METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran DTA Waduk Batutegi merupakan kawasan yang sangat penting bagi daerah hilir karena waduk ini memiliki fungsi sebagai pembangkit listrik, irigasi, air minum, serta sebagai pengendali banjir. Untuk itu pengelolaan DTA Waduk Batutegi harus sesuai dengan peraturan yang ada serta mempertimbangkan kondisi fisik serta sosial ekonomi kawasan tersebut. Pengelolaan yang dimaksud harus dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial, serta manfaat lingkungan sehingga dapat menjamin keberlanjutannya. Perubahan penutupan lahan yang terjadi pada DTA Waduk Batutegi terutama perubahan penutupan hutan menjadi penggunaan lain berakibat menggangu keseimbangan tata air karena karena hutan berfungsi sebagai pengatur air tanah. Salah satu permasalahan utama kehutanan adalah perambahan hutan dan permukiman
dalam
kawasan.
Jumlah
penduduk
yang
semakin
tinggi
menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal dan tempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya semakin tinggi dan menyebabkan kawasan hutan semakin terancam. Demikian pula dengan keadaan DTA Waduk Batutegi yang lokasinya berbatasan langsung dengan 4 kabupaten yaitu Kabupaten Tanggamus, Lampung Barat, Lampung Tengah, dan Lampung Utara. Lebih lagi lahan di dalam kawasan tergolong subur, sehingga merupakan hal yang menarik bagi penduduk sekitar untuk masuk ke dalam kawasan. Upaya pengelolaan DTA Waduk Batutegi yang berkelanjutan sering menimbulkan konflik antar tujuan yang diharapkan. Secara ekonomi peningkatan pendapatan masyarakat sering menyebabkan kerusakan lingkungan begitu juga sebaliknya. Upaya konservasi yang dilakukan akan menghilangkan kesempatan bagi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan untuk mendapatkan manfaat ekonomi, sehingga secara sosial akan menyebabkan jumlah pengangguran meningkat. Untuk itu perlu upaya pengelolaan yang terintegrasi agar tercipta optimasi manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi (Rifki 2007).
16
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, disebutkan bahwa dalam upaya pencapaian tujuan pengelolaan hutan ditata ke dalam blok-blok pengelolaan. Blok-blok pengelolaan dalam kawasan DTA Waduk Batutegi berupa Blok Perlindungan dan Blok Pemanfaatan. Untuk mendukung keberhasilan pengelolaan DTA Waduk Batutegi, setelah kawasan ditata ke dalam blok-blok pengelolaan maka perlu dirumuskan arahan strategi pengelolaan ruang kawasan yang memperhatikan potensi fisik dan sosio demografi penduduk yang ada di dalam dan di sekitar kawasan. Kerangka penelitian secara skematis diilustrasikan dalam bagan alir pada Gambar 1 berikut ini: Perubahan Penutupan DTA Waduk Batutegi
Fungsi Hidrologi DTA Terganggu
Mengancam Keberlangsungan Waduk Studi Kondisi Fisik Lingkungan dan Sosio-Demografi DTA Pengelolaan DTA Waduk Batutegi
Pembuatan Blok-blok DTA Waduk Batutegi
Arahan Strategi Pengelolaan Ruang DTA Waduk Batutegi
Menjaga Keberlangsungan Waduk Batutegi
Gambar 1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran
17
Lokasi dan Waktu Penelitian Wilayah kajian adalah DAS Sekampung Hulu yang merupakan DTA Waduk Batutegi yang secara geografis terletak pada posisi pada 05006’ – 05016’ LS dan 104030’ – 104047’ BT dengan ketinggian tempat antara 175 m hingga 1.775 m dari permukaan air laut, sedangkan secara administrasi DTA Waduk Batutegi terletak di Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Agustus - Desember 2008. Bahan dan Alat Bahan dan alat tulis yang digunakan berupa seperangkat komputer dengan perangkat lunak Software Microsoft Word, Microsoft Excel, Arc View versi 3.3, Minitab versi 14, Erdas Emagine versi 8.6. dan peralatan penunjang lain seperti alat tulis, kamera digital, GPS, serta alat tulis lainnya. Tahapan Penelitian Tahapan dalam penelitian ini terdiri dari: Pengumpulan Data, Pengolahan Data, Analisis Data, Penyusunan Tata Ruang DTA Waduk Batutegi, Evaluasi Tata Ruang DTA Waduk Batutegi dan Strategi Arahan Pengelolaan Ruang DTA Waduk Batutegi (SWOT). Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan penduduk dan aparat pemerintah untuk menggali kebijakan apa yang paling tepat dalam pengelolaan DTA Waduk Batutegi. Data sekunder yang digunakan meliputi ”Kabupaten Tanggamus Dalam Angka” yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2007, data curah hujan dan debit (Tahun 1992 s/d Tahun 2007) dari Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji-Sekampung, Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Skala 1: 50.000 Tahun 2001 dari Bakosurtanal, Peta Tanah Skala 1: 100.000 Tahun 1983 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, Citra Landsat kawasan DTA Waduk Batutegi Tahun 1992 dan 2000 dari BTIC Biotrop serta Citra Aster Tahun 2007 dari Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.
18
Adapun data sekunder selengkapnya yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1, sedangkan diagram alir penelitian dalam Gambar 2. Tabel 1 Jenis dan Sumber Data Penelitian Jenis Data
Skala
Bentuk
Sumber Data
Peta Tanah Tahun 1983
1:100.000 Analog
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor
Peta RBI Tahun 2001
1: 50.000 Digital
Bakosurtanal
Peta Kawasan DTA Waduk Batutegi Tahun 2007
1:100.000 Digital
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung
Peta Landuse Tahun 2007
1:100.000 Digital
BPDAS Sekampung-Seputih
Peta Satuan Lahan DTA Waduk Btutegi
1:100.000 Digital
Banuwa (2008)
Peta RTRW Kabupaten Tanggamus
1:100.000 Digital
Bappeda Kabupaten Tanggamus
Citra Landsat TM5 dan ETM7 Path/Row 124/064 Aqc. 26 Juni 1992 dan Acq. 5 April 2000
-
Digital
BTIC Biotrop
Citra Aster Tahun 2007
-
Digital
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung
Data Curah Hujan dan Debit Tahun 1992-2007
-
Tabular
Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji Sekampung
Data Podes Tahun 2000,2003,2006
-
Tabular
Lab. Bangwil, IPB
Tanggamus dalam Angka (Tahun 2000 – 2007)
-
Tabular
Bappeda Tanggamus & BPS Lampung
19
Pengumpulan Data
Citra Landsat 1992, 2000 & Aster 2007
Data - Curah Hujan - Debit
Data Demografi Podes Tahun 2000, 2003, dan 2006 Interpretasi dan Klasifikasi Penutupan Lahan
Peta Penutupan Lahan Tahun 1992,2000 dan 2007
Perubahan Penutupan Lahan
Keterkaitan Perubahan Penutupan Lahan dan Curah Hujan Terhadap Debit Serta Erosi
Analisis Tekanan Penduduk
Model Pengelolaan DTA Waduk Batutegi
Peta Topografi
Skenario 2 Kelas Kemampuan Lahan
Skenario 1 Kepmentan No 837/Kpts/Um/II 1980
Kriteria Kelas Kemampuan Lahan
Skoring (Lereng, Curah Hujan, dan Tanah)
Peta Kesesuaian Blok
Analisis Korelasi
Pembuatan Blok dikombinasikan dengan Kepres 32 1990, Permenhut P3 /MenhutII/2008, dan Tutupan Hutan 2007
Blok 2
Blok 1
Arahan Pengelolaan DTA Waduk Batutegi
Gambar 2 Diagram Alir Tahap Penelitian
Peta Tanah
Data Primer (Wawancara)
Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal yang Berpengaruh terhadap Pengelolaan DTA Waduk Batutegi
Analisis SWOT
Kebijakan Pengelolaan DTA Waduk Batutegi
20
Pengolahan Data Pengolahan Citra Penginderaan Jauh Perubahan penggunaan lahan secara efektif dapat dilakukan melalui pengolahan citra penginderaan jauh, karena data yang berasal dari ekstraksi citra tersebut memberikan informasi yang cukup baik dengan cakupan yang luas. Ekstraksi citra untuk mendapatkan informasi digital penggunaan lahan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Koreksi geometri Akuisisi citra yang dipengaruhi oleh rotasi bumi, kelengkungan bumi, kecepatan scanning dan efek pankromatik menyebabkan posisi setiap obyek di citra tidak sama dengan posisi geografis yang sebenarnya. Untuk itu perlu dilakukan koreksi terhadap distorsi geometrik tersebut dengan melakukan transformasi koordinat citra ke koordinat bumi dan resampling citra. Transformasi koordinat dilakukan dengan bantuan titik kontrol darat (ground control point atau GPC) yang didapat dari peta topografi (referensi). Transformasi koordinat dibangun dengan persamaan polynomial berordo dua yang membutuhkan minimal enam GCP. Semua titik kontrol diasumsikan merata pada citra. Akurasi dari koreksi geometri ditentukan dengan memilih titik GCP yang mempunyai nilai RMS < 0,5 piksel, sehingga nilai GCP yang mempunyai RMS > 0,5 piksel harus diganti dengan GCP yang baru. 2. Penajaman Citra Penajaman citra dilakukan untuk memperoleh tampilan citra yang tajam dan jelas agar interpretasi dilakukan dengan lebih mudah. Teknik penajaman citra terdiri atas teknik paduan warna (color composite) dan perentangan (stretching). 3. Klasifikasi Penutupan Lahan Tahun 1992, 2000, dan 2007. Klasifikasi merupakan proses pengelompokan piksel-piksel yang mempunyai ciri sama menjadi kategori tertentu. Pada klasifikasi data citra Landsat yang mempunyai tujuh saluran spektral dengan kisaran digital number 0 – 255 akan menghasilkan satu saluran hasil klasifikasi yang terdiri dari beberapa kelas penutupan/penggunaan lahan sesuai dengan kebutuhan.
21
Metode klasifikaasi yang digunakan adalah supervised (terbimbing) dengan pendekatan Maximum Likehood Classification (MLC). Klasifikasi terbimbing dilakukan berdasarkan area contoh (training area) yang telah ditetapkan sebelumnya terhadap obyek-obyek yang mudah dikenali dan representatif pada citra/permukaan bumi yang diketahui kategorinya dengan membuat poligon-poligon. Hasil klasifikasi tersebut diverifikasi di lapangan, dengan tujuan untuk mengidentifikasi obyek-obyek atau penggunaan lahan yang masih diragukan dan untuk menguji akurasi hasil klasifikasi. Untuk memperbaiki hasil klasifikasi dilakukan klasifikasi lanjutan dengan cara menumpangtindihkan (overlay) peta hasil klasifikasi dengan citra asli kemudian dilakukan editing secara manual dengan cara digitasi layar (onscreen digitizing). Klasifikasi lanjutan akan berguna dalam menentukan perbaikan klasifikasi sehingga mendapatkan kombinasi klasifikasi digital dan visual peta penutupan lahan yang terbaik (Andriani 2007). Analisis Data Analisis Perubahan Penutupan Lahan Analisis untuk mendeteksi perubahan penutupan lahan dilakukan dengan cara menumpangtindihkan peta penutupan lahan tahun 1992, 2000 dan 2007 dengan software Erdas Imagine 8.6 melalui fungsi modeler dengan rumus perubahan penutupan lahan (A-1) * jumlah kelas + B, dimana A adalah peta penutupan lahan pada t0 sedangkan B adalah peta penutupan lahan pada t1. Diagram alir untuk analisis perubahan penutupan lahan disajikan pada Gambar 3. Image 1 (Citra)
Image 2 (Citra)
Registrasi
Registrasi
Intepretasi Land cover/Land use
Intepretasi Land cover/Land use
Klasifikasi
Klasifikasi
Transisi Matrix
Pola Perubahan Penutupan Lahan
Gambar 3 Diagram Deteksi Perubahan Penutupan Lahan
22
Analisis Tekanan Penduduk Terhadap Perubahan Penutupan Lahan Analisis
tekanan
penduduk
merupakan
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya. Semakin besar tekanan penduduk pada suatu wilayah atau semakin besar kebutuhan hidup manusia terhadap lingkungan, maka akan semakin besar pula tekanannya terhadap perubahan penggunaan lahan. Menurut Soemarwoto (1985), tekanan penduduk dihitung dengan menggunakan rumus: ITP = Z t
f t P0 (1 + r ) t Lt
Dimana: ITP Zt P0 ft r t Lt
= = = = = = =
Indeks tekanan penduduk Luas lahan minimal per petani untuk hidup layak Jumlah penduduk pada t0 Proporsi petani dalam populasi Laju pertumbuhan penduduk rata-rata pertahun Rentang waktu dalam tahun Total luas lahan pertanian
Indeks tekanan penduduk menurut Kepmenhut Nomor 52/kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai diklasifikasikan sebagai berikut : ITP < 1 kategori ringan, ITP = 1-2 kategori sedang dan ITP > 2 kategori berat. Data yang digunakan dalam analisis tekanan penduduk berasal dari data sekunder yaitu data Podes 2000, 2003, 2006 sedangkan unit wilayah yang digunakan adalah desa-desa di dalam dan di sekitar DTA Waduk Batutegi. Penyusunan Blok Pengelolaan Ruang DTA Waduk Batutegi Penataan ruang DTA Waduk Batutegi ke dalam blok-blok pengelolaan dilakukan dengan 2 (dua) metode yaitu : metode Kepmentan Nomor : 837/Kpts/Um/II/1980 dan metode Kelas Kemampuan Lahan. Penataan DTA Waduk Batutegi di atas dikombinasikan dengan Keputusan Presiden Nomor : 32 Tahun 1990, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.3/MenHut-II/2008, dan Kondisi Eksisting Tutupan Hutan Tahun 2007.
23
Berdasarkan Kepmentan Nomor: 837/Kpts/Um/11/1980 Dasar ini digunakan untuk mendapatkan lokasi yang tepat dalam pembagian blok-blok kawasan DTA Waduk Batutegi yang didasarkan pada potensi serta persyaratan yang dibutuhkan untuk masing-masing blok. Secara teknis pelaksanaannya esensi Kepmentan ini dapat dijabarkan dalam bentuk analisis operasi tumpangtindih (overlay) serta operasi-operasi Sistem Informasi Geografis (SIG) lainnya terhadap peta-peta tematik yang ada. Analisis SIG ini dilakukan terhadap data fisik kondisi DTA Waduk Batutegi, yaitu lereng, erodibilitas tanah dan curah hujan. Untuk mengidentifikasi blok-blok pengelolaan kawasan DTA Waduk Batutegi pada tahap awal dilakukan dengan pembobotan terhadap parameter kelas lereng, jenis tanah, dan curah hujan harian rata-rata kemudian dilakukan skoring dengan cara menjumlahkan masing-masing bobot setelah dilakukan operasi tumpangtindih (overlay). Adapun pembobotan yang digunakan terhadap parameter kelas lereng, jenis tanah, dan curah hujan harian rata-rata disajikan pada Tabel 2, 3, dan 4 (Kepmen Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980) dalam (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Tabel 2 Nilai bobot berdasarkan klasifikasi kelas lereng Kelas Lereng
Kategori
Bobot
0%-8% 8%-15% 15%-25% 25%-40% >40%
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam
20 40 60 80 100
Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
Tabel 3 Nilai bobot jenis tanah berdasarkan kepekaan terhadap erosi Jenis Tanah
Kategori
Bobot
Alluvial, Tanah glei, Planosol, Hidromorf, Laterik, Latosol Brown Forest Soil, Non Calcic, Brown, Mediteran Andosol, Laterit, Grumosol, Podsol, Podsolik Regosol, Litosol, Organosol, Renzina
Tidak peka
15
Agak peka Kurang peka
30 45
Peka Sangat peka
60 75
Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
24
Jenis tanah yang diperoleh dari data sekunder menggunakan klasifikasi sistem USDA, sedangkan kriteria menurut Kepmentan No. 837/kpts/Um/II/1980 menggunakan
sistem
klasifikasi
Dudal-Supraptohardjo,
sehingga
untuk
menggunakan analisis ini perlu dicarikan padanannya. Padanan jenis tanah pada kawasan DTA Waduk Batutegi dapat dilihat pada Lampiran 16. Tabel 4. Nilai bobot berdasarkan klasifikasi intensitas curah hujan harian Intensitas Hujan Harian Rata-rata
Kategori
Bobot
Sangat rendah
10
13,6-20,7 mm/hari
Rendah
20
20,7-27,7 mm/hari
Sedang
30
27,7-34,8 mm/hari
Tinggi
40
Sangat tinggi
50
<13,6 mm/hari
>34,8 mm/hari Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
Data-data disajikan dalam format digital sebagai layer-layer informasi yang berbeda yang selanjutnya dilakukan operasi tumpangtindih (overlay) dengan kriteria bobot ≥175 merupakan blok perlindungan, bobot antara 125 – 174 ditetapkan sebagai blok pemanfaatan terbatas, dan bobot ≤ 124 ditetapkan sebagai blok pemanfaatan budidaya (hutan kemasyarakatan). Berdasarkan penilaian tersebut, maka blok-blok pengelolaan DTA Waduk Batutegi dibagi menjadi 2 (dua) blok pengelolaan utama yaitu : Blok Perlindungan dan Blok Pemanfaatan. Selanjutnya Blok Pemanfaatan dapat dibagi menjadi 2, yaitu Blok Pemanfaatan Terbatas dan Blok Pemanfaatan Budidaya (Hutan Kemayarakatan). Blok perlindungan ditetapkan dengan kriteria memiliki skor bobot ≥ 175. Hal ini
berdasarkan pertimbangan bahwa kawasan tersebut sangat mudah dipengaruhi oleh aktivitas manusia dalam kawasan, sehingga kawasan tersebut perlu dilindungi. Kriteria lain yang digunakan untuk mempertahankan fungsi hidrologi DTA Waduk Batutegi namun tidak terakomodir dalam kriteria Kepmentan Nomor: 837/Kpts/Um/II/2008, yaitu : Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, Peraturan
Menteri
Kehutanan
Nomor:
Cover/Tutupan Hutan Tahun 2007, yaitu:
P.3/MenHut-II/2008,
dan
Land
25
Kawasan hutan dengan lereng > 40%.
Mempunyai ketinggian >2.000 dari permukaan laut.
Sempadan pantai sejauh 100 m .
Jalur sempadan sungai, 100 m di kiri-kanan sungai besar dan 50 m kiri kanan anak sungai.
Kawasan sekitar waduk/danau, 500 m dari titik pasang tertinggi.
Kawasan sekitar mata air, sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 m.
Kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, daerah perlindungan plasma nutfah dan daerah pengungsian satwa.
Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai ratarata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.
Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang diidetifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tanah longsor.
Blok Pemanfaatan ditetapkan berdasarkan kriteria skor bobot 45 – 174. Blok ini
terbagi menjadi dua yaitu:
Blok pemanfaatan terbatas dengan skor bobot 125 – 174 serta
Blok pemanfaatan budidaya (Hutan Kemasyarakatan) dengan skor bobot ≤ 124.
Blok pemanfaatan budidaya (hutan kemasyarakatan) diperuntukan untuk
kepentingan aktivitas dan sarana penunjang kelompok masyarakat tertentu yang sudah ada di dalam kawasan serta untuk memulihkan atau memperbaiki kondisi ekosistem kawasan yang mengalami kerusakan, dengan kriteria:
Telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupan lainnya.
Berbatasan langsung dengan kawasan penyangga atau kawasan budidaya.
Adanya perubahan fisik dan hayati yang pemulihannya diperlukan campur tangan manusia.
26
Berdasarkan Kelas Kemampuan Lahan Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan mengacu pada Departemen Pertanian Amerika Serikat (United Stated Departement of Agriculture). Menurut sistem ini lahan dikelompokkan ke dalam tiga kategori
utama yaitu Kelas, Subkelas dan Satuan Kemampuan (capability units) atau Satuan Pengelolaan (management unit). Pengelompokan ke dalam kelas
didasarkan atas intensitas faktor pembatas/penghambat. Jadi kelas kemampuan lahan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas atau penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian yang umum (Sys et al. 1991 dalam Arsyad 2006). Dalam sistem ini sifat kimia tanah tidak digunakan sebagai pembeda karena sifat kimia sangat mudah berubah, sehingga kurang relevan untuk digunakan. Sifat-sifat tanah lahan yang digunakan sebagai pembeda hanyalah sifat-sifat fisik/morfologi tanah yang dapat diamati di lapangan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai dengan kelas VIII, dimana semakin tinggi kelas maka kualitas lahanya semakin jelek serta pilihan penggunaan lahannya semakin terbatas. Lahan kelas I sampai dengan kelas IV merupakan lahan yang sesuai untuk pertanian sedangkan lahan kelas V sampai dengan kelas VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian. Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas penggunaan lahan lebih lengkap disajikan pada Tabel 5. Tabel 5
Skema hubungan antara Kelas Kemampuan Lahan dengan intensitas penggunaan lahan Intensitas dan macam penggunaan lahan meningkat
Kelas Kemampuan Lahan Hambatan meningkat dan pilihan penggunaan lahan berkutang
I II III IV V VI VII VIII
Hutan
Pengembalaan
Cagar alam
Hutan
Terbatas
Sedang
Intensif
XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX
XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX
XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX
XXX XXX XXX XXX XXX XXX
XXX XXX XXX XXX XXX
Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
Pertanian Terbatas
XXX XXX XXX XXX
Sedang
Intensif
Sangat intensif
XXX XXX XXX
XXX XXX
XXX
27
Berdasarkan kelas kemampuan lahan DTA Waduk Batutegi dibagi ke dalam 2 (dua) blok pengelolaan utama yaitu : Blok Perlindungan dan Blok Pemanfaatan. Selanjutnya Blok Pemanfaatan dapat dibagi menjadi 2, yaitu Blok Pemanfaatan Terbatas dan Blok Pemanfaatan Budidaya (Hutan Kemayarakatan). Blok perlindungan ditetapkan dengan kriteria kelas kemampuan lahan kelas V
sampai dengan kelas VIII, kelas kemampuan lahan kelas I – IV yang berada pada puncak bukit serta kriteria lain yang didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.3/MenHut-II/2008 serta Land Cover/Tutupan Hutan Tahun 2007. Blok pemanfaatan terbatas merupakan
lahan dengan kelas kemampuan lahan kelas IV sedangkan Blok pemanfaatan budidaya (hutan kemasyarakatan) adalah lahan dengan kelas kemampuan lahan
kelas I-III. Evaluasi Penataan Ruang DTA Waduk Batutegi Evaluasi penataan DTA Waduk Batutegi ke dalam blok-blok pengelolaan dilakukan terhadap prediksi debit minimum dan prediksi erosi. Prediksi debit minimum dilakukan dengan analisis korelasi dan regresi debit minimum dengan perubahan penutupan lahan DTA Waduk Batutegi periode tahun 1992 sampai dengan 2007. Sedangkan prediksi erosi menggunakan metode USLE dengan menggunakan data sekunder R (erosivitas hujan), K (erodibilitas tanah), dan LS (faktor kelerengan) yang diperoleh dari hasil penelitian (Banuwa 2008) Lampiran 20, sedangkan nilai C (tutupan lahan) diperoleh berdasarkan hasil analisis Citra Aster Tahun 2007. Analisis Korelasi Perubahan Penutupan Lahan Terhadap Debit Minimum Untuk mengetahui hubungan antara perubahan penutupan lahan dengan fluktuasi debit yang terjadi dilakukan dengan analisis korelasi. Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan dua peubah sebagai salah satu pertimbangan dalam melihat ada atau tidak adanya hubungan sebab akibat antar peubah tersebut. Dalam korelasi sederhana, keeratan sifat antara peubah akan ditunjukkan dalam bentuk berkorelasi positif, negatif atau tidak berkorelasi. Dua peubah dikatakan berkorelasi positif bila memiliki kecenderungan yang searah,
28
artinya kenaikan sejumlah nilai pada peubah x akan diikuti oleh kenaikan nilai pada peubah y yang bergantung pada besaran nilai koefisien korelasinya. Di lain pihak, bila memiliki kecenderungan yang berlawanan arah dinyatakan berkorelasi negatif, artinya peningkatan sejumlah nilai pada peubah x diikuti penurunan peubah y atau sebaliknya. Dua peubah disebut tidak berkorelasi atau tidak memiliki hubungan sama sekali jika nilai koefisien mendekati nol. Analisis korelasi yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis korelasi Pearson’s product Moment. Koefisien korelasi dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai
berikut : r = r =
Σ ( X − X )( Y − Y ) ( n − 1) s x s y n ( Σ XY ) − ( Σ X )( Σ Y )
[n ( Σ X
2
][ (
)
) − ( Σ X ) 2 n Σ Y 2 − (Σ Y )
2
]
Dimana : r
= koefisien korelasi
n
= ukuran populasi (Jumlah titik tahun : 3)
x
= nilai peubah x (Penutupan lahan tahun 1992, 2000, dan 2007)
y
= nilai peubah y (Debit minimum tahun 1992, 2000, dan 2007)
Analisis Regresi Untuk melihat hubungan antara dua atau lebih variabel yang saling berkorelasi dilakukan analisis regresi. Analisis regresi dibedakan menjadi dua yaitu analisis regresi sederhana (simple linier regresion) dan analisis regresi berganda (multiple regresion). Analisis regresi linier menunjukkan hubungan antara variabel tidak bebas y dan satu variabel bebas x. Model umum regresi linier sederhana yang mengambarkan respons variabel y oleh adanya perubahan variabel bebas x adalah :
29
Y = β0 + β1X + ε Dimana : Y
= Variabel tak bebas (Penutupan lahan tahun 1992,2000, dan 2007)
X
= Variabel bebas (Debit minimum tahun 1992,2000, dan 2007)
β0, β1 = Koefisien regresi ε
= error
Prediksi Erosi Prediksi erosi dari sebidang tanah adalah metoda untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang memiliki penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu. Jika laju erosi yang akan terjadi telah dapat diperkirakan dan laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan (permissible atau tolerable erotion) sudah dapat ditetapkan, maka dapat ditentukan kebijaksanaan penggunaan lahan dan tidakan konservasi tanah yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan lahan dan tanah dapat dipergunakan secara produktif dan lestari. Tindakan konservasi tanah dan penggunaan lahan yang diterapkan adalah yang dapat menekan laju erosi agar sama atau lebih kecil dari pada laju erosi yang dapat dibiarkan (Arsyad 2006). Suatu model parametrik untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah telah dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith yang disebut the Universal Soil Loss Equation (USLE). Persamaan USLE adalah sebagai berikut:
A = R.K.L.S.C.P (Arsyad 2006). Dimana: A = Banyaknya tanah tererosi dalam ton perhektar pertahun R = Faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang merupakan
perkalian antara energi hujan total (E) dengan
intensitas hujan maksimum 30 menit (I30), tahunan. K = faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 22 meter terletak pada lereng 9% tanpa tanaman.
30
L = Faktor panjang lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 22 meter di bawah keadaan yang identik. S = Faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi dari suatu tanah dengan kecuraman tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik. C = Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu arel dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman. P = Faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus seperti pengolahan menurut kontur, penanaman dalam strip atau teras terhadap besarnya erosi tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan identik. Simulasi prediksi erosi dilakukan pada kondisi eksisting tahun 2007 serta bila kondisi DTA Waduk Batutegi telah sesuai dengan perencanaan yaitu DTA Waduk Batutegi dibagi kedalam blok-blok pengelolaan berdasarkan Kepmentan Nomor.837/Kpts/Um/II/1980 dan Kelas Kemampuan Lahan. Prediksi erosi pada kondisi DTA Waduk Batutegi yang telah sesuai dengan perencanaan diperkirakan akan lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi eksisting tahun 2007 dimana faktor C (tutupan lahan) dan faktor P (tindakan konservasi) telah diubah.
Arahan Strategi Pengembangan dan Pengelolaan Ruang DTA Waduk Batutegi Analisis SWOT Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi pengembangan suatu usaha. Analisis ini didasarkan pada logika
yang
dapat
memaksimalkan
Kekuatan
(Strength),
dan
Peluang
(Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan Kelemahan (Weakness) dan Ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan dan strategi, serta kebijakan yang
31
dilakukan. Dalam upaya pengelolaan DTA Waduk Batutegi perlu dilakukan analisis lingkungan eksternal dan internal, sehingga upaya yang akan dilakukan tersebut dapat menjadi efektif dalam pencapaian sasaran karena dapat diketahui dampak penting yang ditimbulkannya. Dengan demikian dapat ditetapkan rencana-rencana strategis yang mungkin perlu dilakukan sebagai antisipasinya. Tujuan dari analisis SWOT adalah mengkombinasikan isi masing-masing kuadran untuk meningkatkan kekuatan dan peluang serta mengurangi kelemahan dan ancaman. Menurut (Iskandarini 2002), proses penyusunan strategi dengan metode SWOT dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap masukan, tahap analisis, dan tahap keputusan. Tahap akhir analisis kasus adalah memformulasikan keputusan yang akan diambil. Keputusannya didasarkan atas justifikasi yang dibuat secara kualitatif maupun kuantitatif. Proses penyusunan perencanaan strategis dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kerangka Analisis SWOT 1. Tahap Masukan Matrik Evaluasi Matrik Evaluasi Faktor Eksternal Faktor Internal 2. Tahap Analisis/Pencocokan Matrik Matrik internal TOWS Faktor eksternal 3. Tahap Pengambilan Keputusan Matrik perencanaan strategis kuantitatif (Quantitative Strategic Planning Matrik (QSPM) Sumber : Rangkuti 2001
Menurut (Umar 1999 dalam Utami 2008), tahap masukan atau tahap pengumpulan data, merupakan tahap klasifikasi dan pra analisis. Pada tahap ini data dibedakan menjadi 2, yaitu data sebagai faktor eksternal dan data sebagai faktor internal yang mempengaruhi kebijakan DTA Waduk Batutegi. Hasil analisis faktor ekternal dan internal ini selanjutnya dibuat sebagai suatu matrik, yaitu matrik faktor strategi eksternal (EFAS = External Factor Analysis Strategic) dan matrik faktor strategi internal (IFAS = Internal Factor Analysis Strategic).
32
Langkah menentukan faktor strategi eksternal adalah sebagai berikut : 1. Menyusun 5 sampai dengan 10 hasil inventarisasi faktor peluang dan ancaman dalam kolom 1, (apabila hasil inventarisasi lebih dari 10, dilakukan skoring dan dipilih yang memiliki nilai 10 terbesar). 2. Memberikan bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Pembobotan dilakukan berdasarkan
hasil
kesepakatan/wawancara
dari
responden.
Jumlah
pembobotan adalah 1,0. 3. Menghitung rating untuk masing-msing faktor pada kolom 3, dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi pengelolaan DTA Waduk Batutegi. Pemberian rating untuk faktor peluang bersifat positif (peluang yang semakin besar diberi rating 4, tetapi jika peluangnya kecil diberikan rating 1). Pemberian rating ancaman adalah kebalikannya. Ancaman yang sangat besar diberikan rating 1 dan bila nilai ancamannya kecil, maka rating yang diberikan adalah 4. 4. Menghitung skor, yaitu dengan mengalikan bobot pada kolom 2
dengan
rating pada kolom 3, untuk memperoleh skor untuk semua critical succes factors. 5. Menjumlahkan skor pembobotan untuk memperoleh total skor pembobotan bagi pengembangan kebijakan pengelolaan DTA Waduk Batutegi. Selanjutnya melakukan analisis faktor internal (IFAS) dengan cara yang sama, yaitu dari faktor kekuatan dan kelemahan DTA Waduk Batutegi Setelah matrik strategi faktor internal dan eksternal dibuat, langkah berikutnya adalah tahap pencocokan dengan matrik TOWS atau SWOT. Tabel 7 adalah matrik TOWS (SWOT) yang disusun berdasarkan hasil analisis faktor internal dan eksternal.
33
Tabel 7 Matrik TOWS (SWOT) IFAS STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W) * Tentukan 5-10 faktor * Tentukan 5-10 faktor kekuatan internal kelemahan internal EFAS OPPORTUNITIES (O) *Tentukan 5-10 faktor peluang eksternal
THREATS(T) * Tentukan 5-10 faktor ancaman eksternal STRATEGI ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman Sumber: Rangkuti 2001
STRATEGI SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang STRATEGI ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
STRATEGI WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang STRATEGI WT Ciptakan strategi yang meminimalkan elemahan dan menghindari ancaman
Dari hasil analisis faktor internal dan faktor eksternal, diperoleh 4 tipe strategi, yaitu Strategi SO, Strategi WO, Strategi ST dan Strategi WT. 1. SO
strategies,
menggunakan
kekuatan
internal
untuk
meraih
dan
memanfaatkan peluang-peluang ang ada 2. WO strategies, strategi ini bertujuan untuk memperkecil kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada. 3. ST strategies, adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman. 4. WT strategies, merupakan taktik untuk bertahan yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan-kelemahan internal serta menghindar dari ancamanancaman lingkungan. Tahap berikutnya adalah tahap pengambilan keputusan (decisions stage). Langkah ini adalah tahap terakhir dalam menentukan alternatif strategi terpilih yang mungkin dapat diimplementasikan. Teknik analisis yang dipakai adalah Quantitatif Strategic Planning Matrix (QSPM), yaitu teknik untuk menunjukkan strategi alternatif mana yang paling baik untuk dipilih. QSPM menggunakan input dari hasil analisis faktor internal dan eksternal serta hasil analisis tahap pencocokan
dengan
SWOT.
Teknik
analisis
QSPM
digunakan
untuk
34
mengevaluasi pilihan strategi alternatif secara obyektif, berdasarkan faktor internal dan eksternal yang telah diidentifikasi sebelumnya. Adapun tahap pelaksanaan teknik analisis QSPM adalah sebagai berikut: 1. Membuat daftar external opportunities/threats dan internal strenghts/ weakness di kolom sebelah kiri QSPM. Informasi ini diambil langsung dari EFAS dan IFAS matrik (analisis strategi faktor internal dan eksternal) dengan masing-masing minimal 10 faktor, diletakkan pada kolom 1. 2. Memberikan nilai rating masing-masing faktor (nilai sama dengan EFAS dan IFAS matrik) yang diletakkan pada kolom 2. 3. Meneliti strategi yang telah dipilih dalam tahap pencocokan dengan SWOT dan identifikasi strategi yang dipertimbangkan pelaksanaannya. Letakkan strategi di bagian atas tabel QSPM. 4. Menetapkan
Attractiveness
Score
(AS),
yaitu
sebuah
angka
yang
menunjukkan relative attractiveness untuk masing-masing strategi yang terpilih. Dari masing-masing faktor ditentukan nilainya berdasarkan bagaiman perannya dalam proses pemilihan strategi. Setiap faktor memiliki AS yang menunjukkan relative attractiveness dari satu strategi dengan strategi lainnya. Batasan nilai AS adalah 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = secara logis menarik, 4 = sangat menarik. Jika peran dari suatu faktor kecil,maka hal ini menunjukkan bahwa respective factor tersebut tidak memiliki peran pada pilihan spesifik yang sedang dibuat. AS diletakkan pada kolom 1 masingmasing strategi. 5. Menghitung
Total Attractiveness Score (TAS). yang diperoleh dari hasil
perkalian rating dengan AS masing-masing strategi dari dan diletakkan pada kolom 2 masing-masing strategi. Angka TAS menunjukkan relative attractiveness dari masing-masing strategi. 6. Menjumlahkan semua nilai Total Attractiveness Score (TAS) pada masingmasing kolom strategi tabel QSPM. Dari beberapa nilai TAS yang didapat, nilai TAS dari alternatif strategi terbesar bahwa alternatif strategi ini menjadi pilihan utama dan nilai TAS terkecil menjadi alternatif pilihan strategi yang akan dilaksanakan .