain itu diperlukan model untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko rantai pasok untuk menghindari masalah yang terus terjadi pada setiap titik di dalam jaringan rantai pasok. Model dikembangkan berdasarkan suatu fungsi utilitas risiko yang merupakan suatu nilai preferensi dari seseorang terhadap tingkat risiko pada saat pengambilan keputusan (Suharjito 2011). Fungsi ini selanjutkan dipetakan ke dalam
64 nilai-nilai utilitas yang jika nilainya semakin membesar menunjukkan tingkat preferensinya lebih tinggi (Wilkes 2008). Secara lengkap pemodelan distribusi keuntungan yang berkeadilan dapat dilihat pada Gambar 29. Mulai Menginputkan bobot risiko masing-masing pelaku Menenentukan Nilai perkiraan harga kopi Gayo
Menghitung koefisien eksponen pada masing-masing tingkatan
Fuzzy-AHP
ARIMA
Interpolasi non linear
Inputkan harga tertinggi dan terendah pada pelaku
Tidak
Konsensus tercapai Ya
Distribusi keuntungan tercapai Selesai Gambar 29 Langkah pemodelan distribusi keuntungan berkeadilan Basis analisis ini adalah indeks risiko pada pelaku petani, pedagang pengepul dan agroindustri yang merupakan hasil dari analisis risiko. Model dibangun berdasarkan besaran risiko yang ditanggung oleh pelaku, sehingga diharapkan semakin besar risiko yang ditanggung, maka semakin besar revenue yang didapatkan. Yang dimaksud dengan revenue pada penelitian ini adalah revenue-sharing pada kerangka koordinasi rantai pasok (supply chain coordination). Model dibangun dengan pendekatan stakeholder dialog dengan menggunakan optimasi non linear (Suharjito 2011). Inti dari model ini adalah adanya kesepakatan antar pelaku terhadap harga jual produk masing-masing, sehingga tidak ada salah satu pelaku yang menerima harga jual terlalu rendah yang menyebabkan kerugian. Tahap awal pemodelan adalah dengan menentukan fungsi utilitas risiko yang dirumuskan dalam bentuk fungsi regresi non linear sebagai berikut: Uk(x)=
( )
………………………………………………………….…(6)
65 Keterangan: Uk(x): fungsi utilitas risiko pada pelaku k dalam rantai pasok kopi Gayo X : harga cherry Karena pada masing-masing pelaku memiliki beberapa faktor risiko, maka fungsi utilitas risiko masing-masing pelaku didapat dengan menggabungkan faktor-faktor risiko, dengan persamaan: Uk(x) = ∑ ( ) ………………………………………….……..(7) ∑
= 1 …………………………………………………….……… ..(8)
Keterangan: Rik(x): nilai utilitas risiko faktor ke i, pada pelaku ke k dalam rantai pasok kopi Gayo Wi: bobot masing-masing faktor risiko yang didapat dari analisis F-AHP Nilai utilitas faktor risiko didapat dari nilai rata-rata utilitas variabel risiko untuk masing-masing pelaku dengan menggunakan mean geometric, dengan persamaan sebagai berikut: Rik(x) =
∏
( ) …………………………………………….…...(9)
Keterangan: Vjik(x): nilai utilitas dari variabel ke j risiko ke i untuk pelaku ke k dalam rantai pasok kopi Gayo pada harga (x). Utilitas nilai variabel risiko didapat dengan mengalikan nilai kemungkinan dan dampak dari variabel risiko tersebut yang dijabarkan dengan persamaan: Vjik(x)= Pijk(x)Sijk(x) …………………………………………………….(10) Keterangan: Pijk(x): kemungkinan risiko Sijk(x):dampak risiko variabel j pada faktor risiko ke i pada pelaku ke k dalam rantai pasok kopi Gayo Nilai dampak dan kemungkinan risiko didapatkan berdasarkan wawancara dengan pakar untuk melihat tingkat risiko berdasarkan perubahan harga cherry di tingkat petani. Berdasarkan persamaan 7, 8, 10 diketahui fungsi risiko utilitas sebagai berikut: Uk(x)= ∑
∏
,
( )
( ) ……………………….……(11)
Dengan mensubtitusi persamaan 11 ke persamaan 6, maka didapatkan: ∑
∏
,
( )
( ) =
( )
…………………………..(12)
Basis model dikembangkan berdasarkan hipotetikal kompensasi dengan pendekatan regresi non linear. Dalam penelitian ini, penentuan harga kesepakatan dilakukan secara bertingkat, yaitu dari pelaku petani dengan pedagang pengepul, kemudian pedagang pengepul dengan agroindustri. Asumsi yang digunakan pada penentuan harga kesepakatan antara pelaku petani dengan pedagang pengepul adalah risiko petani akan menurun, jika harga jual cherry meningkat, sebaliknya risiko pedagang pengepul meningkat jika harga beli kopi cherry meningkat.
66 Selanjutnya pada penentuan harga kesepakatan antara pelaku pedagang pengepul dengan agroindustri dibangun berdasarkan asumsi risiko pedagang pengepul menurun jika harga beli kopi HS meningkat, sebaliknya risiko agroindustri meningkat, jik harga beli kopi HS meningkat. Harga kesepakatan antara petani dengan pedagang pengepul diwujudkan pada fungsi utilitas risiko petani dalam rantai pasok kopi Gayo yaitu: ( ) Up(x) =∝ ……………………………………….............………...(13) Sedangkan fungsi utilitas risiko pada pelaku pedagang pengepul dalam rantai pasok kopi Gayo dirumuskan: Updg(x)=
( )
……….................……………..………..............………(14)
Keterangan: X: parameter harga kesepakatan Up(x): fungsi utilitas risiko petani yang didapat dari faktor-faktor risiko berdasarkan pendekatan preferensi tingkat petani Updg(x): fungsi utilitas risiko pedagang pengepul yang didapat dari faktor-faktor risiko berdasarkan pendekatan preferensi tingkat pedagang pengepul Tahap selanjutnya adalah membuat suatu fungsi konjoint antara pihak petani dengan pedagang pengepul. Fungsi tersebut merupakan fungsi optimasi yang dicari penyelesaiannya melalui interpolasi non linear. Fungsi konjoint tersebut adalah: H(x)=Up(x)-Updg(x) …………............………………….…….............….(15) Keterangan: Up(x): fungsi regresi non linear dari risiko petani Updg(x): fungsi regresi non linear dari risiko pedagang pengepul Selanjutnya, untuk menentukan harga kesepakatan antara pedagang pengepul dengan agroindustri diwujudkan pada fungsi utilitas risiko pedagang pengepul yaitu: ( ) Updg(x)= .......................................................................................(16) Sedangkan fungsi utilititas risiko pada pelaku agroindustri dalam rantai pasok kopi Gayo dirumuskan: Uagr(x)=
( )
……….................……………..………...............………(17)
Keterangan: X: parameter harga kesepakatan Updg(x): fungsi utilitas risiko pedagang pengepul yang didapat dari faktor-faktor risiko berdasarkan pendekatan preferensi tingkat pedagang pengepul Uagr(x): fungsi utilitas risiko agroindustri yang didapat dari faktor-faktor risiko berdasarkan pendekatan preferensi tingkat agroindustri Secara teknis, proses interpolasi dilakukan berdasarkan harga tertinggi dan harga terendah pada masing-masing pelaku sehingga didapatkan harga kesepakatan yang telah mengakomodir tingkat risiko pelaku. Untuk mendapatkan harga yang sesuai diperlukan harga referensi yang didapat dari perkiraan harga di pada masingmasing pelaku petani dalam dua tahun terakhir. Teknik yang digunakan dalam proses perkiraan harga adalah Autoregresive Moving Average (ARIMA) atau yang umum dikenal dengan metode Box-Jenkins.
67 Sub model dimensi sosial Sub model sosial digunakan untuk menentukan nilai indikator berkelanjutan dimensi sosial pada RPGBKP. Nilai ini dibentuk dari fungsi yang terdiri dari analisis pola hubungan keterkaitan antar pelaku dan keterampilan pelaku yang dianalisis berdasarkan keuntungan usaha masing-masing pelaku. Metode yang digunakan untuk tahap ini adalah Analitical Network Process (ANP) dan sistem dinamis. Analisis pola keterkaitan hubungan antar pelaku Tujuan dari analisis pola keterkaitan antar pelaku RPGBKP adalah untuk mengetahui pola hubungan bisnis antar masing-masing pelaku. Pola hubungan ini menyangkut bagaimana masing-masing pelaku saling berinteraksi (social interaction) untuk mencapai tujuan bisnis (rantai pasok). Analisis pola hubungan keterkaitan menggunakan teknik Analitical Network Process (ANP) dengan mengelaborasi pengetahuan pakar. Secara lengkap tahapan analisis pola hubungan keterkaitan pelaku disajikan pada Gambar 30. Sub model dimensi lingkungan Sub model lingkungan digunakan untuk menentukan nilai indikator berkelanjutan pada dimensi lingkungan pada RPGBKP. Pendekatan yang digunakan pada sub model ini adalah eko-efisiensi (Figge & Hahn 2004; Madden et al. 2006). Pendekatan eko-efisiensi adalah hubungan antara ekonomi dan dampak lingkungan yang dinyatakan dengan indikator eko-efisiensi yaitu perbandingan antara nilai produk atau jasa dengan dampak lingkungan. Nilai produk atau jasa dinyatakan dalam bentuk jumlah barang atau jasa yang diproduki untuk konsumen, sedangkan dampak lingkungan meliputi konsumsi energi, konsumsi material, konsumsi air, emisi gas rumah kaca, emisi penyebab kerusakan lapisan ozon (NRTEE 2001). Pada kajian ini eko-efisiensi difokuskan kepada konsumsi air dan kegiatan budidaya secara organik. Model efisiensi penggunaan air Dalam konsep pembangunan berkelanjutan yang salah satunya diwujudkan melalui pendekatan ekoefisiensi pada proses produksi. Menurut Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2010), ekoefisiensi adalah suatu konsep efisiensi yang memasukan aspek sumber daya alam dan energi atau suatu proses produksi yang meminimumkan penggunaan bahan baku, air dan energi serta dampak lingkungan per unit produk. NRTEE (2001) mengembangkan tiga indikator utama dalam ecoefisiensi yaitu intensitas air, energi dan limbah untuk membantu industri dalam mengevaluasi kinerja lingkungannya. Indikator tersebut terkait erat dengan dua elemen ekoefisiensi berupa pengurangan material melalui perbaikan pengelolaan air dan limbah serta intensitas energi yang digunakan. Indikator ekoefisiensi merupakan perbandingan antara dampak lingkungan (nominator) dan unit produksi atau jasa (denominator). Nominator adalah jumlah air atau energi yang digunakan selama proses produksi atau jumlah limbah yang dihasilkan, sedangkan denominator adalah jumlah produk atau hasil penjualan.
68
Mulai Identifikasi pola keterkaitan antar pelaku rantai pasok
Penyusunan struktur networks keterkaitan antar pelaku
Sesuai Y a
Menyusun kuesioner Mewawancarai pakar Super decision
Menganalisis data Bobot alternatif pola keterkaitan Selesai
Gambar 30 Diagram alir analisis pola hubungan keterkaitan antar pelaku Pada kajian ini konsep eko-efisiensi diwujudkan dalam bentuk efisiensi penggunaan air dalam proses produksi, dalam hal ini adalah proses pengolahan biji kopi (coffee chery) menjadi kopi biji (green bean) pada masing-masing tier rantai pasok. Analisis efisiensi penggunaan air di nyatakan dalam berapa jumlah air yang dapat dihemat per satuan proses serta rasio antara benefit dan biaya yang dikeluarkan (B/C rasio). Menurut Bapedal Provinsi Jawa Timur (2002), kebutuhan maksimal untuk industri pengolahan biji kopi adalah 40 m3/ton atau 40 liter/ kg bahan baku. Untuk mencapai target efisiensi pengggunaan air digunakan persamaan: Total kebutuhan air(t)= BBK + KebA.......................................................... (18) Kebutuhan air aktual (t) = Tot Keb Air)/BBK.............................................. (19) Penggunaan air(t)= Keb air aktual - (Keb air aktual - target penghematan)* penghematan ....................................................................... . (22) Efisensi air (t) = Target penghematan/Guna air ................................................. (21) Ket: BBK = Bahan baku kopi periode(t), KebA(t)= Kebutuhan air untuk proses produksi BBK, target penghematan = 30 liter/kg BBK.
69 Pemanfaatan limbah kulit kopi Pemanfaatan limbah ikutan berupa kulit kopi bertujuan untuk memberikan nilai tambah dalam bentuk tambahan penghasilan kepada petani dan mereduksi dampak limbah akhir (waste) yang ditimbulkan. Limbah diartikan sebagai substansi yang dihasilkan dari suatu aktifitas yang dapat berbentuk by product, residu dan waste. Limbah yang dihasilkan belum memiliki nilai ekonomis sehingga dapat dianggap sebagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan. Dalam kajian ini yang dimaksud dengan limbah ikutan adalah kulit kopi yang merupakan sisa dari aktifitas pengolahan biji kopi, sedangkan pemanfaatannya menjadi pupuk organik (kompos) dan pakan ternak. Pengomposan merupakan proses dekomposisi secara biologis dati bahan organik pada keadaan tertentu dengan hasil akhir berupa padatan menyerupai tanah dan cukup stabil yang disebut dengan kompos. Analisis yang digunakan adalah rasio manfaat dan biaya bersih yang dikeluarkan (B/C rasio) serta uji spesifikasi teknis dengan indiktor C-organik, kadar air, pH, nitrogen, phospat dan kalium (SNI 19-7030 2004). Formulasi B/C rasio adalah sebagai berikut: n
Net B / C
Bt
(1 i) t 1 n
t
Ct t t 1 (1 i )
............................................................................. (22)
Ket: Net B/C = rasio bersih manfaat biaya Bt = manfaat pada tahun ke-t Ct = biaya pada tahun ke-t i = tingkat bunga bank t = periode tahun, t = 0, 1, …, n Nilai B/C dapat dikelompokkan menjadi tiga, akni : B/C > 1: layak (manfaat lebih besar daripada biaya) B/C < 1: tidak layak (manfaat lebih kecil daripada biaya) B/C = 1: manfaat proyek setara dengan biayanya Dalam penelitian ini digunakan analisis B/C rasio untuk melihat rasio yang diperolah dari biaya yang dikeluarkan dalam suatu kegiatan (Gray et al. 1993). Marimin et al. (2013) menyatakan bahwa penentuan rasio biaya manfaat atau B/C rasio dapat digambarkan sebagai perbandingan nilai keuntungan (benefit) terhadap biaya (cost). Selain itu analisis B/C rasio juga dapat digunakan sebagai penduga untuk menganalisis teknik lain dalam menilai suatu investasi seperti analisis nilai sekarang (PV), nilai akan datang (future value) dan rate of return (ROR), selain itu teknik ini juga lebih mudah dimengerti oleh para pengambil keputusan (Kahraman 2001). Formula B/C rasio adalah sebagai berikut: B/C rasio = B/C ....................................................................................................(23) Ket: B = Nilai ekuivalen keuntungan C = Biaya proyek Secara lengkap diagram alir pemodelan efisiensi penggunaan air dan pemanfaatan limbah kulit kopi (by product) dapat dilihat pada Gambar 31.
70
Mulai
Analisis kondisi terkini penggunaan air dan pemanfaatan limbah ikutan
Hitung penggunaan air proses Aplikasi teknologi pemanfaatan limbah kulit kopi Pupuk organik
Spesifikasi teknis dan B/C rasio
Catat nilai B/C rasio dan kesesuain spesifikasi teknis Selesai
Gambar 31 Diagram alir efisiensi penggunaan air dan pemanfaatan kulit kopi Sub model simulasi RPGBKP berkelanjutan Simulasi adalah peniruan perilaku dari suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan melakukan peramalan (prediksi) dari perilaku gejala atau proses tersebut dimasa depan dalam kurun waktu tertentu (time-frame). Dalam penelitian ini model simulasi prediksi RPGBKP berkelanjutan dibangun dengan menggunakan teknik sistem dinamis. Pemodelan dinamika sistem adalah teknik membangun dan menjalankan model sistem abstrak untuk mempelajari perilaku tanpa mengganggu lingkungan sistem nyata (Williams 2004), karena sifat dinamis dari rantai pasokan. Simulasi merupakan instrumen alami dan penting untuk analisis dan desain rantai pasokan dan manajemen rantai pasokan (Alexander et al. 2005). Model simulasi dapat membantu struktur, mengubah, memadatkan dan menampilkan data visual sedemikian rupa sehingga pengambil keputusan dengan cepat dapat memahami situasi dan bertindak atas informasi yang disajikan (Boyson et al. 2004). Pemodelan dinamika sistem adalah suatu teknik membangun dan menjalankan model sistem abstrak untuk mempelajari perilaku tanpa mengganggu lingkungan sistem nyata (Williams 2004). Karena sifat dinamis dari rantai pasokan, simulasi merupakan instrumen alami dan penting untuk analisis dan desain rantai pasokan dan manajemen rantai pasokan (Alexander et al. 2005). Model simulasi dapat membantu struktur, mengubah, memadatkan dan menampilkan data visual sedemikian rupa sehingga pengambil keputusan dengan cepat dapat memahami situasi dan bertindak atas informasi yang disajikan (Boyson et al. 2004).
71 Penerapan model dinamika sistem manajemen rantai pasokan berakar dalam dinamika industri (Forrester 1961). Dinamika sistem berfokus pada struktur dan perilaku sistem, yang terdiri dari interaksi loop dan umpan balik. Tujuan dari pendekatan dinamika sistem adalah untuk menangkap interaksi dinamis dari variabel sistem yang berbeda, dan untuk menganalisis dampaknya terhadap keputusan kebijakan selama horison jangka panjang serta untuk mencapai beberapa tujuan yang diinginkan melalui modifikasi sistem. Untuk ini, batas sistem didefinisikan dan model sistem dibangun. Langkah-langkah prosedural yang sistematis dalam pemodelan SD adalah sebagai berikut: 1. Tentukan masalah yang harus diselesaikan dan tujuan yang ingin dicapai. 2. Jelaskan sistem dengan causal loop/diagram sebab akibat. 3. Merumuskan struktur model (yaitu mengembangkan diagram aliran untuk simbol sistematisasi, penanda panah dan format pemodelan dinamika sistem dalam bentuk persamaan). 4. Mengumpulkan data awal/data basis yang diperlukan untuk operasi model baik dari data historis dan/atau dari diskusi dengan para eksekutif/perencana yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dari sistem yang diteliti. Hal merupakan nilai awal dari semua variabel tingkat, konstanta dan data kebijakan. 5. Validasi model pada beberapa kriteria yang cocok untuk membangun keyakinan yang memadai dalam model, dan menggunakan model untuk menguji berbagai langkah kebijakan untuk menemukan cara terbaik untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam penelitian ini, model prediksi keberlanjutan dalam RPGBKP dibagi ke dalam tiga sub model, yaitu model prediksi berkelanjutan pada dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam masing-masing dimensi tersebut terdapat pelaku yang terlibat dalam RPGBKP yaitu petani, pedagang pengepul dan agroindustri/eksportir. Secara lengkap diagram alir pemodelan simulasi berkelanjutan pada RPGBKP dapat dilihat pada Gambar 32. Berdasarkan Gambar 32 dapat dilihat bahwa, proses pemodelan simulasi berkelanjutan pada RPGBKP dimulai dengan perumusan tujuan yang sebenarnya telah dirumuskan pada tahap awal penelitian, selanjutnya adalah pembuatan causalloop diagram (diagram sebab akibat) yang merupakan representasi dari sistem yang akan dimodelkan. Pilar causal-loop diagram, berupa keterpaduan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai keberlanjutan pada sistem RPGBKP (Gambar 32). Tahap selanjutnya adalah melakukan simulasi prediksi mengenai pendugaan keberlanjutan dari sistem RPGBKP, simulasi prediksi dilakukan berdasarkan model matematis yang telah dirumuskan dalam model dinamis yang disintesis dengan multi-dimensional scaling (Purnomo 2012).
72 Mulai Merumuskan tujuan
Membuatan causal loop penelitian
Sub sistem dimensi ekonomi
Sub sistem dimensi sosial
Sub sistem dimensi lingkungan
Prediksi berkelanjutan pada RPGBKP
Tidak
Sesuai YYa a
Mentransformasi nilai numerik ke ordinal Menganalisis keberlanjutan RPGBKP
Logika if-then rule
Multi dimensional scaling (MDS)
Selesai Gambar 32 Diagram alir model simulasi RPGBKP berkelanjutan Dinamika sistem berfokus pada struktur dan perilaku sistem yang terdiri dari interaksi loop umpan balik (Gambar 33). Tujuan dari pendekatan dinamika sistem adalah untuk menangkap interaksi dinamis dari variabel sistem yang berbeda dan untuk menganalisis dampaknya terhadap keputusan kebijakan selama kurun waktu tertentu dan untuk mencapai beberapa tujuan yang diinginkan melalui modifikasi sistem. Dalam penelitian ini model prediksi keberlanjutan pada RPGBKP dibagi ke dalam tiga sub sistem, yaitu model prediksi keberlanjutan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan pada pelaku yaitu petani, pedagang pengepul dan agroindustri.
73
ket : (+): relasi peningkatan (-) : relasi penurunan
Gambar 33 Diagram kausal loop model simulasi berkelanjutan pada RPGBKP Berdasarkan Berdasarkan Gambar 33 terlihat bahwa, keberlanjutan pasa rantasi pasok kopi Gayo dapat dilihat dari dimensi ekonomi, dimensi ini merepresentasikan kegiatan yang berhubungan dengan proses bisnis (profit). Pada penelitian ini sub sistem dimensi ekonomi berawal adanya permintaan (demand) dan pasokan (supply). Kedua variabel inilah yang menjadi driver sub sistem ekonomi, yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana level keuntungan masingmasing pelaku (net profit), yang selanjutnya loop dengan dimensi sosial melalui atribut pola hubungan keterkaitan dan tingkat kesejahteraan, dimensi ekonomi juga loop dengan dimensi lingkungan, yaitu melalui atribut volume produksi yang dipengaruhi oleh elemen efisiensi penggunaan air dan pengendalian limbah kulit kopi (pulp). Pada pelaku petani, dimensi ekonomi mencakup aspek net profit usaha. Aspek ini dipengaruhi oleh besar kecilnya volume produksi (kg) dan nilai (Rp) harga jual kopi buah ke padagang pengepul yang dipengaruhi mutu kopi buah yang dihasilkan serta besar kecilnya biaya produksi (Rp/kg). Volume produksi ditentukan oleh produktivitas tanaman (kg/ha), sedangkan produktivitas dipengaruhi oleh daya dukung lahan yang dalam penelitian ini di pengaruhi oleh aspek efisiensi penggunaan dan volume kompos yang dihasilkan, volume kompos yang dihasilkan loop dengan volume limbah pulp yang dihasilkan. Pada pelaku pedagang pengepul, tingkat keuntungan dipengaruhi oleh volume produksi (kg) dan harga jual kopi HS (Rp) ke agroindustri serta besar kecilnya biaya produksi (Rp/kg). Harga jual dipengaruhi oleh mutu kopi HS yang dihasilkan. Mutu kopi HS yang dihasilkan dipengaruhi oleh tingkat keterampilan (skills) pedagang pengepul yang looping dengan jumlah pelatihan teknis yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang seperti pemerintah daerah, lembaga penelitian dan penyuluhan serta
74 perguruan tinggi. Tingkat keuntungan inilah yang dalam penelitian ini menjadi driver untuk kesejahteraan pedagang pengepul. Pada pelaku agroindustri, driver utama adalah kesejahteraan karyawan yang dipengaruhi oleh tingkat keuntungan bersih agroindustri. Tingkat keuntungan ini dipengaruhi oleh tingkat keuntungan kotor agroindustri yang didapatkan dari hasil perkalian volume produksi green bean (Kg) dan harga jual (Rp/kg), dikurangi biaya produksi (Rp/Kg), sedangkan keuntungan bersih didapatkan setelah perusahaan membayar pajak daerah, yang selanjutnya dialokasikan untuk peningkatan sumberdaya manusia (SDM), melalui kegiatan pelatihan teknis kepada pelaku RPGBKP yang dilakukan oleh akademisi, lembaga penelitian dan penyuluhan serta Non Government Organization (NGO). Kegiatan pelatihan ini sangat berpengaruh terhadap peningkatan tingkat keterampilan karyawan, yang juga mempengaruhi mutu green bean yang dihasilkan, dan selanjutnya berpengaruh kepada harga jual. Secara keseluruhan keuntungan bisnis agroindustri sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan karyawan. Pada penelitian ini, sub model simulasi keberlanjutan RPGBKP menggunakan beberapa asumsi yang membatasi keberlakuan model. Asumsiasumsi tersebut adalah: 1. Serangan hama dan penyakit diabaikan. 2. Luas lahan yang digunakan petani rata-rata 1 ha. 3. Seluruh volume produksi agroindustri dibeli oleh buyer di negara tujuan ekspor. 4. Seluruh volume produksi masing-masing dibeli oleh pelaku pada tier selanjutnya. 5. Inflasi dan fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika serikat diabaikan. Simulasi dari hasil pemodelan digunakan untuk melihat pola kecenderungan perilaku model. Hasil simulasi model dianalisis pola dan kecenderungannya, ditelusuri faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pola dan kecenderungan tersebut, dan dijelaskan bagaimana mekanisme kejadian tersebut berdasarkan analisis struktur model. Pengembangan model prediksi dinamis dilakukan dengan menggunakan alat bantu Powersim Constructor versi 2.5 (Gambar 34). Hasil simulasi model yang memunculkan variabel-variabel yang sensitive, dianalisis pola dan kecenderungannya dan beberapa variabel tambahan sebagai faktor penting yang merupakan input dari sistem secara keseluruhan, dalam hal ini ditelaah melalui pendekatan sistem yaitu dengan dilakukan melalui analisis kebutuhan, formulasi masalah, dan identifikasi sistem untuk membangun model simulasi berkelanjutan pada RPGBKP. Keluaran dari model digunakan sebagai input untuk menentukan indeks berkelanjutan yang selanjutnya sebagai dasar untuk merumuskan alternatif kebijakan dan skenario-skenario keberlanjutan. Dalam penelitian ini, sistem keberlanjutan pada RPGBKP terdiri dari beberapa dimensi yang sangat berpengaruh dalam menentukan keberlanjutan rantai pasok sesusai dengan hasil analisis lavarege pada bab sebelumnya. Dimensi ekonomi mencakup net profit pelaku, risiko rantai pasok dan distribusi keuntungan. Dimensi lingkungan terdiri dari organic farming, efisiensi penggunaan air dan pemanfaatan limbah (pulp), sedangkan dimensi sosial adalah pola hubungan antar pelaku dan tingkat kesejahteraan pelaku petani dan pedagang pengepul yang didekati dengan tingkat keuntungan usaha (net profit) serta keterampilan pelaku. Agar lebih jelas, pembahasan masing-masing dimensi dibagi berdasarkan pelaku.
75
Petani
Pengepul
Agroindustri Gambar 34 Diagram sistem dinamis sub model prediksi RPGBKP berkelanjutan
76 Pelaku petani Indikator net profit Net profit atau keuntungan bersih petani merupakan variabel yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan pada rantai pasok kopi Gayo. Keuntungan petani dipengaruhi oleh nilai penjualan kopi cherry (Rp/ton) dan biaya produksi (Rp/ton). Persamaan umum yang digunakan untuk melihat net profit petani adalah sebagai berikut: Netpro(t)=(NP(t))- (ΔC(t-1)).....................................................................................(24) keterangan: Netpro(t) = net profit petani pada periodet NP(t) = nilai penjualan kopi cherry (Rp/ton) ke padagang pengepul pada periode t ΔC(t) = laju perubahan biaya produksi (Rp/ton) pada periode(t-1) ke periode t Selanjutya, nilai penjualan kopi cherry tergantung dari volume produk yang dihasilkan (ton) dan harga jual kopi buah (Rp), sedangkan biaya produksi adalah total biaya (Rp) yang dikeluarkan petani, untuk menghasilkan 1 ton kopi cherry. Persamaan yang digunakan dalam nilai penjualan dan biaya produksi cherry: NP(t)= (VP(t)*P(t)) ............................. .................................................................(25) Keterangan: NP(t) = nilai penjualan pada periodet VP(t) = volume produk kopi cherry (ton) pada periodet P(t) = harga jual kopi cherry ke pedagang pengepul (Rp) pada periodet Kemudian, volume produksi kopi buah tentukan oleh luas lahan (ha) yang diusahakan oleh petani dan produktivitas, dalam penelitian ini adalah luas usaha rata-rata petani, sedangkan produktivitas adalah rasio antara hasil yang diperoleh dengan luas lahan, dalam hal ini produktivitas (konstanta) rata-rata kopi Gayo di lokasi penelitian adalah 0.79 ton/ha. Sehingga persamaan volume produksi kopi cherry dinyatakan sebagai berikut: VP(t) = ΔLL(t-1) *PDR(t-1) ....................................................................................(26) Keterangan: VP(t) = volume produksi kopi cherry pada periodet LL(t-1) = laju perubahan luas lahan rata-rata petani pada periodet-1 ke periode t PDR(t-1) = produktivitas rata-rata kopi cherry di lokasi penelitian (0.79 ton/ha) pada periodet-1 Dari sisi biaya produksi (C), total biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani untuk menghasilkan kopi cherry adalah hasil penjumlahan biaya tetap dan biaya variabel, yang secara lengkap di notasikan sebagai berikut: C(t-1)= ΔTFC(t-1)+ΔTVC(t-1) ................................................................................(27) Keterangan: C(t) = total biaya produksi yang harus dikeluarkan petani untuk menghasilkan kopi cherry (Rp/ton) pada periodet-1 TFC(t-1) = laju perubahan biaya tetap pada periode t-1 ke periode t TVC(t-1) = laju perubahan biaya variabel total pada periode t-1 ke periode t
77 Untuk dapat menentukan keberlanjutan RPGBKP bagi pelaku petani yaitu pada indikator profit usaha, dilakukan transformasi nilai kuantitatif, yaitu keluaran dari model sistem dinamis ke dalam bentuk skoring dengan skala ordinal. Setiap kategori diberikan nilai skor dengan tujuan agar dapat diagregasi dengan metode MDS. Kategori net profit pelaku petani dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Kategori net profit (NP) pelaku petani Kategori Rentang nilai indikator (Rp)* Merugi (M) NP<500 000/bulan Rendah (R) 500 000≤NP<1 juta/bulan Sedang (S) 1 juta≤NP<3 juta/bulan Agak tinggi (At) 3 juta≤NP <6 juta/bulan Sangat tinggi (St) NP≥6 juta/bulan
Skor 0 1 2
3 4
Indikator keterampilan (skills) Keterampilan petani menjadi salah satu penting indikator keberlanjutan pada RPGBKP, karena aspek ini memiliki berpengaruh besar terhadap perbaikan kinerja petani dalam perspektif tujuan rantai pasok, yaitu pemenuhan aspek mutu, jumlah dan time-delivery (Chopra dan Meindl 2007). Pengertian keterampilan petani pada penelitian ini mengacu kepada bagaimana petani mampu meningkatkan produktivitas tanaman kopi, pada pelaku pedagang pengepul adalah bagaimana pelaku ini mampu meningkatkan mutu kopi HS yang dihasilkan, sedangkan pada pelaku agroindustri mengacu kepada aspek manajerial pengelola. Pada penelitian ini variable keterampilan pelaku juga berpengaruh kepada variable lainnya dalam sistem rantai pasok kopi Gayo, seperti variabel pengelolaan risiko rantai pasok, efisiensi penggunaan air dan pola hubungan keterkaitan antar pelaku. Keterampilan pelaku dalam rantai pasok kopi Gayo berkaitan dengan pengalaman pelaku dalam proses bisnis, sehingga dapat dikatakan semakin bertambahnya waktu pelaku dalam proses bisnis, maka keterampilan pelaku semakin meningkat. Dengan asumsi dilakukan secara berkesinambungan. Persamaan umum yang digunakan dalam indikator keterampilan petani (SP) adalah sebagai berikut: SP(t) = ΔPgUt(t-1)*ΔJPt(T-1) ………………………….……………..........…….(28) Keterangan: SP(t) = Keterampilan petani pada periode ke (t) ΔPgUt(t-1) = laju perubahan pengalaman petani dalam berusaha tani kopi Gayo pada periodet-1 ke periode ke (t) ΔJPt(T-1) = laju perubahan jumlah pelatihan teknis yang diikuti petani pada periodet-1 Untuk dapat menentukan tingkat keberlanjutan RPGBKP pada indikator keterampilan pelaku (PP), dilakukan transformasi nilai kuantitatif yaitu keluaran dari sistem dinamis ke dalam bentuk scoring dengan skala ordinal, selanjutnya nilai kesejahteraan pelaku dikategorikan. Setiap kategori diberikan nilai skor dengan tujuan agar dapat diagregasi dengan metode MDS. Kategori keterampilan pelaku dalam rantai pasok disajikan Tabel 15.
78
Tabel 15 Kategori keterampilan petani (SP) pada rantai pasok kopi Gayo Kategori Rentang nilai indikator Rendah (R) SP<1 Sedang (S) 1≤SP<1.5 Agak tinggi (At) 1.5≤SP<2 Tinggai (T) 2≤SP<2.5 Sangat tinggi (St) 2.5≥SP
Skor 0 1 2 3 4
Pengelolaan risiko (risk management) rantai pasok Risiko adalah kemungkinan terjadinya sesuatu hal yang tidak baik (kerugian), yang diakibatkan adanya unsur ketidakpastian (Borje 2001). Dalam penelitian ini, aspek risiko rantai pasok menjadi salah satu parameter keberlanjutan RPGBKP dalam dimensi ekonomi. Tujuan dari pokok bahasan ini adalah para pelaku dapat mengetahui faktor-faktor risiko, melakukan analisis dan menyusun mitigasi risiko yang terdapat pada RPGBKP sehingga pengelolaan risiko rantai pasok lebih efektif. Persamaan umum yang digunakan dalam indikator risk management (RM) adalah sebagai berikut: RM(t) = ΔSPt(t-1)*ΔJPt(T-1) ………………………………………......…………(29) Keterangan: RM(t) = Pengelolaan risko rantai pasok pada periode ke (t) ΔSP(t-1) = Laju perubahan keterampilan petani pada periode(t-1) ke periode ke (t) ΔJPt(t-1) = Laju perubahan jumlah pelatihan teknis yang diikuti petani pada periode(t-1) ke periode ke (t) Untuk menentukan indikator risiko rantai pasok, digunakan hasil dari analisis dan mitigasi risiko RPGBKP pada bab sebelumnya. Berdasarkan analisis faktor-faktor risiko, terdapat risiko budidaya, mutu, harga dan pasokan pada pelaku petani. Agar hasil dari analisis prediksi ini dapat dimasukan ke dalam MDS untuk menentukan indeks berkelanjutan, dilakukan transformasi hasil analisis manajmen risiko rantai pasok ke skala ordinal. Transformasi menggunakan kategori risiko yang kemudian di inputkan ke dalam kategori risiko diberi skor (bilangan ordinal) antara 0-4. Secara lengkap transformasi nilai risiko RPGBKP ke skala ordanial dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Kategori pengelolaan risiko rantai pasok (PRRP) Kategori Rentang nilai indikator Jelek (J) 0 ≤PRRP<0.5 Kurang baik (Kb) 0.5≤PRRP<1 Agak Baik (Ab) 1≤PRRP<2 Baik (B) 2≤PRRP<3 Sangat tinggi (St) PRRP≥3
Skor 0 1 2 3 4
79 Pelaku pedagang pengepul Profit usaha Net profit atau keuntungan bersih pedagang pengepul merupakan variabel yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan pada rantai pasok kopi Gayo. Keuntungan pedagang pengepul dipengaruhi oleh nilai penjualan kopi HS (Rp/ton) dan biaya produksi (Rp/ton). Persamaan umum yang digunakan untuk melihat net profit pedagang pengepul (NetproPP) adalah sebagai berikut: NetproPP(t)=NP(t)- C(t)............................................................................................(30) Keterangan: NetproPP(t) = net profit pedagang pengepul pada periode(t) NP(t) = nilai penjualan kopi HS (Rp/ton) ke agroindustri periode(t) C(t) = biaya produksi (Rp/ton) pada periode(t) Selanjutya, nilai penjualan kopi HS tergantung dari volume produk kopi HS yang dihasilkan (ton) dan harga jual (Rp/ton), sedangkan biaya produksi adalah total biaya (Rp) yang dikeluarkan pedagang pengepul, untuk menghasilkan 1 ton kopi HS. Persamaan yang digunakan untuk melihat nilai penjualan dan biaya produksi kopi HS adalah: NP(t)= VP(t)*P(t), ................................................................................................(31) Keterangan: NP(t) = nilai penjualan pada periodet VPHS(t) = volume produk kopi HS (ton) pada periode(t) P(t) = harga jual kopi HS ke agroindustri (Rp) pada periode(t) Untuk dapat menentukan keberlanjutan RPGBKP pada pelaku pedagang pengepul maka dilakukan transformasi nilai kuantitatif yaitu keluaran dari sistem dinamis ke dalam bentuk skoring dengan skala ordinal, selanjutnya dikategorikan nilai indikator net profit pada pelaku pedagang pengepul. Setiap kategori diberikan nilai skor dengan tujuan agar dapat diagregasi dengan metode MDS. Kategori net profit pelaku petani dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Kategori net profit (NP) pelaku petani dan pedagang pengepul Kategori Rentang nilai indikator (Rp)* Skor Merugi (M) NP<500 000/bulan 0 Rendah (R) 500 000≤NP<1 juta/bulan 1 Sedang (S) 1 juta≤NP<3 juta/bulan 2 Agak tinggi (At) 3 juta≤NP<6 juta/bulan 3 Sangat tinggi (St) NP≥6 juta/bulan 4 Pemanfaatan pulp menjadi kompos Dalam proses produksi kopi Gayo, Salah satu aspek yang sangat penting dalam kerangka keberlanjutan pada dimensi lingkungan adalah pengendalian limbah pulp. Proses yang digunakan oleh pelaku di lokasi penelitian adalah pengolahan basah (wet processing). Dalam proses ini, pengupasan lapisan kulit buah (exocarp) dan sebagian besar daging buah (mesocarp) menghasilkan pulp kopi. Aspek ini menjadi penting, karena 60% dari total berat kopi adalah adalah pulp (Adam & Ghaly 2007; Novita 2012), selain itu limbah ini juga
80 berpotensi besar untuk menjadi pencemar lingkungan karena jika tidak ditangani, akan menyebabkan cemaran bau yang tidak menyenangkan dan menarik bagi lalat dan serangga. Komposisi pulp kopi terutama mengandung karbohidrat, protein, serat, lemak, kafein, polifenol, dan pektin (Witgens 2004). Apabila limbah organik ini dibuang ke sungai, proses dekomposisinya akan menyebabkan pencemaran terhadap ekosistem akuatik sehingga air sungai tidak lagi dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Pada negara-negara berkembang sebagai pengekspor utama kopi dunia seperti Brazi, Indonesia dan Vietnam, Sanchez et al. 1999, melaporkan pulp kopi umumnya dibuang tanpa ada perlakuan dan ditinggalkan begitu saja, dengan harapan proses degradasi terjadi secara alami tanpa adanya pengontrolan terhadap bau dan beban nutrien yang menjadi lindi (leachates). Proses degradasi alami terjadi selama 6 hingga 8 bulan hingga bahan organik yang ada stabil dan meninggalkan residu nitrogen tidak lebih dari 2% berat kering. Pengomposan merupakan salah satu teknologi yang dapat diterapkan untuk menangani kulit buah kopi, karena tidak membutuhkan investasi yang besar dan mampu menghasilkan pupuk berbahan organik tinggi. Pulp kopi dapat dimanfaatkan menjadi kompos. Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah untuk mempertahankan dan menambah kesuburan tanah pertanian. Karakteristik umum yang dimiliki kompos adalah: (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal; (2) menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas, (3) mempunyai fungsi utama memperbaiki kualitas kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah. Pulp kopi menghasilkan kompos bermutu lebih baik dibandingkan kulit kopi karena kandungan haranya yang lebih tinggi (Baon et al. 2005). Dalam penelitian ini, model penanganan limbah kopi (pulp) yang dibangun berupaya untuk merealisasikan penanganan limbah pulp menjadi kompos, dimana banyak manfaat yang didapat seperti peningkatan kesuburan tanah dan manfaat finansial, yaitu pengurangan biaya untuk pembelian pupuk anorganik. Setidaknya terdapat 2 faktor yang dipertimbangkan berkaitan dengan pengelolaan limbah, yaitu fasilitas yang tidak memadai dan rendahnya kesadaran pelaku terhadap masalah lingkungan. Purnomo (2012) menyatakan bahwa terbatasnya sarana dan fasilitas pengelolaan limbah dapat disebabkan oleh alokasi dana untuk pengadaan fasilitas pengolahan memang sangat rendah. Selama ini, pelaku pedagang pengepul tidak mempunyai anggaran khusus untuk mengelola limbah kopi (pulp). Di sisi lain, rendahnya pemahaman pelaku terhadap masalah lingkungan dapat ditingkatkan melalui pelatihan dengan kompetensi penanganan limbah, spesifik kepada pemanfataan pulp menjadi kompos, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua faktor ini yang menjadi driver dalam pemodelan penanganan limbah untuk keberlanjutan RPGBKP. Persamaan umum yang digunakan pada indikator ini adalah sebagai berikut: PK(t) = PP(t)*RDK(t) …………………………………………………….…....(32) Keterangan: PK(t) = Produksi kompos pada periode ke(t) PP(t) = Produksi pulp pada periode ke(t) RDK(t) = Nilai rendemen pengolahan kompos pada periode ke(t)=48%
81 Sedangkan produksi pulp sangat tergantung dari volume produksi buah kopi yang diusahakan oleh petani dan nilai rendemen pulp dari total produksi buah cherry. Persamaan umum produksi pulp (PP) dijabarkan sebagai berikut: PP(t) = VP(t)*RP(t) ……….……….....……………………………………..(33) Keterangan: PP(t) = Produksi pulp pada periode ke-t VP(t ) = Volume produksi buah kopi pada periode ke(t) RP(t) = Nilai rendemen pulp dari kopi cherry pada periode ke(t) Dalam penelitian ini, agar output model dapat diagregasi dengan teknik MDS untuk mendapatkan indeks berkelanjutan dilakukan transformasi output ke dalam skala ordinal yang secara lengkap disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Kategori pemanfaatan pulp menjadi kompos (PPK) Kategori Rentang nilai indikator Skor Rendah (R) 0 ≤PPK<5 ton/hari 0 Sedang (S) 5≤PPK<10 ton/hari 1 Agak tinggi (At) 10≤PPK<15 ton/hari 2 Sangat tinggi (St) PPK≥15 ton/hari 3 Keterampilan Keterampilan atau keterampilan pedagang pengepul menjadi adalah satu indikator keberlanjutan pada RPGBKP, karena aspek ini memiliki berpengaruh besar terhadap perbaikan kinerja pedagang pengepul dalam perspektif tujuan rantai pasok berkelanjutan, yaitu pemenuhan aspek mutu, jumlah dan timedelivery (Chopra dan Meindl 2007). Pengertian keterampilan pedagang pengepul dalam penelitian ini mengacu kepada bagaimana pedagang pengepul mampu meningkatkan mutu kopi HS yang dihasilkan, mengurangi penggunaan air dalam proses produksi, pemanfaatan pulp untuk kompos dan meningkatkan pengelolaan risiko rantai pasok. Pada penelitian ini variabel keterampilan pedagang pengepul juga berpengaruh kepada variabel lainnya dalam sistem rantai pasok kopi Gayo, seperti variabel pengelolaan risiko rantai pasok, efisiensi penggunaan air dan pola hubungan keterkaitan antar pelaku. Keterampilan pelaku dalam rantai pasok kopi Gayo berkaitan dengan pengalaman pelaku dalam proses bisnis, sehingga dapat dikatakan semakin bertambahnya waktu pelaku dalam proses bisnis, maka keterampilan pelaku semakin meningkat. Dengan asumsi dilakukan secara berkesinambungan. Persamaan umum yang digunakan dalam indikator keterampilan pedagang pengepul (SPP) adalah sebagai berikut: SPP(t) = ΔPgPPt(t-1)*ΔJPPt(T-1) ……….....……………………………………..(34) Keterangan: SP(t) = Keterampilan pedagang pengepul pada periode ke (t) ΔPgPPt(t-1) = Laju perubahan pengalaman pedagang pengepul menghasilkan ΔJPt(t-1)
kopi HS pada periodet-1 ke periode ke (t) = Laju perubahan jumlah pelatihan teknis yang diikuti pedagang pengepul pada periodet-1 ke periode ke (t)
Untuk dapat menentukan tingkat keberlanjutan RPGBKP pada indikator keterampilan pelaku pedagang pengepul (SPP), dilakukan transformasi nilai kuantitatif yaitu keluaran dari sistem dinamis ke dalam bentuk scoring dengan
82 skala ordinal, selanjutnya nilai kesejahteraan pelaku dikategorikan. Setiap kategori diberikan nilai skor dengan tujuan agar dapat diagregasi dengan metode MDS. Kategori keterampilan pelaku dalam rantai pasok disajikan Tabel 20. Tabel 20 Kategori keterampilan pedagang pengepul (SPP) rantai pasok kopi Gayo Kategori Rentang nilai indikator Skor Rendah (R) 1 ≤SPP 0 Sedang (S) 1≤SPP<1.5 1 Agak tinggi (At) 1.5≤SPP<2 2 Tinggai (T) 2≤SPP<2.5 3 Sangat tinggi (St) 2.5≥SPP 4 Pengelolaan risiko (risk management) rantai pasok Risiko adalah kemungkinan terjadinya sesuatu hal yang tidak baik (kerugian), yang diakibatkan adanya unsur ketidakpastian (Borje 2001). Dalam penelitian ini, aspek risiko rantai pasok menjadi salah satu parameter keberlanjutan pada RPGBKP. Tujuan dari pokok bahasan ini adalah para pelaku pedagang pengepul dapat mengetahui faktor-faktor risiko, melakukan analisis dan menyusun mitigasi risiko yang terdapat pada RPGBKP sehingga pengelolaan risiko rantai pasok lebih efektif. Persamaan umum yang digunakan dalam indikator risk management pada pelaku pedagang pengepul (RMPP) adalah sebagai berikut: RMPP(t) = ΔSPPt(t-1)*ΔJPPt(t-1) …………….…………………………….…...(35) Keterangan: RM(t) = Pengelolaan risko rantai pasok pada periode ke (t) ΔSP(t-1) = Laju perubahan keterampilan petani pada periode (t-1) ke periode ke (t) Δ JPt(t-1) = Laju perubahan jumlah pelatihan teknis yang diikuti petani pada periode(t-1) ke periode ke (t) Untuk menentukan indikator risiko rantai pasok, digunakan hasil dari analisis dan mitigasi risiko RPGBKP pada bab sebelumnya. Berdasarkan analisis faktor-faktor risiko, terdapat risiko budidaya, mutu, harga dan pasokan pada pelaku petani. Agar hasil dari analisis prediksi ini dapat dimasukan ke dalam MDS untuk menentukan indeks berkelanjutan, dilakukan transformasi hasil analisis manajmen risiko rantai pasok ke skala ordinal. Transformasi menggunakan kategori risiko yang kemudian di inputkan ke dalam kategori risiko diberi skor (bilangan ordinal) antara 0-4. Secara lengkap transformasi nilai risiko pelaku pedagang pengepul RPGBKP ke skala ordanial dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Kategori pengelolaan risiko rantai pasok (PRRP) Kategori Rentang nilai indikator Jelek (J) 0 ≤PRRP<0.5 Kurang baik (Kb) 0.5≤PRRP<1 Agak Baik (Ab) 1≤PRRP<2 Baik (B) 2≤PRRP<3 Sangat tinggi (St) PRRP≥3
Skor 0 1 2 3 4
83 Pelaku Agroindustri Profit usaha Net profit atau keuntungan bersih pelaku agroindustri atau eksportir merupakan variabel yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan pada rantai pasok kopi Gayo. Keuntungan agroindustri dipengaruhi oleh nilai penjualan green bean (Rp/ton) dan biaya produksi (Rp/ton). Persamaan umum yang digunakan untuk melihat net profit pelaku agroindustri adalah sebagai berikut: NetproAgr(t)=NPgb(t)- C(t).........................................................................................(36) Keterangan: NetproPP(t) = net profit usaha agroindustri periodet NPgb(t) = nilai penjualan green bean (Rp/ton) ke importir periode (t) C(t) = biaya produksi green bean (Rp/ton) pada periode(t) Selanjutnya, nilai penjualan green bean tergantung dari volume produk green bean yang dihasilkan (ton) dan harga jual (Rp/ton), sedangkan biaya produksi adalah total biaya (Rp) yang dikeluarkan agroindustri untuk menghasilkan 1 ton green bean. Persamaan yang digunakan untuk melihat nilai penjualan pelaku agroindustri (NPAgr) dan biaya produksi green bean adalah: NPAgr(t)= VPgb(t)*Pgb(t), .....................................................................................(37) Keterangan: NPAgr(t) = nilai penjualan pada periodet VPgb(t) = volume produksi green bean (ton) pada periode(t) Pgb(t) = harga jual green bean ke importir (Rp) pada periode(t) Untuk dapat menentukan keberlanjutan RPGBKP pada pelaku agroindustri dilakukan transformasi nilai kuantitatif yaitu keluaran dari sistem dinamis ke dalam bentuk skoring dengan skala ordinal, selanjutnya dikategorikan nilai indikator net profit pada pelaku agroindustri. Setiap kategori diberikan nilai skor dengan tujuan agar dapat diagregasi dengan metode MDS. Kategori net profit pelaku agroindustri dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Kategori net profit (NP) agroindustri Kategori Rentang nilai indikator (Rp)* Skor Merugi (M) NP<50 juta/bulan 0 Rendah (R) 50 juta≤NP<100 juta/bulan 1 Sedang (S) 100 juta≤NP<300 juta/bulan 2 Agak tinggi (At) 300 juta≤NP< 500 juta/bulan 3 Sangat tinggi (St) NP≥500 juta/bulan 4 Keterampilan managerial Keterampilan atau keterampilan pada pelaku agroindustri menjadi adalah satu indikator keberlanjutan pada RPGBKP, karena aspek ini memiliki berpengaruh besar terhadap perbaikan kinerja pelaku agroindustri. Pengertian keterampilan pada pelaku ini mengacu kepada bagaimana pihak agroindustri mampu mengurangi cacat (defect) pada green bean yang dihasilkan, meningkatkan harga jual, meningkatkan pengelolaan risiko rantai pasok dan meningkatkan pendapatan karyawan.
84 Pada penelitian ini variable managerial keterampilan pelaku agroindustri berpengaruh kepada variable lainnya dalam sistem rantai pasok kopi Gayo, seperti variabel pengelolaan risiko rantai pasok, pola hubungan keterkaitan antar pelaku dan meningkatkan harga jual green bean. Keterampilan pelaku agroindustri dalam rantai pasok kopi Gayo berkaitan dengan pengalaman pelaku dalam proses bisnis, sehingga dapat dikatakan semakin bertambahnya waktu pelaku dalam proses bisnis, maka keterampilan pelaku semakin meningkat. Dengan asumsi dilakukan secara berkesinambungan. Persamaan umum yang digunakan dalam indikator managerial keterampilan (SAgr) adalah sebagai berikut: MSAgr(t) = ΔPgAgr(t-1)*ΔJPAgr(t-1) ………………………………...………..........(38) Keterangan: MSAgr(t) = Keterampilan manajerial agroindustri pada periode ke-t ΔPgAgr(t-1) = Laju perubahan pengalaman agroindustri dalam menggelola bisnis ada periode(t-1) ke periode ke (t) Δ JPAgr(t -1) = Laju perubahan jumlah pelatihan teknis yang diikuti agroindustri pada periode(t-1) ke periode ke (t) Untuk dapat menentukan tingkat keberlanjutan RPGBKP pada indikator managerial keterampilan pelaku agroindustri (MSAgr), dilakukan transformasi nilai kuantitatif yaitu keluaran dari sistem dinamis ke dalam bentuk scoring dengan skala ordinal, selanjutnya nilai manajerial keterampilan pelaku dikategorikan. Setiap kategori diberikan nilai skor dengan tujuan agar dapat diagregasi dengan metode MDS. Kategori managerial keterampilan pelaku dalam rantai pasok disajikan Tabel 23. Tabel 23 Kategori keterampilan agroindustri RPGBKP Kategori Rentang nilai indikator Rendah (R) 1 <MSAgr Sedang (S) 1≤MSAgr<1.5 Agak tinggi (At) 1.5≤MSAgr<2 Tinggai (T) 2≤MSAgr<2.5 Sangat tinggi (St) 2.5≥MSAgr
Skor 0 1 2 3 4
Telaah variabel model probabilistik Secara operasional keberlanjutan RPGBKP dimasa yang akan datang dihadapkan kepada kondisi ketidakpastian (uncertainty stated) terhadap beberapa variable model yang digunakan. Dalam pengembangan model, kondisi tersebut diakomodir melalui pembangkitan bilangan acak berdasarkan jenis distribusi stokastiknya. Dalam penelitian ini beberapa variabel model yang bersifat stokastik adalah harga jual biji kopi. Dengan adanya variabel yang bersifat stokastik tersebut, model dapat melakukan simulasi berkelanjutan secara dinamis stokastik sehingga output model yang diperoleh diharapkan mempunyai akurasi prediksi yang lebih baik dalam pengertian mendekati kondisi nyata. Sifat stokastik pada variable harga jual mengacu kepada dinamika unsurunsur pembentuk struktur harga produk kopi, seperti kondisi stok produk di negara pembeli (buyer), pasokan dari Negara-negara lain pengekspor kopi arabika seperti Brazil dan Vietnam, periode musim panen. Terjadinya fluktuasi harga berdampak sangat besar terhadap biaya produksi kopi pada masing-masing pelaku,
85 karena perubahan harga jual produk ekspor kopi biji (green bean) menyebabkan dinamika pada harga bahan baku pada masing-masing pelaku yang merupakan komponen terbesar dalam sistem produksi kopi Gayo. Perkembangan harga kopi Gayo (cherry, HS dan green bean) dapat dilihat pada Gambar 35. H a r g a
80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000
( )
R p
10000 0 Jan Mar Mei Jul Sept Des Peb Aprl Jun Agst Nop Jan Mar Mei 2011
2012
2013
Gambar 35 Perkembangan harga kopi Gayo pelaku agroindustri ( ), pedagang pengepul ( ), petani ( ) Untuk menentukan distribusi probabilitas yang sesuai bagi variabel harga jual kopi Gayo, dilakukan pengujian goodness of fit menggunakan perangkat lunak Minitab. Statistik uji yang digunakan adalah Kolmogorov-Smirnov (KS). Parameter yang diamati adalah nilai KS dan p-value pada selang kepercayaan 95%. Apabila nilai p-value melebihi 5%, dapat dinyatakan bahwa variabel harga jual yang diamati mengikuti sebaran yang dimaksud. Semakin kecil nilai KS-stat mengindikasikan bahwa suatu jenis distribusi probabilitas semakin sesuai bagi variabel yang diuji. Hasil pengujian distribusi probabilitas disajikan pada Tabel 23. Tabel 24 Hasil pengujian distribusi probabilitas variable harga jual kopi Gayo Variabel
Distribusi probabilitas
KS-Stat
P-Value
Makna
Harga jual green bean agroindustri
Normal
0.130
0.150
Data mengikuti distribusi normal
Harga jual kopi HS pedagang pengepul
Normal
0.131
>0.150
Data mengikuti distribusi normal
Harga jual cherry petani
Normal
0.109
>0.150
Data mengikuti distribusi normal
Berdasarkan hasil pengujian diperoleh bahwa variabel harga jual kopi pada masing-masing pelaku mengikuti pola distribusi normal, model yang dirancang menggunakan distribusi probabilitas normal.
86 Pengujian stabilitas model Verifikasi model Verifikasi model bertujuan untuk memastikan bahwa model yang dihasilkan telah sesuai dengan kerangka logis pekerjaan, sehingga dapat berfungsi sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Setiap sub model yang terdapat pada model sistem dinamis diverifikasi dengan cara menguji apakah model yang dibangun dapat berfungsi dengan baik dan benar. Verifikasi model dilakukan dengan pengecekan secara dimensional (satuan ukuran) terhadap variabel-variabel model meliputi level, rate, dan konstanta terhadap data sekunder, mengetahui ketepatan penggunaan metode integrasi dan time step yang dipilih, serta meminta stakeholder untuk mengevaluasi model yang dibuat. Pada penelitian proses verifikasi model dilakukan dengan cara mencek logika model yang dibangun dan persamaan matematik yang digunakan. Hasil verifikasi terhadap seluruh sub model menunjukkan bahwa model telah dapat diimplementasikan dengan baik dan menghasilkan keluaran sesuai dengan output yang diharapkan. Hasil-hasil implementasi tersebut mengindikasikan bahwa model telah terverifikasi dengan baik dan menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah dalam menerjemahkan model konsepsional ke dalam model matematik. Hal ini menunjukkan bahwa model telah sesuai dengan kerangka logika dan mampu melakukan simulasi dengan menggunakan program komputer. Validasi model Pada bagian akhir adalah melakukan validasi dari model yang dibangun, yaitu sejauh mana model dapat merepresentasikan sistem. Validasi model dilakukan sesuai dengan tujuan pemodelan yaitu dengan membandingkan perilaku dinamis model dengan kondisi sistem nyata. Dalam penelitian ini validasi model dilakukan secara konseptual dan operasional, cara yang ditempuh mencakup dua tahapan yaitu: 1) Face validity yaitu meminta bantuan ahli untuk menilai apakah logika konseptual model dan hasil yang dicapai telah dianggap mewakili sistem nyata, 2) Pengujian stabilitas model dan perilaku kuantitatif model (operasional) dengan sistem nyata (quantitative behaviour pattern comparison) yang mengacu kepada Sargent (1997). Validasi dengan teknik face-validity Pada teknik face-validity model divalidasi oleh beberapa narasumber ahli (expert) yang berasal dari praktisi dan akademisi industri kopi Gayo yang berasal dari Balai Besar Pasca Panen Badan Litbang Pertanian dan Agroindustri kopi Gayo yaitu dari KBQ Baburayaan, Takengon, Kabupaten Aceh Tengah. Validasi dilakukan dengan memberikan penjelasan mengenai model yang telah dihasilkan mencakup komponen model, logika, asumsi, mekanisme dan keluaran model melalui diskusi mendalam dengan narasumber ahli. Unsur yang menjadi penilaian para narasumber ahli (expert) adalah tingkat logika model, tingkat akurasi dan kegunaan model. Hasil validasi menunjukkan bahwa model yang dihasilkan cukup akurat dan mempunyai kegunaan yang besar bagi para pelaku agroindustri teri nasi dan pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan. Validasi juga dilakukan terhadap output model yang direpresentasikan dengan nilai indeks keberlanjutan dari RPGBKP. Validasi ini dilakukan untuk
87 mengetahui apakah kesimpulan mengenai tingkat keberlanjutan yang diperoleh model sesuai dengan kondisi yang dialami pelaku RPGBKP yang dilihat dari dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Hasil wawancara dengan beberapa narasumber menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh model menunjukkan adanya kesesuaian dengan kondisi yang dihadapi pelaku bisnis RPGBKP. Validasi perilaku kuantitatif model dengan sistem nyata Pengujian ini bertujuan untuk menilai apakah keluaran kuantitatif model menunjukkan hasil yang bersesuaian dengan sistem nyata. Keluaran yang bersesuaian ditunjukkan dengan nilai simpangan yang tidak jauh berbeda. Semakin rendah perbedaannya menunjukkan bahwa semakin tinggi validitas model. Pengujian kuantitatif ini dilakukan untuk memperkuat hasil validasi sebelumnya. Pengujian dilakukan terhadap sejumlah variabel yang dapat diamati (observable system), sedangkan variabel yang mempunyai pola hubungan kompleks sehingga tidak dimungkinkan pengujiannya secara kuantitatif divalidasi menggunakan teknik face validity dan pengujian perilaku struktur model. Apabila model telah dianggap valid, selanjutnya model ini dapat dipergunakan sebagai wakil sistem nyata. Pengujian ini dilakukan dengan pembandingan tingkah laku (behavior) model dengan sistem nyata (quantitative behaviour pattern comparison) yaitu dengan uji MAPE (mean absoulute percentace error). Pada dasarnya MAPE adalah salah satu ukuran relatif yang menyangkut kesalahan dalam persentase (Hyndman dan Kohler 2006). Pengujian dilakukan terhadap beberapa parameter model yaitu: volume produksi buah kopi (cherry)/tahun pada pelaku petani, volume produksi kopi HS/tahun pada pedagang pengepul dan volume produksi kopi biji (green bean) pada agroindustri. Selain itu parameter uji pada seluruh pelaku dalam sistem rantai pasok kopi Gayo berupa tingkat keuntungan (Rp/tahun). Uji ini dapat digunakan untuk mengetahui kesesuaian data hasil prakiraan dengan data aktual, dengan formula sebagai berikut:
……………………………………………………………………….…………(39) Keterangan: Xm = data hasil simulasi Xd = data aktual n = periode/banyaknya data Berdasarkan Kriteria ketepatan model dengan uji MAPE (Lomauro dan Bakshi, 1985 di dalam Somantri 2005) adalah sebagai berikut: 1. MAPE < 5% : sangat tepat 2. 5% < MAPE < 10% : tepat 3. MAPE > 10% : tidak tepat Hasil pengujian (Tabel 24) menunjukkan bahwa ketiga parameter uji mempunyai nilai MAPE yang relatif rendah, kecuali volume produksi 11.15, sedangkan nilai MAPE untuk parameter uji lainnya nilainya berada pada kisaran 4.95 sampai 10.54% atau relatif tepat. Semakin tinggi kompleksitas parameter uji, maka nilai MAPE akan cenderung semakin besar, sehingga statistik uji MAPE ini sebenarnya tidak ditujukan untuk menilai parameter uji dengan karakteristik
88 seperti ini. Hasil pengujian terhadap sejumlah parameter uji menunjukkan bahwa secara umum model yang dirancang mempunyai tingkat keyakinan yang lebih baik. Tabel 25 Validasi kinerja model Parameter uji Pelaku petani: 1. Harga jual buah kopi 2. Volume produksi buah kopi Pelaku pedagang pengepul: 1. Harga jual kopi HS 2. Volume produksi kopi HS Pelaku agroindustri: 1. Harga jual green bean 2. Volume produksi
MAPE (%)
10.54
11.15 5.34 4.95
Berdasarkan Tabel 26 dapat dilihat bahwa hasil pengujian parameter uji menunjukan bahwa nilai MAPE secara umum berada di bawah 10%, kecuali parameter volume produksi kopi HS yang dihasilkan oleh pedagang pengepul yang berada di atas 10%. Pada dasarnya semakin tinggi nilai MAPE maka tingkat kompleksitas uji parameter semakin besar, sehingga Hyndman dan Kohler (2006) berpendapat bahwa statistik uji MAPE ini sebenarnya tidak ditujukan untuk menilai parameter uji dengan karakteristik seperti ini. Secara keseluruhan, hasil pengujian terhadap sejumlah parameter uji menunjukkan bahwa secara umum model yang dirancang mempunyai tingkat keyakinan yang baik.
VII HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam kajian ini informasi awal yang disampaikan adalah bagaimana keberlanjutan pada RPGBKP (state of the condition). Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui kondisi terkini RPGBKP, apakah telah memenuhi indikator-indikator dalam analisis berkelanjutan. Setelah diketahui kondisi terkini RPGBKP, kemudian secara berurutan dilakukan rekayasa (engineering system) pada masing-masing indikator berkelanjutan (dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan). Kondisi awal RPGBKP Masalah faktual pada RPGBKP Provinsi Aceh adalah pemenuhan bahan baku, karena dalam satu tahun produksi kopi berkisar enam sampai delapan bulan (umumnya Bulan Oktober-Juni), walaupun terdapat musim panen raya yaitu pada Bulan Desember sampai Januari), sedangkan permintaan kopi biji yang diterima pabrik cenderung stabil (Silitonga 2008). Kapasitas pemenuhan bahan baku memegang peranan sangat penting dalam pengukuran kinerja produksi karena menyangkut kecepatan respon terhadap permintaan konsumen yang diwujudkan dalam fleksibilitas, lead times dan kemampuan penyampaian produk secara kualitas maupun kuantitas (Jodlbauer 2008). Selain itu, pada dimensi ekonomi masalah utama adalah distribusi keuntungan yang lebih berpihak kepada eksportir dan pedagang pengumpul, dibandingkan dengan petani, padahal petani yang memiliki risiko terbesar dalam sistem usaha kopi Gayo. Silitonga (2008), melaporkan bahwa margin yang didapatkan oleh petani sebesar Rp1 587/kg, pedagang pengumpul Rp 363/kg dan eksportir Rp21 916/kg. Kondisi RPGBKP berkelanjutan terkini Rantai pasok mempunyai peran yang sangat besar dalam pembangunan pertanian di Indonesia, terutama dalam rangka mentransformasikan struktur perekonomian nasional serta dari dominasi sektor pertanian ke sektor industri. Sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development), RPGBKP seharusnya mengacu kepada kriteria pembangunan berkelanjutan yaitu pada keberlanjutan aktifitas manusia (bisnis) dalam sistem pertanian kopi Gayo. Untuk menjamin keberlanjutan RPGBKP membutuhkan alat analisis (tools) yang mampu melakukan penilaian dan menjadi panduan bagi pemegang kebijakan atau stakeholder terkait. Kerangka penilaian keberlanjutan merupakan salah satu alat bantu untuk melakukan evaluasi terhadap keberlanjutan suatu aktivitas (Allahyari 2010). Kerangka ini disusun berdasarkan paradigma pembangunan berkelanjutan yang dicetuskan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio De Jainero (Brazil) pada tahun 1992 yang selanjutnya melahirkan agenda pembangunan berkelanjutan abad ke-21. Beberapa kerangka metodologi telah diidentifikasi untuk mengukur keberlanjutan di bidang pertanian ataupun masyarakat hingga ke tingkat kabupaten (district) dan kecamatan (sub-district). Meskipun untuk berbagai kerangka keberlanjutan tersebut masih terdapat perbedaan dimensi dan
90 karakteristik sistem pertanian berkelanjutan yang diusulkan sebagai indikator penilaian keberlanjutan. Maksud dari pengukuran kondisi berkelanjutan RPGBKP pada kajian ini adalah untuk melakukan evaluasi tingkat keberlanjutan rantai pasok berdasarkan dimensi yang dikaji yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan, dimana pada masingmasing dimensi tersebut memiliki atribut, sehingga dapat diketahui status berkelanjutan RPGBKP saat ini dan selanjutnya dilakukan rekayasa dengan pendekatan sistem untuk meningkatkan status berkelanjutan tersebut. Nilai indikator yang digunakan untuk melakukan evaluasi tingkat keberlanjutan RPGBKP pada saat ini (statis) adalah nilai hasil dari analisis keberlanjutan multidimensi dengan menggunakan teknik multi-dimensional scaling (MDS). Hasil penilaian ini digunakan sebagai pembanding dengan hasil prediksi keberlanjutan setelah dilakukan rekayasa pada atribut-atribut, pada masingmasing dimensi, apakah keberlanjutannya lebih buruk atau semakin baik. Secara lengkap indikator berkelanjutan pada RPGBKP dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Atribut keberlanjutan RPGBKP No.
Dimensi
1.
Ekonomi
2.
3.
4.
Atribut
a. b. c. d. Sosial a. b. c. d. Lingkungan a. b. c. Sumberdaya a. b. c. d.
Distribusi keuntungan Net profit Risiko rantai pasok Akses pasar Keterampilan pelaku Pola hubungan keterkaitan antar pelaku Kelembagaan Hak-hak dasar Pemanfaatan limbah padat Budidaya organik Efisiensi penggunaan air Ketersediaan bahan baku Kecukupan bahan baku Mutu bahan baku Daya dukung lahan
Nilai 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 1 2
Berdasarkan hasil analsis MDS (agregat) didapatkan status berkelanjutan RPGBKP berada pada sebesar nilai 33.53 dengan kategori status kurang berkelanjutan. Makna dari hasil ini secara keseluruhan bahwa, secara bisnis struktur rantai pasok kurang berlanjut sebagai akibat masih rendahnya penerapan proses bisnis yang adil diantara para pelaku, terutama profit yang didapat dan pemenuhan mutu yang masih belum maksimal. Selain itu pada aspek sosial pihak yang terlibat belum mampu memenuhi hak-hak dasar, pola hubungan keterkaitan antar pelaku, sedangkan aspek lingkungan terutama pada masih tingginya penggunaan air dalam satu siklus produksi. Status keberlanjutan RPGBKP secara agregat dapat dilihat pada Gambar 36.
91
Gambar 36 Diagram layang status berkelanjutan RPGBKP Berdasarkan Gambar 36 terlihat bahwa, masing-masing dimensi menunjukan status kurang berlanjut (less sustainable) dengan nilai masing-masing 38.44 (ekonomi), 35.31 (sosial), 36.99 (lingkungan) dan 38.78 (sumberdaya), hal ini menunjukkan bahwa untuk menjamin keberlanjutan proses bisnis kopi Gayo, diperlukan rekayasa terutama pada dimensi sosial dan lingkungan, secara spesifik Adam dan Ghaly (2007) serta Novita (2012) pada aspek pemenuhan hak-hak dasar misalnya kesehatan dan keamanan serta efisiensi penggunaan air dan peningkatan daya dukung lahan, sementara itu Murthy dan Naidu (2012) lebih menekankan pada aspek pemanfaatan by-product dari industri kopi seperti kulit kopi (pulp, husk dan silver skin) menjadi produk yang memiliki nilai seperti etanol, biogas, kompos, pakan ternak, asam sitrat dan antosianin. Status keberlanjutan dimensi ekonomi pada RPGBKP Keberlanjutan dimensi ekonomi merupakan salah satu persyaratan terhadap kontinuitas suatu aktivitas rantai pasok, dalam hal ini adalah RPGBKP, sehingga dimensi ini menjadi hal yang sangat penting dalam pendekatan pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan dimensi ekonomi dalam rantai pasok tidak hanya merupakan upaya penjagaan aktivitas rantai pasok tetapi lebih merupakan upaya penjagaan sistem produksi bagi entitas yang terlibat, kebutuhan sosial dan lingkungan komunitas masyarakat Dataran Tinggi Gayo, sehingga masyarakat kawasan ini memiliki lebih banyak kesempatan untuk melakukan aktivitas bisnis kopi mereka. Pada penelitian ini dimensi ekonomi di bagi menjadi beberapa atribut yang didapatkan dari hasil identifikasi sistem melalui wawancara dengan pakar. Secara lengkap atribut dan skor masing-masing atribut dalam dimensi ekonomi disajikan pada Tabel 27. Berdasarkan hasil analisis rap-cofee pada dimensi ekonomi menunjukkan nilai indeks berkelanjutan sebesar 38.44 (kurang berlanjut) pada skala 0-100 (Gambar 37), dengan nilai stress 0.18 dan R2 0.93, kedua nilai ini menunjukkan bahwa goodness of fits dalam analisis MDS yang mengukur seberapa tepat konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya (Pitcher & Preikshot 2001).
92 Tabel 27 Hasil penilaian dimensi ekonomi pada RPGBKP No.
Atribut
1. 2. 3. 4.
Distribusi keuntungan Net Profit Risiko rantai pasok Akses pasar
Nilai 1 2 2 2
Kategori sangat tidak adil merugi agak rendah agak rendah
Secara umum hasil nilai stress ini sudah dianggap memadai karena nilainya lebih kecil dari 0.25 yang merupakan ambang batas kebaikan dari suatu nilai stress, sedangkan nilai R2 (koefesien diterminasi) menunjukkan bahwa atribut yang digunakan dalam model secara umum dapat menerangkan perilaku model dari sistem yang kaji. Pada kajian ini nilai R 2 adalah sebesar 0.93, pada analisis MDS nilai ini sudah dianggap baik karena semakin mendekati 1, sehingga dapat dikatakan atribut yang dikaji dapat menerangkan perilaku model sebesar 93%.
Gambar 37 Indeks berkelanjutan dimensi ekonomi Merujuk kepada hasil analisis MDS yang menjunjukkan status agak berkelanjutan, pada kajian ini indeks berkelanjutan dimensi ekonomi mencakup atribut kritis yaitu distribusi keuntungan yang belum mencerminkan keadilan, dimana pihak eksportir memiliki keuntungan yang sangat besar dengan risiko yang relatif kecil, sementara pihak petani memiliki keuntungan yang lebih kecil padahal nilai risiko yang ditanggung relatif besar, hal ini sesuai dengan penelitian Suharjito dan Marimin (2012) yang menyatakan bahwa pada umumnya dalam struktur rantai pasok pertanian (agri-supply chain), pihak petani menjadi pihak yang paling sedikit mendapatkan keuntungan (berkisar 20-30% dari total marjin keuntungan) padahal dengan risiko yang paling besar (mencapai 80%), sehingga diperlukan mekanisme yang dapat menyeimbangkan rasio keuntungan pada struktur RPGBKP, sementara itu Meuwissen et al. (2001); Moon et al. (2011) menyatakan bahwa hal terbaik selain menyeimbangkan risiko adalah dengan jalan masing-masing aktor mengakomodir (nilai tambah) risiko total yang terdapat dalam rantai pasok pertanian yang diwujudkan dalam kontrak tani. Secara parsial dalam analisis laverage (Gambar 38) untuk dimensi ekonomi, atribut distribusi keuntungan yang berkeadilan dalam struktur RPGBKP memiliki skor tertinggi yaitu 2.92 diikuti oleh atribut mutu produk (1.14), net profit (0.17) dan akses pasar (0.06). Dalam hal ini, pola distribusi keuntungan sangat mempengaruhi keberlanjutan sistem RPGBKP. Saat ini distribusi
93 keuntungan dalam RPGBKP belum memenuhi keadilan dalam arti skala bisnis pada masing-masing tier (petani, pedagang pengepul, agroindustri dan eksportir). Selain itu atribut yang tak kalah penting adalah mutu. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam struktur rantai pasok umumnya para pemasok belum bisa memenuhi spesifikasi mutu, terutama dalam hal petik merah pada kopi gelondongan (coffee buahi) dan tingginya cemaran logam serta kadar air yang sesuai dengan SNI 01-2907 tentang mutu kopi biji (green bean), sehingga diperlukan usaha dari pelaku (aktor) agar para pekerja panen dapat melakukan praktik petik merah. Leverage of Attributes
0.06
Attribute
Akses pasar
1.14
Risiko Profit rantai marjin pasok
0.71
Net profit
2.92
Distribusi keuntungan
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Gambar 38 Analisis laverage dimensi ekonomi Status keberlanjutan dimensi sosial pada RPGBKP Keberlanjutan dimensi sosial merupakan hal mutlak untuk mencapai RPGBKP berkelanjutan. Dimensi sosial berhubungan erat dengan masalahmasalah sosial yang terjadi secara langsung (internal) maupun tidak langsung (eksternal) dari struktur bisnis kopi Gayo. Pada kajian ini dimensi sosial mencakup beberapa atribut yang didapat dari hasil identifikasi melalui wawancara mendalam dengan para pakar. Secara lengkap atribut dimensi sosial pada RPGBKP dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Hasil penilaian dimensi sosial pada RPGBKP No.
Atribut
1. 2.
Keterampilan pelaku Pola hubungan keterkaitan antar pelaku Kelembagaan Hak-hak dasar
3. 4.
Nilai
Kategori
2 1
sangat tidak terampil sangat rendah sekali
2 1
agak rendah sangat rendah
Berdasarkan hasil analisis rap-cofee pada dimensi sosial menunjukkan nilai indeks berkelanjutan sebesar 35.31 (kurang berlanjut) pada skala 0-100 (Gambar 39), dengan nilai stress 0.18 dan R2 0.94, kedua nilai ini menunjukkan bahwa goodness of fits dalam analisis MDS yang mengukur seberapa tepat konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya (Pitcher dan
94 Preikshot 2001). Secara umum hasil nilai stress ini sudah dianggap memadai karena nilainya lebih kecil dari 0.25 yang merupakan ambang batas kebaikan dari suatu nilai stress, sedangkan nilai R2 (koefesien diterminasi) menunjukkan bahwa atribut yang digunakan dalam model secara umum dapat menerangkan perilaku model dari sistem yang kaji. Pada kajian ini nilai R 2 adalah sebesar 0.94, pada analisis MDS nilai ini sudah dianggap baik karena semakin mendekati 1, sehingga dapat dikatakan atribut yang dikaji dapat menerangkan perilaku model sebesar 94%.
Gambar 39 Indeks berkelanjutan dimensi sosial Secara parsial dalam analisis laverage (Gambar 40) untuk dimensi sosial, atribut aspek pola hubungan antar pelaku dalam struktur RPGBKP memiliki skor tertinggi yaitu 3.36 diikuti oleh peningkatan keterampilan pelaku (2.98), hak-hak dasar (2.48) dan kelembagaan (1.70). Dalam hal ini, pola hubungan antar pelaku ternyata sangat mempengaruhi keberlanjutan sistem rasok. Pengertian pola hubungan antar pelaku pada penelitian ini adalah, dalam melaksanakan proses bisnis hubunghan antar pelaku yang terlibat dalam sistem RPGBKP telah terkelola dengan baik dalam suatu wadah. Secara kultur, pelaku utama dalam sistem RPGBKP adalah etnis Gayo yang memiliki kearifan lokal terhadap sesama pelaku bisnis, dalam hal ini adalah adanya ikatan sosial yang menjembatani antar pelaku. Pada aspek keterampilan pelaku, memiliki pemahaman bahwa dalam pelaksanaan sistem bisnis pada RPGBKP yang berkelanjutan aspek keterampilan pelaku sangat berpengaruh terhadap keberhasilan RPGBKPB. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan pelaku sangat berpengaruh terhadap beberapa parameter yang digunakan pada analisis selanjutnya, seperti pengelolaan risiko rantai pasok dan pemanfaatan pulp menjadi kompos. Giovanuchii dan Potts (2008) menyatakan salah satu faktor penting dalam pelaksanaan proses bisnis pada komoditi kopi adalah secara teknis para pelaku memiliki keterampilan yang cukup untuk dapat menggelola parameter penting dalam kegiatan bisnis. Di lain pihak, Raynold (2009) berpendapat bahwa pemenuhan aspek tersebut pada negara penghasil kopi (negara berkembang seperti Indonesia) belum sepenuhnya memadai, dengan kata lain para pengambil kebijakan belum sepenuhnya peduli tehadap peningkatan keterampilan pelaku.
95
Leverage of Attributes Pola hubungan antar pelaku
3.36
Attribute
Hak-hak dasar
2.48
Keterampilan pelaku
2.98
1.70
Kelembagaan 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Gambar 40 Analisis laverage dimensi sosial Status keberlanjutan dimensi lingkungan pada RPGBKP Keberlanjutan dimensi lingkungan merupakan hal mutlak untuk mencapai RPGBKP berkelanjutan. Dimensi lingkungan berhubungan erat dengan masalah-masalah lingkungan yang terjadi secara langsung pada proses produksi dalam struktur bisnis kopi Gayo (farm to the table). Dalam kajian ini dimensi lingkungan mencakup beberapa atribut yang didapat dari hasil identifikasi melalui wawancara pakar. Secara lengkap atribut dimensi lingkungan pada RPGBKP dapat dilihat pada Tabel 29. Berdasarkan hasil analisis rap-cofee pada dimensi lingkungan menunjukkan nilai indeks berkelanjutan sebesar 36.99 (kurang berlanjut) pada skala 0-100 (Gambar 41), dengan nilai stress 0.183 dan R2 0.94, kedua nilai ini menunjukkan bahwa goodness of fits dalam analisis MDS yang mengukur seberapa tepat konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya (Pitcher dan Preikshot 2001). Secara umum hasil nilai stress ini sudah dianggap memadai karena nilainya lebih kecil dari 0.25 yang merupakan ambang batas kebaikan dari suatu nilai stress, sedangkan nilai R2 (koefesien diterminasi) menunjukkan bahwa atribut yang digunakan dalam model secara umum dapat menerangkan perilaku model dari sistem yang kaji. Pada kajian ini nilai R 2 adalah sebesar 0.94, pada analisis MDS nilai ini sudah dianggap baik karena semakin mendekati 1, sehingga dapat dikatakan atribut yang dikaji dapat menerangkan perilaku model sebesar 94%. Tabel 29 Hasil penilaian dimensi lingkungan pada RPGBKP No.
Atribut
1. 2. 3.
Efisiensi penggunaan air Budidaya organik Pemanfaatan kulit kopi
Nilai 1 2 2
Kategori sangat boros sangat rendah agak rendah
96
Gambar 41 Indeks berkelanjutan dimensi lingkungan Secara parsial dalam analisis laverage (Gambar 42) untuk dimensi lingkungan, atribut efisiensi penggunaan air dalam struktur RPGBKP memiliki skor tertinggi yaitu 5.24 diikuti oleh peningkatan budi daya organik (2.64), dan pemanfataan limbah kulit kopi (1.09). Dalam hal ini, atribut efisiensi penggunaan air sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem RPGBKP. Pengertian efisiensi penggunaan air pada penelitian ini merujuk kepada masih tingginya penggunaan air selama proses produksi. Berdasarkan observasi lapang diperlukan 6-7 m3 untuk menghasilkan 1 ton kopi biji, sedangkan pemanfaatan limbah padat berupa kulit kopi (pulp) berhubungan dengan masih rendahnya pemanfaatan kulit kopi oleh pelaku terutama petani dan pedagang pengepul. Mutrhy dan Naidu (2012) menyatakan bahwa limbah ikutan (by product) yang dihasilkan dari industri kopi seperti limbah kulit kopi dapat dimanfaatakan menjadi produk yang memiliki nilai tinggi seperti memproduksi jamur (mushroom), asam sitrat, kompos, etanol, komponen bio-aktif, serat dan bio-gas. Leverage of Attributes 5.24
Attribute
Efisiensi penggunaan air
2.64
Budidaya organik
1.09
Pemanfaatan limbah padat
0
1
2
3
4
5
6
Gambar 42 Analisis laverage dimensi lingkungan Status keberlanjutan dimensi sumberdaya pada RPGBKP Keberlanjutan dimensi sumberdaya merupakan hal mutlak untuk mencapai RPGBKP berkelanjutan. Dimensi sumberdaya berhubungan erat dengan masalah-masalah ketersediaan dan mutu bahan baku serta daya dukung lahan. Dalam kajian ini dimensi sumberdaya mencakup beberapa atribut yang didapat
97 dari hasil identifikasi melalui wawancara pakar. Secara lengkap atribut dimensi sumberdaya pada RPGBKP dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 Hasil penilaian dimensi sumberdaya pada RPGBKP No.
Atribut
Nilai
1. 2. 3. 4.
Ketersediaan bahan baku Kecukupan bahan baku Mutu bahan baku Daya dukung lahan
2 2 1 3
Kategori rendah sangat rendah agak rendah agak rendah
Berdasarkan hasil analisis rap-cofee pada dimensi sumberdaya menunjukkan nilai indeks berkelanjutan sebesar 38.78 (kurang berlanjut) pada skala 0-100 (Gambar 43), dengan nilai stress 0.180 dan R2 0.93, kedua nilai ini menunjukkan bahwa goodness of fits dalam analisis MDS yang mengukur seberapa tepat konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya (Pitcher dan Preikshot 2001). Secara umum hasil nilai stress ini sudah dianggap memadai karena nilainya lebih kecil dari 0.25 yang merupakan ambang batas kebaikan dari suatu nilai stress, sedangkan nilai R2 (koefesien diterminasi) menunjukkan bahwa atribut yang digunakan dalam model secara umum dapat menerangkan perilaku model dari sistem yang kaji. Pada kajian ini nilai R2 adalah sebesar 0.93, pada analisis MDS nilai ini sudah dianggap baik karena semakin mendekati 1, sehingga dapat dikatakan atribut yang dikaji dapat menerangkan perilaku model sebesar 93%. RAP Coffee Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40 20
BAD
0
0
38.78 50
GOOD 100
150
-20 -40
DOWN
-60 Carrying capacity sustainability
Gambar 43 Indeks berkelanjutan dimensi sumberdaya Secara parsial dalam analisis laverage (Gambar 44) untuk dimensi sumberdaya, atribut mutu bahan baku dalam struktur RPGBKP memiliki skor tertinggi yaitu 2.67 diikuti oleh daya dukung lahan (1.38), dan ketersediaan bahan baku (0.80). Dalam hal ini, atribut mutu sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem RPGBKP. Pengertian mutu bahan baku pada penelitian ini merujuk kepada masih rendahnya mutu cherry yang dihasilkan petani. Berdasarkan observasi lapang didapatkan bahwa pada saat panen, umumnya petani belum sepenuhnya mengaplikasikan teknik petik merah dan tidak melakukan secara stripping, pada pelaku pedagang pengepul, masih rendahnya
98 mutu kopi HS disebabkan oleh waktu pulper dan pemetikan yang masih relatif lama yaitu lebih dari 1 hari, serta proses penjemuran tanpa menggunakan parapara. Leverage of Attributes Kecukupan bahan baku
0.10
Attribute
Mutu bahan baku
2.67
Ketersediaan bahan baku
0.80
Daya dukung lahan
1.38 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Gambar 44 Analisis laverage dimensi sumberdaya Sintesis Peningkatan Keberlanjutan RPGBKP Keberlanjutan dimensi ekonomi Setelah kondisi berkelanjutan terkini RPGBKP diketahui, tahap selanjutnya adalah melakukan rekayasa sistem melalui beberapa model dengan tujuan untuk meningkatkan indeks berkelanjutan RPGBKP. Pada dimensi ekonomi fokus kegiatan terletak pada analisis risiko dalam rantai pasok dan selanjutnya melakukan penyusunan skenario mitigasi yang dapat diambil oleh para pelaku. Tahap selanjutnya adalah menyusun model distribusi keuntungan yang berkeadilan berdasarkan skala bisnis. Model diwujudkan melalui distribusi nilai tambah masing-masing pelaku, sedangkan besaran pergesaran risiko melalui bobot risiko yang didapat dari analisis risiko rantai pasok. Tingkat risiko pelaku RPGBKP Dalam struktur RPGBKP terdapat tiga pelaku utama yaitu petani, pedagang pengepul dan agroindustri, dimana masing-masing pelaku tersebut memiliki tingkat risiko yang ditanggung berbeda-beda. Untuk memetakan tingkat risiko pelaku diperlukan analisis risiko rantai pasok untuk masing-masing pelaku. Alat analisis yang digunakan adalah fuzzy inference system (FIS), dengan menggunakan penalaran Mamdani. Secara teknis, input analisis ini adalah hasil analisis identifikasi risiko dengan F-AHP, yaitu berupa parameter risiko pada masing-masing pelaku. Parameter inilah yang menjadi input dalam pembuatan aturan fuzzy (if-then rule) dalam fuzzy inference system (FIS). Pada pelaku petani parameter risiko adalah budidaya, mutu, harga dan permintaan. Untuk pelaku pedagang pengepul dan agroindustri parameter risiko mencakup mutu, harga, pasokan dan permintaan. Kemudian keempat parameter tersebut diinputkan ke dalam fungsi keanggotan fuzzy (memberships function) yang dalam penelitian ini dinyatakan dalam TFN, dengan tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Parameter ini sesuai dengan penelitian yang telah
99 dilakukan oleh Suharjito (2011) dan Alavi (2012). Contoh aturan yang digunakan pada pelaku petani dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: if (risiko budidaya rendah), and (risiko harga rendah), and (risiko mutu rendah), and (risiko permintaan rendah), then risiko rantai pasok pada petani rendah. Contoh aturan pada pelaku pedagang pengepul adalah sebagai berikut: if (risiko permintaan rendah), and (risiko pasokan rendah), and (risiko mutu rendah), and (risiko harga rendah), then risiko rantai pasok pada pedagang pengepul rendah. Aturan ini juga berlaku pada pelaku agroindustri. Tahap selanjutnya adalah proses inferensi bedasarkan data masukan dari narasumber. Berdasarkan aturan yang terdapat pada basis pengetahuan, data narasumber ini akan diproses dengan metode fuzzy untuk menghasilkan sebuah kesimpulan. Pada penelitian ini penalaran yang digunakan adalah metode Mamdani. Menurut Sevani et al. (2009), proses ini mencakup lima tahap yaitu: (1) fuzzifikasi input melalui fungsi TFN, (2) mengaplikasikan operator fuzzy dengan operator AND dan OR, (3) mengaplikasikan metode implikasi dengan metode maksimum, (4) komposisi semua keluaran dengan metode maksimum, (5) defuzzifikasi dengan metode centroid (center of gravity area) untuk mendapatkan nilai tunggal (crips). Pada penelitian proses analisis mitigasi risiko RPGBKP dengan metode FIS dilakukan pada software paket yang dapat melakukan analisis ini. Hasil analisis FIS menunjukkan bahwa pada petani, nilai tunggal dari risiko pada level ini adalah 0.501 yang merepresentasikan bahwa pihak petani dalam struktur risiko RPGBKP memiliki risiko usaha kategori sedang, dengan kontribusi terbesar pada serangan hama dan penyakit. Hal ini sesuai dengan pendapat Anhar (2013) bahwa pada aspek budidaya memiliki risiko yang sangat tinggi karena dengan perubahan iklim global dapat meningkatkan suhu dataran tinggi Gayo sebesar 0.050C\/tahun sehingga akan meningkatan serangan hama penyakit. Mitigasi risiko yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kemampuan petani dalam hal pencegahan dan penanggulangan serangan penyakit karat daun dan penggerek buah kopi melalui pelatihan secara kontinyu. Pada pelaku pedagang pengepul nilai tunggal (crips) menunjukkan sebesar 0.502 yang merepresentasikan bahwa pihak pedagang pengepul dalam struktur risiko RPGBKP memiliki risiko usaha sedang. Dalam hal ini risiko mengacu kepada tingginya cemaran fisik dan kadar air yang masih tinggi (18%). Hal ini terjadi karena umumnya pedagang pengepul pada proses penjemuran menggunakan tikar/terpal dan dilakukan ditempat terbuka tanpa menggunakan para-para atau alat pengering mekanis (Jaya et al 2011). Pada pelaku agroindustri, hasil nilai tunggal adalah 0.5 dengan kategori risiko sedang. Risiko ini mencerminkan parameter harga yang berhubungan erat dengan fluktuasi harga kopi dunia, akibat belum terlaksananya perdagangan yang adil, selain itu kontrak dengan buyer berlaku hanya 1 tahun (dibeli dalam satu tahun) sehingga risiko ketidakpastian harga sangat tinggi. Adam dan Ghaly (2007), Giovannucci dan Potts (2008) melaporkan bahwa untuk mencapai agroindustri kopi yang berkelanjutan, salah satu risiko yang harus diantisipasi oleh pelaku agroindustri adalah adanya fluktuasi harga kopi dunia (Raynolds 2009), sehingga dalam penyusunan skenario mitigasi risiko pada level agroindustri adalah aplikasi kontrak yang mencakup harga, berdasarkan pemenuhan beberapa kualifikasi seperti mutu, jumlah dan time-delivery.
100
Analisis dan mitigasi risiko RPGBKP Pada tahap yang menjadi inti permasalahan penelitian adalah bagaimana mengidentifikasi, menganalisis faktor-faktor risiko dan menyusun skenario mitigasi dalam pengelolaan risiko RPGBKP, sehingga harus diungkapkan teoriteori risiko apa saja yang mendukung. Secara harfiah risiko adalah suatu ketidakpastian di masa yang akan datang dan umumnya berhubungan erat dengan kerugian atau sesuatu yang tidak baik (chance of loss) terhadap kinerja suatu badan usaha/organisasi (Christoper 1998; Tang & Tomlin 2008), akan tetapi dalam pengelolaan risiko rantai pasok Tang (2006) menyatakan bahwa hal terpenting adalah melakukan kajian risiko operasional dan tindakan mitigasi yang dilakukan. Pendekatan yang dapat dilakukan mencakup empat dimensi yang secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 45, sehingga pada tataran operasional risiko harus dikendalikan karena jika tidak berpeluang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan (Zsidisin & Ritchie 2009). Tahapan selanjutnya adalah pengungkapan mengapa sumber-sumber risiko tersebut menjadi risiko, faktor apa saja yang menyebabkan sehingga sumbersumber risiko benar-benar merupakan risiko agar pelaku dapat menyusun skenario-skenario mitigasi untuk meminimalkan kejadian yang dapat merugikan bagi organisasi. Manajemen produksi
Manajemen pasokan
Risiko rantai pasok
Manajemen permintaan
Manajemen informasi
Gambar 45 Dimensi pendekatan manajemen risiko rantai pasok (Tang 2006) Mitigasi risiko adalah segala tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh organisasi untuk mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu risiko (Borge 2001; Fu dan Liang 2012). Suharjito (2011), menyatakan bahwa risiko dalam rantai pasok komoditi pertanian lebih kompleks dibandingkan dengan risiko komoditi manufaktur atau finished goods, sehingga diperlukan penyusunan skenario mitigasi yang mengakomodir ciri khas komoditi pertanian yaitu bulky, musiman dan perishable. Secara lengkap konseptual hubungan antara faktor risiko, risiko dan mitigasi dapat dilihat pada Gambar 49. Keputusan untuk menentukan skenario mitigasi risiko dalam RPGBKP, merupakan perihal yang sangat kompleks, karena melibatkan seluruh pelaku dalam rantai pasok, dimana masing-masing pelaku tersebut tentunya memiliki tujuan, walaupun dalam pengambilan keputusan akhir mitigasi risiko, masingmasing pelaku yang saling terkait satu sama lain. Untuk itulah pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem, dimana syarat dari
101 sebuah sistem adalah adanya pelaku atau kegiatan yang saling berinterkasi untuk mencapai suatu tujuan. Pada Gambar 50, disajikan struktur hirarki skenario mitigasi risiko RPGBKP. Tujuan terdiri dari tiga item yaitu pemenuhan aspek mutu, jumlah dan time-delivery, pelaku terdiri dari petani, pedagang pengepul dan agroindustri atau eksportir, sedangkan jenis-jenis risiko dikembangkan dari masing-masing pelaku yang terdiri dari risiko mutu, harga, budidaya, permintaan dan pasokan. Level terakhir adalah alternatif mitigasi yang terdiri dari memperbaiki teknologi budidaya (pelaku petani), yang secara spesifik fokus pada penanganan hama dan penyakit, memperbaiki teknologi pasca panen, spesifik pada penggunaan alat pengering para-para atau mekanis (pelaku pedagang pengepul), aplikasi mekanisme kontrak berbasis pada model revenue-sharing (pelaku agroindustri atau eksportir). Identifikasi risiko bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko apa saja yang mempengaruhi kinerja RPGBKP. Tahap awal pemodelan adalah menentukan hirarki (Gambar 47) yang kemudian ditelaah oleh pakar yang terlibat dan selanjutnya dilakukan analisis dengan pendekatan fuzzy terhadap input data. Keluaran dari model adalah diketahuinya besaran (crips) risiko dari masingmasing faktor risiko, aktor, tujuan dan fokus kegiatan. Secara lengkap hasil pembobotan faktor risiko masing-masing aktor dapat dilihat pada Tabel 29. Selain itu struktur hirarki juga terdiri dari elemen tujuan yang terdiri dari tiga aspek, yaitu pemenuhan aspek mutu, jumlah dan time-delivery. Bobot masing-masing tujuan disajikan pada Tabel 30.
Faktor risiko
Harga
Budidaya
Mutu
Skenario mitigasi risiko
Risiko rantai pasok Gambar 46 Konseptualisasi hubungan faktor risiko, risiko dan mitigasi risiko Dari sisi pelaku RPGBKP, terdiri dari petani, pedagang pengepul dan agroindustri kopi. Bobot pelaku dalam identifikasi risiko dapat dilihat pada Tabel 30. Jenis-jenis risiko pada RPGBKP dikembangkan dari masing-masing pelaku yang terdiri dari risiko mutu, harga, budidaya, permintaan dan pasokan. Level terakhir hirarki adalah alternatif mitigasi yang terdiri dari memperbaiki teknologi budidaya, fokus kepada pencegahan dan penanganan hama dan penyakit, memperbaiki teknologi pasca panen, spesifik pada penggunaan alat pengering para-para dan mekanis (artificial dryer), mekanisme kontrak berbasis pada model revenue-sharing. Bobot alternatif mitigasi risiko pada RPGBKP disajikan pada Tabel 31.
102
Skenario mitigasi risiko rantai pasok kopi Gayo
Fokus
Pemenuhan Mutu
Tujuan
Pelaku
Risiko rantai pasok
Alternatif mitigasi risiko rantai pasok
Pemenuhan Jumlah
Pemenuhan Timedelivery
Petani
Pedagang pengepul
Agroindustri
Risiko Mutu
Risiko Mutu
Risiko Mutu
Risiko Harga
Risiko Harga
Risiko Harga
Risiko Budidaya
Risiko Permintaan
Risiko Permintaan
Risiko Permintaan
Risiko Pasokan
Risiko Pasokan
Memperbaiki teknologi budidaya (hama dan penyakit)
Memperbaiki teknologi pasca panen
Mekanisme kontrak berbasis revenuesharing
Gambar 47 Struktur Fuzzy-AHP risiko RPGBKP Tabel 31 Pembobotan faktor risiko pelaku RPGBKP Pelaku Petani Pedagang pengepul Agroindustri
Risiko mutu 0.310 0.450
Risiko harga 0.260 0.240
0.310
0.300
Risiko budidaya 0.300
Risiko permintaan 0.130 0.180
Risiko pasokan
0.260
0.130
0.120
Berdasarkan Tabel 31 terlihat bahwa, pada masing-masing pelaku memiliki faktor risiko yang berbeda, hal ini terjadi karena masing-masing pelaku memiliki aktivitas yang berbeda pula. Pada level petani risiko mencakup mutu, harga,budidaya dan permintaan. Hasil analisis menunjukkan risiko tertinggi terdapat pada risiko mutu (0.310) dan budidaya (0.300). Pada tataran operasional, kedua faktor risiko ini saling berkait, mutu kopi (ukuran, tingkat catat, kematangan) sangat dipengaruhi oleh aktivitas budidaya seperti pembibitan, pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Menurut Puslit Kopi dan kakao (2008), mutu buah kopi dipengaruhi oleh intensitas pemupukan yaitu dengan mengikuti kaidah, berupa tepat dosis, waktu dan cara, pemangkasan serta tingkat kematangan buah. Tingginya risiko budidaya pada level petani menunjukkan bahwa peluang terjadinya kegagalan produksi atau pemenuhan kualifikasi mutu sangat dominan, hal ini terjadi karena tingginya
103 faktor ketidakpastian terhadap komponen utama budidaya salah satunya adalah perubahan iklim global. Anhar (2013) menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan suhu rata-rata Dataran Tinggi Gayo 0.050C/tahun sejak tahun 1940 yang berimplikasi kepada meningkatnya serangan hama dan penyakit, terutama penggerek buah, bahkan saat ini telah mencapai Kecamatan Jagong Jeget dengan ketinggian 1 400 dpl (Puslit Kopi dan Kakao 2008). Berbeda dengan petani, pada level pedagang pengepul risiko tertinggi berada pada komponen mutu (0.450) dan harga (0.240), penyebab hal ini karena tingginya cemaran fisik dan kadar air, karena umumnya pedagang pengepul pada proses penjemuran menggunakan tikar/terpal dan dilakukan ditempat terbuka tanpa menggunakan para-para atau alat pengering mekanis (Jaya et al. 2011), selain itu faktor harga juga menjadi faktor risiko utama, karena tingginya ketidakpastian komponen ini. Masalah ini terjadi karena kontrak pembelian yang dilakukan buyer di negara tujuan ekspor sampai dengan saat ini hanya sampai pada level agroindustri/eksportir, sehingga pedagang pengepul memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah dalam konteks penentuan harga. Hal ini telah dibahas secara mendalam oleh Ponte (2002); Coe (2009) dan Raynolds (2009), bahwa sampai dengan saat ini petani dan pedagang pengepul dalam perdagangan kopi hanya sebatas objek yang tidak pernah terlibat (unfair trade) dalam proses penentuan harga karena kartel perdagangan kopi yang sangat kuat, walaupun telah diberlakukan sertifikasi fair-trade, rain-forest, kecuali sindikasi Starbuck yang agak adil dalam perdagangan kopi dilevel produsen (Macdonald 2007), selain itu Giovannuchi dan Ponte (2005) juga menyatakan diperlukan standar dalam kontrak sosial untuk mewujudkan industri kopi yang berkelanjutan. Pada level agroindustri, risiko tertinggi adalah mutu dan harga, hal ini disebabkan parameter mutu erat berhubungan dengan pasokan dari pedagang pengumpul dimana cemaran fisik masih tinggi akibat proses penjemuran yang dilakukan ditempat terbuka, sedangkan parameter harga berhubungan erat dengan fluktuasi harga kopi dunia, selain itu kontrak dengan buyer berlaku hanya 1 tahun sehingga risiko ketidakpastian harga sangat tinggi. Adam dan Ghaly (2007), Giovannucci dan Potts (2008) melaporkan bahwa untuk mencapai agroindustri kopi yang berkelanjutan, salah satu yang harus diantisipasi oleh pelaku adalah tingginya fluktuasi harga kopi dunia karena perdagangan kopi yang cenderung belum adil (Raynolds 2009). Tabel 32 Pembobotan tujuan, pelaku dan alternatif mitigasi risiko RPGBKP Tujuan
Bobot
Pelaku
Bobot
Alternatif mitigasi risiko
Pemenuhan 0.41 mutu Pemenuhan 0.30 jumlah Time-delivery 0.29
Petani
0.52
Memperbaiki teknologi 0.27 budidaya Memperbaiki teknologi pasca 0.18 panen Mekanisme kontrak berbasis 0.54 revenue-sharing
Pedagang 0.13 pengepul Agroindustri 0.35
Bobot
Berdasarkan Tabel 32 terlihat bahwa, pada elemen tujuan bobot tertinggi terdapat pada pemenuhan mutu (0.41), kemudian pemenuhan jumlah (0.30) dan time-delivery (0.29). Hal ini menunjukkan bahwa, dalam penyusunan mitigasi
104 risiko rantai pasok tujuan utamanaya adalah pemenuhan mutu. Dalam perdagangan global, parameter mutu merupakan komponen utama yang harus dipenuhi oleh pelaku. Pada konteks komoditi kopi Gayo, parameter mutu dipengaruhi pada aspek budidaya (on-farm), panen (harvest) dan pengolahan. Mulato dan Suharyanti (2012) melaporkan bahwa, dalam perdagangan global, biji kopi asal Indonesia sering terkena penalti yang nilainya mencapai 10% dari harga total, karena belum memenuhi standar mutu yang disyaratkan oleh pembeli (buyer), terutama dari negara-negara Eropa seperti Jerman, Italia, Perancis dan Finlandia. Dari sisi pelaku, bobot tertinggi terdapat pada petani (0.52), kemudian agroindustri (0.35) dan pedagang pengepul (0.13). Hal ini menunjukkan bahwa pelaku petani memiliki peran yang sangat besar dalam penyusunan skenario mitigasi risiko RPGBKP, karena pelaku ini memegang peranan penting dalam sistem RPGBKP. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Adam dan Ghaly (2007), yang melaporkan bahwa, untuk mencapai industri kopi yang berkelanjutan, salah satu strategi yang harus dilakukan adalah memberdayakan (empowerment) pelaku petani untuk dapat meningkatkan kapasitas pasokan dan pemenuhan mutu. Berdasarkan alternatif mitigasi risiko RPGBKP, aplikasi kontrak tani atau dagang dengan mekanisme revenue-sharing memiliki bobot tertinggi (0.54), kemudian memperbaiki teknologi budidaya, spesifik kepada pencegahan dan penanganan serangan hama dan penyakit (0.27), alternatif terakhir adalah memperbaiki teknologi pasca panen, yaitu penggunaan para-para pada saat penjemuran dan alat pengering mekanis (0.18). Hasil ini menunjukkan bahwa, dalam sistem tata niaga kopi Gayo saat ini masih belum mencerminkan keadilan diantara pelaku rantai pasok. Kondisi ini telah diulas oleh Taylor (2005) dan Raynolds (2009) yang menyatakan bahwa, walaupun beberapa sertifikasi telah diberlakukan dalam sistem perdagangan kopi dunia, seperti fair-trade, rain-forest, organik dan indikasi geografis, kenyataannya pelaku petani masih sulit mendapatkan posisi tawar (bargaining position) dalam penentuan harga yang lebih baik dibandingkan pihak eksportir. Padahal risiko bisnis yang ditanggung petani jauh lebih besar dibandingkan eksportir (Suharjito & Marimin 2013). Distribusi keuntungan berkeadilan (Revenue-sharing contact) Untuk mencapai RPGBKP yang berkelanjutan pada dimensi ekonomi, yang salah satunya adalah membangun distribusi keuntungan berkeadilan dari satu pelaku ke pelaku lainnya, dalam hal ini basis analisis adalah pelaku yang memiliki keuntungan tertinggi, yaitu agroindustri/eksportir ke petani yang memiliki keuntungan jauh lebih kecil walaupun dengan risiko usaha yang jauh lebih besar. Chopra dan Meindl (2007), menyatakan bahwa, salah satu cara untuk menjamin pasokan adalah dengan membangun coordination yang adil, dalam sistem rantai pasok yang wujudnya dapat berbentuk model berbasis distribusi keuntungan (revenue sharing). Wujud dari tahap ini adalah adanya insentif harga bagi pelaku, berdasarkan adanya dialog antar masing-masing pelaku untuk menentukan harga kesepakatan antar pelaku berbasis penyeimbangan risiko. Model dibangun berdasarkan asumsi bahwa utilitas nilai risiko petani akan meningkat pada saat panen raya (pasokan meningkat), begitu juga sebaliknya. Namun, pada tingkatan yang lain seperti agroindustri atau pedagang pengepul memiliki nilai utilitas risiko yang cenderung turun, jika harga jual kopi di tingkat
105 petani turun dan nilai utilitas risiko cenderung naik ketika harga bahan baku naik. Hal ini dilakukan karena umumnya dalam rantai pasok kopi, petani merupakan pihak yang lemah, dan cenderung mempunyai risiko usaha yang lebih tinggi dan mendapatkan keuntungan yang lebih rendah dari pada pihak lain dalam jaringan rantai pasok. Oleh karena itu perlu adanya suatu mekanisme yang dapat mengurangi tingkat risiko, di pihak petani dengan mekanisme nilai tambah rantai pasok sehingga petani mendapatkan keuntungan yang lebih baik. Model dikembangkan dengan pendekatan stakeholder dialog yang mengacu kepada model penyeimbangan risiko yang dikembangkan oleh Suharjito (2011), Suharjito & Marimin (2013). Modifikasi dilakukan terhadap model yang dikembangkan oleh Suharjito & Marimin (2013) yaitu pada harga kesepakatan, dimana pada model tersebut, harga kesepakatan ditentukan berdasarkan pelaku petani dibandingkan dengan pelaku lainnya, sedangkan pada penelitian ini, penentuan harga kesepakatan ditentukan secara bertingkat, dengan pengertian penentuan harga kesepakatan dilakukan antara pelaku petani dengan pedagang pengepul, kemudian pedagang pengepul dengan agroindustri. Secara teknis, penyelesaian model dengan menggunakan faktor risiko yang telah diidentifikasi pada bab sebelumnya. Dalam hal ini, setiap pelaku (stakeholder) menginputkan nilai utilitas untuk menegosiasikan harga antar pelaku. Dengan menggunakan input harga referensi kopi cherry saat ini, yang merupakan hasil perkiraan harga dengan menggunakan teknik ARIMA, didapatkan bahwa harga referensi untuk cherry adalah sebesar Rp7 471/kg. Berdasarkan hal ini dapat diketahui persamaan fungsi utilitas risiko untuk petani, yakni: Up(x)=9.271 . ( ) ……………………………...……..……….......(44) Sedangkan fungsi utilitas risiko untuk pelaku pedagang pengepul adalah: Updg(x)=20.191
.
( )
………………………………………….….…(45)
Tahap selanjutnya adalah proses penentuan harga kesepakatan antar pelaku pedagang pengepul dengan petani, yaitu dengan mengembangkan fungsi konjoin antara pelaku agroindustri dengan petani yang diformulasikan sebagai berikut: H(x)= 20.191 . ( ) - 9.271 . ( ) ………………….………......…(46) Dengan menggunakan harga penawaran tertinggi untuk kopi cherry yaitu Rp12 000/kg dan terendah Rp7 000/kg, maka didapatkan harga kesepakatan sebesar Rp8 218/kg. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan bahwa model telah mampu melakukan negosiasi harga jual cherry antara pedagang pengepul dan petani, dengan kata lain model mampu menyeimbangkan risiko yang ditanggung kedua pelaku melalui insentif harga. Harga kesepakatan ini juga jauh lebih baik dari harga jual cherry rata-rata dalam dua tahun terakhir, yaitu sebesar Rp7 896/kg. Ageron et al. (2012) berpendapat bahwa untuk mencapai keberlanjutan dalam sistem rantai pasok, diperlukan keberlanjutan produksi masing-masing yang salah satunya dapat dicapai dengan pencapaian keuntungan yang dapat mempertahankan bisnis pelaku. Tahap selanjutnya adalah menentukan harga kesepakatan antara pelaku pedagang pengepul dengan agroindustri. Basis dari tahap ini adalah, pada pedagang pengepul asumsi yang digunakan adalah harga jual kopi HS kepada pedagang pengepul yang juga merupakan harga beli bagi agroindustri, sehingga
106 semakin tinggi harga jual kopi HS, maka risiko pedagang pengepul semakin menurun, sebaliknya semakin tinggi harga beli kopi HS, maka risiko agroindustri semakin meningkat. Dengan menggunakan input harga referensi kopi HS saat ini yang merupakan hasil perkiraan harga dengan menggunakan teknik ARIMA, didapatkan bahwa harga referensi untuk kopi HS adalah sebesar Rp19 507/kg. Maka diketahui persamaan regresi non linear untuk masing-masing pelaku, yakni: Updg(x)=22.278
.
( )
………………………………......…….….…(47)
Kemudian fungsi regresi non linear untuk pelaku agroindustri adalah sebagai berikut: Uagr(x)= 59.078 . ( ) ……………………………………………....(48) Tahap selanjutnya adalah proses penentuan harga kesepakatan antar pelaku secara bilateral, yaitu dengan mengembangkan fungsi konjoin antara pelaku agroindustri dengan pedagang pengepul yang dirumuskan sebagai berikut:
H(x)= 59.078 . ( ) - 22.278 . ( ) ...............................................(49) Dengan menggunakan harga penawaran tertinggi untuk kopi HS adalah sebesar Rp26 000/kg dan terendah Rp15 000/kg, maka didapatkan harga kesepakatan sebesar Rp24 711/kg. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan bahwa model telah mampu melakukan negosiasi harga jual kopi HS, dengan kata lain model mampu melakukan penyeimbangan risiko antar pelaku sesuai dengan tingkat risiko yang dihadapi oleh masing-masing pelaku. Jika dilihat dari harga berdasarkan hasil prakiraan harga dengan menggunakan teknik ARIMA, model jauh lebih baik. Dimana berdasarkan rata-rata harga jual kopi HS yang hanya sebesar Rp18 937/kg. Dengan kata lain model telah mampu menyeimbangkan risiko yang diterima oleh masing-masing pelaku. Di lain pihak, bagi agroindustri, dengan model ini, harga jual green bean kualitas ekspor menjadi sebesar Rp52 260, nilai ini dapat dikatakan cukup baik, walaupun berdasarkan prakiraan harga jual green bean Rp53 454/kg. Hal ini telah sesuai dengan yang telah disampaikan oleh Chopra dan Meindl (2007) yang menyatakan bahwa untuk menjamin keberlanjutan rantai pasok, dalam hal ini pada kasus adanya persaingan antar eksportir kopi Gayo, pihak KBQ. Baburayyan tentunya harus dapat menjaga loyalitas pemasoknya yaitu melalui penyeimbangan risiko pada rantai pasok yang diwujudkan dalam insentif harga kepada pedagang pengepul dan petani. Keberlanjutan Dimensi Sosial Pola hubungan keterkaitan antar pelaku RPGBKP Secara kultural, kopi Gayo telah memberikan penghidupan bagi masyarakat Dataran Tinggi Gayo yang terletak di Pegunungan Bukit Barisan dan secara administratif berada di Provinsi Aceh. Dataran Tinggi ini mencakup tiga Kabupaten yaitu Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues akan tetapi yang sentra produksi hanya pada Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, dengan total luas lahan mencapai 48 000 Ha dan produktivitas rata-rata 0.79 ton/ha, pada tahun 2011 produksi kopi biji (green bean) kedua kabupaten mencapai 50 000 ton dengan nilai mencapai $ 300 000 (AEKI 2009; Puslit Kopi dan Kakao 2008; Silitonga 2008; Jaya et al 2011; Jaya et al 2012).
107 Berdasarkan hasil observasi peneliti di lapangan dan penelusuran literatur, sampai dengan saat ini produk kopi Gayo yang merupakan salah satu komoditas utama dunia belum memberikan dukungan, terhadap keberlanjutan rantai pasok, terutama pada dimensi ekonomi, yang dibuktikan dengan penghidupan yang secara umum belum baik bagi masyarakat Gayo (Gayo ethnic), termasuk juga ketersediaan infrastruktur, terutama jalan dan jembatan sehingga konektivitas antara wilayah Gayo dengan sekitarnya relatif sulit. Pada tahap ini tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah diketahuinya pola hubungan keterkaitan antar pelaku rantai pasok dalam menjalankan bisnis kopi Gayo. Pengertian keterkaitan (coordination) pada penelitian ini adalah hubungan antar pelaku, yang diwujudkan ke dalam suatu lembaga yang bersifat teknis dan operasional. Alternatif keterkaitan terdiri dari tiga yaitu mitra strategis, kontrak tani berbasis distribusi keuntungan dan mitra bisnis. Mitra strategis adalah suatu organisasi ekonomi yang mengatur kerjasama antara dua atau lebih pelaku dalam satu tatanan tertentu (Haris 2006), selain itu mitra strategis juga mengacu kepada adanya saling kebergantungan (interdependency) masing-masing pelaku untuk mencapai tujuan bersama dalam skema rantai pasok (Riady 2012). Kontrak tani berbasis distribusi keuntungan (revenue-sharing contract) mengacu kepada suatu kontrak mengikat antar masing-masing pelaku yang dibangun dengan dasar nilai tambah bisnis yang dilakukan, sedangkan mitra bisnis mengacu kepada pola bisnis yang dilakukan pelaku RPGBKP saat ini (existing role). Secara lengkap deskripsi alternatif pola keterkaitan antar pelaku RPGBKP disajikan pada Tabel 33. Teknik yang digunakan adalah Analitical Network Process (ANP) yang mengacu kepada (Satty 1996). Kelebihan dari teknik ini adalah adanya interaksi masing-masing elemen yang bersifat timbal balik (feedback) sehingga masingmasing elemen memberikan peran terhadap pencapaian tujuan dibandingkan dengan teknik AHP yang lebih bersifat hirarki, selain itu ANP juga menggambarkan pengaruh masing-masing elemen terhadap elemen lainnya dalam pencapaian tujuan bukan tingkat kepentingan seperti dalam AHP, analisis ANP lebih bersifat hubungan (networks) antar elemen. Tabel 33 Deskripsi pola keterkaitan antar pelaku RPGBKP Model Pola Mitra strategis
Kontrak tani berbasis distribusi keuntungan Mitra bisnis
Deskripsi Suatu organisasi ekonomi yang mengatur kerjasama antara dua atau lebih pelaku dalam satu tatanan tertentu. Suatu kontrak mengikat antar pelaku rantai pasok yang dibangun atas dasar pembagian keuntungan (revenue sharing contract) di antara masing-masing pelaku. Pola bisnis yang saat ini dilakukan oleh pelaku RPGBKP, dimana antara pelaku tidak terdapat sesuatu yang mengikat dalam pelaksanaan bisnis (demand-supply basic).
Rujukan Haris (2006)
Chopra & Mendl (2006)
Tahap awal teknik ini adalah menentukan struktur ANP yang disajikan pada Gambar 48.
108
Gambar 48 Struktur keterkaitan pelaku RPGBKP Keterkaitan antar klaster-klaster pada struktur ANP dapat diterjemahkan bahwa adanya hubungan fungsional antar masing-masing klaster, untuk mencapai tujuan penentuan pola hubungan keterkaitan antar pelaku dengan alternatif berupa mitra strategis, kontrak tani berbasis revenue sharing dan mitra bisnis. Sebagai contoh adalah hubungan antara klaster pelaku dengan ekonomi. Selain itu pada analisis ini juga mempelajari hubungan antara elemen-elemen yang terdapat pada masing-masing klaster. Hubungan ini juga bersifat fungsional yang artinya bahwa elemen pada satu klaster memiliki hubungan dengan elemen pada klaster lainnya dalam rangka pencapaian tujuan. Misalnya adalah hubungan antara elemen dalam klaster pelaku dengan elemen pada klaster lingkungan. Pola hubungan keterkaitan pelaku dalam sistem nyata, adalah suatu wadah untuk pelaksanaan proses bisnis antar pelaku. Menurut Haris (2006), dalam skala luas, mitra strategis adalah pengorganisasian dua atau lebih entitas bisnis ke dalam suatu wadah bisnis, dengan tujuan meningkatkan kapasitas bisnis yang sudah ada, karena masing-masing pelaku akan menyatukan kekuatan bisnis yang dimiliki. Contoh pada bisnis otomotif, yaitu bersatunya binis Toyota dan Daihatsu dalam memproduksi mobil dengan merek Avansa dan Xenia, serta Terios dan Rush. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan mitra strategis antar pelaku RPGBKP, adalah adanya suatu wadah bisnis seluruh pelaku bisnis kopi Gayo, pengorganisasian pelaku yaitu petani, pedagang pengepul dan agroindustri atau eksportir. Hasil analisis ANP menunjukkan bahwa, dalam penentuan pola hubungan keterkaitan antar pelaku RPGBKP (Gambar 49), hasil analisis menunjukkan bahwa, klaster ekonomi memiliki bobot tertinggi yaitu 0.37, diikuti oleh klaster lingkungan dan sosial dengan bobot sama yaitu 0.31. Dalam hal ini klaster ekonomi dianggap sebagai penghela (driver) pada pola hubungan antar pelaku dalam sistem RPGBKP, karena sistem rantai pasok pada hakekatnya adalah sistem bisnis yang berorientasi kepada profit, walaupun Seuring dan Muller (2008); Cuthberson (2011) menyatakan bahwa secara konseptual rantai pasok berkelanjutan, pada masing-masing dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan harus
109 diberlakukan secara adil, dalam pengertian tidak dimensi yang lebih diutamakan. Raynold (2009), berpendapat bahwa salah satu implementasi rantai pasok berkelanjutan pada komoditi kopi adalah terwujudnya perdagangan yang adil (fair-trade) melalui integrasi dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Berdasarkan wujud (lembaga) hubungan antar pelaku, mitra strategis sangat relevan dalam pengembangan aspek berkelanjutan pada RPGBKP dengan bobot 0.46, selanjutnya adalah kontrak tani (contract farming) berbasis distribusi revenue sharing (0.33) dan mitra bisnis (0.21). Mitra strategis dianggap relevan karena dalam pengelolaan rantai pasok sangat dibutuhkan wadah bisnis yang mencakup seluruh pelaku bisnis kopi Gayo. Dalam pengertian bahwa semua pelaku memiliki kesetaraan dalam proses bisnis, artinya tidak ada pelaku utama atau penunjang. Dengan adanya kesetaraan dalam proses bisnis, menyebabkan masing-masing pelaku memiliki tanggung jawab yang sama untuk memenuhi kriteria produk yang dihasilkan, sesuai dengan standar yang telah disepakati, selain itu juga pada aspek jumlah dan time-delivery. Pada praktiknya, petani harus menyediakan kopi buah yang sesuai standar (SNI 01-2907 1998), standar mutu dapat dipenuhi jika petani telah memberlakukan teknik petik merah, teknik panen tidak dengan cara stripping, serta segera melakukan pulping agar tidak terjadi fermentasi, pedagang pengepul selanjutnya melakukan proses pengolahan kopi HS sampai kadar air 14%, dan agroindustri memproduksi green bean dengan kadar air maksimal 12%.
Gambar 49 Analisis pola hubungan antar pelaku dalam sistem RPGBKP Hal menarik dari model pengembangan pola hubungan keterkaitan antar pelaku rantai pasok dengan ANP adalah adanya feedback di dalam masing-masing klaster. Pada klaster pelaku hasil analisis ANP menunjukan bahwa pelaku petani memiliki bobot 0.45, pedagang pengepul (0.11) dan agroindustri (0.44). Hasil ini
110 menunjukkan bahwa pelaku agroindustri menurut narasumber adalah sebagai penghela utama (main driver) dalam sistem RPGBKP, walaupun tidak jauh berbeda dengan bobot petani. Berdasarkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa, pelaku agroindustri yang mempunyai jejaring (networking) dengan pembeli/importir di negara tujuan ekspor, sehingga dapat dikatakan bahwa pelaku inilah yang mempunyai peran terbesar dalam sistem tata niaga kopi Gayo. Fakta ini sesuai dengan pendapat Giovannucci dan Potts (2008) yang menyatakan bahwa, industri kopi di negara berkembang sangat bergantung kepada pihak eksportir sebagai ujung tombak dalam pemasaran ke negara tujuan ekspor. Di sisi lain, Cuthberson (2011) menyatakan bahwa, untuk mencapai rantai pasok yang berkelanjutan, semua pihak harus memandang setiap elemen pelaku dalam bobot yang sama, karena pada prinsipnya pengelolaan sistem rantai pasok adalah bagaimana menciptakan keberlangsungan pasokan (material flow), aliran kas dan informasi diantara seluruh pelaku. Berdasarkan feedback dalam klaster ekonomi, hasil analisis ANP menunjukkan bahwa elemen net profit memiliki bobot sebesar 0.54, distribusi keuntungan berbasis revenue sharing (0.24) dan risiko rantai pasok (0.21). Dari hasil tersebut dapat kita lihat bahwa bobot net profit yang terbesar dibandingkan dengan distribusi keuntungan berbasis revenue sharing dan risiko rantai pasok, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penentuan pola hubungan keterkaitan antar pelaku dalam RPGBKP, elemen net profit harus menjadi fokus para pelaku disamping melakukan analisis dan penentuan mitigasi risiko. Dalam suatu proses bisnis komoditi pertanian yang berkelanjutan, Purnomo (2012) menyatakan bahwa entitas bisnis tersebut harus memiliki tingkat keuntungan yang sesuai untuk dapat menjalankan bisnis tersebut, sedangkan dalam konteks rantai pasok, Cuthberson (2011) berpendapat bahwa, untuk mencapai sistem rantai pasok yang berkelanjutan pada aspek ekonomi, masing-masing pelaku harus mendapatkan keuntungan yang sesuai dengan skala bisnisnya, dengan pengertian bahwa terdapat revenue sharing untuk masing-masing pelaku, walaupun Reynolds (2009) menyatakan bahwa, umumnya dalam rantai bisnis kopi global yang paling diuntungkan adalah pihak eksportir. Berdasarkan feedback dalam klaster lingkungan, hasil analisis ANP menunjukkan bahwa elemen organic farming memiliki bobot 0.49, diikuti oleh elemen pengendalian limbah 0.36 dan efisiensi penggunaan air 0.14. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam penentuan pola hubungan keterkaitan antar pelaku pada RPGBKP berkelanjutan, dari sisi dimensi lingkungan, sistem pertanian organik sangat penting dilakukan oleh pelaku, dalam hal ini adalah oleh petani. Fakta ini didukung oleh Mulato dan Suharyanti (2012) yang menyatakan bahwa, secara global konsumen lebih menginginkan sistem budidaya organik karena tingginya kesadaran akan aspek lingkungan dan kesehatan, walaupun fakta dilapangan belum nyata insentif harga terhadap sistem budidaya organik. Disisi lain pengendalian limbah kulit kopi (pulp) dan efisiensi penggunaan air oleh pelaku pedagang pengepul, karena pelaku ini yang mengolah kopi buah menjadi kopi HS, dengan limbah utama berupa pulp. Adam dan Ghaly (2007), menyatakan bahwa sangat penting pelaku industri kopi untuk melakukan penanganan limbah utama pengolahan kopi yaitu pulp, dalam hal ini dapat mengolahnya menjadi kompos, media untuk pertumbuhan jamur dan pakan ternak. Selain dapat
111 mengurangi penggunaan pupuk kimia, aktivitas ini juga dapat mengurangi biaya produksi, terutama dalam hal pembelian pupuk kimia. Dari sisi feedback dalam dimensi sosial, hasil analisis ANP menunjukkan bahwa elemen pola hubungan keterkaitan antar pelaku memiliki bobot sebesar 0.60 dan elemen keterampilan pelaku sebesar 0.40. Fakta ini menunjukkan bahwa, dalam penentuan pola hubungan keterkaitan antar pelaku pada RPGBKP berkelanjutan, dari sisi dimensi sosial hubungan keterkaitan antar pelaku memegang peranan penting. Peranan ini mengacu kepada bagaimana sistem bisnis kopi Gayo dapat berjalan dalam kerangka rantai pasok, yaitu adanya hubungan emosional (kesamaan etnis dan kultur) antar satu pelaku dengan pelaku lainnya sehingga akan terbangun saling percaya (trust) antar pelaku. Marimin dan Magfiroh (2010) menyatakan bahwa, salah satu elemen terpenting dalam rantai pasok adalah membangun saling percaya (trust bulding) antar pelaku, hal tersebut dapat dicapai melalui pengembangan aspek kelembagaan yang mampu menjembatani kepentingan pelaku dalam suatu sistem yang saling menguntungan satu sama lain. Berdasarkan hubungan antara klaster pelaku dan klaster ekonomi, hasil ANP menunjukkan bahwa antara hubungan seluruh elemen pelaku yakni petani, pedagang pengepul dan agroindustri dengan elemen net profit berturut-turut memiliki bobot sebesar 0.43, 0.41 dan 0.58, sedangkan dengan elemen distribusi keuntungan berbasis revenue-sharing berturut-turut memiliki bobot 0.34, 0.32, 0.29. Hubungan pelaku dengan elemen risiko rantai pasok berturut-turut memiliki bobot 0.23, 0.27 dan 0.12. Hasil analisis ini menggambarkan bahwa, hubungan antara elemen pelaku dengan elemen ekonomi yang paling utama adalah berhubungan dengan net profit, karena pada dasarnya sistem RPGBKP merupakan sistem bisnis yang berorientasi kepada profit, walaupun dalam pencapaian keberlanjutan sistem rantai pasok, sistem bisnis tidak cukup hanya fokus kepada profit, tetapi juga harus memperhatikan aspek keadilan (fair-business) dan kemampuan menganalisis dan memitigasi risiko yang dihadapi. Dari hubungan antara klaster hubungan antar pelaku dengan klaster pelaku, didapatkan bahwa hubungan antara mitra strategis dengan petani, pedagang pengepul dan agroindustri memiliki bobot berturut-turut sebesar 0.41, 0.22 dan 0.37. Elemen kontrak tani/dagang berbasis revenue-sharing memiliki bobot 0.20, 0.20 dan 0.60, sedangkan dengan elemen mitra bisnis memiliki bobot berturutturut sebesar 0.54, 0.13 dan 0.33. Berdasarkan hasil ini dapat digambarkan bahwa dalam pola mitra strategis elemen pelaku yang paling berpengaruh adalah petani. Hal ini disebabkan karena dalam pola mitra strategis hubungan antar pelaku bersifat similarity (kesetaraan) dalam kerangka saling kebergantungan (interdependency), selain itu dapat juga dikatakan bahwa bersarnya peran petani dalam pola mitra strategis adalah karena pelaku ini yang menjadi pemasok/penghasil kopi Gayo. Bertolak belakang dengan mitra strategis, pola kontrak tani berbasis revenue-sharing, bobot terbesar terdapat pada pelaku agroindustri. Hal ini disebabkan karena dalam pola kontrak berbasis revenue-sharing, diperlukan pelaku yang menjadi pelaku utama (champion), dalam hal ini narasumber berpendapat bahwa, pelaku agroindustri sangat cocok untuk menjadi champion, selain itu dalam sistem ini, Yang dan Chiang (2008) berpendapat, dalam sistem revenue-sharing contract diperlukan owner dalam suatu sistem rantai pasok,
112 dengan konteks ini pelaku agroindustri dapat menjadi owner dalam RPGBKP, sedangkan dalam pola mitra bisnis, bobot terbesar terdapat pada pelaku petani, sehingga dapat dikatakan bahwa pelaku inilah yang memiliki pengaruh terbesar dalam sistem pola hubungan antar pelaku sistem mitra bisnis. Selain itu, dalam analisis ANP, feedback tidak hanya terdapat dalam klaster, tetapi feedback dapat juga dibangun berdasarkan elemen antar klaster. Antara klaster pola hubungan keterkaitan antar pelaku dan klaster ekonomi, hubungan antara elemen mitra strategis dengan elemen net profit memiliki bobot sebesar 0.53, dengan elemen distribusi keuntungan berbasis revenue sharing 0.28 dan dengan risiko rantai pasok sebesar 0.19. Hasil ini menunjukkan bahwa, dalam penentuan pola hubungan keterkaitan antar pelaku RPGBKP berkelanjutan. Berdasarkan elemen mitra strategis net profit masing-masing pelaku merupakan unsur terpenting dalam perspektif rantai pasok, sehingga dapat dikatakan bahwa, dalam melaksanakan bisnis kopi Gayo dengan wujud mitra strategis, hal utama yang harus dicapai pelaku adalah profit usaha. Kemudian adalah seberapa besar profit yang dicapai masing-masing pelaku tersebut dapat terbagi (share) kepada masing-masing pelaku, yang diwujudkan pada elemen distribusi keuntungan berbasis revenue sharing. Dari sisi elemen kontrak tani berbasis revenue sharing, bobot antara hubungan elemen kontrak tani dengan net profit yang terbesar, yaitu sebesar 0.56, diikuti hubungan dengan elemen distribusi keuntungan yang memiliki bobot sebesar 0.28, dan dengan elemen risiko rantai pasok 0.16. Hal ini menunjukkan bahwa ketika pelaku bisnis kopi Gayo melaksanakan aktivitas bisnis dalam wujud kontrak tani berbasis revenue sharing, aspek keadilan profit merupakan hal utama dibandingkan dengen elemen net profit dan risiko rantai pasok. Pengertian distribusi keuntungan dalam penelitian ini, mengacu kepada adanya pergeseran keuntungan yang saat ini lebih besar kepada eksportir dibandingkan dengan petani dan pedagang pengepul, tentunya sesuai dengan skala bisnis yang dilakukan. Suharjito (2011) melaporkan bahwa dengan terdistribusinya keuntungan dalam suatu sistem rantai pasok, akan menyebabkan sistem rantai pasok tersebut dapat berkelanjutan. Berdasarkan elemen mitra bisnis, bobot antara hubungan elemen mitra bisnis dengan net profit adalah sebesar 0.69, kemudian distribusi keuntungan berbasis revenue sharing 0.19, sedangkan dengan risiko rantai pasok 0.13. Hasil ini menunjukkan bahwa pola hubungan antar pelaku dengan wujud mitra bisnis lebih berorientasi profit masing-masing pelaku. Dalam konteks dengan penelitian ini, wujud pola hubungan bisnis berupa mitra bisnis adalah seperti yang ada sekarang (existing), dimana proporsi keuntungan lebih besar kepada pihak agroindustri yang juga sebagai eksportir yang nilainya mencapai 70% dibandingkan dengan petani 25% dan pedagang pengepul 5%. Fakta seperti ini telah dibahas oleh Raynold (2009) dan Wilson (2010), yang menyatakan bahwa pada umumnya proporsi keuntungan bisnis kopi dinegara produsen lebih besar kepada pihak eksportir dibandingkan pihak lain seperti petani dan pedagang pengepul (collector), walaupun sertifikasi fair-trade, rain-forest dan indikasi geografis telah diberlakuan oleh negara-negara importir agar petani mendapatkan “nilai” dari usaha kopi mereka. Dari sisi hubungan antara klaster pelaku dengan klaster lingkungan yaitu antara elemen pedagang pengepul dengan elemen pengendalian limbah kulit kopi
113 (pulp). Hasil analisis ANP menunjukkan bahwa hubungan elemen pedagang pengepul dengan pengendalian limbah memiliki bobot sebesar 0.64, sedangkan dengan elemen efisiensi penggunaan air 0.36. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam perspektif lingkungan, pengendalian limbah kulit kopi (pulp) lebih berpengaruh dibandingkan dengan efisiensi penggunaan air pada saat proses produksi. Pengendalian limbah dalam penelitian ini mengacu kepada aktivitas pengolahan pulp menjadi kompos. Dasar pengendalian limbah ini adalah bagaimana agar limbah pulp tidak mencemari lingkungan, karena jika tidak dilakukan pengolahan, proses penguraian pulp menjadi komponen yang tidak menimbulkan cemaran mencapai 9 bulan, sedangkan jika dilakukan pengolahan hanya memerlukan waktu 3 bulan. Dari sisi ekonomi, Novita (2012) melaporkan bahwa pemanfaatan kompos sebagai pupuk dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia sebesar 30 kg/ha yang nilainya mencapai Rp1 200 000. Berdasarkan hubungan antara klaster pola hubungan antar pelaku dengan klaster sosial, yaitu hubungan antara elemen mitra strategis dengan pola hubungan antar pelaku memiliki bobot sebesar 0.25, sedangan dengan keterampilan pelaku 0.75. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam perspektif RPGBKP, pola hubungan mitra strategis lebih menonjolkan pola hubungan antar pelaku dibandingkan dengan keterampilan pelaku (aspek manajerial), karena dalam pola hubungan mitra strategis, hubungan bisnis dibangun berdasarkan adanya saling kebergantungan (interdependency) antar pelaku, dalam pengertian masing-masing pelaku memiliki bobot yang sama dalam pencapaian tujuan bisnis. Haris (2006) menyatakan bahwa, konsep model mitra strategis dalam sistem industri mengharuskan adanya ikatan yang kuat antar masing-masing pelaku untuk mencapai tujuan bisnis. Dari sisi hubungan antara elemen kontrak tani/dagang berbasis revenue sharing dengan elemen pada klaster sosial, bobot hubungan antara kontrak tani/dagang dengan skills pelaku sebesar 0.83, lebih besar dibandingkan dengan bobot hubungan kontrak tani/dagang dengan pola hubungan keterkaitan 0.17, fakta ini menunjukkan bahwa pola hubungan kontrak tani/dagang berbasis revenue sharing lebih menonjolkan keterampilan pelaku (aspek manajerial), karena model ini dibangun berbasis kepada kemampuan (performance) pelaku dalam memenuhi permintaan pengguna (buyer), sehingga sangat bergantung kepada keterampilan pelaku. Wu dan Blackhurst (2009) menyatakan bahwa, salah satu cara agar koordinasi dalam manajemen rantai pasok adalah dengan cara menyeimbangkan risiko pada masing-masing pelaku melalui insentif harga bagi pelaku berbasis kinerja masing-masing pelaku dalam memenuhi permintaan pembeli. Berdasarkan hubungan antara elemen mitra bisnis, dengan elemen pada klaster sosial, bobot hubungan antara elemen mitra bisnis dengan pola hubungan adalah 0.83, sedangkan dengan keterampilan pelaku 0.17. Hasil ini menunjukkan bahwa pola hubungan mitra bisnis (existing) lebih mementingkan hubungan emosional antar pelaku, sama dengan mitra strategis, tetapi dalam hal proses bisnis, pola mitra bisnis menempatkan pelaku hanya sebatas rekan bisnis, tanpa ada ikatan bisnis seperti pada mitra strategis. Secara keseluruhan hasil analisis pola hubungan keterkaitan antar pelaku dengan ANP, menghasilkan keputusan berdasarkan pendapat narasumber, bahwa model yang paling cocok untuk hubungan keterkaitan antar pelaku dalam sistem
114 RPGBKP adalah mitra strategis karena dengan model ini masing-masing pelaku memiliki kebergantungan satu sama lain (interdependency) untuk mencapai tujuan bisnis secara bersama-sama (coordination). Haris (2006) menyatakan bahwa dalam mitra strategis, pengertian saling kebergantungan antar pelaku adalah adanya sikap saling membantu dan percaya (trust), dimana kekurangan pada satu pelaku dapat dibantu oleh pelaku lainnya. Di lain pihak Wu dan Blackhurst (2009) berpendapat bahwa, salah satu hambatan dalam fungsi koordinasi dalam rantai pasok adalah keterbatasan instrumen yang dapat digunakan untuk tercapainya sistem tata niaga yang adil, dalam hal ini keadilan dalam sistem tata niaga tersebut dapat dicapai dengan model penyeimbangan risiko, berupa adanya insentif harga yang dibentuk berdasarkan kinerja masing-masing pelaku, terhadap pemenuhan permintaan pembeli seperti kualifikasi mutu, jumlah dan time-delivery. Secara lengkap hasil analisis pola hubungan keterkaitan antar pelaku RPGBKP dapat dilihat pada Lampiran 10. Keberlanjutan Dimensi Lingkungan Pemanfataan limbah kulit kopi (pulp) Secara teknis, proses pengolahan kopi Gayo umumnya dilakukan secara basah, sangat jarang pelaku menggunakan cara kering. Wintgens (2004) serta Mulato dan Suharyanti (2012) menyatakan bahwa proses pengolahan basah akan memberikan mutu yang lebih baik dibandingkan dengan pengolahan kering, karena seluruh proses pengupasan kulit dilakukan melalui proses fermentasi. Pada pengolahan basah, proses pengupasan lapisan kulit buah (exocarp) dan sebagian besar daging buah (mesocarp) menghasilkan pulp kopi. Biji kopi yang dikeringkan pada pengolahan basah disebut dengan kopi berkulit kering (dry parchment coffee), karena lapisan endocarp belum dikupas. Proses pengupasan lapisan endocarp menghasilkan kulit kopi (hull). Persentase lapisan exocarp, mesocarp, dan endocarp kira-kira 60% dari total berat buah kopi. Limbah pulp kopi (organic waste) hasil dari proses pengolahan basah apabila tidak ditangani akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan dapat menyebabkan datangnya serangga dan lalat yang selanjutnya menjadi penyebab berjangkitnya penyakit. Berdasarkan komposisinya, pulp kopi mengandung komponen karbohidrat, protein, serat, lemak, kafein, polifenol dan pektin (Gathua et al. 1991). Apabila limbah organik ini dibuang ke sungai, proses dekomposisinya akan menyebabkan pencemaran terhadap ekosistem akuatik air sungai tidak lagi dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Secara umum, karakteristik limbah cair proses pengolahan kopi di berbagai tempat menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda meskipun berasal dari proses pengolahan basah maupun semi basah. Air limbah cenderung asam, kandungan bahan organik tinggi serta tingkat padatan yang besar berasal dari kandungan lendir dan pulpa kopi selama proses pengupasan dan pencucian. Karakteristik inilah yang menentukan upaya penanganan yang dapat dilakukan. Novita (2012) mengelaborasi beberapa hasil penelitian limbah kulit kopi yang menunjukkan bahwa pada pengolahan kering indikator kerusakan lingkungan (COD dan BOD) lebih rendah dibandingkan dengan pengolahan basah. Ilustrasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh limbah cair pengolahan kopi disajikan pada Tabel 34.
115
Tabel 34 Karakteristik limbah cair berdasarkan cara pengolahan Indikator
Pengolahan semi basah* 5.4 1 443 mg/L 2 480 mg/L
Pengolahan basah**
Pengolahan Basah***
pH 4.2 3.88-4.21 BOD 3 100 – 1 4340 mg/L 3 800 – 4 780 mg/L COD 5 000 – 3 5000 mg/L 6 420 – 8 480 mg/L TSS 2 978 – 3 590 mg/L 2 390 – 2 820 mg/L TDS 50-90% 1 130 – 1 380 mg/L ket:* Mendoza & Rivera (1998),** Bruno & Oliveira (2008),*** Selvamurugan et al. (2010) BOD: biochemical oxygen demand, COD: chemical oxygen demand, TSS: total suspenden solid, TDS: total dissolve solid
Pada negara berkembang seperti Indonesia, Sanchez et al. (1991) menyatakan bahwa pulp kopi umumnya dibuang tanpa adanya perlakuan dan dibuang begitu saja dengan harapan proses degradasi terjadi secara alami tanpa adanya pengontrolan terhadap bau dan beban nutrien yang selanjutnya menjadi lindi (leachates). Proses degradasi alami terjadi selama 6 hingga 8 bulan hingga bahan organik yang ada stabil dan meninggalkan residu nitrogen tidak lebih dari 2% berat kering. Pengomposan merupakan salah satu teknologi yang dapat diterapkan untuk menangani kulit buah kopi, karena tidak membutuhkan investasi yang besar dan mampu menghasilkan pupuk berbahan organik tinggi. Pulp kopi dapat dimanfaatkan menjadi kompos. Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah untuk mempertahankan, dan menambah kesuburan tanah pertanian (Liu & Price 2011). Karakteristik umum yang dimiliki kompos adalah: (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal; (2) menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas, (3) mempunyai fungsi utama memperbaiki kualitas kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah. Pulp kopi menghasilkan kompos bermutu lebih baik dibandingkan kulit kopi karena kandungan haranya yang lebih tinggi (Baon et al. 2005), secara jumlah (mass balance) kandungan pulp mencapai 40-42% (Wintgens 2004). Secara lengkap neraca masa dalam produksi kopi disajikan pada Tabel 35, sedangkan kandungan kimia pulp pada Tabel 36. Tabel 35 Neraca massa produksi kopi Komponen Jumlah (ton) Komponen Jumlah (ton) Persentase Buah kopi (ka 22%) Kebutuhan air
Total Sumber: Witgens (2004)
5.5 22
27.5
Kopi biji (ka 11%) Husk (ka 10%) Pulp (ka 82%) Penguapan
1 0.25 2.25 1.1
18.2 4.5 41 20
Musilace (ka 65-75%)
0.9 22
16.3
Air sisa Total
27.5
100
116 Tabel 36 Komposisi kimia pulp Komponen Jumlah (%) Kadar air 12.6 Berat kering 87.4
Total
100
Komponen Ekstrak ethereal Serat kasar Nitrogen Protein Abu Nitrogen (free extract) Total
Jumlah (%) 2.5 21 1.8 11.2 8.3 44.4 100
Sumber: Witgens (2004)
Dalam kajian ini penanggulangan limbah padat (pulp) kopi Gayo digunakan sebagai kompos karena kandungan nutrient yang cukup baik sebagai humus dan karbon organik. Kompos merupakan sumber hara tanaman, bahan pembenah kesuburan fisik dan biologi tanah. Kecepatan suatu bahan menjadi kompos terutama dipengaruhi oleh rasio karbon dan nitrogen (C/N) bahan. Semakin mendekati C/N tanah, maka bahan akan lebih cepat menjadi kompos. Tanah pertanian yang baik mengandung perbandingan unsur C dan N yang seimbang. Keseimbangan yang baik ialah C/N = 10/12 atau C:N= 10:12. Bahanbahan organik yang memiliki C/N tinggi harus dikomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan. Menurut Simanjuntak et al. (2013), secara umum pulp kopi dapat menghasilkan kompos yang bermutu baik. Untuk menghasilkan kompos dengan nisbah C/N >15, membutuhkan waktu 4 bulan, sedangkan jika dibiarkan membutuhkan waktu 8-9 bulan. Secara lengkap neraca massa pengolahan kompos berbahan baku pulp kopi Gayo dapat dilihat pada Gambar 50. Bahan: pulp, vol 1 ton, ka 70% Kotoran ternak, 100 kg, ka 70% Serasah, vol 200 kg, ka 40% Total bahan 1.3 ton
Composting,3-4 minggu, ka 70%, vol 650 kg (asumsi kompos jadi 50%)
Kompos pulp kopi, 325 kg, ka 40%
padatan, 30%x650 kg =195 kg air, 70%x650=455 kg
Jika jlm kompos=A, maka jumlah padatan=60%xA=195 kg A=195/0.6=325 kg
Gambar 50 Neraca massa pembuatan kompos dari pulp kopi Gayo Ket: Basis kompos, pulp 1 ton, Kotoran ternak (sapi) 10%, serasah 20%, asumsi kompos yang jadi 50%, Suhu kompos 29-32OC, tinggi tumpukan 1 meter, warna saat matang hitam/gelap, pengadukan setiap 2-3 hari sekali
Secara teknis proses pembuatan kompos sangat mudah dan bagi petani pelatihan-pelatihan pembuatan kompos sudah sering dilaksanakan oleh instansi terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah serta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
117 (BPTP) Aceh, selain itu beberapa non goverment organization (NGO), seperti World Vision, akan tetapi sampai dengan saat ini, pulp hasil pengolahan kopi masih dibiarkan tidak dimanfaatkan. Witgens (2004) menyatakan bahwa kandungan pulp pada kopi arabika mencapai 41%, sehingga dengan produksi kopi Gayo mencapai 8 000 ton/tahun maka terdapat 3 280 ton pulp/tahun, jika tidak dikendalikan sangat signifikan sebagai potensi pencemaran lingkungan, sebaliknya juga sangat signifikan untuk kesuburan dan potensi pendapatan bagi petani. Hasil analisis B/C rasio, untuk basis produksi pulp 1 ton, nilai B/C rasio sebesar 1.448, yang artinya dengan investasi Rp1 akan memberikan manfaat sebesar Rp1 448 (lampiran 12), sehingga proses ini sangat baik untuk dilaksanakan. Efisiensi penggunaan air Secara operasional proses pengolahan kopi terdiri dari pengolahan basah (wet processing) dan pengolahan kering (dry processing). Pengolahan basah merupakan perbaikan proses pengolahan kering. Tujuan penggunaan air dalam proses pengolahan basah adalah: (1) sebagai media untuk mengklasifikasi kualitas buah kopi melalui sortasi rambang, (2) media pengaliran buah kopi untuk memudahkan proses pengupasan buah (pulping), dan (3) untuk membersihkan biji kopi dari lendir yang terdegradasi (washing) setelah proses fermentasi sekaligus mencegah proses fementasi berlebih (over fermentation). Upaya minimisasi air merupakan bagian dari upaya penerapan produksi bersih (cleaner production) melalui konsep 3R (reuse, reduce dan recycle) pada proses kopi olah basah (Indrasti & Fauzi 2009). Upaya meminimalkan air proses diharapkan dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat limbah cair sekaligus meningkatkan mutu kopi rakyat. Dalam penelitian ini, untuk mengurangi penggunaan air dalam proses produksi diaplikasikan teknologi pengolahan semi basah yang memodifikasi beberapa titik dalam proses pengolahan basah. Untuk mengetahui titik modifikasi dilakukan dengan penentuan neraca masa proses produki biji kopi. Secara lengkap proses pengolahan semi basah biji kopi dapat dilihat pada Gambar 51. Sortasi Sortasi adalah proses pemisahan terhadap biji kopi yang masuk grade olah dan yang tidak. Menurut Witgens (2004) dalam pengolahan kopi, proses sortasi dilakukan tiga tahap, yaitu 1) sortasi kebun, yaitu untuk menentukan buah kopi yang telah masak, 2) sortasi ukuran (grading) untuk memisahkan biji kopi berdasarkan ukuran dan 3) flotasi yaitu untuk memisahkan biji kopi berkualitas dan kotoran yang terikut. Pemilihan kopi merah merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan kopi dengan kualitas premium (superior). Buah kopi superior adalah buah kopi yang telah masak (merah) tidak hijau dan tidak hitam (over ripe), bernas dengan ukuran cenderung seragam. Buah kopi inferior adalah buah kopi yang cacat, hitam, pecah, berlubang, atau tercampur daun, ranting dan tanah.
118
air
Flotasi
air
Pulping Fermentasi kering
Biji kopi berkulit tanduk
Pencucian Pengeringan kopi HS
Hulling Kopi biji (green bean) Gambar 51 Proses pengolahan kopi semi basah (adaptasi Novita 2012) Pada tahap ini, limbah yang dihasilkan berupa kotoran dan buah campuran kuning-hijau (off-grade) yang masih memiliki nilai dan selanjutnya diolah dengan pengolahan kering. Buah kopi setelah dipanen sebaiknya langsung dibawa ke sentra pengolahan dan diproses agar tidak terjadi kerusakan buah yang dapat menurunkan mutu kopi, sebaiknya batas maksimal tidak lebih dari 4 jam. Berdasarkan pengamatan di lapangan rata-rata petani melakukan proses pulping antara 6-7 jam setelah panen, hal ini dapat menurunkan mutu karena mulai terjadi proses fermentasi yang mengakibatkan rasa pahit (bitter) pada kopi. Pengupasan daging buah (Pulping) Setelah proses sortasi selesai, tahap selanjutnya adalah proses pengupasan daging (pulp) dengan menggunakan alat pulper. Efisiensi penggunaan air sebagai topik utama dalam penelitian ini dilakukan pada tahap ini. Tujuan dari kegiatan ini adalah menurunkan penggunaan air dalam memproduksi kopi biji, jika jumlah air yang digunakan pada pengolahan basah mencapai 6-7 m3 untuk memproduksi kopi biji, dengan modifikasi diharapkan penggunaan air hanya 3-4 m3. Pulping meliputi pengupasan bagian kulit luar berwarna merah (exocarp) dan lapisan daging putih (mesocarp) serta pemisahan antara daging dan biji. Buah kopi yang belum matang berwarna hijau sangat sulit dikupas. Prinsip pengupasan daging buah secara mekanik menggunakan mesin (pulper) adalah dengan cara menekan buah di antara permukaan yang diam dan bergerak. Daging dan kulit buah akan terpisah ke satu sisi, sedangkan biji yang masih terselubung lapisan berlendir dan kulit tanduk (parchment) menuju ke sisi
119 lain. Dalam proses ini dibutuhkan air untuk memperlancar proses, air disemprotkan ke dalam silinder untuk membantu pengaliran kopi dan sekaligus mencuci lendir (Mulato et al. 2006). Berdasarkan hasil penelitian Novita (2010), pada proses ini penggunaan air sebesar 1.5 m3 dari bahan baku kopi sebesar 1 ton, dengan perbandingan antara daging dan kopi tanduk sebesar 50%:50%, sedangkan air limbah yang dihasilkan sebesar 1.47 m3. Dalam penelitian ini terdapat fakta menarik, bahwa penggunaan jumlah air sebesar 1.5 m3 untuk bahan baku 1 ton menyebabkan beberapa biji kopi tidak terkelupas, selain itu juga berpengaruh kepada kinerja mesin penglupas. Witgens (2004) menyatakan bahwa untuk pengolahan kopi arabika yaitu pada proses penglupasan daging umumnya menggunakan air sebesar 2 m3 agar proses penglupasan tidak terhambat serta tidak mengganggu kinerja mesin. Neraca masa proses penglupasan daging (pulping) dapat disajikan pada Gambar 52. Buah kopi merah 1 ton (ka 70%) air, 1.5 m3
Proses pulping
Limbah cair, 1.060 m3 Daging (pulp), 0.0732 ton
Kopi HS (ka 72%) 0.81 ton Gambar 52 Neraca massa proses pengupasan daging (adaptasi Novita 2012) Fermentasi Dalam proses pengolahan kopi, salah satu tahapan penting adalah fermentasi yang bertujuan untuk menghilangkan lendir di bagian permukaan kulit tanduk. Umumnya petani di Dataran Tinggi Gayo melakukannya selama 16-24 jam. Menurut Mulato et al. (2006), fermentasi kering dilakukan pada modifikasi proses olah basah untuk menghemat air dengan cara menumpuk biji kopi HS basah dalam suatu bak yang kemudian ditutup karung goni. Pada tahap awal, suhu fermentasi sebesar 29oC dan meningkat pada bagian akhir yaitu mencapai 31oC. Fase ini diakhiri saat lendir sudah tidak menempel pada biji yaitu setelah 13-15 jam. Pada proses fermentasi, tidak ada perubahan aliran massa yang signifikan. Perubahan yang terjadi berupa karakteristik biji kopi HS (Novita 2012). Secara teknis, dalam proses fermentasi terjadi beberapa proses secara kimiawi, Witgens (2004) dan Mulato et al. (2006) menyatakan setidaknya terdapat tiga perubahan selama proses fermentasi yaitu: 1. Pemecahan komponen mucilage (lendir). Bagian yang terpenting dari lapisan berlendir ini adalah komponen protopektin dan bersifat tidak larut. 2. Pemecahan gula. Pada proses fermentasi, kadar gula dari biji kopi meningkat dengan cepat selama proses pematangan buah dengan meningkatnya rasa manis. Oleh karena itu kadar gula dalam daging biji akan mempengaruhi konsentrasi gula dalam lendir beberapa jam setelah fermentasi. Hasil dari proses pemecahan gula adalah asam laktat dan asam asetat, dengan kadar asam laktat yang lebih besar. Asam-asam lain yang dihasilkan dari proses fermentasi adalah etanol, asam butirat dan propionat.
120 3. Perubahan warna kulit. Biji kopi yang telah terpisahkan dari daging menyebabkan kulit ari berwarna coklat. Jaringan daging biji akan berwarna sedikit kecoklatan, yang semula berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan. Proses pencoklatan ini terjadi akibat oksidasi polifenol yang dapat dicegah dengan menggunakan pemakaian air pencucian yang bersifat alkalis. Secara lengkap neraca masa proses fermentasi kering dapat dilihat pada Gambar 53. Biji kopi HS (ka72%), vol 0.81 ton Proses fermentasi
Biji kopi HS (ka72%), vol 0.81 ton Gambar 53 Neraca massa proses fermentasi kering Pencucian Setelah proses fermenasi selesai, tahap selanjutnya adalah proses encucian (washing). Tujuan dari proses ini adalah untuk menghilangkan sisa lendir yang masih menempel pada kulit tanduk dengan bantuan mesin pencuci (washer). Witgens (2004); Mulatno et al. (2006); Adam dan Ghaly (2007) menyatakan bahwa pada umumnya tahap ini banyak dianggap kurang berpengaruh terhadap kualitas biji kopi, tetapi sebenarnya tahap pencucian sangat berpengaruh terhadap mutu kopi yang dihasilkan yaitu menyebabkan flavor pahit (bitter) dan sepet. Secara teknis, biji kopi HS dimasukkan ke dalam corong silinder secara kontinyu yang disertai semprotan aliran air ke dalam silinder. Sirip pencuci yang berputar mengangkat massa biji kopi ke permukaan silinder. Sisa-sisa lendir pada permukaan kulit tanduk dan terlepas kemudian tercuci oleh aliran air. Kotoran akan menerobos lewat lubang-lubang pada dinding silinder dan massa biji yang sudah bersih terdorong oleh sirip pencuci ke arah ujung pengeluaran silinder. Secara lengkap neraca massa proses pencucian disajikan pada Gambar 54. Biji kopi HS, massa 0.81 ton, ka72%
air, 2.5 m3
Proses pencucian
limbah cair 2.783 m3 padatan 0.0268 ton
Biji kopi HS, vol 0.5 ton ka 60%
Gambar 54 Neraca massa proses pencucian Berdasarkan Gambar 54 terlihat bahwa, dalam proses pencucian (washing), penggunaan air hanya 2.5 m3 dari yang umumnya digunakan oleh petani sebesar
121 3-3.5 m3 per ton, sehingga terdapat penghematan sebesar 1 m3 per ton. Berdasarkan hasil penelitian Novita (2012), penggunaan air sebesar 2.5 m3 per ton pada proses pencucian tidak memberikan efek penurunan mutu terhadap biji kopi yang dihasilkan, sedangkan pelaku mendapatkan keuntungan dari penghematan sumberdaya air sebesar Rp1 665 per ton, selain itu kadar air biji kopi HS setelah proses pencucian sebesar 50 – 60%. Hal ini diperkirakan karena biji kopi telah bersih dari lendir yang terdegradasi selama fermentasi. Lendir yang semula menempel pada permukaan biji kopi HS dialirkan bersama-sama limbah cair dan pulp yang masih terikut sejak proses pengupasan. Daging kopi yang dihasilkan pada tahap ini sangat sedikit yaitu sebesar 1.92%. Limbah cair yang dihasilkan dari proses pencucian cenderung lebih kental dibandingkan limbah cair proses pengupasan karena kandungan lendir dalam jumlah dominan. Jinjuan et al. (2009) menyatakan bahwa setelah proses pencucian biji kopi harus mendapat perlakuan pengeringan, karena umumnya berkadar air antara 55-60%, biasanya petani kopi di negara berkembang jarang melakukan kegiatan ini. Pengeringan Tahap selanjutnya adalah proses pengeringan (drying) yang secara teknis dapat dilakukan melalui penjemuran dengan sinar matahari (full sun drying) atau menggunakan pengering mekanis hingga kadar air mencapai maksimal 12% (SNI 01-2907-2008). Apabila menggunakan pengering mekanis dengan bahan bakar kayu umumnya dilakukan pada suhu 50o - 60o C, dengan lama pengeringan ratarata 3 - 4 hari (50 jam secara teoritis dengan suhu di awal proses suhu 60– 70oC. Novita (2012) melaporkan bahwa, pengeringan cenderung lebih lama berlangsung pada biji kopi yang berasal dari perlakuan air proses minimum. Biji kopi HS yang dihasilkan dari proses pengeringan telah menurun hingga 24% dari total buah kopi gelondong yang diproses. Secara teknis, umumnya pelaku rantai pasok kopi Gayo melakukan proses pengeringan dengan menggunakan sinar matahari dengan cara meletakan biji kopi di atas terpal dan selanjutnya dijemur di tempat terbuka. Lamanya penjemuran umumnya 4-7 hari tergantung dari kondisi cuaca, tahap akhir dari proses ini adalah mengecek kadar air kopi biji dengan alat moisture tester secara langsung (Gambar 55), setelah kadar air mencapai 12%, biji kopi di kemas dengan menggunakan karung goni.
Gambar 55 Proses pengecekan kadar air kopi biji Penguapan air dihitung berdasarkan neraca massa yang secara lengkap disajikan pada Gambar 56.
122 Biji kopi HS, massa 0.5 ton, ka 60%
Pengeringan
Uap air, 0.2693 ton
Biji kopi HS, massa 0.256 ton, ka 12%
Gambar 56 Neraca massa proses pengeringan Berdasarkan Gambar 56, terlihat bahwa proses pengeringan menyebabkan berkurangnya kadar air biji kopi dari 60% menjadi 12%, Witgens (2004) menyatakan bahwa selama proses pengeringan telah terjadi perpindahan massa air kopi biji dalam bentuk uap air. Berdasarkan observasi di lapangan proses ini merupakan kunci dari pengendalian mutu, secara berkala tim quality control perusahaan melakukan pengecekan karena salah satu parameter utama dalam kontrak ekspor adalah syarat kadar air kopi biji yang harus di bawah 13%. Pada tahap ini juga muncul masalah lain, karena proses penjemuran tidak menggunakan para-para, maka cemaran fisik relatif tinggi, sehingga perusahaan harus melakukan sortasi lanjutan (by hand) selain untuk memisahkan biji kopi yang cacat (hitam dan berlubang). Secara lengkap proses sortasi lanjutan disajikan pada Gambar 57.
foto by jaya
Gambar 57 Sortasi lanjutan untuk memisahkan cemaran dan kopi biji off-grade Pengupasan kulit tanduk (hulling) Tahap selanjutnya adalah proses penglupasan kulit tanduk dengan alat bantu huller (Gambar 57). Untuk mencapai keseragaman dan meningkatkan efisiensi penglupasan, sebaiknya dilakukan sortasi ukuran terlebih dahulu sebelum proses hulling. Persentase kulit tanduk dan kulit ari yang dihasilkan dari proses pengupasan ini dapat mencapai 5% dari total buah kopi gelondong yang diproses. Setelah proses ini kopi biji siap untuk dikemas dalam karung goni yang telah diberi tanda sesuai dengan kode produksi, dan selanjutnya siap untuk di ekspor ke negara tujuan, umumnya melalui Pelabuhan Belawan, Provinsi Sumatera Utara. Secara lengkap proses penglupasan kulit tanduk dan kemasan disajikan pada Gambar 58 dan 59.
123
foto by Jaya
Gambar 58 Proses pengupasan kulit tanduk (hulling)
foto by Jaya
Gambar 59 Kopi Gayo siap untuk di ekspor Secara keseluruhan, berdasarkan aturan Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Timur No. 45 Tahun 2002, tentang baku mutu penggunaan air dinyatakan bahwa pada pengolahan kopi maksimal air yang digunakan adalah 40 m3 per ton. Pada penelitian ini jumlah air yang digunakan adalah sebesar 4-5 m3/ton, sedangkan yang umum digunakan pelaku adalah berkisar antara 7-10 m3/ton sehingga terjadi penghematan yang mencapai 50%, sangat signifikan jika dilihat dari materi. Jika dihubungkan dengan aspek finansial, harga air PDAM di kedua kabupaten adalah sebesar Rp1 665 per kubik, jadi untuk menghasilkan 1 ton kopi biji Gayo dibutuhkan biaya untuk air sebesar Rp8 325, jika dengan proses yang umum dilakukan biaya untuk air sebesar Rp16 665. Dalam satu tahun, produksi kopi Gayo mencapai 8 000 ton maka efisiensi yang didapat pelaku adalah Rp66 600 000/tahun, jumlah yang sangat signifikan bagi para pelaku. Berdasarkan hal ini, Adam dan Ghaly (2007), Novita (2012) serta Mutry dan Naidu (2012) menyatakan bahwa aplikasi teknologi semi basah sangat penting untuk dilaksanakan karena dapat memberikan keuntungan dari aspek lingkungan dan finansial. Aspek keanekaragaman hayati Dalam kerangka pembangunan keberlanjutan, salah satu aspek yang sangat penting untuk diperhatikan adalah keanekaragaman hayati (biodiversitas). Secara kultural, masyarakat yang mengusahakan tanaman kopi melaksanakan sistem budidaya monokultur dengan penaung lamtoro. Di lain pihak, produk pertanian lainnya dari kawasan ini antara lain jeruk, terong belanda dan aneka produk sayuran seperti kubis, tomat dan wortel yang pemasaran sampai ke kota Bireuen,
124 Banda Aceh, Jeuram dan Meulaboh. Dengan pola usaha tani secara monokultur, dikhawatirkan akan mengurangi aspek biodiversitas dari kawasan ini, apalagi dengan meningkatknya jumlah pelaku eksportir sebesar 50% jika dibandingkan sebelum tahun 2007. Dengan peningkatan ini, tentunya juga meningkatkan permintaan terhadap kopi Gayo dengan konsekwensi terjadinya pembukaan lahan baru dari hutan primer. Untuk mencegah menurunya tingkat biodiversitas kawasan dataran tinggi Gayo, seharusnya petani mengaplikasikan sistem polikultur dengan tanaman lain yang sesuai dengan kondisi lingkungan, misalnya dengan tanaman jeruk. Simulasi keberlanjutan rantai pasok kopi Gayo Simulasi adalah peniruan perilaku dari suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan melakukan peramalan dari perilaku gejala atau proses tersebut dimasa depan dalam kurun waktu tertentu (time-frame). Dalam penelitian ini simulasi diwujudkan pada model prediksi dibangun dengan menggunakan teknik sistem dinamis. Pemodelan dinamika sistem adalah teknik membangun dan menjalankan model sistem abstrak untuk mempelajari perilaku tanpa mengganggu lingkungan sistem nyata (Williams 2004), karena sifat dinamis dari rantai pasokan. Simulasi merupakan instrumen alami dan penting untuk analisis dan desain rantai pasokan dan manajemen rantai pasokan (Alexander et al. 2005). Model simulasi dapat membantu struktur, mengubah, memadatkan dan menampilkan data visual sedemikian rupa sehingga pengambil keputusan dengan cepat dapat memahami situasi dan bertindak atas informasi yang disajikan (Boyson et al. 2004). Tujuan dari bab ini adalah untuk mengetahui kondisi berkelanjutan rantai pasok kopi Gayo sampai pada tahun 2018 yang akan datang, sehingga dengan diketahuinya indeks berkelanjutan sebelum (exsisting) dan sesudah penelitian (setelah rekayasa sistem), selain itu juga diketahui perkembangan indeks berkelanjutan semakin baik atau sebaliknya pada masa yang akan datang, setelah dilakukan rekayasa sistem. Simulasi dilakukan tanpa menerapkan kebijakan apapun terhadap model yang dikembangkan. Profit usaha pelaku Berdasarkan hasil model simulasi dengan menggunakan teknik sistem dinamis, didapatkan sampai dengan tahun 2018 (Gambar 60), profit usaha pelaku petani mengalami peningkatan rata-rata sebesar Rp16 325 483 juta/tahun. Peningkatan ini terjadi akibat meningkatnya produksi buah kopi (cherry), yang disebabkan oleh meningkatnya produktivitas tanaman kopi Gayo, dari 0.6 ton/ha pada tahun 2000-an, 0.7 ton/ha antara tahun 2005-2012 dan 0.79 ton/ha pada tahun 2012-sekarang, serta meningkatnya keterampilan petani yang disebabkan oleh akumulasi pengetahuan dan akibat adanya intervensi pihak pemerintah daerah, melalui pelatihan teknis yang dilaksanakan oleh instansi terkait terutama dalam hal peningkatan mutu produk dan pengelolaan risiko rantai pasok. Sedangkan pada sisi harga jual kopi cherry sangat fluktuatif (Gambar 61). Fenomena ini terjadi akibat dalam penentuan harga jual sangat dipengaruhi oleh harga kopi dunia. Dalam satu tahun terakhir harga jual kopi Gayo meningkat sebagai akibat menurunnya pasokan kopi arabika dari Brazil yang disebabkan oleh pengaruh musim kering yang berkepanjangan.
125 Selain itu, peningkatan produksi kopi cherry juga berhubungan erat dengan membaiknya kondisi keamanan daratan tinggi Gayo. Sebelum ditandatanginya perdamaian antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005, kondisi perkebunan kopi Gayo sangat memprihatinkan, luas lahan tidak terkelola mencapai 60% dari total luas lahan kopi Gayo yang mencapai 81 000 ha, sehingga produktivitasnya sangat rendah, yaitu hanya 0.6 ton/ha. Fakta ini berbanding terbalik dengan pasca kesepakatan damai, luas lahan tidak terkelola turun hingga 20% dan produktivitas meningkat secara bertahap dari 0.6-0.79 ton/Ha. Peningkatan produktivitas juga disebabkan oleh introduksi beberapa varietas unggul baru yang memiliki kelebihan yaitu, lebih adaptif dan relatif tahan terhadap serangan hama dan penyakit sepeti, karat daun, busuk akar dan buah. Beberapa varietas tersebut antara lain Kartika I dan II serta Gayo I dan II.
Rp/kg
Gambar 60 Simulasi keuntungan aktor petani antara tahun 2011-2018 12,500 11,500 10,500 9,500 8,500 7,500 6,500 5,500 4,500 3,500 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Tahun 2011-2012
Gambar 61 Pergerakan harga cherry (diolah dari berbagai sumber) *)
angka 1-24 menunjukan harga jual cherry per bulan
126 Pada pelaku pedagang pengepul, hasil prediksi keuntungan antara tahun 2011-2018 (Gambar 62), didapatkan bahwa tingkat keuntungan pelaku ini mengalami tren peningkatan. Kenaikan ini secara umum disebabkan oleh meningkatnya produksi buah kopi (cherry), dan juga permintaan dari agroindustri (processor), sebagai akibat adanya trend peningkatan permintaan kopi dunia, karena menurunya produksi kopi arabika Vietnam dan Brazil sebagai penghasil kopi arabika terbesar di dunia. Selain itu, fakta ini juga disebabkan oleh adanya peningkatan faktor keterampilan yang meningkat secara linear sebagai akibat intervensi pemerintah daerah melalui pelatihan teknis, sehingga meningkatkan mutu produk yang dihasailkan, pengelolaan risiko rantai pasok dan pola hubungan keterkaitan antar pelaku. Kenaikan profit juga disebabkan oleh adanya tambahan pendapatan dari produksi kompos yang jumlahnya mencapai 15-25 ton/tahun.
Gambar 62 Simulasi keuntungan aktor pedagang pengepul tahun 2011-2018
Rp/kg
Sejalan dengan peningkatan tingkat keuntungan, parameter harga jual juga menunjukkan tren peningkatan, sehingga tingkat keuntungan pedagang pengepul kopi Gayo dalam kerangka rantai pasok meningkat secara signifikan. Berdasarkan data kurun waktu (time-series) antara tahun 2005-2013 (Gambar 63), harga kopi HS yang oleh masyarakat sekitar disebut kopi labu berkisar antara Rp18 000-25 000/kg. 23000 22000 21000 20000 19000 18000 17000 16000 15000 14000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Tahun 2011-2012
Gambar 63 Perkembangan harga kopi HS Gayo tahun 2005-2013 *)
angka 1-24 menunjukan harga jual kopi HS per bulan
127 Berdasarkan pelaku agroindustri, hasil prediksi sampai dengan tahun 2018, didapatkan bahwa pada pelaku ini terjadi trend kenaikan tingkat keuntungan berkisar antara 30-80 juta pertahun (Gambar 64). Akan tetapi antara tahun 20112013, keuntungan pelaku ini mengalami penurunan yang disebabkan turunnya harga kopi dunia, akibat pasokan yang melimpah dari Brazil dan Vietnam. Baru setelah tahun 2014, terjadi kenaikan yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan volume produksi biji kopi (green bean) sebagai akibat adanya trend permintaan kopi arabika Gayo oleh importir. Salah satu penyebab fakta ini adalah, memasuki pertengahan tahun 2012, produksi kopi arabika Brazil, Vietnam mengalami penurunan akibat anomali iklim, yaitu kekeringan yang berkepanjangan. Fakta lainnya yang menyebabkan terjadinya peningkatan tingkat keuntungan agroindustri adalah adanya peningkatan mutu dari bahan baku, sehingga biaya yang dikeluarkan saat proses produksi dapat dikurangi. Selain itu peningkatan keuntungan agroindustri juga terjadi akibat meningkatnya kurs tukar mata uang Rupiah terhadap dollar Amerika yang nilainya mencapai Rp12 000 per dollar.
Ket: keuntungan dalam jutaan rupiah
Gambar 64 Simulasi keuntungan agroindustri tahun 2011-2018 Dari sisi harga, juga terjadi trend peningkatan harga biji kopi (green bean) antara tahun 2005-2013 (Gambar 65), trend peningkatan terjadi pada tahun 2013 sampai awal tahun 2014 yang mencapai Rp3 000 - 4 000/kg biji kopi siap ekspor. Peningkatan ini seiring dengan kenaikan harga kopi dunia, untuk jenis other mild Arabica yaitu sekitar 100 cent/lb. Salah satu pemicu kenikan harga ini adalah menurunnya pasokan kopi dari dua negara penghasil kopi arabika terbesar yaitu Brazil dan Vietnam akibat perubahan cuaca ekstrim, yaitu kekeringan berkepanjangan. Secara keseluruhan dari sisi dimensi ekonomi, hasil kajian menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan tingkat keuntungan masing-masing pelaku dalam sistem rantai pasok kopi Gayo. Peningkatan ini sebagai akibat dari semakin meningkatnya produktivitas tanaman kopi Gayo yaitu dari 0.6 ton/Ha sebelum tahun 2005, menjadi 0.79 ton/ha pada tahun 2013. Peningkatan ini terjadi sebagai akibat meningkatnya tingkat keterampilan masing-masing pelaku akibat adanya intervensi pemerintah daerah terutama melalui pelatihan teknis. Hal penting lainnya adalah setelah persetujuan damai antara pemerintah RI dengan GAM,
128 luasan lahan produktif meningkat 20% karena petani mulai memperbaiki kebun mereka yang tidak dirawat sejak konflik terjadi. Akan tetapi, peningkatan keuntungan usaha dan harga jual produk masingmasing pelaku apakah benar-benar meningkatkan kesejahteraan pelaku dalam sistem rantai pasok kopi Gayo. Fakta menunjukkan bahwa pada pelaku petani, hasil simulasi di atas dilakukan berdasarkan asumsi luas lahan yang diusahakan 2 Ha, dengan produktivitas 0.79 ton/ha. Padahal lebih dari 50%, penguasaan lahan perkebunan kopi Gayo kurang dari 2 ha, dengan produktivitas bervariasi antara 200 kg - 2 ton/ha. Permalahan ini telah banyak dibahas oleh peneliti, diantaranya oleh Ponte (2002) yang membahas masalah apakah revolusi produk kopi yang terjadi di Eropa memberikan manfaat terhadap pelaku, terutama petani di negaranegara produsen. Begitu juga dengan Raynolds (2009), Wollni dan Brummer (2012) serta Ruben dan Port (2012), yang mengkaji dampak sertifikasi fair-trade terhadap peningkatan kesejahteraan petani di Kostarika dan Peru. 53000 51000
Rp/kg
49000 47000 45000 43000 41000 39000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun Gambar 65 Perkembangan harga kopi biji Gayo dari tahun 2005-2013 Dari sisi produksi masing-masing pelaku, juga terjadi trend peningkatan pada produksi buah kopi untuk petani, kopi HS pelaku pedagang pengepul dan biji kopi pada agroindustri (Gambar 66). Faktor penting dari peningkatan ini adalah meningkatnya produktivitas, luas lahan menghasilkan dan luas lahan baru. 160 140 120 Ton
100 80 60 40 20 0 2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
Tahun
Gambar 66 Simulasi volume produksi pelaku (Δ green bean, HS, ◊ Cherry)
129 Pengelolaan risiko rantai pasok Berdasarkan hasil simulasi model dengan menggunakan teknik sistem dinamis, didapatkan pada kurun waktu antara tahun 2012-2018 (Gambar 67), pada indikator pengelolaan risiko rantai pasok oleh para pelaku mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Peningkatan ini terjadi akibat terjadi akibat meningkatnya keterampilan pelaku karena bertambahnya pengalaman pelaku dalam menggelola risiko rantai pasok. 2.50
Skor
2.00 1.50 1.00 0.50 2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
Tahun
Gambar 67 Simulasi pengelolaan risiko rantai pasok Berdasarkan Gambar 67 terlihat bahwa keterampilan pelaku secara ratarata meningkat dari waktu ke waktu pada skala ordinal. Peningkatan ini terjadi akibat akumulasi pengetahuan (skills) pelaku dalam sistem rantai pasok kopi Gayo. Pada penelitian ini variable keterampilan pelaku sangat berpengaruh kepada peningkatan produktivitas petani, peningkatan mutu kopi HS pada pedagang pengepul dan aspek manajerial pada pelaku agroindustri. Sedangkan berdasarkan pengalaman, peningkatan keterampilan pelaku juga disebabkan adanya pelatihan teknis yang dilakukan oleh institusi terkait, akan tetapi aktivitas ini umumnya berlangsung tidak berkesinambungan dan sangat bergantung kepada keputusan pengambil kebijakan. Pemanfaatan pulp menjadi kompos Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan dimensi lingkungan adalah pemanfaatan limbah pulp kopi untuk menjadi kompos yang umumnya dilakukan oleh pedagang pengepul, sehingga diharapkan penggunaan pupuk kimia pabrikan yang berdampak buruk kepada lingkungan dapat dikurangi. Berdasarkan hasil model prediksi dengan menggunakan teknik sistem dinamis, didapatkan bahwa produksi pulp pada tahun 2018 mencapai 34.62 ton/tahun (Gambar 68). Peningkatan ini terjadi akibat adanya trend peningkatan produksi buah kopi petani, sebagai akibatnya meningkatnya produktivitas dan luas lahan yang diusahakan.
130
Gambar 68 Simulasi produksi pulp kopi Gayo Di lain pihak produksi kompos dari pelaku secara tidak langsung juga akan meningkat. Pada tahun 2018, diprediksi produksi kompos mencapai 22.99 ton. Hasil ini tentunya akan memberikan manfaat kepada pelaku, karena dengan perbandingan antara kompos dengan pupuk pabrikan sebesar 12:1 (Syamsudin dan Aktaviyani 2009), yang mempunyai makna bahwa setiap 1 kg pupuk pabrikan memiliki hasil yang sama dengan penggunaan kompos 12 kg. Sehingga produksi 22.99 ton/hari kompos ekuivalen untuk luas lahan 10 ha. Dari sisi finansial, dengan harga pupuk pabrikan non subsidi sebesar Rp9 000/kg, kebutuhan pupuk pabrikan sebesar 150 kg/ha, maka penghematan yang didapat pelaku adalah sebesar Rp13 500 000/hari, suatu nilai yang sangat signifikan bagi pelaku. Dari sisi perspektif sistem budidaya organik, hasil penelitian memberikan gambaran yang nyata tentang pelaksanaan sistem budidaya kopi Gayo secara organik. Sertifikasi organik telah lama diberlakukan terhadap kopi Gayo, akan tetapi pelaksanaan sertifikasi belum sepenuhnya mengikuti kaidah budidaya organik, karena assessor masih mentolelir penggunaan pupuk dan herbisida non organik sebesar 10%. Dengan produksi kompos secara mandiri, diharapkan sistem budidaya organik kopi Gayo dapat lebih ditingkatkan, karena pelaku dapat meninggalkan penggunaan pupuk an-organik pabrikan secara permanen, di lain pihak pelaku juga mengurangi ketergantungan dengan daerah lain untuk mendapatkan pupuk kandang sebagai pupuk organik dalam sistem produksi kopi Gayo. Untuk dapat menentukan tingkat keberlanjutan RPGBKP pada indikator pemanfaatan pulp menjadi kompos (PPK) bagi seluruh pelaku, dilakukan transformasi nilai kuantitatif yaitu keluaran dari sistem dinamis ke dalam bentuk skoring dengan skala ordinal, selanjutnya nilai indikator pemanfaatan pulp menjadi kompos dikategorikan. Setiap kategori diberikan nilai skor dengan tujuan agar dapat diagregasi dengan metode MDS. Pendapatan pelaku rantai pasok kopi Gayo Dalam penelitian ini yang pokok bahasan take home pay (THP) pelaku rantai pasok kopi Gayo yaitu petani, pedagang pengepul dan pekerja agroindustri. Tingkat THP pelaku diukur berdasarkan tingkat keuntungan usaha yang diperoleh pelaku petani dan pedagang pengepul, sedangkan pekerja dibahas berdasarkan upah yang diterima dan dibandingkan dengan upah minimum kabupaten (UMK) yang berlaku. Secara lengkap perkembangan UMK di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah disajikan pada Gambar 69.
131 Dari sisi pelaku petani, berdasarkan simulasi sampai dengan tahun 2016, didapatkan bahwa rata-rata keuntungan usaha kopi Gayo adalah sebesar Rp4 243 326/bulan. Hasil ini jika dibandingkan dengan UMK yang berlaku pada tahun yang sama adalah Rp2 000 000/bulan, tentu jauh lebih tinggi. Akan tetapi jika dilihat dari trend inflasi tahunan yang mencapai 7-8%, maka peningkatan pendapatan yang diterima petani masih jauh dari harapan, masalah ini diperparah dengan buruknya infrastruktur yang secara langsung mempengaruhi peningkatan biaya logistik. 2150000 1950000
Rp/Bulan
1750000 1550000 1350000 1150000 950000 750000 550000
Tahun Gambar 69 Perkembangan UMK dan proyeksi sampai tahun 2016 Dari sisi pedagang pengepul, berdasarkan hasil prediksi keuntungan usaha sampai dengan tahun 2018, didapatkan bahwa secara rata-rata keuntungan pedagang pengepul mencapai Rp4 410 847/bulan. Jika dibandingkan dengan UMK, nilai ini dapat dikatakan jauh lebih tinggi, akan tetapi jika dilihat trend peningkatan komponen usaha dan juga inflasi tahunan, tentu nilai ini jauh dari harapan. Berdasarkan hasil model prediksi keuntungan usaha sampai dengan tahun 2018, didapatkan bahwa secara rata-rata keuntungan pedagang pengepul mencapai Rp68 976 282/bulan. Keuntungan usaha ini dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang sangat baik dari sisi pemilik (owner) agroindustri. Akan tetapi dalam teori dasar manajemen rantai pasok berkelanjutan, dinyatakan bahwa dari dimensi sosial, kesejahteraan pelaku usaha (industri) tidak dilihat semata-mata dari pemilik, justru yang sangat penting dari sisi pekerja/karyawan. Keterampilan pelaku rantai pasok kopi Gayo Keterampilan petani menjadi salah satu indikator keberlanjutan dimensi sosial pada RPGBKP, karena aspek ini memiliki berpengaruh besar terhadap perbaikan kinerja petani dalam perspektif tujuan rantai pasok, yaitu pemenuhan aspek mutu, jumlah dan time-delivery (Chopra & Meindl 2007). Pengertian keterampilan petani pada penelitian ini, mengacu kepada bagaimana petani mampu memenuhi ketiga aspek dalam rantai pasok dalam rangka pemenuhan permintaan konsumen, dalam hal ini adalah pedagang pengepul.
132 Berdasarkan pengamatan di lapangan, keterampilan petani telah terbangun secara turun temurun (kultur) dalam hal aspek budidaya, pemanenan dan penanganan primer buah kopi. Aspek budidaya mencakup pembibitan (nursery), dimana aspek ini petani dihadapkan kepada masalah ketersediaan bibit (klon) unggul yang tahan terhadap penyakit busuk akar dan buah. Terdapat beberapa petani yang telah mampu membuat bibit sendiri (self-nursery), yaitu dengan menyeleksi tanaman unggul dalam satu kawasan, kemudian membuat persemaian untuk klon-klon unggul tersebut. Saat ini, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh, telah membuat pembibitan klon-klon unggul yang dapat dimanfaatkan oelh petani dengan harga bibit yang relatif terjangkau (Rp3 000/batang), walaupun dengan jumlah bibit terbatas. Tahap selanjutnya adalah, penanaman (planting), pemeliharaan termasuk pemupukan dan pemangkasan dan pemanenan (harvesting). Salah satu masalah terbesar dalam pemenuhan kualifikasi mutu kopi Gayo adalah tahap pemanenan, yaitu “petik merah” dan buah dipetik, bukan dengan pengurutan (stripping) serta secepatnya melakukan proses pulper (one-day processing). Untuk meningkatkan keterampilan petani terutama pada aspek pemenuhan bibit (klon) unggul, pemanenan (petik merah dan not stripping) adalah dengan meningkatkan keterampilan petani melalui pelatihan berkala dengan fokus materi kepada bagaimana membuat bibit unggul secara mandiri. Pada tahun 2009-2010, Puslit Kopi dan Kakao, Jember bekerjasama dengan BPTP Aceh telah melakukan seleksi bibit dari tanaman unggul yang ada di kawasan Dataran Tinggi Gayo untuk mendapatkan bibit (klon) unggul lokal yang lebih adaptif terhadap lingkungan. Sedangkan pada aspek pemanenan “petik merah” dan not stripping dapat dilakukan melalui pelatihan teknis secara berkala yang dilakukan oleh lembaga penelitian dan penyuluhan, univeritas serta lembaga swadaya masyarakat. Dari sisi pelaku pedagang pengepul, keterampilan berhubungan erat dengan upaya pengelolaan mutu terhadap kopi HS yang dihasilkan. Mutu yang dimaksud pada penelitian ini adalah kualifikasi kopi HS yang mengacu kepada SNI-2107-1997. Dengan meningkatnya keterampilan pedagang pengepul diharapkan jumlah off-product sebagai akibat dari cemaran fisik dan cacat fisik dapat diturunkan, sehingga tingkat keuntungan usaha pedagang pengepul dapat meningkat. Dari pelaku agrindustri, variable keterampilan berhubungan erat dengan aspek manajerial, aspek ini adalah kemampuan bagaimana pelaku menggelola proses bisnis kopi Gayo. Variabel keterampilan pada pelaku ini berbeda dengan petani dan pedagang pengepul yang berhubungan erat dengan aspek produksi, sedangkan pada pelaku agroindustri berhubungan erat dengan keterampilan mengelola perusahaan. Dalam penelitian ini keterampilan pelaku dianalisis berdasarkan pengalaman yang diterima masing-masing pelaku pada kurun waktu tertentu dan jumlah pelatihan teknis yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan institusi terkait. Secara lengkap prediksi perkembangan keterampilan pelaku pada RPGBKP disajikan pada Gambar 70.
133 3.50 Petani Pedagang pengepul Agroindustri
3.00
Skor
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
Tahun
Gambar 70 Simulasi keberlanjutan keterampilan pelaku RPGBKP Prediksi keberlanjutan RPGBKP dengan multi-dimensional scaling Tahap selanjutnya dalam penelitian ini adalah melakukan prediksi keberlanjutan dengan menggunakan teknik multi-dimensional scaling (MDS), sedangkan software yang digunakan adalah Rap-coffee yang merupakan pengembangan dari Rap-fish. Hasil analisis MDS (Gambar 71) menunjukkan bahwa, secara keseluruhan indeks keberlanjutan RPGBKP adalah 60.55 (cukup berlanjut) yang berarti bahwa pada tahun 2018, RPGBKP berkategori cukup berlanjut. Dengan hasil ini dapat dikatakan bahwa indeks berkelanjutan RPGBKP mengalami peningkatan dari tahun 2011 yang memiliki indeks 33.53 (kurang berkelanjutan) menjadi 60.55 (cukup berkelanjutan). Terjadinya peningkatan indeks berkelanjutan ini disebabkan oleh adanya peningkatan dari skor masing-masing dimensi pada saat identifikasi awal keberlanjutan RPGBKP dengan prediksi keberlanjutan RPGBKP. Sebagai contoh, pada dimensi ekonomi, untuk atribut net profit petani skor awal adalah 2, sedangkan pada prediksi keberlanjutan atribut ini skornya menjadi 3. Peningkatan ini disebabkan adanya intervensi terhadap elemen yang secara keseluruhan mampu meningkatan indeks keberlanjutan RPGBKP, seperti elemen keterampilan petani. Dengan meningkatnya elemen keterampilan petani sebagai akibat peningkatan pengetahuan dan jumlah pelatihan teknis maka secara langsung meningkatkan profit petani. Berdasarkan hal ini ini dapat dikatakan bahwa keberlanjutan RPGBKP masih dapat ditingkatkan keberlanjutannya, walaupun secara parsial tidak semua elemen menujukan keberlanjutan. Misalnya pengelolaan risiko rantai pasok pada seluruh pelaku. Pada elemen pengelolaan risiko rantai pasok, skor rata-rata pelaku adalah sebesar 2 yang berarti perkembangan pengelolaan risiko rantai pasok oleh pelaku dapat dikatakan lambat. Hal ini disebabkan, jumlah pelatihan teknis yang dilakukan oleh instansi terkait sangat sedikit. Berdasarkan hasil survey di lapangan menunjukan bahwa, jumlah pelatihan teknis yang telah dilakukan oleh instansi terkait rata-rata pertahun adalah 0.8 selama 5 tahun terakhir. Purnomo (2013) menyatakan bahwa faktor pengungkit utama dalam pencapaian agroindustri berkelanjutan adalah keterampilan pelaku, karena elemen ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan pelaku dalam menggelola risiko rantai pasok.
134
Other Distingishing Features
60.00 UP
40.00 20.00 0.00 -20.00
BAD 0.00
20.00
40.00
60.55 60.00 80.00
GOOD 100.00
120.00
-40.00 -60.00
DOWN Sustainability of RPKG
Gambar 71 Prediksi keberlanjutan RPGBKP Verifikasi dan Validasi Hasil seluruh pada penelitian ini adalah berupa diagram proses dan formula matematik yang merepresentasikan rancangan RPGBKP berkelanjutan. Tahap selanjutnya adalah dengan melakukan verifikasi kesesuaian apakah antara input dan output model berjalan dengan baik dan benar. Jika masih terdapat kesalahan maka model harus diperbaiki. Selanjutnya model divalidasi dengan menggunakan teknik face validity (Sargent 1997). Pertanyaan yang diajukan kepada 2 orang pakar yang memiliki kapabilitas dalam sistem RPGBKP yang berasal dari Balai Besar Penelitian Pasca Panen Pertanian dan Peneliti di BPTP Aceh. Teknis pelaksanaan proses ini adalah kedua pakar tersebut dipresentasikan mengenai beberapa model yang digunakan dalam penelitian, kemudian diberikan kuesioner untuk diberikan penilaian. Secara lengkap terangkum pada Tabel 37. Tabel 37 Validasi model RPGBKP berkelanjutan No. Model 1. Model identifikasi keberlanjutan RPGBKP 2. Model analisis dan mitigasi risiko rantai pasok 3. Model distribusi keuntungan berkeadilan 4. Analisis pola hubungan keterkaitan pelaku RPGBKP 5. Analisis pemanfaatan pulp dan efisiensi penggunaan air 6. Model simulasi keberlanjutan RPGBKP
Pakar 1 Sangat setuju
Pakar 2 Sangat setuju
Sangat setuju
Sangat setuju
Sangat setuju Sangat setuju
Sangat setuju Sangat setuju
Sangat setuju
Sangat setuju
Sangat setuju
Sangat setuju
Berdasarkan Tabel 38, diketahui bahwa kedua pakar sangat setuju atas beberapa model yang dikembangkan dan dianggap telah merepresentasikan sistem nyata, yaitu rantai pasok kopi Gayo.
135 Implikasi Manajerial Implikasi manajerial yang dapat disusun pada penelitian ini adalah bahwa yang dirancang adalah bukan struktur RPGBKP akan tetapi pada aspek manajemen RPGBKP. Dalam hal ini adalah bagaimana sistem manajemen yang baru mampu meningkatkan efektifitas RPGBKP melalui pengembangan beberapa model pada dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Agar rancangan ini lebih aplikatif, diwujudkan dalam kontrak yang disepakati oleh seluruh pelaku RPGBKP dan difasilitasi oleh pihak pemarintah daerah serta lembaga-lembaga yang secara langsung terlibat dalam sistem RPGBKPB. Dimensi ekonomi Analisis dan mitigasi risiko RPGBKP Implikasi manajerial pada analisis dan mitigasi risiko pada RPGBKP yang dapat diusulkan dari penelitian ini adalah, perlu adanya suatu mekanisme yang tepat untuk dapat mengidentifikasi risiko rantai pasok agar diperoleh gambaran yang jelas tentang kemungkinan terjadinya risiko serta penyebabnya, sehingga pihak-pihak yang terkait dalam sistem bisnis kopi Gayo seperti pemerintah daeah Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) perwakilan Provinsi Aceh, Forum kopi Aceh dan kelompok tani dan nelayan andalan (KTNA) dapat melakukan tindakan ataupun mengantisipasi akan terjadinya risiko saat proses bisnisnya terjadi. Selain itu setelah diketahui faktor dan variabel risiko diperlukan mitigasi yang sesuai, dengan tujuan agar risiko tersebut dapat dihindari atau setidaknya dapat diminimalisir dampaknya. Untuk melakukan identifikasi risiko dan mitigasi risiko yang telah diidentifikasi dan ditetapkan, sebaiknya melibatkan semua pihak yang berkepentingan dalam sistem rantai pasok kopi Gayo. Salah satu cara yang cukup efektif adalah dengan menggunakan pendekatan diskusi secara mendalam dan dilakukan secara berkala, karena dinamika risiko yang selalu berubah dalam suatu forum komunikasi melibatkan seluruh pihak terkait. Pada penelitian ini telah dikemukan mekanisme dalam identifikasi dan mitigasi yang dapat dilakukan. Dengan mekanisme tersebut telah teridentifikasi beberapa risiko utama yang harus diantisipasi oleh setiap pelaku dalam RPGBKP. Risiko yang umum terjadi dalam RPGBKP di tingkat petani adalah rendahnya mutu, permintaan, budidaya dan harga, sedangkan mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan keterampilan petani melalui pelatihan teknis, terutama pada aspek budidaya, panen. Pada pelaku pedagang pengepul dan agroindustri, risiko yang kerap terjadi adalah risiko mutu, permintaan, pasokan dan harga. Dengan mitigasi berupa peningkatan keterampilan pelaku pedagang pengepul dalam hal penanganan pasca panen melalui pelatihan teknis, sedangkan pada pelaku agroindustri lebih kepada aspek manajerial. Distribusi keuntungan berkeadilan Implikasi manajerial pada distribusi keuntungan berkeadilan melalui mekanisme penyeimbangan risiko RPGBKP adalah perlu adanya pelaku rantai pasok yang bertanggungjawab untuk dapat mengimplementasikan dan mengawasi hasil kesepakatan harga yang diperoleh dalam proses penyeimbangan risiko,
136 sehingga solusi tersebut dapat dijalankan dengan baik dan dengan komitmen yang tinggi oleh setiap pemangku kepentingan rantai pasok. Salah satu kelembagaan yang dapat diusulkan dalam pengawasan tersebut adalah lembaga independen yang beranggotakan seluruh pelaku RPGBKP dengan inisiator dari pemerintah daerah, AEKI, Forum kopi Aceh dan KTNA. Disamping itu juga perlu adanya dorongan yang kuat dari setiap tingkatan rantai pasok untuk dapat membagi (share) risiko dan keuntungannya sebagai konsekuensi dari hasil kesepakatan bersama dalam penyeimbangan risiko rantai pasok. Model penyeimbangan risiko yang diusulkan, sebagai salah satu hasil dari penelitian ini dapat digunakan secara bersama-sama oleh setiap pelaku RPGBKP, dalam upaya untuk menentukan harga jual pada pelaku petani dengan pedagang pengepul dan pedagang pengepul dengan agroindustri. Dengan konsep penyeimbangan risiko tersebut secara tidak langsung akan memberikan distribusi keuntungan yang seimbang dalam sistem RPGBKP. Oleh karena itu perlu adanya pemahaman yang baik terhadap konsep distribusi keuntungan dan distribusi risiko dalam sistem RPGBKP. Dimensi sosial Implikasi manajerial yang dapat diusulkan dari hasil penelitian ini, melalui analisis pola hubungan keterkaitan antar pelaku adalah diperlukan suatu wadah atau lembaga yang dapat menjembatani pola interaksi antar pelaku pada sistem RPGBKP. Lembaga yang diusulkan tersebut adalah mitra strategis yang di dalamnya terdapat unsur-unsur petani yang diwakili oleh KTNA, pedagang pengepul dan agroindustri. Mitra strategis yang diusulkan sebagai salah satu hasil analisis pola hubungan keterkaitan antar pelaku merupakan sintesis dari hubungan antar klaster ekonomi, sosial dan lingkungan serta pelaku. Sehingga di dalamnya terdapat pola hubungan diantara ke empat klaster tersebut. Untuk dapat mewujudkan model kelembagaan mitra strategis dalam sistem RPGBKP, diperlukan dukungan yang kuat dari pemerintah daerah Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupeten Bener Meriah sebagai pemegang mandat dalam pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, dalam hal ini komoditas kopi Gayo dalam kerangka rantai pasok. Dimensi lingkungan Pemanfaatan pulp menjadi kompos Implikasi manajerial yang dapat diusulkan pada dimensi lingkungan, yaitu pada pemanfaatan pulp menjadi kompos. Salah satu hasil penelitian ini adalah pemanfaatan pulp dari kopi Gayo untuk diolah menjadi kompos yang dapat digunakan petani sebagai pengganti pupuk anorganik. Pada penelitian ini telah dikemukakan secara rinci mengenai proses pengolahan kompos. Secara teknis, proses pengolahan kompos tidak terlalu sulit dilakukan dan bahan-bahan yang digunakan juga tersedia. Hal terpenting dari bahasan ini adalah, umumnya pulp sebagai by-product pada proses pulper dilakukan disuatu tempat yang biasanya dimiliki oleh pedagang pengepul. Fakta ini menunjukkan bahwa proses pengolahan pulp menjadi kompos menjadi lebih mudah karena terkonsentrasi di suatu tempat. Selain itu, untuk mempercepat proses transfer teknologi pengolahan kompos dari pulp, diperlukan dukungan dari pemerintah daerah serta lembaga
137 yang terkait dengan proses bisnis kopi Gayo seperti AEKI perwakilan dan Forum kopi Aceh serta lembaga penelitian dan penyuluhan seperti BPTP Aceh dan Universitas Syiah Kuala. Lembaga penelitian dan penyuluhan berperan sebagai penyedia teknik pengolahan kompos yang kemudian memberikan pelatihan kepada penyuluh lapang, dan selanjutnya penyuluh lapang yang melatih pelaku dalam pengolahan kompos, dimana seluruh aktivitas ini di fasilitasi oleh pemerintah daerah, AEKI perwakilan Aceh dan Forum kopi Aceh. Teknologi Pengolahan Semi Basah Hasil penting lainnya dari penelitian ini adalah teknologi pengolahan semi basah yang mampu mereduksi penggunaan air sampai 5m3/ton. Implikasi manajerial yang diusulkan pada penelitian ini adalah aplikasi teknologi pengolahan semi basah ini pada proses produksi. Dengan teknologi ini akan memberikan solusi kepada pelaku untuk dapat mengurangi konsumsi air. Hal terpenting dari aplikasi teknologi semi basah ini bagi pelaku adalah pengadaan alat demucilizer. Untuk melaksanakan hal ini diperlukan kerjasama antara semua pihak yang terkait dengan proses bisnis kopi Gayo seperti pemerintah daerah, Forum kopi Aceh untuk dapat menjembatani agar pelaku dapat memperoleh alat demucilizer. Dilain pihak, tidak mungkin pemerintah daerah dapat menyediakan alat ini untuk masing-masing pelaku, sehingga diperlukan kelompok yang dapat melaksanakan teknologi pengolahan semi basah ini. Yang dimaksud dengan kelompok ini adalah gabungan kelompok tani (Gapoktan) atau dapat melalui KTNA. Prediksi keberlanjutan RPGBKP Salah satu sintesis terpenting dalam penelitian ini adalah prediksi keberlanjutan RPGBKP pada kurun waktu tertentu dimasa yang akan datang. Untuk dapat mencapai keberlanjutan RPGBKP sesuai dengan yang telah dihasilkan dalam penelitian ini, tentunya diperlukan dorongan dan keinginan yang kuat dari pelaku internal dalam sistem RPGBKP maupun pihak eksternal seperti pemerintah derah, AEKI perwakilan Aceh, Forum kopi Aceh, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga penelitian dan penyuluhan yang terkait erat dengan komoditas kopi Gayo. Untuk dapat mencapai keberlanjutan RPGBKP diperlukan pemahaman mengenai arti penting dari aspek keberlanjutan tersebut. Pencapaian aspek keberlanjutan dalam sistem RPGBKP sangat dipengaruhi oleh peningkatan aspek keterampilan (skills) pelaku, yang dapat ditempuh melalui peningkatan jumlah pelatihan teknis yang dilakukan oleh lembaga penelitian dan penyuluhan seperti BPTP Aceh dan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Sedangkan pemerintah daerah, AEKI dan Forum kopi Aceh bertindak sebagai penyedia dana dan semua kebutuhan yang berhubungan dengan pelatihan teknis tersebut, sehingga kemampuan dan pemahaman pelaku mengenai aspek keberlanjutan dalam kerangka rantai pasok betul-betul dapat ditingkatkan.
138 Kebaharuan penelitian Kabaharuan (novelty) dalam penelitian ini adalah: 1. Rancang bangun RPGBKP yang dikembangkan berbasis multi-dimensi yaitu berbasis dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan yang dibangun berdasarkan hasil analisis leverage. 2. Model distribusi keuntungan yang dikembangkan berbasis harga ditentukan dari pelaku agroindustri/eksportir, selain itu model juga dikembangkan berbasis risiko pada masing-masing pelaku. 3. Dihasilkan model untuk memprediksi indikator-indikator penentu keberlanjutan pada dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan.
8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Rancangan rantai pasok berkelanjutan pada kopi Gayo, mencakup indeks keberlanjutan terkini, dimensi ekonomi. sosial dan lingkungan serta prediksi indeks keberlanjutan kurun waktu tertentu pada masa yang akan datang. Wujud dari penelitian ini adalah suatu rancangan RPKG yang lebih berkelanjutan. Pada awal kajian beberapa atribut dalam dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan menunjukan aspek kurang berkelanjutan. Untuk meningkatkan indeks berkelanjutan RPKG terhadap beberapa atribut tersebut, dilakukan rekayasa melalui pengembangan model berbasis pendekatan sistem kemudian meprediksi keberlanjutan RPKG. Indeks keberlanjutan terkini RPKG masuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan. Dimensi ekonomi fokus kepada analisis tingkat risiko pelaku, identifikasi dan mitigasi risiko rantai pasok yang dihadapi oleh pelaku, distribusi keuntungan berkeadilan, melalui mekanisme penyeimbangan risiko diantara pelaku petani dengan pedagang pengepul dan pedagang pengepul dengan agroindustri. Umumnya tingkat risiko untuk ketiga pelaku adalah berkategori sedang. Risiko utama pada pelaku petani adalah risiko mutu dan budidaya, sedangkan pada pedagang pengepul dan agroindustri adalah risiko mutu dan harga. Mitigasi risiko pada petani adalah peningkatan pengetahuan pada aspek budidaya yang spesifik kepada hal penanganan hama dan penyakit, pedagang pengepul adalah memperbaiki penanganan pasca panen, yaitu dengan penggunaan para-para pada penjemuran, sedangkan pada agroindustri aplikasi kontrak berbasis mekanisme revenue sharing. Dimensi sosial fokus kepada analisis pola hubungan keterkaitan antar pelaku dengan wujud berupa kelembagaan dengan pola mitra strategis karena masing-masing pelaku memiliki kompetensi yang berbeda dan bersifat komplementer satu sama lain. Dengan pola ini masing-masing pelaku diharapkan dapat mewujudkan pola hubungan berbasis adanya kesetaraan untuk membangun saling percaya (trust building) antar pelaku saat melaksanakan proses bisnis dalam konteks rantai pasok. Dimensi lingkungan membahas upaya pemanfaatan pulp yang merupakan by product dari proses produksi kopi Gayo menjadi kompos. Dengan pemanfaatan ini petani mampu mengemat pengeluaran untuk pupuk an organik (manfaat finansial) serta manfaat lingkungan, yaitu terjadinya perbaikan lahan yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas tanaman. Untuk menurunkan penggunaan air selama proses produksi, pelaku perlu mengaplikasikan teknologi pengolahan semi basah yang dapat menurunkan penggunaan air sampai 5m3 untuk menghasilkan 1 ton green bean. Berdasarkan prediksi keberlanjutan yang dikaji melalui paramater ekonomi, sosial dan lingkungan. Prediksi tingkat keuntungan pelaku dalam sistem RPKG adalah meningkat. Keuntungan ini ditopang oleh adanya peningkatan produktivitas dan harga jual produk masing-masing pelaku. Secara keseluruhan, peningkatan ini disebabkan adanya peningkatan keterampilan pelaku melalui penambahan jumlah pelatihan teknis yang dapat dilakukan oleh lembaga teknis yang difasilitasi oleh pemerintah daerah. Secara keseluruhan penelitian ini mampu meningkatkan indeks keberlanjutan RPKG yang pada awalnya hanya
140 33.53 dengan kategori kurang berkelanjutan menjadi 60.55 dengan kategori cukup berkelanjutan. Fakta ini menunjukkan bahwa tantangan penelitian ini untuk meningkatkan aspek berkelanjutan RPKG dapat dikatakan tercapai. Dari sisi implikasi manajerial dapat dilihat bahwa fokus penelitian bukan pada struktur RPKG, akan tetapi terletak pada aspek manajemen. Dengan kata lain hasil penelitian ini telah mengembangkan sistem manajemen RPKG yang baru berdasarkan dimensi ekonomi, sosial dan lingkan melalui pengembangan model agar sistem bisnis kopi Gayo lebih berkelanjutan. Saran Untuk melengkapi dan meningkatkan akurasi pencapaian RPKG yang lebih berkelanjutan beberapa aspek yang perlu dikaji lebih lanjut adalah: 1.
2.
3.
Pada simulasi prediksi keberlanjutan RPKG, model yang dikembangkan masih bersifat deterministik dinamis, sehingga diperlukan kajian prediksi keberlanjutan dengan pemodelan yang bersifat stokastik dinamis. Beberapa parameter yang dapat dikategorikan stokastik antara lain: serangan hama dan penyakit, musim, harga jual Jika akan diaplikasikan pada komoditi selain kopi Gayo, maka beberapa parameter yang disesuaikan antara lain: produktivitas tanaman, hubungan antara umur tanaman dan hasil, rendemen dan harga jual. Pada level strategis, diperlukan kajian yang bersifat kebijakan yaitu bagaimana rancangan ini dapat diimplementasikan secara nyata oleh seluruh stakeholder dan shareholder yang terlibat dalam RPKG.
DAFTAR PUSTAKA Adams M, Ghaly AE. 2007. Maximizing sustainability of the Costarican coffee industry. Journal of Cleaner Production, 15: 1716-1729. Adhitya A, Srinivasan R, Karimi I. 2009. Supply chain risk identification using a hazop-based approach. AIChE Journal, 55 (6): 1447-1463. AEKI. 2009. Peluang pengembangan komoditi kopi arabika di dataran tinggi Gayo, Banda Aceh. Ahumada O, Villalobos JR. 2009. Application of planning models in the agrifood supply chain: A Review. European Journal of Operational Research, 195:1-20. Ageron B, Gunasekaran A, Spalanzani A. 2011. Sustainable supply management: an empirical study. Int. J. Production Economics, Article inpress. Alder J, Pitcher TJ, Preikshot D, Kaschner, Feriss. 2000. How good is good? a rapid appraisal technique for evaluation of the sustainability status of fisheries of the north atlantic. In Pauly and Pitcher (Eds.) Methods for Evaluation the impacts of fisheries on the north atlantic ecosystem. Fisheries Research Report, 8(2). Allahyari, MS. 2009. Agricultural sustainability: Implications for extension system [review]. African Journal of Agricultural Research, Vol. 4 (9): 781-786. Allahyari, MS. 2010. Fisheries sustainability assessment in guilan province,Iran. Journal of Food, Agriculture & Environment, 8(3&4): 1300-1304. Alavi N. 2012. Quality determination of mozafati dates using mamdani fuzzy inference system. J.of the Saudi Society of Agricultural Sciences, Articleinpress. doi.org/10.1016/j.jssas.2012.10.001. Alavi I, Rokny HA. 2011. Comparison of Fuzzy AHP and Fuzzy TOPSIS methods for plant species selection (Case study: reclamation plan of sungun copper mine; Iran). Aust. J. of Basic and Appl Sci, 5(12): 1104-1113. Anhar A. 2013. Adaptasi perubahan iklim untuk keberlanjutan produksi Kopi Gayo. Workshop adaptasi perubahan iklim untuk keberlanjutan produksi kopi, Takengon, tanggal 30 Mei 2013. Apaiah K, Hendrix EMT. 2005. Design of a supply chain network for pea-based novel protein foods. Journal of Food Engineering, 70:383-391. Bai C, Sarkis J. 2010. Integrating sustainability into supplier selection with grey system and rough set methodologies. International Journal of Production Economics, 124 (1), 252–264. Bapedal Provinsi Jawa Timur. 2002. Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Timur No. 45 Tahun 2002. Tentang baku mutu limbah cair industri dan kegiatan usaha lainnya. Surabaya. Barham BL, Weber JG. 2011. The economic sustainability of certified coffee: Recent evidence from Mexico and Peru. World Development, Articleinpress. Beamon BM. 1998. Supply chain design and analysis: Models and methods. International Journal of Production Economics, 55 (3): 281-294. Beamon BM, Chen VCP. 2001. Performance analysis of conjoined supply chains. International Journal of Production Research, 39, (14): 3195-3218.
142 Beamon BM. 2008. Sustainability and the future of supply chain management. Operations and Supply Chain Management, 1 (1): 4-18. Bernardes ES. 2010. THE effect of supply management on aspects of social capital and the impact on performance: A social network perspective. Journal of Supply Chain Management, 46 (1):45-56. Bitzer V, Francken M, Glasbergen P. 2008. Intersectoral partnerships for a sustainable coffee chain: Really addressing sustainability or just picking (Coffee) Cherries?. Global Environmental Change, 18: 271–284. Booch G, Maksimchuk RA, Engle MW, Young BJ, Conallen J, Hoston KA. 2007. Object-Oriented Analysis and Design with Application. Boston: Pearson Education, Inc. Borge D. 2001. The Book of Risk. New York: Wiley International. Bossel H. 1999. Indicators for sustainable development: theory, method, applications [a report to the Balaton Group]. Canada: International Institute for Sustainable Development (IISD). Bőyőkyazici M, Sucu M. 2003. The Analytic Hirearchy Process and Analytic Networks Process. Journal of Mathematics and Statistic, 32: 65-73. Bozbura FT, Beskese A, Kahraman C. 2007. Prioritization of human capital measurement indicators using Fuzzy AHP. Expert Systems with Applications, 32: 1100–1112. doi:10.1016/j.eswa.2006.02.006. Braunschidel MJ, Suresh NC. 2009. The organizational antecedents of a firm supply chain agility for risk mitigation and response. Journal of Operation Management, 27: 119-140. BPS. 2011. Statistik Perkebunan Indonesia, Jakarta. BPTP Aceh. 2011. Laporan tahunan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh, Banda Aceh. Büyüközkan G, Berkol C. 2011. Designing a sustainable supply chain using an integrated analytic network process and goal programming approach in quality function deployment. Expert Systems with Applications, 38: 13731–13748. Bozbura FT, Beskese A, Kahraman C. 2007. Prioritization of human capital measurement indicators using fuzzy AHP. Expert Systems with Applications, 32: 1100–1112. doi:10.1016/j.eswa.2006.02.006. Cakir O. 2008. On the order of the preference intensities in Fuzzy AHP. Computers & Industrial Engineering, 54: 993–1005. doi:10.1016/j.cie.2007.11.010. Cakir O,Canbolat MS. 2008. A web-based decision support system for multicriteria inventory clasification using Fuzzy AHP methodology. Journal of Expert System and Application, 35:1367-1378. doi:10.1016/j.eswa.2007.08.041. Cebeci U. 2009. Fuzzy AHP-based decision support system for selecting ERP systems in textile industry by using balanced scorecard. Expert Systems with Applications, 36: 8900–8909. doi:10.1016/j.eswa.2008.11.046. Claro DP, Claro PBO. 2004. Coordinating b2b cross-border supply chains: the case of the organic coffee industry. Journal of Business & Industrial Marketing, 19 (6): 405-414.
143 Chaabane A, Ramudhin A dan Paquet M. 2012. Design of sustainable supply chains under the emission trading scheme. Int. J. Production Economics, 135: 37–49. Chen YZ, Sheu JB. 2009. Environmental regulation pricing strategies for green supply chain management. Transportation Research Part E, 45: 667–677. Chin KS,Wang YM, Poona GKK, Yang JB. 2009. Failuremode and effects analysis using a group-based evidential reasoning approach. Computers & Operations Research, 36:1768 - 1779. Chopra S. 2003. Designing the distribution network in supply chain. Transportation Research Part E, 39: 123-140. Chopra S, Meindl P. 2007. Supply chain management: strategy, planning, and operation [third edition]. New Jersey: Prentice Hall. Christopher, M. 1998. Logistic and supply chain management: strategies for reducing cost and improving service. London: 2nd Edition financial times and prentice hall. Coe C. 2006. Farmer participation in market authorities of coffee exporting countries.World Development, 34(12): 2089–2115. doi:10.1016/j.worlddev.2006.08.002. Cordero P. 2013. Carbon footprint estimation for a sustainable improvement of supply chains: State of the art. Journal of Industrial Engineering and Management, 6(3): 805-813. doi.org/10.3926/jiem.570 Cruz JM, Matsypura D. 2009. Supply chain networks with corporate social responsibility through integrated environmental decision-making. International Journal of Production Research 47 (3): 621–648. [CSD] Commission on Sustainable Development. 2001. Report on the aggregation of indicators of sustainable development [paper]. New York: Division for CSD United Nations. Cuthbertson R. 2011. The need for sustainable supply chain management di dalam Sustainable Supply Chain Management: Practical Ideas for Moving Towards Best Practice. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Diabata A, Govindan K. 2010. An analysis of the drivers affecting the implementation of green supply chain. Resources, Conservation and Recycling, [article in-press]. doi:10.1016/j.resconrec.2010.12.002 Durevall D. 2007. Demand for coffee in Sweden: The role of prices, preferences and market power. Food Policy, 32:566–584. doi:10.1016/j.foodpol.2006.11.005. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem: meningkatkan mutu dan efektifitas manajemen. Bogor: UIPB-Press. Erol I, Sencer S, Sari R. 2011. A new fuzzy multi-criteria framework for measuring sustainability performance of a supply chain. Ecological Economics, 70: 1088–1100. doi:10.1016/j.ecolecon.2011.01.001. Escalante CL, Barry PJ. 2001. Risk balancing in an integrated farm risk management plan. Journal of Agricultural and Applied Economic, 33 (3): 413-429. Figge F, Hahn T. 2004. Sustainable value added-measuring corporate contributions to sustanability beyond eco-efficiency. Ecological Economic, 48:173-187. doi:10.1016/j.ecolecon.2003.08.005.
144 Fleury AM, Davies B. 2012. Sustainable supply chains-minerals and sustainable development, going beyond the mine. Resources Policy, 37: 175–178. doi:10.1016/j.resourpol.2012.01.003 Forrester JW. 1989. The beginning of system dynamics [paper]. Banquet Talk at the international meeting of the System Dynamics Society. Stuttgart, Germany. Diakses http://leml.asu.edu/jingle/WebPages/ecoMod_Website /Readings [25 Desember 2011]. Fu L, Liang JC. 2012. The optimization model in the disaster risk mitigation investment. Systems EngineeringProcedia, 5: 191 – 197. doi: 10.1016/j.sepro.2012.04.031. Gal PYL, Lyne PWL, Meyer E, Soler LG. 2008. Impact of sugarcane supply scheduling on mill sugar production: A South African Study Case. Agricultural System, 96: 64-74. doi:10.1016/j.agsy.2007.05.006. Gathua B, Rantala P, Maatta R. 1991. Coffee industry wastes. Water Science Technology 24, 53-60. Ghajar I, Najafi A. 2012. Evaluation of harvesting methods for Sustainable Forest Management (SFM) using the Analytical Network Process (ANP). Forest Policy and Economics, 21: 81–91. doi:10.1016/j.forpol.2012.01.003. Giannoccaro I, Pontrandolfo P. 2004. Supply chain coordination by revenue sharing contracts. Int. J. Production Economics, 89: 131–139. doi:10.1016/S0925-5273(03)00047-1. Giovannucci D, Potts J. 2008. Seeking sustainability: cosa preliminary analysis of sustainability initiatives in the coffee sector. Winnipeg,Canada: Commitee on Sustainability Assessment. Giovannucci D, Ponte S. 2005. Standards as a new form of social contract? Sustainability initiatives in the cofee industry. Food Policy, 30: 284–301. doi:10.1016/j.foodpol.2005.05.007 Giovannucci D, Lewin B, Swinkel R, Varangis P. 2005. Vietnam Coffee, World Band: Washington DC. Goh M, Lim JYS, Meng F. 2007. A stochastic model for risk management in global supply chain networks. European Journal of Operational Research, 182: 164–173. doi:10.1016/j.ejor.2006.08.028. Gray C, Simanjuntak K,Sabur LK,Maspaitella PF,Varley ROG. 1993. Pengantar evaluasi proyek. Jakarta: Gramedia pustaka utama. Gumus AT, Guneri AF. 2009. A multi-echelon inventory management framework for stochastic and fuzzy supply chain. Journal Expert System with Application, 36: 5565-5575. doi:10.1016/j.eswa.2008.06.082. Gupta S, Palsule-Desai OD. 2011. Sustainable supply chain management: Review and research opportunities. IIMB Management Review. Article in Press. doi:10.1016/j.iimb.2011.09.002 Ibrahim HW, Zailani S. 2010. A review on the competitivness of global supply chain in a coffee industry in Indonesia. International Business Management, 4(3): 105-115. Indrasti NS, Fauzi AM. 2009. Produksi bersih: Strategi penggelolaan lingkungan. Bogor: IPB-Press. Jackson MC. 2003. Systems thinking: Creative holism for managers. JohnWiley & Sons Ltd. England.
145 Jackson SB, Mauldin EG, Wilcox WE, Kruse DL. 2004. The effect of corporate restructuring charges on employer contributions to profit sharing plans. Journal of Accounting andPublic Policy, 23: 247–278. doi:10.1016/j.jaccpubpol.2004.06.004. Jaya R, Machfud, Ismail M. 2011. Aplikasi teknik ISM dan ME-MCDM untuk identifikasi posisi pemangku kepentingan dan alternatif kegiatan untuk perbaikan mutu Kopi Gayo. J. Tek. Ind. Pert., 21 (1): 1-8. Jaya R, Machfud, Raharja S, Marimin. 2013. Sustainability analysis for Gayo Coffee supply chain. Int. Journal Advances on Advanced Science, Engineering and Information Technology, 3 (2): 24-28. Jayaprawira A. 2010. Perancangan model portofolio risiko korporasi agroindustri kelapa sawit [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Jian C, Xuhonga Y, Yub Q, Yiner L. 2011. An integrative decision-making model for the operation of sustainable supply chain in China. Energy Procedia, 5: 1497–1501. doi:10.1016/j.egypro.2011.03.256. Jinjuan F, Xu Z, Chunhu T. 2009. Failure evaluation of coffee maker. Engineering Failure Analysis, 16:1948–1954. Jodlbauer H. 2008. Time-continous analytic production model for service level, work in process, lead time and utilization. Int. Journal of Production Research, 46 (7) :1723-1744. Hadiguna RA. 2010. Perancangan sistem penunjang keputusan rantai pasok dan penilaian risiko mutu pada agroindustri minyak sawit kasar [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Haris U. 2006. Rekayasa Model Aliansi Strategis Sistem Agroindustri Crum Rubber [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Hasanzadeh M, Danehkar A, Azizi M. 2013. The application of Analytical Network Process to environmental prioritizing criteria for coastal oil jetties site selection in Persian Gulf coasts (Iran). Ocean & Coastal Management, 73: 136-144. doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2012.12.004. Hidayat S, Marimin, Suryani A, Sukardi, Yani M. 2012. Model identifikasi risiko dan strategi peningkatan nilai tambah pada rantai pasok kelapa sawit. Jurnal Teknik Industri, 14 (2): 89-96. Hutchins MJ, Sutherland JW. 2008. An exploration of measures of social sustainability and their application to supply chain decisions. Journal of Cleaner Production, 16: 1688–1698. doi:10.1016/j.jclepro.2008.06.001. Hyndman R, Koehler A. 2006. Another look at measures of forecast accuracy. International Journal of Forecasting, 22 (4): 679–688 Kahraman C. 2001. Fuzzy versus probabilistic benefit/cost ratio analysis for public work project. Int. J.Applied mathemetic computer science, 11 (3):705-718. Kam BH, Chistopherson G, Smyrnios K, Walker R. 2006. Strategic business operations, freight transport and eco-efficiency: A conceptual model, di dalam Greening the Supply Chain, edited by Joseph Sarkis. SpringerVerlag, London Limited. Kaur A, Kaur A. 2012. Comparison of mamdani-type and sugeno-type fuzzy inference systems for air conditioning system. International Journal of Soft Computing and Engineering (IJSCE), 2 (2): 323-325.
146 Khadivi MR, Ghomi SMTF. 2012. Solid waste facilities location using of analytical network process and data envelopment analysis approaches. Waste Management, 32: 1258–1265. doi:10.1016/j.wasman.2012.02.002. Krystallis AG, Chryssochoidis, Scholderer J. 2007. Consumer-perceived quality in traditional food chains: the case of Greek meat supply chain. Appetite, 48: 54-68. doi:10.1016/j.appet.2006.06.003. Kulak O, Kahraman C. 2005. Fuzzy multi-attribute selection among transportation companies using axiomatic design and analytic hierarchy process. International Journal of Information Sciences, 1 (170): 191–210. Kusumadewi S. 2003. Artificiall intelligence: Teknik dan aplikasinya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Lee AHI, Chen WC, Chang CJ. 2008. A Fuzzy AHP and BSC approach for evaluating performance of IT department in the manufacturing industry in Taiwan. Expert Systems with Applications, 34: 96–107. Lejar C, Le Gal Y-P, Auzoux S. 2008. A decision support approach for cane supply management within sugar mill area. Computers and electronic in agriculture, 60:239-249. doi:10.1016/j.compag.2007.08.008. Li Y. 2012. AHP-Fuzzy evaluation on financing bottleneck in energy performance contracting in China. Energy Procedia, 14: 121 – 126. Liu K, Price GW. 2011. Evaluation of three composting systems for the management of spent coffee grounds, Bioresource Technology, 102:7966– Linton JD, Klassen R, Jayaraman V. 2007. Sustainable supply chains: An introduction. Journal of Operations Management, 25: 1075–1082. Lohani AK, Goel NK, Bhatia KKS. 2012. Takagi–Sugeno fuzzy inference system for modeling stage–discharge relationship. Journal of Hydrology, 331: 146160. doi:10.1016/j.jhydrol.2006.05.007. Lyneis JM. 1988. Corporate planning and policy design. A system dynamic approach. Cambride, Massachusetts: Pugh-Roberts Assosiate, Inc. Macdonald K. 2007. Globalising justice within coffee supply chains? Fair trade, starbucks and the transformation of supply chain governance. Third World Quarterly, 28 (4): 793 – 812. doi: 10.1080/01436590701336663. Madden K, Young R, Brady K, Hall J. 2006. Eco-eficiency: Learning Module. The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD). Mehmood A. 2007. Application of system dynamic to human resource management of canadian naval reserves [paper]. United Arab Emirate University. Marimin, 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk: Teknik dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Grasindo. ______, 2009. Sistem Pakar dalam teknologi manajerial: Teori dan aplikasi. Bogor: IPB-Press. Marimin, Magfiroh N. 2010. Aplikasi teknik pengambilan keputusan dalam manajemen rantai pasok. Bogor: IPB-Press. Marimin, Djatna T,Suharjito,Hidayat S,Utama DN,Astuti R,Martini S. 2013. Teknik dan analisis pengambilan keputusan fuzzy dalam manajemen rantai pasok. Bogor:IPB-press. Marquez AC. 2010. Dynamic modelling for supply chain management: Dealing with front end, back end and integration Issues. London: Springer – Verlag London Limited.
147 Mburu JK 2010. Coffee processing water minimization options. Di dalam Proceedings of 22th International Conference on Coffee Science, 2010. Bali, Indonesia: ASIC. October 3-8 2010. Meade L, Sarkis J. 1998. Strategic analysis of logistics and supply chain management systems using the analytical network process. Transpn Res.-E (Logistics and Transpn Rev.), Vol. 34 (3):201-215. PII: S13665545(98)00012-X. Meixell MJ, Gargeya VB. 2005. Global supply chain design: A literature review and critique. Transportation Research Part E, 41: 531–550. doi:10.1016/j.tre.2005.06.003 Meuwissen MPM, Hardaker JB, Huirnei RBM, Dijkhuizen AA. 2001. Sharing risks in agriculture: Principles and empirical results. Netherlunds Journal of Agricultural Science, 49: 343-356. Mikhailov L. 2004. Group prioritization in the AHP by fuzzy preference programming method. Computers & Operations Research, 31: 293 – 301. doi:10.1016/S0305-0548 (03) 00012-1. Moon Y, Yao T, Park S. 2011. Price negotiation under uncertainty. Int. J. Production Economics, 134: 413–423. Muhammadi, Aminullah E, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, sosial, Ekonomi dan Manajemen. Jakarta: UMJ Press. Mulato S, Widyotomo S, Suharyanto E. 2006. Pengolahan produk primer dan sekunder Kopi. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Mulato S, Suharyanti E. 2012. Kopi, seduhan dan kesehatan. Jember: pusat penelitian kopi dan kakao Indonesia. Munasinghe M. 2010. Sustainomics framework and practical application. MIND Press. Srilanka: Munasinghe Institute for Development. Murthy PS, Naidu MM. 2012. Sustainable management of coffee industry byproducts and value addition [A review]. Resources, Conservation and Recycling, 66: 45– 58. doi.org/10.1016/j.resconrec.2012.06.005. Nagurney A, Matsypura D. 2005. Global supply chain network dynamic with multicriteria decision-making under risk and uncertainty. Transportation Research Part E, 41: 585-412. Doi: 10.1080/15568310601060077. Nepal B, Yadav OM, Murat A. 2010. A Fuzzy-AHP approach to prioritization of cs attributes in target planning for automotive product development. Expert Systems with Applications, 37: 6775–6786. doi:10.1016/j.eswa.2010.03.048. Novita E. 2012. Desain proses pengolahan pada agroindustri kopi robusta menggunakan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih [disertasi]. Bogor: Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB. [NRTEE] The National Round Table on the Environment and the Economic. 2001. Eco-efficiency Indicator: Workbook. Canada. Parnell GS, Driscoll PJ, Henderson DL. 2011. Decision Making in System Engineering and Management. John Wiley and Son, Inc. New Jersey. Pathnumnakul SK, Piewthongengam, Khamjan S. 2009. Integrating shrimpgrowth function, farming skills information and a supply allocation algorithm to manage the shrimp supply chain. Computers and Electronic in Agriculture, 66: 93-105. doi:10.1016/j.compag.2008.12.008.
148 Paudel KP, Lohr L, Martin Jr NR. 1998. Optimal input cost sharing for tenants: implications for negotiating efficiency. Agricultural Systems, 57 (1):1-11. PII: s0308-521 x (97) 00050-4. Perdana T. 2009. Pemodelan dinamika sistem rancang bangun manajemen rantai pasokan industri teh hijau. [disertasi]. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana IPB. Piewthongngam K, Pathumnakul S, Setthanan K. 2009. Application of crop growth simulation and mathematical modeling to supply chain in the Thai sugar industry. Agricultural Science, 102: 58-66. doi:10.1016/j.agsy.2009.07.002. Piplani R, Pujawan N, Ray S. 2008. Sustainable supply chain management: Foreword. Int. J. Production Economics, 111:193–194. doi:10.1016/j.ijpe.2007.05.001 Pitcher TJ, Preikshot P. 2001. RAPFISH: A rapid appraisal technique to evaluate the sustainability status of fisheries. Fisheries Research, 49: 255-270. Ponte S. 2002. The ‘Latte Revolution’? Regulation, markets and consumption in the global coffee chain. World Development, 30 (7): 1099–1122. PII: S0305-750X (02) 00032-3. Pujawan IN. 2005. Supply chain management. Surabaya: Penerbit Guna Widya. Puslit Kopi dan Kakao Indonesia. 2008. Panduan budidaya dan pengolahan Kopi Arabika Gayo. Banda Aceh. Purnomo BH. 2012. Rancang bangun model prediksi keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap [disertasi]. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana IPB. Radzicki MJ, Taylor RA. 2008. Origin of System Dynamics: Jay W. Forrester and The History of System Dynamics. In: U.S. Department of Energy's Introduction to System Dynamics. Diakses dari http://www.systemdynamics.org/DL-IntroSysDyn/origin.htm [29 Desember 2011]. Raynolds, L.T. 2009. Mainstream fair trade coffee: From partnership to traceability. World Development, 37(6): 1083-1093. doi:10.1016/j.worlddev.2008.10.001. Riady F. 2012. Model pengembangan agroindustri karet alam terintegrasi [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ruben R, Fort R. 20120. The impact of fair-trade certification for farmers in Peru. World Dev, 40 (3): 570-582. doi:10.1016/j.worlddev.2011.07.030. Saaty TL. 1996. Decision Making with Dependence and Feedback: The Analytic Network Process. Pittsburgh: RWS Publications. Sanchez G, Olguin EJ, Mercado G. 1999. Accelerated coffee pulp composting. Biodegradation, 10: 35-41. Netherlands: Kluwer Academic Publisher. Saputra A. 2013. Desain rantai pasok agroindustri kopi organik di Aceh Tengah untuk optimalisasi balancing risk [tesis]. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana IPB. Sargent RG. 1997. Validation and verification of simulation models. Proceedings of the Winter Simulation Conference. Syracuse, NY 13244. USA. Sarkis J. 1995. Manufacturing strategy and environmental consciousness. Technovation, 15 (2): 79–97. doi:10.1016/S0959-6526(02)00062-8. Sarkis J. 2006. Greening the Supply Chain. Springer-Verlag, London Limited.
149 Seuring S, Muller M. 2008. From a literature review to a conceptual framework for sustainable supply chain management. Journal of Cleaner Production, 16: 1699–1710. Seuring S. 2012. A review of modeling approaches for sustainable supply chain management. Decision Support Systems, Article in Press. doi:10.1016/j.dss.2012.05.053. Sevani N, Marimin, Sukoco H. 2009. Sistem pakar penentuan kesesuaian lahan berdasarkan faktor penghambat terbesar (maximum limitation factor) untuk tanaman pangan. J. Informatika 10 (1): 23 - 31. Shilianga S, Mina J, Yong L, Runqiu L. 2012. Risk assessment on falling from height based on AHP-Fuzzy. Procedia Engineering, 45: 112 –118. doi: 10.1016/j.proeng.2012.08.130. Shafiro JF. 2001. Modeling the Supply Chain. Duxbury: Thomas Learning, USA. Simanjuntak A, Lahay RR , Purba E. 2013. Respon pertumbuhan dan produksi bawang merah (Allium ascalonicum L.) terhadap pemberian pupuk NPK dan kompos kulit buah kopi. Jurnal Online Agroekoteknologi. 1 (3): 363-373. Simchi-Levi D, Kaminsky, P, Simchi-Levi E. 2000. Designing and managing the supply chain: Concepts, strategies and case studies. McGraw-Hill Companies Inc. Silitonga CM. 2008. Analisis keunggulan bersaing Kopi Arabika Gayo organik di Indonesia [tesis]. Medan: Universitas Terbuka. SNI [Standar Nasional Indonesia] 01-2907. 2008 Mutu Kopi Biji, Jakarta. Sterman JD. 2004. Business dynamics: System Thinking and Modeling for a Complex World. Singapore: McGrawHill. Stringer R, Sang N, Croppenstedt A. 2009. Producers, processor and procurement decision: The case of vegetable supply Chain in China. World Development, 37 (11): 1773-1780. doi:10.1016/j.worlddev.2008.08.027. Suharjito. 2011. Pemodelan sistem pendukung pengambilan keputusan cerdas manajemen risiko rantai pasok produk/komoditi jagung [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Suharjito, Marimin. 2013. Risks balancing model of agri-supply chain using fuzzy risks utility regression. Journal of Theoretical and Applied Information Technology, 41 (2): 13-23. Sullivan C. 2002. Calculating water poverty index. World Development, 30 (7): 1195–1210. Sushill. 1992. System Dynamic: A Practical Approach for Managerial Problems. New Delhi: Wiley Eastern Limited. Syamsudin TS, Aktaviyani S. 2009. Penerapan pemupukan pada pertanian padi organik dengan menggunakan metode System of Rice Intensification (SRI) di Desa Sukakarsa Kabupaten Tasikmalaya. J. Agroland, 16 (1):1-8. Tang CS. 2006. Perspectives in supply chain risk management [Review]. Int.J. Production Economic, 103: 451-488. doi:10.1016/j.ijpe.2005.12.006. Tang CS, Tomlin B. 2008. The power of flexibility for mitigating supply chain risk. Int. J. Production Economic, 116: 12-17. doi:10.1016/j.ijpe.2008.07.008. Tapiero CS. 2007. Consumers risk and quality control in a collaborative supply chain. European Journal of Operational Research, 182: 683–694. doi:10.1016/j.ejor.2006.07.039
150 Tate WL, Ellram LM, Kirchoff JF. 2010. Corporate social responsibility reports: A thematic analysis related to supply chain management. Journal of Supply Chain Management, 46 (1):19-44. Thomas DJ, Griffin PM. 1996. Coordinated supply chain management [invited review]. European Journal of Operation Research, 95: 1-15. Tseng ML, Chiu ASF. 2012. Grey-entropy analytical network process for green innovation practices. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 57:10–21. doi: 10.1016/j.sbspro.2012.09.1152 Tuncel G, Alpan G. 2010. Risk assessment and management for supply chain network: A case study. Computer and Industry, 61: 250-259. Vachon S, Mao Z. 2008. Linking supply chain strength to sustainable development: A Country-Level Analysis. Journal of Cleaner Production,16: 1552–1560. doi:10.1016/j.jclepro.2008.04.012 Verdouw CN, Beulens AJM, Trienekens JH, Wolfert J. 2010. Process modeling in demand-driven supply chain: A references model for the fruit industry. Computers and Electronic in Agriculture,73: 174-187. doi:10.1016/j.compag.2010.05.005 Vermeulen WJV, Kok MTJ. 2012. Government interventions in sustainable supply chain governance: Experience in Dutch front-running cases. Ecological Economics, article in press. doi:10.1016/j.ecolecon.2012.04.006. Viswanath PV. 2000. Diversification and moral hazard in Roman Palestine evidence from agricultural contract law. International Review of Law and Economics, 20: 353–369. PII: S0144-8188(00)00036-3. Vorst JGAJ van der. 2000. Effective foods supply chain. Generating,modeling and evaluating supply chain scenarios. Wageningen: Wageningen University. Vorst JGAJ van der. 2004. Supply chain management: Theory and practice. Di dalam: Camps, T., Diederen P., Hofstede GJ., Vosb. The Emerging World of Chain and Networks. Hoofdstuk:Elsevier. Wagiman. 2012. Rancang bangun proses produksi bioetanol dari lignoselulosa sebagai energi terbarukan dengan pendekatan ekoefisiensi [disertasi]. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana IPB. Wang FX, Lai X, Shi N. 2011. A multi-objective optimization for green supply chain network design. Decision Support Systems, 51: 262–269. doi:10.1016/j.dss.2010.11.020 Wang TC, Chen YH. 2008. Applying fuzzy linguistic preference relations to the improvement of consistency of fuzzy AHP. Journal Information Science, 178:3755-765. doi:10.1016/j.ins.2008.05.028. Wasson CS. 2006. System analysis, design, and development concepts, principles, and practices. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey Widodo KH, Nagasawa H, Morizawa K, Ota M. 2004. A periodical floweringharvesting model for delivering agricultural fresh product. European Journal of Operational Research, Article In Press. doi:10.05016/j.ejor.2004.05.024. Widodo KH. 2010. Sustainable supply chain based scenario for optimizing tradeoff between Indonesian furniture and crude-palm oil industries. Operations and Supply Chain Management, 3 (3): 176-185.
151 Wickelmaier F. 2003. An Introduction to MDS [paper]. Denmark: Sound quality research unit, Aalborg University. Diakses dari http://homepages.unituebingen.de/florian.wickelmaier/pubs/ [31 Desember 2011]. Wilson BR. 2010. Indebted to fair trade? Coffee and crisis in Nicaragua. Geoforum, 41: 84–92. doi:10.1016/j.geoforum.2009.06.008. Wilkes J. 2008. Utility functions, prices and negotiation. In. Buyya R and Bobendorfer (eds). Market oriented grid and utility computing. John wiley and Sons, Inc. Wintgens JN. 2004. Coffee: growing,processing,sustainable production. A guidebook for grower,processor,trader and researcher. Weinheim: WileyVCH Verlah GmbH and Co KgaA. Wollni M, Brümmer B. 2012. Productive efficiency of specialty and conventional coffee farmers in Costa Rica: Accounting for technological heterogeneity and self-selection. Food Policy, 37: 67–76. doi:10.1016/j.foodpol.2011.11.004 Wu T, Blachurst J. 2009. Managing supply chain risk and vulnerability: Tools and method for supply chain decision makers. New York: Springer. Wu Z, Pagell M. Balancing priorities: Decision-making in sustainable supply chain management. Journal of Operations Management, 29: 577–590. Wu KJ, Tseng ML, Chiu ASF. 2012. Using the analytical network process in porter’s five forces analysis–case study in Philippines. Procedia social and Behavioral Sciences, 57: 1 – 9. doi: 10.1016/j.sbspro.2012.09.1151. Yang YI, Chiang CC. 2008. Risk-Sharing aspects of supply chain coordination with revenue-sharing contracts. 5th International Conference on Enterprise Systems, accounting and Logistics (5th ICESAL’08), 7-8 July 2008, Crete, Greece. Xia D, Chen B. 2010. A comprehensive decision-making model for risk management of supply chain. Expert System with Application, Article in Press. doi:10.1016/j.eswa.2010.09.156 Yel E, Yalpir S. 2011. Prediction of primary treatment effulent parameter by fuzzy inference system. Procedia Computer Science, 3: 659–665. doi:10.1016/j.procs.2010.12.110. Yang YI, Chiang CC. 2008. Risk-Sharing aspects of supply chain coordination with revenue-sharing contracts. 5th International Conference on Enterprise Systems, Accounting and Logistics (5th ICESAL’ 08). 7-8 July 2008, Crete, Greece. Zailani S, Jeyaraman K, Vengadasan G, Premkumar R. 2012. Sustainable supply chain management (SSCM) in Malaysia: A Survey. Int. J. Production Economics, Article-inpress. doi:10.1016/j.ijpe.2012.02.008. Zarei M, Fakhrzad MB, Paghaleh MJ. 2011. Food supply chain leanness using a developed QFD model. Journal of Food Engineering, 102: 25–33. Zhang YM, Huang GHC, He L. 2011. An inexact reverse logistics model for municipal solid waste management systems. Journal of Environmental Management, 92: 522-530. doi:10.1016/j.jenvman.2010.09.011. Zsidisin G, Ritchie B. 2009. Supply Chain Risk: Development, Issues and Challenges di dalam, Supply Chain Risk : A Handbook of Assessment, Management, and Performance [edited] Zsidisin, G. and B. Ritchie. Springer, New York.