3. METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Berdasarkan tingkatannya, analisis daya saing dapat dilakukan pada tiga tingkat agregasi yaitu: tingkat perusahaan, tingkat industri atau suatu sektor, dan tingkat negara (McFetridge 1995; Ambastha dan Momaya 2004).
Terdapat
perbedaan dalam pengukuran indikator daya saing pada ketiga tingkat tersebut. Analisis daya saing tingkat industri atau suatu sektor ditujukan untuk mengetahui: faktor apa yang menentukan investasi, bagaimana keberhasilan suatu unit usaha ditentukan, serta kebijakan publik apa yang baik untuk sektor atau industri (Solleiroa dan Rosaria 2005). Pengukuran daya saing dapat dilakukan dengan metode: (1) pengukuran kinerja, (2) pengukuran potensi daya saing, serta (3) pengukuran proses daya saing (Kemp dan Horbach 2008).
Pengukuran kinerja dilakukan dengan
menganalisis seberapa baik industri berperilaku dibandingkan dengan para pesaingnya, dimana ukuran dinyatakan dalam profitabilitas, pertumbuhan, pangsa pasar, dan keseimbangan komersial.
Pengukuran potensi daya saing, yang
dilakukan dengan mengukur ketersediaan dan jumlah bahan baku, teknologi untuk menghasilkan harga dan biaya yang bersaing, serta produktivitas yang lebih tinggi. Pengukuran proses daya saing, yang merupakan ukuran terhadap proses penciptaan daya saing. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada Gambar 7.
Kerangka analisis industri menyebutkan bahwa daya saing pada
tingkat industri dapat dilakukan dengan menganalisis indikator daya saing (competitiveness indicator) dan pemicu daya saing (competitiveness driver) (Sirikrai dan John 2006). Tingkat daya saing ditentukan oleh bekerjanya dua set variabel yaitu aset penciptaan daya saing dan proses penciptaan daya saing (World Bank 2009). Aset penciptaan daya saing meliputi: teknologi, pendanaan, infrastruktur dan transportasi, serta sumber daya manusia. Proses penciptaan daya saing dapat ditempuh antara lain melalui penerapan manajemen risiko, sedangkan aset penciptaan daya saing dapat diperoleh melalui penerapan pemberian dukungan fasilitas. 31
Gambar 7. Kerangka Konseptual
Operasionalisasi dari penciptaan daya saing dapat dilakukan melalui pendekatan rantai nilai (value chain). Kinerja rantai nilai dapat dioptimalkan melalui faktor pengungkit yaitu skala, pembelajaran, keterkaitan, pola utilisasi kapasitas, integrasi, waktu, dan kebijakan.
Adapun faktor pemicu yang
dimungkinkan atas hal tersebut adalah teknologi, yang terbagi atas teknologi produk dan teknologi proses (Porter 1998). Implementasi konsep tersebut dapat dijalankan melalui kegiatan investasi. Oleh karena itu, manajemen risiko yang diajukan adalah manajemen risiko investasi yang didalamnya tercakup analisis terhadap kegiatan investasi dan operasi. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan model analisis investasi, yang memperhitungkan risiko, menerapkan manajemen risiko, dan pemberian dukungan fasilitas, merupakan upaya menjawab peluang dan tantangan dalam pengembangan agroindustri lada. 32
3.2 Tahapan Penelitian Kegiatan penelitian terdiri dari beberapa tahap seperti tertera pada Gambar 8.
Penelitian diawali dengan melakukan analisis situasional. Tahap ini terdiri
dari tujuh kegiatan yaitu: analisis kinerja sistem komoditas, pemetaan lingkungan strategis, analisis komparatif sistem komoditas lada di Indonesia dengan Vietnam, analisis nilai tambah, desain model proses adopsi teknologi, analisis pembiayaan investasi, dan analisis persepsi terhadap risiko. Metode yang digunakan adalah Analytical Hierarchy Proces, Fuzzy Inferrence System, dan Analisis Deskriptif. Analisis Deskriptif digunakan pada analisis kinerja sistem komoditas, analisis komparatif sistem komoditas lada di Indonesia dengan Vietnam, analisis nilai tambah, analisis pembiayaan investasi, dan analisis persepsi terhadap risiko. Analisis pemetaan lingkungan strategis dilakukan dengan menggunakan pendekatan Analytical Hierarchy Proces, sedangkan desain model proses adopsi teknologi dilakukan dengan menyertakan Fuzzy Inferrence System sebagai metode analisis. Hasil analisis situasional adalah deskripsi kinerja pengembangan sistem komoditas, strategi pengembangan sistem komoditas, strategi peningkatan nilai tambah, model proses adopsi teknologi, deskripsi pembiayaan investasi, dan deskripsi persepsi terhadap risiko. Berdasarkan hasil analisis situasional kemudian dikembangkan kerangka analisis yang komprehensif untuk melakukan identifikasi risiko. Perancangan model manajemen risiko investasi pada agroindustri lada diawali dengan melakukan penilaian risiko. Penilaian risiko dilakukan dengan menganalisis terlebih dahulu bobot pakar dan bobot komponen risiko. Kedua bobot tersebut kemudian digunakan dalam proses perhitungan nilai risiko. Berdasarkan nilai risiko tersebut kemudian dilakukan agregasi nilai risiko, dimana di dalamnya meliputi kegiatan pembobotan aspek risiko. Agregasi nilai risiko akan memberikan nilai agregat risiko dan status risiko. Status risiko ditetapkan dengan menggunakan rule base. Nilai risiko juga digunakan untuk melakukan analisis lanjutan dalam bentuk analisis kerentanan (vulnerability) dan analisis instrumen pengelolaan risiko.
Analisis kerentanan diawali dengan melakukan penilaian kemampuan 33
pengelolaan risiko. Berdasarkan nilai risiko dan nilai kemampuan pengelolaan risiko tersebut kemudian ditetapkan nilai kerentanan (vulnerability) yang selain dinyatakan dalam bentuk numerik juga dinyatakan dalam radar chart. Analisis instrumen pengelolaan risiko dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dukungan fasilitas apa yang harus diberikan oleh pemerintah atau stakeholder lain berdasarkan nilai prioritasnya. Pada sisi yang lain, dilakukan analisis finansial untuk mendapatkan gambaran kinerja investasi agroindustri lada.
Simulasi kelayakan investasi
dilakukan berbasis risiko, oleh karena itu nilai risiko juga digunakan sebagai dasar untuk melakukan simulasi kelayakan investasi.
Perhitungan diawali dengan
menghitung besarnya nilai pengaruh setiap kelompok risiko terhadap komponen biaya atau manfaat. Simulasi kelayakan investasi dilakukan dengan menghitung pengaruh risiko terhadap komponen pada struktur manfaat dan biaya berdasarkan nilai keparahannya (severity). Keseluruhan tahapan tersebut terintegrasi dalam SPK Manajemen Risiko Terpada pada Investasi Agroindustri Lada. SPK terdiri dari delapan jenis model yaitu: Pembobotan Pakar, Pembobotan Komponen Risiko, Penilaian Risiko, Agregasi Nilai Risiko, Analisis Kapasitas Pengelolaan Risiko, Analisis Instrumen Pengeloaan Risiko, Analisis Finansial, dan Simulasi Kelayakan Investasi. Jenis data yang digunakan adalah data input maupun data hasil proses yang terdiri dari: bobot pakar, bobot komponen risiko, tingkat keparahan, tingkat kejadian, tingkat pendeteksian, nilai kerentanan (vulnerability), kemampuan pengelolaan risiko, bobot instrumen pengelolaan risiko, nilai bobot kelompok risiko, input analisis finansial, serta nilai indikator peubah. Data yang digunakan adalah data yang berjenis pengetahuan dan data numerik. Metoda analisis yang digunakan adalah logika fuzzy dengan pendekatan Fuzzy Weighted Average, FMEA dengan pendekatan logika fuzzy, Radar Chart, Analytical Hierarchy Proces, dan Analisis Finansial. Secara terperinci, tahapan dan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada Tabel 4.
34
Gambar 8. Metodologi Peneliti 35
Tabel 4. Kerangka Penelitian Tahapan
Metode Analisis
Output
Analisis Situasional
1.
1.
2. 3.
Analytical Hierarchy Process Fuzzy Inferrence System Analisis Deskriptif
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Perancangan SPK Manajemen Risiko Investasi Agroindustri Lada
Penilaian dan Pengelolaan Risiko
Agregasi Nilai Risiko Analisis Kerentanan (vulnerability) Analisis Instrumen Pengelolaan Risiko Analisis Finansial Simulasi Kelayakan Investasi
1.
Kinerja pengembangan sistem komoditas Strategi pengembangan sistem komoditas Deskripsi komparatif sistem komoditas Indonesia-Vietnam Strategi peningkatan nilai tambah Model proses adopsi teknologi Deskripsi pembiayaan investasi Deskripsi persepsi terhadap risiko Bobot Pakar Bobot Komponen Risiko Nilai Risiko
Fuzzy Weighted Average Index 2. Fuzzy Weighted Average FMEA 3. Fuzzy Weighted Average Risk Analysis Fuzzy Weighted Average
1. 2. 3.
Radar Chart
Nilai Kerentanan (vulnerability)
Analytical Hierarchy Process
Instrumen Pengelolaan Risiko
Cash Flow Analysis
1. 2. 3. 4. 1.
Analisis Kelayakan Investasi Berbasis Risiko
Nilai Total Risiko
2. 3.
NPV IRR Net BC Ratio Pay Back Period Kemampuan 1. NPV berbasis Pembayaran Risiko Upah Jasa 2. IRR berbasis Pengolahan Risiko Jumlah Lada 3. Net BC Ratio berbasis risiko Diolah 4. Pay Back Rendemen Period berbasis Risiko
3.3 Metode Analisis Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem. Hal ini didasarkan kepada kondisi dimana obyek analisis memerlukan analisis yang holistik, yaitu memandang secara utuh terhadap keseluruhan bagian.
Keputusan investasi
agroindustri merupakan proses pengambilan keputusan strategis yang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti dan berorientasi jangka panjang serta untuk mencapai efektifitas secara menyeluruh. Dengan demikian proses pengambilan keputusan 36
dalam bentuk strategi dan penjabarannya merupakan sesuatu yang kompleks. Input sistem yaitu input berbasis pengetahuan (knowledge base) dan berbasis data (data base). Analisis berbasis data dilakukan pada analisis finansial, sedangkan analisis lainnya berbasis pengetahuan.
Pendekatan penelitian ini kemudian
diaplikasikan dalam sebuah kerangka SPK sebagai sistem komputerisasi informasi yang menggunakan model-model yang diakomodasikan dengan basis data. SPK dapat dapat menunjang pengguna dalam proses pengambilan keputusan karena mampu memaparkan secara rinci elemen-elemen sistem yang ada. SPK akan membantu pengambil keputusan terutama pada situasi keputusan
yang
mengintegrasikan
bersifat
semi-struktur
penilaian
pengambil
dan
tidak
keputusan
terstruktur
dan
informasi
dengan yang
terkomputerisasi, membantu pengambil keputusan pada berbagai tingkatan menajemen serta proses pengambilan keputusan secara individu atau kelompok, dan membantu semua tahapan dalam proses pengambilan keputusan. Pada SPK terdapat kendali pengambil keputusan terhadap semua tahapan dalam proses pengambilan keputusan.
Aplikasi kajian ini dalam sebuah kerangka SPK
diharapkan dapat bersifat adaptif terhadap waktu, serta memperbaiki efektifitas pengambilan keputusan dalam ketepatan, kecepatan dan mutu, dibandingkan dengan aspek efisiensi. Struktur dasar SPK terdiri dari: manajemen basis data, manajemen baisi model, sistem pengolahan terpusat, dan manajemen dialog, seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Manajemen data memasukkan satu basis data yang berisi data yang sesuai dan dikelola oleh perangkat lunak yang disebut sistem manajemen basis data. Database dibuat, diakses, dan diperbarui oleh sebuah sistem manajemen basis data. Basis model berisi model kuantitatif dan berfungsi untuk mengelola model agar dapat digunakan untuk melakukan analisis dan perhitungan komputatif pada proses pengambilan keputusan. Pengelolaan meliputi aktivitas untuk menyimpan, menghubungkan dan mengakses model. SPK memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan akses data dan model-model keputusan. Kemampuan tersebut diperoleh melalui penambahan model-model keputusan ke dalam sistem informasi yang menggunakan database sebagai mekanisme integrasi dan komunikasi diantara model-model. 37
Data
Model
Sistem Manajemen Basis Data DBMS
Sistem Manajemen Basis Model MBMS
Sistem Pengolahan Terpusat
Sistem Manajemen Dialog SPK Pengguna
Gambar 9. Struktur Sistem Penunjang Keputusan Sumber: Turban (2005) Sistem pengolahan terpusat adalah koordinator dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh dan berfungsi menjaga keterkaitan antar bagian sistem yang ada. Sistem ini menerima masukan basis data, basis model, dan manajemen dialog dalam bentuk baku serta menghasilkan keluaran sistem yang dikehendaki. Sistem manajemen dialog adalah bagian sistem penunjang keputusan yang berkomunikasi langsung dengan pengguna. Sistem ini berfungsi menerima masukan dan memberi keluaran yang dikehendaki oleh pengguna. Prinsip yang nantinya dikembangkan dalam merancang SPK adalah keinteraktifan dan kemudahan untuk digunakan dalam operasi dan rekayasa masukan. SPK dapat dibedakan menjadi: model driven, data driven, communication driven, document driven, dan knowledge driven (Power 2007). SPK tipe model driven menekankan akses dan manipulasi model keuangan, optimasi atau simulasi. Model kuantitatif sederhana menyediakan tingkat fungsional dasar. SPK ini menggunakan data terbatas dan parameter yang disediakan oleh pembuat keputusan untuk membantu para pengambil keputusan dalam menganalisis situasi, tetapi secara umum yang besar basis data yang tidak diperlukan. SPK tipe data driven menekankan pada akses dan manipulasi dari dara runut waktu (time series) sebagai data internal dan eksternal, dan kadang data real time.
SPK tipe
communication driven menggunakan jaringan dan teknologi komunikasi untuk memfasilitasi kolaborasi dan komunikasi keputusan yang sesuai. 38
SPK tipe
document driven menggunakan fasilitas penyimpanan pada komputer dan teknologi pengolahan untuk melakukan pengambilan dokumen dan analisis. SPK knowledge driven dimungkinkan menyarankan atau merekomendasikan tindakan kepada pengguna. SPK yang dikembangkan pada penelitian ini ini merupakan SPK dengan tipe model driven yang memungkinkan
dilakukan analisis dan
simulasi dengan aplikasi bidang manajemen risiko pada kegiatan investasi. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu FMEA, Analisis Risiko, Logika Fuzzy, Analytical Hierarchy Process, Fuzzy Inference System, Fuzzy Weighted Average, Radar Chart, Analisis Finansial. Setiap alat analisis diuraikan sebagai berikut: 1. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) FMEA adalah metoda untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kegagalan potensial selama proses produksi, menentukan tingkat risiko dari kegagalan, serta menetapkan skala prioritas untuk mengambil tindakan yang diperlukan. FMEA merupakan metode yang sistematik dalam mengidentifikasi dan mencegah permasalahan produk dan proses.
FMEA fokus kepada
pencegahan kegagalan, peningkatan keamanan, dan peningkatan kepuasan pelanggan (McDermott et al. 2009). FMEA digolongkan menjadi dua jenis yaitu Design FMEA dan Process FMEA.
Design FMEA yaitu alat yang digunakan untuk memastikan bahwa
model kegagalan potensial, serta penyebab dan akibatnya terkait dengan karakteristik desain. Design FMEA akan menguji fungsi dari komponen, sub sistem dan sistem. Model kegagalan potensialnya dapat berupa kesalahan pemilihan jenis material, ketidaktepatan spesifikasi dan yang lainnya. Process FMEA yaitu alat yang digunakan untuk memastikan bahwa model kegagalan potensial, sebab dan akibatnya telah diperhatikan terkait dengan karakteristik prosesnya.
Process FMEA akan menguji kemampuan proses yang akan
digunakan untuk membuat komponen, sub sistem dan sistem. Model kegagalan pontensialnya dapat berupa kesalahan operator dalam merakit bagian atau adanya variasi proses yang terlalu besar.
39
Tahapan dalam metode FMEA terdiri dari 12 langkah yaitu: (1) identifikasi fungsi dari ruang lingkup sistem, (2) identifikasi segala kegagalan yang mungkin terjadi pada setiap fungsi, (3) untuk setiap mode kegagalan, identifikasi segala konsekuensi pada sistem, sistem terkait, proses, proses terkait, produk, servis, pelanggan, dan regulasi, (4) penentuan tingkat keseriusan (severity, disimbolkan dengan “S”) dari masing-masing efek, (5) untuk setiap mode kegagalan, ditentukan penyebab utama yang berpotensi, (6) untuk setiap penyebab, ditentukan rating atau peluang muncul kejadian (occurrence, disimbolkan dengan “O”), (7) penentuan proses kontrol yang telah ada untuk masing-masing penyebab, (8) untuk setiap kontrol, ditentukan tingkat deteksi dari kontrol (detection disimbolkan dengan “D”), (9) pada industri tertentu, ditentukan apakah mode kegagalan ini berasosiasi dengan Critical Characteristic Indicator yang merefleksikan keamanan atau pemenuhan regulasi dari pemerintah dan membutuhkan kontrol khusus, (10) Perhitungan nilai Risk Priority Number (RPN) sebagai fungsi perkalian dari S, O, dan D, (11) indentifikasi aksi atau tindakan yang direkomendasikan, serta (12) evaluasi dan perbaikan. Dalam penerapannya, terdapat beberapa kelemahan FMEA (Yeh dan Hsieh 2007; Wang et al. 2009). Kelemahan-kelemahan tersebut adalah: (1) informasi pada FMEA dinyatakan dalam bentuk linguistik, sehingga sulit bagi konvensional FMEA untuk melakukan secara tepat reliability dan safety dari produk atau proses, (2) penilaian ketiga parameter severity (S), occurrence (O), dan detection (D) diasumsikan memiliki tingkat kepentingan yang sama, serta (3) mengabaikan tingkat kepentingan anggota tim penilai ketika melakukan penilaian dalam FMEA. Dalam FMEA konvensional, penilaian faktor-faktor failure mode yaitu faktor severity (S), faktor occurrence (O) dan faktor detection (D) yang diterapkan dalam natural language akan menghasilkan informasi yang tidak tepat dan bersifat samar. Peningkatan kinerja FMEA dalam menilai faktor-faktor risiko pada penelitian ini dilakukan dengan: (1) menggunakan metode fuzzy sebagai langkah untuk memperbaiki metode akuisisi pengetahuan, dan (2) melakukan pembobotan sebagai upaya untuk mengukur tingkat kepercayaan pakar dan tingkat kepentingan komponen risiko. 40
Penggunaan teori fuzzy memberi fleksibilitas
untuk menampung ketidakpastian akibat samarnya informasi yang dimiliki maupun unsur preferensi yang subjektif yang digunakan dalam penilaian terhadap mode kegagalan yang terjadi (Yeh dan Hsieh 2007; Shirouyehzad et al. 2010). Pengembangan lebih jauh untuk keperluan detailisasi adalah menerapkan metode fuzzy yang lebih mendalam dengan menggunakan fuzzy weighted geometric mean (Wang et al. 2009), fuzzy inference system (Hu dan Cheng 2009). Selain itu juga telah dilakukan penggabungan fuzzy FMEA dengan metode lain seperti: pengembangan model penentuan prioritas terhadap mode kegagalan potensial dengan Fuzzy FMEA dan TOPSIS (Wang 2005). 2. Analisis Risiko (Risk Analysis) Analisis Risiko merupakan metode untuk mengukur dan memetakan peluang terjadinya risiko (occurrence) dan derajat dampak (severity) dari suatu risiko (Hanafi 2006; Siahaan 2009). Hasil analisis risiko biasanya dipetakan dalam bentuk matriks risiko dua dimensi, sebagai alat untuk menggambarkan tingkat kepentingan suatu risiko bagi penyusunan strategi manajemen risiko. Status matriks merupakan fungsi dari occurrence dan severity. Analisis risiko diperlukan bagi analisis aspek risiko selain agroindustri. 3. Logika Fuzzy Logika fuzzy merupakan suatu logika yang memiliki nilai kekaburan atau kesamaran (fuzzyness). Dalam teori logika fuzzy suatu nilai bias bernilai benar atau salah, dimana berapa besar kebenaran dan kesalahan suatu tergantung pada bobot keanggotaan yang dimilikinya. Logika fuzzy memiliki derajat keanggotaan dalam rentang 0 hingga 1. Hal ini berbeda dengan logika klasik (crisp), suatu nilai hanya mempunyai dua kemungkinan yaitu merupakan suatu anggota himpunan atau tidak. Himpunan fuzzy A pada semesta X dinyatakan sebagai himpunan pasangan berurutan baik diskrit maupun kontinu. Fungsi keanggotaan memetakan setiap pada suatu nilai antara [0,1] yang disebut derajat keanggotaan (membership value). Fungsi keanggotaan adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaannya atau derajat keanggotaan, 41
yang memiliki interval antara 0 sampai 1. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan nilai keanggotaan adalah dengan melalui pendekatan fungsi. Derajat keanggotaan dalam himpunan (degree of membership) dilambangkan dengan . Beberapa fungsi yang dapat digunakan antara lain: linear, segitiga, trapesium, kurva bentuk bahu, kurva S, atau kurva lonceng (Kusumadewi dan Purnomo 2004). Secara umum, hubungan antara dua variabel lingustik pada logika fuzzy dapat dinyatakan dalam bentuk fuzzy if then rules. Aturan yang diperoleh dari pakar merupakan dasar dalam pengembangan knowledge base dari fuzzy controller atau fuzzy expert systems (Bih 2006).
Operator dasar yang
didefinisikan khusus untuk mengkombinasi dan memodifikasi himpunan fuzzy adalah: operator “and”, operator “or”, dan operator “not’. Metode Multi Atribute Decision Making (MADM) umumnya menganggap bahwa semua kriteria dan bobot masing-masing dinyatakan dalam nilai crisp. Dalam situasi keputusan dunia nyata, penerapan metode MADM klasik menghadapi kendala besar dalam penilaian kriteria yang mencerminkan ketidakjelasan. Nilai kriteria menjadi lebih realistis apabila dinyatakan secara kualitatif atau dengan menggunakan istilah linguistik, oleh karena itu dibutuhkan pendekatan fuzzy (Kahraman, 2008). Tahapan dari metode fuzzy terdiri dari: (1) fuzzifikasi, yaitu proses untuk mengubah variabel non fuzzy (variabel numerik) menjadi variabel fuzzy (variabel linguistik), (2) komputasi secara fuzzy, serta (3) defuzifikasi, yaitu proses pengubahan data-data fuzzy tersebut menjadi data-data numerik. Terdapat beberapa teknik defuzzifikasi, yaitu metode center of area (COA) atau metode centroid, bisektor, mean of maximum (MOM), largest of maximum (LOM), dan smallest of maximum (SOM). Pada metode COA, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil titik pusat daerah fuzzy. Pada metode Bisektor, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai pada domain fuzzy yang memiliki nilai keanggotaan separuh dari jumlah total nilai keanggotaan pada daerah fuzzy. Pada metode MOM, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai rata-rata domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum. Pada metode LOM, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai terbesar dari domain 42
yang memiliki nilai kenggotaan maksimum. Pada metode SOM, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai terkecil dari domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum. Kelebihan dari teori logika fuzzy adalah kemampuan dalam proses penalaran secara bahasa. Dalam perancangannya, logika fuzzy tidak memerlukan persamaan matematik dari objek yang akan dikendalikan. Selain itu logika fuzzy toleran terhadap data yang tidak akurat, dapat memodelkan fungsi non linear, dapat dibangun berdasarkan pengalaman pakar, serta dapat digabungkan dengan metode konvensional lainnya (Hellmann 2002). 4. Fuzzy Inference System Metode penalaran dalam sistem fuzzy yaitu: metode Tsukamoto, metode Mamdani dan metode Sugeno. Pada metode Tsukamoto, setiap konsekuensi pada aturan yang berbentuk if then harus direpresentasikan dengan suatu himpunan fuzzy dengan fungsi keanggotaan yang monoton. Sebagai hasilnya, output hasil inferensi dari tiap-tiap aturan diberikan dengan tegas (crisp) berdasarkan
-
predikat (fire strength). Metode Mamdani merupakan metode penalaran dimana output hasil inferensi dinyatakan dalam bentuk himpunan fuzzy.
Metode
penalaran pada metode Sugeno memiliki kemiripan dengan metode Mamdani, namun output hasil inferensi tidak dinyatakan berupa himpunan fuzzy melainkan berupa konstanta atau persamaan linear. Tahapan yang dilakukan pada metode Mamdani adalah sebagai berikut: a. Melakukan fuzzifikasi kriteria pemilihan. Pada variabel input dan variabel output dilakukan fuzzifikasi dengan cara memberikan variabel linguistik yang mencerminkan intensitas dari kriteria. Hasil fuzzifikasi adalah himpunan fuzzy (fuzzy set). b. Menentukan model fungsi keanggotaan fuzzy (membership function). Model fungsi keanggotaan fuzzy yang digunakan adalah triangular fuzzy number (TFN) atau trapesium fuzzy number. c. Pembentukan aturan (if then rules). Berdasarkan pendekatan teoritis dan pendapat pakar ditetapkan sejumlah aturan yang digunakan dalam proses penarikan kesimpulan. 43
d. Evaluasi aturan. Terdapat beberapa operasi yang didefinisikan secara khusus untuk mengkombinasikan dan memodifikasi himpunan fuzzy. Hasil aplikasi operator fuzzy (output) untuk setiap aturan dapat dinyatakan dengan
. Nilai
merupakan nilai fungsi keanggotaan ( ) yang bernilai antara 0 dan 1 atau
dinyatakan sebagai
[0,1]. Operator dasar yang didefinisikan
khusus untuk mengkombinasi dan memodifikasi himpunan fuzzy adalah: operator “and”, operator “or”, dan operator “not’.
Selanjutnya, implikasi
masing-masing aturan dianalisis dengan membandingkan nilai-nilai
yang
telah diperoleh dengan model representasi fungsi keanggotaan output. Analisis ini menghasilkan daerah solusi output untuk masing-masing aturan. Daerah solusi atau sering disebut solusi himpunan fuzzy adalah daerah yang berada pada interval nilai z tertentu. e. Agregasi output dilakukan dengan melakukan komposisi daerah solusi output yang dihasilkan oleh masing-masing aturan. Agregasi akan menghasilkan daerah solusi yang merefleksikan kontribusi dari setiap aturan. Terdapat tiga metode yang digunakan dalam melakukan inferensi system fuzzy yaitu: maximum (max), additive (sum), dan probabilistic or. f. Defuzzifikasi. Input dari dari proses defuzzifikasi adalah suatu himpunan fuzzy yang diperoleh dari komposisi aturan-aturan fuzzy, sedangkan output yang dihasilkan merupakan suatu bilangan pada domain himpunan fuzzy tersebut. 5. Fuzzy Weighted Average Salah satu penggunaan logika fuzzy pada FMEA yaitu metode FMEA yang berbasis kepada fuzzy if then rules. Metode ini memiliki beberapa kelemahan yaitu kesulitan membangun ratusan aturan karena berbasis kepada pengetahuan pakar, sedangkan reduksi aturan akan membatasi efektivitas metode ini. Pada metode fuzzy sekalipun, penilaian risiko tidak selalu mudah dinyatakan dalam bentuk nilai crisp, sehingga kemudian dilakukan penilaian dengan nilai linguistik. Permasalahan selanjutnya adalah dalam hal agregasi, yang kemudian dapat diselesaikan melalui metode
Fuzzy Weighted Average
(FWA) (Dong dan Wong 1987). Secara teori perhitungan ini dapat diselesaikan dengan menggunakan -level dan linear programming, namun untuk menghindari 44
kompleksitas perhitungan, defuzifikasi nilai dapat dilakukan dengan metode defuzified centroid (Wang et al. 2009). Aplikasi FWA pada tahap pembobotan pakar dan pembobotan komponen risiko yaitu Fuzzy Weighted Average Index yang bergunakan untuk menghitung bobot pakar, bobot komponen risiko, dan bobot kelompok risiko. Aplikasi FWA pada penilaian risiko yaitu Fuzzy Weighted Average FMEA yang digunakan untuk menghitung nilai risiko faktor sebagai fungsi dari Occurrence (O), Severity (S), dan Detection (D). Langkah FWA terdiri dari: (1) melakukan fuzzifikasi kriteria pemilihan, (2) menentukan model fungsi keanggotaan fuzzy (membership function), (3) dan Defuzzifikasi. 6. Radar Chart Penjelasan hasil yang berbasis kepada nilai non matematis memerlukan sebuah pendekatan tertentu. Pada satu sisi, adalah sebuah langkah penting untuk mengakumulasi penilaian pada sebuah kerangka yang komprehensif untuk memudahkan pemahaman. Pada sisi yang lain, detailisasi analisis memerlukan sebuah metode yang mampu merepresentasikan hasil secara konsisten. Visualisasi nilai risiko memainkan peran penting dalam proses memahami dan menangani risiko. Metode yang dapat digunakan untuk merepresentasikan hasil penilaian risiko antara lain: peta, grafik, diagram, dan deskripsi visual lainnya (Eppler dan Aeschimann 2008).
Grafik yang dapat dipilih untuk
mengatasi hal tersebut adalah radar chart (Schreyer et al. 2010). Grafik radar (radar chart) menggambarkan nilai data menggunakan sumber nilai yang ditarik dari pusat diagram dan terpisah untuk setiap kategori atau bagian data. Radar chart memudahkan dalam proses menafsirkan, membandingkan, melihat kecenderungan, serta menarik kesimpulan dari data. Penggunaan radar chart antara lain pada area manajemen risiko, atau manajemen konflik (Mans dan Shimshon 2005). 7. Analitical Hierarchy Process Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan sebuah pendekatan untuk mengorganisasikan informasi dan pendapat dalam memilih alternatif terbaik atas 45
pertimbangan tertentu (Saaty 1983). Prosedur yang digunakan meliputi: (1) penyusunan struktur hirarki dan (2) penilaian kriteria dan altenatif, (3) penentuan prioritas, dan (4) konsistensi logis (Marimin 2005) dengan uraian sebagai berikut: a. Penyusunan struktur hirarki. Pada tahap ini ditentukan tujuan yang ingin dicapai dan elemen-elemen pada setiap tingkat hirarki dari permasalahan yang dihadapi dalam mencapai tujuan tersebut. b. Penilaian kriteria dan alternatif. pembobotan
untuk
Prosedur AHP menggunakan teknik
menghasilkan faktor bobot.
Faktor bobot ini
menggambarkan ukuran relatif nilai kepentingan suatu elemen dibandingkan dengan lainnya. c. Penentuan prioritas.
Penentuan prioritas diperoleh dengan melakukan
perbandingan berpasangan untuk setiap kriteria dan alternatif dilakukan perbandingan berpasangan. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. d. Konsistensi logis.
Semua elemen dikelompokkan secara logis dan
diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis.
8. Analisis Kelayakan Finansial Analisis investasi digunakan untuk mengukur nilai pengembalian pada masa yang akan datang dari investasi yang ditanamkan. Beberapa metode analisis yang dapat dipergunakan adalah: a. Metode Non-Discounted Cash Flow.
Metode ini adalah metode
pengukuran investasi dengan melihat kekuatan pengembalian modal tanpa mempertimbangkan nilai waktu terhadap uang (time value of money). Metode ini terdiri dari analisis titik impas dan pay back period. Titik Impas (Break Even Point, BEP) adalah metode yang dipergunakan untuk menghitung jumlah atau nilai dimana diperoleh keuntungan sama dengan biaya yang dikeluarkan. Nilai titik impas yang dinyatakan dalam unit kuantitas adalah sebagai berikut: BEP =
46
.................. (1)
Pay Back Period (PBP) adalah metode yang dipergunakan untuk menghitung waktu yang diperlukan untuk pengembalian. PBP dinyatakan dalam formula:
=
1
n ............................... (2)
Metode PBP merupakan alat ukur yang sangat sederhana, mudah dimengerti dan berfungsi sebagai tahapan paling awal bagi penilaian suatu investasi. Model ini umum digunakan untuk pemilihan alternatif-alternatif usaha yang mempunyai resiko tinggi, karena modal yang telah ditanamkan harus segera dapat diterima kembali secepat mungkin. b. Metode Discounted Cash Flow. Metode ini adalah metode pengukuran investasi dengan melihat nilai waktu uang (time value of money) dalam menghitung tingkat pengembalian modal pada masa yang akan datang. Metode ini terdiri dari NPV, IRR, dan Net B/C. Net Present Value (NPV) didefinisikan sebagai selisih antara investasi sekarang dengan nilai sekarang (present value) dari proyeksi hasil-hasil bersih masa datang yang diharapkan. Dengan demikian, NPV dapat dirumuskan: = di mana:
i N -C C
= = = =
(
)
+
(
)
................................ ......... (3)
bunga tiap periode periode (tahun, bulan) modal (capital) hasil bersih (proceed)
Internal Rate of Return didefinisikan sebagai besarnya suku bunga yang menyamakan nilai sekarang (present value) dari investasi dengan hasil-hasil bersih yang diharapkan selama usaha berjalan. Dasar yang dipakai sebagai acuan baik tidaknya IRR biasanya adalah suku bunga pinjaman bank yang sedang berlaku, atau suku bunga deposito jika usaha tersebut dibiayai sendiri. Dengan skenario dua nilai NPV yang telah diketahui sebelumnya, IRR dapat dirumuskan sebagai:
47
IRR = i + ( i
di mana:
i )x
(
)
x 100% .................................. (4)
NPV 1 harus di atas 0 (NPV1 > 0) NPV2 harus di bawah 0 (NPV2 < 0)
Net B/C merupakan perbandingan antara
biaya dan manfaat yang
dikeluarkan selama kegiatan investasi berlangsung. Net B/C dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
Net B/ C =
( ) ( )
................................................................... (5)
3.4 Verifikasi dan Validasi Model Verifikasi dan validasi dilakukan untuk membangun tingkat kepercayaan model. Verifikasi berkaitan dengan hubungan antara model konseptual dan model komputer.
Validasi berkaitan dengan hubungan antara model komputer dan
pengukuran eksperimental. Verifikasi model komputerisasi didefinisikan sebagai langkah untuk meyakinkan bahwa pemrograman komputer dan implementasi dari model konseptual adalah benar. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa model yang diajukan adalah benar dan cocok dengan spesifikasi dan asumsi yang disepakati (Carson 2002). Validasi adalah proses penentuan apakah model, sebagai konseptualisasi atau abstraksi, merupakan representasi berarti dan akurat dari sistem nyata. Validasi model konseptual didefinisikan sebagai langkah menentukan bahwa teori dan asumsi yang mendasari model konseptual adalah benar dan bahwa model representasitasi model terhadap permasalahan adalah masuk akal.
Validasi
operasional didefinisikan sebagai langkah menentukan perilaku keluaran model memiliki akurasi yang cukup untuk tujuan model ini atas penerapan model dituju. Validitas data didefinisikan sebagai langkah memastikan bahwa data yang diperlukan untuk membangun model, evaluasi dan pengujian model, dan percobaan model, yang dilakukan untuk memecahkan masalah adalah memadai dan benar (Sargent 2007). 48
Terdapat beberapa metode validasi yang dapat digunakan. Martis (2006) menyebutkan metode tersebut adalah: comparison to other models, degenerate test, events validity, face validity, historical data validation, predictive validation, schellenberger’s criteria, scoring model approach, clarity, black-box validation, atau extreme condition test. Secara lebih spesifik validasi menurut Forrester dan Senge (1980) dapat dibagi menjadi: analisis nilai penting tujuan model, validasi struktur model, validasi perilaku model, dan validasi implikasi kebijakan. Model dapat dinyatakan valid melalui berbagai metode, namun demikian validasi tersebut tidak akan berarti apabila tujuan diformulasikan tidak tepat. Oleh karena itu perlu dianalisis tujuan berdasarkan kesesuaian dengan keadaan nyata. Validasi model struktur dapat dilakukan dengan tes kesesuaian (suitability test), tes konsistensi (consistency test), dan tes efektivitas (effectivenss test). Tes kesesuaian dapat dilakukan dengan structure verification test, dimensional consistency, extreme condition, boundary adequacy.
Tes konsistensi
dapat
dilakukan dengan face validity test, parameter verification test. Tes efektivitas dapat dilakukan dengan cara menilai kesesuaian dengan pelaku (appropriate for audience). Validasi model perilaku dapat dilakukan dengan tes kesesuaian (suitability test), tes konsistensi (consistency test), dan tes efektivitas (effectivenss test). Tes kesesuaian dapat dilakukan dengan parameter sensitivity test. Tes konsistensi dapat dilakukan dengan behavior-reproduction test, behavior-prediction test, behavior-anomaly test, family member test, surprising behavior test, extremepolicy test, boundary adequacy (behavior) test, behavior-sensitivity test, atau statistical tests.
Tes efektivitas dapat dilakukan dengan counter intuitive
behavior. Validasi implikasi kebijakan dapat dilakukan dengan tes kesesuaian (suitability test), tes konsistensi (consistency test), dan tes efektivitas (effectivenss test).
Tes kesesuaian dapat dilakukan dengan policy sensitivity and robustness
test. Tes konsistensi dapat dilakukan dengan behavior prediction test, boundary adequacy (policy) test, atau system improvement test.
Tes efektivitas dapat
dilakukan dengan implementable policy test.
49
Teknik validasi yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menilai tingkat kepentingan tujuan model, validasi struktur model, validasi perilaku model, dan validasi implikasi kebijakan. dilakukan dengan melakukan analisis situasional.
Analisis kesesuaian tujuan Validasi struktur model
dilakukan dengan structure verification test dengan cara menganalisis apakah struktur model kontradiksi dengan kondisi nyata, dan face validity test dengan cara menganalisis kesesuaian dengan kondisi nyata.
Validasi model perilaku
dilakukan dengan menggunakan parameter sensitivity test, dimana dianalisis perubahan perilaku dengan melakukan simulasi yang didalamnya terdapat perubahan nilai beberapa parameter.
Validasi implikasi kebijakan dilakukan
dengan menggunakan behavior prediction test, yaitu dengan cara menilai apakah model dapat memprediksi dengan benar bagaimana sistem akan berubah dengan menerapkan suatu kebijakan.
3.5 Tata Laksana Penelitian Pengembangan model manajemen risiko investasi agroindustri terdiri dari beberapa langkah yang tertera pada Gambar 10. Penelitian terdiri dari kegiatan studi pustaka, pengumpulan data, pengembangan sistem, serta validasi dan verifikasi. Kegiatan lapang dilakukan di Kepulauan Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada periode panen tahun 2011 yaitu pada bulan Juni dan Juli, sedangkan kegiatan pengembangan model dilakukan hingga bulan Mei 2012. Pengembangan model menggunakan data primer dan data sekunder baik yang berbasis data maupun pengetahuan.
Data dan pengetahuan bagi
pengembangan model diperoleh melalui observasi, metode baseline survey, in depth interview dan Focus Group Discussion (FGD). Observasi dilakukan melalui peninjauan unit penangkaran benih dan perkebunan lada, peninjauan agroindustri lada secara tradisional dan mekanis, serta kunjungan dan wawancara dengan eksportir lada.
Peninjauan unit
penangkaran benih dan perkebunan lada dilakukan di Kabupaten Bangka Barat dan Bangka Selatan. Peninjauan agroindustri lada secara tradisional dilakukan di Kabupaten Bangka Selatan, sedangkan peninjauan agroindustri lada secara mekanis dilakukan di Kabupaten Bangka Tengah dan Bangka Selatan. 50
Gambar 10. Tata Laksana Penelitian Baseline survey dilakukan dengan menjaring pendapat responden yaitu petani sebagai pihak penerima manfaat atas pengembangan sistem komoditas lada. Baseline survey dilakukan di tiga desa pada dua kecamatan di Kabupaten Bangka Selatan. Baseline survey melibatkan 42 petani di Kabupaten Bangka Selatan yang tersebar di Desa Delas dan Desa Nyelanding, Kecamatan Air Gegas, serta Desa Bedegung, Kecamatan Payung. Kegiatan in depth interview dilakukan terhadap petani, pedagang, eksportir, pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten, peneliti pada lembaga penelitian, International Pepper Community (IPC), serta Badan Pengelola Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L).
Pada tingkat
Kementerian Pertanian, in depth interview dilakukan pada Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), Balai Penelitian Tanaman Industri (Balittri), Balai Besar Pasca Panen Hasil Pertanian (BBPPHP), serta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kegiatan FGD dilakukan di ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan melibatkan unsur pemerintah daerah tingkat provinsi, dunia usaha, dan lembaga penelitian.
Kegiatan FGD dilakukan untuk melihat kesinergian dan 51
fokus kebijakan pemerintah dan kesesuaian terhadap permasalahan dan kebutuhan atas pengembangan komoditas lada. Pada model yang telah dikembangkan kemudian dilakukan validasi dengan melihat implementasi model tersebut pada sentra produksi lada putih di kepulauan Bangka.
Penilaian dan analisis dilakukan dengan menjaring
pengetahuan pakar yang terdiri dari petani, staf pemerintah daerah, dan peneliti pada lembaga penelitian.
Pemilihan responden didasarkan kepada aspek
pengetahuan, tingkat pendidikan, serta kemampuan pemahaman terhadap tujuan dan masalah dalam konteks kesisteman. Kajian juga dilengkapi dengan berbagai data sekunder yang bersifat data dunia, data nasiona, maupun data wilayah. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari BPS, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Bank Indonesia, IPC, dan Pemerintah Daerah.
52