3.
3.1
METODOLOGI
Kerangka Pemikiran Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu penilaian program kelayakan
dasar (pre requisite program), evaluasi penerapan program Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan merancang keterkaitan kinerja dan kompetensi berdasarkan konsep Human Resource Scorecard dengan keberhasilan implementasi HACCP. Penilaian kelayakan dasar (pre requisite program) menggunakan daftar penilaian unit pengolahan ikan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (2007) yang dapat dilihat pada Lampiran 2. Sedangkan tahap evaluasi penerapan program HACCP mengacu pada aplikasi prinsip HACCP yang ditentukan dalam CODEX Food Hygiene Basic Text yang diadopsi oleh SNI 01-4852-1998. Tahap selanjutnya adalah merancang keterkaitan kinerja dan kompetensi berdasarkan
konsep
Human
Resource
Scorecard
dengan
keberhasilan
implementasi HACCP yang dilakukan dengan menggunakan model tujuh langkah penerapan peran strategis sumber daya manusia (SDM) berdasarkan Becker et al. (2001). Tahap ini dilakukan dengan menghubungkan tahapan proses produksi tuna loin yang menjadi CCP (dari hasil analisis bahaya) dengan sumber daya manusia yang menanganinya. Tahapan proses produksi tuna loin yang menjadi CCP merupakan tahapan dimana jika terjadi kehilangan kendali akan mengakibatkan bahaya keamanan pangan. Oleh karena itu harus ditangani dan diawasi oleh sumber daya manusia dengan kompetensi tertentu. Hal ini dilakukan agar kinerja yang dihasilkan menjadi lebih baik sehingga didapatkan keberhasilan dalam implementasi HACCP. Langkah pertama dari model tujuh langkah peran strategis SDM berdasarkan Becker et al. (2001) adalah mendefinisikan strategi secara jelas. Jenis data yang digunakan pada langkah ini adalah data sekunder berupa visi, misi, dan strategi perusahaan. Kemudian menetapkan peran sumber daya manusia sebagai aset strategis dengan mendefinisikan mengapa (why) dan bagaimana (how) sumber daya manusia dapat mendukung implementasi strategi perusahaan yang telah ditetapkan. Langkah ketiga adalah membuat peta strategi (strategy map)
untuk mendefinisikan proses penciptaan nilai (value creation) dalam organisasi. Langkah keempat dilakukan dengan mengidentifikasi kontribusi sumber daya manusia (human resource deliverable) dalam peta strategi yang kemudian diselaraskan dengan arsitektur sumber daya manusia (human resource architecture). Langkah selanjutnya adalah merancang sistem pengukuran sumber daya manusia strategis dan langkah terakhir adalah melakukan pengukuran sumber daya manusia dengan alat ukur yang telah didapat. Pengukuran sumber daya manusia dilakukan dengan dua cara, yaitu observasi dan menggunakan metode statistika pengendalian proses (Statistical Process Control/SPC) terintegrasi dengan konsep six sigma yang mengacu pada Gaspersz (2001). Jenis data yang digunakan adalah data hasil rekaman (record keeping) tahapan CCP di Perusahaan bulan Oktober sampai pertengahan November 2009. Proses pengolahan data dilakukan menggunakan software Microsoft Office Excell 2007. Secara garis besar, kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Penilaian kelayakan dasar (pre requisite program) Evaluasi penerapan program HACCP
Perancangan keterkaitan kinerja dan kompetensi berdasarkan konsep Human Resource Scorecard dengan keberhasilan implementasi HACCP 1. Mendefinisikan strategi secara jelas 2. Membangun sebuah kasus bisnis untuk SDM sebagai aset strategis 3. Membuat peta strategis 4. Mengidentifikasi HR Deliverable di dalam peta strategi 5. Menyelaraskan deliverable
“arsitektur”
SDM
dan
6. Merancang sistem pengukuran strategis 7. Mengelola implementasi melalui pengukuran Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian
HR
3.2
Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu penilaian program kelayakan
dasar (pre requisite program), evaluasi penerapan program Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan merancang keterkaitan kinerja dan kompetensi berdasarkan konsep Human Resource Scorecard dengan keberhasilan implementasi HACCP. 3.2.1 Penilaian kelayakan dasar (pre-requisite program) Sebelum menilai kelayakan dasar, terlebih dahulu diamati proses produksi tuna loin yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Penilaian kelayakan dasar menggunakan daftar penilaian unit pengolahan ikan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (2007), lembar penilaian dapat dilihat pada Lampiran 2. Aspek-aspek yang dinilai, dihitung jumlah penyimpangannya yang meliputi penyimpangan Minor (MN), Mayor (MY), Serius (S) maupun Kritis (K) sesuai dengan yang telah ditentukan dalam daftar tersebut. 3.2.2 Evaluasi penerapan program Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Tahap selanjutnya adalah mengevaluasi penerapan program Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Penerapan tahap ini mengacu pada CODEX Food Hygiene Basic Text yang diadopsi oleh SNI 01-4852-1998. Tahapan penerapan HACCP tersebut adalah : 1. Pembentukan tim HACCP. Langkah ini dilakukan dengan mengambil data sekunder berupa struktur tim HACCP (Lampiran 1). 2. Deskripsi produk. Deskripsi produk merupakan sebuah daftar yang berisikan jenis produk akhir yang dicakup dalam konsep HACCP. Langkah ini dilakukan dengan mengambil data sekunder berupa deskripsi produk. 3. Identifikasi kegunaan. Setiap produk yang akan dikendalikan melalui sistem HACCP terlebih dahulu harus ditentukan rencana penggunaannya. Langkah ini dilakukan dengan mengambil data sekunder berupa identifikasi kegunaan produk yang terdapat dalam HACCP plan.
4. Penyusunan diagram alir proses produksi. Alur proses bertujuan untuk menggambarkan urutan atau tahap operasional produk mulai dari tahap penerimaan sampai pemuatan. Penyusunan diagram alir dilakukan dilakukan dengan melihat alur proses produksi dan mengurutkannya mulai dari tahap penerimaan bahan baku hingga pemuatan ke dalam kontainer. 5. Verifikasi diagram alir. Tahapan ini sangat penting karena menjadi dasar atau sarana untuk menganalisis bahaya. Langkah ini dilakukan oleh Manager QC dengan mencocokan diagram alir proses yang telah dibuat dengan proses pada lini produksi yang selanjutnya diketahui oleh ketua tim HACCP. 6. Analisis bahaya. Analisis bahaya adalah proses pengumpulan dan penilaian informasi mengenai bahaya dan keadaan sampai dapat terjadinya bahaya untuk menentukan mana yang berdampak nyata terhadap keamanan pangan dan harus ditangani dalam rencana HACCP. Langkah ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan menginventarisasi bahaya-bahaya terhadap keamananan produk yang dapat terjadi dalam proses produksi serta tindakan-tindakan pencegahan yang diperlukan untuk mengendalikan bahaya atau risiko potensial yang membahayakan. Lembar analisis bahaya dapat dilihat pada Lampiran 5. 7. Identifikasi Critical Control Point (CCP). Setiap tahapan yang menyebabkan adanya bahaya yang nyata harus diidentifikasi lebih lanjut untuk meyakinkan apakah tahapan tersebut termasuk dalam CCP atau tidak. Langkah ini dilakukan dengan menilai CCP dengan mengunakan decision tree atau diagram pengambilan keputusan yang mengacu pada CAC (2003). 8. Penetapan batas-batas kritis (critical limit). Batas kritis adalah nilai maksimum atau minimum yang harus dikendalikan pada setiap CCP. Langkah ini dilakukan dengan mengambil data sekunder berupa data batas kritis yang digunakan pihak perusahaan yang terdapat dalam HACCP plan.
9. Prosedur monitoring. Prosedur monitoring terdiri atas aktivitas pengamatan, pengukuran atau pengujian yang dilakukan untuk menilai apakah suatu CCP berada dalam batas-batas kritis yang ditetapkan atau tidak. Langkah ini dilakukan dengan membuat suatu tabel pengendalian CCP yang mengacu pada CAC (2003) yang berisi apa, bagaimana, kapan dan siapa yang melakukan pemantauan. Tabel pengendalian CCP dapat dilihat pada Lampiran 6. 10. Penetapan tindakan koreksi. Tindakan koreksi merupakan prosedur-prosedur yang harus dilaksanakan ketika batas kritis terlampaui. Tindakan koreksi harus segera dilaksanakan apabila terjadi kegagalan dalam pengawasan pada CCP. Langkah ini dilakukan dengan membuat suatu tindakan koreksi yang harus dilakukan apabila batas kritis dilampaui. Tindakan ini tercantum dalam tabel pengendalian CCP yang dapat dilihat pada Lampiran 6. 11. Penetapan prosedur verifikasi. Verifikasi merupakan metode, prosedur, pengujian, dan cara penilaian lainnya disamping pemantauan untuk menentukan kesesuaian dengan HACCP plan. Langkah ini dilakukan dengan membuat suatu langkah berupa metode, prosedur ataupun pengujian yang dapat dilakukan apabila batas kritis terlampaui. Prosedur ini tercantum dalam tabel pengendalian CCP yang dapat dilihat pada Lampiran 6. 12. Prosedur pencatatan dan pendokumentasian. Salah satu kunci dari keberhasilan jalannya sistem HACCP yaitu keakuratan sistem pencatatan (record keeping). Semua kegiatan yang berhubungan dengan pemantauan CCP dan kegiatan lainnya yang terkait harus dicatat dengan baik. Langkah ini dilakukan dengan mengambil data sekunder berupa form-form pencatatan yang dapat dilihat pada Lampiran 10-17. 3.2.3 Rancangan Keterkaitan Kinerja dan Kompetensi Berdasarkan Konsep Human Resource Scorecard dengan Keberhasilan Implementasi HACCP Perancangan dilakukan menggunakan model tujuh langkah penerapan peran strategis SDM yang mengacu pada Becker et al. (2001). Model tujuh langkah penerapan peran strategis SDM adalah sebagai berikut:
1. Mendefinisikan strategi secara jelas. Strategi adalah proses untuk menentukan arah yang harus dituju perusahaan agar misinya tercapai dan sebagai daya dorong yang akan membantu perusahaan dalam menentukan produk, jasa, dan pasarnya di masa depan. Jenis data yang digunakan pada langkah ini adalah data sekunder berupa visi, misi, dan strategi perusahaan yang dapat dilihat pada Lampiran 18. 2. Membangun sebuah kasus bisnis untuk SDM sebagai aset strategis. Pada langkah ini dibuat suatu kasus bisnis yang menerangkan bahwa sumber daya manusia merupakan aset strategis. Pembuatan kasus bisnis ini dilakukan dengan menghubungkan tahapan proses produksi tuna loin yang menjadi CCP (berdasarkan identifikasi CCP) dengan sumber daya manusia yang menanganinya. Untuk lebih jelasnya contoh model gambaran kasus bisnis hubungan implementasi HACCP dengan SDM dapat dilihat pada Gambar 3. 3. Membuat peta strategis. Peta strategis yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi No. 15/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi (Lampiran 20) yang dimodifikasi, secara visual diuraikan oleh Tjahjono dalam Kompas (21 Desember 2009), dapat dilihat pada Gambar 4. Kompetensi baik
Tahapan proses
Kinerja tinggi
Keterangan garis :
= sebab akibat = penanggung jawab
Keberhasilan implementasi HACCP
Gambar 3. Model gambaran kasus bisnis hubungan implementasi HACCP dengan sumber daya manusia (SDM) (diolah oleh penulis, 2010)
Analisis dan evaluasi jabatan
Standar kompetensi Keberhasilan implementasi HACCP
Rekrutmen dan penempatan
Pendidikan dan pelatihan
Standar kinerja
Penilaian kinerja
Kinerja individu
Keterangan garis :
= sebab akibat = proses Gambar 4. Gambaran peta strategis (Modifikasi Tjahjono, 2009)
4. Mengidentifikasi HR deliverable di dalam peta strategi. HR deliverable merupakan masalah yang menghubungkan antara sumber daya manusia dan rencana-rencana implementasi strategi organisasi. Langkah pengidentifikasian HR deliverable mengacu pada Moeheriono (2009) dengan menetapkan apa yang dapat mendukung kinerja perusahaan yang terdapat dalam peta strategi. Untuk menetapkan HR deliverable harus dirumuskan terlebih dahulu apa yang dapat mendukung kinerja perusahaan. Selanjutnya ditentukan pada bagian mana sumber daya manusia dapat berkontribusi dalam mendukung kinerja perusahaan. Contoh pada peta strategis di atas (Gambar 4), penentu keberhasilan implementasi HACCP (kinerja perusahaan) adalah kinerja individu, sehingga dapat ditentukan bahwa sumber daya manusia dapat berkontribusi dalam memenuhi standar kinerja (HR deliverable).
5. Menyelaraskan “arsitektur” SDM dan HR Deliverable. Langkah penyelarasan “arsitektur” SDM dan HR deliverable mengacu pada Moeheriono (2009) dengan merancang sistem sumber daya manusia yang dapat mendukung HR deliverable. Langkah ini dilakukan dengan mengidentifikasi HR enabler (yang memungkinkan kinerja berlangsung) dari HR deliverable yang telah ditentukan. Langkah ini dilakukan untuk menentukan apa yang diperlukan SDM untuk menyediakan HR deliverable yang telah ditentukan sebelumnya. Misalnya dalam kasus ini yang memungkinkan standar kinerja dicapai adalah standar kompetensi. Karena diantara keduanya (standar kinerja dan standar kompetensi) memiliki hubungan kausal (sebab akibat) yaitu jika standar kompetensi karyawan pada suatu perusahaan baik, maka standar kinerja yang akan dicapai akan tinggi. Sehingga standar kompetensi merupakan HR enabler bagi standar kinerja (HR deliverable). 6. Merancang sistem pengukuran strategis. Penerapan tahap ini merujuk pada konsep dasar tentang kompetensi yang mengacu pada The Concept of Competence oleh Mc Clelland (1993) dengan tahapan sebagai berikut: (a). Mengidentifikasi posisi apa yang perlu dibuat model kompetensinya dengan melihat kasus bisnis yang telah dibuat. Contoh berdasarkan Gambar 4, posisi yang perlu dibuat model adalah quality control (QC). (b). Melakukan analisis jabatan (job analysis) dengan menjabarkan tanggung jawab posisi yang telah dipilih pada langkah (a) (QC) dengan mengambil data sekunder
berupa
prosedur
Good
Manufacturing
Practices
(GMP)
(Lampiran 3). (c). Mengidentifikasi kompetensi yang dibutuhkan pada posisi yang telah dipilih pada langkah (a) berdasarkan tanggung jawab yang telah dijabarkan. Langkah ini dilakukan dengan melakukan survey pada lini produksi yang bersangkutan untuk melihat kompetensi yang dibutuhkan pada posisi tersebut. (d). Membuat daftar tentang jenis kompetensi yang diperlukan pada posisi tertentu. Langkah ini dilakukan dengan membuat tabel standar kompetensi, dapat dilihat pada Tabel 4.
(e).Menentukan skala tingkat penguasaan kompetensi yang ingin dibuat, misalkan skala 1 (sangat rendah), 2 (rendah), 3 (sedang), 4 (baik), 5 (sangat baik) atau menggunakan skala B (basic), I (intermediet), A (advance) dan E (expert). (f). Membuat penjelasan dari suatu jenis kompetensi ke dalam skala yang dibuat. Misalnya kompetensi komunikasi tertulis. Untuk kompetensi ini, skala basicnya adalah mampu menulis memo dan surat saja; skala intermediet-nya adalah mampu menulis laporan dengan analisis minimal; skala advance-nya adalah menulis laporan disertai analisis lebih mendalam dalam bentuk grafik dan gambar; dan skala expert-nya adalah menuliskan laporan yang berisikan pendapat, analisis dengan dukungan dan fakta dengan konsep dan variabel yang rumit dan lengkap. Tabel 4. Standar kompetensi Posisi
Kompetensi yang diperlukan
Selanjutnya, untuk penentuan standar kinerja mengacu pada Anderson (1992) yaitu dengan membuat standar penilaian kinerja yang berisikan sasaran atau target dan indikator keberhasilan atau key performance indicator bagi setiap pemegang jabatan. Langkah ini dilakukan dengan membuat tabel standar kinerja, dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Standar kinerja Tahapan proses
Sasaran
Indikator kinerja kunci
7. Mengelola implementasi melalui pengukuran. Setelah HR scorecard dikembangkan dengan ukuran-ukuran strategis, hasilnya menjadi alat ukur yang sangat berguna untuk menjaga skor pengaruh SDM
terhadap
kinerja
organisasi.
Langkah
ini
dilakukan
berdasarkan
Becker et al. (2001) yaitu dengan menilai sasaran-sasaran berdasarkan key performance indicator yang telah ditentukan. Pengukuran kompetensi dilakukan dengan dua cara. Pertama, untuk menilai QC penerimaan bahan baku, QC laboratorium, dan pendinginan dengan es curai
dilakukan observasi lapang dengan menilai langsung kemampuan QC. Kedua, untuk menilai QC penyimpanan beku dilakukan dengan melihat data suhu cold storage
selama
bulan
Oktober
sampai
pertengahan
November
2009
(Lampiran 19). Pengukuran kinerja (key performance indicator) dilakukan dengan metode statistika pengendalian proses (Statistical Process Control/SPC). Jenis data yang digunakan adalah data hasil rekaman (record keeping) tahapan CCP di Perusahaan bulan Oktober sampai pertengahan November 2009. Proses pengolahan data dilakukan menggunakan software Microsoft Office Excell 2007. Proses analisis data dilakukan melalui tahapan berikut: a. Penentuan nilai rata-rata (X-bar) dan nilai standar deviasi (S) proses serta nilai batas spesifik atas dan atau nilai batas spesifik bawah, dengan persamaan sebagai berikut:
Rata-rata proses (X-bar)
=
=
jumlah keseluruhan data banyaknya data
∑ (x − X )
2
Standar deviasi proses (S)
Nilai batas spesifik atas (upper specific limit - USL), merupakan nilai
(n − 1)
batas maksimal yang besarnya ditentukan oleh pembeli.
Nilai batas spesifik bawah (lower specific limit - LSL), merupakan nilai batas minimal yang besarnya ditentukan oleh pembeli.
b. Penentuan nilai DPMO (Defect per Million Opportunities) dan nilai Sigma.
Nilai DPMO merupakan ukuran kegagalan yang menunjukkan peluang kegagalan per sejuta kali kesempatan produksi. Nilai ini diperoleh dengan menggunakan persamaan: DPMO USL = P [ z ≥ (USL – Xbar) / s ] x 1000000 DPMO LSL = P [ z ≤ (LSL – Xbar) / s ] x 1000000 Nilai peluang kegagalan untuk distribusi normal baku (z), diperoleh dari Tabel distribusi normal kumulatif. Sementara nilai Sigma diperoleh dari Tabel konversi nilai DPMO ke nilai Sigma berdasarkan konsep Motorola (Gaspersz 2002).
c. Penentuan nilai standar deviasi maksimal (Smaks) dan uji hipotesis variasi proses terhadap nilai standar maksimum.
Standar deviasi maksimum (Smaks) merupakan nilai batas toleransi maksimum terhadap nilai standar deviasi proses. Nilai standar deviasi maksimum diperoleh dengan menggunakan persamaan: Smaks
=
1 × (USL − LSL ) 2 × sigma
Bila proses tersebut hanya memiliki satu batas spesifik, batas spesifik atas (upper specific limit – USL) atau batas spesifik bawah (lower specific limit – LSL) saja, maka persamaan yang digunakan : Hanya memiliki batas spesifik atas (USL): Smaks
=
1 × (USL − Xbar ) sigma
Hanya memiliki batas spesifik bawah (LSL): Smaks
=
1 x (LSL − Xbar ) sigma
d. Penentuan nilai batas kontrol atas (upper control limit – UCL) dan atau batas kontrol bawah (lower control limit – LCL).
Nilai batas kontrol atas (upper control limit – UCL) merupakan sebuah persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai batas atas dari suatu proses yang dimanfaatkan untuk mengevaluasi proses tersebut. UCL = X-bar + (1,5 x Smaks) dengan: X-bar : nilai rata-rata proses ; Smaks : standar deviasi maksimum proses
Nilai batas kontrol bawah (lower control limit – LCL) merupakan sebuah persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai batas bawah dari suatu proses yang dimanfaatkan untuk mengevaluasi proses tersebut. LCL
= X-bar - (1,5 x Smaks)
dengan: X-bar : nilai rata-rata proses ; Smaks : standar deviasi maksimum proses
e. Penentuan nilai kapabilitas proses Kapabilitas proses (Cpm) merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Perhitungan kapabilitas proses hanya dilakukan untuk proses yang stabil. Cpm
= 6
(USL − LSL ) ( Xbar − T )2 + S 2
Namun, jika proses hanya memiliki satu batas spesifik (SL), maka digunakan persamaan sebagai berikut:
(SL −
Xbar )
Cpm
=
SL
: nilai batas spesifik
3 S2
dengan:
X-bar : nilai rata-rata proses S
: nilai standar deviasi proses
Jika: Cpm ≥ 2,0
: Keadaan proses industri berada dalam keadaan stabil dan mampu, artinya proses mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.
1 ≤ Cpm < 1,99 : Keadaan proses industri berada dalam keadaan stabil dan tidak mampu, artinya proses berada dalam keadaan tidak mampu sampai cukup mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Cpm < 1,0
: Keadaan proses industri berada dalam keadaan tidak mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.